IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada saat diisolasi dari ikan, sel trophont menunjukan pergerakan yang aktif selama 4 jam pengamatan. Selanjutnya sel parasit pada suhu kontrol menempel pada dasar petri dan menjadi lebih lengket yang menandakan dimulainya proses encystment, sedangkan parasit pada suhu 10 C tidak mengalami proses encystment dan sel parasit tidak lengket pada dasar petri. Parasit selanjutnya ditransfer pada tabung reaksi untuk perlakuan suhu rendah dan diamati viabilitasnya selama 14 hari. Nilai hasil pengamatan nilai survival rate, encystment, excystment, dan abnormalitas dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai survival rate parasit, persentase encystment, persentase excystment, dan abnormalitas sel theront yang dihasilkan setelah inkubasi pada suhu 27±1 C Hari % Encystment % Excystment SR Abnormalitas Perlakuan Perlakuan kontrol kontrol perlakuan 9±2 0 C 27±1 0 kontrol C 9±2 0 C 27±1 0 C kontrol perlakuan , , , , , , , , keterangan : - : tidak ada sel abnormal + : sedikit ++ : banyak +++ : sangat banyak 4.1 Kelangsungan Hidup Parasit Kolom SR (Survival Rate) yang terdapat pada Tabel 1 menunjukkan bahwa sel trophont yang dipelihara dalam suhu rendah mampu bertahan hidup 100% hingga pada hari ke-6 pengamatan, dan secara gradual mengalami kematian

2 17 sehingga nilai SR populasi parasit hanya 35% di akhir pengamatan. Sel parasit yang mati tidak mengalami lisis sehingga tetap bisa diamati pada hari terakhir pengamatan. Sedangkan seluruh sel trophont yang dipelihara pada suhu optimal (kontrol) menyelesaikan proses encystment dan excystment hanya dalam jam, sehingga pada hari pertama pengamatan seluruh parasit sudah dalam stadia theront. Ukuran sel yang besar memungkinkan parasit dapat menyimpan cadangan energi yang lebih banyak untuk proses pembelahan sel. Pada perlakuan suhu rendah, proses pembelahan sel diduga melambat dan mencegah proses pembentukan sel tomite, sehingga tersedia energi yang cukup bagi parasit untuk tetap bertahan hidup pada suhu rendah selama berada di luar tubuh inangnya. Terdapat hubungan lurus antara ukuran sel trophont dengan viablitasnya, dimana sel trophont yang ukurannya lebih kecil dari 95 µm tidak akan mampu bertahan di luar tubuh inangnya (Dickerson 2006). Dalam penelitian ini, parasit yang digunakan adalah parasit dengan ukuran minimal 350 µm sehingga mampu bertahan selama beberapa hari. Pengamatan pada hari ke-14 menemukan hanya sel parasit yang berukuran minimal 600 µm yang terlihat masih hidup. Kelangsungan hidup parasit yang rendah pada penelitian ini diduga disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu keterbatasan energi dan pengaruh suhu. Pemisahan parasit dari inangnya mengakibatkan tidak adanya suplai energi dari luar tubuh parasit dan memaksa parasit menggunakan cadangan energi yang ada untuk bertahan hidup. Kemampuan membentuk kista dan cadangan lipid diduga sangat menentukan kemampuan bertahan parasit saat meninggalkan inang (Ewing dan Kocan 1986). Jumlah energi yang terbatas dan sangat ditentukan oleh ukuran parasit akan menentukan berapa lama parasit tersebut mampu bertahan di luar tubuh ikan. Terdapat perbedaan fisiologi antara parasit I. multifiliis yang menginfeksi ikan pada daerah subtropik dengan I. multifiliis yang menginfeksi ikan di daerah tropik. Perbedaan fisiologi tersebut diduga berkaitan dengan kemampuan toleransi parasit pada suhu inang dan suhu lingkungannya (Dickerson 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Noe dan Dickerson (1995) membuktikan parasit mampu bertahan pada tubuh inangnya selama 20,4 hari, jauh lebih lama dibandingkan

3 18 perlakuan kontrol 5-6 hari walaupun suhu diturunkan pada 9 C. Hal ini menjadi dugaan bahwa parasit I. multifiliis strain subtropik bertahan selama musim dingin dengan cara tinggal lebih lama pada tubuh inangnya dan berkembang jauh lebih lambat. Penelitian terkait pada perlakuan suhu yang dilakukan oleh beberapa peneliti (Noe dan Dickerson 2006; Dan et al. 2009) masih menggunakan kisaran suhu yang secara alami terjadi dalam siklus satu tahun di perairan setempat. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis karena menggunakan suhu 9 C yang jarang sekali terjadi di perairan daerah tropik sehingga kelangsungan hidup parasit hanya 35% saja setelah 14 hari perlakuan. Diduga parasit yang merupakan isolat tropik ini tidak mampu bertahan hidup lebih lama pada suhu 9 C. 4.2 Persentase Encystment Kolom encystment pada Tabel 1 menunjukkan bahwa suhu rendah hanya mampu menunda proses encystment (pembentukan kista) pada sel thropont pada hari pertama pengamatan (Gambar 5a) akan tetapi tidak mampu mencegah proses tersebut pada hari selanjutnya. Sel parasit yang dipelihara, melakukan inisiasi pembentukan kista pada hari ke-2 sebesar 86%, dan akhirnya pada hari ke-3, seluruh parasit yang dipelihara dalam suhu rendah sudah dalam stadia tomont (Gambar 5b). a) 200 µm b) 200 µm Gambar 5. (a). Parasit pada stadia thropont pada perlakuan suhu rendah pada hari pertama. (b). Pada hari kedua sel parasit sudah memulai membentuk kista (panah hitam) dan melakukan inisiasi pembelahan sel (panah putih). Proses encystment berjalan dengan normal setelah sel parasit diinkubasi pada suhu optimal 27 C. Pengamatan ini sesuai dengan hasil penemuan Dickerson

4 19 (2006), bahwa proses pembentukan kista dapat ditunda secara temporer dengan mengkondisikan parasit pada media air yang bersuhu di bawah 10 C, namun akan segera pulih kembali jika parasit dikondisikan pada suhu C. Pembentukan kista diduga sebagai salah satu mekanisme bertahan bagi parasit untuk mencegah pengaruh lingkungan luar terhadap proses pembelahan biner yang terjadi di dalam sel, seperti infeksi oleh bakteri dan fungi, atau predasi oleh protozoa lainnya (Dickerson 2006). 4.3 Persentase Excystment Berdasarkan nilai persentase excystment yang terdapat pada Tabel 1, terlihat bahwa proses excystment tidak terjadi selama parasit dipelihara dalam suhu rendah walaupun telah terjadi pembelahan sel pada sebagian parasit. Excystment hanya terjadi pada sel parasit setelah diinkubasi pada suhu 27 C. Diawali dengan penyempurnaan pembelahan sel hingga pembentukan sel tomite, selanjutnya sel tomite berusaha keluar dari sel induk dengan cara menembus dinding kista. Perbedaan proses excystment di antara perlakuan suhu rendah dapat dilihat pada Gambar 6. a) 200 µm b) 200 µm Gambar 6. (a) Proses lepasnya sel theront dari kista (excystment) setelah 24 jam inkubasi sel parasit pada hari pertama, dan (b) proses excystment dari parasit pada perlakuan suhu rendah hari ke-14. Secara umum seluruh sel parasit yang dipelihara selama 7 hari pertama mampu menyempurnakan proses excystment (100%) dimana sel tomite yang ukurannya seragam mulai bergerak untuk memecah dinding kista pada beberapa bagian sel tomont (Gambar 6a). Akan tetapi kemampuan tersebut semakin menurun dengan bertambahnya hari perlakuan dimana pada akhir pengamatan yaitu pada hari ke-14, hanya 33,33% dari parasit yang diinkubasi pada suhu 27 C yang mampu melakukan proses excystment. Selain menurunnya persentase

5 20 excystment, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses excystment juga lebih panjang (36-48 jam) dibandingkan pada perlakuan kontrol (18-24 jam) dengan ciri ukuran tomite yang tidak seragam dikarenakan tidak serentaknya proses pembelahan sel (Gambar 6b). Perlakuan pada suhu diduga telah menekan metabolisme parasit dan bertambahnya waktu pemeliharaan di luar tubuh inang juga telah memaksa parasit untuk menggunakan cadangan energi yang lebih besar selama bertahan hidup, sehingga mengurangi cadangan energi yang dibutuhkan oleh sel tomite untuk proses excystment. 4.4 Abnormalitas Parasit Abnormalitas dalam pengamatan ini dicirikan dengan sel tomite yang tidak mampu menembus dan keluar dari kista setelah inkubasi selama 24 jam dalam suhu 27 C, mobilitas sel theront yang lemah, atau berputar-putar di tempatnya saja. Beberapa perbedaan abnormalitas sel parasit pada hari perlakuan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 7. a) 400 µm b) 250 µm c) 200 µm Gambar 7. (a). Sel theront normal berenang meninggalkan kista yang sudah kosong. (b) Sel tomite abnormal yang gagal menembus kista dari parasit yang dipelihara pada suhu rendah selama 8 hari. (c) Beberapa sel tomite abnormal pada perlakuan suhu rendah pada hari ke-14. Berdasarkan Tabel 1 pada kolom abnormalitas sel, diketahui bahwa abnormalitas sel parasit terdeteksi pada hari ke-4 dan jumlahnya semakin meningkat hingga pada hari ke-14. Suhu rendah diduga telah mengakibatkan distribusi energi pada sel tomite menjadi tidak merata atau energi yang didistribusikan tidak mencukupi bagi sebagian sel tomite untuk melepaskan diri dari kista. Pada sel yang sehat sel parasit akan meninggalkan induk dalam 24 jam

