BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam menjawab pertanyaan penelitian pada Bab I, berikut ini dijelaskan beberapa teori

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam menjawab pertanyaan penelitian pada Bab I, berikut ini dijelaskan beberapa teori"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam menjawab pertanyaan penelitian pada Bab I, berikut ini dijelaskan beberapa teori yang terkait, dinamika antar variabel dan hipotesis penelitian. Teori- teori yang digunakan adalah teori perilaku prososial, efikasi diri, empati, serta penjelasan terkait BPBD. A. Perilaku Prososial Pada penjelasan mengenai perilaku prososial yang dibahas mencakup pengertian perilaku prososial, dimensi perilaku prososial tersebut, faktor-faktor yang mendasari perilaku prososial dan motivasi untuk berperilaku prososial. 1. Definisi Dari Perilaku Prososial Perilaku prososial mencakup setiap tindakan yang membantu atau dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif si penolong. Perilaku prososial bisa mulai dari tindakan altruisme tanpa pamrih sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih atau kepentingan pribadi (Taylor, dkk., 2009). Bierhoff (2002), menyatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh si pemberi bantuan yang bermaksud untuk meningkatkan keadaan orang yang ditolong terlepas dari motif si pemberi bantuan, baik itu untuk mendapatkan pujian atau menghindari rasa bersalah. Eisenberg dan Mussen (1989) menyatakan bahwa perilaku prososial berkenaan dengan tindakan sukarela yang berniat untuk membantu atau dapat menguntungkan posisi orang lain. Perilaku prososial merupakan suatu bentuk konsekuensi terhadap orang lain, sebagaimana seseorang yang menjadi relawan terlepas dari paksaan. Meskipun perilaku 13

2 14 prososial menjadi suatu bentuk konsekuensi positif bagi orang lain, seseorang mungkin berperilaku atas dasar atau memiliki berbagai alasan dalam memberikan bantuan. Lauren (dalam Voughan & Hogg, 2014) mendefinisikan perilaku prososial merupakan suatu bentuk perilaku yang memiliki konsekuensi serta kontribusi positif terhadap hubungan sosial, fisik dan psikologis terhadap orang lain. Menurut Baron dan Byrne (1984), perilaku prososial merupakan bentuk perilaku atau perbuatan yang belum tentu menguntungkan individu, selain juga dapat menimbulkan risiko dan korban jiwa bagi yang melakukan, namun bagaimanapun perilaku menolong itu telah menjadi sebuah dasar norma dalam berperilaku. Jika menurut Clarke (dalam Rahman, 2013) perilaku prososial adalah tindakan yang menguntungkan orang lain atau masyarakat secara umum. Jika menurut pendapat Taylor, dkk. (2007) dalam mendefinisikan perilaku prososial adalah perilaku altruisme tanpa pamrih sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih. Bierhoff (2002), menambahkan adanya tindakan yang dilakukan oleh si pemberi bantuan yang bermaksud untuk meningkatkan keadaan orang yang ditolong. Serupa dengan pernyataan Bierhoff, Eisenberg dan Mussen (1989) perilaku prososial menjadi suatu bentuk konsekuensi positif bagi si penerima bantuan. Senada dengan itu, Clarke (dalam Rahman, 2013) bahwa perilaku prososial adalah tindakan yang menguntungkan orang lain. Sejalan dengan itu juga, Baron dan Byrne (1984) menyatakan bahwa perilaku prososial belum tentu memiliki efek positif bagi di pemberi bantuan. Lauren (dalam Voughan & Hogg, 2014) menyebutkan adanya kontribusi positif terhadap hubungan sosial, fisik dan psikologis terhadap orang lain. Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial merupakan tindakan altruisme tanpa pamrih sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih, yang

3 15 bermaksud untuk meningkatkan keadaan orang yang ditolong atau sebagai bentuk konsekuensi positif dalam hubungan sosial, fisik dan psikologis terhadap orang lain. 2. Dimensi Dari Perilaku Prososial Terdapat tujuh dimensi perilaku prososial dari Eisenberg dan Mussen (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) meliputi : a. Sharing (berbagi) Sharing atau berbagi adalah kesediaan berbagi perasaan dengan orang lain baik dalam suasana suka maupun duka (Eisenberg & Mussen, 1989). Berbagi dapat dilakukan apabila penerima menunjukkan kesukaan sebelum ada tindakan melalui dukungan verbal dan fisik. Contoh, ketika seseorang mengalami musibah atau bencana kita dapat mendengarkan permasalahan dan keluhan korban ataupun berbagi informasi kepada orang lain. b. Cooperative (bekerjasama) Cooperative atau bekerjasama adalah kesediaan bekerjasama dengan orang lain demi tercapainya suatu tujuan. Kerjasama biasanya saling menguntungkan, saling memberi, saling menolong dan menenangkan (Brigham, 1991). Contoh, ketika seseorang mengalami musibah atau bencana kita dapat bekerjasama untuk menyelesaikan ataupun meringankan beban yang korban alami dan sekaligus kerjasama tersebut menjadi suatu bentuk dukungan sosial. c. Donating (menyumbang) Donating atau menyumbang adalah kesedian untuk berderma, meliputi secara suka rela memberikan suatu barang miliknya kepada yang membutuhkan, dan bantuan yang dimiliki untuk membantu orang lain (Eisenberg & Mussen, 1989). Contoh, ketika seseorang mengalami musibah atau bencana kita dapat memberikan

4 16 bantuan berupa benda yang kita miliki lebih untuk disumbangkan seperti pakaian ataupun benda lain, tentu sesuai dengan kebutuhan korban. d. Helping (menolong) Helping atau menolong adalah kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang dalam sesusahan. Menolong meliputi membantu orang lain, menawarkan bantuan kepada orang lain, atau melakukan sesuatu yang menunjang berlangsungnya kegiatan orang lain (Brigham, 1991). Contoh, ketika seseorang mengalami kecelakaan dijalan kita dapat membantu korban untuk dibawa ke rumah sakit sehingga korban mendapat pertolongan secara intensif. e. Honesty (kejujuran) Honesty atau kejujuran adalah suatu bentuk perilaku yang ditunjukkan dengan perkataan yang sesuai dengan keadaan dan tidak menambahkan atau mengurangi kenyataan yang ada (Brigham, 1991). Contoh, ketika seseorang mengalami musibah atau bencana kita membantu dengan sungguh-sungguh, tidak untuk mencari perhatian dan simpati bahwa kita adalah sosok penolong atau dapat dikatakan berpura-pura baik. f. Generosity (berderma) Generosity atau berderma adalah individu yang memiliki sifat altruis, memiliki sikap suka beramal, suka memberi derma atau murah hati kepada orang lain yang membutuhkan pertolongannya tanpa mengharapkan imbalan apapun dari orang yang ditolongnya (Brigham, 1991). Contoh, ketika kita melihat seseorang mengalami musibah atau bencana dan tidak memiliki uang untuk berobat, membawa korban kerumah sakit, dan ketika kita memiliki uang lebih dapat untuk membiayai pengobatan korban.

5 17 g. Mempertimbangkan Hak dan Kesejahteraan Orang Lain Mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain adalah memberi sarana bagi orang lain untuk mendapatkan kemudahan dalam segala urusan, memiliki kepedulian terhadap orang lain dengan mengindahkan dan menghiraukan masalah orang lain (Eisenberg & Mussen, 1989). Contoh, ketika seseorang mengalami musibah ataupun bencana kita berkewajiban untuk membantu korban, walaupun sebelumya kita pernah atau sedang berkonflik namun tiap manusia memiliki hak untuk hidup, oleh karena itu kita harus senantiasa membantu. Beberapa penelitian menggunakan aspek menurut Schroeder (dalam Rahman, 2013), perilaku prososial terbagi dalam tiga aspek yaitu: helping, altruism, dan cooperation. a. Helping Helping dimaknai sebagai suatu tindakan yang memiliki konsekuensi memberikan keuntungan atau meningkatkan kualitas hidup orang lain (Schroeder dalam Rahman, 2013). Contoh, ketika terjadi bencana alam pegawai BPBD memberikan bantuan secara fisik maupun materi (uang atau benda). b. Altruism Altruism dimaknai sebagai perilaku menolong dalam hal si penolong memberikan bantuan pada orang lain tanpa mengharapkan keuntungan (Schroeder dalam Rahman, 2013). Contoh, ketika terjadi bencana alam pegawai BPBD membantu korban walaupun dengan risiko yang ada. c. Cooperation Cooperation dimaknai sebagai suatu hubungan antara dua orang atau lebih yang saling tergantung secara positif karena tujuan tertentu (Schroeder dalam

6 18 Rahman, 2013). Contoh, ketika terjadi bencana alam, pegawai BPBD bekerjasama dengan masyarakat sekitar guna memberikan bantuan kepada korban. Jika dilihat dari dimensi yang disebutkan oleh Schroeder (dalam Rahman, 2013), perilaku prososial terbagi dalam tiga aspek yaitu: helping, altruism, dan cooperation. Sedangkan dimensi yang disebutkan Eisenberg dan Mussen (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) memiliki keragaman atau kaya dan lebih konprehensif, sejalan dengan penelitian yang dilakukan yang telah sesuai dengan karakteristik pegawai BPBD. Dimensi tersebut terdiri dari sharing (berbagi), cooperative (bekerja sama), donating (menyumbang), helping (memberikan bantuan), honesty (kejujuran), generosity (berderma), dan mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain sehingga dimensi tersebut menjadi acuan pembuatan skala perilaku prososial pada penelitian ini. 3. Faktor-Faktor Yang Mendasari Perilaku Prososial. Terdapat beberapa faktor yang mendasari perilaku prososial menurut Staub (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) antara lain: a. Self-gain Self-gain mengarah pada harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut dikucilkan (Staub dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006). b. Personal values and norms Personal values and norms merupakan nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian nilai-nilai serta norma tersebut berkaitan dengan perilaku prososial, seperti berkewajiban

7 19 menegakan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik (Staub dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006). c. Empathy Empathy mengacu pada kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Kemampuan untuk empati ini erat kaitannya dengan pengambilalihan peran. Sehingga prasyarat untuk mampu melakukan empati, individu harus memiliki kemampuan untuk melakukan pengambilan peran(staub dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006). Baron dan Byrne (1984), mengungkapkan adanya faktor yang memengaruhi seseorang berperilaku prososial. Beberapa peneliti pada sudut pandang karakteristik orang yang diberikan bantuan antara lain menurut jenis kelamin dan kepribadian. a. Jenis kelamin: dikalangan anak-anak, anak penerempuan lebih altruistic dibanding anak laki-laki. Namun dikalangan orang dewasa, bantuan yang ditawarkan oleh orang dewasa berjenis kelamin laki-laki lebih kuat ketika berhadapan dengan korban berjenis kelamin perempuan (Baron & Byrne, 1984). b. Kepribadian: yang pertama, tingginya rasa malu membuat seseorang segan dalam membantu atau memberikan pertolongan. Kedua, tingginya sikap antipati membuat seseorang memiliki kecenderungan untuk tidak memberikan bantuan. Ketiga, adanya persetujuan atau izin membuat kecenderungan seseorang meningkat dalam memberikan bantuan. Keempat, tingginya tingkat religiusitas membuat seseorang memiliki kecenderungan yang tinggi pula dalam memberikan bantuan. Terakhir yaitu adanya empati membuat tingginya kecenderungan seseorang dalam memberikan bantuan atau pertolongan kepada orang lain (Baron & Byrne, 1984).

8 20 Menurut Taylor, dkk. (2009) terdapat faktor yang mendasari seseorang dalam memberikan bantuan yaitu: adanya kehadiran orang lain, sifat dari lingkungan fisik dan tekanan batas waktu. a. Kehadiran orang lain. Latane dan Darley (dalam Taylor, dkk., 2009), menyebut ini sebagai bystander effect (efek orang sekitar) yaitu suatu tendensi tantang bagaimana kehadiran orang lain mengurangi kemungkinan setiap orang akan memberikan bantuan pada orang lain yang kesulitan. b. Kondisi lingkungan. Beberapa riset menyebutkan bahwa kondisi lingkungan dapat memengaruhi seseorang dalam memberikan bantuan. Kondisi lingkungan tersebut seperti cuaca, setting lingkungan kebutuhan itu muncul, serta ukuran tempat. Tentu saja harus diingat bahwa studi-studi ini hanya berhubungan dengan bantuan kepada orang yang tidak dikenal (Taylor, dkk., 2009). c. Tekanan waktu. Beberapa studi menyebutkan bahwa tekanan waktu sangat memengaruhi perilaku menolong. Faktor lain yang mungkin muncul yaitu konflik tentang siapa yang akan menolong ketika berada dalam tekanan waktu (Taylor, dkk., 2009). Jika dilihat dari penjabaran yang oleh Staub (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) menyebutkan terdapat beberapa faktor yang mendasari perilaku prososial seperti self-gain, personal values and norms, empathy.selain itu Baron dan Byrne (1984), menambahkan terdapat faktor yang memengaruhi seseorang berperilaku prososial diantaranya jenis kelamin dan kepribadian. Terakhir menurut Taylor, dkk. (2009) terdapat faktor yang

9 21 mendasari seseorang dalam memberikan bantuan yaitu: adanya kehadiran orang lain, sifat dari lingkungan fisik dan tekanan batas waktu. Kesimpulan yang dapat diambil dari penjabaran diatas dari mengenai faktor-faktor yang memengaruhi perilaku prososial adalah: adanya self-gain, personal values and norms, empathy, jenis kelamin, kepribadian, kehadiran orang lain, kondisi lingkungan, dan tekanan waktu. 4. Motivasi Untuk Bertindak Prososial Ada beberapa teori yang berusaha menjelaskan motivasi seseorang untuk bertindak prososial menurut Dayakisni dan Hudaniah (2006) yaitu : a. Empathy-Altruism Hypothesis Konsep ini ditemukan oleh Fultz, Batson, Fortenbach dan McCarthy (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) yang menyatakan bahwa tindakan prososial sematamata dimotivasi oleh perhatian terhadap kesejahteraan orang lain (si korban). Tanpa adanya empati, orang melihat kejadian darurat tidak akan melakukan pertolongan, jika ia dapat mudah melepaskan diri dari tanggung jawab untuk memberikan pertolongan. b. Negative State Relief Hypothesis Pendekatan ini sering pula disebut dengan Egoistic Theory, sebab menurut konsep ini perilaku prososial sesungguhnya dimotivasi oleh keinginan untuk mengurangi perasaan negatif yang ada dalam diri calon penolong, bukan karena ingin menyokong kesejahteraan orang lain. Jadi pertolongan hanya diberikan jika penonton mengalami emosi negatif dan tidak ada cara lain untuk menghilangkan perasaan tersebut, kecuali dengan menolong korban (Baron & Byrne dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006).

10 22 c. Empathic Joy Hypothesis Menurut konsep Empathic Joy Hypothesis tindakan prososial dimotivasi oleh perasaan positif ketika seseorang menolong. Ini hanya jika seseorang belajar tentang dampak dari tindakan prososial tersebut. Sebagaimana pendapat Bandura (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) bahwa orang dapat belajar melakukan tindakan menolong dapat memberinya hadiah bagi dirinya sendiri, yaitu membuat dia merasa bahwa dirinya baik. B. Efikasi Diri Pada penjelasan mengenai Efikasi diri yang dibahas mencakup pengertian efikasi diri, dimensi efikasi diri tersebut dan faktor-faktor yang memengaruhi efikasi diri. 1. Definisi Dari Efikasi diri Bandura (1997) menyatakan adanya aspek efikasi diri yang mengacu pada keyakinan manusia mengenai efikasi diri memengaruhi bentuk tindakan yang akan individu pilih untuk dilakukan, sebanyak apa usaha yang akan individu berikan ke dalam suatu aktivitas, selama apa individu akan bertahan dalam menghadapi rintangan dan kegagalan, serta ketangguhan individu dalam menghadapinya. Baron dan Byrne (1991) mendefinisikan bahwa efikasi diri sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan dan mengatasi hambatan. Feist dan Feist (2010) menyatakan bahwa efikasi diri merupakan suatu keyakinan diri, bahwasannya individu mampu untuk melakukan suatu tindakan yang nantinya menghasilkan suatu dampak yang diharapkan.

11 23 Gist (dalam Ghufron & Risnawita, 2014), menyatakan bahwa efikasi diri merupakan suatu gambaran umum mengenai suatu penilaian dari seberapa baik seseorang dapat melakukan suatu perbuatan pada situasi yang beraneka ragam. Bandura dan Wood (dalam Ghufron & Risnawita, 2014), menyatakan bahwa efikasi diri mengacu pada keyakinan akan kemampuan individu untuk menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasi. Jika menurut Bandura (1997) efikasi diri mengacu pada keyakinan akan kemampuan yang dimiliki, keluesan individu dalam suatu aktivitas, serta ketangguhan individu dalam menghadapi tantangan. Baron dan Byrne (1991) efikasi diri sebagai evaluasi kemampuan diri untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan dan mengatasi hambatan. Feist dan Feist (2010) menambahkan adanya perbuatan atau usaha dalam mencapai tujuan. Sedangkan Gist (dalam Ghufron & Risnawita, 2014) menyatakan efikasi diri berbicara tentang penilaian diri. Terakhir menurut Bandura dan Wood (dalam Ghufron & Risnawita, 2014), menambahkan adanya motivasi, kemampuan kognitif, dan tindakan yang dibutuhkan untuk memenuhi tuntutan situasi. Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa efikasi diri merupakan keyakinan akan kemampuan diri, ketangguhan individu dalam menghadapi tantangan, suatu bentuk evaluasi diri dalam usaha mencapai tujuan yang diinginkan. 2. Dimensi Dari Efikasi Diri Terdapat tiga dimensi efikasi diri dari Bandura (1997) meliputi : a. Level Level menjelaskan tentang bagaimana individu menghadapi sebuah tantangan dengan kemampuan yang individu miliki, serta melakukan usaha sesuai

12 24 kemampuannya. Memiliki tingkat ketepatan sehingga individu dapat yakin akan kemampuan dirinya mengerjakan suatu tugas dengan tepat. Memiliki tingkat produktivitas sehingga individu yakin dapat menghasilkan sesuatu, dan memiliki suatu cara bagaimana menghadapi ancaman sehingga induvidu dapat mengatasi ancaman yang datang (Bandura, 1997). Contoh, petugas BPBD melihat seseorang mengalami musibah atau bencana, individu akan siap dan yakin untuk dapat membantu korban dengan kemampuan yang individu miliki. b. Generality Generality menjelaskan bagaimana seseorang dapat menilai keyakinan individu untuk dapat melakukan tugas atau aktivitas yang cakupannya lebih luas. Adanya derajat kesamaan aktivitas artinya, bagaimana individu melakukan aktivitas menggunakan kemampuannya dengan melibatkan komponen konatif, kognitif, dan afektif (Bandura, 1997). Contoh, ketika petugas BPBD akan memberikan bantuan kepada orang lain yang mengalami musibah atau bencana tidak hanya membantu dengan tenaga namun juga melibatkan cara berpikir dan melibatkan perasaan, sehingga bantuan yang diberikan diharapkan akan efektif. c. Strength Keyakinan diri seseorang akan melemah ketika tidak didukung oleh adanya pengalaman, mengingat orang yang memiliki keyakinan yang kuat akan kemampuan diri sendiri akan lebih gigih serta senantiasa berjuang untuk mencapai tujuan walaupun sulit dan penuh rintangan (Bandura, 1997). Contoh, ketika petugas BPBD mengalami kesulitan dalam menghadapi kasus atau kejadian bencana, seseorang akan termotivasi untuk mencari jalan keluar untuk menghadapi rintangan.

13 25 Dimensi menurut Bandura (1997) yang terdiri dari level, generality, dan strength menjadi dimensi yang digunakan dalam pengembangan alat ukur atau skala efikasi diri pada penelitian ini. 3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Efikasi Diri Menurut Bandura (1997) ada beberapa hal yang memengaruhi efikasi diri pada individu, antara lain: a. Jenis kelamin Adanya tingkat perbedaan pada perkembangan kemampuan dan kompetensi antara laki-laki dan perempuan. Dalam kompetensi tertentu laki-laki memiliki efikasi diri yang lebih tinggi dibanding dengan wanita, begitu pula sebaliknya wanita memiliki efikasi diri yang tinggi dalam beberapa kompetensi tertentu dibandingkan dengan pria (Bandura, 1997). b. Usia Setiap individu mengalami berbagai pengalaman dalam hidup, atau disebut mengalami proses belajar sosial.jika dibandingkan antara individu muda dengan individu yang lebih tua. Individu yang lebih muda diyakini memiliki rentang waktu dan pengalaman yang lebih sedikit dibandingkan individu yang lebih tua hal ini dikarenakan individu yang lebih tua memiliki banyak pengalaman serta peristiwaperistiwa dalam hidup. Individu yang lebih tua diyakini akan lebih mampu mengatasi suatu tugas dibandingkan dengan individu yang lebih muda, hal ini berkaitan dengan pengalaman yang individu miliki (Bandura, 1997).

14 26 c. Tingkat pendidikan Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi diyakini memiliki efikasi diri yang lebih tinggi dikarenakan individu tersebut lebih banyak belajar dalam pendidikan formal. Selain itu, individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk belajar dalam mengatasi permasalahan dalam hidup (Bandura, 1997). d. Pengalaman Melalui proses belajar dalam suatu organisasi atau perusahaan maka dapat terbentuk efikasi diri. Efikasi diri dapat terjadi dikarenakan proses adaptasi dan pembelajaran yang ada dalam situasi kerja. Dengan semakin banyaknya pengalaman yang dimiliki maka semakin tinggi pula efikasi diri individu. Tetapi efikasi diri individu juga dapat dipengaruhi oleh keberhasilan maupun kegagalan yang dialami oleh individu yang menentukan tinggi dan rendahnya efikasi diri yang dimiliki masing-masing individu (Bandura, 1997). 4. Sumber Efikasi Diri Menurut Bandura (1997) efikasi diri dapat ditingkatkan atau menurun melalui salah satu atau kombinasi dari empat sumber: a. Pengalaman menguasai sesuatu (mastery experiences) Sumber yang paling berpengaruh dari efikasi diri adalah pengalaman menguasai sesuatu, yaitu perfoma masa lalu. Secara umum, performa yang berhasil akan menghasilkan ekspektasi mengenai kemampuan atau menaikkan efikasi diri individu, sebaliknya kegagalan cenderung akan menurunkan efikasi diri. Setelah

15 27 efikasi diri yang kuat berkembang melalui serangkaian keberhasilan, dampak negatif dari kegagalan yang umum akan terkurangi (Bandura, 1997). b. Pengalaman orang lain (vicarious experience) Sumber kedua dari efikasi diri adalah vicarious experiences. Pengamatan terhadap keberhasilan orang lain dengan kemampuan yang sebanding dalam mengerjakan suatu tugas akan meningkatkan efikasi diri individu dalam mengerjakan tugas yang sama. Begitu sebaliknya, pengamatan terhadap kegagalan orang lain akan menurunkan penilaian individu mengenai kemampuannya dan individu akan mengurangi usaha yang dilakukan (Bandura, 1997). c. Persuasi verbal (verbal persuasion) Sumber yang ketiga dari efikasi diri adalah verbal persuasion. Pada persuasi verbal, individu diarahkan dengan saran, nasehat dan bimbingan sehingga dapat meningkatkan keyakinannya tentang kemampuan yang dimiliki yang dapat membantu mencapai tujuan yang diinginkan. Individu yang diyakinkan secara verbal cenderung akan berusaha lebih keras untuk mencapai keberhasilan (Bandura, 1997). Menurut Bandura (dalam Feist & Feist, 2010) berhipotesis bahwa daya yang lebih efektif dari sugesti berhubungan langsung dengan status dan otoritas yang dipersepsikan dari orang yang melakukan persuasi. d. Kondisi fisiologis (physiological state) Sumber terakhir dari efikasi diri adalah physiological state. Individu akan mendasarkan infomasi mengenai kondisi fisiologis mereka untuk menilai kemampuannya. Ketegangan fisik pada situasi yang menekan dipandang individu sebagai suatu tanda ketidakmampuan karena hal itu dapat melemahkan peformansi kerja individu (Bandura, 1997).

16 28 C. Empati Pada penjelasan mengenai empati yang dibahas mencakup pengertian empati, dimensi empati tersebut, dan faktor-faktor yang memengaruhi ketepatan empati. 1. Definisi Dari Empati Empati merupakan perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, ikut merasakan penderitaan orang lain. Selain itu empati dapat memotivasi orang untuk membantu orang lain yang membutuhkan Taylor, dkk. (2009). Hoffman (dalam Goleman, 2001), berpendapat bahwa akar moralitas ada dalam empati, sebab berempati pada korban potensial atau yang patut di tolong. Allport (dalam Taufik, 2012) mendefinisikan empati sebagai perubahan imajinasi seseorang ke dalam pikiran, perasaan dan perilaku orang lain, selain itu peran imitasi merupakan titikberat di dalam empati. Dia menyatakan bahwa empati merukapan the imaginative transposing of oneself into the thinking, feeling, and acting of another. Sedangkan Staub (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) menyatakan bahwa empati mengacu pada kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Kohut (dalam Taufik, 2012) melihat empati sebagai suatu proses ketika seseorang berpikir mengenai kondisi orang lain yang seakan-akan dia berada pada posisi orang lain itu. Selanjutnya Kohut (dalam Taufik, 2012) melakukan penguatan atas definisinya tersebut dengan mengatakan bahwa empati adalah kemampuan berpikir objektif tentang kehidupan terdalam dari orang lain. Rogers (dalam Feist & Feist, 2010), menyatakan bahwa empati adalah untuk sementara hidup dalam kehidupan orang lain, bergerak didalamnya dengan hati-hati tanpa menghakimi.

17 29 Menurut Devito (1997), empati merupakan kemampuan seseorang untuk memahami apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu serta mampu menempatkan diri pada keadaan dan pengalaman orang lain. Rogers (dalam Taufik, 2012) menawarkan dua konsepsi, yang pertama menuliskan bahwa empati adalah melihat kerangka berpikir internal orang secara akurat. Kedua, dalam menghadapi orang lain tersebut individu seolah-olah masuk dalam diri orang lain sehingga bisa merasakan dan mengalami sebagaimana yang dirasakan dan dialami oleh orang lain, tetapi tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri. Jika menurut Taylor, dkk. (2009) empati merupakan perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, ikut merasakan penderitaan orang lain, dan menjadi motivasi seseorang dalam menolong. Hoffman (dalam Goleman, 2001) menambahkan empati sebagai akar moralitas berperilaku. Allport (dalam Taufik, 2012) menambahkan empati bersumber pada pikiran, perasaan dan perilaku orang lain. Senada dengan pendapat Allport, Staub (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) empati merupakan kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Devito (1997), menambahkan adanya sikap mampu menempatkan diri pada keadaan orang lain. Sedangkan Kohut (dalam Taufik, 2012) menyatakan adanya kemampuan berpikir objektif tentang kehidupan terdalam dari orang lain. Selain itu Rogers (dalam Feist & Feist, 2010), menyatakan untuk sementara hidup dalam kehidupan orang lain. Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa empati merupakan perasaan simpati, dapat menempatkan diri pada keadaan orang lain, menjadi motivasi seseorang dalam menolong, sebagai akar moralitas berperilaku, serta mampu berpikir objektif dalam bersikap.

18 30 2. Dimensi Dari Empati Terdapat beberapa dimensi empati dari Davis (dalam Taufik, 2012) meliputi : a. Perspective-Taking Perspective-Taking yaitu suatu tendensi untuk memahami pandanganpandangan dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari (Davis dalam Taufik, 2012). Batson, Early, dan Salvarani (dalam Baron & Byrne, 2005) mengambil perspektif (perspective taking) terkait bagaimana seseorang mampu untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain. Contoh, ketika seseorang mengalami musibah atau bencana kita senantiasa mencoba memahami serta meluangkan waktu untuk membantu. b. Empathic Concern Empathic Concern yaitu suatu tendensi terhadap pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan kehangatan, rasa iba dan perhatian terhadap kemalangan orang lain (Davis dalam Taufik, 2012). Contoh, ketika seseorang mengalami musibah atau bencana kita dapat merangkul dalam artian memberikan perhatian maupun kepedulian terhadap orang lain yang membutuhkan bantuan c. Personal Distres Personal Distres yaitu dimensi yang mengukur reaksi-reaksi emosional tertentu, ketika seseorang merasa tidak nyaman dengan perasaannya sendiri serta melihat ketidaknyamanan pada emosi orang lain (Davis dalam Taufik, 2012). Contoh, ketika orang lain mengalami musibah atau bencana kita menjadi merasa bersalah ketika tidak memberikan bantuan kepada yang membutuhkan.

19 31 d. Fantacy Fantacy cenderung untuk menempatkan diri sendiri kedalam perasaan dan perilaku-perilaku dari karakter karakter yang ada di dalam buku-buku cerita, novel, game, film, dan situasi-situasi fiksi lainnya (Davis dalam Taufik, 2012). Batson, Early, dan salvarani (dalam Baron & Byrne, 2005) pengambilan perspektif melibatkan fantasi dimaksudkan bahwa seseorang merasa empati pada karakter fiktif. Penonton yang merasa berempati akan mengalami kesedihan, ketatutan atau gembira ketika emosi-emosi ini dialami oleh karakter dalam cerita. Contoh, ketika orang mengalami musibah atau bencana kita dapat membayangkan gejolak perasaan yang dialami oleh korban. Dimensi menurut Davis (dalam Taufik, 2012) yang terdiri dari perspectivetaking, empatic concern, personal distres, dan fantacy menjadi dimensi yang digunakan dalam pengembangan alat ukur atau skala empati dalam penelitian ini. 3. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Empati. Menurut Taufik (2012) ada beberapa faktor yang memengaruhi empati anatara lain adalah faktor gender, faktor kognitif, faktor sosial, status sosial ekonomi, dan hubungan dekat (close relationship). a. Gender Perempuan dikenal mudah merasakan kondisi emosional orang lain dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Gesn dan Graham (dalam Taufik, 2012) temuan penelitiannya tentang gender dan akurasi empati hasilnya menunjukkan bahwa akurasi empati perempuan lebih baik daripada laki-laki, tetapi ini hanya dalam kondisi-kondisi tertentu. Namun terdapat catatan bahwa akurasi empati perempuan

20 32 tinggi ketika partisipan sadar bahwa empati seseorang sedang diukur atau ketika stereotip gender ditonjolkan, yaitu akurasi empati partisipan perempuan lebih tinggi terhadap target empati berjenis kelamin perempuan. Temuan-temuan itu berimplikasi kepada motivasi, dan tidak menunjukkan akurasi yang lebih tinggi bilamana target empati berbeda jenis kelamin dari dirinya (Gesn & Graham dalam Taufik, 2012). Menurut Latane dan Dabbs (dalam Baron & Byrne, 2005) penelitian telah secara konsisten menunjukan bahwa laki-laki lebih cenderung memberi pertolongan pada wanita yang mengalami kesilitan. Meskipun wanita pada semua kalangan umur mempunyai empati yang lebih tinggi dari pada pria (Shigetomi, Hartmann & Gelfand dalam Baron & Byrne, 2005) b. Faktor Kognitif Menurut Ickes, Buysse, Pham, Rivers, Erikson, dan Hancock (dalam Taufik, 2012) keakuratan empati berkaitan dengan kecerdasan verbal, orang yang memiliki kecerdasan verbal tinggi akan dapat berempati secara akurat dibandingkan dengan orang yang rendah tingkat kecerdasan verbalnya. Orang-orang yang memiliki kecerdasan verbal tinggi akan mudah mengekspresikan perasaan-perasaan dan pikiran-pikirannya sendiri untuk memahami pikiran-pikiran dan perasaan orang lain. Selain itu, kemampuan dalam mengungkapkan pikiran-pikiran dan perasaan dalam bentuk verbal (bahasa) akan membuat target empati mudah dalam berbagi pikiran dan perasaan dengannya. c. Faktor Sosial Pickett, Gardner, dan Knowles (dalam Taufik, 2012) menyatakan bahwa individu-individu memungkinkan untuk mengarahkan perhatian terhadap isyaratisyarat interaksi sosial, termasuk dalam memahami karakteristik vokal. Maka empati

