HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi susu sapi lokal dalam bersaing dengan susu impor sebagai produk substitusi impor. Oleh karena itu, daya saing susu sapi segar yang dihasilkan oleh peternak anggota KPGS dianalisis dengan menggunakan Matriks Analisis Kebijakan Pemerintah (PAM). Matriks ini disusun berdasarkan data penerimaan dan biaya produksi yang keseluruhannya terbagi dalam dua bagian yaitu harga privat dan harga ekonomi (Social Opportunity Cost). Masing-masing biaya produksi pada harga privat dan ekonomi dibagi menjadi input asing dan domestik. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Tabulasi Dasar Matriks PAM (RP/Liter) Penerimaan Biaya Input Uraian Output Tradable Domestik Pendapatan Nilai Finansial 3013,0 186,2 2038,9 787,9 Nilai Ekonomi 3857,8 173,9 1977,4 1706,5 Dampak Kebijakan dan Distorsi Pasar -844,8 12,3 61,5-918,5 Divergensi yang dihasilkan pada Matriks Analisis Kebijakan Pemerintah bernilai negatif untuk divergensi penerimaan dan divergensi pendapatan. Sedangkan divergensi pada biaya input tradable dan faktor domestik bernilai positif. Divergensi negatif dengan nilai 844,8 pada penerimaan output terjadi karena harga sosial susu lebih tinggi dari harga yang diterima peternak. Hal ini terjadi karena harga sosial susu diperhitungkan berdasarkan harga susu impor yang lebih tinggi daripada harga susu lokal walaupun dengan kondisi tarif impor sebesar nol persen. Divergensi positif pada biaya input tradable sebesar 12,3 terjadi karena harga sosial dari input-input tradable yaitu konsentrat lebih rendah dari harga yang diterima peternak. Hal ini mengindikasikan adanya kebijakan pemerintah 60

2 atau distorsi pasar yang mengakibatkan harga sosial pakan dan obat-obatan lebih tinggi daripada harga finansialnya. Di sisi lain divergensi positif senilai 61,5 pada biaya faktor domestik terjadi karena biaya sosial faktor domestik lebih rendah daripada biaya privatnya. Hal ini menandakan bahwa peternak harus mengeluarkan biaya lebih atas faktor domestik dibandingkan dengan biaya sosial faktor domestik yang bersangkutan. Hal tersebut diduga terjadi karena adanya kebijakan pemerintah atau kegagalan pasar pada penggunaan faktor domestik untuk konsentrat dan perdagangan obatobatan. Selain itu, penyebab divergensi positif pada biaya faktor domestik juga diakibatkan oleh pembayaran upah yang sama dengan harga sosialnya. Hal ini berdasarkan penelitian Ilham (2005) yang menyatakan bahwa tenaga kerja yang digunakan peternak dalam membantu usahanya adalah tenaga kerja tidak tetap dan umumnya cenderung mendekati kondisi pasar persaingan sempurna sehingga harga bayangan tenaga kerja tersebut adalah sama dengan tingkat upah yang berlaku di daerah kajian. Sedangkan divergensi negatif sebesar 918,5 pada nilai pendapatan terjadi karena pendapatan finansial peternak lebih kecil daripada pendapatan sosialnya. Hal ini merupakan akumulasi dari efek divergensi harga output dan biaya input baik tradable maupun non tradable. Berdasarkan Matriks Analisis Kebijakan yang telah disusun tersebut, dilakukan perhitungan-perhitungan untuk memperoleh nilai-nilai yang akan menjadi indikator tingkat keuntungan yang diperoleh dari memproduksi susu segar pada kondisi finansial dan ekonomi, nilai keunggulan komparaif dan kompetitif serta nilai untuk mengukur pengaruh kebijakan pemerintah pada output dan input. Berdasarkan Tabel 12, diperoleh indikator-indikator Analisis matriks Kebijakan yang disajikan pada Tabel

3 Tabel 13. Indikator-indikator dari Analisis Matriks Kebijakan Indikator Nilai Private Profitability (PP) 787,9 Private Cost Ratio (PCR) 0,72 Social Profitability (SP) 1.706,5 Domestic Resource Cost Ratio (DRC) 0,54 Input Transfer (IT) 12,3 Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (NPCI) 1,07 Transfer Factor (FT) 61,5 Output Transfer (OT) (844,8) Nominal Protection Coefficient on Tradable Output (NPCO) 0,78 Effective Protection Coefficient (EPC) 0,77 Net Transfer (NT) (918,5) Profitability Coefficient (PC) 0,46 Subsidy Ratio to Product (SRP) (0,24) Keunggulan Kompetitif. Analisis keunggulan kompetitif terdiri dari analisis Keuntungan Finansial atau Private Profitability (PP) dan Rasio Biaya Finansial atau Private Cost Ratio (PCR). Keuntungan finansial usahaternak sapi perah merupakan selisih antara penerimaan penjualan susu dan Penjualan karung dengan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi susu yang dihitung dengan harga aktual atau harga privat yaitu harga yang sudah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 7, dapat dilihat bahwa penerimaan privat dalam memproduksi susu segar adalah Rp 787,9/liter susu. Biaya total yang dikeluarkan adalah Rp 2.225,06/liter susu yang terdiri dari biaya input tradable sebesar Rp 186,15/liter dan biaya faktor domestik sebesar Rp 2.038,91/liter. Oleh karena itu, diperoleh nilai keuntungan privat usahaternak sapi perah anggota KPGS sebesar Rp 787,9/liter. Nilai keuntungan privat yang lebih besar dari nol tersebut menunjukkan bahwa usahaternak sapi perah untuk menghasilkan komoditi susu 62

4 sapi segar menguntungkan secara privat dan dapat bersaing pada tingkat harga privat. Selain menggunakan analisis Keuntungan Finansial, Rasio Biaya Finansial (PCR) juga dapat digunakan untuk menilai keunggulan kompetitif dari pengusahaan komoditi. PCR merupakan rasio antara biaya input non tradable dengan nilai tambah atau selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga aktual. Nilai PCR menunjukkan bagaimana alokasi sumberdaya diarahkan untuk mencapai efisiensi finansial dalam memproduksi susu segar. Suatu aktivitas akan efisien secara finansial jika nilai PCR yang diperoleh lebih kecil dari satu (<1). Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki. Hasil analisis matriks PAM menunjukkan bahwa nilai PCR yang diperoleh adalah 0,7. Nilai tersebut menunjukkan bahwa usahaternak sapi perah yang dilakukan oleh peternak anggota KPGS efisien secara finansial dan memiliki keunggulan secara kompetitif. Nilai PCR sebesar 0,7 memiliki arti bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar satu rupiah pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar Rp 0,7. Jadi, untuk memperoleh nilai tambah sebesar Rp 2.930,60/liter susu diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar Rp 2.038,91/liter susu. Hal ini berarti penggunaan faktor domestik sudah efisien sehingga layak untuk diusahakan karena untuk meningkatkan nilai tambah susu sebesar satu rupiah membutuhkan biaya faktor domestik kurang dari satu rupiah Keunggulan Komparatif Keunggulan komparatif adalah salah satu indikator untuk menilai apakah komoditas susu sapi segar yang diusahakan oleh peternak anggota KPGS memiliki daya saing, mampu hidup tanpa bantuan pemerintah, dan memiliki peluang yang besar sebagai produk substitusi impor. Keunggulan komparatif dapat diukur dengan menggunakan nilai Keuntungan Sosial atau Social Profitability (SP) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik atau Domestic Resource Cost Ratio (DRC). 63

