V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik"

Transkripsi

1 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik dasar kenampakan masing-masing penutupan/penggunaan lahan pada citra yang dibantu dengan unsur-unsur interpretasi. Masing-masing penutupan/penggunaan lahan memiliki karakteristik yang unik. Citra landsat dari masing-masing tahun memiliki kualitas citra yang berbeda, sehingga kenampakan yang terlihat juga berbeda. Hutan Lebat menunjukkan bentuk dan pola yang tidak teratur dengan ukuran yang cukup luas. Berwarna hijau tua sampai gelap, tekstur relatif kasar, ada bayangan igir-igir puncak gunung yang menunjukan sebaran hingga daerah curam. Identik dengan letak di sekitar puncak gunung. Hutan Semak/Belukar memiliki kenampakan bentuk dan pola yang hampir sama dengan hutan lebat. Berwarna hijau agak terang dibandingkan hutan lebat, tekstur lebih halus dari hutan lebat. Umumnya dijumpai di perbatasan antara hutan lebat dan lahan budidaya (kebun teh, kebun campuran atau tegalan). Kebun Teh memiliki kenampakan bentuk dan pola yang lebih teratur, berwarna hijau muda campur ungu dan merah muda halus. Dengan tekstur relatif halus dan seragam pada lereng-lereng yang relatif landai hingga curam. Kebun Campuran memiliki kenampakan tekstur yang relatif agak kasar berwarna hijau agak gelap bercampur magenta atau ungu. Bentuk dan pola relatif kurang teratur dan menyebar. Biasanya berbatasan dengan tegalan, sawah, pemukiman dan hutan lebat. Pemukiman menunjukan bentuk petak-petak dengan pola menyebar di sepanjang jalan utama. Berwarna magenta, ungu kemerahan dengan tekstur relatif agak kasar sampai kasar. Sawah mempunyai warna hijau agak gelap bercampur biru tua, ungu tua, hijau tua atau magenta dengan tekstur relatif kasar. Bentuknya berpetak-petak, polanya menyebar di daerah dataran dengan lereng landai. Tegalan menunjukan warna hijau terang bercampur kuning terang dan magenta dengan tekstur agak kasar. Bentuk tegalan berpetak-petak, pola sebaran seperti sawah.

2 25 Citra landsat dari masing-masing tahun memiliki kenampakan yang sedikit berbeda, namun secara umum masih banyak kesamaan. Perbedaan penampakan citra masing-masing tahun untuk setiap penutupan lahan terlihat pada perbedaan rona citra. Tingkat kecerahan dari ketiga citra yaitu 1990, 2010 kemudian Namun secara keseluruhan citra tahun 2010 memiliki kualitas gambar yang lebih baik dari dua citra landsat lainnya. Penampakan penutupan lahan dari masingmasing citra dapat dilihat dalam Tabel Lampiran 1. Foto penggunaan lahan existing terdapat pada Tabel Lampiran Pola Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Pola penutupan/penggunaan lahan wilayah sub DAS Ciliwung Hulu tahun 1990, 2001 dan 2010 masing-masing disajikan pada lampiran 1, 2 dan 3. Berdasarkan peta tersebut, daerah penelitian memiliki luas hektar dengan 7 tipe penutupan/penggunaan lahan yaitu hutan lebat, hutan semak/belukar, kebun camapuran, kebun teh, pemukiman, sawah dan tegalan. Luas masing-masing tipe penutupan/penggunaan lahan untuk masing-masing tahun tersaji dalam Tabel 5. Tabel 5. Luas Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1990, 2001 dan 2010 Penutupan/Penggunaan Luas (ha) % Peringkat Luas (ha) % Peringkat Luas (ha) % Peringkat Lahan Hutan Lebat Hutan Semak/Belukar Kebun Campuran Kebun Teh Pemukiman Sawah Tegalan Perlu diketahui sebelumnya bahwa terdapat perbedaan makna dari penutupan dan penggunaan lahan. Berdasarkan Liliesand Kiefer (1997) istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi. Istilah penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Dalam artikel Beni Raharjo mengutip Townshend dan Justice pada tahun 1981 penutupan lahan adalah perwujudan secara fisik (visual) dari vegetasi, benda alam, dan unsur-unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa memperhatikan kegiatan manusia terhadap obyek tersebut. Peta yang dihasilkan dari analisis citra pada tahun 1990 dan 2001 merupakan peta penutupan lahan dikarenakan tidak terdapat data lapangan mengenai penggunaan lahan sebenarnya

3 26 pada tahun tersebut. Namun peta hasil analisis citra pada tahun 2010 merupakan peta penggunaan lahan karena dilakukan pengecekan lapang terhadap penggunaan lahan sesungguhnya pada tahun yang berdekatan. Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa penutupan pada tahun 1990 masih didominasi berturut-turut oleh hutan lebat, kemudian kebun campuran dan kebun teh. Masing-masing memiliki luas wilayah sebesar 4300,4 ha, 2411,1 ha dan 2378,7 ha. Dengan persentase untuk masing-masing dari seluruh wilayah penelitian yaitu 28,6%, 16% dan 15,8%. Penutupan/penggunaan lahan lainnya yaitu hutan semak (2125,1 ha dengan persentase 14,1%), sawah (1563,8 ha dan persentase 10,4 %), tegalan (1394,8 ha dan persentase 9,3%) dan pemukiman (883,3 ha dan persentase 5,9%). Untuk tahun 2001 tutupan lahan didominasi secara berturut-turut oleh hutan lebat dengan luas area dan persentase sebesar 4077,8 ha dan 27,1%, kemudian kebun teh dengan luas area dan persentase sebesar 2469,2 ha dan 16,4% dan kebun campuran dengan luas area dan persentase sebesar 2130,2 dan 14,1%. Untuk penutupan lahan lainnya yaitu hutan semak/belukar (1765,5 ha dan persentase 11,7%), tegalan (1638 ha dan persentase 10,9%), pemukiman (1521 ha dan persentase 10,1%) dan sawah (1454,9 ha dan persentase 9,7%). Penggunaan lahan tahun 2010 menunjukkan pola yang agak berbeda dengan dua tahun yang lain yaitu hutan lebat menjadi dominasi utama dengan luas area dan persentase sebesar 3946,0 ha dan 26,2%, kemudian kebun teh dengan luas area dan persentase 2514,8 ha dan 16,7% lalu pemukiman dengan luas area 2170,6 ha dan persentase 14,4%. Pola penutupan/penggunaan lahan lainnya yaitu tegalan (1995,6 ha dan persentase 13,3%), kebun campuran (1833 ha dan persentase 12,2%), hutan semak/belukar (1370,1 ha dan persentase 9,1%) dan sawah (1227 ha dan 8,1%). Dari pola penutupan/penggunaan lahan masing-masing tahun dapat dilihat bahwa tipe penutupan/penggunaan lahan yang mengalami perubahan pesat adalah pemukiman dari peringkat terakhir di tahun 1990 kemudian naik satu peringkat di tahun 2001 dan naik tiga peringkat di tahun 2010 menjadi peringkat ke tiga. Penutupan/penggunaan lahan lain yang mengalami peningkatan yang tinggi adalah tegalan naik satu peringkat setiap sepuluh tahun. Sedangkan