6 21 tanpa adanya sel tomite yang tersisa (Gambar 7a). Sementara sel parasit abnormal terlihat menyisakan beberapa sel tomite dalam kista sel induk (Gambar 7b) dan jumlahnya semakin banyak dengan bertambahnya hari pengamatan (Gambar 7c). Sel theront diyakini tidak memanfaatkan energi dari luar karena vokuola makanan hanya terbentuk sempurna sesaat setelah sel theront mampu menginfeksi dan berkembang menjadi sel trophont pada tubuh ikan (Dickerson 2006). Oleh karena itu energi pada sel theront adalah energi yang terbatas dan hanya didapatkan dari sel induknya. Pemanfaatan cadangan energi oleh sel induk agar tetap dapat hidup selama pemeliharaan pada suhu rendah mungkin telah mengurangi jumlah energi yang didistribusikan kepada sel anakan (tomite). Mobilitas sel theront yang rendah selain dimungkinkan oleh kekurangan energi, juga dapat disebabkan oleh cacat morfologi. Penelitian yang dilakukan Dan et al. (2009) pada parasit Cryptocaryon irritans menunjukan terjadinya peningkatan persentase sel theront yang cacat morfologi dengan bertambahnya hari pemeliharaan pada suhu rendah. Cacat ini mengakibatkan menurunnya infektifitas parasit pada ikan uji. Pada penelitian ini cacat morfologi (deformity) tidak diamati, namun tidak menutup kemungkinan bahwa rendahnya mobilitas sel theront dapat disebabkan oleh bentuk sel yang cacat akibat pemeliharaan pada suhu rendah di luar tubuh inangnya. 4.5 Uji Infektifitas Sel Theront Infektifitas parasit yang dihasilkan dilihat dari nilai prevalensi parasit dari ikan uji yang diinfeksi oleh sel theront yaitu pada ikan bawal air tawar C. macropomum dan ikan black molly P. sphenops. Uji dilakukan pada dua suhu berbeda, yaitu pada suhu 27±2 C yang mendekati suhu alami pada kolam budidaya dan suhu yang lebih rendah C. Nilai prevalensi parasit disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai prevalensi parasit I. multifiliis pada ikan uji bawal air tawar dan black molly yang diinfeksi dengan sel theront Jenis ikan Suhu infeksi kontrol Prevalensi Parasit suhu rendah Bawal air tawar 27±2 C 100% 40% Black molly C 80% 50%

7 22 Ikan uji menunjukan gejala penyakit white spot setelah 7 hari infeksi, baik pada ikan bawal air tawar yang diinfeksi pada suhu 27 C maupun pada ikan black molly yang diinfeksi pada suhu C. Hal tersebut menunjukan bahwa suhu C merupakan kisaran suhu yang masih mendukung proses infeksi. Hasil perhitungan prevalensi yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai prevalensi parasit perlakuan jauh lebih rendah jika dibandingkan pada parasit kontrol. Rendahnya nilai prevalensi parasit pada ikan bawal dan ikan black molly (40 dan 50%) yang diinfeksi parasit dari perlakuan suhu rendah (9±2 C) diduga disebabkan oleh tingginya abnormalitas sel parasit I. multifiliis setelah pemeliharaan selama 14 hari. Abnormalitas sel mempengaruhi jumlah sel tomite yang mampu berdiferensiasi menjadi theront. Sedangkan abnormalitas pada sel theront selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan sel theront dalam menginfeksi inang karena mengurangi mobilitas sel dalam mencari inang dan menginfeksinya. Dalam kondisi sel dan suhu inkubasi normal, diperkirakan hanya 50% saja dari populasi sel theront mampu menginfeksi inang, terutama pada bagian insang ikan (Ewing et al. 1986). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama proses infeksi, diketahui bahwa ikan uji mulai menunjukkan perubahan tingkah laku pada hari ke-3 dimana beberapa ekor ikan terlihat lebih sering diam di dasar akuarium. Pada hari ke-5 beberapa bagian tubuh ikan uji tertutup oleh mukus yang berlebihan dan menyerupai selaput tipis. Produksi mukus ini merupakan salah satu mekanisme non spesifik ikan untuk membatasi infeksi parasit (Dickerson 2006). Beberapa gejala lain yang teramati adalah merenggangnya sisik, dan menyatunya lembaran sirip punggung ikan. Titik putih (white spot) mulai terlihat pada hari ke-7 yang kepadatannya berbeda-beda pada setiap ikan dan semakin jelas pada hari ke-9. Titik putih tersebut tersebar merata mulai dari ekor hingga kepala ikan (Gambar 8) dan berisi satu atau lebih sel trophont.

8 23 2,5 mm mm Gambar 8. Ikan black molly Poecilia sphenops setelah diinfeksi dengan sel theront yang berasal dari parasit yang telah dipelihara selama 14 hari pada suhu rendah. Sel theront sesaat setelah berhasil menginfeksi akan menembus lapisan basal epidermis ikan dan berdiferensiasi menjadi sel trophont. Selanjutnya sel trophont yang dilengkapi vokuola makanan akan berotasi dan bergerak dalam pola amoeboid untuk menggerus dan memakan sel dan debris dari luka yang dihasilkan. Titik putih yang terlihat sebagai gejala white spot pada ikan sebenarnya berasal dari parasit yang mengisi ruang pada jaringan kulit (Dickerson 2006). Ruang ini biasanya diisi oleh satu sel trophont namun beberapa kasus dapat ditemui lebih dari satu sel trophont hidup bersama-sama di dalam ruang tersebut. Infestasi parasit pada sirip dan insang ikan bawal dapat dilihat pada Gambar 9. a) b) c) Gambar 9. Infestasi sel trophont pada ikan bawal yang terinfeksi ringan oleh parasit I. multifiliis pada a) sirip dada, b) sirip ekor, dan c) insang. Titik hitam merupakan sel trophont yang teramati pada perbesaran 40x.