5 Keuntungan sosial adalah keuntungan yang diperoleh pada pasar persaingan sempurna dimana tidak ada campur tangan pemerintah dan kegagalan pasar di dalamnya. Keuntungan sosial usahaternak sapi perah oleh peternak anggota KPGS yang ditunjukkan dengan nilai Social Profitability (SP) adalah positif (>1) yaitu Rp 1.706,5/liter. Keuntungan sosial tersebut menunjukkan bahwa usahaternak sapi perah untuk memproduksi komoditi susu segar menguntungkan secara ekonomi tanpa adanya kebijakan pemerintah. Selain dari indikator keuntungan ekonomi, keunggulan komparatif usahaternak sapi perah dalam menghasilkan komoditi susu segar juga dapat diketahui dari Rasio Biaya Sumberdaya Domestik atau Domestic Resource Cost Ratio (DRC). Suatu usaha efisien secara ekonomi jika nilai DRC lebih kecil dari satu (DRC<1). Nilai DRC yang lebih kecil dari satu menunjukkan bahwa untuk memperoleh tambahan satu rupiah output diperlukan tambahan biaya faktor domestik lebih kecil dari satu rupiah yang dinilai pada harga sosial. Semakin kecil nilai DRC maka komoditas tersebut akan semakin memiliki keunggulan komparatif. Nilai DRC yang lebih besar dari satu (DRC>1) menunjukkan adanya pemborosan sumberdaya. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai DRC yang diperoleh adalah 0,5 yang berarti bahwa untuk memperoleh nilai tambah sebesar Rp 3.857,78/liter susu diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar Rp 1.977,99. Hal ini menunjukkan bahwa komoditi susu efisien dalam menggunakan sumberdaya ekonomi. Selain itu, jika ditempat lain menghasilkan DRC satu dan di daerah penelitian didapatkan hasil 0,5 maka terjadi efisiensi sebesar 0,5. Nilai DRC yang lebih kecil dari satu tersebut juga menunjukkan bahwa usahaternak yang dilakukan oleh peternak anggota KPGS efisien secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif. Nilai keuntungan sosial (Rp 1.706,5/liter) yang lebih besar dibandingkan keuntungan privat (Rp 787,9/liter) menunjukkan kondisi pendapatan yang lebih menguntungkan pada tingkat harga sosial. Keuntungan sosial yang lebih tinggi dari keuntungan privat tersebut diakibatkan oleh harga susu impor yang cukup tinggi yaitu Rp 3.765,78/liter sementara harga susu di tingkat peternak adalah Rp 64

6 2.930,48/liter. Selain itu, hal tersebut juga disebabkan oleh adanya nilai pajak sebesar 10 persen untuk bahan baku konsentrat dan obat-obatan pada tingkat harga finansial sehingga menyebabkan biaya finansial input tradable untuk konsentrat dan obat-obatan lebih tinggi dari biaya sosialnya. Biaya aktual tenaga kerja yang dibayarkan lebih tinggi dari biaya sosialnya juga menyebabkan keuntungan sosial lebih tinggi daripada keuntungan privat. Nilai DRC yang lebih kecil dari PCR (DRC<PCR) menunjukkan bahwa tidak terdapat kebijakan pemerintah yang meningkatkan efisiensi produsen dalam berproduksi. Hal ini terjadi karena sejak tahun 2000 pemerintah telah menghapus subsidi atas pakan ternak dan obat-obatan. Selain itu, kebijakan pemerintah yang diduga sangat signifikan dalam mengurangi efisiensi peternak adalah adanya penghapusan tarif impor susu dari 5 persen menjadi 0 persen yang mulai berlaku sejak Bulan Februari tahun Adanya kebijakan-kebijakan tersebut, pengusahaan sapi perah menjadi tidak efisien jika dibandingkan apabila pemerintah tidak menghapus subsidi terhadap pakan ternak maupun obat-obatan dan menghapus tarif impor susu. Besarnya nilai keuntungan sosial daripada keuntungan privat yang diperoleh peternak sapi perah serta nilai DRC yang lebih kecil dari PCR mengindikasikan adanya pengaruh intervensi pemerintah atau distorsi pasar yang tidak memberikan insentif yang baik kepada peternak sapi perah sehingga keuntungan privat yang dihasilkan menjadi lebih rendah dibandingkan keuntungan yang diperoleh tanpa adanya intervensi pemerintah terhadap input produksi dan distorsi pada pasar output. Distorsi pada pasar output diindikasikan oleh adanya fenomena IPS yang cenderung memilih untuk lebih menggunakan susu impor walaupun harga susu impor lebih mahal. Akan tetapi kebijakan pemerintah terhadap output berupa peningkatan tarif impor diduga dapat memberikan insentif yang baik kepada peternak dimana dengan adanya penetapan tarif impor susu maka akan meningkatkan harga susu lokal Dampak Kebijakan Pemerintah Suatu kebijakan pemerintah dalam suatu aktivitas ekonomi dapat memberikan dampak positif maupun negatif terhadap pelaku ekonomi dalam 65

7 sistem tersebut. Dampak kebijakan juga dapat menurunkan atau meningkatkan produksi maupun produktivitas dari suatu aktivitas ekonomi. Dampak kebijakan pemerintah tersebut dapat dihitung dengan menggunakan Matriks Analisis Kebijakan yang akan menghasilkan beberapa indikator dampak kebijakan. Tujuan dari kebijakan pemerintah dalam perdagangan biasanya adalah untuk melindungi produsen dalam negeri. Jika harga produksi impor komoditi serupa lebih rendah dari produksi dalam negeri, maka akan melemahkan daya saing dari produksi domestik karena konsumen akan cenderung untuk membeli produk dengan harga yang lebih murah. Akibatnya, permintaan terhadap produk domestik akan menurun dan berimplikasi terhadap penurunan produksi dalam negeri dan pendapatan produsen lokal. Hal tersebut akan mengurangi devisa negara dan nilai tukar uang terhadap mata uang asing akan melemah. Permasalahan mengenai susu impor berbeda dari permasalahan perdagangan internasional komoditi lainnya. Dengan harga susu impor yang jauh lebih tinggi daripada susu lokal, IPS cenderung lebih banyak menggunakan susu impor dan menurunkan harga susu di tingkat peternak. Kebijakan pemerintah yang seharusnya lebih memihak kepada produsen susu sapi lokal dihapus satu per satu termasuk didalamnya adalah kebijakan penghapusan subsidi atas pakan dan obat-obatan serta yang terakhir penghapusan tarif impor susu menjadi nol persen yang diduga semakin melemahkan daya saing komoditi susu sapi lokal. 1. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input Bentuk distorsi atau campur tangan pemerintah pada input dapat berupa penetapan pajak atau subsidi. Dalam kasus usaha peternakan sapi perah, tidak ada kebijakan pemerintah dalam hal input yang dapat memacu peningkatan produksi peternak. Adapun dampak kebijakan pemerintah terhadap input ditunjukkan oleh nilai Transfer Input (IT), Transfer Faktor (FT), dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI). a. Transfer Input (IT) Nilai transfer input merupakan selisih antara biaya privat input tradable dengan biaya bayangannya. Transfer input (IT) yang bernilai positif mengindikasikan adanya kebijakan subsidi negatif atau pajak pada unsur input tradable yang akan mengurangi tingkat keuntungan produsen. Sebaliknya, 66

