V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 53 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Wilayah Kota Sukabumi Identifikasi tingkat perkembangan wilayah di Kota Sukabumi dilakukan pada unit wilayah kelurahan dan kecamatan yang dilihat dari nilai Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) untuk unit wilayah kecamatan dan nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD) untuk unit wilayah kelurahan. Nilai IPK dianalisis berdasarkan data jumlah keseluruhan fasilitas dan data rata-rata jarak terhadap fasilitas yang dijumpai di wilayah kecamatan sedangkan nilai IPD dianalisis berdasarkan data jumlah fasilitas dan data jarak terhadap fasilitas yang dijumpai di wilayah kelurahan. Data fasilitas dan data jarak terhadap fasilitas diperoleh dari Potensi Desa Kota Sukabumi Tahun 2003 dan Tahun Dari Podes Tahun 2003 dan Tahun 2008 tersebut dipilih 21 (dua puluh satu) jenis data yang terdiri dari 12 (dua belas) data jenis fasilitas (fasilitas pendidikan, kesehatan, dan ekonomi) dan 9 (sembilan) jenis data jarak (jarak terhadap fasilitas pendidikan, kesehatan, dan ekonomi). Jenis data yang digunakan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran Perkembangan Wilayah Kecamatan Dari analisis yang dilakukan terhadap data jumlah keseluruhan fasilitas dan data rata-rata jarak terhadap fasilitas tahun 2003 diperoleh hasil rataan Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) Kota Sukabumi yaitu dengan nilai minimum (Kecamatan Lembursitu) dan nilai maksimum (Kecamatan Cikole). Nilai rataan IPK tahun 2008 mengalami penurunan menjadi dengan nilai minimum (Kecamatan Lembursitu) dan nilai maksimum (Kecamatan Cikole). Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) dan Hirarki Kecamatan Tahun 2003 dan Tahun 2008 ditampilkan secara lengkap pada Lampiran 5 dan 6 sedangkan tingkat perkembangan wilayah kecamatan di Kota Sukabumi Tahun 2003 dan 2008 ditampilkan pada Tabel 19.

2 54 Tabel 19. Tingkat Perkembangan Wilayah Kecamatan Tahun 2003 dan Tahun 2008 Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) Jumlah Jenis Fasilitas (Unit) Kecamatan Hirarki Wilayah Cikole Hirarki 1 Hirarki 1 Citamiang Hirarki 2 Hirarki 2 Gunung Puyuh Hirarki 2 Hirarki 2 Warudoyong Hirarki 3 Hirarki 3 Baros Hirarki 3 Hirarki 3 Cibeureum Hirarki 3 Hirarki 3 Lembursitu Hirarki 3 Hirarki 3 Sumber : Hasil Analisis (2011) Keterangan : 1. Nilai IPK Hirarki I = > (Thn 2003) dan > (Thn 2008) 2. Nilai IPK Hirarki II = (Thn 2003) dan (Thn 2008) 3. Nilai IPK Hirarki III = < (Thn 2003) dan nilai IPD < (Thn 2008) Berdasarkan hasil analisis, hanya 1 (satu) kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah Hirarki I yaitu Kecamatan Cikole. Adapun kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah Hirarki II adalah Kecamatan Gunung Puyuh dan Kecamatan Citamiang. Kecamatan lainnya yaitu Kecamatan Warudoyong, Kecamatan Baros, Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Lembursitu termasuk ke dalam wilayah Hirarki III. Dilihat dari nilai IPK, terdapat penurunan nilai IPK dari tahun 2003 ke tahun Hal ini disebabkan karena analisis skalogram menggunakan perbandingan jumlah fasilitas dan rata-rata jarak terhadap fasilitas di setiap kecamatan sehingga memiliki sifat relatif. Sebagai dampaknya, apabila suatu wilayah kecamatan mengalami penambahan jumlah fasilitas sehingga jarak terhadap fasilitas menjadi lebih dekat, nilai IPK pada kecamatan tersebut akan mengalami peningkatan dan nilai IPK kecamatan lain seolah-olah mengalami penurunan. Setelah dilakukan penghitungan nilai IPK, hasil akhir pada analisis tingkat perkembangan kemudian disusun berdasarkan jumlah jenis fasilitas dan ditentukan hirarki wilayahnya. Hirarki kecamatan menunjukkan wilayah-wilayah yang berada pada level perkembangan yang sama. Wilayah Kota Sukabumi mengalami pemekaran pada tahun 2000, dimana berdasarkan Perda Nomor 15 Tahun 2000 tanggal 27 September 2000, Kecamatan Baros dimekarkan menjadi 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Lembur Situ,

3 55 Kecamatan Baros dan Kecamatan Cibeureum, yang diistilahkan dengan Kota Baru dan memiliki ciri utama pertanian, sedangkan 4 (empat) kecamatan yang sudah ada (existing) diistilahkan dengan Kota Lama. Pemekaran yang terjadi menyebabkan wilayah Kota Sukabumi memiliki tingkat perkembangan yang berbeda dimana hal ini mendorong pengembangan wilayah Kota Baru sehingga diharapkan perkembangan Kota Sukabumi dapat lebih merata. Adapun dasar pengembangan wilayah Kota Baru yang terletak di selatan Kota Sukabumi adalah Urban Development sedangkan dasar pengembangan wilayah Kota Lama yang terletak di utara Kota Sukabumi adalah Urban Renewal. Kecamatan Cikole adalah kecamatan wilayah Hirarki I yang terletak di sebelah utara Kota Sukabumi dan termasuk ke dalam wilayah Kota Lama. Kecamatan Cikole merupakan BWK II pusat Kota Sukabumi yang terdiri dari 6 (enam) wilayah Kelurahan yaitu Kelurahan Cikole, Kelurahan Kebonjati, Kelurahan Gunungparang, Kelurahan Selabatu, Kelurahan Subangjaya dan Kelurahan Cisarua. Fungsi utama kawasan dari Kecamatan Cikole adalah perdagangan dan jasa, pemerintahan/ perkantoran, perumahan serta pariwisata. Kawasan permukiman di Kecamatan Cikole menyebar mengikuti pola linier dan konsentris pada pusat-pusat pertumbuhan. Kawasan pertanian dengan luas terbatas juga terdapat di Kecamatan Cikole yaitu di sebelah utara Kelurahan Subang Jaya, sebelah utara Kelurahan Cisarua dan sebelah utara Kelurahan Selabatu (Dinas Tata Ruang, Lingkungan Hidup, dan Permukiman Kota Sukabumi, 2004). Dilihat dari fungsi kawasan sebagai pusat kota, Kecamatan Cikole memiliki jumlah jenis fasilitas pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang sangat lengkap. Oleh karena itu, aksesibilitas baik jarak tempuh maupun kemudahan mencapai fasilitas sangat baik karena beragam fasilitas dimilikinya sendiri sehingga aktivitas masyarakat di wilayah ini sangat tinggi dan beragam. Tingkat perkembangan yang lebih tinggi dimiliki kecamatan ini sebagai dampak dari kebijakan Kota Sukabumi dimana pada awalnya perkembangan fisik bersifat sentralistik (concentric) di wilayah Kota Lama dimana Kecamatan Cikole sebagai pusatnya sehingga penggunaan lahan di Kecamatan Cikole didominasi oleh areal lahan terbangun.

4 56 Kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah Hirarki II adalah Kecamatan Gunung Puyuh dan Kecamatan Citamiang. Kedua kecamatan tersebut memiliki jumlah fasilitas lebih sedikit namun memiliki aksesibilitas lebih baik karena berbatasan langsung dengan Kecamatan Cikole yang merupakan pusat kota. Secara umum, kecamatan yang masuk wilayah hirarki I dan hirarki II merupakan bagian dari Kota Lama yang lebih dahulu berkembang. Kecamatan Citamiang termasuk ke dalam BWK IV Kota Sukabumi dengan fungsi utama kawasan yaitu perdagangan dan perumahan dengan komponen utama kawasan adalah perdagangan, industri, perumahan serta kawasan hijau sedangkan Kecamatan Gunungpuyuh termasuk ke dalam BWK I Kota Sukabumi dengan fungsi utama kawasan perumahan dengan komponen utama kawasan mencakup perumahan, perdagangan, pendidikan tinggi dan hutan kota (Dinas Tata Ruang, Lingkungan Hidup, dan Permukiman Kota Sukabumi, 2004). Berdasarkan data Podes Tahun 2003 dan 2008, apabila dibandingkan dengan Kecamatan Cikole, jenis fasilitas yang tidak dimiliki Kecamatan Citamiang dan Kecamatan Gunungpuyuh adalah fasilitas pendidikan tinggi (akademi/perguruan tinggi) dan pondok pesantren/madrasah diniyah. Oleh karena itu, jarak tempuh terhadap fasilitas menjadi lebih jauh namun karena kedua kecamatan tersebut dekat dengan Kecamatan Cikole (Hirarki I), ditunjang dengan adanya infrastruktur berupa jalan arteri, maka kemudahan mencapai fasilitas relatif lebih baik. Perkembangan di wilayah Kecamatan Citamiang dan Gunungpuyuh terjadi searah dengan perbaikan infrastruktur dan pertumbuhan di wilayah tersebut. Kecamatan lainnya yaitu Kecamatan Warudoyong, Kecamatan Baros, Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Lembursitu termasuk kedalam wilayah Hirarki III karena memiliki jumlah fasilitas yang relatif lebih sedikit dan aksesibilitas yang relatif kurang baik karena keempat kecamatan ini terletak jauh dari pusat kota. Kecamatan Warudoyong walaupun merupakan bagian dari Kota Lama, terletak di sebelah selatan dari wilayah Kota Baru dan memiliki jumlah fasilitas lebih sedikit dibandingkan kecamatan lainnya di wilayah Kota Baru. Berdasarkan Data Podes Tahun 2003 dan 2008, fasilitas yang tidak terdapat di 4 (empat) kecamatan ini adalah fasilitas pendidikan (SLTP, SLTA,dan