9 24 Pada ikan yang menunjukan infeksi ringan, titik putih hanya terlihat dengan jelas pada sirip dada dan ekor ikan uji (Gambar 9a dan 9b). Namun saat dilakukan pengamatan pada bagian insang, terlihat intensitas parasit pada bagian insang jauh lebih tinggi dibandingkan pada bagian lainnya (Gambar 9c). Hal ini mengindikasikan bahwa sel infektif (sel theront) memiliki preferensi lokasi tertentu dalam menginfeksi ikan dalam hal ini insang ikan. Ikan uji yang digunakan mengalami kematian untuk pertama kalinya pada hari ke-8 pasca infeksi. Selanjutnya secara bertahap, nilai akumulasi kematian mencapai 100% pada hari ke-14 pasca infeksi. Kematian massal pada ikan yang terinfeksi diduga lebih dikarenakan gejala hipoksia dan keracunan amoniak yang merupakan indikasi kegagalan fungsi utama insang akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh infeksi parasit I. multifiliis (Dickerson 2006). Dalam memilih organ target dan bertahan terhadap sistem imunitas inang, parasit memiliki beberapa strategi yaitu memilih area yang kompetensi imunitasnya lemah atau memanfaatkan mekanisme imunitas inang (Bobadilla 2008). Parasit I. multifiliis memilih area atau organ yang kompetensi sistem imunitasnya lemah dalam hal ini insang diduga karena beberapa alasan. Pertama, secara alami lapisan lendir pada insang jauh lebih tipis untuk memastikan insang dapat melakukan pertukaran oksigen dan karbondioksida lebih efisien, namun hal tersebut secara bersamaan akan mengurangi proteksi sistem imunitas pada insang ikan. Kedua, adanya pertukaran volume air akan membantu parasit dalam melakukan infestasi pada insang menjadi jauh lebih mudah (Dickerson 2006). Selain itu parasit I. multifiliis juga memiliki strategi memanfaatkan sistem imunitas ikan untuk keuntungannya sendiri, dimana produksi lendir yang berlebihan akan mengurangi mobilitas antibodi dan elemen imunitas lainnya dalam memburu parasit I. multifiliis (Bobadilla 2008). Mekanisme kematian pada ikan dalam kasus ini merupakan mekanisme pertama, dimana parasit mengakibatkan kerusakan secara langsung pada sistem vital ikan (Xu et al. 2011) seperti osmoregulasi, respirasi, dan ekskresi amoniak. Infeksi yang berlanjut akan mengakibatkan inang mengalami hipoksia dan keracunan amoniak yang berujung pada kematian massal suatu populasi ikan (Dickerson 2006).

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Protozoa Bersilia, Ichtyophthirius multifiliis Forquet Epidemiologi I. multifiliis Siklus Hidup Parasit

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Protozoa Bersilia, Ichtyophthirius multifiliis Forquet Epidemiologi I. multifiliis Siklus Hidup Parasit 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Protozoa Bersilia, Ichtyophthirius multifiliis Forquet Ichtyophthirius multifiliis adalah satu-satunya spesies parasit di dalam genusnya (Lee et al. 1985 dalam Dickerson 2006).

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Intensitas Trichodina sp pada Ukuran Ikan Nila yang Berbeda

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Intensitas Trichodina sp pada Ukuran Ikan Nila yang Berbeda BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Intensitas Trichodina sp pada Ukuran Ikan Nila yang Berbeda Hasil pengamatan secara mikroskopis yang dilakukan terhadap 90 ekor sampel ikan nila (Oreochromis nilotica),

Lebih terperinci

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta KESEHATAN IKAN Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta Penyakit adalah Akumulasi dari fenomena-fenomena abnormalitas yang muncul pada organisme (bentuk tubuh, fungsi organ tubuh, produksi lendir,

Lebih terperinci

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki (Carassius auratus) Pengambilan sampel ikan maskoki dilakukan di tiga tempat berbeda di daerah bogor, yaitu Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ikan bawal air tawar (Colossoma macopomum) merupakan ikan yang

BAB I PENDAHULUAN. Ikan bawal air tawar (Colossoma macopomum) merupakan ikan yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sudah dikenal memiliki kekayaan sumberdaya perikanan yang cukup besar. Ada beragam jenis ikan yang hidup di air tawar maupun air laut. Menurut Khairuman

