PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk"

Transkripsi

1 V PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk Kependudukan merupakan salah satu komponen yang penting dalam perencanaan suatu kawasan. Faktor penduduk juga memberi pengaruh yang besar dalam perubahan kualitas lingkungan suatu DAS karena dengan bertambahnya penduduk maka turut terjadi penambahan ruang kehidupan seperti perumahan, sarana sosial, sarana ekonomi dan sarana lain yang tentunya akan mengkonversi penggunaan ruang seperti ruang terbuka hijau (RTH). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor dan Kota Bogor, jumlah penduduk di kawasan hulu DAS Ciliwung mengalami kenaikan dari tahun 1993 sebesar jiwa menjadi jiwa pada tahun 2008 atau dengan kata lain dalam kurun lima belas tahun terjadi panambahan jumlah penduduk sebesar jiwa. Jumlah penduduk yang dihitung berasal dari total jumlah penduduk per desa/kelurahan dengan pertimbangan bahwa desa/kelurahan tersebut wilayah administrasinya berada di dalam kawasan hulu DAS Ciliwung atau sebagian besar wilayah administrasinya masuk ke dalam kawasan hulu DAS Ciliwung. Data jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di wilayah DAS Hulu Ciliwung dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8. Berdasarkan Tabel 7, laju pertumbuhan penduduk rata-rata di kawasan hulu DAS Ciliwung adalah sebesar 2,91% per tahun. Kenaikan jumlah penduduk ini berkorelasi positif terhadap kenaikan tingkat kepadatan penduduk dengan pertimbangan bahwa luas wilayah tetap, sehingga didapatkan kenaikan kepadatan penduduk dari 15,27 jiwa/ha pada tahun 1993 menjadi 23,48 jiwa/ha di tahun 2008 (Tabel 8). Berdasarkan nilai laju pertumbuhan penduduk setiap tahun, maka dapat dilakukan prediksi jumlah penduduk pada tahun 1994, 2001, 2005 dan Penghitungan ini menggunakan metode trend yang didasarkan atas asumsi bahwa laju pertumbuhan penduduk pada masa lalu akan berlanjut di masa yang akan datang (Tarigan,2006). Hasil dari penghitungan menunjukkan jumlah penduduk pada tahun 1994 adalah jiwa, tahun 2001 berjumlah

2 38 jiwa, tahun 2005 berjumlah jiwa dan pada tahun 2010 adalah berjumlah jiwa. Tabel 7 Jumlah Penduduk di Kawasan Hulu DAS Ciliwung Menurut Desa Tahun 1993, 2000 dan 2008 No Nama Desa Jumlah Penduduk (Jiwa) Tahun 1993 Tahun 2000 Tahun Batu layang Bojong Murni Cibeureum Cilember Cipayung Datar Cipayung Girang Cisarua Citeko Gadog Jogjogan Kopo Kuta Leuwimalang Megamendung Pandansari Sindang Rasa Sindang Sari Sukagalih Sukakarya Sukamahi Sukamaju Sukamanah Sukaresmi Tugu Selatan Tugu Utara Total Penduduk Sumber: BPS Kabupaten dan Kota Bogor, 2009 Salah satu masalah kependudukan yang terdapat di wilayah DAS Hulu Ciliwung adalah penyebaran penduduk yang tidak merata. Jika ditinjau dari tiap desa, dapat diamati bahwa jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di wilayah ini belum terdistribusi secara merata. Jumlah penduduk tertinggi pada tahun 2008 berada pada desa Cipayung Datar yaitu sebesar jiwa dan jumlah penduduk terendah pada tahun yang sama berada pada desa Sukaresmi sebesar jiwa. Desa yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi dibandingkan dengan desa lainnya adalah desa Sindang Rasa yaitu sebesar 128,84 jiwa/ha, sedangkan desa

3 39 yang memiliki kepadatan penduduk terendah adalah desa Tugu Utara sebesar 6,18 jiwa/ha. Distribusi penduduk di kawasan hulu DAS Ciliwung relatif tetap dari tahun 1993 hingga tahun 2008, dengan laju pertumbuhan yang berbeda tiap desa. Berdasarkan penghitungan, desa yang laju pertumbuhannya paling tinggi adalah Desa Sindang Rasa yaitu dengan persentase sebesar 6,15% per tahun. Sedangkan desa yang paling rendah laju pertumbuhan penduduknya adalah Desa Leuwimalang sebesar 1,80% per tahun. Tabel 8 Kepadatan Penduduk di Kawasan Hulu DAS Ciliwung Tahun 1993, 2000 dan 2008 Luas Kepadatan Penduduk (Jiwa/Ha) No Nama Desa (Ha) Tahun 1993 Tahun 2000 Tahun Batu layang ,12 25,01 38,10 2 Bojong Murni ,79 22,23 29,42 3 Cibeureum ,11 9,57 12,96 4 Cilember ,49 28,41 44,08 5 Cipayung Datar ,49 25,42 29,58 6 Cipayung Girang ,93 31,15 39,45 7 Cisarua ,48 33,72 43,86 8 Citeko ,11 18,44 25,26 9 Gadog ,30 26,57 34,63 10 Jogjogan ,44 33,65 49,02 11 Kopo ,77 37,22 43,26 12 Kuta ,68 25,24 32,79 13 Leuwimalang ,04 40,82 51,01 14 Megamendung 637 7,13 7,18 9,58 15 Pandansari ,32 35,46 45,27 16 Sindang Rasa ,60 75,18 128,84 17 Sindang Sari 90 66,11 64,69 93,57 18 Sukagalih ,33 26,38 31,63 19 Sukakarya ,67 15,53 19,38 20 Sukamahi ,13 32,9 42,29 21 Sukamaju ,04 25,18 30,39 22 Sukamanah ,80 35,20 38,03 23 Sukaresmi ,03 22,89 30,17 24 Tugu Selatan ,39 7,17 10,15 25 Tugu Utara ,92 4,18 6,18 Total ,27 17,82 23,48 Sumber: BPS Kabupaten dan Kota Bogor, 2009

4 Interpretasi Penutupan Lahan Dari Citra Landsat ETM dan Foto Udara 2010 Interpretasi citra Landsat ETM dan foto udara 2010 dilakukan dengan melihat karakteristik dasar kenampakkan masing-masing penutupan lahan pada citra dan foto udara yang dibantu dengan unsur-unsur interpretasi. Masing-masing penutupan lahan memiliki unsur interpretasi yang unik. Pada daerah penelitian, tipe penutupan lahan dibagi menjadi enam, yaitu ruang terbangun, hutan, kebun campuran, kebun teh, lahan terbuka, dan sawah/tegalan. Ruang terbangun di dalam foto udara menunjukkan bentuk persegi/spot kecil dengan pola menyebar, memanjang di kiri-kanan jalan dengan ukuran relatif kecil. Berwarna abu-abu atau cokelat tua dengan tekstur relatif kasar. Pada citra Landsat, ruang terbangun memiliki tekstur halus sampai kasar, berwarna magenta atau ungu kemerahan, pola disekitar jalan utama. Hutan mempunyai kenampakkan bentuk dan pola yang tidak teratur dengan ukuran cukup luas, menyebar, kadang-kadang bergerombol di tengah kebun teh. Berwarna hijau gelap, tekstur relatif kasar, memiliki bayangan igir-igir puncak gunung yang menunjukkan sebaran hingga daerah yang curam, identik dengan letak di sekitar puncak gunung. Sedangkan dalam citra Landsat, ditemukan dengan bentuk, ukuran dan pola yang tidak jauh berbeda dengan di foto udara, berwarna hijau tua sampai gelap dengan tekstur relatif kasar. Kebun campuran memiliki ciri-ciri bentuk dan pola yang menyebar. Umumnya dijumpai di sepanjang aliran sungai, terkadang bercampur dengan kawasan ruang terbangun. Berwarna gelap dengan tekstur relatif kasar. Kenampakkan pada citra Landsat memiliki tekstur yang relatif kasar, berwarna hijau bercampur dengan sedikit magenta, bentuk dan pola memanjang dijumpai pada lembah dan sepanjang tanggul sungai, seringkali bercampur dengan ruang terbangun. Kebun teh memiliki kenampakkan bentuk dan pola yang lebih teratur, berwarna hijau agak kelabu dengan tekstur relati halus dan seragam pada lerenglereng yang landai hingga curam. Pada citra Landsat, kebun teh memiliki tekstur halus dan berwarna hijau muda.

5 41 Lahan terbuka mempunyai bentuk dan pola yang menyebar di antara ruang terbangun dan sawah/tegalan. Berwarna abu-abu terang dengan tekstur halus. Di dalam citra Landsat menunjukkan warna putih hingga merah jambu dengan tekstur halus. Keberadaannya cukup sulit dideteksi mengingat luas sebarannya relatif kecil. Sawah/tegalan memiliki warna abu-abu agak gelap, bentuk berpetak-petak dan berteras dengan pola sebaran di daerah dataran dengan lereng yang landai dan dekat dengan tubuh air. Di dalam citra Landsat menunjukkan tekstur kasar berwarna hijau tua bercampur dengan sedikit magenta, biru dan kuning. Tubuh air (sungai utama) di dalam foto udara berbentuk garis memanjang, pola berkelok-kelok berwarna abu-abu gelap. Jalan ditemui berwarna gelap dengan bentuk garis yang relatif lurus. Di dalam citra Landsat, tubuh air berwarna biru dengan bentuk berkelok-kelok, sedangkan jalan berwarna ungu dengan bentuk garis yang relatif lurus dan pola lebih teratur. Sebelum melakukan proses digitasi, saluran warna (band) citra Landsat ETM terlebih dahulu digabungkan dan kemudian dilakukan koreksi geometri dengan bantuan perangkat lunak ERDAS IMAGINE 9.1. proses digitasi dilakukan secara on screen dengan menggunakan perangkat lunak ARC VIEW 3.2 dan kemudian menghasilkan peta penutupan lahan kawasan hulu DAS Ciliwung Pola Penutupan Lahan Pola penutupan lahan di daerah penelitian hasil pengamatan tahun 1994, 2001, 2005 dan 2010 masing-masing digambarkan pada Gambar 12, Gambar 13, Gambar 14, dan Gambar 15. Berdasarkan gambar tersebut, daerah penelitian memiliki luas total Ha dengan 6 tipe penutupan lahan yaitu ruang terbangun, hutan, kebun campuran, kebun teh, lahan terbuka dan sawah/tegalan. Fenomena penutupan lahan yang terjadi di wilayah DAS Hulu Ciliwung adalah adanya kecenderungan perubahan penggunaan lahan dari area tak terbangun menjadi area terbangun. Hal ini turut mempengaruhi kualitas lahan dalam menginfiltrasi curah hujan karena area resapan yang semakin berkurang. Luas masing-masing kelas dan persentase penutupan lahan tersebut disajikan pada Tabel 9.

6 Gambar 12 Peta Penutupan Lahan Kawasan Hulu DAS Ciliwung Tahun 1994 (Janudianto, 2004) 42

7 Gambar 13 Peta Penutupan Lahan Kawasan Hulu DAS Ciliwung Tahun 2001 (Janudianto, 2004) 43

8 Gambar 14 Peta Penutupan Lahan Kawasan Hulu DAS Ciliwung Tahun

9 Gambar 15 Peta Penutupan Lahan Kawasan Hulu DAS Ciliwung Tahun

10 46 Data pada tabel menunjukkan bahwa pada tahun 1994, pola penutupan lahan di wilayah DAS Hulu Ciliwung didominasi oleh lahan kebun teh dan hutan. Luas kebun teh pada tahun ini adalah 3852,51 Ha atau sama dengan 25,36% dari total luas daerah penelitian. Luas lahan hutan sebesar 3801,49 Ha atau 25,05% dari total luas. Selanjutnya adalah area sawah/tegalan, ruang terbangun dan kebun campuran yang memiliki luasan yang cukup besar dengan luas masing-masing 3166,91 Ha (20,85%), 2663,13 Ha (17,53%) dan 1655,86 Ha (10,90%). Sisanya adalah lahan terbuka yang memiliki luas lebih kecil dibanding tipe penutupan lahan lainnya yaitu sebesar 50,89 Ha atau 0,33% dari total luas keseluruhan. Tabel 9 Luas Penutupan Lahan di Kawasan Hulu DAS Ciliwung Tahun 1994, 2001, 2005 dan 2010 Klasifikasi Luas 1994 Luas 2001 Luas 2005 Luas 2010 Penutupan Lahan (Ha) % (Ha) % (Ha) % (Ha) % Ruang Terbangun 2663,13 17, ,79 23, ,63 27, ,85 30,66 Hutan 3801,49 25, ,24 21, ,02 20, ,17 20,02 Kebun Campuran 1655,86 10, ,98 11, ,22 10, ,83 10,49 Kebun Teh 3852,51 25, ,59 21, ,63 20, ,26 19,76 Lahan Terbuka 50,89 0,33 2,15 0,02 10,55 0,07 1,93 0,01 Sawah/Tegalan 3166,91 20, ,02 21, ,73 20, ,74 19,06 Total 15190, , , , Pada tahun 2001, area ruang terbangun mengalami peningkatan luas yang cukup besar yaitu sebesar 964,66 Ha dari tahun 1994 sehingga menjadikannya sebagai area penutupan lahan terluas yaitu sebesar 3627,79 Ha atau 23,88% dari total luas DAS Hulu Ciliwung. Selanjutnya berturut-turut adalah lahan sawah/tegalan, kebun teh dan hutan yang memiliki luasan relatif sama yaitu sebesar 3334,02 Ha (21,95%), 3264,59 Ha (21,49%) dan 3204,24 Ha (21,09%). area lahan kebun campuran mengalami kenaikan luas yang relatif kecil dengan luas pada tahun ini sebesar 1757,98 Ha atau 11,57% dari total luas. Area lahan terbuka mengalami penurunan luas yang cukup drastis sehingga cukup sulit ditemukan, luas lahan terbuka pada tahun 2001 adalah sebesar 2,15 Ha atau 0,02 dari total luas DAS Hulu Ciliwung. Penutupan lahan pada tahun 2005 masih didominasi oleh area ruang terbangun yang terus mengalami tren peningkatan, luas area ruang terbangun yaitu

11 47 sebesar 4244,63 Ha atau 27,94% dari total luas, diikuti oleh sawah/tegalan, kebun teh dan hutan yang sedikit mengalami penurunan luas dengan luas masing-masing sebesar 20,84%, 20,34% dan 20,22%. Sisanya adalah kebun campuran (10,59%) dan lahan terbuka (0,07%). Pada tahun 2010, area ruang terbangun masih mendominasi sebagai area dengan luas terbesar dari tipe penutupan lahan lainnya yaitu sebesar 4656,85 Ha atau 30,66% dari total luas DAS Hulu Ciliwung. Selanjutnya adalah area hutan, kebun teh, sawah/tegalan dan kebun campuran dengan luas masing-masing 20,02%, 19,76%, 19,06% dan 10,49% dari total luas. Area lahan terbuka semakin mengalami penurunan luas sehingga keberadaannya sudah semakin sulit ditemukan. Luas lahan terbuka pada tahun ini adalah sebesar 1,93 Ha atau hanya 0,01% dari total luas keseluruhan Perubahan Penutupan Lahan Perubahan pola penutupan lahan dalam periode tahun 1994 sampai dengan 2010 dapat diamati melalui proses tumpang tindih (overlay) peta pada ArcView. Data perubahan tipe dan luas penutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 14 dan Gambar 15. Berdasarkan data-data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada periode terjadi perubahan penutupan lahan yang cukup cepat, yaitu meningkatnya area ruang terbangun, kebun campuran dan sawah/tegalan, serta berkurangnya luas hutan, lahan terbuka dan kebun teh. Area ruang terbangun meningkat seluas 964,66 Ha atau 6,35% dari total luas keseluruhan yang merupakan hasil konversi lahan dari hutan, kebun campuran, kebun teh, lahan terbuka dan sawah/tegalan. Kebun campuran juga mengalami peningkatan luas sebesar 102,12 Ha atau 0,67% dari total luas daerah penelitian, merupakan hasil konversi lahan dari hutan, kebun teh, sawah/tegalan dan lahan terbuka. Luas area sawah/tegalan mengalami peningkatan sebesar 167,11 Ha atau 1,1% dari total luas yang merupakan hasil konversi dari lahan terbuka, hutan, kebun campuran, dan kebun teh. Di sisi lain, area hutan dan kebun teh mengalami penurunan luas yang cukup besar. Luas hutan berkurang sebesar 597,25 Ha atau 3,94% yang terkonversi menjadi kebun campuran, kebun teh, dan sawah/tegalan. Sementara luas kebun teh juga berkurang sebesar 587,92 Ha atau 3,87% dari total luas yang

12 48 terkonversi menjadi kebun campuran, ruang terbangun dan sawah/tegalan. Demikian juga halnya dengan lahan terbuka yang ruang terbangun, sawah/tegalan dan kebun campuran sebesar 48,74 Ha atau 0,31% dari total luas keseluruhan Luas (Ha) Periode Tahun Ruang Terbangun Hutan Kebun Campuran Kebun Teh Lahan Terbuka Sawah/Tegalan Gambar 16 Perubahan Luas Penutupan Lahan (Ha) di Kawasan Hulu DAS Ciliwung pada Periode Tahun , dan Pada periode tahun kembali terjadi peningkatan luas yang cukup besar pada area ruang terbangun dan penurunan luas pada hutan, kebun campuran, kebun teh dan sawah/tegalan, sementara lahan terbuka mengalami sedikit peningkatan luas setelah pada periode sebelumnya mengalami penurunan. Area ruang terbangun mengalami peningkatan luas sebesar 616,84 Ha atau 4,06% dari total luas wilayah DAS Hulu Ciliwung yang merupakan hasil konversi dari kebun campuran, kebun teh dan sawah/tegalan. Lahan terbuka mengalami peningkatan luas sebesar 8,4 Ha (0,05%) yang merupakan hasil konversi dari ruang terbangun, kebun campuran dan sawah/tegalan. Sementara itu, hutan terus mengalami penurunan luas sebesar 133,22 Ha atau 0,87% dari total luas keseluruhan yang terkonversi menjadi kebun campuran, sawah/tegalan dan kebun teh. Kebun campuran mengalami penurunan luas sebesar 148,76 Ha atau 0,98%, yang terkonversi menjadi ruang terbangun, sawah/tegalan dan kebun teh. Kebun teh mengalami penurunan luas sebesar 173,96 Ha atau 1,15% dari total luas, terkonversi menjadi kebun campuran,

13 49 sawah/tegalan dan ruang terbangun. Area lain yang mengalami penurunan luas adalah lahan sawah/tegalan sebesar 169,29 Ha atau 1,11% dari total luas yang terkonversi menjadi lahan terbuka, kebun campuran, kebun teh dan ruang terbangun. Periode tahun , area ruang terbangun masih terus mengalami peningkatan luas sebesar 412,22 Ha atau 2,72% dari total luas daerah penelitian yang merupakan hasil konversi dari kebun campuran, kebun teh, lahan terbuka dan sawah/tegalan. Selain ruang terbangun, tipe penutupan lahan lain yang mengalami peningkatan luas adalah kebun campuran yaitu sebesar 94,33 Ha atau 0,62% yang merupakan hasil konversi dari kebun teh, lahan terbuka, ruang terbangun dan sawah/tegalan. Pada periode ini sejumlah area penutupan lahan mengalami penurunan luas, diantaranya adalah hutan, kebun teh, lahan terbuka dan sawah/tegalan. Luas hutan berkurang sebesar 28,85 Ha atau 0,2% dari total luas yang terkonversi menjadi kebun teh dan kebun campuran. Kebun teh mengalami penurunan luas sebesar 89,37 Ha atau 0,58% dari total luas keseluruhan yang terkonversi menjadi kebun campuran, sawah/tegalan dan ruang terbangun. Lahan terbuka mengalami penurunan sebesar 8,62 Ha atau 0,06% yang terkonversi menjadi kebun campuran, ruang terbangun dan sawah/tegalan. Sementara sawah/tegalan juga mengalami penurunan luas sebesar 379,7 Ha atau 2,5% dari total luas wilayah DAS Hulu Ciliwung, terkonversi menjadi ruang terbangun, kebun campuran dan kebun teh Pengaruh Tipe Penutupan Lahan Terhadap Fungsi Hidrologi DAS merupakan suatu sistem yang di dalamnya terjadi interaksi antara komponen penyusunnya. Curah hujan dan tipe penutupan lahan sebagai salah satu komponen penyusun sistem DAS pada akhirnya akan mempengaruhi karakteristik aliran sungai. Salah satu karakteristik aliran sungai yang dapat mengalami perubahan adalah debit aliran sungai yang merupakan akumulasi dari aliran permukaan di seluruh areal DAS. Vegetasi penutup dan tipe penutupan lahan mempengaruhi besarnya aliran permukaan karena memiliki fungsi konservasi air yang berbeda-beda. Oleh karena itu, adanya konversi penutupan lahan akan berdampak pada perubahan aliran permukaan.

14 50 Kebun campuran merupakan lahan yang ditanami berbagai jenis tanaman baik tanaman tahunan, buah-buahan maupun tanaman semusim secara bersamasama. Kebun campuran memiliki kondisi penutupan tanah yang rapat sehingga butiran air hujan tidak langsung mengenai permukaan tanah. Kerapatan tanaman mampu mengurangi laju aliran permukaan. Tanaman tahunan mempuyai luas penutupan daun yang relatif lebih besar dalam menahan energi kinetik air hujan, sehingga air yang sampai ke tanah dalam bentuk aliran batang (stemflow) dan aliran tembus (throughfall) tidak menghasilkan dampak erosi yang begitu besar. Sedangkan tanaman semusim atau tanaman bawah mampu memberikan efek penutupan dan perlindungan tanah dari butiran hujan yang mempunyai energi perusak. Penggabungan keduanya dapat memberi keuntungan ganda baik dari tanaman tahunan maupun tanaman semusim atau tanaman bawah. Gambar 17 Tipe Penutupan Lahan Kebun Campuran Lahan sawah pada kawasan ini umumnya dalam keadaan jenuh air (Gambar 18) sehingga jika terjadi hujan maka air hujan tersebut hampir seluruhnya akan menjadi aliran permukaan dan debit aliran sungai dengan cepat dapat meningkat. Areal tegalan memiliki tajuk tanaman semusim yang sempit sehingga membuat kemampuannya untuk mengintersepsi air rendah. Selain itu, sistem perakaran tanaman semusim yang dangkal dan terbatas tidak mampu menahan air dalam jumlah besar, sehingga menyebabkan sebagian besar jumlah air hujan yang jatuh di atasnya akan mengalir di permukaan tanah dan masuk ke dalam sungai. Kelebihan air hujan yang menjadi aliran permukaan pada areal tegalan ini akan mengalir dengan cepat karena kurangnya hambatan dari semak atau sisa-sisa tanaman. Secara umum sebagian besar lahan sawah/tegalan di kawasan ini telah

15 51 diteras (Gambar 19) sehingga air hujan yang jatuh akan tertahan dan tergenang pada bidang teras dan secara perlahan-lahan air akan terinfiltrasi dalam waktu yang lama. Gambar 18 Kondisi Lahan Sawah yang Jenuh Air Gambar 19 Lahan Sawah yang Berteras-teras Kebun Teh juga memiliki tajuk tanaman semusim yang sempit sehingga membuat kemampuannya untuk mengintersepsi air rendah. Sistem perakaran tanaman teh dangkal dan terbatas sehingga tidak mampu menahan air dalam jumlah besar. Perakaran teh yang hanya satu lapis dari vegetasi homogen tumbuhan teh sulit menahan lapisan tanah sehingga potensi terjadinya longsor cukup besar (Gambar 20). Namun pada beberapa tempat, terdapat pohon yang ditanam diatasnya agar sistem perakaran di dalam tanah tersusun berlapis-lapis (heterogen) sehingga lebih kuat mencengkeram tanah dan dapat menangkap air hujan dalam jumlah yang lebih besar (Gambar 21).

16 52 Gambar 20 Lahan Kebun Teh dengan Perakaran Homogen Gambar 21 Lahan Kebun Teh dengan Perakaran Homogen Hutan pada kawasan ini merupakan hutan lindung dan sebagian merupakan hutan produksi. Dengan adanya hutan, air hujan yang jatuh akan diterima dahulu oleh tajuk hutan sebelum jatuh pada lahan hutan sehingga volume air hujan yang jatuh akan berkurang dan potensinya untuk menjadi aliran permukaan memerlukan waktu yang relatif lama. Selain itu air hujan yang jatuh pada lahan tersebut akan mengalami infiltrasi dan perkolasi. Permukaan tanah pada lahan hutan tertutup oleh serasah dan humus yang membuat tanah menjadi gembur sehingga air dengan mudah meresap ke dalam tanah dan mengisi persediaan air tanah. Dengan demikian, vegetasi hutan dapat menyimpan air dan melepaskan air tersebut ke sungai lebih terkendali di musim kering dibandingkan wilayah yang tidak berhutan.

17 53 Gambar 22 Tipe penutupan Lahan Hutan Pada lahan terbuka, tidak adanya vegetasi penutup membuat curah hujan seluruhnya akan langsung jatuh ke permukaan tanah. Karena tidak adanya sistem perakaran maka sebagian besar curah hujan akan langsung menjadi aliran permukaan. Pada sebagian areal memiliki vegetasi penutup berupa rumput ataupun semak. Namun, sistem perakaran yang dangkal tidak mampu menahan air dalam jumlah besar. Gambar 23 Tipe Penutupan Lahan Terbuka Area ruang terbangun berupa pemukiman, jalan dan infrastruktur lain umumnya memiliki perkerasan yang menutupi permukaan tanah sehingga curah hujan yang jatuh seluruhnya akan menjadi aliran permukaan yang melalui sistem drainase dan selanjutnya mengalir ke sungai. Ruang terbangun berpengaruh besar terhadap jumlah aliran permukaan pada kawasan hulu DAS Ciliwung ini. Keberadaan pemukiman pada daerah bantaran sungai akan meningkatkan potensi terjadinya erosi yang dapat menyebabkan pendangkalan pada dasar sungai (Gambar 24).

18 54 Gambar 24 Pemukiman pada Bantaran Sungai Penghitungan Komponen Hidrologi Komponen hidrologi yang menjadi parameter kualitas lingkungan pada kawasan hulu DAS Ciliwung ini adalah nilai koefisien aliran permukaan (C). Nilai C menunjukkan perbandingan antara besar debit aliran terhadap besar curah hujan. Angka koefisien aliran permukaan ini merupakan salah satu indikator untuk menentukan apakah DAS Ciliwung mengalami gangguan (fisik). Nilai curah hujan didapatkan dari stasiun pengamat Panjang, Pasir Muncang, Gunung Mas dan Katulampa. Sedangkan nilai debit aliran didapatkan dari Stasiun Pengamat Arus Sungai (SPAS) Katulampa yang merupakan outlet dari wilayah DAS Ciliwung bagian hulu ini. Berdasarkan Tabel 11 dan Gambar 25, dapat dilihat bahwa nilai koefisien aliran permukaan (C) di kawasan hulu DAS Ciliwung dari tahun ke tahun mengalami tren peningkatan. Hal ini dikarenakan banyaknya perubahan penggunaan ruang yang awalnya merupakan ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun. Semakin tinggi nilai C menandakan bahwa kualitas lahan di kawasan hulu DAS Ciliwung semakin berkurang. Potensi terjadinya banjir dan erosi pun menjadi semakin besar. Sehingga diperlukan adanya perbaikan lingkungan dan tata ruang (lanskap) pada area terbangun agar laju kenaikan nilai C dapat ditekan. Perbaikan lingkungan ini dapat dilakukan, salah satunya adalah dengan penanaman vegetasi terutama pepohonan dan penataan ruang pada area terbangun, sehingga area yang berfungsi sebagai daerah resapan air dapat dilestarikan untuk menjaga kualitas lingkungan secara keseluruhan.

19 55 Tabel 10 Prakiraan Angka Koefisien Aliran permukaan (C) DAS Ciliwung Hulu Tahun Curah hujan rata-rata (mm) Volume Curah Hujan (10 6 m 3 ) Volume Aliran permukaan (10 6 m 3 ) Volume ET + L (10 6 m 3 ) Koefisien Aliran permukaan (C) ,57 704,43 0, ,56 665,44 0, ,01 530,99 0, ,54 620,46 0, ,36 477,64 0, ,37 501,63 0, ,18 545,82 0, ,49 575,51 0, ,69 436,31 0, ,43 535,57 0, ,35 501,65 0,1837 Nilai C 0,2 0,18 0,16 0,14 0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0 y = 0,006x 11,89 R² = 0, Tahun Gambar 25 Grafik Perbandingan Nilai C Rata-rata DAS Ciliwung Hulu Berdasarkan data nilai C tahun 1998 hingga tahun 2008 pada Tabel 11, dapat dilakukan penghitungan untuk memprediksi nilai C pada tahun 1994 dan 2010 karena data pada tahun tersebut diperlukan pada proses pemodelan. Penghitungan dilakukan dengan metode regresi linear yang memungkinkan kita meramalkan nilai-nilai variabel tak bebas (dalam hal ini adalah nilai C pada tahun 1994 dan 2010) dari nilai satu atau lebih variabel bebas (nilai C pada Tabel 11) (Walpole, 1995). Dari hasil penghitungan, diperoleh prediksi nilai C pada tahun 1994 adalah 0,0345 dan pada tahun 2010 adalah 0,1302.

20 Model Dinamik Berdasarkan struktur model casual loop yang telah dibuat, diketahui bahwa jumlah penduduk mempengaruhi luas tiap jenis RTH serta luas RTH secara keseluruhan. Kemudian, luas RTH mempengaruhi nilai koefisien aliran permukaan. Tahapan awal pada pengujian model sistem dinamik adalah menentukan persamaan fungsi regresi linear antara variabel X dan Y unteuk melihat apakah persamaan-persamaan yang digunakan sudah benar. Sebelumnya perlu dibuat diagram pencar yang menggambarkan hubungan antara variabel X dan Y. diagram pencar antar variabel dapat dilihat pada Gambar 26, Gambar 27, Gambar 28, Gambar 29, Gambar 30, Gambar 31, dan Gambar 32. Tabel 11 Jumlah Penduduk, Nilai C dan Perubahan RTH Kawasan hulu DAS Ciliwung tahun 1994, 2001, 2005 dan 2010 Tahun Jml Penduduk Jiwa Jiwa Jiwa Jiwa Nilai C ,0767 0,1008 0,1302 Klasifikasi RTH Luas (Ha) Luas (Ha) Luas (Ha) Luas (Ha) Hutan 3.801, , , ,17 Kebun Campuran 1.655, , , ,83 Kebun Teh 3.852, , , ,26 Lahan Terbuka 50,89 2,15 10,55 1,93 Sawah/Tegalan 3.166, , , ,74 Total RTH , , , ,93 Luas DAS , , , ,78 Luas Hutan (Ha) Jumlah Penduduk (Jiwa) Gambar 26 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) dan Luas Hutan (Y)

21 57 Luas Kebun Campuran (Ha) Jumlah Penduduk (Jiwa) Gambar 27 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) dan Luas Kebun Campuran (Y) Luas Kebun Teh (Ha) Jumlah Penduduk (Jiwa) Gambar 28 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) dan Luas Kebun Teh (Y) 60 Luas Lahan Teruka (Ha) Jumlah Penduduk (Jiwa) Gambar 29 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) dan Luas Lahan Terbuka (Y)

22 58 Luas Sawah/Tegalan (Ha) Jumlah Penduduk (Jiwa) Gambar 30 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) dan Luas Sawah/Tegalan (Y) Luas RTH (Ha) Jumlah Penduduk (Jiwa) Gambar 31 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) dan Luas RTH (Y) Koefisien Aliran Permukaan Luas RTH (Ha) Gambar 32 Diagram Pencar Hubungan Linear Luas RTH (X) dan Koefisien Aliran permukaan (Y)

23 59 Berdasarkan gambar diagram pencar, diketahui bahwa hubungan linear antara jumlah penduduk dengan luas tiap jenis RTH dan luas RTH secara keseluruhan adalah negatif. Artinya, semakin banyak jumlah penduduk, luas hutan, kebun campuran, kebun teh, lahan terbuka, dan sawah/tegalan semakin berkurang sehingga luas total RTH juga ikut berkurang. Begitu pula hubungan luas RTH dengan nilai koefisien aliran permukaan juga berkorelasi negatif. Jadi, semakin berkurangnya luas RTH, nilai koefisien aliran permukaan di wilayah DAS Hulu Ciliwung semakin meningkat. Dari hubungan linear antara variabel X dan Y tersebut dapat diketahui nilai koefisien korelasi serta persamaan fungsinya yang dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 12 Nilai Koefisien Korelasi dan Persamaan Fungsi dari Hubungan Linear Variabel X dan Y Variabel Bebas (X) Variabel Terikat (Y) r r 2 Persamaan Jumlah Penduduk Hutan -0,999 0,997 y=4.945,85-7,995*10-3 x Jumlah Penduduk Kebun Campuran -0,532 0,283 y=1.862,32-9,995*10-4 x Jumlah Penduduk Kebun Teh -0,930 0,866 y=5.180,46-9,011*10-3 x Jumlah Penduduk Lahan Terbuka -0,799 0,639 y=114,83-4,723*10-4 x Jumlah Penduduk Sawah/Tegalan -0,677 0,458 y=3.787,6-3,105*10-3 x Jumlah Penduduk Luas RTH -0,984 0,968 y=15.891,06-2,15*10-2 x Luas RTH Koefisien Aliran permukaan -0,994 0,988 y=0,61-4,6406*10-5 x Nilai r pada tabel tersebut menunjukkan kekuatan hubungan antara variabel X dan Y, sedangkan r² menunjukkan persentase keragaman dalam nilai-nilai Y yang dapat dijelaskan oleh hubungan linear dengan X. Jadi, nilai r yang semakin mendekati -1 atau +1 dikatakan memiliki hubungan linear yang sangat kuat. Sedangkan, nilai r² yang mendekati 1 menunjukkan hampir 100% di antara keragaman nilai-nilai Y dapat dijelaskan oleh hubungan linearnya dengan X. Oleh karena itu, berdasarkan koefisien korelasi dan persamaan regresi linear yang diperoleh, diketahui bahwa secara umum pertambahan jumlah penduduk di wilayah DAS Hulu Ciliwung berpengaruh terhadap penurunan tiap jenis RTH serta luas total RTH di wilayah tersebut. Pengaruh terkuat terjadi pada lahan hutan dan pengaruh terendah adalah pada lahan kebun campuran. Selanjutnya, diketahui pula bahwa penurunan luas total RTH berpengaruh kuat terhadap penurunan kemampuan lahan menginfiltrasi curah hujan dalam hal ini dinyatakan dalam nilai koefisien aliran permukaan.

24 60 Berdasarkan tabel 12, diperoleh laju pengurangan luas RTH akibat penambahan jumlah penduduk per tahun adalah sebesar 0, Artinya, setiap penambahan penduduk sebesar jiwa dibutuhkan 212,56 Ha dari luas RTH untuk dikonversi menjadi ruang terbangun seperti tempat tinggal dan infrastruktur lainnya. Selanjutnya dibuat struktur model yang memperlihatkan hubungan antara pertumbuhan penduduk terhadap luas jenis tiap RTH dan RTH secara keseluruhan, dan luas RTH terhadap nilai koefisien aliran permukaan. Berikut adalah gambar struktur model yang dibuat (Gambar 33). Gambar 33 Struktur Model Simulasi Struktur model tersebut selanjutnya disimulasikan dengan skenario yang telah dibuat. Dasar dari simulasi penentuan daerah RTH yang terkonversi menjadi ruang terbangun diantaranya yaitu mengacu pada peta kemiringan lahan kawasan hulu DAS Ciliwung. Diasumsikan perubahan RTH menjadi ruang terbangun diprioritaskan terjadi pada area kemiringan 0-15%. Berdasarkan hasil penghitungan luas melalui proses overlay peta tutupan lahan kawasan hulu DAS Ciliwung tahun 2010 dan peta kemiringan lahan, diketahui luas RTH yang berada pada kemiringan 0-15% adalah 4.382,01 Ha, sehingga alih guna lahan yang akan terjadi diharapkan tidak melebihi luasan tersebut.

25 61 Proporsi RTH di kawasan hulu DAS Ciliwung saat ini adalah sebesar 79,34% dari luas total. Berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor, RTH perkotaan dialokasikan sebesar 30% dari luas kawasan. Sedangkan menurut Danoedjo (1990), sebagai kawasan resapan air diperlukan RTH yang sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan yaitu antara 40%-60% agar keseimbangan lingkungan suatu daerah/kota tetap terjaga. Asumsi yang digunakan pada simulasi adalah batas minimal RTH sebesar 40% luas kawasan atau sebesar 6.076,31 Ha pada akhir simulasi, karena keberadaan RTH sangat penting dalam proses infiltrasi curah hujan sehingga dapat meminimalisir besarnya aliran permukaan yang terjadi di kawasan hulu DAS Ciliwung ini. Proses simulasi model menggunakan program STELLA yang dapat membantu penyusunan konstruksi model simulasi serta running model simulasinya. Model disimulasikan untuk melihat kondisi pada masa 25 tahun mendatang dengan skenario yang berbeda. Berdasarkan struktur model simulasi, terdapat laju penambahan dan pengurangan pada setiap veriabel. Laju penambahan dan pengurangan dipengaruhi oleh koefisien laju desakan pada tiap variabel. Pada penelitian ini, laju desakan luasan tiap jenis RTH merupakan hasil pembagian dari pengurangan luas RTH keseluruhan yang dipengaruhi oleh penambahan penduduk setiap tahun. Nilai laju desakan tiap jenis RTH didapatkan dari hasil penghitungan Tabel 14 yaitu, perbandingan proporsi luas tiap jenis RTH yang berkurang terhadap total luas RTH yang berkurang. Tabel 13 Koefisien Laju Desakan Tiap Jenis RTH dan Laju Pertumbuhan Penduduk Per Tahun Pada Tiap Skenario Laju Koefisien Laju Desakan Tiap Jenis RTH Skenario Pertumbuhan Kebun Kebun Lahan Sawah/ Ke- Penduduk Hutan per Tahun Campuran Teh Terbuka Tegalan Total 1 0,0291 0,3808 0,0316 0,4270 0,0246 0, , ,1268 0,5222 0,1198 0, , , ,1268 0,5222 0,1198 0, , , , , , ,

26 62 Berikut adalah penjelasan dari setiap skenario: A. Skenario 1 Skenario 1 merupakan skenario agresif. Pada skenario 1, diasumsikan bahwa penambahan jumlah penduduk di kawasan hulu DAS Ciliwung dengan laju pertumbuhan penduduk 2,91 %, akan mendesak semua jenis RTH. Jadi, setiap jenis RTH akan mengalami konversi penutupan lahan akibat desakan dari penambahan ruang terbangun. Model tersebut disimulasikan untuk keadaan 25 tahun mendatang. Berdasarkan hasil simulasi (terlampir), pada tahun ke 25 luas total RTH adalah Ha (31,95%) dengan nilai koefisien aliran permukaan sebesar 0,38. Berikut adalah grafik yang menunjukkan hubungan antara jumlah penduduk, luas RTH dan nilai koefisien aliran permukaan di kawasan hulu DAS Ciliwung dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2.91%. Gambar 34 Grafik Hubungan Jumlah Penduduk, Luas RTH, dan Nilai Koefisien Aliran Permukaan Pada Laju Pertumbuhan Penduduk 2,91% Berdasarkan grafik, dapat dilihat bahwa luas RTH menurun sejak tahun pertama yang disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk pada kawasan ini. Nilai koefisien aliran permukaan cenderung beranjak naik seiring dengan berkurangnya luas RTH. Pada skenario ini, luas RTH 40% hanya dapat bertahan hingga tahun ke-20. Hasil simulasi secara spasial dapat dilihat pada Gambar 36. Peta penutupan lahan hasil skenario ini merupakan hasil pengolahan peta

27 63 penutupan lahan Kawasan Hulu DAS Ciliwung tahun 2010 yang menggambarkan kondisi penutupan lahan pada tahun ke-25 simulasi yang bersifat ilustrasi dan tidak merepresentasikan kondisi penutupan lahan sebenarnya. B. Skenario 2 Skenario 2 merupakan skenario semi-agresif. Pada Skenario 2, laju pertumbuhan penduduk di kawasan hulu DAS Ciliwung diasumsikan diturunkan menjadi 2,5% dan luas hutan diproteksi sesuai dengan RTRW Kabupaten Bogor , sehingga luas hutan tetap dari tahun ke tahun sebesar 3.042,17 Ha. Penambahan ruang terbangun hanya akan mendesak kebun campuran, kebun teh, lahan terbuka dan sawah/tegalan. Struktur model yang telah dibuat tersebut kemudian disimulasikan untuk keadaan 25 tahun ke depan. Berdasarkan hasil simulasi (terlampir), pada tahun ke- 25 luas RTH adalah 5.907,27 Ha (38,88%) dengan nilai koefisien aliran permukaan 0,34. Gambar 35 adalah grafik yang menunjukkan hubungan antara jumlah penduduk, luas RTH dan nilai koefisien aliran permukaan di kawasan hulu DAS Ciliwung dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,5%. Gambar 35 Grafik Hubungan Jumlah Penduduk, Luas RTH, dan Nilai Koefisien Aliran Permukaan Pada Laju Pertumbuhan Penduduk 2,5%

28 Gambar 36 Skenario 1 Penutupan Lahan Kawasan Hulu DAS Ciliwung 64

29 Gambar 37 Skenario 2 Penutupan Lahan Kawasan Hulu DAS Ciliwung 65

30 66 Berdasarkan grafik Skenario 2 pada Gambar 35, luas RTH menurun cenderung lebih lambat dari grafik Skenario 1. Luas RTH 40% hanya dapat bertahan hingga tahun ke-24. Gambar 37 merupakan Ilustrasi penutupan lahan hasil simulasi secara spasial. C. Skenario 3 Skenario 3 merupakan bentuk skenario dengan konsep konservasi. Pada skenario 3, diasumsikan bahwa laju pertumbuhan penduduk diturunkan secara drastis hingga hanya 1% dan luas RTH jenis hutan, kebun campuran, kebun teh dan sawah/tegalan diproteksi, sehingga penambahan luas ruang terbangun hanya akan mendesak lahan terbuka atau dengan kata lain, pengurangan luas RTH seluruhnya dibebankan pada lahan terbuka. Kemudian struktur model yang telah dibuat tersebut disimulasikan untuk kondisi 25 tahun ke depan. Berdasarkan hasil simulasi (terlampir), luas lahan terbuka tidak dapat dipertahankan untuk menahan desakan akibat penambahan luas ruang terbangun. Pada tahun ke-1 luas lahan terbuka tidak dapat memenuhi kebutuhan lahan akibat peningkatan jumlah penduduk. Hal itu diakibatkan karena lahan terbuka di kawasan hulu DAS Ciliwung ini memiliki luasan yang sangat kecil yaitu hanya 0,01% dari total luas seluruhnya. Gambar 38 adalah grafik hubungan antara jumlah penduduk, luas RTH dan nilai koefisien aliran permukaan di kawasan hulu DAS Ciliwung dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1%. Gambar 38 Grafik Hubungan Jumlah Penduduk, Luas RTH, dan Nilai Koefisien Aliran Permukaan Pada Laju Pertumbuhan Penduduk 1%

31 67 Gambar 39 Skenario 3 Penutupan Lahan Kawasan Hulu DAS Ciliwung

32 68 Gambar 39 merupakan hasil simulasi secara spasial yang mengilustrasikan konversi lahan terbuka menjadi ruang terbangun pada tahun pertama. D. Skenario 4 Skenario 4 merupakan pengembangan dari skenario 2. Pada skenario ini diasumsikan laju pertumbuhan penduduk diturunkan lagi menjadi 2%. Luas hutan tetap diproteksi sesuai dengan RTRW Kabupaten Bogor , sehingga penambahan ruang terbangun hanya akan mendesak kebun campuran, kebun teh, lahan terbuka dan sawah/tegalan. Struktur model tersebut disimulasikan untuk kondisi 25 tahun ke depan. Berdasarkan hasil simulasi (terlampir), pada tahun ke-25 luas RTH adalah sebesar 7.063,14 dengan nilai koefisien aliran permukaan 0,28. Gambar 40 adalah grafik yang menunjukkan hubungan antara jumlah penduduk, luas RTH dan nilai koefisien aliran permukaan di kawasan hulu DAS Ciliwung dengan laju pertumbuhan penduduk 2%. Ilustrasi penutupan lahan hasil simulasi secara spasial dapat dilihat pada Gambar 41. Gambar 40 Grafik Hubungan Jumlah Penduduk, Luas RTH, dan Nilai Koefisien Aliran Permukaan Pada Laju Pertumbuhan Penduduk 2%

33 Gambar 41 Skenario 4 Penutupan Lahan Kawasan Hulu DAS Ciliwung 69

34 70 E. Skenario 5 Skenario 5 merupakan bentuk pengembangan dari skenario 4. Pada skenario ini diasumsikan laju pertumbuhan penduduk sama dengan skenario 4 yaitu sebesar 2%. Selain hutan, luas kebun teh dan sawah/tegalan juga diproteksi dengan pertimbangan pertanian merupakan salah satu mata pencaharian utama bagi penduduk di kawasan hulu DAS Ciliwung ini. Sehingga, luas hutan, kebun teh dan sawah/tegalan tetap dari tahun ke tahun dan penambahan luas ruang terbangun hanya akan mendesak luas kebun campuran dan lahan terbuka. Struktur model tersebut kemudian disimulasikan untuk kondisi 25 tahun ke depan. Berdasarkan hasil simulasi (terlampir), luas kebun campuran hanya dapat bertahan hingga tahun ke-16 sedangkan luas lahan tebuka sudah habis sejak tahun pertama. Hal itu berarti, kebun campuran dan lahan terbuka tidak dapat memenuhi kebutuhan lahan akibat peningkatan jumlah penduduk selama 25 tahun. Gambar 42 menujukkan grafik hubungan antara jumlah penduduk, luas RTH dan nilai koefisien aliran permukaan di kawasan hulu DAS Ciliwung dengan laju pertumbuhan penduduk 2% dengan tidak memperhatikan laju desakan dari tiap jenis RTH. Ilustrasi penutupan lahan hasil simulasi secara spasial dapat dilihat pada Gambar 43. Gambar 42 Grafik Hubungan Jumlah Penduduk, Luas RTH, dan Nilai Koefisien Aliran Permukaan Pada Laju Pertumbuhan Penduduk 2%

35 Gambar 43 Skenario 5 Penutupan Lahan Kawasan Hulu DAS Ciliwung 71

36 72 F. Skenario 6 Skenario 6 merupakan bentuk pengembangan dari skenario 5. Pada skenario ini diasumsikan hutan, kebun teh dan sawah/tegalan tetap diproteksi. Laju pertumbuhan penduduk diturunkan lagi menjadi 1,5% dengan harapan penambahan luas ruang terbangun tidak terlalu besar sehingga luas kebun campuran dan lahan terbuka dapat dipertahankan hingga tahun akhir skenario. Struktur model tersebut kemudian disimulasikan untuk kondisi 25 tahun ke depan. Berdasarkan hasil simulasi (terlampir), luas kebun campuran ternyata hanya dapat dipertahankan hingga tahun ke-20 sedangkan luas lahan terbuka sudah habis sejak tahun pertama. hal itu berarti luas kebun campuran dan lahan terbuka tidak dapat memenuhi kebutuhan lahan akibat peningkatan jumlah penduduk meskipun laju pertumbuhannya diturunkan sampai 1,5%. Gambar 44 menujukkan grafik hubungan antara jumlah penduduk, luas RTH dan nilai koefisien aliran permukaan di kawasan hulu DAS Ciliwung dengan laju pertumbuhan penduduk 1,5% dengan tidak memperhatikan laju desakan dari tiap jenis RTH. Ilustrasi penutupan lahan hasil simulasi secara spasial dapat dilihat pada Gambar 45. Gambar 44 Grafik Hubungan Jumlah Penduduk, Luas RTH, dan Nilai Koefisien Aliran Permukaan Pada Laju Pertumbuhan Penduduk 1,5%

37 Gambar 45 Skenario 6 Penutupan Lahan Kawasan Hulu DAS Ciliwung 73

38 74 Berdasarkan hasil dari skenario-skenario yang telah dibuat, dipilih skenario terbaik sebagai dasar penyusunan rekomendasi. Pada skenario 1, pertumbuhan penduduk akan menekan semua jenis RTH. Hal itu mengakibatkan luas hutan juga ikut bekurang, padahal hutan berfungsi penting dari sisi ekologi dan perlindungan tata air di kawasan hulu DAS Ciliwung ini. Pada waktu akhir simulasi, luas RTH yang tersisa pun masih dibawah harapan 40%. Sehingga skenario 1 kurang baik untuk digunakan. Pada skenario 2, luas hutan diproteksi dan laju pertumbuhan penduduk diturunkan menjadi 2,5%. Hasil dari skenario 2 lebih baik dari skenario 1 jika dilihat dari luas total RTH dan nilai koefisien aliran permukaannya. Namun, luas kebun campuran, kebun teh dan sawah/tegalan mengalami pengurangan luas per tahun yang lebih besar sehingga tidak menutup kemungkinan jenis RTH tersebut akan habis dalam jangka waktu lebih cepat. Luas RTH yang tersisa pada akhir simulasi masih di bawah harapan 40% Skenario 3 dengan konsep konservasi merupakan skenario terbaik untuk melindungi RTH sehingga fungsi hidrologis DAS Ciliwung hulu juga dapat terjaga. Namun skenario ini tidak dapat digunakan karena luas lahan terbuka tidak dapat mengakomodasi kebutuhan ruang akibat kenaikan jumlah penduduk meskipun laju pertumbuhannya dikurangi hingga hanya 1%. Skenario 4, 5 dan 6 merupakan pengembangan dari skenario 2. Pada skenario 4, luas hutan tetap diproteksi sedangkan laju pertumbuhan penduduk diturunkan menjadi 2% sehingga luas kebun campuran, kebun teh dan sawah/tegalan mengalami penurunan luas per tahun yang lebih kecil dari skenario 2 dan luas jenis RTH tersebut masih bisa dipertahankan dalam jangka waktu yang lebih lama. Luas total RTH pada tahun ke-25 juga masih berada di atas 40% dari total luas kawasan sehingga kawasan hulu DAS Ciliwung ini masih memiliki fungsi hidrologis yang lebih baik karena nilai koefisien aliran permukaannya lebih kecil dibanding dengan skenario 1 dan 2. Skenario 5 merupakan pengembangan lanjutan dari skenario 4 dimana laju pertumbuhan penduduk tetap sebesar 2%. Namun, pada skenario ini luas jenis RTH yang diproteksi ditambahkan kebun teh dan sawah/tegalan sehingga luas jenis RTH yang mengalami desakan akibat penambahan luas ruang terbangun

39 75 hanya dibebankan kepada kebun campuran dan lahan terbuka. Asumsi tersebut dibuat dengan mempertimbangkan lahan pertanian sebagai salah satu mata pencaharian utama bagi penduduk di kawasan hulu DAS Ciliwung. Hasil skenario menunjukkan bahwa model tersebut hanya mampu bertahan hingga tahun ke-16 sehingga skenario ini tidak dapat dipergunakan. Skenario 6 dibuat atas dasar hasil dari skenario 5 dimana laju pertumbuhan penduduk diturunkan lagi menjadi 1,5% dan luas jenis RTH yang diproteksi sama dengan skenario 5 yaitu hutan, kebun teh dan sawah/tegalan. Struktur model tersebut dibuat dengan harapan luas kebun campuran dan lahan terbuka masih dapat bertahan hingga tahun akhir skenario. Hasil dari skenario menunjukkan bahwa ternyata kedua jenis RTH tersebut hanya mampu bertahan hingga tahun ke- 20 sehingga skenario ini pun tidak dapat dipergunakan. Dari semua skenario yang dibuat, skenario yang paling baik adalah skenario 4. Pada skenario ini, luas RTH dan nilai koefisien aliran permukaan setelah disimulasikan untuk kondisi 25 ahun mendatang adalah 7.063,14 Ha (46,49%) dan 0,26. Luas RTH pada skenario ini merupakan yang terbaik dibanding dengan hasil skenario lainnya dan nilai koefisien aliran permukaan pada skenario ini merupakan yang terkecil dibanding dengan skenario lain sehingga memiliki fungsi hidrologis yang lebih baik. Rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan terkait dengan penurunan laju pertumbuhan penduduk antara lain adalah dengan pengendalian tingkat kelahiran yaitu dengan menggalakkan program Keluarga Berencana (KB). Selain itu, diperlukan pembatasan jumlah migrasi penduduk ke dalam kawasan hulu DAS Ciliwung ini. Kebijakan lain yang dapat diterapkan adalah pembangunan secara vertikal, sehingga ruang terbangun tidak terlalu memerlukan lahan yang luas. Namun kebijakan ini perlu mendapat perhatian khusus dalam penentuan lokasi, jumlah dan tinggi bangunannya agar tidak melebihi daya dukung lahan setempat atau dapat mempengaruhi fungsi hidrologis di lokasi tersebut. Selanjutnya, kebijakan yang dapat dibuat dengan mempertimbangkan luas lahan pertanian dan perkebunan yang semakin berkurang adalah dengan memberikan pelatihan ketenagakerjaan kepada penduduk di kawasan hulu DAS Ciliwung yang memiliki keahlian terbatas (pertanian) sehingga dapat

40 76 mendapatkan pekerjaan pada bidang keahlian yang lain. Kebijakan ini diperlukan untuk mengantisipasi besarnya tingkat pengangguran dan kemiskinan pada wilayah ini. Meskipun skenario 4 memiliki pencapaian hasil yang lebih baik dari skenario lainnya, ancaman bencana banjir di daerah hilir maupun di daerah hulu itu sendiri tetap dapat terjadi. Hal itu turut disebabkan oleh kondisi penutupan lahan di daerah hilir yang sangat didominasi oleh ruang terbangun dan hilangnya daerah-daerah resapan air. Oleh karena itu, untuk mewujudkan perbaikan fungsi hidrologi DAS Ciliwung secara keseluruhan diperlukan partisipasi secara keseluruhan pula dari kawasan hulu hingga hilir dalam hal ini adalah peran serta masyarakat serta penerapan kebijakan yang tegas dan konsisten dari pihak-pihak terkait (terutama dalam hal ini adalah pemerintah).

III.BAHAN DAN METODE. Gambar 1. Lokasi Penelitian (DAS Ciliwung Hulu)

III.BAHAN DAN METODE. Gambar 1. Lokasi Penelitian (DAS Ciliwung Hulu) III.BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di DAS Ciliwung Hulu yang secara geografi terletak pada 6 o 38 01 LS 6 o 41 51 LS dan 106 o 50 11 BT 106 o 58 10 BT. Penelitian

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penghitungan Aspek Kependudukan Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek sosial pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi kependudukan

Lebih terperinci

III. METEDOLOGI PENELITIAN

III. METEDOLOGI PENELITIAN III. METEDOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga Desember 2011, berlokasi di DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Wilayah penelitian meliputi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik dasar kenampakan masing-masing penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM 4.1 Aspek Fisik Wilayah Administrasi

KONDISI UMUM 4.1 Aspek Fisik Wilayah Administrasi IV KONDISI UMUM 4.1 Aspek Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung secara geografis terletak pada 6º 05 51-6º 46 12 Lintang Selatan (LS) dan 106º 47 09-107º 0 0 Bujur Timur

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Tahun 2009 Peta penutupan lahan dihasilkan melalui metode Maximum Likelihood dari klasifikasi terbimbing yang dilakukan dengan arahan (supervised) (Gambar 14).

Lebih terperinci

ANALISIS FLUKTUASI DEBIT AIR AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN PUNCAK KABUPATEN BOGOR

ANALISIS FLUKTUASI DEBIT AIR AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN PUNCAK KABUPATEN BOGOR ANALISIS FLUKTUASI DEBIT AIR AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN PUNCAK KABUPATEN BOGOR Analysis of Water Discharge Fluctuation Due to Land Use Change in Puncak Area, Bogor District Yunita Lisnawati

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Gambar 1. Lokasi Penelitian 11 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Analisis citra dan

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan 10 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelititan Kegiatan penelitian ini dilakukan di laboratorium dan di lapangan. Pengolahan citra digital dan analisis data statistik dilakukan di Bagian Perencanaan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Biru terletak di Kabupaten Wonogiri, tepatnya di Kecamatan Purwantoro dan Kecamatan Bulukerto. Lokasinya terletak di bagian lereng

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Bandung Barat yang merupakan kabupaten baru di Provinsi Jawa Barat hasil pemekaran dari Kabupaten Bandung. Kabupaten

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Hasil dan Analisis Peta Ancaman Bencana Tanah Longsor Pembuatan peta ancaman bencana tanah longsor Kota Semarang dilakukan pada tahun 2014. Dengan menggunakan data-data

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Curah Hujan Data curah hujan sangat diperlukan dalam setiap analisis hidrologi, terutama dalam menghitung debit aliran. Hal tersebut disebabkan karena data debit aliran untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi merupakan proses penghancuran dan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh tenaga erosi (presipitasi, angin) (Kusumandari, 2011). Erosi secara umum dapat disebabkan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal 23 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal Hasil interpretasi penggunaan lahan dari citra ALOS AVNIR 2009, Kecamatan Babakan Madang memiliki 9 tipe penggunaan

Lebih terperinci

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di DAS Ciliwung Hulu dan Cisadane Hulu. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2009 dan selesai pada

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Morfometri Sungai Berdasarkan hasil pengukuran morfometri DAS menggunakan software Arc-GIS 9.3 diperoleh panjang total sungai di Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Sekayu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam semesta ini. Bagi umat manusia, keberadaan air sudah menjadi sesuatu yang urgen sejak zaman

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pertanaman Sayuran Lahan sayuran merupakan penggunaan lahan dominan di Desa Sukaresmi Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Tanaman sayuran yang diusahakan antara lain

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur 26 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sukaraja tahun 2006-2009 disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 8. Tabel

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas DAS/ Sub DAS Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) yang dijadikan objek penelitian adalah Stasiun Pengamatan Jedong yang terletak di titik 7 59

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam esensial, yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Dengan air, maka bumi menjadi planet dalam tata surya yang memiliki

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup seluruh makhluk, terutama manusia. Dua pertiga wilayah bumi terdiri dari lautan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. 1. Penggunaan Lahan 5.1.1. Penggunaan Lahan di DAS Seluruh DAS yang diamati menuju kota Jakarta menjadikan kota Jakarta sebagai hilir dari DAS. Tabel 9 berisi luas DAS yang menuju

Lebih terperinci

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE 1 Cindy Tsasil Lasulika, Nawir Sune, Nurfaika Jurusan Pendidikan Fisika F.MIPA Universitas Negeri Gorontalo e-mail:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 3.1 Lokasi Penelitian WP Bojonagara

III. METODOLOGI. Gambar 3.1 Lokasi Penelitian WP Bojonagara III. METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga bulan Oktober 2009. Lokasi penelitian yaitu di Wilayah Pengembangan (WP) Bojonagara, Kota Bandung. Gambar 3.1

Lebih terperinci

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA Oleh 1207055018 Nur Aini 1207055040 Nur Kholifah ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS MULAWARMAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. adanya dan mengungkapkan fakta-fakta yang ada, walaupun kadang-kadang

BAB III METODE PENELITIAN. adanya dan mengungkapkan fakta-fakta yang ada, walaupun kadang-kadang BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif lebih mengarah pada pengungkapan suatu masalah atau keadaan sebagaimana adanya dan mengungkapkan

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F14104021 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan makhluk hidup khususnya manusia, antara lain untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dan tenaga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. penelitian dengan baik dan benar, metode penelitian juga merupakan suatu cara

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. penelitian dengan baik dan benar, metode penelitian juga merupakan suatu cara 36 BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. Metode penelitian Metode penelitian merupakan sebuah pedoman untuk merancang penelitian dengan baik dan benar, metode penelitian juga merupakan suatu cara untuk mendapatkan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU 75 GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu propinsi yang masih memiliki tutupan hutan yang baik dan kaya akan sumberdaya air serta memiliki banyak sungai. Untuk kemudahan dalam

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*)

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*) MODEL PENANGGULANGAN BANJIR Oleh: Dede Sugandi*) ABSTRAK Banjir dan genangan merupakan masalah tahunan dan memberikan pengaruh besar terhadap kondisi masyarakat baik secara social, ekonomi maupun lingkungan.

Lebih terperinci

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik Latar Belakang: Penghutan kembali atau reboisasi telah banyak dilakukan oleh multipihak untuk menyukseskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1) A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Cisangkuy merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu yang terletak di Kabupaten Bandung, Sub DAS ini

Lebih terperinci

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep)

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep) Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten ) Arfina 1. Paharuddin 2. Sakka 3 Program Studi Geofisika Jurusan Fisika Unhas Sari Pada penelitian ini telah

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret hingga bulan November 2009, bertempat di laboratorium dan di lapangan. Penelitian di lapangan ( pengecekan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi tahun 2010 yang lalu adalah letusan terbesar jika dibandingkan dengan erupsi terbesar Gunung Merapi yang pernah ada dalam sejarah yaitu tahun 1872.

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil

Lebih terperinci

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kenampakan Secara Spasial Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Karakteristik Biofisik 4.1.1 Letak Geografis Lokasi penelitian terdiri dari Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, Kabupaten Bogor yang terletak antara 6⁰37 10

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Identifikasi dan Delineasi Daerah Rawan Longsor

BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Identifikasi dan Delineasi Daerah Rawan Longsor BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Daerah rawan longsor harus dijadikan areal konservasi, sehingga bebas dari kegiatan pertanian, pembangunan perumahan dan infrastruktur. Apabila lahan digunakan untuk perumahan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 9 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Umum Kecamatan Megamendung Kondisi Geografis Kecamatan Megamendung Kecamatan Megamendung adalah salah satu organisasi perangkat daerah Kabupaten Bogor yang terletak

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kadar Air Tanah Air merupakan salah satu komponen penting yang dibutuhkan oleh tanaman baik pohon maupun tanaman semusim untuk tumbuh, berkembang dan berproduksi. Air yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan bumi baik dalam bentuk cairan maupun es. Hujan merupakan faktor utama pengendali daur hidrologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan lahan yang sangat intensif serta tidak sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahan menimbulkan adanya degradasi lahan. Degradasi lahan yang umum terjadi

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi faktor pendukung dalam penyediaan kebutuhan air. Lahan-lahan yang ada pada suatu DAS merupakan suatu

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Bogor, 08 Desember 2015 Walikota Bogor, Dr. Bima Arya Sugiarto

KATA PENGANTAR. Bogor, 08 Desember 2015 Walikota Bogor, Dr. Bima Arya Sugiarto WALIKOTA BOGOR KATA PENGANTAR Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan perlu didukung data dan informasi lingkungan hidup yang akurat, lengkap dan berkesinambungan. Informasi

Lebih terperinci

PEMBUATAN PETA TINGKAT KERAWANAN BANJIR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENGURANGI TINGKAT KERUGIAN AKIBAT BENCANA BANJIR 1 Oleh : Rahardyan Nugroho Adi 2

PEMBUATAN PETA TINGKAT KERAWANAN BANJIR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENGURANGI TINGKAT KERUGIAN AKIBAT BENCANA BANJIR 1 Oleh : Rahardyan Nugroho Adi 2 PEMBUATAN PETA TINGKAT KERAWANAN BANJIR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENGURANGI TINGKAT KERUGIAN AKIBAT BENCANA BANJIR 1 Oleh : Rahardyan Nugroho Adi 2 Balai Penelitian Kehutanan Solo. Jl. A. Yani PO Box 295

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan menjadi aliran sungai yang

PENDAHULUAN. tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan menjadi aliran sungai yang BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah permukaan bumi sebagai tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan menjadi aliran sungai yang mempunyai

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Lahan/Penggunaan Lahan di Kota

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Lahan/Penggunaan Lahan di Kota 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Lahan/Penggunaan Lahan di Kota Adanya aktifitas manusia dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya sehari-hari berdampak pada perubahan penutup/penggunaan

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM USAHA

V GAMBARAN UMUM USAHA V GAMBARAN UMUM USAHA 5.1. Gambaran Umum KUD Giri Tani 5.1.1. Sejarah dan Perkembangan KUD Giri Tani KUD Giri Tani didirikan pada tanggal 26 maret 1973 oleh Alm. H. Dulbari, yang menjabat sebagai Kepala

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Erosi adalah proses terkikis dan terangkutnya tanah atau bagian bagian tanah oleh media alami yang berupa air. Tanah dan bagian bagian tanah yang terangkut dari suatu

Lebih terperinci

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daur hidrologi merupakan perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut, air tersebut akan tertahan (sementara)

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kota Per Kecamatan Kota yang terdiri dari enam kecamatan memiliki proporsi jumlah penduduk yang tidak sama karena luas masing-masing kecamatan

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah DAS Biru yang mencakup Kecamatan Bulukerto dan Kecamatan Purwantoro berdasarkan peraturan daerah wonogiri termasuk dalam kawasan lindung, selain itu DAS Biru

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

VIII MODEL KONSEPTUAL HUBUNGAN ANTARA PROSES LIMPASAN DENGAN KETERSEDIAAN AIR DAN PENCUCIAN UNSUR HARA

VIII MODEL KONSEPTUAL HUBUNGAN ANTARA PROSES LIMPASAN DENGAN KETERSEDIAAN AIR DAN PENCUCIAN UNSUR HARA 93 VIII MODEL KONSEPTUAL HUBUNGAN ANTARA PROSES LIMPASAN DENGAN KETERSEDIAAN AIR DAN PENCUCIAN UNSUR HARA 8.1 Pendahuluan Model konseptual merupakan sintesis dari suatu kumpulan konsep dan pernyataan yang

Lebih terperinci