BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Definisi Perilaku Prososial Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang ditujukan untuk memberikan keuntungan pada satu atau banyak orang. Eisenberg dan Mussen (Dayakisni & Hudaniah, 2009) berpendapat bahwa perilaku prososial merujuk kepada tindakan sukarela yang bertujuan untuk menolong ataupun memberi kepada individu lainnya. Schoroeder dkk (Rahman, 2013) menyatakan bahwa perilaku prososial terbagi atas tiga sub kategori yaitu helping, altruism, dan cooperation. Helping dimaknai sebagai suatu tindakan yang memiliki konsekuensi memberikan keuntungan atau meningkatkan kualitas hidup orang lain. Altruism dimaknai sebagai jenis perilaku menolong dalam hal si penolong memberikan bantuan pada orang lain tanpa mengharapkan keuntungan. Cooperation dimaknai sebagai suatu hubungan antara dua orang atau lebih yang saling menguntungkan secara positif karena tujuan tertentu. Baron dan Byrne (2003) berpendapat bahwa perilaku prososial adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut. Sedangkan menurut Sears dkk (2004), perilaku prososial meliputi segala bentuk 8

2 9 tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan motif-motif si penolong. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial adalah perilaku yang merujuk kepada tindakan sukarela yang bertujuan untuk menolong ataupun memberi kepada individu lainnya. 2. Aspek-Aspek Perilaku Prososial Menurut Eisenberg dan Mussen (Dayakisni & Hudaniah, 2009), aspek-aspek perilaku prososial yaitu: a. Berbagi (sharing) Memberikan kesempatan kepada orang lain untuk dapat merasakan sesuatu yang dimilikinya, termasuk perhatian kepada orang lain untuk mencurahkan isi hatinya. b. Kerjasama (cooperative) Melakukan kegiatan bersama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama, termasuk mempertimbangkan dan menghargai pendapat orang lain dalam berdiskusi. c. Meyumbang (donating) Perbuatan yang memberikan secara materil kepada seseorang atau kelompok. d. Menolong (helping) Membantu meringkan beban orang lain dengan melakukan kegiatan fisik bagi orang yang ditolong. e. Kejujuran (honesty) Tindakan dan ucapan yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

3 10 f. Mempertimbangkan Kesejahteraan Orang Lain Tindakan untuk melakukan suatu hal untuk kepentingan pribadi yang berhubungan dengan orang lain, serta mempunyai kepedulian terhadap orang lain dengan mengindahkan dan menghiraukan masalah orang lain. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek perilaku prososial adalah berbagi (sharing), kerjasama (cooperative), menyumbang (donating), menolong (helping), kejujuran (honesty) dan mempertimbangkan kesejahteraan orang lain. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial: a. Faktor Situasional 1) Bystander Menurut Darley dan Latane (Sarwono & Meinarno, 2009), bystander atau orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian mempunyai peran besar dalam mempengaruhi seseorang saat memutuskan antara menolong atau tidak ketika dihadapkan pada keadaan darurat. 2) Daya Tarik Sejauh mana seseorang mengevaluasi korban secara positif memiliki daya tarik akan mempengaruhi kesediaan orang untuk memberikan bantuan. Carlk dkk (Sarwono & Meinarno, 2009) berpendapat bahwa apa pun faktor yang dapat meningkatkan ketertarikan bystander kepada korban, akan meningkatkan kemungkinan terjadinya respons untuk menolong. Sedangkan

4 11 menurut Krebs (Sarwono & Meinarno, 2009), seseorang cenderung akan menolong orang yang dalam beberapa hal serupa dengan dirinya. Oleh karena itu, pada umumnya orang akan menolong anggota kelompoknya terlebih dahulu (in-group), kemudian menolong orang lain (out-group). Hal itu dikarenakan sebagai suatu kelompok tentunya ada beberapa kesamaan dalam diri mereka yang mengikat. 3) Atribusi terhadap Korban Menurut Weiner (Sarwono & Meinarno, 2009), seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang lain bila ia mengasumsikan bahwa ketidakberuntungan korban adalah di luar kendali korban. Dengan demikian, pertolongan tidak akan diberikan bila bystander mengasumsikan kejadian yang kurang menguntungkan pada korban adalah akibat kesalahan korban sendiri (atribusi internal). 4) Model Menurut Sarwono (Sarwono & Meinarno, 2009), adanya model yang melakukan tingkah laku menolong dapat mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan pada orang lain. 5) Desakan Waktu Sarwono (Sarwono & Meinarno, 2009) berpendapat bahwa orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung tidak menolong, sedangkan orang yang punya waktu luang lebih besar kemungkinannya untuk memberikan pertolongan kepada yang memerlukannya.

5 12 6) Sifat Kebutuhan Korban Menurut Deaux dkk (Sarwono & Meinarno, 2009), kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejelasan bahwa korban benar-benar membutuhkan pertolongan (clarity of need), korban memang layak mendapatkan bantuan yang dibutuhkan (legitimate of need) dan bukan tanggung jawab korban sehingga ia memerlukan bantuan dari orang lain (atribusi eksternal). b. Faktor dari dalam Diri 1) Suasana Hati Menurut Baron dkk (Sarwono & Meinarno, 2009), emosi seseorang dapat mempengaruhi kecenderungannya untuk menolong. Emosi positif secara umum meningkatkan tingkah laku positif. Namun jika situasinya tidak jelas (ambigu), maka orang yang sedang bahagia cenderung untuk mengasumsikan bahwa tidak ada keadaan darurat sehingga tidak menolong. Pada emosi negatif, seseorang yang sedih mempunyai kemungkinan menolong yang lebih kecil. Namun jika dengan menolong dapat membuat suasana hati lebih baik, maka dia akan memberikan pertolongan. 2) Sifat Menurut Karremans dkk (Sarwono & Meinarno, 2009), orang yang mempunyai sifat pemaaf (forgiveness), ia akan mempunyai kecenderungan mudah menolong. Sedangkan menurut White dan Gerstein (Sarwono & Meinarno, 2009), orang yang mempunyai pemantauan diri (self monitoring)