Lebih terperinci

The infectivity of Ichtyophthirius multifiliis against low temperature storage

The infectivity of Ichtyophthirius multifiliis against low temperature storage Jurnal Akuakultur Indonesia 15 (2), 93 98 (2016) Artikel Orisinal Infektivitas parasit Ichtyophthirius multifiliis yang disimpan pada suhu rendah DOI: 10.19027/jai.15.2.93-98 The infectivity of Ichtyophthirius

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembentukan Organisme Bioflok 4.1.1 Populasi Bakteri Populasi bakteri pada teknologi bioflok penting untuk diamati, karena teknologi bioflok didefinisikan sebagai teknologi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan Gejala Klinis Pengamatan gejala klinis pada benih ikan mas yang diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila meliputi kelainan fisik ikan, uji refleks, dan respon

Lebih terperinci

MK Teknologi Pengendalian Dan Penanggulangan Penyakit Dalam Akuakultur

MK Teknologi Pengendalian Dan Penanggulangan Penyakit Dalam Akuakultur MK Teknologi Pengendalian Dan Penanggulangan Penyakit Dalam Akuakultur Jenis-jenis penyakit akibat mikroba: PROTOZOAN Program Alih Jenjang D4 Bidang Konsentrasi Akuakultur Penyakit Budidaya Perikanan akibat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Lele Dumbo 2.1.1. Taksonomi Klasifikasi atau pengelompokkan ikan lele dumbo menurut Bachtiar (2007) adalah sebagai berikut : Filum Kelas Sub kelas Ordo Sub ordo Famili

Lebih terperinci

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN)

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) 1 RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) Angga Yudhistira, Dwi Rian Antono, Hendriyanto Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Identifikasi Parasit Jenis parasit yang ditemukan adalah Trichodina (Gambar 2), Chilodonella (Gambar 3), Dactylogyrus (Gambar 4), Gyrodactylus (Gambar 5), dan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Air Sebagai Tempat Hidup Ikan Bawal Air Tawar Hasil analisis kualitas media air yang digunakan selama penelitian ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil analisis kualitas

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Teori yang Relevan. Ichthyophthirius multifiliis adalah parasit dari golongan protozoa yang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Teori yang Relevan. Ichthyophthirius multifiliis adalah parasit dari golongan protozoa yang BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori yang Relevan Ichthyophthirius multifiliis adalah parasit dari golongan protozoa yang biasa menyerang benih ikan air tawar pada usaha budi daya intensif, sebagai akibat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada tahun Ikan nila merupakan ikan konsumsi air tawar yang diminati oleh

I. PENDAHULUAN. pada tahun Ikan nila merupakan ikan konsumsi air tawar yang diminati oleh 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nila (Oreochromis niloticus L.) adalah ikan yang hidup di air tawar dan berasal dari Sungai Nil dan danau-danau sekitarnya. Ikan nila mulai didatangkan ke Bogor

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan badut (Amphiprion percula) menurut Michael (2008), adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan badut (Amphiprion percula) menurut Michael (2008), adalah 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Badut (Amphiprion percula) 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi ikan badut (Amphiprion percula) menurut Michael (2008), adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Subfilum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benih dan untuk membina usaha budidaya ikan rakyat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. benih dan untuk membina usaha budidaya ikan rakyat dalam rangka 59 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Balai Benih Ikan (BBI) adalah sarana pemerintah untuk menghasilkan benih dan untuk membina usaha budidaya ikan rakyat dalam rangka peningkatan produksi perikanan.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pestisida

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pestisida 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pestisida Pestisida banyak digunakan oleh petani dengan tujuan untuk mengendalikan atau membasmi organisme pengganggu yang merugikan kegiatan petani. Menurut Lodang (1994), penggunaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura S. litura (Lepidoptera: Noctuidae) Biologi TINJAUAN PUSTAKA Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadangkadang tersusun 2 lapis), berwarna coklat kekuning-kuningan diletakkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan konsumsi yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan mas. Data

I. PENDAHULUAN. Ikan konsumsi yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan mas. Data I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan konsumsi yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan mas. Data KKP menunjukkan bahwa produksi ikan mas pada tahun 2010 mencapai 282.695 ton, dengan persentasi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Air sebagai Tempat Hidup Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan nila.

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan gurami ( Osphronemus gouramy L.) merupakan ikan air tawar yang

I. PENDAHULUAN. Ikan gurami ( Osphronemus gouramy L.) merupakan ikan air tawar yang 1 I. PENDAHULUAN Ikan gurami ( Osphronemus gouramy L.) merupakan ikan air tawar yang memiliki gizi tinggi dan nilai ekonomis penting serta banyak digemari oleh masyarakat Indonesia. Ikan gurami banyak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Ikan Nilem yang Terinfeksi Aeromonas hydrophila 4.1.1 Kerusakan Tubuh Berdasarkan hasil pengamatan, gejala klinis yang pertama kali terlihat setelah ikan diinfeksikan

Lebih terperinci

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan Kelangsugan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Nilem Pada penelitian yang dilakukan selama 30 hari pemeliharaan, terjadi kematian 2 ekor ikan dari total 225 ekor ikan yang digunakan.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga Februari 2013

