V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usaha Sapi Potong di Kabupaten Indrgiri Hulu Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Sapi Potong Usaha peternakan sapi potong yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Indragiri Hulu dibedakan menjadi dua jenis usaha yaitu usaha penggemukan dan usaha pembibitan. Selanjutnya hasil penelitian akan mengarah secara langsung pada kedua jenis usaha ini. Usaha penggemukan dilakukan oleh masyarakat berjangka waktu rata-rata selama 6 bulan, sedangkan usaha pembibitan dilakukan rata-rata selama 2 tahun. Untuk mengukur tingkat efesiensi dan kemampuan daya saing usaha peternakan di Kabupaten Indragiri Hulu dapat dijelaskan dengan menggunakan matriks analisis kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM). Matriks ini disusun berdasarkan data biaya input dari suatu komoditas, kemudian biaya dipisahkan ke dalam komponen tradable dan domestik. Dalam mengelola usaha peternakan seorang peternak memerlukan sejumlah input yang merupakan biaya produksi. Besar kecilnya biaya yang dikeluarkan dalam usaha peternakan ini baik kegiatan penggemukan maupun pembibitan sangat ditentukan oleh skala pengelolaannya. Tabel 15 menyajikan rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk usaha penggemukan maupun pembibitan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu. Pada usaha penggemukan biaya terbesar dialokasikan untuk biaya sapi bakalan yaitu sebesar 80,56 persen, sedangkan untuk usaha pembibitan biaya terbesar diserap oleh hijauan yaitu sebesar 38,73 persen. Pada usaha penggemukan rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk satu ekor sapi potong selama satu periode penggemukan adalah Rp , sedangkan pada usaha pembibitan rata-rata biaya yang dikeluarkan selama satu periode pembibitan untuk satu ekor sapi potong sebesar Rp Salah satu faktor yang menyebabkan besarnya proporsi biaya untuk bakalan pada usaha penggemukan adalah mahalnya harga bakalan yang sebagian besar didatangkan dari luar daerah seperti dari Lampung.

2 Tabel 15.Rata-Rata Penerimaan dan Komponen Biaya Privat Usaha Penggemukan dan Usaha Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Usaha Penggemukan Usaha Pembibitan Uraian Jumlah (Rp/Ekor/ 6 Bulan) Proporsi (%) Jumlah (Rp/Ekor/ 2 Tahun) Proporsi (%) Penerimaan Biaya: 1. Bakalan/Bibit 2. Hijauan 3. Ampas Tahu 4. Tenaga Kerja 5. Mineral 6. Obat Cacing 7. Penyusutan Kandang 8. Penyusutan Peralatan 9. Inseminasi Buatan 10. Transportasi (BBM) ,56 6,75 2,83 3,37 0,56 0,11 0,78 1,91 0 2, Total Keuntungan ,04 38,73 8,09 19,07 0,80 0,32 5,08 3,12 1,12 11, Proporsi biaya berikutnya pada usaha penggemukan adalah biaya pakan yang terdiri dari hijauan dan ampas tahu sebesar 9,58 persen. Untuk usaha pembibitan biaya berikutnya yang mengambil porsi cukup besar adalah hijauan yaitu sebesar 38,73 persen. Hal ini disebabkan waktu pembibitan yang cukup lama yaitu selama 2 tahun. Proporsi biaya yang paling sedikit digunakan pada usaha penggemukan adalah biaya untuk pembelian obat cacing yaitu hanya sebesar 0,11 persen, hal ini terjadi karena selama periode penggemukan pemberian obat cacing hanya dilakukan sekali dengan harga sebesar Rp Hal ini juga terjadi pada usaha pembibitan yang porsinya hanya sebesar 0,32 persen dari total biaya. Penerimaan yang dihasilkan oleh usaha penggemukan lebih tinggi dibandingkan dengan usaha pembibitan, dimana usaha penggemukan menghasilkan keuntungan sebesar Rp selama 6 bulan. Sedangkan pada usaha pembibitan selama satu periode pembibitan hanya menghasilkan

3 keuntungan sebesar Rp Perbedaan keuntungan yang cukup mencolok ini disebabkan karena besarnya biaya untuk hijauan, tenaga kerja serta transportasi (BBM) yang harus dikeluarkan pada usaha pembibitan yang jangka waktunya lebih lama. Sedangkan pada usaha penggemukan biaya usaha yang dikeluarkan sebagian besar hanya untuk bakalan. Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis efisiensi ekonomi dan besarnya insentif atau dampak intervensi pemerintah pada berbagai aktivitas usaha tani, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian secara keseluruhan dan sistematis. Salah satu bentuk keluarannya adalah nilai keuntungan privat dan sosial. Keuntungan privat adalah selisih penerimaan dengan biaya total berdasarkan harga privat (harga aktual yang terjadi di pasar) yang digunakan oleh petani dalam usaha penggemukan dan pembibitan di Kabupaten Indragiri Hulu, dimana harga tersebut telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Keuntungan privat dilakukan untuk mengukur daya saing dari sistem komoditas dan dapat digunakan sebagai dasar untuk analisis biaya manfaat pada tingkat harga privat atau harga aktual (Pearson, 2005). Keuntungan sosial adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya pada tingkat harga sosial atau harga efesiensi yang didasarkan pada estimasi social opportunity costs. Pada keadaan ini, harga sosial untuk input dan output tradable adalah harga internasional untuk barang yang sejenis (comparable) yaitu harga impor untuk komoditas impor dan harga ekspor untuk komoditas ekspor. Sedangkan faktor domestik seperti tenaga kerja tidak memiliki harga internasional, sehingga harga sosialnya (social opportunity costs) diestimasi melalui pengamatan lapangan atas pasar faktor domestik di pedesaan. Tujuannya untuk mengetahui berapa besar ouput atau pendapatan yang hilang karena faktor domestik digunakan untuk memproduksi komoditas tersebut dibandingkan dengan apabila digunakan untuk komoditas alternatif terbaiknya (Pearson, 2005).

4 Tabel 16. Matriks Analisis Kebijakan (PAM) Usaha Penggemukan dan Usaha Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011 Keterangan Penerimaan Biaya (Rp/Ekor) Input Tradable Faktor Domestik Keuntungan Usaha Penggemukan Harga Privat Harga Sosial Dampak Kebijakan Usaha Pembibitan Harga Privat Harga Sosial Dampak Kebijakan Hasil analisis pada Tabel 16 memperlihatkan bahwa secara privat (harga aktual) dan secara sosial (harga ekonomi) usaha penggemukan maupun usaha pembibitan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu menguntungkan. Hal ini terlihat dari keuntungan baik secara privat maupun sosial yang bernilai positif. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa sumberdaya yang digunakan dalam usaha penggemukan maupun pembibitan dapat dimanfaatkan secara efesien dan dapat bersaing pada tingkat harga internasional tanpa bantuan kebijakan pemerintah. Terjadinya divergensi diakibatkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang bersifat distorsif. Apabila kebijakan yang distorsif dapat dihilangkan maka divergensi dapat dihilangkan. Secara teori, kebijakan yang paling efesien dapat dicapai jika pemerintah mampu menciptakan kebijakan yang mampu menghapuskan kegagalan pasar Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Matrik Analisis Kebijakan (PAM) merupakan salah satu metode analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis efesiensi ekonomi dan besarnya dampak kebijakan pemerintah pada pengusahaan berbagai aktivitas usahatani, pengolahan maupun pemasaran hasil pertanian secara keseluruhan dan sistimatis. Untuk mengukur tingkat daya saing suatu komoditas dalam kaitannya dengan efesiensi penggunaan sumberdaya, maka digunakan dua pendekatan yaitu

5 keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Indikator yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif adalah rasio biaya sumberdaya domestik atau Domestic Resources Cost Ratio (DRC), sedangkan untuk mengukur keunggulan kompetitif digunakan indikator Private Cost Ratio (PCR). Tabel 17. Domestic Resources Cost Ratio (DRC) dan Private Cost Ratio (PCR) usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun No. Indikator Nilai Penggemukan Pembibitan 1. Domestic Resources Cost Ratio (DRC) 0,90 0,87 2. Private Cost Ratio (PCR) 0,62 0,72 Tabel 17 menunjukkan nilai Domestic Resources Cost Ratio (DRC) dan Private Cost Ratio (PCR) yang merupakan hasil analisis PAM yang digunakan untuk mengukur tingkat daya saing komoditas sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu Analisis Keunggulan Kompetitif Analisis keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan finansial sebuah usahatani. Indikator yang digunakan untuk mengukur keunggulan kompetitif digunakan indikator Private Cost Ratio (PCR). Harga yang digunakan dalam analisis ini adalah harga yang terjadi di pasar yang telah dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Nilai Private Cost Ratio (PCR) merupakan rasio antara biaya input non tradable atau faktor domestik dengan selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga aktual. Nilai PCR yang kurang dari satu (PCR<1) menunjukkan bahwa usahatani yang dijalankan efisien secara finansial. Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki. Berdasarkan informasi dari Tabel 17, diketahui bahwa nilai PCR untuk usaha penggemukan sapi potong adalah sebesar 0,62 sedangkan untuk usaha pembibitan sapi potong sebesar 0,72. Hal ini berarti bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar satu satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar 0,62 untuk usaha penggemukan dan sebesar 0,72