6 13 yang tinggi juga cenderung lebih menolong karena dengan menjadi penolong, ia akan memperoleh penghargaan sosial yang lebih tinggi. Beberapa karakteristik lainnya yang mendukung tingkah laku menolong adalah kebutuhan akan persetujuan (need for approval). 3) Jenis Kelamin Deaux dkk (Sarwono & Meinarno, 2009) berpendapat bahwa peran gender terhadap kecenderungan seseorang untuk menolong sangat bergantung pada situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan. Laki-laki cenderung lebih mau terlibat dalam aktivitas menolong pada situasi darurat yang membahayakan. Hal ini terkait dengan peran tradisional laki-laki, yaitu lakilaki dipandang lebih kuat dan lebih mempunyai keterampilan untuk melindungi diri. Sementara perempuan lebih memberikan pertolongan pada situasi yang bersifat memberi dukungan emosi, merawat dan mengasuh. 4) Tempat Tinggal Menurut Deaux dkk (Sarwono & Meinarno, 2009), orang yang tinggal di daerah pedesaan cenderung lebih prososial dari pada orang yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini dapat dijelaskan melalui urban-overload hypotesis, yaitu orang-orang yang tinggal diperkotaan terlalu banyak mendapatkan stimulasi dari lingkungan. Oleh karena itu, orang yang tinggal di daerah perkotaan harus selektif dalam menerima paparan informasi agar dapat tetap menjalankan peran-perannya dengan baik. Di perkotaan, orang-orang yang sibuk sering tidak peduli dengan kesulitan orang lain karena ia sudah overload dengan beban tugasnya sehari-hari.

7 14 5) Pola Asuh Menurut Bern (Sarwono & Meinarno, 2009), tingkah laku sosial sebagai bentuk tingkah laku yang menguntungkan orang lain tidak terlepas dari peranan pola asuh di dalam keluarga. Pola asuh yang bersifat demokratis secara signifikan memfasilitasi adanya kecenderungan anak untuk tumbuh menjadi seorang yang mau menolong. Selain itu, Mashoedi (Sarwono & Meinarno, 2009) berpendapat bahwa pola asuh orang tua yang demokratis juga turut mendukung terbentuknya internal locus of control yang merupakan salah satu sifat dari kepribadian altruistik. Baron dkk (Sarwono & Meinarno, 2009) mengemukakan bahwa orang yang suka menolong memiliki locus of control internal lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak suka menolong. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, yaitu faktor situasional dan faktor dari dalam diri. Faktor situasional meliputi bystander, daya tarik, atribusi terhadap korban, model, desakan waktu dan sifat kebutuhan korban. Sedangkan faktor dari dalam diri meliputi suasana hati, sifat, jenis kelamin, tempat tinggal dan pola asuh. B. Regulasi Emosi 1. Definisi Regulasi Emosi Regulasi emosi merupakan cara individu mempengaruhi emosinya, kapan dan bagaimana emosi tersebut dialami serta diekspresikan. Regulasi emosi dapat terjadi secara otomatis atau terkontrol dan disadari atau tidak disadari. Dengan

8 15 demikian, regulasi emosi menyebabkan emosi seseorang meningkat atau menurun yang melibatkan emosi positif (bahagia) dan negatif (marah dan sedih) (Gross, 2007). Frijda (1986) berpendapat bahwa regulasi emosi adalah cara individu untuk menentukan emosi apa yang dirasakan, kapan emosi tersebut dirasakan, dan bagaimana mengekspresikannya. Garnefski dan Kraaij (2007) mengatakan bahwa regulasi emosi secara kognitif adalah suatu cara kognitif untuk mengelola informasi yang dapat menimbulkan suatu kondisi emosi tertentu, dan merupakan bagian kognitif dari coping yang dikarakteristikkan dengan self blame, acceptance, rumination atau focus on thought, positive recofusing, recofus on planning, positive reappraisal, putting into perspective, catasrophizing dan blamming others. Menurut Thompson (Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie 2000), regulasi emosi terdiri atas proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi dan membatasi respon emosi khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang efektif meliputi kemampuan secara fleksibel mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi adalah suatu cara kognitif untuk mengelola informasi yang dapat menimbulkan suatu kondisi emosi tertentu, dan merupakan bagian kognitif dari coping yang dikarakteristikkan dengan self blame, acceptance, rumination atau focus on

9 16 thought, positive recofusing, recofus on planning, positive reappraisal, putting into perspective, catasrophizing dan blamming others. 2. Aspek-Aspek Regulasi Emosi Menurut Garnefski dan Kraaij (2007), terdapat sembilan aspek regulasi emosi, yaitu : a. Self blame, yaitu pola pikir menyalahkan diri sendiri atas peristiwa negatif yang dialaminya. b. Acceptance, yaitu pola pikir menerima atau pasrah terhadap keadaan yang menimpanya. c. Rumination atau focus on thought, yaitu pola pikir yang berpusat pada pemikiran atau perasaan terhadap peristiwa negatif yang dialaminya. d. Positive recofusing, yaitu pola pikir untuk memilih memikirkan hal-hal yang menyenangkan. e. Recofus on planning, yaitu pola pikir tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana mengatasi peristiwa negatif yang menimpanya. f. Positive reappraisal, yaitu pemikiran mengenai manfaat yang dapat diambil atau hikmah dari peristiwa negatif yang dialaminya. g. Putting into perspective, yaitu pola pikir untuk tidak menganggap serius peristiwa negatif yang dialaminya, atau menekankan relativitas makna dari peristiwa negatif yang telah dialaminya dibandingkan dengan kejadian yang lainnya. h. Catastrophizing, yaitu pemikiran bahwa hal yang negatif yang menimpanya merupakan sesuatu yang sangat buruk.

