BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya, menurut Staub, 1978; Baron & Byrne, 1994 (dalam Hudaniah, 2006). Lebih lanjut lagi William 1981 (dalam Hudaniah, 2006) membatasi perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis, dan tujuannya untuk meningkatkan well being orang lain. Sedangkan menurut David O. Sears dkk (1994), mendefinisikan bahwa tingkah laku prososial merupakan tingkah laku yang menguntungkan orang lain. Tingkah laku prososial meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperhatikan motif si penolong. Selain itu, menurut Brigham 1991 (dalam Hudaniah, 2006) bahwa perilaku prososial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain. Dengan demikian kedermawanan, menolong, menyelamatkan, dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial.

2 Adapun indikator yang menjadi perilaku prososial, menurut Staub 1978 (dalam Hudaniah, 2006), adalah: a. Tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada pihak pelaku b. Tindakan itu dilahirkan secara sukarela c. Tindakan itu menghasilkan kebaikan Berdasarkan batasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang memberikan konsekwensi positif bagi si penerima, baik dalam bentuk materi, fisik, ataupun psikologis tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pemiliknya Faktor-faktor Yang Mendasari Perilaku Prososial Menurut Staub 1978 (dalam Hudaniah, 2006) terdapat beberapa faktor yang mendasari seseorang untuk bertindak prososial, yaitu: a. Self-gain Harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut dikucilkan. b. Personal values and norms Adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian nilai-nilai, serta norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, seperti kewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik. c. Emphaty Kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Kemampuan untuk empati ini erat kaitannya dengan pengambilalihan peran. Jadi prasayarat untuk mampu melakukan empati, individu harus memiliki kemampuan untuk melakukan pengambilan peran.

3 d. Faktor Situasional dan Personal Yang Berpengaruh Pada Perilaku Prososial Ada beberapa faktor personal maupun situasional yang menentukan perilaku prososial. Menurut Piliavin (dalam Hudaniah, 2006) ada tiga faktor yang mempengaruhi kemungkinan terjadinya perilaku prososial, yaitu: 1. Karakteristik situasional (seperti situasi yang kabur atau samar samar dan jumlah orang yang melihat kejadian). 2. Karakteristik orang yang meilhat kejadian (seperti usia, gender, ras, kemampuan untuk menolong). 3. Karakterisitik korban (seperti; jenis kelamin, ras, daya tarik). Adapun Faktor-faktor Situasional Yang Berpengaruh Dalam Perilaku Prososial yaitu: 1) Kehadiran Orang Lain Penelitian yang dilakukan oleh Darley dan latane kemudian Latane dan Rodin 1969 (dalam Hudaniah, 2006) menunjukkan hasil bahwa orang yang melihat kejadian darurat akan lebih suka memberi pertolongan apabila mereka sendirian daripada bersama orang lain. Sebab dalam situasi kebersamaan, seseorang akan mengalami kekaburan tanggung jawab (dikutip oleh Libert, Paulos, & Marmor, 1977). Menurut Staub 1978 (dalam Hudaniah, 2006) justru menemukan kontradiksi dengan fenomena di atas, karena dalam penelitiannya terbukti bahwa individu yang berpasangan atau bersama orang lain lebih suka bertindak prososial dibandingkan bila individu seorang diri. Sebab dengan kehadiran orang lain akan mendorong individu untuk lebih mematuhi norma-norma sosial yang dimotivasi oleh harapan untuk mendapat pujian menurut Sampson 1976 (dalam Hudaniah, 2006). 2) Pengorbanan Yang Harus Dikeluarkan Biasanya seseorang akan membandingkan antara besarnya pengorbanan jika ia menolong dengan besarnya pengorbanan jika ia tidak menolong (misalnya, perasaan bersalah, dikucilkan oleh masyarakat, dan kemungkinan kehilangan hadiah). Jika pengorbanan untuk menolong menolong rendah, sedangkan jika pengorbanan jika tidak menolong tinggi, tindak pertolongan secara langsung akan terjadi. Jika pengorbanan untuk menolong tinggi dan pengorbanan jika tidak menolong rendah, ia mungkin akan menghindari atau meninggalkan situasi darurat itu. Jika keduanya relatif sama tinggi, kemungkinan ia akan melakukan pertolongan secara tidak langsung, atau mungkin akan melakukan interpretasi ulang secara kognitif terhadap situasi tersebut. Demikian pula

4 sebaliknya jika keduanya, baik pengorbanan untuk menolong ataupun tidak menolong diinterpretasikan sama rendahnya, ia akan menolong atau tidak tergantung norma-norma yang dipersepsi dalam situasi itu menurut Bringham 1991 (dalam Hudaniah, 2006). 3) Pengalaman dan Suasana Hati Seseorang akan lebih suka memberikan pertolongan pada orang lain, bila sebelumnya mengalami kesuksesan atau hadiah dengan menolong. Sedangkan pengalaman gagal akan mengunranginya William 1981 (dalam Hudaniah, 2006). Demikian pula orang yang mengalami suasana hati yang gembira akan lebih suka menolong. Sedangkan dalam suasanan hati yang sedih, orang akan kurang suka memberikan pertolongan (Berkowitz, 1972; William, 1981). Sebab suasana hati (mood) dapat berpengaruh pada kesiapan seseorang untuk membantu orang lain menurut Berkowitz 1972 (dalam Hudaniah, 2006). 4) Kejelasan Stimulus Semakin jelas stimulus dari situasi darurat, akan meningkatkan kesiapan calon penolong untuk bereaksi. Sebaliknya situasi darurat yang sifatnya samar-samar akan membingungkan dirinya dan membuatnya ragu-ragu, sehingga ada kemungkinan besar ia akan mengurungkan niatnya untuk memberikan pertolongan (Sampson, 1976). 5) Adanya Norma-Norma Sosial Norma sosial yang berkaitan dengan perilaku prososial adalah resiprokal (timbal balik) dan norma tanggung jawab sosial. Pada awalnya sosiolog Alvin Gouldner (dalam Sampson, 1976) yang mengemukakan bahwa ada norma timbal balik dalam perilaku prososial, artinya seseorang cenderung memberikan bantuan hanya kepada mereka yang pernah memberikan bantuan kepadanya. Impilkasi dari prinsip ini lebih jauh menetapkan bahwa orang yang menerima keuntungan dari seseorang memiliki kewajiban untuk membalasnya. Sehingga dengan ini dapat dipertahankan adanya keseimbangan dalam hubungan interpersonal. Biasanya di dalam masyarakat berlaku pula norma bahwa kita harus menolong orang yang membutuhkan pertolongan. Masing-masing orang memiliki tanggung jawab sosial untuk menolong mereka yang lemah. Tetapi Berkowitz (1972) berpendapat bahwa anggapan adanya peranan norma tanggungjawab sosial terhadap perilaku prososial adalah terlalu dilebih-lebihkan.