4 27 penutupan/penggunaan lahan yang mengalami penurunan yaitu kebun campuran, sawah dan hutan semak/belukar. Penutupan/penggunaan lahan yang cenderung tetap adalah hutan lebat dan kebun teh. Persentase proporsi penutupan/penggunaan lahan dalam wilayah penelitian yang terjadi dari tahun 1990, 2001 dan 2010 menunjukkan bahwa pemukiman mengalami peningkatan tertinggi yaitu dari tahun 1990 sebesar 5,9% kemudian tahun 2001 sebesar 10,1% dan tahun 2010 sebesar 14,4%. Tegalan juga mengalami peningkatan yaitu di tahun 1990 sebesar 9,3%, tahun 2001 sebesar 10,9% dan tahun 2010 sebesar 13,3%. Penutupan/penggunaan lahan yang mengalami penurunan persentase tertinggi adalah hutan semak/belukar yaitu di tahun 1990 persentasenya adalah 14,1%, tahun 2001 sebesar 11,7% dan tahun 2010 sebesar 9,1%. Kemudian kebun campuran pada tahun 1990 adalah 16%, tahun ,1 dan ,2%. Penutupan/penggunaan lahan lain yang mengalami penurunan persentase lainnya adalah sawah yaitu 10,4 pada tahun 1990, 9,7% tahun 2001% dan 8,1% tahun Perubahan Penutupan Penggunaan Lahan Gambar 3 merupakan grafik yang menggambarkan luas masing-masing tipe penutupan/penggunaan lahan tahun 1990, 2001 dan Dari grafik tersebut diketahui bahwa penutupan/penggunaan lahan yang mengalami penurunan luasan area pada dua periode tahun yaitu hutan semak/belukar, kebun campuran, hutan lebat dan sawah. Sedangkan penutupan/penggunaan lahan yang mengalami kenaikan luasan area yaitu kebun teh, pemukiman, dan tegalan. Gambar 3. Grafik Luas Penutupan/Penggunaan Lahan tahun 1990, 2001 dan 2010

5 28 Gambar 4. Grafik Luas Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan tahun 1990, 2001 dan 2010 Tabel 6. Luas Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1990, 2001 dan 2010 Luas Perubahan Penutupan/Penggunaan Luas (ha) Lahan ha % ha % Hutan Lebat Hutan Semak/Belukar Kebun Campuran Kebun Teh Pemukiman Sawah Tegalan Dari Grafik 4 dan Tabel 6 dapat diketahui bahwa pertambahan luas area tertinggi terdapat pada lahan pemukiman baik pada periode tahun (638,1 ha dengan persentase 72,2% dari penutupan/penggunaan lahan pemukiman sebelumnya) dan periode tahun (649,1 ha dengan persentase 42,7% dari penutupan/penggunaan lahan pemukiman sebelumnya). Untuk periode tahun luas penutupan/penggunaan lahan lain yang bertambah adalah tegalan (243,4 ha dengan persentase pertambahan 17,5%) kemudian kebun teh (90,4 ha dengan persentase kenaikan 3,8%). Pada periode tahun luas penutupan/penggunaan lahan yang bertambah adalah tegalan (357.4 ha dengan persentase pertambahan 21.8 %) dan kebun teh (45.6 ha dengan persentase kenaikan 1.8%). Sedangkan tipe penutupan/penggunaan lahan yang berkurang luasannya pada periode adalah hutan semak/belukar (-359,6 ha dengan persentase penurunan -16,9%), kebun campuran (-280,9 ha dengan persentase penurunan

6 29 luas -11,7%), hutan lebat (-222,6 ha dengan persentase penurunan -5,2 %) dan sawah (-108,8 ha dengan persentase penurunan -7,0%). Tipe penutupan/penggunaan lahan yang mengalami penurunan luasan untuk periode adalah hutan semak/belukar (-395,3 ha dengan persentase penurunan -22,4%), kebun campuran (-297,1 ha dengan persentase penurunan -13,9%), sawah (-227,9 ha dengan persentase penurunan -15,7%) dan hutan lebat (-131,8 ha dengan persentase penurunan -3,2%). Tabel 7. Perubahan tipe dan luas tutupan lahan periode tahun Penutupan/Penggunaan Lahan tahun 2001(ha) Penutupan/Penggunaan Hutan Hutan Kebun Kebun Pemukim Grand Lahan tahun 1990(ha) Sawah Tegalan Lebat Semak/Belukar Campuran Teh an Total Hutan Lebat Hutan Semak/Belukar Kebun Campuran Kebun Teh Pemukiman Sawah Tegalan Grand Total Tabel 8. Perubahan tipe dan luas tutupan lahan periode tahun Penutupan/Penggunaan Lahan tahun 2010(ha) Penutupan/Penggunaan Hutan Hutan Kebun Kebun Pemukim Grand Lahan tahun 2001(ha) Sawah Tegalan Lebat Semak/Belukar Campuran Teh an Total Hutan Lebat Hutan Semak/Belukar Kebun Campuran Kebun Teh Pemukiman Sawah Tegalan Grand Total Hal penting yang perlu diketahui dari pola perubahan penutupan/penggunaan lahan adalah perubahan yang terjadi dari jenis tertentu menjadi jenis yang lain. Untuk mengetahui hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8. Pada periode tahun , pengurangan luas penutupan/penggunaan lahan terbesar adalah hutan semak/belukar yang terkonversi menjadi kebun teh (180,1 ha), tegalan (54,2 ha), sawah (37,3 ha) dan pemukiman (37,0 ha). Kemudian kebun campuran yang terkonversi menjadi tegalan (411,3 ha), pemukiman (127,8 ha), sawah (65,7 ha) dan kebun teh (26,6 ha) Hutan lebat banyak terkonversi menjadi kebun teh (104,7 ha), tegalan (21,1 ha), sawah (1,9

7 30 ha) dan kebun campuran (5,2 ha). Terakhir sawah yang terkonversi menjadi pemukiman (208,5 ha), tegalan (96,6 ha), kebun campuran (13,3 ha) dan kebun teh (2,8 ha). Dari Tabel 7 dan 8, juga dapat diketahui pertambahan luas tipe penutupan/penggunaan lahan tertentu adalah hasil konversi dari penutupan/penggunaan lahan yang lain. Pertambahan luas penutupan/penggunaan lahan yang tertinggi pada periode tahun adalah pemukiman hasil konversi dari tegalan (238,8 ha), sawah (208,5 ha), kebun campuran (127,8 ha) dan kebun teh (26,6 ha). Kemudian tegalan adalah hasil konversi dari kebun campuran (411,3 ha), sawah (96,6 ha), hutan semak/belukar (54,2 ha), kebun teh (25,7 ha) dan hutan lebat (21,1 ha). Kebun teh adalah hasil konversi dari penutupan/penggunaan lahan hutan semak/belukar (180,1 ha), hutan lebat (104,7 ha), kebun campuran (26,6 ha), dan sawah (2,8 ha). Pada periode tahun , pengurangan luas penutupan/penggunaan lahan terbesar adalah hutan semak belukar yang terkonversi menjadi sawah (144,9 ha), tegalan (108,4 ha), kebun teh (107,1 ha), pemukiman (77,0 ha) dan kebun campuran (22,8 ha). Kebun campuran terkonversi menjadi jenis penutupan/penggunaan lahan tegalan (329,5 ha), pemukiman (176,2 ha), sawah (47,1 ha) dan kebun teh (39,3 ha). Hutan lebat terkonversi menjadi kebun teh (61,2 ha), hutan semak/belukar (64,9 ha), tegalan (4,9 ha) dan sawah (0,9 ha). Sawah terkonversi menjadi pemukiman (231,3 ha), tegalan (212,8 ha), kebun campuran 78,2 ha dan kebun teh (11,1 ha). Pertambahan luas penutupan/penggunaan lahan periode tahun yang tertinggi adalah pemukiman merupakan hasil konversi dari lahan sawah (231,3 ha), kebun campuran (176,2 ha), tegalan (128,9 ha), hutan semak/belukar (77 ha) dan kebun teh (35,8 ha). Kebun teh merupakan hasil konversi tipe penutupan/penggunaan lahan hutan semak/belukar (107,1 ha), hutan lebat (61,2 ha), kebun campuran (39,3 ha), tegalan (20,2 ha), dan sawah (11,1 ha). Tegalan konversi dari kebun campuran (329,5 ha), sawah (212,8 ha), kebun teh (129,9 ha), hutan semak/belukar(108,4 ha) dan hutan lebat (4,9 ha).

8 31 Tabel 9. Tipe Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Dominan tahun No Tipe Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Luas (ha) tahun % 1 Kebun Campuran-->Tegalan Tegalan-->Pemukiman Sawah-->Pemukiman Hutan Semak/Belukar-->Kebun Teh Hutan Semak/Belukar-->Kebun Campuran Kebun Campuran-->Pemukiman Kebun Teh-->Kebun Campuran Hutan Lebat-->Kebun Teh Sawah-->Tegalan Hutan Lebat-->Hutan Semak/Belukar Lainnya Total Tabel 10. Tipe Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Dominan tahun No Tipe Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Luas (ha) tahun % 1 Kebun Campuran-->Tegalan Sawah-->Pemukiman Sawah-->Tegalan Tegalan-->Kebun Campuran Kebun Campuran-->Pemukiman Hutan Semak/Belukar-->Sawah Kebun Teh-->Tegalan Tegalan-->Pemukiman Hutan Semak/Belukar-->Tegalan Hutan Semak/Belukar-->Kebun Teh Lainnya Total Perubahan tipe penutupan/penggunaan lahan yang dominan dapat dilihat pada Tabel 9 untuk tahun dan Tabel 10 untuk tahun Perubahan penutupan/penggunaan lahan dominan tahun yaitu kebun campuran menjadi tegalan dengan luas perubahan 411,3 ha dan persentase dari luas total perubahan sebesar 18,6%. Kemudian tegalan menjadi pemukiman dengan luas perubahan 238,8 ha dan persentase dari total luas perubahan sebesar 10,8% serta sawah menjadi pemukiman sebesar 208,5 ha dan persentase dari total

9 32 luas perubahan sebesar 9,4%. Perubahan penutupan/penggunaan lahan dominan pada tahun yaitu kebun campuran menjadi tegalan dengan perubahan 329,5 ha dan persentase dari luas total perubahan sebesar 14,1%. Kemudian sawah menjadi pemukiman dengan perubahan 231,3 ha dan persentase dari luas total perubahan sebesar 9,9% dan sawah menjadi tegalan dengan perubahan 212,8 ha dan persentase dari luas total perubahan sebesar 9,1%. Dari data-data yang sudah dipaparkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kecenderungan perubahan yang terjadi adalah perubahan menuju area pemukiman dan tegalan. Hal ini menunjukkan bahwa tegalan merupakan jenis budidaya pertanian yang diminati masyarakat dibandingkan budidaya pertanian lainnya seperti kebun campuran dan sawah. Hal tersebut dikarenakan mengelola tegalan lebih mudah dari pada sawah dikarenakan pasokan air untuk budidaya hanya mengandalkan air hujan tidak perlu irigasi, tegalan juga lebih cepat menghasilkan dari pada kebun campuran. Hal tersebut diduga menjadi alasan masyarakat lebih memilih tegalan menjadi alternatif usaha budidaya pertanian. Pemukiman yang selalu meningkat menggambarkan kebutuhan penduduk akan pemukiman semakin meningkat, secara tidak langsung menggambarkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk. Namun terjadinya peningkatan pemukiman ini tidak hanya disebabkan.penduduk yang terus meningkat. Fenomena yang menyebabkan terjadinya peningkatan area pemukiman adalah wilayah ini cocok untuk dijadikan sarana rekreasi keluarga sehingga banyak vila serta tempat wisata yang dibangun. Dengan adanya pembangunan tersebut menyebabkan dibangunnya sarana dan prasarana pendukung. Hal tersebut berpengaruh pada peningkatan area pemukiman masyarakat karena lokasi wisata merupakan salah satu sumber kegiatan ekonomi. Kenyataan tersebut sesuai dengan yang pernyataan Haryadi (2007), bahwa pada wilayah dengan curah hujan tinggi berpenduduk jarang, pola penutupan/penggunaan lahannya lebih dominan pada tanaman tahunan, sebaliknya pada wilayah curah hujan tinggi berpenduduk padat pola penutupan/penggunaan lahannya lebih dominan pada tananan semusim. Hal ini sesuai dengan peningkatan area tegalan sebagai budidaya pertanian yang diiringi dengan peningkatan area pemukiman.

10 33 Dari fakta di atas dapat diketahui kecenderungan perubahan penutupan/penggunaan lahan adalah perubahan ke area pemukiman, dari penutupan/penggunaan lahan sebelumnya yaitu terutama tegalan, sawah dan kebun campuran. Dengan berkurangnya area lahan budidaya pertanian tegalan dan sawah menyebabkakan lahan kebun campuran dan sebagian hutan semak/belukar terkonversi menjadi lahan tegalan dan sawah. Pola perubahan penutupan/penggunaan lahan pada periode tahun yang terjadi dalam skala yang lebih besar. Hasil dari penelitian ini juga menunjukkan fakta bahwa hutan lebat relatif tetap, yaitu berkurang sekitar 1% setiap sepuluh tahun. Hutan yang menjadi pilihan masyarakat untuk dikonversi adalah hutan semak/belukar. Pola perubahan yang tidak berbeda terjadi pada periode tahun di wilayah yang sama, berdasarkan hasil penelitian Sudadi et al. (1991) terjadi arah perubahan pola penggunaan lahan ke areal pemukiman. Perubahan pola penutupan/penggunaan lahan yang terjadi pada sub DAS Ciliwung Hulu memperkuat pernyataan Vink dalam Sudadi et al. (1991) yaitu penggunaan lahan secara umum dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor alami seperti iklim, topografi, tanah atau bencana alam dan faktor manusia berupa aktivitas manusia pada sebidang lahan. Faktor manusia dirasakan berpengaruh lebih dominan dibandingkan dengan faktor alam karena sebagian besar perubahan penggunaan lahan disebabkan oleh aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya pada sebidang lahan yang spesifik. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan sudah disebutkan di atas bahwa banyak dibangun vila dan area rekreasi lain yang menyebabkan bertambah pula sarana lain yang mendukung dan area pemukiman di sekitarnya. Pertambahan penduduk juga menyebabkan terjadinya kebutuhan pemukiman dan area pemukiman meningkat. Hal ini membuktikan bahwa manusia menjadi faktor utama dalam perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Kenyataan ini diperkuat dengan artikel yang dimuat dalam Kompas (2010) yang menyatakan bahwa pembangunan kawasan puncak sudah tidak mengindahkan peraturan tata ruang. Hutan yang tersisa di Puncak pun terus tergerus pembangunan vila dan perluasan pemukiman warga tanpa izin. Menurut data Dinas Tata Bangunan dan

11 34 Permukiman Kabupaten Bogor 2010, dari bangunan di Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua baru bangunan yang memiliki izin mendirikan bangunan atau sekitar seperlimanya. Kawasan di sepanjang jalan utama sudah dibangun menjadi berbagai sarana atau fasilitas umum untuk masyarakat, ketika menelusuri jalan sempit ataupun gang di kiri dan kanan jalan utama, ditemukan lebih banyak lagi vila yang disewakan. Dari fakta-fakta yang dipaparkan di atas, dapat dibuat ringkasan perubahan penutupan/penggunaan lahan yang terjadi dalam Gambar 5 dan 6. Gambar 5. Pola perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun Keterangan menunujukkan perubahan tipe penutupan/penggunaan lahan meniunjukkan perubahan tipe penutupan/penggunaan lahan dominan

12 35 Gambar 6. Pola perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun Keterangan menunujukkan perubahan tipe penutupan/penggunaan lahan meniunjukkan perubahan tipe penutupan/penggunaan lahan dominan Sumberdaya tanah menjadi semakin penting seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dengan laju yang masih tinggi serta akibat dari berkembangnya kegiatan ekonomi. Keadaan ini akan membawa konsekuensi semakin besarnya tekanan permintaan (demand) akan tanah untuk berbagai keperluan yang semakin beragam seperti untuk perluasan tanah pertanian, perkebunan, hutan produksi, pemukiman/perumahan, pertambangan maupun lokasi kegiatan perdagangan/bisnis dan industri serta keperluan pembangunan infrastruktur (Rustiadi et al., 2001). Terjadinya ketimpangan antara permintaan dan penawaran tentunya merupakan suatu indikasai bahwa tanah dapat dikategorikan sebagai sumberdaya yang mempunyai sifat kelangkaan (scarcity). Kelangkaan tanah tersebut akan berimplikasi terhadap melambungnya harga tanah itu sendiri, yang dapat dibedakan berdasarkan (1) nilai intrinsik yang terkandung dalam sebidang tanah seperti kesuburan dan topografinya, sehingga mempunyai keunggulan produktifitas dari tanah lain (Ricardiant rent); (2) nilai yang disebabkan oleh perbedaan lokasi (locational rent); dan (3) nilai perlindungan terhadap lingkungan

13 36 (enviromental rent). Konsekuensi lanjut dari kedaan demikian akan berpengaruh terhadap pola kepemilikan masyarakat terhadap tanah. Dengan berkembangnya area wisata pada wilayah penelitian, menyebabkan terciptanya kegiatan ekonomi yang diikuti oleh peningkatan jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk ini menyebabkan permintaan akan lahan meningkat untuk area pemukiman sehingga nilai tanah menjadi tinggi untuk lahan pemukiman dengan lokasi yang dekat dengan kegiatan ekonomi yaitu area wisata. Hal ini mengakibatkan pemilik lahan cenderung menjual tanahnya karena income yang akan diterima lebih banyak jika lahan dijual untuk dijadikan area pemukiman dibandingkan dengan pemanfaatan yang sudah ada terutama yaitu budidaya pertanian. Dengan berkurangnya area budidaya pertanian, maka masyarakat akan mengkonversi lahan yang pemanfaatannya cenderung tidak memberikan income yang banyak bagi mereka yaitu hutan untuk dijadikan area budidaya pertanian. Tegalan menjadi area yang paling banyak diminati oleh masyarakat menjadi alternatif budidaya pertanian karena lahan tegalan memberikan income yang lebih besar dibandingkan dengan budidaya pertanian lainnya. Pola perubahan yang terjadi pada wilayah ini, mengikuti teori land rent yaitu nilai atau profit yang diterima dari lahan tersebut. Perubahan yang terjadi akan mengarah kepada jenis penggunaan lahan yang memberikan income terbesar. Bagan pola perubahan penutupan/penggunaan lahan menunjukkan perubahan kearah pemukiman dan tegalan. Urutan nilai land rent dari yang terkecil hingga terbesar tiap jenis penutupan/penggunaan lahan yaitu hutan lebat, hutan semak/belukar, kebun teh, kebun campuran, sawah, tegalan dan pemukiman. Laju perubahan penutupan/penggunaan lahan dapat diminimalisir dengan adanya upaya dari pemerintah. Pemerintah dapat membuat program berupa reward and punishment kepada masyarakat yang memiliki ataupun yang melakukan usaha di lahan tersebut. Yaitu dengan memberikan insentif kepada masyarakat yang tetap mempertahankan penggunaan lahannya dan memberikan pajak yang tinggi pada lahan yang telah dikonversi atau dirubah penggunaan lahannya. Selain dapat memperlambat laju perubahan, program ini juga dapat merubah arah perubahan penggunaan lahan, karena masyarakat akan cenderung

14 37 memilih nilai yang lebih tinggi yang dapat diterima. Program lain yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengubah arah perubahan penggunaan lahan lainnya adalah dengan penertiban penggunaan lahan sesuai dengan ketentuan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang ada. Sehingga penggunaan lahan yang menyimpang dari ketetapan RTRW akan secara paksa diubah. Program ini sudah dijalankan oleh pemerintah setempat terutama untuk penggunaan lahan pemukiman yang tidak memiliki IMB (Izin Mendirikan Bangunan). 5.4 Analisis Debit Maksimum-Minimum Debit maksimum-minimum dapat memberikan gambaran kondisi suatu DAS, berikut akan disajikan kondisi debit maksimum minimum sub DAS Ciliwung Hulu. Tabel 11. Debit maksimum dan Debit Minimum tahun 1990, 2001 dan 2010 Tahun Qmax (lt/dtk) Qmin (lt/dtk) Rasio Qmax/Qmin , ,675 1, ,968 1, Dari Tabel 11 dapat diketahui bahwa debit minimum meningkat pada dua periode tahun, hal ini merupakan hal yang tidak merugikan karena menunjukkan bahwa di musim panas masih tersedia pasokan air. Terjadi peningkatan untuk debit maksimum dari tahun 1990, 2001 dan Hal ini menunjukkan semakin besar peluang terjadinya banjir pada musim hujan. Kejadian tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudadi et al. (1991) pada wilayah penelitian yang sama yaitu terjadi peningkatan debit minimum dalam kurun waktu yang menguntungkan dari segi pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya air. Tetapi di lain pihak peningkatan debit maksimum pada kurun waktu yang sama merupakan hal yang sebaliknya, karena dapat memperbesar peluang terjadinya banjir. Hal ini menggambarkan bahwa sub DAS Ciliwung Hulu telah mengalami gangguan. Dari Tabel 11 dapat terlihat bahwa terjadi penurunan rasio debit maksimum-minimum pada periode tahun dan kenaikan pada tahun Namun secara umum menggambarkan kondisi yang semakin

15 38 memburuk. Perbandingan debit maksimum dan minimum yang semakin meningkat menggambarkan kondisi DAS yang semakin memburuk, yaitu menunjukkan tingginya debit maksimum saat musim hujan dan rendahnya debit minimum saat musim panas. Apabila fungsi dari suatu DAS terganggu, maka sistem hidrologisnya akan terganggu, penangkapan curah hujan, resapan dan penyimpanan airnya menjadi sangat berkurang atau sistem penyalurannya menjadi sangat boros. Kejadian tersebut akan menyebabkan melimpahnya air pada musim hujan dan sebaliknya sangat minimnya air pada musim kemarau. Hal ini membuat fluktuasi debit sungai sangat tajam. Jika fluktuasi debit sangat tajam, berarti fungsi DAS tidak berjalan dengan baik, yang berarti kualitas DAS tersebut rendah (Suripin, 2002). 5.5 Analisis Banjir Banjir adalah debit aliran sungai yang secara relatif lebih besar dari biasanya akibat hujan yang turun di hulu atau di suatu tempat tertentu secara terus menerus, sehingga air limpasan tidak dapat ditampung oleh alur/palung sungai yang ada, maka air melimpah keluar dan menggenangi daerah sekitarnya (Kristianto, 2010). Dalam istilah teknis, banjir adalah aliran air sungai yang mengalir melampaui kapasitas tampung sungai dan dengan demikian aliran air akan melewati tebing sungai dan menggenangi daerah di sekitarnya (Asdak, 2010). Banjir dapat terjadi karena berbagai hal tergantung pada kondisi penyebab dan proses terjadinya. Dalam penelitian ini, banjir yang diidentifikasi adalah banjir sungai, karena terjadi pada daerah aliran sungai. Peristiwa banjir merupakan dampak negatif dari kegiatan manusia pada suatu DAS. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kegiatan manusia telah menyebabkan DAS gagal menjalankan fungsinya sebagai penampung air hujan, penyimpanan dan pendistribusian air tersebut ke saluran-saluran atau sungai (Suripin, 2002). Berikut adalah grafik yang memberikan informasi frekuensi serta kualitas banjir yang terjadi pada tahun 1990, 2001 dan 2010.

16 39 Gambar 7. Grafik Frekuensi Banjir berdasarkan Status Siaga Pada Gambar 7 diketahui frekuensi terjadinya banjir pada tahun 1990, 2001 dan Untuk melihat kejadian banjir secara lengkap, dapat dilihat pada Lampiran 8, 9 dan 10. Gambar 7 tersebut menunjukkan bahwa kejadian banjir meningkat di tahun sebesar 400%, namun di tahun kejadian banjir berkurang sebanyak satu kali kejadian banjir. Dari gambar tersebut juga diketahui bahwa kualitas banjir selalu meningkat dari tahun 1990, 2001 hingga Di tahun 1990 banjir yang terjadi hanya dalam kategori siaga 3, tahun 2001 banjir yang terjadi ada pada kategori siaga 2 dan siaga 3. Pada tahun 2010 banjir yang terjadi bahkan mencapai kategori siaga 1 dan kategori 2 serta 3 yang meningkat. Walaupun pada tahun 2001 frekuensi banjir yang terjadi turun satu kali dari tahun 1990 namun terjadi peningkatan dari segi kualitas sebanyak dua kali banjir pada siaga 2. Peristiwa banjir merupakan hasil output dari ekosistem DAS dimana masukannya adalah curah hujan. Menurut Kristianto (2010), faktor-faktor penyebab timbulnya banjir dipengaruhi oleh aktifitas manusia, kondisi alam yang bersifat tetap, dan kondisi alam yang bersifat dinamis. Aktifitas manusia yang mempengaruhi timbulnya banjir yaitu pembangunan dan perkembangan tempat pemukiman, penggundulan hutan, di daerah pegunungan atau perbukitan untuk penggunaan lahan budidaya, pemanfaatan dataran banjir yang digunakan untuk pemukiman atau industry dan buruknya pengelolaan sampah. Beberapa kondisi alam yang bersifat tetap dan menjadi faktor penyebab timbulnya banjir antara lain kondisi geografi daerah yang sering terkena badai atau siklon, kondisi topografi

17 40 yang cekung dan kondisi daerah aliran sungai. Peristiwa alam yang dinamis yang menjadi faktor penyebab terjadinya banjir yaitu hujan dalam jangka waktu panjang atau hujan deras selama berhari-hari. Debit maksimum dan selisih debit maksimum-minimum yang selalu meningkat, berhubungan dengan kualitas banjir dan kejadian banjir yang juga meningkat. Walaupun pada periode tahun terjadi penurunan kejadian banjir yang sangat kecil namun terjadi peningkatan kualitas banjir, secara umum dapat dikatakan terjadi penurunan kualitas hidrologi bila dilihat dari karakteristik banjir. 5.6 Hubungan Curah Hujan dengan Banjir Berikut adalah grafik yang menggambarkan hubungan curah hujan dengan banjir. Gambar 8. Grafik hubungan Curah Hujan dengan Banjir (Kejadian banjir dengan curah hujan yang relatif sama) Tabel 12. Kejadian Banjir dengan Curah Hujan Sama Tahun Tanggal CH(mm/hr) h-1 h banjir rata2 h banjir (cm) Januari Februari Februari Februari

18 41 Berdasarkan pendapat Kristianto (2010) hujan menjadi faktor penyebab banjir yaitu hujan dalam jangka waktu yang panjang selama berhari-hari. Seperti banjir yang terjadi pada Februari tahun 2007 di Jakarta disebabkan karena hujan deras pada dua hari berturut-turut. Untuk mengetahui pengaruh dari curah hujan terhadap debit banjir yang ditimbulkan dapat dilihat melalui Gambar 7. Berdasarkan teori tersebut, maka curah hujan yang digunakan adalah curah hujan yang tertinggi pada tiga tahun pengamatan. Curah hujan tersebut merupakan curah hujan rata-rata dari kejadian hujan sebelum dan pada hari kejadian hujan. Pada Gambar 8, dapat diketahui bahwa dengan curah hujan yang sama yaitu berkisar antara mm menghasilkan banjir yang berbeda untuk tahun yang berbeda. Terjadi peningkatan banjir dengan nilai curah hujan yang sama. Pada tahun 1990 tinggi air saat banjir hanya 85 cm, tahun 2001 tinggi air 90 cm dan pada tahun 2010 tinggi air mencapai 150 cm. Hal ini membuktikan bahwa terjadi penurunan kualitas karakteristik hidrologi sub DAS Ciliwung Hulu, yaitu dengan curah hujan yang relatif sama, menimbulkan banjir yang selalu meningkat. Walaupun curah hujan yang berpengaruh terhadap banjir adalah curah hujan selama berhari-hari, namun curah hujan pada saat kejadian banjir juga menentukan banjir yang terjadi. Kenaikan tingkat banjir yang sangat tinggi pada tahun 2010 disebabkan karena curah hujan yang turun pada hari kejadian banjir mencapai 48,89 mm/hr sehingga kenaikan banjir sangat tinggi. Namun dengan pola yang sama yaitu curah hujan saat hari h banjir yang tinggi pada tahun 1990 menyebabkan banjir yang lebih rendah dari tahun Curah hujan pada hari kejadian banjir di tahun 1990 mencapai 48,55 mm/hr, namun tinggi banjir yang dihasilkan hanya 85 cm. Kejadian banjir yang disebabkan karena hujan berkaitan erat dengan aliran permukaan yang terjadi. Air yang tidak terserap ke tanah saat hujan menjadi aliran permukaan yang kemudian terkumpul di outlet dan menjadi banjir. Parameter hujan yang berpengaruh terhadap aliran permukaan meliputi intensitas, waktu atau durasi hujan. Laju dan volume aliran permukaan akan mencapai harga terbesar jika hujan menyebar di seluruh bagian DAS (Suripin, 2002). Menurut Suripin (2002), salah satu karakteristik DAS yang berpengaruh terhadap aliran permukaan adalah luas dan bentuk DAS. Laju dan volume aliran

19 42 permukaan bertambah besar dengan bertmbahnya luas DAS. Bentuk DAS memanjang dan sempit cenderung menghasilkan laju aliran permukaan yang lebih kecil dibandingkan DAS yang berbentuk melebar atau melingkar. Hal ini terjadi karena waktu konsentrasi DAS yang memanjang lebih lama dibandingkan dengan DAS melebar, sehingga terjadinya konsentrasi air di titik kontrol lebih lambat yang berpengaruh pada laju dan volume aliran permukaan. Faktor bentuk juga berpengaruh pada aliran permukaan apabila hujan yang terjadi tidak serentak di seluruh DAS, tetapi bergerak dari ujung yang satu ke ujung lainnya misalnya dari hilir ke hulu. Pada DAS memanjang laju aliran akan lebih kecil karena aliran permukaan akibat hujan di hulu belum memberikan kontribusi pada titik kontrol ketika aliran permukaan dari hujan di hilir telah habis. Sebaliknya pada DAS melebar, datangnya aliran permukaan dari dari semua titik di DAS tidak terpaut banyak, artinya air dari hulu sudah tiba sebelum aliran dari hilir habis. 5.7 Pengaruh Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan dengan Karakteristik Hidrologi DAS (Banjir dan Debit Maksimum- Minimum). DAS (Daerah Aliran Sungai) merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik. Aktifitas komponen ekosistem selalu memberi pengaruh terhadap komponen ekosistem yang lain. Aktifitas dalam DAS yang menyebabkan perubahan ekosistem misalnya perubahan tata guna lahan (Asdak, 2010). Tabel 13 merupakan ringkasan dari hasil penelitian yang dilakukan. Telah diketahui sebelumnya bahwa pola perubahan penutupan/penggunaan lahan yang terjadi adalah mengarah kepada perkembangan pemukiman dan pertanian intensif yaitu tegalan. Area pemukiman merupakan hasil konversi dari tegalan dan sawah. Dengan berkurangnya area budidaya pertanian menyebabkan terkonversinya area hutan semak/belukar. Budidaya pertanian yang paling diminati masyarakat adalah tegalan sehingga menyebabkan area terutama kebun campuran terkonversi.

20 43 Tabel 13. Hubungan Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan dengan Karakteristik Hidrologi Periode Tutupan Lahan Terkonversi Hutan Semak/Belukar ( ha), Kebun Campuran ( ha), Hutan Lebat ( ha), Sawah (108.8 ha) Kebun Campuran ( ha), Hutan Semak/Belukar ( ha), Sawah ( ha), Hutan Lebat ( ha) Tutupan Lahan yg bertambah luasannya Pemukiman (638.1 ha), Tegalan (243.4 ha), Kebun teh (90.4 ha) Pemukiman (649.1 ha), Kebun teh (45.6 ha), Tegalan (357.4 ha) Parameter Tutupan Lahan Perubahan tutupan lahan dominan Kebun Campuran --> Tegalan (411.3 ha), Tegalan --> Pemukiman (238.8 ha), Sawah --> Pemukiman (208.5 ha) Kebun Campuran --> Tegalan (329.5 ha), Sawah - -> Pemukiman (231.3 ha), Sawah --> Tegalan (212.8 ha) Hutan ke lahan budidaya Hutan Semak ( ha), Hutan Lebat ( ha) : Total ( ha) Hutan Semak ( ha), Hutan Lebat ( ha) : Total (-441 ha) Perubahan Karakteristik DAS Hutan ke pemukiman 37 ha 77 ha Frekuensi Banjir turun naik Kualitas Banjir naik naik Rasio Qmax-Qmin turun naik Parameter karakteristik hidrologi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu frekuensi kejadian banjir, kualitas banjir dan debit maksimum-minimum. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum terjadi penurunan kualitas karakteristik hidrologi pada dua periode tahun, namun penurunan kualitas lebih tajam pada periode tahun Dengan luasan hutan lebat yang relatif tetap dan masih dominan dalam wilayah sub DAS Ciliwung hulu, perubahan kualitas karakteristik hidrologi tetap terjadi. Perubahan pola penggunaan lahan yang berpengaruh adalah perubahan ke arah area pemukiman dan tegalan yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas hidrologi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudadi et al. (1991), Suarna et al. (2008) serta Asdak (2010). Menurut penelitian Suarna et al. (2008), semakin banyak area terbangun DAS maka proses peresapan air permukaan menjadi air tanah akan terganggu. Hal ini berakibat pada tingginya aliran permukaan serta tingginya debit sungai pada saat musim hujan yang dapat menyebabkan terjadinya banjir. Selain itu kondisi tersebut juga berdampak pada minimnya debit sungai pada saat musim kemarau yang berdampak pada menurunnya kualitas air sungai. Penelitian yang dilakukan oleh Sudadi et al. (1991) menyatakan bahwa pengaruh perubahan penggunaan lahan tehadap perubahan karakteristik aliran

21 44 sungai berkaitan dengan berubahnya areal konservasi menjadi areal pertanian ekstensif dan selanjutnya menjadi areal pertanian intensif dan pemukiman yang dapat menurunkan kemampuan tanah dalam menahan air. Menurut Asdak (2010), pola perubahan penutupan lahan yang umum terjadi kemudian meningkatkan debit aliran adalah apabila diantaranya jenis vegetasi diganti dari tanaman berakar dalam menjadi tanaman berakar dangkal. Perubahan pola penutupan/penggunaan lahan ke area pemukiman dan tegalan (pertanian intensif) dari kebun campuran serta terkonversinya area hutan menyebabkan aliran permukaan tinggi. Aliran permukaan yang tinggi disebabkan karena perubahan perakaran tanaman yang semakin dangkal dan pengurangan tajuk vegetasi sehingga laju dan volume aliran permukaan semakin tinggi. Aliran permukaan inilah yang menyebabkan debit maksimum saat musim hujan menjadi tinggi yang kemudian menimbulkan banjir. Kejadian tersebut memberikan gambaran bahwa perubahan penutupan/penggunaan lahan yang terjadi pada wilayah sub DAS Ciliwung hulu telah memberikan pengaruh terhadap penurunan kualitas karakteristik hidrologi DAS tersebut. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Suripin (2002) yaitu komponen hidrologi yang terkena dampak kegiatan pembangunan di dalam DAS meliputi koefisien aliran permukaan, koefisien regim sungai, nisbah debit maksimum-minimum, kadar lumpur atau kandungan sedimen sungai, laju, frekuensi dan periode banjir serta keadaan air tanah. Serta teori dari Leopold dan Dunne (1978) dalam Sudadi et al. (1991) mengatakan secara umum perubahan penggunaan lahan akan mengubah (1) karakteristik aliran sungai, (2) total aliran permukaan, (3) kualitas air dan (4) sifat hidrologi yang bersangkutan Dari penelitian ini, karakteristik hidrologi yang diamati adalah banjir dan debitmaksimum-minimum yang ternyata mengalami perubahan karena adanya perubahan penutupan/penggunaan lahan.

Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990

Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990 LAMPIRAN 49 Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990 50 Lampiran 2. Peta Penutupan Lahan tahun 2001 51 Lampiran 3. Peta Penggunaan Lahan tahun 2010 52 53 Lampiran 4. Penampakan citra landsat untuk masing-masing

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk V PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis 5.1.1 Penghitungan Komponen Penduduk Kependudukan merupakan salah satu komponen yang penting dalam perencanaan suatu kawasan. Faktor penduduk juga memberi pengaruh yang

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur 26 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sukaraja tahun 2006-2009 disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 8. Tabel

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Biru terletak di Kabupaten Wonogiri, tepatnya di Kecamatan Purwantoro dan Kecamatan Bulukerto. Lokasinya terletak di bagian lereng

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum Sungai adalah aliran air yang besar dan memanjang yang mengalir secara terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah satu bagian dari

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Depok 5.1.1. Interpretasi Penggunaan Lahan dari Citra Quickbird Hasil interpretasi penggunaan lahan dari Citra Quickbird Kecamatan Depok adalah

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

ANALISIS FLUKTUASI DEBIT AIR AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN PUNCAK KABUPATEN BOGOR

ANALISIS FLUKTUASI DEBIT AIR AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN PUNCAK KABUPATEN BOGOR ANALISIS FLUKTUASI DEBIT AIR AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN PUNCAK KABUPATEN BOGOR Analysis of Water Discharge Fluctuation Due to Land Use Change in Puncak Area, Bogor District Yunita Lisnawati

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Curah Hujan Data curah hujan sangat diperlukan dalam setiap analisis hidrologi, terutama dalam menghitung debit aliran. Hal tersebut disebabkan karena data debit aliran untuk

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1) A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Cisangkuy merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu yang terletak di Kabupaten Bandung, Sub DAS ini

Lebih terperinci

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini Abstract Key words PENDAHULUAN Air merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kawasan yang berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan sampai akhirnya bermuara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan wilayah yang dikelilingi dan dibatasi oleh topografi alami berupa punggung bukit atau pegunungan, dan presipitasi yang jatuh di

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang Menurut UU RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Pemanfaatan ruang di dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daur hidrologi merupakan perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut, air tersebut akan tertahan (sementara)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Lahan Aktual Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM 7+ tahun 2009, di Kabupaten Garut terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual. Pemanfaatan lahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Geomorfologi Daerah Aliran Sungai Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung memiliki Stasiun Pengamatan Aliran Sungai (SPAS) yang merupakan satu-satunya alat pendeteksi

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG (Studi Kasus: Kelurahan Mangunharjo dan Kelurahan Mangkang Wetan) T U G A S A K H I R Oleh : LYSA DEWI

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Opak Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.1 menunjukan bahwa luas

Lebih terperinci

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*)

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*) MODEL PENANGGULANGAN BANJIR Oleh: Dede Sugandi*) ABSTRAK Banjir dan genangan merupakan masalah tahunan dan memberikan pengaruh besar terhadap kondisi masyarakat baik secara social, ekonomi maupun lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan berpengaruh pada pemanfaatan sumberdaya lahan dalam jumlah besar untuk memenuhi ketersediaan kebutuhan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Tahun 2009 Peta penutupan lahan dihasilkan melalui metode Maximum Likelihood dari klasifikasi terbimbing yang dilakukan dengan arahan (supervised) (Gambar 14).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga dapat terjadi di sungai, ketika alirannya melebihi kapasitas saluran air, terutama di kelokan sungai.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

III. METEDOLOGI PENELITIAN

III. METEDOLOGI PENELITIAN III. METEDOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga Desember 2011, berlokasi di DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Wilayah penelitian meliputi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 163 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan oleh penulis, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat enam terrain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir dan genangan air dapat mengganggu aktifitas suatu kawasan, sehingga mengurangi tingkat kenyamaan penghuninya. Dalam kondisi yang lebih parah, banjir dan genangan

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat manusia. Pengertian lahan dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998), yaitu : Lahan merupakan

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT Ria Rosdiana Hutagaol 1 dan Sigit Hardwinarto 2 1 Faperta Jurusan Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI DAERAH RESAPAN AIR HUJAN DI SUB DAS METRO MALANG JAWA TIMUR

ANALISIS POTENSI DAERAH RESAPAN AIR HUJAN DI SUB DAS METRO MALANG JAWA TIMUR ANALISIS POTENSI DAERAH RESAPAN AIR HUJAN DI SUB DAS METRO MALANG JAWA TIMUR Bagus Setiabudi Wiwoho Jurusan Geografi FMIPA Universitas Negeri Malang, Jl. Surabaya No. 6 Malang 65145, e-mail: wiwoho_um@yahoo.co.id

Lebih terperinci

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 217 ISBN: 978 62 361 72-3 PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Esa Bagus Nugrahanto Balai Penelitian dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Cakupan Wilayah Kabupaten Bandung Barat Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 13 kecamatan dan 165 desa. Beberapa kecamatan terbentuk melalui proses pemekaran. Kecamatan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang berfungsi sebagai daerah resapan, daerah penyimpanan air, penampung air hujan dan pengaliran air. Yaitu daerah dimana

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik yang saling terkait satu sama lain. di bumi ada dua yaitu ekosistem daratan dan ekosistem perairan. Kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banjir merupakan salah satu permasalahan yang sering terjadi pada saat musim hujan. Peristiwa ini hampir setiap tahun berulang, namun permasalahan ini sampai saat

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan 118 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Objek wisata Curug Orok yang terletak di Desa Cikandang Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 I-1 BAB I 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali merupakan bagian dari Satuan Wilayah Sungai (SWS) Pemali-Comal yang secara administratif berada di wilayah Kabupaten Brebes Provinsi Jawa

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961): 44 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Sungai Aspek ekologi adalah aspek yang merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah , I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bencana banjir dikatagorikan sebagai proses alamiah atau fenomena alam, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor penyebab: (a) Fenomena alam, seperti curah hujan,

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Merden Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.3 menunjukan bahwa luas DTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan makhluk hidup khususnya manusia, antara lain untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dan tenaga

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

Stadia Sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS)

Stadia Sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS) Stadia Sungai Sungai adalah aliran air di permukaan tanah yang mengalir ke laut. Dalam Bahasa Indonesia, kita hanya mengenal satu kata sungai. Sedangkan dalam Bahasa Inggris dikenal kata stream dan river.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Sub DAS Cikapundung yang merupakan salah satu Sub DAS yang berada di DAS Citarum Hulu. Wilayah Sub DAS ini meliputi sebagian Kabupaten

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

dasar maupun limpasan, stabilitas aliran dasar sangat ditentukan oleh kualitas

dasar maupun limpasan, stabilitas aliran dasar sangat ditentukan oleh kualitas BAB 111 LANDASAN TEORI 3.1 Aliran Dasar Sebagian besar debit aliran pada sungai yang masih alamiah ahrannya berasal dari air tanah (mata air) dan aliran permukaan (limpasan). Dengan demikian aliran air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Letak dan Batas Letak suatu wilayah adalah lokasi atau posisi suatu tempat yang terdapat di permukaan bumi. Letak suatu wilayah merupakan faktor yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan lahan yang sangat intensif serta tidak sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahan menimbulkan adanya degradasi lahan. Degradasi lahan yang umum terjadi

Lebih terperinci

DAS SUNGAI SIAK PROVINSI RIAU

DAS SUNGAI SIAK PROVINSI RIAU DAS SUNGAI SIAK PROVINSI RIAU Oleh NUR ANITA SETYAWATI, 0706265705 Gambaran Umum DAS SIAK Sungai Siak adalah sungai yang paling dalam di Indonesia, yaitu dengan kedalaman sekitar 20-30 meter. Dengan Panjang

Lebih terperinci

PEMBUATAN PETA TINGKAT KERAWANAN BANJIR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENGURANGI TINGKAT KERUGIAN AKIBAT BENCANA BANJIR 1 Oleh : Rahardyan Nugroho Adi 2

PEMBUATAN PETA TINGKAT KERAWANAN BANJIR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENGURANGI TINGKAT KERUGIAN AKIBAT BENCANA BANJIR 1 Oleh : Rahardyan Nugroho Adi 2 PEMBUATAN PETA TINGKAT KERAWANAN BANJIR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENGURANGI TINGKAT KERUGIAN AKIBAT BENCANA BANJIR 1 Oleh : Rahardyan Nugroho Adi 2 Balai Penelitian Kehutanan Solo. Jl. A. Yani PO Box 295

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena curah hujan yang tinggi, intensitas, atau kerusakan akibat penggunaan lahan yang salah.

BAB I PENDAHULUAN. karena curah hujan yang tinggi, intensitas, atau kerusakan akibat penggunaan lahan yang salah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banjir merupakan salah satu peristiwa alam yang seringkali terjadi. Banjir dapat terjadi karena curah hujan yang tinggi, intensitas, atau kerusakan akibat penggunaan

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT PUNCAK PADA SUBDAS BEDOG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. R. Muhammad Isa

PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT PUNCAK PADA SUBDAS BEDOG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. R. Muhammad Isa PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT PUNCAK PADA SUBDAS BEDOG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA R. Muhammad Isa r.muhammad.isa@gmail.com Slamet Suprayogi ssuprayogi@ugm.ac.id Abstract Settlement

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Solehudin, 2015 Kajian Tingkat Bahaya Erosi Permukaandi Sub Daerah Aliran Sungai Cirompang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Solehudin, 2015 Kajian Tingkat Bahaya Erosi Permukaandi Sub Daerah Aliran Sungai Cirompang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jumlah manusia yang menghuni permukaan bumi kian hari kian meningkat, tetapi kondisi tersebut berlaku sebaliknya dengan habitat hidup manusia, yaitu lahan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan lingkungan terkait antara hubungan faktor abiotik, biotik dan sosial budaya pada lokasi tertentu, hal ini berkaitan dengan kawasan bentanglahan yang mencakup

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH 1. Tata Guna Lahan 2. Identifikasi Menggunakan Foto Udara/ Citra Identifikasi penggunaan lahan menggunakan foto udara/ citra dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci