BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Metro adalah kota hasil pemekaran Kabupaten Lampung Tengah dan memperoleh otonomi daerah pada tanggal 27 April 1999 sesuai dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2009 (Bapedda Kota Metro, 2012). Kota Metro berada di jalur yang strategis karena berada pada jalur lintas Sumatera dengan empat persimpangan jalur kabupaten, yaitu 1) Kota Metro Tegineneng, Kabupaten Pesawaran, 2) Kota Metro Gunung Sugih, Kabupaten Lampung Tengah, 3) Kota Metro Natar, Kabupaten Lampung Selatan, dan 4) Kota Metro Pekalongan, Kabupaten Lampung Timur. Kota Metro selain sebagai kota persimpangan empat jalur juga merupakan salah satu kota pendidikan unggulan di Provinsi Lampung. Kondisi tersebut menjadikan Kota Metro sebagai kota transit dan kota fasilitas pendidikan. Kota Metro sebagai kota transit akan mengalami peningkatan mobilitas atau migrasi penduduk dari dan keluar Kota Metro dan Kota Metro sebagai kota pendidikan akan membutuhkan pembangunan fasilitas dan utilitas untuk menunjang kegiatan dan proses pembelajaran. Konsekuensi lain kondisi tersebut akan meningkatkan jumlah penduduk jumlah penduduk, sesuai data Kota Metro dalam Angka BPS tahun 2016 jumlah penduduk Kota Metro berjumlah jiwa pada tahun 2013 meningkat kisaran jiwa dalam kurun dua tahun pada tahun 2015 meningkat menjadi jiwa. Pembangunan fisik dengan membangun infrastruktur dan utilitas kota sebagai salah satu dampak meningkatnya jumlah penduduk dengan beragam pemenuhan kebutuhan. Perkembangan fisik kota yang menonjol akan mengurangi kenampakan visualisasi alami kota (Rijai, 2008). Peningkatan jumlah penduduk sejalan dengan meningkatnya kebutuhan Oksigen dan berkurangnya lahan terbuka hijau akan menurunkan pasokan ketersediaan Oksigen. 1

2 2 Menurut dokumen masterplan Ruang Terbuka Hijau Tahun 2012, Kota Metro dengan luas wilayah kurang lebih 6874 Ha memiliki luasan Ruang Terbuka Hijau kurang lebih 1056,15 Ha. Luasan Ruang Terbuka Hijau tersebut merupakan 15,36 % dari luasan wilayah Kota Metro. Pemenuhan proporsi Ruang Terbuka Hijau sesuai dengan amanat Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 mengenai Penataan Ruang, Kota Metro harus menyediakan Ruang Terbuka Hijau seluas kurang lebih 950 Ha atau 14,64 % dari luas wilayah Kota Metro. Menurut Fandelli (2004) Ruang Terbuka Hijau kota merupakan bagian dari penataan ruang yang berfungsi sebagai kawasan lindung. Bentuk bentuk ruang terbuka hijau wilayah kota, terdiri atas kawasan pertamanan kota, kawasan hutan kota, kawasan hijau untuk rekreasi, kawasan hijau untuk olahraga, dan kawasan hijau untuk perkarangan. Ruang Terbuka Hijau merupakan komponen penyeimbang kualitas lingkungan, karena ruang terbuka hijau memiliki peranan sebagai pemasok atau penyedia udara bersih yaitu Oksigen yang digunakan oleh manusia sebagai kegiatan bernafas, dan menjaga kualitas iklim mikro kota (Rahmy dkk, 2012). Konsentrasi dalam penelitian ini ditujukan pada kegiatan, yaitu inventarisasi keberadaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Metro dengan tujuan untuk mendata Ruang Terbuka Hijau yang masih ada di Kota Metro. Inventarisasi ditujukan dengan harapan data tersebut dapat digunakan sebagai kontrol atau pengendali oleh masyarakat dan pemerintah agar mempertahankan Ruang Terbuka Hijau yang telah ada. Konsentrasi lain, mengestimasi ketersediaan dan kebutuhan Oksigen di Kota Metro dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar Kota Metro membutuhkan Ruang Terbuka Hijau, dan memetakan dalam prioritas arahan pengembangan Ruang Terbuka Hijau. Penghitungan kebutuhan Ruang Terbuka Hijau didapat dari komponen penduduk dan jumlah kendaraan, serta jumlah industri besar. Ketersediaan Oksigen diperoleh dari kerapatan vegetasi. Informasi vegetasi dan penutup lahan dapat diperoleh dari analisis indeks vegetasi. Indeks vegetasi merupakan salah satu teknik analisis digital data penginderaan jauh untuk memperoleh informasi distribusi spasial vegetasi dan atributnya.