5 6) Hubungan Antara Calon Penolong Dengan Si Korban Makin jelas dan dekat hubungan antara calon penolong dengan calon penerima bantuan akan memberi dorongan yang cukup besar pada diri calon penolong untuk lebih cepat dan bersedia terlibat secara mendalam dalam melakukan perilaku pertolongan. Kedekatan hubungan ini dapat terjadi karena adanya pertalian keluarga, kesamaan latar belakang atas ras (Staub, 1979; Bringham, 1991). Sedangkan faktor personal yang dapat berpengaruh dalam perilaku prososial adalah karakteristik kepribadian. Salah satu alasan mengapa ada orang-orang tertentu yang mudah tergerak hatinya untuk berperilaku prososial, barangkali dapat dijelaskan antara lain dari faktor kepribadian. Penelitian yang dilakukan oleh Staub 1979 (dalam Hudaniah, 2006) kemudian oleh Wilson dan Petruska 1984 (dalam Hudaniah, 2006) menunjukkan bahwa individu yang memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi untuk melakukan perilaku prososial, biasanya memiliki karakteristik kepribadian, yakni memiliki harga diri yang tinggi, rendahnya kebutuhan akan persetujuan orang lain, rendahnya menghindari tanggung jawab, dan lokus kendali yang internal. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendasari perilaku prososial yaitu self gain, Personal values and norms, emphaty, Faktor Situasional dan Personal Yang Berpengaruh Pada Perilaku Prososial Aspek-Aspek Perilaku Prososial Carlo & Randall, (2002) menyatakan bahwa aspek-aspek perilaku prososial yang diukur pada masa remaja yaitu: a. Perilaku untuk membantu orang lain yang ditetapkan atas kehadiran orang lain Dengan kehadiran orang lain, maka akan mendorong individu untuk membantu orang lain karena dimotivasi oleh harapan agar mendapat pujian dari orang lain. b. Perilaku prososial tanpa diketahui namanya Kecenderungan untuk membantu orang lain tanpa sepengetahuan orang lain.

6 c. Perilaku prososial yang menakutkan Berkenaan dengan membantu orang lain di bawah situasi susah d. Perilaku emosional prososial Adalah perilaku yang berniat untuk menguntungkan orang lain dalam situasi emosional. Perilaku ini dapat dihubungkan dengan simpati dalam pertimbangan moral prososial, yang berorientasi terhadap persetujuan pertimbangan moral prososial sehingga diharapkan adanya keseimbangan antara sifat mementingkan kepentingan orang lain dengan perilaku emosional prososial. e. Perilaku membantu orang lain ketika diminta Yaitu perilaku mengarah pada membantu orang lain ketika diminta. f. Altruisme Berkenaan dengan membantu orang lain ketika ada atau sedikit atau tidak ada potensi langsung, tidak ada hadiah yang jelas untuk diri. Jadi aspek-aspek prososial yaitu perilaku untuk membantu orang lain yang ditetapkan atas kehadiran orang lain, perilaku prososial tanpa diketahui namanya, perilaku prososial yang menakutkan, perilaku membantu orang lain ketika diminta, altruisme.

7 2.1.4 Motivasi Untuk Berperilaku Prososial Carlo & Randall, (dalam Hudaniah, 2006) menyatakan bahwa ada beberapa motivasi untuk berperilaku prososial. Adapaun motivasi tersebut adalah: a. Empathy- Altruism Hypothesis Konsep teori ini dikemukakan oleh Fultz, Batson, Fortrnbach, dan McCarthy 1986 (dalam Hudaniah 2006) yang menyatakan bahwa perilaku prososial semata-mata dimotivasi oleh perhatian terhadap kesejahteraan orang lain. Tanpa adanya empati, orang yang melihat kejadian darurat tidak akan melakukan pertolongan, jika ia dapat mudah melepaskan diri dari tanggung jawab untuk memberikan pertolongan. b. Negative State Relief Hypothesis Pendekatan ini sering pula disebut dengan egoistic theory, sebab menurut konsep ini perilaku prososial sebenarnya dimotivasi oleh keinginan untuk mengurangi perasaan negatif yang ada dalam diri calon penolong, bukan karena ingin menyokong kesejahteraan orang lain. Jadi pertolongan hanya diberikan jika penonton mengalami emosi negatif dan tidak ada cara lain untuk menghilangkan perasaan tersebut, kecuali dengan menolong korban menurut Baron & Byrne 1994 (dalam Hudaniah, 2006). c. Emphatic Joy Hypothesis Pendekatan ini merupakan alternatif dari teori egoistik, sebab menurut model ini perilaku prososial dimotivasi oleh perasaan positif ketika seseorang menolong. Ini terjadi hanya jika seseorang belajar tentang dampak dari perilaku prososial tersebut. Sebagaimana pendapat Bandura 1977 (dalam Hudaniah, 2006) bahwa orang dapat belajar bahwa melakukan perilaku menolong dapat memberinya hadiah bagi dirinya sendiri, yaitu membuat dia merasa bahwa dirinya baik. Hasil penelitian William dan Clark mendukung model ini, sebab mereka menemukan pertolongan, perasaan positif tetap timbul setelah ia memberikan pertolongan (dikutip oleh Baron & Byrne, 1994). Jadi dapat disimpulkan bahwa motivasi untuk berperilaku prososial yaitu empathy- altruism hypothesis, negative state relief hypothesis, emphatic joy hypothesis.

8 2.1.5 Cara Meningkatkan Perilaku Prososial Ada beberapa cara untuk meningkatkan perilaku prososial. Menurut Bringham 1991 (dalam Hudaniah, 2006) setelah menyimpulkan dari beberapa penelitian yang ada, menyatakan bahwa ada beberapa cara untuk meningkatkan perilaku prososial, yaitu: 1) Melalui penayangan model perilaku prososial, misalnya melalui media komunikasi massa. Sebab banyak perilaku manusia yang terbentuk melalui belajar sosial terutama dengan cara meniru. Apalagi mengamati model prososial dapat memiliki efek premiring yang berasosiasi dengan anggapan positif tentang sifat-sifat manusia dalam diri individu pengamat. 2) Dengan menciptakan suatu superordinate identity, yaitu pandangan bahwa setiap orang adalah bagian dari keluarga manusia secara keseluruhan. Dalam beberapa penelitian ditunjukkan bahwa menciptakan superordinate identity dapat mengurangi konflik dan meningkatkan kemampuan empati diantara anggota-anggota kelompok tersebut. 3) Dengan menekankan perhatian terhadap norma-norma perilaku prososial, seperti norma-norma tentang tanggung jawab sosial. Normanorma ini dapat ditanamkan oleh orang tua, guru, ataupun melalui media massa. Demikian pula, para tokoh masyarakat dan pembuat kebijakan dan memotivasi masyarakat untuk berperilaku prososial dengan memberi penghargaan kepada mereka yang telah banyak berjasa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Penghargaan ini akan memberi pengukuhan positif bagi pelaku perilaku prososial itu sendiri maupun orang lain/masyarakat. Jadi cara untuk meningkatkan perilaku prososial yaitu melalui penayangan model perilaku prososial, dengan menciptakan suatu superordinate identity, dengan menekankan perhatian terhadap normanorma perilaku prososial.

9 2.2 Locus Of Control Pengertian Locus Of Control Locus of control mengandung arti seberapa jauh individu yakin bahwa mereka menguasai nasib mereka sendiri (Robbin 1988), sedangkan menurut Rotter (1966) locus of control adalah keyakinan seseorang terhadap sumbersumber yang mengontrol kejadian-kejadian dalam hidunya yaitu apakah kejadian-kejadian yang terjadi pada dirinya di kendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya. Dalam konsep tersebut, Rotter (1966) menjelaskan bahwa seseorang akan mengembangkan suatu harapan kemampuannya untuk mengendalikan kejadian-kejadian dalam hidunya. Lebih lanjut Rotter (dalam Jess Feist, 2013) mengatakan bahwa locus of control adalah anggapan seseorang tentang sejauh mana orang tersebut merasakan adanya hubungan antara usaha-usaha yang telah dilakukan dengan akibat yang diterima. Jika seseorang merasakan adanya hubungan tersebut dikatakan mempunyai locus of control internal, sementara orang yang mempunyai locus of control eksternal akan beranggapan bahwa akibat yang diterima berasal dari kesempatan, keberuntungan, nasib, atau campur tangan orang lain. Locus of control atau letak kendali merupakan salah satu aspek yang penting dalam karakteristik kepribadian manusia. Konsep ini diformulasikan oleh Julian Rotter (1966) bahwa locus of control adalah persepsi individu mengenai sebab utama terjadinya suatu kejadian dalam hidupnya, dapat

10 diartikan juga sebagai keyakinan individu mengenai kontrol dalam hidupnya, dimana dalam suatu kejadian individu yang satu menganggap keberhasilan yang telah dicapainya merupakan hasil usaha dan kemampuannya sendiri, sedangkan individu yang lain menganggap bahwa keberhasilan yang telah diperolehnya karena adanya keberuntungan semata. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa locus of control merupakan tindakan dimana individu menghubungkan peristiwaperistiwa dalam kehidupannya dengan tindakan atau kekuatan di luar kendalinya Macam Locus Of Control Menurut Rotter (dalam Feist, 2013) mengemukakan bahwa locus of control memiliki 2 macam yaitu: a. Locus of control internal Orang yang memiliki locus of control internal memiliki kecenderungan untuk melakukan usaha yang lebih besar dalam mengontrol lingkungannya. Seseorang yang memiliki locus of control internal dapat mengelola emosi dan stres secara efektif dengan menggunakan strategi pemecahan masalah. Sehingga orang yang memiliki locus control internal lebih berorientasi pada keberhasilan karena mereka dapat menghasilkan efek positif dan juga mereka lebih cenderung tergolong ke dalam high-achiever.

11 b. Locus of control eksternal menunjukkan bahwa sikap seorang yang percaya bahwa ia tidak memiliki kendali atas keadaan. Keyakinan ini yang menyebabkan depresi dan stres pada pandangan hidup Ciri-Ciri Locus Of Control Menurut Rotter (dalam Feist, 2013) locus of control terdiri dari dua macam internal dan eksternal, adapun ciri-cirinya sebagai berikut: a. Ciri -ciri locus of control internal sebagai berikut: 1. Merasa mampu untuk mengatur segala tindakan, perbuatan dan lingkungannya. 2. Rajin, ulet, mandiri dan tidak mudah terpengaruh begitu saja terhadap pengaruh dari luar. 3. Lebih bertanggung jawab terhadap kesalahan dan kegagalannya 4. Lebih efektif dalam menyelesaikan tugas. 5. Memiliki kepercayaan tinggi akan kemampuan dirinya. b. Ciri-ciri locus of control eksternal sebagai berikut: 1. Lebih pasrah dan bersikap comfroming dengan lingkungan. 2. Merasa bahwa perbuatannya kecil berpengaruh terhadap kejadian yang akan dihadapi, baik untuk menjalani situasi yang tidak menyenangkan maupun dalam usaha untuk mencapai tujuan. 3. Kurang bertanggung jawab terhadap kesalahan yang diperbuat. 4. Kurang percaya diri terhadap kemampuannya 5. Cenderung mengandalkan pada orang lain

12 2.2.4 Karakteristik Locus Of Control Locus of control internal diyakini mempunyai dua karakteristik pokok yaitu motivasi prestesi tinggi dan independen. Locus of control internal lebih cenderung pada pengertian prestasi dan mempunyai toleransi terhadap penundaan hadiah serta cenderung merencanakan tujuan jangka panjang, sementara locus of control eksternal kurang memberikan arti mengenai tujuan kegagalan yang terjadi bagi individu yang memiliki kecenderungan locus of control internal akan menyebabkan individu tersebut cenderung untuk melakukan evaluasi atas kinerjanya dan tidak terlalu mengarapkan keberhasilan, sedangkan individu yang memiliki kecenderungan locus of control eksternal akan menaikan harapkannya. Rotter (dalam Feist, 2013). Berdasarkan atas uraian di atas maka jelaslah bahwa locus of control adalah bagaimana individu meyakini bahwa dirinya dapat mengontrol kejadian dalam hidupnya. Individu dapat memiliki locus of control internal yang tinggi dikarenakan hasil dari perilakunya dan tindakannya sendiri, mempunyai kontrol diri yang lebih baik dan percaya bahwa usaha yang dilakukannya akan membuat dirinya berhasil, sehingga individu tersebut cenderung untuk aktif mencari informasi dan pengetahuan yang baru.

13 2.2.5 Aspek Locus of Control Pada awalnya Rotter (1966) melihat locus of control sebagai variabel perbedaan individual yang stabil yang memiliki dua dimensi (internal dan eksternal) yang mempengaruhi berbagai perilaku dalam sejumlah konteks yang berbeda. Namun Levenson (1981) mengembangkan konsep locus of control mengembangkan konsep dari Rotter dan membaginya menjadi tiga dimensi yaitu internalisasi (internality), powerful other, dan chance. Menurut Levenson (dalam Friedman, 2006) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki orientasi ke arah locus of control internal dalam hal internalisasi (internality) akan memiliki keyakinan yang kuat bahwa semua kejadian atau peristiwa yang terjadi pada dirinya ditentukan oleh usaha dan kemampuannya sendiri. Individu yang memiliki orientasi pada locus of control eksternal dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu individu yang meyakini bahwa kehidupan dan peristiwa yang mereka alami ditentukan oleh orang-orang yang lebih berkuasa yang berada di sekitarnya (powerful other), dan individu yang meyakini bahwa kehidupan dan peristiwa yang mereka alami ditentukan oleh takdir, nasib keberuntungan, serta kesempatan (chance).

14 2.3 Kajian Penelitian Yang Relevan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifatul Mahmudah (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan antara Locus Of Control dengan Perilaku Prososial pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara locus of control dengan perilaku prososial pada mahasiswa fakultas psikologi UIN Maliki Malang. Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Ervina (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan Antara Perilaku Prososial Pada Remaja Panti Asuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara Locus of control Internal dengan Perilaku Prososial pada remaja Panti Asuhan. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Rifatul Mahmudah (2010) dan penelitian yang dilakukan oleh Ervina (2010) dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dalam judul penelitian hubungan antara Locus Of Control Dengan Perilaku Prososial hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara locus of control dengan perilaku prososial. Sedangkan perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan penelitian yang dilakukan oleh Nur Yuli Yanti Hapsari (2013) terletak pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara Locus Of Control dengan Perilaku Prososial.

15 Hasil penelitian yang peneliti harapkan adalah ada hubungan yang signifikan antara locus of control dengan perilaku prososial siswa, sehingga jika locus of control naik, maka perilaku prosial juga akan naik, begitu sebaliknya jika locus of control turun maka perilaku prososial juga akan turun. 2.4 Hipotesis Hipotesis yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah: Ada hubungan yang signifikan antara Locus of control dengan perilaku prososial siswa kelas X SMA Kristen Purwodadi Tahun Ajaran 2014/2015.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya,

Lebih terperinci

c. Pengalaman dan suasana hati.

c. Pengalaman dan suasana hati. PERILAKU PROSOSIAL Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya. William (1981) membatasi perilaku prososial

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Prososial 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Menurut Kartono (2003) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu perilaku prososial yang menguntungkan dimana terdapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Brigham (dalam Dayakisni, 2009) menerangkan bahwa perilaku prososial merupakan perilaku untuk menyokong kesejahteraan orang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada dimasyarakat dan biasanya dituntut untuk dilakukan (Staub, dalam Baron

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada dimasyarakat dan biasanya dituntut untuk dilakukan (Staub, dalam Baron BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Definisi Perilaku Prososial Perilaku prososial memiliki arti sebagai sosial positif atau mempunyai konsekuensi positif. Sosial positif ini didasarkan atas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku sebagai sesuatu yang dilakukan oleh setiap individu dan sesuatu yang bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Konstruk yang dideskripsikan sebagai Locus of control pertama-tama

BAB II KAJIAN TEORI. Konstruk yang dideskripsikan sebagai Locus of control pertama-tama BAB II KAJIAN TEORI A. Locus Of Control 1. Pengertian Locus Of Control Konstruk yang dideskripsikan sebagai Locus of control pertama-tama muncul dengan terpublikasinya sebuah monograf oleh Rotter. Dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di mana dapat berkembang dan diperkembangkan (Giri Wiloso dkk, 2012). Sebagai makhluk sosial, manusia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitan yang penulis gunakan adalah penelitian korelasional. Menurut Sugiyono (2009), penelitian korelasional adalah penelitian yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan tolong menolong. Memberikan pertolongan atau menolong sesama termasuk

BAB I PENDAHULUAN. dan tolong menolong. Memberikan pertolongan atau menolong sesama termasuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Dalam berinteraksi dengan orang lain, manusia saling bekerja sama dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan penelitian 1.3 Kerangka Teori