10 17 i. Blaming others, yaitu pola pikir menyalahkan orang lain atas peristiwa negatif yang dialaminya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek regulasi emosi adalah self blame, acceptance, rumination atau focus on thought, positive recofusing, recofus on planning, positive reappraisal, putting into perspective, catastrophizing dan blaming others. C. Caregiver 1. Definisi Caregiver Caregiver adalah seseorang yang memberikan bantuan kepada orang yang mengalami ketidakmampuan dan memerlukan bantuan karena penyakit dan keterbatasannya (Sukmarini, 2009). Seorang caregiver dapat berasal dari anggota keluarga, teman, ataupun tenaga profesional yang mendapatkan bayaran (Nadya, 2009). Oyebode (2003) mendefinisikan cargiver adalah seseorang yang menyediakan perawatan untuk individu lain baik laki-laki atau perempuan yang memerlukan bantuan. Berdasarkan uraian di atas caregiver lansia adalah seseorang yang memberikan bantuan kepada individu yang mengalami ketidakmampuan dan memerlukan bantuan karena penyakit dan keterbatasannya yang berasal dari anggota keluarga, teman ataupun tenaga profesional yang mendapatkan bayaran dengan memberikan bantuan.

11 18 2. Karakteristik Caregiver Combs, Avila, dan Purkey (Sarwendah, 2013) mengatakan bahwa seorang caregiver percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan, bersahabat, berharga, termotivasi secara internal, dapat menjadi tempat bergantung dan suka menolong orang lain. Sedangkan Compton dan Galaway (Sarrwendah, 2013) berpendapat bahwa seorang caregiver memiliki kapasitas untuk kreatif, mampu mengobservasi diri sendiri ketika berinteraksi dengan orang lain, memiliki keinginan untuk menolong, serta memiliki keberanian dan kepekaan untuk menilai dan memutuskan sesuatu atas dasar kepentingan klien. Menurut Johnson (1998), karakteristik caregiver antara lain: a. Individu yang berpandangan positif pada diri dan lingkungannya. b. Individu yang memiliki kepedulian pada orang lain. c. Individu yang terbuka, dapat dipercaya, hangat, bersahabat dan jujur. d. Individu yang bekerja bersama dengan klien, bukan bekerja untuk klien. e. Individu yang bereaksi pada kebutuhan klien, bukan berdasarkan prosedur tertentu. f. Individu yang memiliki kemampuan menilai yang baik dan bersedia mengambil risiko dalam membantu orang lain. g. Individu yang berpandangan realistis pada situasi kemanusiaan, kemungkinan derajat perubahan dan waktu yang dibutuhkan untuk berubah.

12 19 3. Jenis-Jenis Caregiver Menurut Barrow (1996), caregiver terdiri atas dua jenis yaitu: a. Caregiver formal yaitu seseorang yang memberikan perawatan dengan melakukan pembayaran yang disediakan oleh rumah sakit, psikiater, pusat perawatan ataupun tenaga profesional lainnya. b. Caregiver informal yaitu seseorang yang memberikan perawatan dengan tidak melakukan pembayaran dan tidak secara tenaga profesional. Perawatan ini dapat dilakukan di rumah dan biasa diberikan oleh pasangan penderita, anak dari penderita atau anggota keluarga lainnya. D. Lansia Seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologi. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi & Makhfudli, 2009). Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Maryam dkk, 2008), klasifikasi lansia terdiri atas: a. Pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara tahun. b. Lansia ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

13 20 c. Lansia risiko tinggi ialah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih dan seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan. d. Lansia potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan jasa. e. Lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain. E. Kerangka Pemikiran Setiap manusia akan mengalami masa penuaan, yang merupakan bagian dari proses biologis. Setiap lansia akan mengalami proses penuaan yang diikuti dengan menurunnya kemampuan fisik dan pikiran. Semakin meningkatnya angka usia harapan hidup penduduk Indonesia maka semakin cepat laju pertumbuhan penduduk lanjut usia di Indonesia (Kemsos, 2012). Seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologi. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi & Makhfudli, 2009). Para lansia yang terlantar membutuhkan pelayanan sosial, yaitu panti sosial. Para lansia yang tinggal di panti sosial akan dirawat oleh caregiver. Combs, Avila, dan Purkey (Sarwendah, 2013) mengatakan bahwa seorang caregiver

14 21 percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan, bersahabat, berharga, termotivasi secara internal, dapat menjadi tempat bergantung dan suka menolong orang lain. Menurut Eisenberg dan Mussen (Dayakisni & Hudaniah, 2009) perilaku prososial merujuk kepada tindakan sukarela yang bertujuan untuk menolong ataupun memberi kepada individu lainnya. Sedangkan menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang ditunjukan untuk memberikan keuntungan pada satu atau banyak orang. Perilaku prososial adalah salah satu perilaku yang harus dimiliki oleh caregiver karena tugas sebagai caregiver adalah merawat dan membantu para lansia. Sedangkan lansia yang mereka rawat adalah lansia yang tidak memiliki keluarga. Para lansia tersebut membutuhkan dukungan sosial yang dapat diberikan oleh caregiver dan lansia pun akan merasa dirinya ada yang memperhatikan. Seseorang yang mempunyai pengalaman-pengalaman baik atau menyenangkan dalam memberikan pertolongan akan membuat orang kembali melakukan perilaku prososial. Sedangkan, pengalaman yang tidak menyenangkan akan membuat orang cenderung menghindari perilaku prososial. Orang yang dalam suasana hati menggembirakan akan lebih suka menolong dan sebaliknya orang dalam suasana hati sedih, orang akan cenderung menghindarkan diri dalam memberi pertolongan. Proses ini biasanya sering terjadi dalam pengambilan keputusan seseorang untuk melakukan perilaku prososial atau tidak (Sears, 2004). Perilaku prososial dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, faktor situasional dan faktor dari dalam diri. Faktor situasional meliputi bystander, daya tarik, atribusi

15 22 terhadap korban, model, desakan waktu dan sifat kebutuhan korban, sedangkan faktor dari dalam diri meliputi suasana hati, sifat, jenis kelamin, tempat tinggal dan pola asuh. Suasana hati adalah salah satu faktor dalam diri dari perilaku prososial yang termasuk ke dalam regulasi emosi. Menurut Abraham dan Shanley (1997), pada dasarnya perilaku prososial dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah suasana hati. Hal itu dikarenakan seseorang yang memiliki suasana hati yang baik akan cenderung membantu dan mengatasi situasi darurat dengan tepat, sehingga untuk mendapatkannya dibutuhkan regulasi emosi untuk menstabilkan atau mengendalikan emosi. Walgito (2004) berpendapat bahwa emosi yang terkendali menyebabkan orang dapat berfikir secara lebih baik sehingga mampu melihat persoalan secara objektif. Garnefski dan Kraaij (2007) mengatakan bahwa regulasi emosi secara kognitif adalah suatu cara kognitif untuk mengelola informasi yang dapat menimbulkan suatu kondisi emosi tertentu dan merupakan bagian kognitif dari coping. Caregiver yang tidak dapat meregulasi emosinya akan mengganggu kerja mereka dalam merawat para lansia. Menurut Gross dan Thompson (2007), seseorang dengan regulasi emosi yang tinggi akan mampu mempengaruhi emosinya dengan cara mengatur bagaimana individu merasakan dan mengekspresikan emosinya agar dapat berpikir tenang dan jernih. Goleman (1994) mengemukakan bahwa kecakapan dalam mengelola emosi akan membuat individu terhindar dari hal-hal yang dapat merugikan dirinya.

16 23 Dengan kata lain, seseorang dengan regulasi emosi yang tinggi akan mampu berperilaku dengan benar dan menguntungkan dirinya sendiri serta orang lain seperti bekerjasama, menolong, bersahabat, berbagi dan sebagainya. Akan tetapi, lain halnya dengan seseorang yang memiliki regulasi emosi rendah. Orang tersebut akan memunculkan dampak negatif dari ketidakmampuannya dalam mengendalikan emosi. Hal itu dikarenakan seseorang kurang memahami emosi yang dirasakan dan kejadian yang dialami sehingga menyebabkannya sulit untuk melakukan modifikasi emosi dalam penyelesaian masalah. Oleh karena itu, regulasi emosi dalam perilaku prososial adalah penting. Menurut Suharnan (2005), seseorang yang kurang memahami masalah yang sedang dihadapi dan emosi yang dirasakan akan mengalami kesulitan dalam melakukan modifikasi situasi maupun menafsirkan ulang masalahnya. Dengan kata lain, ketika seseorang tidak mampu mengenali emosinya maka ia tidak mampu untuk mengekspresikan emosinya. Thompson (1994) mengungkapkan bahwa kemampuan mengevaluasi emosi merupakan kemampuan individu untuk menilai dan menyeimbangkan emosi-emosi yang dialami. Kemampuan seseorang dalam mengevaluasi emosi khususnya emosi negatif seperti marah dan sedih dapat membuat seseorang tidak terpengaruh secara mendalam terhadap hal tersebut. Dengan demikian, individu dapat berpikir rasional dan optimis untuk memberikan pelayanan serta pertolongan.

17 24 Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa perilaku prososial harus dimiliki oleh seorang caregiver lansia dan mampu meregulasi emosi mereka untuk merawat lansia. Apabila caregiver tidak dapat meregulasi emosinya, maka ia akan merasa terganggu dalam pekerjaannya. Regulasi Emosi (X) Perilaku Prososial (Y) Berkorelasi Gambar 1. Kerangka Berpikir F. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan antara regulasi emosi dengan perilaku prososial pada caregiver lansia di Panti Sosial Tresna Werdha DKI Jakarta.

TINGKAH LAKU PROSOSIAL

TINGKAH LAKU PROSOSIAL TINGKAH LAKU PROSOSIAL Modul ke: Fakultas Psikologi Dasar tingkah pro-sosial; Tahap-tahap perilaku menolong; Respons terhadap keadaan darurat; Pengaruh internal dan eksternal dalam menolong; Komitmen jangka

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. analisisnya pada data-data numerical (angka) yang diolah dengan metode statistik.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. analisisnya pada data-data numerical (angka) yang diolah dengan metode statistik. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan jenis penelitian korelasional. Menurut Azwar (2012), pendekatan kuantitatif yaitu menekankan analisisnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Brigham (dalam Dayakisni, 2009) menerangkan bahwa perilaku prososial merupakan perilaku untuk menyokong kesejahteraan orang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional

BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Altruis 2.1.1 Pengertian Altruis adalah suatu bentuk perilaku menolong berupa kepedulian untuk menolong orang lain dengan sukarela tanpa mengharapkan adanya imbalan atau balasan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan penelitian 1.3 Kerangka Teori

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan penelitian 1.3 Kerangka Teori BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menolong merupakan perbuatan yang mulia, sejauh pertolongan itu dibutuhkan sehingga bermanfaat. Namun terkadang pertolongan justru tidak datang saat dibutuhkan. Banyak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku sebagai sesuatu yang dilakukan oleh setiap individu dan sesuatu yang bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan

Lebih terperinci

c. Pengalaman dan suasana hati.

c. Pengalaman dan suasana hati. PERILAKU PROSOSIAL Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya. William (1981) membatasi perilaku prososial

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Prososial 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Menurut Kartono (2003) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu perilaku prososial yang menguntungkan dimana terdapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial menurut Asih dan Pratiwi (2010) merupakan salah suatu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada dimasyarakat dan biasanya dituntut untuk dilakukan (Staub, dalam Baron

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada dimasyarakat dan biasanya dituntut untuk dilakukan (Staub, dalam Baron BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Definisi Perilaku Prososial Perilaku prososial memiliki arti sebagai sosial positif atau mempunyai konsekuensi positif. Sosial positif ini didasarkan atas

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 DISKUSI Berdasarkan hasil analisis pada bab IV, maka hipotesis yang menyatakan bahwa empati dan pola asuh demokratis sebagai prediktor perilaku prososial pada remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain. Makhluk sosial

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di mana dapat berkembang dan diperkembangkan (Giri Wiloso dkk, 2012). Sebagai makhluk sosial, manusia

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Konstruk yang dideskripsikan sebagai Locus of control pertama-tama

BAB II KAJIAN TEORI. Konstruk yang dideskripsikan sebagai Locus of control pertama-tama BAB II KAJIAN TEORI A. Locus Of Control 1. Pengertian Locus Of Control Konstruk yang dideskripsikan sebagai Locus of control pertama-tama muncul dengan terpublikasinya sebuah monograf oleh Rotter. Dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan tempat individu berada. Remaja menurut Monks (2002) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan tempat individu berada. Remaja menurut Monks (2002) merupakan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja ditandai dengan pertumbuhan fisik, pengembangan kepribadian, pencapaian kedewasaan, kemandirian, dan adaptasi peran dan fungsi

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5. 1 Kesimpulan 5. 1. 1 Kesimpulan Utama Dari hasil pengolahan data utama dan analisisnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Tidak terdapat hubungan yang signifikan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI Disusun Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1)

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Prososial 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial menurut Baron dan Byrne (2005) adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sekelompok individu (Eisenberg, 1989). Hudaniah, 2006), menekankan bahwa perilaku prososial mencakup tindakantindakan

BAB II LANDASAN TEORI. sekelompok individu (Eisenberg, 1989). Hudaniah, 2006), menekankan bahwa perilaku prososial mencakup tindakantindakan BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Perilaku Prososial 2.1.1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial didefinisikan sebagai tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk membantu atau memberi keuntungan pada

Lebih terperinci

Psikologi Sosial 1. Perilaku Prososial MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 12

Psikologi Sosial 1. Perilaku Prososial MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 12 MODUL PERKULIAHAN Perilaku Prososial Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 12 61017 Abstract Materi tentang pengertian tingkah laku menolong, mengapa orang menolong,

Lebih terperinci

HUBUNGAN PERSEPSI POLA ASUH OTORITATIF DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA

HUBUNGAN PERSEPSI POLA ASUH OTORITATIF DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA HUBUNGAN PERSEPSI POLA ASUH OTORITATIF DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA Nama : Arin Hananira NPM : 11512133 Pembimbing : Dr. Ira Puspitawati, MSi., Psi Latar Belakang Masalah Kurangnya kepedulian Remaja

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sendiri tanpa mengharapkan sesuatu dari si penolong itu sendiri. Perilaku

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sendiri tanpa mengharapkan sesuatu dari si penolong itu sendiri. Perilaku BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Sears, Jhonathan, Anne (1994), berpendapat perilaku prososial adalah tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah kemampuan untuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya di motivasi oleh suatu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya di motivasi oleh suatu BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan (goal oriented) dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya di motivasi oleh

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial pada Remaja 1. Pengertian Perilaku Prososial pada Remaja Sears dkk. (1994: 47), berpendapat perilaku prososial adalah tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan berketuhanan. Sebagai makhluk sosial, individu dalam kehidupan sehari-hari melakukan interaksi dengan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. oleh Kartini Kartono (1981) mengarikan perilaku (behavior) adalah respon

BAB II KAJIAN PUSTAKA. oleh Kartini Kartono (1981) mengarikan perilaku (behavior) adalah respon 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Chaplin dalam bukunya Dictionary of Psychology yang diterjemahkan oleh Kartini Kartono (1981) mengarikan perilaku (behavior)

Lebih terperinci

2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN Pada bab ini akan dibahas mengenai emosi, proses kognitif dari emosi, regulasi emosi secara kognitif dan pengukurannya, faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi emosi, hardiness

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. SMA Abdul Wahid Hasyim didirikan pada tahun 1975 dan berada di