6 untuk usaha pembibitan. Nilai PCR usaha pembibitan lebih kecil dibanding usaha penggemukan yang berarti bahwa usaha penggemukan lebih kompetitif dibanding usaha pembibitan. Hal ini disebabkan karena biaya domestik yang harus dikeluarkan untuk usaha pembibitan lebih besar dibanding usaha penggemukan terutama biaya pakan (hijauan), biaya tenaga kerja dan biaya transportasi (BBM) Analisis Keunggulan Komparatif Analisis keunggulan komparatif digunakan untuk mengukur kelayakan secara ekonomi yakni menilai aktivitas ekonomi masyarakat secara menyeluruh tanpa melihat siapa yang terlibat dalam aktivitas ekonomi tersebut. Indikator yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif adalah Domestic Resources Cost Ratio (DRC). DRC adalah rasio antara biaya domestik terhadap nilai tambah pada harga sosialnya atau pada tingkat harga tanpa adanya intervensi Nilai DRC yang kurang dari satu (DRC<1) menunjukkan bahwa sistem usahatani efisien secara ekonomi dan mempunyai keunggulan komparatif serta mampu beroperasi tanpa intervensi dari pemerintah. Dari Tabel 17 diketahui bahwa nilai DRC usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu sebesar 0,90 sedangkan usaha pembibitan sapi potong sebesar 0,87. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada usaha penggemukan dan pembibitan untuk menghasilkan satu satuan nilai tambah output dibutuhkan 0,90 dan 0,87 satuan biaya input domestik. Hal ini juga mengandung arti bahwa setiap US$1 yang dibutuhkan untuk impor sapi potong, jika diproduksi di Kabupaten Indragiri Hulu hanya membutuhkan biaya US$0,90. Sedangkan setiap US$1 yang dibutuhkan untuk impor sapi bibit, jika diproduksi di Kabupaten Indragiri Hulu hanya membutuhkan biaya US$0,87, sehingga terjadi penghematan devisa. Hasil yang tidak jauh berbeda diperoleh oleh Indrayani (2011) nilai DRC usaha penggemukan sapi potong skala rumah tangga di Kabupaten Agam adalah sebesar 0,853. Nilai DRC yang kurang dari satu juga mengindikasikan bahwa untuk komoditas sapi potong baik berupa daging maupun bibit lebih baik jika diproduksi di dalam negeri dari pada impor. Nilai DRC usaha penggemukan lebih tinggi dibanding usaha pembibitan menunjukkan bahwa untuk memproduksi satu tambahan sapi siap potong membutuhkan biaya yang lebih besar dibanding

7 memproduksi satu tambahan sapi bibit. Keadaan ini juga mengandung arti devisa yang dihemat lebih kecil jika menambah produksi satu nilai tambah output (sapi potong). Nilai DRC pada usaha penggemukan maupun pembibitan lebih besar dari nilai PCR menunjukkan bahwa terdapat kebijakan pemerintah yang memberikan insentif terhadap produsen sapi potong maupun sapi bibit. Diantara kebijakan pemerintah adalah subsidi BBM serta adanya pembatasan jumlah impor sapi potong dan sapi bibit Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah terhadap suatu komoditi seperti sapi potong bertujuan untuk melindungi produsen maupun konsumen dalam dalam negeri. Kebijakan yang dibuat tergantung dari siapa yang dilindungi apakah konsumen atau produsen. Oleh karena itu pemerintah telah memiliki instrumentinstrumen kebijakan yang dapat diimplementasikan untuk mencapai tujuan tersebut, kebijakan tersebut dapat berdampak terhadap input maupun output (Hidayat, 2009). Beberapa kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah adalah membatasi kuota impor sapi potong baik sapi siap potong maupun bibit sapi. Tujuannya adalah untuk melindungi produsen sapi potong dalam negeri, tetapi akibatnya harga daging sapi dalam negeri menjadi tinggi dan mengakibatkan konsumen rugi. Hal ini terjadi karena jumlah sapi potong yang seharusnya sudah bisa memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri sebagian besar masih berada di tangan peternak. Kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah ini telah menimbulkan hasil yang kontradiktif. Di satu sisi pemerintah harus melindungi produsen dalam negeri yaitu peternak dan di satu sisi pemerintah juga harus menjamin kebutuhan konsumen dalam negeri. Dampak kebijakan pemerintah dapat dididentifikasi melalui identitas divergensi yang disajikan pada baris ketiga dari Tabel PAM. Divergensi menyebabkan harga privat berbeda dengan harga sosialnya. Divergensi meningkat karena adanya distorsi kebijakan atau kekuatan pasar yang gagal. Besarnya dampak kebijakan tersebut dapat dilihat melalui indikator yaitu Output Transfer

8 (OT), Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO), Input Transfer, Factor Transfer dan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output Kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat dari nilai Output Transfer (OT) dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO). Transfer Output (OT) merupakan selisih antara penerimaan pada harga privat dengan harga sosial. Nilai Transfer Output menunjukkan besarnya insentif masyarakat terhadap produsen. Sedangkan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) digunakan untuk mengukur dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output berdasarkan harga privat dan harga sosial. Jika nilai OT lebih besar dari nol (OT>0) atau positif menunjukkan bahwa ada insentif konsumen terhadap produsen dimana harga yang dibayarkan konsumen kepada produsen lebih tinggi dari seharusnya. Jika nilai OT lebih kecil dari nol (OT<0) atau negatif, artinya tidak ada kebijakan pemerintah berupa subsidi output sehingga harga yang diterima produsen lebih rendah dari yang seharusnya diterima, sehingga konsumen membeli daging sapi atau sapi bibit dengan harga yang lebih rendah dari yang seharusnya. Nilai Output Transfer (OT) dan nilai Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) usaha penggemukan dan pembibitan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Output Transfer (OT) dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) Usaha Penggemukan dan Pembibitan di Kabupaten Indragiri Hulu tahun No. Indikator Penggemukan Nilai Pembibitan 1. Output Transfer (OT) Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) 1,29 1,18 Tabel 18 menunjukkan bahwa hasil Output Transfer (OT) baik untuk usaha penggemukan maupun pembibitan yang bernilai positif menunjukkan adanya dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga privat lebih tinggi dari harga sosialnya. Ini menunjukkan bahwa konsumen membeli daging sapi potong

9 dan bibit sapi di dalam negeri dengan harga yang lebih tinggi dibanding harga internasional. Hal yang sama juga ditemukan oleh Perdana (2003) pada usaha penggemukan sapi di Kabupaten Bandung dan Indrayani (2011) pada usaha penggemukan sapi di Kabupaten Agam Sumatera Barat. Hasil Output Transfer (OT) berhubungan erat dengan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) yang merupakan rasio penerimaan harga privat dengan penerimaan harga sosial. Nilai NPCO lebih besar dari satu (NPCO>1) menunjukkan bahwa harga domestik lebih tinggi dari harga dunia atau internasional. Berdasarkan Tabel 18 diperoleh nilai Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu sebesar 1,29 sedangkan usaha pembibitan sebesar 1,18. Hasil ini menunjukkan bahwa peternak di Kabupaten Indragiri Hulu untuk kedua jenis usaha tersebut menerima harga lebih tinggi dari harga dunia (harga internasional). Harga Sapi Potong domestik di lokasi penelitian berkisar Rp per kilogram berat hidup, sedangkan sapi impor hanya berkisar antara Rp sampai dengan Rp per kilogram berat hidup. Keadaan ini menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah yang menguntungkan produsen (peternak) dalam negeri Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input Kebijakan pemerintah bukan hanya berlaku untuk output tapi juga mengenai kebijakan input. Kebijakan input biasanya dilakukan dengan pemberian subsidi input atau pajak dan hambatan perdagangan berupa tariff dan non tariff yang diberlakukan agar produsen dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan melindungi produsen dalam negeri. Hal ini dilakukan dengan harapan agar peternak sebagai pengguna input dapat menekan biaya produksinya. Kebijakan pemerintah dalam penggunaan input dapat dilihat melalui nilai Input Transfer (IT), Factor Transfer (FT) dan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI).

10 Tabel 19. Input Transfer (IT), Factor Transfer (FT) dan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun No Indikator Penggemukan Nilai Pembibitan 1. Input Transfer (IT) (92.067) 2. Factor Transfer (FT) Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) Ket: (Negatif) 1,01 0,91 Indikator yang digunakan untuk melihat kebijakan pemerintah yang mempengaruhi harga input tradable dipasar adalah Input Transfer (IT). Jika Transfer Input lebih besar dari nol (IT>0) atau bernilai positif menunjukkan adanya kebijakan pemerintah berupa pajak yang akan mengurangi tingkat keuntungan peternak artinya produsen tidak mendapat insentif. Sebaliknya jika Transfer Input lebih kecil dari nol (IT<0) atau bernilai negatif, artinya ada subsidi pemerintah terhadap input tersebut sehingga peternak tidak membayar penuh sesuai dengan harga yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan subsidi akan menguntungkan produsen, dalam hal ini peternak sapi ppotong. Tabel 19 menunjukkan nilai Input Transfer (IT) atau transfer input untuk usaha penggemukan adalah sebesar Rp sedangkan untuk usaha pembibitan minus sebesar Rp Nilai Input Transfer (IT) usaha penggemukan bernilai positif, mengandung arti bahwa terdapat pajak yang menyebabkan keuntungan peternak berkurang. Hal ini disebabkan oleh adanya pajak dan retribusi pada input tradable seperti sehingga harga privat untuk beberapa input seperiti sapi bakalan, obat-obatan dan mineral lebih tinggi dari harga sosialnya. Walaupun ada subsidi terhadap input tradable seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), tapi jumlahnya relatif lebih kecil. Nilai Input Transfer (IT) usaha pembibitan bernilai negatif mengindikasikan bahwa terdapat subsidi sehingga menyebabkan peternak menerima harga yang lebih rendah dari harga sosialnya. Subsidi terdapat pada Bahan Bakar Minyak (BBM) yang merupakan salah satu input tradable yang porsinya cukup signifikan pada usaha pembibitan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu.

11 Penilaian kebijakan pemerintah terhadap input domestik (non tradable) seperti bibit, tenaga kerja, penyusutan alat dapat dilihat dari indikator Factor Transfer (FT). Factor Transfer (FT) merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Kebijakan ini dapat berupa subsidi positif dan negatif Tabel 19 menunjukkan bahwa Factor Transfer (FT) untuk usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu bernilai positif, ini berarti bahwa harga input non tradable yang dikeluarkan oleh peternak di Kabupaten Indragiri Hulu pada harga privat lebih besar dibanding dengan harga input non tradable pada harga sosialnya. Artinya terdapat kebijakan pemerintah yang mengakibatkan petani harus membayar input domestik lebih mahal daripada harga sosialnya sebesar Rp Disisi lain nilai Factor Transfer (FT) pada usaha penggemukan bernilai negatif. Nilai ini menunjukkan bahwa harga input non tradable yang dikeluarkan oleh peternak pada tingkat harga privat lebih tinggi yaitu sebesar Rp daripada biaya input pada tingkat harga sosialnya. Artinya ada implisit subsidi atau transfer dari produsen faktor domestik kepada peternak sehingga peternak menerima harga input faktor domestik lebih rendah dari yang seharusnya (harga internasional). Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) merupakan rasio antara biaya yang dihitung berdasarkan harga privat dengan input tradable yang dihitung berdasarkan harga bayangan (harga sosial). Berdasarkan Tabel 19, nilai NPCI untuk usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu adalah sebesar 1,01, hal ini menunjukkan bahwa biaya input privat lebih tinggi 1 persen dari biaya yang seharusnya dibayarkan (input ditingkat harga dunia). Keadaan ini juga mengindikasikan bahwa kebijakan susidi yang dilakukan oleh pemerintah belum berjalan secara efektif. Kondisi yang berbeda terjadi pada usaha pembibitan dengan nilai NPCI sebesar 0,91 yang mengindikasikan bahwa terdapat kebijakan atas input tradable yang menyebabkan harga privat lebih rendah daripada harga sosialnya. Meskipun nilai NPCI kurang dari satu, namun nilainya relatif mendekati satu. Hal ini mengindikasikan adanya penyimpangan dalam kebijakan subsidi tersebut dimana

12 harga input tradable yang dipasarkan lebih mahal dari harga subsidi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pada usaha pembibitan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu input yang disubsidi adalah Bahan Bakar Minyak (BBM) dimana harga subsidi yang ditetapkan oleh pemerintah untuk bensin adalah Rp per liter sedangkan harga di lokasi penelitian Rp Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input-Output Dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output merupakan gabungan dari kebijakan input dan kebijakan input. Dampak kebijakan terhadap input-output dapat dilihat dari nilai Koefisien Proteksi Efektif atau Effective Protection Coefficient (EPC), Transfer Bersih atau Net Transfer (NT), Koefisien Keuntungan atau Profitability Coefficient (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen atau Subsidy Ratio to Producer (SRP). Indikator-indikator ini menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik. Tabel 20 menyajikan nilai dari masing-masing indikator kebijakan pemerintah terhadap input-output. Tabel 20. Nilai Indikator Kebijakan Input-Output Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun No. Indikator Nilai Penggemukan Pembibitan 1. Effective Protection Coefficient (EPC) 1,47 1,23 2. Net Transfer (NT) Profitability Coefficient gan (PC) 5,79 2,59 4. Subsidy Ratio to Producer (SRP). 0,28 0,18 Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi produksi domestik secara efektif. Jika nilai EPC kurang dari satu (EPC<1), maka kebijakan tersebut tidak berjalan secara efektif atau menghambat produsen untuk produksi. Sebaliknya jika nilai EPC lebih besar satu (EPC>1), maka kebijakan tersebut berjalan secara efektif sehingga melindungi petani untuk berproduksi.

13 Tabel 20 menunjukkan bahwa nilai Effective Protection Coefficient (EPC) lebih dari satu baik pada usaha penggemukan maupun usaha pembibitan sapi potong menunjukkan adanya perlindungan atau proteksi oleh pemerintah terhadap peternak. Nilai EPC yang lebih besar dari satu disebabkan oleh perbedaan harga jual harga sapi hidup yang berasal dari impor dengan harga aktual yang diterima peternak, baik kategori sapi potong maupun sapi bibit. Hal ini diduga karena pemerintah memberikan perlindungan terhadap peternak sapi lokal dengan memanfaatkan istrumen non-tariff, seperti ASUH dan SPS. Disamping itu juga adanya subsidi terhadap input tradable seperti Bahan Bakar Minyak (BBM). Indikator yang mampu menjelaskan pengaruh dampak kebijakan terhadap surplus produsen (peternak sapi potong) adalah nilai Net Transfer (NT). Nilai transfer bersih (NT) yang diterima oleh peternak pada usaha penggemukan maupun usaha pembibitan sapi potong sama-sama bernilai positif. Artinya bahwa transfer yang diterima dari produsen input tradable dan faktor domestik lebih besar dari transfer yang diberikan kepada konsumen. Profitability Coefficient (PC) mengukur dampak seluruh transfer terhadap keuntung privat. Profitability Coefficient (PC) mampu menjelaskan dampak insentif dari seluruh kebijakan output, kebijakan input tradable dan input domestik. Tabel 20 memperlihatkan nilai PC besar dari satu (PC>1) yaitu sebesar 5,79 pada usaha penggemukan dan 2,59 pada usaha pembibitan. Angka ini menunjukkan bahwa keuntungan yang diterima oleh peternak lebih besar dari harga sosialnya. Penerimaan pada usaha penggemukan lebih besar dari penerimaan usaha pembibitan, hal ini dikarenakan harga daging sapi dalam negeri jauh lebih tinggi dibanding harga sapi impor. Nilai Subsidy Ratio to Producer (SRP) merupakan indikator yang menunjukkan tingkat penambahan atau pengurangan penerimaan atas pengusahaan suatu komoditas karena adanya kebijakan pemerintah. Tabel 20 menunjukkan SRP bernilai positif sebesar 0,28 pada usaha penggemukan dan sebesar 0,18 pada usaha pembibitan sapi potong. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini menyebabkan peternak di Kabupaten Indragiri Hulu mengeluarkan biaya produksi lebih kecil 28 persen dan 18 persen dari opportunity cost untuk produksi pada usaha penggemukan dan pembibitan.

14 Keadaan ini jauh lebih baik dari usaha penggemukan di Kabupaten Agam Sumatera Barat yang dilakukan oleh Indrayani (2011) dimana nilai SRP untuk usaha penggemukan di daerah tersebut hanya sebesar 7,6 persen. Dari kondisi ini bisa disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah seperti dengan mengurangi kuota impor sapi potong dan sapi bibit telah berjalan efektif. Berdasarkan dampak pengaruh kebijakan pemerintah terhadap input output menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah sudah mulai menunjukkan keberpihakan terhadap peternak sapi potong walaupun belum signifikan. Hal ini sejalan dengan program swasembada daging 2014 yang dicanangkan oleh pemerintah. Program swasembada daging tidak beroientasi semata-mata pada pemenuhan kebutuhan konsumen tetapi juga diarahkan dalam konteks peningkatan produksi, kesejahteraan peternak dan kesinambungan usaha peternakan sapi serta meningkatkan daya saing produksi sehingga akhirnya akan bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor Analisis Sensitivitas terhadap Daya saing Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Analisis kepekaan (sensitivity analysis) adalah analisis yang dilakukan untuk melihat pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah (Gittinger, 1986). Analisis sensitivitas dilakukan karena analisis dalam metode PAM merupakan analisis yang bersifat statis. Analisisis sensitivitas juga berguna untuk mengetahui kepekaan efisisensi dalam pengusahaan penggemukan dan pembibitan sapi potong terhadap perubahan pada input maupun output yang berpengaruh pada produksi ternak. Analisis sensititvitas yang akan dilakukan mencakup 3 skenario yaitu perubahan harga output, perubahan harga bahan bakar (BBM) dan penggunaan pakan dari limbah kelapa sawit. Penggunaan pakan dari limbah kelapa sawit seperti pelepah sawit yang telah diolah dengan teknologi mesin menyebabkan kenaikan ADG (Average Daily Gain) sapi potong. Setiap simulasi dilakukan dengan asumsi harga input lainnya tetap (cateris paribus). Analisis sensitivitas terhadap indikator daya saing dapat dilihat pada Tabel 21.

15 Tabel 21. Nilai Keuntungan Berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun Skenario Keuntungan Usaha Penggemukan Keuntungan Usaha Pembibitan Privat Sosial Privat Sosial Kondisi Normal Penghapusan Tarif Bea Masuk 5 persen ( ) Harga BBM naik 15 persen Penggunaan pakan dari limbah sawit Gabungan penghapusan tarif 5 persen dengan penggunaan pakan dari limbah sawit (46.920) Tabel 21 menunjukkan bahwa apabila tarif bea masuk sapi potong sebesar 5 persen dihapuskan, menyebabkan menurun bahkan negatif. Nilai negatif mengindikasikan bahwa peternak mengalami kerugian jika ditingkat harga sosial pada usaha penggemukan sedangkan pada usaha pembibitan tetap mengalami keuntungan walaupun terjadi penurunan. Jika terjadi kenaikan harga BBM sebesar 15 persen maka keuntungan yang diperoleh oleh peternak juga mengalami penurunan walaupun. Jika pakan dari pelepah sawit yang diolah ditambahkan maka untuk usaha penggemukan dan pembibitan bisa menghemat biaya pakan hijauan sebesar 30 persen (Mathius, 2008). Dengan adanya penghematan biaya pada pakan maka keuntungan yang diterima oleh peternak meningkat. Apabila terjadi penghapusan tarif bea masuk 5 persen bersamaan dengan penggunaan pakan dari limbah sawit (pelepah) maka keuntungan privat usaha penggemukan masih positif sedangkan keuntungan sosial menjadi negatif atau merugi. Pada usaha pembibitan, baik keuntungan privat maupun sosial masih tetap positif.

16 Analisis sensitivitas juga dilakukan untuk melihat daya saing usaha penggemukan maupun pembibitan di Kabupaten Indragiri Hulu apabila terjadi perubahan harga output maupun input. Analisis sensitivitas terhadap indikator daya saing dapat dilihat pada Tabel 22 Tabel 22. Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun No. Skenario Indikator Daya Saing Penggemukan Pembibitan DRC PCR DRC PCR 1 Kondisi Normal 0,90 0,62 0,87 0,72 2 Penghapusan Tarif Bea Masuk 5 persen 1,05 0,62 0,91 0,72 3 Harga BBM naik 15 persen 0,90 0,63 0,87 0,73 4. Penggunaan pakan dari limbah sawit 5. Gabungan penghapusan tarif 5 persen dengan penggunaan pakan dari limbah sawit 0,87 0,60 0,77 0,62 1,01 0,60 0,81 0,62 Tabel 22 menunjukkan bahwa kondisi yang sangat merugikan bagi peternak baik pada usaha penggemukan maupun pembibitan adalah adanya penghapusan tarif impor sapi potong sebesar 5 persen. Nilai DRC maupun PCR pada kedua jenis usaha juga mengalami kenaikan. Kenaikan nilai DRC menjadi 1,05 pada usaha penggemukan dan 0,91 pada usaha pembibitan menjadikan usaha penggemukan tidak memiliki keunggulan komparatif lagi. Artinya, komoditas sapi potong tidak lagi efesien jika dilakukan di dalam negeri. Nilai PCR juga mengalami kenaikan walaupun nilainya masih di bawah satu, tetapi hal ini menyebabkan keunggulan kompetitif juga mengalami penurunan dari kondisi awal. Jika terjadi kenaikan harga BBM sebesar 15 persen menyebabkan nilai PCR mengalami kenaikan sebesar 1 persen. Walaupun hal ini tidak terlalu berpengaruh terhadap daya saing secara keseluruhan tetapi keuntungan privat peternak juga

17 mengalami penurunan. Kondisi ini tetap saja tidak berdampak baik terhadap usaha peternakan yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Indragiri Hulu. Penggunaan pakan tambahan dari limbah kelapa sawit menyebabkan daya saing usaha penggemukan maupun usaha pembibitan meningkat. Nilai DRC pada usaha penggemukan turun sebesar 0,03, sedangkan pada usaha pembibitan turun sebesar 0,1 demikian juga halnya dengan nilai PCR menjadi turun yang mengindikasikan naiknya penerimaan. Apabila penghapusan tarif bea masuk sebesar 5 persen dilakukan bersamaan dengan penggunaan pakan limbah sawit, maka daya saing usaha penggemukan menjadi meningkat dari pada kondisi jika terjadi penghapusan tarif bea masuk saja walaupun nilai DRC masih lebih besar dari satu. Sedangkan pada usaha pembibitan, nilai DRC menjadi lebih kecil yaitu menjadi 0,81 yang mengindikasikan daya saingnya meningkat dari kondisi normal yaitu sebesar 0,87. Dari kondisi ini dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan pakan dari limbah sawit cukup efektif dalam usaha meningkatkan daya saing usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu khususnya pada usaha pembibitan. Jika terjadi penghapusan tarif bea masuk maka salah satu upaya yang bisa dilakukan dalam mempertahankan daya saing adalah memanfaatkan semaksimal mungkin penggunaan pakan dari limbah sawit. Berikut ini juga dilakukan simulasi terhadap output maupun input yang menyebabkan kedua usaha baik penggemukan dan pembibitan dalam kondisi tidak berdaya saing. Tabel 23. Simulasi Afirmatif Usaha Peternakan Sapi Potong Di Kabupaten Indragiri Hulu No Jenis Usaha Skenario PCR DRC 1. Penggemukan Harga output turun 6 persen 0,68 1,00 Harga Bakalan naik 8 persen 0,68 1,01 2. Pembibitan Harga output turun 11,5 persen 0,83 1,00 Biaya hijauan naik 37 persen 0,72 1,00 Dari Tabel 23 di atas bisa disimpulkan bahwa usaha penggemukan lebih sensitif terhadap penurunan harga output dibandingkan dengan usaha pembibitan. Hal ini bisa terlihat dari hasil simulasi, dimana pada usaha pembibitan sapi

18 potong, penurunan harga sapi potong sebesar 6 persen menyebabkan usaha tersebut tidak memiliki daya saing komparatif lagi. Sedangkan pada usaha pembibitan, penurunan harga output sampai 11,5 persen yang menyebabkan usaha tersebut kehilangan daya saingnya. Pada usaha penggemukan, sebesar 80,56 persen dari total biaya input dialokasikan untuk bakalan. Jika terjadi kenaikan harga bakalan minimal sebesar 8 persen maka usaha penggemukan tidak memiliki daya saing lagi, hal ini terlihat dari nilai DRC sebesar 1,01 (DRC>1). Pada usaha pembibitan biaya input yang pengaruhnya cukup signifikan terhadap keseluruhan struktur biaya input adalah biaya hijauan sebesar 38,73 persen. Jika terjadi kenaikan biaya untuk menghasilkan hijauan sebesar 37 persen maka usaha pembibitan tidak berdaya saing lagi karena nilai DRCnya lebih besar dari satu Kebijakan Alternatif terhadap Peningkatan Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa peran pemerintah dalam usaha peternakan sapi potong masih belum sepenuhnya memberikan perlindungan terhadap peternak. Usaha peternakan sapi potong hanya akan berkembang dan berdaya saing jika didukung dengan kebijakan yang kondusif. Berdasarkan hasil analisis PAM dan analisis sensitivitas yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa usaha peternakan yang dilakukan di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki daya saing baik secara kompetitif maupun komparatif. Walaupun demikian, pemerintah sebaiknya juga harus tetap membuat kebijakankebijakan yang lebih memihak pada peternak, karena usaha ini cukup sensitif terhadap perubahan pada output maupun inputnya. Salah satu kebijakan yang bisa dilakukan adalah mengurangi kuota impor daging sapi untuk mengatasi masalah harga output di dalam negeri. Sedangkan kebijakan dari segi input adalah dengan membantu memfasilitasi teknologi pengolahan pakan ternak untuk mengurangi biaya produksi khususnya pakan. Disamping itu pemerintah juga harus terus mendorong peternak untuk meningkatkan produksinya sehingga secara perlahanlahan ketergantungan terhadap sapi maupun daging impor bisa dikurangi. Salah satu program yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mensukseskan program swasembada daging sapi di Indonesia adalah program

19 integrasi tanaman ternak. Provinsi Riau merupakan salah satu daerah yang berkomitmen menjalankan program integrasi tanaman ternak, khususnya tanaman perkebunan yaitu kelapa sawit. Di beberapa daerah di Provinsi Riau seperti Kabupaten Siak, program ini sudah berjalan tetapi di Kabupaten Indragiri Hulu sendiri program ini belum dijalankan oleh peternak. Hal ini terkait dengan ketersediaan teknologi pengolahan pakan dari kelapa sawit. Kondisi ini seharusnya menjadi bagian dari kebijakan yang harus segera dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka menopang potensi peternakan yang cukup besar khususnya di Kabupaten Indragiri Hulu. Disamping kebijakan terkait pakan, pemerintah juga harus mengoptimalkan pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) dalam rangka mendukung program swasembada daging sapi Dari hasil analisis, usaha pembibitan pada dasarnya kurang memberikan keuntungan pada peternak, tetapi usaha pembibitan memberi jaminan jangka panjang pada ketersediaan daging sapi di dalam negeri. Untuk itu pemerintah harus selalu mendorong masyarakat untuk terus melanjutkan usaha ini dengan berbagai kebijakan yang menguntungkan bagi masyarakat khususnya peternak Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Budidaya Ikan Patin Usaha budidaya ikan patin yang dilakukan oleh masayarakat Indragiri Hulu yang akan dibahas di sini adalah usaha budidaya berupa pembesaran di kolam. Usaha yang akan dianalisis dibedakan menjadi dua kelompok khusus yaitu budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan komersial (pelet) dan usaha yang menggunakan sebagian besar pakan alternatif. Pakan alternatif yang dimaksud disini adalah yang diusahakan sendiri oleh petani pembudidaya seperti usus ayam, keong yang dicampur dengan daun pepaya dan lain sebagainya. Usaha budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan pelet dilakukan rata-rata selama 8 bulan per kali panen, sedangkan usaha yang menggunakan pakan alternatif rata-rata masa budidayanya selama 9 bulan. Luas kolam rata-rata yang digunakan pada usaha budidaya pakan pelet adalah 520 meter persegi sedangkan usaha budidaya dengan pakan alternatif adalah 671 meter persegi. Untuk

20 mendapatkan hasil yang tidak bias maka luas lahan yang dijadikan analisis dikonversi menjadi 500 meter persegi. Untuk mengukur tingkat efesiensi dan kemampuan daya saing usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu dapat dijelaskan dengan menggunakan matriks analisis kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM). Matriks ini disusun berdasarkan data biaya input dari suatu komoditas, kemudian biaya dipisahkan ke dalam komponen tradable dan domestik. Besar kecilnya biaya yang dikeluarkan dalam usaha budidaya patin ini sangat ditentukan oleh skala pengelolaannya. Pada Tabel 24 disajikan rata-rata penerimaan dan komponen biaya usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu per 500 meter persegi. Jumlah produksi bersih untuk usaha budidaya dengan menggunakan pakan pelet sebesar kg, sedangkan usaha yang menggunakan sebagian besar pakan alternatif sebesar 2.410,5 kg. Perbedaan jumlah produksi ini terjadi karena perbedaan jangka waktu budidaya, dimana usaha budidaya dengan pakan alternatif lebih lama dibandingkan dengan usaha dengan pakan pelet. Tabel 24. Rata-rata Penerimaan dan Komponen Biaya Privat Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Konversi 500 M 2 Pakan Pelet Pakan Alternatif Uraian Jumlah (Rp) Per 8 Bulan Porsi (%) Jumlah (Rp) Per 9 Bulan Porsi (%) Penerimaan Biaya 1. Benih 2. Pelet 3. Pakan Alternatif 4. Tenaga Kerja 5. Obat-obatan 6. Kapur 7. Garam 8. Urea 9. Pemeliharaan Kolam 10. Serok 11. Ember 12. Peralatan lain-lain ,36 74,32 0,57 12,85 0,42 0,28 0,11 0,37 1,03 0,23 0,09 0, ,45 25,28 18,99 38,73 0,61 0,43 0,18 0,61 1,95 0,36 0,14 0,29 Total Keuntungan

21 Tabel 24 menyajikan rata-rata biaya yang dikeluarkan pada usaha budidaya ikan patin baik yang menggunakan sebagian besar pakan pelet maupun sebagian besar pakan alternatif di Kabupaten Indragiri Hulu. Pada usaha budidaya dengan pakan pelet biaya terbesar dialokasikan untuk pakan itu sendiri yaitu sebesar 74,32 persen, sedangkan untuk usaha budidaya ikan patin dengan pakan alternatif biaya terbesar diserap oleh tenaga kerja yaitu sebesar 38,73 persen. Untuk usaha budidaya dengan pakan pelet rata-rata biaya yang dikeluarkan selama satu periode budidaya adalah Rp , sedangkan pada usaha yang menggunakan pakan alternatif rata-rata biaya yang dikeluarkan selama satu periode budiaya (pembesaran) sebesar Rp Salah satu faktor yang menyebabkan besarnya biaya pada usaha budidaya dengan pakan pelet adalah karena besarnya jumlah pakan yang harus disediakan selama satu kali periode pembesaran serta harga pakan yang tergolong mahal yaitu sebesar Rp per karung (40 Kg). Sedangkan pada budidaya dengan pakan alternatif, biaya pakan untuk pelet bisa dihemat hampir 50 persen. Proporsi biaya berikutnya pada usaha budidaya dengan pakan pelet adalah tenaga kerja yaitu sebesar 12,85 persen. Untuk budidaya dengan pakan alternatif biaya berikutnya sebesar 25,28 persen digunakan untuk biaya pakan pelet. Budidaya dengan pakan alternatif rata-rata hanya menggunakan pelet sebagai pakan pada 3 bulan pertama periode pembesaran, sisanya menggunakan pakan alternatif seperti usus ayam, campuran keong dan daun pepaya yang biayanya relatif jauh lebih murah. Proporsi biaya yang paling sedikit digunakan pada usaha baik pada budidaya dengan pakan pelet maupun pakan alternatif adalah biaya peralatan ember yaitu hanya sebesar 0,09 persen dan 0,14 persen. Penerimaan yang dihasilkan oleh usaha dengan pakan altrnatif jauh lebih besar dibandingkan dengan usaha dengan pakan pelet, dimana usaha dengan pakan altrnatif menghasilkan keuntungan sebesar Rp selama satu periode pembesaran. Sedangkan pada usaha dengan pakan pelet selama satu periode budidaya hanya menghasilkan keuntungan sebesar Rp Perbedaan keuntungan yang cukup mencolok ini disebabkan karena besarnya biaya untuk pakan pada usaha budidaya dengan pakan pelet yang mencapai hampir 75 persen dari total biaya. Disamping itu budidaya dengan pakan pelet

22 hanya dilakukan rata-rata selama 8 bulan sedangkan usaha dengan pakan alternatif rata-rata 9 bulan sehingga hasil produksi budidaya dengan pakan alternatif relatif lebih besar. Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis efisiensi ekonomi dan besarnya insentif atau dampak intervensi pemerintah pada berbagai aktivitas usaha tani, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian secara keseluruhan dan sistematis. Salah satu bentuk keluarannya adalah nilai keuntungan privat dan sosial. Keuntungan privat adalah selisih penerimaan dengan biaya total berdasarkan harga privat (harga aktual yang terjadi di pasar) yang digunakan oleh petani dalam usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu, dimana harga tersebut telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Keuntungan privat dilakukan untuk mengukur daya saing dari sistem komoditas dan dapat digunakan sebagai dasar untuk analisis biaya manfaat pada tingkat harga privat atau harga aktual (Pearson, 2005). Keuntungan sosial adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya pada tingkat harga sosial atau harga efesiensi yang didasarkan pada estimasi social opportunity costs. Pada keadaan ini, harga sosial untuk input dan output tradable adalah harga internasional untuk barang yang sejenis (comparable) yaitu harga impor untuk komoditas impor dan harga ekspor untuk komoditas ekspor. Sedangkan faktor domestik seperti tenaga kerja tidak memiliki harga internasional, sehingga harga sosialnya (social opportunity costs) diestimasi melalui pengamatan lapangan atas pasar faktor domestik di pedesaan. Tujuannya untuk mengetahui berapa besar ouput atau pendapatan yang hilang karena faktor domestik digunakan untuk memproduksi komoditas tersebut dibandingkan dengan apabila digunakan untuk komoditas alternatif terbaiknya (Pearson, 2005). Tabel 25 adalah Tabel Policy Analysis Matrix (PAM) dari usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indaragiri Hulu baik untuk budidaya dengan pakan pelet maupun dengan pakan alternatif

23 Tabel 25. Matriks Analisis Kebijakan Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun Keterangan Penerimaan Biaya (Rp/500 m 2 ) Keuntungan Input Tradable Faktor Domestik Budidaya Pakan Pelet Harga Privat Harga Sosial Dampak Kebijakan Budidaya Pakan Alternatif Harga Privat Harga Sosial Dampak Kebijakan Hasil analisis pada Tabel 25 memperlihatkan bahwa secara privat (harga aktual) usaha budidaya ikan patin baik dengan pakan pelet maupun dengan pakan alternatif di Kabupaten Indragiri Hulu menguntungkan. Hal ini terlihat dari keuntungan secara privat untuk kedua jenis usaha budidaya yang bernilai positif. Sedangkan hasil analisis pada tingkat harga sosial menunjukkan bahwa usaha dengan pakan pelet tidak menguntungkan sebaliknya pada usaha dengan pakan alternatif masih tetap menguntungkan. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa penggunaan sumberdaya pada usaha budidaya dengan pakan pelet belum efektif serta belum bisa bersaing pada tingkat harga internasional tanpa bantuan kebijakan dari pemerintah Analisis Daya Saing Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Untuk mengukur tingkat daya saing suatu komoditas dalam kaitannya dengan efesiensi penggunaan sumberdaya, digunakan dua pendekatan yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Indikator yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif adalah rasio biaya sumberdaya domestik atau Domestic Resources Ratio (DRC), sedangkan untuk mengukur keunggulan kompetitif digunakan indikator rasio biaya privat atau Private Cost Ratio (PCR).

24 Tabel 26. Domestic Resources Ratio (DRC) dan Private Cost Ratio (PCR) usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun No. Indikator Pakan Pelet Nilai Pakan Alternatif 1. Domestic Resources Ratio (DRC) 1,07 0,47 2. Private Cost Ratio (PCR) 0,49 0,30 Tabel 26 menunjukkan nilai Domestic Resources Ratio (DRC) dan Private Cost Ratio (PCR) yang merupakan hasil analisis PAM yang digunakan untuk mengukur tingkat daya saing komoditas sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu Analisis Keunggulan Kompetitif Analisis keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan finansial sebuah usahatani. Indikator yang digunakan untuk mengukur keunggulan kompetitif digunakan indikator Private Cost Ratio (PCR). Harga yang digunakan dalam analisis ini adalah harga yang terjadi di pasar yang telah dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Nilai Private Cost Ratio (PCR) merupakan rasio antara biaya input non tradable atau faktor domestik dengan selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga aktual. Nilai PCR yang kurang dari satu (PCR<1) menunjukkan bahwa usahatani yang dijalankan efisien secara finansial. Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki. Tabel 26 meunjukkan nilai PCR untuk usaha budidaya ikan patin dengan pakan pelet adalah sebesar 0,49 sedangkan untuk usaha budidaya dengan pakan pelet sebesar 0,30. Hal ini berarti bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar satu satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar 0,49 untuk budidaya dengan pakan pelet dan sebesar 0,30 untuk usaha budidaya dengan pakan alternatif. Nilai PCR usaha budidaya dengan pakan alternatif lebih kecil dibanding usaha budidaya dengan pakan pelet, hal ini menunjukkan bahwa usaha budidaya dengan pakan alternatif lebih kompetitif dibanding dengan budidaya dengan pakan pelet. Hal ini disebabkan karena biaya tradable yang harus dikeluarkan untuk usaha budidaya dengan pakan pelet lebih

25 besar lebih besar dibanding budidaya dengan pakan alternatif terutama untuk biaya pakan berupa pelet itu sendiri Analisis Keunggulan Komparatif Analisis keunggulan komparatif digunakan untuk mengukur kelayakan secara ekonomi yakni menilai aktivitas ekonomi masyarakat secara menyeluruh tanpa melihat siapa yang terlibat dalam aktivitas ekonomi tersebut. Indikator yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif adalah Domestic Resources Ratio (DRC). DRC adalah rasio antara biaya domestik terhadap nilai tambah pada harga sosialnya atau pada tingkat harga tanpa adanya intervensi Nilai DRC yang kurang dari satu (DRC<1) menunjukkan bahwa sistem usahatani efisien secara ekonomi dan mempunyai keunggulan komparatif serta mampu beroperasi tanpa intervensi dari pemerintah. Dari Tabel 26 diketahui bahwa nilai DRC usaha budidaya ikan patin dengan pakan pelet di Kabupaten Indragiri Hulu sebesar 1,07 sedangkan usaha budidaya dengan pakan alternatif sebesar 0,47. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada usaha budidaya pakan pelet dan pakan alternatif untuk menghasilkan satu satuan nilai tambah output dibutuhkan 1,07 dan 0,47 satuan biaya input domestik. Hal ini juga mengandung arti bahwa setiap US$1 yang dibutuhkan untuk impor patin, jika diproduksi di Kabupaten Indragiri Hulu membutuhkan biaya US$1,07 jika budidaya dilakukan dengan menggunakan sebagian besar pakan berupa pelet. Artinya, pada kondisi ini ikan patin lebih baik diimpor dibandingkan diproduksi di dalam negeri dalam rangka penghematan sumberdaya domestik. Dengan kata lain usaha budidaya dengan menggunakan sebagian pakan pelet tidak mempunyai keunggulan komparatif. Sedangkan jika usaha budidaya dilakukan dengan menggunakan sebagaian besar pakan alternatif hanya membutuhkan biaya US$0,47. sehingga lebih baik diproduksi sendiri di dalam negeri dan bisa dilakukan penghematan devisa. Untuk melindungi produsen patin dalam negeri sebenarnya pemerintah telah melakukan beberapa kebijakan diantaranya menghapuskan pajak impor bahan baku pakan. Sejak awal tahun 2012 pemerintah telah melarang impor patin dari Vietnam untuk melindungi produsen serta mendorong produksi dalam negeri. Hasil analisis pada Tabel 26 juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup besar antara nilai PCR dan nilai DRC usaha budidaya dengan

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 83 VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 8.1. Struktur Biaya, Penerimaan Privat dan Penerimaan Sosial Tingkat efesiensi dan kemampuan daya saing rumput laut di

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi susu sapi lokal dalam

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Kabupaten Indragiri Hulu terdiri

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi gula lokal yang dihasilkan

Lebih terperinci

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG VI. 6.1 Analisis Dayasaing Hasil empiris dari penelitian ini mengukur dayasaing apakah kedua sistem usahatani memiliki keunggulan

Lebih terperinci

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI Daya saing usahatani jambu biji diukur melalui analisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan menggunakan Policy

Lebih terperinci

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP PURWATI RATNA W, RIBUT SANTOSA, DIDIK WAHYUDI Fakultas Pertanian, Universitas Wiraraja Sumenep ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK 6.1 Analisis Keuntungan Sistem Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok Analisis keunggulan komparatif

Lebih terperinci

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini diperoleh beberapa simpulan, implikasi kebijakan dan saran-saran seperti berikut. 7.1 Simpulan 1. Dari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 26 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Karangasem dengan lokasi sampel penelitian, di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu. Penentuan lokasi penelitian dilakukan

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM VI ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan kemampuan jeruk

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini, RINGKASAN Kendati Jambu Mete tergolong dalam komoditas unggulan, namun dalam kenyataannya tidak bisa dihindari dan kerapkali mengalami guncangan pasar, yang akhirnya pelaku (masyarakat) yang terlibat dalam

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan 33 III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional dan Konsep Dasar Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 45 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan daerah tersebut dilakukan secara purposive

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

Lebih terperinci

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010 Volume 12, Nomor 1, Hal. 55-62 ISSN 0852-8349 Januari - Juni 2010 DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING DAN EFISIENSI SERTA KEUNGGULAN KOMPETITIF DAN KOMPARATIF USAHA TERNAK SAPI RAKYAT DI KAWASAN

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Studi kasus penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Sukaresmi dan Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara purpossive

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing Perdagangan Internasional pada dasarnya merupakan perdagangan yang terjadi antara suatu negara tertentu dengan negara yang

Lebih terperinci

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur Krisna Setiawan* Haryati M. Sengadji* Program Studi Manajemen Agribisnis, Politeknik Pertanian Negeri

Lebih terperinci

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2 email: mardianto.anto69@gmail.com ABSTRAK 9 Penelitian tentang Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton. III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis terhadap tujuan

Lebih terperinci

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRAK... xiii ABSTRACT...

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian II. METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode deskriptif analitis. Menurut Nazir (2014) Metode deskriptif adalah suatu metode dalam

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG 7.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Analisis finansial dan ekonomi usahatani jagung memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai tingkat kelayakan usahatani

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo) ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo) Novi Itsna Hidayati 1), Teguh Sarwo Aji 2) Dosen Fakultas Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan ABSTRAK Apel yang

Lebih terperinci

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih 1.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA Kustiawati Ningsih Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Islam Madura, Kompleks Ponpes Miftahul Ulum Bettet, Pamekasan,

Lebih terperinci

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe Jurnal EKONOMI PEMBANGUNAN Kajian Ekonomi Negara Berkembang Hal: 141 147 EFISIENSI EKONOMI DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP USAHA PENANGKAPAN LEMURU DI MUNCAR, JAWA TIMUR Mira Balai Besar Riset

Lebih terperinci

DAYA SAING USAHA BUDI DAYA IKAN PATIN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU ABSTRACT ABSTRAK

DAYA SAING USAHA BUDI DAYA IKAN PATIN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU ABSTRACT ABSTRAK DAYA SAING USAHA BUDI DAYA IKAN PATIN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU Silvia Hayandani *)1, Muhammad Firdaus **), dan Wiwik Rindayati **) *) Dinas Pendidikan Provinsi Riau Jl. Cut Nyak Dien No.

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Cilembu (Kecamatan Tanjungsari) dan Desa Nagarawangi (Kecamatan Rancakalong) Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 51 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga tempat di Provinsi Bangka Belitung yaitu Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Barat, dan Kabupaten Belitung.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia

Lebih terperinci

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH 93 VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH 7.1. Justifikasi Harga Bayangan Penelitian ini, untuk setiap input dan output ditetapkan dua tingkat harga, yaitu harga

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin 22 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Analisis Dewasa ini pengembangan sektor pertanian menghadapi tantangan dan tekanan yang semakin berat disebabkan adanya perubahan lingkungan strategis

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen

III METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen III METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Fish Farm) dilaksanakan di lokasi usaha yang bersangkutan yaitu di daerah

IV. METODE PENELITIAN. Fish Farm) dilaksanakan di lokasi usaha yang bersangkutan yaitu di daerah IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Studi kasus penelitian mengenai Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usaha Pembenihan Ikan Patin Siam (Studi Kasus : Perusahaan Deddy Fish Farm) dilaksanakan

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR Syahrul Ganda Sukmaya 1), Dwi Rachmina 2), dan Saptana 3) 1) Program

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Menurut penelitian Fery (2013) tentang analisis daya saing usahatani kopi Robusta di kabupaten Rejang Lebong dengan menggunakan metode Policy Analiysis

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR Dede Haryono 1, Soetriono 2, Rudi Hartadi 2, Joni Murti Mulyo Aji 2 1 Program Studi Agribisnis Program Magister

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 28 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Bulan Pebruari sampai April 2009, mengambil lokasi di 5 Kecamatan pada wilayah zona lahan kering dataran rendah

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output

VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN 7.1. Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output Perubahan-perubahan dalam faktor eksternal maupun kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI RAKYAT PADA KELOMPOK TANI DAN NON KELOMPOK TANI (suatu survey di Kelurahan Eka Jaya)

DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI RAKYAT PADA KELOMPOK TANI DAN NON KELOMPOK TANI (suatu survey di Kelurahan Eka Jaya) Volume, Nomor 2, Hal. 09-6 ISSN 0852-8349 Juli - Desember 2009 DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI RAKYAT PADA KELOMPOK TANI DAN NON KELOMPOK TANI (suatu survey di Kelurahan Eka Jaya) Muhammad Farhan dan Anna

Lebih terperinci

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009)

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009) 58 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF KAIN TENUN SUTERA PRODUKSI KABUPATEN GARUT Dewi Gustiani 1 dan Parulian Hutagaol 2 1 Alumni Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen - IPB

Lebih terperinci

ANALISIS SENSITIVITAS

ANALISIS SENSITIVITAS VII ANALISIS SENSITIVITAS 7.1. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari perubahan kurs mata uang rupiah, harga jeruk siam dan harga pupuk bersubsidi

Lebih terperinci

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008)

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008) 1 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PENGUSAHAAN KOMODITI JAGUNG DI KABUPATEN GROBOGAN A. Faroby Falatehan 1 dan Arif Wibowo 2 1 Departemen Ekonomi Sumberdaya Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan

Lebih terperinci

Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya)

Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya) Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya) Tirsa Neyatri Bandrang, Ronnie S. Natawidjaja, Maman Karmana Program Magister

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO Policy Impact of Import Restriction of Shallot on Farm in Probolinggo District Mohammad Wahyudin,

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING USAHA PEMBESARAN IKAN NILA PETANI PEMODAL KECIL DI KABUPATEN MUSI RAWAS

ANALISIS DAYA SAING USAHA PEMBESARAN IKAN NILA PETANI PEMODAL KECIL DI KABUPATEN MUSI RAWAS ANALISIS DAYA SAING USAHA PEMBESARAN IKAN NILA PETANI PEMODAL KECIL DI KABUPATEN MUSI RAWAS Competitiveness Analysis of Tilapia Grower Business of Small Farmers in Musi Rawas Regency Verry Yarda Ningsih,

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1.a. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata/signifikan terhadap produksi usahatani jagung

Lebih terperinci

ANALISIS DAYASAING USAHATANI JAGUNG DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA

ANALISIS DAYASAING USAHATANI JAGUNG DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ANALISIS DAYASAING USAHATANI JAGUNG DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA Zulkifli Mantau, Bahtiar, Aryanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo Jl. Kopi No.270 Kec. Tilongkabila

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 23 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan mutu yang baik dan biaya produksi

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO COMPETITIVENESS ANALYSIS OF SHALLOTS AGRIBUSINESS IN PROBOLINGGO REGENCY Competitiveness analysis of shallot business in Probolinggo

Lebih terperinci

(The analysis of profitability, comparative advantage, competitive advantage and import policy impact on beef cattle fattening in west java)

(The analysis of profitability, comparative advantage, competitive advantage and import policy impact on beef cattle fattening in west java) Analisis Tingkat Keuntungan, Keunggulan Kompetitif, Keunggulan Komparatif, dan Dampak Kebijakan Impor Pada Usaha Peternakan Sapi Potong di Provinsi Jawa Barat (The analysis of profitability, comparative

Lebih terperinci

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI

MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI Pendahuluan Sebelum melakukan analisis, data yang dipakai harus dikelompokkan dahulu : 1. Data Parametrik : data yang terukur dan dapat dibagi, contoh; analisis menggunakan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009 LAMPIRAN Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009 Uraian Jumlah (Rp) Total Ekspor (Xt) 1,211,049,484,895,820.00 Total Impor (Mt) 1,006,479,967,445,610.00 Penerimaan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian.

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian. 29 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang dipergunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. 4.1 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI Denti Juli Irawati*), Luhut Sihombing **), Rahmanta Ginting***) *) Alumni

Lebih terperinci

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian PENDAHULUAN POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN Dr. Adang Agustian 1) Salah satu peran strategis sektor pertanian dalam perekonomian nasional

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR 350 PARTNER, TAHUN 21 NOMOR 2, HALAMAN 350-358 ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR Krisna Setiawan Program Studi Manajemen Agribisnis Politeknik Pertanian Negeri Kupang Jalan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Analisis Daya Saing Dalam sistem perekonomian dunia yang semakin terbuka, faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan dunia (ekspor dan impor)

Lebih terperinci

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI Analisis sensitivitas perlu dilakukan karena analisis dalam metode

Lebih terperinci

Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan

Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan Muhammad Husaini Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. peneliti menggunakan konsep dasar dan batasan oprasional sebagai berikut:

III. METODE PENELITIAN. peneliti menggunakan konsep dasar dan batasan oprasional sebagai berikut: III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda pada penelitian ini, maka peneliti menggunakan konsep dasar dan batasan oprasional sebagai

Lebih terperinci

EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA

EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA Handewi P.S. Rachman, Supriyati, Saptana, Benny Rachman Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRACT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

Keunggulan Komparatif dan Kompetitif dalam Produksi Padi di Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung

Keunggulan Komparatif dan Kompetitif dalam Produksi Padi di Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol.10 (3): 185-199 ISSN 1410-5020 Keunggulan Komparatif dan Kompetitif dalam Produksi Padi di Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung Comparative Advantage and Competitive

Lebih terperinci

STUDI KELAYAKAN BISNIS ( Domestic Resource Cost )

STUDI KELAYAKAN BISNIS ( Domestic Resource Cost ) STUDI KELAYAKAN BISNIS ( Domestic Resource Cost ) Oleh: Dr Rita Nurmalina Suryana INSTITUT PERTANIAN BOGOR Domestic Resource Cost Of Earning or Saving a Unit of Foreign Exchange (Biaya Sumberdaya Domestik

Lebih terperinci

PENENTUAN PRODUK UNGGULAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN GIANYAR

PENENTUAN PRODUK UNGGULAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN GIANYAR PENENTUAN PRODUK UNGGULAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN GIANYAR I Ketut Arnawa Program Studi Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar E-mail: arnawa_62@yahoo.co.id ABSTRACT The main objective

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN KOPI ROBUSTA DALAM UPAYA MENINGKATKAN DAYA SAING DAN PENGUATAN REVITALISASI PERKEBUNAN

ANALISIS KEBIJAKAN KOPI ROBUSTA DALAM UPAYA MENINGKATKAN DAYA SAING DAN PENGUATAN REVITALISASI PERKEBUNAN ANALISIS KEBIJAKAN KOPI ROBUSTA DALAM UPAYA MENINGKATKAN DAYA SAING DAN PENGUATAN REVITALISASI PERKEBUNAN Anik Suwandari dan Soetriono Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian/ Agribisnis Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN Struktur Biaya Produksi Usahaternak Sapi Perah

KERANGKA PEMIKIRAN Struktur Biaya Produksi Usahaternak Sapi Perah III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Faktor-faktor Produksi Usahaternak Sapi Perah Produksi adalah suatu proses penting dalam usahaternak, menurut Raharja (2000), produksi adalah

Lebih terperinci

DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI

DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI I Made Tamba Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRAK Jagung, ketela pohon

Lebih terperinci

Pendapatan Rata-Rata Peternak Sapi Perah Per Ekor/Bulan

Pendapatan Rata-Rata Peternak Sapi Perah Per Ekor/Bulan LAMPIRAN 82 Lampiran 1. Pendapatan Rata-Rata Peternak Sapi Perah Per Ekor/Bulan No Keterangan Jumlah Satuan Harga Nilai A Penerimaan Penjualan Susu 532 Lt 2.930,00 1.558.760,00 Penjualan Sapi 1 Ekor 2.602.697,65

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN STRUKTUR PROTEKSI KOMODITAS PALAWIJA

ANALISIS DAYA SAING DAN STRUKTUR PROTEKSI KOMODITAS PALAWIJA ANALISIS DAYA SAING DAN STRUKTUR PROTEKSI KOMODITAS PALAWIJA I Wayan Rusastra, Benny Rachman dan Supena Friyatno Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 7 Bogor 16161

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup) Oleh: MERIKA SONDANG SINAGA A14304029 PROGRAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia hal ini bisa dilihat dari besarnya

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia hal ini bisa dilihat dari besarnya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia hal ini bisa dilihat dari besarnya sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Definisi operasional dan konsep dasar ini mencakup semua pengertian yang

III. METODE PENELITIAN. Definisi operasional dan konsep dasar ini mencakup semua pengertian yang III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional dan Konsep Dasar Definisi operasional dan konsep dasar ini mencakup semua pengertian yang dipergunakan untuk memperoleh data yang akan dianalisis sesuai dengan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang

Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang 131 Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II No Jenis Uji Satuan 1 Cemaran Binatang 2 Warna 3 Kadar Benda Asing (b/b) 4 Kadar Biji Enteng (b/b) 5 Kadar Cemaran Kapang 6 Kadar Warna Kehitam-hitaman

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI. I Made Tamba Ni Luh Pastini

DAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI. I Made Tamba Ni Luh Pastini DAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI I Made Tamba Ni Luh Pastini ABSTRACT Rice is high-valued commodities since pre-independence era. The paper aims to analyze impact

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA AGRIBISNIS AYAM RAS PEDAGING DI KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA AGRIBISNIS AYAM RAS PEDAGING DI KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA AGRIBISNIS AYAM RAS PEDAGING DI KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR NOVI ITSNA HIDAYATI Dosen Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan ABSTRACT:

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI KELAPA SAWIT DI KABUPATEN MUKOMUKO (STUDI KASUS DESA BUMI MULYA)

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI KELAPA SAWIT DI KABUPATEN MUKOMUKO (STUDI KASUS DESA BUMI MULYA) ANALISIS DAYA SAING USAHATANI KELAPA SAWIT DI KABUPATEN MUKOMUKO (STUDI KASUS DESA BUMI MULYA) ANALYSIS OF PALM OIL FARMING COMPETITIVENESS IN MUKOMUKO DISTRICT (CASE STUDY VILLAGE BUMI MULYA) Aprizal,

Lebih terperinci

Analysis of Competitiveness and Marketing Channels Ikan Kembung ( Rastrelliger sp.) in Rembang Regency, Central Java Effect

Analysis of Competitiveness and Marketing Channels Ikan Kembung ( Rastrelliger sp.) in Rembang Regency, Central Java Effect ANALISIS DAYA SAING DAN SALURAN PEMASARAN IKAN KEMBUNG (RASTRELLIGER SP.) DI KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH Analysis of Competitiveness and Marketing Channels Ikan Kembung ( Rastrelliger sp.) in Rembang

Lebih terperinci

DAMPAK DEPRESIASI RUPIAH TERHADAP DAYA SAING DAN TINGKAT PROTEKSI KOMODITAS PADI DI KABUPATEN BADUNG

DAMPAK DEPRESIASI RUPIAH TERHADAP DAYA SAING DAN TINGKAT PROTEKSI KOMODITAS PADI DI KABUPATEN BADUNG DAMPAK DEPRESIASI RUPIAH TERHADAP DAYA SAING DAN TINGKAT PROTEKSI KOMODITAS PADI DI KABUPATEN BADUNG Jarek Putradi Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Badung, Bali jarek.putradi@gmail.com

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG DAN USAHA BUDIDAYA IKAN PATIN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU SILVIA HAYANDANI

ANALISIS DAYA SAING USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG DAN USAHA BUDIDAYA IKAN PATIN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU SILVIA HAYANDANI ANALISIS DAYA SAING USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG DAN USAHA BUDIDAYA IKAN PATIN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU SILVIA HAYANDANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

Economics Development Analysis Journal

Economics Development Analysis Journal EDAJ 5 (4) (2016) Economics Development Analysis Journal http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/edaj ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI PAKAIAN JADI Awinda lutfina Ratnasari

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis Pada awalnya penelitian tentang sistem pertanian hanya terbatas pada tahap budidaya atau pola tanam, tetapi pada tahun

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN 8.1. Pengaruh Perubahan Harga Output dan Harga Input terhadap Penawaran Output dan Permintaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas Dayasaing sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu industri karena dayasaing merupakan kemampuan suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU Habitat Volume XXIV, No. 2, Bulan Agustus 2013 ISSN: 0853-5167 KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU COMPARATIVE ADVANTAGE

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENGEMBANGAN USAHATANI BAWANG MERAH DI KECAMATAN BULAKAMBA KABUPATEN BREBES

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENGEMBANGAN USAHATANI BAWANG MERAH DI KECAMATAN BULAKAMBA KABUPATEN BREBES Habitat Volume XXV, No. 1, Bulan April 2014 ISSN: 0853-5167 DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENGEMBANGAN USAHATANI BAWANG MERAH DI KECAMATAN BULAKAMBA KABUPATEN BREBES THE IMPACTS OF GOVERNMENT S

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk Studi mengenai jeruk telah dilakukan oleh banyak pihak, salah satunya oleh Sinuhaji (2001) yang melakukan penelitian mengenai Pengembangan Usahatani

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat kearah protein hewani telah meningkatkan kebutuhan akan daging sapi. Program

Lebih terperinci

SENSITIVITAS DAYA SAING JERUK LOKAL KABUPATEN JEMBER [SENSITIVITY OF JEMBER LOCAL CITRUS COMPETITIVENESS]

SENSITIVITAS DAYA SAING JERUK LOKAL KABUPATEN JEMBER [SENSITIVITY OF JEMBER LOCAL CITRUS COMPETITIVENESS] SENSITIVITAS DAYA SAING JERUK LOKAL KABUPATEN JEMBER [SENSITIVITY OF JEMBER LOCAL CITRUS COMPETITIVENESS] Henik Prayuginingsih 1) dan Oktarina 1) 1) Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Jember

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi Penelitian berada di Kabupaten Siak, Propinsi Riau. Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan bahwa, Propinsi Riau merupakan daerah dengan

Lebih terperinci

JIIA, VOLUME 4 No. 3 AGUSTUS 2016

JIIA, VOLUME 4 No. 3 AGUSTUS 2016 DAYA SAING BUDIDAYA AYAM RAS PEDAGING PADA BERBAGAI POLA USAHA (Competitiveness of Broiler Chicken Farming on Various Pattern) Maria Herawati, Dwi Haryono, Dyah Aring Hepiana Lestari Magister Agribisnis,

Lebih terperinci