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan penelitian 1.3 Kerangka Teori BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menolong merupakan perbuatan yang mulia, sejauh pertolongan itu dibutuhkan sehingga bermanfaat. Namun terkadang pertolongan justru tidak datang saat dibutuhkan. Banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Sebagai makhluk sosial manusia tumbuh bersama-sama dan mengadakan

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Sebagai makhluk sosial manusia tumbuh bersama-sama dan mengadakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia disebut juga sebagai makhluk holistik, yaitu bisa berfungsi sebagai makhluk individual, makhluk sosial, dan juga makhluk religi. Manusia sebagai makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan pepatah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Nilai kesetiakawanan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan pepatah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Nilai kesetiakawanan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial, dimana manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Sejak jaman dahulu manusia hidup bergotongroyong, sesuai dengan pepatah

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR I.1. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR I.1. Latar Belakang BAB I PENGANTAR Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial memiliki arti bahwa manusia memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang

Lebih terperinci

TINGKAH LAKU PROSOSIAL

TINGKAH LAKU PROSOSIAL TINGKAH LAKU PROSOSIAL Modul ke: Fakultas Psikologi Dasar tingkah pro-sosial; Tahap-tahap perilaku menolong; Respons terhadap keadaan darurat; Pengaruh internal dan eksternal dalam menolong; Komitmen jangka

Lebih terperinci

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK Murhima A. Kau Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo INTISARI Proses perkembangan perilaku prososial menurut sudut pandang Social Learning Theory

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial pada Remaja 1. Pengertian Perilaku Prososial pada Remaja Sears dkk. (1994: 47), berpendapat perilaku prososial adalah tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah kemampuan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konsep locus of control pertama kali dirumuskan oleh Rotter berdasarkan teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konsep locus of control pertama kali dirumuskan oleh Rotter berdasarkan teori 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Locus Of Control 1. Pengertian Locus of Control Konsep locus of control pertama kali dirumuskan oleh Rotter berdasarkan teori belajar sosial (Effi, 1993). Di dalam teori belajar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. oleh Kartini Kartono (1981) mengarikan perilaku (behavior) adalah respon

BAB II KAJIAN PUSTAKA. oleh Kartini Kartono (1981) mengarikan perilaku (behavior) adalah respon 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Chaplin dalam bukunya Dictionary of Psychology yang diterjemahkan oleh Kartini Kartono (1981) mengarikan perilaku (behavior)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan berketuhanan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan berketuhanan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan berketuhanan. Sebagai makhluk sosial, individu dalam kehidupan sehari-hari melakukan interaksi dengan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sekelompok individu (Eisenberg, 1989). Hudaniah, 2006), menekankan bahwa perilaku prososial mencakup tindakantindakan

BAB II LANDASAN TEORI. sekelompok individu (Eisenberg, 1989). Hudaniah, 2006), menekankan bahwa perilaku prososial mencakup tindakantindakan BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Perilaku Prososial 2.1.1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial didefinisikan sebagai tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk membantu atau memberi keuntungan pada

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility),

BAB II LANDASAN TEORI. Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility), BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Locus Of Control 2.1.1. Pengertian Locus Of Control Konsep tentang Locus of control (pusat kendali) pertama kali dikemukakan oleh Rotter (1966), seorang ahli teori pembelajaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Achievement 1. Definisi Identity Achievement Identitas merupakan prinsip kesatuan yang membedakan diri seseorang dengan orang lain. Individu harus memutuskan siapakah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Orientasi Kancah dan Persiapan Pengumpulan Data

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Orientasi Kancah dan Persiapan Pengumpulan Data BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Orientasi Kancah dan Persiapan Pengumpulan Data Sebelum pengumpulan data dilakukan, tahap awal yang harus dilakukan adalah menentukan tempat dimana penelitian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional

BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Altruis 2.1.1 Pengertian Altruis adalah suatu bentuk perilaku menolong berupa kepedulian untuk menolong orang lain dengan sukarela tanpa mengharapkan adanya imbalan atau balasan.

Lebih terperinci

Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II

Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II PERKEMBANGAN MORAL PADA REMAJA oleh: Triana Noor Edwina D.S, M.Si Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Konsep tentang Locus of control (pusat kendali) pertama kali

BAB II LANDASAN TEORI. Konsep tentang Locus of control (pusat kendali) pertama kali BAB II LANDASAN TEORI A. Internal Locus Of Control 1. Definisi Internal Locus of Control Locus of control adalah tingkat di mana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri (Robbins

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejak masih zaman Yunani kuno. Para filsuf klasik berpandangan bahwa bagian

BAB I PENDAHULUAN. sejak masih zaman Yunani kuno. Para filsuf klasik berpandangan bahwa bagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pandangan bahwa manusia sebagai individu merupakan satu kesatuan dari aspek fisik atau jasmani dan psikis atau rohani atau jiwa yang tidak dapat dipisahkan, sesungguhnya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Definisi Perilaku Prososial Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang ditujukan untuk memberikan keuntungan pada satu atau banyak

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya di motivasi oleh suatu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya di motivasi oleh suatu BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan (goal oriented) dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya di motivasi oleh

Lebih terperinci

UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU PRO-SOSIAL MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN METODE SOSIODRAMA. Arni Murnita SMK Negeri 1 Batang, Jawa Tengah

UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU PRO-SOSIAL MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN METODE SOSIODRAMA. Arni Murnita SMK Negeri 1 Batang, Jawa Tengah Jurnal Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling Vol. 2, No. 1, Januari 2016 ISSN 2442-9775 UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU PRO-SOSIAL MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN METODE SOSIODRAMA Arni Murnita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan jaman yang semakin maju menuntut masyarakat untuk semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah satu tujuan seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekaligus menggiring manusia memasuki era globalisasi ini, agaknya memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekaligus menggiring manusia memasuki era globalisasi ini, agaknya memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi yang pesat dalam beberapa dasawarsa terakhir yang sekaligus menggiring manusia memasuki era globalisasi ini, agaknya memiliki kontribusi yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial menurut Asih dan Pratiwi (2010) merupakan salah suatu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diupayakan dan mewujudkan potensinya menjadi aktual dan terwujud dalam

