DESKRIPSI MORFOLOGI, IDENTIFIKASI MOLEKULER DAN POSISI FILOGENI BERUDU DI PULAU JAWA BERDASARKAN GEN 12S rrna DAN 16S rrna LUTHFIA NURAINI RAHMAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DESKRIPSI MORFOLOGI, IDENTIFIKASI MOLEKULER DAN POSISI FILOGENI BERUDU DI PULAU JAWA BERDASARKAN GEN 12S rrna DAN 16S rrna LUTHFIA NURAINI RAHMAN"

Transkripsi

1 DESKRIPSI MORFOLOGI, IDENTIFIKASI MOLEKULER DAN POSISI FILOGENI BERUDU DI PULAU JAWA BERDASARKAN GEN 12S rrna DAN 16S rrna LUTHFIA NURAINI RAHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 i

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis DESKRIPSI MORFOLOGI, IDENTIFIKASI MOLEKULER DAN FILOGENI BERUDU DI PULAU JAWA BERDASARKAN GEN 12S rrna DAN 16S rrna adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2012 Luthfia N. Rahman NRP. G ii

3 ABSTRACT Luthfia N. Rahman. Morphological Description, Molecular Identification and Phylogenetic Relationship of Tadpoles in Java Island Based on 12S rrna and 16S rrna Genes. Under supervision of ACHAMAD FARAJALLAH and MIRZA D. KUSRINI. Within life cycle of frogs, larval phase is the most difficult phase to identify, as well as an important phase in the development of Anuran. This study aims to identify tadpoles using morphological and molecular characteristics and to assess the phylogenetic of Anuran in Java Island based on tadpoles. Molecular phylogenetic relationship of tadpoles was estimated using 1362 bp of sequences from the 12S and 16S rrna genes. Morphological characteristics showed that tadpole samples (N=94) were differentiated to 17 species in 6 families. Based on molecular characteristics there are high similiarty between O. hosii and L. hasseltii, and between F. limnocharis and F. iskandari. Anuran as monophyletic group was well-supported except for Rhacophorid based on 12S rrna gene. Based on 12S and 16S rrna genes P. aspera was more closely related to of B. japonicus, while F. limnocharis was more closely related to F. iskandari based on 12S, 16S and 12S-16S rrna genes. Keywords: Identification, tadpole, 12S and 16S rrna, phylogenetic, Java Islands iii

4 RINGKASAN Luthfia N. Rahman. Deskripsi Morfologi, Identifikasi Molekuler dan Filogeni Berudu di Pulau Jawa Berdasarkan Gen 12S rrna dan 16S rrna. Dibimbing oleh: ACHAMAD FARAJALLAH, MIRZA D. KUSRINI Identifikasi spesies pada sebagian besar berudu sulit dilakukan karena karakter morfologi yang mudah dikenali sangat beragam. Selain itu, berudu dan Anura dewasa yang ditemukan pada lokasi yang sama tidak mudah untuk saling dihubungkan terutama pada spesies-spesies yang melakukan aktivitas breeding dan non-breeding tidak di lokasi yang sama atau berdekatan. Identifikasi spesies berudu paling sulit dilakukan pada berudu yang berada pada tahap dalam proses metamorfosisnya karena merupakan tahap awal diferensiasi oral disc. Hasil identifikasi spesies berudu dapat menjadi data dasar dalam manajemen habitat demi kelestarian jenis Anura. Oleh karena itu diperlukan klustering data molekular yang menjadi alternatif pelengkap untuk memperkuat identifikasi spesies. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi spesies berudu di Pulau Jawa berdasarkan karakter morfologi dan molekuler, dan mengetahui posisi filogeni berudu berdasarkan gen 12S dan 16S rrna. Sampel berudu yang dianalisis berjumlah 94 individu. Identifikasi morfologi dilakukan berdasarkan kunci identifikasi Iskandar (1998). Deskripsi morfologi dan morfometrika berudu dilakukan berdasarkan Altig (2007), dan tahap perkembangan berudu ditentukan berdasarkan Gosner (1960). Genom diekstraksi dari jaringan menggunakan metode fenol-kloroform (Farajallah 2002). Ruas gen target (12S dan 16S rrna) diamplifikasi menggunakan pasangan primer AF05 (5 -ACTGGGATTAGATACCCCACTAT) dan AF08 (5 - ATGTTTTTGGTAAACAGGCG) dengan suhu annealing 55 0 C. Jarak genetik antar sampel dihitung berdasarkan jumlah perbedaan nukleotida dan model subsitusi Kimura 2 Paramater (K2P) menggunakan program MEGA v.4. Rekonstruksi filogeni dilakukan dengan metode Maximum Parsimony dengan bootstrap 1000 kali berdasarkan gen 12S rrna, gen 16S rrna dan gabungan gen 12S dan 16S rrna (disimbolkan dengan 12S-16S rrna). Identifikasi morfologi menunjukkan bahwa berudu terdiferensiasi dalam 17 spesies dari 6 famili. Berdasarkan nilai terendah dari jarak genetik, hasil identifikasi morfologi yang kongruen dengan hasil identifikasi molekuler antara lain P. leucomystax, P. aspera, L. microdiscus, dan R. margaritifer. Spesies yang hasil identifikasi morfologi tidak kongruen dengan hasil identifikasi molekuler adalah F. limnocharis, sedangkan spesies yang belum dapat dipastikan adalah O. hosii. Percabangan monofiletik pada Anura didukung dengan baik pada penelitian ini kecuali kelompok Rhacophorid berdasarkan gen 12S rrna. Spesies P. aspera berkerabat lebih dekat dengan Bufo berdasarkan gen 12S rrna dan gen 16S rrna, sedangkan berdasarkan gen 12S-16S rrna spesies ini berkerabat lebih dekat dengan B. japonicus. Spesies F. limnocharis berkerabat lebih dekat dengan F. iskandari berdasarkan gen 12S rrna, 16S rrna dan 12S-16S rrna. Kata kunci : Identifikasi, Berudu, 12S dan 16S rrna, Filogeni, Pulau Jawa iv

5 @ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. v

6 DESKRIPSI MORFOLOGI, IDENTIFIKASI MOLEKULER DAN FILOGENI BERUDU DI PULAU JAWA BERDASARKAN GEN 12S rrna DAN 16S rrna LUTHFIA NURAINI RAHMAN Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biosains Hewan SEKOLAH PASCASARJANA INTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 vi

7 Penguji Luar Komisi: Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc vii

8 Judul Tesis Nama NIM Mayor : Deskripsi Morfologi, Identifikasi Molekuler dan Filogeni Berudu di Pulau Jawa Berdasarkan Gen 12S rrna dan 16S rrna : Luthfia Nuraini Rahman : G : Biosains Hewan Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Achamad Farajallah, M.Si Ketua Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Biosains Hewan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Bambang Suryobroto Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal ujian : 16 Juli 2012 Tanggal lulus: viii

9 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biosains Hewan (BSH) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Achamad Farajallah, M.Si dan Dr. Mirza D. Kusrini, M.Si selaku komisi pembimbing dan Dr. Yeni A. Mulyani, M.Sc selaku penguji luar komisi yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan karya ini 2. Kelompok Studi Herpetologi (KSH) Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta atas bantuan spesimen berudu yang diberikan 3. The Mohamed bin Zayed Conservation Fund yang telah memberikan dana peneltian kepada penulis melalui dana penelitian Dr. Mirza D. Kusrini. 4. Annawaty dan Kamaliah yang telah membantu dalam proses pengumpulan data di laboratorium 5. Rekan-rekan BSH 2010 yang telah memberikan dukungan dan motivasi selama perkuliahan berlangsung 6. Kedua orang tua atas doa dan dukungannya yang tidak pernah berhenti kepada penulis Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Juli 2012 Luthfia N. Rahman ix

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1987 dan merupakan puteri kedua dari pasangan Asep Kusrahman, S.Pd, M.Pd.Si dan Mursilah, S.Pd, M.Pd Penulis memperoleh gelar Sarjana Kehutanan (S.Hut) dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 2010, dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan Magister Sains di Program Studi Biosains Hewan, Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis aktif di Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH)-Phyton HIMAKOVA IPB sejak tahun 2006 dan terdaftar sebagai anggota Perhimpunan Herpetologi Indonesia (PHI) sejak tahun x

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... xi DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA... 3 A. Anura... 3 B. Morfologi Berudu Anura... 4 C. Tahap Perkembangan Berudu... 5 D. Karakter dalam Deskripsi Morfologi Berudu... 8 E. Kladistik F. Metode Analisis Filogeni G. Filogenetik Anura III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian B. Sampel Berudu C. Deskripsi Morfologi D. Ekstraksi dan Isolasi DNA E. Amplifikasi (Perbanyakan) Ruas DNA F. Visualisasi Perbanyakan Ruas DNA G. Perunutan (Sequencing) DNA Produk PCR H. Analisis Data IV. HASIL A. Identifikasi Morfologi B. Amplifikasi dan Visualisasi DNA C. Kongruensi Identifikasi Berdasarkan Morfologi dan Genetik D. Rekonstruksi Filogeni V. PEMBAHASAN xi

12 A. Kongruensi Identifikasi Morfologi dan Molekuler B. Filogenetik VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

13 DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Daftar nama spesies, asal lokasi sampel dan tahun koleksi sampel berudu Daftar spesies, wilayah sebaran dan nomor akses GenBank yang digunakan dalam analisis keragaman nukleotida dan rekonstruksi filogeni Hasil identifikasi morfologi sampel berudu Jumlah perbedaan nukleotida dan jarak genetik berdasarkan gen 12S rrna dan 16S rrna antar sampel berudu Nilai CI (Consistency Index), RI (Retention index), RC (Rescaled consistency index) ketiga pohon filogeni Anura xiii

14 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Morfologi berudu Anura secara umum Tahapan perkembangan berudu Berudu tampak dorsal dan lateral Posisi mata berudu Posisi vent tube pada berudu Contoh oral disc berudu dengan formula geligi I+1-1/III Pohon filogeni secara umum Terminologi dan morfometrika berudu Visualisasi amplikon pada PAGE 6% Hasil rekonstruksi filogeni berdasarkan gen 12S dan 16S rrna Hasil rekonstruksi filogeni berdasarkan gabungan gen 12S dan 16S rrna xiv

15 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anura merupakan salah satu ordo Amfibi yang dicirikan dengan tubuh tampak seperti berjongkok dengan empat kaki untuk melompat, leher tidak jelas, tidak berekor dan memiliki permukaan kulit bervariasi dari halus sampai kasar dengan benjolan-benjolan. Seperti amfibi lainnya, Anura juga mengalami tahapan perkembangan tidak langsung, yaitu dari embrio menjadi larva kemudian bermetamorfosis hingga menjadi katak muda (Verma & Pande 2002). Identifikasi spesies pada sebagian besar larva Anura (yang selanjutnya disebut berudu) sulit dilakukan. Kesulitan identifikasi berudu menurut Iskandar (1998) berkenaan dengan karakter morfologi yang mudah dikenali, seperti ukuran tubuh, pola warna dan formula geligi, sangat beragam. Beberapa berudu diketahui merespon keberadaan predator dengan mengembangkan sirip ekor menjadi lebih lebar, terkadang otot ekor menjadi lebih panjang dan badan menjadi lebih kecil. Berudu dengan keberadaan predator di habitatnya juga memiliki sirip ekor yang berwarna lebih transparan walaupun respon ini tidak ditemukan pada kebanyakan berudu (Van Buskirk dan McCollum 1999). Berudu dan Anura dewasa yang ditemukan pada lokasi yang sama tidak mudah untuk dihubungkan terutama pada spesiesspesies yang melakukan aktivitas breeding dan non-breeding tidak di lokasi yang sama atau berdekatan (Starrett 1960). Selain pada berudu, kesulitan identifikasi juga terjadi pada beberapa spesies Anura dewasa. Identifikasi spesies Anura dewasa berdasarkan karakter morfologi tidak berhasil dilakukan pada Fejervarya limnocharis (Dubois 1984, 1987; Inger and Voris (2001). Fejervarya limnocharis merupakan spesies dengan penyebaran yang sangat luas. Morfologi antar populasi spesies tersebut sulit dibedakan karena variasi morfologinya kurang dikenali dan tidak adanya diagnosa spesifik antara spesies pada populasi lokal dan spesies pada populasi lainnya sehingga seluruh spesies ini dinamai dengan nama yang sama, yaitu F. limnocharis. Perkembangan berudu dalam proses metamorfosisnya terjadi dalam 2 fase (Gosner 1960). Fase pertama disebut fase embrio (tahap 1-25), dimulai dengan

16 2 pembelahan sel telur hingga embrio menjadi berudu yang hidup bebas. Fase kedua disebut fase larva (tahap 25-46), dimulai dari berudu yang hidup bebas hingga menjadi katak muda. Akhir fase 1 (tahap 23-25) merupakan tahap yang paling sulit dalam mengidentifikasi spesies. Pada tahap ini, oral disc dan barisan geligi berada pada tahap awal diferensiasi. Barisan geligi terus berkembang secara bertahap dan biasanya terbentuk sempurna pada awal fase kedua (tahap 25-26), namun proporsi relatif pada oral disc akan terus berubah secara alometrik selama metamorfosis. Perubahan proporsi pada oral disc tersebut berhubungan dengan ekplorasi potensi pakan yang merupakan adaptasi awal berudu dengan habitatnya. Klustering data molekular merupakan salah satu alternatif pelengkap yang dapat mempermudah dan memperkuat identifikasi spesies. Penelitian mengenai identifikasi berudu menggunakan data molekuler dapat digunakan untuk mengetahui keanekaragaman hayati yang tersembunyi (hidden biodiversity). Identifikasi spesies berudu terutama dari Anura dewasa yang melakukan aktivitas breeding dan non-breeding di lokasi yang berbeda dan berjauhan dapat menjadi data dasar dalam manajemen habitat demi kelestarian jenis Anura. B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi berudu di Pulau Jawa berdasarkan karakter morfologi dan molekuler 2. Mengetahui posisi filogeni berudu di Pulau Jawa berdasarkan gen 12S dan 16S rrna

17 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Anura Anura merupakan salah satu ordo Amfibi selain Caudata (salamander) dan Gymnophiona (sesilia). Famili-famili dari Ordo Anura yang terdapat di Indonesia adalah Bombinatoridae (Discoglossidae), Megophryidae (Pelobatidae), Bufonidae, Lymnodynastidae, Myobatrachidae, Mycrohylidae, Pelodryadidae (sering dianggap sebagai anak famili dari Hylidae), Ranidae, Rhacophoridae dan Pipidae (Iskandar 1998). Katak mudah dikenal dari bentuk tubuhnya yang tampak seperti berjongkok dengan empat kaki untuk melompat (kaki depan memiliki empat jari dan kaki belakang memiliki lima jari), leher tidak jelas dan tidak berekor. Matanya berukuran besar dengan pupil mata horizontal atau vertikal, ada yang berbentuk berlian atau segiempat yang khas untuk spesies-spesies tertentu. Kulit tubuhnya bervariasi dari halus pada beberapa spesies katak, sampai kasar dan tertutup oleh tonjolan-tonjolan pada spesies katak lainnya. Ukuran katak di Indonesia bervariasi, dari yang terkecil hanya 10 mm dengan berat 1-2 gram, sampai dengan spesies yang berukuran 280 mm dan berat lebih dari 1500 gram (Iskandar 1998). Beberapa spesies Anura memiliki berudu dengan karakter morfologi yang berbeda. Spesies Kalophrynus dan Kaloula memiliki berudu yang tidak memiliki oral disc karena tidak makan sama sekali. Semua energi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan metamorfosis diperoleh dari kuning telur. Berudu Amolops, Meristogenys dan Huia disebut sebagai berudu Gastromyzophorus, yaitu berudu yang hidup di air deras. Berudu ini memiliki mangkuk penyedot pada ventral tubuhnya sebagai alat untuk bertahan dari arus yang deras (Inger 1996). Semua spesies katak mempunyai berudu yang hidup bebas sehingga dapat diidentifikasi melalui berudu, kecuali spesies Oreophryne dan Philautus. Keduanya mempunyai telur berukuran besar di mana seluruh fase metamorfosis berlangsung di dalam telur, sehingga pada akhir metamorfosis telur akan menetaskan katak muda (Inger 1996).