8 transfer input yang bernilai negatif menunjukkan adanya kebijakan subsidi pada input karena subsidi pada harga input akan mengakibatkan biaya yang dikeluarkan untuk input pada tingkat harga privat lebih rendah daripada tingkat harga sosial. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pada input tradable akan menguntungkan produsen lokal. Berdasarkan hasil analisis, transfer input ditunjukkan dengan nilai positif 12,3. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pada input tradable merugikan produsen sebesar Rp 12,3/liter susu. Artinya terdapat pajak atas input asing sehingga harga input asing yang diterima peternak lebih tinggi dari harga yang seharusnya diterima tanpa adanya distorsi pasar (pajak). Dengan kata lain, terdapat transfer pendapatan dari peternak kepada produsen input asing. Selain itu, adanya praktik monopoli terhadap bahan baku pakan yaitu polar yang hanya didistribusikan oleh PT. Indofood Sukses makmur Bogasari diduga juga merupakan salah satu penyebab adanya transfer pendapatan dari peternak kepada produsen input asing. Hal ini karena praktik monopoli menyebabkan kegagalan pada pasar input yang menyebabkan mekanisme pasar dalam pembentukan harga tidak bekerja. b. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) merupakan rasio antara biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga privat dengan biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga bayangan dan merupakan indikasi adanya transfer input. Nilai NPCI menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi yang dibebankan pemerintah pada input tradable bila dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Nilai NPCI yang lebih besar dari satu (NPCI>1) mengindikasikan adanya kebijakan proteksi terhadap produsen input tradable selain terdapat pajak pada input tersebut, sedangkan sektor yang menggunakan input tersebut dirugikan dengan tingginya biaya produksi. Sebaliknya, jika nilai NPCI lebih kecil dari satu (NPCI<1) maka mengindikasikan adanya subsidi atas input tersebut. 67

9 Nilai NPCI yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 1,1. Nilai ini menunjukkan adanya kebijakan proteksi terhadap produsen input, sedangkan produsen susu dirugikan karena biaya produksi meningkat dengan penggunaan input tersebut. Dampak kebijakan input asing terhadap komoditi susu mengakibatkan biaya produksi menjadi lebih tinggi, karena peternak harus membeli input asing (pakan ternak dan obat-obatan) dengan harga yang lebih mahal 1,1 persen dari harga yang seharusnya. Sebaliknya, pihak importir pakan ternak dan obat-obatan diuntungkan sebesar 1,1 persen. c. Transfer Faktor (FT) Input yang digunakan dalam proses sistem komoditi selain faktor produksi yang dapat diperdagangkan, digunakan juga faktor produksi domestik dimana harga ditentukan oleh harga domestik. Transfer faktor adalah perbedaan harga sosial dengan harga privat yang diterima oleh peternak sapi perah anggota KPGS untuk pembayaran faktor produksi domestik. Transfer faktor domestik bisa timbul sebagai akibat kegagalan pasar maupun kebijakan pemerintah yang bersifat distortif (Pearson et al, 2005). Hasil analisis menunjukkan bahwa FT pada pengusahaan sapi perah adalah Rp 61,5. Nilai ini menunjukkan bahwa harga input non-tradable yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tingkat harga finansialnya lebih tinggi dibandingkan dengan biaya input non tradable yang dikeluarkan jika dihitung dengan harga sosial. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah tidak melindungi produsen domestik. Akibatnya, peternak harus membayar input domestik lebih mahal Rp 61,5/liter dari harga sosialnya sementara produsen input domestik mendapatkan tambahan keuntungan senilai Rp 61,5. 2. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output Tingkat ukuran campur pemerintah pada output dapat dilihat dari nilai Transfer Output (OT) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Bentuk distorsi pemerintah tersebut dapat berupa subsidi atau kebijakan hambatan perdagangan berupa tarif dan pajak ekspor. 68

10 a. Transfer Output (OT) Divergensi pada harga output menyebabkan pendapatan privat berbeda dengan pendapatan sosial, serta terjadinya transfer output (TO). Nilai OT yang positif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pada output menyebabkan harga output privat lebih besar dibandingkan harga output pada kondisi harga bayangan. Hal ini menunjukkan adanya insentif konsumen kepada produsen dimana konsumen membayar lebih tinggi dari harga yang seharusnya dibayarkan. Sedangkan nilai OT yang negatif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dan distorsi pasar yang berlaku saat ini menyebabkan harga output pada kondisi aktual menjadi lebih rendah dibandingkan harga bayangannya. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai OT adalah negatif yaitu sebesar Rp 844,8/liter susu. Hal ini menunjukkan bahwa harga susu di pasar domestik jauh lebih rendah dari harga impornya sehigga terjadi adanya transfer output dari produsen kepada konsumen sebesar Rp 844,8/liter. Implikasi dari adanya transfer output tersebut adalah konsumen (dalam hal ini IPS) membeli susu dengan harga yang lebih rendah Rp 844,8/liter dari harga yang seharusnya diterima peternak apabila pasar tidak terdistorsi atau tanpa kebijakan pemerintah. Hal ini merugikan peternak susu lokal karena peternak lokal kurang mendapatkan insentif untuk meningkatkan produksinya. Tingginya perbedaan harga antara susu impor dan susu lokal diduga adalah akibat adanya penghapusan tarif impor susu menjadi nol persen. Tidak adanya tarif impor semakin menghapus proteksi terhadap produsen susu lokal karena IPS lebih memilih untuk membeli susu impor sehingga komoditi susu dalam negeri sulit bersaing dengan susu impor. b. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) Nilai Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) adalah rasio antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga finansial dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga bayangan. NPCO merupakan indikasi dari Transfer Output dimana NPCO menunjukkan seberapa besar harga privat berbeda dengan harga sosial (Pearson et al, 2005). Nilai NPCO yang lebih kecil dari satu (NPCO<1), harga domestik lebih rendah dari harga dunia. Hal ini berarti harga domestik di disproteksi. 69

11 Berdasarkan hasil analisis, nilai NPCO pada penelitian ini adalah sebesar 0,78 (NPCO<1) yang menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah menetapkan tarif impor nol persen menyebabkan harga yang diterima produsen lebih rendah dari harga bayangannya. Produsen hanya menerima harga 78 persen dari harga yang seharusnya diterima bila tidak ada distorsi pada pasar output. Dalam hal ini peternak dan IPS sama-sama menerima harga yang lebih rendah dari harga yang seharusnya sehingga terjadi transfer pendapatan dari peternak kepada IPS. Kondisi ini mengakibatkan peternak lokal tidak mendapatkan insentif untuk meningkatkan produksinya. 3. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input-Output Kebijakan pemerintah pada input-output adalah analisis gabungan antara kebijakan input dan kebijkan output. Dampak kebijakan secara keseluruhan baik terhadap input maupun output dapat dilihat dari Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (NT), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP). a. Koefisien Proteksi Efektif (EPC) Koefisien proteksi efektif merupakan indikator dari dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem usahaternak sapi perah di Kecamatan Cikajang. EPC adalah rasio antara selisih penerimaan dan biaya input tradable yang dihitung pada harga aktual dengan selisih penerimaan dan biaya input tradable yang dihitung pada tingkat harga bayangan. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik. Nilai EPC yang lebih besar dari satu (EPC>1) mengindikasikan bahwa kebijakan yang melindungi produsen domestik berjalan efektif. Sedangkan nilai EPC yang lebih kecil dari satu (EPC<1) menunjukkan kebijakan yang melindungi produsen domestik tidak berjalan efektif. Adapun nilai EPC yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah 0,77 (EPC<1) yang menunjukkan bahwa kebijakan input-output tidak dapat melindungi peternak lokal dan telah menghambat peternak untuk berproduksi. Peternak lokal dalam hal ini tidak memperoleh fasilitas proteksi dari pemerintah 70

12 karena harga privat output lebih kecil dari harga bayangannya dan peternak membeli input tradable lebih mahal dari harga bayangannya. b. Transfer Bersih (NT) Transfer bersih adalah selisih antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosialnya. Transfer Bersih dapat digunakan untuk melihat besarnya tambahan surplus produsen atau berkurangnya surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Nilai NT yang positif menunjukkan bahwa ada kebijakan insentif yang membuat surplus produsen bertambah, sedangkan nilai NT yang negatif mengakibatkan surplus produsen berkurang. Berdasarkan Tabel 13, nilai transfer bersih di lokasi penelitian adalah negatif 918,5 yang berarti adanya pengurangan surplus produsen sebesar Rp 918,5/liter yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini. Keuntungan yang diperoleh produsen pada kondisi adanya kebijakan pemerintah dan distorsi pasar saat ini lebih rendah Rp 584,688 dibandingkan kerugian apabila tidak ada campur tangan pemerintah. c. Koefisien Keuntungan (PC) Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial. Koefisien keuntungan merupakan indikator yang menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan output, kebijakan input asing, dan input domestik (net policy transfer). Nilai PC yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah 0,46 atau lebih kecil dari satu yang berarti kerugian peternak bila ada pengaruh intervensi atau kebijakan dari pemerintah adalah sebesar 46 persen dari kerugian yang diterima tanpa adanya kebijakan. Angka tersebut menunjukkan keuntungan privat yang yang diterima peternak lebih kecil daripada keuntungan bersih sosialnya. d. Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) merupakan rasio antara transfer bersih dengan penerimaan berdasarkan harga bayangan yang menunjukkan persentase subsidi atau insentif bersih atas penerimaan. Nilai SRP negatif (SRP<0) menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang berlaku menyebabkan produsen 71

13 mengeluarkan biaya produksi terhadap input lebih besar dari biaya imbangan untuk berproduksi. Niali SRP yang positif (SRP>0) menunjukkan bahwa adanya kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi terhadap input lebih rendah dari biaya imbangan untuk berproduksi. Nilai SRP yang diperoleh dalam penelitian ini adalah negatif 0,24. Ini berarti bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen susu mengeluarkan biaya produksi lebih besar 24 persen dari biaya opportunity cost untuk berproduksi. Jadi secara keseluruhan kebijakan pemerintah merugikan peternak anggota KPGS sebagai produsen susu. 6.2 Dampak Penghapusan Tarif Impor Susu Analisis sensitivitas dilakukan untuk mensubstitusi kelemahan metode PAM yang hanya berlaku pada waktu yang relatif singkat dengan faktor-faktor yang sebenarnya sangat rentan untuk berubah. Analisis sensitivitas yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak penghapusan bea masuk susu impor dari lima persen menjadi nol persen serta untuk mengetahui nilai indikator daya saing jika tarif impor susu dinaikkan menjadi 15 persen karena tarif impor 15 persen menurut Ketua Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) sudah cukup adil bagi produsen dan konsumen komoditi susu segar. Penelitian ini lebih menekankan pada efek penghapusan tarif impor susu. Oleh karena itu, penelitian ini hanya menggunakan dua skenario analisis sensitivitas yaitu : 1. Daya saing komoditi susu jika tarif impor naik lima persen Analisis ini bertujuan untuk melihat dampak perubahan daya saing komoditi susu sapi segar yang dihasilkan peternak pasca penghapusan tarif impor susu oleh pemerintah. Analisis ini dilakukan karena diduga adanya penghapusan tarif impor susu menyebabkan daya saing komoditi susu sapi lokal menurun. 2. Daya saing komoditi susu jika tarif impor ditetapkan sebesar 15 persen Hal ini terkait dengan pernyataan Ketua GKSI bahwa tarif impor sebesar 15 persen cukup adil bagi peternak dan produsen serta dapat meningkatkan daya 72

14 saing dan posisi tawar peternak sapi perah lokal. Adanya pemberlakuan tarif impor senilai 15 persen diharapkan dapat melindungi peternak lokal dan memberikan insentif bagi peternak lokal untuk mengembangkan usahanya. Tabel 13 menunjukkan hasil analisis sensitivitas berdasarkan perubahan tarif impor. Menurut hasil analisis yang dilakukan, adanya penghapusan tarif impor susu mengurangi daya saing komoditi susu sapi lokal baik daya saing secara kompetitif maupun komparatif. Kebijakan pemerintah tersebut tidak memberikan insentif bagi peternak untuk meningkatkan produksi. Menurut hasil analisis yang ditampilkan pada Tabel 14, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi nilai tarif impor maka semakin tinggi pula daya saing komoditi susu sapi segar yang dihasilkan oleh peternak anggota KPGS. Peningkatan daya saing tersebut ditandai dengan semakin tingginya nilai keuntungan privat dan sosial dan semakin kecilnya nilai PCR dan DRC. Tabel 14. Indikator Indikator-indikator dari Analisis Matriks Kebijakan pada Tiga Kondisi Tarif Impor Nilai 0% 5% 15% PP 787,9 913,2 1152,7 PCR 0,72 0,69 0,64 SP 1.706,5 1923,1 2682,9 DRC 0,54 0,51 0,33 IT 12,3 12,3 12,3 NPCI 1,07 1,07 1,07 FT 61,5 61,5 61,5 OT (844,8) (936,1) (796,3) NPCO 0,78 0,77 0,81 EPC 0,77 0,76 0,80 NT (918,5) (1009,8) (1530,2) PC 0,46 0,47 0,43 SRP (0,24) (0,25) (0,37) 73

15 6.2.1 Analisis Sensitivitas untuk Melihat Perubahan Daya Saing Susu Akibat Penghapusan Tarif Impor Susu dari Lima Persen Menjadi Nol Persen Menurut data yang diperoleh dari pihak KPGS, penghapusan tarif impor susu dari lima persen menjadi nol persen mengakibatkan penurunan harga kurang lebih Rp 200/liter susu. Analisis ini menggunakan proporsi lima persen untuk proporsi perubahan harga dan menghasilkan asumsi bahwa penghapusan tarif impor susu sebesar lima persen menyebabkan harga susu impor turun sebesar Rp 172,43/liter, dari senilai 3.965,43/liter menjadi Rp Rp 3.785/liter. Penghapusan tarif impor tersebut diasumsikan juga menurunkan harga susu lokal dengan proporsi yang sama yaitu lima persen sehingga harga susu lokal turun sebesar Rp145,87/liter, dari Rp 3.063,35/liter menjadi Rp 2.930,48/liter. Adanya perubahan pada harga output tersebut akan merubah keuntungan yang diterima baik secara finansial maupun ekonomi. Dampak penghapusan tarif impor sebesar lima persen adalah penurunan daya saing susu sapi lokal. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya nilai keuntungan privat dari Rp 913,2/liter pada saat tarif impor susu lima persen menjadi Rp 787,8/liter. Penurunan keuntungan privat tersebut diikuti dengan semakin tingginya nilai PCR yaitu dari 0,69 pada kondisi tarif impor lima persen menjadi 0,72 pada kondisi tarif impor nol persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa susu produksi anggota KPGS mengalami penurunan efisiensi secara finansial dan penurunan keunggulan kompetitif dalam kondisi persaingan dengan susu impor. Jadi, adanya penghapusan tarif impor susu dari lima persen menjadi nol persen menurunkan keuntungan privat dan sosial. Hal ini menyebabkan adanya penurunan daya saing komoditi susu sapi lokal baik dari aspek keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif. Padahal dengan tarif impor sebesar lima persen saja, nilai DRC lebih kecil dari nilai PCR yang mengindikasikan adanya pengaruh intervensi pemerintah atau distorsi pasar yang tidak memberikan insentif yang baik kepada peternak sapi perah sehingga keuntungan privat yang dihasilkan menjadi lebih rendah dibandingkan keuntungan yang diperoleh tanpa adanya intervensi pemerintah terhadap input produksi dan distorsi pada pasar 74

16 output saat itu. Distorsi pada pasar output diindikasikan oleh adanya fenomena IPS yang cenderung memilih untuk lebih menggunakan susu impor walaupun harga susu impor lebih mahal. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada saat kondisi tarif impor lima persen, pemerintah bahkan belum memberikan kebijakan yang efektif yang dapat dilihat dari nilai EPC yang lebih kecil dari satu, nilai NT yang negatif, serta nilai PC dan SRP yang lebih kecil dari satu. Akibatnya, penghapusan tarif impor susu semakin membuat daya saing susu sapi lokal menurun Analisis Sensitivitas Jika Tarif Impor Ditetapkan 15 Persen Menurut ketua GKSI, tarif impor yang sesuai untuk melindungi produk susu sapi lokal adalah 15 persen. Tarif impor sebesar 15 persen diperkirakan cukup adil bagi peternak dan produsen serta dapat meningkatkan daya saing dan posisi tawar peternak sapi perah lokal. Adanya pemberlakuan tarif impor senilai 15 persen diharapkan dapat melindungi peternak lokal dan memberikan insentif bagi peternak lokal untuk mengembangkan usahanya. Dengan tarif impor susu 15 persen, maka harga susu rata-rata di tingkat peternak diperkirakan senilai Rp 3369,50/liter dimana harga susu rata-rata di tingkat peternak dengan tarif impor nol persen adalah Rp 2930,48/liter. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan keuntungan privat di tingkat peternak sebesar Rp 439,02/liter susu, dari Rp Rp 915,2/liter menjadi Rp 1152,7/liter. Peningkatan keuntungan privat tersebut diikuti dengan penurunan nilai PCR dari 0,69 pada saat tarif impor nol persen menjadi 0,64 pada saat tarif impor 15 persen. Peningkatan nilai keuntungan privat dan penurunan nilai PCR tersebut mengindikasikan bahwa keunggulan kompetitif komoditi susu sapi yang dihasilkan peternak meningkat jika tarif impor ditetapkan sebesar 15 persen. Peningkatan keunggulan kompetitif jika tarif impor ditetapkan sebesar 15 persen juga diikuti dengan peningkatan keunggulan komparatif. Hal ini ditandai dengan meningkatnya keuntungan sosial dari Rp 1923,1/liter menjadi Rp 2682,9/liter dan menurunnya nilai DRC dari 0,51 menjadi 0,33. 75

17 Akan tetapi, penetapan tarif impor sebesar 15 persen belum menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang efektif untuk melindungi dan mendorong pengembangan peternakan sapi perah. Hal ini ditunjukkan dengan nilai DRC yang masih lebih kecil dari PCR, nilai EPC yang lebih kecil dari satu, nilai NT yang negatif, serta nilai PC dan SRP yang juga masih lebih kecil dari satu. 6.3 Implikasi Kebijakan Hasil analisis keuntungan privat dan daya saing komoditas susu segar sapi perah diketahui bahwa keuntungan privat usahaternak sapi perah pada saat bea masuk nol persen adalah 787,9 rupiah per liter, saat bea masuk lima persen adalah 913,2 rupiah per liter dan ketika bea masuk 15 persen adalah 1152,7 rupiah per liter. Kondisi awal terjadi saat bea masuk mencapai lima persen kemudian pemerintah menghapuskan bea masuk menjadi nol persen, hal ini mengakibatkan penurunan pendapatan petrnak akibat penurunan bea masuk. Walaupun pendapatan usahaternak mengalami penurunan, namun komoditas susu segar masih memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif. Hal ini dapat dicermati dari nilai PCR dan DCR yang bernilai kurang dari satu. Hal tersebut menunjukan bahwa penurunan bea masuk telah mengakibatkan daya saing komoditas susu segar sapi perah di tempat penelitian menjadi berkurang. Daya saing yang makin menurun akibat dari penurunan bea masuk mendorong dan memfasilitasi koperasi untuk melakukan pengolahan sederhana susu segar (pasteurisasi dan pengemasan susu segar, pengolahan menjadi yoghurt, keju dsb). Hal ini disertai dengan program promosi secara luas kepada masyarakat tentang manfaat minum susu segar. Langkah ini diperlukan untuk mengantisipasi turunnya bea masuk yang dapat mengakibatkan IPS kembali mengimpor sebagian dari bahan baku susunya dari luar negeri sehingga serapan SSDN menurun drastis. 76

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi gula lokal yang dihasilkan

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 83 VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 8.1. Struktur Biaya, Penerimaan Privat dan Penerimaan Sosial Tingkat efesiensi dan kemampuan daya saing rumput laut di

Lebih terperinci

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI Daya saing usahatani jambu biji diukur melalui analisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan menggunakan Policy

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usaha Sapi Potong di Kabupaten Indrgiri Hulu 5.1.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Sapi Potong Usaha peternakan sapi

Lebih terperinci

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG VI. 6.1 Analisis Dayasaing Hasil empiris dari penelitian ini mengukur dayasaing apakah kedua sistem usahatani memiliki keunggulan

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Karangasem dengan lokasi sampel penelitian, di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu. Penentuan lokasi penelitian dilakukan

Lebih terperinci

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini diperoleh beberapa simpulan, implikasi kebijakan dan saran-saran seperti berikut. 7.1 Simpulan 1. Dari

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM VI ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan kemampuan jeruk

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK 6.1 Analisis Keuntungan Sistem Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok Analisis keunggulan komparatif

Lebih terperinci

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP PURWATI RATNA W, RIBUT SANTOSA, DIDIK WAHYUDI Fakultas Pertanian, Universitas Wiraraja Sumenep ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Kabupaten Indragiri Hulu terdiri

Lebih terperinci

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini, RINGKASAN Kendati Jambu Mete tergolong dalam komoditas unggulan, namun dalam kenyataannya tidak bisa dihindari dan kerapkali mengalami guncangan pasar, yang akhirnya pelaku (masyarakat) yang terlibat dalam

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing Perdagangan Internasional pada dasarnya merupakan perdagangan yang terjadi antara suatu negara tertentu dengan negara yang

Lebih terperinci

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010 Volume 12, Nomor 1, Hal. 55-62 ISSN 0852-8349 Januari - Juni 2010 DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING DAN EFISIENSI SERTA KEUNGGULAN KOMPETITIF DAN KOMPARATIF USAHA TERNAK SAPI RAKYAT DI KAWASAN

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 45 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan daerah tersebut dilakukan secara purposive

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 26 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Studi kasus penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Sukaresmi dan Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara purpossive

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian II. METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode deskriptif analitis. Menurut Nazir (2014) Metode deskriptif adalah suatu metode dalam

Lebih terperinci

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2 email: mardianto.anto69@gmail.com ABSTRAK 9 Penelitian tentang Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan 33 III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional dan Konsep Dasar Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRAK... xiii ABSTRACT...

Lebih terperinci

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur Krisna Setiawan* Haryati M. Sengadji* Program Studi Manajemen Agribisnis, Politeknik Pertanian Negeri

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton. III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis terhadap tujuan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 51 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga tempat di Provinsi Bangka Belitung yaitu Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Barat, dan Kabupaten Belitung.

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG 7.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Analisis finansial dan ekonomi usahatani jagung memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai tingkat kelayakan usahatani

Lebih terperinci

ANALISIS SENSITIVITAS

ANALISIS SENSITIVITAS VII ANALISIS SENSITIVITAS 7.1. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari perubahan kurs mata uang rupiah, harga jeruk siam dan harga pupuk bersubsidi

Lebih terperinci

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe Jurnal EKONOMI PEMBANGUNAN Kajian Ekonomi Negara Berkembang Hal: 141 147 EFISIENSI EKONOMI DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP USAHA PENANGKAPAN LEMURU DI MUNCAR, JAWA TIMUR Mira Balai Besar Riset

Lebih terperinci

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih 1.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA Kustiawati Ningsih Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Islam Madura, Kompleks Ponpes Miftahul Ulum Bettet, Pamekasan,

Lebih terperinci

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI Analisis sensitivitas perlu dilakukan karena analisis dalam metode

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output

VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN 7.1. Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output Perubahan-perubahan dalam faktor eksternal maupun kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 28 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Bulan Pebruari sampai April 2009, mengambil lokasi di 5 Kecamatan pada wilayah zona lahan kering dataran rendah

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo) ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo) Novi Itsna Hidayati 1), Teguh Sarwo Aji 2) Dosen Fakultas Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan ABSTRAK Apel yang

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin 22 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Analisis Dewasa ini pengembangan sektor pertanian menghadapi tantangan dan tekanan yang semakin berat disebabkan adanya perubahan lingkungan strategis

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN Struktur Biaya Produksi Usahaternak Sapi Perah

KERANGKA PEMIKIRAN Struktur Biaya Produksi Usahaternak Sapi Perah III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Faktor-faktor Produksi Usahaternak Sapi Perah Produksi adalah suatu proses penting dalam usahaternak, menurut Raharja (2000), produksi adalah

Lebih terperinci

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009)

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009) 58 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF KAIN TENUN SUTERA PRODUKSI KABUPATEN GARUT Dewi Gustiani 1 dan Parulian Hutagaol 2 1 Alumni Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen - IPB

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen

III METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen III METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Cilembu (Kecamatan Tanjungsari) dan Desa Nagarawangi (Kecamatan Rancakalong) Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH 93 VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH 7.1. Justifikasi Harga Bayangan Penelitian ini, untuk setiap input dan output ditetapkan dua tingkat harga, yaitu harga

Lebih terperinci

MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI

MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI Pendahuluan Sebelum melakukan analisis, data yang dipakai harus dikelompokkan dahulu : 1. Data Parametrik : data yang terukur dan dapat dibagi, contoh; analisis menggunakan

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR Syahrul Ganda Sukmaya 1), Dwi Rachmina 2), dan Saptana 3) 1) Program

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 23 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan mutu yang baik dan biaya produksi

Lebih terperinci

STUDI KELAYAKAN BISNIS ( Domestic Resource Cost )

STUDI KELAYAKAN BISNIS ( Domestic Resource Cost ) STUDI KELAYAKAN BISNIS ( Domestic Resource Cost ) Oleh: Dr Rita Nurmalina Suryana INSTITUT PERTANIAN BOGOR Domestic Resource Cost Of Earning or Saving a Unit of Foreign Exchange (Biaya Sumberdaya Domestik

Lebih terperinci

Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya)

Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya) Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya) Tirsa Neyatri Bandrang, Ronnie S. Natawidjaja, Maman Karmana Program Magister

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR Dede Haryono 1, Soetriono 2, Rudi Hartadi 2, Joni Murti Mulyo Aji 2 1 Program Studi Agribisnis Program Magister

Lebih terperinci

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008)

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008) 1 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PENGUSAHAAN KOMODITI JAGUNG DI KABUPATEN GROBOGAN A. Faroby Falatehan 1 dan Arif Wibowo 2 1 Departemen Ekonomi Sumberdaya Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan

Lebih terperinci

DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI PERAH RAKYAT DI KECAMATAN PUJON KABUPATEN MALANG JAWA TIMUR

DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI PERAH RAKYAT DI KECAMATAN PUJON KABUPATEN MALANG JAWA TIMUR Daya Saing Usaha Ternak Sapi Perah Rakyat Di Kecamatan Pujon Kabupaten Malang Jawa Timur DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI PERAH RAKYAT DI KECAMATAN PUJON KABUPATEN MALANG JAWA TIMUR Harmini Adibowo Departemen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Menurut penelitian Fery (2013) tentang analisis daya saing usahatani kopi Robusta di kabupaten Rejang Lebong dengan menggunakan metode Policy Analiysis

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Fish Farm) dilaksanakan di lokasi usaha yang bersangkutan yaitu di daerah

IV. METODE PENELITIAN. Fish Farm) dilaksanakan di lokasi usaha yang bersangkutan yaitu di daerah IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Studi kasus penelitian mengenai Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usaha Pembenihan Ikan Patin Siam (Studi Kasus : Perusahaan Deddy Fish Farm) dilaksanakan

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1.a. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata/signifikan terhadap produksi usahatani jagung

Lebih terperinci

(The analysis of profitability, comparative advantage, competitive advantage and import policy impact on beef cattle fattening in west java)

(The analysis of profitability, comparative advantage, competitive advantage and import policy impact on beef cattle fattening in west java) Analisis Tingkat Keuntungan, Keunggulan Kompetitif, Keunggulan Komparatif, dan Dampak Kebijakan Impor Pada Usaha Peternakan Sapi Potong di Provinsi Jawa Barat (The analysis of profitability, comparative

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI Denti Juli Irawati*), Luhut Sihombing **), Rahmanta Ginting***) *) Alumni

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. 4.1 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

Lebih terperinci

Analysis of Competitiveness and Marketing Channels Ikan Kembung ( Rastrelliger sp.) in Rembang Regency, Central Java Effect

Analysis of Competitiveness and Marketing Channels Ikan Kembung ( Rastrelliger sp.) in Rembang Regency, Central Java Effect ANALISIS DAYA SAING DAN SALURAN PEMASARAN IKAN KEMBUNG (RASTRELLIGER SP.) DI KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH Analysis of Competitiveness and Marketing Channels Ikan Kembung ( Rastrelliger sp.) in Rembang

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO COMPETITIVENESS ANALYSIS OF SHALLOTS AGRIBUSINESS IN PROBOLINGGO REGENCY Competitiveness analysis of shallot business in Probolinggo

Lebih terperinci

Pendapatan Rata-Rata Peternak Sapi Perah Per Ekor/Bulan

Pendapatan Rata-Rata Peternak Sapi Perah Per Ekor/Bulan LAMPIRAN 82 Lampiran 1. Pendapatan Rata-Rata Peternak Sapi Perah Per Ekor/Bulan No Keterangan Jumlah Satuan Harga Nilai A Penerimaan Penjualan Susu 532 Lt 2.930,00 1.558.760,00 Penjualan Sapi 1 Ekor 2.602.697,65

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Analisis Daya Saing Dalam sistem perekonomian dunia yang semakin terbuka, faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan dunia (ekspor dan impor)

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009 LAMPIRAN Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009 Uraian Jumlah (Rp) Total Ekspor (Xt) 1,211,049,484,895,820.00 Total Impor (Mt) 1,006,479,967,445,610.00 Penerimaan

Lebih terperinci

Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan

Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan Muhammad Husaini Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian.

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian. 29 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang dipergunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN KOPI ROBUSTA DALAM UPAYA MENINGKATKAN DAYA SAING DAN PENGUATAN REVITALISASI PERKEBUNAN

ANALISIS KEBIJAKAN KOPI ROBUSTA DALAM UPAYA MENINGKATKAN DAYA SAING DAN PENGUATAN REVITALISASI PERKEBUNAN ANALISIS KEBIJAKAN KOPI ROBUSTA DALAM UPAYA MENINGKATKAN DAYA SAING DAN PENGUATAN REVITALISASI PERKEBUNAN Anik Suwandari dan Soetriono Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian/ Agribisnis Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. peneliti menggunakan konsep dasar dan batasan oprasional sebagai berikut:

III. METODE PENELITIAN. peneliti menggunakan konsep dasar dan batasan oprasional sebagai berikut: III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda pada penelitian ini, maka peneliti menggunakan konsep dasar dan batasan oprasional sebagai

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO Policy Impact of Import Restriction of Shallot on Farm in Probolinggo District Mohammad Wahyudin,

Lebih terperinci

DAYA SAING USAHA BUDI DAYA IKAN PATIN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU ABSTRACT ABSTRAK

DAYA SAING USAHA BUDI DAYA IKAN PATIN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU ABSTRACT ABSTRAK DAYA SAING USAHA BUDI DAYA IKAN PATIN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU Silvia Hayandani *)1, Muhammad Firdaus **), dan Wiwik Rindayati **) *) Dinas Pendidikan Provinsi Riau Jl. Cut Nyak Dien No.

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI. I Made Tamba Ni Luh Pastini

DAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI. I Made Tamba Ni Luh Pastini DAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI I Made Tamba Ni Luh Pastini ABSTRACT Rice is high-valued commodities since pre-independence era. The paper aims to analyze impact

Lebih terperinci

PENENTUAN PRODUK UNGGULAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN GIANYAR

PENENTUAN PRODUK UNGGULAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN GIANYAR PENENTUAN PRODUK UNGGULAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN GIANYAR I Ketut Arnawa Program Studi Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar E-mail: arnawa_62@yahoo.co.id ABSTRACT The main objective

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas Dayasaing sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu industri karena dayasaing merupakan kemampuan suatu

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING USAHA PEMBESARAN IKAN NILA PETANI PEMODAL KECIL DI KABUPATEN MUSI RAWAS

ANALISIS DAYA SAING USAHA PEMBESARAN IKAN NILA PETANI PEMODAL KECIL DI KABUPATEN MUSI RAWAS ANALISIS DAYA SAING USAHA PEMBESARAN IKAN NILA PETANI PEMODAL KECIL DI KABUPATEN MUSI RAWAS Competitiveness Analysis of Tilapia Grower Business of Small Farmers in Musi Rawas Regency Verry Yarda Ningsih,

Lebih terperinci

EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA

EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA Handewi P.S. Rachman, Supriyati, Saptana, Benny Rachman Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRACT

Lebih terperinci

ANALISIS DAYASAING USAHATANI JAGUNG DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA

ANALISIS DAYASAING USAHATANI JAGUNG DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ANALISIS DAYASAING USAHATANI JAGUNG DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA Zulkifli Mantau, Bahtiar, Aryanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo Jl. Kopi No.270 Kec. Tilongkabila

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA AGRIBISNIS AYAM RAS PEDAGING DI KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA AGRIBISNIS AYAM RAS PEDAGING DI KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA AGRIBISNIS AYAM RAS PEDAGING DI KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR NOVI ITSNA HIDAYATI Dosen Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan ABSTRACT:

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN 8.1. Pengaruh Perubahan Harga Output dan Harga Input terhadap Penawaran Output dan Permintaan

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN STRUKTUR PROTEKSI KOMODITAS PALAWIJA

ANALISIS DAYA SAING DAN STRUKTUR PROTEKSI KOMODITAS PALAWIJA ANALISIS DAYA SAING DAN STRUKTUR PROTEKSI KOMODITAS PALAWIJA I Wayan Rusastra, Benny Rachman dan Supena Friyatno Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 7 Bogor 16161

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR 350 PARTNER, TAHUN 21 NOMOR 2, HALAMAN 350-358 ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR Krisna Setiawan Program Studi Manajemen Agribisnis Politeknik Pertanian Negeri Kupang Jalan

Lebih terperinci

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk Studi mengenai jeruk telah dilakukan oleh banyak pihak, salah satunya oleh Sinuhaji (2001) yang melakukan penelitian mengenai Pengembangan Usahatani

Lebih terperinci

Economics Development Analysis Journal

Economics Development Analysis Journal EDAJ 5 (4) (2016) Economics Development Analysis Journal http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/edaj ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI PAKAIAN JADI Awinda lutfina Ratnasari

Lebih terperinci

DAMPAK DEPRESIASI RUPIAH TERHADAP DAYA SAING DAN TINGKAT PROTEKSI KOMODITAS PADI DI KABUPATEN BADUNG

DAMPAK DEPRESIASI RUPIAH TERHADAP DAYA SAING DAN TINGKAT PROTEKSI KOMODITAS PADI DI KABUPATEN BADUNG DAMPAK DEPRESIASI RUPIAH TERHADAP DAYA SAING DAN TINGKAT PROTEKSI KOMODITAS PADI DI KABUPATEN BADUNG Jarek Putradi Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Badung, Bali jarek.putradi@gmail.com

Lebih terperinci

DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI

DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI I Made Tamba Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRAK Jagung, ketela pohon

Lebih terperinci

Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang

Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang 131 Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II No Jenis Uji Satuan 1 Cemaran Binatang 2 Warna 3 Kadar Benda Asing (b/b) 4 Kadar Biji Enteng (b/b) 5 Kadar Cemaran Kapang 6 Kadar Warna Kehitam-hitaman

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI KELAPA SAWIT DI KABUPATEN MUKOMUKO (STUDI KASUS DESA BUMI MULYA)

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI KELAPA SAWIT DI KABUPATEN MUKOMUKO (STUDI KASUS DESA BUMI MULYA) ANALISIS DAYA SAING USAHATANI KELAPA SAWIT DI KABUPATEN MUKOMUKO (STUDI KASUS DESA BUMI MULYA) ANALYSIS OF PALM OIL FARMING COMPETITIVENESS IN MUKOMUKO DISTRICT (CASE STUDY VILLAGE BUMI MULYA) Aprizal,

Lebih terperinci

DAMPAK KRISIS MONETER DAN KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING AGRIBISNIS AYAM RAS PEDAGING DI JAWA BARAT

DAMPAK KRISIS MONETER DAN KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING AGRIBISNIS AYAM RAS PEDAGING DI JAWA BARAT DAMPAK KRISIS MONETER DAN KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING AGRIBISNIS AYAM RAS PEDAGING DI JAWA BARAT SAPTANA dan I WAYAN RUSASTRA 1 Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Komoditas Unggulan Agribisnis Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang paling menguntungkan untuk diusahakan atau dikembangkan pada suatu daerah (Depkimpraswil, 2003).

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Konsep Daya Saing Daya saing adalah suatu konsep komparatif dari kemampuan dan pencapaian dari suatu perusahaan, subsektor atau negara untuk memproduksi, menjual

Lebih terperinci

SENSITIVITAS DAYA SAING JERUK LOKAL KABUPATEN JEMBER [SENSITIVITY OF JEMBER LOCAL CITRUS COMPETITIVENESS]

SENSITIVITAS DAYA SAING JERUK LOKAL KABUPATEN JEMBER [SENSITIVITY OF JEMBER LOCAL CITRUS COMPETITIVENESS] SENSITIVITAS DAYA SAING JERUK LOKAL KABUPATEN JEMBER [SENSITIVITY OF JEMBER LOCAL CITRUS COMPETITIVENESS] Henik Prayuginingsih 1) dan Oktarina 1) 1) Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Jember

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Definisi operasional dan konsep dasar ini mencakup semua pengertian yang

III. METODE PENELITIAN. Definisi operasional dan konsep dasar ini mencakup semua pengertian yang III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional dan Konsep Dasar Definisi operasional dan konsep dasar ini mencakup semua pengertian yang dipergunakan untuk memperoleh data yang akan dianalisis sesuai dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

JURUSAN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FANNYTA YUDHISTIRA A

JURUSAN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FANNYTA YUDHISTIRA A !. KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI KAKAO (Kasus di Perkebunan Rajamandala, P1P X1~ Kabupaten 8andung, Jawa Barat) FANNYTA YUDHISTIRA A 29.1599 JURUSAN ILMU-ILMU

Lebih terperinci

Oleh: Tobari dan Budi Dharmawan Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto (Diterima: 11 September 2004, disetujui: 21 September 2004)

Oleh: Tobari dan Budi Dharmawan Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto (Diterima: 11 September 2004, disetujui: 21 September 2004) PROFIL PENGEMBANGAN DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN PURBALINGGA JAWA TENGAH (Tinjauan pada Pengembangan Komoditas Jagung) PROFILE OF POLICY AND AGRICULTURE DEVELOPMENT IN PURBALINGGA

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP USAHA PRODUK SAPI PERAH SISTEM KEMITRAAN DAN MANDIRI

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP USAHA PRODUK SAPI PERAH SISTEM KEMITRAAN DAN MANDIRI Abstrak DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP USAHA PRODUK SAPI PERAH SISTEM KEMITRAAN DAN MANDIRI DI PROPINSI SULAWESI SELATAN Sitti Nurani Sirajuddin S.Pt, M.Si 1) Hermanto Siregar,Bambang Juanda2),Arya

Lebih terperinci

Keunggulan Komparatif dan Kompetitif dalam Produksi Padi di Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung

Keunggulan Komparatif dan Kompetitif dalam Produksi Padi di Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol.10 (3): 185-199 ISSN 1410-5020 Keunggulan Komparatif dan Kompetitif dalam Produksi Padi di Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung Comparative Advantage and Competitive

Lebih terperinci

PERSUSUAN INDONESIA: KONDISI, PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN

PERSUSUAN INDONESIA: KONDISI, PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN INDONESIA: KONDISI, PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN Latar Belakang Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian yang memiliki nilai strategis, antara lain

Lebih terperinci

EFISIENSI DAN DAYA SAING SISTEM USAHATANI PADI

EFISIENSI DAN DAYA SAING SISTEM USAHATANI PADI EFISIENSI DAN DAYA SAING SISTEM USAHATANI PADI Beny Rachman, Pantjar Simatupang, dan Tahlim Sudaryanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRACT

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU Habitat Volume XXIV, No. 2, Bulan Agustus 2013 ISSN: 0853-5167 KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU COMPARATIVE ADVANTAGE

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup) Oleh: MERIKA SONDANG SINAGA A14304029 PROGRAM

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Perdagangan Internasional Teori perdagangan internasional merupakan teori yang digunakan untuk mengkaji dasar-dasar terjadinya perdagangan

Lebih terperinci