BAB I PENDAHULUAN. diupayakan dan mewujudkan potensinya menjadi aktual dan terwujud dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu cenderung mengharapkan dirinya berkembang dan menjadi lebih baik. Perkembangan potensi seseorang tidak terwujud begitu saja apabila tidak diupayakan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI Disusun Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam menjawab pertanyaan penelitian pada Bab I, berikut ini dijelaskan beberapa teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam menjawab pertanyaan penelitian pada Bab I, berikut ini dijelaskan beberapa teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam menjawab pertanyaan penelitian pada Bab I, berikut ini dijelaskan beberapa teori yang terkait, dinamika antar variabel dan hipotesis penelitian. Teori- teori yang digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Efikasi Diri A. Efikasi Diri Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam teori sosial kognitif atau efikasi diri sebagai kepercayaan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, ia membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Pada masa bayi ketika

Lebih terperinci

SKRIPSI. diajukan dalam rangka menyelesaikan studi Strata 1 untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan pada Universitas Negeri Semarang

SKRIPSI. diajukan dalam rangka menyelesaikan studi Strata 1 untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan pada Universitas Negeri Semarang PENGARUH LAYANAN PENGUASAAN KONTEN DENGAN TEKNIK PSIKODRAMA TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL SISWA KELAS VII SMP NEGERI 2 WARUREJA KABUPATEN TEGAL TAHUN AJARAN 2014/2015 SKRIPSI diajukan dalam rangka menyelesaikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Teori

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Teori BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Perilaku Prososial a. Pengertian Prososial Perilaku prososial merupakan perilaku yang memiliki tujuan positif bagi orang lain, berupa manfaat atau keuntungan untuk

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. memberikan keuntungan bagi orang lain daripada terhadap diri sendiri

BAB II LANDASAN TEORI. memberikan keuntungan bagi orang lain daripada terhadap diri sendiri BAB II LANDASAN TEORI II.A. Perilaku Menolong II.A.1. Definisi Perilaku Menolong Perilaku menolong (helping behaviour) adalah setiap tindakan yang lebih memberikan keuntungan bagi orang lain daripada terhadap

Lebih terperinci

KONSEP DIRI DAN KECENDERUNGAN PERILAKU PROSOSIAL ATAS KEJADIAN KECELAKAAN DI JALAN RAYA PADA MAHASISW UMSIDA

KONSEP DIRI DAN KECENDERUNGAN PERILAKU PROSOSIAL ATAS KEJADIAN KECELAKAAN DI JALAN RAYA PADA MAHASISW UMSIDA KONSEP DIRI DAN KECENDERUNGAN PERILAKU PROSOSIAL ATAS KEJADIAN KECELAKAAN DI JALAN RAYA PADA MAHASISW UMSIDA Danang Kurniawan, Nur Habibah Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Prokrastinasi Akademik 2.1.1 Pengertian Prokrastinasi Akademik Lay (1992) mendefisikan prokrastinasi akademik merupakan penundaan tugas yang seharunya bisa dikerjakan sekarang

Lebih terperinci

PENANAMAN NILAI ECO (EMPATHY AND COOPERATION) DALAM MENUMBUHKAN PERILAKU PROSOSIAL PADA DIRI SISWA

PENANAMAN NILAI ECO (EMPATHY AND COOPERATION) DALAM MENUMBUHKAN PERILAKU PROSOSIAL PADA DIRI SISWA PENANAMAN NILAI ECO (EMPATHY AND COOPERATION) DALAM MENUMBUHKAN PERILAKU PROSOSIAL PADA DIRI SISWA Rosalia Dewi Nawantara Universitas Nusantara PGRI Kediri rosaliadewi11@gmail.com ABSTRAK Perilaku prososial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial, dimana manusia tidak bisa hidup sendiri. Dalam hidup berdampingan dengan orang lain, setiap orang dapat mengalami konflik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan berketuhanan. Sebagai makhluk sosial, individu dalam kehidupan sehari-hari melakukan interaksi dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi perilaku tolong - menolong,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi perilaku tolong - menolong, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi perilaku tolong - menolong, sangat ironis jika realitas yang terjadi menunjukan hal yang sebaliknya, perilaku individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa adanya orang lain di sekitarnya. Seiring berjalannya waktu, kepedulian orang terhadap orang lain maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dorongan ingin tahu tentang segala sesuatu yang ada dalam dunia realitas di

BAB I PENDAHULUAN. dorongan ingin tahu tentang segala sesuatu yang ada dalam dunia realitas di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu hal penting yang terjadi dalam diri anak adalah dimilikinya dorongan ingin tahu tentang segala sesuatu yang ada dalam dunia realitas di sekitarnya. Anak ingin

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Pengertian Kecenderungan Pembelian Impulsif. impulsif sebagai a consumers tendency to buy spontaneusly, immediately and

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Pengertian Kecenderungan Pembelian Impulsif. impulsif sebagai a consumers tendency to buy spontaneusly, immediately and BAB II LANDASAN TEORI A. KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF 1. Pengertian Kecenderungan Pembelian Impulsif Rook dan Fisher (dalam Semuel, 2007), mendefinisikan sifat pembelian impulsif sebagai a consumers

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sendiri tanpa mengharapkan sesuatu dari si penolong itu sendiri. Perilaku

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sendiri tanpa mengharapkan sesuatu dari si penolong itu sendiri. Perilaku BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Sears, Jhonathan, Anne (1994), berpendapat perilaku prososial adalah tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. penerima sedemikian rupa, sehingga orang yang menolong akan merasa bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. penerima sedemikian rupa, sehingga orang yang menolong akan merasa bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Setiap manusia diciptakan Allah SWT untuk saling mengasihi, mencintai, dan menolong sesama. perilaku prososial dimaksudkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN RUHANI DAN TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL PADA SANTRI

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN RUHANI DAN TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL PADA SANTRI HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN RUHANI DAN TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL PADA SANTRI SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh :

Lebih terperinci

PENGARUH KEMATANGAN EMOSI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL REMAJA PENGGUNA GADGET DI SMP N 2 YOGYAKARTA

PENGARUH KEMATANGAN EMOSI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL REMAJA PENGGUNA GADGET DI SMP N 2 YOGYAKARTA PENGARUH KEMATANGAN EMOSI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL REMAJA PENGGUNA GADGET DI SMP N 2 YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian

Lebih terperinci

NURUL ILMI FAJRIN_ Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

NURUL ILMI FAJRIN_ Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang HUBUNGAN ANTARA KEMANDIRIAN DENGAN INTENSI BERWIRAUSAHA PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG NURUL ILMI FAJRIN_11410126 Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekolah inklusi merupakan salah bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dan sebagai upaya pensosialisasian ABK kepada masyarakat. Crockett

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605). BAB II KAJIAN TEORI A. Teori Kontrol Diri 1. Pengertian Kontrol Diri Kontrol diri adalah kemampuan untuk menekan atau untuk mencegah tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses hidup, manusia selalu membutuhkan orang lain mulai dari lingkungan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses hidup, manusia selalu membutuhkan orang lain mulai dari lingkungan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai arti bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa adanya kehadiran orang lain dilingkungan sekitarnya. Dalam proses hidup,

Lebih terperinci

Skala Sikap Prososial

Skala Sikap Prososial L A M P I R A N 1 LAMPIRAN 1 Skala Sikap Prososial Petunjuk :Berikut ini terdapat skala psikologi yang berisi beberapa pernyataan. Nama : Jenis Kelamin : Umur: Anda diminta untukmemahami baik-baik setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain. Makhluk sosial

Lebih terperinci

Salah satu perkembangan yang penting dalam kehidupan manusia adalah. masa perkembangan anak, yang merupakan masa pembentukan dan peletakan

Salah satu perkembangan yang penting dalam kehidupan manusia adalah. masa perkembangan anak, yang merupakan masa pembentukan dan peletakan BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu perkembangan yang penting dalam kehidupan manusia adalah masa perkembangan anak, yang merupakan masa pembentukan dan peletakan fondasi

Lebih terperinci

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan berketuhanan. Sebagai makhluk sosial, individu dalam kehidupan sehari-hari melakukan interaksi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Remaja pada dasarnya dalam proses perkembangannya membutuhkan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Remaja juga mulai belajar serta mengenal pola-pola sosial salah satunya adalah perilaku

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) Icek Ajzen dan Martin Fishbein bergabung untuk mengeksplorasi cara untuk memprediksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk. dasarnya ia memiliki ketergantungan. Inilah yang kemudian menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk. dasarnya ia memiliki ketergantungan. Inilah yang kemudian menjadikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk berdampingan dengan orang lain dan tidak bisa hidup secara individual. Manusia tidak akan mampu hidup sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang dikaruniai banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang dikaruniai banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang dikaruniai banyak kelebihan dibandingkan makhluk lain. Kelebihan-kelebihan yang dimiliki tersebut antara lain

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Suryana (2008:2), mendefinisikan bahwa kewirausahaan adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Suryana (2008:2), mendefinisikan bahwa kewirausahaan adalah BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Niat Berwirausaha Suryana (2008:2), mendefinisikan bahwa kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar,

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

SATUAN ACARA PERKULIAHAN Orientasi perkuliahan, definisi dan ruang lingkup psikologi sosial Mahasiswa mengerti tujuan, arah, dan target mata kuliah, serta memahami pengertian dan ruang lingkup psikologi sosial. Ke-1 1. Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) adalah lembaga pendidikan swasta yang mempunyai visi yaitu menjadi universitas yang unggul dalam pengembangan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dijadikan sebagai sampel penelitian. sampel penelitian ini, dalam salah satu aspek prososial yaitu sharing,

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dijadikan sebagai sampel penelitian. sampel penelitian ini, dalam salah satu aspek prososial yaitu sharing, BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Subjek Subjek Penelitian ini adalah seluruh mahasiswa/i UIN Sunan Ampel Surabaya. Jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak 50

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berhubungan dengan orang lain. Stuart dan Sundeen (dalam Keliat,1992).

BAB II LANDASAN TEORI. berhubungan dengan orang lain. Stuart dan Sundeen (dalam Keliat,1992). BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Diri 2.1.1 Pengertian Konsep Diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan

Lebih terperinci

PERILAKU PROSOSIAL PADA MAHASISWA. (Prosocial Behavior Among Student) Eva Nuari Lensus. Abstrak

PERILAKU PROSOSIAL PADA MAHASISWA. (Prosocial Behavior Among Student) Eva Nuari Lensus. Abstrak PERILAKU PROSOSIAL PADA MAHASISWA (Prosocial Behavior Among Student) Eva Nuari Lensus Fakultas Psikologi Universitas Semarang Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris perilaku prososial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain baik orang terdekat seperti keluarga ataupun orang yang tidak dikenal, seperti

BAB I PENDAHULUAN. lain baik orang terdekat seperti keluarga ataupun orang yang tidak dikenal, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain di sekitarnya. Dalam kehidupannya, manusia pasti membutuhkan bantuan orang lain baik

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan adaptasi (Lazarus, 1969). Penyesuaian diri merupakan proses

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan adaptasi (Lazarus, 1969). Penyesuaian diri merupakan proses BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENYESUAIAN DIRI 1. Pengertian Penyesuaian Diri Penyesuaian diri merupakan istilah yang digunakan para psikolog, dimana sebelumnya konsep ini merupakan konsep biologis yang disebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan. maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan. maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al- 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemaafan 1. Definisi Pemaafan Secara terminologis, kata dasar pemaafan adalah maaf dan kata maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al- Qur an terulang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang semakin pesatpada saatini dapat memicu

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang semakin pesatpada saatini dapat memicu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan dunia usaha yang semakin pesatpada saatini dapat memicu persaingan yang semakin meningkat diantara pelaku bisnis. Berbagai macamusaha untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Locus Of Control. (Cvetanovsky et al, 1984; Ghufron et al, 2011). Rotter (dalam Ghufron et al 2011)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Locus Of Control. (Cvetanovsky et al, 1984; Ghufron et al, 2011). Rotter (dalam Ghufron et al 2011) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Locus Of Control 1. Pengertian Locus of Control Locus of control merupakan dimensi kepribadian yang menjelaskan bahwa individu berperilaku dipengaruhi ekspektasi mengenai dirinya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Konsumtif 2.1.1 Definisi Perilaku Konsumtif Menurut Fromm (1995) perilaku konsumtif merupakan perilaku yang ditandai oleh adanya kehidupan berlebihan dan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan dengan semangat yang menggebu. Awalnya mereka menyebut

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan dengan semangat yang menggebu. Awalnya mereka menyebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia bukan hanya ingin sekedar memperbaiki kelemahan mereka. Mereka menginginkan kehidupan yang bermakna, bukan kegelisahan sampai ajal menjemput. Beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu komponen yang dapat membantu perkembangan diri individu adalah pendidikan. Melalui pendidikan individu diharapkan bisa mengarahkan dirinya dalam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Self Efficacy Konsep mengenai self efficacy ini pada dasarnya melibatkan banyak kemampuan yang terdiri dari aspek kegiatan sosial dan kemampuan untuk bertingkah laku.

Lebih terperinci

Skripsi. disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan. oleh. Maftuhatun Ni mah

Skripsi. disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan. oleh. Maftuhatun Ni mah HUBUNGAN ANTARA KEAKTIFAN MENGIKUTI KEGIATAN EKSTRAKURIKULER KEPRAMUKAAN DENGAN TINGKAT PERILAKU PROSOSIAL SISWA KELAS VII DI SMP NEGERI 2 RANDUDONGKAL TAHUN PELAJARAN 2016/2017 Skripsi disusun sebagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA LOCUS OF CONTROL DENGAN PERILAKU PROSOSIAL SISWA KELAS XI IPS SMA KRISTEN PURWODADI TAHUN AJARAN 2014/2015 SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA LOCUS OF CONTROL DENGAN PERILAKU PROSOSIAL SISWA KELAS XI IPS SMA KRISTEN PURWODADI TAHUN AJARAN 2014/2015 SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA LOCUS OF CONTROL DENGAN PERILAKU PROSOSIAL SISWA KELAS XI IPS SMA KRISTEN PURWODADI TAHUN AJARAN 2014/2015 SKRIPSI Diajukan kepada Program Studi Bimbingan dan Konseling untuk memenuhi sebagian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memberikan pertolongan yang justru sangat dibutuhkan.

BAB 1 PENDAHULUAN. memberikan pertolongan yang justru sangat dibutuhkan. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tingkah laku menolong sering muncul dalam masyarakat, dimana perilaku ini diberikan guna meringankan penderitaan orang lain, misalnya menolong orang lain yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN INTENSI ALTRUISME PADA SISWA SMA N 1 TAHUNAN JEPARA

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN INTENSI ALTRUISME PADA SISWA SMA N 1 TAHUNAN JEPARA 1 HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN INTENSI ALTRUISME PADA SISWA SMA N 1 TAHUNAN JEPARA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat S-1 Disusun oleh : AHMAD ARIF F 100 030

Lebih terperinci

TERAPI "BER-BI" UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU PROSOSIAL PADA SISWA TK DESA SEWULAN, MADIUN TAHUN 2014

TERAPI BER-BI UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU PROSOSIAL PADA SISWA TK DESA SEWULAN, MADIUN TAHUN 2014 TERAPI "BER-BI" UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU PROSOSIAL PADA SISWA TK DESA SEWULAN, MADIUN TAHUN 2014 1) 2) 3) 4) Hagus Muryanto, Asroful Kadafi, Rischa Pramana Trisnani, Vivi Yuniar 1. Fakultas Ilmu Pendidikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyita waktu sehingga banyak individu yang bersikap. sikap egoisme, dan ini menjadi ciri dari manusia modern, dimana individu

BAB I PENDAHULUAN. yang menyita waktu sehingga banyak individu yang bersikap. sikap egoisme, dan ini menjadi ciri dari manusia modern, dimana individu 18 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi ini, manusia mulai dihadapkan pada kesibukankesibukan yang menyita waktu sehingga banyak individu yang bersikap individualis. Individualisme merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bencana dengan tingkat yang tinggi (HPLI, 2014).Bencana yang dimaksud adalah bencana alam, yaitu segala jenis bencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. forum diskusi ilmiah, mempraktikkan ilmu pengetahuan di lapangan, dan. juga dibutuhkan pula oleh orang lain (Zuhri, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. forum diskusi ilmiah, mempraktikkan ilmu pengetahuan di lapangan, dan. juga dibutuhkan pula oleh orang lain (Zuhri, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahasiswa merupakan salah satu kaum intelektual yang menuntut ilmu di perguruan tinggi. Di perguruan tinggi, mahasiswa menjalankan tugastugas akademiknya dalam perkuliahan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpengaruh terhadap kemajuan perusahaan adalah karyawan yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpengaruh terhadap kemajuan perusahaan adalah karyawan yang berkualitas. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi seperti sekarang ini satu hal yang dijadikan tolak ukur keberhasilan perusahaan adalah kualitas manusia dalam bekerja, hal ini didukung oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi seorang anak dalam mempelajari berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar inilah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan terbesar yang dihadapi siswa adalah masalah yang berkaitan dengan prestasi, baik akademis maupun non akademis. Hasil diskusi kelompok terarah yang

Lebih terperinci

adalah proses diterimanya rangsang (objek, kualitas, hubungan antar gejala, maupun

adalah proses diterimanya rangsang (objek, kualitas, hubungan antar gejala, maupun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Persepsi menurut Irwanto, et al (dalam Rangkuti & Anggaraeni, 2005), adalah proses diterimanya rangsang (objek, kualitas, hubungan antar gejala, maupun peristiwa) sampai

Lebih terperinci