18 4 B. Morfologi Berudu Anura Berudu Anura memiliki tubuh berukuran pendek yaitu kira-kira 25-35% dari panjang total. Bentuk ekor memipih secara lateral dan terdiri dari sumbu utama caudal muscular dengan sirip ventral dan dorsal. Sirip ventral memanjang dari posterior hingga ujung ekor, sedangkan sirip dorsal memanjang dari tengah atau ujung badan hingga ujung ekor (Gambar 1). Gambar 1. Morfologi berudu Anura secara umum (Gosner & Rosman 1960) Tubuh berudu dicirikan dengan bentuk sedikit menggembung, tanpa kelopak mata, nares lebar dan mulut pada ujung tubuh. Posisi mata, nares dan mulut bervariasi antar spesies (Duellman & Trueb 1994). Rongga mulut berudu terdiri dari geligi atas, geligi bawah, papila yang berada pada pinggir mulut dan keratinous maxilla (Cogger & Zweifel 2003). Berudu memiliki kulit yang tipis, berlapis-lapis, epidermis tanpa keratin, dan pada area tubuh yang berbeda terdapat korium yang tebal dengan jaringan ikat (Hofrichter 1999). Berudu memiliki insang luar pada awal perkembangannya. Insang luar tersebut dilapisi oleh lipatan operkular yang tumbuh pada posterior dan terbuka ke sebelah luar melalui spirakel. Letak dan jumlah spirakel bervariasi antar spesies (Duellman & Trueb 1994). Orton (1953) dalam Duellman & Trueb (1994) menyatakan bahwa terdapat empat tipe utama berudu yaitu Tipe I IV yang tergantung pada struktur operkular dan bukaannya dari tubuh dan bentuk mulut: a. Berudu Tipe I; terdiri atas famili Pipidae dan Rhinophrynidae. Berudu tipe ini memiliki sepasang spirakel; rongga mulut tanpa keratin dan barisan geligi; mulut memiliki sungut sensorik yang sederhana.

19 5 b. Berudu Tipe II; yaitu dari famili Microhylidae. Berudu tipe ini memiliki spirakel tunggal pada posterior median; rongga mulut tanpa keratin dan barisan; mulut tanpa sungut sensorik c. Berudu Tipe III; terdiri atas famili Ascaphidae dan Discoglossidae. Berudu tipe ini memiliki spirakel tunggal pada midventral tubuh; rongga mulut dengan keratin dan barisan geligi; mulut tanpa sungut sensorik d. Berudu Tipe IV; merupakan tipe berudu Anura pada umumnya, selain berudu Tipe I III. Berudu tipe ini memiliki spirakel sinistral (tunggal pada lateral kiri tubuh); rongga mulut dengan keratin dan barisan geligi; mulut tanpa sungut sensorik C. Tahap Perkembangan Berudu Gosner (1960) mengelompokkan dan mendeskripsikan perkembangan berudu dalam 2 fase, yaitu fase embrio dan fase larva (Gambar 2). Setiap perkembangan didasarkan pada perubahan morfologi dan fungsi tubuh berudu. Masing-masing fase terdiri dari beberapa tahap, sebagai berikut: 1. Fase Embrio (Tahap 1-25) Fase ini terdiri dari 25 tahap embrio atau tahap pre-feeding sebelum berudu keluar dari clutch telur. Tahap awal perkembangan berudu yaitu fertilisasi (tahap 1), pembelahan zigot (cleavage) menjadi dua, empat, delapan, hingga zigot menjadi banyak sel (tahap 2-9). Tahap selanjutnya secara berurutan adalah gastrulasi (tahap 10-12), pembentukan dorsal (tahap 13), pembentukan sistem saraf (tahap 14-16), pembentukan ujung ekor (tahap 17), pembentukan otot dan insang (tahap 18), pembentukan jantung (tahap 19). Pada tahap 20 mulai terjadi sirkulasi pada insang. Perkembangan dilanjutkan dengan terbentuknya kornea transparan dan mulut terbuka (tahap 21). Pada tahap 22 sirip ekor menjadi transparan dan mulai terjadi sirkulasi pada sirip. Pada tahap 23 insang luar mulai tertutup oleh lipatan operkular, bibir dan geligi mulai terdiferensiasi. Pada tahap 24 operkular menutup insang pada sisi kanan tubuh berudu. Pada tahap 25 operkular menutup insang pada sisi kiri tubuh, terbentuk spirakel dan berudu menetas (keluar dari clutch telur).

20 6 2. Fase Larva (Tahap 25-46) Fase ini terdiri dari 21 tahap larva atau tahap berudu hidup bebas setelah keluar dari clutch telur. Fase larva dimulai pada tahap 25. Tahap selanjutnya adalah proses pembentukan kaki belakang (hindlimb bud) (tahap 26-30). Tahap ini kemudian diteruskan dengan proses pembentukan jari kaki (toe development) (tahap 31-37). Setelah kelima jari kaki terpisah, tuberkula inter-metatarsal terbentuk (tahap 38). Tuberkula sub-artikular berkembang pada tahap 39. Tuberkula sub-artikular terbentuk sempurna pada tahap 40. Pada tahap 41 kulit yang menutupi kaki depan katak menipis dan transparan; bagian dalam rongga mulut berudu mulai rusak. Pada tahap 42 kaki depan katak keluar; sudut mulut sejajar nostril; barisan geligi hilang; bentuk mulut berudu menghilang. Tahap selanjutnya adalah perkembangan mulut katak (mouth development) dan proses menghilangnya ekor (tail resorption) (tahap 43-45). Tahap 46 adalah tahap akhir metamorfosis ditandai dengan ekor berudu telah hilang sama sekali.

21 Gambar 2 Tahapan perkembangan berudu (Gosner 1960) 7

22 8 D. Karakter dalam Deskripsi Morfologi Berudu Karakter yang digunakan dalam proses deskripsi morfologi berudu adalah ciri-ciri pada tubuh dan ekor dan bagian mulut berudu. Altig (2007) menjelaskan terminologi morfologi yang digunakan dalam proses deskripsi, yaitu: 1. Tubuh a. Tubuh Berudu terdiri dari tubuh dan ekor, di mana bentuk tubuh berkorelasi dengan habitat (Gambar 3). Tubuh berudu pada umumnya berbentuk compressed (lebih tinggi daripada lebar), dan dapat berbentuk depressed (lebih lebar daripada tinggi) yang biasanya dimiliki oleh jenis-jenis pemakan lumut dan hidup di aliran deras. b. Spirakel Spirakel merupakan lubang yang berfungsi mengeluarkan air dari ruang buchoparyngeal setelah dipompa masuk ke mulut melalui insang (Gambar 3). Secara umum terdapat 4 konfigurasi spirakel pada berudu, yaitu di bagian tengah pada dorsal, pada bagian tengah tubuh dekat vent tube, sinistral (satu pada bagian kiri tubuh, sangat umum), dan dua pada sisi kanan-kiri tubuh (lateral). c. Lubang Narial Lubang narial dimiliki oleh berudu secara umum kecuali pada jenis-jenis Microhylidae (Gambar 3). Posisi lubang narial dapat lebih dekat dengan mata daripada mulut, lebih dekat dengan mulut daripada mata, atau berada di tengah-tengah antara mata dan mulut. Gambar 3 Berudu tampak dorsal (A) dan lateral (B)

23 9 d. Mata Posisi dan ukuran diameter mata bervariasi antar taksa. Mata berudu dapat berada pada dorsal, berada seluruhnya pada siluet dorsal, atau lateral, termasuk pada siluet dorsal, mata menghadap ke samping (lateral) (Gambar 4A dan 4B). Gambar 4 Posisi mata berudu. A. Dorsal, B. Lateral e. Vent Tube Secara umum terdapat dua konfigurasi vent tube, yaitu medial vent (Gambar 5A) yang terletak pada tepi sirip ventral, dan dextral vent (Gambar 5B) yang terletak pada berbagai tempat pada sebelah kanan sirip ventral. Gambar 5 Posisi Vent tube pada berudu. A. Medial, B. Dextral f. Ekor Ekor berudu terdiri dari otot tengah, otot myotomic dan notochord, namun tidak memiliki tulang. Sirip dorsal dan ventral berada di sepanjang otot ekor. Sirip dorsal dapat memanjang dari bagian tubuh dekat dengan mata, memanjang dari bagian dorsal ekor dan memanjang dari bagian posterior tubuh. Lebar sirip dorsal dan ventral bervariasi dari sangat lebar hingga sangat sempit. Lebar sirip ini berhubungan dengan habitat berudu tersebut. Sirip yang lebar dimiliki oleh berudu yang hidup pada air tenang

24 10 (genangan, kolam), sedangkan berudu yang hidup pada aliran sedang-deras memiliki sirip yang sempit. 2. Bagian Oral Disc Pada sebagian besar taksa, oral disc berudu terdiri dari labial atas (anterior) dan bawah (posterior) yang masing-masing memiliki tonjolan gigi melintang dan papilla marjinal dan papilla sub-marjinal pada permukaannya (Gambar 6). Papila marjinal pada tepi oral disc memiliki tiga tipe, yaitu lengkap di seluruh tepi oral disc, dengan gap yang lebar pada dorsal (tipe paling umum), dan dengan gap yang lebar pada tepi dorsal dan ventral. Papilla bervariasi antar taksa dalam panjang, jumlah dan jumlah baris papilla marjinal. Tepi oral disc dapat berlekuk (emarginate) (Gambar 6) atau tidak berlekuk (not emarginate). Gambar 6 Contoh oral disc berudu dengan formula geligi I+1-1/III. Keterangan: A-1 dan A-2 baris geligi pertama dan kedua pada bibir atas (anterior), E lekuk lateral pada oral disc, G gap dorsal pada papilla marjinal, LJS - Lower Jaw Sheaths; bilah rahang bawah, MP papilla merjinal, P-1-3 baris geligi pertama sampai ketiga pada bibir bawah (posterior), SM papilla submarjinal, TR Tonjolan gigi pada baris geligi P2, dan UJS - Upper Jaw Sheath; bilah rahang atas.

25 11 Formula geligi merupakan jumlah baris geligi yang berupa garis-garis hitam pada bibir atas dan bawah berudu. Formula geligi dinyatakan dalam simbol angka romawi, angka arab, tanda (+), tanda (-) dan tanda (/). Angka romawi menunjukkan jumlah baris geligi yang utuh, sedangkan angka arab menunjukkan jumlah baris geligi yang mempunyai celah di tengah. Tanda (+) memisahkan jumlah baris geligi yang utuh dengan jumlah baris geligi yang memiliki celah di tengah. Tanda (-) menujukkan bahwa jumlah baris memiliki celah tunggal. Tanda (/) memisahkan jumlah baris geligi pada bibir atas dan bibir bawah. E. Kladistik Kladistik atau sistematika filogenetik adalah metode pengelompokan organisme berdasarkan karakter turunan yang dimiliki bersama (share derived characters). Taksa yang memiliki lebih banyak karakter turunan yang sama berhubungan lebih dekat daripada taksa yang tidak banyak memiliki karakter turunan. Hubungan antar taksa digambarkan secara hirarkial dalam percabangan yang disebut Kladogram (Lipscomb 1998). Analisis filogeni mentransformasi karakter yang homolog dari sekelompok organisme ke dalam pohon filogeni. Karakter homolog adalah karakter yang berasal dari karakter nenek moyang yang sama. Sebagai contoh, sayap pada burung dan kelelawar merupakan karakter yang homolog dengan kaki depan anjing dan kuda serta tangan pada manusia dan primata. Karakter homolog tersebut dapat berupa shared primitive characters (Plesiomorf) dan shared derived characters (Apomorf) (Quicke 1993). Pohon filogeni terdiri dari akar yang merupakan titik awal atau dasar dari pohon. Poin yang bercabang disebut nodus internal, sedangkan segmen antara nodus disebut cabang internal (atau lebih jarang disebut internodus). Taksa yang ditempatkan di ujung-ujung cabang disebut taksa terminal dan cabang yang mengarah pada taksa tersebut disebut cabang terminal (Lipscomb 1998) (Gambar 7).

26 12 Gambar 7 Pohon filogeni secara umum (Lipscomb 1998) F. Metode Analisis Filogeni Metode untuk merekonstruksi pohon filogeni dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu metode jarak (distance) dan metode kriteria (discrete) (Page & Holmes 1998). 1. Metode Jarak (Distance) Metode jarak menghitung similaritas jarak antara karakter-karakter yang ada pada sepasang atau lebih taksa terminal (Quicke 1993). Metode jarak yang paling banyak digunakan adalah Neighbour Joining (NJ) dan UPGMA (Unweighted Pair Group Method with Arithmetic means) (Page & Holmes 1998). Neighbour Joining merupakan metode yang menghitung jarak clustering karakterkarakter pada dua atau lebih taksa terminal (Page & Holmes 1998). UPGMA adalah metode berdasarkan rata-rata jarak cluster dari taksa terminal satu dengan taksa terminal lainnya. Perhitungan jarak rata-rata antara dua cluster dilakukan dengan menambah jarak secara bersamaan dari semua kemungkinan kombinasi taksa terminal dan membagi dengan jumlah kombinasi tersebut (Quicke 1993). 2. Metode Kriteria (Discrete) Metode kriteria yang paling sering digunakan adalah Maximum Parsimony (MP) (Page & Holmes 1998). Maximum Parsimony menilai karakter yang parsimoni untuk menentukan posisi taksa terminal dalam pohon dan mencari semua kemungkinan topologi (bentuk) pohon untuk mendapatkan pohon yang memiliki langkah paling pendek (Kitching et al. 1998).