3 Rumusan Masalah Kota Metro memiliki Ruang Terbuka Hijau publik dan Ruang Terbuka Hijau privat sebesar 15,36 % atau sebesar Ha dari luas wilayah Kota Metro (Bappeda Kota Metro, 2012). Apabila ingin sesuai dengan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Ruang Terbuka Hijau pada wilayah kota minimal 30 % dari luas wilayah kota, maka Kota Metro harus menyediakan Ruang Terbuka Hijau sebesar 14,64 % atau kurang lebih menyediakan 950 Ha Ruang Terbuka Hijau dari luas kota. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Irwansyah (1998), mengestimasi pertumbuhan lahan untuk permukiman per 10 tahun di setiap unit administrasi kecamatan Kota Metro, 13 kecamatan menunjukkan 7 kecamatan di Kota Metro, yaitu Kecamatan Yosodadi, Ganjaragung, Hadimulyo, Banjarsari, Tejosari, Mulyojati, dan Margorejo termasuk klas pertumbuhan lahan untuk permukiman cepat dengan kisaran nilai persentase pertumbuhan 2,64 % - 7,56 %. Irwansyah memprediksi pertumbuhan tersebut akan terus terjadi di setiap tahunnya. Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang perlu dilakukan inventarisasi Ruang Terbuka Hijau untuk data, kontrol, dan pedoman untuk kegiatan pemanfaatan ruang dan pengembangan Ruang di masa yang akan datang. Bentuk alih fungsi lahan dari lahan terbuka (hijau dan non hijau) diindikasikan akan memberikan dampak terhadap ketersediaan Oksigen. Oksigen merupakan udara yang sangat vital diperlukan manusia dan makhluk hidup lainnya untuk respirasi. Kebutuhan Oksigen di suatu kota akan meningkat tinggi apabila di kota tersebut menghasilkan emisi dan jumlah penduduk yang tinggi. Kebutuhan Oksigen dan ketersediaan Oksigen yang diketahui dapat diperkirakan apakah keberadaan Ruang Terbuka Hijau yang telah dapat memenuhi kebutuhan Oksigen di Kota Metro. Apabila terjadi kebutuhan Oksigen lebih tinggi dibandingkan dengan ketersediaan Oksigen, maka kota tersebut mengalami defisit Oksigen. Informasi ketersediaan dan kebutuhan Oksigen dapat dapat digunakan untuk arahan pengembangan Ruang Terbuka Hijau. Kondisi kekurangan ketersediaan Oksigen dapat dipenuhi dengan adanya perencanaan pemenuhan kebutuhan Ruang Terbuka Hijau dan kondisi ketercukupan Ruang Terbuka Hijau di suatu kota tidak

4 4 hanya dipemeliharaan tetapi luasan Ruang Terbuka Hijau terus ditingkatkan. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau untuk menciptakan keseimbangan dan kesehatan lingkungan yang baik. Sesuai dengan uraian di atas, maka permasalahan penelitian dapat dirumuskan dalam pertanyaan pertanyaan penelitian berikut : 1. Bagaimana sebaran Ruang Terbuka Hijau di Kota Metro? 2. Bagaimana kondisi ketersediaan dan kebutuhan Oksigen di Kota Metro? 3. Bagaimana arahan pengembangan ruang terbuka hijau di Kota Metro berdasarkan kebutuhan dan ketersediaan Oksigen? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun beberapa tujuan penelitian sebagai berikut : 1. Menginventarisasi Ruang Terbuka Hijau eksisting di Kota Metro; 2. Menganalisis kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Metro; 3. Menentukan prioritas arahan pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Kota Metro Kegunaan Penelitian Teoritis 1. Kontribusi data penelitian mengenai Ruang Terbuka Hijau; 2. Acuan untuk penelitian lanjut mengenai Ruang Terbuka Hijau di daerah penelitian. Praktisi 1. Hasil penelitian dapat digunakan untuk rencana pengembangan Ruang Terbuka Hijau di daerah penelitian oleh Pemerintah Daerah setempat; 2. Hasil penelitian dapat digunakan untuk menentukan suatu kebijakan akan suatu kegiatan atau pemanfaatan lahan di daerah penelitian Keaslian Penelitian Penelitian mengenai tema arahan pengembangan RTH berdasarkan kebutuhan RTH telah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Persamaan

5 5 penelitian yang dilakukan oleh peneliti, antara lain : 1) mengkaji mengenai Ruang Terbuka Hijau, 2) mengestimasi kebutuhan Ruang Terbuka Hijau dengan metode Gerarkis, 3) memanfaatkan citra penginderaan jauh untuk memperoleh indeks vegetasi yang akan digunakan untuk menganalisis kerapatan vegetasi dan memperoleh data mengenai ketersediaan Oksigen, dan 4) mendesain arahan prioritas pengembangan Ruang Terbuka Hijau. Perbedaan penelitian adalah perbedaan pada pengambilan lokasi penelitian dan tujuan peneliti yang berkeinginan memetakan atau menginventarisasi secara spasial keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di daerah penelitian dan mendesain arahan prioritas pengembangan Ruang Terbuka Hijau dari hasil perbandingan antara ketersediaan Oksigen dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau. Perbedaan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti disajikan dalam Tabel 1. Berikut penjelasan mengenai penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Penelitian oleh Sidiq (2013) yang melakukan penelitian mengenai desain arahan pengembangan Ruang Terbuka Hijau yang diharapkan dapat menciptakan kenyamanan lingkungan di Kota Semarang. Pemetaan arahan pengembangan Ruang Terbuka Hijau diperoleh dengan metode tumpangsusun dari empat variabel peta. Variabel variabel tersebut yaitu, persebaran iklim mikro, kebutuhan Ruang Terbuka Hijau, dan tutupan hijau. Penelitian ini menggunakan citra ALOS AVNIR- 2 tahun 2009 untuk memperoleh persentase tutupan hijau dari nilai indeks vegetasi. Tutupan hijau pada penelitian ini digunakan untuk menghitung luasan Ruang Terbuka Hijau yang dapat digunakan untuk memperkirakan ketersediaan Oksigen. Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau diestimasi dengan menggunakan metode Gerrarkis, dan pengukuran langsung persebaran iklim mikro di Kota Semarang. Hasil yang diperoleh pada penelitian tersebut menunjukkan Kota Semarang memiliki arahan prioritas pengembangan sangat prioritas untuk di Kota Semarang bagian Utara sampai Kota Semarang bagian Tengah karena wilayah tersebut sebagian besar merupakan kawasan perindustrian. Kurniasari dan Puspitaningrom (2011) melakukan penelitian mengenai analisis kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Yogyakarta (Kelurahan Kotabaru,

6 6 Ngampilan, dan Purwokinanti). Penelitian ini menggunakan metode analisis kebutuhan dan sebaran Ruang Terbuka Hijau dengan metode Gerrarkis. Variabel data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, antara lain : jumlah penduduk, data konsumsi bahan bakar minyak, jumlah kendaraan bermotor, distribusi dan luasan Ruang Terbuka Hijau, dan suhu udara (pagi, siang, dan sore). Analisis temperatur ideal diperoleh dari pengukuran di lapangan dengan menggunakan Termohygrometer, estimasi kebutuhan Ruang Terbuka Hijau diperoleh dari perhitungan data jumlah penduduk, konsumsi bahan bakar minyak, dan jumlah kendaraan bermotor, dan distribusi Ruang Terbuka Hijau merupakan upaya pemenuhan kebutuhan Ruang Terbuka Hijau. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurniasari dan Puspitaningrom (2011) menunjukkan bahwa fungsi keberadaan Ruang Terbuka Hijau terhadap suhu udara berkaitan erat, Kelurahan Kotabaru memiliki Ruang Terbuka Hijau mempunyai suhu udara pada pagi hari berkisar 26º C - 31º C, siang hari berkisar 29º C 33º C, dan sore hari 26º C - 33º C, berbeda dengan Kelurahan Purwokinanti dan Ngampilan dengan Ruang Terbuka Hijau yang masih kurang dengan suhu udara lebih panas daripada Kelurahan Kotabaru, suhu udara pagi berkisar 28º C - 31º C, siang hari 33º C - 37º C, dan sore hari berkisar 29º C - 33º C. Distribusi Ruang Terbuka Hijau difokuskan kepada kelurahan yang Ruang Terbuka Hijau belum terpenuhi yaitu Kelurahan Purwokinanti dan Kelurahan Ngampilan. Penambahan Ruang Terbuka Hijau dilakukan dengan merekomendasi jenis tanaman yang dapat dikembangkan praktis dan tidak membutuhkan lahan luas di kawasan permukiman dan sempadan sungai. Hartini (2008) melakukan penelitian mengenai analisis konversi Ruang Terbuka Hijau menjadi penggunaan perumahan di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang. Tujuan dari penelitian tersebut untuk : 1) mengetahui sebaran Ruang Terbuka Hijau di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang tahun , 2) mengetahui konversi alih guna lahan Ruang Terbuka Hijau ke penggunaan perumahan di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang tahun , dan 3) memproyeksikan konversi Ruang Terbuka Hijau tahun Sebaran Ruang Terbuka Hijau diperoleh dari hasil interpretasi visual pada Citra Quickbird dan

7 7 Citra Ikonos, hasil interpretasi di digitasi dan kemudian dicek ke lapangan. Konversi alih guna lahan diperoleh dari data sosial dan ekonomi serta dokumen RTRW Kota Semarang. Proyeksi konversi lahan dianalisis dengan metode Gravitasi Hansen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa RTH tahun 2003 seluas 2.736,84 Ha mengalami penurunan pada tahun 2007 seluas 2.488,73 Ha, sehingga terjadi pengurangan RTH seluas 248,11 Ha atau 9,07 %. Perubahan RTH tersebut menjadi perumahan seluas 73,43 Ha (29,59 %), lahan terbuka seluas 165,44 Ha (66,68 %), penggunaan lain seluas 4,63 Ha (1,87 %) dan sisanya seluas 4,61 Ha (1,86 %) perubahan masih dalam kategori RTH. Kecamatan Tembalang memiliki daya Tarik tertinggi sebesar 124,46 dibandingakn dengan kecamatan pembanding, sehingga diproyeksikan hingga tahun 2010 Kecamatan Tembalang masih akan terus berkembang dan mengalami konversi RTH ke perumahan kurang lebih seluas 29,58 Ha. Taufik (2009) mengkaji mengenai kebututuhan Ruang Terbuka Hijau dan konversi Ruang Terbuka Hijau di Kota Padang. Penelitian Taufik (2009) bertujuan untuk : 1) Menghitung luas dan sebaran RTH (existing condition) di Kota Padang tahun 2006 dengan menggunakan citra Landsat 7 ETM+; 2) Menghitung jumlah kebutuhan dan ketercukupan RTH di Kota Padang berdasarkan luas kawasan, jumlah penduduk, dan kebutuhan Oksigen, 3) Mengidentifikasi kesesuaian jumlah dan sebaran RTH dalam RTRW tahun terhadap kebutuhan RTH tahun 2006; dan 4) Menghitung perubahan RTH menjadi permukiman (lahan terbangun) di Kota Padang tahun dan perkiraan RTH ke perumahan sampai dengan tahun 2013, pada kawasan pengembangan kota. Hasil interpretasi Citra Landsat TM+ 7 liputan 10 Maret tahun 2006 path/row 127/061 diperoleh existing condition RTH Kota Padang seluas Ha atau 79,61 % dari wilayah kota secara administratif, dan tersebar tidak merata. Kecamatan Padang Barat kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan Oksigen seluas 917 Ha, Padang Timur seluas 607 Ha, Padang Utara seluas 147 Ha. Seusai analisis berdasarkan luas wilayah Kota Padang kekurangan RTH pada Kecamatan Padang Barat 140 Ha, Padang Timur 163 Ha, dan Padang Utara seluas 117 Ha. Kekurangan RTH berdasarkan jumlah penduduk

8 8 Kecamatan Padang Barat seluas 240 Ha, Kecamatan Padang Timur seluas 337 Ha, dan Kecamatan Padang Utara seluas 250 Ha. Merligon (2017) melakukan pe nelitian dengan menginventarisasi Ruang Terbuka Hijau Kota Metro dan membuat arahan prioritas pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Kota Metro. Interpretasi Ruang Terbuka Hijau berdasarkan interpretasi citra WorldView-II dan sumber data sekunder yang kemudian dilakukan survei ke lapangan. Arahan prioritas pengembangan Ruang Terbuka Hijau diperoleh dari analisis antara ketersediaan dan kebutuhan Ruang Terbuka Hijau. Arahan prioritas pengembangan RTH diklasifikasikan dalam tiga golongan yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Prioritas tinggi berarti daerah tersebut harus diutamakan pengembangan Ruang Terbuka Hijau, prioritas sedang berarti tingkat penanganan menengah, dan prioritas rendah berarti daerah tersebut telah memiliki Ruang Terbuka Hijau yang telah tercukupi sehingga hanya perlu ditingkatkan pemeliharaan terhadap Ruang Terbuka Hijau yang ada. Ketersediaan Oksigen diperoleh dari analisis luasan Ruang Terbuka Hijau dari hasil konversi transformasi indeks vegetasi citra Landsat-8. Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau diperoleh dari penghitungan estimasi kebutuhan Oksigen dari variabel jumlah penduduk, jumlah daging ternak yang dipotong, jumlah industri besar, dan jumlah kendaraan bermotor.

9 Tabel 1.1. Perbandingan Penelitian Terdahulu dengan Rencana Penelitian No. Peneliti, Tahun, dan Judul Tujuan Metode Hasil 1. Wahid Akhsin Budi Nur Mengkaji citra ALOS AVNIR-2 untuk Arah pengembangan RTH Peta arahan pengembangan Shidiq Pemanfaatan Penginderaan kajian Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang; diperoleh dari tumpangsusun peta kebutuhan RTH, peta Ruang Terbuka Hijau yang nantinya diharapkan dapat Jauh dan SIG untuk Evaluasi Mengevaluasi persebaran RTH eksisting di persebaran kondisi iklim menciptakan kondisi dan Arahan Pengembangan Kota Semarang. mikro, dan peta kelas tutupan nyaman di Kota Semarang. Ruang Terbuka Hijau (RTH) di hijau. Kota Semarang. 2. Heni Dwi Kurniasari dan Alvie Mengidentifikasi kondisi dan distribusi Analisis temperatur ideal Temperatur ideal, Puspitaningrom, 2011 ruang terbuka hijau (RTH) Kelurahan dengan menggunakan perhitungan kebutuhan Estimasi Luasan dan Distribusi Kotabaru, Ngampilan, dan Purwokinanti. metode Thorn; RTH, dan analisis distribusi Ruang Terbuka Hijau Membuat estimasi kebutuhan RTH di Analisis kebutuhan RTH RTH di Kota Yogyakarta dalam Menurunkan Suhu Kelurahan Ngampilan, dan Purwokinanti. dengan menggunakan (Kelurahan : Kotabaru, Udara Mikro di Kota Memetakan kawasan yang dianggap perlu metode Gervakis; Ngampilan, dan Yogyakarta (Kelurahan pengembangan RTH. Analisis distribusi RTH Purwokinanti). Kotabaru, Ngampilan, dengan memanfaatkan citra Purwokinanti) penginderaan jauh. 3. Sri Hartini Mengetahui sebaran Ruang Terbuka Hijau Interpretasi visual; Informasi sebaran Ruang Analisis Konversi Ruang (RTH) di Kecamatan Tembalang, Kota Digitasi on screen Terbuka Hijau, konversi, Terbuka Hijau (RTH) menjadi Semarang tahun 2003 hingga tahun 2007; Analisis model gravitasi dan prediksi konversi Penggunaan Perumahan di Mengetahui konversi (alih guna) Ruang Hansen. Ruang Terbuka Hijau Kecamatan Tembalang, Kota Terbuka Hijau (RTH) ke penggunaan lahan (RTH) di Kecamatan Semarang. perumahan di Kecamatan Tembalang, Kota Tembalang tahun Semarang tahun ; Memproyeksikan konversi Ruang Terbuka Hijau tahun

10 Lanjutan Tabel 1.1. Peneliti, Tahun, dan No. Judul 4. Faziul Taufik Kajian Kebutuhan dan Konversi Ruang Terbuka Hijau di Kota Padang. Tujuan Metode Hasil Menghitung luas dan sebaran RTH (existing condition) di Kota Padang tahun 2006 dengan menggunakan citra Landsat 7 ETM+; Menghitung jumlah kebutuhan dan ketercukupan RTH di Kota Padang berdasarkan luas kawasan, jumlah penduduk, dan kebutuhan Oksigen. Mengidentifikasi kesesuaian jumlah dan sebaran RTH dalam RTRW tahun terhadap kebutuhan RTH tahun 2006; Menghitung perubahan RTH menjadi permukiman (lahan terbangun) di Kota Padang tahun dan perkiraan RTH ke perumahan sampai dengan tahun 2013, pada kawasan pengembangan kota. Perhitungan luasan dan sebaran RTH berdasarkan Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dihitung berdasarkan persentase luas ideal minimal yaitu 20 % dari luasan kawasan perkotaan; Perhitungan kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk; Perhitungan kebutuhan Oksigen berdasarkan kebutuhan Oksigen di Kota Padang; Analisis kesesuaian RTRW untuk kawasan hijau terhadap kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Model gravitasi Hansen untuk memperkirakan pengalihan atau konversi RTH menjadi permukiman di Kota Padang tahun Analisis luasan dan sebaran RTH; Tabulasi dan penjelasan deksriptif hasil perhitungan kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan Oksigen dan jumlah penduduk di Kota Padang; Perkiraan konversi RTH menjadi lahan permukiman di Kota Padang tahun

11 Lanjutan Tabel 1.1. Peneliti, Tahun, dan No. Judul 5. Merligon, 2017 Inventarisasi dan Arahan Prioritas Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Kota Metro. Tujuan Metode Hasil Menginventarisasi Ruang Terbuka Hijua (RTH) Kota Metro; Menganalisis kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Metro; Menentukan arahan prioritas pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Metro. Digitasi on screen dan cek lapangan; Penghitungan kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan metode Gerrakis dengan menggunakan data jumlah penduduk, ternak, kendaraan bermotor, dan jumlah industri untuk setiap unit administrasi; Overlay atau tumpangsusun antara peta kebutuhan oksigen dengan peta ketersediaan Oksigen. Peta Inventarisasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Metro; Hasil perhitungan kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan metode Gerrakis dengan menggunakan data jumlah penduduk, kendaraan bermotor, ternak, dan jumlah industri untuk setiap unit administrasi; Peta Arahan Prioritas Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Kota Metro. 11

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia. Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan manusia berupa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kenyamanan permukiman di kota dipengaruhi oleh keberadaan ruang terbuka hijau dan tata kelola kota. Pada tata kelola kota yang tidak baik yang ditunjukkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan telah mengalami transformasi lingkungan fisik lahan. Transformasi lingkungan fisik lahan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan-lahan untuk menyediakan permukiman, sarana penunjang ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan bagian dari perkembangan suatu kota. Pembangunan yang tidak dikendalikan dengan baik akan membawa dampak negatif bagi lingkungan kota. Pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO Sri Sutarni Arifin 1 Intisari Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau khususnya pada wilayah perkotaan sangat penting mengingat besarnya

Lebih terperinci

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 )

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) 8 Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) (Sumber: Bapeda Kota Semarang 2010) 4.1.2 Iklim Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Semarang tahun 2010-2015, Kota

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Luas Hutan Kota di Kotamadya Jakarta Selatan Berdasarkan Peraturan Penentuan luas hutan kota mengacu kepada dua peraturan yang berlaku di Indonesia yaitu menurut PP No 62 Tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pembangunan dan pengembangan suatu kota berjalan sangat cepat, sehingga apabila proses ini tidak diimbangi dengan pengelolaan lingkungan hidup dikhawatirkan akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Pengalihan fungsi lahan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota semakin banyak terjadi pada saat sekarang. Hal ini seiring dengan permintaan pembangunan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan kota yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas kota menuntut pula kebutuhan lahan yang semakin besar. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya tingkat

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat terjadinya kehidupan dan aktivitas bagi penduduk yang memiliki batas administrasi yang diatur oleh perundangan dengan berbagai perkembangannya.

Lebih terperinci

Tabel 19. Selisih Serapan dan Emisi Karbon Dioksida. (ton) ,19 52,56 64,59 85,95 101, , , ,53

Tabel 19. Selisih Serapan dan Emisi Karbon Dioksida. (ton) ,19 52,56 64,59 85,95 101, , , ,53 70 Tabel 19. Selisih Serapan dan Emisi Karbon Dioksida Pekanbaru Kota Senapelan Limapuluh Sukajadi Sail Rumbai Bukit Raya Tampan Emisi CO 2 (ton) 176.706,19 52,56 64,59 85,95 101,42 24.048,65 32.864,12

Lebih terperinci

Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta)

Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta) Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta) Hapsari Wahyuningsih, S.T, M.Sc Universitas Aisyiyah Yogyakarta Email: hapsariw@unisayogya.ac.id Abstract: This research

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini menyebabkan

Lebih terperinci

INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR

INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR Cesaria Wahyu Lukita, 1, *), Joni Hermana 2) dan Rachmat Boedisantoso 3) 1) Environmental Engineering, FTSP Institut Teknologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Pekanbaru. Kota Pekanbaru terletak pada 101 0 18 sampai 101 0 36 Bujur Timur serta 0 0 25 sampai 0 0 45 Lintang Utara.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan 16 kampung di Kabupaten Jayapura.

Lebih terperinci

6.1.1 Hasil Analisis RTH pada Kabupaten Mimika. b. Hasil perhitungan berdasarkan status kepemilikan RTH eksisting: ha dengan pembagian:

6.1.1 Hasil Analisis RTH pada Kabupaten Mimika. b. Hasil perhitungan berdasarkan status kepemilikan RTH eksisting: ha dengan pembagian: 6.1 Kesimpulan 6.1.1 Hasil Analisis RTH pada Kabupaten Mimika Berdasarkan hasil analisis diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yakni antara lain : a. Berdasarkan UU No. 26/2007 standar Kebutuhan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana S-1 Program Studi Geografi

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana S-1 Program Studi Geografi ANALISIS PRIORITAS PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU DAERAH PERMUKIMAN MELALUI PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN KOTAGEDE SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak A123-04-1-JW Hatulesila Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon Jan Willem Hatulesila 1), Gun Mardiatmoko 1), Jusuph Wattimury 2) 1) Staf Pengajar Fakultas

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014 Analisis Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang Dengan Meggunakan Sistem Informasi Geografis Handayani Nur Arifiyanti, Moehammad Awaluddin, LM Sabri *) Program Studi Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Gambar 1. Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi dan kegiatan analisis data dilakukan di studio bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Udara di perkotaan tak pernah terbebas dari pencemaran asap beracun yang dimuntahkan oleh jutaan knalpot kendaraan bermotor. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2011-2031 I. UMUM Proses pertumbuhan dan perkembangan wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

ARAHAN POLA PENYEBARAN RUANG TERBUKA HIJAU IBUKOTA KECAMATAN TADU RAYA KABUPATEN NAGAN RAYA, NAD. Oleh : Linda Dwi Rohmadiani

ARAHAN POLA PENYEBARAN RUANG TERBUKA HIJAU IBUKOTA KECAMATAN TADU RAYA KABUPATEN NAGAN RAYA, NAD. Oleh : Linda Dwi Rohmadiani ARAHAN POLA PENYEBARAN RUANG TERBUKA HIJAU IBUKOTA KECAMATAN TADU RAYA KABUPATEN NAGAN RAYA, NAD Oleh : Linda Dwi Rohmadiani Abstrak Proporsi Ruang Terbuka Hijau sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 tahun

Lebih terperinci

Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung

Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung Reka Geomatika No.1 Vol. 2016 14-20 ISSN 2338-350X Maret 2016 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Jurusan Teknik Geodesi Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau FERI NALDI, INDRIANAWATI Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya merupakan modal dasar pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan dengan memperhatikan karakteristiknya.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG RUANG TERBUKA DI KELURAHAN TAMANSARI

BAB IV ANALISIS PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG RUANG TERBUKA DI KELURAHAN TAMANSARI 62 b a BAB IV ANALISIS PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG RUANG TERBUKA DI KELURAHAN TAMANSARI Bahasan analisis mengenai persepsi masyarakat tentang identifikasi kondisi eksisting ruang terbuka di Kelurahan Tamansari,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumah merupakan kebutuhan manusia yang tidak dapat dihindari. Kebutuhan rumah bahkan termasuk ke dalam kebutuhan primer selain makanan dan pakaian. Dengan semakin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah.

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka landasan administrasi dan keuangan diarahkan untuk mengembangkan otonomi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahapan Penelitian

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahapan Penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai Distribusi dan Kecukupan Luasan Hutan Kota sebagai Rosot Karbondioksida dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Bab I merupakan pendahuluan yang merupakan framework dari penyusunan laporan ini. Pada bab ini berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan sasaran. Dibahas pula ruang lingkupnya

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALYSIS OF PUBLIC GREEN OPEN SPACE IN BITUNG CITY Alvira Neivi Sumarauw Jurusan Perencanaan Wilayah, Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan

Lebih terperinci

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011 IPB International Convention Center, Bogor, 12 13 September 2011 Kerangka Latar Belakang Masalah PERTUMBUHAN EKONOMI PERKEMBANGAN KOTA PENINGKATAN KEBUTUHAN LAHAN KOTA LUAS LAHAN KOTA TERBATAS PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan adalah upaya perubahan dari kondisi kurang baik menjadi lebih baik. Untuk itu pemanfaatan sumber daya alam dalam proses pembangunan perlu selalu dikaitkan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan Luasannya di Kota Bogor Kota Bogor memiliki luas kurang lebih 11.267 Ha dan memiliki enam kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi dengan alam sekelilingnya atau lingkungannya. Seiring dengan perkembangan zaman,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

III PENYUSUNAN MASTERPLAN RTH PERKOTAAN MASTERPLAN RTH

III PENYUSUNAN MASTERPLAN RTH PERKOTAAN MASTERPLAN RTH III PENYUSUNAN MASTERPLAN RTH PERKOTAAN MASTERPLAN RTH DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan I.3 Ruang Lingkup I.4 Keluaran I.5 Jadwal Pelaksanaan III.1 III.2 III.3 III.3

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Kota-kota di Indonesia saat ini berkembang sangat pesat, hal ini tidak terlepas dari pengaruh pertumbuhan penduduk sebagai dampak dari arus urbanisasi. Kenyataan

Lebih terperinci

Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU)

Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU) PENGADAAN TANAH UNTUK RUANG TERBUKA HIJAU DI KAWASAN PERKOTAAN Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU) Sekilas RTH Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Oleh: MELANIA DAMAR IRIYANTI L2D

TUGAS AKHIR. Oleh: MELANIA DAMAR IRIYANTI L2D PENILAIAN KUALITAS LINGKUNGAN PERUMAHAN BERDASARKAN PEDOMAN PEMANTAUAN DAN EVALUASI PROGRAM BANGUN PRAJA (Studi Kasus: Kawasan di Sekitar Kampus UNDIP Tembalang) TUGAS AKHIR Oleh: MELANIA DAMAR IRIYANTI

Lebih terperinci

MODEL BANGKITAN PERJALANAN YANG DITIMBULKAN PERUMAHAN PURI DINAR MAS DI KELURAHAN METESEH KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

MODEL BANGKITAN PERJALANAN YANG DITIMBULKAN PERUMAHAN PURI DINAR MAS DI KELURAHAN METESEH KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR MODEL BANGKITAN PERJALANAN YANG DITIMBULKAN PERUMAHAN PURI DINAR MAS DI KELURAHAN METESEH KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: RADITYA MAHARSYI DANANJAYA L2D 005 389 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Jumlah penduduk Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 1990 jumlah penduduk

Lebih terperinci

INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI

INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI Saat ini banyak kota besar yang kekurangan ruang terbuka hijau atau yang sering disingkat sebagai RTH. Padahal, RTH ini memiliki beberapa manfaat penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 133 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Dalam bab ini akan dibahas mengenai kesimpulan dari studi penelitian dan rekomendasi yang bisa di ambil dalam studi. Selain itu akan dibahas mengenai kelemahan studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan usaha untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu bahwa bumi dan air

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian,

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bentuk penggunaan lahan suatu wilayah terkait dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya. Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan semakin intensifnya aktivitas

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan Penelitian estimasi kebutuhan luas hutan kota berdasarkan kebutuhan oksigen di Kotamadya Jakarta Selatan. Tempat pengambilan data primer

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Identifikasi merupakan langkah strategis dalam menyukseskan suatu pekerjaan. (Supriadi, 2007). Tujuan pemerintah dalam rangka penertiban dan pendayagunaan tanah

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH Perumusan Strategi Setelah dilakukan identifikasi tentang potensi/kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman menggunakan Analisis SWOT dalam konteks pengembangan wilayah maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, jasa, dan industri. Penggunaan lahan di kota terdiri atas lahan

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, jasa, dan industri. Penggunaan lahan di kota terdiri atas lahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kawasan perkotaan di Indonesia cenderung mengalami permasalahan yang tipikal, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus urbanisasi sehingga

Lebih terperinci

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan Kota memiliki keterbatasan lahan, namun pemanfaatan lahan kota yang terus meningkat mengakibatkan pembangunan kota sering meminimalkan ruang terbuka hijau. Lahan-lahan pertumbuhan banyak yang dialihfungsikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lingkungan adalah semua benda, daya serta kondisi, termasuk di dalamnya

I. PENDAHULUAN. Lingkungan adalah semua benda, daya serta kondisi, termasuk di dalamnya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan adalah semua benda, daya serta kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah-perbuatannya, yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada dan mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan perekonomian di kota-kota besar dan metropolitan seperti DKI Jakarta diikuti pula dengan berkembangnya kegiatan atau aktivitas masyarakat perkotaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara menyeluruh. Pembangunan daerah telah berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Yunus (2008) kota selalu mengalami perkembangan dalam artian fisikal maupun non-fisikal, seperti perkembangan ekonomi, sosial, budaya, dan demografis. Perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kota Per Kecamatan Kota yang terdiri dari enam kecamatan memiliki proporsi jumlah penduduk yang tidak sama karena luas masing-masing kecamatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian kuantitatif dengan pendekatan spasial. Metode penelitian kuantitatif dapat

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian kuantitatif dengan pendekatan spasial. Metode penelitian kuantitatif dapat BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan pendekatan spasial. Metode penelitian kuantitatif dapat

Lebih terperinci

Tabel 28. Kesesuaian RUTRK untuk RTH terhadap Inmendagri No. 14 Tahun RUTRK Untuk RTH (ha)

Tabel 28. Kesesuaian RUTRK untuk RTH terhadap Inmendagri No. 14 Tahun RUTRK Untuk RTH (ha) 80 Tabel 28. Kesesuaian RUTRK untuk RTH terhadap Inmendagri No. 14 Tahun 1988 RUTRK Untuk RTH (ha) Kebutuhan RTH Berdasarkan Inmendagri No.14/88 Selisih (ha) Pekanbaru Kota 0 90-90 * Senapelan 0 266-266

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta) ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta) TUGAS AKHIR Oleh: SUPRIYANTO L2D 002 435 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tengah, Lampung Timur, dan Lampung Selatan, maka dibuat peta lahan. daya alam dan manusia serta memperluas lapangan pekerjaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Tengah, Lampung Timur, dan Lampung Selatan, maka dibuat peta lahan. daya alam dan manusia serta memperluas lapangan pekerjaan dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam rangka menggali potensi lahan daerah kabupaten wilayah Lampung Tengah, Lampung Timur, dan Lampung Selatan, maka dibuat peta lahan investasi pada daerah tersebut.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. heterogen serta coraknya yang materialistis (Bintarto,1983:27). Kota akan selalu

I. PENDAHULUAN. heterogen serta coraknya yang materialistis (Bintarto,1983:27). Kota akan selalu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota adalah sebuah sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomis yang heterogen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aksesibilitas merupakan hubungan kedekatan suatu tempat dengan tempat lain yang diindikasikan dengan kemudahan dalam mencapai tujuan dari lokasi asal (Simmonds, 2001).

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan sebagai pusat permukiman dan sekaligus pusat pelayanan (jasa) terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah pengaruhnya (hinterland)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi penginderaan jauh yang semakin pesat menyebabkan penginderaan jauh menjadi bagian penting dalam mengkaji suatu fenomena di permukaan bumi sebagai

Lebih terperinci

METODOLOGI. Tempat dan Waktu

METODOLOGI. Tempat dan Waktu METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Jalan Lingkar Kebun Raya Bogor. Tempat penelitian adalah di sepanjang koridor Jalan Lingkar Kebun Raya Bogor (Gambar 2). Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD NASKAH PUBLIKASI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Posisi wilayah Kota Metro berada di tengah Provinsi Lampung, secara

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Posisi wilayah Kota Metro berada di tengah Provinsi Lampung, secara IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Geografis Kota Metro Posisi wilayah Kota Metro berada di tengah Provinsi Lampung, secara geografis terletak pada 5,6 0 5,8 0 lintang selatan dan 105,17 0-105,19

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA...

BAB II KAJIAN PUSTAKA... DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Permasalahan... 4 1.3 Tujuan dan

Lebih terperinci

Sejalan dengan berkembangnya suatu kota atau wilayah dan meningkatnya kebutuhan manusia, infrastruktur jalan sangat diperlukan untuk menunjang proses

Sejalan dengan berkembangnya suatu kota atau wilayah dan meningkatnya kebutuhan manusia, infrastruktur jalan sangat diperlukan untuk menunjang proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem transportasi terutama infrastruktur jaringan jalan merupakan salah satu modal utama dalam perkembangan suatu wilayah. Pada daerah perkotaan, terutama, dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat. Alih fungsi lahan pertanian

Lebih terperinci

METODOLOGI. Tabel 1. Jenis, Sumber, dan Kegunaan data No Jenis Data Sumber Data Kegunaan

METODOLOGI. Tabel 1. Jenis, Sumber, dan Kegunaan data No Jenis Data Sumber Data Kegunaan METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Pantai Kelapa Rapat (Klara) Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, dengan luas area ± 5.6 Ha (Gambar 2). Penelitian ini dilaksanakan selama 4

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah perkotaan mempunyai sifat yang sangat dinamis, berkembang sangat cepat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Perkembangan daerah perkotaan dapat secara

Lebih terperinci