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga Februari 2013 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga Februari 2013 bertempat di Laboratorium Perikanan, Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada April hingga Juni 2008. Isolasi dan identifikasi bakteri, cendawan serta parasit dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen

Lebih terperinci

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) Ikan Lele Dumbo Pada penelitian ini dihitung jumlah sel darah putih ikan lele dumbo untuk mengetahui pengaruh vitamin dalam meningkatkan

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6485.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk ikan gurami kelas induk pokok diterbitkan oleh Badan Standardisasi

Lebih terperinci

Induk ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok

Induk ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok Standar Nasional Indonesia SNI 6138:2009 Induk ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional SNI 6138:2009 Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan selama 40 hari massa pemeliharaan terhadap benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) diketahui rata-rata tingkat kelangsungan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.L Diameter Koloni jamur Colletotrichum capsici pada Medium PDA (mm) secara In-vitro

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.L Diameter Koloni jamur Colletotrichum capsici pada Medium PDA (mm) secara In-vitro IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.L Diameter Koloni jamur Colletotrichum capsici pada Medium PDA (mm) secara In-vitro Hasil pengamatan pada perlakuan berbagai konsentrasi ekstrak buah mengkudu memberikan memberikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persentase Ikan Jantan Salah satu faktor yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan proses maskulinisasi ikan nila yaitu persentase ikan jantan. Persentase jantan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Laju Pertumbuhan Mutlak Nila Gift Laju pertumbuhan rata-rata panjang dan berat mutlak ikan Nila Gift yang dipelihara selama 40 hari, dengan menggunakan tiga perlakuan yakni

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Blastocystis hominis 2.1.1 Epidemiologi Blastocystis hominis merupakan protozoa yang sering ditemukan di sampel feses manusia, baik pada pasien yang simtomatik maupun pasien

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.) BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi

Lebih terperinci

Proses Penyakit Menular

Proses Penyakit Menular Proses Penyakit Menular Bagaimana penyakit berkembang? Spektrum penyakit Penyakit Subklinis (secara klinis tidak tampak) Terinfeksi tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit; biasanya terjadi perubahan

Lebih terperinci

METODOLOGI UMUM. KAJIAN ECP BAKTERI S. agalactiae MELIPUTI

METODOLOGI UMUM. KAJIAN ECP BAKTERI S. agalactiae MELIPUTI 15 METODOLOGI UMUM Alur pelaksanaan penelitian Pelaksanaan penelitian secara skematis disajikan pada Gambar 2, yang merupakan penelitian secara laboratorium untuk menggambarkan permasalahan secara menyeluruh

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 19 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian telah dilakukan pada bulan November Desember 2013, bertempat di Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. 3.2 Alat

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Ikan Mas yang Terinfeksi Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis pada ikan mas yang diinfeksi Aeromonas hydrophila meliputi kerusakan jaringan tubuh dan perubahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif,

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aeromonas salmonicida 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi A. salmonicida A. salmonicida merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek, tidak motil, tidak membentuk spora,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen 3 TINJAUAN PUSTAKA Nematoda Entomopatogen 1. Taksonomi dan Karakter Morfologi Nematoda entomopatogen tergolong dalam famili Steinernematidae dan Heterorhabditidae termasuk dalam kelas Secernenta, super

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG TAHURA K.G.P.A.A Mangkunagoro 1 Ngargoyoso merupakan Taman Hutan Raya yang terletak di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Provinsi

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

IKAN LOU HAN (Cichlasoma sp)

IKAN LOU HAN (Cichlasoma sp) IKAN LOU HAN (Cichlasoma sp) MENGENAL IKAN LOUHAN -Nama lain : flower horn, flower louhan dan sungokong. -Tidak mengenal musim kawin. -Memiliki sifat gembira, cerdas dan cepat akrab dengan pemiliknya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas benih sebar SNI : 01-6484.2-2000 Standar Nasional Indonesia Benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas benih sebar Prakata Standar benih ikan lele dumbo kelas benih sebar diterbitkan oleh Badan Standardisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nila merah (Oreochromis sp.) merupakan salah satu jenis komoditas perikanan air tawar yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Permintaan pasar untuk ikan Nila merah sangat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perilaku Kanibalisme Ketersediaan dan kelimpahan pakan dapat mengurangi frekuensi terjadinya kanibalisme (Katavic et al. 1989 dalam Folkvord 1991). Menurut Hecht dan Appelbaum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pembenihan Ikan. 2.2 Pengaruh Suhu Terhadap Ikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pembenihan Ikan. 2.2 Pengaruh Suhu Terhadap Ikan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembenihan Ikan Pemeliharaan larva atau benih merupakan kegiatan yang paling menentukan keberhasilan suatu pembenihan ikan. Hal ini disebabkan sifat larva yang merupakan stadia

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Benih ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Benih ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas benih sebar SNI : 01-6483.2-2000 Standar Nasional Indonesia Benih ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas benih sebar DAFTAR ISI Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan... 1 3 Deskripsi... 1 4 Istilah...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada. gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang berdenyut dan

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada. gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang berdenyut dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem kardiovaskular adalah sistem organ pertama yang berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SUSUT BOBOT Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan mutu tomat. Perubahan terjadi bersamaan dengan lamanya waktu simpan dimana semakin lama tomat disimpan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Pertumbuhan Bobot, Panjang, dan Biomassa Peningkatan bobot rerata dan biomassa ikan sidat yang diberi perlakuan perendaman hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi ikan koi (Cyprinus carpio) Ikan koi mulai dikembangkan di Jepang sejak tahun1820, tepatnya di kota

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi ikan koi (Cyprinus carpio) Ikan koi mulai dikembangkan di Jepang sejak tahun1820, tepatnya di kota TINJAUAN PUSTAKA Biologi ikan koi (Cyprinus carpio) Ikan koi mulai dikembangkan di Jepang sejak tahun1820, tepatnya di kota Ojiya, Provinsi Niigata. Nenek moyangnya adalah ikan mas yang biasa disimpan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Grafik pertumbuhan benih C. macropomum yang dihasilkan selama 40 hari

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Grafik pertumbuhan benih C. macropomum yang dihasilkan selama 40 hari IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1 Pertumbuhan benih C. macropomum Grafik pertumbuhan benih C. macropomum yang dihasilkan selama 40 hari pemeliharaan disajikan pada Gambar 3. Gambar 3. Pertumbuhan C.

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Klasifikasi lele masamo SNI (2000), adalah : Kingdom : Animalia Phylum: Chordata Subphylum: Vertebrata Class : Pisces

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6484.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Halaman Prakata... 1 Pendahuluan... 1 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6138 - 1999 Standar Nasional Indonesia Induk Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Pendahuluan Halaman 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan... 1 3

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan terhadap ikan didapatkan suatu parameter pertumbuhan dan kelangsungan hidup berupa laju pertumbuhan spesifik, pertumbuhan panjang mutlak dan derajat kelangsungan

Lebih terperinci

IMUNITAS NON-SPESIFIK DAN SINTASAN LELE MASAMO (Clarias sp.) DENGAN APLIKASI PROBIOTIK, VITAMIN C DAN DASAR KOLAM BUATAN ABSTRAK

IMUNITAS NON-SPESIFIK DAN SINTASAN LELE MASAMO (Clarias sp.) DENGAN APLIKASI PROBIOTIK, VITAMIN C DAN DASAR KOLAM BUATAN ABSTRAK e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume IV No 2 Februari 2016 ISSN: 2302-3600 IMUNITAS NON-SPESIFIK DAN SINTASAN LELE MASAMO (Clarias sp.) DENGAN APLIKASI PROBIOTIK, VITAMIN C DAN DASAR

Lebih terperinci

Protozoologi I M A Y U D H A P E R W I R A

Protozoologi I M A Y U D H A P E R W I R A Protozoologi I M A Y U D H A P E R W I R A Protozoologi merupakan cabang biologi (dan mikrobiologi) yang mengkhususkan diri dalam mempelajari kehidupan dan klasifikasi Protozoa. Secara klasik, objek pengkajiannya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Perubahan histopatologi trakea Parameter yang diperiksa pada organ trakea adalah keutuhan silia, keutuhan epitel, jumlah sel goblet, dan sel radang. Pada lapisan mukosa, tampak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ginogenesis Ginogenesis pada penelitian dilakukan sebanyak delapan kali (Lampiran 3). Pengaplikasian proses ginogenesis ikan nilem pada penelitian belum berhasil dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin TINJAUAN PUSTAKA Ikan Black Ghost (Apteronotus albifrons) Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin dalam Rahman (2012), sistematika ikan black ghost adalah sebagai berikut : Kingdom

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah ikan air tawar yang banyak dibudidayakan di Indonesia dan merupakan ikan budidaya yang menjadi salah satu komoditas ekspor.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Mei - Juni 2014 di Laboratorium Basah Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Mei - Juni 2014 di Laboratorium Basah Jurusan III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada Mei - Juni 2014 di Laboratorium Basah Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. 3.2 Alat dan Bahan Alat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN. (Penyesuaian Hewan Poikilotermik Terhadap Oksigen Lingkungan)

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN. (Penyesuaian Hewan Poikilotermik Terhadap Oksigen Lingkungan) LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN (Penyesuaian Hewan Poikilotermik Terhadap Oksigen Lingkungan) Disusun oleh : Aida Fitriah (1110016100006) Musliyadi (1110016100025) Qumillailah (1110016100026) Izkar Sobhah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nilem (Osteochilus hasselti) merupakan ikan yang banyak dipelihara di daerah Jawa Barat dan di Sumatera (khususnya Sumatera Barat). Ikan nilem ini mempunyai cita

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Semen Domba Segera Setelah Koleksi Pemeriksaan karakteristik semen domba segera setelah koleksi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pemeriksaan secara makroskopis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut. : Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut. : Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyakit Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut Dwidjoseputro (1978) sebagai berikut : Divisio Subdivisio Kelas Ordo Family Genus Spesies : Mycota

