HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok Hasil Penelitian Kelompok Sosial dan Komposisi Umur Anggota Populasi Lokal Sensus terhadap sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang yang berada di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok menunjukkan jumlah kelompok sosial yang menyusun populasi lokal cukup beragam (koefisien keragaman 46,36%), meskipun sebagian besar populasi lokal tersusun atas dua kelompok sosial. Hal serupa, jumlah monyet jantan dewasa, betina dewasa, muda, dan anakan di masing-masing populasi lokal bervariasi dengan koefisien keragaman berturut-turut 41,73, 44,37, 35,09, dan 47,46% (Tabel 3). Tabel 3 Struktur populasi, luas habitat, dan kepadatan populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok Kawasan Populasi lokal Jumlah kelompok sosial Jantan dewasa (ekor) Betina dewasa (ekor) Muda (ekor) Anakan (ekor) Total (ekor) Luas habitat (ha) Kepadatan (ekor/ha) Jawa PgsAP ,00 4,5 Timur BmBL ,00 10,0 PrPL ,00 10,8 AK ,00 16,7 Bali Lombok Rataan ±SD Koefisien Keragaman (%) PrUW ,00 10,4 SG ,97 14,5 WwUB ,74 18,1 PrBG ,00 2,5 PS ,00 10,0 PrGP ,00 7,4 2,7 17,4 40,8 72,2 17,1 147,5 18,07 10,49 ±1,252 ±7,260 ±18,097 ±25,332 ±8,117 ±48,820 ±15,077 ±4,971 46,36 41,73 44,37 35,09 47,46 33,10 83,44 47,39 Anggota populasi lokal monyet ekor panjang didominasi oleh monyet muda dengan kisaran 36-61,33% dengan rataan 49,59%, kecuali pada populasi lokal PS, proporsinya (36%) hampir sama dengan proporsi monyet betina dewasa (37%, Gambar 4). Monyet betina dewasa menempati posisi kedua terbanyak setelah monyet muda dengan proporsi antara 20-37% dan rataan 27,06%. Sementara, monyet jantan dewasa dan anak memberi kontribusi anggota relatif sama masing-masing antara 8,5-16,35% dengan rataan 11,78% dan 8,23-18% dengan rataan 11,56% secara berurutan.

2 31 jumlah individu (%) 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 anak muda betina dewasa jantan dewasa 0,00 PgsAP BmBL PrPL AK PrUW SG WwUB PrBG PS PrGP Populasi lokal Gambar 4 Komposisi monyet anak, muda, dan dewasa di masing-masing populasi lokal monyet ekor panjang. Monyet muda mendominasi di seluruh populasi lokal, kecuali pada PS, frekuensinya relatif sama dengan monyet betina dewasa. Monyet betina dewasa ditemukan dengan proporsi tertiggi kedua setelah monyet muda, kecuali pada PS proporsinya tertinggi. Sementara monyet jantan dewasa dan anakan menyumbang keanggotaan relatif sama di setiap populasi lokal. Penggabungan jumlah monyet anakan dan muda dilakukan untuk melihat gambaran kenormalan komposisi umur populasi di masing-masing populasi lokal (Gambar 5). Penggabungan tersebut menghasilkan pola kurva yang sama di setiap populasi lokal. Jumlah gabungan monyet anakan dan muda menempati proporsi yang paling tinggi (48-70%, rataan 61,15%) dususl oleh monyet betina dewasa dan selanjutnya monyet jantan dewasa. 80,00 70,00 jumlah individu (%) 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 anak dan m uda betina dewas a jantan dew as a 0,00 PgsAP BmBL PrPL AK PrUW SG Ww UB PrBG PS PrGP p o p u la si lo ka l Gambar 5 Komposisi gabungan monyet anak dan muda, betina dewasa, dan jantan dewasa di masing-masing populasi lokal monyet ekor panjang. Semua populasi lokal memiliki pola kurva yang sama yaitu gabungan monyet anak dan muda mendominasi di setiap populasi lokal disusul monyet betina dan jantan dewasa.

3 32 Kepadatan Populasi Lokal Jumlah anggota populasi lokal cukup beragam. Jumlah anggota populasi lokal berkisar ekor dengan rataan mendekati 148 ekor (Tabel 3). Keragaman juga terlihat pada luasan habitat yang dihuni oleh populasi lokal. Populasi lokal menghuni habitat dengan luas yang bervariasi antara 8-60 ha dengan rataan ±18 ha. Hasil survei masyarakat di sekitar lokasi menunjukkan sebagian besar responden pernah melihat monyet ke luar habitat. Berdasarkan pada fakta tersebut, daerah jelajah populasi kemungkinan besar melebihi luas habitat yang dicatat sekarang. Kepadatan masing-masing populasi lokal juga berberda-beda dengan kepadatan terendah ditemukan pada populasi lokal PrBG 2,5 ekor/ha dan tertinggi pada populasi lokal WwUB 18,1 ekor/ha. Rasio Monyet Ekor Panjang Jantan dan Betina Dewasa, serta Ukuran Populasi Efektif Rata-rata rasio antara jantan dan betina dewasa populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok adalah 1:2,3 (Tabel 4). Tabel 4 Rasio jantan dan betina dewasa serta ukuran populasi efektif (Ne) populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok Kawasan Jawa Timur Bali Populasi lokal Jantan dewasa (ekor) Betina dewasa (ekor) Total dewasa (N) (ekor) Rasio jantan:betina dewasa Ne* (ekor) Ne/N PgsAP : 1,9 16 0,70 BmBL :2,0 34 0,76 PrPL :1,7 54 0,76 AK :3,7 55 0,69 PrUW :1,8 36 0,75 SG :1,9 51 0,77 WwUB :3,0 45 0,75 PrBG :2,6 44 0,76 Lombok PS : 2,5 82 0,79 PrGP :2,9 20 0,74 Rataan ±SD 17,4 ±7,260 40,8 ±18,097 58,2 ±24,248 1:2,3 44± 18,968 0,75 ±0,031 Koefisien keragaman (%) 41,73 44,36 41,66-43,11 4,13 *Dihitung menggunakan rumus dari Nozawa et al. (1996) Rasio jantan dan betina dewasa terendah ditemukan pada populasi lokal AK (1:3,7) dan tertinggi pada populasi PrPL (1:1,7). Ukuran populasi efektif

4 33 (Ne) populasi lokal cukup beragam (koefisien keragaman 43,11%) dengan ukuran tertinggi ditemukan pada populasi lokal PS (82 ekor) dan terendah pada populsi lokal PgsAP (16 ekor). Keragaman Ne adalah implikasi dari keragaman jumlah monyet jantan dan betina dewasa (N) di masing-masing populasi lokal. Namun demikian, nisbah atau rasio ukuran populasi efektif dengan jumlah total monyet dewasa (Ne/N) sangat homogen (koefesien keragaman 4,13%) dengan kisaran 0,69-0,79 dan rataan 0,75 (Tabel 4). Pembahasan Penelitian yang telah dilakukan bersifat cross sectional dan eksploratif sehingga hasil yang didapatkan menggambarkan apa adanya di waktu tertentu. Meskipun penelitian ini bukan mencari jawaban atas keragaman yang tinggi pada beberapa parameter struktur populasi seperti ditampilkan pada Tabel 3, beberapa alasan dapat diberikan untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, luas habitat. Luas habitat yang didapatkan di beberapa populasi lokal bukan mencerminkan luas wilayah jelajah populasi lokal. Luas ini juga tidak mempertimbangkan kebutuhan monyet untuk beraktivitas atau mencari pakan. Kedua, tingkat isolasi populasi lokal. Berdasarkan pada hasil pengamatan di lapangan, tingkat isolasi populasi lokal dapat dikelompokkan ke dalam tiga klasifikasi yaitu tingkat isolasi tinggi, sedang, dan rendah atau tidak ada. Tingkat isolasi tinggi ditemukan di populasi lokal AK, SG, WwUB, dan PrGP. Luas habitat populasi ini terbatas dan dikelilingi oleh perumahan atau daerah pertanian sehingga monyet yang keluar dari habitatnya cenderung dihalau kembali ke habitat. Tingkat isolasi sedang ditemukan di populasi lokal PrPL, PrUW, dan PrBG. Meskipun luas habitatnya terbatas dan dikelilingi oleh perumahan atau lahan milik masyarakat, sebagian habitat populasi lokal ini masih berhubungan dengan kawasan hutan atau lahan bebas dan monyet leluasa untuk memasukinya. Tingkat isolasi rendah atau tidak ada isolasi ditemukan di populasi lokal PgsAP, BmBL, dan PS. Populasi lokal ini terletak di dalam kawasan taman nasional atau hutan (PS) sehingga anggota populasi bebas bergerak tanpa ada hambatan. Perbedaan tingkat isolasi suatu populasi ini mungkin ikut menyumbang terhadap keragaman parameter struktur populasi yang diamati. Ketiga, pemberian pakan tambahan. Hasil penelitian pada

5 34 masyarakat sekitar dan lapangan menunjukkan tidak ada populasi lokal yang tidak diberikan pakan tambahan. Pakan tambahan dapat berasal dari berbagai sumber dengan kualitas dan kuantitas yang bervariasi. Ketersediaan pakan yang cukup akan mempertahankan anggota kelompok sosial dalam populasi lokal. Masyarakat pengguna jalan raya Gunung Pusuk acapkali melemparkan makanan dari dalam kendaraan untuk monyet yang ada di pinggir jalan. Kebiasaan ini berdampak pada struktur populasi monyet di Gunung Pusuk (PS) yaitu terbentuknya beberapa kelompok sosial yang menempati lokasi di sepanjang jalan raya Gunung Pusuk. Pembentukan kelompok sosial yang lebih banyak dan posisinya berderet akan lebih efektif dan kurangnya persaingan antar anggota untuk mendapatkan makanan dari pengguna jalan. Keempat, sejarah kolonisasi dan pemisahan populasi. Keragaman struktur populasi juga sangat terkait dengan bagaimana populasi awal terbentuk dan bagaimana pemisahan selanjutnya menjadi populasi yang lain. Data seperti ini sangat sulit untuk dilacak, namun kondisi tersebut tidak terbantahkan telah berkontribusi besar terhadap keragaman struktur populasi yang ada kini. Dan kelima, faktor-faktor stokastik internal dan ekternal. Dinamika populasi monyet ekor panjang tentu sangat terpengaruh oleh faktor yang bersifat internal seperti fitness, fertilitas, dan daya tahan atau kompetisi, serta faktor yang bersifat eksternal seperti penyakit, bencana alam, atau ulah manusia. Perpaduan dari beberapa hal tersebut di atas akan berdampak pada keragaman struktur populasi lokal seperti yang ditampilkan pada Tabel 3. Keragaman satu parameter akan berimplikasi pada keragaman parameter lainnya, seperti keragaman pada jumlah anggota populasi lokal dan luasan habitat akan berdampak pada keragaman kepadatan antar populasi lokal. Monyet ekor panjang merupakan primata nonhuman yang hidup dalam kelompok-kelompok sosial (Napier dan Napier 1985; Bennett et al.1995; Dolhinow dan Fuentes 1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar populasi lokal tersusun atas dua atau tiga kelompok sosial terutama populasi lokal yang menempati daerah dengan luasan terbatas seperti WwUB, SG, PrGP, atau AK (Tabel 3). Tampaknya, luas habitat, derajat isolasi, dan pemusatan sumber pakan sangat mempengaruhi pembentukan kelompok sosial dalam populasi lokal. Populasi lokal PS yang berlokasi di hutan atau gunung

6 35 (Gunung Pusuk) tidak memiliki batas yang tegas. Area yang luas pada PS memberi kesempatan kepada anggota kelompok untuk bergerak dan berpencar secara lebih bebas untuk mendapatkan makanan. Kelompok sosial yang anggotanya besar akan terpisah menjadi kelompok yang lebih kecil. Lebih banyaknya kelompok sosial yang ditemukan (enam kelompok sosial) di sepanjang jalan raya Gunung Pusuk (lebih kurang 2 km) mungkin terkait dengan hal tersebut seperti yang telah diterangkan di atas. Sementara, populasi lokal yang terletak pada area terbatas dan adanya pemusatan lokasi pemberian pakan memiliki kelompok sosial yang lebih rendah (2-3 kelompok sosial). Hal yang sama juga terjadi pada area Pura Giri Sloka di Taman Nasioanl Alas Purwo (PgsAP) dan penginapan Bama Baluran (BmBL). Meskipun populasi lokal PgsAP dan BmBL terletak berturut-turut di Taman Nasional Alas Purwo (43420 ha) dan Baluran (25000 ha) yang cukup luas dan arealnya tanpa isolasi, jumlah kelompok sosial yang ditemukan di kedua populasi lokal tersebut berkisar 2-3 kelompok. Rendahnya kelompok sosial yang ditemukan lebih disebabkan oleh adanya pemusatan sumber pakan seperti di areal pura pada PgsAP dan di sekitar penginapan pantai Bama pada BmBL. Selain itu, pembatasan terhadap luas area yang disurvei yakni terbatas pada area sekitar Pura Giri Sloka (pada Alas Purwo) dan penginapan pantai Bama (Baluran) juga mendukung lebih sedikitnya kelompok sosial yang ditemukan. Kelompok sosial dapat tertembuskan oleh kedatangan jantan migran meskipun kelompok sosial monyet ekor panjang bersifat kohesif. Monyet jantan dalam kehidupan selanjutnya akan migrasi ke kelompok sosial lainnya (Napier dan Napier 1985; Suryobroto et al. 1995) menyebabkan populasi lokal merupakan satu unit breeding. Hal senada, sebelumnya, telah dinyatakan oleh Kawamoto et al. (1981) karena rendahnya diferensiasi genetik antar kelompok sosial dalam satu lokasi. Hasil penelitian Wandia et al. (2004) yang menganalisis keragaman genetik monyet ekor panjang menggunakan beberapa lokus mikrosatelit pada satu area juga menemukan diferensiasi genetik antar kelompok sosial rendah sehingga satu populasi lokal dapat dinyatakan sebagai satu unit breeding atau populasi Mendelian (Hartl dan Clark 1997).

7 36 Hasil sensus menunjukkan jumlah anggota masing-masing populasi lokal cukup beragam. Monyet muda merupakan penyumbang anggota populasi terbanyak di setiap populasi lokal (Gambar 4). Hal ini berkaitan dengan lebarnya kisaran umur untuk penentuan monyet muda yaitu 3-4 kali kisaran umur untuk anak. Monyet yang baru lahir dan monyet yang masih memiliki warna hitam pada rambut kepala dikelompokkan ke dalam anak. Selanjutnya, monyet yang warna hitam pada rambut kepala telah menghilang (umur ±15 bulan, Fooden 1995) dikelompokkan ke dalam monyet muda. Penentuan batas maksimum kelompok monyet muda cukup sulit. Fooden (1995) menyatakan bahwa batas maksimum umur muda untuk monyet jantan dan betina bila masing-masing gigi taring permanen dan geraham M3 tumbuh belum komplit. Ahli lain melansir bahwa monyet jantan dewasa ditandai oleh volume testis lebih besar dari 20 cm 3 (Hendrickx dan Dukelow 1995). Karena kedua cara ini cukup sulit diterapkan di lapangan, jantan masih digolongkan muda jika besar badannya lebih kecil dari jantan dewasa (jantan alfa) yang ada, taringnya belum sepanjang taring jantan dewasa (umurnya kurang dari 6 tahun), dan tingkah lakunya permisif terhadap jantan dewasa. Untuk yang betina, monyet yang belum memperlihatkan puting susu menggelantung (pendulus) dikelompokkan ke dalam monyet muda (umur kurang dari 4 tahun). Penentuan umur dengan cara ini menyebabkan lebarnya kisaran umur monyet muda dan berimplikasi pada tingginya jumlah monyet muda dalam populasi lokal. Secara umum, pada kondisi normal, monyet ekor panjang betina melahirkan pertama pada umur 46 bulan, dan interval kelahiran antara bulan (Rowe 1996). Dalam kurun waktu 4 tahun (monyet betina anakan menjadi dewasa) akan terjadi akumulasi monyet muda antara 2-4 ekor dari setiap induk betina. Sejalan dengan keberlangsungan hidup populasi dari generasi ke generasi, jumlah gabungan monyet anakan dan muda akan melebihi jumlah monyet betina atau jantan dewasa pada suatu populasi lokal. Jika kondisi kenormalan ini menyimpang pada suatu populasi lokal, maka kehidupan jangka panjangnya kemungkinan juga akan terancam. Hasil penelitian menunjukkan jumlah gabungan monyet anakan dan muda sangat mendominasi di setiap populasi lokal (Gambar 5). Fakta ini mengindikasikan stabil dan amannya keberadaan jangka

8 37 panjang populasi lokal yang ada di ketiga pulau. Kondisi reproduksi monyet yang baik dan makanan yang cukup tampaknya menjadi penyumbang kestabilan populasi lokal tersebut selain faktor genetik (rendahnya tekanan silang dalam). Monyet ekor panjang hidup dalam kelompok sosial tipe multimalesmultifamels group (Napier dan Napier 1985; Williams dan Bernstein 1995; Swindler 1998). Adanya banyak jantan dan betina dalam satu kelompok sosial merupakan hal umum pada monyet ekor panjang. Hal ini sejalan dengan hasil sensus demografi populasi monyet ekor panjang di sepuluh populasi lokal baik di Jawa Timur, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok. Populasi lokal ditempati oleh monyet jantan dewasa dengan kisaran 8,5-16,35% dan betina dewasa antara 20-37% dari seluruh anggota populasi (Gambar 4). Rasio antara jantan dewasa dengan betina dewasa memiliki kisaran yang sempit pada masing-masing populasi lokal. Rasio tertinggi ditemukan pada populasi lokal Pura Pulaki (PrPL) 1:1,7 dan terendah pada populasi lokal Alas Kedaton (AK) 1:3,7 (Tabel 4). Karena kisaran rasio yang ditemukan cukup sempit, maka rataan rasio 1:2,3 mungkin dapat disimpulkan sebagai kekhasan rasio antara jantan dengan betina dewasa populasi lokal monyet ekor panjang di Indonesia. Konsistensi rasio ini dapat digunaan untuk memperkirakan jumlah monyet betina dewasa dalam suatu populasi lokal dengan hanya menghitung jumlah jantan dewasa. Pengalaman peneliti menunjukkan bahwa menghitung jumlah betina dewasa lebih sulit dari menghitung jumlah jantan dewasa. Hal lain yang konsisten pada penelitian ini adalah nisbah (rasio) antara ukuran populasi efektif (Ne) dengan jumlah monyet jantan dan betina dewasa sensus (N). Dalam dunia genetika konservasi dan evolusi biologi, Ne memiliki peran yang sangat penting (Nozawa et al. 1996; Frankham et al. 2004). Ukuran populasi efektif (Ne) mengukur jumlah anggota populasi (jantan dan betina dewasa) yang terlibat dalam proses reproduksi dan memberi keturunan ke generasi berikutnya. Pada penelitian ini, Ne didekati dengan menggunakan rumus dari Nozawa yang digunakan untuk menghitung Ne pada kelompok monyet Jepang (Nozawa et al. 1996). Ukuran populasi efektif (Ne) yang didapatkan pada penelitan ini cukup beragam sesuai dengan jumlah jantan dan betina dewasa yang ada pada populasi

9 38 lokal. Namun, rasio antara Ne dengan jumlah jantan dan betina dewasa sensus (N) sangat homogen (KK 4,13%) antar populasi lokal baik yang ada dalam satu pulau maupun antar pulau (Tabel 4). Rataan rasio Ne/N populasi lokal monyet ekor panjang sebesar 0,75 mungkin dapat dinyatakan sebagai kekhasan rasio Ne/N populasi lokal monyet ekor pajang yang ada di Indonesia. Rasio Ne/N yang didapatkan pada penelitian ini lebih tinggi dari rasio Ne/N pada kelompok monyet Jepang (Macaca fuscata) yang mendekati 0,36 (Nozawa et al. 1996) dan juga lebih tinggi dari Ne/N untuk hewan secara umum (0,10) yang dilansir oleh Frankham et al. (2004) dalam buku A Primier of Conservation Genetics. Salah satu penyebab penurunan jumlah anggota suatu populasi adalah menurunnya luasan habitat yang ditempati dan daya dukungnya (Primack 1995). Pengalihan fungsi kawasan atau hutan menjadi areal pertanian dalam arti luas, daerah industri, atau menjadi tempat tinggal telah menimbulkan beberapa populasi monyet terlokalisasi di suatu area seperti Wanara Wana Ubud (Pulau Bali), Alas Kedaton (Pulau Bali), dan Pura Gunung Pengsong (Pulau Lombok). Sensus yang dilakukan pada sepuluh populasi lokal pada penelitian ini mendapatkan jumlah anggota populasi lokal dan luasan area yang ditempatinya beragam (Tabel 3). Penghitungan kepadatan populasi lokal menghasilkan besaran yang beragam. Populasi lokal WwUB, SG, dan AK adalah populasi lokal dengan urutan kepadatan tiga tertinggi dari seluruh populasi lokal yang diamati. Ketiga populasi lokal ini merupakan representasi populasi lokal dengan tingkat isolasi tertinggi dibandingkan populasi lokal lainnya karena habitatnya dikelilingi oleh areal pertanian dan perumahan. Kepadatan populasi lokal SG 14,5 individu/ha, AK 16,7 individu/ha, dan WwUB 18,1 individu/ha jauh melebihi kepadatan di Pulau Tinjil yang dihuni oleh monyet liar yang disurvei pada tahun 2001 sebesar 403,2 individu/km 2 atau 4,03 individu/ha (Leeson et al. 2004). Populasi lokal PrUW, PrPL, dan PrGP juga memiliki kepadatan populasi yang melebihi kepadatan di Pulau Tinjil untuk survei tahun 2001 tersebut. Tingginya kepadatan populasi lokal mungkin berhubungan erat dengan kombinasi beberapa hal seperti sempitnya area yang ditempati, akses pakan yang lebih baik, dan terlindung dari gangguan luar. Tampaknya, ketersediaan pakan menjadi faktor penyumbang

10 39 utama terhadap tingginya kepadatan populasi lokal sebagaimana juga yang disampaikan oleh Fooden (1995) bahwa kepadatan kelompok monyet ekor panjang di alam liar tanpa diberi pakan tambahan lebih rendah daripada kepadatan di daerah yang diberi pakan tambahan. Wheatly (1989) yang melakukan penghitungan jumlah anggota populasi di Wanara Wana Ubud (WwUB) pada tahun 1986 menemukan kepadatan 1600/km 2 atau 16 individu/ha. Kepadatan populasi WwUB pada penelitian saat ini (tahun 2005) didapatkan 18,1 individu/ha. Dengan menggunakan data ini, laju pertumbuhan populasi dapat diperkirakan sebesar 0,131 selama kurun waktu 19 tahun. Atau jumlah populasi saat ini (tahun 2005) sebesar 1,131 kali jumlah populasi tahun Laju pertumbuhan ini terlihat cukup rendah untuk daerah dengan ketersediaan pakan cukup. Jika luas area WwUB adalah 8,74 ha maka jumah populasi tahun 1986 (survei Wheatly) sebesar 139 individu. Apabila diperkirakan jumlah betina dewasa sebesar 20% dari populasi (pendugaan terendah dari sensus penelitian ini dan 30% beranak) maka jumlah tambahan anggota sekali reproduksi sebesar 8 ekor. Jika terjadi dua kali reproduksi dalam 5 tahun, maka akan ada tambahan populasi sebesar 64 individu, atau laju pertumbuhan populasi sebesar 0,46 selama 19 tahun, atau jumlah anggota populasi saat ini (tahun 2005) semestinya 203 ekor. Jumlah ini jauh lebih besar dari hasil sensus saat ini (158 individu tahun 2005). Yang menjadi pertanyaan adalah kemana anggota populasi sejumlah 45 ekor tersebut. Survei terhadap masyarakat sekitar WwUB menunjukkan 100% responden menyatakan sering melihat monyet keluar dari habitatnya (Lampiran 11). Fakta ini mengindikasikan bahwa beberapa anggota populasi mungkin keluar dan menetap di lokasi lain di luar habitat sebelumnya. Pola ini kemungkinan besar juga ditemukan pada populasi lokal lain terutama populasi yang memiliki tipe yang mirip dengan WwUB seperti SG dan AK. Habitat dengan luas yang terbatas memiliki daya tampung anggota populasi yang terbatas pula. Tingkat kenyamanan yang menurun akibat jumlah monyet yang berlebihan akan mendorong beberapa monyet untuk keluar dari habitatnya. Sebagian besar responden menyatakan bahwa monyet yang ada di luar habitat mengganggu atau merusak tetapi sebagian besar dari mereka juga

11 40 menyatakan tidak setuju ditangkap atau dibunuh. Sikap masyarakat yang demikian sudah memberikan perlindungan dan jaminan hidup anggota populasi lokal, atau sudah melaksanakan prinsip-prinsip konservasi. Namun demikian, konservasi tidak mesti mengorbankan properti masyarakat di sekitar populasi lokal. Suatu strategi untuk meminimumkan efek yang kurang baik dari kelebihan populasi perlu diupayakan. Satu pilihan yang paling mudah di antara pilihanpilihan lain seperti relokasi atau pemanfaatan kelebihan populasi untuk berberbagai penelitian adalah memperluas habitat. Tetapi, alternatif ini tampaknya cukup sulit dilakukan karena keterbatasan lahan bebas yang tersedia. Sebelum dilakukan kebijakan lain seperti pemindahan anggota atau penguatan populasi, penentuan status struktur genetik populasi sangat diperlukan untuk memutuskan apakah masing-masing populasi lokal diperlakukan sebagai unit manajemen yang berbeda atau tidak. Simpulan 1. Struktur populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok beragam. 2. Komposisi umur populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok stabil dengan jumlah gabungan monyet anakan dan muda terbanyak, disusul diurutan kedua oleh monyet betina dewasa, dan diurutan ketiga oleh monyet jantan dewasa. 3. Populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok memiliki kisaran rasio jantan dengan betina dewasa yang sempit dengan rataan 1:2,3 dan kisaran rasio ukuran populasi efektif dengan jumlah monyet dewasa homogen dengan rataan 0,75.

12 Keragaman Fenotipe Kualitatif Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok 41 Hasil Penelitian Kelas Fenotipe Kualitatif dan Sebaran Karakter Tujuh kelas fenotipe kualitatif yang dikenakan pada 334 monyet ekor panjang dewasa dapat dikelompokkan menjadi sembilan belas karakter fenotipe (Tabel 5). Setiap kelas fenotipe memiliki jumlah karakter yang berbeda-beda, bahkan pada kelas fenotipe cambang (crest lateral wajah) ditemukan hanya satu karakter dari seluruh monyet yang disurvei. Dua karakter diidentifikasi pada kelas fenotipe warna kulit abdomen, namun sebagian besar populasi lokal hanya memiliki satu karakter. Karakter fenotipe terbanyak, yakni enam karakter, ditemukan pada kelas fenotipe pusaran kepala, kemudian disusul oleh kelas fenotipe jambul dengan empat karakter. Karakter tersebar pada populasi lokal dengan jumlah bervariasi. Tabel 5 Sebaran karakter kelas fenotipe kualitatif di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang Kelas fenotipe Jml karakter (buah) Jumlah karakter di populasi lokal (buah) Jawa Timur Bali Lombok Pgs AP Bm BL Pr PL AK Warna mahkota Warna rambut punggung Warna rambut paha lateral Warna kulit abdomen Cambang Jambul Pusaran Jumlah Rataan 1,86 1,86 2,14 1,43 1,57 1,71 1,43 2,29 1,86 2,00 SD 1,07 0,69 1,07 1,13 1,13 1,25 1,13 1,38 1,21 1,00 KK (%) 49,9 57,6 72,2 73,1 79,4 79,4 60,4 50,0 62,8 65,4 Pr UW SG Ww UB Pr BG PS Pr GP Jumlah karakter fenotipe kualitatif terendah ditemukan pada populasi lokal WwUB dan AK (10 atau 52,6%), sedangkan jumlah terbanyak (16 atau 84,2%) ditemukan pada populasi lokal PrBG. Jumlah karakter terbanyak kedua

13 42 ditemukan pada populasi lokal PrPL (15 atau 78,9%) disusul di urutan ketiga oleh populasi lokal PrGP (14 atau 73,7%). Sementara, pada populasi lokal PS, PgsAP, dan BmBL ditemukan karakter dengan jumlah yang sama (13 atau 68,4%) dan pada SG dan PrUW ditemukan karakter dengan jumlah relatif lebih rendah (12 atau 63,2% dan 11 atau 57,9% secara berurutan). Koefisien keragaman yang tinggi di masing-masing populasi lokal seperti yang ditampilkan pada Tabel 5 semata-mata disebabkan oleh perbedaan jumlah karakter yang diidentifikasi pada masing-masing kelas fenotipe kualitatif. Sebagai cotoh, satu karakter diidentifikasi pada kelas fenotipe cambang, sedangkan enam karakter diidentifikasi pada kelas fenotipe pusaran kepala. Warna Mahkota, Rambut Punggung, Rambut Paha Lateral, dan Kulit Abdomen Pengamatan warna mahkota, rambut pungung, dan rambut paha lateral pada 334 ekor monyet ekor panjang dewasa menunjukkan dua kelompok warna yaitu abu-abu dan kuning keemasanan sampai kecokelatan. Pemisahan menjadi dua kelompok warna adalah untuk menghindari kesalahan karena perubahan warna abu-abu menjadi sedikit lebih pucat atau lebih gelap dan perubahan warna keemasan menjadi kurang kuning sampai sedikit gelap atau kecokelatan sangat sulit dibedakan di antara individu dengan hanya mengandalkan pengelihatan dan ingatan semata. Hasil penelitian ini juga menunjukkan warna mahkota, rambut punggung, dan rambut paha lateral relatif sama antar populasi pulau, dan warna mahkota, secara umum, tidak berbeda dengan warna rambut punggung dan rambut paha lateral (Gambar 6). Populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok, secara umum, memiliki pola distribusi yang sama untuk keempat fenotipe kualitatif tersebut (Tabel 6). Pengelompokan monyet sesuai warna mahkota di masing-masing populasi lokal kawasan Jawa Timur, Bali, dan Lombok (Tabel 6) menunjukkan warna mahkota kuning keemasan-kecokelatan memiliki frekuensi sangat tinggi di masing-masing populasi lokal. Rentangan distribusi frekuensinya antara % dengan rataan 94,3%. Dominasi monyet dengan warna mahkota kuning keemasan-kecokelatan ini sangat konsisten di sepuluh populasi lokal yang

14 43 dibuktikan dengan koefisien keragaman yang sangat rendah, 7,66%. Sementara, monyet dengan warna mahkota abu-abu ditemukan dalam jumlah sangat sedikit bahkan pada empat populasi lokal, WwUB, SG, AK, dan PrUW, tidak ditemukan sama sekali. Proporsi monyet dengan warna mahkota abu-abu tertinggi ditemukan pada populasi lokal BmBL, tetapi frekuensinya tetap tidak melebihi 20% dari jumlah anggota populasi yang diamati (Tabel 6). Rambut paha lateral Rambut punggung Mahkota A B Gambar 6 Warna mahkota, rambut punggung, dan rambut paha lateral monyet ekor panjang. Warna mahkota, rambut punggung, dan rambut paha lateral kuning keemasan-kecokelatan (A) dan abu-abu (B). Warna rambut punggung dan rambut paha lateral didominasi secara konsisten oleh warna kuning keemasan-kecokelatan di setiap populasi lokal dengan koefisien keragaman masing-masing 9,54%. Kecuali populasi lokal BmBL, seluruh populasi lokal memiliki frekuensi warna rambut punggung dan paha lateral masing-masing di atas 85% bahkan pada populasi lokal PS, WwUB, SG, AK, dan PrUW mencapai 100% (Tabel 6). Penyebaran monyet dengan warna rambut punggung dan paha lateral abu-abu sangat tidak merata dengan koefisien keragaman 158,6%. Populasi lokal BmBL memiliki frekuensi warna rambut punggung dan paha lateral abu-abu masing-masing di atas 25%,

15 44 sedangkan sembilan populasi lokal lainnya memiliki frekuensi masing-masing di bawah 15% bahkan 0% untuk populasi lokal PS, WwUB, SG, AK, dan PrUW (Tabel 6). Tabel 6 Distribusi frekuensi warna mahkota, rambut punggung, rambut paha lateral, dan kulit abdomen monyet ekor panjang di sepuluh populasi lokal Frekuensi karakter Kawasan Jawa Timur Bali Lombok Pop. Rambut Rambut paha Mahkota lokal punggung lateral Kulit abdomen ab k-emcococok k-em- k-em- ab ab biru pink PgsAP n=24 0,04 0,96 0,04 0,96 0,04 0,96 1,00 0,00 BmBL n=25 0,20 0,80 0,28 0,72 0,28 0,72 1,00 0,00 PrPL n=44 0,05 0,95 0,05 0,95 0,05 0,95 1,00 0,00 AK n=31 0,00 1,00 0,00 1,00 0,00 1,00 1,00 0,00 PrUW n=27 0,00 1,00 0,00 1,00 0,00 1,00 0,96 0,04 SG n=50 0,00 1,00 0,00 1,00 0,00 1,00 1,00 0,00 WwUB n=31 0,00 1,00 0,00 1,00 0,00 1,00 1,00 0,00 PrBG n=29 0,10 0,90 0,14 0,86 0,14 0,86 1,00 0,00 PS n=41 0,02 0,98 0,00 1,00 0,00 1,00 1,00 0,00 PrGP n=32 0,16 0,84 0,06 0,94 0,06 0,94 1,00 0,00 Rataan 0,057 0,943 0,057 0,943 0,057 0,943 0,996 0,004 SD 0,072 0,072 0,090 0,090 0,090 0,090 0,012 0,012 KK (%) 126,36 7,66 158,60 9,54 158,60 9,54 1,18 316,23 n: jumlah monyet dewasa yang diamati pada populasi lokal (ekor); ab: abu-abu; k-em-cok: kuning keemasan-kecokelatan Berdasarkan pada pola distribusi proporsi (Tabel 6), frekuensi warna rambut punggung sama dengan frekuensi warna rambut paha lateral pada masingmasing populasi lokal di ketiga kawasan atau pulau. Kesamaan ini ditandai oleh pola distribusi frekuensi yang sama di antara keduanya. Dengan cara yang sama, frekuensi warna mahkota umumnya sama dengan frekuensi warna rambut punggung dan paha lateral meskipun satu ekor pada populasi lokal PS, PrBG, dan BmBL, serta tiga ekor pada populasi lokal PrBG menunjukkan hal yang berbeda. Pengamatan terhadap warna kulit abdomen monyet ekor panjang di sepuluh populasi lokal teridentifikasi dua warna berbeda yaitu kebiruan dan putih

16 45 kemerahan (pink) (Gambar 7). Hasil survei menunjukkan warna kebiruan menyebar dari daerah dada sampai sedikit di depan daerah pubis. Pengamatan juga menemukan beberapa tipe warna kebiruan seperti menyebar sampai daerah inguinal, bercak-bercak kebiruan yang terpisah, dan kebiruan agak pudar. A B Gambar 7 Warna kulit adomen monyet ekor panjang. Warna kebiruan (A) dan warna putih kemerahan atau pink (B). Tanda panah menunjukkan kulit abdomen. Pengamatan terhadap warna kulit abdomen monyet menunjukkan warna kebiruan mendominasi di seluruh populasi lokal baik di Kawasan Jawa Tmur, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok dengan rataan frekuensi 96,6% (Tabel 6). Distribusi fekuensinya pada masing-masing populasi lokal cukup homogen dengan koefisien keragaman yang kecil 1,18%. Warna kebiruan ditemukan hampir di seluruh individu yang diamati, kecuali populasi lokal PrUW. Warna kulit abdomen pink atau putih kemerahan teramati pada populasi lokal PrUW dengan frekuensi yang sangat rendah 0,04 atau hanya satu ekor dari 27 ekor yang diamati. Monyet dengan kulit abdomen pink tidak ditemukan pada populasi lokal yang ada di Pulau Lombok dan Kawasan Jawa Timur serta di sebagaian besar populasi lokal di Pulau Bali. Cambang (Crest Lateral Wajah) dan Jambul Pengamatan terhadap 334 ekor monyet ekor panjang dewasa dari sepuluh populasi lokal menunjukkan seluruh monyet memiliki cambang tipe transzigomatikus (Gambar 8). Cambang tipe lainnya seperti infrazigomatikus

17 46 tidak ditemukan. Untuk karakter ini, semua kawasan (Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok) menunjukkan pola distribusi frekuensi yang sangat homogen (Tabel 7). A B Gambar 8 Cambang (A) dan jambul (B) monyet ekor panjang. Tanda panah menunjukkan tipe transzigomatikus (A) dan posisi jambul di tengah dan tegak (tengah/tegak, B). Tabel 7 Frekuensi karakter transzigomatikus dan infrazigomatikus kelas fenotipe cambang monyet ekor panjang di sepuluh populasi lokal Frekuensi karakter Kawasan Pop. lokal Cambang transzigomatikus infrazigomatikus Jawa Timur PgsAP (n=24) 1,00 0,00 BmBL (n=25) 1,00 0,00 PrPL (n=44) 1,00 0,00 AK (n=31) 1,00 0,00 Bali PrUW (n=27) 1,00 0,00 SG (n=50) 1,00 0,00 WwUB (n=31) 1,00 0,00 PrBG (n=29) 1,00 0,00 Lombok PS (n=41) 1,00 0,00 PrGP (n=32) 1,00 0,00 rataan 1,00 0,00 SD 0,00 0,00 KK (%) 0,00 0,00 n: jumlah monyet ekor panjang yang diamati di setiap populasi lokal (ekor) Berbeda dengan cambang transzigomatikus, jambul tidak selalu ditemukan pada monyet ekor panjang. Secara umum, populasi lokal yang berada di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok memiliki pola distribusi frekuensi fenotipe jambul relatif sama (Tabel 8).

18 Tabel 8 Frekuensi karakter tengah/tegak, kiri/ke kiri, kiri/tegak, dan tanpa jambul kelas fenotipe jambul monyet ekor panjang di sepuluh populasi lokal Kelas fenotipe jambul Kawasan Pop. lokal Frekuensi karakter Tengah/ tegak Kiri/ke kiri Kiri/tegak tanpa Jawa Timur PgsAP (n=24) 1,00 0,00 0,00 0,00 BmBL (n=25) 0,92 0,00 0,00 0,08 PrPL (n=44) 0,48 0,05 0,00 0,48 AK (n=31) 1,00 0,00 0,00 0,00 Bali PrUW (n=27) 1,00 0,00 0,00 0,00 SG (n=50) 0,92 0,06 0,00 0,02 WwUB (n=31) 0,90 0,10 0,00 0,00 PrBG (n=29) 0,76 0,03 0,00 0,21 Lombok PS (n=41) 0,66 0,15 0,00 0,20 PrGP (n=32) 0,97 0,00 0,03 0,00 Rataan 0,861 a 0,032 b 0,003 b 0,098 b SD 0,166 0,044 0,009 0,148 KK (%) 19,34 137,43 300,00 151,31 n: jumlah monyet ekor panjang yang diamati di setiap populasi lokal (ekor) Huruf sama ke arah baris menunjukkan perbedaan tidak nyata (P=0,05) 47 Pada Tabel 8 terlihat bahwa rataan frekuensi monyet tanpa jambul mendekati 10% dari seluruh populasi lokal yang diamati. Monyet tanpa jambul ini tersebar secara tidak merata di setiap populasi lokal, bahkan tidak ditemukan pada populasi lokal PrPG, WwUB, AK, PrUW, dan PgsAP. Meskipun sejumlah 6 dan 8 ekor monyet dewasa tanpa jambul ditemukan berturut-turut di populasi lokal PrBG dan PS, jumlah ini jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah monyet berjambul yang mendekati empat kalinya. Proporsi tertinggi untuk monyet tanpa jambul ditemukan pada populasi lokal PrPL (48%), sedangkan pada SG dan BmBL proporsinya cukup rendah yaitu berturut-turut 2% dan 8%. Penelitian menunjukkan bahwa monyet yang memiliki jambul sangat mendominasi di setiap populasi lokal di tiga kawasan atau pulau dengan proporsi antara %. Pengamatan terhadap posisi dan kecondongan jambul diidentifikasi tiga kelompok yaitu posisi di tengah (garis median kepala) dengan kecondongan tegak (tengah/tegak), posisi di kiri garis median kepala dengan kecondongan ke kiri (kiri/ke kiri), dan posisi di kiri dengan kecondongan tegak (kiri/tegak). Hasil seluruh pengamatan menunjukkan monyet dengan jambul tengah/tegak memiliki proporsi tertinggi di semua populasi lokal (kisaran 0,48-1,00 dan rataan 0,861) disusul oleh kiri/ke kiri (kisaran 0,00-0,15 dan rataan

19 0,032) dan kiri/tegak (kisaran 0,00-0,03 dan rataan 0,003) seperti yang dilukiskan dengan diagram boksplot (Gambar 9). 48 frekuensi teng.teg kiri.kiri kiri.teg tidak jenis crest kepala Gambar 9 Sebaran frekuensi jenis (posisi dan kecondongan) jambul monyet ekor panjang di seluruh populasi lokal. Jambul tengah/tegak (teng.teg) tersebar dengan sebaran frekuensi terbanyak, disusul tanpa jambul (tidak), jambul kiri/ke kiri (kiri.kiri), dan jambul kiri/tegak (kiri.tegak). Rataan proporsi monyet tanpa jambul, jambul kiri/ke kiri, dan kiri/tegak tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan uji T pada taraf nyata 5%. Sebaliknya rataan proporsi jambul tegak/tengah sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) dari rataan proporsi karakter lainnya. Distribusi frekuensi monyet dengan jambul tegak/tengah cukup merata (KK 19,34%) di setiap populasi lokal, kecuali populasi lokal PrPL dengan frekuensi yang relatif lebih rendah (48%). Dari sepuluh populasi lokal yang disurvei, separuhnya menunjukkan keberadaan monyet dengan jambul kiri/ke kiri meskipun dengan frekuensi rendah yaitu antara 0,03-0,15 (Tabel 8). Distribusi yang sangat tidak merata terlihat pada jambul kiri/tegak. Jambul ini teramati hanya pada satu ekor dari 32 monyet yang disurvei di populasi lokal PrGP, sementara di sembilan populasi lokal lainnya tidak ditemukan.

20 49 Pusaran Rambut Kepala Berdasarkan pada posisi dan arah pusaran yang diamati, pusaran kepala dikelompokkan atas lima yaitu pusaran dengan posisi di kanan garis median kepala atau jambul dengan arah pusaran rambut searah putaran jarum jam (disebut kanan/searah), di kiri garis median kepala atau jambul dengan arah pusaran rambut berlawanan putaran jarum jam (disebut kiri/berlawanan), di kanan dan kiri jambul dengan arah pusaran searah putaran jarum jam untuk kanan jambul dan berlawanan putaran jarum jam untuk kiri jambul (disebut kanankiri/searah-berlawanan), posisi di kepala bagain depan dengan arah pusaran searah putaran jarum jam (disebut depan/searah), dan di kepala bagian depan dengan arah pusaran berlawanan putaran jarum jam (disebut depan/berlawanan). Contoh kepala dengan pusaran ditampilkan pada Gambar 10. A Gambar 10 Pusaran kepala pada monyet ekor panjang. Pusaran jenis kiri/berlawanan putaran jarum jam (A) dan kanan-kiri/searahberlawanan putaran jarum jam (B). Tanda panah menunjukkan pusaran. B Dari 334 ekor monyet dewasa yang diamati, sejumlah 150 ekor atau mendekati 45% tidak memiliki pusaran kepala. Sisanya, 184 ekor (55%), memiliki pusaran kepala dengan berbagai posisi dan arah pusaran. Monyet tanpa pusaran kepala ditemukan di setiap populasi lokal baik di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok, tetapi dengan frekuensi yang beragam (KK 38%, Tabel 9). Rataan frekuensi monyet tanpa pusaran dari sepuluh populasi lokal adalah 0,429. Frekuensi tertingi monyet tanpa pusaran teramati pada populasi

21 lokal PrPL (0,77), dan frekuensi terendahnya ditemukan pada populasi lokal BmBL (0,16). 50 Tabel 9 Frekuensi karakter kanan/searah, kiri/berlawanan, kanan-kiri/searahberlawanan, sepan/searah, depan/berlawanan, dan tanpa pusaran kelas fenotipe pusaran kepala monyet ekor panjang di sepuluh populasi lokal Kelas fenotipe pusaran kepala Frekuensi karakter Kawasan Populasi lokal kanan/ searah kiri/ berlawanan kanankiri/ searahberlawa nan depan/ searah depan/ berlawa nan tanpa pusaran Jawa PgsAP (n=24) 0,04 0,54 0,17 0,00 0,00 0,25 Timur BmBL (n=25)) 0,00 0,76 0,08 0,00 0,00 0,16 PrPL (n=44) 0,09 0,07 0,07 0,00 0,00 0,77 AK (n=31) 0,16 0,45 0,03 0,00 0,00 0,35 Bali PrUW (n=27) 0,22 0,15 0,15 0,00 0,00 0,48 SG (n=50) 0,28 0,30 0,00 0,00 0,08 0,34 WwUB (n=31) 0,26 0,13 0,13 0,00 0,00 0,48 PrBG (n=29) 0,21 0,24 0,14 0,03 0,00 0,38 Lombok PS (n=41) 0,07 0,37 0,02 0,00 0,00 0,54 PrGP (n=32 0,22 0,19 0,06 0,00 0,00 0,53 Rataan 0,155 ab 0,319 bc 0,085 a 0,003 0,008 0,429 c SD 0,092 0,204 0,055 0,010 0,024 0,163 KK (%) 59,45 63,85 64,39 300,00 300,00 38,034 n: jumlah monyet ekor panjang yang diamati di setiap populasi lokal (ekor) Huruf sama ke arah baris menunjukkan perbedaan tidak nyata (P=0.05) Karakter pusaran kanan/searah hampir ditemukan di seluruh populasi lokal yang diamati baik di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok. Distribusi frekuensi monyet dengan pusaran kanan/searah di masingmasing populasi lokal beragam (KK 59,45%, Tabel 9). Sebaran frekuensi karakter pusaran kanan/searah antara 0,00-0,28 dan rataan frekuensi seluruh populasi lokal sebesar 0,155. Frekuensi tertinggi ditemukan pada populasi lokal SG (0,28) dan terendah ditemukan di populasi lokal BmBL (0,00). Sama halnya dengan pusaran kanan/searah, frekuensi pusaran kiri/berlawanan bervariasi pada populasi lokal dengan koefisien keragaman 63,85% (Tabel 9). Namun demikian, karakter ini ditemukan di seluruh populasi lokal yang diamati baik di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok. Karakter pusaran kiri/berlawanan tidak selalu menempati frekuensi tertinggi di setiap populasi lokal. Jenis pusaran ini ditemukan dengan frekuensi

22 51 tertinggi di populasi lokal PgsAP (0,54), BmBL (0,76) dan AK (0,45). Sementara, frekuensi terendahnya ditemukan di populasi lokal PrPL (0,07). Selain itu, di populasi lokal PrPL, jenis pusaran ini memiliki frekuensi yang sama dengan frekuensi pusaran kanan-kiri/searah-berlawanan. Pusaran kanan-kiri/searah-berlawanan ditemukan hampir di seluruh populasi lokal yang diamati. Meskipun demikian, distribusi frekuensinya tidak homogen di masing-masing populasi lokal yang disurvei (KK 64,39%, Tabel 9). Proporsi tertinggi pusaran ini ditemukan di populasi lokal PgsAP (0,17), dan disusul oleh populasi lokal PrUW (0,15) di urutan kedua. Sementara, pusaran kanan-kiri/searah-berlawanan ini tidak ditemukan di populasi lokal SG (0,00). Rataan frekuensi pusaran kanan-kiri/searah-berlawanan untuk ke seluruhan populasi lokal sebesar 0,085. Pusaran depan/searah dan depan/berlawanan memiliki lokasi penyebaran yang sangat terbatas (Tabel 9). Monyet dengan pusaran depan/searah hanya ditemukan di populasi lokal PrBG, sedangkan monyet yang berpusaran depan/berlawanan hanya ditemukan di populasi lokal SG. Proporsi kedua pusaran ini cukup rendah masing-masing 0,03 pada PrBG dan 0,08 pada SG. Penyebaran yang sangat tidak merata ini merupakan penyebab koefisien keragaman yang sangat tinggi (300,00%). Pengujian rataan proporsi pusaran kanan/searah, kiri/berlawanan, kanankiri/searah-berlawanan, dan tanpa pusaran dengan uji T menunjukkan bahwa rataan frekuensi tanpa pusaran tidak berbeda dengan rataan frekuensi pusaran kiri/berlawanan (P=0,05) tetapi sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan rataan frekuensi pusaran kanan/searah dan kanan-kiri/searah-berlawanan (P=0,01). Rataan frekuensi pusaran kanan/searah tidak berbeda nyata (P =0,05) dengan rataan frekuensi kiri/berlawanan dan kanan-kiri/searah-berlawanan, sedangkan rataan frekuensi kiri/berlawanan sangat berbeda dengan rataan kanankiri/searah-berlawanan (P=0,01). Untuk pusaran depan/searah dan depan/berlawanan tidak dilakukan pengujian karena distribusi frekuensi kedua pusaran tersebut sangat tidak merata.

23 Analisis Korespondensi Karakter Fenotipe Kualitatif Monyet Ekor Panjang Penelitian Hasil ekstraksi atau dekomposisi data karakter fenotipe menjadi beberapa faktor atau sumbu ditampilkan pada Lampiran 6. Keragaman total sebesar 1,7135 terpartisikan ke dalam faktor pertama (F1) 0,3708 atau 21,64%, ke F2 0,1928 atau 11,25%, F3 0,1638 atau 9,56%, dan F4 0,1597 atau 9,32%. Empat faktor pertama ini mencakup sekitar 51,77% keragaman total. Besarnya proporsi (massa) masing-masing kelas warna mahkota, warna rambut punggung, warna rambut paha lateral, warna kulit abdomen, cambang, jambul, dan pusaran kepala adalah 0,143. Warna mahkota kuning keemasan-kecokelatan, warna rambut puggung kuning keemasan-kecokelatan, warna rambut paha lateral kuning keemasan-kecokelatan, warna kulit abdomen kebiruan, cambang transzigomatikus, jambul tengah/tegak, dan tanpa pusaran kepala adalah penyumbang massa tertinggi di kelasnya masing-masing dengan proporsi berturut-turut 0,136, 0,134, 0,133, 0,142, 0,143, 0,120, dan 0,064. Karakter warna rambut punggung abu-abu memberi keragaman tertinggi pada F1 dengan proporsi 33,3%, disusul oleh warna rambut paha lateral abu-abu, dan warna mahkota abu-abu masing-masing 30,3% dan 28,2%. Kelompok kedua terbesar penyumbang keragaman pada F1 adalah warna rambut paha lateral kuning keemasan-kecokelatan 2,3%, warna rambut punggung kuning keemasankecokelatan 2,2%, dan warna mahkota kuning keemasan-kecokelatan 1,5%. Sebaliknya, faktor pertama (F1) merepresentasikan 92% keragaman warna rambut punggung abu-abu dan kuning keemasan-kecokelatan. Keragaman warna rambut paha lateral abu-abu dan kuning keemasan-kecokelatan dijelaskan oleh F1 masing-masing sekitar 85%. Hal serupa, keragaman warna mahkota abu-abu dan kuning keemasan-kecokelatan dijelaskan masing-masing 76% oleh F1. Sementara karakter lainnya kurang baik direpresentasian oleh F1 karena nilai R 2 sangat rendah (0-3%). Keragaman F2 disumbang terbanyak oleh karakter tanpa jambul sebesar 39,1%, diikuti oleh pusaran kanan/searah 11,2% dan pusaran kiri/berlawanan 6,9% di urutan kedua dan ketiga. Karakter jambul tengah/tegak dan pusaran kanan-kiri/searah-berlawanan menyumbang keragaman masing-masing 5,7% dan 52

24 53 4,4% pada F2. Karakter warna abdomen kebiruan menyumbang keragaman 3,0% dan jambul kiri/tegak hanya menyumbang keragaman sebesar 1,7%. Karakter lain menyumbang keragaman cukup rendah pada F2 antara 0% sampai 0,6%. Di lain pihak, F2 cukup baik melukiskan karakter tanpa pusaran kepala dan tanpa jambul dengan proporsi masing-masing 65% dan 59%. F2 kurang baik merepresentasikan karakter jambul tengah/tegak karena hanya mampu melukiskan sekitar 48% dari seluruh keragaman karakter ini. Pada F3, karakter penyumbang keragaman tertinggi adalah pusaran kepala kanan/searah sebesar 28,3%, selanjutnya disusul oleh jambul kiri/tegak sebesar 21,7% dan warna kulit abdomen kebiruan 20,3%. Sebaliknya, F3 melukiskan dengan kurang baik semua karakter fenotipe karena nilai R 2 cukup rendah (di bawah 39%). Proyeksi atau pemetaan titik koordinat semua karakter fenotipe pada bidang dua dimensi dengan sumbu F1 dan F2 (Gambar 11) menunjukkan bahwa sumbu F1 memisahkan individu yang berwarna mahkota, rambut punggung dan rambut paha lateral abu-abu dengan individu karakter lainnya. Sedangkan F2 memisahkan individu beradasarkan karakter tanpa jambul dan tanpa pusaran kepala dengan individu yang karakter fenotipe kulit abdomen putih kemerahan dan jambul kiri/tegak. Posisi karakter warna mahkota, rambut punggung, dan rambut paha lateral abu-abu sangat jauh dari titik pusat sumbu F1 dan berdekatan satu sama lainnya menunjukkan ketiga karakter ini memiliki profil yang sangat berbeda dari rataan profilnya, namun satu dengan yang lain memiliki profil yang mirip. Dengan kata lain, ketiga karakter ini tidak terdistribusi secara merata pada individu, meskipun distribusi frekuensi ketiga karakter tersebut relatif sama satu sama lain dalam populasi. Profil karakter tanpa jambul dan jambul kiri/tegak sangat berbeda dan masing-masing terletak menjauhi pusat sumbu F2. Ini mengindikasikan bahwa karakter tanpa jambul dan jambul kiri/tegak terdistribusi tidak merata pada individu dan pola distribusi frekuensi kedua karakter ini tidak sama dalam populasi. Karakter kulit abdomen putih kemerahan terletak sangat jauh dari pusat sumbu di sisi positif F2 mengindikasikan karakter ini tersebar sangat tidak merata pada individu.

25 54 F2=11.25% mhab pgab phab amer kitg knse dpse krla knkr dpla thtg phec tran mhec pgec kiki puni crti F1=21.64% Gambar 11 Proyeksi karakter fenotipe monyet ekor panjang pada sumbu F1 dan F2 analisis korespondensi berganda. mhab: mahkota abu-abu; pgab: punggung abu-abu; phab: paha abu-abu; mhec: mahkota kuning keemasan-kecokelatan; pgec: punggung kuning keemasankecokelatan; phec: paha kuning keemasan-kecokelatan; abir: abdomen kebiruan; amer: abdomen putih kemerahan; tran: transzigomatikus; thtg: tengah/tegak; kitg: kiri/tegak; kiki: kiri/ke kiri; crti: jambul tidak ada; knse: kanan/searah; krla: kiri berlawanan; knkr: kanan-kiri/searah-berlawanan; dpse: depan/searah; dpla: depan/berlawanan; puni: pusaran nihil. Meskipun karakter tanpa pusaran kepala tidak tersebar secara merata pada individu, karakter ini terletak pada kuadran yang sama dengan karakter jambul kiri/ke kiri dan tanpa jambul. Potensi terjadinya asosiasi antar karakter ini cukup tinggi. Beberapa karakter lain yang saling berdekatan seperti pusaran kanan/searah, depan/searah, dan kanan-kiri/searah-berlawanan memiliki profil yang mirip. Hal yang sama juga terjadi antara pusaran kiri/berlawanan dengan jambul tengah/tegak. Karakter cambang transzigomatikus, kulit abdomen kebiruan, warna mahkota kuning keemasan-kecokelatan, warna rambut punggung kuning

26 55 keemasan-kecokelatan, dan warna rambut paha lateral kuning keemasankecokelatan terletak sangat dekat pada sumbu F1 dan F2. Karakter tersebut terdistribusi relatif merata pada individu dan pola distribusi frekuensinya relatif sama satu dengan yang lain dalam populasi. Bahkan, karakter cambang transzigomatikus yang tepat di titik pusat sumbu melukiskan karakter ini ditemukan di setiap individu yang diamati sebagaimana data menunjukkannya. Posisi karakter warna mahkota, rambut punggung, dan rambut paha lateral kuning keemasan-kecokelatan yang saling bertumpukan mencerminkan ketiga karakter ini memiliki profil yang sama. Proyeksi bersama antara karakter fenotipe dengan jenis kelamin dan populasi lokal pada satu bidang dengan sumbu F1 dan F2 menunjukkan posisi semua populasi lokal mengarah atau mendekati pusat sumbu. Meskipun demikian, populasi lokal PrPL, BmBL dan PrGP relatif lebih jauh dari pusat sumbu dibandingkan dengan populasi lokal lainnya (Gambar 12). Hal ini mengindikasikan profil populasi lokal tersebut dapat dibedakan. Posisi populasi lokal WwUB, AK (perbedaan jari-jari lingkaran dengan kepercayaan 95% sangat kecil terhadap jari-jari pusat sumbu), PrUW, PrBG, dan PgsAP yang mendekati pusat sumbu mengindikasikan profil populasi lokal tersebut mendekati rataan dari seluruh profil karakter fenotipe. Populasi yang demikian tidak terbedakan karena pola distribusi frekuensi karakter fenotipe cukup merata. Populasi lokal SG, meskipun sangat dekat dengan populasi lokal WwUB, AK, atau PrUW, tidak nyata mendekati pusat sumbu pada pengujian jari-jari dengan selang kepercayaan 95%. Hal yang sama juga terjadi pada populasi lokal PS. Populasi lokal SG dan PS, dengan demikian, profilnya terbedakan. Populasi lokal SG dibedakan dari populasi lokal lain karena profilnya memiliki frekuensi tinggi untuk karakter pusaran depan/berlawanan. Dengan kata lain, individu dengan pusaran yang terletak di depan kepala/jambul dan arahnya berlawanan putaran jarum jam relatif lebih banyak ditemukan pada populasi lokal SG. Demikian pula, untuk populasi lokal PS, profilnya terbedakan karena relatif lebih tingginya frekuensi karakter jambul kiri/ke kiri. Ini berarti monyet dengan jambul yang posisinya di kiri garis median kepala dan condong ke kiri relatif lebih

27 banyak ditemukan di populasi lokal PS daripada yang ditemukan di populasi lokal lainnya. 56 F2=11.25% mhab pgab phab amer kitg knkr knse dpse krla PGSAP PRUW AKdpla BMBL thtg PRGP BT SG WWUB PRBG tran mhec abir JT pgec phec PSkiki puni PRPL crti F1=21.64% Gambar 12 Proyeksi karakter fenotipe monyet ekor panjang, jenis kelamin, dan populasi lokal pada sumbu F1 dan F2 analisis korespondensi berganda. Huruf kecil menyatakan karakter dan huruf kapital menyatakan jenis kelamin dan populasi lokal. Mhab: mahkota abuabu; pgab: punggung abu-abu; phab: paha abu-abu; mhec: mahkota kuning keemasan-kecokelatan; pgec: punggung kuning keemasankecokelatan; phec: paha kuning keemasan-kecokelatan; abir: abdomen kebiruan; amer: abdomen putih kemerahan; tran: transzigomatikus; thtg: tengah/tegak; kitg: kiri/tegak; kiki: kiri/ke kiri; crti: jambul tidak ada; knse: kanan/searah; krla: kiri/berlawanan; knkr: kanan-kiri/searah-berlawanan; dpse: depan/searah; dpla: depan/berlawanan; puni: pusaran nihil. BT: betina; JT: jantan; PS: Pusuk; PRGP: Pura Gunung Pengsong; PRBG: Pura Bukit Gumng; WWUB: Wanara Wana Ubud; SG: Sangeh; AK: Alas Kedaton; PRUW: Pura Uluwatu; PRPL: Pura Pulaki; PGSAP: Pura Giri Sloka Alas Puwo; BMBL: Bama Baluran. Populasi lokal BmBL dan PrGP terletak saling berdekatan, karenanya kedua populasi lokal tersebut memiliki profil yang mirip. Populasi lokal BmBL

28 57 dan PrGP terletak di sisi negatif sumbu F1 sebagaimana halnya dengan karakter warna mahkota, rambut punggung, dan rambut paha lateral abu-abu. Jadi, kedua populasi lokal memiliki pola distribusi frekuensi karakter fenotipe warna mahkota, rambut punggung, dan rambut paha lateral abu-abu relatif lebih tinggi daripada yang ditemukan di populasi lokal lainnya. Populasi lokal PrPL terletak di sisi negatif sumbu F2 dan pada kuadran yang sama dengan karakter tanpa jambul dan tanpa pusaran kepala. Profil populasi lokal PrPL dapat dibedakan karena profilnya dicirikan oleh frekuensi karakter tanpa pusaran kepala relatif lebih tinggi. Oleh karena ada asosiasi kuat antara karakter tanpa pusaran dan karakter tanpa jambul, maka dapat dinyatakan monyet yang tidak memiliki jambul relatif lebih banyak ditemukan di populasi lokal PrPL dibandingkan dengan yang ditemukan di populasi lokal lainnya. Monyet jantan dan betina menempati lokasi yang sangat dekat dengan titik pusat sumbu F1 dan F2. Hal ini menunjukkan monyet jantan dan betina memiliki profil yang tidak terbedakan. Dapat disimpulkan bahwa karakter fenotipe yang diamati terdistribusi secara umum pada jantan dan betina. Dengan kata lain, tidak satupun kelas fenotipe yang diamati dapat dijadikan penciri khusus untuk monyet jantan atau betina. Sebagaimana halnya proyeksi pada bidang F1 dan F2, proyeksi pada bidang F1 dan F3 tidak memberikan gambaran yang berbeda jauh (Gamar 13). Meskipun sumbu F3 memisahkan individu dengan karakter fenotipe warna kulit abdomen putih kemerahan dan jambul kiri/tegak dengan individu dengan pusaran depan/berlawanan, sumbu F3 tidak mampu memisahkan populasi lokal berdasarkan karakter tersebut. Hal ini bisa terjadi karena sangat rendahnya massa karakter tersebut (Lampiran 6).

29 58 F3=9.56% dpla knkr kiki krla dpse pgab BMBL PGSAP WWUB pgec PS mhab phab thtg tran PRGP PRBG SG PRPL puni mhec JT PRUW WWUB crti knse amer kitg F1=21.64% Gambar 13 Proyeksi karakter fenotipe monyet ekor panjang, jenis kelamin, dan populasi lokal pada sumbu F1 dan F3 analisis korespondensi berganda. Huruf kecil menyatakan karakter dan huruf kapital menyatakan jenis kelamin dan populasi lokal. Mhab: mahkota abuabu; pgab: punggung abu-abu; phab: paha abu-abu; mhec: mahkota kuning keemasan-kecokelatan; pgec: punggung kuning keemasankecokelatan; phec: paha kuning keemasan-kecokelatan; abir: abdomen kebiruan; amer: abdomen putih kemerahan; tran: transzigomatikus; thtg: tengah/tegak; kitg: kiri/tegak; kiki: kiri/ke kiri; crti: jambul tidak ada; knse: kanan/searah; krla: kiri/berlawanan; knkr: kanan-kiri/searah-berlawanan; dpse: depan/searah; dpla: depan/berlawanan; puni: pusaran nihil. BT: betina; JT: jantan; PS: Pusuk; PRGP: Pura Gunung Pengsong; PRBG: Pura Bukit Gumng; WWUB: Wanara Wana Ubud; SG: Sangeh; AK: Alas Kedaton; PRUW: Pura Uluwatu; PRPL: Pura Pulaki; PGSAP: Pura Giri Sloka Alas Puwo; BMBL: Bama Baluran.

30 Pembahasan Warna Mahkota, Rambut Punggung, Rambut Paha Lateral, dan Kulit Abdomen Pola warna rambut M. fascicularis bertipe agoti. Rambut bertipe agoti disusun oleh pita hitam paling tidak pada ujungnya, kekuningan sampai kecokelatan pada bagian batang atau tengahnya, dan putih atau transparan pada pangkalnya. Variasi warna rambut monyet ekor panjang diakibatkan oleh variasi proporsi ketiga warna tersebut (Hamada et al. 1985). Pada penelitian ini, warna rambut pada monyet ekor panjang diidentifikasi dua warna yang cukup mudah dibedakan yakni warna abu-abu dan kuning keemasan sampai kecokelatan (kuning keemasan-kecokelatan). Dalam setiap warna terdapat variasi gradasi warna, tetapi sangat sulit untuk dibedakan dan diingat manakala pengamatan berpindah dari satu individu ke individu lain, terlebih lagi dari populasi lokal satu ke populasi lokal lain. Berdasarkan hal tersebut, warna mahkota, rambut punggung, dan rambut paha lateral dikelompokkan menjadi dua yaitu abu-abu dan kuning keemasan-kecokelatan sebagaimana juga digunakan oleh Fooden (1995) untuk membedakan warna rambut M. fascicularis di Asia Tenggara selain warna kehitaman. Analisis korenspondensi berganda terhadap karakter fenotipe (Gambar 11) mengindikasikan adanya kesamaan antara warna mahkota, warna rambut punggung dan rambut paha lateral pada monyet ekor panjang. Ketiga kelas fenotipe ini secara konsisten dipetakan berdekatan bahkan bertumpukan pada grafik korespondensi. Jadi, individu dengan warna mahkota kuning keemasankecokelatan memiliki warna rambut punggung dan paha lateral kuning keemasankecokelatan pula. Dengan pola yang sama, warna abu-abu pada mahkota akan diikuti warna abu-abu pada rambut punggung dan paha lateral. Pola ini teramati pada seluruh monyet yang di survei baik dari Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok. Hasil penelitian ini mendukung kesimpulan Fooden (1995) bahwa ada kesamaan antara warna mahkota, rambut pungung, dan paha lateral pada monyet ekor panjang. Secara umum, monyet ekor pajang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok 59 memiliki warna mahkota, warna rambut punggung, dan

31 60 warna rambut paha lateral yang sama yaitu kuning keemasan-kecokelatan. Kondisi ini sama dengan yang dilaporkan oleh Fooden (1995) untuk M. fascicularis di Pulau Jawa dan Sumatera. Pada masing-masing populasi lokal (Tabel 6), monyet dengan warna makota, rambut punggung dan rambut paha lateral kuning keemasan-kecokelatan sangat mendominasi. Isolasi geografi tampaknya belum menyebabkan perubahan pada kelas fenotipe tersebut secara nyata. Pada Pulau Lasia dan Karimunjawa, fenotipe tersebut ditemukan berwarna coklat gelap atau kehitaman (Fooden 1995). Warna mahkota, rambut punggung, dan paha laeral abu-abu ditemukan pada enam populasi lokal yaitu PS dan PrGP (Pulau Lombok); PrBG dan PrPL (Bali); serta PgsAP dan BmBL (Jawa Timur). Meskipun karakter tersebut terdistribusi di tiga kawasan atau pulau, individu dengan karakter fenotipe ini sangat sedikit ditemukan. Individu tersebut ditemukan relatif lebih banyak di populasi lokal BmBL dan PrGP yaitu berturut-turut 20% dan 16%. Warna rambut monyet ekor panjang yang tidak banyak jenisnya menandakan jumlah gen/alel yang terlibat dalam pembentukan warna rambut sedikit. Pengkajian lebih lanjut penting dilakukan untuk mengetahui polimofisme dan pola pewarisannya. Pengetahuan terhadap polimorfime dan pola pewarisan suatu fenotipe merupakan syarat dasar agar fenotipe tersebut dapat digunakan sebagai penanda struktur genetik populasi (Nozawa et al. 1996). Hampir seluruh monyet yang disurvei memperlihatkan warna kebiruan pada kulit abdomen. Hanya satu monyet pada populasi lokal PrUW yang menunjukkan warna putih kemerahan atau pink pada kulit abdomennya. Warna kebiruan pada kulit sangat terkait dengan keberadaan pigmen melanin pada lapisan kulit sebagaimana dilaporkan oleh Machida dan Perkins (1967) dalam Hamada et al. (1985). Mereka melaporkan bahwa pigmen melanin terletak pada lapisan epidermis dan dermis kulit pada berbagai primata. Kulit kehitaman timbul karena adanya pigmen melanin pada lapisan epidermis atau di kedua lapisan epidermis dan dermis, sedangkan kulit kebiruan diakibatkan oleh adanya pigmen melanin pada lapisan dermis kulit. Selain itu, kulit kebiruan adalah lebih primitif dari kulit kehitaman.

32 61 Berdasarkan analogi di atas, warna putih kemerahan pada kulit abdomen monyet muncul, tentu, karena tiadanya pigmen melanin pada dermis. Karakter warna putih kemerahan pada kulit abdomen monyet bersifat apomorfik atau autapomorfik karena berbeda dari karakter primitifnya dan hanya ditemukan pada satu individu di PrUW. Sangat menarik untuk diketahui proses terjadinya karakter autapomorfik ini dan pola pewarisan ke generasi selanjutnya. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat penurunan karakter ini dari generasi ke generasi, sehingga dapat disimpulkan apakah karakter ini melibatkan faktor genetik atau bukan faktor genetik. Pengetahuan ini sangat penting untuk dapat dimengerti lebih banyak bagaimana proses evolusi biologi berjalan di alam. Cambang dan Jambul Fooden (1995) mengelompokkan cambang monyet ekor panjang menjadi dua yaitu transzigomatikus dan infrazigomatikus. Cambang transzigomatikus dibentuk oleh rambut di depan telingga mengarah ke depan, sedangkan infrazigomatikus dibentuk oleh rambut di depan telinga mengarah ke belakang menutupi daun telingga. Hasil penelitian ini menunjukkan semua individu yang diamati memiliki cambang bertipe transzigomatikus. Tidak ditemukannya tipe infrazigomatikus pada populasi lokal baik di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok sangat kuat kaitannya dengan sejarah penyebaran yakni monyet di Pulau Bali dan Pulau Lombok berasal dari monyet Pulau Jawa. Dalam Buku FIELDIANA Zoology yang dikarang oleh Jeck Fooden (1995) diinformasikan bahwa cambang infrazigomatikus ditemukan pada monyet di Burma Selatan (M. f. aurea), sedangkan kedua jenis cambang ditemukan pada monyet di Pulau Simeulue (M. f. fusca), Pulau Lasia (M. f. lasiae), dan Pulau Nicobar (M. f. umbrosa). Monyet ekor panjang dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu individu dengan jambul dan tanpa jambul. Dari 334 monyet dewasa yang diamati pada penelitian ini, sebagian besar (± 89%) memiliki jambul dan sisanya (±11%) tanpa jambul. Tiga jenis jambul diidentifikasi berdasarkan pada posisi dan kecondongannya (Tabel 8). Jenis jambul tengah/tegak (posisi pada garis median kepala dan tegak) sangat dominan di semua populasi lokal.

33 62 Adanya beberapa karaker jambul memungkinkan kelas fenotipe ini berpotensi sebagai penciri karakter populasi lokal. Kekhasan populasi lokal dapat dilihat dari distribusi frekuensi karakter tersebut dalam populasi, seperti populasi lokal PrPL memiliki anggota tanpa jambul dengan frekuensi relatif lebih tinggi (48% Tabel 8). Dalam rangkaian penelitian yang dilakukan, penulis mencatat bahwa ada beberapa variasi bentuk jambul pada monyet ekor pajang. Meskipun tidak dalam bentuk data, paling sedikit ditemukan tiga bentuk jambul yang berbeda. Ke depan, penelitian mengenai hal ini sangat dibutuhkan sehingga kekhasan populasi lokal lebih banyak dapat diungkapkan dan sasaran konservasi lebih terfukoskan. Pusaran Rambut Kepala Monyet Ekor Panjang Penelitian menunjukkan tidak ada pusaran di kepala dan ada pusaran di kepala ditemukan dengan frekuensi yang tidak jauh berbeda, tepatnya 41% untuk tidak ada pusaran dan 59% untuk ada pusaran dari seluruh individu yang disurvei. Pengamatan terhadap arah pusaran untuk pusaran yang berada di kanan dan kiri jambul (kanan dan kiri garis median kepala) mengindikasikan kuat bahwa arah pusaran mengikuti arah rambut kepala. Arah rambut di sebelah kiri dan kanan garis median kepala adalah kaudo-lateral. Posisi pusaran di kanan jambul (kanan garis median kepala) akan memiliki arah pusaran searah jarum jam. Hal ini timbul karena pusaran dimulai dari ujung depan jambul lalu bergerak ke samping kanan-ke belakang-ke tengah (Gambar 10) yang menyerupai putaran jarum jam. Untuk pusaran yang ada di kiri jambul, pusaran dimulai dari ujuang depan jambul lalu melingkar ke samping kiri-ke belakang-ke tengah sehingga berlawanan dengan putaran jarum jam. Pusaran di bagian depan kepala (di depan jambul) arah putarannya belum bisa dipolakan karena kurangnya catatan yang dilakukan untuk posisi relatifnya terhadap garis median kepala. Hasil analisisis korespondensi menunjukkan ada asosiasi kuat antara karakter tanpa pusaran dengan tanpa jambul dan jambul kiri/ke kiri yakni samasama menempati di sisi poitif sumbu F1 dan di sisi negatif sumbu F2 (Gambar 11). Dengan kata lain, sebagian besar (mungkin semuanya) individu yang tidak memiliki jambul atau memiliki jambul kiri/ke kiri tidak memiliki pusaran kepala.

34 63 Analisis korespondensi juga mengindikasikan bahwa sebagian besar pusaran kepala ditemukan pada individu yang memiliki jambul. Sama halnya dengan kelas fenotipe jambul, kelas fenotipe pusaran kepala yang memiliki 6 karakter dapat digunakan sebagai penciri kekhasan populasi seperti populsi lokal PrPL dengan frekuensi tanpa pusaran relatif lebih tinggi (77%). Informasi yang menelaah kelas fenotipe jambul dan pusaran belum ditemukan. Penelitian lanjutan sangat diperlukan untuk menganalisis jumlah gen/alel yang terlibat dan pewarisannya dari generasi ke generasi. Kekhasan Fenotipe Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang Distribusi jumlah karakter untuk masing-masing kelas fenotipe pada populasi lokal cukup beragam dengan koefesien keragaman di atas 40% untuk semua populasi lokal (Tabel 5). Namun demikian, hampir sebagian besar karakter fenotipe terutama karakter yang berfrekuensi relatif tinggi ditemukan di setiap populasi lokal baik di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok. Tinggi dan rendahnya frekuensi suatu karakter fenotipe mungkin berkaitan dengan sejarah penyebaran, pemisahan populasi, dan derajat isolasi populasi. Karakter yang hanya ditemukan pada satu populasi lokal dengan frekuensi rendah dapat dinyatakan sebagai salah satu bentuk varian dari bentuk liarnya seperti jambul kiri/tegak pada PrGP, pusaran depan/berlawanan pada SG, pusaran depan/searah pada PrBG, dan kulit abdomen putih kemerahan pada PrUW. Tidak semua varian dapat digunakan sebagai pembeda antar populasi pulau atau penciri kekhasan populasi lokal karena frekuensinya yang rendah. Adanya bentuk varian baru hanya pada populasi lokal tertentu telah mempertontonkan suatu proses evolusi biologi dan pemutusan penyebaran karakter dari satu populasi ke populasi lain akibat isolasi. Analisis profil populasi lokal menggunakan analisis korespondensi dapat membedakan beberapa populasi lokal dari yang lainnya (Gambar 12). Populasi lokal WwUB, AK, PgsAP, PrUW, dan PrBG memiliki profil yang mirip satu dengan yang lain, dan profil (distribusi frekuensi) karakter fenotipenya merupakan rataan dari semua profil karakter. Hal ini mengindikasikan frekuensi karakter fenotipe yang ada dalam populasi lokal tidak terbedakan satu dengan

35 64 yang lainnya. Populasi lokal yang demikian tidak memiliki frekuensi karakter fenotipe tertentu yang cukup untuk menjadi pembeda dari populasi lokal lain. Meskipun, sebagai contoh, pada populasi lokal PrUW ditemukan individu yang kulit abdomennya putih kemerahan, PrUW tidak berbeda dari populasi lokal lain seperti WwUB atau AK. Ini disebabkan oleh frekuensi karakter warna kulit abdomen putih kemerahan rendah dalam populasi PrUW (ukuran massa= 0,00 Lampiran 6). Populasi lokal AK, meskipun pada pengujian radius dengan kepercayaan 95% tidak nyata mendekati titik pusat sumbu tetapi dengan perbedaan jari-jari lingkaran yang kecil, memiliki profil yang mirip dengan PrUW atau WwUB karena posisinya yang sangat dekat dengan dua populasi lokal tersebut. Populasi lokal PrPL, PS, SG, PrGP, dan BmBL dapat dibedakan karena perbedaan profil yang dimiliki. Perbedaan ini terkait dengan keberadaan karakter tertentu dengan frekuensi relatif lebih tinggi. Analisis korespondensi (Gambar 12) menunjukkan anggota populasi yang memiliki jambul kiri/ke kiri ditemukan relatif lebih banyak pada populasi lokal PS daripada yang ditemukan di populasi lokal lain. Hal serupa juga terlihat pada populasi lokal PrGP dan BmBL. Kedua populasi lokal ini terbedakan karena sama-sama memiliki anggota populasi dengan warna mahkota, rambut punggung, dan rambut paha lateral abu-abu relatif lebih banyak daripada populasi lokal lain. Demikian pula, profil populasi lokal SG terbedakan karena adanya individu yang memiliki pusaran di depan kepala dengan arah pusaran berlawanan putaran jarum jam relatif lebih banyak dibandingkan dengan yang ditemukan di populasi lokal lain. Meskipun beberapa populasi lokal terbedakan karena profil yang dimilikinya, populasi lokal tersebut belum dapat digolongkan memiliki kekhasan fenotipe. Hal ini disebabkan oleh proporsi karakter yang menjadi pembeda profil sangat rendah. Pada Lampiran 6 dapat dilihat bahwa dari tujuh kelas fenotipe yang diamati terdapat sembilan belas karakter sehingga rataan massa karakter adalah 0,053. Karakter yang menjadi pembeda pada populasi lokal PS, SG, PrGP, dan BmBL memiliki massa yang lebih rendah daripada rataan massa karakter. Sebagai contoh, karakter jambul kiri/ ke kiri dan pusaran kepala depan/belawanan yang masing-masing menjadi pembeda untuk PS dan SG memiliki massa

36 65 berturut-turut 0,006 dan 0,002 (Lampiran 6). Kedua massa tersebut jauh lebih rendah daripada rataan massa karakter 0,053. Dengan demikian, semua karakter pembeda dengan frekuensi yang sangat rendah tidak dapat dinyatakaan sebagai kekhasan populasi. Berbeda dengan empat populasi lokal terdahulu, populasi lokal PrPL memiliki kekhasan. Karakter pembeda untuk populasi lokal PrPL, yakni tanpa pusaran kepala, memiliki massa (0,064) melebihi rataan massa karakter (0,053). Analisis korespendensi juga menunjukkan bahwa ada asosiasi antara karakter tanpa pusaran kepala dengan karakter tanpa jambul. Maka, dapat disimpulkan bahwa populasi lokal PrPL memiliki kekhasan yang dicirikan oleh anggota populasi yang tidak memiliki jambul dan tidak ada pusaran pada kepala relatif lebih banyak dibandingkan dengan yang ditemukan pada populasi lokal lain. Kekhasan fenotipe yang ditemukan pada satu populasi lokal belum dapat dinyatakan sebagai kekhasan populasi pulau. Ini disebabkan oleh distribusinya yang sangat terbatas, dan fenotipe tersebut bukan merupakan modus fenotipe populasi pulau. Hasil penelitian menunjukkan hampir sebagian besar karakter fenotipe ditemukan baik di populasi lokal Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok. Selain itu, pola modus suatu karakter fenotipe relatif sama atau sebangun antar populasi lokal. Sebagai contoh, warna mahkota kuning keemasan-kecokelatan yang ditemukan dengan frekuensi tertinggi di populasi lokal BmBL atau PgsAP, juga ditemukan dengan frekuensi tertinggi di populasi lokal lain baik di Pulau Bali maupun di Pulau Lombok, meskipun ketinggian frekuensinya berbeda. Analisis korespondensi juga menunjukkan bahwa, secara umum, semua populasi lokal mendekati pusat sumbu baik yang dipetakan dengan F1-F2 maupun F1-F3. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai belum adanya perbedaaan fenotipe yang bermakna di antara populasi lokal. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa populasi monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok masih memiliki fenotipe kualitatif yang sama.

37 66 Simpulan 1. Isolasi geografi belum menimbulkan perubahan pada fenotipe kualitatif monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok. 2. Monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok memiliki warna mahkota, warna rambut pungggung, warna rambut paha lateral kuning keemasan-kecokelatan dan kulit abdomen kebiruan. 3. Monyet ekor panjang Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok memiliki cambang transzigomatikus. 4. Karakter fenotipe jambul dan pusaran kepala, secara umum, ditemukan baik pada populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok.

38 Strutur Genetik Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok 67 Hasil Penelitian Alel dan Lokus Polimorfik Lokus dinyatakan polimorfik apabila jumlah alel bersama dalam populasi pada lokus tersebut lebih dari satu dengan frekuensi alel yang paling umum kurang atau sama dengan 0,95. Alel pada masing-masing lokus mikrosatelit dalam populasi diidentifikasi berdasarkan perbedaan migrasi pita setelah dielektroforesis dengan gel poliakrilamid 7% selama dua jam (Gambar 14). Gambar 14 Alel lokus D1S533. Nomor menyatakan sampel (individu), huruf M menyatakan penanda (100 base pairs ladder). Genotipe 1,2,4 =232/232; 3,6=194/194; 5=194/216; 7=194/224 8=216/216. Panjang alel merupakan panjang produk PCR. Pengukuran keragaman genetik sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang yang berasal dari tiga kawasan yaitu Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok dengan menggunakan sembilan lokus mikrosatelit menunjukkan lokus D2S1368 monomorfik (homosigot) di seluruh populasi lokal. Lokus D1S533 monomorfik di populasi lokal PS (homosigot) dan PrPL (satu alel dengan frekuensi melebihi 0,95), sedangkan lokus D3S1768 monomorfik (homosigot) pada populasi lokal PrGP (Tabel 10). Nilai proporsi lokus polimorfik yang ditemukan di populasi lokal PS, PrGP, dan PrPL sama, masing-masing 78%. Ini

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tersebar luas di Daratan Asia Tenggara, Lempeng Sunda, Kepulauan Filipina, dan daerah Wallacea Selatan. Monyet ekor panjang di Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo :

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN KERAGAMAN GENETIK POPULASI LOKAL MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI JAWA TIMUR, BALI, DAN LOMBOK I NENGAH WANDIA

STRUKTUR DAN KERAGAMAN GENETIK POPULASI LOKAL MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI JAWA TIMUR, BALI, DAN LOMBOK I NENGAH WANDIA STRUKTUR DAN KERAGAMAN GENETIK POPULASI LOKAL MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI JAWA TIMUR, BALI, DAN LOMBOK I NENGAH WANDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Kegiatan seleksi famili yang dilakukan telah menghasilkan dua generasi yang merupakan kombinasi pasangan induk dari sepuluh strain ikan nila, yaitu TG6, GIFT F2 dan

Lebih terperinci

Bibit sapi potong - Bagian 3 : Aceh

Bibit sapi potong - Bagian 3 : Aceh Standar Nasional Indonesia Bibit sapi potong - Bagian 3 : Aceh ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

Lebih terperinci

Buletin Veteriner Udayana Vol.1 No.2. :47-53 ISSN : Agustus 2009

Buletin Veteriner Udayana Vol.1 No.2. :47-53 ISSN : Agustus 2009 DINAMIKA POPULASI MONYET EKOR PANJANG (MACACA FASCICULARIS) DI HUTAN WISATA ALAS KEDATON TABANAN (The Population Dynamic of Long Tail Monkey (Macaca fascicularis) in Alas Kedaton, Tabanan) I Gede Soma

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia besar yang hidup di Pulau Jawa. Menurut Alikodra (1823), satwa berkuku genap ini mempunyai peranan

Lebih terperinci

LAPORAN SEMENTARA ILMU PRODUKSI TERNAK POTONG PENGENALAN BANGSA-BANGSA TERNAK

LAPORAN SEMENTARA ILMU PRODUKSI TERNAK POTONG PENGENALAN BANGSA-BANGSA TERNAK LAPORAN SEMENTARA ILMU PRODUKSI TERNAK POTONG PENGENALAN BANGSA-BANGSA TERNAK 1. Lokasi :... 2. Bangsa Sapi 1 :... 3. Identitas : (Kalung/No. Sapi/Nama Pemilik...) *) 4. Jenis Kelamin : ( / ) *) 5. Pengenalan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING S. SOPIYANA, A.R. SETIOKO, dan M.E. YUSNANDAR Balai Penelitian Ternak Jl. Veteran III PO Box 221

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF DASLINA

RINGKASAN EKSEKUTIF DASLINA RINGKASAN EKSEKUTIF DASLINA, 2006. Kajian Kelayakan dan Skala Ekonomi Usaha Peternakan Sapi Potong Dalam Rangka Pemberdayaan Peternak (Studi Kasus Di Kawasan Budidaya Pengembangan Sapi Potong Kabupaten

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian dimulai bulan November 2009 sampai dengan bulan Mei 2010. Kondisi curah hujan selama penelitian berlangsung berada pada interval 42.9 mm sampai dengan 460.7

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerbau lokal betina

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerbau lokal betina III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan Penelitian 3.1.1 Objek Penelitian Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerbau lokal betina dewasa tidak bunting sebanyak 50 ekor di Kecamatan Cibalong,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Sapi Bali Abidin (2002) mengatakan bahwa sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos Sondaicus)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Riau, hasil pemekaran dari Kabupaten induknya yaitu Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Panjang Baku Gambar 1. menunjukkan bahwa setelah dilakukan penyortiran pada bulan pertama terjadi peningkatan rata-rata panjang baku untuk seluruh kasus dan juga kumulatif.

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 79 PEMBAHASAN UMUM Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kuda di Sulawesi Utara telah dikenal sejak lama dimana pemanfatan ternak ini hampir dapat dijumpai di seluruh daerah sebagai ternak tunggangan, menarik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung

3. METODE PENELITIAN. Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelola Hutan Lindung (KPHL) Model Gunung Rajabasa Kabupaten

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. Eksistensi UPTD

HASIL DAN PEMBAHASAN. dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. Eksistensi UPTD IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Keadaan Umum Balai Pengembangan Ternak Domba Margawati merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas di lingkungan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat yang mempunyai tugas

Lebih terperinci

LOVEBIRD. Semoga bermanfaat.

LOVEBIRD. Semoga bermanfaat. LOVEBIRD Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Aves Order : Psittaciformes Superfamily : Psittacoidea Family : Psittaculidae Subfamily : Agapornithinae Genus : Agapornis Species: 1. Agapornis Personatus

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. M11, dan M12 wilayah Resort Bandealit, SPTN wilayah II Balai Besar Taman

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. M11, dan M12 wilayah Resort Bandealit, SPTN wilayah II Balai Besar Taman BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilakukan selama kurun waktu satu bulan di grid vector O11, M11, dan M12 wilayah Resort Bandealit, SPTN wilayah II Balai

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Adapun lokasi penelitian ini dilaksanakan ialah : 1. Kambing Kacang di desa Paya Bakung, desa Hamparan Perak dan desa

BAHAN DAN METODE. Adapun lokasi penelitian ini dilaksanakan ialah : 1. Kambing Kacang di desa Paya Bakung, desa Hamparan Perak dan desa BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Adapun lokasi penelitian ini dilaksanakan ialah : 1. Kambing Kacang di desa Paya Bakung, desa Hamparan Perak dan desa Klambir Lima Kampung, kecamatan Hamparan

Lebih terperinci

Suhardi, S.Pt.,MP MONOHIBRID

Suhardi, S.Pt.,MP MONOHIBRID Suhardi, S.Pt.,MP MONOHIBRID TERMINOLOGI P individu tetua F1 keturunan pertama F2 keturunan kedua Gen D gen atau alel dominan Gen d gen atau alel resesif Alel bentuk alternatif suatu gen yang terdapat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi asli Indonesia secara genetik dan fenotipik umumnya merupakan: (1) turunan dari Banteng (Bos javanicus) yang telah didomestikasi dan dapat pula (2) berasal dari hasil

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008 LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008 I. BENIH PERSYARATAN TEKNIS MINIMAL BENIH DAN BIBIT TERNAK YANG AKAN DIKELUARKAN A. Semen Beku Sapi

Lebih terperinci

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP. 21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Pertumbuhan Turunan Hibrid Huna Pertumbuhan bobot tubuh turunan hibrid antara huna capitmerah dengan huna biru sampai umur 4 bulan relatif sama, pada umur 5 bulan mulai tumbuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil persilangan antara Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Ketertarikan Tikus Sawah terhadap Rodentisida dan Umpan (Choice Test) Konsumsi Tikus Sawah terhadap Empat Formulasi Rodentisida Bromadiolon Tikus sawah yang mempunyai habitat

Lebih terperinci

PREDIKSI SOAL UAN MATEMATIKA 2009 KELOMPOK TEKNIK

PREDIKSI SOAL UAN MATEMATIKA 2009 KELOMPOK TEKNIK PREDIKSI SOAL UAN MATEMATIKA 2009 KELOMPOK TEKNIK 1. Jarak kota P dan kota R pada sebuah peta adalah 20 cm. Jika skala pada peta tersebut 1:2.500.000, maka jarak sebenarnya dua kota tersebut adalah. A.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN, KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

I. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi adalah salah satu kabupaten di Provinsi Riau, hasil pemekaran dari kabupaten induknya yaitu kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Burung Merpati Balap Tinggian Karakteristik dari burung merpati balap tinggian sangat menentukan kecepatan terbangnya. Bentuk badan mempengaruhi hambatan angin, warna

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis Rambut

HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis Rambut HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis Rambut Landak Hystrix javanica memiliki tiga macam bentuk rambut: rambut halus (seperti rambut pada mamalia lain), rambut peraba, dan duri. Rambut halus dan duri terdapat di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di

I. PENDAHULUAN. Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) merupakan salah satu dari delapan jenis Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di Cagaralam Dua

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. koordinat 107º31-107º54 Bujur Timur dan 6º11-6º49 Lintang Selatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN. koordinat 107º31-107º54 Bujur Timur dan 6º11-6º49 Lintang Selatan. 25 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi 4.1.1 Kabupaten Subang Kabupaten Subang terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Utara pada koordinat 107º31-107º54 Bujur Timur dan 6º11-6º49 Lintang Selatan.

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Mitra Tani (MT) Farm Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor, Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Pancoran Mas Depok dan Balai Penyuluhan dan Peternakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk, kebutuhan pangan semakin meningkat pula. Pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat jenisnya beragam, salah satunya pemenuhan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE sampai 5 Januari Penelitian ini dilakukan dengan metode survei, meliputi

BAB III MATERI DAN METODE sampai 5 Januari Penelitian ini dilakukan dengan metode survei, meliputi 9 BAB III MATERI DAN METODE aaaaaapenelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Wonogiri dari tanggal 19 September 2013 sampai 5 Januari 2014. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei, meliputi pengamatan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-Pebruari 2011. Penelitian dilakukan di dua peternakan domba yaitu CV. Mitra Tani Farm yang berlokasi di Jalan Baru No. 39 RT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. KUNAK didirikan berdasarkan keputusan presiden

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Padi Inbrida di Indonesia Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara definitif merupakan turunan pertama (F1) dari persilangan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Tabel 2. Jumlah Kambing Peranakan Etawah yang Diamati Kondisi Gigi. Jantan Betina Jantan Betina

MATERI DAN METODE. Tabel 2. Jumlah Kambing Peranakan Etawah yang Diamati Kondisi Gigi. Jantan Betina Jantan Betina MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi yang berbeda yaitu peternakan kambing PE Doa Anak Yatim Farm (DAYF) di Desa Tegal Waru, Kecamatan Ciampea dan peternakan kambing

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Burung Puyuh Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali diternakkan

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Adapun bahan yang digunakan adalah kuda yang sudah dewasa kelamin

BAHAN DAN METODE. Adapun bahan yang digunakan adalah kuda yang sudah dewasa kelamin 15 Tempat dan Waktu Penelitian BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Karo pada bulan Juli 2016 Bahan dan

Lebih terperinci

1.0 Distribusi Frekuensi dan Tabel Silang

1.0 Distribusi Frekuensi dan Tabel Silang ANALISIS DESKRIPTIF 1.0 Distribusi Frekuensi dan Tabel Silang 1.1 Pengantar Statistik deskriptif Statistika deskriptif adalah bidang statistika yang mempelajari tatacara penyusunan dan penyajian data yang

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996) PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki

Lebih terperinci

Tabel 1 Sudut terjadinya jarak terdekat dan terjauh pada berbagai kombinasi pemilihan arah acuan 0 o dan arah rotasi HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1 Sudut terjadinya jarak terdekat dan terjauh pada berbagai kombinasi pemilihan arah acuan 0 o dan arah rotasi HASIL DAN PEMBAHASAN sudut pada langkah sehingga diperoleh (α i, x i ).. Mentransformasi x i ke jarak sebenarnya melalui informasi jarak pada peta.. Melakukan analisis korelasi linier sirkular antara x dan α untuk masingmasing

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Di seluruh dunia, terdapat 20 jenis spesies Macaca yang tersebar di Afrika bagian utara, Eropa, Rusia bagian tenggara, dan Asia (Nowak, 1999). Dari 20 spesies tersebut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo ruminansia, famili Bovidae, dan genus Capra atau Hemitragus (Devendra dan Burn, 1994). Kambing

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban TINJAUAN PUSTAKA Kurban Menurut istilah, kurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Anis, 1972). Kurban hukumnya sunnah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan

I. PENDAHULUAN. potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki banyak potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan maupun tumbuhan dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kambing merupakan hewan-hewan pertama yang didomestikasi. oleh manusia. Diperkirakan pada mulanya pemburu-pemburu membawa

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kambing merupakan hewan-hewan pertama yang didomestikasi. oleh manusia. Diperkirakan pada mulanya pemburu-pemburu membawa PENDAHULUAN Latar Belakang Kambing merupakan hewan-hewan pertama yang didomestikasi oleh manusia. Diperkirakan pada mulanya pemburu-pemburu membawa pulang anak kambing dari hasil buruannya. Anak-anak kambing

Lebih terperinci

A~a n = B~b~b 1 n = C~c b ~c s ~c a ~c n = D~d n = i~i n= L~l n = o~o n = = h.

A~a n = B~b~b 1 n = C~c b ~c s ~c a ~c n = D~d n = i~i n= L~l n = o~o n = = h. Lokus o~o yang terpaut kromosom X akan memberikan tiga macam warna fenotipe yaitu oranye (a 1 ), tortoiseshell (a ) dan bukan oranye (a ) dengan jumlah a 1 + a + a = n. Frekuensi alel ditentukan dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) 4 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) Setelah perkecambahan, akar primer awal memulai pertumbuhan tanaman. Sekelompok akar sekunder berkembang pada buku-buku pangkal batang

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Profil RAPD Keragaman profil penanda DNA meliputi jumlah dan ukuran fragmen DNA. Hasil amplifikasi dengan menggunakan primer OPA-02, OPC-02, OPC-05 selengkapnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram kotak garis

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram kotak garis TINJAUAN PUSTAKA Diagram Kotak Garis Metode diagram kotak garis atau boxplot merupakan salah satu teknik untuk memberikan gambaran tentang lokasi pemusatan data, rentangan penyebaran dan kemiringan pola

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perakitan kamera gyroscope, diawali dengan pembentukan rangka dengan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perakitan kamera gyroscope, diawali dengan pembentukan rangka dengan 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Struktur Dasar Kamera Gyroscope Perakitan kamera gyroscope, diawali dengan pembentukan rangka dengan menggunakan pipa paralon 4 inchi dan keping CD sebagai gyroscope. Di bagian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keragaman Sifat Pertumbuhan dan Taksiran Repeatability Penelitian tentang klon JUN hasil perkembangbiakan vegetatif ini dilakukan untuk mendapatkan performa pertumbuhan serta

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Puyuh adalah spesies atau subspecies dari genus Coturnix yang tersebar di

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Puyuh adalah spesies atau subspecies dari genus Coturnix yang tersebar di 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 1.1 Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Puyuh adalah spesies atau subspecies dari genus Coturnix yang tersebar di seluruh daratan, kecuali Amerika. Awalnya puyuh merupakan ternak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tailed macaque) (Lekagul dan Mcneely, 1977). Macaca fascicularis dapat ditemui di

I. PENDAHULUAN. tailed macaque) (Lekagul dan Mcneely, 1977). Macaca fascicularis dapat ditemui di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Macaca fascicularis Raffles merupakan salah satu jenis primata dari famili Cercopithecidae yang dikenal dengan nama monyet atau monyet ekor panjang (long tailed macaque)

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM PRODUKSI DOMBA DAN KAMBING IDENTIFIKASI UMUR DAN PERFORMANS TUBUH (DOMBA)

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM PRODUKSI DOMBA DAN KAMBING IDENTIFIKASI UMUR DAN PERFORMANS TUBUH (DOMBA) LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM PRODUKSI DOMBA DAN KAMBING IDENTIFIKASI UMUR DAN PERFORMANS TUBUH (DOMBA) Disusun Oleh : Kelompok 9 Dita Swafitriani 200110140030 Hartiwi Andayani 200110140176 Fathi Hadad 200110140242

Lebih terperinci

SOAL TO UN SMA MATEMATIKA

SOAL TO UN SMA MATEMATIKA 1 1) Perhatikan premis-premis berikut. 1. Jika saya giat belajar maka saya bisa meraih juara. 2. Jika saya bisa meraih juara maka saya boleh ikut bertanding. Ingkaran dari kesimpulan kedua premis di atas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

Bibit sapi potong Bagian 6: Pesisir

Bibit sapi potong Bagian 6: Pesisir Standar Nasional Indonesia Bibit sapi potong Bagian 6: Pesisir ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2015 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

Lebih terperinci

NI Luh Gde Sumardani

NI Luh Gde Sumardani NI Luh Gde Sumardani Seminar Nasional Sains dan Teknologi (SENASTEK-2016), Kuta, Bali, INDONESIA, 15-16 Desember 2016 xxxxx PERFORMANS REPRODUKSI BABI BALI JANTAN DI PROVINSI BALI SEBAGAI PLASMA NUTFAH

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keragaman Bangsa Sapi Lokal Bangsa (breed) adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, suatu bangsa dapat dibedakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Monyet ekor panjang termasuk kelompok monyet dunia lama ( Old World

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Monyet ekor panjang termasuk kelompok monyet dunia lama ( Old World BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Monyet ekor panjang termasuk kelompok monyet dunia lama ( Old World Monkey) dan diklasifikasikan sebagai berikut (Napier dan Napier, 1985; Swindler, 1998): Kelas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN KERAGAMAN GENETIK POPULASI LOKAL MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI JAWA TIMUR, BALI, DAN LOMBOK I NENGAH WANDIA

STRUKTUR DAN KERAGAMAN GENETIK POPULASI LOKAL MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI JAWA TIMUR, BALI, DAN LOMBOK I NENGAH WANDIA STRUKTUR DAN KERAGAMAN GENETIK POPULASI LOKAL MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI JAWA TIMUR, BALI, DAN LOMBOK I NENGAH WANDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN

Lebih terperinci

KARAKTERISASI, KERAGAMAN POLA WARNA, CORAK TUBUH DAN GENETIK KUDA LOKAL SULAWESI UTARA

KARAKTERISASI, KERAGAMAN POLA WARNA, CORAK TUBUH DAN GENETIK KUDA LOKAL SULAWESI UTARA 35 KARAKTERISASI, KERAGAMAN POLA WARNA, CORAK TUBUH DAN GENETIK KUDA LOKAL SULAWESI UTARA Pendahuluan Populasi kuda lokal di Sulawesi Utara memiliki karakteristik baik morfologi maupun pola warna tubuh

Lebih terperinci

Kalimantan Tengah. Jembatan Kahayan

Kalimantan Tengah. Jembatan Kahayan 402 Penghitungan Indeks Indonesia 2012-2014 Kalimantan Tengah Jembatan Kahayan Jembatan Kahayan adalah jembatan yang membelah Sungai Kahayan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Indonesia. Jembatan ini

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Klasifikasi Domba Berdasarkan taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk kedalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Wonosobo Domba Wonosobo merupakan domba hasil persilangan antara domba Texel yang didatangkan pada tahun 1957 dengan Domba Ekor Tipis dan atau Domba Ekor Gemuk yang secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

Karakteristik Morfologi Kerbau Lokal (Bubalus bubalis) Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat. Abstrak

Karakteristik Morfologi Kerbau Lokal (Bubalus bubalis) Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat. Abstrak Karakteristik Morfologi Kerbau Lokal (Bubalus bubalis) Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat Akhmad Sukri 1, Herdiyana Fitriyani 1, Supardi 2 1 Jurusan Biologi, FPMIPA IKIP Mataram; Jl. Pemuda No 59 A Mataram

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Kerusakan dan hilangnya habitat, perburuan liar, dan bencana alam mengakibatkan berkurangnya populasi satwa liar di alam. Tujuan utama dari konservasi adalah untuk mengurangi

Lebih terperinci

SEKOLAH TINGGI ILMU STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK SOAL UJIAN MASUK PROGRAM D-IV TAHUN AKADEMIK 2011/2012 MINGGU, 5 JUNI 2011 MATEMATIKA 90 MENIT

SEKOLAH TINGGI ILMU STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK SOAL UJIAN MASUK PROGRAM D-IV TAHUN AKADEMIK 2011/2012 MINGGU, 5 JUNI 2011 MATEMATIKA 90 MENIT SEKOLAH TINGGI ILMU STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK SOAL UJIAN MASUK PROGRAM D-IV TAHUN AKADEMIK 2011/2012 MINGGU, 5 JUNI 2011 MATEMATIKA 90 MENIT Petunjuk Di bawah setiap soal dicantumkan 5 kemungkinan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Friesien Holstein Sapi perah adalah jenis sapi yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan susu (Blakely dan Bade, 1992) ditambahkan pula oleh Sindoredjo (1960) bahwa

Lebih terperinci