BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial menurut Asih dan Pratiwi (2010) merupakan salah suatu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial adalah tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain tanpa mempedulikan motif-motif si penolong. Menurut Baron dan Byrne (2005), perilaku prososial dilakukan untuk memberikan keuntungan pada orang lain, bukan terhadap diri penolong. Perilaku prososial dilakukan untuk memberi manfaat bagi orang lain, dan itu sering melibatkan risiko atau biaya untuk diri sendiri, seperti ketika seseorang memberi sumber daya kepada orang lain, menunggu dalam antrian, meminta atau membayar harga yang adil, atau risiko suatu kehidupan dalam pertempuran (Twenge dan Ciarocco, 2007). Perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang memberikan konsekuensi positif bagi si penerima, baik dalam bentuk materi, fisik, ataupun psikologis tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pemiliknya (Dayakisni dan Hudaniah, 2009). Perilaku prososial adalah perilaku yang memberikan kesejahteraan sosial. Menurut Delameter dan Michener (1999), perilaku prososial muncul atas inisiatifnya sendiri bukan karena paksaan atau tekanan dari luar. Hal ini bisa bermacam dari perilaku altruistik (sukarela), menjadi murah hati (seperti memberikan uang atau darah), atau perilaku sejenis 11

2 12 lainnya (Bierhoff, 2002). Penner, Dovidio, Piliavin, dan Schroeder (2005) mendefinisikan perilaku prososial sebagai perilaku yang mengacu pada kecenderungan individu untuk melakukan tindakan sukarela yang bertujuan untuk menguntungkan orang lain, seperti berbagi, menyumbangkan, peduli, menghibur dan membantu. Persson (2005) berpendapat bahwa perilaku prososial merupakan tindakan atau perilaku yang dimaksudkan untuk menguntungkan orang lain dan mencakup tindakan dengan motif yang cukup beragam. Carlo dan Randall (2002) mendefinisikan perilaku prososial sebagai perilaku yang memberi manfaat pada individu lain yang dapat diidentifikasi melalui beberapa tipe berdasarkan motivasi atau latar belakang munculnya perilaku tersebut, yakni compliant (perilaku yang dilakukan atas dasar permintaan individu lain), public (perilaku yang dilakukan ketika terdapat individu lain yang mengamati) anonymous (perilaku yang dilakukan tanpa diketahui orang lain), dire (perilaku dilakukan dalam situasi darurat), emotional (perilaku yang dilakukan dalam situasi yang menggugah emosi individu), dan altruistic (perilaku prososial yang dilakukan murni untuk mensejahterakan orang lain). Dari pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial adalah suatu perilaku menolong yang dilakukan untuk memberi keuntungan kepada orang lain tanpa memberikan keuntungan yang jelas bagi penolong maupun resikonya terhadap penolong.

3 13 2. Aspek-Aspek Perilaku Prososial Beberapa ahli yang membagi aspek perilaku prososial dalam konteks yang berbeda seperti berdasarkan kriteria perilaku prososia, bentuk perilaku prososial dan tipe kepribadian pelaku prososial. Menurut Bringham (1991) ada beberapa aspek dari perilaku prososial, yaitu : a. Persahabatan (friendship) : Kesediaan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan orang lain. b. Kerjasama (cooperating) : Kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain demi tercapai suatu tujuan. c. Menolong (helping) : Kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang berada dalam kesulitan. d. Bertindak jujur (honesty) : Kesediaan untuk melakukan sesuatu seperti apa adanya, tidak berbuat curang. e. Berderma (generousity) : Kesediaan untuk memberikan sukarela sebagian barang miliknya kepada orang yang membutuhkan. Sedangkan Carlo dan Randall (2002) menekankan pengukuran prososial lebih pada konteks bentuk-bentuk perilaku prososial, yaitu: a. Altruistic, yaitu memberikan bantuan secara sukarela yang termotivasi oleh kepedulian dan kesejahteraan orang lain yang sering disebabkan oleh simpati dan diinternalisasi dengan norma dan prinsip dalam membantu orang lain. b. Compliant, yaitu kecendrungan untuk menolong atau membantu orang lain ketika diminta atau dituntut baik secara verbal maupun nonverbal.

4 14 c. Emotional, yaitu Perilaku prososial emosional yang dikonsep sebagai orientasi ke arah membantu orang lain dalam keadaan emosional menggugah. Beberapa situasi membantu dapat dicirikan seperti sangat emosional. Sebagai contoh yaitu orang yang ketika terluka dan ia menangis situasinya terlihat lebih emosional dibandingkan orang yang terluka namin ia tidak menunjukkan kesakitan. d. Public, yaitu perilaku prososial yang dilakukan karena ingin mendapatkan pengakuan dari orang lain untuk dapat meningkatkan harga dirinya. e. Dire, yaitu kecenderungan untuk berperilaku prososial dalam situasi darurat. f. Anonymous, yaitu perilaku prososial yang dilakukan tanpa diketahui oleh siapapun, bentuk perilaku prososial ini adalah kebalikan dari bentuk prososial public. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa para ahli menentukan aspek perilaku prososial dengan berbagai konteks yang berbeda-beda. Di dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan aspek oleh Carlo dan Randall (2002) yaitu altruistic, compliant, emotional, public, dire, dan anonymous. 3. Faktor-Faktor Perilaku Prososial Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku prososial menurut Sarwono (2009), yaitu : a. Faktor Situasional 1) Bystander Bystander atau orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian mempunyai peran sangat besar dalam mempengaruhi seseorang saat

5 15 memutuskan antara menolong atau tidak. Efek bystander terjadi karena pengaruh sosial dan hambatan penonton. 2) Atribusi terhadap korban Seseorang akan termotivasi untuk membantu orang lain bila ia mengasumsikan bahwa ketidakberuntungan yang dimiliki korban adalah diluar kendali korban. 3) Adanya model Adanya model yang melakukan tingkah laku menolong dapat mendorong seseorang untuk turut memberikan pertolongan pada orang lain. 4) Desakan waktu Orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung tidak akan menolong dan orang yang mempunyai waktu luang akan lebih besar kemungkinannya untuk menolong. b. Faktor Dalam Diri 1) Suasana hati (mood) Emosi positif secara umum meningkatkan tingkah laku menolong. Pada emosi negatif misalnya saat seseorang sedang sedih mempunyai kemungkinan yang kecil untuk menolong. 2) Sifat Orang yang mempunyai sifat pemaaf dan self monitoring (pemantauan diri) akan mempunyai kecendrungan untuk menolong.

6 16 Orang yang mempunyai need of approval (kebutuhan akan persetujuan) juga cenderung memiliki perilaku menolong. 3) Jenis kelamin Peran gender terhadap kecendrungan seseorang untuk menolong sangat bergantung pada situasi dan bentuk pertolongan. Misalnya, lakilaki cenderung memberikan pertolongan pada situasi yang darurat dan berbahaya, sedangkan perempuan cenderung menolong dengan memberikan dorongan emosi, merawat dan mengasuh. 4) Tempat tinggal Orang yang tinggal di pedesaan cenderung memiliki tingkah laku penolong dibandingkan dengan orang perkotaan, hal ini disebabkan orang-orang di perkotaan terlalu banyak mendapat stimulasi pada lingkungan. 5) Pola asuh orangtua Pola asuh orangtua secara signifikan memfasilitasi adanya kecenderungan anak untuk tumbuh menjadi seorang yang mau menolong. Sears (1991) juga menyatakan 3 faktor yang mempengaruhi orang berperilaku prososial, yaitu : 1) Faktor situasional, yang terdiri dari kehadiran orang lain, kondisi lingkungan, dan tekanan waktu. 2) Faktor karakteristik penolong, yang terdiri dari kepribadian, suasana hati, rasa bersalah, distress diri dan empati.

7 17 3) Faktor orang yang ditolong, yaitu menolong orang yang disukai dan menolong orang yang pantas ditolong. Berdasarkan uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial meliputi faktor situasional, faktor dalam diri, faktor karakteristik penolong dan orang yang ditolong. B. Disiplin Induktif Orangtua 1. Pengertian Disiplin Induktif Orangtua Menurut Rejeki (2008), interaksi sosial awal terjadi di dalam kelompok keluarga, anak belajar dari orangtua, saudara kandung, dan anggota keluarga lain apa yang dianggap benar dan salah oleh kelompok sosial tersebut. Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian adalah praktik pengasuhan anak, sebab keluarga adalah lingkungan yang pertama kali menerima kehadiran anak (Aisyah, 2010). Lebih lanjut lagi, Aisyah (2010) menjelaskan bahwa pola asuh merupakan sikap orangtua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Menurut Chase-Lansdale dan Pittman (2002) pengasuhan orangtua adalah sesuatu yang kompleks, fenomena multifaset, meliputi berbagai fungsi yang terkait dengan memelihara, disiplin, memberi stimulasi, nilai-nilai, aktivitas, dan rutinitas. Lebih lanjut lagi, Chase-Lansdale dan Pittman (2002) menyatakan bahwa parenting terdiri dari beberapa dimensi, yaitu: (a) kehangatan dan responsif, (b) kontrol dan disiplin, (c) stimulasi kognitif, (d) modeling sikap-

8 18 sikap, nilai-nilai dan perilaku, (e) gatekeeping (sebagai link anak dengan lingkungan luar), dan (f) rutinitas dan tradisi keluarga. Dari beberapa dimensi yang telah dipaparkan di atas, salah satu dimensi pendukung pengasuhan orangtua yaitu disiplin. Gaya disiplin orangtua dan tingkat pengawasan adalah kunci untuk perkembangan anak-anak yang sehat. Terdapat beberapa perspektif disiplin orangtua menurut para ahli. Arnold (1993) dengan teori permisive discipline dimana penerapan disiplin orangtua yang salah dapat menyebabkan anak menjadi berperilaku yang kurang baik pula. Menurut Grusec dan Goodnow (1994), disiplin dapat mencakup banyak perilaku, salah satu perbedaan konseptual penting adalah antara disiplin induktif dan kekuasaan disiplin yang tegas. Hoffman (dalam Widiyawati dan Kurniawan, 2008) merumuskan inductive discipline, di mana orangtua memberikan penjelasan atau alasan untuk meminta anak merubah perilaku mereka. Induksi orangtua dipandang sebagai tindakan positif dari hubungan orangtuaanak dan menumbuhkan pemahaman tentang perspektif orang lain (Eisenberg dalam Carlo, Knight, McGinley, dan Hayes, 2011). Disiplin induktif berfokus pada kognisi tentang benar dan salah, dan terutama pada anak-anak belajar efek perilaku mereka pada orang lain (Hoffman dalam Fauchier & Straus, 2007). Hoffman (dalam Shen, Carlo, dan Khight, 2013) menyatakan bahwa orangtua yang menggunakan induksi, bersama dengan beberapa unsur withdrawal dan pernyataan kuasa, untuk memastikan bahwa anak-anak memahami dan akhirnya menginternalisasi nilai-nilai yang dikomunikasikan orangtua. Pernyataan ini menunjukkan bahwa induksi orangtua sangat penting untuk disiplin orangtua yang

9 19 efektif dan perkembangan moral yang positif. Orangtua yang memberikan ketegasan, batasan dan aturan yang konsisten mengajarkan anak-anak jenis perilaku sosial dapat diterima sehingga mereka dapat mengatur perilaku mereka sendiri (Chase-Lansdale dan Pittman, 2002). 2. Aspek-Aspek Disiplin Induktif Orangtua Fauchier dan Straus (2007) mengemukakan beberapa aspek dari disiplin induktif orangtua, yaitu: a. Menjelaskan/Mengajarkan (explain/teach) Mengajarkan kepada anak tentang perilaku yang baik dan menjelaskan jika terjadi suatu kesalahan serta dapat mencontohkan perilaku yang baik kepada anak. b. Penalty Tasks and Restorative Behaviour Memberikan konsekuensi kepada anak setelah melakukan kesalahan, misalnya seperti meminta maaf, mengganti barang yang telah dirusak oleh anak. c. Reward Memberikan penghargaan kepada anak setelah ia melakukan sesuatu hal yang baik, misalnya seperti memberikan hadiah bila anak rajin belajar, memuji anak ketika anak melakukan sebuah prestasi. d. Pemantauan (monitoring) Memantau dan mengetahui segala aktivitas anak dan lingkungan di sekitarnya, misalnya seperti memeriksa teman-temannya, memeriksa perilaku anak jika jauh dari orangtua.

10 20 Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa aspek dari disiplin induktif orangtua adalah explain/teach, penalty task and restorative behaviour, reward, dan monitoring. C. Empati 1. Pengertian Empati Empati merupakan suatu reaksi individu terhadap pengalaman orang lain yang diamatinya (Davis, 1983). Menurut Watson dkk (1984) kemampuan empati adalah kemampuan seseorang untuk mengenal dan memahami emosi, pikiran, serta sifat orang lain. Lebih lanjut dijelaskan oleh Baron dan Byrne (2005) yang menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Menurut Reynolds (Ioannidou & Konstantikaki, 2008) empati bukan berarti merasakan secara persis apa yang orang lain rasakan, namun dapat membayangkan jika berada di posisi orang lain. Empati merupakan potensi motivator psikologis untuk membantu orang lain dalam kesusahan, dapat juga didefinisikan sebagai kemampuan untuk merasakan atau membayangkan pengalaman emosional orang lain (McDonald & Messinger, 2010). Empati berasal dari semacam peniruan secara fisik atas beban orang lain, yang kemudian menimbulkan perasaan yang serupa dalam diri seseorang (Titchener dalam Goleman, 2002). Hetherington dan Park (dalam Hetherington, 1999) mengatakan bahwa empati merupakan kemampuan seseorang untuk merasakan emosi yang sama dengan emosi yang dirasakan orang lain, sehingga

11 21 empati yang dimiliki dapat membuat seseorang mengenal dan memahami emosi, pikiran, serta sikap orang lain. Menurut Asih (2010), empati merupakan sesuatu yang jujur, sensitif dan tidak dibuat-buat didasarkan atas apa yang dialami orang lain. 2. Aspek-Aspek Empati Menurut Batson dan Cole (Watson, 1984) empati terdiri dari beberapa aspek, yaitu : a. Kehangatan, yaitu suatu perasaan yang dimiliki individu untuk bersikap hangat terhadap orang lain. b. Kelembutan, yaitu suatu perasaan yang dimiliki individu untuk bersikap dan bertutur kata lemah lembut terhadap orang lain. c. Peduli, yaitu sikap yang dimiliki individu untuk memberikan perhatian terhadap orang lain maupun lingkungan disekitarnya. Davis (1983) juga memaparkan beberapa aspek dari empati, yaitu diantaranya adalah : a. Perspective Taking, yaitu adalah kecenderungan untuk secara spontan mengadopsi sudut pandang psikologis orang lain. b. Fantasy, yaiu adalah kecenderungan responden untuk merefleksikan diri imajinatif ke dalam perasaan dan tindakan karakter fiktif dalam buku buku, film, dan drama. c. Empathic Concern, yaitu adalah menilai (orientasi dari orang lain) perasaan simpati dan kepedulian terhadap orang lain yang malang.

12 22 d. Personal Distress, yaitu adalah tindakan atau perasaan cemas pribadi dan kegelisahan dalam pengaturan interpersonal yang tegang. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa para ahli menentukan aspek empati dengan berbagai konteks yang berbeda-beda. Di dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan aspek oleh Davis (1983) yaitu perpective taking, fantasy, empathic concern, dan personal distress. D. Dinamika Psikologis Perilaku prososial merupakan perilaku yang dilakukan untuk membantu dan mensejahterakan orang lain. Perilaku tersebut dapat dilatarbelakangi oleh berbagai motif seperti permintaan pihak yang bersangkutan, keinginan untuk meningkatkan self esteem sehingga menunjukkan perilaku prososial tersebut di depan umum, adanya situasi darurat atau situasi yang menggugah emosi, bahkan perilaku prososial yang murni ditujukan untuk kesejahteraan orang lain serta mengandung derajat resiko tertentu (Carlo dan Randall, 2002). Dari kajian teoritis yang sudah dilakukan oleh peneliti, peneliti melihat adanya keterkaitan antara disiplin induktif orangtua dengan empati dan empati dengan perilaku prososial. Orangtua merupakan salah satu faktor pembentuk dari karakter atau perilaku anak. Terdapat berbagai macam metode atau bentuk dari pengasuhan orangtua misalnya dengan menggunakan metode disiplin. Orangtua yang disiplin akan memberikan pengarahan dan ketegasan kepada anaknya mengenai berbagai hal.

13 23 Induksi orangtua dan punitiveness telah diidentifikasi sebagai dua praktek disiplin yang penting bagi perkembangan moral (Baumrind dalam Shen, Carlo, dan Knight, 2013). Induksi orangtua mengacu penggunaan orangtua penalaran dan menjelaskan (Maccoby & Martin dalam Shen, Carlo, dan Knight, 2013), yaitu, orangtua mengkomunikasikan harapan atau aturan untuk anak-anak mereka dengan cara penalaran. Disiplin induktif merupakan pengarahan terhadap anak agar anak dapat menghadiri perspektif dari orang lain. Anak yang dapat menghadiri perspektif dari orang lain berarti anak tersebut dapat merasakan dan memposisikan dirinya sebagai orang lain. Kemampuan merasakan dan memposisikan diri sebagai orang lain secara emosional dan keadaan ini disebut sebagai empati. (Eisenberg dalam Yoo Dkk, 2012). Hoffman (dalam Yoo Dkk, 2012) menyebutkan bahwa empati yang dimiliki anak ini memiliki peranan dalam atensi mereka terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain dan mendorong mereka untuk menolong orang lain. Sedangkan Ioannidou dan Konstantikaki (2008) mengemukakan bahwa empati adalah kemampuan untuk berbagi dan memahami keadaan pikiran atau emosi orang lain. Salah satu indikator dari empati adalah memiliki rasa peduli. Orang yang memiliki rasa peduli pada umumnya akan memberikan bantuan ketika melihat orang lain membutuhkan bantuan. Penelitian yang dilakukan oleh Baron dan Byrne (2005) menunjukkan bahwa orang yang dapat memposisikan diri sebagai orang lain berarti orang tersebut memiliki rasa empati. Banyak faktor yang menjadi penentu seseorang untuk berperilaku prososial, diantara berbagai faktor tersebut yang menjadi faktor paling utama

14 24 adalah empati. Salah satu penelitian yang menunjukkan hubungan antara empati dan perilaku prososial yaitu penelitian yang dilakukan oleh Cho (1992). Penelitian Cho tersebut menemukan bahwa ada pengaruh dari perspective taking dan empati terhadap perilaku prososial pada anak-anak pra sekolah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa empati dapat menjadi salah satu faktor penentu untuk berperilaku prososial secara langsung. Selain bahwa empati dapat menjadi prediktor langsung, empati juga dapat menjadi variabel perantara (mediator) bagi perilaku prososial. Penelitian yang dilakukan oleh Roberts dan Strayer (1996) menemukan bahwa empati menjadi variabel mediator antara perilaku prososial dengan beberapa variabel lain, diantaranya adalah ekspresi emosi, wawasan emosi, dan pengambilan keputusan. Perilaku prososial merupakan sebuah perilaku yang menguntungkan dan mensejahterakan orang lain. Perilaku prososial dapat ditanamkan sejak dini. Oleh karena itu peran orangtua sangat penting dalam menumbuhkan perilaku prososial, karena orangtua yang menjadi model anak sejak kecil. Grusec dan Goodnow (dalam Krevan dan Gibbs, 1996) berpendapat bahwa efek dari jenis tertentu disiplin orangtua adalah variabel di berbagai faktor kontekstual, Salah satunya adalah perilaku prososial. Penelitian yang dilakukan oleh Knafo dan Plomin (2006) menemukan bahwa orangtua yang disiplin memiliki hubungan dengan pembentukan perilaku prososial pada anak. Maccoby & Martin (Shen, Carlo, dan Knight, 2013) menemukan bahwa ketika disiplin induktif orangtua melibatkan pertimbangan dan konsekuensi dari tindakan seseorang pada orang lain, itu lebih mungkin untuk mempromosikan perilaku prososial anak. Krevans dan Gibbs

15 25 (1996) juga menyatakan bahwa anak-anak dengan orangtua induktif yang lebih empatik, dan anak yang memiliki empatik yang tinggi akan menyebabkan anak memiliki prososial yang tinggi pula. Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa adanya peranan pola asuh orangtua disiplin yang dapat membentuk perilaku prososial pada anak dengan ditengahi oleh empati. Namun dari berbagai tipe perilaku prososial yang muncul, perilaku prososial yang tidak didasari oleh rasa empati adalah tipe prososial public. Carlo dan Randall (2002) menyebutkan bahwa tipe perilaku prososial ini dilakukan ketika didepan orang banyak dan untuk mendapatkan pengakuan dan pujian dari orang lain. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Carlo, McGinley, Hayes, dan Martinez (2011) menemukan bahwa tipe perilaku prososial public berhubungan negatif atau tidak ada hubungan dengan moral dan faktor dari dalam diri individu (seperti simpati, empati, atau perspective taking). Banyak peneliti menyebutkan bahwa menolong yang dilakukan di depan orang lain terkadang berhubungan dengan motif kepentingan pribadi, meskipun peneliti lainnya menganggap perilaku tersebut tentu tidak dapat digolongkan dalam perilaku prososial. (Schroeder dalam Carlo dan Randall, 2002). Penjelasan dari beberapa penelitian ini yang menjadi dasar peneliti untuk membagi menjadi dua sub penelitian. Sub penelitian pertama adalah untuk mengetahui hubungan antara disiplin induktif orangtua dengan perilaku prososial yang ditinjau dari gabungan tipe dire, emotional, altruistic, anonymous, dan compliant. Kemudian sub penelitian kedua adalah hubungan antara disiplin induktif orangtua dengan perilaku prososial yang ditinjau dari tipe public yang dimediasi dengan empati.

16 26 E. Hipotesis Penelitian Terdapat 2 hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Adanya hubungan positif antara disiplin induktif orangtua dengan perilaku prososial yang ditinjau dari gabungan tipe dire, emotional, altruistic, anonymous, dan compliant yang dimediasi dengan empati. 2. Adanya hubungan negatif antara disiplin induktif orangtua dengan perilaku prososial yang ditinjau dari tipe public yang dimediasi dengan empati.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku sebagai sesuatu yang dilakukan oleh setiap individu dan sesuatu yang bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan

Lebih terperinci

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN. A. Orientasi Kancah dan Persiapan

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN. A. Orientasi Kancah dan Persiapan BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN A. Orientasi Kancah dan Persiapan 1. Orientasi Kancah MAN 1 Yogyakarta berusaha menyelenggarakan sistem pendidikan yang menunjang kegiatan belajar mengajar, mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. kebersihan dan sebagainya. Tanpa manusia lainnya, individu tentu tidak akan

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. kebersihan dan sebagainya. Tanpa manusia lainnya, individu tentu tidak akan BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang berarti bahwa manusia tidak akan mampu hidup sendiri tanpa adanya kehadiran manusia yang lain di lingkungannya. Dalam kehidupannya,

Lebih terperinci

TINGKAH LAKU PROSOSIAL

TINGKAH LAKU PROSOSIAL TINGKAH LAKU PROSOSIAL Modul ke: Fakultas Psikologi Dasar tingkah pro-sosial; Tahap-tahap perilaku menolong; Respons terhadap keadaan darurat; Pengaruh internal dan eksternal dalam menolong; Komitmen jangka

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada dimasyarakat dan biasanya dituntut untuk dilakukan (Staub, dalam Baron

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada dimasyarakat dan biasanya dituntut untuk dilakukan (Staub, dalam Baron BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Definisi Perilaku Prososial Perilaku prososial memiliki arti sebagai sosial positif atau mempunyai konsekuensi positif. Sosial positif ini didasarkan atas

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI PERANAN DISIPLIN INDUKTIF ORANGTUA TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL YANG DIMEDIASI OLEH EMPATI

NASKAH PUBLIKASI PERANAN DISIPLIN INDUKTIF ORANGTUA TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL YANG DIMEDIASI OLEH EMPATI NASKAH PUBLIKASI PERANAN DISIPLIN INDUKTIF ORANGTUA TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL YANG DIMEDIASI OLEH EMPATI Oleh: Tiara Faiza Rayesa Thobagus Moh. Nu man PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah kemampuan untuk

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional

BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Altruis 2.1.1 Pengertian Altruis adalah suatu bentuk perilaku menolong berupa kepedulian untuk menolong orang lain dengan sukarela tanpa mengharapkan adanya imbalan atau balasan.

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. oleh Kartini Kartono (1981) mengarikan perilaku (behavior) adalah respon

BAB II KAJIAN PUSTAKA. oleh Kartini Kartono (1981) mengarikan perilaku (behavior) adalah respon 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Chaplin dalam bukunya Dictionary of Psychology yang diterjemahkan oleh Kartini Kartono (1981) mengarikan perilaku (behavior)

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Definisi Perilaku Prososial Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang ditujukan untuk memberikan keuntungan pada satu atau banyak

Lebih terperinci

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 DISKUSI Berdasarkan hasil analisis pada bab IV, maka hipotesis yang menyatakan bahwa empati dan pola asuh demokratis sebagai prediktor perilaku prososial pada remaja

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI Disusun Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penuh keramahan. Namun akhir-akhir ini banyak ahli yang harus berpikir

BAB I PENDAHULUAN. penuh keramahan. Namun akhir-akhir ini banyak ahli yang harus berpikir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Indonesia sejak dulu dikenal oleh dunia karena masyarakatnya yang hidup dengan rukun, saling tolong menolong, saling mensejahterakan dan penuh keramahan. Namun

Lebih terperinci

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK Murhima A. Kau Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo INTISARI Proses perkembangan perilaku prososial menurut sudut pandang Social Learning Theory

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Empati 2.1.1 Definisi Empati Empati merupakan suatu proses memahami perasaan orang lain dan ikut merasakan apa yang orang lain alami. Empati tidak hanya sebatas memasuki dan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial pada Remaja 1. Pengertian Perilaku Prososial pada Remaja Sears dkk. (1994: 47), berpendapat perilaku prososial adalah tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah golongan intelektual yang sedang menjalani pendidikan di perguruan tinggi dan diharapkan nantinya mampu bertindak sebagai pemimpin yang terampil,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Prososial 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Menurut Kartono (2003) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu perilaku prososial yang menguntungkan dimana terdapat

Lebih terperinci

c. Pengalaman dan suasana hati.

c. Pengalaman dan suasana hati. PERILAKU PROSOSIAL Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya. William (1981) membatasi perilaku prososial

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI PERILAKU ALTRUISTIK. kebaikan orang lain. Akert, dkk (dalam Taufik, 2012) mengatakan bahwa

BAB II LANDASAN TEORI PERILAKU ALTRUISTIK. kebaikan orang lain. Akert, dkk (dalam Taufik, 2012) mengatakan bahwa BAB II LANDASAN TEORI PERILAKU ALTRUISTIK 1. Definisi Perilaku Altruistik Menurut Baron (2005) perilaku altruistik adalah tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingkan diri sendiri

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SMK BINA PATRIA 2 SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SMK BINA PATRIA 2 SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA SISWA SMK BINA PATRIA 2 SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan Oleh:

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Sebelum dilakukan analisis statistik dengan menggunakan product moment dari Pearson, maka dilakukan uji asumsi normalitas dan linearitas. 1. Uji Asumsi Uji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan pepatah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Nilai kesetiakawanan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan pepatah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Nilai kesetiakawanan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial, dimana manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Sejak jaman dahulu manusia hidup bergotongroyong, sesuai dengan pepatah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Brigham (dalam Dayakisni, 2009) menerangkan bahwa perilaku prososial merupakan perilaku untuk menyokong kesejahteraan orang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sikap Negatif Terhadap Korban Pemerkosaan 2.1.1. Definisi sikap negatif terhadap korban pemerkosaan Sikap negatif terhadap korban pemerkosaan adalah penilaian individu mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan berketuhanan. Sebagai makhluk sosial, individu dalam kehidupan sehari-hari melakukan interaksi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam

BAB I PENDAHULUAN. Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan menolong ini berarti memberikan sesuatu yang dibutuhkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA KARANG TARUNA DESA PAKANG NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA KARANG TARUNA DESA PAKANG NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA KARANG TARUNA DESA PAKANG NASKAH PUBLIKASI Diajukan Oleh: SATRIA ANDROMEDA F 100 090 041 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan penelitian 1.3 Kerangka Teori

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan penelitian 1.3 Kerangka Teori BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menolong merupakan perbuatan yang mulia, sejauh pertolongan itu dibutuhkan sehingga bermanfaat. Namun terkadang pertolongan justru tidak datang saat dibutuhkan. Banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekolah inklusi merupakan salah bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dan sebagai upaya pensosialisasian ABK kepada masyarakat. Crockett

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Efikasi Diri A. Efikasi Diri Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam teori sosial kognitif atau efikasi diri sebagai kepercayaan terhadap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan. maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan. maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al- 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemaafan 1. Definisi Pemaafan Secara terminologis, kata dasar pemaafan adalah maaf dan kata maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al- Qur an terulang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. dengan apa yang dirasakan orang lain (Batso dan Coke dalam Eisenbeng & Trayer, 1987

BAB II KAJIAN TEORITIS. dengan apa yang dirasakan orang lain (Batso dan Coke dalam Eisenbeng & Trayer, 1987 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Hakekat Empati Empati adalah sebagai keadaan emosional yang dimiliki seseorang yang sesuai dengan apa yang dirasakan orang lain (Batso dan Coke dalam Eisenbeng

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR I.1. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR I.1. Latar Belakang BAB I PENGANTAR Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial memiliki arti bahwa manusia memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sendiri tanpa mengharapkan sesuatu dari si penolong itu sendiri. Perilaku

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sendiri tanpa mengharapkan sesuatu dari si penolong itu sendiri. Perilaku BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Sears, Jhonathan, Anne (1994), berpendapat perilaku prososial adalah tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semua ini membuat masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesehatan dan

BAB I PENDAHULUAN. Semua ini membuat masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesehatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring perkembangan zaman dan teknologi, terjadi perubahan pola hidup masyarakat. Perubahan pola hidup ini tidak selalu bersifat positif, ada beberapa pola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain. Penyesuaian pribadi dan sosial remaja ditekankan dalam lingkup teman sebaya. Sullivan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. objek lainnya (Hatch dalam Sugiono, 2006). Penelitian ini menggunakan

BAB III METODE PENELITIAN. objek lainnya (Hatch dalam Sugiono, 2006). Penelitian ini menggunakan 28 BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel dan Definisi Operasional 1. Identifikasi Variabel Variabel adalah atribut seseorang atau obyek yang mempuanyai variasi antara orang yang satu dengan lainnya maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Sebagai makhluk sosial manusia tumbuh bersama-sama dan mengadakan

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Sebagai makhluk sosial manusia tumbuh bersama-sama dan mengadakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia disebut juga sebagai makhluk holistik, yaitu bisa berfungsi sebagai makhluk individual, makhluk sosial, dan juga makhluk religi. Manusia sebagai makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Remaja pada dasarnya dalam proses perkembangannya membutuhkan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Remaja juga mulai belajar serta mengenal pola-pola sosial salah satunya adalah perilaku

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Altruisme 1. Pengertian Altruisme Altruisme berasal dari kata alter yang artinya orang lain. Secara bahasa altruism adalah perbuatan yang berorientasi pada kebaikan orang lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan dengan sempurna dan berbeda dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Manusia dilengkapi dengan akal

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) adalah lembaga pendidikan swasta yang mempunyai visi yaitu menjadi universitas yang unggul dalam pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Empati. mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Selain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Empati. mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Selain BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empati Baron dan Byrne, 2005 yang menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 12 BAB II LANDASAN TEORI A. Empati 1. Pengertian Empati Salah satu bentuk kemampuan seseorang agar berhasil berinteraksi dengan orang lain adalah empati. Sari (2003) mengatakan bahwa tanpa kemampuan empati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain baik orang terdekat seperti keluarga ataupun orang yang tidak dikenal, seperti

BAB I PENDAHULUAN. lain baik orang terdekat seperti keluarga ataupun orang yang tidak dikenal, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain di sekitarnya. Dalam kehidupannya, manusia pasti membutuhkan bantuan orang lain baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain. Makhluk sosial

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memberikan pertolongan yang justru sangat dibutuhkan.

BAB 1 PENDAHULUAN. memberikan pertolongan yang justru sangat dibutuhkan. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tingkah laku menolong sering muncul dalam masyarakat, dimana perilaku ini diberikan guna meringankan penderitaan orang lain, misalnya menolong orang lain yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam setiap penelitian yang ilmiah tinjauan pustaka penting untuk diuraikan sebagai dasar dalam membangun konstruk teoritik dan sebagai tolak ukur untuk membangun kerangka berpikir

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PERILAKU PROSOSIAL 2.1.1. Pengertian Perilaku Prososial Baron dan Byrne (2004) menjelaskan perilaku prososial sebagai segala tindakan apa pun yang menguntungkan orang lain tanpa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Menurut Ryff (dalam Bianca, 2012), konsep psychological wellbeing (PWB) secara teoritis didasarkan dan bersumber dari terori awal dalam psikologi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya di motivasi oleh suatu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya di motivasi oleh suatu BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan (goal oriented) dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya di motivasi oleh

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS BIBLIOKONSELING UNTUK MENINGKATKAN EMPATI REMAJA DI RUMAH PINTAR BUNGA PADI KECAMATAN BALEREJO, KABUPATEN MADIUN

EFEKTIVITAS BIBLIOKONSELING UNTUK MENINGKATKAN EMPATI REMAJA DI RUMAH PINTAR BUNGA PADI KECAMATAN BALEREJO, KABUPATEN MADIUN EFEKTIVITAS BIBLIOKONSELING UNTUK MENINGKATKAN EMPATI REMAJA DI RUMAH PINTAR BUNGA PADI KECAMATAN BALEREJO, KABUPATEN MADIUN Dahlia Novarianing Asri* Tyas Martika Anggriana* Abstrak Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam menjawab pertanyaan penelitian pada Bab I, berikut ini dijelaskan beberapa teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam menjawab pertanyaan penelitian pada Bab I, berikut ini dijelaskan beberapa teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam menjawab pertanyaan penelitian pada Bab I, berikut ini dijelaskan beberapa teori yang terkait, dinamika antar variabel dan hipotesis penelitian. Teori- teori yang digunakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di mana dapat berkembang dan diperkembangkan (Giri Wiloso dkk, 2012). Sebagai makhluk sosial, manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia dini merupakan saat seseorang mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat dalam kehidupannya. Perkembangan dan pertumbuhan pada anak usia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses hidup, manusia selalu membutuhkan orang lain mulai dari lingkungan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses hidup, manusia selalu membutuhkan orang lain mulai dari lingkungan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai arti bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa adanya kehadiran orang lain dilingkungan sekitarnya. Dalam proses hidup,

Lebih terperinci

Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II

Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II PERKEMBANGAN MORAL PADA REMAJA oleh: Triana Noor Edwina D.S, M.Si Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang dikaruniai banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang dikaruniai banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang dikaruniai banyak kelebihan dibandingkan makhluk lain. Kelebihan-kelebihan yang dimiliki tersebut antara lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) Pendidikan adalah Usaha sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) Pendidikan adalah Usaha sadar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) Pendidikan adalah Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga, lingkungan teman sebaya sampai lingkungan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga, lingkungan teman sebaya sampai lingkungan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang hidup dengan berinteraksi satu sama lain, ia tidak dapat hidup sendiri tanpa memerlukan bantuan orang lain, mereka hidup dengan orang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 2.1 Kecerdasan Interpersonal

BAB II KAJIAN TEORI. 2.1 Kecerdasan Interpersonal 2.1 Kecerdasan Interpersonal BAB II KAJIAN TEORI 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Interpersonal Kecerdasan interpersonal bisa dikatakan juga sebagai kecerdasan sosial, diartikan sebagai kemampuan dan keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini, remaja menaruh minat dan perhatian yang cukup besar terhadap relasi dengan teman

Lebih terperinci

Pokok bahasan: 1. Merespon keadaan darurat. 2. Penolong dan mereka yg menerima pertolongan.

Pokok bahasan: 1. Merespon keadaan darurat. 2. Penolong dan mereka yg menerima pertolongan. Pokok bahasan: 1. Merespon keadaan darurat 2. Penolong dan mereka yg menerima pertolongan. 3. Menjelaskan tingkah laku prososial: mengapa orang menolong? Perilaku prososial: Adl tindakan menolong yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial, dimana manusia tidak bisa hidup sendiri. Dalam hidup berdampingan dengan orang lain, setiap orang dapat mengalami konflik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk. dasarnya ia memiliki ketergantungan. Inilah yang kemudian menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk. dasarnya ia memiliki ketergantungan. Inilah yang kemudian menjadikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk berdampingan dengan orang lain dan tidak bisa hidup secara individual. Manusia tidak akan mampu hidup sendiri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berusia kurang lebih anam tahun (0-6) tahun, dimana biasanya anak tetap tinggal

BAB 1 PENDAHULUAN. berusia kurang lebih anam tahun (0-6) tahun, dimana biasanya anak tetap tinggal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak usia dini adalah anak yang berusia nol tahun atau sejak lahir hingga berusia kurang lebih anam tahun (0-6) tahun, dimana biasanya anak tetap tinggal di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana gempa bumi dan tsunami dengan intensitas yang cukup tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. bencana gempa bumi dan tsunami dengan intensitas yang cukup tinggi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dilihat dari geografisnya, Indonesia merupakan wilayah dengan ancaman bencana gempa bumi dan tsunami dengan intensitas yang cukup tinggi. Banyaknya gunung aktif

Lebih terperinci

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJA PANTI ASUHAN SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan oleh:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia terdapat 6 agama yang diakui negara yaitu Islam, Kristen,

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia terdapat 6 agama yang diakui negara yaitu Islam, Kristen, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Di Indonesia terdapat 6 agama yang diakui negara yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu (Penetapan Presiden RI Nomor 1 tahun 1965). Setiap agama

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. RELAWAN 1. Pengertian Relawan Relawan adalah seseorang yang secara sukarela (uncoeced) menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran, dan keahliannya untuk menolong orang lain (help other)

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. memberikan keuntungan bagi orang lain daripada terhadap diri sendiri

BAB II LANDASAN TEORI. memberikan keuntungan bagi orang lain daripada terhadap diri sendiri BAB II LANDASAN TEORI II.A. Perilaku Menolong II.A.1. Definisi Perilaku Menolong Perilaku menolong (helping behaviour) adalah setiap tindakan yang lebih memberikan keuntungan bagi orang lain daripada terhadap

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya,

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SOSIAL DAN KEPRIBADIAN. Program PLPG PAUD UAD 2017

PENGEMBANGAN SOSIAL DAN KEPRIBADIAN. Program PLPG PAUD UAD 2017 PENGEMBANGAN SOSIAL DAN KEPRIBADIAN Program PLPG PAUD UAD 2017 PENTINGNYA PENGEMBANGAN SOSIAL 1. Anak perlu distimulasi dan difasilitasi, sehingga perkembangan sosialnya dapat berkembang dengan baik. Anak

Lebih terperinci

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan berketuhanan. Sebagai makhluk sosial, individu dalam kehidupan sehari-hari melakukan interaksi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. lain (feeling into), atau berasal dari perkataan yunani phatos yang

BAB II KAJIAN TEORI. lain (feeling into), atau berasal dari perkataan yunani phatos yang BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Empati 2.1.1 Pengertian Empati Istilah empati berasal dari kata Einfuhlung yang digunakan oleh seorang psikolog Jerman, secara harfiah berarti memasuki perasaan orang lain (feeling

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Metode Penelitian. korelasional. Penelitian ini dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang

BAB III METODE PENELITIAN. A. Metode Penelitian. korelasional. Penelitian ini dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif korelasional. Penelitian ini dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel

Lebih terperinci

2015 PERILAKU PROSOSIAL PADA RELAWAN DI ORGANISASIKELOMPOK BAKTI SOSIAL PENGUSAHA (KBSP)BANDUNG

2015 PERILAKU PROSOSIAL PADA RELAWAN DI ORGANISASIKELOMPOK BAKTI SOSIAL PENGUSAHA (KBSP)BANDUNG BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Manusia adalah makhluk holistik, yang berfungsi sebagai makhluk individual dan makhluk sosial (Prawitasari, 2007: 1). Manusia sebagai makhluk individu karena dapat berkembang

Lebih terperinci

Rita Eka Izzaty Staf Pengajar FIP-BK-UNY

Rita Eka Izzaty Staf Pengajar FIP-BK-UNY Rita Eka Izzaty Staf Pengajar FIP-BK-UNY 1. Definisi Permasalahan Perkembangan Perilaku Permasalahan perilaku anak adalah perilaku anak yang tidak adaptif, mengganggu, bersifat stabil yang menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENAHULUAN. lingkungan sosial, khususnya supaya remaja diterima dilingkungan temanteman

BAB I PENAHULUAN. lingkungan sosial, khususnya supaya remaja diterima dilingkungan temanteman 1 BAB I PENAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin dapat bertahan hidup seorang diri. Interaksi dengan lingkungan senantiasa dibutuhkan untuk dapat memenuhi sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat. Artinya,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat. Artinya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat. Artinya, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat. Hal ini dinyatakan di dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila:

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat. Hal ini dinyatakan di dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.1 Latar Belakang Masalah Di Indonesia, agama memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan di dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: Ketuhanan Yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Prososial 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial menurut Baron dan Byrne (2005) adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus

Lebih terperinci

Pembelajaran dan Pembiasaan Aspek (Keterampilan) Sosial Peserta Didik di Institusi Prasekolah

Pembelajaran dan Pembiasaan Aspek (Keterampilan) Sosial Peserta Didik di Institusi Prasekolah Pembelajaran dan Pembiasaan Aspek (Keterampilan) Sosial Peserta Didik di Institusi Prasekolah (Rita Eka Izzaty) A. Apakah Keterampilan Sosial Itu? Keterampilan seseorang untuk mempertahankan tujuan pribadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Empati. Eissenberg dan Fabes (dalam Baron dan Byrne, 2005) mendefinisakan empati sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Empati. Eissenberg dan Fabes (dalam Baron dan Byrne, 2005) mendefinisakan empati sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empati Eissenberg dan Fabes (dalam Baron dan Byrne, 2005) mendefinisakan empati sebagai respon individu terhadap emosi orang lain, seolah individu yang bersangkutan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Empati. pikiran, serta sikap orang lain. Hetherington dan Parke (1986) mengemukakan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Empati. pikiran, serta sikap orang lain. Hetherington dan Parke (1986) mengemukakan digilib.uns.ac.id 12 BAB II LANDASAN TEORI A. Empati 1. Pengertian Empati Menurut Watson dkk. (dalam Brigham, 1991), empati merupakan suatu kemampuan untuk melihat suatu situasi dari sudut pandang orang

Lebih terperinci

PENGARUH EMPATI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL PADA SISWA KELAS XI KRIYA KAYU SMKN 1 PACITAN. Skripsi

PENGARUH EMPATI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL PADA SISWA KELAS XI KRIYA KAYU SMKN 1 PACITAN. Skripsi PENGARUH EMPATI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL PADA SISWA KELAS XI KRIYA KAYU SMKN 1 PACITAN Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi perilaku tolong - menolong,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi perilaku tolong - menolong, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi perilaku tolong - menolong, sangat ironis jika realitas yang terjadi menunjukan hal yang sebaliknya, perilaku individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satupun darinya yang dapat hidup tanpa sedikitpun bantuan dari orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. satupun darinya yang dapat hidup tanpa sedikitpun bantuan dari orang lain. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia disebut sebagai makhluk sosial sebab mereka tidak bisa lepas antara satu dengan yang lainnya, melainkan ada ketergantungan. Mereka membutuhkan manusia lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa adanya orang lain di sekitarnya. Seiring berjalannya waktu, kepedulian orang terhadap orang lain maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan penelitian. Tujuan penelitian ini

BAB I PENDAHULUAN. masalah dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan penelitian. Tujuan penelitian ini BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi pendahuluan yang membahas latar belakang penelitian. Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, peneliti melakukan pembatasan masalah dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Auguste Comte pada abad ke 19 dalam karyanya Catechisme Positiviste.

BAB II LANDASAN TEORI. Auguste Comte pada abad ke 19 dalam karyanya Catechisme Positiviste. BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Altruisme 2.1.1 Pengertian Altruisme Altruisme pertama kali digunakan oleh seorang sosiologis yang bernama Auguste Comte pada abad ke 19 dalam karyanya Catechisme Positiviste.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak manusia lahir, manusia telah hidup dengan orang lain. Mereka saling membutuhkan dan saling ketergantungan. Sebagai contoh, saat manusia dilahirkan ke

Lebih terperinci