BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Jadi dan Industri Bahan Baku Obat. Definisi dari obat jadi yaitu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Jadi dan Industri Bahan Baku Obat. Definisi dari obat jadi yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi adalah badan usaha yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri obat jadi dan

BAB II TINJAUAN UMUM. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri Farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (CPOB). Hal ini didasarkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri obat jadi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri obat jadi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi menurut SK Menkes No. 245/Menkes/SK/V/1990 adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi adalah industri obat jadi dan industri bahan baku obat.

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. Lembaga Farmasi Direktorat Kesehatan Angkatan Darat (Lafi Ditkesad)

Industri farmasi menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 245/Menkes/V/1990 adalah industri obat jadi dan industri bahan baku obat.

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI. 1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah badan usaha yang memiliki izin dari menteri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi menurut SK Menkes No. 245/Menkes/SK/V/1990

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 adalah industri obat jadi dan industri

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI. 1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah badan usaha yang memiliki izin dari menteri

BAB II TINJAUAN UMUM. Industri farmasi menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik

CPOB. (Cara Pembuatan Obat yang Baik)

B. Tujuan Tujuan Qualiy Assurance adalah untuk memastikan bahwa obat dihasilkan dengan mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya.

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. (BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus

KATA PENGANTAR QUALITY CONTROL

Produksi di Industri Farmasi

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. Belanda, pada tahun 1958 pemerintah melebur sejumlah perusahaan farmasi

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM PT. COMBIPHAR. bawah pengelolaan Drs. Handoko Prayogo, Apt. Berawal dari industri rumah

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 965/MENKES/SK/XI/1992 TENTANG

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA

Quality Control (QC) dan Quality Assurance (QA) Mata Kuliah : Rancangan Produk Industri (2 SKS) Dosen : Kuni Zu aimah B.,S.Farm., M.Farm., Apt.

Tugas Individu Farmasi Industri. Uraian Tugas Kepala Bagian Produksi, Pengawasan Mutu dan Pemastian Mutu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

PEDOMAN CARA PEMBUATAN OBAT YANG BAIK

2 Presiden Nomor 55 Tahun 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 125); 3. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,

Oleh : Bambang Priyambodo

UNIVERSITAS INDONESIA

2. KETENTUAN UMUM Obat tradisional Bahan awal Bahan baku Simplisia

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM PT. COMBIPHAR. PT. Combiphar didirikan pada tahun 1971 di Jl. Sukabumi no. 61,

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan kebutuhan terpenting bagi manusia sehingga

UNIVERSITAS INDONESIA DI PT. MOLEX AYUS JL. RAYA SERANG KM 11,5 CIKUPA TANGERANG PERIODE 16 JANUARI - 27 JANUARI 2012

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk

Tugas dan tanggungjawab Quality Assurance (QA) / Jaminan Mutu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gudang merupakan sarana pendukung kegiatan produksi industri farmasi

MODUL MATERI UJIAN PERPINDAHAN JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS FARMASI DAN MAKANAN TERAMPIL KE AHLI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) BADAN POM RI

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI FARMASI INDUSTRI LEMBAGA FARMASI DIREKTORAT KESEHATAN ANGKATAN DARAT BANDUNG

BAB 1 MANAJEMEN MUTU

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR:. TENTANG PEDOMAN PENERAPAN CARA PEMBUATAN KOSMETIKA YANG BAIK

Aspek-aspek CPOB. Manajemen Mutu Personalia Bangunan dan Fasilitas Peralatan Sanitasi dan Higiene Produksi

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT. SOLAS LANGGENG SEJAHTERA BANDUNG

DOKUMENTASI

No Kode DAR2/Profesional/582/010/2018 PENDALAMAN MATERI FARMASI MODUL 010: CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK. Dr. NURKHASANAH, M.Si., Apt.

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,

PERSYARATAN TEKNIS CARA PEMBUATAN OBAT TRADISIONAL YANG BAIK BAB 1

(BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus Sejak berdirinya hingga sekarang ini PT. Kimia Farma (Persero) Tbk.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pilihan alternatif solusi kesehatan masyarakat. Oleh karena harga obat tradisional

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT. COMBIPHAR JL. RAYA SIMPANG NO. 383 PADALARANG PERIODE MARET 2012

BAB III KEGIATAN DI INDUSTRI FARMASI P.T. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM PT. PRADJA PHARIN (PRAFA) mengalami perkembangan pesat. PT. Prafa didirikan pada tahun 1960 oleh Tjipto

Viddy A R. II Selasa, 5 September 2017

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,

Penggunaan terbesar herbal. Fitofarmaka. supplement. kosmetik

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT TAISHO PHARMACEUTICAL INDONESIA TBK. JL. RAYA BOGOR KM 38, DEPOK PERIODE 1 FEBRUARI 28 MARET 2013

UNIVERSITAS INDONESIA

PERSONALIA

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI LEMBAGA FARMASI DIREKTORAT KESEHATAN ANGKATAN DARAT BANDUNG

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. (BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus 1971.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berfungsi untuk menyimpan bahan baku, bahan kemas, dan obat jadi yang

- 1 - PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017

Lampiran 1 KUESIONER PENELITIAN (Berdasarkan PP 50 Tahun 2012) Nama : Alamat : Jabatan : Lama Bekerja : NO Isi pertanyaan Kel.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Perencanaan. Pengadaan. Penggunaan. Dukungan Manajemen

Lampiran 1. Pengukuran tingkat penerapan Good Manufacturing Practice

(BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus Sejak berdirinya hingga sekarang ini PT. Kimia Farma (Persero) Tbk telah

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI FARMASI INDUSTRI di LEMBAGA FARMASI DIREKTORAT KESEHATAN ANGKATAN DARAT BANDUNG

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI. 2.1 Tinjauan Lembaga Farmasi Angkatan Udara (LAFIAU) Sejarah dan Perkembangan Lembaga Farmasi Angkatan Udara

UNIVERSITAS INDONESIA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG INDUSTRI FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1 dari1717 I. PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL P

BAB II PT. KIMIA FARMA. (BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT TAISHO PHARMACEUTICAL INDONESIA TBK. JL. RAYA BOGOR KM 38, DEPOK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2. Rencana K3 yang disusun oleh perusahaan paling sedikit memuat : a. Tujuan dan Sasaran

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Industri Farmasi 1. Pengertian Industri Farmasi Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 245/MenKes/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi, Industri Farmasi adalah Industri Obat Jadi dan Industri Bahan Baku Obat. Definisi dari obat jadi yaitu sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelediki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi. Sedangkan yang dimaksud dengan bahan baku obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun yang tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar mutu sebagai bahan farmasi. 2. Persyaratan Industri Farmasi Perusahaan industri farmasi wajib memperoleh izin usaha industri farmasi, karena itu industri tersebut wajib memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Persyaratan industri farmasi tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 245//Menkes/SK/V/1990 adalah sebagai berikut :

a. Industri farmasi merupakan suatu perusahaan umum, badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi. b. Memiliki rencana investasi. c. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). d. Industri farmasi obat jadi dan bahan baku wajib memenuhi persyaratan CPOB sesuai dengan ketentuan SK Menteri Kesehatan No. 43/Menkes/SK/II/1988. e. Industri farmasi obat jadi dan bahan baku, wajib mempekerjakan secara tetap sekurang-kurangnya dua orang apoteker warga Negara Indonesia, masing-masing sebagai penanggung jawab produksi dan penanggung jawab pengawasan mutu sesuai dengan persyaratan CPOB. f. Obat jadi yang diproduksi oleh industri farmasi hanya dapat diedarkan setelah memperoleh izin edar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 3. Izin Usaha Industri Farmasi Izin usaha industri farmasi diberikan oleh Menteri Kesehatan dan wewenang pemberian izin dilimpahkan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Izin ini berlaku seterusnya selama industri tersebut berproduksi dengan perpanjangan izin setiap 5 tahun, sedangkan untuk industri farmasi Penanaman Modal Asing (PMA) masa berlakunya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan pelaksanaannya.

4. Pencabutan Izin Usaha Industri Farmasi Pencabutan izin usaha industri farmasi dapat terjadi karena beberapa hal : 1. Melakukan pemindahtanganan hak milik izin usaha industri farmasi dan perluasan tanpa memiliki izin. 2. Tidak menyampaikan informasi mengenai perkembangan industri secara berturut-turut tiga kali atau dengan sengaja menyampaikan informasi yang tidak benar. 3. Melakukan pemindahan lokasi usaha industri tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu. 4. Dengan sengaja memproduksi obat jadi atau bahan baku obat yang tidak memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku (obat palsu). 5. Tidak memenuhi ketentuan dalam izin usaha industri farmasi. B. Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) CPOB merupakan suatu konsep dalam industri farmasi mengenai prosedur atau langkah-langkah yang dilakukan dalam suatu industri farmasi untuk menjamin mutu obat jadi, yang diproduksi dengan menerapkan Good Manufacturing Practices dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatan produksi sehingga obat yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya.

CPOB bertujuan untuk menjamin obat dibuat secara konsisten memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu (BPOM, 2006) Ruang lingkup CPOB edisi 2006 meliputi Manajemen Mutu, Personalia, Bangunan dan Fasilitas, Peralatan, Sanitasi dan Hygiene, Produksi, Pengawasan Mutu, Inspeksi Diri dan Audit Mutu, Penanganan Keluhan terhadap Produk, Penarikan Kembali Produk dan Produk Kembalian, Dokumentasi, Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak, serta Kualifikasi dan Validasi. Ada 4 landasan umum dalam CPOB 2006 yaitu : a. Pada pembuatan obat pengawasan secara menyeluruh adalah sangat essensial untuk menjamin bahwa konsumen menerima obat yang bermutu tinggi. Pembuatan obat secara sembarangan tidak dibenarkan bagi obat yang akan digunakan sebagai penyelamat jiwa atau memulihkan atau memelihara kesehatan. b. Tidaklah cukup apabila obat jadi hanya sekedar lulus dari serangkaian pengujian, tetapi yang menjadi sangat penting adalah mutu harus dibentuk ke dalam produk. Mutu obat tergantung pada bahan awal, proses pembuatan dan pengawasan mutu, bangunan, peralatan yang dipakai, dan personalia yang terlibat dalam pembuatan obat. c. Untuk menjamin mutu suatu obat jadi tidak boleh hanya mengandalkan hanya pada pengujian tertentu saja. Semua obat hendaklah dibuat dalam kondisi yang dikendalikan dan dipantau dengan cermat. d. CPOB merupakan pedoman yang bertujuan untuk memastikan agar sifat dan mutu obat yang dihasilkan sesuai dengan yang dikehendaki.

Aspek dalam CPOB 2006 meliputi : 1. Manajemen Mutu Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan resiko yang membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Manajemen mutu bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu Kebijakan Mutu, yang memerlukan partisipasi dan komitmen dari semua jajaran di semua departemen di dalam perusahaan, para pemasok dan para distributor. Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan diperlukan manajemen mutu yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar (BPOM, 2006). Kebijakan mutu hendaklah disosialisasikan kepada semua karyawan dengan cara yang efektif, tidak cukup dengan cara membagikan fotokopinya dan/atau menempelkan pada dinding. Untuk melaksanakan Kebijakan Mutu dibutuhkan 2 unsur dasar yaitu : 1. Sistem mutu yang mengatur struktur organisasi, tanggung jawab dan kewajiban semua sumber daya yang diperlukan, semua prosedur yang mengatur proses yang ada. 2. Tindakan sistematis untuk melaksanakan system mutu, yang disebut dengan pemastian mutu atau Quality Assurance (QA) (BPOM 2009).

Sistem manajemen mutu di industri farmasi mencakup antara lain : - Struktur organisasi mutu, termasuk kewenangan pemastian mutu dan pengawasan mutu - Pengendalian perubahan - Sistem pelulusan bets - Penanganan penyimpangan - Pengolahan ulang - Inspeksi diri dan audit eksternal - Pelaksanaan program kualifikasi dan validasi - Personalia - Sistem dokumentasi (Manajemen Farmasi Industri, 2007). 2. Personalia Suatu industri farmasi bertanggung jawab menyediakan personil yang sehat, terkualifikasi dan dalam jumlah yang memadai agar proses produksi dapat berjalan dengan baik. Semua personil harus memahami prinsip CPOB agar produk yang dihasilkan bermutu (BPOM 2009). Kesehatan personil hendaklah dilakukan pada saat perekrutan, sehingga dapat dipastikan bahwa semua calon karyawan (mulai dari petugas kebersihan, pemasangan dan perawatan peralatan, personil produksi dan pengawasan hingga personil tingkat manajerial) memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik sehingga tidak akan berdampak pada mutu produk yang dibuat. Disamping itu hendaklah dibuat dan dilaksanakan program pemeriksaan kesehatan berkala yang mencakup pemeriksaan jenis-jenis

penyakit yang dapat berdampak pada mutu dan kemurnian produk akhir. Untuk masing-masing karyawan hendaklah ada catatan tentang kesehatan mental dan fisiknya (BPOM 2009). Dalam kualifikasi dan pengalaman personil yang diperlukan untuk tiap posisi hendaklah ditetapkan secara tertulis yang disimpan oleh bagian SDM, tapi juga dapat ditampilkan pada Uraian Tugas masing-masing (BPOM 2009). Jumlah personil yang memadai sangat mempengaruhi proses produksi. Kekurangan jumlah personil cenderung mempengaruhi kualitas obat, karena tugas akan dilakukan secara tergesa-gesa dengan segala akibatnya. Disamping itu, kekurangan jumlah karyawan biasanya mengakibatkan kerja lembur sering dilakukan yang dapat menimbulkan kelelahan fisik dan mental baik bagi operator ataupun supervisor atau malahan bagi personil pada tingkat lebih atas yang melakukan evaluasi dan/atau mengambil keputusan (BPOM 2009). Kategori personil kunci bergantung pada kebijakan perusahaan/industri apakah terbatas hanya pada Kepala Bagian Produksi, Kepala Bagian Pengawasan Mutu dan Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu). Industri dapat menentukan posisi lain yang lebih tinggi, sama atau lebih rendah dicakup dalam kategori personil kunci. Yang harus dipertahankan adalah semua Kepala Bagian Produksi dan Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu)/Kepala Bagian pengawasan Mutu harus independen satu terhadap yang lain(bpom 2009).

3. Bangunan dan Fasilitas Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain, konstruksi, letak yang memadai dan kondisi yang sesuai serta perawatan yang dilakukan dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil terjadinya resiko kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain serta memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk menghindari pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran dan dampak lain yang dapat menurunkan mutu obat. Untuk mencegah terjadinya pencemaran yang berasal dari lingkungan dan sarana maka perlu: 1. Disiapkan ruang terpisah yang dirancang khusus untuk menghindari kontaminasi. 2. Kelas I (putih) atau kelas 100 yang memiliki laminar Air Flow. 3. Kelas II (putih) atau kelas 10.000, memiliki efisiensi saringan udara sebesar 99,997 %. 4. Kelas III (abu-abu) atau kelas 100.000, memiliki efisiensi saringan udara sebesar 95 %, dan 5. Kelas IV (hitam) atau kelas tak terhingga, ruangan produksi hendaklah dilengkapi dengan sistem ventilasi dengan pengontrol udara yang sesuai bagi produk dan aktivitas yang dilakukan, baik terhadap ruangan lain maupun terhadap udara luar.

Rancang bangunan hendaklah dibuat sehingga untuk kegiatan yang berhubungan langsung dengan daerah luar sarananya dikelompokkan. Kegiatan yang berhubungan langsung dengan daerah luar antara lain: Penerimaan bahan awal Keluar-masuk karyawan Pemakaian seragam kerja Mandi, cuci tangan dan buang air kecil Penyerahan produk jadi untuk distribusi Rancangan diatas perlu ditekankan agar tidak berdampak negatif terhadap kegiatan produksi yang dilakukan di area dengan kelas kebersihan lebih tinggi (BPOM 2009). Tata letak ruang hendaklah dikaji sejak tahap perencanaan konstruksi bangunan demi keefektifan semua kegiatan, kelancaran arus kerja, komunikasi, dan pengawasan serta untuk menghindari ketidakteraturan. Tata letak ruang dalam area produksi yang harus dipenuhi antara lain : 1. Untuk pengolahan produk yang mengandung bahan yang menimbulkan sensitisasi tinggi, disediakan fasilitas tersendiri untuk masing-masing produk. Udara yang dikeluarkan dari fasilitas itu dilewatkan atau melalui suatu sistem yang sesuai sebelum dilepaskan ke atmosfer. 2. Luas area kerja produksi minimal 2 kali luas yang diperlukan untuk penempatan peralatan (termasuk wadah yang diperlukan untuk suatu kegiatan) ditambah luas area untuk keperluan pembersihan dan perawatan mesin oleh operator produksi dan/atau teknisi.

3. Permukaan lantai, dinding, langit-langit dan pintu hendaklah : - Kedap air - Tidak terdapat sambungan untuk mengurangi pelepasan atau pengumpulan partikel. - Tidak merupakan media pertumbuhan mikroba. - Mudah dibersihkan, serta tahan terhadap proses pembersihan, bahan pembersih dan disinfektan yang digunakan berulangkali dengan memperhatikan faktor kepadatan, porositas, tekstur, dan sifat elektrostatis (BPOM 2009). 4. Peralatan Peralatan untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat agar mutu obat terjamin sesuai desain serta seragam dari bets ke bets dan untuk memudahkan pembersihan serta perawatan (BPOM, 2006). Desain dan konstruksi peralatan hendaklah memenuhi persyaratan sebagai berikut : - Peralatan hendaklah didesain dan dikonstruksikan sesuai dengan tujuannya. - Permukaan peralatan yang bersentuhan dengan bahan awal, produk antara ataupun produk jadi tidak boleh menimbulkan reaksi, adisi atau absorpsi yang dapat mempengaruhi identitas, mutu atau kemurnian di luar batas yang ditentukan.

- Bahan yang diperlukan untuk pengoperasian alat khusus, misalnya pelumas atau pendingin tidak boleh bersentuhan dengan bahan yang sedang diolah sehingga tidak mempengaruhi identitas, mutu atau kemurnian bahan awal, produk antara ataupun produk jadi. - Peralatan tidak boleh merusak produk akibat katup bocor, tetesan pelumas dan hal sejenis atau karena perbaikan, perawatan, modifikasi, dan adaptasi yang tidak tepat. - Peralatan hendaklah didesain sedemikian rupa agar mudah dibersihkan. Peralatan tersebut hendaklah dibersihkan sesuai prosedur tertulis yang rinci serta disimpan dalam keadaan bersih dan kering. - Peralatan pencucian dan pembersihan hendaklah dipilih dan digunakan agar tidak menjadi sumber pencemaran. - Peralatan yang digunakan hendaklah tidak berakibat buruk pada produk. Bagian alat yang bersentuhan dengan produk tidak boleh bersifat reaktif, aditif, atau absorptif, yang dapat mempengaruhi mutu dan berakibat buruk pada produk. - Semua peralatan khusus untuk pengolahan bahan mudah terbakar atau bahan kimia atau yang ditempatkan di area dimana digunakan bahan mudah terbakar, hendaklah dilengkapi dengan perlengkapan elektris yang kedap eksplosi serta dibumikan dengan benar. - Hendaklah tersedia alat timbang dan alat ukur dengan rentang dan ketelitian yang tepat untuk proses produksi dan pengawasan. Peralatan yang digunakan untuk menimbang, mengukur, memeriksa, dan mencatat hendaklah diperiksa ketepatannya dan dikalibrasi sesuai program dan

prosedur yang ditetapkan. Hasil pemeriksaan dan kalibrasi hendaklah dicatat dan disimpan dengan baik. - Filter cairan yang digunakan untuk proses produksi hendaklah tidak melepaskan serat ke dalam produk. Filter yang mengandung asbes tidak boleh digunakan walaupun sesudahnya disaring kembali menggunakan filter khusus yang tidak melepaskan serat, dan - Pipa air suling, air de-ionisasi dan bila perlu pipa air lain untuk produksi hendaklah di sanitasi sesuai prosedur tertulis. Prosedur tersebut henedaklah berisi rincian batas cemaran mikroba dan tindakan yang harus dilakukan (BPOM, 2006). 5. Sanitasi dan Hygiene Tingkat sanitasi dan hygiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada setiap aspek pembuatan obat. Ruang lingkup meliputi personalia, bangunan, peralatan, dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya, dan setiap hal yang dapat merupakan sumber pencemaran produk. Sumber pencemaran hendaklah dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan hygiene yang menyeluruh serta terpadu. Sanitasi dan hygiene yang diatur dalam pedoman CPOB 2006 adalah terhadap personalia, bangunan, dan peralatan. Prosedur sanitasi dan hygiene hendaklah divalidasi serta dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitas prosedur dan selalu memenuhi persyaratan.

6. Produksi Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB yang senantiasa dapat menjamin produk obat jadi dan memenuhi ketentuan izin pembuatan serta izin edar (registrasi) sesuai dengan spesifikasinya (BPOM, 2006). Selain itu, produksi baiknya dilakukan dan diawasi oleh personil yang kompeten. Mutu suatu obat tidak hanya ditentukan oleh hasil analisa terhadap produk akhir, melainkan juga oleh mutu yang dibangun selama tahapan proses produksi sejak pemilihan bahan awal, penimbangan, proses produksi, personalia, bangunan, peralatan, kebersihan dan hygiene sampai dengan pengemasan. Prinsip utama produksi adalah : a. Adanya keseragaman atau homogenitas dari bets ke bets. b. Proses produksi dan pengemasan senantiasa menghasilkan produk yang seidentik mungkin (dalam batas syarat mutu) baik bagi bets yang sudah diproduksi maupun yang akan diproduksi. Sedangkan hakikat produksi adalah : a. Mutu produk obat tidak ditentukan oleh hasil akhir analisa saja, tetapi ditentukan oleh keseluruhan proses produksi (built in process). b. Adanya prosedur baku (standar) untuk setiap langkah (tahapan) proses produksi dengan persyaratan yang harus diikuti dengan konsisten.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam produksi antara lain: a. Pengadaan Bahan Awal Pengadaan bahan awal hendaklah hanya dari pemasok yang telah disetujui dan memenuhi spesifikasi yang relevan. Semua penerimaan, pengeluaran dan jumlah bahan tersisa hendaklah dicatat. Catatan hendaklah berisi keterangan mengenai pasokan, nomor bets/lot, tanggal penerimaan, tanggal pelulusan, dan tanggal daluarsa (BPOM, 2006). b. Pencegahan Pencemaran Silang Tiap tahap proses, produk dan bahan hendaklah dilindungi terhadap pencemaran mikroba dan pencemaran lain. Resiko pencemaran silang ini dapat timbul akibat tidak terkendalinya debu, uap, percikan atau organisme dari bahan atau produk yang sedang diproses, dari sisa yang tertinggal pada alat dan pakaian kerja operator. Tingkat resiko pencemaran ini tergantung dari jenis pencemar dan produk yang tercemar. Pencemaran silang hendaklah dihindari dengan tindakan teknis atau pengaturan yang tepat, antara lain: - Produksi di dalam gedung yang terpisah (diperlukan untuk produk seperti penisilin, hormon seks, sitostatik, dan produk biologi). - Tersedia ruang penyangga udara dan penghisap udara. - Memakai pakaian pelindung yang sesuai di area dimana produk yang beresiko tinggi terhadap pencemaran silang diproses. - Melaksanakan prosedur pembersihan dan dekontaminasi yang terbukti efektif (BPOM, 2006).

c. Penimbangan dan Penyerahan Penimbangan dan penyerahan bahan awal, bahan pengemas, produk antara dan produk ruahan dianggap sebagai bagian dari siklus produksi dan memerlukan dokumentasi yang lengkap. Hanya bahan awal, bahan pengemas, produk antara dan produk ruahan yang telah diluluskan oleh pengawasan mutu dan masih belum daluarsa yang boleh diserahkan (BPOM, 2006). d. Pengembalian Semua bahan awal dan bahan pengemas yang dikembalikan ke gudang penyimpanan hendaklah didokumentasikan dengan benar (BPOM, 2006). e. Pengolahan Semua bahan yang dipakai di dalam pengolahan hendaklah diperiksa sebelum dipakai. Semua peralatan yang dipakai dalam pengolahan hendaklah diperiksa sebelum digunakan. Peralatan hendaklah dinyatakan bersih secara tertulis sebelum digunakan. Semua kegiatan pengolahan hendaklah dilaksanakan mengikusi prosedur yang tertulis. Tiap penyimpangan hendaklah dilaporkan. Semua produk antara hendaklah diberi label yang benar dan dikarantina sampai diluluskan oleh bagian pengawasan mutu (BPOM, 2006). f. Kegiatan Pengemasan Kegiatan pengemasan berfungsi mengemas produk ruahan menjadi produk jadi. Pengemasan hendaklah dilaksanakan di bawah pengendalian yang ketat untuk menjaga identitas, keutuhan dan mutu produk akhir yang dikemas. Semua kegiatan pengemasan hendaklah dilaksanakan sesuai dengan instruksi yang diberikan dan menggunakan bahan pengemas yang tercantum

dalam prosedur pengemasan induk. Rincian pelaksanaan pengemasan hendaklah dicatat dalam catatan pengemasan bets. g. Pengawasan Selama Proses Pengawasan selama proses hendaklah mencakup : - Semua parameter produk, volume atau jumlah isi produk diperiksa pada saat awal dan selama proses pengolahan atau pengemasan. - Kemasan akhir diperiksa selama proses pengemasan dengan selang waktu yang teratur untuk memastikan kesesuaiannya dengan spesifikasi dan memastikan semua komponen sesuai dengan yang ditetapkan dalam prosedur pengemasan induk. h. Karantina Produk Jadi Karantina produk jadi merupakan tahap akhir pengendalian sebelum penyerahan ke gudang dan siap untuk didistribusikan. Sebelum diluluskan untuk diserahkan ke gudang, pengawasan yang ketat hendaklah dilaksanakan untuk memastikan produk dan catatan pengolahan bets memenuhi semua spesifikasi yang ditentukan. 7. Pengawasan Mutu Pengawasan mutu merupakan bagian yang essensial dari CPOB untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan komitmen semua pihak yang berkepentingan pada semua tahap merupakan keharusan untuk mencapai sasaran mutu mulai dari awal pembuatan sampai kepada distribusi obat jadi. Pengawasan mutu tidak terbatas pada kegiatan laboratorium, tapi

juga harus terlibat dalam semua keputusan yang terkait dengan mutu produk. Ketidaktergantungan pengawasan mutu dari produksi dianggap hal yang fundamental agar pengawasan mutu dapat melakukan kegiatan dengan memuaskan (BPOM, 2006). Pengawasan mutu hendaklah mencakup semua kegiatan analitik yang dilakukan di laboratorium termasuk pengambilan sampel, pemeriksaan pengujian bahan awal, produk antara, produk ruahan dan produk jadi. Kegiatan ini mencakup juga uji stabilitas, program pemantauan lingkungan, pengujian yang dilakukan dalam rangka validasi, penanganan sampel pertinggal, menyusun dan memperbaharui spesifikasi bahan, produk serta metode pengujiannya (BPOM, 2006). Bagian pengawasan mutu dalam suatu pabrik obat bertanggung jawab untuk memastikan bahwa: a. Bahan awal untuk produksi obat memenuhi spesifikasi yang ditetapkan untuk identitas, kekuatan, kemurnian, kualitas, dan keamanannya. b. Tahapan produksi obat telah dilaksanakan sesuai prosedur yang ditetapkan dan telah divalidasi sebelumnya. c. Semua pengawasan selama proses dan pemeriksaan laboratorium terhadap suatu bets obat telah dilaksanakan dan bets tersebut memenuhi spesifikasi yang ditetapkan sebelum didistribusikan. d. Suatu bets obat memenuhi persyaratan mutu selama waktu peredaran yang ditetapkan.

Area laboratorium pengawasan mutu hendaklah terpisah dari area produksi. Selain itu bagi suatu laboratorium untuk pengawasan selama proses mungkin lebih memudahkan apabila letaknya di daerah tempat pembuatan atau pengemasan dimana dilakukan pengujian fisik seperti penimbangan dan uji monitoring lainnya secara periodik. Dokumentasi dan prosedur pelulusan yang diterapkan bagian pengawasan mutu hendaklah menjamin bahwa pengujian yang diperlukan telah dilakukan sebelum bahan digunakan dalam produksi dan produk disetujui sebelum didistribusikan. Personil pengawasan mutu hendaklah memiliki akses ke area produksi untuk pengambilan sampel dan penyelidikan yang diperlukan. 8. Inspeksi diri dan Audit Mutu Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB (BPOM, 2006). Aspek-aspek dalam inspeksi diri antara lain : - Personalia - Bangunan termasuk fasilitas untuk personil - Perawatan bangunan dan peralatan - Penyimpanan bahan awal, bahan pengemas dan obat jadi - Peralatan - Pengolahan dan pengawasan selama proses - Pengawasan mutu

- Dokumentasi - Sanitasi dan hygiene - Program validasi dan re-validasi - Kalibrasi alat dan sistem pengukuran - Prosedur penarikan kembali obat jadi - Penanganan keluhan - Pengawasan label - Hasil inspeksi sebelumnya dan tindakan perbaikan Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara independen oleh orang yang kompeten yaitu terkualifikasi dan mempunyai pengalaman yang memadai dalam melakukan inspeksi diri. Inspeksi diri dapat dilakukan sendiri oleh pihak perusahaan dengan membentuk suatu tim atau oleh konsultan yang independen dari luar perusahaan. Inspeksi diri hendaklah mencakup semua bagian yaitu pemastian mutu, produksi, pengaweasan mutu, teknik dan gudang (termasuk gudang obat jadi, Bahan baku, dan bahan pengemas) (BPOM, 2009). Inspeksi diri dapat dilakukan oleh tiap bagian sesuai dengan kebutuhan pabrik namun inspeksi diri yang dilakukan secara menyeluruh hendaklah dilaksanakan minimal satu kali dalam setahun. Frekuensi inspeksi diri hendaklah tertulis dalam prosedur tetap inspeksi diri (BPOM, 2009).

9. Penanganan Keluhan terhadap Produk, Penarikan Produk dan Produk Kembalian Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadinya kerusakan obat dapat bersumber dari dalam maupun dari luar industri, dan memerlukan penanganan dan pengkajian secara teliti (BPOM, 2009). Keluhan/informasi yang bersumber dari dalam industri antara lain dapat dari bagian produksi, bagian pengawasan mutu, bagian gudang dan bagian pemasaran, sementara dari luar industri antara lain dapat berasal dari pasien, dokter, paramedis, klinik, rumah sakit, apotek, distributor, dll (BPOM, 2009). Penarikan kembali obat jadi dapat berupa penarikan kembali satu atau beberapa bets atau seluruh obat jadi tertentu dari semua mata rantai distribusi. Penarikan kembali dilakukan apabila ditemukan produk yang tidak memenuhi persyaratan mutu atau atas dasar pertimbangan adanya efek samping yang tidak diperhitungkan yang merugikan kesehatan (BPOM, 2009). Produk kembalian adalah obat jadi yang telah keluar dari industri dan beredar yang kemudian dikembalikan ke industri karena adanya keluhan, mengenai kerusakan, kadaluarsa, atau alasan lain misalnya mengenai kondisi obat, wadah atau kemasan sehingga menimbulkan keraguan akan keamanan, identitas, mutu serta kesalahan administratif yang menyangkut jumlah dan jenis (BPOM, 2009).

10. Dokumentasi Dokumentasi pembuatan obat merupakan bagian dari sistem informasi manajemen dan dokumentasi yang baik merupakan bagian yang sangat penting dari pemastian mutu (BPOM, 2006). Sistem dokumentasi yang dirancang/digunakan hendaklah mengutamakan tujuannya, yaitu menentukan, memantau dan mencatat seluruh aspek produksi serta pengendalian dan pengawasan mutu (BPOM, 2009). Dokumentasi sangat penting untuk memastikan bahwa tiap personil menerima uraian tugas secara jelas dan rinci sehingga memperkecil resiko terjadinya kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan (BPOM, 2006). Dokumentasi meliputi : a. Spesifikasi Spesifikasi menguraikan secara rinci persyaratan yang harus dipenuhi produk atau bahan yang digunakan atau diperoleh selama pembuatan. Dokumen ini merupakan dasar untuk mengevaluasi mutu. Spesifikasi meliputi spesifikasi bahan awal, spesifikasi bahan pengemas, spesifikasi produk antara dan produk ruahan, dan spesifikasi produk jadi (BPOM, 2006). b. Dokumen produksi Dokumen produksi meliputi: dokumen produksi induk, prosedur pengolahan induk, dan prosedur pengemasan induk (formula pembuatan, instruksi pengolahan, dan instruksi pengemasan) yang menyatakan seluruh bahan awal dan bahan pengemas yang digunakan serta menguraikan semua operasi pengolahan dan pengemasan.

c. Prosedur Prosedur berisi cara untuk melaksanakan operasi tertentu, misalnya pembersihan, berpakaian, pengendalian lingkungan, pengambilan sampel, pengujian dan pengoperasian peralatan. d. Laporan dan Catatan Catatan menyajikan riwayat tiap bets produk, termasuk distribusi dan semua catatan yang berpengaruh pada mutu produk akhir (BPOM, 2006). 11. Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar, disetujui dan dikendalikan untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan. Kontrak tertulis antara pemberi kontrak dengan penerima kontrak harus dibuat secara jelas untuk menentukan tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak. Kontrak harus menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets produk untuk diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh kepala bagian manajemen mutu (pemastian mutu). 12. Kualifikasi dan Validasi Validasi adalah tindakan pembuktian dengan cara yang sesuai bahwa tiap bahan, proses, prosedur, kegiatan, sistem, perlengkapan atau mekanisme yang digunakan dalam produksi maupun pengawasan mutu akan senantiasa mencapai hasil yang diinginkan (CPOB, 2006).

CPOB mengisyaratkan industri farmasi untuk mengidentifikasi validasi yang diperlukan sebagai bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari kegiatan yang dilakukan. Perubahan signifikan terhadap fasilitas, peralatan dan proses yang dapat mempengaruhi mutu produk hendaklah divalidasi. Pendekatan dengan kajian resiko hendaklah digunakan untuk menentukan ruang lingkup dan cakupan validasi. Seluruh kegiatan validasi hendaklah direncanakan. Unsur utama program validasi hendaklah dirinci dengan jelas dan didokumentasikan di dalam Rencana Induk Validasi (RIV) atau dokumen setara. RIV hendaklah merupakan dokumen yang singkat, tepat dan jelas. RIV hendaklah mencakup sekurang-kurangnya adalah kebijakan validasi, struktur organisasi kegiatan validasi, ringkasan fasilitas, sistem, peralatan, proses yang akan divalidasi, format dokumen, format protokol, laporan validasi, perencanaan dan jadwal pelaksanaan, pengendalian perubahan, serta acuan dokumen yang digunakan. Langkah-langkah pelaksanaan validasi adalah sebagai berikut: - Membentuk komite validasi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan validasi di industri farmasi yang bersangkutan. - Menyusun Rencana Induk Validasi (RIV), yaitu dokumen yang menguraikan secara garis besar pedoman pelaksanaan validasi. - Membuat dokumen validasi, yaitu prosedur tetap (protap), protokol serta laporan validasi - Pelaksanaan validasi - Melaksanakan peninjauan periodik, change control dan revalidasi (Manajemen Industri Farmasi, 2007).

Validasi untuk mesin, peralatan produksi dan sarana penunjang disebut kualifikasi. Kualifikasi tersebut adalah langkah pertama dalam melaksanakan validasi di industri farmasi (Manajemen Industri Farmasi, 2007).