21 33 yang dilakukan secara akurat dapat memelihara hubungan sosial. Menurut Taylor (2009) faktor sosial penting dalam membina hubungan yang positif dengan orang lain, sebagaimana dengan terbinanya hubungan yang positif akan membentuk ikatan saling membutuhkan satu sama lain. d. Status Sosial Ekonomi Kraus, Stephane, dan Keltner (dalam Taufik, 2012) menjelaskan, pada orangorang berstatus sosial ekonomi rendah kehidupan seseorang dipengaruhi oleh karakteristik konteks lainnya, seperti tingkat dukungan yang telah seseorang terima. Oleh karena itu, orang-orang dengan status sosial yang rendah memungkinkan untuk mengubah perhatian seseorang dari pengalaman-pengalaman dan pikiran-pikiran personal kepada kondisi lingkungan sekitar. Sehingga seseorang lebih sensitif terhadap isyarat lembut dan gaya bicara orang lain, hal ini akan meningkatkan kapasitas seseorang dalam memahami emosi target empati. e. Hubungan Dekat (Close Relationship) Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dapat disimpulkan bahwa empati akan menjadi lebih efektif ketika dilakukan dengan lembut dan nyaman namun akan menjadi lebih bermakna ketika kedua belah pihak membangun suatu bentuk empati bersama tidak satu arah (Taufik, 2012). D. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pada penjelasan mengenai BPBD yang dibahas mencakup definisi bencana dan penyelenggaraan penanggulangan bencana, dasar hukum BPBD, tugas dari BPBD dan fungsi dari BPBD.

22 34 1. Definisi Bencana dan Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Menurut pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana terdapat definisi terkait bencana serta penyelenggaraan penanggulangan bencana sebagai berikut: a. Bencana Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007). b. Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007). 2. Dasar Hukum BPBD Pada Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 pada poin (a) terdapat pernyataan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 menjadi pedoman BNPB di tingkat pusat dan BPBD di tingkat daerah dalam melaksanakan tugas.

23 35 Dasar hukum yang digunakan dalam pembentukan BPBD baik provinsi, kabupaten/kota di Indonesia adalah Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 3 tahun 2008 tentang pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Badan Penanggulangan Bencana Daerah, selanjutnya disebut BPBD adalah perangkat daerah yang dibentuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi penanggulangan bencana di Daerah (Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 3 Tahun 2008). 3. Tugas BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai tugas yang telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan bencana Pasal 21 adalah sebagai berikut: Menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007). a. Menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. b. Menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana. c. Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana. d. Melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya.

24 36 e. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana. f. Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang. g. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. 4. Fungsi BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai fungsi yang telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan bencana Pasal 20 adalah sebagai berikut: a. Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien serta, b. Pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh. Ketika dicermati bahwa tugas penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara, maupun fungsi penggulangan bencana yang diberikan masuk kedalam perilaku prososial. E. Dinamika Peran Perilaku Prososial, Efikasi diri, dan Empati Pada Pegawai BPBD di Bali. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Caprara, dkk. (2007) memperlihatkan bahwa terdapat kontribusi dari variabel efikasi diri, dan empati terhadap variabel perilaku prososial.

25 37 BPBD memiliki tugas yaitu untuk memberikan bantuan maupun melakukan tindakan preventif terkait dengan kebencanaan. Tugas yang diemban oleh pegawai BPBD merupakan bentuk perilaku prososial jika dilihat dari sudut pandang psikologi sosial. Perilaku prososial merupakan suatu bentuk tindakan membantu atau dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif si penolong. Perilaku prososial bisa mulai dari tindakan altruisme tanpa pamrih sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih atau kepentingan pribadi (Taylor, dkk., 2009). Eisenberg dan Mussen (2003), menyatakan bahwa perilaku prososial berkenaan dengan tindakan sukarela yang berniat untuk membantu atau dapat menguntungkan posisi orang lain. Perilaku prososial merupakan suatu bentuk konsekuensi terhadap orang lain, disaat seseorang yang menjadi relawan terlepas dari paksaan. Meskipun perilaku prososial menjadi suatu bentuk konsekuensi positif bagi orang lain, seseorang mungkin berperilaku ada dasarnya atau memiliki berbagai alasan dalam memberikan bantuan, apakah berdasarkan jenis kelamin dan kepribadian (Baron & Byrne, 1984). Dalam menjalankan tugasnya, pegawai BPBD dituntut untuk memiliki kompetensi, ketangguhan, serta keluwesan sehingga dalam prakteknya dapat melakukan pekerjaan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu konsep psikologi yang terkait dengan hal tersebut adalah efikasi diri. Efikasi diri mengacu pada keyakinan manusia mengenai efikasi diri memengaruhi bentuk tindakan yang akan individu pilih untuk dilakukan, sebanyak apa usaha yang akan individu berikan ke dalam suatu aktivitas, selama apa individu akan bertahan dalam menghadapi rintangan dan kegagalan, serta ketangguhan individu dalam menghadapinya (Bandura, 1997). Beberapa dimensi efikasi diri yang terkait dengan pekerjaan dari pegawai BPBD yaitu menyangkut level, generality, dan strength. Pegawai BPBD haruslah memiliki keyakinan akan

26 38 kemampuan dirinya, serta tahu akan potensi dirinya dalam usaha membantu korban bencana ataupun ketika melakukan tindakan preventif di masyarakat. Level menjelaskan tentang bagaimana individu menghadapi sebuah tantangan dengan kemampuan yang individu miliki, serta melakukan usaha sesuai kemampuannya. Memiliki tingkat ketepatan sehingga individu dapat yakin akan kemampuan dirinya mengerjakan suatu tugas dengan tepat. Memiliki tingkat produktivitas sehingga individu yakin dapat menghasilkan sesuatu, dan memiliki suatu cara menghadapi ancaman sehingga induvidu dapat siap mengatasi ancaman yang datang (Bandura, 1997). Generality, terkait dengan bagaimana seseorang dapat menilai keyakinan diri sendiri untuk dapat melakukan tugas atau aktivitas yang cakupannya lebih luas. Adanya derajat kesamaan aktivitas artinya, bagaimana individu melakukan aktivitas menggunakan kemampuannya dengan melibatkan komponen konatif, kognitif, dan afektif (Bandura, 1997). Jadi pegawai BPBD dalam melakukan tugas tidak hanya melibatkan tenaga dalam memberikan suatu pertolongan, namun juga melibatkan aspek afektif atau perasaan yang termasuk dalam keterlibatan empati. Selain itu juga melibatkan aspek kognitif atau pemikiran yang terkait bagaimana pegawai dalam menghadapi tantangan dan ringtangan seperti memiliki pengetahuan terkait Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Strength menyangkut keyakinan diri seseorang akan melemah ketika tidak didukung oleh adanya pengalaman, mengingat orang yang memiliki keyakinan yang kuat akan kemampuan diri sendiri akan lebih gigih serta senantiasa berjuang untuk mencapai tujuan walaupun sulit dan penuh rintangan (Bandura, 1997). Pegawai BPBD yang turun ke lapangan dalam memberikan bantuan pertolongan ataupun saat melakukan tindakan preventif dimasyakat, akan mampu, kuat serta dapat berjuang untuk mencapai tujuan ketika pegawai memiliki memiliki effikasi diri.

27 39 Baron dan Byrne (1991) mendefinisikan bahwa efikasi diri sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan dan mengatasi hambatan. Feist dan Feist (2010) menyatakan bahwa efikasi diri merupakan suatu keyakinan diri, bahwasannya individu mampu untuk melakukan suatu tindakan yang nantinya menghasilkan suatu dampak yang diharapkan. Dalam menjalankan pekerjaan sebagai pegawai BPBD harus memiliki keyakinan akan diri untuk melakukan suatu tindakan saat terjadi bencana maupun ketika melakukan usaha preventif, agar dapat berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan tugas pokok BPBD itu sendiri. Dari uraian tersebut dapat diperlihatkan kaitan antara perilaku prososial terhadap efikasi diri yang dimiliki oleh pegawai BPBD dalam menunjang tugasnya. Dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Supanto (2007) menemukan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel efikasi diri terhadap perilaku prososial atau variabel efikasi diri dapat menjadi prediktor variabel perilaku prososial. Dalam menjalankan tugas kemanusiaan, pegawai BPBD tentunya kerap menemukan kejadian-kejadian di lapangan yang membuat seseorang berempati melihat keadaan seseorang yang terkena musibah. Menurut Taylor, dkk., (2009), empati merupakan perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, ikut merasakan penderitaan orang lain. Selain itu empati dapat memotivasi orang untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Hoffman (dalam Goleman, 2001), berpendapat bahwa akar moralitas ada dalam empati, sebab berempati pada korban potensial atau yang patut ditolong. Selain itu dia juga menyatakan bahwa kemampuan yang sama untuk merasakan empati, menempatkan diri pada posisi orang lain, sehingga membuat seseorang menganut prinsip-prinsip moral tertentu. Ketika pegawai memiliki rasa empati yang tinggi maka kecenderungan dalam melakukan perilaku menolong akan juga semakin meningkat dalam hal ini perilaku menolong dikategorikan sebagai perilaku prososial. Hal

28 40 tersebut dibuktikan oleh pernyataan dari Taylor, dkk., (2009) bahwa perilaku prososial juga dipengaruhi oleh tipe relasi antar-orang, entah itu karena suka, merasa berkewajiban, memiliki pamrih, atau empati (Taylor, dkk., 2009). Selain itu banyak studi yang dilakukan di Amerika yang menunjukkan bahwa empati meningkatkan perilaku prososial, Batson & Hoffman (dalam Feist & Feist, 2010). Dari uraian tersebut, maka dapat disebutkan bahwa empati memiliki peran terhadap perilaku prososial dalam bentuk perilaku menolong.

29 41 a. Level b. Generality c. Strength Efikasi Diri Perilaku Prososial Empati a. perspective-taking b. empathic concern c. personal distres d. fantacy a. Sharing (Berbagi) b. Cooperative (Bekerjasama) c. Donating (Berbagi) d. Helping (Menolong) e. Honesty (Kejujuran) f. Generosity (Berderma) g. Mempertimbangkan Hak dan Kesejahteraan Orang Lain. Keterangan Gambar: A. : Variabel Penelitian B. : Peran C. : Dimensi variabel penelitian D. : Mencirikan variabel penelitian Gambar 1. Diagram Peran Perilaku Prososial, Efikasi Diri, dan Empati Pada Pegawai BPBD di Bali.

30 42 F. Hipotesis Penelitian Dalam melakukan penelitian dengan analisis kuantitatif, peneliti melakukan suatu prediksi mengenai jawaban atas pertanyaan penelitian yang di rumuskan dalam bentuk hipotesis penelitian, artinya hipotesis merupakan suatu bentuk jawaban sementara atas pertanyaan pada suatu penelitian, (Azwar, 1997) Berdasarkan uraian teoretik di atas, maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai hipotesis mayor dan hipotesis minor. 1. Hipotesis Mayor: Hipotesis alternatif (Ha) : Efikasi Diri dan Empati berperan terhadap Perilaku Prososial pada pegawai BPBD di Bali. 2. Hipotesis Minor: a. Hipotesis alternatif (Ha1): Efikasi Diri berperan terhadap Perilaku Prososial pada pegawai BPBD di Bali. b. Hipotesis alternatif (Ha2): Empati berperan terhadap Perilaku Prososial pada pegawai BPBD di Bali.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku sebagai sesuatu yang dilakukan oleh setiap individu dan sesuatu yang bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada dimasyarakat dan biasanya dituntut untuk dilakukan (Staub, dalam Baron

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada dimasyarakat dan biasanya dituntut untuk dilakukan (Staub, dalam Baron BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Definisi Perilaku Prososial Perilaku prososial memiliki arti sebagai sosial positif atau mempunyai konsekuensi positif. Sosial positif ini didasarkan atas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Prososial 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Menurut Kartono (2003) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu perilaku prososial yang menguntungkan dimana terdapat

Lebih terperinci

c. Pengalaman dan suasana hati.

c. Pengalaman dan suasana hati. PERILAKU PROSOSIAL Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya. William (1981) membatasi perilaku prososial

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sekelompok individu (Eisenberg, 1989). Hudaniah, 2006), menekankan bahwa perilaku prososial mencakup tindakantindakan

BAB II LANDASAN TEORI. sekelompok individu (Eisenberg, 1989). Hudaniah, 2006), menekankan bahwa perilaku prososial mencakup tindakantindakan BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Perilaku Prososial 2.1.1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial didefinisikan sebagai tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk membantu atau memberi keuntungan pada

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI Disusun Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1)

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial pada Remaja 1. Pengertian Perilaku Prososial pada Remaja Sears dkk. (1994: 47), berpendapat perilaku prososial adalah tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. oleh Kartini Kartono (1981) mengarikan perilaku (behavior) adalah respon

BAB II KAJIAN PUSTAKA. oleh Kartini Kartono (1981) mengarikan perilaku (behavior) adalah respon 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Chaplin dalam bukunya Dictionary of Psychology yang diterjemahkan oleh Kartini Kartono (1981) mengarikan perilaku (behavior)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki 129 gunung api aktif, atau dikenal dengan ring of fire. Kondisi letak geografis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki 129 gunung api aktif, atau dikenal dengan ring of fire. Kondisi letak geografis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia terkenal dengan kekayaan alam dan keindahan hayati salah satunya memiliki 129 gunung api aktif, atau dikenal dengan ring of fire. Kondisi letak

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Empati 2.1.1 Definisi Empati Empati merupakan suatu proses memahami perasaan orang lain dan ikut merasakan apa yang orang lain alami. Empati tidak hanya sebatas memasuki dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah kemampuan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Efikasi Diri A. Efikasi Diri Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam teori sosial kognitif atau efikasi diri sebagai kepercayaan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekolah inklusi merupakan salah bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dan sebagai upaya pensosialisasian ABK kepada masyarakat. Crockett

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Brigham (dalam Dayakisni, 2009) menerangkan bahwa perilaku prososial merupakan perilaku untuk menyokong kesejahteraan orang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Definisi Perilaku Prososial Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang ditujukan untuk memberikan keuntungan pada satu atau banyak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial menurut Asih dan Pratiwi (2010) merupakan salah suatu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI PERILAKU ALTRUISTIK. kebaikan orang lain. Akert, dkk (dalam Taufik, 2012) mengatakan bahwa

BAB II LANDASAN TEORI PERILAKU ALTRUISTIK. kebaikan orang lain. Akert, dkk (dalam Taufik, 2012) mengatakan bahwa BAB II LANDASAN TEORI PERILAKU ALTRUISTIK 1. Definisi Perilaku Altruistik Menurut Baron (2005) perilaku altruistik adalah tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingkan diri sendiri

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas BAB II KAJIAN TEORI A. Self Efficacy 1. Pengertian Self Efficacy Sejarah self efficacy pertama kali diperkenalkan oleh Bandura dalam pembelajaran sosial, dimana self efficacy merupakan turunan dari teori

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA KARANG TARUNA DESA PAKANG NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA KARANG TARUNA DESA PAKANG NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA KARANG TARUNA DESA PAKANG NASKAH PUBLIKASI Diajukan Oleh: SATRIA ANDROMEDA F 100 090 041 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Sebagai makhluk sosial manusia tumbuh bersama-sama dan mengadakan

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Sebagai makhluk sosial manusia tumbuh bersama-sama dan mengadakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia disebut juga sebagai makhluk holistik, yaitu bisa berfungsi sebagai makhluk individual, makhluk sosial, dan juga makhluk religi. Manusia sebagai makhluk

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan BAB 2 LANDASAN TEORI Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan prestasi belajar. 2.1 Self-Efficacy 2.1.1 Definisi self-efficacy Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional

BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Altruis 2.1.1 Pengertian Altruis adalah suatu bentuk perilaku menolong berupa kepedulian untuk menolong orang lain dengan sukarela tanpa mengharapkan adanya imbalan atau balasan.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bencana dengan tingkat yang tinggi (HPLI, 2014).Bencana yang dimaksud adalah bencana alam, yaitu segala jenis bencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan penelitian 1.3 Kerangka Teori

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan penelitian 1.3 Kerangka Teori BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menolong merupakan perbuatan yang mulia, sejauh pertolongan itu dibutuhkan sehingga bermanfaat. Namun terkadang pertolongan justru tidak datang saat dibutuhkan. Banyak

Lebih terperinci

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 DISKUSI Berdasarkan hasil analisis pada bab IV, maka hipotesis yang menyatakan bahwa empati dan pola asuh demokratis sebagai prediktor perilaku prososial pada remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan dengan sempurna dan berbeda dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Manusia dilengkapi dengan akal

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Self Efficacy Konsep mengenai self efficacy ini pada dasarnya melibatkan banyak kemampuan yang terdiri dari aspek kegiatan sosial dan kemampuan untuk bertingkah laku.

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SMK BINA PATRIA 2 SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SMK BINA PATRIA 2 SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SMK BINA PATRIA 2 SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan Oleh:

Lebih terperinci

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN KUNINGAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan pepatah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Nilai kesetiakawanan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan pepatah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Nilai kesetiakawanan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial, dimana manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Sejak jaman dahulu manusia hidup bergotongroyong, sesuai dengan pepatah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di mana dapat berkembang dan diperkembangkan (Giri Wiloso dkk, 2012). Sebagai makhluk sosial, manusia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Efikasi Diri Akademik 1. Pengertian Efikasi Diri Akademik Bandura (1997) menjelaskan bahwa efikasi diri merupakan perkiraan seseorang tentang kemampuannya untuk mengatur dan

Lebih terperinci

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK Murhima A. Kau Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo INTISARI Proses perkembangan perilaku prososial menurut sudut pandang Social Learning Theory

Lebih terperinci

BUPATI BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan masuk dalam aspek perilaku prososial. Prososial memiliki arti

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan masuk dalam aspek perilaku prososial. Prososial memiliki arti 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia hakikatnya adalah mahkluk individu sekaligus mahkluk sosial. Manusia dalam menjalani kehidupannya akan senantiasa bersama, bergantung dan membutuhkan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain. Makhluk sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga, lingkungan teman sebaya sampai lingkungan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga, lingkungan teman sebaya sampai lingkungan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang hidup dengan berinteraksi satu sama lain, ia tidak dapat hidup sendiri tanpa memerlukan bantuan orang lain, mereka hidup dengan orang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dijadikan sebagai sampel penelitian. sampel penelitian ini, dalam salah satu aspek prososial yaitu sharing,

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dijadikan sebagai sampel penelitian. sampel penelitian ini, dalam salah satu aspek prososial yaitu sharing, BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Subjek Subjek Penelitian ini adalah seluruh mahasiswa/i UIN Sunan Ampel Surabaya. Jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak 50

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain. Penyesuaian pribadi dan sosial remaja ditekankan dalam lingkup teman sebaya. Sullivan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Subjective well-being Subjective well-being merupakan bagian dari happiness dan Subjective well-being ini juga sering digunakan bergantian (Diener & Bisswass, 2008).

Lebih terperinci

Abstrak. Abstract. Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana ISSN:

Abstrak. Abstract. Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana ISSN: Jurnal Psikologi Udayana 2016, Vol. 3, No. 3, 551-562 Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana ISSN:2354 5607 Peran Perilaku Prososial, Efikasi Diri dan Empati pada Pegawai Badan

Lebih terperinci

No.1087, 2014 BNPB. Badan Penanggulangan Bencana. Daerah. Pembentukan. Pedoman KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA,

No.1087, 2014 BNPB. Badan Penanggulangan Bencana. Daerah. Pembentukan. Pedoman KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA, No.1087, 2014 BNPB. Badan Penanggulangan Bencana. Daerah. Pembentukan. Pedoman KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penuh keramahan. Namun akhir-akhir ini banyak ahli yang harus berpikir

BAB I PENDAHULUAN. penuh keramahan. Namun akhir-akhir ini banyak ahli yang harus berpikir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Indonesia sejak dulu dikenal oleh dunia karena masyarakatnya yang hidup dengan rukun, saling tolong menolong, saling mensejahterakan dan penuh keramahan. Namun

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Efikasi Diri (self-efficacy) Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran penting. Faktor person (kognitif) yang ditekankan Bandura (dalam Santrock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga memiliki akal pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. juga memiliki akal pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan. Sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat, manusia juga memiliki akal pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan. Sebagai makhluk sosial, itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menjelang pergantian tahun 2004, Indonesia dirundung bencana. Setelah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menjelang pergantian tahun 2004, Indonesia dirundung bencana. Setelah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menjelang pergantian tahun 2004, Indonesia dirundung bencana. Setelah Nabire, Papua dan Alor, Nusa Tenggara Timur, Aceh pun tak luput dari bencana. Bencana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tahap anak-anak merupakan salah satu tahapan kehidupan yang pasti

BAB 1 PENDAHULUAN. Tahap anak-anak merupakan salah satu tahapan kehidupan yang pasti 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tahap anak-anak merupakan salah satu tahapan kehidupan yang pasti dilalui oleh seseorang. Anak-anak merupakan aset penting milik negara yang akan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR I.1. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR I.1. Latar Belakang BAB I PENGANTAR Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial memiliki arti bahwa manusia memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang

Lebih terperinci

- 2 - MEMUTUSKAN : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PERBAIKAN DARURAT PADA SAAT TRANSISI DARURAT BENCANA DI ACEH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

- 2 - MEMUTUSKAN : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PERBAIKAN DARURAT PADA SAAT TRANSISI DARURAT BENCANA DI ACEH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 39 TAHUN 2016 TENTANG PERBAIKAN DARURAT PADA SAAT TRANSISI DARURAT BENCANA DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa untuk meminimalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Remaja pada dasarnya dalam proses perkembangannya membutuhkan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Remaja juga mulai belajar serta mengenal pola-pola sosial salah satunya adalah perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebagai Non Goverment Organization dan seterusnya disebut sebagai NGO mulai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebagai Non Goverment Organization dan seterusnya disebut sebagai NGO mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada awal abad ke 20 istilah organisasi non pemerintah atau disebut sebagai Non Goverment Organization dan seterusnya disebut sebagai NGO mulai digunakan untuk membedakan

Lebih terperinci

BUPATI KAPUAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI KAPUAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI KAPUAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN KAPUAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAPUAS,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses hidup, manusia selalu membutuhkan orang lain mulai dari lingkungan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses hidup, manusia selalu membutuhkan orang lain mulai dari lingkungan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai arti bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa adanya kehadiran orang lain dilingkungan sekitarnya. Dalam proses hidup,

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KEDIRI

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KEDIRI SALINAN WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KEDIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KEDIRI,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Teoritis 1. Self-Efficacy a. Pengertian Self-Efficacy Self-efficacy menurut Bandura (1997) adalah keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya dalam melakukan tugas atau

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO

PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN PONOROGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejak masih zaman Yunani kuno. Para filsuf klasik berpandangan bahwa bagian

BAB I PENDAHULUAN. sejak masih zaman Yunani kuno. Para filsuf klasik berpandangan bahwa bagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pandangan bahwa manusia sebagai individu merupakan satu kesatuan dari aspek fisik atau jasmani dan psikis atau rohani atau jiwa yang tidak dapat dipisahkan, sesungguhnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak manusia lahir, manusia telah hidup dengan orang lain. Mereka saling membutuhkan dan saling ketergantungan. Sebagai contoh, saat manusia dilahirkan ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam

BAB I PENDAHULUAN. Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan menolong ini berarti memberikan sesuatu yang dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 2.1 Kecerdasan Interpersonal

BAB II KAJIAN TEORI. 2.1 Kecerdasan Interpersonal 2.1 Kecerdasan Interpersonal BAB II KAJIAN TEORI 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Interpersonal Kecerdasan interpersonal bisa dikatakan juga sebagai kecerdasan sosial, diartikan sebagai kemampuan dan keterampilan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. objek lainnya (Hatch dalam Sugiono, 2006). Penelitian ini menggunakan

BAB III METODE PENELITIAN. objek lainnya (Hatch dalam Sugiono, 2006). Penelitian ini menggunakan 28 BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel dan Definisi Operasional 1. Identifikasi Variabel Variabel adalah atribut seseorang atau obyek yang mempuanyai variasi antara orang yang satu dengan lainnya maupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian Diri Schneider (1964) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana gempa bumi dan tsunami dengan intensitas yang cukup tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. bencana gempa bumi dan tsunami dengan intensitas yang cukup tinggi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dilihat dari geografisnya, Indonesia merupakan wilayah dengan ancaman bencana gempa bumi dan tsunami dengan intensitas yang cukup tinggi. Banyaknya gunung aktif

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. RELAWAN 1. Pengertian Relawan Relawan adalah seseorang yang secara sukarela (uncoeced) menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran, dan keahliannya untuk menolong orang lain (help other)

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 4 TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 4 TAHUN BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN SIGI PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2012 1 BUPATI SIGI PERATURAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengetahui tingkat internal locus of control siswa dilakukan dengan

BAB III METODE PENELITIAN. mengetahui tingkat internal locus of control siswa dilakukan dengan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Widodo (2004) mengatakan sebuah penelitian dikatakan jenis penelitian korelasional karena penelitian itu ditujukan untuk melihat atau mengetahui hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa mengalami masa peralihan dari remaja akhir ke masa dewasa awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih dituntut suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk. dasarnya ia memiliki ketergantungan. Inilah yang kemudian menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk. dasarnya ia memiliki ketergantungan. Inilah yang kemudian menjadikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk berdampingan dengan orang lain dan tidak bisa hidup secara individual. Manusia tidak akan mampu hidup sendiri

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN INTENSI ALTRUISME PADA SISWA SMA N 1 TAHUNAN JEPARA

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN INTENSI ALTRUISME PADA SISWA SMA N 1 TAHUNAN JEPARA 1 HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN INTENSI ALTRUISME PADA SISWA SMA N 1 TAHUNAN JEPARA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat S-1 Disusun oleh : AHMAD ARIF F 100 030

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 56 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KEDIRI

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 56 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KEDIRI SALINAN WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 56 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tardif (dalam Muhibbin Syah, 2003) yang dimaksud dengan cara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tardif (dalam Muhibbin Syah, 2003) yang dimaksud dengan cara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cara mengajar 2.1.1 Pengertian Cara mengajar Menurut Tardif (dalam Muhibbin Syah, 2003) yang dimaksud dengan cara mengajar adalah cara yang berisi prosedur baku untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Altruisme 1. Pengertian Altruisme Altruisme berasal dari kata alter yang artinya orang lain. Secara bahasa altruism adalah perbuatan yang berorientasi pada kebaikan orang lain.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN KUDUS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN KUDUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia meskipun dalam kadar yang berbeda. Manusia dimotivasi oleh dorongan

BAB I PENDAHULUAN. manusia meskipun dalam kadar yang berbeda. Manusia dimotivasi oleh dorongan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku saling tolong menolong merupakan perilaku yang dimiliki oleh manusia meskipun dalam kadar yang berbeda. Manusia dimotivasi oleh dorongan sosial, bukan

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN WONOGIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

TINGKAH LAKU PROSOSIAL

TINGKAH LAKU PROSOSIAL TINGKAH LAKU PROSOSIAL Modul ke: Fakultas Psikologi Dasar tingkah pro-sosial; Tahap-tahap perilaku menolong; Respons terhadap keadaan darurat; Pengaruh internal dan eksternal dalam menolong; Komitmen jangka

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sendiri tanpa mengharapkan sesuatu dari si penolong itu sendiri. Perilaku

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sendiri tanpa mengharapkan sesuatu dari si penolong itu sendiri. Perilaku BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Sears, Jhonathan, Anne (1994), berpendapat perilaku prososial adalah tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. tahun 1990-an. Sebelumnya Gardner (Goleman, 2009:51-53)

BAB II KAJIAN TEORI. tahun 1990-an. Sebelumnya Gardner (Goleman, 2009:51-53) BAB II KAJIAN TEORI A. Kecerdasan Emosi 1. Pengertian Kecerdasan Emosi Istilah kecerdasan emosional muncul secara luas pada pertengahan tahun 1990-an. Sebelumnya Gardner (Goleman, 2009:51-53) mengemukakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Konstruk yang dideskripsikan sebagai Locus of control pertama-tama

BAB II KAJIAN TEORI. Konstruk yang dideskripsikan sebagai Locus of control pertama-tama BAB II KAJIAN TEORI A. Locus Of Control 1. Pengertian Locus Of Control Konstruk yang dideskripsikan sebagai Locus of control pertama-tama muncul dengan terpublikasinya sebuah monograf oleh Rotter. Dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. EFIKASI DIRI PARENTING 1. Pengertian Efikasi Diri Bandura merupakan tokoh yang memperkenalkan istilah efikasi diri (selfefficacy). Bandura (2001) mendefinisikan bahwa efikasi

Lebih terperinci

UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU PRO-SOSIAL MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN METODE SOSIODRAMA. Arni Murnita SMK Negeri 1 Batang, Jawa Tengah

UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU PRO-SOSIAL MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN METODE SOSIODRAMA. Arni Murnita SMK Negeri 1 Batang, Jawa Tengah Jurnal Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling Vol. 2, No. 1, Januari 2016 ISSN 2442-9775 UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU PRO-SOSIAL MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN METODE SOSIODRAMA Arni Murnita

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU

PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BATU, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Remaja. suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Remaja. suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20, para ahli menemukan suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO. 9 2009 SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, SALINAN NOMOR 19/2014 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang

Lebih terperinci

Perilaku Moral Remaja

Perilaku Moral Remaja Perilaku Moral Remaja Oleh : Anglia Febrina Proses-Proses Dasar Pandangan behavioral menekankan perilaku moral dari remaja. Proses-proses yang sudah biasa kita kenal seperti penguatan, hukuman, imitasi,

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a.

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN RUHANI DAN TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL PADA SANTRI

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN RUHANI DAN TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL PADA SANTRI HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN RUHANI DAN TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL PADA SANTRI SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan. maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan. maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al- 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemaafan 1. Definisi Pemaafan Secara terminologis, kata dasar pemaafan adalah maaf dan kata maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al- Qur an terulang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sejatinya bisa memberikan banyak pelajaran bagi hidup. Peristiwa yang mengharukan

BAB 1 PENDAHULUAN. sejatinya bisa memberikan banyak pelajaran bagi hidup. Peristiwa yang mengharukan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini banyak peristiwa yang lepas dari pandangan orang yang sejatinya bisa memberikan banyak pelajaran bagi hidup. Peristiwa yang mengharukan

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II URAIAN TEORITIS BAB II URAIAN TEORITIS A. Penelitian Terdahulu Hasil penelitian dari Scapinello (1989) menunjukkan bahwa seseorang dengan tingkat kebutuhan akan prestasi yang tinggi kurang dapat menerima kegagalan daripada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial, dimana manusia tidak bisa hidup sendiri. Dalam hidup berdampingan dengan orang lain, setiap orang dapat mengalami konflik

Lebih terperinci

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN NGANJUK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGANJUK,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terkadang dalam prakteknya, anak tidak selalu memahami arti. mendengarkan ceramah dari guru, mengerjakan tugas, dan belajar

BAB I PENDAHULUAN. Terkadang dalam prakteknya, anak tidak selalu memahami arti. mendengarkan ceramah dari guru, mengerjakan tugas, dan belajar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belajar adalah proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. forum diskusi ilmiah, mempraktikkan ilmu pengetahuan di lapangan, dan. juga dibutuhkan pula oleh orang lain (Zuhri, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. forum diskusi ilmiah, mempraktikkan ilmu pengetahuan di lapangan, dan. juga dibutuhkan pula oleh orang lain (Zuhri, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahasiswa merupakan salah satu kaum intelektual yang menuntut ilmu di perguruan tinggi. Di perguruan tinggi, mahasiswa menjalankan tugastugas akademiknya dalam perkuliahan.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Self Efficacy 2.1.1 Pengertian Self Efficacy Self efficacy adalah keyakinan diri individu tentang kemampuannya dan juga hasil yang akan individu peroleh dari kerja kerasnya yang

Lebih terperinci