5 57 akademi/perguruan tinggi), fasilitas kesehatan (apotik) dan fasilitas ekonomi (hotel/penginapan) sehingga jumlah jenis fasilitasnya lebih sedikit. Oleh karena itu, aksesibilitas berupa jarak tempuh menjadi lebih jauh karena fasilitas tersebut terdapat di luar wilayahnya. Kecamatan Warudoyong, Kecamatan Baros, Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Lembursitu memiliki ciri utama pertanian dan masih memiliki areal pertanian yang cukup luas. Dengan kata lain, areal non terbangun di wilayah ini masih luas sehingga pembangunan fasilitas mengarah ke wilayah Hirarki III. Untuk menciptakan perkembangan antar wilayah yang berimbang di Kota Sukabumi, Pemerintah Kota Sukabumi menerapkan strategi pengembangan dengan banyak pusat secara menyebar diantaranya dengan memanfaatkan daya tarik jalan lingkar selatan untuk mengembangkan salah satu pusat kegiatan baru berskala regional. Oleh karena itu, diterapkan strategi penataan bipolar yang dapat menstimulan perkembangan wilayah Kota Sukabumi di bagian selatan (Kota Baru). Sebaran hirarki kecamatan Kota Sukabumi ditampilkan pada Gambar 9. Gambar 9. Peta Sebaran Hirarki Kecamatan Kota Sukabumi

6 Perkembangan Wilayah Kelurahan Dari analisis yang dilakukan terhadap data fasilitas dan data jarak terhadap fasilitas tahun 2003 diperoleh hasil rataan Indeks Perkembangan Desa (IPD) Kota Sukabumi yaitu dengan nilai minimum 8.17 (Kelurahan Cisarua) dan nilai maksimum (Kelurahan Cikole). Nilai rataan IPD tahun 2008 mengalami peningkatan 22,22 % menjadi dengan nilai minimum 6.68 (Kelurahan Jayaraksa) dan nilai maksimum (Kelurahan Cikole). Dalam kurun waktu tahun 2003 hingga tahun 2008, jumlah wilayah Hirarki I mengalami peningkatan jumlah yaitu dari 4 (empat) kelurahan menjadi 5 (lima) kelurahan, sedangkan jumlah wilayah Hirarki II mengalami pengurangan jumlah dari 10 (sepuluh) kelurahan menjadi 9 (sembilan) kelurahan karena 1 (satu) kelurahan mengalami peningkatan nilai IPD sehingga masuk ke dalam wilayah Hirarki I. Jumlah kelurahan pada wilayah Hirarki III adalah tetap yaitu 19 (sembilan belas) kelurahan. Tingkat perkembangan wilayah desa di Kota Sukabumi Tahun 2003 dan 2008 ditampilkan pada Tabel 20 sedangkan perbandingan jumlah kelurahan pada setiap hirarki tahun 2003 dan tahun 2008 ditampilkan pada Gambar 10. Indeks Perkembangan Desa (IPD) dan hirarki kelurahan tahun 2003 dan 2008 ditampilkan secara lengkap pada Lampiran 7 dan 8.

7 59 Tabel 20. Tingkat Perkembangan Wilayah Desa Tahun 2003 dan Tahun 2008 No Kelurahan Indeks Perkembangan Desa (IPD) Jumlah Jenis Fasilitas (Unit) Hirarki Wilayah Cikole Hirarki 1 Hirarki 1 2 Gunungparang Hirarki 1 Hirarki 1 3 Nyomplong Hirarki 1 Hirarki 1 4 Gunungpuyuh Hirarki 1 Hirarki 1 5 Selabatu Hirarki 2 Hirarki 1 6 Cipanengah Hirarki 2 Hirarki 2 7 Kebonjati Hirarki 2 Hirarki 2 8 Sriwidari Hirarki 2 Hirarki 3 9 Sukakarya Hirarki 2 Hirarki 2 10 Karamat Hirarki 2 Hirarki 2 11 Subangjaya Hirarki 2 Hirarki 3 12 Cikondang Hirarki 2 Hirarki 2 13 Nanggeleng Hirarki 2 Hirarki 3 14 Citamiang Hirarki 2 Hirarki 3 15 Gedongpanjang Hirarki 3 Hirarki 2 16 Karangtengah Hirarki 3 Hirarki 3 17 Lembursitu Hirarki 3 Hirarki 2 18 Baros Hirarki 3 Hirarki 3 19 Limusnunggal Hirarki 3 Hirarki 2 20 Benteng Hirarki 3 Hirarki 2 21 Tipar Hirarki 3 Hirarki 3 22 Jayamekar Hirarki 3 Hirarki 3 23 Cikundul Hirarki 3 Hirarki 3 24 Dayeuhluhur Hirarki 3 Hirarki 3 25 Situmekar Hirarki 3 Hirarki 3 26 Sindangsari Hirarki 3 Hirarki 3 27 Babakan Hirarki 3 Hirarki 3 28 Warudoyong Hirarki 3 Hirarki 3 29 Jayaraksa Hirarki 3 Hirarki 3 30 Sudajayahilir Hirarki 3 Hirarki 3 31 Cibeureumhilir Hirarki 3 Hirarki 3 32 Sindangpalay Hirarki 3 Hirarki 3 33 Cisarua Hirarki 3 Hirarki 3 Sumber : Hasil Analisis (2011) Keterangan : 1. Nilai IPD Hirarki I = > (Thn 2003) dan > (Thn 2008) 2. Nilai IPD Hirarki II = (Thn 2003) dan (Thn 2008) 3. Nilai IPD Hirarki III = < (Thn 2003) dan nilai IPD < (Thn 2008)

8 60 Jumlah Kelurahan Perbandingan Hirarki Kelurahan Tahun 2003 dan % % % % 15.15% Hirarki I Hirarki II Hirarki III % Gambar 10. Grafik Perbandingan Hirarki Kelurahan Tahun 2003 dan Tahun 2008 Kelurahan Cikole, Kelurahan Gunungparang, Kelurahan Nyomplong, Kelurahan Gunungpuyuh dan Kelurahan Selabatu termasuk ke dalam wilayah Hirarki I. Kelurahan Selabatu mengalami peningkatan nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD) sehingga berubah dari wilayah Hirarki II pada tahun 2003 menjadi wilayah Hirarki I pada tahun 2008 (Tabel 19). Secara umum, kelima kelurahan tersebut memiliki fasilitas pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang cukup lengkap sehingga aksesibilitas baik jarak maupun kemudahan untuk mencapai fasilitas tersebut sangat baik. Kelengkapan fasilitas dan aksesibilitas yang baik memudahkan masyarakat mendapatkan pelayanan sehingga dapat dikatakan aktivitas di wilayah ini cukup tinggi dan menunjukkan tingkat perkembangan kelurahan yang lebih tinggi sehingga dapat dijadikan pusat pelayanan bagi kelurahan-kelurahan yang ada di sekitarnya. Kelurahan Cikole, Kelurahan Gunungparang dan Kelurahan Selabatu terletak di Kecamatan Cikole yang merupakan wilayah kecamatan Hirarki I sebagai pusat Kota Sukabumi. Kelurahan Selabatu mengalami peningkatan perkembangan wilayah dengan adanya penambahan fasilitas pendidikan (taman kanak-kanak serta akademi/perguruan tinggi). Kelurahan Gunungpuyuh termasuk

9 61 ke dalam Kecamatan Gunungpuyuh yang merupakan wilayah kecamatan Hirarki II sebagai pusat BWK II dan memiliki akses berupa jalan arteri sehingga memiliki aksesibilitas terhadap fasilitas di wilayah Hirarki I yang cukup baik. Kelurahan Nyomplong termasuk ke dalam Kecamatan Warudoyong yang merupakan kecamatan wilayah Hirarki III namun kelengkapan fasilitas, aksesibilitas yang baik dan kedekatan dengan pusat kota menjadikan Kelurahan Nyomplong termasuk ke dalam kelurahan Hirarki I. Kelurahan yang termasuk ke dalam wilayah Hirarki II berjumlah 9 (sembilan) kelurahan. Pada tahun 2008, terdapat penurunan jumlah wilayah Hirarki II yaitu dari 10 (sepuluh) kelurahan menjadi 9 (sembilan) kelurahan (Gambar 11). Terdapat 5 (lima) kelurahan yang tetap berada pada wilayah Hirarki II yaitu Kelurahan Cipanengah, Kelurahan Kebonjati, Kelurahan Sukakarya, Kelurahan Karamat dan Kelurahan Cikondang. Selain itu terdapat 4 (empat) kelurahan yang mengalami peningkatan nilai IPD sehingga berubah dari wilayah Hirarki III ke Hirarki II yaitu Kelurahan Gedongpanjang, Kelurahan Lembursitu, Kelurahan Limusnunggal dan Kelurahan Benteng. Wilayah yang terdapat pada Hirarki II ini memiliki nilai IPD lebih rendah dari wilayah Hirarki I karena jumlah fasilitas lebih sedikit dibandingkan wilayah-wilayah yang berada pada Hirarki I sehingga jarak terhadap fasilitas juga menjadi lebih tinggi. Kelurahan Kebonjati walaupun merupakan bagian dari Kecamatan Cikole (kecamatan Hirarki I), termasuk ke dalam kelurahan Hirarki II karena fungsi utama Kelurahan Kebonjati adalah perumahan dan permukiman sehingga jumlah jenis fasilitas lebih sedikit dibandingkan dengan kelurahan lain di Kecamatan Cikole yaitu Kelurahan Cikole, Kelurahan Gunungparang dan Kelurahan Selabatu yang termasuk ke dalam wilayah Hirarki I. Kelurahan Karamat termasuk ke dalam Kecamatan Gunungpuyuh sedangkan Kelurahan Cikondang dan Kelurahan Gedongpanjang termasuk ke dalam Kecamatan Citamiang yang merupakan kecamatan Wilayah Hirarki II. Kelurahan Gedongpanjang mengalami kenaikan nilai IPD dan naik dari wilayah Hirarki III menjadi Hirarki II karena mengalami penambahan jumlah jenis fasilitas berupa fasilitas pendidikan (taman kanak-kanak) sehingga aksesibilitas terhadap fasilitas ini menjadi lebih baik. Kondisi umum wilayah pada Hirarki II

10 62 tidak memiliki fasilitas pendidikan berupa sekolah menengah umum/kejuruan dan akademi/perguruan tinggi serta fasilitas penunjang kesehatan (apotik) namun karena memiliki kedekatan dengan wilayah di Hirarki I, memudahkan masyarakat untuk mengakses fasilitas yang tidak dimilikinya. Pada tahun 2008, terdapat 19 (sembilan belas) kelurahan yang termasuk wilayah hirarki III. Sebanyak 15 (lima belas) kelurahan tetap berada pada wilayah Hirarki III dan terdapat 4 (empat) kelurahan yang mengalami penurunan nilai IPD yang berasal dari wilayah Hirarki II sehingga masuk ke dalam wilayah Hirarki III yaitu Kelurahan Subangjaya, Kelurahan Nanggeleng, Kelurahan Sriwedari dan Kelurahan Citamiang. Wilayah pada Hirarki III memiliki nilai IPD lebih jecil dibandingkan wilayah lainnya karena memiliki jumlah fasilitas yang lebih sedikit sehingga berimplikasi pada aksesibilitas terutama jarak tempuh terhadap fasilitas baik fasilitas pendidikan, kesehatan maupun ekonomi yang lebih jauh. Oleh karena itu, aktivitas masyarakat di wilayah ini relatif lebih rendah dari wilayah lainnya. Secara spasial, peta sebaran hirarki desa/kelurahan tahun 2003 dan tahun 2008 ditampilkan pada Lampiran 9 dan Penggunaan Lahan di Kota Sukabumi Berdasarkan hasil interpretasi visual pada data penginderaan jauh (Foto Udara tahun 2002 dan citra Quickbird tahun 2007) diperoleh 8 (delapan) tipe penggunaan lahan yaitu infrastruktur kota, pemukiman, tegalan, kolam ikan air tawar, sawah, RTH Non-Pertanian dan sungai. Tipe penggunaan lahan yang teridentifikasi serta deskripsi masing-masing tipe penggunaan lahan ditampilkan pada Tabel 21.

11 63 Tabel 21. Tipe Penggunaan Lahan yang Teridentifikasi dan Deskripsi Masingmasing Tipe Penggunaan Lahan di Kota Sukabumi No. Kelas Penggunaan Lahan Deskripsi Kelas Penggunaan Lahan 1. Infrastruktur kota* Kebutuhan dasar fisik yang diperlukan untuk jaminan ekonomi sektor publik dan sektor privat sebagai layanan dan fasilitas yang diperlukan agar perekonomian dapat berfungsi dengan baik diantaranya fasilitas yang mendukung jaringan struktur seperti jalan, kereta api, air bersih, bandara, kanal, waduk, tanggul, pengelolahan limbah, perlistrikan, telekomunikasi dan pelabuhan. Termasuk pula infrastruktur sosial yaitu kebutuhan dasar seperti sekolah dan rumah sakit. 2. Pemukiman areal lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan, serta merupakan bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang merupakan pemukiman perkotaan maupun pedesaan 3. Sawah areal atau bidang lahan yang diusahakan untuk kegiatan pertanian lahan basah dengan tanaman yang diusahakan berupa padi 4. Tegalan areal atau bidang lahan yang diusahakan untuk kegiatan pertanian lahan kering dengan vegetasi yang diusahakan berupa tanaman semusim baik palawija maupun hortikultura 5. Kolam Ikan Air Tawar areal lahan dengan penggenangan yang berfungsi untuk perikanan air tawar 6. Peternakan areal lahan yang digunakan untuk usaha pemeliharaan dan pembiakan ternak 7. RTH Non-Pertanian* Areal yang digunakan untuk tumbuhan dan tanaman bukan komoditi pertanian guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Termasuk pula penggunaan lain seperti lahan terbuka. 8. Sungai Tempat mengalirnya air yang bersifat alamiah Sumber : SNI Keterangan : * Sumber dari www. Wikipedia.org

12 Penggunaan Lahan Tahun 2002 dan 2007 Penggunaan lahan di Kota Sukabumi baik pada tahun 2002 dan tahun 2007 didominasi oleh penggunaan lahan sawah, pemukiman dan RTH Non- Pertanian diikuti oleh penggunaan lahan tegalan, infrastruktur kota, kolam ikan air tawar, sungai dan peternakan. Persentasi penggunaan lahan tahun 2002 dan 2007 di Kota Sukabumi ditampilkan pada Tabel 22 sedangkan keluaran hasil berupa peta penggunaan lahan tahun 2002 dan peta penggunaan lahan tahun 2007 ditampilkan pada Gambar 11 dan 12. Tabel 22. Penggunaan Lahan Tahun 2002 dan Tahun 2007 di Kota Sukabumi Penggunaan Lahan Tahun 2002 Tahun 2007 Perubahan Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) % Infrastruktur Kota Pemukiman 1, , Sawah 1, , Tegalan Kolam Ikan Air Tawar Peternakan RTH Non-Pertanian 1, , Sungai Jumlah 4, , Sumber : Hasil Analisis (2012)

13 Gambar 11. Peta Penggunaan Lahan Tahun 2002 Kota Sukabumi 65

14 66 Gambar 12. Peta Penggunaan Lahan Tahun 2007 Kota Sukabumi

15 67 Dominasi penggunaan lahan sawah di Kota Sukabumi disebabkan masih luasnya areal sawah terutama di 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Baros, Kecamatan Cibeureum, dan Kecamatan Lembursitu yang merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Baros dan merupakan hasil penggabungan dari Kabupaten Sukabumi. Berdasarkan Perda Nomor 15 Tahun 2000 tanggal 27 September 2000, Kecamatan Baros dimekarkan menjadi 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Lembur Situ, Kecamatan Baros dan Kecamatan Cibeureum, yang diistilahkan dengan Kota Baru dan memiliki ciri utama pertanian dengan luas lahan sawah 1.170,39 ha (tahun 2002) berkurang menjadi 1.151,18 ha (tahun 2007). Perubahan penggunaan lahan yang paling banyak mengalami pengurangan luas adalah sawah (24.83 ha), RTH Non-Pertanian(23.48 ha), tegalan (9.69 ha) dan kolam ikan air tawar (0.04 ha). Penggunaan lahan yang mengalami peningkatan luas terbanyak adalah pemukiman (44.40 ha) dan infrastruktur kota (12.66 ha). Penambahan luas penggunaan lahan pemukiman terbanyak berasal dari penggunaan lahan sawah, RTH Non-Pertanian dan tegalan dengan luas lahan yang terkonversi masing-masing sebanyak 21.3 ha, 17.1 ha dan 6.3 ha. Penambahan luas penggunaan lahan infrastruktur kota juga terbanyak berasal dari penggunaan lahan sawah, RTH Non-Pertanian dan tegalan dengan luas lahan yang terkonversi masing-masing sebanyak 4.0 ha, 3.9 ha dan 3.6 ha. Perubahan penggunaan lahan dari satu penggunaan lahan ke penggunaan lahan lainnya di Kota Sukabumi secara lengkap ditampilkan pada Tabel 23.

16 68 Tabel 23. Luas Perubahan Penggunaan Lahan di Kota Sukabumi Tahun dalam Hektar (ha) LUAS PENGGUNAAN LAHAN TAHUN 2002 (ha) Infrastruktur Kota Tegalan Kolam Ikan Air Tawar LUAS PENGGUNAAN LAHAN TAHUN 2007 (ha) Pemukiman Peternakan RTH Non- Pertanian Sawah Sungai Jumlah Infrastruktur Kota Tegalan Kolam Ikan Air Tawar Pemukiman , ,282.5 Peternakan RTH Non-Pertanian , ,034.5 Sawah , ,698.2 Sungai Jumlah , , , ,904.9 Sumber : Hasil Analisis (2012) 68

17 69 Apabila dicermati, jenis penggunaan lahan yang mengalami pengurangan luas adalah penggunaan lahan sawah, RTH Non Pertanian dan tegalan sedangkan jenis penggunaan lahan yang mengalami penambahan luas adalah pemukiman, infrastruktur kota dan peternakan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Budiyanto (2011) yaitu fenomena dikorbankannya suatu pemanfaatan lahan untuk pemanfaatan lain ditimbulkan oleh sifat lahan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan yang sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan kebudayaan manusia. Rustiadi dan Wafda (2007) juga mengemukakan bahwa proses alih fungsi lahan pada dasarnya dapat dipandang sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Berdasarkan hasil analisis jumlah penduduk Kota Sukabumi tahun , rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Kota Sukabumi adalah LPP di Kecamatan Gunungpuyuh dan di 3 (tiga) kecamatan hasil pemekaran (Kota Baru) berada di atas rata-rata LPP Kota Sukabumi yaitu 3.83 di Kecamatan Cibeureum, 2.84 di Kecamatan Baros, 2.72 di Kecamatan Gunungpuyuh dan 2.26 di Kecamatan Lembursitu. Nilai tersebut menujukkan bahwa pertambahan penduduk di keempat kecamatan tersebut relatif tinggi sehingga secara otomatis meningkatkan kebutuhan lahan untuk pemukiman. Laju Pertumbuhan Penduduk di 3 (tiga) kecamatan lainnya yaitu 0.68 di Kecamatan Cikole, 0.73 di Kecamatan Citamiang dan 1.27 di Kecamatan Warudoyong relatif lebih kecil dari LPP Kota Sukabumi karena ketiga kecamatan tersebut merupakan kawasan padat penduduk sehingga memiliki pertumbuhan jumlah penduduk lebih sedikit. Pembangunan perumahan di wilayah Kota Lama yang memiliki LPP lebih rendah dari LPP Kota Sukabumi dan merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan lebih tinggi (Hirarki I dan Hirarki II) merupakan salah satu bentuk konsekuensi dari adanya keinginan masyarakat untuk mendapatkan kemudahan pencapaian terhadap fasilitas. Wilayah Kota Baru memiliki LPP lebih rendah dari LPP Kota Sukabumi dan merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan rendah (Hirarki III) sehingga pembangunan pemukiman dan infrastruktur kota sebagai fasilitas yang mendukung aktivitas masyarakat cukup banyak terjadi. Selain itu, luas areal non terbangun (berasal dari lahan pertanian) masih cukup

18 70 luas sehingga masih memungkinkan dilakukannya pembangunan fisik. Pembangunan perumahan di wilayah Kota Baru mayoritas merupakan pembangunan kompleks perumahan baru atau dalam bentuk kavling-kavling perumahan yang tentunya dari sisi luasan membutuhkan luas lahan yang relatif tinggi. Kebijakan pengembangan pusat pelayanan di wilayah Kota Baru dengan dibangunnya jalan lingkar selatan dapat menstimulan perkembangan wilayah tersebut sekaligus mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan terutama dari lahan pertanian dan RTH Non-Pertanian menjadi lahan terbangun yaitu infrastruktur kota dan pemukiman. Pembangunan jalan lingkar selatan telah mengakuisisi lahan sawah dan telah meningkatkan harga lahan di sekitar jalan lingkar selatan tersebut sehingga perubahan penggunaan lahan di sekitarnya pun cukup tinggi. Berdasarkan hasil cek lapang yang telah dilakukan, perubahan penggunaan lahan yang banyak terjadi pada kurun tahun adalah perubahan penggunaan lahan sawah, RTH Non-Pertanian, dan tegalan menjadi pemukiman dan infrastruktur kota (jalan lingkar selatan). Titik koordinat lokasi pengecekan lapang dan peta hasil pengecekan lapang terlampir pada Lampiran 11 dan 12. Perubahan penggunaan lahan pertanian (sawah) menjadi lahan terbangun (pemukiman dan infrastruktur kota) juga terkait dengan nilai land rent sebagaimana dinyatakan Rustiadi et al. (2009) bahwa alih fungsi lahan di suatu lokasi mengarah pada penggunaan lahan dengan land rent tertinggi dan konversi berlangsung searah dan bersifat tidak dapat balik. Menurut Rustiadi dan Wafda (2007), nilai land rent untuk penggunaan pertanian adalah 1 : 500 terhadap sektor industri, 1 : 622 terhadap perumahan, dan 1 : 14 terhadap pariwisata sehingga konversi lahan pertanian ke bentuk lain tidak dapat dihindarkan Pemusatan dan Pergeseran Perubahan Penggunaan Lahan Pemusatan perubahan penggunaan lahan merupakan lokasi terjadinya konsentrasi perubahan penggunaan lahan sedangkan pergeseran penggunaan lahan menunjukkan terjadinya pengurangan atau penambahan luas penggunaan lahan. Identifikasi pemusatan perubahan penggunaan lahan dianalisis dengan menggunakan metode analisis Location Quotient (LQ) dimana nilai LQ >1

19 71 menjelaskan lokasi yang menjadi konsentrasi aktivitas perubahan penggunaan lahan tertentu. Pergeseran penggunaan lahan dianalisis dengan menggunakan metode Shift-share Analysis (SSA) dimana komponen yang digunakan adalah komponen proportional shift (untuk menjelaskan pergeseran perubahan penggunaan lahan secara agregat di Kota Sukabumi) dan komponen differential shift (untuk menjelaskan pergeseran perubahan penggunaan lahan di sub wilayah). Hasil analisis LQ maupun analisis SSA yang dilakukan memiliki tujuan untuk menjelaskan perubahan masing-masing penggunaan lahan pada tahun 2002 dan tahun 2007 (Tabel 22) dikarenakan matriks transformasi hanya menjelaskan luas perubahan suatu penggunaan lahan menjadi penggunaan lahan lainnya tanpa menjelaskan dimana lokasi terjadinya perubahan tersebut. Berdasarkan hasil analisis SSA, nilai proportional shift penggunaan lahan di Kota Sukabumi selama kurun waktu ditampilkan pada Tabel 24. Tabel 24. Nilai Proportional Shift Penggunaan Lahan di Kota Sukabumi dalam Kurun Waktu No. Jenis Penggunaan Lahan Nilai Proportional Shift 1 Infrastruktur Kota Pemukiman Sawah Tegalan Kolam Ikan Air Tawar Peternakan RTH Non-Pertanian Sungai Sumber : Hasil Analisis (2012) Berdasarkan nilai pada komponen proportional shift, penggunaan lahan yang mengalami pergeseran secara agregat di Kota Sukabumi berupa penambahan luas adalah infrastruktur kota, pemukiman dan peternakan sedangkan yang mengalami pergeseran berupa pengurangan luas adalah tegalan, RTH Non- Pertanian dan sawah. Hasil pada komponen proportional shift akan dijadikan sebagai dasar dalam analisis pemusatan dan pergeseran perubahan penggunaan lahan.

20 72 Pemusatan dan pergeseran penggunaan lahan dianalisis dengan menggunakan metode analisis LQ dan SSA (komponen differential shift). Kelurahan yang menjadi lokasi pemusatan perubahan penggunaan lahan memiliki nilai LQ>1 sedangkan pergeseran penggunaan lahan memiliki nilai DS negatif (-) untuk laju pengurangan luas atau nilai DS positif (+) laju penambahan luas. Secara spasial dapat dilihat pula pola pemusatan yang terjadi yaitu : 1. Pola Menyebar apabila area (polygon) yang mengalami perubahan di lokasi pemusatan perubahan penggunaan lahan bersifat tidak konsentris atau mengumpul di salah satu bagian lokasi, dan 2. Pola Terpusat apabila area (polygon) yang mengalami perubahan di lokasi pemusatan perubahan penggunaan lahan bersifat konsentris atau mengumpul di salah satu bagian lokasi. Lokasi pemusatan dan pergeseran perubahan penggunaan lahan ditampilkan pada Tabel 25 sedangkan hasil analisis LQ dan DS secara lengkap ditampilkan pada Lampiran 13. Tabel 25. Lokasi Pemusatan dan Pergeseran Perubahan Penggunaan Lahan di Kota Sukabumi No Penggunaan Lahan Kelurahan Lokasi Pemusatan Pola Pemusatan Pengurangan Luas 1 Tegalan Baros, Cikole, Cikondang, Dayeuhluhur, Tersebar Gedongpanjang, Nanggeleng, Selabatu, Sindangpalay, Situmekar, Sudajaya Hilir, Warudoyong 2 RTH Non- Gunungparang, Karamat, Kebonjati, Limusnunggal, Terpusat Pertanian Selabatu, Sriwedari, Subangjaya, Tipar 3 Sawah Babakan, Benteng, Cibeureum Hilir, Citamiang, Terpusat Cipanengah, Nyomplong Penambahan Luas 4 Infrastruktur Kota Baros, Benteng, Cikondang, Cikundul, Cipanengah, Tersebar Gedongpanjang, Karangtengah, Sudajaya Hilir, Sukakarya. 5 Pemukiman Babakan, Cibeureum Hilir, Limusnunggal, Terpusat Nanggeleng, Sindangpalay, Subangjaya 6 Peternakan Situmekar Terpusat Sumber : Hasil Analisis (2012)

21 73 Lokasi yang menjadi pemusatan perubahan dan pengurangan luas lahan tegalan sekaligus merupakan lokasi pemusatan perubahan dan penambahan luas infrastruktur kota adalah Kelurahan Baros, Kelurahan Cikondang dan Kelurahan Gedongpanjang dengan pemusatan perubahan yang terjadi memiliki pola tersebar. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi adalah lahan tegalan menjadi infrastruktur kota. Pembangunan infrastruktur kota di Kelurahan Cikondang dan Kelurahan Gedongpanjang (wilayah Hirarki II) serta Kelurahan Baros (wilayah Hirarki II) adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan salah satu bentuk dari upaya peningkatan perkembangan wilayah di ketiga kelurahan tersebut. Secara spasial, pemusatan perubahan penggunaan lahan tegalan ditampilkan pada Gambar 13 sedangkan pemusatan perubahan penggunaan lahan menjadi infrastruktur kota ditampilkan pada Gambar 14. Gambar 13. Pemusatan dan Pergeseran Perubahan Penggunaan Lahan Tegalan

22 74 Gambar 14. Pemusatan dan Pergeseran Perubahan Penggunaan Lahan Menjadi Infrastruktur Kota Lokasi yang menjadi pemusatan pengurangan luas lahan sawah dan RTH Non-Pertanian sekaligus merupakan lokasi pemusatan perubahan dan penambahan luas pemukiman adalah Kelurahan Babakan, Kelurahan Cibeureum Hilir, Kelurahan Limusnunggal dan Kelurahan Subangjaya dengan pemusatan perubahan yang terjadi memiliki pola terpusat. Pembangunan pemukiman di Kelurahan Limusnunggal dan Kelurahan Subangjaya (wilayah Hirarki II) menunjukkan adanya kecenderungan dari masyarakat untuk mendekati pusat pelayanan sedangkan pembangunan pemukiman di Kelurahan Babakan dan Kelurahan Cibeureum Hilir (wilayah Hirarki III) lebih diakibatkan karena masih tingginya area non terbangun berupa lahan pertanian dengan pola pembangunan pemukiman mendekati jaringan jalan. Secara spasial, perubahan penggunaan lahan sawah, RTH Non-Pertanian dan pemukiman ditampilkan masing-masing pada Gambar 15, 16 dan 17.

23 75 Gambar 15. Pemusatan dan Pergeseran Perubahan Penggunaan Lahan Sawah Gambar 16. Pemusatan dan Pergeseran Perubahan Penggunaan Lahan RTH Non- Pertanian

24 76 Gambar 17. Pemusatan dan Pergeseran Perubahan Penggunaan Lahan Menjadi Pemukiman Lokasi yang menjadi pemusatan pengurangan luas lahan tegalan sekaligus merupakan lokasi pemusatan penambahan luas peternakan adalah Kelurahan Situmekar dengan pola memusat. Secara spasial pemusatan perubahan penggunaan lahan peternakan ditampilkan pada Gambar 18.

25 77 Gambar 18. Pemusatan dan Pergeseran Perubahan Penggunaan Lahan Peternakan Berdasarkan hasil analisis LQ dan nilai DS pada Tabel 24, pemusatan pengurangan luas terjadi pada areal non-terbangun (sawah, tegalan dan RTH Non- Pertanian) sedangkan pemusatan penambahan luas mayoritas terjadi pada areal terbangun (pemukiman dan infrastruktur). Apabila dikaitkan dengan hasil analisis Skalogram, pemusatan perubahan penggunaan lahan dari areal non terbangun yang diiringi pemusatan penambahan luas areal terbangun terjadi pada wilayah Hirarki II dan Hirarki III. Jumlah desa terbanyak yang menjadi pemusatan perubahan terdapat di wilayah Hirarki III sebagaimana tertera pada Tabel 26. Tabel 26. Jumlah Desa Tiap Hirarki pada Masing-masing Tipe Perubahan Penggunaan Lahan di Kota Sukabumi Tipe Perubahan Jumlah Desa Hirarki I Hirarki II Hirarki III Pengurangan luas areal non-terbangun Penambahan luas areal terbangun 6 10 Sumber : Hasil Analisis (2012)

26 78 Pembangunan pemukiman di wilayah Hirarki II terjadi sebagai hasil adanya dorongan dari masyarakat untuk tinggal mendekati pusat pelayanan (Hirarki I) dan sebagai akibatnya infrastruktur pun dibangun mengikuti pertumbuhan penduduk yang ada di wilayah tersebut. Pemusatan perubahan yang banyak terjadi di wilayah Hirarki III terjadi dikarenakan karakteristik utama wilayah Hirarki III adalah pertanian sehingga masih memiliki areal non terbangun berupa lahan pertanian yang masih luas sehingga dari sisi luasan areal masih sangat memungkinkan dibangun fasilitas pemukiman dan infrastruktur lain. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) di wilayah Hirarki III yang secara relatif lebih tinggi dari LPP Kota Sukabumi (3.83 di Kecamatan Cibeureum, 2.84 di Kecamatan Baros, 2.72 di Kecamatan Gunungpuyuh dan 2.26 di Kecamatan Lembursitu) telah meningkatkan kebutuhan fasilitas berupa pemukiman dan infrastruktur pendukung lainnya. Selain hal tersebut, adanya strategi penataan bipolar dengan membangun pusat pelayanan baru di bagian selatan Kota Sukabumi untuk mendorong perkembangan wilayah Kota Baru juga telah meningkatkan perubahan penggunaan lahan dari areal non terbangun menjadi areal terbangun. Nama desa tiap hirarki pada masing-masing tipe perubahan penggunaan lahan di Kota Sukabumi secara lengkap terdapat pada Lampiran Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Penggunaan Lahan Dalam penelitian ini, metode analisis Kuantifikasi Hayashi tipe II digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan. Identifikasi faktor-faktor penyebab perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan menggunakan 3 (tiga) variabel penjelas yaitu : 1) faktor aksesibilitas (terdiri dari 3 (tiga) kategori yaitu jarak ke pusat kota, jarak ke jalan arteri, jarak ke jalan kolektor), 2) faktor fisik lahan (kemiringan lereng yang terdiri dari 5 (lima) kategori yaitu 0-2 %, 2-15 %, 15-25%, 25-40% dan > 40 %), dan 3) faktor perkembangan wilayah (terdiri dari 3 (tiga) kategori yaitu Hirarki I, Hirarki II, dan Hirarki III)

27 79 Analisis dilakukan terhadap 6 (enam) tipe penggunaan lahan (tegalan, kolam ikan air tawar, pemukiman, peternakan, RTH Non-Pertanian dan sawah) kecuali 2 (dua) tipe penggunaan lahan lainnya (infrastruktur kota dan sungai) tidak mengalami perubahan penggunaan lahan. Faktor yang berpengaruh nyata mempengaruhi perubahan penggunaan lahan memiliki nilai korelasi parsial yang lebih tinggi dibandingkan dengan batas r kritis-nya. Skor kategori untuk variabelvariabel dalam model terangkum dalam axis. Informasi yang dapat diperoleh dari bagian ini adalah frekuensi dan skor untuk setiap variabel, baik variabel tujuan maupun variabel penjelas Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Penggunaan Lahan Sawah Berdasarkan hasil analisis, faktor aksesibilitas (axis 1 dan axis 2), faktor fisik (axis 1) dan faktor tingkat perkembangan wilayah (axis 2) merupakan variabel yang nyata mempengaruhi perubahan penggunaan lahan ruang sawah karena memiliki nilai korelasi partial yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan nilai batas r-kritis-nya pada selang kepercayaan 99 % (0.01) yaitu Pada axis 1, jarak ke jalan arteri (skor kategori = 0.76) dan kemiringan lereng 0-2 % (skor kategori = 0.18) berperan menaikkan peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan sawah menjadi penggunaan lain yaitu infrastruktur kota (skor kategori = 0.53), pemukiman (skor kategori = 0.48) dan tegalan (skor kategori = 0.43). Pada axis 2, jarak ke jalan kolektor (skor kategori = -0.53) dan wilayah Hirarki I (skor kategori = 2.25) berperan menaikkan peluang perubahan penggunaan lahan sawah menjadi penggunaan lain yaitu kolam ikan air tawar (skor kategori = 0.74) dan pemukiman (skor kategori = 0.24). Nilai skor kategori hasil analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan sawah secara lengkap tertera pada Lampiran 15 sedangkan nilai skor kategori dari variabel-variabel yang secara nyata berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan sawah tertera pada Tabel 27.

28 80 Tabel 27. Variabel-variabel yang Berpengaruh Nyata Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan Sawah (Axis 1 dan Axis 2) Variabel Aksesibilitas (X1) Axis 1 Axis 2 Kategori Skor Kategori Korelasi Parsial Skor Kategori Korelasi Parsial Jarak ke Pusat Kota Jarak ke Jalan Arteri Jarak ke Jalan Kolektor Fisik (X2) 0 2 % % % % > 40 % Tingkat Perkembangan Wilayah (X3) Perubahan Penggunaan Lahan (Y) Hirarki I Hirarki II Hirarki III Sawah Infrastruktur Kota Sawah Tegalan Sawah Kolam Ikan Air Tawar Sawah Pemukiman Sawah Sawah Eta Square Batas r-kritis Sumber : Hasil Analisis (2012) Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Penggunaan Lahan Tegalan Berdasarkan uji-t dengan tingkat kepercayaan 99 % (0.01) diperoleh nilai menjadi batas kritis nilai korelasi parsial. Hasil analisis berdasarkan nilai batas kritis tersebut, variabel yang nyata mempengaruhi perubahan penggunaan lahan tegalan adalah aksesibilitas pada axis 1 dan tingkat perkembangan wilayah pada axis 2. Jarak ke pusat kota (skor kategori = 1.23) pada axis 1 berperan menaikkan peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan tegalan menjadi peternakan (skor kategori = 0.74), pemukiman (skor kategori = 0.56) dan infrastruktur kota (skor kategori = 0.32). Wilayah Hirarki I (skor kategori = 2.69) pada axis 2 berperan menaikkan peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan tegalan menjadi pemukiman (skor kategori = 0.18). Nilai skor kategori hasil analisis Hayashi 2 terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan tegalan secara lengkap tertera pada Lampiran 16 sedangkan nilai skor kategori dari variabel-variabel yang secara

29 81 nyata berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan tegalan tertera pada Tabel 28. Tabel 28. Variabel-variabel yang Berpengaruh Nyata Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan Tegalan (Axis 1 dan Axis 2) Variabel Aksesibilitas (X1) Axis 1 Axis 2 Kategori Skor Kategori Korelasi Parsial Skor Kategori Korelasi Parsial Jarak ke Pusat Kota Jarak ke Jalan Arteri Jarak ke Jalan Kolektor Fisik (X2) 0-2 % % % Tingkat Perkembangan Wilayah (X3) Perubahan Penggunaan Lahan (Y) Hirarki I Hirarki II Hirarki III Tegalan - Infrastruktur Kota Tegalan - Kolam Ikan Air Tawar Tegalan - Pemukiman Tegalan - Peternakan Tegalan - Tegalan Eta Square Batas r-kritis Sumber : Hasil Analisis (2012) Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Penggunaan Lahan Kolam Ikan Air Tawar Nilai menjadi batas kritis nilai korelasi parsial berdasarkan hasil ujit dengan tingkat kepercayaan 99 % (0.01). Hasil analisis berdasarkan nilai batas kritis tersebut, variabel yang nyata mempengaruhi perubahan penggunaan lahan tegalan adalah aksesibilitas baik pada axis 1 maupun axis 2 dan tingkat perkembangan wilayah pada axis 2. Pada axis 1, jarak ke jalan arteri (skor kategori = -1.91) berperan menaikkan peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan kolam ikan air tawar menjadi sawah (skor kategori = -0.27), infrastruktur kota (skor kategori = -0.59), pemukiman (skor kategori = -1.56) dan tegalan (skor kategori = -2.26). Pada axis 2, jarak ke jalan kolektor (skor kategori = -0.02) dan wilayah Hirarki II (skor kategori = -0.10) berperan menaikkan peluang terjadinya perubahan penggunaan

30 82 lahan kolam ikan air tawar menjadi pemukiman (skor kategori = -0.14), sawah (skor kategori = ) dan infrastruktur kota (skor kategori = -0.70). Nilai skor kategori hasil analisis Hayashi 2 terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan kolam ikan air tawar secara lengkap tertera pada Lampiran 17 sedangkan nilai skor kategori dari variabel-variabel yang secara nyata berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan kolam ikan air tawar tertera pada Tabel 29. Tabel 29. Variabel-variabel yang Berpengaruh Nyata Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan Kolam Ikan Air Tawar (Axis 1 dan Axis 2) Variabel Aksesibilitas (X1) Axis 1 Axis 2 Kategori Skor Kategori Korelasi Parsial Skor Kategori Korelasi Parsial Jarak ke Pusat Kota Jarak ke Jalan Arteri Jarak ke Jalan Kolektor Fisik (X2) 0-2 % % % Tingkat Perkembangan Wilayah (X3) Hirarki I Hirarki II Hirarki III Perubahan Kolam Ikan Air Tawar Penggunaan Lahan (Y) Infrastruktur Kota Kolam Ikan Air Tawar Tegalan Kolam Ikan Air Tawar Pemukiman Kolam Ikan Air Tawar Sawah Kolam Ikan Air Tawar - Kolam Ikan Air Tawar Eta Square Batas r-kritis Sumber : Hasil Analisis (2012) Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Penggunaan Lahan Peternakan Berdasarkan hasil analisis, variabel yang digunakan tidak dapat menjelaskan secara nyata faktor faktor yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan peternakan dikarenakan nilai korelasi partial masing-masing variabel penjelas lebih kecil dari nilai batas r-kritis-nya yaitu

31 83 Skor kategori untuk variabel-variabel hasil analisis Hayashi 2 dalam identifikasi faktor penyebab perubahan penggunaan lahan peternakan tertera pada Lampiran Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Penggunaan Lahan RTH Non-Pertanian Nilai menjadi batas kritis nilai korelasi parsial berdasarkan hasil ujit dengan tingkat kepercayaan 99 % (0.01). Hasil analisis berdasarkan nilai batas kritis tersebut, variabel yang nyata mempengaruhi perubahan penggunaan lahan RTH Non-Pertanian adalah aksesibilitas (axis 1), fisik lahan (axis 2) dan tingkat perkembangan wilayah baik pada axis 1 maupun axis 2. Pada axis 1, jarak ke jalan kolektor (skor kategori = 1.19) dan wilayah Hirarki III (skor kategori = 0.26) berperan menaikkan peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan RTH Non-Pertanian menjadi pemukiman (skor kategori = 0.54). Pada axis 2, kemiringan lereng 2-15 % (skor kategori = -0.59) dan wilayah Hirarki II (skor kategori = -0.81) berperan menaikkan peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan RTH Non-Pertanian menjadi pemukiman (skor kategori = -0.04), infrastruktur kota (skor kategori = -0.30) dan sawah (skor kategori = -0.41). Nilai skor kategori hasil analisis Hayashi 2 terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan RTH Non-Pertanian secara lengkap tertera pada Lampiran 19, sedangkan nilai skor kategori dari variabel-variabel yang secara nyata berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan Hutan Kota/Penggunaan Lain tertera pada Tabel 30.

32 84 Tabel 30. Variabel-variabel yang Berpengaruh Nyata Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan RTH Non-Pertanian (Axis 1 dan 2) Variabel Aksesibilitas (X1) Axis 1 Axis 2 Kategori Skor Kategori Korelasi Parsial Skor Kategori Korelasi Parsial Jarak ke Pusat Kota Jarak ke Jalan Arteri Jarak ke Jalan Kolektor Fisik (X2) 0-2 % % % Tingkat Perkembangan Wilayah (X3) Perubahan Penggunaan Lahan (Y) Hirarki I Hirarki II Hirarki III RTH Non-Pertanian Infrastrukt Kota RTH Non-Pertanian- Tegalan RTH Non-Pertanian- Pemukiman RTH Non-Pertanian- Sawah RTH Non-Pertanian- RTH Non- Pertanian Eta Square Batas r-kritis Sumber : Hasil Analisis (2012) Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Penggunaan Lahan Pemukiman Berdasarkan uji-t dengan tingkat kepercayaan 99 % (0.01) diperoleh nilai mejadi batas kritis nilai korelasi parsial. Hasil analisis berdasarkan nilai batas kritis tersebut, variabel yang nyata mempengaruhi perubahan penggunaan lahan pemukiman adalah aksesibilitas pada axis 1. Pada axis 1, jarak ke jalan arteri (skor kategori = -0.07) berperan menaikkan peluang perubahan penggunaan lahan pemukiman menjadi penggunaan lain yaitu infrastruktur kota (skor kategori = -0.69). Nilai skor kategori hasil analisis Hayashi 2 terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan pemukiman secara lengkap tertera pada Lampiran 20 sedangkan nilai skor kategori dari variabel-variabel yang secara nyata berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan pemukiman tertera pada Tabel 31.

33 85 Tabel 31. Variabel-variabel yang Berpengaruh Nyata Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan Pemukiman (Axis 1) Variabel Kategori Axis 1 Skor Kategori Korelasi Parsial Aksesibilitas (X1) Jarak ke Pusat Kota Jarak ke Jalan Arteri Jarak ke Jalan Kolektor 0.14 Fisik (X2) 0-2 % % % % 0.00 Tingkat Hirarki I Perkembangan Hirarki II 1.09 Wilayah (X3) Hirarki III Perubahan Pemukiman - Infrastruktur Penggunaan Lahan (Y) Kota Pemukiman - Pemukiman 0.29 Eta Square Batas r-kritis Sumber : Hasil Analisis (2012) Berdasarkan hasil dari analisis Hayashi Kuantifikasi II, seluruh kategori pada faktor aksesibilitas yaitu jarak ke pusat kota, jarak ke jalan arteri dan jarak ke jalan kolektor memiliki pengaruh yang nyata dalam menyebabkan perubahan penggunaan lahan menjadi infrastruktur kota dan pemukiman. Infrastruktur kota merupakan fasilitas (fisik maupun sosial) pelayanan bagi masyarakat sehingga banyak dibangun di wilayah yang dekat dengan pusat kota dan jaringan jalan untuk memudahkan masyarakat mengaksesnya. Infrastruktur kota juga banyak dibangun di wilayah Hirarki II yang merupakan hinterland dari wilayah Hirarki I serta merupakan penunjang pelayanan bagi masyarakat di wilayah Hirarki III sehingga tercipta keseimbangan pembangunan antar wilayah mengingat jumlah fasilitas di wilayah Hirarki III lebih sedikit. Pembangunan jalan lingkar selatan serta Terminal Tipe A sebagai stimulan terciptanya perkembangan wilayah selatan Kota Sukabumi yang merupakan wilayah Hirarki III juga telah meningkatkan perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi pemukiman dan kawasan komersial berupa pertokoan dan rumah makan. Hal ini mendorong terbentuknya pusat pelayanan baru di wilayah Kota Baru. Pembangunan pemukiman juga memiliki kecenderungan terjadi pada wilayah yang dekat dengan pusat kota dengan aksesibilitas baik sehingga mudah diakses. Semakin tinggi tingkat perkembangan wilayah dapat ditunjukkan dengan

34 86 aktivitas masyarakat beragam sehingga preferensi masyarakat untuk tinggal di wilayah hirarki I dan hirarki II lebih tinggi karena memiliki kedekatan dengan tempat aktivitas (bekerja). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pembangunan pemukiman di Kota Sukabumi menuju ke arah pusat-pusat pelayanan. Selain itu, pembangunan pemukiman juga banyak terjadi di wilayah hirarki III mengingat dikarenakan luas lahan non terbangun relatif masih tinggi yang berasal dari sawah, tegalan serta RTH Non-Pertanian. Secara garis besar, pembangunan fisik di Kota Sukabumi baik infrastruktur maupun pemukiman terdiri dari 2 (dua) tipe perkembangan, yaitu : 1. Perkembangan Intensif, merupakan konsekuensi dari intensifikasi kawasan terbangun di bagian pusat kota yang dicirikan oleh meningkatnya intensitas penggunaan lahan untuk kawasan terbangun di pusat kota, dan 2. Perkembangan Penetrasi, merupakan perkembangan spontan dengan perkembangan kawasan mengikuti jaringan jalan yang ada. Perubahan penggunaan lahan pertanian yang terjadi di dekat akses jalan dan pusat kota dapat pula diakibatkan karena adanya nilai ekonomi lahan yang meningkat sehingga pemilik lahan pertanian cenderung menjual lahannya untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan pendapatan yang diperoleh dari usaha tani per musim. Adapun perubahan yang terjadi antara sawah-tegalan-kolam ikan air tawar diakibatkan pula oleh adanya pergiliran usaha tani pada musim kemarau terutama untuk komoditas padi yang Indeks Pertanaman-nya (IP) < 300. Selain itu, perubahan penggunaan lahan dari Tanaman Pangan Lahan Basah (TPLB) ke Tanaman Pangan Lahan Kering (TPLK) merupakan satu fenomena yang diijinkan dan tidak melanggar undangundang namun disinyalir bahwa kondisi ini merupakan salah satu transisi sebelum dilakukan perubahan penggunaan lahan ke lahan terbangun, karena adanya pengendalian alihguna dari TPLB langsung ke lahan terbangun. Tumbuhnya lahan kering pada dasarnya hanya merupakan tahapan dari proses spekulasi yang bertujuan akhir mengubah alihguna dari sawah ke lahan terbangun agar tidak dinyatakan melanggar undang-undang (Trisasongko et al., 2009). Faktor fisik yaitu kemiringan lereng 0-2 % (topografi datar) juga mempengaruhi perubahan penggunaan lahan sawah menjadi infrastruktur kota

LAMPIRAN. Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 menurut Kab/ Kota di Provinisi Jawa Barat (Persen)

LAMPIRAN. Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 menurut Kab/ Kota di Provinisi Jawa Barat (Persen) 74 L A M P I R A N 75 LAMPIRAN Lampiran 1 Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 menurut Kab/ Kota di Provinisi Jawa Barat (Persen) No Kabupaten/ Kota Tahun 2009 2010 2011 1 Kota. Bandung 8,34 8,45 8,73 2 Kab.

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM WILAYAH

4 KONDISI UMUM WILAYAH 25 4 KONDISI UMUM WILAYAH 25 Kondisi Fisik Geografi dan Administrasi Kota Sukabumi secara Geografis terletak di bagian selatan Jawa Barat pada koordinat 106 45 50 Bujur Timur dan 106 45 10 Bujur Timur,

Lebih terperinci

PROGRAM PEMANFAATAN RUANG BERDASARKAN INDIKASI PROGRAM UTAMA LIMA TAHUNAN Waktu Pelaksanaan No Program Utama Lokasi

PROGRAM PEMANFAATAN RUANG BERDASARKAN INDIKASI PROGRAM UTAMA LIMA TAHUNAN Waktu Pelaksanaan No Program Utama Lokasi LAMPIRAN IV : PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI NOMOR : 11 TAHUN 2012 TENTANG : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2011-2031 PROGRAM PEMANFAATAN RUANG BERDASARKAN INDIKASI PROGRAM UTAMA LIMA TAHUNAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola pemanfaatan ruang pada kawasan perkotaan dicirikan dengan campuran yang rumit antara aktivitas jasa komersial dan permukiman (Rustiadi et al., 2009). Hal ini sejalan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 34 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Fisik 4.1.1. Geografi dan Administrasi Kota Sukabumi secara geografis terletak di bagian selatan Jawa Barat (106º45 50-106º45 10 Bujur Timur dan 6º49

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 16 KONDISI UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Geografis dan Administratif Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Laju dan Pola Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Tangerang 5.1.1. Laju Konversi Lahan di Kabupaten Tangerang Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang dikelompokkan menjadi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Cakupan Wilayah Kabupaten Bandung Barat Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 13 kecamatan dan 165 desa. Beberapa kecamatan terbentuk melalui proses pemekaran. Kecamatan yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Perkembangan Kota Sukabumi

HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Perkembangan Kota Sukabumi 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Perkembangan Kota Sukabumi Secara historis kota Sukabumi dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Burgerlijk Bestuur (1914) dengan status Gemeenteraad Van Sukabumi

Lebih terperinci

Kota Sukabumi Dalam Angka 2015 Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi Kota Sukabumi Dalam Angka 2015 ISSN : 0215.6016 Nomor Publikasi : 32726.1502 Katalog BPS : 1102001.3272 Ukuran Buku : 21 cm x 15 cm Jumlah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SUKABUMI TAHUN

PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SUKABUMI TAHUN PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2011-2031 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SUKABUMI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49 29 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

PRIORITAS LAHAN SAWAH YANG DILINDUNGI DI KOTA SUKABUMI, JAWA BARAT PRAPTI DWI LESTARI

PRIORITAS LAHAN SAWAH YANG DILINDUNGI DI KOTA SUKABUMI, JAWA BARAT PRAPTI DWI LESTARI PRIORITAS LAHAN SAWAH YANG DILINDUNGI DI KOTA SUKABUMI, JAWA BARAT PRAPTI DWI LESTARI DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia tanggal 4 Juli 1950) Jo.

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia tanggal 4 Juli 1950) Jo. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2061, 2014 KEMENDAGRI. Kabupaten Sukabumi. Kota Sukabumi. Jawa Barat. Batas Daerah. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2014 TENTANG BATAS

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Agropolitan Ciwidey yang meliputi Kecamatan Pasirjambu, Kecamatan Ciwidey dan Kecamatan Rancabali Kabupaten Bandung.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan jumlah penduduk di Indonesia menempati urutan ke-4 terbanyak di

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan jumlah penduduk di Indonesia menempati urutan ke-4 terbanyak di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sampah merupakan masalah yang dihadapai di hampir seluruh Negara di dunia. Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai masalah persampahan dikarenakan jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terdiri dari beberapa unsur, diantaranya terdiri dari unsur fisik dan sosial

BAB I PENDAHULUAN. yang terdiri dari beberapa unsur, diantaranya terdiri dari unsur fisik dan sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu kawasan yang berada di permukaan bumi yang terdiri dari beberapa unsur, diantaranya terdiri dari unsur fisik dan sosial yang salah

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM KOTA SUKABUMI

BAB III GAMBARAN UMUM KOTA SUKABUMI BAB III GAMBARAN UMUM KOTA SUKABUMI 3.1 Kebijakan Kota Sukabumi Dalam Kebijakan pengembangan wilayah Provinsi Jawa Barat yang diwujudkan melalui pembagian 6 Wilayah Pengembangan (WP) untuk meningkatkan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur 26 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sukaraja tahun 2006-2009 disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 8. Tabel

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KOTA SUKABUMI FITRI YULIANTY

ANALISIS TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KOTA SUKABUMI FITRI YULIANTY ANALISIS TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KOTA SUKABUMI FITRI YULIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Pola Sebaran Kasus DBD Di Kota Sukabumi Tahun The Distribution Pattern of Dengue Cases in Sukabumi in 2012

Pola Sebaran Kasus DBD Di Kota Sukabumi Tahun The Distribution Pattern of Dengue Cases in Sukabumi in 2012 Pola Sebaran Kasus DBD Di Kota Sukabumi Tahun 2012 The Distribution Pattern of Dengue Cases in Sukabumi in 2012 Abstract.The increasing rate of Dengue virus infection rate in Sukabumi exceeds other regions

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan 1. Perkembangan fisik Kota Taliwang tahun 2003-2010 Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan lahan dari rawa, rumput/tanah

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan Luasannya di Kota Bogor Kota Bogor memiliki luas kurang lebih 11.267 Ha dan memiliki enam kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi (Gambar 1) dan analisis data dilakukan di studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

BAB IV PROFIL DAN PERENCANAAN WILAYAH DI KOTA SUKABUMI

BAB IV PROFIL DAN PERENCANAAN WILAYAH DI KOTA SUKABUMI 71 BAB IV PROFIL DAN PERENCANAAN WILAYAH DI KOTA SUKABUMI 4.1 Administrasi Kota Sukabumi secara geografis terletak di bagian selatanprovinsi Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SUKABUMI

PEMERINTAH KOTA SUKABUMI PEMERINTAH KOTA SUKABUMI PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KOTA SUKABUMI TAHUN 2008-2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Bandung Barat yang merupakan kabupaten baru di Provinsi Jawa Barat hasil pemekaran dari Kabupaten Bandung. Kabupaten

Lebih terperinci

GAMBARAN PUNCAK KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH UTARA DAN SELATAN KOTA SUKABUMI TAHUN 2012

GAMBARAN PUNCAK KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH UTARA DAN SELATAN KOTA SUKABUMI TAHUN 2012 GAMBARAN PUNCAK KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH UTARA DAN SELATAN KOTA SUKABUMI TAHUN 2012 Dengue Infection Pattern in Northern and Southern Region of Sukabumi City in 2012 Roy Nusa Rahagus Edo

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAB II KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. tantangan pembangunan kota yang harus diatasi. Perkembangan kondisi Kota

BAB II KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. tantangan pembangunan kota yang harus diatasi. Perkembangan kondisi Kota BAB II KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Pemerintah Kota Medan Gambaran umum kondisi kota Medan memuat perkembangan kondisi Kota Medan sampai saat ini, capaian hasil pembangunan kota sebelumnya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Depok 5.1.1. Interpretasi Penggunaan Lahan dari Citra Quickbird Hasil interpretasi penggunaan lahan dari Citra Quickbird Kecamatan Depok adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL DAFTAR TABEL Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama... 1 Tabel SD-1A. Perubahan Luas Wilayah Menurut Penggunaan lahan Utama Tahun 2009 2011... 2 Tabel SD-1B. Topografi Kota Surabaya...

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 38 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Komoditas Basis Komoditas basis adalah komoditas yang memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif. Secara komparatif, tingkat keunggulan ditentukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. komoditas tanaman pangan pada 21 kecamatan di wilayah Kabupaten

BAB III METODE PENELITIAN. komoditas tanaman pangan pada 21 kecamatan di wilayah Kabupaten BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini berfokus pada komoditas unggulan, keragaman (diversitas), tingkat konsentrasi, dan tingkat spesialisasi komoditas tanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

POLA SEBARAN KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA SUKABUMI TAHUN 2012 DISTRIBUTION PATTERN OF DENGUE FEVER CASES IN SUKABUMI, 2012

POLA SEBARAN KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA SUKABUMI TAHUN 2012 DISTRIBUTION PATTERN OF DENGUE FEVER CASES IN SUKABUMI, 2012 POLA SEBARAN KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA SUKABUMI TAHUN 2012 DISTRIBUTION PATTERN OF DENGUE FEVER CASES IN SUKABUMI, 2012 Mutiara Widawati, Rina Marina, Dewi Nur Hodijah 1 Loka P2B2 Pangandaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting di dalam pembangunan nasional karena sektor ini memanfaatkan sumber daya alam dan manusia yang sangat besar (Soekartawi,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Abstrak... i Kata Pengantar... ii Daftar Isi... iv Daftar Tabel... viii Daftar Gambar... xii

DAFTAR ISI. Abstrak... i Kata Pengantar... ii Daftar Isi... iv Daftar Tabel... viii Daftar Gambar... xii DAFTAR ISI Abstrak... i Kata Pengantar... ii Daftar Isi... iv Daftar Tabel... viii Daftar Gambar... xii BAB 1 BAB 2 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1-1 1.2 Perumusan Masalah... 1-3 1.2.1 Permasalahan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Sejarah Kota Bekasi Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 1950, terbentuk Kabupaten Bekasi. Kabupaten bekasi mempunyai 4 kawedanan, 13 kecamatan, dan 95 desa.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Metro adalah kota hasil pemekaran Kabupaten Lampung Tengah dan memperoleh otonomi daerah pada tanggal 27 April 1999 sesuai dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ruang sebagai wadah dimana manusia, hewan dan tumbuhan bertahan

BAB I PENDAHULUAN. Ruang sebagai wadah dimana manusia, hewan dan tumbuhan bertahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ruang sebagai wadah dimana manusia, hewan dan tumbuhan bertahan hidup, memenuhi segala kebutuhannya serta berinteraksi dengan sesama menjadikan ruang sebagai suatu

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah sudah dilaksanakan sejak tahun 2001. Keadaan ini telah memberi kesadaran baru bagi kalangan pemerintah maupun masyarakat, bahwa pelaksanaan otonomi tidak bisa

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Provinsi Lampung memiliki kegiatan pembangunan yang berorientasikan pada potensi sumberdaya alam

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Provinsi Lampung memiliki kegiatan pembangunan yang berorientasikan pada potensi sumberdaya alam 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Provinsi Lampung memiliki kegiatan pembangunan yang berorientasikan pada potensi sumberdaya alam pada sektor pertanian terutama subsektor tanaman pangan.

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

PROFIL KESEHATAN KOTA SUKABUMI TAHUN 2014

PROFIL KESEHATAN KOTA SUKABUMI TAHUN 2014 PROFIL KESEHATAN KOTA SUKABUMI TAHUN 2014 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mencurahkan rahmat dan karunia-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Profil Kesehatan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Lebih terperinci

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011 IPB International Convention Center, Bogor, 12 13 September 2011 Kerangka Latar Belakang Masalah PERTUMBUHAN EKONOMI PERKEMBANGAN KOTA PENINGKATAN KEBUTUHAN LAHAN KOTA LUAS LAHAN KOTA TERBATAS PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun bertambah dengan pesat sedangkan lahan sebagai sumber daya keberadaannya relatif tetap. Pemaanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kenyamanan permukiman di kota dipengaruhi oleh keberadaan ruang terbuka hijau dan tata kelola kota. Pada tata kelola kota yang tidak baik yang ditunjukkan dengan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Wilayah Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Wilayah Joglosemar terdiri dari kota Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Semarang. Secara geografis ketiga

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan papan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap individu manusia pasti

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik dasar kenampakan masing-masing penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN ii iii iv PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 4 Tujuan Penelitian... 9 Pengertian dan Ruang Lingkup Penelitian... 9 Manfaat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian istilah tanah dan lahan seringkali dianggap sama. Padahal kedua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Tanah merupakan kumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi suatu daerah membutuhkan jasa angkutan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi suatu daerah membutuhkan jasa angkutan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi suatu daerah membutuhkan jasa angkutan yang cukup serta memadai. Tanpa adanya transportasi sebagai sarana penunjang tidak dapat diharapkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Diresmikannya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom pada tanggal 17 Oktober 2001 mengandung konsekuensi adanya tuntutan peningkatan pelayanan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2011-2031 I. UMUM Proses pertumbuhan dan perkembangan wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, yang memiliki warna sentral karena berperan dalam meletakkan dasar yang kokoh bagi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KOTA SUKABUMI. Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada

BAB IV GAMBARAN UMUM KOTA SUKABUMI. Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada 4.1. Profil Wilayah BAB IV GAMBARAN UMUM KOTA SUKABUMI Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 49 29 Lintang Selatan dan 6 0 50 44

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan sawah memiliki manfaat sebagai media budidaya yang menghasilkan bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki manfaat bersifat fungsional

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk V PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis 5.1.1 Penghitungan Komponen Penduduk Kependudukan merupakan salah satu komponen yang penting dalam perencanaan suatu kawasan. Faktor penduduk juga memberi pengaruh yang

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau 5.1.1. Identifikasi Perubahan Luas RTH di Jakarta Timur Identifikasi penyebaran dan analisis perubahan Ruang Terbuka Hijau di kawasan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya

Lebih terperinci

BAB II KONDISI UMUM LOKASI

BAB II KONDISI UMUM LOKASI 6 BAB II KONDISI UMUM LOKASI 2.1 GAMBARAN UMUM Lokasi wilayah studi terletak di wilayah Semarang Barat antara 06 57 18-07 00 54 Lintang Selatan dan 110 20 42-110 23 06 Bujur Timur. Wilayah kajian merupakan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI Administrasi Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi dibagi ke dalam 45 kecamatan, 345 desa dan tiga kelurahan. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Konversi Lahan Pengertian konversi lahan menurut beberapa ahli dan peneliti sebelumnya diantaranya Sanggono (1993) berpendapat bahwa Konversi lahan adalah perubahan

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik Kabupaten Blitar yang merupakan wilayah studi adalah kondisi geografis, kondisi topografi, dan iklim.

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan basis perekonomiannya berasal dari sektor pertanian. Hal ini disadari karena perkembangan pertanian merupakan prasyarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan telah mengalami transformasi lingkungan fisik lahan. Transformasi lingkungan fisik lahan tersebut

Lebih terperinci

KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KECAMATAN UMBULHARJO, KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR

KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KECAMATAN UMBULHARJO, KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KECAMATAN UMBULHARJO, KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR Oleh : YUSUP SETIADI L2D 002 447 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN PUSAT PERTUMBUHAN WILAYAH PENGEMBANGAN IV KABUPATEN BEKASI ABSTRAK

ARAHAN PENGEMBANGAN PUSAT PERTUMBUHAN WILAYAH PENGEMBANGAN IV KABUPATEN BEKASI ABSTRAK ARAHAN PENGEMBANGAN PUSAT PERTUMBUHAN WILAYAH PENGEMBANGAN IV KABUPATEN BEKASI Yunan Maulana 1, Janthy T. Hidajat. 2, Noordin Fadholie. 3 ABSTRAK Wilayah pengembangan merupakan bagian-bagian wilayah yang

Lebih terperinci

Aria Alantoni D2B Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro

Aria Alantoni D2B Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro EVALUASI IMPLEMENTASI PERDA KOTA SEMARANG NO.5 TAHUN 2004 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SEMARANG (Kajian Terhadap Fungsi Pengendali Konversi Lahan Pertanian di Kota Semarang) Aria Alantoni D2B006009

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. Metode Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. Metode Pengumpulan Data METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Juni hingga September 2011.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan.... DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Gambar Daftar Grafik i ii vii viii Bab I Pendahuluan. 1.1. Dasar Hukum..... 1.2. Profil Wilayah Kabupaten Sijunjung... 1.2.1 Kondisi Fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan sensus penduduk, jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2015 mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian,

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bentuk penggunaan lahan suatu wilayah terkait dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya. Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan semakin intensifnya aktivitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu kota pada mulanya berawal dari suatu pemukiman kecil, yang secara spasial mempunyai lokasi strategis bagi kegiatan perdagangan (Sandy,1978). Seiring dengan perjalanan

Lebih terperinci

TATA GUNA LAHAN DAN PERTUMBUHAN KAWASAN

TATA GUNA LAHAN DAN PERTUMBUHAN KAWASAN TATA GUNA LAHAN DAN PERTUMBUHAN KAWASAN Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota Johannes Parlindungan Disampaikan dalam Mata Kuliah Pengantar PWK Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci