BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 52 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Data Land Surface Temperature (LST) MODIS pada Wilayah Penelitian Gambaran Umum Data Land Surface Temperature (LST) MODIS LST MODIS merupakan suatu rangkaian produk yang melewati berbagai proses yang meliputi transformasi secara spasial dan temporal, untuk kemudian menjadi suatu produk data global harian, 8 harian, serta bulanan. LST MODIS memiliki 7 produk data LST yang memiliki resolusi spasial sebesar 1 km arah nadir dan tutupan nominal 2030 atau 2040 garis (sepanjang track, sekitar 5 menit perekaman MODIS) dengan 1354 pixel tiap garisnya. Level data produk LST antara lain : Level 1B (L1B) merupakan scene data MODIS yang bergeolokasi di sekitar pusat lintang dan bujur dengan resolusi pixel 1 km; Produk level 2 (L2) yaitu produk geofisik dengan lintang dan bujur sebagai orientasi, dan tidak digunakan secara spasial dan temporal; dan produk level 3 (L3) yang merupakan produk geofisik yang digunakan secara spasial dan temporal, dan biasanya merupakan format jaringan proyeksi peta dalam bentuk tiles (Wan, 2007). Pada penelitian ini, MOD11A2 merupakan produk level 3 (L3) LST MODIS, dengan resolusi spasial 1 km, resolusi temporal 8 harian, dan proyeksi peta sinusoidal. MOD11A2 tersebut merupakan produk LST 8 harian yang didapat dengan merata-ratakan dua hingga delapan harian produk MOD11A1. Menurut Vancutsem et al. (2010), produk MOD11A2 lebih baik apabila digunakan sebagai parameter suhu permukaan daratan karena variabilitasnya yang lebih rendah terhadap data stasiun, jika dibandingkan dengan variabilitas pada MOD11A1. Sehingga, pada penelitian ini, parameter suhu permukaan daratan didapatkan dari data LST MOD11A2. Secara visual, citra LST MODIS memiliki kenampakan seperti pada Gambar a. Pada gambar tersebut, masing-masing pixel memiliki nilai suhu permukaan daratan (K). Pada penggunaannya, nilai suhu tersebut diubah dalam bentuk 0 C dengan menggunaan fitur Band Math pada software Envi 4.5. Semakin putih kenampakan pixel pada citra, menunjukkan semakin tingginya suhu

2 53 25 permukaan daratan yang diestimasi oleh MODIS. Sementara, warna hitam menunjukkan kondisi no data area. Kondisi no data area akan tercapai apabila suatu wilayah tertentu merupakan wilayah lautan, atau wilayah yang terkontaminasi oleh tutupan awan dan kondisi cuaca yang buruk. a). LST day MODIS b). LST night MODIS Gambar a Kenampakan Visual LST MODIS day (a) dan night (b) Kualitas dan Ketersediaan Data LST MODIS tahun Secara Spasial dan Temporal Ketersediaan dan kualitas data LST MODIS tahun dianalisis dengan membandingkan nilai LST rata-rata dan nilai rataan suhu harian Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor. Nilai LST MODIS diambil menurut koordinat lokasi yang sama dengan lokasi Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor. Selain ketersediaan dan kelengkapan datanya, Bogor dipilih karena lokasinya tidak terlalu jauh dengan wilayah pengamatan. Pada tahapan ini, diasumsikan bahwa

3 54 26 dengan dilakukannya perbandingan pada stasiun klimatologi Darmaga, Bogor maka hasil perbandingan tersebut juga akan memberikan korelasi yang sama terhadap wilayah penelitian. Nilai LST mean (rata-rata) didapatkan dengan merata-ratakan nilai LST day dan LST night delapan harian. Selanjutnya, nilai suhu (T) rataan delapan harian dari stasiun klimatologi (Staklim), dibandingkan dengan nilai LST rataan delapan harian MODIS dan disajikan dalam Gambar a. Berdasarkan Gambar a, terlihat bahwa data LST MODIS umumnya tersedia cukup baik pada bulan-bulan tertentu, seperti bulan Mei hingga September. Ketersediaannya pada awal tahun dan akhir tahun umumnya semakin buruk. Diantara ketiga data tahun tersebut, terlihat bahwa tahun 2008 memberikan korelasi yang cukup baik antara data LST MODIS dan data suhu stasiun iklim. Namun, pada bulan dan hari tertentu, terdapat data LST MODIS yang menyimpang hingga hampir 2 0 C dibandingkan data stasiun iklim. Perbedaan tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh fluktuasi cuaca serta faktor perbedaan skala (titik vs areal). Tahun 2009 memberikan pola data LST mean yang cenderung lebih rendah dari data suhu stasiun pada bulan Mei hingga Juli. Namun, pada bulan Agustus hingga Oktober, data LST mean menunjukkan kondisi sebaliknya, yaitu data LST menjadi lebih tinggi dibandingkan data suhu stasiun. Ketersediaan data yang terdapat pada tahun 2009 tergolong cukup baik dibandingkan ketersediaan data pada tahun 2008 dan Tahun 2010 merupakan tahun dengan ketersediaan dan kualitas data LST paling buruk dibandingkan ketiga tahun lainnya. Gambar a menunjukkan bahwa hanya terdapat beberapa titik LST yang tersedia sepanjang tahun Apabila pola tersebut kemudian dikaitkan dengan fenomena iklim yang terjadi pada tahun , maka fenomena El Nino dan La Nina turut berkontribusi terhadap fluktuasi nilai suhu udara seperti yang ditampilkan pada tabel b. Pada tabel tersebut, indeks ONI (Oceanic Nino Index) merupakan indeks yang digunakan sebagai salah satu parameter terjadinya fenomena El Nino dan La Nina. Warna merah menunjukkan terjadinya fenomena El Nino, sedangkan warna biru menunjukkan terjadinya fenomena La Nina. Adapun nilai

4 55 27 kekuatan El Nino dan La Nina dibagi menjadi 3, yaitu lemah (antara 0,5 sampai 0,9), sedang (1-1,4), dan kuat ( 1,5). Gambar a Kualitas Data LST MODIS dibandingkan dengan data T Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor Tahun Pada tabel b terlihat bahwa pada awal tahun 2009, kondisi iklim cenderung normal. Sementara menuju akhir tahun 2009, terdapat fenomena El Nino yang semakin menguat. Fenomena El Nino yang identik dengan kekeringan, akan berpengaruh terhadap estimasi data LST MODIS. Pengambilan data LST MODIS yang dilakukan pada siang hari (LSTday) umumnya memiliki akurasi yang lebih rendah dibandingkan pada malam hari (LSTnight). Sehingga, nilai LST yang diestimasi MODIS dapat menjadi lebih tinggi dibandingkan kondisi sebenarnya. Puncak El Nino mengakibatkan akurasi LSTday menjadi lebih rendah. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh kontribusi atmosfer lokal seperti iradiasi, dan lain-lain. Sementara, pada pengukuran LST night, hanya terdapat pancaran iradiasi dengan gangguan atmosfer yang minimum. Akibatnya, terdapat perbedaan nilai LSTday yang cukup besar dan akhirnya mempengaruhi nilai rata-rata LST.

5 56 28 Ketersediaan data yang minim pada tahun 2010, dapat pula dikaitkan dengan fenomena El Nino dan La Nina. Pada Tabel b, terlihat bahwa sepanjang tahun 2010, terjadi fenomena El Nino pada awal tahun, yang kemudian diikuti dengan fenomena La Nina pada akhir tahun. Sehingga, hal tersebut memberikan kontribusi terhadap minimnya ketersediaan data LST yang diestimasi oleh MODIS. Tabel b. Indeks ONI (Oceanic Nino Index) sebagai Salah Satu Parameter Terjadinya El Nino dan La Nina. Sumber : Namun secara umum, ketersediaan data yang minim pada awal tahun dan akhir tahun sepanjang , diduga terkait oleh perbedaan musim. Menurut Tomlinson et al. (2011) perbedaan musim akan berpengaruh terhadap ketersediaan citra (meningkatnya tutupan awan) dan akurasi (meningkatnya hujan akan menyebabkan basahnya permukaan sehingga membuat pengukuran LST menjadi bias). 5.2 Hasil Validasi Nilai LST MODIS dengan Nilai Suhu (T) pada Stasiun Iklim Pola Suhu Harian Darmaga pada Tahun Validasi data LST MODIS merupakan tahapan yang menggambarkan hubungan keterkaitan antara nilai LST MODIS dengan nilai suhu udara yang terdapat pada stasiun klimatologi. Pada tahapan ini, terdapat kendala terkait kelengkapan dan ketersediaan data suhu harian pada stasiun klimatologi yang terdapat di wilayah DAS Cimadur, sehingga validasi data LST MODIS dilakukan pada stasiun klimatologi Darmaga, Bogor yang memiliki ketersediaan dan kelengkapan data suhu harian yang cukup baik. Diharapkan dengan dilakukannya validasi pada stasiun klimatologi Darmaga, Bogor maka hasil validasi tersebut juga akan memberikan korelasi yang sama terhadap wilayah penelitian.

6 29 57 Tahapan validasi data MODIS diawali dengan melihat pola suhu harian yang terdapat pada stasiun klimatologi Darmaga. Hal ini bertujuan untuk melihat pola suhu udara Bogor pada tahun dan peristiwa iklim yang mungkin terjadi pada tahun-tahun tersebut. Berdasarkan grafik yang ditampilkan pada Gambar a, terlihat bahwa suhu udara pada tahun memiliki pola yang berbeda-beda setiap tahunnya. Tahun 2008, misalnya, memiliki suhu udara yang tergolong cukup rendah dibandingkan suhu udara pada tahun 2009 dan 2010, khususnya pada bulan Februari hingga Maret. Tahun 2009, bulan-bulan dengan suhu tertinggi berada sekitar bulan Agustus hingga November. Sedangkan pada tahun 2010, suhu tertinggi terdapat pada bulan April hingga Mei. Jika Gambar a tersebut kemudian dibandingkan kembali dengan Tabel a, terlihat bahwa penurunan suhu udara yang terjadi pada awal-awal tahun pada tahun 2008, terjadi akibat fenomena La Nina yang berlangsung dengan kekuatan sedang. Curah hujan tinggi yang berlangsung pada awal tahun 2008 menyebabkan suhu udara harian yang terukur menjadi lebih rendah dibandingkan bulan-bulan lainnya pada tahun tersebut. Untuk tahun 2009, terlihat bahwa ketika fenomena El Nino berlangsung semakin menguat pada akhir-akhir tahun, maka suhu udara kemudian meningkat menjadi lebih tinggi pada akhir tahun tersebut. Hal ini juga ditunjukkan dengan pengaruh El Nino yang terjadi pada tahun 2010 (April-Mei). Tahun 2010 merupakan tahun yang cukup kompleks pada terjadinya fenomena El Nino dan La Nina. Terlihat bahwa suhu udara yang semakin menurun pada akhir tahun 2010, disebabkan oleh munculnya fenomena La Nina yang kemudian semakin menguat. Secara umum, Gambar a menunjukkan bahwa walaupun fluktuasi suhu udara yang terjadi pada setiap tahun pengamatan memiliki pola yang berbeda-beda, masih terdapat korelasi yang cukup stabil diantara ketiga tahun tersebut pada bulan-bulan tertentu. Grafik menunjukkan bahwa korelasi yang cukup stabil umumnya terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Sementara, pada bulan-bulan lainnya cenderung bervariasi akibat kemarau yang cukup tinggi ataupun puncak musim hujan.

7 58 30 Temperature (C) Fluktuasi Suhu Harian Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor Tahun Ja F M A M Ju Ju A Sep O Nov De Bulan TAHUN 2008 TAHUN 2009 TAHUN 2010 Gambar a. Fluktuasi Suhu Harian Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor Tahun Hasil Validasi Data LST MODIS Tahun 2011 dan Data Suhu (T) Stasiun Klimatologi pada Berbagai Ketinggian dan Waktu Berdasarkan hasil analisis pola suhu harian Stasiun Darmaga, Bogor dan analisis ketersediaan serta kualitas data LST MODIS tahun , terlihat bahwa data LST MODIS tersedia cukup baik pada bulan-bulan kering (musim kemarau), yaitu sekitar bulan April hingga September. Sementara, pada bulan lainnya, terutama bulan-bulan basah, ketersediaan data MODIS cenderung minim dan bahkan tidak ada. Dengan demikian, validasi data LST MODIS hanya dilakukan pada bulan April hingga September. Tahun 2011 dipilih sebagai tahun validasi karena belum tersedianya data suhu pada berbagai ketinggian pada tahun Validasi yang dilakukan pada berbagai ketinggian bertujuan untuk mengkaji sensitivitas nilai LST yang MODIS terhadap nilai stasiun iklim, dan pada ketinggian berapa nilai LST tersebut bersesuaian dengan suhu permukaan lahan. Validasi yang dilakukan pada berbagai waktu bertujuan untuk mencari hubungan antara LSTday dan LSTnight pada MODIS, dengan Tmax dan Tmin yang terukur pada stasiun klimatologi. Sebelumnya, penelitian Maeda et al. (2011) di Kenya dan Vancutsem et al. (2010) di Afrika, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup dekat antara LST night yang terukur pada MODIS dengan T min pada stasiun klimatologi, dan juga LST day pada MODIS dengan Tmax pada stasiun klimatologi.

8 Hasil Validasi Data LST MODIS day Tahun 2011 dan Data Suhu (T) Stasiun Klimatologi pada Berbagai Ketinggian. Stasiun klimatologi Darmaga, Bogor memiliki beberapa stasiun agroklimat yang digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban udara pada berbagai ketinggian. Stasiun AGM-1C tersebut terutama diperuntukkan untuk keperluan data terkait bidang pertanian. Beberapa ketinggian yang diukur pada stasiun AGM-1C antara lain adalah 5 cm, 10 cm, 15 cm, 30 cm, 50 cm, 150 cm, dan 200 cm. Pada stasiun ini, pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer Physchrometer Assman. Pengukuran dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pada pukul dan WIB. Sedangkan pengukuran suhu harian rata-rata yang umum digunakan dan diberikan kepada pengguna, merupakan pengukuran suhu rata-rata harian yang berasal dari sangkar meteo, dengan menggunakan termometer bola kering (sesuai dengan standar World Meteorology Organization). Suhu harian rata-rata tersebut diukur pada ketinggian sangkar meteo 120 cm dan pada rataan pengukuran waktu tertentu yaitu pukul (dua kali), 13.00, dan WIB. Berdasarkan hal tersebut, maka suhu harian yang dibandingkan dengan data LST MODIS merupakan suhu yang berasal dari stasiun AGM-1C pada ketinggian 5 cm dan 100cm, serta suhu yang berasal dari sangkar meteo 120 cm (sebagai sumber data yang umum digunakan oleh pengguna). Sedangkan, waktu pengambilan data dilakukan pada Tmax (pukul WIB untuk T pada sangkar meteo, dan pukul WIB untuk T pada stasiun AGM 1-C), untuk kemudian dibandingkan dengan LST MODIS day yang diukur pada waktu lokal solar

9 60 32 a). Sangkar Meteo b). Termometer Bola Basah-Kering Sumber: c). Phsychrometer Assman Gambar a Alat Ukur Suhu Pada Stasiun Klimatologi. Gambar b menunjukkan bahwa pada berbagai ketinggian stasiun iklim, pengukuran suhu pada siang hari ternyata memiliki fluktuasi yang berbeda- beda walaupun membentuk pola yang cenderung mirip satu sama lain. Garis antar stasiun yang ditunjukkan pada gambar b, cenderung sejajar/berhimpit hanya pada Julian Days awal. Jika garis antar stasiun iklim tersebut kemudian dibandingkan dengan garis LST, LST, terlihat bahwa garis LST, hanya sejajar atau berhimpit pada bulan-bulan tertentu saja. Sedangkan fluktuasinya di beberapa bulan terlihat masih menyimpang cukup jauh ( 2 hingga 30C). Seperti yang telah disebutkan pada sub bab sebelumnya, bahwa penyimpangan penyimpangan nilai LST dan stasiun, dapat terjadi akibat kondisi cuaca, faktor skala, dan juga efek angular anistropi yang bisa menyebabkan tingginya nilai pantulan, bauran, serta efek bayangan pada pengukuran di siang hari (Tomlinson et al., 2011; Vancutsem et al., 2010).

10 61 33 Gambar b Grafik Perbandingan LST MODIS day dan Suhu Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor pada Berbagai Ketinggian. Gambar c juga menunjukkan bahwa hubungan terdekat antara LST MODIS day dengan T stasiun, diperoleh T stasiun pada ketinggian 5 cm dengan nilai R 2 sebesar 0,362. Sementara itu, R 2 antara LST MODIS day dan T stasiun 100 cm adalah 0,304. Sedangkan nilai R 2 terkecil didapatkan dari hubungan antara LST MODIS day dan T stasiun 120 cm, yaitu 0,277. Terlihat bahwa nilai LST day pada data MODIS lebih erat kaitannya pada T stasiun dengan ketinggian 5 cm, walaupun secara umum, perbedaan antara ketiga ketinggian tersebut tidak menghasilkan nilai R 2 yang jauh berbeda. a). LSTday-T 5 b). LSTday-T 100 c). LSTday-T 120 Gambar c Nilai R 2 antara LST MODIS day dan T stasiun pada Berbagai Ketinggian Hasil Validasi Data LST MODIS night Tahun 2011 dan Data Stasiun Klimatologi pada Berbagai Ketinggian. Proses validasi MODIS night dilakukan pada bulan Mei hingga September Hal ini disebabkan oleh data MODIS night yang tidak tersedia pada bulan April. Secara umum, data LST night lebih sulit tersedia dibandingkan dengan data LST day. Validasi LST MODIS night dilakukan dengan membandingkan T

11 34 62 stasiun pada ketinggian 5, 100, dan 120 cm pada pukul WIB (untuk pengukuran T sangkar meteo) dan WIB (untuk pengukuran T pada stasiun AGM-1C), dengan LST MODIS night pada waktu akuisisi waktu lokal solar. Gambar a Grafik Perbandingan LST MODIS night dan Suhu Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor pada Berbagai Ketinggian. Gambar a menunjukkan bahwa pada pengukuran suhu minimum, terdapat hubungan yang cukup dekat antara stasiun pada ketinggian 5 cm dan 100 cm. Sementara itu, pada stasiun dengan ketinggian 120 cm, terdapat perbedaan pengukuran suhu hingga mencapai 2 0 C jika dibandingkan dengan kedua nilai suhu lainnya. Hal tersebut mengindikasikan adanya perbedaan nilai yang disebabkan oleh perbedaan alat ukur pengukuran suhu udara. Jika dibandingkan antara nilai LST night dengan nilai T stasiun, terlihat bahwa garis LST night cenderung berhimpit pada pengukuran T stasiun 120 cm. Hal ini tentu berbeda dengan kondisi pada LST day, yang cenderung mendekati nilai Tstasiun pada ketinggian 5 cm. Terdapat dua asumsi terkait perbedaan nilai tersebut. Asumsi pertama, jika nilai LST MODIS berada pada ketinggian 5 cm, maka perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan waktu akuisisi data dan pengambilan data T stasiun. Pada LST MODIS night, pengambilan data dilakukan pada pukul waktu lokal solar. Sementara, pada T stasiun, pengambilan data dilakukan pada pukul WIB. Dengan demikian, nilai Tmin yang dimaksud pada LST MODIS night, menjadi terlihat lebih setara dengan pengukuran T stasiun pada ketinggian 120 cm. Asumsi kedua adalah nilai LST memang berada di sekitar ketinggian 120 cm dari permukaan lahan. Sehingga, LST night tepat mendekati nilai stasiun iklim

12 35 63 pada ketinggian 120 cm. Sementara, hubungan antara nilai LST day yang tidak terlalu erat dengan T stasiun pada ketinggian 120 cm, lebih disebabkan oleh besarnya bias yang terjadi pada pengukuran siang hari oleh sensor MODIS. Pada asumsi kedua ini, bias waktu kurang dipertimbangkan. a). LSTnight-T 5 b). LSTnight-T 100 c). LSTnight-T 120 Gambar b Nilai R 2 antara LST MODIS night dan T stasiun pada Berbagai Ketinggian. Sementara, analisis regresi (Gambar b) menunjukkan bahwa R 2 terbesar ditunjukkan pada ketinggian 100 cm. Nilai R 2 pada ketinggian tersebut adalah 0,567. Selanjutnya, nilai R 2 terbesar kedua didapatkan dari ketinggian 5 cm, yaitu 0,442. Pada ketinggian 120 cm, yang justru terlihat lebih dekat dengan LST MODIS night, ternyata hanya memiliki nilai R 2 sebesar 0,283. Hal ini disebabkan oleh fluktuasi nilai LST MODIS night yang pada beberapa titik cenderung lebih tinggi atau lebih rendah. Sehingga, walaupun garis LST MODIS night cenderung berhimpitan dengan T pada ketinggian 120 cm, nilai R 2 yang dihasilkannya akan menjadi lebih kecil. 5.3 Perhitungan Evapotranspirasi dengan metode Blaney-Criddle Ketersediaan Data Evapotranspirasi Secara Spasial dan Temporal Hasil perhitungan evapotranspirasi potensial dengan menggunakan metode Blaney-Criddle disajikan secara spasial dan temporal pada gambar a. Nilai evapotranspirasi potensial tersebut dibagi menjadi delapan kelas dengan rentang 0,2 mm. Sehingga memiliki nilai evapotranspirasi potensial antara 4,45 sampai 5,65 mm dan No Data area. Pada gambar tersebut, terlihat bahwa ketersediaan data evapotranspirasi potensial yang dibangun dengan basis data penginderaan jauh, mengalami kendala dalam hal ketersediaan data. Secara umum, pada awal

13 64 36 dan akhir tahun dari keempat tahun pengamatan, memiliki 0% ketersediaan data pada wilayah penelitian (tabel a). Pada tahun 2008, terdapat 0% ketersediaan data pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Oktober, November, dan Desember. Ketersediaan data pada tahun 2008 dimulai pada bulan Mei dengan 24,2% ketersediaan data. Selanjutnya, menurun menjadi 22,6% pada bulan Juni dan meningkat menjadi 33,5% pada bulan Juli. Sementara, pada bulan Agustus dan September, ketersediaannya semakin menurun dari 8,9% menjadi 2,4%. Tahun 2009 memiliki ketersediaan data yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tahun Namun, ketersediaan data pada tahun 2009, baru tersedia sejak bulan Juni hingga Oktober. Pada bulan Juni 2009, ketersediaan data sebesar 18,5% dan meningkat pada bulan Juli menjadi 99,2%. Selanjutnya, ketersediaannya kembali menurun pada bulan Agustus menjadi 81% dan meningkat kembali menjadi 95,2% pada bulan September. Pada bulan Oktober, data tersedia hanya mencapai 0,4%. Tabel a Persentase Ketersediaan Data pada Hasil Perhitungan Evapotranspirasi Potensial. Bulan Jumlah Data Tersedia % Data Tersedia Januari % 0% 0% 0% Februari % 0% 0% 0% Maret % 0% 0% 0% April % 0% 5,2% 0% Mei ,2% 0% 0% 57,7% Juni ,6% 18,5% 0% 0% Juli ,5% 99,2% 27,8% 91,9% Agustus ,9% 81% 12,5% 83,5% September ,4% 95,2% 0% 84,7% Oktober % 0,4% 0% 0% November % 0% 0% 0% Desember % 0% 0% - Total Data/Pixel 248 Tahun 2010 memiliki ketersediaan data yang paling buruk jika dibandingkan dengan ketiga tahun pengamatan lainnya. Pada tahun 2010, data mulai tersedia pada bulan April dengan ketersediaan sebesar 5,2%. Kemudian,

14 37 65 kembali menjadi 0% pada bulan Juni. Ketersediaan data tertinggi terdapat pada bulan Juli dengan ketersediaan sebesar 27,8% dan kembali menurun pada bulan Agustus menjadi 12,5%. Selanjutnya, pada bulan-bulan berikutnya, ketersediaannya menjadi 0%. Tahun 2011, kualitas ketersediaan data hampir sama dengan ketersediaan data pada tahun Ketersediaan data pada tahun 2011 dimulai pada bulan Mei dengan 57,7% ketersediaan data. Selanjutnya, data kembali tersedia pada bulan Juli sebesar 97,9% dan menurun pada bulan Agustus menjadi 83,5% dan sedikit meningkat menjadi 84,7% pada bulan September. Selain faktor anomali iklim, faktor error internal juga sangat berpengaruh terhadap minimnya ketersediaan data. Faktor error tersebut antara lain dipengaruhi oleh jumlah hari hujan dan hari kering pada satu bulan pengamatan. Dalam satu bulan pengamatan, dibutuhkan data LST MODIS 8 harian sebanyak 3-4 data. Diantara 3-4 data tersebut, tentunya ada beberapa data yang memiliki hari hujan, yang sangat berpotensi pada timbulnya missing data. Dalam kalkulasi Tmean pada penelitian, hasil akhir Tmean sangat ditentukan oleh 3-4 data tersebut. Prinsip perhitungan pada kalkulasi band adalah apabila available data dikalkukalsikan dengan not avilable data, maka hasil akhir proses tersebut akan menghasilkan not available data. Sehingga, walaupun hanya terdapat satu data missing yang terdistribusi cukup merata pada wilayah penelitian, data missing tersebut menjadi sangat potensial untuk memberikan hasil akhir data dengan 0% ketersediaan data. Sehingga, saat dilakukan perhitungan evapotranspirasi potensial, ketersediaan datanya menjadi sangat minim bahkan mencapai 0%.

15 66 38 Distribusi Evapotranspirasi Potensial (ETo) Tahun di DAS Cimadur, Banten Keterangan : Evapotranspirasi dalam satuan mm/hari

16 67 39 Distribusi Evapotranspirasi Potensial (ETo) Tahun di DAS Cimadur, Banten Keterangan : Evapotranspirasi dalam satuan mm/hari

17 68 40 Distribusi Evapotranspirasi Potensial (ETo) Tahun di DAS Cimadur, Banten Keterangan : Evapotranspirasi dalam satuan mm/hari Gambar a Distribusi Evapotranspirasi Potensial Secara Spasial dan Temporal pada Tahun

18 Pola Evapotranspirasi Secara Spasial dan Temporal Pola distribusi evapotranspirasi potensial standar (ETo) secara spasial dan temporal belum bisa dilakukan secara optimal, akibat tidak lengkapnya data dalam satu tahun pengamatan. Namun, jika dilihat secara umum pada setiap tahun pengamatan, wilayah bagian selatan pada DAS Cimadur umumnya memiliki nilai evapotranspirasi yang lebih tinggi dibandingkan wilayah tengah DAS Cimadur, dan berangsur-angsur kembali meningkat pada bagian utara. Pola tersebut nampak sangat jelas pada bulan September Menurut kondisi topografi wilayah penelitian (Gambar a), wilayahwilayah pada bagian utara DAS Cimadur memang memiliki topografi dan elevasi yang lebih tinggi dan cenderung bergunung dibandingkan wilayah pada bagian selatan DAS Cimadur. Pada bagian tengah wilayah utara juga terlihat terdapat suatu cekungan. Kondisi ini diduga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingginya suhu permukaan pada bagian selatan (sehingga mempengaruhi nilai evapotranspirasi) dan semakin rendahnya suhu udara menuju ke utara wilayah DAS Cimadur. Gambar a a). Peta Topografi b). Peta Penggunaan Lahan Peta Topografi (a) dan Penggunaan Lahan (b) pada DAS Cimadur, Hasil dari Interpretasi Citra Google Earth dan ALOS AVNIR-2.

19 42 70 Jika pola tersebut dikaitkan dengan penggunaan lahan yang terdapat pada DAS Cimadur (gambar a), terlihat bahwa pada bagian selatan dari DAS Cimadur didominasi oleh sawah, semak/tegalan, dan kebun campuran. Kemudian, semakin menuju ke arah utara, hutan mulai mendominasi penggunaan lahan pada DAS Cimadur. Pada bagian utara DAS Cimadur, terlihat bahwa dibagian tengah wilayah tersebut, mulai didominasi kembali oleh sawah dan semak/tegalan. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa nilai evapotranspirasi potensial yang didapatkan pada penelitian ini, sangat terkait dengan masukan data suhu dari LST MODIS. Sehingga, jika terdapat pola evapotranspirasi potensial yang terdapat pada gambar a, besar kemungkinan bahwa pola tersebut dipengaruhi oleh suhu udara. Secara umum, suhu permukaan akan meningkat seiring dengan berkurangnya vegetasi yang menutupi permukaan tanah/lahan. Penelitian Hung et al. (2005) dan Sandholt et al. (2002) menunjukkan bahwa hubungan antara LST dan NDVI adalah negatif, yang berarti semakin tinggi suhu permukaan, maka indeks vegetasinya menurun. Sehingga, hal tersebut sesuai dengan apa yang ditampilkan pada Gambar a, bahwa suhu permukaan jauh lebih tinggi pada bagian selatan DAS Cimadur (dengan menganalogikan bahwa nilai evapotranspirasi yang terdapat pada gambar tersebut, berbanding lurus dengan suhu permukaan), akibat pola penggunaan lahannya yang cenderung dipenuhi oleh sawah, semak/tegalan, dan pemukiman. Pada wilayah utara, vegetasi hutan cenderung memiliki suhu/suhu yang lebih rendah. Pada wilayah tengah di sebelah utara DAS Cimadur, kenaikan suhu disebabkan oleh terdapatnya pola penggunaan lahan berupa semak/tegalan dan persawahan pada wilayah tersebut (gambar a). Gambar b menunjukkan hubungan antara elevasi dan LSTmean terhadap penggunaan lahan yang terdapat di DAS Cimadur. Hutan dan sawah dipilih sebagai pembanding terkait dengan karakteristik penggunaan lahan yang sangat berbeda diantara keduanya. Pada analisis tersebut, diambil 6 titik contoh untuk elevasi dan penggunaan lahan yang berbeda. Berdasarkan gambar b, terlihat bahwa penggunaan lahan sawah memberikan nilai suhu yang lebih tinggi

20 43 71 dibandingkan hutan. Bahkan pada elevasi yang relatif sama, sawah masih memiliki nilai suhu yang lebih tinggi dibandingkan hutan. Gambar b juga menunjukkan bahwa, pada penggunaan lahan yang relatif sama, topografi juga berkontribusi terhadap perubahan suhu yang diestimasi oleh LST MODIS. Hal ini dapat diamati pada penggunaan lahan sawah dan hutan, yang memiliki nilai suhu yang semakin meningkat seiring dengan rendahnya elevasi pada wilayah penelitian. Gambar b Hubungan antara Elevasi dan LSTmean pada Berbagai Penggunaan Lahan di DAS Cimadur. Kedua hal tersebut mengindikasikan bahwa suhu yang diestimasi oleh MODIS relatif sensitif terhadap perubahan penggunaan lahan dan juga topografi. Dengan demikian, nilai LST tersebut akan mempengaruhi nilai evapotranspirasi yang dihasilkan dalam penelitian. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa persamaan Blaney-Criddle yang digunakan dalam penelitian ini merupakan persamaan evapotranspirasi potensial dalam keadaan standard. Asumsi yang digunakan adalah kondisi tanaman pendek/rumput, tinggi seragam, menutupi tanah sempurna, dan dalam kondisi cukup air. Dengan demikian, nilai evapotranspirasi yang didapat, tidak spesifik secara langsung untuk jenis penggunaan lahan tertentu. Namun, pola penggunaan lahan dan topografi tetap akan memberikan kontribusi terhadap nilai suhu permukaan lahan, yang merupakan data masukan utama dalam perhitungan nilai ETo. 5.4 Validasi Nilai Estimator Evapotranspirasi Validasi nilai estimator evapotranspirasi dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh perbedaan antara nilai evapotranspirasi yang didapatkan dari hasil

21 72 44 penelitian (ETm), dengan nilai evapotranspirasi yang diukur pada panci evaporasi yang berasal dari stasiun klimatologi Baranangsiang FMIPA IPB (sejak tahun ) dan data Lysimeter (tahun 2009) yang didapatkan dari stasiun klimatologi Darmaga. Panci evaporasi A dan Lysimeter merupakan suatu metode sederhana dalam perhitungan Evapotranspirasi. Validasi diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai keterkaitan data evapotranspirasi hasil perhitungan pada penelitian, dengan dua metode evapotranspirasi sederhana yang juga umum digunakan sebagai standar perhitungan evapotranspirasi. Pada tahap validasi, dilakukan perbandingan antara nilai ETm dengan nilai validator evapotranspirasi (panci evaporasi A dan lysimeter) dengan membandingkan nilai estimator evapotranspirasi rataan dari 1x1 pixel dan 3x3 pixel, dengan nilai yang ditunjukkan oleh validator. Hal ini bertujuan untuk melihat pengaruh spasial nilai evapotranspirasi antara 1x1 pixel dan 3x3 pixel, dan juga untuk menambah ketersediaan data validasi Validasi Data ETm dan Panci Evaporasi A Validasi Data ETm dan panci evaporasi A memiliki kendala terkait ketersediaan data ETm. Nilai ETm tidak bisa didapatkan untuk setiap bulannya karena pengaruh pixel yang mengandung no data area. Pada tahun 2008 dan 2009, data ETm yang tersedia pada titik stasiun Baranangsiang, hanya terdapat pada 1 bulan pengamatan. Bahkan, pada tahun 2010, tidak ada data yang tersedia (Gambar 5.4.a (a dan b))). Namun, validasi terhadap rataan pixel 3x3 pada titik stasiun iklim Baranangsiang ternyata mampu menambah ketersediaan data untuk validasi, walaupun tidak cukup banyak data yang bertambah. Sehingga, pada validasi data ETm, hanya didapatkan total 2 bulan nilai evapotranspirasi pada tahun 2008 dan 2009 (untuk nilai evapotranspirasi 1x1 pixel) dan juga total 5 bulan nilai evapotranspirasi pada tahun 2008 dan 2009 (untuk nilai evapotranspirasi 3x3 pixel). Sedangkan tahun 2010, data tetap tidak tersedia.

22 73 45 a). 1x1 pixel b). 3x3 pixel Gambar a Grafik Validasi Estimator Evapotranspirasi dengan panci evaporasi A. Berdasarkan grafik yang ditunjukkan pada gambar 5.4.a (a dan b), terlihat bahwa perbandingan nilai evapotranspirasi antara 1x1 pixel dengan 3x3 pixel, tidak menghasilkan nilai yang berbeda jauh. Hal ini terlihat dari titik-titik pada pengamatan 1x1 pixel dengan 3x3 pixel, yang tidak mengalami pergeseran yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa pada luasan 9 km 2, nilai evapotranspirasi masih memberikan korelasi yang kuat dengan nilai evapotranspirasi pada luasan wilayah 1 km 2 pada titik pengamatan stasiun. Sementara, perbandingan antara nilai ETm dan nilai evaporasi panci A sendiri, memiliki perbedaan dalam rentang 0,82-1,32 mm (untuk 1x1 pixel) dan 0,62-1,34 mm (untuk 3x3 pixel) Validasi Data ETm dan Lysimeter a). 1x1 pixel b). 3x3 pixel Gambar a Grafik Validasi Estimator Evapotranspirasi dengan Lysimeter. Pada validasi data ETm dan Lysimeter, hanya didapatkan 3 bulan ketersediaan data ETm dari satu tahun pengamatan. Selain kendala yang terdapat pada area no data di titik stasiun iklim Darmaga, minimnya ketersediaan data

23 46 74 juga dipengaruhi oleh terbatasnya distribusi lysimeter dan data tahun lysimeter. Validasi dengan ketersediaan nilai ETm yang minim pada satu stasiun dapat dihindari apabila terdapat beberapa stasiun yang memiliki lysimeter atau memiliki beberapa tahun lysimeter, sehingga titik-titik validasi menjadi lebih tersedia dan akurat untuk dilakukan. Pada grafik yang ditunjukkan pada Gambar a (a dan b), terlihat bahwa pada validasi ETm dan lysimeter, perbandingan nilai evapotranspirasi antara 1x1 pixel dengan 3x3 pixel tidak menghasilkan nilai yang berbeda jauh. Sementara, pada perbandingan antara ETm dan lysimeter, terlihat bahwa pada bulan Juni dan Juli terdapat perbedaan yang cukup tinggi antara nilai ETm dengan nilai evapotranspirasi yang berasal dari lysimeter (berbeda 4,12 mm untuk 1x1 pixel dan 4,13 mm untuk 3x3 pixel pada bulan Juni, dan 3,70 mm untuk 1x1 pixel dan 3,69 mm untuk 3x3 pixel pada bulan Juli). Sementara, pada bulan September, nilai estimator evapotranspirasi cukup dekat dengan nilai lysimeter (nilai lysimeter lebih tinggi 0,45 mm untuk 1x1 pixel dan 0,46 mm untuk 3x3 pixel) Perbandingan Nilai ETm dengan Panci Evaporasi A dan Lysimeter Hasil validasi ETm terhadap kedua validator menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang cukup baik antara nilai ETm dengan panci evaporasi A karena memiliki rentang perbedaan nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan rentang nilai pada lysimeter. Walaupun demikian, pada bulan September beda nilai antara ETm dan lysimeter tidak terlalu besar. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai ET yang dihasilkan berdasarkan perhitungan ternyata lebih mendekati nilai evapotranspirasi potensial yang diukur melalu panci evaporasi A. Besar kemungkinan hal ini disebabkan oleh masukan data pada persamaan Blaney Criddle yang hanya mempertimbangkan faktor iklim seperti suhu dan ratarata persentase harian dari jam siang hari tahunan untuk berbagai lintang, sehingga menghasilkan nilai ET yang cenderung mendekati nilai panci evaporasi A. Pada perhitungan evapotranspirasi dengan menggunakan lysimeter terdapat faktor lain yang harus dipertimbangkan, yaitu curah hujan dan simpanan air tanah. Sehingga,

24 47 75 korelasi lysimeter dengan nilai ET berdasarkan rumus Blaney-Criddle, memberikan perbedaan rentang nilai yang cukup tinggi. Pengaruh faktor iklim terhadap nilai evapotranspirasi, dapat terlihat dari variabilitas nilai evapotranspirasi yang ditunjukkan pada hasil pengukuran panci evaporasi A dan Lysimeter. Panci evaporasi A, yang nilai evapotranspirasinya lebih kuat dipengaruhi oleh faktor iklim, cenderung memberikan nilai evapotranspirasi dengan keragaman yang tidak terlalu besar pada setiap bulannya. Pola yang hampir sama dengan keragaman pada nilai evapotranspirasi yang dihasilkan oleh ETm terjadi di setiap bulannya. Kondisi ini berbeda dengan keragaman yang ditunjukkan pada Lysimeter, dimana terdapat angka evapotranspirasi yang berfluktuasi pada setiap bulan yang berbeda. Hal tersebut menunjukkan bahwa selain faktor iklim, kondisi tanah dan tanaman turut berkontribusi terhadap nilai evapotranspirasi yang dihasilkan. Faktor penting lainnya terkait perbedaan nilai antara ETm dan kedua validator adalah faktor skala. Nilai ETm pada penelitian ini merupakan nilai evapotranspirasi dengan resolusi 1 km, sementara, titik validasi pengamatan hanya berupa petak seluas 1 m x 1 m (pada lysimeter) dan berdiameter ±120 cm (pada panci evaporasi A). Sehingga, nilai yang diduga oleh lysimeter dan panci evaporasi A merupakan salah satu bentuk keragaman data evapotranspirasi yang terdapat dalam luasan 1 km x 1 km. Secara umum, beberapa kendala yang terdapat dalam validasi nilai ETm merupakan ketersediaan data ETm itu sendiri. Tidak tersedianya data ETm pada kedua validasi disebabkan oleh lokasi titik validasi (Bogor), yang merupakan salah satu daerah dengan curah hujan tinggi. Sehingga, ketersediaan data MODIS untuk wilayah Bogor, tidak cukup baik. Selain itu, minimnya data validator (baik berupa data bulan, tahun, maupun stasiun) menyebabkan sulitnya melihat pola variabilitas yang terdapat pada setiap tahun validasi. 5.5 Perbaikan data LSTmean MODIS Pengaruh Perbaikan Data Tdan dan Tnight Terhadap Ketersediaan Data Evapotranspirasi Potensial Secara Spasial dan Temporal Perbaikan data evapotranspirasi potensial dilakukan dengan mengkombinasikan data 8 harian terbaik pada data LSTday dan LSTnight pada

25 76 48 MODIS, sehingga akan memberikan perbaikan terhadap data LSTmean yang digunakan dalam persamaan Blaney-Criddle. Pada proses perbaikan ini, dilakukan kombinasi 1 hingga 4 data LST 8 harian yang memberikan ketersediaan data terbaik pada wilayah penelitian. Perbaikan data tersebut diperlukan untuk menambah ketersediaan data evapotranspirasi potensial pada DAS Cimadur, sehingga memberikan informasi distribusi evapotranspirasi potensial secara spasial dan temporal dengan lebih lengkap. Tabel a menunjukkan bahwa berbagai kombinasi data 8 harian dilakukan pada data LST day dan night. Kombinasi tersebut bersifat sangat spesifik dan berbeda untuk masing-masing bulan pada setiap tahun. Beberapa data LST juga menunjukkan hasil yang cukup baik, sehingga tidak perlu dilakukan perbaikan data (menggunakan 3-4 data 8 harian yang terdapat dalam satu bulan). Namun, terdapat pula beberapa data yang bersifat tidak tersedia (100% missing ), sehingga tidak dapat diperbaiki dan menghasilkan 0% data tersedia. Pada kombinasi data LSTday, terlihat bahwa untuk beberapa bulan yang dianggap masih cukup baik ketersediaan datanya, kombinasi bisa dilakukan sebanyak 3 hingga 4 data (tanpa perbaikan). Namun pada awal dan akhir bulan, biasanya memiliki kombinasi data sekitar 1 hingga 2 data saja. Dengan demikian, bulan tersebut tidak memiliki data yang cukup baik pada setiap rataan 8 harian akuisisi data. Pada kombinasi LSTnight, tidak banyak data yang bisa dikombinasikan dari 3-4 data 8 harian pada setiap bulan. Secara umum, hanya terdapat sekitar 1 hingga 2 kombinasi data LSTnight yang dapat dilakukan untuk memperbaiki ketersediaan data. Hanya pada bulan Juni 2011, kombinasi LSTnight dapat dilakukan untuk 3 data akuisisi 8 harian. Bahkan, pada beberapa bulan di tahun 2008, 2010, dan 2011, data LSTnight tidak tersedia untuk wilayah penelitian. Kondisi ini tentunya berpengaruh terhadap ketersediaan data Tmean yang merupakan rata-rata dari nilai Tday dan Tnight. Dalam perhitungan, apabila suatu pixel dengan available data dirata-ratakan dengan pixel yang mengandung not available data, maka hasil akhir pixel tersebut akan menghasilkan not available data area. Sehingga, bila nilai Tmean dimasukkan dalam persamaan Blaney-

26 77 49 Cridlle, ketersediaan nilai evapotranspirasi potensial tersebut besar kemungkinan menjadi 0% ketersediaannya. Berdasarkan perbaikan yang telah dilakukan, pemilihan kombinasi data dengan ketersediaan terbaik dalam satu bulan pengamatan, dapat meningkatkan kualitas ketersediaan data hingga mencapai lebih dari 50% dari kondisi awal yang bernilai 0%. Tahun 2008, ketersediaan data meningkat dari 5 bulan data tersedia menjadi 11 bulan data tersedia. Tahun 2009, ketersediaan data meningkat dari 5 bulan data tersedia menjadi 12 bulan data tersedia. Tahun 2010, ketersediaan data meningkat dari 3 bulan data tersedia menjadi 10 bulan data tersedia. Sedangkan pada tahun 2011, ketersediaan data meningkat dari 4 bulan data tersedia menjadi 9 bulan data tersedia.

27 78 50 Tabel a Hasil Perbaikan Data Tmean MODIS. Tah un Bul an Jan Kombinasi Julian Days* Tday , , Feb Mar , Tnight % Data Tersedia ( Perbaikan) % Data Tersedi a (Dengan Perbaik an) ,0% 79,0% Data Tidak Tersedia , , ,0% 0,0% 0,0% 89,5% Apr , , ,0% 41,5% Mei Perbaikan , ,2% 99,2% Jun Perbaikan , ,6% 99,2% Jul Perbaikan , ,5% 98,0% Agu st Perbaikan , ,9% 73,0% Sept , , ,4% 99,6% Okt ,0% 80,2% Nov ,0% 78,2% Des ,0% 4,8% Jan ,0% 100,0% Feb ,0% 0,4% Mar , , Perbaikan ,0% 91,9% Apr , ,0% 72,6% Mei , , ,0% 98,8% Jun Perbaikan , ,5% 99,6% Jul Perbaikan Perbaikan 99,2% 99,2% Agu st Perbaikan Perbaikan 81,0% 81,0% Sept Perbaikan Perbaikan 95,2% 95,2% Okt , , ,4% 70,2% Nov ,0% 67,7% Des , ,0% 98,0%

28 79 51 Tah un Bul an Kombinasi Julian Days* Day Night % Data Tersedia ( Perbaikan) % Data Tersedi a (Dengan Perbaik an) Jan , ,0% 4,8% Feb , , ,0% 4,0% Mar Perbaikan ,0% 36,3% Apr , ,2% 81,9% Mei , , ,0% 65,7% Jun , ,0% 75,4% Jul Perbaikan , ,8% 85,9% Agu , , st , ,5% 83,5% Sept , ,0% 13,3% Okt , ,0% 96,4% Nov Data Tidak Tersedia 0,0% 0,0% Des Data Tidak Tersedia 0,0% 0,0% Jan Data Tidak Tersedia 0,0% 0,0% Feb , ,0% 19,4% Mar , Data Tidak Tersedia 0,0% 0,0% Apr , ,0% 5,6% Mei Perbaikan , ,7% 95,2% Jun , , Perbaikan ,0% 97,6% Jul Perbaikan Perbaikan 91,9% 91,9% Agu st Perbaikan Perbaikan 83,5% 83,5% Sept Perbaikan Perbaikan 84,7% 84,7% Okt Perbaikan ,0% 41,5% Nov ,0% 47,6% *Julian days-tanggal/xxx-xx

29

30 152 Distribusi Evapotranspirasi Potensial (ETo) Tahun di DAS Cimadur, Banten Keterangan : Eto dalam satuan mm/hari.

31 253 Distribusi Evapotranspirasi Potensial (ETo) Tahun di DAS Cimadur, Banten Keterangan : Eto dalam satuan mm/hari.

32 354 Distribusi Evapotranspirasi Potensial (ETo) Tahun di DAS Cimadur, Banten Keterangan : Eto dalam satuan mm/hari. Gambar a Perbaikan Distribusi Spasial dan Temporal Evapotranspirasi Potensial di DAS Cimadur, Banten.

33 455 Gambar a menunjukkan pola spasial dan temporal data evapotranspirasi setelah mengalami perbaikan, dengan melakukan kombinasi LSTday dan LSTnight dari ketersediaan data-data terbaik. Pola yang ditunjukkan pada gambar tersebut secara umum, lebih dipengaruhi oleh kualitas beberapa data pada satu bulan pengamatan. Sehingga, pola iklim pada data-data tersebut tidak terlihat cukup kuat seperti pola iklim yang ditunjukkan pada Gambar a. Dengan mempertimbangkan data kombinasi yang terdapat pada tabel a, terlihat bahwa pada bulan-bulan awal (Januari hingga Maret), proses perbaikan belum mampu menambah ketersediaan data yang berarti. Diantara ketiga bulan tersebut, bulan Februari merupakan bulan yang memiliki ketersediaan data yang minim dan berlangsung konstan dari tahun ke tahun. Sementara, pada bulan Januari dan Maret (terutama tahun 2010 dan 2011), perbaikan belum memberikan pengaruh yang berarti terhadap ketersediaan data. Pola ini tampak berbeda dengan tahun 2008 dan 2009 yang sudah memiliki data yang cukup baik pada bulan Januari dan Maret. Pada tahun 2010, ketersediaan data yang minim, diduga akibat pengaruh iklim yang kuat, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Sementara pada tahun 2011, keminiman data ternyata lebih disebabkan oleh tidak tersedianya data LST night MODIS (Tabel a). Pada akhir tahun (bulan Oktober-Desember), juga menunjukkan ketersediaan data terlihat tidak cukup baik. Namun, hasil perbaikan yang dilakukan masih lebih baik bila dibandingkan perbaikan data pada awal-awal tahun. Tidak tersedianya data LST night pada awal tahun, menyebabkan tidak banyak perbaikan yang dapat dilakukan untuk menambah ketersediaan data. Perbaikan data yang lebih baik pada akhir tahun dibandingkan perbaikan pada awal tahun (Gambar a), disebabkan oleh adanya 1-2 data dengan ketersediaan baik pada tiap bulannya, sehingga menghasilkan angka ketersediaan yang cukup tinggi. Sementara untuk data lainnya menghasilkan missing yang cukup tinggi, dibuktikan dengan 0% ketersediaan data pada akhir tahun sebelum diperbaiki. Kuatnya kaitan antara pola iklim dengan suhu dan evapotranspirasi ini menunjukkan bahwa perhitungan evapotranspirasi hanya layak dilakukan pada

34 565 bulan-bulan kering atau ketika musim kemarau berlangsung. Pada musim hujan, umumnya perhitungan suhu permukaan akan terganggu dengan tutupan awan ataupun kurang validnya nilai perhitungan (akibat basahnya permukaan lahan). Selain itu, jika data tersebut diusahakan untuk diperbaiki, nilai suhu yang didapatkan hanya mewakili kondisi setengah bulan dari satu bulan yang diamati. Sehingga, akan sangat berpengaruh terhadap rataan evapotranspirasi harian selama satu bulan Validasi Data Hasil Perbaikan Validasi data evapotranspirasi potensial sebelum dan sesudah dilakukannya perbaikan bertujuan untuk mengetahui nilai akurasi perbaikan yang telah dilakukan pada data evapotranspirasi ini, dan juga apakah metode tersebut dapat diterima sebagai suatu alternatif dalam pengisian missing data dalam penelitian. Pada tahap validasi, dilakukan pengambilan beberapa titik contoh dalam setiap bulannya, untuk kemudian dibandingkan nilai evapotranspirasinya, pada saat sebelum dan setelah dilakukannya perbaikan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui secara langsung perbedaan nilai evapotranspirasi sebelum dan sesudah dilakukannya perbaikan. Gambar a Nilai R 2 pada perbaikan data ETo MODIS. Pada Gambar a terlihat bahwa validasi dilakukan pada 5 bulan pengamatan dengan tahun yang berbeda, yaitu bulan Mei 2008, Juni 2008, Juli 2008, Juli 2010, dan Mei Pada kelima bulan tersebut, semua titik umumnya mendekati garis linear seperti yang ditunjukan pada gambar. Bahkan, nilai R 2 pada hasil analisis regresi tersebut mencapai angka 0,901 sehingga dapat

35 57 6 disimpulkan bahwa metode perbaikan yang telah dilakukan untuk pengisian missing data, layak dilakukan (R 2 mendekati 1).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

PENGGUNAAN CITRA MODIS SEBAGAI PENDUGA SUHU DALAM PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI DENGAN METODE BLANEY-CRIDDLE (STUDI KASUS: DAS CIMADUR, BANTEN)

PENGGUNAAN CITRA MODIS SEBAGAI PENDUGA SUHU DALAM PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI DENGAN METODE BLANEY-CRIDDLE (STUDI KASUS: DAS CIMADUR, BANTEN) PENGGUNAAN CITRA MODIS SEBAGAI PENDUGA SUHU DALAM PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI DENGAN METODE BLANEY-CRIDDLE (STUDI KASUS: DAS CIMADUR, BANTEN) The use of Modis Image for Temperature Estimation in Evapotranspiration

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Parameter Curah Hujan model REMO Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C42 dan curah hujan konvektif dengan

Lebih terperinci

PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI MENGGUNAKAN CITRA MODIS (STUDI KASUS: DAS CIMADUR, BANTEN) REYNA PRACHMAYANDINI A

PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI MENGGUNAKAN CITRA MODIS (STUDI KASUS: DAS CIMADUR, BANTEN) REYNA PRACHMAYANDINI A PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI MENGGUNAKAN CITRA MODIS (STUDI KASUS: DAS CIMADUR, BANTEN) REYNA PRACHMAYANDINI A14070005 DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Koreksi Bias Data Curah Hujan dan Suhu Luaran Model RegCM3 Data luaran RegCM3 merupakan hasil simulasi kondisi iklim yang memiliki resolusi spasial yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Evapotranspirasi Tanaman Acuan Persyaratan air tanaman bervariasi selama masa pertumbuhan tanaman, terutama variasi tanaman dan iklim yang terkait dalam metode

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

Evapotranspirasi Rekayasa Hidrologi Universitas Indo Global Mandiri

Evapotranspirasi Rekayasa Hidrologi Universitas Indo Global Mandiri Evapotranspirasi Rekayasa Hidrologi Universitas Indo Global Mandiri 1 Evapotranspirasi adalah. Evaporasi (penguapan) didefinisikan sebagai peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergerak dari permukaan

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA 30 BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Data Curah Hujan DAS Brantas Data curah hujan di DAS Brantas merupakan data curah hujan harian, dimana curah hujan harian berasal dari stasiun-stasiun curah hujan yang ada

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi).

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi). 1. Klasifikasi Iklim MOHR (1933) Klasifikasi iklim di Indonesia yang didasrakan curah hujan agaknya di ajukan oleh Mohr pada tahun 1933. Klasifikasi iklim ini didasarkan oleh jumlah Bulan Kering (BK) dan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp: (021) 7353018 / Fax: 7355262, Tromol Pos. 7019 / Jks KL, E-mail

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB I PENDAHULUAN Pengaruh pemanasan global yang sering didengungkan tidak dapat dihindari dari wilayah Kalimantan Selatan khususnya daerah Banjarbaru. Sebagai stasiun klimatologi maka kegiatan observasi

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Lokasi penelitian berada di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok seluas 462 ha. Secara geografis daerah penelitian terletak

Lebih terperinci

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kerentanan Produktifitas Tanaman Padi Analisis potensi kerentanan produksi tanaman padi dilakukan dengan pendekatan model neraca air tanaman dan analisis indeks kecukupan

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ). KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Daerah Irigasi Banjaran merupakan Daerah Irigasi terluas ketiga di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Daerah Irigasi Banjaran merupakan Daerah Irigasi terluas ketiga di BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Diskripsi Lokasi Studi Daerah Irigasi Banjaran merupakan Daerah Irigasi terluas ketiga di wilayah Kabupaten Banyumas dengan luas areal potensial 1432 ha. Dengan sistem

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Citra MODIS Terra/Aqua Jawa 24 Terkoreksi Radiometrik Data CH Koreksi Geometrik Bogor & Indramayu Malang *) & Surabaya *) Eo Lapang Regresi Vs Lapang Regeresi MODIS Vs lapang Hubungan dengan Kekeringan

Lebih terperinci

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

Propinsi Banten dan DKI Jakarta BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan Selatan sebagai salah satu wilayah Indonesia yang memiliki letak geografis di daerah ekuator memiliki pola cuaca yang sangat dipengaruhi oleh aktifitas monsoon,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun

Lebih terperinci

Gbr1. Lokasi kejadian Banjir dan sebaran Pos Hujan di Kabupaten Sidrap

Gbr1. Lokasi kejadian Banjir dan sebaran Pos Hujan di Kabupaten Sidrap BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BALAI BESAR METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA WILAYAH IV MAKASSAR STASIUN KLIMATOLOGI KELAS I MAROS JL. DR. RATULANGI No. 75A Telp. (0411) 372366 Fax. (0411)

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN : Analisis Tingkat Kekeringan Menggunakan Parameter Cuaca di Kota Pontianak dan Sekitarnya Susi Susanti 1), Andi Ihwan 1), M. Ishak Jumarangi 1) 1Program Studi Fisika, FMIPA, Universitas Tanjungpura, Pontianak

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990

Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990 LAMPIRAN 49 Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990 50 Lampiran 2. Peta Penutupan Lahan tahun 2001 51 Lampiran 3. Peta Penggunaan Lahan tahun 2010 52 53 Lampiran 4. Penampakan citra landsat untuk masing-masing

Lebih terperinci

ANALISA KETERSEDIAAN AIR

ANALISA KETERSEDIAAN AIR ANALISA KETERSEDIAAN AIR 3.1 UMUM Maksud dari kuliah ini adalah untuk mengkaji kondisi hidrologi suatu Wilayah Sungai yang yang berada dalam sauatu wilayah studi khususnya menyangkut ketersediaan airnya.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kompilasi dan Kontrol Kualitas Data Radar Cuaca C-Band Doppler (CDR) Teknologi mutakhir pada radar cuaca sangat berguna dalam bidang Meteorologi untuk menduga intensitas curah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis pengaruh ENSO dan IOD terhadap curah hujan Pola hujan di Jawa Barat adalah Monsunal dimana memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat. 11 yang akan datang, yang cenderung mengalami perubahan dilakukan dengan memanfaatkan keluaran model iklim. Hasil antara kondisi iklim saat ini dan yang akan datang dilakukan analisis dan kemudian dilakukan

Lebih terperinci

PRAKTIKUM RSDAL II PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI POTENSIAL (ETo) DAN KEBUTUHAN AIR TANAMAN (ETCrop)

PRAKTIKUM RSDAL II PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI POTENSIAL (ETo) DAN KEBUTUHAN AIR TANAMAN (ETCrop) PRAKTIKUM RSDAL II PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI POTENSIAL (ETo) DAN KEBUTUHAN AIR TANAMAN (ETCrop) Peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergerak dari permukaan tanah dan permukaan air ke udara disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan posisi geografis diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

Brady (1969) bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, air harus ditambahkan bila 50-85% dari air tersedia telah habis terpakai.

Brady (1969) bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, air harus ditambahkan bila 50-85% dari air tersedia telah habis terpakai. 6 KAT i = KAT i-1 + (CH-ETp) Hingga kandungan air tanah sama dengan kapasitas lapang yang berarti kondisi air tanah terus mencapai kondisi kapasitas lapang. Dengan keterangan : I = indeks bahang KL =Kapasitas

Lebih terperinci

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Diah Witarsih dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial

1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial Unsur-unsur Iklim 1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran - 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial Puncak Atmosfer ( 100 km ) Tekanan Udara

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN memiliki nilai WWZ yang sama pada tahun yang dan periode yang sama pula. Hubungan keterpengaruhan juga teridentifikasi jika pada saat nilai WWZ bintik matahari maksimum, didapatkan nilai WWZ parameter

Lebih terperinci

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino G181 Iva Ayu Rinjani dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl.

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI SUMBER AIR BERSIH PDAM JAYAPURA Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT Nohanamian Tambun 3306 100 018 Latar Belakang Pembangunan yang semakin berkembang

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL 4.1. Analisis Curah Hujan 4.1.1. Ketersediaan Data Curah Hujan Untuk mendapatkan hasil yang memiliki akurasi tinggi, dibutuhkan ketersediaan data yang secara kuantitas dan kualitas

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

Kontribusi Parameter Iklim Untuk Peringatan Dini Serangan Wereng Batang Coklat (WBC)

Kontribusi Parameter Iklim Untuk Peringatan Dini Serangan Wereng Batang Coklat (WBC) 1234567 89111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112

Lebih terperinci

Pembentukan Hujan 2 KLIMATOLOGI. Meteorology for better life

Pembentukan Hujan 2 KLIMATOLOGI. Meteorology for better life Pembentukan Hujan 2 KLIMATOLOGI 1. Pengukuran dan analisis data hujan 2. Sebaran curah hujan menurut ruang dan waktu 3. Distribusi curah hujan dan penyebaran awan 4. Fenomena iklim (ENSO dan siklon tropis)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang jatuh

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp. (021) 7353018, Fax: (021) 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Persepsi Petani terhadap Perubahan Iklim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing petani memiliki

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Persepsi Petani terhadap Perubahan Iklim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing petani memiliki VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Persepsi Petani terhadap Perubahan Iklim Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing petani memiliki persepsi yang berbeda terhadap perubahan iklim. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAERAH PENELITIAN

KARAKTERISTIK DAERAH PENELITIAN KARAKTERISTIK DAERAH PENELITIAN 4.1 Topografi dan Tata Sungai DAS Citarum Hulu merupakan suatu cekungan yang dikelilingi oleh pegunungan Tangkuban Perahu di daerah utara dengan puncaknya antara lain Gunung

Lebih terperinci

A. Metode Pengambilan Data

A. Metode Pengambilan Data 16 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pengambilan Data Dalam penelitian ini prosedur yang digunakan dalam pengambilan data yaitu dengan mengambil data suhu dan curah hujan bulanan dari 12 titik stasiun

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air TINJAUAN PUSTAKA Neraca Air Neraca air adalah model hubungan kuantitatif antara jumlah air yang tersedia di atas dan di dalam tanah dengan jumlah curah hujan yang jatuh pada luasan dan kurun waktu tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki iklim tropis, serta tidak lepas dari pengaruh angin muson barat maupun angin muson timur. Dalam kondisi normal, angin muson barat

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 disusun berdasarkan hasil pengamatan dari 60 stasiun dan pos hujan di wilayah

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

MINI RISET METEOROLOGI DAN KLIMATOLOGI PERHITUNGAN CURAH HUJAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE

MINI RISET METEOROLOGI DAN KLIMATOLOGI PERHITUNGAN CURAH HUJAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE MINI RISET METEOROLOGI DAN KLIMATOLOGI PERHITUNGAN CURAH HUJAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE DISUSUN OLEH : Nama : Winda Novita Sari Br Ginting Nim : 317331050 Kelas : B Jurusan : Pendidikan Geografi PEDIDIKAN

Lebih terperinci

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? * Parwati Sofan, Nur Febrianti, M. Rokhis Khomarudin Kejadian kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah pada pertengahan bulan September

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur http://lasiana.ntt.bmkg.go.id/publikasi/prakiraanmusim-ntt/ Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun

Lebih terperinci

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan 3.3.2 Pengolahan Data Pengolahan data terdiri dari dua tahap, yaitu pendugaan data suhu Cikajang dengan menggunakan persamaan Braak (Djaenuddin, 1997) dan penentuan evapotranspirasi dengan persamaan Thornthwaite

Lebih terperinci

PRAKIRAAN ANOMALI IKLIM TAHUN 2016 BMKG DI JAWA TENGAH

PRAKIRAAN ANOMALI IKLIM TAHUN 2016 BMKG DI JAWA TENGAH PRAKIRAAN ANOMALI IKLIM TAHUN 2016 BMKG DI JAWA TENGAH OUTLINE Kondisi Dinamika Atmosfir Terkini Prakiraan Cuaca di Jawa Tengah Prakiraan Curah hujan pada bulan Desember 2015 dan Januari Tahun 2016 Kesimpulan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian Kondisi curah hujan di DAS Citarum Hulu dan daerah Pantura dalam kurun waktu 20 tahun terakhir (1990-2009) dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Press Release BMKG Jakarta, 12 Oktober 2010 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA 2 BMKG A F R I C A A S I A 3 Proses EL NINO, DIPOLE MODE 2 1 1963 1972 1982 1997 1 2 3 EL NINO / LA NINA SUHU PERAIRAN

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA I. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR Hasil pengolahan dari nilai piksel band VNIR dan SWIR yang dibahas pada bab ini yaitu citra albedo, NDVI dan emisivitas. Ketiganya

Lebih terperinci

persamaan regresi. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan kritis adalah sebagai berikut: CH kritis = ( 0.

persamaan regresi. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan kritis adalah sebagai berikut: CH kritis = ( 0. 9 a : intersep (perubahan salinitas jika tidak hujan) b : slope (kemiringan garis regresi). Koefisien determinasi (r 2 ) masing-masing kelompok berdasarkan klaster, tahun, dan lahan peminihan (A dan B)

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

FASE-FASE BULAN DAN JARAK BUMI-BULAN PADA TAHUN 2014

FASE-FASE BULAN DAN JARAK BUMI-BULAN PADA TAHUN 2014 FASE-FASE BULAN DAN JARAK BUMI-BULAN PADA TAHUN 2014 Bulan mengelilingi Bumi dalam bentuk orbit ellips sehingga pada suatu saat Bulan akan berada pada posisi terdekat dari Bumi, yang disebut perigee, dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Daerah Irigasi Lambunu Daerah irigasi (D.I.) Lambunu merupakan salah satu daerah irigasi yang diunggulkan Propinsi Sulawesi Tengah dalam rangka mencapai target mengkontribusi

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan April 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 disusun berdasarkan hasil pengamatan dari 60 stasiun dan pos hujan di wilayah Jawa

Lebih terperinci

Tahun Penelitian 2005

Tahun Penelitian 2005 Sabtu, 1 Februari 27 :55 - Terakhir Diupdate Senin, 1 Oktober 214 11:41 Tahun Penelitian 25 Adanya peningkatan intensitas perubahan alih fungsi lahan akan berpengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis

Lebih terperinci

dari tahun pada stasiun pengamat yang berada di daerah Darmaga, Bogor.

dari tahun pada stasiun pengamat yang berada di daerah Darmaga, Bogor. Jika plot peluang dan plot kuantil-kuantil membentuk garis lurus atau linier maka dapat disimpulkan bahwa model telah memenuhi asumsi (Mallor et al. 2009). Tingkat Pengembalian Dalam praktik, besaran atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara agraris yang amat subur sehingga tidak dapat dipungkiri lagi sebagian besar penduduknya bergerak dalam sektor agraris. Data dalam Badan

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG OUTLINE I. GEMPABUMI TSUNAMI KEPULAUAN MENTAWAI (25 - oktober 2010); Komponen Tsunami Warning System (TWS) : Komponen Structure : oleh

Lebih terperinci

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan September 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2013 dan Januari 2014 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan April 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan

Lebih terperinci

KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE

KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE 2005 2013 Herin Hutri Istyarini 1), Sri Cahyo Wahyono 1), Ninis

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. [8 Januari 2006] 1 ( )

1. PENDAHULUAN. [8 Januari 2006] 1  ( ) 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Informasi ramalan curah hujan sangat berguna bagi petani dalam mengantisipasi kemungkinan kejadian-kejadian ekstrim (kekeringan akibat El- Nino dan kebanjiran akibat

Lebih terperinci

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG 1. TINJAUAN UMUM 1.1.

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Februari 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan di

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan bejana berjungkit sebagai alat pengukuran memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan pengggunaan alat pengkuran konvensional. Kelebihan alat ini memberikan kemudahan

Lebih terperinci

Lampiran 1.1 Data Curah Hujan 10 Tahun Terakhir Stasiun Patumbak

Lampiran 1.1 Data Curah Hujan 10 Tahun Terakhir Stasiun Patumbak 13 Lampiran 1.1 Data Curah Hujan 1 Tahun Terakhir Stasiun Patumbak TAHUN PERIODE JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER 25 I 11 46 38 72 188 116 144 16 217

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP 1 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 di Propinsi Bali merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi Negara Bali. Prakiraan Awal

Lebih terperinci

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016 B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Tangerang Selatan Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penerbitan publikasi prakiraan musim hujan ini.

KATA PENGANTAR. Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penerbitan publikasi prakiraan musim hujan ini. KATA PENGANTAR Penyajian Prakiraan Musim Hujan 2016/2017 di Provinsi Sumatera Selatan ditujukan untuk memberi informasi kepada masyarakat, disamping publikasi buletin agrometeorologi, analisis dan prakiraan

Lebih terperinci

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi Kebutuhan Tanaman Padi UNIT JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI AGST SEPT OKT NOV DES Evapotranspirasi (Eto) mm/hr 3,53 3,42 3,55 3,42 3,46 2,91 2,94 3,33 3,57 3,75 3,51

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang mengalir dari arah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang mengalir dari arah BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Lokasi Studi Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang mengalir dari arah Utara ke arah Selatan dan bermuara pada sungai Serayu di daerah Patikraja dengan

Lebih terperinci