Lebih terperinci

II. METODOLOGI 2.1 Metode Penelitian Karakterisasi Sifat Biokimia dan Fisiologi A. hydrophila Uji Postulat Koch

II. METODOLOGI 2.1 Metode Penelitian Karakterisasi Sifat Biokimia dan Fisiologi A. hydrophila Uji Postulat Koch II. METODOLOGI 2.1 Metode Penelitian 2.1.1 Karakterisasi Sifat Biokimia dan Fisiologi A. hydrophila Pewarnaan Gram adalah salah satu teknik pewarnaan yang penting dan luas yang digunakan untuk mengidentifikasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei Juni Lokasi penelitian di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei Juni Lokasi penelitian di III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei Juni 2014. Lokasi penelitian di Laboratorium Budidaya Perikanan, Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman srikaya memiliki bentuk pohon yang tegak dan hidup tahunan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman srikaya memiliki bentuk pohon yang tegak dan hidup tahunan. 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Srikaya (Annona squamosa L.). 2.1.1 Klasifikasi tanaman. Tanaman srikaya memiliki bentuk pohon yang tegak dan hidup tahunan. Klasifikasi tanaman buah srikaya (Radi,1997):

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Ransum Ransum penelitian disusun berdasarkan rekomendasi Leeson dan Summers (2005) dan dibagi dalam dua periode, yakni periode starter (0-18 hari) dan periode finisher (19-35

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada 17 Januari 2016 di UD.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada 17 Januari 2016 di UD. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada 17 Januari 2016 di UD. Populer yang terletak di Jalan Raya Cerme Lor no. 46, Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

3. Diantara pertnyataan berikut ini yang merupakan contoh adaptasi tingakah laku adalah...

3. Diantara pertnyataan berikut ini yang merupakan contoh adaptasi tingakah laku adalah... 1. SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 21. KELANGSUNGAN HIDUP MAKHLUK HIDUPLatihan Soal 21.1 Perhatikan gambar berikut! Image not found http://primemobile.co.id/assets/js/plugins/kcfinder/upload/image/dddd6.jpg

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan telur terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Untuk memenuhi

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan 5.2. Struktur Organisasi

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan 5.2. Struktur Organisasi V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan Ben s Fish Farm mulai berdiri pada awal tahun 1996. Ben s Fish Farm merupakan suatu usaha pembenihan larva ikan yang bergerak dalam budidaya ikan konsumsi, terutama

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, tahap pertama dilaksanakan di laboratorium bioteknologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad, tahap

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan lele dumbo adalah jenis ikan hibrida hasil persilangan antara C. batracus

I. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan lele dumbo adalah jenis ikan hibrida hasil persilangan antara C. batracus I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) 2.1.1 Klasifikasi Ikan lele dumbo adalah jenis ikan hibrida hasil persilangan antara C. batracus dengan C. fuscus dan merupakan ikan introduksi

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN. pengamatan tersebut diberikan nilai skor berdasarkan kelompok hari moulting. Nilai

V HASIL DAN PEMBAHASAN. pengamatan tersebut diberikan nilai skor berdasarkan kelompok hari moulting. Nilai V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Kecepatan moulting kepiting bakau Pengamatan moulting kepiting bakau ini dilakukan setiap 2 jam dan dinyatakan dalam satuan moulting/hari. Pengamatan dilakukan selama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan mas menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan mas menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Mas (Cyprinus carpio) 2.1.1 Klasifikasi dan morfologi Klasifikasi ikan mas menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Spesies Kingdom : Animalia Filum : Chordata Class

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.48/MEN/2012 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.48/MEN/2012 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.48/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN INDUK IKAN NILA JANTAN PANDU DAN INDUK IKAN NILA BETINA KUNTI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi 4 2.2. Morfologi Ikan Tambakan (H. temminckii) Ikan tambakan memiliki tubuh berbentuk pipih vertikal. Sirip punggung dan sirip analnya memiliki bentuk dan ukuran yang hampir serupa. Sirip ekornya sendiri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Kegiatan seleksi famili yang dilakukan telah menghasilkan dua generasi yang merupakan kombinasi pasangan induk dari sepuluh strain ikan nila, yaitu TG6, GIFT F2 dan

Lebih terperinci

Pengaruh Garam (NaCl) terhadap Pengendalian Infeksi Argulus sp. pada Ikan Mas (Cyprinus carpio)

Pengaruh Garam (NaCl) terhadap Pengendalian Infeksi Argulus sp. pada Ikan Mas (Cyprinus carpio) Pengaruh Garam (NaCl) terhadap Pengendalian Infeksi Argulus sp. pada Ikan Mas (Cyprinus carpio) The Influence of Salt (NaCl) against Argulus sp. Infection Control on Goldfish (Cyprinus carpio) Anasthazya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kerapu Macan Epinephelus fuscoguttatus Ikan kerapu tergolong dalam famili Serrenidae, tubuhnya tertutup oleh sisik-sisik kecil. Kebanyakan hidup di perairan terumbu karang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

Benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas benih sebar

Benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas benih sebar Standar Nasional Indonesia Benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas benih sebar ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci