IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi Penelitian berada di Kabupaten Siak, Propinsi Riau. Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan bahwa, Propinsi Riau merupakan daerah dengan areal terluas perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sedangkan Kabupaten Siak dipilih disamping merupakan kabupaten baru, di wilayah ini juga sedang berlangsung kegiatan pengembangan kelapa sawit rakyat dengan pola patungan. Penelitian ini berlangsung selama 12 bulan, dimulai sejak bulan Agustus 2005. Tahapan penelitian meliputi pengumpulan data, evaluasi dan seleksi data, analisis data, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan dan pelaporan hasil penelitian. 4.2. Data dan Sumber Data Analisis SAM dalam studi ini menggunakan data sekunder, dengan data utama yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), meliputi: data Tabel Input Output Kabupaten Siak tahun 2003 (Lampiran 1), data Indikator Ekonomi Kabupaten Siak tahun 2003, data Survai Sosial Ekonomi (SUSENAS) Kabupaten Siak tahun 2003, data Survai Ketenagakerjaan (SAKERNAS) Kabupaten Siak tahun 2003, dan data Survai Khusus Investasi dan Keuangan Rumahtangga (SKTIR) Kabupaten Siak tahun 2003. Disamping itu digunakan data sekunder lainnya yang bersumber dari dinas/instansi terkait. Untuk analisis martiks kebijakan (PAM) digunakan data primer melalui: (1) wawancara dengan petani untuk memperoleh data usahatani, data pembelian dan pemasaran serta kelembagaan petani (2) wawancara dengan
98 perusahaan pola PIR kelapa sawit lokal, meliputi data aktivitas perusahaan dan aktivitas sosialnya (3) wawancara dengan instansi terkait untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Siak, dan berbagai kebijakan yang telah dan akan diterapkan dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit di wilayah ini. Untuk melakukan analisis matriks kebijakan (PAM) juga dikumpulkan data sekunder yang diperoleh dari PTP Nusantara V dan Pusat Penelitian Perkebunan Kelapa Sawit (PPKS). Data yang dikumpulkan meliputi data tentang pengeluaran dan penerimaan perkebunan kelapa sawit petani plasma dan perusahaan inti selama 22 tahun, yakni mulai dari tahapan land clearing sampai dengan tanaman kelapa sawit sudah tidak produktif lagi (Lampiran 5). 4.3. Teknik Pengambilan Contoh Pemilihan contoh daerah pelaksanaan penelitian dilakukan secara sengaja, pada desa-desa di Kabupaten Siak yang di dalamnya ada program pengembangan kelapa sawit rakyat baik dengan Pola Swadaya, Pola PIR dan Pola Patungan. Selanjutnya pemilihan responden dilakukan secara sengaja pada daerah-daerah yang dianggap mewakili obyek penelitian. Jumlah sampel yang diwawancarai dalam studi ini sebanyak 60 orang petani sampel, yang terdiri dari 30 orang sampel petani plasma dan 30 orang sampel petani swadaya. 4.4. Metode Analisis Dalam studi ini analisis data dilakukan dari aspek mikroekonomi dan aspek ekonomi regional. Seperti telah diungkapkan pada bagian terdahulu bahwa analisis
99 dari aspek mikroekonomi dilakukan dengan menggunakan model Policy Analisis Matrix (PAM) dan aspek ekonomi regional dengan menggunakan Social Accounting Matrix (SAM) atau analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Secara umum bagaimana kerangka analisis dari studi ini dapat dilihat pada Gambar 8. Dari aspek mikro ekonomi dilakukan analisis biaya dan manfaat ekonomi pembangunan kelapa sawit rakyat terhadap perekonomian petani Kabupaten Siak, dengan menggunakan metode PAM. Selanjutnya dengan metode tersebut dilakukan analisis simulasi kebijakan ekonomi terhadap perekonomian petani kelapa sawit rakyat di Kabupaten Siak. Sementara itu analisis dari aspek ekonomi regional untuk mengetahui peranan sektor perkebunan kelapa sawit rakyat terhadap output bruto, kesempatan kerja, dan distribusi pendapatan di Kabupaten Siak digunakan metode analisis SAM. Dengan metode ini juga selanjutnya akan dilakukan analisis simulasi kebijakan untuk mengetahui dampak kebijakan pemerintah dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan distribusi pendapatan rumahtangga di Kabupaten Siak Berdasarkan analisis dari aspek mikroekonomi dan ekonomi regional kemudian dirumuskan kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit yang lebih komprehensif. Berbagai implikasi kebijakan diuraikan sehingga diperoleh berbagai alternatif kebijakan yang tepat dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat di wilayah ini.