27 13 G. Filogenetik Anura Beberapa peneliti telah melakukan penelitian mengenai hubungan filogenetik Anura baik pada spesies Indonesia maupun spesies dunia. Penelitianpenelitian tersebut antara lain: 1. Emerson et al. (2000), meneliti hubungan filogeni Katak Bertaring (Limnonectes) di Asia Tenggara berdasarkan gen 12S dan 16S rrna. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Limnonectes merupakan kelompok monofiletik yang terdiri dari 4 kelompok besar, yaitu kelompok L. kuhlii dan kerabatnya, kelompok L. leporinus yang terdapat di Kalimantan, kelompok yang tersebar di Filipina dan Sulawesi dan kelompok L. blythii dan kerabatnya 2. Liu et al. (2000), meneliti hubungan filogenetik Bufonidae Asia Timur berdasarkan DNA mitokondria. Hasilnya menunjukkan bahwa Bufonidae Asia Timur mengelompok menjadi 2 klad utama, klad pertama terdiri dari B. andrewsi, B. bankorensis, B. tibetanus, B. gargarizans, B.tuberculatus, klad sisternya B. cryptotympanicus, dan 2 spesies Torrentophryne, dan klad kedua terdiri dari B. galeatus, B. himalayanus. 3. Hillis dan Wilcox (2005), meneliti hubungan filogeni katak genus Rana di Dunia Baru berdasarkan gen 12S dan 16S rrna. Hasilnya menunjukkan bahwa spesies-spesies Rana Amerika tidak monofiletik; spesies Amerana di daerah sebelah barat Amerika Utara lebih dekat dengan kelompok R. temporaria dari Eurasia. Spesies Amerika lainnya membentuk kelompok Novirana. 4. Yu et al. (2009), memeriksa ulang hubungan filogenetik Rhacophoridae dari penelitian Li et al. (2008) berdasarkan DNA mitokondria dan DNA inti. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa genus Feihyla dan Chiromantis merupakan sister taksa dari klad yang dibentuk oleh kelompok Feihyla, Polypedates, dan Rhacophorus. Spesies Aquixalus odontotarsus ditempatkan ke dalam Kurixalus, spesies Aquixalus lainnya dan Philautus jinxiuensis dimasukkan ke dalam genus Gracixalus. 5. Matsui et al. (2010) merekonstruksi hubungan filogenetik Leptobrachium berdasarkan DNA mitokondria. Hasilnya menunjukkan bahwa

28 14 Leptobrachium merupakan kelompok monofiletik dengan dua klad utama. Klad pertama terdiri dari 3 sub-klad yang beranggotakan spesies dari 3 daerah terpisah yaitu Borneo, Semenanjung Malaya dan Jawa, dan Thailand. Subklad Borneo terdiri dari satu spesies dari Filipina dan Sumatra. Klad kedua terdiri dari dua sub-klad yaitu dari Indocina dan lainnya dari Cina bagian selatan (Vibrissaphora). 6. McLeod (2010) menyusun sistematika spesies kriptik: Limnonectes kuhlii complex berdasarkan gen 12S rrna, trna-valin, dan 16S rrna. Hasil menunjukkan bahwa apa yang selama ini diakui secara historis sebagai satu spesies ternyata merupakan kompleks lebih dari 22 keturunan evolusi yang berbeda, 16 di antaranya saat ini dimasukkan ke dalam L. kuhlii. Hasil penelitian ini juga mendeteksi adanya kasus keturunan simpatrik, dan pada seluruh kasus simpatrik tersebut, masing-masing spesies tidak berhubungan dekat. 7. Hamidy et al (2011), meneliti ketidakselarasan hubungan antara morfologi dan genetik pada dua spesies Leptopbrachium di Borneo. Hasilnya memperlihatkan bahwa spesies L. hasseltii dan L. chapaense keturunan Borneo, Filipina dan Sumatera membentuk klad monofiletik bersama spesies L. lumadorum dari Mindanao sebagai klad basal. Sementara dua spesies Filipina lainnya dari Pelawan dan Mindoro membentuk klad dan lebih dekat dengan keturunan Borneo. Hubungan filogenetik tersebut tidak sama dengan variasi morfologi yang ada. Spesies L. montanum dan salah satu keturunan dari L. abbotti secara genetik sangat dekat namun memiliki perbedaan yang sangat jelas pada pola warna ventral.

29 15 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Januari April 2012 di Laboratorium Molekuler Departemen Biologi FMIPA IPB. B. Sampel Berudu Sampel berudu merupakan koleksi yang dikumpulkan dari beberapa daerah di Pulau Jawa. Jumlah spesies yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 17 spesies dari 6 famili. Nama spesies, asal lokasi dan tahun koleksi sampel disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Daftar nama spesies, asal lokasi sampel dan tahun koleksi sampel berudu No Nama Spesies Asal Lokasi Tahun Koleksi N Famili Bufonidae 1 Phrynoidis aspera Yogyakarta * Duttaphrynus melanostictus Jawa Barat Leptophryne cruentata Jawa Barat Famili Dicroglossidae 4 Fejervarya limnocharis Yogyakarta * Limnonectes microdiscus Yogyakarta * Limnonectes kuhlii Jawa Barat Famili Megophryidae 7 Leptobrachium hasseltii Yogyakarta * Megophrys montana Yogyakarta * Famili Microhylidae 9 Kaloula baleata Yogyakarta * Microhyla achatina Jawa Barat Famili Ranidae 11 Huia masonii Yogyakarta * Odorana hosii Yogyakarta * Hylarana chalconota Yogyakarta * Famili Rhacophoridae 14 Polypedates leucomystax Jawa Barat Philautus vittiger Jawa Barat Rhacophorus margaritifer Jawa Barat Rhacophorus reinwardtii Jawa Barat Total 94 Ket: * : Koleksi milik Kelompok Studi Herpetologi (KSH) Fak. Biologi UGM

30 16 C. Deskripsi Morfologi Pengamatan morfologi berupa pola warna tubuh dan ekor, letak mata, nostril, anal, mulut dan geligi dilakukan dengan mikroskop stereo. Pengukuran morfometri seluruh individu berudu dilakukan untuk mendapatkan variasi ukuran tubuh berudu. Tahap perkembangan berudu ditentukan berdasarkan Gosner (1960). Terminologi dan pengukuran morfometri berudu dilakukan berdasarkan Altig (2007), yaitu: BL - body length, IND - internarial distance, IOD - interorbital distance, LB - limb bud, MTH - maximum tail height, OD - oral disc, SP - spiracle, TAL - tail length, TL - total length, TMA tail muscle axis, TMH - tail muscle height, TMW - tail muscle width, and VT - vent tube (Gambar 8). Gambar 8. Terminologi dan morfometrika berudu; (A) dorsal dan (B) lateral D. Ekstraksi dan Isolasi DNA Isolasi DNA total dilakukan mengikuti metode Farajallah (2002). Potongan otot berudu sepanjang ± 2 mm dalam alkohol 70% dicuci dengan 500 µl buffer TE sebanyak 2 kali. Sampel yang telah dicuci tersebut kemudian dihancurkan menggunakan gunting dalam buffer 1 STE 300 µl. Penghancuran protein dilakukan dengan menambahkan enzim Proteinase-K sebanyak 20 µl dan 10% SDS sebanyak 50 µl. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 55 0 C selama 1 jam sambil dikocok perlahan. Material DNA dipisahkan dari material organik lainnya dengan metode ekstraksi fenol, yaitu dengan menambahkan larutan NaCl 5M sebanyak 50 µl, fenol sebanyak 400 µl dan kloroform-isoamil alkohol (CIAA; 24:1) sebanyak 400

31 17 µl. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu ruang sambil dikocok pelan selama 1 jam. Bahan organik yang masuk ke fase fenol dipisahkan dari fase air dengan sentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Fase air yang terbentuk di lapisan atas kemudian dipindahkan ke dalam tabung baru. DNA dimurnikan dengan teknik pengendapan alkohol yaitu dengan menambahkan alkohol absolut sebanyak 2 volume fase air yang dipindahkan dan NaCl 5M sebanyak 1/10 volume fase air yang dipindahkan. Campuran diinkubasi pada suhu 4 0 C selama 24 jam. Molekul-molekul DNA diendapkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Endapan DNA yang diperoleh kemudian dicuci dengan alkohol 70%. Setelah alkohol pencuci dibuang dan dievaporasi dalam ruang vakum selama 30 menit, molekul-molekul DNA disuspensikan dalam buffer TE 80% dan disimpan dalam freezer untuk digunakan lebih lanjut. E. Amplifikasi (Perbanyakan) Ruas DNA Ruas DNA diamplifikasi dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan mesin Thermo Cycler TaKaRa MP4. Primer yang digunakan adalah AF05 (5 -ACTGGGATTAGATACCCCACTAT) dan AF08 (5 - ATGTTTTTGGTAAACAGGCG). Primer AF05 menempel pada bagian tengah gen 16S rrna dan AF08 menempel pada bagian akhir gen 12S rrna. Kedua gen tersebut mengapit ruas DNA sebesar 1474 pb atau setara dengan posisi nukleotida 505 sampai dengan 1978 genom mitokondria Dogania subplana (Farajallah 2002). Reaksi PCR dilakukan dalam volume 25µl dengan komposisi 2 µl cetakan DNA, Distilated water steril 15.3 µl, primer 10 ρmol/ µl masing-masing 1 µl, dntp 2.5mM sebanyak 1.5 µl, MgCl 2 sebanyak 1.5 µl dan Taq Polymerase 1.25 u/µl sebanyak 0.2 µl beserta bufernya sebanyak 2.5 µl. Amplifikasi DNA dilakukan dalam kondisi suhu pre-denaturasi 94 0 C selama 4 menit, dilanjutkan dengan 30 siklus yang terdiri dari denaturasi 94 0 C selama 1 menit, penempelan 55 0 C selama 1 menit 30 detik, pemanjangan 72 0 C selama 1 menit dan pemanjangan akhir 72 0 C selama 7 menit.

32 18 F. Visualisasi Perbanyakan Ruas DNA Amplikon diuji menggunakan metode elektroforesis gel poliakrilamid (PAGE) 6% yang dijalankan pada tegangan 200 V selama 35 menit atau sampai pewarna bromthymol blue mencapai bagian bawah gel. Setelah pemisahan elektroforesis, pita-pita DNA divisualisasi dengan pewarnaan perak (silver staining) (Tegelstrom 1986). G. Perunutan (Sequencing) DNA Produk PCR Perunutan merupakan tahap akhir untuk memperoleh data runutan nukleotida dari ruas DNA amplikon. Perunutan DNA dilakukan menggunakan jasa pelayanan sekuensing dari PT. Macrogen Inc. Perunutan tersebut dilakukan menggunakan pasangan primer yang digunakan pada saat PCR. H. Analisis Data Morfologi berudu masing-masing spesies disajikan dalam bentuk deskripsi. Urutan nukleotida yang diperoleh dari proses perunutan diedit secara manual berdasarkan kromatogram menggunakan program BioEdit Sequence Alignment Editor Runutan nukleotida yang telah diedit kemudian disejajarkan bersama beberapa spesies Anura lainnya yang diakses dari GenBank dengan nomor akses terdapat pada Tabel 2. Proses penyejajaran dilakukan dengan program Clustal W kemudian diedit secara manual. Analisis jumlah perbedaan nukleotida, jarak genetik dengan model Kimura 2 Parameter (K2P) dan rekonstruksi filogeni dilakukan menggunakan program MEGA version 4 (Tamura et al. 2007). Rekonstruksi filogeni dilakukan dengan metode Maximum Parsimony (MP) berdasarkan gen 12S rrna, 16S rrna dan gabungan antara 12S dan 16S rrna (selanjutnya disimbolkan dengan gen 12S-16S rrna). Outgroup yang digunakan dalam rekonstruksi filogeni adalah Crocodylus porosus. Analisis bootstrap 1000 kali dilakukan untuk menguji tingkat kepercayaan dari sebuah titik cabang dalam topologi pohon filogeni.

33 19 Tabel 2. Daftar spesies, wilayah sebaran dan nomor akses GenBank yang digunakan dalam analisis keragaman nukleotida dan rekonstruksi filogeni No Spesies No. Akses Sebaran (IUCN 2012) Outgroup Crocodylus porosus DQ Ingroup 1 Fejervarya limnocharis NC Asia Selatan dan Asia Tenggara termasuk Indonesia 2 Fejervarya cancrivora NC Cina Selatan, Asia Tenggara termasuk Indonesia 3 Rhacophorus schlegelii NC Jepang 4 Polypedates megacephalus NC Cina dan India 5 Rana plancyi NC Cina bagian timur 6 Rana nigromaculata NC Rusia, Cina, Korea, Jepang 7 Microhyla ornata NC Asia selatan 8 Kaloula pulchra NC Asia Tenggara, Asia Selatan Cina 9 Limnonectes bannaensis NC Limnonectes fujianensis NC Cina bagian tengah dan selatan 11 Bufo japonicus NC Endemik Jepang 12 Bufo melanostictus NC Asia Selatan, Cina, Asia Tenggara termasuk Indonesia 13 Hyla japonica NC Jepang, Cina, Korea 14 Hyla chinensis NC Cina bagian tengah 15 Fejervarya iskandari AB Limnonectes hasseltii AB Phrynoidis aspera Dalam penelitian ini 18 Polypedates leucomystax Dalam penelitian ini 19 Rhacophorus javanus Dalam penelitian ini 20 Odorana hosii Dalam penelitian ini 21 Limnonectes microdiscus Dalam penelitian ini 22 Fejervarya limnocharis Dalam penelitian ini

34 20 IV. HASIL A. Identifikasi Morfologi Hasil identifikasi morfologi berudu berdasarkan Iskandar (1998) menunjukkan bahwa sampel berudu yang dikumpulkan terdiri dari 17 spesies dalam 6 famili Anura (Tabel 3). Berdasarkan Orton (1953) dalam Duellman & Trueb (1994), berudu-berudu tersebut termasuk dalam berudu tipe I (Famili Microhylidae) dan tipe IV (Famili Bufonidae, Dicroglossidae, Megophryidae, Rhacophoridae, dan Ranidae) Tabel 3. Hasil identifikasi morfologi sampel berudu Famili Spesies Ukuran Formula Tubuh (mm) Geligi Tahap Bufonidae Dutaphrynus melanostictus 7-8 I+1-1/III 25 Phrynoidis aspera 9-20 II/III 25 Leptophryne cruentata I+1-1/III 26 Dicroglossidae Fejervarya limnocharis I+1-1/III 30 Limnonectes kuhlii I/1-1+II 31 Limnonectes microdiscus I+1-1/1-1+II 25 Megophryidae Leptobrachium hasseltii I+5-5/4-4+I 30 Megophrys montana Microhylidae Kaloula baleata Microhyla achatina II/1-1+III 25 Rhacophoridae Philautus vittiger II+4-4/III 28 Polypedates leucomystax I+3-3/III 25 Rhacophorus margaritifer I+5-5/III 25 Rhacophorus reinwardtii I+5-5/III 25 Ranidae Hylarana chalconota I+3-3/III 32 Huia masonii IV+5-5/1-1+VI 25 Odorana hosii I+4-4/1-1+III 25 Perbedaan utama masing-masing spesies berudu terletak pada ukuran tubuh, posisi mulut dan formula geligi. D. melanostictus bertubuh sangat kecil; mulut berada di bagian ventral dengan formula geligi I+1-1/III. P. aspera berukuran sedikit lebih besar daripada D. melanostictus; mulut terletak pada ventral; bibir bawah dengan pelebaran lateral sehingga berbentuk semacam mangkuk dengan formula geligi II/III. Ukuran tubuh L. cruentata hampir sama dengan P. aspera dengan warna hitam; mulut terletak pada bagian depan kepala dengan formula geligi II/III atau I+1-1/III. Berudu L. cruentata memiliki 2 baris papilla di bagian bibir bawah, sedangkan D. melanostictus memiliki papilla hanya

35 21 pada ujung-ujung bibir saja. Hal ini yang membedakan jenis berudu L. cruentata dengan berudu D. melanostictus. Tubuh F. limnocharis berukuran sedang; mulut berada di bagian ventral kepala dengan formula geligi I+1-1/III. Deret gigi terakhir pada spesies ini lebih pendek dari dua deret gigi lainnya. Ukuran tubuh L. kuhlii dua kali lebih besar daripada ukuran tubuh L. microdiscus. Mulut L. kuhlii dan L. microdiscus berada pada ujung kepala dengan formula geligi masing-masing adalah I/1-1+II dan I+1-1/1-1+II. Ukuran tubuh berudu famili Megophryidae sangat besar. Namun, ukuran tubuh berudu L. hasseltii 1,5 sampai 2 kali lebih besar daripada berudu M. montana. Mulut berudu L. hasseltii kecil, berada di bagian ujung ventral kepala dengan formula geligi I+5-5/ Mulut berudu M. montana berada pada ujung kepala dan memiliki ciri khusus yaitu dengan perpanjangan lateral sehingga berbetuk seperti kumis. Berudu ini tidak memiliki formula geligi tertentu. Ukuran tubuh berudu K. baleata sedang. Berudu ini tidak memiliki bentuk mulut seperti berudu pada umumnya, hanya berupa sebuah lubang kecil pada ujung kepalanya. Berudu M. achatina berukuran sangat kecil; mulut menghadap ke bawah; bibir bawah melebar dengan formula geligi II/1-1+III. Berudu P. vittiger berukuran sedang, mulut berada pada bagian ventral kepala dengan formula geligi II+4-4/III. Berudu P. leucomystax, R. margaritifer dan R. reinwardtii berukuran sedang sampai besar. Seluruh berudu tersebut memiliki mulut yang terletak di bagian ventral kepala, menghadap ke bawah. Formula geligi masing-masing berudu berturut-turut adalah I+3-3/III, I+5-5/III atau II+4-4/III dan I+5-5/III. Berudu R. margaritifer dan R. reinwardtii dibedakan berdasarkan jumlah papilla marjinal di bibir bagian bawah, di mana R. margaritifer memiliki 2 baris papilla dan R. Reinwardtii memiliki 1 baris papilla. Berudu H. masonii, H. chalconota dan O. hosii berukuran sedang. Ukuran tubuh H. masonii lebih besar dari ukuran tubuh kedua spesies lainnya. Berudu jenis ini memiliki ciri khas yaitu pada bagian ventral terdapat bentuk seperti mangkuk menghadap ke bawah. Mulut ketiga spesies berudu tersebut terletak pada bagian ventral tubuh dan menghadap ke bawah, dengan formula geligi masing-masing adalah IV+5-5/1-1+VI, I+3-3/III dan I+4-4/1-1+III.

36 22 B. Amplifikasi dan Visualisasi DNA Amplifikasi gen 12S rrna dan 16S rrna berhasil dilakukan pada 9 sampel dari 17 sampel yang diamplifikasi. Amplifikasi menggunakan pasangan primer AF05 dan AF08 berukuran panjang sekitar 1500 pb (Gambar 9) pb Gambar 9 Visualisasi amplikon gen 12S rrna dan 16S rrna pada PAGE 6%. Ket: M = Marker, 3-17 = nomor sampel Sebanyak 9 sampel menampakkan pita DNA target dan dijadikan cetakan dalam PCR for sequencing. Setelah DNA target dijadikan cetakan dalam PCR for sequencing, maka diperoleh 6 sampel yang terbaca jelas. Keenam sampel tersebut adalah P. leucomystax, P. aspera, O. hosii, F. limnocharis, L. microdiscus, dan R. margaritifer. C. Kongruensi Identifikasi Berdasarkan Morfologi dan Genetik Hasil analisis dengan menghitung jumlah perbedaan nukleotida dan jarak genetik menunjukkan bahwa hasil penentuan spesies berdasarkan data genetik dapat berbeda dengan data morfologi. Tabel 4 menunjukkan jumlah perbedaan nukleotida dan jarak genetik antara sekuen DNA spesies pada penelitian ini dengan sekuen referensi dari GenBank. Berdasarkan nilai terendah dari jumlah perbedaan nukleotida dan jarak genetik, hasil identifikasi yang kongruen antara identifikasi molekuler dan morfologi adalah pada spesies P. leucomystax, P. aspera, L. microdiscus dan R. margaritifer. Hasil identifikasi yang tidak kongruen adalah spesies F. limnocharis, sedangkan spesies O. hosii belum dapat dipastikan karena kualitas data kurang.

37 24 23 Tabel 4. Jumlah perbedaan nukleotida (bawah diagonal) dan jarak genetik (atas diagonal) berdasarkan gen 12S rrna dan 16S rrna antar sampel berudu B. japonicus 11) B. melanostictus 12) H. japonica 13) F. cancrivora 2) F. limnocharis 1) L. bannaensis 9) R. plancyi 5) P. megacephalus 4) R. schlegelii 3) H. chinensis 14) M. ornata 7) K. pulchra 8) L. fujianensis 10) R. nigromaculata 6) F. iskandari 15) L. hasseltii 16) P. aspera 17) O. hosii 20) R. javanus 19) P. leucomystax 18) F. limnocharis 22) L. microdiscus 21) Keterangan: No. akses GenBank mengikuti Tabel 2 Angka bercetak tebal adalah jumlah perbedaan nukleotida dan jarak genetik terkecil antara spesies yang diperbandingkan

38 24 D. Rekonstruksi Filogeni Urutan basa nukleotida yang analisis berjumlah 1362 nt, terdiri dari 504 nt gen 12S rrna dan 858 nt gen 16S rrna. Pada rekonstruksi filogeni berdasarkan gen 12S rrna, spesies P. leucomystax tidak disertakan dalam analisis karena jumlah nukleotida spesies tersebut dalam penelitian ini sangat pendek (< 20 nt). Tabel 5 menunjukkan nilai konsistensi dan kestabilan pohon filogeni yang direkonstruksi berdasarkan masing-masing gen dan gabungan gen 12S dan 16S rrna (selanjutnya disimbolkan dengan 12S-16S rrna). Berdasarkan tabel tersebut, nilai CI dan RI hasil rekonstruksi filogeni berdasarkan gen 16S rrna tertinggi di antara dua rekonstruksi lainnya. Hal ini menujukkan bahwa pohon filogeni berdasarkan gen 16S konsisten dan stabil. rrna merupakan pohon filogeni yang paling Tabel 5. Nilai CI (Consistency Index), RI (Retention index), RC (Rescaled consistency index) ketiga pohon filogeni Anura Gen CI RI RC 12S rrna S rrna S-16S rrna Hasil rekonstruksi filogeni menghasilkan topologi yang yang berbeda pada gen 12S rrna (Gambar 10(a)). Topologi pohon berdasarkan gen 16S rrna (Gambar 10(b)) sama dengan topologi pohon berdasarkan gen 12S-16S rrna (Gambar 11), di mana posisi basal ditempati oleh kelompok Rhacophorid dan posisi terluar ditempati oleh kelompok Bufonid. Posisi basal topologi pohon filogeni gen 12S rrna ditempati oleh kelompok Dicroglossid dan posisi terluar ditempati oleh kelompok Ranid. Kesamaan dari ketiga pohon filogeni tersebut adalah Bufonid berkelompok dengan Hylid dalam satu kelompok monofiletik. Kelompok-kelompok monofiletik lainnya antara lain Mycrohylid dan Ranid. Dicroglossid merupakan kelompok monofiletik pada topologi pohon gen 16S rrna dan gen 12S-16S rrna sedangkan berdasarkan gen 12S rrna kelompok tersebut terpisah pada 2 kelompok, yaitu kelompok genus Fejervarya dan kelompok genus Limnonectes. Pada ketiga topologi pohon filogeni, kelompok Rhacophorid terpisah secara

39 25 parafiletik. Genus Polypedates membentuk cabang monofiletik dan berhubungan dekat dengan Rhacophorus. Pada ketiga rekonstruksi filogeni, spesies L. microdiscus, L. hasseltii dan O. hosii (selanjutnya disebut kelompok Megophryid) membentuk kelompok monofiletik dengan dukungan bootstrap >90%, sedangkan spesies F. limnocharis menempati posisi lebih dekat dengan F. iskandari pada kelompok Dicroglossid dengan dukungan bootstrap 100%. Spesies P. aspera menempati posisi lebih dekat dengan genus Bufo berdasarkan gen 12S rrna dan gen 16S rrna, sedangkan berdasarkan gen 12S-16S rrna spesies ini menempati posisi lebih dekat dengan spesies B. japonicus dengan dukungan bootstrap rendah (<50%). Posisi basal kelompok Rhacophorid berbeda pada ketiga topologi pohon. Spesies R. schlegelii menempati posisi basal Rhacophorid berdasarkan gen 12S rrna, spesies anggota genus Polypedates menempati posisi basal berdasarkan gen 16S rrna, sedangkan berdasarkan gen 12S-16S rrna posisi basal Rhacophorid ditempati oleh R. javanus.

40 26 Ranid Bufonid Rhacophorid Hylid Microhylid Megophryid Dicroglossid Microhylid Megophryid Ranid Hylid Dicroglossid Bufonid Rhacophorid Dicroglossid (a) (b) Gambar 10 Hasil rekonstruksi filogeni dengan metode Maximum Parsimony berdasarkan: (a) gen 12S rrna, (b) gen 16S rrna.

41 27 Bufonid Hylid Megophryid Microhylid Ranid Dicroglossid Rhacophorid Gambar 11 Hasil rekonstruksi filogeni dengan metode Maximum Parsimony berdasarkan gen 12S dan 16S rrna.

42 28 V. PEMBAHASAN A. Kongruensi Identifikasi Morfologi dan Molekuler Ukuran tubuh sampel berudu O. hosii dan L. microdiscus sekitar 1-2 kali lebih kecil daripada berudu L. hasseltii pada tahap perkembangan yang sama. Perbedaan ukuran tubuh tersebut diduga sebagai akibat dari perbedaan peletakan telur oleh induk betina. Pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk meletakkan telur di genangan air di lantai hutan, katak betina L. hasseltii dapat meletakkan telur pada tempat lain seperti di tepi sungai berarus lambat atau tenang. Fenomena seperti ini juga terlihat pada jenis katak pohon (Kusrini et al. 2009). Berudu yang hidup pada kolam temporer, misal genangan air, akan lebih cepat tumbuh dan bermetamorfosis dibandingkan dengan berudu yang hidup pada kolam permanen, misal sungai. Hal ini dikarenakan kolam temporer memiliki kelebihan dalam hal potensi pakan (Wassersug 1975; Wilbur 1987) dengan lebih sedikit jumlah predator (Brendonck et al. 2002; Petranka & Kennedy 1999). Sifat sementara dari kolam menguntungkan dari aspek tersebut namun mengharuskan berudu untuk bermetamorfosis pada waktu tertentu. Formula geligi O. hosii berbeda satu baris pada geligi atas dengan L. hasseltii. Iskandar (1998) menyebutkan bahwa pada berudu terdapat variasi formula geligi dalam satu spesies yang sama. Formula geligi berudu sempurna pada awal fase larva, namun proporsi relatif formula geligi dan oral disc terus berubah selama metamorfosis. Pada berudu Scaphiopus dan kelompok Ranid jumlah baris geligi bertambah selama metamorfosis (Gosner 1960). Genus Philautus merupakan salah satu Anura yang seluruh fase metamorfosisnya terjadi di dalam telur sehingga pada akhir metamorfosis telur menetaskan katak muda (Inger 1996). Metamorfosis pada spesies P. vittiger diketahui memiliki berudu yang hidup bebas di dalam air (Kusrini et al. 2008), sehingga pengelompokkan spesies ini perlu dipelajari lebih lanjut untuk memastikan posisinya dalam taksonomi Anura. Pada awal perkembangannya, data molekuler hanya digunakan oleh para taksonomis sebagai alat untuk mempelajari kekerabatan antar taksa dan proses evolusi sebuah kelompok organisme. Namun, saat ini data molekuler telah

43 29 berkembang penggunaannya, salah satunya dalam proses penentuan spesies oleh para ekologis untuk mempelajari keanekaragaman hayati suatu wilayah tertentu. Data molekuler dapat dengan cepat dan akurat dalam penentuan spesies, terutama pada spesies kriptik, spesies sibling dan spesies dengan variasi morfologi akibat pengaruh lingkungan. Sumber data molekuler tidak hanya dapat diperoleh dari darah atau jaringan otot saja, melainkan juga dari rambut, feses atau urin. Hal ini merupakan keuntungan lain dari data molekuler terutama pada kegiatan penelitian dengan target hewan yang jarang dan/atau sulit ditemukan secara langsung. Data molekuler merupakan data dasar yang tidak subjektif dan dapat dianalisis kembali. Data molekuler mempunyai beberapa tantangan dalam penerapannya. Pertama, memerlukan keahlian khusus terutama pada teknik laboratorium molekuler, di mana tidak semua peneliti mampu melakukannya. Kedua, biaya relatif mahal bagi negara berkembang seperti Indonesia, tidak hanya peralatan mesin PCR dan sekuensing tetapi juga bahan kimia dan komponennya. Ketiga, jumlah basa minimal yang digunakan pada saat identifikasi spesies (>500 pb) sulit dicapai pada sampel bangkai atau DNA terdegradasi. Hasil yang diperoleh dari data molekuler masih lebih besar bila dibandingkan dengan usaha yang dikeluarkan jika identifikasi spesies dilakukan dengan pendekatan ini. Selain identifikasi spesies, data molekuler juga dapat digunakan untuk mengetahui biodiversitas masa lampau (Paleoecology), mempelajari interaksi inter-spesies, mempelajari evolusi dan kekerabatan antar taksa, serta mengetahui jenis pakan satwa. Karakter morfologi kadang sudah tidak mampu lagi untuk menggambarkan proses evolusi suatu organisme karena karakter yang sangat kompleks. Selain itu, sering terjadi tentangan pada hubungan filogeni antara taksa berdasarkan karakter morfologi karena perbedaan pembobotan karakter dalam analisis. Alasan-alasan inilah yang menjadi dasar mengapa pendekatan molekuler perlu digunakan sebagai pelengkap dan penguat data morfologi. B. Filogenetik Dukungan nilai bootstrap yang rendah, ketidakstabilan topologi dapat terjadi karena gen yang digunakan dalam analisis hanya satu gen saja dan

44 30 berukuran lebih pendek (parsial). Cao et al. (1994) telah menunjukkan bahwa set data gen yang besar, seperti serangkaian gen-gen yang berurutan memberikan hasil analisis yang lebih kuat dibandingkan dengan analisis yang didasarkan pada gen tunggal. Hasil analisis molekular sebelumnya mendukung bahwa kelompok Rhacophorid merupakan kelompok monofiletik (Li et al. 2008; Yu et al. 2009). Namun berdasarkan data morfologi, Channing (1989) menyatakan bahwa Rhacophorinae (Rhacophorus dan Polypedates) merupakan kelompok yang polifiletik. Hubungan yang dekat antara Rhacophorus dan Polypedates didukung dengan baik pada penelitian ini dan penelitian sebelumnya baik berdasarkan morfologi (Wilkinson dan Drewes 2000) maupun molekular (Wilkinson et al. 2002; Frost et al. 2006). Dubois (1986) menggabungkan genus Polypedates ke dalam genus Rhacophorus karena menganggap karakter morfologi kedua genus tersebut tidak cukup berbeda untuk dipisahkan. Sedangkan Duellman (1993) dan Frost et al. (2000) memisahkan kedua genus tersebut berdasarkan karakter morfologi yang dipakai oleh Channing (1989) karena Rhacophorus dan Polypedates bukan merupakan sister group. Berdasarkan uraian tersebut, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan hubungan kekerabatan antara kedua genus tersebut dalam kelompok Rhacophorid. Rekonstruksi filogeni berdasarkan morfologi menunjukkan bahwa Ranid dan Dicroglossid dapat membentuk cabang parafiletik (Ford and Cannatella, 1993). Hasil tersebut juga didukung oleh Haas (2003) dengan menggunakan seluruh karakter morfologi larva Anura. Namun, hasil rekonstruksi filogeni dengan mengeluarkan 4 karakter morfometri dari analisis menghasilkan percabangan monofiletik pada kedua taksa tersebut. Optimasi karakter yang dilakukan tersebut menunjukkan bahwa terdapat 3 karakter synapomorfi pada Ranidae, yaitu firmisterny, adanya basihyal dan fenestrae parietals. Hubungan monofiletik kelompok ini didukung dengan kuat berdasarkan DNA mitokondria (Frost et al. 2006). Kelompok Dicroglossid merupakan kelompok monofiletik didukung dengan baik berdasarkan data morfologi (Anderson 1871; Emerson and Berrigan 1993) dan data DNA mitokondria (Emerson et al. 2000; Evans et al. 2003; Frost et al. 2006).

45 31 Fejervarya limnocharis merupakan spesies dengan penyebaran yang sangat luas. Morfologi antar populasi spesies tersebut terlalu sulit untuk dibedakan karena variasi morfologinya kurang dikenali dan tidak adanya diagnosa spesifik antara spesies pada populasi lokal dan spesies pada populasi lainnya sehingga seluruh spesies ini dinamai dengan nama yang sama, yaitu F. limnocharis (Dubois, 1984, 1987; Inger and Voris, 2001). Veith et al. (2001) berhasil mendeskripsikan satu spesies kriptik yang dideteksi oleh Toda et al. (1998) sebagai spesies baru, yaitu F. iskandari, berdasarkan data sekuen Allozyme dan DNA mitokondria. Data molekuler tersebut menunjukkan bahwa tidak ada aliran gen antara F. iskandari dan F. limnocharis. Fejervarya iskandari dideskripsi pertama kali di Bandung dan Sukabumi, Jawa Barat namun diperkirakan spesies ini menyebar lebih luas di Pulau Jawa (Iskandar dan Mumpuni 2004) sehingga sangat mungkin jika sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah berudu F. iskandari. Bufonid merupakan kelompok monofiletik didukung dengan baik oleh bootstrap pada penelitian ini. Hubungan filogenetik tersebut juga dihasilkan oleh Liu et al. (2000) dan Pramuk et al. (2001) berdasarkan data sekuen DNA mitokondria dan Haas (2003) berdasarkan data morfologi larva. Posisi spesies P. aspera pada topologi pohon filogeni berdasarkan gen 12S rrna dan 16S rrna berbeda dengan posisi spesies tersebut pada topologi pohon berdasarkan gen 12S- 16S rrna. Phrynoidis aspera dipindahkan dari sinonimnya, yaitu Bufo asper berdasarkan data DNA inti dan DNA mitokondria (Frost et al. 2006). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa B. asper berhubungan lebih dekat dengan genus Pedostibes dibandingkan dengan spesies Bufo lainnya. Frost et al. (2006) memasukkan B. asper ke dalam genus Phrynoidis juga berdasarkan pada karakter sinapomorfi yang dimiliki oleh genus Phrynoidis yang menguatkan percabangan kelompok B. asper.

46 32 VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Identifikasi berudu berdasarkan morfologi dapat dilakukan berdasarkan perbedaan bentuk mulut dan formula geligi. Penentuan spesies dengan menggunakan karakter morfologi dapat berbeda dari penentuan spesies dengan menggunakan data sekuen DNA. Berdasarkan karakter molekuler, spesies O. hosii memiliki kemiripan yang tinggi dengan L. hasseltii, dan spesies F. limnocharis memiliki kemiripan yang tinggi dengan F. iskandari. Untuk spesies yang menunjukkan kongruensi identifikasi morfologi dan molekuler, maka identifikasi di lapang cukup dilakukan dengan karakter morfologi, seperti jenis P. leucomystax, P. aspera, L. microdiscus dan R. margaritifer. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa sebagian besar taksa Anura membentuk kelompok monofiletik kecuali pada kelompok Rhacophorid berdasarkan gen 12S rrna. B. Saran Penggunaan karakter ukuran tubuh sebaiknya tidak digunakan dalam identifikasi spesies karena sangat dipengaruhi oleh variasi lingkungan. Penggunaan gen tunggal, yaitu 16S rrna dapat dilakukan dalam analisis filogenetik Anura untuk memperpendek data sekuen yang dianalisis serta meningkatkan peluang keberhasilan dalam proses ampllifikasi.

47 33 DAFTAR PUSTAKA Anderson J A list of the reptilian accession to the Indian Museum, Calcutta from 1865 to 1870, with a description of some new species. Journal of the Asiatic Society of Bengal 40: Altig R A Primer for the Morphology of Anuran Tadpoles. Herpetological Conservation and Biology 2(1): Brendonck L, Michels E, DeMeester L, Riddoch B Temporary ponds are not enemy free. Hydrobiologica 486: Cao Y, Adachi A, Janke A, Paabo S, Hasegawa M Phylogenetic relationships among eutherian orders estimated from inferred protein sequences of mithocondrial proteins: instability of a tree based on single gene. J Mol Evol 39: Che J, Pang J, Zhao H, Wu G, Zhao E, Zhang Y Phylogeny of Raninae (Anura: Ranidae) inferred from mitochondrial and nuclear sequences. Molecular Phylogenetics and Evolution 43: 1 13 Cogger HG, Zweifel RG Encyclopedia of Reptiles and Amphibians Second Edition. San Fransisco: Fog City Press Dubois A Note preliminaire sur le groupe de Rana limnocharis Gravenhorst, 1929 (Amphibiens, Anaures). Alytes 3: Dubois A Miscellanea taxomica batrachologica (1). Alytes 5: 7 95 Duellman WE, Trueb L Biology of Amphibians. New York: McGraw-Hill. Emerson SB, Inger RF, Iskandar DT Molecular systematics and biogeography of the fanged frogs of Southeast Asia. Molecular Phylogenetics and Evolution 16(1): Emerson SB, Berrigan D Systematics of Southeast Asia ranids: Multiple origin of voicelessness in the subgenus Limnonectes (Fitzinger). Herpetologica 49(1): Evans BJ, Brown RF, McGuire JA, Supriatna J, Andayani N, Diesmos A, Iskandar DT, Melnick DJ, Cannatella DC Phylogenetics of Fanged Frogs: Testing Biogeographical Hypotheses at the Interface of the Asian and Australian Faunal Zones. Syst. Biol. 52(6): Farajallah A Karakterisasi genom mitokondria labi-labi Dogania subplana (Trionychidae, Testudines, Reptilia) [Disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

48 34 Frost, DR, Grant T, Faivovich J, Bain RH, Haas A, Haddad CFB, De Sá RO, Channing A, Wilkinson M, Donnellan SC, Raxworthy CJ, Campbell JA, Blotto BL, Moler P, Drewes RC, Nussbaum RA, Lynch JD, Green DM, Wheeler WC, The amphibian tree of life. Bull. Am. Mus. Nat. Hist. 297: Ford LS, Cannatella DC The major clades of frogs. Herpetological monographs 7: Gosner LK A Simplified Table for Staging Anuran Embryos and Larvae with Notes on Identification. Herpetologica 16(3): Gosner LK, Rossman DA Eggs and larval development of the tree frogs Hyla crucifer and Hyla ocularis. Herpetologica 16(4): Haas A Phylogeny of frogs as inferred from primarily larval characters (Amphibia: Anura). Cladistics 19: Hamidy A, Matsui M, Shimada T, Nishikawa K, Yambun P, Sudin A, Kusrini MD, Kurniati H Morphological and genetic discordance in two species of Bornean Leptobrachium (Amphibia, Anura, Megophryidae). Molecular Phylogenetics and Evolution 61: Hillis DM, Wilcox TP Phylogeny of the New World true frogs (Rana). Molecular Phylogenetics and Evolution 34: Hofrichter R The Encyclopedia of Amphibian. Canada: Key Porter Books Limited. Inger RF The systematic and zoogeography of the amphibian of Borneo. Fieldiana: Zoology Volume 52. Field Museum of Natural History. United States of America: Field Museum Press Inger RF Bufo of Eurasia. Di dalam W.F. Blair (editor), Evolution in the genus Bufo: Austin: University of Texas Press. Inger RF, Voris HK Biogeographical relations of the frog and snake of Sundaland. J Biogeogr 28: Iskandar DT Amfibi Jawa dan Bali Seri Panduan Lapangan. Bogor: Puslitbang LIPI. Iskandar DT, Mumpuni Fejervarya iskandari. In: IUCN IUCN Red List of Threatened Species. Version < [13 May 2012]. Kitching IJ, Forey PL, Humphries CJ, Williams DM Cladistics second edition: The Theory and Practice of Parsimony Analysis. New York: Oxford University Press Inc

49 35 Kusrini MD, Lubis ML, Darmawan B The Tree Frog of Chevron Geothermal Concession, Mount Halimun Salak National Park Indonesia. Technical report submitted to the Wildlife Trust Peka Foundation. Kusrini MD, Lubis MI, Darmawan B, Rahman NL, Hypananda W Final Report: Integrated Ecological Research of Conservation of the Tree Frog in West Java, Indonesia. Technical report submitted to the Wildlife Truts Peka Foundation. Leong TM, Chou LM Tadpole of the Celebes Toad Bufo Celebensis Gunther (Amphibia: Anura: Bufonidae) from Northeast Sulawesi. The Raffles Bulletin of Zoology 48(2): Li J, Che J, Bain RH, Zhao E, Zhang Y Molecular phylogeny of Rhacophoridae (Anura): A framework of taxonomic reassignment of species within the genera Aquixalus, Chiromantis, Rhacophorus, and Philautus. Molecular Phylogenetics and Evolution 48: Lipscomb D Basics of cladistic analysis. Washington DC: George Washington Univ. Liu W, Lathrop A, Fu J, Yang D, Murphy RW Phylogeny of East Asian Bufonids Inferred from Mitochondrial DNA Sequences (Anura: Amphibia). Molecular Phylogenetics and Evolution 14(3): Matsui M, Hamidy A, Murphy RW, Khonsue W, Yambun P, Shimada T, Ahmad N, Belabut DM, Jiang JP Phylogenetic relationships of megophryid frogs of the genus Leptobrachium (Amphibia, Anura) as revealed by mtdna gene sequences. Molecular Phylogenetics and Evolution 56: McLeod DS Of Least Concern? Systematics of a cryptic species complex: Limnonectes kuhlii (Amphibia: Anura: Dicroglossidae). Molecular Phylogenetics and Evolution 56: Mistar Panduan Lapang Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Bogor: PILINGO Movement. Ningsih WD Struktur komunitas berudu anura di Sungai Cibeureum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat [Skripsi] Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasi Page RDM, Holmes EC Molecular Evolution: A Phylogenetic Approach. United Kingdom: Blackwell Science. Petranka JW, Kennedy CA Pond tadpoles with generalised morphology: is it time to reconsider their functional roles in aquatic communities? Oecologia 120:

50 36 Pramuk JB, Hass CA, Hedges SB Molecular Phylogeny and Biogeography of West Indian Toads (Anura: Bufonidae). Molecular Phylogenetics and Evolution 20(2): Quicke DLJ Principles and Techniques of Contemporary Taxonomy. United Kingdom: Blackie Academic & Professional. Starrett P Descriptions of Tadpoles of Middle American Frogs. Museum of Zoology, University of Michigan 110: 5-37 Tamura K, Dudley J, Nei M dan Kumar S MEGA4: Molecular evolutionary genetics analysis (MEGA) software version 4.0. Molecular Biology and Evolution 24: Tegelstrom H Mitochondrial DNA in natural population: An improved routine for screening of genetic variation based on sensitive silver staining. Electrophoresis 7(5): Tjong DH, Iskandar DT, Gusman D Hubungan filogenetik spesies Limnonectes (Ranidae: Amphibia) asal Sumatera Barat dan asal Asia Tenggara berdasarkan gen 16S ribosomal RNA. Makara sains 14(1): Toda M, Matsui M, Nishida M, Ota H Genetic divergence among Southeast and East Asian population of Rana limnocharis (Amphibia: Anura), with species reference to sympatric cryptic species in Java. Zool Sci 14: Van Buskirk, J, McCollum, SA Plasticity and selection explain variation in tadpole phenotype between ponds with different predator composition. Oikos 85: Veith M, Kosuch J, Ohler A, Dubois A Systematics of Fejervarya limnocharis (Gravenhorst, 1829) (Amphibia, Anura, Ranidae) and related species. 2. Morphological and molecular variation in frogs from the Greater Sunda Islands (Sumatra, Java, Borneo) with the definition of two species. Alytes 19: 5 28 Verma PK, Pande N Learning Amphibia through Latest Portfolio of Theory and Practice. New Delhi: Dominant Publishers and Distributors. Wassersug RJ The adaptive significance of the tadpole stage with comments on the maintenance of complex life cycles in anurans. American Zoology 15: Wilbur H Regulation of structure in complex systems: experimental temporary pond communities. Ecology 68: Wilkinson JA, Drewes RC Character assessment, genus level boundaries, and phylogenetic analyses of the family Rhacophoridae: a review and present day status. Cont. Herpetol. 2000, 2

51 37 Wilkinson JA, Drewes RC, Tatum OL A molecular phylogenetic analysis of the family Rhacophoridae with an emphasis on the Asian and African genera. Mol. Phylogenet. Evol. 24: Yu G, Rao D, Zhang M, Yang J Re-examination of the phylogeny of Rhacophoridae (Anura) based on mitochondrial and nuclear DNA. Molecular Phylogenetics and Evolution 50:

52 38 LAMPIRAN

53 39 Lampiran 1. Deskripsi morfologi masing-masing spesies berudu 1. Famili Bufonidae a. Dutaphrynus melanostictus Deskripsi dilakukan berdasarkan 12 individu spesimen yang seluruhnya berada pada tahap 25 berdasarkan Gosner (1960). Karakter Rerata St. Min. Maks. (mm) Deviasi (mm) (mm) Panjang total (TL) Panjang tubuh (BL) Panjang ekor (TAL) Lebar tubuh (BW) Tinggi ekor maksimum (MTH) Tinggi otot ekor (TMH) Lebar otot ekor (TMW) Jarak interorbital (IOD) Jarak internarial (IND) Lebar oral disc (ODW) Spesies ini memiliki tubuh dan ekor berwarna hitam dengan sirip yang tidak berpigmen. Ekor memanjang dengan ujung meruncing. Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor (posterior tubuh). Mata terletak pada bagian dorsal tubuh, spirakel sinistral (tunggal pada bagian kiri tubuh), lubang narial terletak lebih dekat dengan mata daripada oral disc, dengan vent tube pada posisi dextral. Bagian oral disc memiliki lekuk (emarginate) dengan 1 baris papilla marjinal pada bibir atas (ventral). Ketebalan keratin pada rahang (jaw) medium, berbentuk serrate dengan saw-toothed, perpanjangan posterolateral pada keratin sangat panjang. Formula geligi spesies ini adalah I+1-1/III.

54 40 b. Leptophryne cruentata Deskripsi dilakukan pada 5 spesimen yang terdiri dari 1 spesimen tahap 26, 27, 28 dan 2 spesimen tahap 31. Karakter Tahap 26 Tahap 27 Tahap 28 Tahap 31 Tahap 31 Panjang total (TL) Panjang tubuh (BL) Panjang ekor (TAL) Lebar tubuh (BW) Tinggi ekor maksimum (MTH) Tinggi otot ekor (TMH) Lebar otot ekor (TMW) Jarak interorbital (IOD) Jarak internarial (IND) Lebar oral disc (ODW) Berudu spesies ini memiliki oral disc berlekuk (emarginate) dengan 1 baris papila marjinal dengan gap lebar pada bibir atas dan 1 baris sub-papila marjinal pada bibir bawah. Rahang dengan keratin medium, berbentuk serrate, saw-toothed, dan perpanjangan posterolateral yang panjang. Formula geligi berudu ini adalah I+1-1/III. Tubuh dorsal berudu ini berwarna hitam, dan ventral berwarna putih. Sirip dan ekor tidak berpigmen. Ekor dan sirip memanjang dengan ujung meruncing. Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor. Posisi mata pada dorsal, sedangkan narial terletak lebih dekat dengan mata. Spirakel tunggal pada sisi kiri tubuh (sinistral), dan posisi vent tube dextral.

55 41 c. Phrynoidis aspera Deskripsi dilakukan berdasarkan dua individu yang seluruhnya berada pada tahap 25 berdasarkan Gosner (1960). Karakter Ind. 1 Ind. 2 Panjang total (TL) Panjang tubuh (BL) Panjang ekor (TAL) Lebar tubuh (BW) Tinggi ekor maksimum (MTH) Tinggi otot ekor (TMH) Lebar otot ekor (TMW) Jarak terjauh interorbital (IOD) Jarak terjauh internarial (IND) Lebar oral disc (ODW) Berudu ini memiliki oral disc tidak berlekuk (not emarginate) dengan 1 baris papila marjinal pada ujung bibir atas dan bibir bawah. Bentuk oral disc mulut seperti mangkuk karena terdapat pelebaran pada bibir bawah. Rahang dengan keratin tipis, berbentuk cuspate, membulat (rounded) dengan perpanjangan posterolateral medium. Formula geligi berudu ini adalah II/III. Tubuh dan ekor berudu ini berwarna coklat tua. Ekor dengan ujung meruncing. Sirip dorsal memanjang dari bagian tengah ekor. Posisi mata pada dorsal dengan narial yang terletak lebih dekat dengan mata dibandingkan dengan oral disc. Spirakel tunggal pada sisi kiri tubuh (sinistral) dan posisi vent tube medial.

56 42 2. Famili Dicroglossidae a. Fejervarya limnocharis Deskripsi dilakukan berdasarkan 6 spesimen yang terdiri dari satu individu pada tahap 30, tiga individu pada tahap 33, dan 2 individu pada tahap 34. Karakter Tahap 30 Tahap 33 (x) Tahap 34 Tahap 34 Panjang total (TL) Panjang tubuh (BL) Panjang ekor (TAL) Lebar tubuh (BW) Tinggi ekor maksimum (MTH) Tinggi otot ekor (TMH) Lebar otot ekor (TMW) Jarak terjauh interorbital (IOD) Jarak terjauh internarial (IND) Lebar oral disc (ODW) Berudu F. limnocharis memiliki oral disc yang berlekuk (emarginate) dengan 1 baris papila marjinal dengan gap yang lebar. Bagian rahang (jaw) berkeratin tebal, berbentuk serrate, dengan saw-toothed. Rahang tersebut memiliki perpanjangan posterolateral yang panjang. Formula geligi spesies ini adalah I+1-1/III. Barisan gigi terakhir pada bibir bawah lebih pendek dari yang lainnya. Tubuh berudu ini berwarna kecoklatan dengan bintik coklat. Ekor tidak berpigmen dengan bintik coklat. Ekor hampir lurus memanjang dengan ujung melancip. Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor. Mata terletak pada bagian dorsal, dengan narial yang terlatak lebih dekat dengan mata. Spirakel tunggal dan terletak pada bagian kiri tubuh (sinistral) dengan posisi vent tube dextral.

57 43 b. Limnonectes kuhlii Deskripsi dilakukan berdasarkan 3 spesimen terdiri dari 2 individu pada tahap 31 dan 1 individu pada tahap 33. Kondisi spesimen terdegradasi pada bagian geligi sehingga tidak dapat diketahui formula geliginya. Formula geligi yang disajikan pada deskripsi ini adalah berdasarkan Iskandar (1998). Karakter Tahap 31 Tahap 31 Tahap 33 Panjang total (TL) Panjang tubuh (BL) Panjang ekor (TAL) Lebar tubuh (BW) Tinggi ekor maksimum (MTH) Tinggi otot ekor (TMH) Lebar otot ekor (TMW) Jarak terjauh interorbital (IOD) Jarak terjauh internarial (IND) Lebar oral disc (ODW) Berudu ini memiliki tubuh yang berwarna kehitaman. Ekor hampir lurus memanjang dengan ujung meruncing. Ekor berwarna hitam pada bagian tengah sampai ujung. Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor (posterior tubuh). Posisi mata terletak pada bagian lateral tubuh. Lubang narial terletak di antara mata dan mulut. Spirakel tunggal dan terlatk pada bagian kiri tubuh (sinistral), sedangkan vent tube terletak pada dextral. Oral disc berudu ini memiliki lekuk (emarginate). Rahang (jaw) dengan keratin tebal, berbentuk serrate, dan dengan saw-toothed. Rahang tersebut memiliki perpanjangan posterolateral yang panjang. Formula geligi spesies ini adalah I/1-1+II. Papila marjinal pada bibir atas dan bawah terdegradasi.

58 44 c. Limnonectes microdiscus Deskripsi dilakukan berdasarkan dua spesimen yang seluruhnya berada pada tahap 25 berdasarkan Gosner (1960). Kondisi spesimen terdegradasi pada bagian geligi sehingga tidak dapat diketahui formula geliginya. Formula geligi yang disajikan pada deskripsi ini adalah berdasarkan Iskandar (1998). Karakter Tahap 25 Tahap 25 Panjang total (TL) Panjang tubuh (BL) Panjang ekor (TAL) Lebar tubuh (BW) Tinggi ekor maksimum (MTH) Tinggi otot ekor (TMH) Lebar otot ekor (TMW) Jarak terjauh interorbital (IOD) Jarak terjauh internarial (IND) Lebar oral disc (ODW) Berudu ini memiliki tubuh transparan dengan bintik coklat. Ekor berbentuk hampir lurus memanjang dengan ujung meruncing. Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor. Tampak lekukan (crest) yg sempit pada punggung. Posisi mata lateral dengan narial terletak lebih dekat dengan mata daripada mulut. Spirakel tunggal pada sisi kiri tubuh (sinistral) dan vent tube pada posisi dextral. Sebagian besar cirri pada bagian mulut terdegradasi sehingga bentuk oral disc, dan papilla marjinal tidak dapat dideskripsikan Tebal keratin pada rahang (jaw) medium dengan bentuk serrate dan saw-toothed. Perpanjangan posterolateral sangat panjang. Formula geligi berudu ini adalah I+1-1/1-1+II.

59 45 3. Famili Megophryidae a. Leptobrachium hasseltii Deskripsi dilakukan berdasarkan 4 spesimen yang terdiri dari 1 spesimen pada tahap 30, 2 spesimen pada tahap 34 dan 1 spesimen pada tahap 40. Seluruh specimen dalam kondisi utuh. Karakter Tahap Tahap Tahap Tahap Panjang total (TL) Panjang tubuh (BL) Panjang ekor (TAL) Lebar tubuh (BW) Tinggi ekor maksimum (MTH) Tinggi otot ekor (TMH) Lebar otot ekor (TMW) Jarak terjauh interorbital (IOD) Jarak terjauh internarial (IND) Lebar oral disc (ODW) Berudu ini memiliki oral disc yang berlekuk (emarginate) dengan 1 baris papila marjinal pada bibir bawah, dan 1 baris papilla marjinal pada bibir atas dengan gap yang lebar. Tidak ada sub papila marjinal. Rahang dengan keratin yang tebal, berbentuk serrate, saw-toothed, dengan perpanjangan posterolateral pendek. Formula geligi berudu ini adalah I+5-5/ Tubuh berudu ini berwarna coklat seluruhnya. Ekor berwarna coklat dengan bentuk hampir lurus memanjang dengan ujung meruncing. Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor. Posisi mata pada lateral, dengan narial yang terletak lebih dekat dengan mata daripada dengan mulut. Spirakel tunggal pada sisi kiri tubuh (sinistral), sedangkan posisi vent tube adalah dextral.

60 46 b. Megophrys Montana Deskripsi dilakukan berdasarkan 5 spesimen yang terdiri dari 3 spesimen pada tahap 26 dan 2 spesimen pada tahap 28. Seluruh specimen dalam keadaan utuh dan sempurna. Karakter Tahap 26 Tahap Tahap (x) Panjang total (TL) Panjang tubuh (BL) Panjang ekor (TAL) Lebar tubuh (BW) Tinggi ekor maksimum (MTH) Tinggi otot ekor (TMH) Lebar otot ekor (TMW) Jarak terjauh interorbital (IOD) Jarak terjauh internarial (IND) Lebar oral disc (ODW) Berudu ini memiliki oral disc berlekuk (emarginate). Bibir dengan pelebaran lateral sehingga berbentuk seperti kumis. Bagian dalam bibir berbintil coklat. Papila marjinal terdiri dari 3 baris pada bibir atas dan 4 baris pada bibir bawah. Rahang dengan tebal keratin medium, berbentuk cuspate, dan pointed. Perpanjangan posterolateral pada rahang pendek. Tubuh dan ekor berwarna coklat dengan bercak hitam. Sirip tidak berpigmen dengan bercak hitam. Sirip dorsal memanjang dari bagian tengah otot ekor. Ekor berbentuk oval memanjang dengan ujung meruncing. Posisi mata pada lateral, dengan narial yang terletak lebih dekat dengan mata. Spirakel tunggal pada sisi kiri tubuh (sinistral) dan posisi vent tube pada medial.

61 47 4. Famili Microhylidae a. Kaloula baleata Deskripsi dilakukan berdasarkan dua specimen pada tahap 40. Kondisi spesimen utuh dan sempurna. Karakter Ind. 1 Ind. 2 Panjang total (TL) Panjang tubuh (BL) Panjang ekor (TAL) Lebar tubuh (BW) Tinggi ekor maksimum (MTH) Tinggi otot ekor (TMH) Lebar otot ekor (TMW) Jarak terjauh interorbital (IOD) Jarak terjauh internarial (IND) Lebar oral disc (ODW) Berudu ini berukuran besar dan berwarna kecoklatan. Ekor hampir lurus memanjang dengan ujung runcing. Sirip dorsal memanjang dari ujung ekor. Ekor dengan bercak kecoklatan. Posisi mata lateral dengan narial yang terletak lebih dekat dengan mata. Spirakel tunggal di sisi kiri tubuh dengan pipa panjang. Posisi vent tube medial. Berudu ini tidak mempunyai oral disc. Pada bagian ujung kepala terdapat lubang kecil.

62 48 b. Microhyla achatina Deskripsi dilakukan berdasarkan 9 spesimen pada tahap 25, 1 spesimen pada tahap 34 dan 1 spesimen pada tahap 35. Kondisi spesimen terdegradasi pada oral disc namun masih dapat terlihat formula geliginya. Karakter Tahap 25 Tahap Tahap (x) Panjang total (TL) Panjang tubuh (BL) Panjang ekor (TAL) Lebar tubuh (BW) Tinggi ekor maksimum (MTH) Tinggi otot ekor (TMH) Lebar otot ekor (TMW) Jarak terjauh interorbital (IOD) Jarak terjauh internarial (IND) Lebar oral disc (ODW) Berudu ini memiliki oral disc yang tidak berlekuk (not emarginate). Bibir bawah mengalami pelebaran dan bibir atas membulat tanpa pelebaran lateral. Pelebaran bibir bawah dengan bintil-bintil sebanyak 1 baris. Oral disc dengan 2 baris papila sub-marjinal. Keratin pada rahang (jaw) tidak tampak karena terdegradasi. Mulut dengan lubang kecil di tengah. Formula geligi II/1-1+III. Tubuh berwarna kecoklatan pada dorsal, dan tidak berpigmen pada ventral. Ekor panjang, berbentuk oval dengan ujung meruncing mulai 1/3 akhir. Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor.

63 49 5. Famili Ranidae a. Huia masonii Deskripsi dilakukan berdasarkan 2 spesimen pada tahap 25, 1 spesimen pada tahap 35 dan 1 spesimen pada tahap 41. Karakter Tahap 25 Tahap 25 Tahap 35 Tahap 41 Panjang total (TL) Panjang tubuh (BL) Panjang ekor (TAL) Lebar tubuh (BW) Tinggi ekor maksimum (MTH) Tinggi otot ekor (TMH) Lebar otot ekor (TMW) Jarak terjauh interorbital (IOD) Jarak terjauh internarial (IND) Lebar oral disc (ODW) Berudu ini memiliki oral disc tidak berlekuk (not emarginated) dengan 2 baris papila marjinal dengan gap lebar pada bibir atas dan papila sub-marjinal hanya pada sudut bibir. Rahang (jaw) berkeratin tebal, berbentuk cuspate membulat, dengan perpanjangan posterolateral medium. Formula geligi berudu ini adalah IV+5-5/1-1+VI. Tubuh dengan semacam mangkuk pada ventral yang berfungsi sebagai penyedot sehingga mampu hidup di habitat sungai berarus deras. Tubuh berwarna kehitaman dan ekor dengan bercak kecoklatan. Sirip dorsal dan ventral berbintik hitam pada bagian yang berbatasan dengan ekor. Sirip oval membulat dengan ujung membulat. Sirip dorsal memanjang dari bagian tengah ekor. Posisi mata dorsal, narial terletak lebih dekat dengan mata. Spirakel tunggal pada sisi kiri tubuh (sinistral) dengan sirip yang jelas. Posisi vent tube medial.

64 50 b. Hylarana chalconota Deskripsi dilakukan berdasarkan 2 spesimen yang terdiri dari 1 spesimen pada tahap 32 dan 1 spesimen pada tahap 34. Karakter Tahap 32 Tahap 34 Panjang total (TL) Panjang tubuh (BL) Panjang ekor (TAL) Lebar tubuh (BW) Tinggi ekor maksimum (MTH) Tinggi otot ekor (TMH) Lebar otot ekor (TMW) Jarak terjauh interorbital (IOD) Jarak terjauh internarial (IND) Lebar oral disc (ODW) Berudu ini memiliki oral disc tidak berlekuk (not-emarginate) dengan 1 baris papila marjinal hanya pada sudut mulut dan 1 baris papila sub-marjinal. Rahang dengan keratin tebal, berbentuk serrate, saw-toothed dan dengan perpanjangan posterolateral panjang. Formula geligi adalah I+3-3/III. Tubuh kuning kecoklatan sedangkan ekor tidak berpigmen. Ekor oval memanjang dengan ujung meruncing. Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor. Posisi mata lateral, narial terletak di antara mata dan oral disc. Spirakel tunggal (sinistral) dan vent tube medial.

65 51 c. Odorrana hosii Deskripsi dilakukan berdasarkan 3 spesimen yang masing-masing berada pada tahap 25, 27, dan 28. Karakter Tahap 25 Tahap 27 Tahap 28 Panjang total (TL) Panjang tubuh (BL) Panjang ekor (TAL) Lebar tubuh (BW) Tinggi ekor maksimum (MTH) Tinggi otot ekor (TMH) Lebar otot ekor (TMW) Jarak terjauh interorbital (IOD) Jarak terjauh internarial (IND) Lebar oral disc (ODW) Berudu ini memiliki oral disc berlekuk (emarginated) dengan 1 baris papila marjinal dengan gap lebar pada bibir atas dan 1 baris papila sub-marjinal. Rahang dengan keratin tebal, berbetuk serrate, saw-toothed dengan perpanjangan posterolateral sangat panjang. Formula geligi I+4-4/1-1+III. Tubuh berwarna coklat seluruhnya hingga ekor. Ekor berbentuk hampir lurus memanjang dengan ujung meruncing. Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor. Posisi mata lateral, narial berada di antara mata dan oral disc. Spirakel tunggal pada sisi kiri tubuh (sinistral), dan posisi vent tube dextral.

66 52 6. Famili Rhacophoridae a. Philautus vittiger Deskripsi dilakukan berdasarkan 7 spesimen yang terdiri dari 1 spesimen tahap 28, 2 spesimen pada tahap 29, 2 spesimen pada tahap 35, 1 spesimen pada tahap 36, dan 1 spesimen pada tahap 41. Karakter Tahap Tahap Tahap Tahap Tahap Tahap Tahap Panjang total (TL) Panjang tubuh (BL) Panjang ekor (TAL) Lebar tubuh (BW) Tinggi ekor maksimum (MTH) Tinggi otot ekor (TMH) Lebar otot ekor (TMW) Jarak terjauh interorbital (IOD) Jarak terjauh internarial (IND) Lebar oral disc (ODW) Berudu ini memiliki oral disc berlekuk (emarginate) dengan 2 baris papila marginal dengan gap yang lebar pada bibir atas dan 3 baris papilla sub-marjinal pada bibir bawah. Rahang berkeratin medium, berbentuk cuspate, rounded dengan perpanjangan posterolateral medium. Formula geligi spesies ini II+4-4/III. Pola warna tubuh coklat kemerahan dengan bintik hitam, ekor dan sirip dorsal hitam dan menjelang ujung ekor berpola. Sirip dorsal memanjang dari pangkal otot ekor (posterior tubuh). Ekor oval dengan ujung meruncing. Posisi mata lateral, narial lebih dekat dengan mata. Spirakel tunggal pada sisi kiri tubuh (sinistral) dan vent tube dextral.

67 53 b. Polypedates leucomystax Deskripsi dilakukan berdasarkan 8 spesimen yang masing-masing berada pada tahap 25, 26, 28, 31, 34, 35, 36, dan 37. Karakter Tahap Tahap Tahap Tahap Tahap Tahap Tahap Tahap Panjang total (TL) Panjang tubuh (BL) Panjang ekor (TAL) Lebar tubuh (BW) Tinggi ekor maks. (MTH) Tinggi otot ekor (TMH) Lebar otot ekor (TMW) Jarak interorbital (IOD) Jarak internarial (IND) Lebar oral disc (ODW) Berudu ini memiliki oral disc tidak berlekuk (not-emarginate) dengan 1 baris papila marjinal dengan gap lebar dan 1 baris papila sub-marjinal pada bibir atas. Rahang dengan keratin tebal, berbentuk serrate, saw-toothed, dengan perpanjangan posterolateral panjang. Formula geligi I+3-3/III. Tubuh berwarna coklat-hitam, ekor dan sirip tidak berpigmen atau dengan bintik hitam. Ekor dan sirip oval hingga membulat dengan ujung meruncing mulai dari 1/3 akhir. Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor. Posisi mata lateral, narial berada di antara mata dan oral disc. Spirakel tunggal di sisi kiri tubuh (sinistral) dan vent tube dextral.

68 54 c. Rhacophorus margaritifer Deskripsi dilakukan berdasarkan 3 spesimen yang masing-masing berada pada tahap 25, 30, dan 31. Karakter Tahap 25 Tahap 30 Tahap 31 Panjang total (TL) Panjang tubuh (BL) Panjang ekor (TAL) Lebar tubuh (BW) Tinggi ekor maksimum (MTH) Tinggi otot ekor (TMH) Lebar otot ekor (TMW) Jarak terjauh interorbital (IOD) Jarak terjauh internarial (IND) Lebar oral disc (ODW) Berudu ini memiliki tubuh berwarna kecoklatan, ekor berbintik coklat pada 1/3 akhir. Ekor oval dengan ujung meruncing. Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor. Posisi mata dorsal dan narial terletak lebih dekat dengan mata. Spirakel tunggal pada sisi kiri tubuh (sinistral) dan vent tube dextral. Oral disc berlekuk (emarginate) dengan 1 baris papila marjinal dengan gap lebar pada bibir atas dan 2 baris papila marjinal pada bibir bawah. Rahang dengan keratin tebal, berbentuk serrate, saw-toothed dengan perpanjangan posterolateral panjang. Formula geligi I+5-5/III atau II+4-4/III.

69 55 d. Rhacophorus reinwardtii Deskripsi dilakukan berdasarkan 3 spesimen yang terdiri dari 2 spesimen tahap 25 dan 1 spesimen tahap 28. Karakter Tahap 25 Tahap 25 Tahap 28 Panjang total (TL) Panjang tubuh (BL) Panjang ekor (TAL) Lebar tubuh (BW) Tinggi ekor maksimum (MTH) Tinggi otot ekor (TMH) Lebar otot ekor (TMW) Jarak terjauh interorbital (IOD) Jarak terjauh internarial (IND) Lebar oral disc (ODW) Berudu ini memiliki oral disc (emarginate) dengan 1 baris papila marjinal dengan gap lebar pada bibir atas dan 1 baris papila marjinal pada bibir bawah. Rahang dengan keratin medium, berbentuk serrate, saw-toothed, dengan perpanjangan poterolateral panjang. Formula geligi I+5-5/III. Tubuh berwarna coklat kemerahan dengan bercak coklat. Sirip tidak berpigmen dengan bercak coklat tidak merata. Ekor oval dengan ujung membulat. Sirip dorsal memanjang dari pangkal otot ekor. Posisi mata dorsal dan narial terletak lebih dekat dengan mata. Spirakel tunggal pada sisi kiri tubuh (sinistral) dan vent tube dextral.

II. TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Telur

II. TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Telur 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Telur Katak betina dewasa menentukan tempat peletakan telur setelah terjadi pembuahan dan untuk kebanyakan katak pohon telur tersebut terselubung dalam busa. Hal ini

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Amfibi merupakan hewan berdarah dingin yang suhu tubuhnya tergantung pada suhu

I.PENDAHULUAN. Amfibi merupakan hewan berdarah dingin yang suhu tubuhnya tergantung pada suhu I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Amfibi merupakan hewan berdarah dingin yang suhu tubuhnya tergantung pada suhu lingkungan. Keberadaan amfibi tersebut dipengaruhi oleh faktor iklim, topografi, dan vegetasi

Lebih terperinci

BERUDU ANURA DI SUNGAI KEDURANG, BENGKULU SELATAN DAN PUSAT PENDIDIKAN KONSERVASI ALAM BODOGOL, JAWA BARAT

BERUDU ANURA DI SUNGAI KEDURANG, BENGKULU SELATAN DAN PUSAT PENDIDIKAN KONSERVASI ALAM BODOGOL, JAWA BARAT Media Konservasi Vol. 17, No. 1 April 2012 : 27 32 BERUDU ANURA DI SUNGAI KEDURANG, BENGKULU SELATAN DAN PUSAT PENDIDIKAN KONSERVASI ALAM BODOGOL, JAWA BARAT (Tadpoles of Kedurang River, South Bengkulu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Amfibi Amfibi berasal dari kata amphi yang berarti ganda dan bio yang berarti hidup. Secara harfiah amfibi diartikan sebagai hewan yang hidup di dua alam, yakni dunia darat

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian. sumber: (http://www.google.com/earth/) Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat

LAMPIRAN. Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian. sumber: (http://www.google.com/earth/) Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat LAMPIRAN Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat sumber: (http://www.google.com/earth/) Lampiran 2. Data spesies dan jumlah Amfibi yang Ditemukan Pada Lokasi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. penelitian ini

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Struktur Komunitas Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari sususan atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas. Secara umum

Lebih terperinci

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Februari-Agustus 2010 di Laboratorium Zoologi Departemen Biologi, FMIPA, IPB.

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Februari-Agustus 2010 di Laboratorium Zoologi Departemen Biologi, FMIPA, IPB. Kolokium Ajeng Ajeng Siti Fatimah, Achmad Farajallah dan Arif Wibowo. 2009. Karakterisasi Genom Mitokondria Gen 12SrRNA - COIII pada Ikan Belida Batik Anggota Famili Notopteridae. Kolokium disampaikan

Lebih terperinci

The Origin of Madura Cattle

The Origin of Madura Cattle The Origin of Madura Cattle Nama Pembimbing Tanggal Lulus Judul Thesis Nirmala Fitria Firdhausi G352080111 Achmad Farajallah RR Dyah Perwitasari 9 Agustus 2010 Asal-usul sapi Madura berdasarkan keragaman

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari Katak Pohon Bergaris (P. Leucomystax Gravenhorst 1829 ) menurut Irawan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phyllum: Chordata,

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU. A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2

KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU. A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2 KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2 1 Mahasiswa Program Studi S1 Biologi FMIPA-UR 2 Bidang Zoologi Jurusan Biologi FMIPA-UR Fakultas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Virus Hepatitis B Gibbon Regio Pre-S1 Amplifikasi Virus Hepatitis B Regio Pre-S1 Hasil amplifikasi dari 9 sampel DNA owa jawa yang telah berstatus serologis positif terhadap antigen

Lebih terperinci

Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram. Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati

Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram. Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati Abstrak; Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan

Lebih terperinci

METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK

METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK Oleh: Hellen Kurniati Editor: Gono Semiadi LIPI PUSAT PENELITIAN BIOLOGI LIPI BIDANG ZOOLOGI-LABORATORIUM HERPETOLOGI Cibinong, 2016

Lebih terperinci

4.1. Alat dan Bahan Penelitian a. Alat Penelitian. No. URAIAN ALAT. A. Pengambilan sampel

4.1. Alat dan Bahan Penelitian a. Alat Penelitian. No. URAIAN ALAT. A. Pengambilan sampel 7 IV. METODE PENELITIAN Ikan Lais diperoleh dari hasil penangkapan ikan oleh nelayan dari sungaisungai di Propinsi Riau yaitu S. Kampar dan S. Indragiri. Identifikasi jenis sampel dilakukan dengan menggunakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian 12 METODE PEELITIA Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan April 2010, bertempat di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

PRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas

PRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas PRAKATA Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas segala nikmat dan karunia-nya, penulisan Tugas Akhir dengan judul Keragaman Genetik Abalon (Haliotis asinina) Selat Lombok

Lebih terperinci

KUNCI IDENTIFIKASI AMFIBI

KUNCI IDENTIFIKASI AMFIBI KUNCI IDENTIFIKASI AMFIBI Februari 12, 2011 oleh Noar Muda Satyawan KUNCI IDENTIFIKASI FAMILI AMFIBI 1a Tubuh seperti cacing, tanpa tungkai....ichthyophiidae Satu genus dan species Ichthyophis hypocyaneus

Lebih terperinci

SURVEI AWAL KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI DESA KETENGER, BATU RADEN, JAWA TENGAH

SURVEI AWAL KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI DESA KETENGER, BATU RADEN, JAWA TENGAH SURVEI AWAL KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI DESA KETENGER, BATU RADEN, JAWA TENGAH I G. A. Ayu Ratna P. 1) dan E. A. P. Willy Wijaya 2) 1) Laboratorium Taksonomi Hewan, Fakultas Biologi, Universitas Jenderal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 individu udang Jari yang diambil dari Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap penyiapan templat mtdna, amplifikasi fragmen mtdna pada daerah D-loop mtdna manusia dengan teknik PCR, deteksi

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus sampai September tahun 2011. Sampel ikan berasal dari 3 lokasi yaitu Jawa (Jawa Barat), Sumatera (Jambi),

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel 16 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menggambarkan tahapan penelitian yang terdiri dari pengambilan sampel, penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel, amplifikasi D-loop mtdna dengan teknik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Katak pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer Schlegel, 1837) yang memiliki sinonim Rhacophorus barbouri Ahl, 1927 dan Rhacophorus javanus Boettger 1893) merupakan famili

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth III. MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Pengambilan sampel darah domba dilakukan di Kecamatan Koto Tengah Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober 2012. Amplifikasi gen Growth Hormone menggunakan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Morfologi Pada penelitian ini digunakan lima sampel koloni karang yang diambil dari tiga lokasi berbeda di sekitar perairan Kepulauan Seribu yaitu di P. Pramuka

Lebih terperinci

Seminar Dewinta G

Seminar Dewinta G Seminar Dewinta G34063443 Dewinta, Achmad Farajallah, dan Yusli Wardiatno. 2010. Pola Distribusi Geografis pada Udang Mantis di Pantai Jawa Berdasarkan Genom Mitokondria. Seminar disampaikan tanggal 11

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah sampel DNA koleksi hasil

Lebih terperinci

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Ria Maria (G34090088), Achmad Farajallah, Maria Ulfah. 2012. Karakterisasi Single Nucleotide Polymorphism Gen CAST pada Ras Ayam Lokal. Makalah Kolokium

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB dan Laboratorium Terpadu,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI ISOLAT BAKTERI DARI PANTAI BANDEALIT JEMBER BERDASARKAN SEKUEN DNA PENGKODE 16S rrna SKRIPSI. Oleh Dina Fitriyah NIM

IDENTIFIKASI ISOLAT BAKTERI DARI PANTAI BANDEALIT JEMBER BERDASARKAN SEKUEN DNA PENGKODE 16S rrna SKRIPSI. Oleh Dina Fitriyah NIM IDENTIFIKASI ISOLAT BAKTERI DARI PANTAI BANDEALIT JEMBER BERDASARKAN SEKUEN DNA PENGKODE 16S rrna SKRIPSI Oleh Dina Fitriyah NIM 061810401071 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Deteksi Fabavirus pada Tanaman Nilam Deteksi Fabavirus Melalui Uji Serologi Tanaman nilam dari sampel yang telah dikoleksi dari daerah Cicurug dan Gunung Bunder telah berhasil diuji

Lebih terperinci

Lampiran 1 Ekstraksi dan isolasi DNA dengan metode GeneAid

Lampiran 1 Ekstraksi dan isolasi DNA dengan metode GeneAid LAMPIRAN 9 Lampiran 1 Ekstraksi dan isolasi DNA dengan metode GeneAid Satu ruas tungkai udang mantis dalam etanol dipotong dan dimasukkan ke dalam tube 1,5 ml. Ruas tungkai yang telah dipotong (otot tungkai)

Lebih terperinci

INVENTARISASI ANURA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG SUKABUMI

INVENTARISASI ANURA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG SUKABUMI INVENTARISASI ANURA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG SUKABUMI Lutfi Aditia Pratama 1), Moerfiah 2), Rouland Ibnu Darda 3) 1,2,3) Program Studi Biologi FMIPA Universitas Pakuan Jalan Pakuan PO.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Analisis Kekerabatan Rayap Tanah M. gilvus dengan Pendekatan Perilaku

BAHAN DAN METODE. Analisis Kekerabatan Rayap Tanah M. gilvus dengan Pendekatan Perilaku BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Sampel rayap diambil dari Cagar Alam Yanlappa-Jasinga dan Kampus IPB- Dramaga, Bogor. Rayap diidentifikasi dan diuji perilaku agonistiknya di Laboratorium Biosistematika

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Autentikasi Bahan Baku Ikan Tuna (Thunnus sp.) dalam Rangka Peningkatan Keamanan Pangan dengan Metode Berbasis DNA dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu pengumpulan sampel berupa akar rambut, ekstraksi mtdna melalui proses lisis akar rambut, amplifikasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang mengangkat fenomena alam sebagai salah satu masalah dalam penelitian, sehingga dapat menerangkan arti

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN Penelitian penanda genetik spesifik dilakukan terhadap jenis-jenis ikan endemik sungai paparan banjir Riau yaitu dari Genus Kryptopterus dan Ompok. Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode 16 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi,

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan Dalam bab ini akan dipaparkan hasil dari tahap-tahap penelitian yang telah dilakukan. Melalui tahapan tersebut diperoleh urutan nukleotida sampel yang positif diabetes dan sampel

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika dan Molekuler Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang mengangkat fenomena alam sebagai salah satu masalah dalam penelitian. Penelitian ini dapat menerangkan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tahapan Analisis DNA S. incertulas

BAHAN DAN METODE. Tahapan Analisis DNA S. incertulas 11 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Koleksi sampel dilakukan pada beberapa lokasi di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR;

BAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR; BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar, langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah HVI mtdna

Lebih terperinci

DISTRIBUSI VERTIKAL ANURA DI GUNUNG SEBLAT KABUPATEN LEBONG, BENGKULU VERTICAL DISTRIBUTION OF ANURA IN SEBLAT MOUNT LEBONG REGENCY, BENGKULU

DISTRIBUSI VERTIKAL ANURA DI GUNUNG SEBLAT KABUPATEN LEBONG, BENGKULU VERTICAL DISTRIBUTION OF ANURA IN SEBLAT MOUNT LEBONG REGENCY, BENGKULU Prosiding Semirata 2015 bidang MIPA BKSPTN Barat Hal 173 178 DISTRIBUSI ERTIKAL ANURA DI GUNUNG SEBLAT KABUPATEN LEBONG, BENGKULU ERTICAL DISTRIBUTION OF ANURA IN SEBLAT MOUNT LEBONG REGENCY, BENGKULU

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN 4 II. METODE PENELITIAN 1. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1.1 Materi Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan dari Ordo Siluriformes koleksi Dr. Agus Nuryanto yang disimpan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 9 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2011 sampai dengan Juli 2012. Kegiatan ekstraksi DNA sampai PCR-RFLP dilakukan di laboratorium Analisis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 15 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis DNA 4.1.1 Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA merupakan langkah awal dalam analisis molekuler. Masalah-masalah yang timbul dalam ekstraksi DNA merupakan hal yang penting

Lebih terperinci

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI 1 ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI PENDAHULUAN Polimerase Chain Reaction (PCR) PCR adalah suatu reaksi invitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut: BAB III METODE PENELITIAN Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel, lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh, amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan

Lebih terperinci

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp.

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. GENERASI F0 BAMBANG KUSMAYADI GUNAWAN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-) HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Daerah D-loop Amplifikasi daerah D-loop DNA mitokondria (mtdna) pada sampel DNA sapi Bali, Madura, Pesisir, Aceh, dan PO dilakukan dengan menggunakan mesin PCR Applied

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah D-loop

Lebih terperinci

Kolokium Liliani Isna Devi G

Kolokium Liliani Isna Devi G Kolokium Liliani Isna Devi G34080057 Liliani Isna Devi, Achmad Farajallah, dan Dyah Perwitasari. 2011. Identifikasi Larva Famili Gobiidae dari Sungai Kedurang, Bengkulu melalui DNA Barcode. Kolokium disampaikan

Lebih terperinci

Kolokium Liliani Isna Devi G

Kolokium Liliani Isna Devi G Kolokium Liliani Isna Devi G34080057 Liliani Isna Devi, Achmad Farajallah, dan Dyah Perwitasari. 2011. Identifikasi Larva Famili Gobiidae dari Sungai Kedurang, Bengkulu melalui DNA Barcode. Kolokium disampaikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Goin dan Goin (1971), klasifikasi dan sistematika amfibi adalah sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Goin dan Goin (1971), klasifikasi dan sistematika amfibi adalah sebagai 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistematika Amfibi Menurut Goin dan Goin (1971), klasifikasi dan sistematika amfibi adalah sebagai berikut: Kingdom Animalia, Filum Chordata, Sub-filum Vertebrata, Kelas Amphibia,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode deskriptif (Nazir, 1983). B. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Survei penyakit klorosis dan koleksi sampel tanaman tomat sakit dilakukan di sentra produksi tomat di daerah Cianjur, Cipanas, Lembang, dan Garut. Deteksi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Pada bagian ini akan diuraikan teori-teori dasar yang dijadikan sebagai landasan dalam penulisan tugas akhir ini. 2.1 Ilmu Bioinformatika Bioinformatika merupakan kajian yang mengkombinasikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 Metode Pengamatan morfologi mengacu pada kriteria yang digunakan oleh Rifai (1976) dan Vogel (1987). Analisis molekuler, ekstraksi DNA dari daun muda tanaman mangga mengikuti prosedur CTAB (Doyle & Doyle

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode 22 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode penelitian deskriptif. B. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS BERUDU ANURA DI SUNGAI CIBEUREUM TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT

STRUKTUR KOMUNITAS BERUDU ANURA DI SUNGAI CIBEUREUM TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT Media Konservasi Vol. 18, No. 1 April 2013 : 10 17 STRUKTUR KOMUNITAS BERUDU ANURA DI SUNGAI CIBEUREUM TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT (Anura Tadpoles Community Structure in Cibeureum

Lebih terperinci

VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum

VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum Pendahuluan Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu teknik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang mendeskripsikan suatu gambaran yang sistematis dengan

Lebih terperinci

KAJIAN PENANDA GENETIK GEN CYTOCHROME B DAN DAERAH D-LOOP PADA Tarsius sp. OLEH : RINI WIDAYANTI

KAJIAN PENANDA GENETIK GEN CYTOCHROME B DAN DAERAH D-LOOP PADA Tarsius sp. OLEH : RINI WIDAYANTI KAJIAN PENANDA GENETIK GEN CYTOCHROME B DAN DAERAH D-LOOP PADA Tarsius sp. OLEH : RINI WIDAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 i ABSTRACT RINI WIDAYANTI. The Study of Genetic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbesar di seluruh dunia. Nenek moyang ikan mas diduga berasal dari Laut Kaspia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbesar di seluruh dunia. Nenek moyang ikan mas diduga berasal dari Laut Kaspia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan mas merupakan salah satu ikan dengan penyebaran dan domestikasi terbesar di seluruh dunia. Nenek moyang ikan mas diduga berasal dari Laut Kaspia dan dari lokai

Lebih terperinci

Berry Fakhry Hanifa dkk. Kajian Keanekaragaman dan Kemelimpahan Ordo Anura Sebagai Indikator Lingkungan Pada Tempat Wisata di Karesidenan Kediri

Berry Fakhry Hanifa dkk. Kajian Keanekaragaman dan Kemelimpahan Ordo Anura Sebagai Indikator Lingkungan Pada Tempat Wisata di Karesidenan Kediri KAJIAN KEANEKARAGAMAN DAN KEMELIMPAHAN ORDO ANURA SEBAGAI INDIKATOR LINGKUNGAN PADA TEMPAT WISATA DI KARESIDENAN KEDIRI Berry Fakhry Hanifa 1) Nadya Ismi 2) Wahyu Setyobudi 2) Budhi Utami 1) 1) Laboratorium

Lebih terperinci

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis KATAPENGANTAR Fuji syukut ke Hadirat Allah SWT. berkat rahmat dan izin-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang beijudul "Skrining Bakteri Vibrio sp Penyebab Penyakit Udang Berbasis Teknik Sekuens

Lebih terperinci

GAMBARAN RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) GEN SITOKROM b DNA MITOKONDRIA DARI SEMBILAN SPESIES IKAN AIR TAWAR KONSUMSI DENNY SAPUTRA

GAMBARAN RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) GEN SITOKROM b DNA MITOKONDRIA DARI SEMBILAN SPESIES IKAN AIR TAWAR KONSUMSI DENNY SAPUTRA GAMBARAN RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) GEN SITOKROM b DNA MITOKONDRIA DARI SEMBILAN SPESIES IKAN AIR TAWAR KONSUMSI DENNY SAPUTRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sintesis fragmen gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sintesis fragmen gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI OPTIMAL REAKSI AMPLIFIKASI Sintesis fragmen 688--1119 gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur A/Indonesia/5/2005 dilakukan dengan teknik overlapping extension

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan disajikan hasil dan pembahasan berdasarkan langkah-langkah penelitian yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya dalam empat bagian yang meliputi; sampel mtdna,

Lebih terperinci

LAPORAN II (ISOLASI DNA GENOM)

LAPORAN II (ISOLASI DNA GENOM) LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN II (ISOLASI DNA GENOM) KHAIRUL ANAM P051090031/BTK BIOTEKNOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 0 ISOLASI DNA GENOM TUJUAN 16s rrna. Praktikum

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium BIORIN (Biotechnology Research Indonesian - The Netherlands) Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Penelitian

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN II (ISOLASI DNA GENOM) KHAIRUL ANAM P051090031/BTK BIOTEKNOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 0 ISOLASI DAN IDENTIFIKASI DNA SEL MUKOSA

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetik Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI Halaman : 1 dari 5 ISOLASI TOTAL DNA HEWAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan hewan, dapat dari insang, otot, darah atau jaringan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI IKAN. Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA. Mata Kuliah Iktiologi

IDENTIFIKASI IKAN. Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA. Mata Kuliah Iktiologi IDENTIFIKASI IKAN Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA Mata Kuliah Iktiologi IDENTIFIKASI Suatu usaha pengenalan dan deskripsi yang teliti serta tepat terhadap spesies, dan memberi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah.

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus : Animalia : Chordata

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode 24 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode penelitian deskriptif. B. Objek Penelitian Empat spesies burung anggota Famili

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE. Tempat pengambilan sampel daun jati (Tectona grandis Linn. f.) dilakukan di

II. MATERI DAN METODE. Tempat pengambilan sampel daun jati (Tectona grandis Linn. f.) dilakukan di II. MATERI DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Tempat pengambilan sampel daun jati (Tectona grandis Linn. f.) dilakukan di enam desa yaitu tiga desa di Kecamatan Grokgak dan tiga desa di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Suhu Annealing pada Program PCR terhadap Keberhasilan Amplifikasi DNA Udang Jari (Metapenaeus elegans) Laguna Segara Anakan

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI ISOLASI TOTAL DNA TUMBUHAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA PHYTOPURE Halaman : 1 dari 5 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan tumbuhan, dapat dari daun, akar, batang,

Lebih terperinci

menggunakan program MEGA versi

menggunakan program MEGA versi DAFTAR ISI COVER... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii PRAKATA... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... x INTISARI... xi ABSTRACT... xii PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling 16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling sel folikel akar rambut. Sampel kemudian dilisis, diamplifikasi dan disekuensing dengan metode dideoksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang

BAB I PENDAHULUAN. Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang mudah dikenali dan distribusinya tersebar luas di dunia. Dominan hidupnya di habitat terestrial. Kelimpahan

Lebih terperinci

Sub Bab Gastrulasi mengatur kembali blastula untuk membentuk sebuah embrio berlapis tiga dengan perut primitif

Sub Bab Gastrulasi mengatur kembali blastula untuk membentuk sebuah embrio berlapis tiga dengan perut primitif UNIT TUJUH BENTUK DAN FUNGSI HEWAN BAB 47 Perkembangan Hewan Sub Bab mengatur kembali blastula untuk sebuah embrio berlapis tiga perut primitif Teks Asli Penghapusan Penyisipan Teks Dasar Proses morfogenetik

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 24 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi dan Purifikasi Bakteri Isolasi merupakan proses pemindahan organisme dari habitat asli ke dalam suatu habitat baru untuk dapat dikembangbiakkan. Purifikasi merupakan

Lebih terperinci

Volume 12, Nomor 1, Juni 2013

Volume 12, Nomor 1, Juni 2013 Volume 12, Nomor 1, Juni 2013 1-8 KOMUNITAS GASTROPOD (MOLUSK) DI PERAIRAN TELUK AMBON BAGIAN DALAM, MALUKU Muhammad Masrur Islami PENGARUH SILIKA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN STRUKTUR ANATOMI DAUN PADI (Oryza

Lebih terperinci

KAJIAN MOLEKULER BAKTERI ASAM LAKTAT ISOLAT 9A HASIL ISOLASI DARI KOLON SAPI BALI MELALUI ANALISIS GEN 16S rrna SKRIPSI

KAJIAN MOLEKULER BAKTERI ASAM LAKTAT ISOLAT 9A HASIL ISOLASI DARI KOLON SAPI BALI MELALUI ANALISIS GEN 16S rrna SKRIPSI KAJIAN MOLEKULER BAKTERI ASAM LAKTAT ISOLAT 9A HASIL ISOLASI DARI KOLON SAPI BALI MELALUI ANALISIS GEN 16S rrna SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar

Lebih terperinci

AMPLIFIKASI GEN 18S rrna PADA DNA METAGENOMIK MADU DARI DESA SERAYA TENGAH, KARANGASEM DENGAN TEKNIK PCR (POLYMERASE CHAIN REACTION)

AMPLIFIKASI GEN 18S rrna PADA DNA METAGENOMIK MADU DARI DESA SERAYA TENGAH, KARANGASEM DENGAN TEKNIK PCR (POLYMERASE CHAIN REACTION) AMPLIFIKASI GEN 18S rrna PADA DNA METAGENOMIK MADU DARI DESA SERAYA TENGAH, KARANGASEM DENGAN TEKNIK PCR (POLYMERASE CHAIN REACTION) SKRIPSI Oleh: SATRIYA PUTRA PRAKOSO NIM. 1208105013 JURUSAN KIMIA FAKULTAS

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Sampel Pengambilan Sampel Ekstraksi DNA Primer

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Sampel Pengambilan Sampel Ekstraksi DNA Primer MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga Nopember 2010. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetik Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetik Ternak,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 19 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2010 di Laboratorium Mikrobiologi, Biokimia dan Bioteknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil

Lebih terperinci

Pengambilan sampel tanah dari lahan tambang timah di Belitung. Isolasi bakteri pengoksidasi besi dan sulfur. Pemurnian isolat bakteri

Pengambilan sampel tanah dari lahan tambang timah di Belitung. Isolasi bakteri pengoksidasi besi dan sulfur. Pemurnian isolat bakteri Lampiran 1. Skema Kerja Penelitian Pengambilan sampel tanah dari lahan tambang timah di Belitung Isolasi bakteri pengoksidasi besi dan sulfur Pemurnian isolat bakteri Karakteriasi isolat bakteri pengoksidasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh kokoh, leher pendek, paruh ramping dan cere berdaging. Distribusi burung Famili Columbidae tersebar

Lebih terperinci

METODE. Materi. Tabel 1. Jumlah Sampel DNA yang Digunakan dan Asal Pengambilan Sampel Darah.

METODE. Materi. Tabel 1. Jumlah Sampel DNA yang Digunakan dan Asal Pengambilan Sampel Darah. METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetik Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci