MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi

1 Nomor : 005/PUU-IV/2006 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PANEL PEMERIKSAAN PENDAHULUAN PERKARA NO. 005/PUU-IV/2006 MENGENAI PENGUJIAN UU NO. 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL TERHADAP UUD 1945 SELASA, 21 MARET 2006 JAKARTA 2006

2 I. KETERANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PANEL PEMERIKSAAN PENDAHULUAN PERKARA NO. 005/PUU-IV/2006 MENGENAI PENGUJIAN UU NO. 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL TERHADAP UUD H a r i : Selasa 2. Tanggal : 21 Maret Waktu : WIB 4. Tempat : Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi RI Jl. Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat 5. Acara : Pemeriksaan Pendahuluan 6. Susunan Panel Persidangan : 1. H. ACHMAD ROESTANDI, S.H. ( K e t u a ) 2. Prof. ABDUL MUKHTIE FADJAR, S.H., M.S ( Anggota ) 3. I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H. ( Anggota ) 7. Panitera Pengganti : Cholidin Nasir, S.H. 8. Pemohon : Prof. Dr. Paulus Efendi, L, S.H. dkk. 1

3 II. PIHAK YANG HADIR/BERBICARA DALAM PERSIDANGAN 1. Kuasa Hukum Pemohon a. Prof. Dr. Indrianto Senoadji, S.H. M.H. b. Wimboyono Senoadji, S.H. M.H. c. O.C Kaligis, S.H., M.H. d. Juan Felix Tampubolon, S.H., M.H. e. Deny Kailimang, S.H., M.H. 2

4 III. JALANNYA SIDANG SIDANG DIBUKA WIB 1. KETUA: H, ACHMAD ROESTANDI, S.H. Sidang Panel untuk pemeriksaan pendahuluan atas perkara Nomor 005/PUU-IV/2006 dengan ini saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 1X Saudara Pemohon, sebagaimana biasanya, marilah sidang ini kita awali perkenalan dari para Pemohon yang hadir atau kuasanya. Kami persilakan. 2. KUASA HUKUM PEMOHON : O.C. KALIGIS, S.H, M.H. Terima kasih, Yang Mulia Bapak Ketua dan Majelis Hakim yang kami sangat hormati. Pertama, kami akan perkenalkan Saudara rekan kami Prof. Dr. Anto Senoadji, S.H, M.H. Kemudian, kami sendiri Yang Mulia, nama kami O.C. Kaligis. Kemudian di sebelah, kami Juan Felix, di sebelah kami, Saudara Deni Kailimang, dan sebelah kami, Saudara Wimbiyono. Terima kasih, Yang Mulia. 3. KETUA: H, ACHMAD ROESTANDI, S.H, M.H. Terima kasih. Sebenarnya tidak usah memperkenalkan diri karena Bapak-bapak ini sudah terkenal tetapi kami ya untuk melanjutkan kebiasaan yang sudah ada di sini ya. Kami sudah kenal semua ini dan ini untuk dimasukkan juga di dalam risalah nanti. Kemudian, sebagaimana biasanya juga pemeriksaan ini akan kita mulai dengan memberikan kesempatan kepada Pemohon atau kuasanya untuk secara hight light, menyampaikan inti-inti dari permohonannya. Kami persilakan. 3

5 4. KUASA HUKUM PEMOHON : O.C. KALIGIS, S.H, M.H. Inti-intinya, pertama adalah Dasar Hukum Permohonan adalah: a. Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. b. Bahwa Pemohon adalah Hakim Agung pada Mahkamah Agung mempunyai kepentingan hukum dalam permohonan ini karena Pemohon menganggap hak dan kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 khususnya yang berkaitan dengan pengawasan hakim yang diatur dalam Bab 3 Pasal 20 dan Pasal 22 ayat (1) Huruf E dan ayat (5) serta yang berkaitan dengan usul penjatuhan sanksi yang diatur dalam Pasal 21, Pasal 23 ayat (2), dan ayat (3) serta ayat (5). Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), dan ayat (4) dihubungkan dengan Bab 1, Pasal 1, Butir 5 undang-undang tersebut. Karena Pasal-pasal tersebut, termasuk di dalamnya hakim agung dan hakim Mahkamah Konstitusi, sebagai objek pengawasan serta dapat diusulkan penjatuhan sanksi oleh Komisi Judisial. c. Bahwa ketentuan yang diuraikan pada huruf b di atas, sangat berkaitan dengan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran, martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Judisial yang diatur dalam undangundang. II. Alasan-alasan permohonan pengujian terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman: 1. Bahwa di dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 disebutkan sebagai berikut Komisi Judisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain, dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim. Bahwa apabila kalimat tersebut dibaca dalam satu nafas dan konteks satu sama lain, maka bermakna bahwa Komisi Yudisial mempunyai 4

6 kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung. 2. Bahwa di dalam Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur, bahwa Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan oleh undang-undang. Undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut diatur oleh undangundang yang berbeda untuk hakim tingkat I dan tingkat banding. Undangundang Nomor 8 Tahun 2004 untuk Peradilan Umum, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 untuk Pelayanan Tata Usaha Negara, Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 untuk Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 untuk Peradilan Militer, serta Hakim Agung Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Mahkamah Konstitusi, Undangundang Nomor 24 Tahun Dalam hal ini jelas, bahwa kewenangan Komisi Yudisial tidak menjangkau Hakim Mahkamah Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi, karena untuk menjadi Hakim Agung dan Mahkamah Konstitusi tidak seluruhnya berasal dari hakim tingkat I dan hakim banding. Lebih jelas lagi, bahwa Komisi Yudisial tidak berwenang untuk mengadakan pengawasan terhadap Hakim ad hoc. Dari sini, jelas terlihat bahwa yang dimaksud dengan kata hakim di dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bukan terhadap seluruh hakim. Berdasarkan hal tersebut, maka yang dimaksud oleh Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia 1945 tentang Kewenangan Lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim adalah hakim yang akan menjadi hakim agung pada Mahkamah Agung. Bahwa akan tetapi, ternyata di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, yaitu Pasal 20 disebutkan bahwa dalam melaksanakan wewenang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Judisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim. b. Pasal 1 butir 5 menentukan bahwa yang dimaksud dengan, Hakim adalah hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Dengan demikian, Pasal 1 Butir 5 tersebut telah memperluas pengertian hakim yang diatur dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar 5

7 Negara Republik Indonesia 1945 karena hanya dimaksudkan terhadap hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung saja. Tidak meliputi hakim agung dan hakim Mahkamah Konstitusi. c. Di samping Pasal yang disebut di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tersebut, hal yang sama juga disebut di dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang memberi kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan hakim agung adalah bertentangan dengan Pasal 24B Undang-Undang Dasar Bahwa dalam perumusan pasal- pasal yang disebut dalam angka 3 di atas, membawa makna bahwa pengawasan Komisi Yudisial terhadap para hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan termasuk di dalamnya hakim agung, pada Mahkamah Agung dan hakim pada Mahkamah Konstitusi jelas bertentangan dengan Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Karena yang dimaksud hakim dalam Pasal 24B tersebut tidak meliputi hakim MA dan Hakim Mahkamah Konstitusi. 1. Bahwa secara universal kewenangan pengawas Komisi Yudisial tidak menjangkau hakim agung pada Mahkamah Agung karena Komisi Yudisial adalah merupakan mitra dari Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung. Pasal 32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi sebagai berikut: Mohon maaf, Yang Mulia dilanjutkan oleh Prof. Indrianto Senoadji,S., M.H. 5. KUASA HUKUM PEMOHON : Prof. Dr. INDRIANTO SENOADJI, S.H. Terima kasih, Yang Mulia. 1. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. 2. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya. Adapun usul penjatuhan sanksi terhadap hakim menurut Pasal 21 junto Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4) dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diserahkan kepada 6

8 Mahkamah Agung dan kepada hakim yang akan dijatuhi sanksi pemberhentian, diberikan kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim. 6. Bahwa di samping itu, khusus mengenai usul pemberhentian terhadap hakim agung dilakukan oleh ketua Mahkamah Agung dan kepada hakim agung yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu di hadapan Majelis kehormatan Mahkamah Agung sebagaimana diatur di dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Sedang bagi Hakim Mahkamah Konstitusi, usul pemberhentiannya dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi dan kepada Hakim Konstitusi yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu di hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tanpa campur tangan dari Komisi Yudisial. Hal ini, berbeda dengan hakim pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Selain mensyaratkan usul penjatuhan sanksi dari Komisi Yudisial, juga hakim yang bersangkutan diberikan kesempatan lebih dahulu untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim. Atas dasar tersebut, maka Pasal 21, Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5). Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) yang mengatur tentang Usul Penjatuhan Sanksi Terhadap Hakim Agung dan atau Hakim Mahkamah Konstitusi oleh Komisi Yudisial Bertentangan dengan Pasal 24B dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang memberi kewenangan pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi untuk membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Agung atau Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. 2. Bahwa oleh karena pengawasan terhadap Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi serta usul penjatuhan sanksi oleh Komisi Yudisial tidak termasuk Hakim Agung dan atau Hakim Mahkamah Konstitusi, maka sepanjang mengenai pengawasan dan usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim Agung dan Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal 1 butir 5, Pasal 20, 21, 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5). Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, serta Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 24B dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan karenanya selanjutnya menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut tidak 7

9 mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi hakim agung dan hakim Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka mohon kiranya Mahkamah Konstitusi memutuskan: a. Mengabulkan Permohonan para Pemohon. b. Menyatakan Pasal 1 angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) Undangundang Nomor 24 Tahun 2004 serta Pasal 34 ayat (3) Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 sepanjang yang menyangkut hakim agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Pasal 24B dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia c. Menyatakan Pasal-pasal tersebut pada angka 2 di atas tidak mempunyai kekuatan mengikat pada hakim agung pada Mahkamah Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Atau mohon putusan yang seadil-adilnya. Demikian Permohonan kami ini buat untuk seperlunya. Kuasa Pemohon Prof. Indrianto Senoadji, Wimbiyono Senoadji, Deni Kailimang, S.H, M.H., O.C. Kaligis, S.H, M.H. Juan Felix Tampubolon, S.H, M.H. Terima kasih, Yang Mulia. 6. KETUA: H, ACHMAD ROESTANDI, S.H. Terima kasih. Sebagaimana diketahui, bahwa menurut Pasal 39 Undang-undang Mahkamah Konstitusi, di sini disebutkan bahwa sebelum pemeriksaan dalam persidangan yang memeriksa pokok perkara. Mahkamah Konstitusi mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Kemudian, dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Mahkamah Konstitusi wajib memberi nasihat kepada Pemohon untuk melengkapi dan atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari. Sebenarnya agak berat kami untuk menyampaikan nasihat kepada Bapak-bapak ini, karena Bapak-bapak itu sudah sangat berpengalaman dan juga sudah tahu pahit manisnya dan asam garamnya di lingkungan peradilan. 8

10 Namun demikian, demi melaksanakan perintah undang-undang kami akan tempuh juga, dan ini karena bagaimanapun ini masalah besar yang dipersoalkan adalah masalah Undang-undang yang berkaitan dengan 3 (tiga) lembaga Negara, yaitu: Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. Lalu para kuasanya juga orang-orang besar yang bertaraf nasional bahkan internasional. Oleh karena itu, segala sesuatunya supaya kita bisa sempurna dan bisa menjadi contoh bagi permohonanpermohonan atau perkara-perkara yang lain. Oleh karena itu, ini pertanyaan-pertanyaan atau klarifikasi ini akan disampaikan oleh para hakim, mulai dari Prof. Mukthie, silakan. 7. HAKIM : Prof. ABDUL MUKHTIE FADJAR, S.H., M.S Terima kasih Ketua. Saudara Pemohon atau kuasanya, melanjutkan apa yang dikemukakan oleh Ketua Panel tadi. Ada beberapa hal yang ingin saya mintakan untuk klarifikasi. Pertama, ini ada 2 (dua) macam permohonan, pertama yang teregistrasi tanggal 10 Maret Kemudian ada perbaikan tanggal 14 Maret Ini jumlah Pemohonnya ada perubahan, dari 40 orang menjadi 31 orang, ini sudah fixed ya? Mau tambah lagi atau kurang? 8. KUASA HUKUM PEMOHON : O.C. KALIGIS, S.H, M.H. Sesuai dengan perbaikan, Yang Mulia. 9. HAKIM : Prof. ABDUL MUKHTIE FADJAR, S.H., M.S Sesuai perbaikan ya? Kemudian yang kedua, menyangkut Surat Kuasa. Surat kuasa itu yang tertanggal 8 Maret 2006, di sini ada 6 (enam) orang yang diberi kuasa, kemudian pada permohonan perbaikan itu tinggal 5 (lima). Jadi sekarang yang satu ini Pak Oto, masih akan menjadi kuasa atau tidak? 10. KUASA HUKUM PEMOHON : O.C. KALIGIS, S.H, M.H. Dalam waktu 14 (empat belas) hari kami akan lengkapi Yang Mulia. 9

11 11. HAKIM : Prof. ABDUL MUKHTIE FADJAR, S.H., M.S Kedua, juga untuk klarifikasi. Ini para Pemohon yang jumlahnya 31 orang Hakim Agung ini, sesuai dengan ketentuan pasal 51 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Konstitusi akan bertindak dalam kapasitas sebagai apa? Apakah sebagai perorangan? Sebagai lembaga negara? Atau sebagai apa? Di sana ada beberapa klasifikasi dari Pemohon pengujian undang-undang, bisa perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang. Tentu Bapak-bapak sudah sangat paham, juga bisa kelompok masyarakat hukum adat, bisa badan hukum publik atau privat, dan juga lembaga negara, ini perlu kejelasan. Kemudian juga di dalam Pasal 51 ayat (1) itu, juga ada keharusan untuk menjelaskan tentang hak konstitusional dari para Pemohon termasuk kerugian yang akan diakibatkan oleh undang-undang yang dipersoalkan ini. Ini beberapa hal yang kami mintakan klarifikasi dan mungkin nanti perlu di perbaiki kalau memang harus diperbaiki. Terima kasih. 12. KUASA HUKUM PEMOHON : O.C. KALIGIS, S.H, M.H. Apakah kami dapat kesempatan untuk segera menjawab Yang Mulia? 13. HAKIM : Prof. ABDUL MUKHTIE FADJAR, S.H., M.S Ya, silakan. 14. KUASA HUKUM PEMOHON : O.C. KALIGIS, S.H, M.H. Jadi tentu permohonan ini dalam kualitas perorangan, lalu kemudian telah kami bacakan tadi apa-apa yang merugikan mereka dalam kualitas perorangan. Jadi barangkali sudah mencakup daripada perbaikan permohonan kami, Yang Mulia. Terima kasih. 15. HAKIM : Prof. ABDUL MUKHTIE FADJAR, S.H., M.S Barangkali belum ada penegasan bahwa para Pemohon ini akan bertindak sebagai perorangan, tertulis belum ada rasanya. 10

12 16. KUASA HUKUM PEMOHON : O.C. KALIGIS, S.H, M.H. Baik. Kami jelaskan kalau memang ini merupakan bagian yang tak terpisah daripada permohonan kami, kami jelaskan di sini bahwa kualitas mereka adalah perorangan, tidak sebagai institusi. Dan karenanya tidak ditulis, bersama-sama bertindak mewakili dan karenanya untuk dan atas nama Mahkamah Agung, Yang Mulia. Terima kasih Yang Mulia. 17. KETUA : H. ACHMAD ROESTANDI, S.H. Perlu dijelaskan di sini, bahwa agar supaya legal standing nanti tidak menjadi persoalan. 18. KUASA HUKUM PEMOHON : O.C. KALIGIS, S.H, M.H. Baik, Yang Mulia. 19. KETUA : H. ACHMAD ROESTANDI, S.H. Seharusnya merujuk kepada yang sekarang sudah menjadi yurisprudensi dari Mahkamah Konstitusi. Ada 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi. Pertama, mengenai adanya hak konstitusional, konstitusional dari para hakim itu apa? Mengalirnya dari pasal berapa? Lalu kemudian, hak itu memang dirugikan oleh berlakunya undang-undang ini dalam anggapan Pemohon, jadi silakan para Pemohon bahwa ini dirugikan. Kemudian kerugian itu ada kausalitet, causal verband dengan berlakunya undang-undang. Selanjutnya juga, dengan syarat bahwa kerugian itu tidak akan terjadi atau tidak terjadi lagi kalau permohonan ini dikabulkan. Jadi itu barangkali, satu-satu bisa dirinci dan saya percaya sekali bahwa ini akan sangat baiklah dari Bapak-bapak nanti yang akan merumuskannya. 20. KUASA HUKUM PEMOHON : O.C. KALIGIS, S.H, M.H. Terima kasih, Yang Mulia. 11

13 21. KETUA : H. ACHMAD ROESTANDI, S.H. Silakan Pak Palguna. 22. HAKIM : I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H. Terima kasih Bapak Ketua. Bapak Pemohon, saya kembali menegaskan apa yang telah disampaikan oleh Pak Ketua Majelis tadi dalam Panel ini. Bahwa ini karena kami diwajibkan untuk memberi nasihat demi kejelasan permohonan apa boleh buat. Jadi saya akan menyampaikan itu. Begini Bapak, tadi Bapak Hakim Anggota, Yang Mulia Prof. Mukthie Fadjar, juga sudah menyampaikan bahwa kejelasan tentang kualifikasi itu menjadi penting karena agar jangan sampai permohonan ini jatuh di legal standing, itu tujuannya. Dan kemudian, jadi ada dua hal di situ kualifikasinya adalah jelas, kalau kita baca di Pasal 51 ini, yaitu bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan atau kewenangannya konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu kalau dalam hal ini adalah perorangan warga negara Indonesia, tadi sudah ditegaskan, mohon itu ditegaskan di dalam perbaikan, yang menurut undang-undang diberikan waktu 14 (empat belas) hari untuk melakukannya. Jadi, kualifikasinya adalah perorangan warga negara Indonesia di situ, walaupun Hakim Agung, kualifikasi perorangan sebagai hakim agung. Kemudian di situ ada kerugian yang melekat pada kualifikasi itu, itulah yang mesti dijelaskan di dalam permohonan, dari situ kemudian yang muncul syarat yang 5 (lima) tadi itu, mohon itu dilengkapi, dijelaskan di dalam permohonan ini. Agar tidak timbul pertanyaan lagi sebagaimana pengalaman yang dulu, kenapa kami tampaknya seperti menasihati materi, karena memang itu undang-undang-nya mempersyaratkan begitu, sebagaimana disebut di dalam Pasal 39 itu tadi telah dibacakan, sebelum mulai pemeriksaan pokok perkara maka diadakan pemeriksaan kelengkapan kejelasan materi permohonan, kemudian ayat duanya kita memberi nasihat. Nasihatnya itu kepada Pemohon untuk melengkapi dan atau memperbaiki permohonan. Apa yang dimaksud pada permohonan, itu ada di Pasal 31, yaitu permohonan sekurang-kurangnya harus memuat nama dan seterusnya dan yang C hal-hal yang diminta untuk diputus. Jadi ini termasuk materi juga begitu. Oleh karena itu lah kami memberikan nasihat ini dalam rangka kejelasan permohonan. Jadi, ini mohon dipertimbangkan dan diperbaiki. Jadi mengenai kuasa, karena walaupun ada perbaikan permohonan tentang Kuasa tadi, 12

14 saya kira masih memerlukan juga perbaikan untuk nanti dan tadi sudah dijawab dan sudah dijanjikan. Saya kira kami bisa menerima itu, tentu saja di dalam permohonan ini, walaupun di dalam permohonan tadi sudah dijelaskan bahwa pada dasarnya permohonan ini atau pengujian konstitusionalitas dari pasal-pasal, ini dua undang-undang, ya Pak? Yaitu Undang-undang Komisi Yudisial dan Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, cuma yang banyak pasal yang diuji itu adalah yang menyangkut Komisi Yudisial begitu, sedangkan mengenai Kekuasaan Kehakiman itu cuma satu, kalau tidak salah itu, satu pasal, jadi demikian. Konstitusionalitas dari pasal itulah yang dipertanyakan di dalam permohonan ini, dalam kaitannya kalau tidak salah dalam permohonan ini, yang tegas dinyatakan di sini adalah dalam kaitannya dengan pertentangan Pasal 24B Undang-Undang Dasar Karena di sini dalil yang harus dibuktikan untuk itu hak konstitusional dari Pemohon dalam kualifikasi seperti tadi, sedangkan penjelasan tentang apa yang dimaksud hak konstitusional itu menurut Penjelasan Pasal 51 ayat (1) dari Undang-undang Mahkamah Konstitusi itu adalah hak yang diberikan dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka tentu saja dari Pasal 24B itulah mungkin harus dijelaskan hak-hak konstitusional yang diturunkan dari pasal itu dalam kualifikasi hakim atau Pemohon yang dalam permohonan ini bertindak sebagai perorangan tadi. Saya kira demikian yang bisa saya sampaikan sebagai kewajiban yang dititahkan oleh Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi dalam permohonan ini. Terima kasih, Yang Mulia Ketua. 23. KETUA : H. ACHMAD ROESTANDI, S.H. Terima kasih. Pak Mukthie, masih ada? Cukup ya? Jadi satu hal lagi yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan adalah bahwa wewenang Mahkamah Konstitusi itu hanya berwenang untuk menerima atau mengabulkan, menolak atau tidak menerima. Jadi tidak ada kewenangan dari Mahkamah untuk memberikan koreksi atau usul kepada Pemerintah atau bagaimana seharusnya, jadi tidak ada itu. Oleh karena itu, mohon agar permintaan itu secara tegas barangkali mana yang ingin dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, misalnya sebagai contoh; Pasal 1 butir 5 Undang-undang Nomor 24 tahun 2004 yang dimintakan, itu supaya tegas bahwa kata mana yang seharusnya tidak mengikat itu. Jadi jangan seluruhnya, karena 13

15 kalau seluruhnya barangkali ini tidak ada pasal ini nantinya, tidak ada pengertian tentang hakim. Jadi tolong lebih rinci, bagian diktum disebutkan hanya ini bertentangan, oleh karena itu harus dinyatakan tidak mengikat, tetapi kalau seandainya ini dibuang barangkali nanti pengertian ini menjadi hilang. Termasuk untuk memberikan pengertian terhadap hakim itu. Jadi kalau dibuang ini, Hakim Agung. Hakim adalah hakim agung dan hakim. Padahal kalau dihilangkan, hanya hakim agungnya atau seluruh definisi ini yang harus. Barangkali itu Pak, jadi nanti mohon dirinci lebih terang. Kedua, seperti tadi dikemukakan oleh rekan-rekan juga para hakim, mengatakan bahwa sebaiknya pasal ini bertentangan dengan ini alasannya ini, sudah saja satu persatu jangan sekaligus. Pasal ini bunyinya ini, bertentangan dengan pasal ini alasannya begini. Barangkali lebih mudah untuk kami juga, para pihak terkait untuk memahaminya. Demikian barangkali yang bisa disampaikan, barangkali ada hal-hal yang ingin disampaikan oleh para Pemohon, silakan. 24. KUASA HUKUM PEMOHON : Prof. Dr. INDRIANTO SENOADJI, S.H. Terima kasih. Majelis hakim yang kami muliakan. Jadi, prinsipnya legal standing itu tetap kita, bahwa ini menyangkut bukan kelembagaan, orang perorangan, nanti ada beberapa nama yang kebetulan yang belum menandatangani. Tetapi secara lisan, prinsip sudah menyetujui, tetapi karena ada kesibukan-kesibukan Beliau jadi kita kemungkinan kami akan menyusulkan itu. Yang kedua mungkin bisa saya memberikan tambahan, prinsipnya semacam highlight yang sebagaimana dianjurkan oleh Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan, intinya kalau saya boleh memberikan highlight, intinya ini pertentangan antara Undang-Undang Dasar, khususnya dalam Pasal 24B dengan Undang-undang Komisi Yudisial sebagaimana diatur. Intinya begini Bapak, Komisi Yudisial itu di dalam konstitusi kita, perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, perubahan ketiga Pasal 24B, itu mempunyai dua kewenangan, yaitu melakukan pengangkatan calon Hakim Agung, yang kedua, wewenang lain itu dalam fungsi pengawasan. Tapi, secara tegas jelas sekali, fungsi pengawasan itu hanya berkaitan dengan perilaku, kehormatan dari hakim. Jadi, artinya hakim titik. Jadi, prinsip ini yang dalam implementasinya melalui Undangundang Komisi Yudisial, khususnya dalam Pasal 1 butir 5 diperluas melalui 14

16 undang-undang, padahal dalam konstitusi kita tidak pernah dicantumkan wewenang lain dalam rangka fungsi pengawasan itu terhadap Hakim Mahkamah Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Implementasi di Undang-undang Komisi Yudisial, namanya pengertian hakim yang ada di Pasal 24B itu diperluas menjadi Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi, itu yang kita anggap bertentangan antara konstitusi dengan mohon maaf, undang-undang dengan produk konstitusionalnya itu. Kedua, yang dipermasalahkan adalah mengenai penjatuhan sanksi, di dalam konstitusi perubahan ketiga dari Undang-Undang Dasar 1945, sama sekali tidak diberikan kewenangan pada Komisi Yudisial untuk memberikan penjatuhan sanksi kepada Hakim Agung maupun Hakim Mahkamah Konstitusi, tapi karena ada ekstensi atau perluasan yang sangat excessive sekali dari Undang-undang Komisi Yudisial, langsung maupun tidak langsung penjatuhan sanksi secara administratif itu bisa dikenakan pada Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi melalui Majelis Kehormatan Hakim, padahal di Undang-undang Mahkamah Agung maupun di Undang-undang Mahkamah Konstitusi, penjatuhan sanksi terhadap apa yang dinamakan Hakim Agung itu menjadi wewenang yang sangat rigid sekali dari Majelis Kehormatan Mahkamah Agung, untuk Hakim Mahkamah Konstitusi adalah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Nah, relativitas antara makna hakim yang diperluas itu akan membawa akibat terhadap penjatuhan sanksi. Ini intinya hanya dua persoalan itu Bapak, mengapa kita memasukan Pasal 34 Undang-undang Pokok Kekuasaan kehakiman, karena Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman itu mengatur mengenai hal yang sama yang diatur dalam Undang-undang Komisi Yudisial yang kita judicial review dihadapan Yang Mulia dari Mahkamah Konstitusi. Intinya itu saja Bapak, dua Bapak. Perluasan makna itu akan membawa akibat sekali terhadap persoalan penjatuhan sanksi. Jadi, di Pasal 24B sama sekali tidak dicantumkan kata-kata hakim, Hakim Agung, Hakim Mahkamah Konstitusi. Tidak, itu hanya hakim saja dan Pasal 25 yang mengatur persoalan pengangkatan dan pemberhetian hakim itu diserahkan kepada peraturan perundang-undangan tersendiri yang secara implementatif untuk hakim-hakim di bawah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, dan inilah menurut saya yang pertama kekeliruan dari Undang-undang Komisi Yudisial yang dibuat oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR. Jadi, ada dua prinsip di sini yang dilanggar, menurut saya adalah prinsip lex certa, artinya suatu ketentuan peraturan perundang-undangan tidak dapat diberikan interpretasi lain, selain apa yang telah ditentukan 15

17 secara tegas dan jelas dalam peraturan perundang-undangan. Saya kasih contoh, apabila memang Pasal 24B itu menyatakan bahwa wewenang lain dalam rangka melakukan pengawasan itu termasuk Hakim Agung dan Hakim Konstitusi, lex certa itulah yang harus dipertahankan dan ini tidak ada di dalam Pasal 24B, Pasal 24B itu hanya tegas, jelas lex certa, prinsip lex certa itu hanya hakim. Jadi, kita anggap pelaksanaan implementasinya dengan Pasal 1 butir 5 dari Undang-undang Komisi Yudisial yang memperluas makna pengertian hakim termasuk Hakim Agung, Hakim Mahkamah Konstitusi, itu kita anggap melanggar prinsip pertama lex certa, kedua melanggar prinsip lex priori derogat lex inferiori saya rasa intinya begitu saja Bapak, dan ini akan membawa akibat terhadap persoalan penjatuhan sanksi, membawa akibat terhadap apa yang dinamakan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Majelis Kehormatan Mahkamah Agung. Kalau ini diperluas dengan makna Pasal 1 butir 5 ini, fungsi administrasi dan fungsi peradilan itu berpindah dari Mahkamah Agung kepada Komisi Yudisial dan catatan saya, mohon maaf ini hanya sekedar humor Pasal 1 butir 5 ini kalau tetap dipertahankan, jauh lebih baik dalam susunan ketatanegaraan tidak ada apa yang dinamakan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Terima kasih. 25. KETUA: H. ACHMAD ROESTANDI, S.H. Ada lagi barangkali? Kalau tidak ada kita cukupkan saja ya? Jadi, sekali lagi kami telah memberikan ini, apa yang dikemukakan barangkali apa akan dimasukkan dalam perbaikan nanti dan sebaiknya memang dimasukkan di dalam perbaikan nanti, sehingga betul-betul lengkap. Jadi termasuk tadi seperti saya katakan, mengenai legal standing, dielaborasilah sedemikian rupa mengenai masalah kewenangan juga mengenai duduk perkara. Jadi, kalau saya pahami bahwa memang segalanya berawal dari Pasal 1 butir 5 ya? Maka oleh karena itu, disitulah yang perlu diberikan penjelasan yang rinci begitu ya? Jadi, ini pemeriksaan saya kira cukup sekian, kemudian kalau para Pemohon ingin menyampaikan perbaikan, maka waktunya sesuai dengan Pasal 39 Undang-undang Mahkamah Konstitusi diberikan waktu 14 hari, jadi 14 hari tidak kerja ini, 14 hari Pak. Jadi, oleh karena itu kalau seandainya besok atau lusa sudah selesai silakan, itu lebih baik nanti lebih cepat pemeriksaannya. Kalau sudah sampai nanti kita atur waktu untuk juga menentukan persidangan 16

18 berikutnya, barangkali ini disampaikan dulu ke Rapat Pemusyawarahan Hakim dan Rapat Permusyawaratan Hakim nanti akan menentukan kapan ini akan dilanjutkan, demikian. Dengan ini maka Pemeriksaan Pendahuluan dalam Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006, dinyatakan selesai dan sidang berikutnya akan ditentukan kemudian, dengan ini sidang dinyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP WIB 17