100 Gambar 8. Simplifikasi Kerangka Analisis Studi Analisis Dayasaing dan Dampak Ekonomi Regional Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Siak
101 4.4.1. Analisis Matriks Kebijakan Pengembangan Kelapa Sawit Analisis Matrik Kebijakan (Policy Analysis Matrix, PAM) digunakan untuk menganalisis kelayakan usaha pengembangan kelapa sawit petani plasma dan perkebunan kelapa sawit perusahaan inti baik secara privat maupun sosial. Di samping itu juga dilakukan analisis keunggulan kompetitif (efisiensi finansial) dan keunggulan komparatif (efisiensi ekonomi), serta dampak intervensi atau kebijakan pemerintah terhadap kinerja perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Siak. Seperti telah diuraikan pada Bab 3 (khususnya subbab 3.2), dalam penghitungan harga/biaya input dan harga output dipisahkan menjadi input/output tradable dan input/output non tradable (domestik). Untuk input dan output yang dapat diperdagangkan secara internasional, harga sosial dapat dihitung berdasarkan harga bayangan (shadow price) yang dalam hal ini didekati dengan harga batas (border price). Untuk komoditi yang diimpor dipakai harga CIF (cost insurance and freight), sedangkan komoditi yang diekspor digunakan harga FOB (free on board). Sedangkan untuk input non tradabel digunakan biaya imbangannya (opportunity cost), yang digali dari penelitian empirik di lapang. Dengan analisis matriks kebijakan dimungkinkan berbagai analisis keuntungan, analisis efisiensi finansial dan ekonomi, dan analisis dampak kebijakan pemerintah sebagaimana dijelaskan berikut ini. 1. Analisis Keuntungan a. Keuntungan Privat Keuntungan privat (D) merupakan indikator dayasaing dari pola pengusahaan perkebunan kelapa sawit berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan
102 transfer kebijakan yang ada. Jika keuntungan privat lebih besar dari nol (D > 0) berarti pola tersebut memperoleh keuntungan atas biaya yang berlaku (biaya aktual). Hal ini mengindikasikan bahwa sistem perkebunan kelapa sawit dengan pola tersebut mampu untuk ekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya pola alternatif yang lebih menguntungkan. b. Keuntungan Sosial Keuntungan sosial (H) merupakan indikator keunggulan komparatif dari sistem perkebunan kelapa sawit dengan pola tertentu pada kondisi tidak ada divergensi baik akibat kebijakan pemerintah maupun distorsi pasar. Jika keuntungan sosial lebih besar dari nol (H > 0), maka pola pengembangan kelapa sawit tersebut memperoleh keuntungan atas biaya aktual dalam harga sosial dan dapat diprioritaskan dalam pengembangan. 2. Efisiensi Finansial dan Efisiensi Ekonomi a. Private Cost Ratio Private Cost Ratio (PCR) merupakan indikator profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem komoditi untuk membayar sumberdaya domestik dan tetap kompetitif. Jika PCR < 1 berarti sistem komoditi yang diteliti memiliki keunggulan kompetitif, dan sebaliknya jika PCR > 1 berarti sistem komoditi tidak memiliki keunggulan kompetitif. b. Domestic Resource Cost Ratio Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) merupakan indikator keunggulan komparatif, yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Sistem mempunyai keunggulan
103 komparatif jika DRC < 1, dan sebaliknya jika DRC > 1 berarti tidak mempunyai keunggulan komparatif. 3. Dampak Kebijakan Pemerintah a. Kebijakan Output (1) Transfer Output Transfer Output (TO) merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung atas harga finansial (private) dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga bayangan atau sosial (social). Jika nilai TO > 0 menunjukkan adanya transfer dari masyarakat (konsumen) terhadap produsen, demikian juga sebaliknya. (2) Nominal Protection Coefficient on Output Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap output kelapa sawit domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap output jika nilai NPCO > 1 sebaliknya kebijakan bersifat disinsentif jika NPCO < 1. b. Kebijakan Input (1) Transfer Input Transfer Input (TI) merupakan selisih antara biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya yang dapat diperdagangkan pada harga sosial. Jika nilai TI > 0 menunjukkan adanya transfer dari petani produsen kepada produsen input tradable, demikian juga sebaliknya.
104 (2) Nominal Protection Coefficient on Input Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input pertanian domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika nilai NPCI < 1 berarti ada kebijakan subsidi terhadap input tradable, demikian juga sebaliknya. (3) Faktor Transfer Faktor Transfer (FT) merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Nilai FT > 0 mengandung arti bahwa ada transfer dari petani produsen kepada produsen input non tradable, demikian juga sebaliknya. c. Kebijakan Input-Output (1) Effective Protection Coefficient Effective Protection Coefficient (EPC) merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi simultan terhadap output dan input tradable. Kebijakan masih bersifat protektif jika nilai EPC > 1. Semakin besar nilai EPC berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditi pertanian domestik. (2) Net Transfer Net Transfer (NT) merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai NT > 0 menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan
105 oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output, demikian juga sebaliknya. (3) Profitability Coefficient Profitability Coefficient (PC) merupakan perbandingan antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Jika PC > 1, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen, demikian juga sebaliknya. (4) Subsidy Ratio to Producer Subsidy Ratio to Producer (SRP) merupakan indikator yang menunjukkan proporsi penerimaan pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi atau pajak digunakan sebagai pengganti kebijakan. Data analisis matriks kebijakan digunakan lebih lanjut dalam analisis finansial digunakan untuk menggambarkan kelayakan proyek pembangunan kelapa sawit secara finansial. Dari analisis finansial ini dapat diketengahkan apakah pengembangan kelapa sawit tersebut bisa memberi benefit atau tidak terhadap masyarakat, khususnya dalam rangka meningkatkan pendapatan keluarga. Tolok ukur analisis finansial yang digunakan dalam studi ini adalah ukuran Gross B/C ratio, NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return) dan payback periode. Tingkat bunga yang digunakan adalah discount rate perbankan untuk menghitung kelayakan finansial, dan social discount rate untuk menghitung kelayakan ekonomis.
106 4.4.1.1. Pengalokasian Komponen Biaya Domestik dan Asing Dalam penelitian ini pengalokasian komponen biaya domestik dan asing digunakan pendekatan langsung. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa untuk input tradable, baik barang impor maupun produksi dalam negeri, jika terjadi kekurangan permintaan dapat dipenuhi dari penawaran internasional. Pembagian komponen tradabel dan faktor domestik didasarkan atas kondisi riil dan dari data hasil wawancara langsung dengan para pelaku ekonomi kelapa sawit petani plasma dan kelapa sawit milik perusahaan inti. Secara terperinci hasil alokasi biaya ke dalam komponen domestik dan tradable dapat dilihat pada Tabel 5. Pada penelitian ini barang-barang yang diasumsikan 100 persen merupakan input tradable untuk kelapa sawit rakyat adalah pupuk (ZA, RP, MOP, Kieserite, Dolomite, dan Borate), herbisida, pestisida (insektisida dan rodentisida), peralatanperalatan seperti chain saw, handsprayer, cangkul, ember, spare parts, minyak kotor, minyak pelumas, dan premium. Sedangkan barang-barang yang 100 persen tergolong dalam kelompok input domestik adalah tenaga kerja, bibit kelapa sawit, benih tanaman kacang-kacangan, sirtu, titi darurat, pembuatan sarana dan prasarana, dan jasa pengangkutan. Adapun sarana dan prasarana yang termasuk dalam kombinasi 70 persen barang domestik dan 30 persen tradable adalah infrastruktu, rumah dan sarana pendukung. Dengan komposisi 50 persen domestik dan 50 persen tradable adalah perabot dan stationari, dan dengan 30 persen domestik dan 70 persen tradable adalah sarana transportasi. Selanjutnya rincian penggolongan input pada pabrik pengolahan kelapa sawit dengan kapasitas 30 ton/jam disajikan pada Tabel 6.
107 Tabel 5. Alokasi Biaya dan Harga Output Menurut Komponen Domestik dan Tradable dalam Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Jenis Biaya Domestik (%) Tradable (%) Tenaga Kerja 100 Bibit Kelapa Sawit 100 Benih Kacangan a. CM 100 b. PY 100 c. CP 100 Pupuk 1. ZA 100 2. RP 100 3. MOP 100 4. Dolomite 100 5. Borate 100 6. Kieserite 100 Pestisida (insektisida, herbisida, rodentisida) 1. Klerat/Tikumin 100 2. Decis/Matador 100 3. Coulter bebas asam 100 4. Rodzip 100 5. Round-Up 100 Peralatan Pertanian 1. Cangkul 100 2. Takaran pupuk 100 3. Ember plastik 100 1. Chain Saw 100 5. Spare parts 100 6. Handsprayer 100 7. Dodos kecil 100 8. Sirtu 100 9. Titi Darurat 100 Pembuatan Sarana, prasarana 1. Parit 100 2. Jalan 100 3. Barak 100 4. Tapak Timbun 100 Investasi Non Tanaman 1. Infrastruktur 70 30 2. Bangjangsos 100 3. Perabot dan Stationary 50 50 4. Rumah 70 30 5. Transportasi 30 70 6. Sarana Pendukung 70 30 Jasa Pengangkutan 100
108 Tabel 6. Alokasi biaya ke dalam komponen domestik dan tradable untuk pabrik pengolahan kelapa sawit kapasitas 30 ton TBS/jam PERALATAN Domestik (%) Tradabel (%) Fruit Reception Station 27 73 Stelization Station 1 99 Thrasing Station 20 80 Pressing Station 60 40 Clarification Station 51 49 Palm Oil Storage 1 99 Depericarper Station 0 100 Kernel Recovery Station 4 96 Steam Plant 100 0 Power Plant 91 9 Pipings, Valves and Fittings 0 100 Electrical 0 100 Effluent Treatment Plant 100 0 Raw Water Supply and Treatment 38 62 Boiler Water Treatment 70 30 Laboratory Equipment 100 0 Workshop Equipment 100 0 Fire-Fighting Equipment 100 0 Spare Parts 100 0 Mechanical Erection and Instalation 0 100 Pointing 0 100 Special Requirements 100 0 Civil Work 0 100 Engineering Science 74 26 Preliminaries 25 75 Insurance and Freight 100 0 4.4.1.2. Penentuan Harga Sosial dari Input dan Output Dalam analisis matriks kebijakan digunakan dua harga yaitu harga privat dan harga sosial. Harga privat disebut juga dengan harga pasar adalah harga yang betulbetul diterima produsen atau dibayarkan oleh konsumen. Adapun harga sosial pada prinsipnya sama dengan harga bayangan yaitu harga yang menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang sesungguhnya dari unsur-unsur biaya maupun hasil, yang juga menunjukkan opportunity cost dari biaya dan hasil. Dengan asumsi bahwa
109 perdagangan di pasar dunia bersaing sempurna, maka perhitungan input dan output tradable untuk barang yang diimpor digunakan harga CIF (cost insurance and freight) dan harga FOB untuk barang yang diekspor. Untuk sampai ke tingkat lokasi perkebunan, harga CIF perlu disesuaikan dengan menambahkannya dengan biaya penanganan di pelabuhan impor dan biaya angkutan sampai ke daerah lokasi perkebunan. Berikut ini dijelaskan beberapa pendekatan yang digunakan untuk menentukan harga bayangan baik untuk barang tradable maupun barang domestik. Berdasarkan neraca perdagangan, Indonesia merupakan net importir berbagai jenis pupuk, meliputi ZA, TSP, KCl, SP-36 dan NPK. Oleh karena itu untuk menghitung harga sosial dari pupuk ini digunakan harga paritas CIF ditambahkan dengan biaya angkutan dari pelabuhan ke kota propinsi, dan biaya angkutan dari kota provinsi kota kabupaten, kota kabupaten desa/lokasi kebun, serta biaya penanganan bongkar muat. Sedangkan untuk pupuk kandang dan pupuk daun harga sosialnya didekati dengan harga aktual, hal yang sama juga berlaku untuk harga sosial dari bibit tanaman sawit, mengingat bahwa bibit tanaman sawit ini 100 persen diperoleh dari dalam negeri. Untuk tenaga kerja, harga sosialnya juga didekati dengan menggunakan nilai upah aktual yang berlaku. Hal ini mengingat bahwa aksesabilitas lokasi kebun sawit umumnya memadai, sehingga mendorong berjalan dan terintegrasinya pasar tenaga kerja. Harga sosial lahan didekati dengan nilai sewa lahan aktual karena mekanisme pasar lahan di lokasi penelitian sudah berjalan dengan baik. Harga sosial dari insektisida cair, insektisida padat dan herbisida didekati dengan menggunakan harga aktual dikurangi dengan tarif impor sebesar 10 persen
110 dan pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen. Sedangkan harga sosial fungisida cair dan fungisida padat didekati dengan harga rata-rata aktual dikurangi dengan tarif impor sebesar 5 persen dan pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen. Penentuan harga sosial suku bunga modal didekati dengan menggunakan suku bunga aktual dikurangi dengan tingkat inflasi. Besarnya harga bayangan nilai tukar dihitung dari rata-rata nilai tengah Bank Indonesia pada tahun 2005 (Rp 9751 per US Dollar) dikalikan dengan faktor konversi baku. Faktor konversi baku diperoleh dari nilai (1 + premium valuta asing). Untuk harga sosial output TBS digunakan dengan menggunakan harga aktualnya. Sedangkan untuk output olahan CPO dan PKO harga sosialnya ditentukan dengan digunakan harga FOB ditambahkan dengan biaya angkutan dari pelabuhan ke kota propinsi, dan biaya angkutan dari kota provinsi kota kabupaten, kota kapupaten desa/lokasi kebun serta biaya penanganan bongkar muat. 4.4.2. Social Accounting Matrix Kabupaten Siak Untuk mendapatkan gambaran tentang dampak pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Siak digunakan analisis Social Accounting Matrix (SAM). Selain mampu menjelaskan perilaku dari seluruh variabel makro (dibagi atas empat blok neraca), model SAM dapat juga menggambarkan berbagai keterkaitan langsung dan tidak langsung antara variabel satu dengan variabel lainnya yang dijabarkan dalam sebuah analisis yang disebut Structural Path Analysis (SPA) dan Decomposition Analysis.
111 Oleh karena pada saat penelitian ini dilaksanakan masih belum tersedia Tabel Social Accounting Matrix (SAM) atau Tabel Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Siak, maka langkah awal yang penting untuk dilakukan adalah membangun Tabel SAM Kabupaten Siak. Setelah Tabel SAM Kabupaten Siak dibangun, baru kemudian dapat dilakukan analisis multiplier dan analisis simulasi dari aspek ekonomi regional. Konstruksi Tabel SAM Kabupaten Siak dilakukan dalam beberapa tahap. Pertama, menggunakan data Tabel Input-Output Kabupaten Siak dan berbagai data yang bersumber dari SUSENAS, SAKERNAS, SKTIR, dan data indikator ekonomi Kabupaten Siak tahun 2003, kemudian dilakukan pengisian sel-sel Tabel SAM Kabupaten Siak yang akan di bangun, yakni matriks dengan ukuran 35 x 35. Kedua, Tabel SAM yang dihasilkan tidak seimbang, sehingga perlu dilakukan balancing dengan menggunakan metode cross-entropy sehingga dihasilkan Tabel SAM Kabupaten Siak tahun 2002 yang seimbang (Lampiran 3). Dan ketiga, melakukan pengolahan data sesuai dengan keperluan dalam studi ini. Tabel SAM Kabupaten Siak yang akan dibangun dalam studi ini secara garis besarnya terdiri atas dua neraca, yaitu endogen dan eksogen. Dalam neraca endogen terdapat tiga blok yakni blok faktor produksi, institusi dan aktifitas produksi. Setiap blok akan didisagregasi menjadi beberapa neraca sesuai kerangka SAM Indonesia yang menjadi acuan didalam menyusun Tabel SAM Kabupaten Siak (Tabel 7).
112 Tabel 7. Klasifikasi SAM Kabupaten Siak Tahun 2003 Uraian Kode Faktor Tenaga Kerja 1 Produksi Modal 2 Buruh Tani 3 Pengusaha Tani 4 Rumah Tangga Rumah Tangga Desa Pendapatan Rendah 5 Rumah Tangga Desa Pendapatan Tinggi 6 Rumah Tangga Kota Pendapatan Rendah 7 Rumah Tangga Kota Pendapatan Tinggi 8 Institusi Lainnya Perusahaan 9 Pemerintah 10 Pertanian Tanaman Pangan 11 Pertanian Tanaman Lainnya 12 Peternakan dan Hasil-Hasilnya 13 Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat 14 Perkebunan Kelapa Sawit Perusahaan Besar 15 Kehutanan dan Perburuan 16 Perikanan 17 Pertambangan Dan Penggalian 18 Industri Pengolahan Produk Kelapa Sawit 19 Industri Makanan, Minuman, Tembakau 20 Industri Pengolahan Lainnya 21 Listrik, Gas & Air Minum 22 Perdagangan, Jasa Penunjang Angkutan & Pergudangan 23 Konstruksi 24 Restoran & Perhotelan 25 Transportasi 26 Bank & Asuransi 27 Real Estate Dan Jasa Perusahaan 28 Pemerintahan, Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Jasa Sosial Lainnya 29 Jasa Perseorangan, RT & Jasa Lainnya 30 Kapital (investasi dan tabungan) 31 Pajak tidak Langsung (minus subsidi) 32 The Rest of The Indonesia 33 The Rest of The World 34 Institusi Sektor Produksi Eksogen Dari Tabel 7 tampak jelas bahwa SAM Kabupaten Siak pada studi kali ini dibangun berdasarkan 34 neraca yang terbagi atas neraca faktor produksi yaitu tenaga kerja dan modal, neraca institusi yang terdiri atas buruh tani, pengusaha tani, rumah tangga desa pendapatan rendah, rumah tangga desa pendapatan tinggi, rumah tangga
113 kota pendapatan rendah, rumah tangga kota pendapatan tinggi, perusahaan, dan pemerintah daerah. Kemudian neraca sektor produksi yang didisagregasi ke dalam 20 sektor produksi yakni: pertanian tanaman pangan, pertanian tanaman lainnya, peternakan dan hasil-hasilnya, perkebunan kelapa sawit rakyat, perkebunan kelapa sawit perusahaan besar, perkebunan lainnya, kehutanan dan perburuan, perikanan, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan produk kelapa sawit, industri pengolahan lainnya, listrik, gas dan air minum, perdagangan, jasa penunjang angkutan dan pergudangan, konstruksi, restoran, perhotelan, transportasi, bank dan asuransi, real estate dan jasa perusahaan, pemerintahan, pertahanan, pendidikan, kesehatan, jasa sosial lainnya, jasa perseorangan, rumah tangga dan lainnya. Berdasarkan tabel SAM yang sudah dibangun akan dilakukan beberapa analisis penting dalam perspektif SAM yaitu: analisis multiplier yang meliputi gross output multiplier, other linkage sector multiplier, government expenditur multplier, value added multiplier, dan induced household income multiplier; selanjutnya analisis dekomposisi, analisis income redistribution dan simulasi. 4.5. Simulasi Kebijakan Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam studi ini digunakan dua pendekatan, yakni pendekatan dari aspek mikroekonomi dan pendekatan dari aspek ekonomi regional. Oleh karenanya, analisis simulasi kebijakan dilakukan atas dua pendekatan penelitian tersebut.
114 4.5.1 Simulasi Kebijakan Aspek Mikroekonomi Dari aspek mikroekonomi, dengan menggunakan model PAM dilakukan analisis simulasi kebijakan dengan skenario sebagai berikut. Skenario 1: Harga output kelapa sawit ( untuk kebun: harga TBS naik 10 persen, untuk pabrik kelapa sawit: harga CPO + Inti naik 15 persen). Penetapan angka simulasi ini didasarkan pada data rataan fluktuasi harga tertinggi dan terendah dari TBS dan CPO dan PKO pada tahun 1999 sampai dengan 2005 (Lampiran 6). Skenario 2: Harga input ( untuk kebun: Pupuk naik 10 persen, untuk pabrik kelapa sawit TBS naik 10 persen). Penetapan angka simulasi untuk harga pupuk ini didasarkan atas wawancara terhadap pelaku perkebunan kelapa sawit tentang rataan tertinggi/terendah dari harga pupuk yang selama ini mereka gunakan. Skenario 3: Nilai tukar rupiah menguat terhadap dollar Amerika dari Rp 9 750 menjadi Rp 9 000. Skenario 4: Kombinasi 1 dan 2. Skenario 5 : Kombinasi 1 dan 3. Skenario 6 : Kombinasi 2 dan 3 Skenario 7 : Kombinasi 1, 2, dan 3.
115 4.5.2 Simulasi Kebijakan Aspek Ekonomi Regional Selanjutnya dari aspek ekonomi regional, dengan menggunakan model SAM dilakukan analisis simulasi kebijakan (Lampiran 4) dengan skenario sebagai berikut. 1. Kebijakan Pemberian Stimulus Ekonomi Skenario 1: Peningkatan stimulus ekonomi sebesar 1 miliar rupiah yang didistribusikan secara merata pada sub sektor perkebunan kelapa sawit rakyat dan perkebunan kelapa sawit perusahaan besar Skenario 2: Peningkatan stimulus ekonomi pada sektor perkebunan kelapa sawit rakyat sebesar 1 miliar rupiah. Skenario 3: Peningkatan stimulus ekonomi pada sektor perkebunan kelapa sawit perkebunan besar sebesar 1 miliar rupiah. Skenario 4: Peningkatan stimulus ekonomi pada sektor industri pengolahan lainnya sebesar 1 miliar rupiah yang didistribusikan secara merata ke seluruh sektor industri pengolahan Skenario 5: Peningkatan stimulus ekonomi pada sektor industri pengolahan kelapa sawit sebesar 1 miliar rupiah. 2. Kebijakan Transfer dan Redistribusi Pendapatan Skenario 6: Transfer pendapatan sebesar 1 miliar rupiah ke rumahtangga pedesaan golongan rendah. Skenario 7: Transfer pendapatan sebesar 1 miliar rupiah ke rumahtangga perkotaan golongan rendah.
116 Skenario 8: Redistribusi pendapatan rumahtangga perkotaan dan pedesaan golongan atas ke rumahtangga perkotaan dan pedesaan golongan bawah masingmasing sebesar 1 miliar rupiah. 3. Kebijakan Peningkatan Ekspor Skenario 9 : Ekspor industri perkebunan kelapa sawit perusahaan besar naik 10 persen Skenario 10: Ekspor industri pengolahan kelapa sawit naik 10 persen 4. Kebijakan Peningkatan Investasi Skenario 11: Investasi pada sektor perkebunan kelapa sawit rakyat naik 10 persen Skenario 12: Investasi pada perkebunan kelapa sawit perusahaan besar naik 10 persen Skenario 13: Investasi pada industri pengolahan kelapa sawit naik 10 persen 5. Kebijakan Kenaikan Pajak Hasil Industri Pengolahan Kelapa Sawit Skenario 14: Pajak industri pengolahan kelapa sawit naik 3 persen