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. SMA Abdul Wahid Hasyim didirikan pada tahun 1975 dan berada di BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Profil Lembaga 1. Sejarah Singkat SMA Abdul Wahid Hasyim didirikan pada tahun 1975 dan berada di bawah naungan Yayasan Hasyim Asy ari Tebuireng. Sejak awal berdirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa. Di masa ini, remaja mulai mengenal dan tertarik dengan lawan jenis sehingga remaja

Lebih terperinci

PENGARUH KEMATANGAN EMOSI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL REMAJA PENGGUNA GADGET DI SMP N 2 YOGYAKARTA

PENGARUH KEMATANGAN EMOSI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL REMAJA PENGGUNA GADGET DI SMP N 2 YOGYAKARTA PENGARUH KEMATANGAN EMOSI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL REMAJA PENGGUNA GADGET DI SMP N 2 YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kecerdasan Emosi 1. Pengertian Emosi Dari segi etimologi, emosi berasal dari akar kata bahasa latin movere yang berarti menggerakkan, bergerak. Kemudian ditambah dengan awalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keperawatan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. Keperawatan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keperawatan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pelayanan kesehatan secara keseluruhan, bahkan merupakan salah satu faktor penentu bagi mutu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan pepatah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Nilai kesetiakawanan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan pepatah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Nilai kesetiakawanan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial, dimana manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Sejak jaman dahulu manusia hidup bergotongroyong, sesuai dengan pepatah

Lebih terperinci

PERILAKU PROSOSIAL ANAK YANG DIASUH OLEH NENEKNYA. NAMA : ERIKA ERMAWATY NPM : KELAS : 3PA07 DOSEN : ERIK SAUT H. HUTAHAEAN, S.Psi, M.

PERILAKU PROSOSIAL ANAK YANG DIASUH OLEH NENEKNYA. NAMA : ERIKA ERMAWATY NPM : KELAS : 3PA07 DOSEN : ERIK SAUT H. HUTAHAEAN, S.Psi, M. PERILAKU PROSOSIAL ANAK YANG DIASUH OLEH NENEKNYA NAMA : ERIKA ERMAWATY NPM : 12510393 KELAS : 3PA07 DOSEN : ERIK SAUT H. HUTAHAEAN, S.Psi, M.Si BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH Perubahan sosial,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. a. Variabel terikat (Y), yaitu Perilaku Prososial. b. Variabel bebas (X), yaitu Gender

BAB III METODE PENELITIAN. a. Variabel terikat (Y), yaitu Perilaku Prososial. b. Variabel bebas (X), yaitu Gender BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel Variabel variabel penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah : a. Variabel terikat (Y), yaitu Perilaku Prososial

Lebih terperinci

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK Murhima A. Kau Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo INTISARI Proses perkembangan perilaku prososial menurut sudut pandang Social Learning Theory

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu memiliki berbagai macam masalah didalam hidupnya, masalah dalam diri individu hadir bila apa yang telah manusia usahakan jauh atau tidak sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejak masih zaman Yunani kuno. Para filsuf klasik berpandangan bahwa bagian

BAB I PENDAHULUAN. sejak masih zaman Yunani kuno. Para filsuf klasik berpandangan bahwa bagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pandangan bahwa manusia sebagai individu merupakan satu kesatuan dari aspek fisik atau jasmani dan psikis atau rohani atau jiwa yang tidak dapat dipisahkan, sesungguhnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bencana dengan tingkat yang tinggi (HPLI, 2014).Bencana yang dimaksud adalah bencana alam, yaitu segala jenis bencana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Achievement 1. Definisi Identity Achievement Identitas merupakan prinsip kesatuan yang membedakan diri seseorang dengan orang lain. Individu harus memutuskan siapakah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan dengan sempurna dan berbeda dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Manusia dilengkapi dengan akal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengetahui tingkat internal locus of control siswa dilakukan dengan

BAB III METODE PENELITIAN. mengetahui tingkat internal locus of control siswa dilakukan dengan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Widodo (2004) mengatakan sebuah penelitian dikatakan jenis penelitian korelasional karena penelitian itu ditujukan untuk melihat atau mengetahui hubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam menjawab pertanyaan penelitian pada Bab I, berikut ini dijelaskan beberapa teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam menjawab pertanyaan penelitian pada Bab I, berikut ini dijelaskan beberapa teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam menjawab pertanyaan penelitian pada Bab I, berikut ini dijelaskan beberapa teori yang terkait, dinamika antar variabel dan hipotesis penelitian. Teori- teori yang digunakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi perilaku tolong - menolong,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi perilaku tolong - menolong, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi perilaku tolong - menolong, sangat ironis jika realitas yang terjadi menunjukan hal yang sebaliknya, perilaku individu

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR I.1. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR I.1. Latar Belakang BAB I PENGANTAR Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial memiliki arti bahwa manusia memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan menyiptakan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan menyiptakan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tuhan menyiptakan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang berbeda mulai dari gender hingga tuntutan sosial yang masing-masing diemban. Meskipun memiliki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memberikan pertolongan yang justru sangat dibutuhkan.

BAB 1 PENDAHULUAN. memberikan pertolongan yang justru sangat dibutuhkan. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tingkah laku menolong sering muncul dalam masyarakat, dimana perilaku ini diberikan guna meringankan penderitaan orang lain, misalnya menolong orang lain yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk. dasarnya ia memiliki ketergantungan. Inilah yang kemudian menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk. dasarnya ia memiliki ketergantungan. Inilah yang kemudian menjadikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk berdampingan dengan orang lain dan tidak bisa hidup secara individual. Manusia tidak akan mampu hidup sendiri

Lebih terperinci

UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU PROSOSIAL MELALUI TEKNIK SOSIODRAMA PADA SISWA KELAS VII C SMP N 3 NGADIROJO KAB. PACITAN SKRIPSI

UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU PROSOSIAL MELALUI TEKNIK SOSIODRAMA PADA SISWA KELAS VII C SMP N 3 NGADIROJO KAB. PACITAN SKRIPSI UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU PROSOSIAL MELALUI TEKNIK SOSIODRAMA PADA SISWA KELAS VII C SMP N 3 NGADIROJO KAB. PACITAN SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepekaan dan kepedulian mereka terhadap masalah sosial. Rendahnya

BAB I PENDAHULUAN. kepekaan dan kepedulian mereka terhadap masalah sosial. Rendahnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan remaja di perkotaan saat ini menunjukkan rendahnya kepekaan dan kepedulian mereka terhadap masalah sosial. Rendahnya kepedulian remaja tergambar pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain untuk bisa mempertahankan hidupnya. Proses kehidupan manusia yang dimulai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Teori

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Teori BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Perilaku Prososial a. Pengertian Prososial Perilaku prososial merupakan perilaku yang memiliki tujuan positif bagi orang lain, berupa manfaat atau keuntungan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penuh keramahan. Namun akhir-akhir ini banyak ahli yang harus berpikir

BAB I PENDAHULUAN. penuh keramahan. Namun akhir-akhir ini banyak ahli yang harus berpikir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Indonesia sejak dulu dikenal oleh dunia karena masyarakatnya yang hidup dengan rukun, saling tolong menolong, saling mensejahterakan dan penuh keramahan. Namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan dalam masa transisi itu remaja menjajaki alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan 6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semua ini membuat masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesehatan dan

BAB I PENDAHULUAN. Semua ini membuat masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesehatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring perkembangan zaman dan teknologi, terjadi perubahan pola hidup masyarakat. Perubahan pola hidup ini tidak selalu bersifat positif, ada beberapa pola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

PENGARUH EMPATI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL PADA SISWA KELAS XI KRIYA KAYU SMKN 1 PACITAN. Skripsi

PENGARUH EMPATI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL PADA SISWA KELAS XI KRIYA KAYU SMKN 1 PACITAN. Skripsi PENGARUH EMPATI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL PADA SISWA KELAS XI KRIYA KAYU SMKN 1 PACITAN Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Remaja pada dasarnya dalam proses perkembangannya membutuhkan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Remaja juga mulai belajar serta mengenal pola-pola sosial salah satunya adalah perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk berdampingan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk berdampingan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk berdampingan dengan orang lain dan tidak bisa hidup secara individual. Sebagai makhluk sosial hendaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Remaja dipandang sebagai periode perubahan, baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyita waktu sehingga banyak individu yang bersikap. sikap egoisme, dan ini menjadi ciri dari manusia modern, dimana individu

BAB I PENDAHULUAN. yang menyita waktu sehingga banyak individu yang bersikap. sikap egoisme, dan ini menjadi ciri dari manusia modern, dimana individu 18 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi ini, manusia mulai dihadapkan pada kesibukankesibukan yang menyita waktu sehingga banyak individu yang bersikap individualis. Individualisme merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya. Beberapa anak dihadapkan pada pilihan bahwa anak harus berpisah dari keluarganya karena sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam

BAB I PENDAHULUAN. Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan menolong ini berarti memberikan sesuatu yang dibutuhkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SMK BINA PATRIA 2 SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SMK BINA PATRIA 2 SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SMK BINA PATRIA 2 SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan Oleh:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami perubahan-perubahan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3. 1 Masalah Penelitian Seperti yang telah dikemukakan dalam latar belakang penelitian, masalah umum yang diangkat pada penelitian ini adalah: Apakah terdapat hubungan antara tingkat

Lebih terperinci

ALTRUISME DENGAN KEBAHAGIAAN PADA PETUGAS PMI NASKAH PUBLIKASI. Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai. Derajat Gelar Sarjana (S-1) Psikologi

ALTRUISME DENGAN KEBAHAGIAAN PADA PETUGAS PMI NASKAH PUBLIKASI. Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai. Derajat Gelar Sarjana (S-1) Psikologi ALTRUISME DENGAN KEBAHAGIAAN PADA PETUGAS PMI NASKAH PUBLIKASI Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Gelar Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan oleh : IKA IRYANA F.100110078 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Remaja. suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Remaja. suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20, para ahli menemukan suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain baik orang terdekat seperti keluarga ataupun orang yang tidak dikenal, seperti

BAB I PENDAHULUAN. lain baik orang terdekat seperti keluarga ataupun orang yang tidak dikenal, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain di sekitarnya. Dalam kehidupannya, manusia pasti membutuhkan bantuan orang lain baik

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kepercayaan Diri 2.1.1 Pengertian Kepercayaan Diri Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Orang yang percaya diri yakin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam setiap penelitian yang ilmiah tinjauan pustaka penting untuk diuraikan sebagai dasar dalam membangun konstruk teoritik dan sebagai tolak ukur untuk membangun kerangka berpikir

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan nasional telah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan nasional telah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan nasional telah mewujudkan hasil yang positif diberbagai bidang yaitu kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan

Lebih terperinci

Perilaku Menolong, Prosocial dan Altruisme

Perilaku Menolong, Prosocial dan Altruisme Perilaku Menolong, Prosocial dan Altruisme Prepared by: Prof. DR. Koentjoro bin Soeparno Visiting Professor School of Psychology and Human Development Faculty of Social Sciences and Humanities University

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Kecerdasan dan Emosi Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi: kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang merupakan keterampilan

Lebih terperinci

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJA PANTI ASUHAN SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan oleh:

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001)

BAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001) BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Merokok 2.1.1 Pengertian Perilaku Merokok Chaplin (2001) memberikan pengertian perilaku terbagi menjadi 2: pengertian dalam arti luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Sebagai makhluk sosial manusia tumbuh bersama-sama dan mengadakan

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Sebagai makhluk sosial manusia tumbuh bersama-sama dan mengadakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia disebut juga sebagai makhluk holistik, yaitu bisa berfungsi sebagai makhluk individual, makhluk sosial, dan juga makhluk religi. Manusia sebagai makhluk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) adalah lembaga pendidikan swasta yang mempunyai visi yaitu menjadi universitas yang unggul dalam pengembangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan. harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan. harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Self-Esteem 2.1.1 Pengertian Self-Esteem Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu pengertian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. Seorang perempuan dianggap sudah seharusnya menikah ketika dia memasuki usia 21 tahun dan laki-laki

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Self Efficacy Konsep mengenai self efficacy ini pada dasarnya melibatkan banyak kemampuan yang terdiri dari aspek kegiatan sosial dan kemampuan untuk bertingkah laku.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Sebelum dilakukan analisis statistik dengan menggunakan product moment dari Pearson, maka dilakukan uji asumsi normalitas dan linearitas. 1. Uji Asumsi Uji

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Efikasi Diri A. Efikasi Diri Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam teori sosial kognitif atau efikasi diri sebagai kepercayaan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia jumlah pengguna narkotika dan obat terlarang dari tahun ke

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia jumlah pengguna narkotika dan obat terlarang dari tahun ke BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di Indonesia jumlah pengguna narkotika dan obat terlarang dari tahun ke tahun terus bertambah, BNN (Badan Narkotika Nasional) Indonesia telah mendata untuk

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Dalam bab terakhir ini, peneliti akan menguraikan mengenai kesimpulan dari penelitian yang dilakukan serta diskusi mengenai hasil-hasil penelitian yang diperoleh dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI PERILAKU ALTRUISTIK. kebaikan orang lain. Akert, dkk (dalam Taufik, 2012) mengatakan bahwa

BAB II LANDASAN TEORI PERILAKU ALTRUISTIK. kebaikan orang lain. Akert, dkk (dalam Taufik, 2012) mengatakan bahwa BAB II LANDASAN TEORI PERILAKU ALTRUISTIK 1. Definisi Perilaku Altruistik Menurut Baron (2005) perilaku altruistik adalah tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingkan diri sendiri

Lebih terperinci

Perilaku Moral Remaja

Perilaku Moral Remaja Perilaku Moral Remaja Oleh : Anglia Febrina Proses-Proses Dasar Pandangan behavioral menekankan perilaku moral dari remaja. Proses-proses yang sudah biasa kita kenal seperti penguatan, hukuman, imitasi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. mengurangi distres. Menurut J.P.Chaplin (Badru, 2010) yaitu tingkah laku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. mengurangi distres. Menurut J.P.Chaplin (Badru, 2010) yaitu tingkah laku BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Coping Stress 1. Definisi Coping Stress Lazarus dan Folkman (Sugianto, 2012) yang mengartikan coping stress sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang ketika dihadapkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Mahasiswa adalah panggilan untuk orang yang sedang menjalani pendidikan

BAB II KAJIAN TEORI. Mahasiswa adalah panggilan untuk orang yang sedang menjalani pendidikan BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Mahasiswa Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SOSIAL DAN KEPRIBADIAN. Program PLPG PAUD UAD 2017

PENGEMBANGAN SOSIAL DAN KEPRIBADIAN. Program PLPG PAUD UAD 2017 PENGEMBANGAN SOSIAL DAN KEPRIBADIAN Program PLPG PAUD UAD 2017 PENTINGNYA PENGEMBANGAN SOSIAL 1. Anak perlu distimulasi dan difasilitasi, sehingga perkembangan sosialnya dapat berkembang dengan baik. Anak

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abraham, C. & Shanley, E. (1997). Psikologi sosial untuk perawat. Penerjemah Leoni Sally Maitimu. Jakarta: EGC.

DAFTAR PUSTAKA. Abraham, C. & Shanley, E. (1997). Psikologi sosial untuk perawat. Penerjemah Leoni Sally Maitimu. Jakarta: EGC. DAFTAR PUSTAKA Abraham, C. & Shanley, E. (1997). Psikologi sosial untuk perawat. Penerjemah Leoni Sally Maitimu. Jakarta: EGC. Ali, M. & Asrori, M. (2008). Psikologi remaja. Jakarta: PT Bumi Aksara. Azwar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga memiliki akal pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. juga memiliki akal pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan. Sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat, manusia juga memiliki akal pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan. Sebagai makhluk sosial, itu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Unconditional Self-Acceptance (USA). USA yang timbul dari penilaian individu

BAB II LANDASAN TEORI. Unconditional Self-Acceptance (USA). USA yang timbul dari penilaian individu BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Penerimaan diri 2.1.1 Definisi Penerimaan Diri Ellis (dalam Richard et al., 201) konsep penerimaan diri disebut Unconditional Self-Acceptance (USA). USA yang timbul dari penilaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan jaman yang semakin maju menuntut masyarakat untuk semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah satu tujuan seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai dari usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada

Lebih terperinci