STRUKTUR DAN KERAGAMAN GENETIK POPULASI LOKAL MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI JAWA TIMUR, BALI, DAN LOMBOK I NENGAH WANDIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STRUKTUR DAN KERAGAMAN GENETIK POPULASI LOKAL MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI JAWA TIMUR, BALI, DAN LOMBOK I NENGAH WANDIA"

Transkripsi

1 STRUKTUR DAN KERAGAMAN GENETIK POPULASI LOKAL MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI JAWA TIMUR, BALI, DAN LOMBOK I NENGAH WANDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Struktur dan Keragaman Genetik Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Jawa Timur, Bali, dan Lombok adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Februari 2007 I Nengah Wandia NRP

3 ABSTRAK I NENGAH WANDIA. Struktur dan Keragaman Genetik Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Jawa Timur, Bali, dan Lombok. Di bawah bimbingan BAMBANG SURYOBROTO, SRI SUPRAPTINI MANSJOER, dan HADI S. ALIKODRA. Monyet ekor panjang tersebar luas di Daratan Asia Tenggara, Lempeng Sunda, Kepulauan Filipina, dan daerah Wallacea Selatan. Di Indonesia hewan ini diduga berasal dari Daratan Asia Tenggara dan penyebarannya di kepulauan selatan diyakini dari barat ke timur dengan Jawa sebagai awal. Pulau Bali dan Lombok terpisah oleh selat yang dalam sehingga menimbulkan ketidakjelasan cara penyebaran monyet ekor panjang ke daerah sebelah timur garis Wallace. Penelitian ini mengungkapkan struktur populasi, keragaman fenotipe kualitatif, dan keragaman genetik populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur (sebagai asal) serta Pulau Bali dan Lombok yang mengapit garis Wallace dengan tujuan untuk mengetahui sejarah kehidupan yang telah dilaluinya. Penelitian dilakukan di dua populasi lokal di Kawasan Jawa Timur, enam populasi lokal di Pulau Bali, dan dua populasi lokal di Pulau Lombok. Hasil penelitian menunjukkan parameter-parameter demografi bervariasi dan monyet muda adalah anggota terbanyak di masing-masing populasi lokal. Rasio monyet jantan dan betina dewasa beragam dengan kisaran sempit antara 1:1,7 dan 1:3,7 dengan rataan 1:2,3. Nisbah antara ukuran populasi efektif terhadap jumlah monyet dewasa rata-rata 0,75 untuk seluruh populasi lokal. Dua rasio ini mungkin merupakan karakter khas populasi lokal monyet ekor panjang di Indonesia. Secara umum, monyet ekor panjang di Jawa Timur, Bali dan Lombok memiliki warna yang sama untuk mahkota, rambut punggung, rambut paha lateral, dan kulit abdomen. Warna mahkota, rambut pungggung, dan rambut paha lateral tersebut adalah kuning keemasan-kecokelatan, serta warna kulit abdomennya kebiruan. Selain itu, seluruh monyet ekor panjang yang diobservasi memiliki cambang transzigomatikus. Karakter jambul dan pusaran kepala, secara umum, ditemukan di seluruh populasi lokal di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok. Dapat disimpulkan bahwa populasi monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok memiliki fenotipe yang sama. Keragaman genetik populasi lokal dikaji menggunakan penanda DNA mikrosatelit. Populasi lokal yang diteliti, secara umum, berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg yang berarti bahwa anggotanya melakukan perkawinan secara acak. Analisis genetik menunjukkan populasi monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur memiliki rataan heterosigositas dan rataan jumlah alel per lokus (berturut-turut 0,653 dan 4,89) lebih tinggi daripada yang ditemukan di Pulau Bali (0,580 dan 3,98) dan Pulau Lombok (0,481 dan 3,56). Hasil penelitian mengindikasikan bahwa penyebaran monyet ekor panjang di kepulauan selatan Indonesia berjalan dari barat ke timur dengan Jawa Timur sebagai pintu penyebaran. Kata kunci: struktur populasi, fenotipe, keragaman genetik, monyet ekor panjang

4 ABSTRACT I NENGAH WANDIA. Population Structure and Genetic Variation in Local Populations of Long Tailed Macaques (Macaca fascicularis) in East Java, Bali, and Lombok. Under the supervision of BAMBANG SURYOBROTO, SRI SUPRAPTINI MANSJOER, and HADI S. ALIKODRA. The long tailed macaque is widely distributed in Mainland Southeast Asia, Sunda Shelf, Philippine Archipelago, and southern archipelago of Wallacea. Mainland Southeast Asia was regarded as their origin and subsequent migration in Southern Archipelago of Indonesia was predicted from west to east with Java as the gate. Bali and Lombok Islands are separated by deep strait which causes uncertainty about mode of their transportation to the eastern region of Wallace line. This study explored the population structures, the qualitative phenotypes, and the genetic variations of long-tailed macaques in East Java Region (as the origin) and Bali and Lombok Islands which flank Wallace line with the aim to infer their past migration. Sampling was conducted at two local populations in East Java Region, six in Bali Island, and two in Lombok Island. Results showed that the parameters of demography varied and juvenile macaques comprised the most portions in each local population. Ratios of adult male to adult female varied in small range from 1:1.7 to 1:3.7 with an average of 1:2.3. Ratios of effective population size to total number of adult males and females were homogeneous with an average of 0.75 across local populations. The two ratios may be regarded as typical characters of macaque populations in Indonesia. In general, the macaques in East Java, Bali, and Lombok have the same color of crown, dorsal pelage, lateral thigh pelage, and abdominal skin. The color of the crown, the dorsal pelage, and the lateral thigh pelage was golden-yellow to brown, and that of the abdominal skin was bluish. Furthermore, all of the long tailed macaques observed had transzygomatic type lateral facial crest. The characteristics of the phenotypes of crest and swirl on head were, generally, to be found throughout the local populations. It can be concluded that the populations of long tailed macaques in East Java Region (Java), Bali, and Lombok have the same phenotypic characters. The genetic variation in the local populations was examined using microsatellite DNA markers. The populations examined, in general, were regarded as being in Hardy-Weinberg equilibrium which means that the members of the local populations mate randomly. The genetic assessment demonstrated that the populations in East Java had average heterozygosity per individual and average number of alleles per locus (0.653 and 4.89, respectively) relatively higher than those of the populations in Bali (0.580 and 3.98) and Lombok (0.481 and 3.56). The results indicated that the migration patterns of long tailed macaques in Southern Archipelago of Indonesia went from west to east with East Java (Java) as the origin. Key words: population structure, phenotype, genetic variation, long tailed macaques

5 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

6 STRUKTUR DAN KERAGAMAN GENETIK POPULASI LOKAL MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI JAWA TIMUR, BALI, DAN LOMBOK I NENGAH WANDIA Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Progam Studi Primatologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

7 Judul Disertasi Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi : Struktur dan Keragaman Genetik Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Jawa Timur, Bali, dan Lombok : I Nengah Wandia : P : Primatologi (PRM) Disetujui Komisi Pembimbing (Dr. Bambang Suryobroto) Ketua (Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer) Anggota (Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS) Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Primatologi Dekan Sekolah Pascasarjana (Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD) (Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS) Tanggal ujian: 12 Februari 2007 Tanggal lulus:

8 PRAKATA Pertama-tama, penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas perkenan-nya disertasi yang berjudul Struktur dan Keragaman Genetik Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Jawa Timur, Bali, dan Lombok dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Bambang Suryobroto, Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer, dan Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, M.S atas semua arahan dan bimbingan dari sebelum penelitian sampai penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Dekan FKH dan Rektor Univesitas Udayana yang telah memberikan izin tugas belajar, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Rektor IPB yang telah menerima penulis sebagai mahasiswa di Sekolah Pascasarjana IPB, dan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa BPPS. Secara khusus, penulis menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Dr. Bambang Suryobroto (Kepala Laboratorum Zoologi FMIPA, IPB), Dr. Agustin Fuentes (Notredame University), Dr. N. K. Mahardika (Direktur Biomedik FKH-UNUD), Dr. drh. Diah Iskandariati (Kepala Laboratorium Mikrobiologi PSSP), drh. Nengah Budiarsa (APPERI), dan drh. Aida L. Rompis (Direktur Pusat Kajian Primata UNUD) atas bantuan fasilitas, bahan kimia, dan finansial sehingga penelitian dapat diselesaikan sesuai yang direncanakan. Juga, kepada drh. I Gd. Soma MKes, drh. IGA. Arta Putra, MS, Dr. drh. I Kt. Suatha, drh. I Pt. Yasa, dan Islamul Hadi, SSi, MSi, sebagai tim inti penangkap monyet saat penelitian lapangan, serta anggota lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu, penulis menyampaikan penghargaan atas bantuan tenaga fisik di lapangan. Penulis tidak lupa juga mengucapkan terima kasih kepada pengelola atau pemangku adat di Pura Gunung Pengsong, Pura Bukit Gumang, Wanara Wana Ubud, Sangeh, Alas kedaton, Pura Uluwatu, Pura Pulaki, dan Pura Giri Sloka Alas Purwo. Demikian pula, kepada petugas polisisi hutan di lokasi Alas Purwo, Baluran, dan Sangeh atas segala bantuan fisiknya, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kepada staf dan teman-teman di Laboratorium Zoologi FMIPA IPB, penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya atas bantuan dan kerjasamanya. Akhirnya, kepada isteri dan keluarga, penulis menyampaikan banyak terima kasih atas kesabaran dan dukungan moral serta materialnya selama menempuh studi di IPB. Semoga disertasi ini ada manfaatnya. Bogor, Februari 2007 I Nengah Wandia

9 RIWAYAT HIDUP I NENGAH WANDIA, anak kedua dari pasangan suami istri Ketut Singra dan Ni Nengah Wengsi, lahir tanggal 1 Oktober 1966 di Jembrana, Bali. Pendidikan sekolah dasar diselesaikan pada tahun1979 di SD 2 Dangintukadaya, Negara, Jembrana. Pada tahun 1982, pendidikan menengah pertama ditamatkan di SMP 1 Negara, dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 1985 di SMA 1 Negara, Jembrana. Selanjutnya, penulis mengikuti pendidikan kedokteran hewan di Program Studi Kedokteran Hewan Universitas Udayana dan memperolah gelar Sarjana Kedokteran Hewan (Drs. Med. Vet.) pada tahun 1989, dan gelar Dokter Hewan diraih oleh penulis di tempat yang sama pada tahun Tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan pascasarjana S2 di Program Studi Primatologi, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor, dan tahun 2003 penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan S3 di program studi yang sama. Sejak tahun 1994 sampai sekarang penulis menjadi staf pengajar di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Pada bulan Oktober 1999, penulis mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan dan seminar Asian Science Seminar on Biodiversity selama dua minggu di Primate Research Institute, Kyoto University, Inuyama, Aichi, Jepang. Penulis menikah dengan Ni Wayan Deani pada tanggal 19 September 1997, dan sampai saat ini telah dikaruniai dua orang putra, Yayang Putra Dewanta dan Dewangga Putra Dewanta.

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL. DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN. PENDAHULUAN Latar Belakang Identifikasi Masalah Tujuan Penelitian Pemecahan Masalah.. Hipotesis. Manfaat Penelitian.. TINJAUAN PUSTAKA Monyet Ekor Panjang (Macaca Fascicularis) Reproduksi.. Morfologi Genetika Populasi Monyet Ekor Panjang... DNA Mikrosatelit... Amplifikasi Fragmen DNA.. Keragaman Genetik MATERI DAN METODE PENELITIAN Pendekatan Populasi.. Waktu dan Lokasi Penelitian Koleksi dan Analisis Data Pendekatan Morfologi Eksternal (Fenotipe Kualitatif).. Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan. Koleksi dan Analisis Data Fenotipe. Pendekatan Genetik (Mikrosatelit) Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan.. Primer Mikrosatelit Pengambilan Contoh Darah Monyet Ekor Panjang... Ekstraksi dan Purifikasi DNA Total. Amplifikasi Lokus Mikrosatelit... Peubah Genetika Populasi. Analisis Data Mikrosatelit.. halaman xii xiv xvi ix

11 HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok... Hasil Penelitian Kelompok Sosial dan Komposisi Umur Anggota Populasi Lokal.. Kepadatan Populasi Lokal. Rasio Monyet Ekor Panjang Jantan dan Betina Dewasa serta Ukuran Populasi Efektif. Pembahasan Simpulan Keragaman Fenotipe Kualitatif Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok Hasil Penelitian Kelas Fenotipe Kualitatif dan Sebaran Karakter Warna Mahkota, Rambut Punggung, Rambut Paha Lateral, dan Kulit Abdomen.. Cambang (Crest Lateral Wajah) dan Jambul Pusaran Rambut Kepala Analisis Korespondensi Karakter Fenotipe Kualitatif Monyet Ekor Panjang Penelitian.. Pembahasan Warna Mahkota, Rambut Punggung, Rambut Paha Lateral, dan Kulit Abdomen.. Cambang dan Jambul Pusaran Rambut Kepala Monyet Ekor Panjang. Kekhasan Fenotipe Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang.. Simpulan Struktur Genetik Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok Hasil Penelitian Alel dan Lokus Polimorfik Distribusi Frekuensi Alel.. Variasi Genetik dan Keseimbangan Hardy-Weinberg... Deferensiasi Genetik Populasi Lokal Dalam Pulau dan Aliran Genetik... Diferensiasi Genetik Populasi Lokal Seluruh Pulau. Jarak Genetik Antar Populasi Lokal. Pembahasan Lokus Mikrosatelit Polimorfik dan Penyebaran Alel Keragaman dan Diferensiasi Genetik... Jarak Genetik Antar Populasi Lokal. Simpulan Pembahasan Umum Struktur Populasi, Keragaman Fenotipe Kualitatif, dan Keragaman Genetik Populsi Lokal x

12 Filogeografi Monyet Ekor Panjang Jawa Timur, Bali, dan Lombok Spesiasi Aloptrik Keragaman Genetik Sebagai Basis Pengelolaan Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang.. SIMPULAN DAN SARAN.. Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi

13 DAFTAR TABEL Halaman 1 Jumlah monyet ekor panjang dewasa yang diamati untuk data fenotipe kualitatif di masing-masing populasi lokal Jumlah contoh darah monyet ekor panjang pada masing-masing populasi lokasi Struktur populasi, luas habitat, dan kepadatan populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok 30 4 Rasio jantan dan betina dewasa serta ukuran populasi efektif (Ne) populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok 32 5 Sebaran karakter kelas fenotipe kualitatif di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang Distribusi frekuensi warna mahkota, rambut punggung, rambut paha lateral, dan kulit abdomen monyet ekor panjang di sepuluh populasi lokal Frekuensi karakter transzigomatikus dan infrazigomatikus kelas fenotipe jambul pipi monyet ekor panjang di sepuluh populasi lokal Frekuensi karakter tengah/tegak, kiri/ke kiri, kiri/tegak, dan tanpa jambul kelas fenotipe jambul monyet ekor panjang di sepuluh populasi lokal Frekuensi karakter kanan/searah, kiri/berlawanan, kanankiri/searah-berlawanan, sepan/searah, depan/berlawanan, dan tanpa pusaran kelas fenotipe pusaran kepala monyet ekor panjang di sepuluh populasi lokal Jumlah alel pada masing-masing lokus mikrosatelit di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang Heterosigositas dan simpangan baku masing-masing lokus mikrosatelit pada populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok Rataan heterosigositas (H) dan galat baku (SE) populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok Nilai F IT masing-masing lokus mikrosatelit pada populasi lokal di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, Pulau Lombok.. 82 xii

14 14 Diferensiasi genetik (F ST ) dan jumlah migran efektif (Nem) pada populasi lokal dalam Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok Jarak genetik standar Nei (D S ) antar populasi lokal monyet ekor panjang Rataan jarak genetik standar Nei (D S ) antar populasi kawasan atau pulau 86 xiii

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Diagram alur kerangka pikir penelitian. 6 2 Populasi lokal monyet ekor panjang yang diteliti untuk struktur populasi dan fenotipe kualitatif Lokasi pencuplikan darah monyet ekor panjang Komposisi monyet anak, muda, dan dewasa di masing-masing populasi lokal monyet ekor panjang Komposisi gabungan monyet anak dan muda, betina dewasa, dan jantan dewasa di masing-masing populasi lokal monyet ekor panjang 31 6 Warna mahkota, rambut punggung, dan rambut paha lateral monyet ekor panjang Warna kulit adomen monyet ekor panjang 45 8 Cambang (A) dan jambul (B) monyet ekor panjang Sebaran frekuensi jenis (posisi dan kecondongan) jambul monyet ekor panjang di seluruh populasi lokal Pusaran kepala pada monyet ekor panjang Proyeksi karakter fenotipe monyet ekor panjang pada sumbu F1 dan F2 analisis korespondensi berganda Proyeksi karakter fenotipe monyet ekor panjang, jenis kelamin, dan populasi lokal pada sumbu F1 dan F2 analisis korespondensi berganda Proyeksi karakter fenotipe monyet ekor panjang, jenis kelamin, dan populasi lokal pada sumbu F1 dan F3 analisis korespondensi berganda Alel lokus D1S Rataan jumlah alel seluruh populasi lokal di dalam Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok Rataan alel per lokus seluruh populasi lokal di dalam Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok. 69 xiv

16 17 Distribusi frekuensi alel lokus D1S533 di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang Distribusi frekuensi alel lokus D1S548 di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang Distribusi frekuensi alel lokus D1S550 di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang Distribusi frekuensi alel lokus D2S367 di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang Distribusi frekuensi alel lokus D3S1768 di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang Distribusi frekuensi alel lokus D4S243 di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang Distribusi frekuensi alel lokus D4S2456 di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang Distribusi frekuensi alel lokus D5S820 di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang Distribusi frekuensi alel lokus D2S1368 di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang Rataan heterosigositas (H) seluruh populasi lokal di dalam Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok Diferensiasi genetik populasi lokal monyet ekor panjang (F ST ) untuk seluruh kawasan atau pulau (Jawa Timur, Pulau Bali, Pulau Lombok) Pengelompokan populasi lokal monyet ekor panjang berdasaran jarak genetik standar Nei (D S ) dengan metode UPGMA Skema posisi lokasi populasi lokal monyet ekor panjang xv

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Preparasi membran dialisis, larutan dialisis, dan urea lysis buffer Pewarnaan perak (silver staining) pada gel poliakrilamid 7% Rumus yang digunakan dalam analisis fenotipe dan genetik Kelas fenotipe jambul monyet ekor panjang dan Uji T Kelas fenotipe pusaran kepala monyet ekor panjang dan Uji T Analisis korespondensi karakter fenotipe monyet ekor panjang Frekuensi alel masing-masing lokus mikrosatelit pada sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang Ideks Fiksasi (F IT ) lokus mikrosatelit pada masingmasingpopulasi lokal monyet ekor panjang dan nilai? Runutan nukleotida primer mikrosatelit yang digunakan untuk penelitian Alel mikrosatelit yang terobservasi pada monyet ekor panjang (Elektroforesis pada gel poliakrilamid 7% dengan pewarnaan perak) Hasil survei pada masyarakat di sekitar populasi lokal 139 xvi

18 PENDAHULUAN Latar Belakang Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tersebar luas di Daratan Asia Tenggara, Lempeng Sunda, Kepulauan Filipina, dan daerah Wallacea Selatan. Monyet ekor panjang di Indonesia diperkirakan berasal dari Daratan Asia Tenggara dan bermigrasi melebihi satu juta tahun yang lalu (awal Pleistocene) saat Daratan Asia dan Lempeng Sunda menyatu (Eudey 1980; Wheatley 1980; Fooden 1995). Fosilnya yang ditemukan di Desa Trinil, Jawa Tengah berumur lebih tua jika dibandingkan dengan yang ditemukan di Pulau Timor dan Pulau Flores (Fooden 1995). Hal ini meyakinkan para ahli bahwa penyebarannya di kepulauan selatan Indonesia berjalan dari barat ke timur dengan populasi Jawa sebagai pusat penyebaran. Penyebarannya dari Jawa ke Bali diperkirakan melalui migrasi langsung karena kedua pulau beberapa kali menyatu saat proses glasiasi (pembentukan lempengan es) (Fooden 1995). Namun, cara penyebarannya ke pulau yang berada di sebelah timur garis Wallace belum jelas. Garis Wallace yang memisahkan fauna Indonesia menjadi Zoogeografi Oriental dan Zoogeografi Australia (Lincoln et al. 1988), memiliki peranan penting dalam penyebaran genus Macaca di Indonesia. Tidak ditemukannya monyet ekor pajang di Pulau Sulawesi (Eudey 1980; Supriatna dan Wahyono 2000) membuktikan bahwa garis Wallace yang berupa laut yang dalam efektif menghalangi penyebaran hewan ini. M. nemestrina yang melimpah di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan tidak ditemukan di Pulau Jawa, Pulau Bali, dan Nusa Tenggara. Ketiadaannya mungkin berkaitan dengan pemisahan geografi oleh laut yang menghalangi penyebarannya dan kepunahan lokal (Eudey 1980; Groves 1980; Froehlich et al. 1996). Tujuh spesies monyet Sulawesi (Fooden 1969) mempunyai kesamaan nenek moyang dengan M. nemestrina (Fooden 1969; Hoelzer dan Melnick 1996). Pulau Sulawesi tidak pernah bersatu dengan Lempeng Sunda semenjak 50 juta tahun yang lalu (Hall 2001), sehingga nenek moyang monyet Sulawesi harus menyeberangi laut untuk sampai ke sana. Di kepulauan selatan Indonesia, garis Wallace memisahkan Pulau Bali dengan Pulau Lombok (Michaux 1991; Cox dan Moore 2000), bahkan pada saat glasiasi

19 2 maksimum yang terakhir ( 18 ribu tahun yang lalu) (Fooden 1995). Hal ini meniscayakan migrasi monyet ekor panjang juga menyeberangi laut sebagai cara penyebarannya ke kepulauan sebelah timur garis Wallace. Penelitian sebelumnya mengenai variasi genetik monyet ekor panjang di Indonesia dengan penanda protein darah menemukan adanya ketidakselarasan antara keragaman genetik bersanding dengan letak geografi kelompok monyet ekor panjang Jawa, Bali, dan Lombok (Kawamoto et al. 1984). Keragaman genetik populasi atau kelompok sosial monyet ekor panjang di Pulau Bali seyogyanya lebih tinggi daripada yang ditemukan di Pulau Lombok sebagai akibat dari efek founder, tetapi hasil penelitian (Kawamoto et al. 1984) menunjukkan hal sebaliknya. Dinyatakan pula bahwa ada bantuan manusia bagi migrasi dari Pulau Jawa langsung ke Pulau Lombok. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mendapatkan ketegasan mengenai pola migrasi monyet ekor panjang ke kepulauan sebelah timur garis Wallace. Struktur genetik suatu spesies mencerminkan biodiversitas pada tingkat yang paling dasar. Struktur genetik ini tidak hanya memberikan informasi tentang biodiversitas pada saat ini, tetapi juga menunjukkan sejarah kehidupan yang telah dilaluinya dan kondisi mendatang yang akan dialaminya. Kemampuan retrospektif dan prospektif ini diperoleh dengan mengetahui parameter-parameter yang menentukan struktur genetik populasi (Nozawa et al. 1996; Hartl dan Clark 1997; Frankham et al. 2004). Oleh karena itu, data struktur genetik suatu spesies atau populasi bukan saja dapat menerangkan sejarahnya, tetapi juga dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan strategi konservasinya. Ungkapan struktur genetik pada peringkat fenotipe terlihat pada morfologi hewan. Monyet ekor panjang yang terisolasi di berbagai pulau di Indonesia telah diidentifikasi sebagai subspesies-subspesies yang berbeda berdasarkan pada morfologinya. Namun, penentuan subspesiesnya terutama yang menempati daerah Wallacea belum mendapatkan ketegasan oleh para ahli primatotogi. Sody (1949) menempatkan monyet ekor panjang di Pulau Jawa sebagai M. f. mordax, di Pulau Bali sebagai M. f. submordax, dan di Pulau Lombok sebagai M. f. sublimiatus. Sementara, Supriatna dan Wahyono (2000)

20 3 mengelompokkan monyet ekor panjang di Pulau Jawa, Pulau Bali, dan Pulau Lombok ke dalam M. f. fascicularis. Berkaitan dengan hal ini, variasi genetik antar populasi juga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk penegasan suatu klasifikasi. Terlepas dari kisah penyebarannya, kini, sebagian besar populasi monyet ekor panjang di suatu pulau berada dalam populasi-populasi lokal yang terpisah satu dengan yang lain. Meskipun keberadaan menjadi beberapa populasi lokal cukup menguntungkan seperti tidak musnah seluruhnya jika terjadi bencana alam atau wabah penyakit di satu lokasi dan memberi insentif ekonomi tinggi pada masyarakat sekitarnya, populasi demikian cukup rentan terhadap kehanyutan genetik dan tekanan silang dalam (Avise 1994; Nozawa et al. 1996; Hartl dan Clark 1997). Kehilangan keragaman genetik populasi yang berkelanjutan akan mengancam keberadaan jangka panjang populasi lokal tersebut. Langkah-langkah konservasi in situ sangat diperlukan untuk menghindarkan kesirnaan dari habitat alaminya. Demografi populasi berperan penting dalam mempertahankan keberadaan variabilitas genetik populasi. Nasib suatu varian genetik dalam populasi sangat ditentukan oleh peluang varian tersebut diteruskan ke generasi selanjutnya. Peluang ini sangat berkaitan dengan ukuran populasi efektif yang besarnya ditentukan oleh jumlah jantan dan betina dewasa serta rasionya dalam populasi (Nozawa et al. 1996; Hartl dan Clark 1997; Li 1997). Dampak random genetic drift akan semakin besar pada populasi dengan ukuran populasi efektif yang semakin rendah (Hartl dan Clark 1997; Li 1997; Frankham et al. 2004). Demografi populasi juga dapat merefleksikan kondisi struktur genetik populasi. Kawin keluarga yang tinggi dan pemunculan alel letal dalam populasi dapat menurunkan fitness atau daya hidup individu yang baru dilahirkan (Frankham et al. 2004; Klug dan Cummings 2005). Efek ini selanjutnya akan menyebabkan jumlah hewan muda lebih rendah dari jumlah yang dewasa. Oleh karena itu, data demografi populasi dapat digunakan sebagai indikator untuk keberlangsungan hidup populasi ke depan.

21 4 Berdasarkan pada informasi di atas, sangat menarik untuk meneliti cara penyebaran monyet ekor panjang melewati garis Wallace, isolasi geografi dan fragmentasi populasi, serta kondisi ekosistem kontemporer. Penelitian kali ini dilakukan pada populasi lokal monyet ekor panjang yang menempati Kawasan Jawa Timur (sebagai populasi asal) serta Pulau Bali dan Pulau Lombok yang mengapit garis Wallace. Penelitian menyangkut demografi populasi dan keragaman genetik populasi yang didekati melalui morfologi eksternal (fenotipe kualitatif) dan penanda mikrosatelit (DNA). Identifikasi Masalah 1 Belum adanya informasi struktur populasi monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok. 2 Kurangnya informasi keragaman genetik populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok yang didekati dengan morfologi eksternal (fenotipe kualitatif) dan mikrosatelit (DNA inti). Tujuan Penelitian 1 Mendapatkan kejelasan proses migrasi monyet ekor panjang di kepulauan selatan Indonesia. 2 Mengkaji struktur populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok. 3 Mengkaji keragaman morfologi eksternal (fenotipe kualitatif) dan keragaman genetika molekuler dengan penanda mikrosatelit populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok. Pemecahan Masalah Untuk mendapatkan penyelesaian terhadap masalah dan tujuan di atas, dilakukan penelitian yang mencakup dua pendekatan yaitu pendekatan populasi dan genetik. Pendekatan populasi meliputi data struktur populasi (demografi) di masing-masing populasi lokal. Data lainnya seperti sikap masyarakat setempat terhadap keberadaan monyet ekor panjang juga dikoleksi sebagai pelengkap. Data struktur populasi lokal monyet ekor panjang dikaji mengenai dukungannya

22 5 terhadap keberlangsungan hidup masing-masing populasi lokal di Jawa Timur, Bali, dan Lombok. Keragaman genetik populasi lokal dianalisis menggunakan dua pendekatan yaitu morfologi eksternal (fenotipe kualitatif) dan mikrosatelit (DNA inti). Pendekatan fenotipe kualitatif digunakan karena keragamannya lebih dipengaruhi oleh keragaman materi genetiknya. Meskipun fenotipe kualitatif sangat susah diketahui pola pewarisan ke generasi berikutnya karena bersifat multifaktorial, fenotipe kualitatif cukup baik untuk identifikasi keunikan suatu populasi dan identifikasi subspesies. Pendekatan genetik menggunakan mikrosatelit (DNA inti) sebagai penanda molekul. Pendekatan ini lebih mencerminkan struktur genetik populasi karena mikrosatelit merupakan materi genetik itu sendiri. Mikrosatelit telah digunakan secara luas sebagai penanda molekul di berbagai studi genetika populasi karena beberapa keunggulan yang dimilikinya seperti kelimpahannya tinggi dalam genom eukariot, polimorfismenya tinggi akibat mutasi dan rekombinasi, dan amplifikasinya mudah secara in vitro melalui polymerase chain reaction (PCR). Kejelasan proses migrasi monyet ekor panjang di kepulauan selatan Indonesia didapatkan melalui pengkajian kecenderungan penurunan keragaman genetik populasi dan kecenderungan peningkatan jarak genetik populasi dari barat ke timur dengan populasi di Jawa Timur sebagai pusat penyebaran. Secara keseluruhan, kerangka pemikiran penelitian dituangkan ke dalam diagram alur seperti ditampilkan pada Gambar 1. Hipotesis 1. Struktur populasi menentukan kestabilan populasi lokal monyet ekor panjang di setiap lokasi. 2. Karakteristik fenotipe kualitatif populasi lokal monyet ekor panjang antar pulau berbeda. 3. Migrasi monyet ekor panjang di kepulauan selatan Indonesia dari barat ke timur sejalan dengan kecenderungan penurunan keragaman genetik dan peningkatan jarak genetik antar populasi pulau.

23 6 Manfaat Penelitian 1. Informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai model untuk proses migrasi dan sejarah penyebaran mamalia. 2. Struktur dan keragaman genetik populasi dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penyusunan strategi konservasi (pengawetan, pengembangan, dan pemanfaatan) populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok. Monyet ekor panjang Populasi lokal Di Jatim, Bali, Lombok Melintasi garis Wallace Isolasi geografi dan fragmentasi Ekosistem kontemporer Karakteristik demografi Keragaman genetik populasi lokal Pendekatan fenotipe kualitatif Pendekatan mikrosatelit Struktur populasi Karakter kualitatif Sebaran alel Peubah genetika populasi Analisis Interpretasi: modus migrasi Rekomendasi Strategi Konservasi Gambar 1 Diagram alur kerangka pikir penelitian.

24 TINJAUAN PUSTAKA Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Klasifikasi Monyet ekor panjang termasuk kelompok monyet dunia lama (Old World monkey) dan diklasifikasikan sebagai berikut (Napier dan Napier 1985; Swindler 1998): Kelas : Mammalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo : Catarrhini Superfamili : Cercopithecoidea Famili : Cercopithecidae Subfamili: Cercopithecinae Genus : Macaca Spesies : Macaca fascicularis Berdasarkan pada anatomi saluran reproduksi, Fooden (1980) membagi genus Macaca menjadi empat grup yaitu silenus-sylvanus, sinica, fascicularis, dan arctoides. Grup silenus-sylvanus ditandai oleh glans penis bilobus tumpul dan lebar. Glans penis pada grup sinica lebar tetapi ujungnya lancip. Pada grup fascicularis, glans penisnya bilobus tumpul tetapi sempit, dan pada grup arctoides, glans penisnya memanjang dan ujungnya lancip. Anatomi saluran reproduksi betina grup silenus-sylvanus sama dengan grup fascicularis. Kedua grup ini memiliki serviks uterus dan kolikuli servikalis berukuran sedang atau moderat. Sedangkan pada grup sinica, ukuran organ tersebut sangat besar. Sementara, pada grup arctoides, kolikuli servikalis tidak ada tetapi ditemukan organ kolikulus vestibularis. M. fascicularis dimasukkan ke dalam kelompok fascicularis bersama-sama M. cyclopis, M. mulatta, dan M. fuscata. Beberapa populasi monyet ekor panjang yang menempati berbagai pulau di Indonesia, telah dinyatakan sebagai subspesies yang berbeda. Sody (1949) melaporkan ada sebelas subspesies antara lain M. f. fascicularis (Pulau Sumatera), M. f. mordax (Pulau Jawa), M. f. submordax (Pulau Bali), M. f.

25 8 sublimiatus (Pulau Lombok, Pulau Sumbawa, Pulau Flores, dan Pulau Sumba), dan M. f. limiatus (Pulau Timor). Sementara, Supriatna dan Wahyono (2000) melaporkan ada empat subspesies monyer ekor panjang di Indonesia yaitu M. f. fascicularis (Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba hingga Timor), M. f. fusca (Pulau Simaleu), M. f. karimondjawai (Pulau Karimunjawa), dan M. f. lasiae (Pulau Lasia). Kelompok Sosial Monyet ekor panjang hidup dalam sebuah kelompok sosial. Kelompok sosial didefinisikan sebagai kelompok yang di antara anggotanya terjalin komunikasi secara intensif (Jolly 1985). Kelompok sosial monyet ekor panjang termasuk dalam multi-male group yakni dalam satu kelompok terdapat beberapa jantan dan betina dewasa serta anak-anaknya (Napier dan Napier 1985; Mitchell dan Erwin 1986; Williams dan Bernstein 1995). Sebuah kelompok sosial sering terbagi menjadi beberapa subkelompok (Rowe 1996). Adanya lebih dari satu jantan dewasa dalam sebuah kelompok sosial sering menimbulkan ketegangan di antara jantan sekelompok. Keadaan ini menimbulkan hirarki dominansi pada jantan dalam kelompok tersebut. Perilaku sosial anggota kelompok sangat dipengaruhi oleh hirarki dominansi. Secara umum, hirarki dominansi tertinggi diduduki oleh jantan dewasa (alpha male) (Swindler 1998). Secara kolektif, monyet betina berperan penting dalam kehidupan sosial meskipun secara individual merupakan subordinat dari monyet jantan. Monyet ekor panjang bersifat matrilinial. Monyet betina membentuk inti permanen dari kelompok sosial karena tetap tinggal pada kelompok kelahirannya. Monyet jantan yang lahir sering bermigrasi ke kelompok sosial lainnya (Napier dan Napier 1985; Mitchell dan Erwin 1986). Sebuah kelompok sosial monyet akan menempati areal dengan luasan tertentu. Daerah jelajah (home range), tempat sebuah kelompok melakukan aktivitas, sering tumpang tindih dengan daerah jelajah kelompok lainnya. Di dalam daerah jelajah ditemukan daerah pusat (core area) yang menjadi pusat aktivitas kelompok seperti makan dan tidur. Selain itu, di dalam daerah jelajah

26 ditemukan daerah teritori. Daerah ini akan dicegah terhadap masuknya anggota kelompok lain (Jolly 1985; Napier dan Napier 1985). 9 Pakan Monyet ekor panjang melakukan aktivitas di siang hari (diurnal). Sebagian besar aktivitasnya dilakukan di atas tanah (terrestrial), dan sebagian lagi pada pohon (arboreal). Monyet ini memiliki kantong pipi sebagai tempat penyimpanan makanan untuk sementara (Napier dan Napier 1985). Primata ini termasuk hewan frugivora (makanan utama buah-buahan) sampai omnivora. Selain buah-buahan, jenis pakan lainnya berupa serangga, bunga rumput, jamur, kepiting, moluska, akar, biji, dan telor (Wheately 1980, 1989). Penyebaran dan Habitat Monyet ekor panjang tersebar luas dari 20 o Lintang Utara sampai 10 o Lintang Selatan dan 92 o Bujur Timur sampai 128 o Bujur Timur (Wheatley 1980). Monyet ekor panjang Indonesia diperkirakan berasal dari Daratan Asia Tenggara. Penyebarannya terjadi lebih dari satu juta tahun yang lalu (awal Pleistocene) saat Daratan Asia Tenggara menyatu dengan Lempeng Sunda akibat pembentukan lempengan es (glasiasi) dan penurunan permukaan air laut (Fooden 1995). Selanjutnya, penyebaran dan isolasi monyet ini di Kepulauan Sunda dimulai sejak 20 ribu tahun yang lalu selama proses glasiasi terakhir (Eudey 1980). Di Indonesia, fosil monyet ekor panjang tertua ditemukan di Desa Trinil (daerah di bagian timur Jawa Tengah) dengan umur mendekati satu juta tahun yang lalu (Fooden 1995). Fosil monyet ekor panjang juga ditemukan di Pulau Timor dengan umur lebih kurang tahun dan Pulau Flores dengan umur lebih kurang tahun. Para ahli meyakini bahwa penyebaran monyet ekor panjang di Indonesia dimulai dari barat (Pulau Jawa sebagai daerah asal) ke timur (Eudey 1980; Fooden 1995). Penyebaran monyet ekor panjang dari Jawa ke Bali diperkirakan melalui migrasi langsung. Pulau Bali telah beberapa kali menyatu dengan Pulau Jawa bersamaan dengan siklus glasiasi, dan menyatu kembali saat glasiasi maksimum terakhir (lebih kurang 18 ribu tahun yang lalu). Migrasi monyet diperkirakan saat

27 10 Pulau Bali menyatu dengan Pulau Jawa, dan mengalami pemisahan serta isolasi sejak sebelum 5 ribu tahun yang lalu akibat peningkatan permukaan air laut (pembentukan Selat Bali, Fooden 1995). Proses penyebaran genus Macaca ini ke pulau bagian timur garis Wallace seperti Pulau Lombok dan Sumbawa tampaknya belum jelas. Berbeda dengan Pulau Bali yang dipisahkan oleh selat dangkal (Selat Bali) dari Pulau Jawa, Pulau Lombok dipisahkan oleh selat yang dalam dan lebar (Selat Lombok) dari Pulau Bali. Saat glasiasi maksimum terakhir (±18 ribu tahun yang lalu) Pulau Lombok menyatu dengan Pulau Sumbawa dan Moyo tetapi tetap terpisah dengan Pulau Bali. Selanjutnya, Pulau Lombok, Sumbawa, dan Moyo terpisah bersamaan dengan peningkatan permukaan air laut sejak sebelum 5 ribu tahun yang lalu (Fooden 1995). Beberapa hipotesis telah dimunculkan untuk menerangkan hal tersebut seperti penyebaran melalui migrasi saat pulau-pulau tersebut menyatu, melalui berenang dan rafting antar pulau, dan introduksi manusia (Fooden 1995). Indikasi bahwa keberadaannya di kawasan timur garis Wallace akibat introduksi manusia tampak sejalan dengan hipotesis yang dilansir oleh Kawamoto dan Suryobroto (1985). Monyet ekor panjang dapat hidup di berbagai pulau dan habitat. Monyet ekor panjang tersebar di kepulauan Sunda dan Filipina serta daratan Asia Tenggara (Zapler 1972; Suryobroto et al. 1995). Di Indonesia, monyet ini ditemukan di Sumatera, kepulauan Lingga dan Riau, Bangka, Belitung, kepulauan Tambelan, kepulauan Natuna, Nias, Jawa, Bali, Mantasari, Bawean, Maratua, Lombok, Sumba, dan Sumbawa (Wheatley 1989; Santosa 1996; Suaryana et al. 2000). Monyet ekor panjang banyak dijumpai di daerah tepian sungai, tepian danau, sepanjang pantai, dan hutan sekunder. Selain itu, monyet ekor panjang juga dapat menempati rawa mangrove (Santosa 1996). Kemampuan monyet ekor panjang dapat hidup di habitat asli dan habitat-habitat lainnya terkait dengan kelenturan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan iklim yang berbeda (Napier dan Napier 1985).

28 11 Reproduksi Kematangan seksual dimulai siapnya individu untuk bereproduksi baik secara fisik maupun mental. Kematangan seksual monyet ekor panjang jantan pada umur 51,6 bulan (Rowe 1996). Kematangan seksual jantan ditandai oleh volume testis yang lebih besar dari 20 cm 3. Meskipun monyet jantan memproduksi sperma yang cukup banyak pada umur 3,5 tahun, monyet tersebut belum dinyatakan dewasa secara sosial. Selain itu, monyet ini tidak memberikan kontribusi yang nyata untuk perkawinan sampai 2-3 tahun kemudian (Hendrickx dan Dukelow 1995). M. fascicularis betina mengalami pubertas pada umur 2-3 tahun. Pubertas ditandai oleh kejadian menstruasi pertama (menarche). Siklus menstruasi berkisar hari dan ovulasi terjadi pada hari ke 12 sampai hari ke 15 (Hendrickx dan Dukelow 1995). Kematangan seksual monyet ekor panjang betina pada umur 50,4 bulan, dan lama kebuntingan berkisar antara hari. Umur melahirkan pertama umumnya 46 bulan, dan interval kelahiran antara bulan (Rowe 1996). Secara umum, monyet ini melahirkan satu anak. Penyapihan anak dilakukan pada umur bulan (Hendrickx dan Dukelow 1995). Dalam multi male group, ada kompetisi antar jantan untuk mengawini betina. Pembentukan ikatan sementara antara seekor betina siap kawin dengan seekor jantan dapat menurunkan intensitas perkelahian antar jantan. Ikatan ini dapat terjadi selama satu periode siap kawin. Selama periode ini, jantan tersebut akan selalu dekat dan mengawasi betina pasangannya (Napier dan Napier 1985). Betina siap kawin menunjukkan pembengkakan dan perubahan warna kulit di sekitar alat kelamin luar. Pembengkakan dan perubahan warna menjadi kemerahan dikarenakan oleh pengaruh hormon estrogen dalam darah. Pembengkakan maksimum terjadi saat ovulasi dan setelahnya mengalami penurunan (Zappler 1972). Morfologi Monyet ekor panjang adalah satwa primata yang berjalan dengan empat kaki (quadrupedalism), memiliki ekor yang lebih panjang dari panjang kepala dan badan, serta memiliki bantalan duduk (ischial callosity) yang melekat pada

29 12 tulang duduk (ischium) (Napier dan Napier 1985). Monyet ini memiliki warna rambut bervariasi dari coklat kekuningan atau abu-abu sampai coklat gelap. Warna rambut di bagian ventral tubuh lebih pucat. Rambut di atas mahkota kepala tumbuh kearah belakang yang sering berbentuk jambul (crest) yang lancip (Groves 2001). Monyet ekor panjang memiliki cambang (crest di lateral wajah) bertipe tranzigomatikus atau infrazigomatikus (Fooden 1995). Monyet ekor panjang jantan dewasa memiliki kumis, sedangkan pada betina yang dewasa ditemukan jenggot. Anak yang baru lahir berambut hitam dan wajahnya berambut tipis. Warna kulit wajahnya abu-abu gelap dengan kulit kelopak mata bagian medial lebih pucat (Chiarelli 1972; Rowe 1996). Monyet ekor panjang menunjukkan perbedaan ukuran antara jantan dan betina (sexual dimorphism). Bobot tubuh monyet ekor panjang jantan 4,7-8,3 kg dan yang betina 2,5-5,7 kg. Panjang kepala dan badan jantan berkisar mm dan betina berkisar mm. Panjang ekor monyet jantan mm dan betina mm. Indeks intermembral 93 (Rowe 1996). Jumlah gigi permanen genus Macaca 32 buah (2I 1C 2PM 3M/2I 1C - 2PM 3M). Gigi seri atas agak lebar terutama gigi seri pertama, sedangkan gigi seri kedua lebih kecil dan sering lancip. Gigi seri bawah kedua lebih lebar dari gigi seri bawah pertama. Gigi taring atas berukuran panjang baik pada jantan maupun betina, tetapi yang jantan lebih panjang dari yang betina. Gigi taring bawah lebih pendek dari taring atas, namun tetap menonjol melebihi tepi deretan geligi lainnya. Premolar ketiga (P3) atas memiliki satu atau dua kuspis, sedangkan P4 umumnya memiliki tiga kuspis (Swindler 1998). Bentuk premolar bawah bervariasi. P3 bawah memiliki sebuah kuspis yang memanjang, sedangkan P4 memiliki dua sampai empat kuspis. Molar atau geraham Macaca adalah bilophodont. Pada masing-masing molar terdapat empat kuspis (dua cuspis buccalis dan dua cuspis lingualis yang dihubungkan oleh crista enamel transversus). Geraham bawah ketiga (M3) memiliki kuspis tambahan, cuspis hypoconulid (Swindler 1998).

30 13 Genetika Populasi Monyet Ekor Panjang Genus Macaca memiliki jumlah kromosom 2N=42 buah. Tipe kromosomnya meliputi metasentrik, submetasentrik, dan akrosentrik (Marks 1994 dalam Swindler 1998). Distribusi varian atau alel genetik populasi monyet ekor panjang antar pulau bervariasi. Penelitian variabilitas genetik monyet ekor panjang di Indonesia menunjukkan bahwa sejumlah tiga alel plasma protease inhibitor (Pi) ditemukan dari lima alel kodominan yang ada pada monyet Asia. Sejumlah empat alel plasma transferrin (Tf) ditemukan pada monyet Indonesia dari lebih kurang 13 alel Tf yang terdapat pada monyet Asia. Dua alel plasma alkaline phosphatase (Alp) ditemukan pada monyet Bali. Dari dua alel plasma thyroxin-binding prealbumin (TBPA) yang ditemukan pada monyet Asia, hanya satu alel (F) yang ditemukan pada monyet Jawa, Sumatera, dan Bali. Varian hemoglobin ß, tepatnya Hb ß 6, hanya tersebar pada monyet Bali (kelompok sosial Kukuh). Tiga alel cell phosphohexose isomerase (Phi) ditemukan pada monyet Indonesia dari 13 alel yang ada di monyet Asia. Sejumlah tiga alel cell phosphoglucomutase I (Pgm-I) ditemukan pada monyet Indonesia dari lima alel yang terdapat di monyet Asia. Varian baru cell phosphoglucomutase II, Pgm-II 6, ditemukan pada kelompok sosial monyet di Bukit Cangang, sedangkan kelompok sosial lainnya di Indonesia hanya ditemukan alel Pgm-II 1. Monyet Indonesia tersebar oleh dua alel cell lactate dehydrogenase A (LdhA), sedangkan pada monyet Malaysia ditemukan tiga alel (LdhA 1-3). Monyet Indonesia hanya tersebar oleh dua alel cell isocitrate dehydrogenase (Idh). Penyebaran varian-varian tersebut tidak sama pada berbagai area di Indonesia (Kawamoto et al. 1981). Populasi (kelompok sosial) monyet ekor panjang yang menempati pulau yang lebih kecil cenderung mempunyai variabilitas genetik yang lebih rendah (Kawamoto et al. 1981; Perwitasari-Farajallah et al. 1999). Kelompok sosial monyet ekor panjang Bali cukup unik karena memiliki variabilitas genetik yang lebih rendah dari kelompok sosial di Lombok dan Sumbawa. Variabilitas genetik rendah pada populasi monyet di Pulau Bali, Pulau Lombok, dan Pulau Sumbawa sebagai akibat dari random genetic drift setelah kolonisasi di pulau tersebut (Kawamoto et al. 1981, 1982, 1984). Rataan heterosigositas kelompok sosial

31 14 monyet ekor panjang di Bali di bawah 4%, sedangkan monyet ekor panjang di Jawa dan Sumatera Barat di atas 4%. Diferensiasi genetik (G ST ) monyet ekor panjang antar kelompok sosial di pulau yang berbeda (Jawa, Sumatera, dan Bali) 0,4695. Diferensiasi genetik antar kelompok sosial di Bali 0,1024, di Jawa 0,2933, dan di Sumatera 0,0826 (Kawamoto et al. 1981). Dalam publikasi Perwitasari-Farajallah et al. (1999) ditemukan bahwa rataan heterosigositas kelompok sosial monyet di Jawa Barat 0,06 dan diferensiasi genetik antar populasi lokal 0,241. Di lain pihak, dengan menggunakan penanda DNA mitokondria, diferensiasi genetik antar populasi lokal 100%. DNA Mikrosatelit Tidak semua runutan deoxyribonucleic acid (DNA) dalam genom eukariot menyandi protein atau ribonucleic acid (RNA). Namun demikian, tidak menyandi tidak berarti runutan tersebut tanpa makna. Beberapa kelas DNA berulang, tidak menyandi, yang ditemukan dalam genom eukariot adalah satelit DNA, jumlah ulangannya banyak (> 10 4 ) dan letaknya berurutan; minisatelit dan mikrosatelit, jumlah ulangannya sedang dan letaknya berurutan; dan transposable elements, jumlah ulangannya sedang sampai banyak dan letaknya tersebar (Page dan Holmes 1998). Mikrosatelit, dikenal juga sebagai simple sequence repeats (SSRs) atau simple tandem repeats (STRs) (Whitton et al. 1997), merupakan runutan pendek sederhana (khususnya di-, tri-, dan tetranukleotida) yang terulang secara berurutan dalam genom eukariot (Hearne et al. 1992; Avise 1994). Polimorfisme alelik mikrosatelit timbul karena perbedaan jumlah salinan motif (unit runutan) akibat mutasi dan rekombinasi (Bowcock et al. 1994; Page dan Holmes 1998; Moxon dan Wills 1999). Polimorfisme ini sering dikenal sebagai simple sequence length polymorphism (SSLPs) (Avise 1994; Brown 1999) atau short tandem repeats polymorphism (STRPs) (Page dan Holmes 1998). Runutan pendek berulang diperkirakan timbul dari mutasi, pindah silang tidak sama (unequal crossing-over), dan pergeseran DNA (DNA slippage) (Page dan Holmes 1998). Gelung yang terjadi pada satu runutan nukleotida mengakibatkan pergeseran pasangan basa dan beberapa kesalahan pasangan basa. Saat dilakukan perbaikan terhadap kesalahan pasangan basa, terjadi pengurangan

32 15 atau penambahan jumlah motif atau unit runutan mikrosatelit tersebut. Hal ini menimbulkan polimorfisme alelik mikrosatelit (Li dan Graur 1991; Li 1997; Page dan Holmes, 1998). Penambahan motif timbul jika gelung terjadi pada runutan (utas) baru, dan pengurangan motif terjadi jika gelung terdapat pada runutan lama, template (Moxon dan Wills 1999). Mikrosatelit telah digunakan secara luas sebagai penanda dalam dunia genetika molekuler. Beberapa karakter mikrosatelit, seperti memiliki variabilitas yang tinggi, kemudahan untuk membedakan genotipe melalui ukuran jumlah motif, dan mudah didekati melalui teknik PCR, menjadikan mikrosatelit sebagai penanda molekul yang baik untuk mempelajari struktur genetik suatu populasi (Bowcock et al. 1994; Cooper et al. 1997; Dominggo-Roura et al. 1997; Simonsen et al. 1998; Viard et at. 1998; Witte dan Rogers 1999; Warren et al. 2000; Wandia 2003; Perwitasari-Farajallah 2004; Wandia et al. 2004). Selain itu, mikrosatelit dapat digunakan dalam paternity test (Ely et al. 1991; Pepin et al. 1995; Nair et al. 2000; Newman et al. 1999; Smith et al. 2000), pemetaan dan analisis keterpautan gen (Hearne et al. 1992; Krawczak dan Schmidtke 1994; Muladno 2000), penanganan kasus forensik, dan identifikasi suatu penyakit (Krawczak dan Schmidtke 1994; Page dan Holmes 1998). Dengan analisis keterpautan mikrosatelit pada suatu gen tertentu, mikrosatelit dapat digunakan sebagai penanda molekul untuk menyeleksi lokus yang membawa sifat atau karakter kuantitatif (quantitative trait loci) (Muladno 2000). Amplifikasi Fragmen DNA Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) sangat memudahkan dalam penggandaan, pendeteksian, dan pemanipulasian klon fragmen DNA dari berbagai sumber. Teknik PCR hanya membutuhkan konsentrasi DNA (template) yang sangat sedikit dan dapat mengamplifikasi DNA target secara eksponensial. Teknik ini menjadi semakin berkembang dan menggeser penggunaan kloning dalam ilmu Biologi Molekuler (Innis et al. 1990). Siklus PCR meliputi beberapa tahap. 1) Tahap denaturasi fragmen DNA. Pada tahap ini terjadi pemisahan rantai ganda DNA menjadi rantai tunggal akibat suhu tinggi (± 96 o C); 2) Tahap penempelan. Pada tahap ini terjadi penempelan

33 16 primer ke template DNA yang sesuai. Penempelan dilakukan pada suhu ± 55 o C; dan 3) Tahap elongasi. Tahap ini dilakukan pada suhu ± 72 o C, di mana Tag DNA Polymerase melakukan aktivitas polimerisasi unit DNA dengan arah 5 ke 3 yang komplementer dengan runutan DNA template yang diapit oleh satu set primer. Fragmen DNA hasil polimerisasi ini selanjutnya menjadi template untuk siklus berikutnya sehingga produk akhir fragmen DNA sangat banyak (peningkatan secara eksponensial). Siklus PCR biasanya dilakukan sebanyak 30 kali dan ditambah satu siklus setelah siklus ketiga puluh dengan waktu elongasi yang lebih panjang (5 menit). Waktu elongasi lebih panjang memberi kesempatan untuk fragmen DNA teramplifikasi secara keseluruhan (Erlich 1989; Newton dan Graham 1994; Becker et al. 1996). Efisiensi PCR sangat dipengaruhi oleh konsentrasi berbagai komponen. Komponen yang terlibat yaitu Tag DNA Polymerase, dntp (deoksinuklosida trifosfat), ion Mg, template DNA, dan primer. Selain itu, suhu dan lama waktu untuk masing-masing tahap dalam setiap siklus PCR akan mempengaruhi kualitas dan spesifisitas produk PCR (Innis et al. 1990; Davis et al. 1994; Becker et al. 1996). Keragaman Genetik Menggambarkan besarnya keragaman genetik dalam populasi dan mempelajari mekanisme untuk mempertahankan keragaman merupakan salah satu aspek utama genetika populasi. Keragaman genetik suatu populasi dapat didekati pada berbagai jenjang, seperti keragaman alel pada protein (lokus struktural) (Kawamoto dan Ischak 1981; Kawamoto et al. 1982, 1985; Nozawa et al. 1982; Kawamoto dan Suryobroto 1985; Takenaka et al. 1985a, 1985b; Perwitasari-Farajallah et al. 1999), folimorfisme situs pemotongan DNA oleh enzim (Restriction Fragment Length Polymorphism) (Hoelzer et al. 1992; Suzuki et al. 1994; Harihara et al. 1996; Perwitasari Farajallah et al. 1999; Yoshimi dan Takasaki 2003), polimorfisme runutan DNA (Hayashi et al. 1995; Comas et al, 1996; Hiendleder et al. 1998; Kim et al, 1998), keragaman alel pada jumlah salinan DNA berulang dari daerah hipervariabel DNA minisatelit (variable Number Tendem Repeats) (Jeffreys et al. 1985; Inoue et al. 1990; Reeve et al. 1992; Krawczak dan Schmidtke 1994) analisis randomly amplified polymorphic

34 17 DNA (RAPD) (Ayliffe et al. 1994; Kimberling et al. 1996; Neveu et al. 1996, 1998), dan polimorfisme mikrosatelit (Cooper et al. 1997; Brunner et al. 1998; Simonsen et al. 1998; Viard et al. 1998; Ciofi dan Bruford 1999; McCracken et al. 1999; Muladno 2000; Wirth 2000; Perwitasari-Farajallah 2004; Wandia et al. 2004). Penggunaan mikrosatelit sebagai penanda molekul semakin meningkat akhir-akhir ini. Melalui PCR, polimorfisme mikrosatelit cukup mudah untuk didekati. Kenyataan ini membawa penanda molekul ini semakin banyak digunakan dalam dunia genetika populasi. Variasi alelik mikrosatelit dapat dihitung melalui pemisahan produk PCR secara elektroforesis. Genotipe individu (homosigot (satu pita) dan heterosigot (dua pita) pada organisme diploid) dengan mudah dapat ditentukan dan frekuensi alel dalam populasi dapat dihitung setelah pita dimunculkan dengan suatu pewarnaan (Lessa dan Apllebaum 1993; Krawczak dan Schmidtke 1994; Bonhomme et al. 2005; Rogers et al. 2005; Kanthaswamy et al. 2006). Keragaman genetik populasi bukan saja menggambarkan kondisi populasi masa kini, tetapi juga mencerminkan masa lalu yang dilaluinya. Struktur populasi, kisah pemisahan populasi, diferensiasi genetik, dan rekonstruksi filogenetik adalah parameter yang dapat diungkapkan dengan data keragaman genetik suatu populasi. Selain itu, variabilitas genetik juga dapat digunakan sebagai dasar untuk mengungkapkan sebagian proses spesiasi secara molekuler pada suatu spesies (Melnick dan Hoelzer 1993; Nozawa et al. 1996). Keragaman genetik suatu populasi dapat memberi petunjuk mengenai keadaan populasi di masa mendatang. Keragaman genetik rendah akan membahayakan kelestarian suatu spesies atau populasi karena timbulnya populasi yang homosigot. Keragaman genetik dipengaruhi oleh ukuran populasi efektif, mutasi (penyisipan, pelesapan, dan penggantian nukleotida), migrasi (aliran genetik), kawin dalam (inbreeding), hanyutan genetik (genetic drift), dan efek botlle neck (Avise 1994; Nozawa et al. 1996; Hartl dan Clark 1997; Li 1997; Page dan Holmes 1998; Klug dan Cummings 2005).

35 MATERI DAN METODE PENELITIAN Pendekatan Populasi Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian lapangan dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Mei tahun Survei dan koleksi data populasi dilakukan pada dua populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur yaitu Pura Giri Sloka Alas Purwo (PgsAP) dan Bama Baluran (BmBL); enam populasi lokal di Pulau Bali yaitu Pura Pulaki (PrPL), Alas Kedaton (AK), Pura Uluwatu (PrUW), Sangeh (SG), Wanara Wana Ubud (WwUB), dan Pura Bukit Gumang (PrBG); serta dua populasi lokal di Pulau Lombok yaitu Gunung Pusuk (PS) dan Pura Gunung Pensong (PrGP) (Gambar 2). Alasan utama pemilihan populasi lokal tersebut adalah anggota populasi sudah terhabituasi dengan baik sehingga peluang ditangkap cukup besar untuk keperluan pencuplikan darah. Selain itu, pencuplikan dilakukan pada populasi lokal antar pulau yang berdekatan untuk melihat pola penyebaran keragaman genetik dari barat ke timur (Gambar 2). Gambar 2 Populasi lokal monyet ekor panjang yang diteliti untuk struktur populasi dan fenotipe kualitatif.?: lokasi populasi lokal. Koleksi dan Analisis Data Data populasi dikoleksi melalui survei dan sensus di masing-masing populasi lokal. Survei dan sensus dilakukan bersamaan dengan pengambilan data lainnya (fenotipe kualitatif dan contoh darah). Koleksi data diawali dengan identifikasi jumlah kelompok sosial berdasarkan pada informasi petugas jaga

36 19 yang kemudian dikonfirmasi dengan pengamatan pendahuluan. Setelah penentuan kelompok sosial, penghitungan anggota masing-masing kelompok sosial dilakukan secara langsung. Anggota populasi dikelompokkan menjadi empat yaitu jantan dewasa, betina dewasa, muda, dan anakan. Monyet jantan ditandai oleh wajah dengan cambang kurang lebat, berkumis, bantalan duduk kiri dan kanan menyatu, dan adanya skrotum (tetes). Monyet jantan dikelompokkan ke jantan dewasa apabila badannya besar, taringnya panjang, dan tingkah lakunya relatif superior. Monyet betina ditandai oleh wajah dengan cambang yang lebat, berjenggot, bantalan duduk kiri dan kanan terpisah, dan adanya vulva vagina. Monyet betina dikelompokkan menjadi betina dewasa apabila ambing dan puting susunya sudah menggelantung (pendulus). Pada kelompok muda, jenis kelamin tidak dibedakan melainkan digabung menjadi satu karena kesulitan untuk membedakannya di lapangan. Monyet jantan yang badannya lebih kecil dan tingkah lakunya permisif terhadap jantan dewasa yang ada saat itu, dan betina yang belum menunjukkan puting susu menggelantung dikelompokkan sebagai monyet muda. Batas bawah umur monyet muda adalah berubahnya warna rambut hitam di kepala menjadi ke abu-abuan. Sementara, monyet baru lahir dan monyet yang masih memiliki warna hitam pada rambut kepala dikelompokkan sebagai anakan. Jumlah anggota masing-masing kelompok sosial, selanjutnya, digabung menjadi satu data populasi lokal. Penghitungan secara langsung bisa dimulai dari kelompok anakan atau jantan dewasa atau lainnya sesuai situasi dan kondisi. Luas habitat masing-masing populasi lokal juga dicatat, tetapi luasan tersebut tidak mencerminkan daerah jelajah populasi. Luas habitat didapatkan melalui dua cara yaitu diberikan oleh masyarakat atau pemerintah (data sekunder) dan pendekatan untuk populasi lokal Gunung Pusuk (PS), Pura Giri Sloka Alas Purwo (PgsAP), dan Bama Baluran (BmBL). Pada cara pendekatan, luas area dihitung dengan membuat segi empat panjang bayangan setelah panjang dan lebar area didapatkan. Panjang dan lebar area ditentukan atas dasar lokasi terluar kelompok sosial yang teramati saat pengamatan. Data lain, sebagai pelengkap, yang dikoleksi adalah pendapat masyarakat setempat mengenai keberadaan populasi lokal monyet ekor panjang. Data ini didapatkan melalui penyebaran kuesioner yang meliputi persetujuannya terhadap keberadaan populasi lokal

37 20 monyet di sekitar lingkungan mereka, pengamatannya terhadap keberadaan monyet di dalam habitat, pengetahuannya mengenai pemberian pakan tambahan dan penangkapan monyet. Data yang telah dikoleksi pada masing-masing populasi lokal dianalisis mengenai jumlah kelompok sosial, struktur populasi, dan kepadatan (ekor/ha). Struktur populasi meliputi jumlah anggota populasi lokal, komposisi umur, rasio jantan dewasa dengan betina dewasa, ukuran populasi efektif (Ne), dan rasio ukuran populasi efektif dengan jumlah monyet dewasa sensus (N). Ukuran populasi efektif dihitung menggunakan rumus dari Nozawa et al. (1996). Data populasi dianalisis menggunakan program R Version dan ditampilkan secara deskriptif.

38 Pendekatan Morfologi Eksternal (Fenotipe Kualitatif) 21 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian di lapangan dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2005, bersamaan dengan pengambilan data populasi dan pencuplikan darah. Pengamatan fenotipe kualitatif monyet ekor panjang dilakukan pada populasi lokal yang sama dengan yang disurvei untuk data populasi. Populasi lokal tersebut adalah PgsAP dan BmBL di Kawasan Jawa Timur; PrPL, AK, PrUW, SG, WwUB, dan PrBG di Pulau Bali; PS dan PrGP di Pulau Lombok (Gambar 2). Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan untuk pengambilan data fenotipe kualitatif antara lain dengan teropong binokuler, kamera, kertas dan alat tulis. Koleksi dan Analisis Data Fenotipe Sebanyak 344 monyet ekor panjang dewasa dari sepuluh populasi lokal telah diambil data fenotipe kualitatifnya (Tabel 1). Pengamatan dilapangan menggunakan alat bantuan teropong untuk meyakinkan tipe karakter fenotipe pada pengamatan yang cukup jauh. Demikian juga, jika memungkinkan, karakter yang diamati difoto menggunakan kamera digital. Pengamatan fenotipe kualitatif monyet ekor panjang dilakukan setelah proses pencuplikan darah selesai. Pengamatan fenotipe kualitatif dikenakan pada monyet ekor panjang jantan yang dewasa (dalam beberapa kasus diamati juga yang subdewasa) dan betina dewasa. Pengenaan pengamatan fenotipe kualitatif hanya pada monyet jantan dan betina dewasa dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang definitif terutama fenotipe warna rambut. Tujuh kelas fenotipe kualitatif yang diamati meliputi warna mahkota, warna rambut punggung, warna rambut paha lateral, warna kulit abdomen, cambang, jambul, dan pusaran kepala. Untuk kelas fenotipe cambang, pengamatan diarahkan pada dua tipe yaitu infrazigomatikus (rambut di depan telinga mengarah ke belakang sehingga menutupi telinga) dan transzigomatikus (rambut di depan telinga mengarah ke depan). Untuk kelas fenotipe jambul,

39 22 pengamatan difokuskan pada posisi (di kanan, di tengah, atau di kiri garis median kepala) dan kecondongannya (ke kiri, tegak, atau ke kanan). Sementara, untuk kelas fenotipe pusaran kepala, pengamatan ditujukan pada posisi (di kanan, di depan, atau di kiri jambul kepala) dan arah pusarannya (searah putaran jarum jam atau berlawanan arah jarum jam). Data fenotipe kualitatif yang berasal dari monyet jantan dan betina dewasa digabung dan dianalisis menggunakan software R version serta ditampilkan secara deskriptif. Analisis korespondensi berganda terhadap profil karakter fenotipe dilakukan untuk melihat perbedaan antar populasi lokal dan jenis kelamin. Analisis korespondensi berganda menggunakan program CORAN (Lebart et al. 1984) dan pemetaan koordinat pada bidang dua dimensi menggunakan software R version Tabel 1 Jumlah monyet ekor panjang dewasa yang diamati untuk data fenotipe kualitatif di masing-masing populasi lokal Pulau/ kawasan Lokasi (populasi lokal) Kode? (ekor)? (ekor) N (ekor) Jawa Pura Giri Sloka Alas Purwo PgsAp Timur Bama Baluran BmBL Bali Lombok Pura Pulaki PrPL Alas Kedaton AK Pura Uluwatu PrUW Sangeh SG Wanara Wana Ubud WwUB Bukit Gumang PrBG Gunung Pusuk PS Pura Gunung Pengsong PrGP Jumlah 334

40 23 Pendekatan Genetik (Mikrosatelit) Waktu dan Lokasi Penelitian Sejumlah 159 contoh darah monyet ekor panjang dari sepuluh populasi lokal berhasil dikoleksi. Pencuplikan contoh darah monyet ekor panjang dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2005 bersamaan dengan pengambilan data populasi dan fenotipe kualitatif, kecuali pada lima populasi lokal di Pulau Bali, pencuplikannya dilakukan pada tahun 2000 dan telah tersedia dalam bentuk DNA (Tabel 2 dan Gambar 3). Analisis genetik dilakukan di Laboratorium Zoologi, Jurusan Biologi, FMIPA IPB, Gunung Gede pada bulan Juli 2005 sampai dengan Mei Tabel 2 Jumlah contoh darah monyet ekor panjang pada masing-masing populasi lokasi Pulau Lokasi (populasi lokal) Kode Jumlah (ekor) Jawa Timur Bali Lombok Pura Giri Sloka Alas Purwo PgsAp 15 Bama Baluran BmBL 14 Pura Pulaki PrPL 13 * Alas Kedaton AK 17 * Pura Uluwatu PrUW 16 * Sangeh SG 18 * Wanara Wana Ubud WwUB 13 * Bukit Gumang PrBG 20 Gunung Pusuk PS 17 Pura Gunung Pengsong PrGP 16 Jumlah 159 Keterangan: * pencuplikan tahun 2000 dan telah tersimpan dalam bentuk DNA Gambar 3 Lokasi pencuplikan darah monyet ekor panjang.?: pencuplikan darah tahun 2005 dan : pencuplikan darah tahun 2000.

41 24 Penyertaan contoh DNA tahun 2000 untuk analisis genetik pada penelitan saat ini tidak akan mengurangi kebermaknaan dari hasil penelitian. Frekuensi suatu alel berfluktuasi dari generasi ke generasi. Namun, perubahan frekuensi alel (alel netral) karena mutasi atau pengaruh faktor peluang dalam satu generasi sangat rendah (Li 1991; Perwitasari-Farajallah 1998). Frekuensi alel yang ditemukan dari contoh DNA populasi monyet tahun 2000 tidak akan berbeda secara nyata jika dibandingkan dengan hasil pencuplikan contoh pada populasi yang sama tahun 2005 (satu generasi monyet ekor panjang 5-7 tahun). Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan pada penelitian antara lain alat suntik 10 ml, seperangkat alat tulup, tabung Eppendorf, pipet mikro, pipet Pasteur, alat pemusing, tabung mikro, tip, rak tabung mikro, boks es, seperangkat alat PCR, seperangkat alat elektroforesis, seperangkat alat visualisasi, seperangkat alat pewarnaan, dan timbangan elektrik. Bahan yang digunakan antara lain kapas, alkohol 70%, Ketamin HCl, EDTA 10%, lysis buffer (NaCl 0,2%, EDTA 1 mm), bufer pencuci (NaCl 0,9%, EDTA 1mM), larutan 1x STE, larutan SDS 10%, larutan NaCl 10 M, urea lysis buffer, proteinase K, RNAse, membran dialisis (VISKING Seamless cellulose tubing), fenol, kloroform isoamilalkohol, bahan untuk PCR, bahan untuk pembuatan gel agarose dan poliakrilamid, bahan untuk elektroforesis, bahan untuk pemuatan contoh, dan bahan untuk pewarnaan. Primer Mikrosatelit Sejumlah sembilan lokus mikrosatelit digunakan sebagai penanda molekul pada penelitian ini. Polimorfisme masing-masing lokus mikrosatelit diungkapkan dengan menggunakan sepasang primer mikrosatelit manusia. Primer mikrosatelit tersebut adalah D1S533, D1S548, D1S550, D2S367, D2S1368, D3S1768, D4S243, D4S2456, dan D5S820. Pemilihan lokus tersebut sebagai penanda molekul karena beberapa pertimbangan. Lokus tersebut bukan saja bermotif tetra

42 25 nukleotida sehingga alelnya mudah dibedakan dengan cara elektroforesis, tetapi juga amplifikasinya melalui PCR sangat konsisten. Selain itu, lokus tersebut menunjukkan polimorfisme pada berbagai penelitian yang telah dilakukan terutama pada monyet Rhesus. Pengambilan Contoh Darah Monyet Ekor Panjang Monyet dibius dengan Ketamin HCl (dosis 10 mg/kg bobot badan) dengan cara ditulup. Sebanyak 5-10 ml darah diambil dari vena femoralis dengan menggunakan alat suntik 10 ml yang telah diisi EDTA 10% 0,1-0,4 ml sebagai antikoagulan. Darah dipisahkan menjadi tiga bagian yaitu plasma darah, buffy coat (mengandung sel darah putih), dan sel darah merah dengan pemusingan 3500 rpm (maksimum 1500 g) selama 15 menit. Untuk pencuplikan tahun 2000, buffy coat disimpan pada 0 o sampai 4 o C sebelum diproses lebih lanjut, atau disimpan di dalam alat pembeku (freezer) untuk diproses selanjutnya di lain waktu. Sebaliknya, untuk pencuplikan tahun 2005, buffy coat langsung dituangkan ke dalam tabung yang telah berisi larutan urea lysis buffer. Ekstraksi dan Purifikasi DNA Total Ekstraksi dan purifikasi DNA total untuk buffy coat tahun 2000 menggunakan metode Kan et al. (1977) dalam Perwitasari-Farajallah (1998). Ekstraksi menggunakan fenol-kloroform dan purifikasi dengan membran dialisis. Membran dialisis disiapkan dengan cara seperti yang diterangkan dalam Sambrook et al. (1989). Langkah ekstraksi dan purifikasi DNA total sebagai berikut. Satu ml contoh darah (buffy coat) dimasukkan ke dalam tabung polipropilen 15 ml (tabung Falcon). Ditambahkan ke dalamnya lysis buffer (NaCl 0,2%, EDTA 1 mm) 4-5 kali volume contoh, kemudian dikocok hingga tersuspensi, dan selanjutnya dipusingkan pada 3000 rpm (maksimum 1000 g) selama 15 menit. Setelah pemusingan, supernatannya dibuang dan ditambahkan lysis buffer (NaCl 0,2%, EDTA 1 mm) 10 ml. Dikocok sebentar sebelum dipusing 3000 rpm (maksimum

43 g) selama menit. Selanjutnya, supernatan dibuang lalu ditambahkan bufer pencuci (NaCl 0,9%, EDTA 1mM) 10 ml. Dipusingkan pada 3000 rpm (maksimum 1000 g) selama 10 menit. Supernatan dibuang setelah pemusingan selesai. Dimasukkan ke dalamnya larutan 1x STE 2 ml, dikocok perlahan sampai tercampur, lalu ditambahkan Proteinase K (10 mg/ml) 30 l dan SDS 10% 0,5 ml. Diinkubasi pada suhu 55 o C sambil diputar pelan selama dua jam atau sampai suspensi homogen. Selesai diinkubasi, dituangkan ke dalamnya larutan NaCl 5 M sebanyak 1/10x volume, fenol 0,5-1,0x volume dan larutan kloroform isoamil alkohol (CIAA) 0,5-1,0x volume, kemudian diputar pelan dalam suhu ruang selama menit. Setelah itu, pemusingan 3000 rpm (maksimum 1000 g) dilakukan selama 20 menit. Fase air (lapis atas) dipindahkan ke kantong dialisis dengan pipet Pasteur. Setiap kantong dialisis diberi nomor dengan klip plastik. Dialisis dilakukan dalam dua liter larutan 1x TE 4 o C selama minimal lima jam atau semalam sambil dikocok pelan. Selanjutnya, sol DNA dari kantong dialisis dipindahkan ke tabung Falcon. Ditambahkan RNase 30 l, dan dikocok pelan beberapa kali. Diinkubasi pada suhu 37 o C selama 30 menit dalam waterbath. Setelahnya, ditambahkan larutan 5 M NaCl 1/10x volume dan Proteinase K 30 l. Diinkubasi pada 55 o C selama dua jam sambil diputar perlahan. Selesai inkubasi, ditambahkan fenol dan CIAA masing-masing 0,5 kali volume. Diputar pelan pada suhu ruang selama menit. Kemudian, dipusingkan pada 3000 rpm (maksimum 1000 g) selama 15 menit. Fase air (lapis atas) dipindahkan ke kantong dialisis dan didialisis dalam dua liter larutan 1xTE 4 o C selama minimal lima jam atau semalam. Selanjutnya, sol DNA dari kantong dialisis dipindahkan ke botol penyimpan DNA dan diisi dengan dua tetes CIAA. Botol penyimpan DNA diberi label dan disimpan pada suhu 4 o C. Ekstraksi dan purifikasi DNA total contoh buffy coat tahun 2005 menggunakan larutan fenol-kloroform dan membran dialisis. Sebagai pelisis dan denaturan protein digunakan urea lysis buffers. Langkah ekstraksi dan purifikasi DNA total sebagai berikut. Satu ml buffy coat dimasukkan ke dalam tabung polipropilen 15 ml (tabung Falcon) dan ditambahkan ke dalamnya urea lysis buffers 2 ml. Campuran dikocok sampai homogen, kemudian ditambahkan SDS 10% 0,5 ml, fenol 1,5 ml, CIAA 1,5 ml, dan NaCl 5 M 0,3 ml. Diputar pelan

44 27 pada suhu kamar selama dua jam. Selesai pemutaran, tabung dipusingkan 3500 rpm (maksimum 1500 g) selama 15 menit. Fase air (lapis atas) dipindahkan ke kantong dialisis dengan pipet Pasteur. Dialisis dilakukan dalam dua liter larutan 1x TE 4 o C semalam sambil dikocok pelan. Selanjutnya, sol DNA dari kantong dialisis dipindahkan ke botol penyimpan DNA yang sebelumnya telah dilabel. Dua tetes CIAA ditambahkan ke dalam sol DNA dan disimpan pada suhu 4 o C. Hasil purifikasi dilihat dengan cara elektroforesis pada gel agarose 0,5% volume 80 ml dalam larutan 1xTAE (Tris Acetat EDTA, ph 8,0). Fragmen dimunculkan dengan pewarna etidium bromida setelah dimigrasikan selama 35 menit dengan voltase 50 V. Penanda yang digunakan adalah DNA? HindIII untuk mengetahui adanya fragmen DNA dengan berat molekul tinggi (high molecular weight DNA). Fragmen DNA yang terwarnai divisualisasikan pada foto dengan kamera Polaroid di bawah sinar ultraviolet. Amplifikasi Lokus Mikrosatelit Mikrosatelit diamplifikasi melalui Polymerase Chain Reaction (PCR). Setiap unit reaksi PCR mengandung 1x bufer PCR; 3 mm MgCl 2 ; masing-masing 0,16 mm dntp; masing-masing 0,48 mm sepasang primer; dan sebanyak 0,25 U Taq DNA Polimerase. Setiap reaksi PCR dibuat dengan volume 12,5 l dengan komposisi 10x buffer A 1,25 l (Fisher Scientific), MgCl 2 25 mm 0,75 l (Promega), dntp 10 mm mix 0,2 l, primer Reverse dan Forward 20 mm masing-masing 0,3 l, Taq DNA Polymerase 5 U/ l (Fisher Scientific) 0,05 l, template DNA 2 l, dan air deionase 7,65 l. Urutan pencampuran dilakukan secara bebas, kecuali Taq DNA Polimerase dicampur untuk yang terakhir. Campuran divorteks dan dipusingkan sebentar (Hillis et al. 1996). Amplifikasi menggunakan mesin TaKaRa PCR Thermal Cycler MP. Kondisi PCR untuk masing-masing primer mikrosatelit sebagai berikut. Pra PCR: denaturasi 94 o C selama lima menit; PCR: denaturasi 94 o C 45 detik, annealing (56 o C untuk primer D1S533, D1S550, D2S367, D3S1768, D4S2456, 58 o C untuk primer D1S548, D2S1368, D4S243, dan 60 o C untuk primer D5S820)

45 28 selama satu menit, dan elongasi 72 o C selama satu menit; dan post PCR: elongasi 72 o C selama lima menit. PCR dilakukan sebanyak 30 siklus. Variasi alel mikrosatelit dipisahkan secara elektroforesis pada gel poliakrilamid 7% dalam larutan 1x penyangga TBE (Tris Borak EDTA, ph 8.0) dengan voltase 160 V selama 120 menit. Sejumlah 1µl produk PCR dicampur dengan 0,2 µl penyangga pemuat (5x dye), selanjutnya dimasukkan ke dalam sumur gel poliakrilamid yang telah disiapkan. Pita dimunculkan dengan pewarnaan perak dan panjang basa diukur dengan membandingkan terhadap penanda standard 100 bp DNA ladder (Gibco BRL, Life Technologies). Peubah Genetika Populasi Pita yang muncul pada gel poliakrilamid adalah suatu alel mikrosatelit. Keragaman alel mikrosatelit dapat dilihat dari beda jarak migrasi alel pada gel (Lessa dan Applebaum 1993; Krawczak dan Schmidtke 1994). Genotipe ditentukan berdasarkan variasi pita alel. Genotipe untuk monyet jantan dan betina tidak dibedakan karena penanda molekul yang digunakan terletak pada kromosom somatik sehingga variasi pasangan alel sama-sama berasal dari kedua induk secara acak. Selanjutnya, frekuensi masing-masing alel setiap lokus mikrosatelit di masing-masing populasi lokal dihitung dengan menggunakan rumus Nei (1987). Peubah genetika populasi yang akan dihitung meliputi keragaman genetik, Keseimbangan Hardy-Weinberg untuk mengetahui pola kawin acak dalam populasi lokal, diferensiasi genetik populasi lokal dalam dan antar pulau, aliran genetik (gene flow), dan jarak genetik antar populasi lokal. Analisis Data Mikrosatelit Keragaman genetik diukur dengan rataan heterosigositas (H) yang dihitung untuk semua lokus, baik lokus polimorfik atau monomorfik. Rataan heterosigositas (H) dihitung menggunakan rumus Nei (1987).

46 29 Untuk menganalisis Keseimbangan Hardy-Weinberg dalam populasi lokal monyet ekor panjang, digunakan indeks fiksasi (F IT ). Di bawah asumsi tidak terjadi seleksi terhadap alel kodominan, penyimpangan nilai F IT dari nol (tidak terjadi inbreeding) diuji dengan uji?2 dengan derajat bebas satu (Nei 1987). Diferensiasi genetik antar populasi lokal dihitung dengan menggunakan penduga F ST atau G ST (Nei 1987; Nei dan Kumar 2000). Dalam hal ini, keragaman genetik total (H T ) dipilah menjadi dua komponen yaitu keragaman genetik dalam (H S ) dan antar populasi lokal (D ST ). Diferensiasi genetik mengukur besarnya defisit keragaman genetik populasi lokal relatif terhadap heterosigositas genetik total. Aliran genetik dihitung dengan menggunakan model pulau (Avise 1994). Pada model ini, setiap kelompok akan menerima imigran dengan laju m secara random dari sebuah populasi yang anggotanya besar. Aliran genetik diekspresikan dengan jumlah efektif migran setiap generasi (Nem). Jarak genetik antar populasi lokal dihitung menggunakan jarak genetik standar Nei (Ds) (Takezaki dan Nei 1996) di bawah asumsi infinite allele model. Jarak genetik tersebut dijadikan dasar untuk membuat dendogram dengan metode unweighted pair-group method with arithmetic average (UPGMA). Jarak genetik standar Nei (D S ) dan dendogram dibuat dengan menggunakan program Phylip (Phylogeny Inference Package) Version 3.6 dari Felsenstein (2004).

47 HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok Hasil Penelitian Kelompok Sosial dan Komposisi Umur Anggota Populasi Lokal Sensus terhadap sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang yang berada di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok menunjukkan jumlah kelompok sosial yang menyusun populasi lokal cukup beragam (koefisien keragaman 46,36%), meskipun sebagian besar populasi lokal tersusun atas dua kelompok sosial. Hal serupa, jumlah monyet jantan dewasa, betina dewasa, muda, dan anakan di masing-masing populasi lokal bervariasi dengan koefisien keragaman berturut-turut 41,73, 44,37, 35,09, dan 47,46% (Tabel 3). Tabel 3 Struktur populasi, luas habitat, dan kepadatan populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok Kawasan Populasi lokal Jumlah kelompok sosial Jantan dewasa (ekor) Betina dewasa (ekor) Muda (ekor) Anakan (ekor) Total (ekor) Luas habitat (ha) Kepadatan (ekor/ha) Jawa PgsAP ,00 4,5 Timur BmBL ,00 10,0 PrPL ,00 10,8 AK ,00 16,7 Bali PrUW ,4 SG ,97 14,5 WwUB ,74 18,1 PrBG ,5 Lombok PS ,0 PrGP ,00 7,4 Rataan ±SD Koefisien Keragaman (%) 2,7 ±1,252 17,4 ±7,260 40,8 ±18,097 72,2 ±25,332 17,1 ±8, ,5 ±48,820 18,07 ±15,077 10,49 ±4,971 46,36 41,73 44,37 35,09 47,46 33,10 83,44 47,39 Anggota populasi lokal monyet ekor panjang didominasi oleh monyet muda dengan kisaran 36-61,33% dengan rataan 49,59%, kecuali pada populasi lokal PS, proporsinya (36%) hampir sama dengan proporsi monyet betina dewasa (37%, Gambar 4). Monyet betina dewasa menempati posisi kedua terbanyak setelah monyet muda dengan proporsi antara 20-37% dan rataan 27,06%. Sementara, monyet jantan dewasa dan anak memberi kontribusi anggota relatif sama masing-masing antara 8,5-16,35% dengan rataan 11,78% dan 8,23-18% dengan rataan 11,56% secara berurutan.

48 31 jumlah individu (%) anak muda betina dewasa jantan dewasa PgsAP BmBL PrPL AK PrUW SG WwUB PrBG PS PrGP Populasi lokal Gambar 4 Komposisi monyet anak, muda, dan dewasa di masing-masing populasi lokal monyet ekor panjang. Monyet muda mendominasi di seluruh populasi lokal, kecuali pada PS, frekuensinya relatif sama dengan monyet betina dewasa. Monyet betina dewasa ditemukan dengan proporsi tertiggi kedua setelah monyet muda, kecuali pada PS proporsinya tertinggi. Sementara monyet jantan dewasa dan anakan menyumbang keanggotaan relatif sama di setiap populasi lokal. Penggabungan jumlah monyet anakan dan muda dilakukan untuk melihat gambaran kenormalan komposisi umur populasi di masing-masing populasi lokal (Gambar 5). Penggabungan tersebut menghasilkan pola kurva yang sama di setiap populasi lokal. Jumlah gabungan monyet anakan dan muda menempati proporsi yang paling tinggi (48-70%, rataan 61,15%) dususl oleh monyet betina dewasa dan selanjutnya monyet jantan dewasa. 8 7 jumlah individu (%) anak dan m uda betina dewasa jantan dew as a PgsAP BmBL PrPL AK PrUW SG Ww UB PrBG PS PrGP p o p u la si lo ka l Gambar 5 Komposisi gabungan monyet anak dan muda, betina dewasa, dan jantan dewasa di masing-masing populasi lokal monyet ekor panjang. Semua populasi lokal memiliki pola kurva yang sama yaitu gabungan monyet anak dan muda mendominasi di setiap populasi lokal disusul monyet betina dan jantan dewasa.

49 32 Kepadatan Populasi Lokal Jumlah anggota populasi lokal cukup beragam. Jumlah anggota populasi lokal berkisar ekor dengan rataan mendekati 148 ekor (Tabel 3). Keragaman juga terlihat pada luasan habitat yang dihuni oleh populasi lokal. Populasi lokal menghuni habitat dengan luas yang bervariasi antara 8-60 ha dengan rataan ±18 ha. Hasil survei masyarakat di sekitar lokasi menunjukkan sebagian besar responden pernah melihat monyet ke luar habitat. Berdasarkan pada fakta tersebut, daerah jelajah populasi kemungkinan besar melebihi luas habitat yang dicatat sekarang. Kepadatan masing-masing populasi lokal juga berberda-beda dengan kepadatan terendah ditemukan pada populasi lokal PrBG 2,5 ekor/ha dan tertinggi pada populasi lokal WwUB 18,1 ekor/ha. Rasio Monyet Ekor Panjang Jantan dan Betina Dewasa, serta Ukuran Populasi Efektif Rata-rata rasio antara jantan dan betina dewasa populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok adalah 1:2,3 (Tabel 4). Tabel 4 Rasio jantan dan betina dewasa serta ukuran populasi efektif (Ne) populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok Kawasan Jawa Timur Bali Populasi lokal Jantan dewasa (ekor) Betina dewasa (ekor) Total dewasa (N) (ekor) Rasio jantan:betina dewasa Ne* (ekor) Ne/N PgsAP : 1,9 16 0,70 BmBL :2,0 34 0,76 PrPL :1,7 54 0,76 AK :3,7 55 0,69 PrUW :1,8 36 0,75 SG :1,9 51 0,77 WwUB :3,0 45 0,75 PrBG :2,6 44 0,76 Lombok PS : 2,5 82 0,79 PrGP :2,9 20 0,74 Rataan ±SD 17,4 ±7,260 40,8 ±18,097 58,2 ±24,248 1:2,3 44± 18,968 0,75 ±0,031 Koefisien keragaman (%) 41,73 44,36 41,66-43,11 4,13 *Dihitung menggunakan rumus dari Nozawa et al. (1996) Rasio jantan dan betina dewasa terendah ditemukan pada populasi lokal AK (1:3,7) dan tertinggi pada populasi PrPL (1:1,7). Ukuran populasi efektif

50 33 (Ne) populasi lokal cukup beragam (koefisien keragaman 43,11%) dengan ukuran tertinggi ditemukan pada populasi lokal PS (82 ekor) dan terendah pada populsi lokal PgsAP (16 ekor). Keragaman Ne adalah implikasi dari keragaman jumlah monyet jantan dan betina dewasa (N) di masing-masing populasi lokal. Namun demikian, nisbah atau rasio ukuran populasi efektif dengan jumlah total monyet dewasa (Ne/N) sangat homogen (koefesien keragaman 4,13%) dengan kisaran 0,69-0,79 dan rataan 0,75 (Tabel 4). Pembahasan Penelitian yang telah dilakukan bersifat cross sectional dan eksploratif sehingga hasil yang didapatkan menggambarkan apa adanya di waktu tertentu. Meskipun penelitian ini bukan mencari jawaban atas keragaman yang tinggi pada beberapa parameter struktur populasi seperti ditampilkan pada Tabel 3, beberapa alasan dapat diberikan untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, luas habitat. Luas habitat yang didapatkan di beberapa populasi lokal bukan mencerminkan luas wilayah jelajah populasi lokal. Luas ini juga tidak mempertimbangkan kebutuhan monyet untuk beraktivitas atau mencari pakan. Kedua, tingkat isolasi populasi lokal. Berdasarkan pada hasil pengamatan di lapangan, tingkat isolasi populasi lokal dapat dikelompokkan ke dalam tiga klasifikasi yaitu tingkat isolasi tinggi, sedang, dan rendah atau tidak ada. Tingkat isolasi tinggi ditemukan di populasi lokal AK, SG, WwUB, dan PrGP. Luas habitat populasi ini terbatas dan dikelilingi oleh perumahan atau daerah pertanian sehingga monyet yang keluar dari habitatnya cenderung dihalau kembali ke habitat. Tingkat isolasi sedang ditemukan di populasi lokal PrPL, PrUW, dan PrBG. Meskipun luas habitatnya terbatas dan dikelilingi oleh perumahan atau lahan milik masyarakat, sebagian habitat populasi lokal ini masih berhubungan dengan kawasan hutan atau lahan bebas dan monyet leluasa untuk memasukinya. Tingkat isolasi rendah atau tidak ada isolasi ditemukan di populasi lokal PgsAP, BmBL, dan PS. Populasi lokal ini terletak di dalam kawasan taman nasional atau hutan (PS) sehingga anggota populasi bebas bergerak tanpa ada hambatan. Perbedaan tingkat isolasi suatu populasi ini mungkin ikut menyumbang terhadap keragaman parameter struktur populasi yang diamati. Ketiga, pemberian pakan tambahan. Hasil penelitian pada

51 34 masyarakat sekitar dan lapangan menunjukkan tidak ada populasi lokal yang tidak diberikan pakan tambahan. Pakan tambahan dapat berasal dari berbagai sumber dengan kualitas dan kuantitas yang bervariasi. Ketersediaan pakan yang cukup akan mempertahankan anggota kelompok sosial dalam populasi lokal. Masyarakat pengguna jalan raya Gunung Pusuk acapkali melemparkan makanan dari dalam kendaraan untuk monyet yang ada di pinggir jalan. Kebiasaan ini berdampak pada struktur populasi monyet di Gunung Pusuk (PS) yaitu terbentuknya beberapa kelompok sosial yang menempati lokasi di sepanjang jalan raya Gunung Pusuk. Pembentukan kelompok sosial yang lebih banyak dan posisinya berderet akan lebih efektif dan kurangnya persaingan antar anggota untuk mendapatkan makanan dari pengguna jalan. Keempat, sejarah kolonisasi dan pemisahan populasi. Keragaman struktur populasi juga sangat terkait dengan bagaimana populasi awal terbentuk dan bagaimana pemisahan selanjutnya menjadi populasi yang lain. Data seperti ini sangat sulit untuk dilacak, namun kondisi tersebut tidak terbantahkan telah berkontribusi besar terhadap keragaman struktur populasi yang ada kini. Dan kelima, faktor-faktor stokastik internal dan ekternal. Dinamika populasi monyet ekor panjang tentu sangat terpengaruh oleh faktor yang bersifat internal seperti fitness, fertilitas, dan daya tahan atau kompetisi, serta faktor yang bersifat eksternal seperti penyakit, bencana alam, atau ulah manusia. Perpaduan dari beberapa hal tersebut di atas akan berdampak pada keragaman struktur populasi lokal seperti yang ditampilkan pada Tabel 3. Keragaman satu parameter akan berimplikasi pada keragaman parameter lainnya, seperti keragaman pada jumlah anggota populasi lokal dan luasan habitat akan berdampak pada keragaman kepadatan antar populasi lokal. Monyet ekor panjang merupakan primata nonhuman yang hidup dalam kelompok-kelompok sosial (Napier dan Napier 1985; Bennett et al.1995; Dolhinow dan Fuentes 1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar populasi lokal tersusun atas dua atau tiga kelompok sosial terutama populasi lokal yang menempati daerah dengan luasan terbatas seperti WwUB, SG, PrGP, atau AK (Tabel 3). Tampaknya, luas habitat, derajat isolasi, dan pemusatan sumber pakan sangat mempengaruhi pembentukan kelompok sosial dalam populasi lokal. Populasi lokal PS yang berlokasi di hutan atau gunung

52 35 (Gunung Pusuk) tidak memiliki batas yang tegas. Area yang luas pada PS memberi kesempatan kepada anggota kelompok untuk bergerak dan berpencar secara lebih bebas untuk mendapatkan makanan. Kelompok sosial yang anggotanya besar akan terpisah menjadi kelompok yang lebih kecil. Lebih banyaknya kelompok sosial yang ditemukan (enam kelompok sosial) di sepanjang jalan raya Gunung Pusuk (lebih kurang 2 km) mungkin terkait dengan hal tersebut seperti yang telah diterangkan di atas. Sementara, populasi lokal yang terletak pada area terbatas dan adanya pemusatan lokasi pemberian pakan memiliki kelompok sosial yang lebih rendah (2-3 kelompok sosial). Hal yang sama juga terjadi pada area Pura Giri Sloka di Taman Nasioanl Alas Purwo (PgsAP) dan penginapan Bama Baluran (BmBL). Meskipun populasi lokal PgsAP dan BmBL terletak berturut-turut di Taman Nasional Alas Purwo (43420 ha) dan Baluran (25000 ha) yang cukup luas dan arealnya tanpa isolasi, jumlah kelompok sosial yang ditemukan di kedua populasi lokal tersebut berkisar 2-3 kelompok. Rendahnya kelompok sosial yang ditemukan lebih disebabkan oleh adanya pemusatan sumber pakan seperti di areal pura pada PgsAP dan di sekitar penginapan pantai Bama pada BmBL. Selain itu, pembatasan terhadap luas area yang disurvei yakni terbatas pada area sekitar Pura Giri Sloka (pada Alas Purwo) dan penginapan pantai Bama (Baluran) juga mendukung lebih sedikitnya kelompok sosial yang ditemukan. Kelompok sosial dapat tertembuskan oleh kedatangan jantan migran meskipun kelompok sosial monyet ekor panjang bersifat kohesif. Monyet jantan dalam kehidupan selanjutnya akan migrasi ke kelompok sosial lainnya (Napier dan Napier 1985; Suryobroto et al. 1995) menyebabkan populasi lokal merupakan satu unit breeding. Hal senada, sebelumnya, telah dinyatakan oleh Kawamoto et al. (1981) karena rendahnya diferensiasi genetik antar kelompok sosial dalam satu lokasi. Hasil penelitian Wandia et al. (2004) yang menganalisis keragaman genetik monyet ekor panjang menggunakan beberapa lokus mikrosatelit pada satu area juga menemukan diferensiasi genetik antar kelompok sosial rendah sehingga satu populasi lokal dapat dinyatakan sebagai satu unit breeding atau populasi Mendelian (Hartl dan Clark 1997).

53 36 Hasil sensus menunjukkan jumlah anggota masing-masing populasi lokal cukup beragam. Monyet muda merupakan penyumbang anggota populasi terbanyak di setiap populasi lokal (Gambar 4). Hal ini berkaitan dengan lebarnya kisaran umur untuk penentuan monyet muda yaitu 3-4 kali kisaran umur untuk anak. Monyet yang baru lahir dan monyet yang masih memiliki warna hitam pada rambut kepala dikelompokkan ke dalam anak. Selanjutnya, monyet yang warna hitam pada rambut kepala telah menghilang (umur ±15 bulan, Fooden 1995) dikelompokkan ke dalam monyet muda. Penentuan batas maksimum kelompok monyet muda cukup sulit. Fooden (1995) menyatakan bahwa batas maksimum umur muda untuk monyet jantan dan betina bila masing-masing gigi taring permanen dan geraham M3 tumbuh belum komplit. Ahli lain melansir bahwa monyet jantan dewasa ditandai oleh volume testis lebih besar dari 20 cm 3 (Hendrickx dan Dukelow 1995). Karena kedua cara ini cukup sulit diterapkan di lapangan, jantan masih digolongkan muda jika besar badannya lebih kecil dari jantan dewasa (jantan alfa) yang ada, taringnya belum sepanjang taring jantan dewasa (umurnya kurang dari 6 tahun), dan tingkah lakunya permisif terhadap jantan dewasa. Untuk yang betina, monyet yang belum memperlihatkan puting susu menggelantung (pendulus) dikelompokkan ke dalam monyet muda (umur kurang dari 4 tahun). Penentuan umur dengan cara ini menyebabkan lebarnya kisaran umur monyet muda dan berimplikasi pada tingginya jumlah monyet muda dalam populasi lokal. Secara umum, pada kondisi normal, monyet ekor panjang betina melahirkan pertama pada umur 46 bulan, dan interval kelahiran antara bulan (Rowe 1996). Dalam kurun waktu 4 tahun (monyet betina anakan menjadi dewasa) akan terjadi akumulasi monyet muda antara 2-4 ekor dari setiap induk betina. Sejalan dengan keberlangsungan hidup populasi dari generasi ke generasi, jumlah gabungan monyet anakan dan muda akan melebihi jumlah monyet betina atau jantan dewasa pada suatu populasi lokal. Jika kondisi kenormalan ini menyimpang pada suatu populasi lokal, maka kehidupan jangka panjangnya kemungkinan juga akan terancam. Hasil penelitian menunjukkan jumlah gabungan monyet anakan dan muda sangat mendominasi di setiap populasi lokal (Gambar 5). Fakta ini mengindikasikan stabil dan amannya keberadaan jangka

54 37 panjang populasi lokal yang ada di ketiga pulau. Kondisi reproduksi monyet yang baik dan makanan yang cukup tampaknya menjadi penyumbang kestabilan populasi lokal tersebut selain faktor genetik (rendahnya tekanan silang dalam). Monyet ekor panjang hidup dalam kelompok sosial tipe multimalesmultifamels group (Napier dan Napier 1985; Williams dan Bernstein 1995; Swindler 1998). Adanya banyak jantan dan betina dalam satu kelompok sosial merupakan hal umum pada monyet ekor panjang. Hal ini sejalan dengan hasil sensus demografi populasi monyet ekor panjang di sepuluh populasi lokal baik di Jawa Timur, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok. Populasi lokal ditempati oleh monyet jantan dewasa dengan kisaran 8,5-16,35% dan betina dewasa antara 20-37% dari seluruh anggota populasi (Gambar 4). Rasio antara jantan dewasa dengan betina dewasa memiliki kisaran yang sempit pada masing-masing populasi lokal. Rasio tertinggi ditemukan pada populasi lokal Pura Pulaki (PrPL) 1:1,7 dan terendah pada populasi lokal Alas Kedaton (AK) 1:3,7 (Tabel 4). Karena kisaran rasio yang ditemukan cukup sempit, maka rataan rasio 1:2,3 mungkin dapat disimpulkan sebagai kekhasan rasio antara jantan dengan betina dewasa populasi lokal monyet ekor panjang di Indonesia. Konsistensi rasio ini dapat digunaan untuk memperkirakan jumlah monyet betina dewasa dalam suatu populasi lokal dengan hanya menghitung jumlah jantan dewasa. Pengalaman peneliti menunjukkan bahwa menghitung jumlah betina dewasa lebih sulit dari menghitung jumlah jantan dewasa. Hal lain yang konsisten pada penelitian ini adalah nisbah (rasio) antara ukuran populasi efektif (Ne) dengan jumlah monyet jantan dan betina dewasa sensus (N). Dalam dunia genetika konservasi dan evolusi biologi, Ne memiliki peran yang sangat penting (Nozawa et al. 1996; Frankham et al. 2004). Ukuran populasi efektif (Ne) mengukur jumlah anggota populasi (jantan dan betina dewasa) yang terlibat dalam proses reproduksi dan memberi keturunan ke generasi berikutnya. Pada penelitian ini, Ne didekati dengan menggunakan rumus dari Nozawa yang digunakan untuk menghitung Ne pada kelompok monyet Jepang (Nozawa et al. 1996). Ukuran populasi efektif (Ne) yang didapatkan pada penelitan ini cukup beragam sesuai dengan jumlah jantan dan betina dewasa yang ada pada populasi

55 38 lokal. Namun, rasio antara Ne dengan jumlah jantan dan betina dewasa sensus (N) sangat homogen (KK 4,13%) antar populasi lokal baik yang ada dalam satu pulau maupun antar pulau (Tabel 4). Rataan rasio Ne/N populasi lokal monyet ekor panjang sebesar 0,75 mungkin dapat dinyatakan sebagai kekhasan rasio Ne/N populasi lokal monyet ekor pajang yang ada di Indonesia. Rasio Ne/N yang didapatkan pada penelitian ini lebih tinggi dari rasio Ne/N pada kelompok monyet Jepang (Macaca fuscata) yang mendekati 0,36 (Nozawa et al. 1996) dan juga lebih tinggi dari Ne/N untuk hewan secara umum (0,10) yang dilansir oleh Frankham et al. (2004) dalam buku A Primier of Conservation Genetics. Salah satu penyebab penurunan jumlah anggota suatu populasi adalah menurunnya luasan habitat yang ditempati dan daya dukungnya (Primack 1995). Pengalihan fungsi kawasan atau hutan menjadi areal pertanian dalam arti luas, daerah industri, atau menjadi tempat tinggal telah menimbulkan beberapa populasi monyet terlokalisasi di suatu area seperti Wanara Wana Ubud (Pulau Bali), Alas Kedaton (Pulau Bali), dan Pura Gunung Pengsong (Pulau Lombok). Sensus yang dilakukan pada sepuluh populasi lokal pada penelitian ini mendapatkan jumlah anggota populasi lokal dan luasan area yang ditempatinya beragam (Tabel 3). Penghitungan kepadatan populasi lokal menghasilkan besaran yang beragam. Populasi lokal WwUB, SG, dan AK adalah populasi lokal dengan urutan kepadatan tiga tertinggi dari seluruh populasi lokal yang diamati. Ketiga populasi lokal ini merupakan representasi populasi lokal dengan tingkat isolasi tertinggi dibandingkan populasi lokal lainnya karena habitatnya dikelilingi oleh areal pertanian dan perumahan. Kepadatan populasi lokal SG 14,5 individu/ha, AK 16,7 individu/ha, dan WwUB 18,1 individu/ha jauh melebihi kepadatan di Pulau Tinjil yang dihuni oleh monyet liar yang disurvei pada tahun 2001 sebesar 403,2 individu/km 2 atau 4,03 individu/ha (Leeson et al. 2004). Populasi lokal PrUW, PrPL, dan PrGP juga memiliki kepadatan populasi yang melebihi kepadatan di Pulau Tinjil untuk survei tahun 2001 tersebut. Tingginya kepadatan populasi lokal mungkin berhubungan erat dengan kombinasi beberapa hal seperti sempitnya area yang ditempati, akses pakan yang lebih baik, dan terlindung dari gangguan luar. Tampaknya, ketersediaan pakan menjadi faktor penyumbang

56 39 utama terhadap tingginya kepadatan populasi lokal sebagaimana juga yang disampaikan oleh Fooden (1995) bahwa kepadatan kelompok monyet ekor panjang di alam liar tanpa diberi pakan tambahan lebih rendah daripada kepadatan di daerah yang diberi pakan tambahan. Wheatly (1989) yang melakukan penghitungan jumlah anggota populasi di Wanara Wana Ubud (WwUB) pada tahun 1986 menemukan kepadatan 1600/km 2 atau 16 individu/ha. Kepadatan populasi WwUB pada penelitian saat ini (tahun 2005) didapatkan 18,1 individu/ha. Dengan menggunakan data ini, laju pertumbuhan populasi dapat diperkirakan sebesar 0,131 selama kurun waktu 19 tahun. Atau jumlah populasi saat ini (tahun 2005) sebesar 1,131 kali jumlah populasi tahun Laju pertumbuhan ini terlihat cukup rendah untuk daerah dengan ketersediaan pakan cukup. Jika luas area WwUB adalah 8,74 ha maka jumah populasi tahun 1986 (survei Wheatly) sebesar 139 individu. Apabila diperkirakan jumlah betina dewasa sebesar 20% dari populasi (pendugaan terendah dari sensus penelitian ini dan 30% beranak) maka jumlah tambahan anggota sekali reproduksi sebesar 8 ekor. Jika terjadi dua kali reproduksi dalam 5 tahun, maka akan ada tambahan populasi sebesar 64 individu, atau laju pertumbuhan populasi sebesar 0,46 selama 19 tahun, atau jumlah anggota populasi saat ini (tahun 2005) semestinya 203 ekor. Jumlah ini jauh lebih besar dari hasil sensus saat ini (158 individu tahun 2005). Yang menjadi pertanyaan adalah kemana anggota populasi sejumlah 45 ekor tersebut. Survei terhadap masyarakat sekitar WwUB menunjukkan 100% responden menyatakan sering melihat monyet keluar dari habitatnya (Lampiran 11). Fakta ini mengindikasikan bahwa beberapa anggota populasi mungkin keluar dan menetap di lokasi lain di luar habitat sebelumnya. Pola ini kemungkinan besar juga ditemukan pada populasi lokal lain terutama populasi yang memiliki tipe yang mirip dengan WwUB seperti SG dan AK. Habitat dengan luas yang terbatas memiliki daya tampung anggota populasi yang terbatas pula. Tingkat kenyamanan yang menurun akibat jumlah monyet yang berlebihan akan mendorong beberapa monyet untuk keluar dari habitatnya. Sebagian besar responden menyatakan bahwa monyet yang ada di luar habitat mengganggu atau merusak tetapi sebagian besar dari mereka juga

57 40 menyatakan tidak setuju ditangkap atau dibunuh. Sikap masyarakat yang demikian sudah memberikan perlindungan dan jaminan hidup anggota populasi lokal, atau sudah melaksanakan prinsip-prinsip konservasi. Namun demikian, konservasi tidak mesti mengorbankan properti masyarakat di sekitar populasi lokal. Suatu strategi untuk meminimumkan efek yang kurang baik dari kelebihan populasi perlu diupayakan. Satu pilihan yang paling mudah di antara pilihanpilihan lain seperti relokasi atau pemanfaatan kelebihan populasi untuk berberbagai penelitian adalah memperluas habitat. Tetapi, alternatif ini tampaknya cukup sulit dilakukan karena keterbatasan lahan bebas yang tersedia. Sebelum dilakukan kebijakan lain seperti pemindahan anggota atau penguatan populasi, penentuan status struktur genetik populasi sangat diperlukan untuk memutuskan apakah masing-masing populasi lokal diperlakukan sebagai unit manajemen yang berbeda atau tidak. Simpulan 1. Struktur populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok beragam. 2. Komposisi umur populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok stabil dengan jumlah gabungan monyet anakan dan muda terbanyak, disusul diurutan kedua oleh monyet betina dewasa, dan diurutan ketiga oleh monyet jantan dewasa. 3. Populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok memiliki kisaran rasio jantan dengan betina dewasa yang sempit dengan rataan 1:2,3 dan kisaran rasio ukuran populasi efektif dengan jumlah monyet dewasa homogen dengan rataan 0,75.

58 Keragaman Fenotipe Kualitatif Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok 41 Hasil Penelitian Kelas Fenotipe Kualitatif dan Sebaran Karakter Tujuh kelas fenotipe kualitatif yang dikenakan pada 334 monyet ekor panjang dewasa dapat dikelompokkan menjadi sembilan belas karakter fenotipe (Tabel 5). Setiap kelas fenotipe memiliki jumlah karakter yang berbeda-beda, bahkan pada kelas fenotipe cambang (crest lateral wajah) ditemukan hanya satu karakter dari seluruh monyet yang disurvei. Dua karakter diidentifikasi pada kelas fenotipe warna kulit abdomen, namun sebagian besar populasi lokal hanya memiliki satu karakter. Karakter fenotipe terbanyak, yakni enam karakter, ditemukan pada kelas fenotipe pusaran kepala, kemudian disusul oleh kelas fenotipe jambul dengan empat karakter. Karakter tersebar pada populasi lokal dengan jumlah bervariasi. Tabel 5 Sebaran karakter kelas fenotipe kualitatif di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang Kelas fenotipe Jml karakter (buah) Jumlah karakter di populasi lokal (buah) Jawa Timur Bali Lombok Pgs AP Bm BL Pr PL AK Warna mahkota Warna rambut punggung Warna rambut paha lateral Warna kulit abdomen Cambang Jambul Pusaran Jumlah Rataan 1,86 1,86 2,14 1,43 1,57 1,71 1,43 2,29 1,86 2,00 SD 1,07 0,69 1,07 1,13 1,13 1,25 1,13 1,38 1,21 1,00 KK (%) 49,9 57,6 72,2 73,1 79,4 79,4 60,4 50,0 62,8 65,4 Pr UW SG Ww UB Pr BG PS Pr GP Jumlah karakter fenotipe kualitatif terendah ditemukan pada populasi lokal WwUB dan AK (10 atau 52,6%), sedangkan jumlah terbanyak (16 atau 84,2%) ditemukan pada populasi lokal PrBG. Jumlah karakter terbanyak kedua

59 42 ditemukan pada populasi lokal PrPL (15 atau 78,9%) disusul di urutan ketiga oleh populasi lokal PrGP (14 atau 73,7%). Sementara, pada populasi lokal PS, PgsAP, dan BmBL ditemukan karakter dengan jumlah yang sama (13 atau 68,4%) dan pada SG dan PrUW ditemukan karakter dengan jumlah relatif lebih rendah (12 atau 63,2% dan 11 atau 57,9% secara berurutan). Koefisien keragaman yang tinggi di masing-masing populasi lokal seperti yang ditampilkan pada Tabel 5 semata-mata disebabkan oleh perbedaan jumlah karakter yang diidentifikasi pada masing-masing kelas fenotipe kualitatif. Sebagai cotoh, satu karakter diidentifikasi pada kelas fenotipe cambang, sedangkan enam karakter diidentifikasi pada kelas fenotipe pusaran kepala. Warna Mahkota, Rambut Punggung, Rambut Paha Lateral, dan Kulit Abdomen Pengamatan warna mahkota, rambut pungung, dan rambut paha lateral pada 334 ekor monyet ekor panjang dewasa menunjukkan dua kelompok warna yaitu abu-abu dan kuning keemasanan sampai kecokelatan. Pemisahan menjadi dua kelompok warna adalah untuk menghindari kesalahan karena perubahan warna abu-abu menjadi sedikit lebih pucat atau lebih gelap dan perubahan warna keemasan menjadi kurang kuning sampai sedikit gelap atau kecokelatan sangat sulit dibedakan di antara individu dengan hanya mengandalkan pengelihatan dan ingatan semata. Hasil penelitian ini juga menunjukkan warna mahkota, rambut punggung, dan rambut paha lateral relatif sama antar populasi pulau, dan warna mahkota, secara umum, tidak berbeda dengan warna rambut punggung dan rambut paha lateral (Gambar 6). Populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok, secara umum, memiliki pola distribusi yang sama untuk keempat fenotipe kualitatif tersebut (Tabel 6). Pengelompokan monyet sesuai warna mahkota di masing-masing populasi lokal kawasan Jawa Timur, Bali, dan Lombok (Tabel 6) menunjukkan warna mahkota kuning keemasan-kecokelatan memiliki frekuensi sangat tinggi di masing-masing populasi lokal. Rentangan distribusi frekuensinya antara % dengan rataan 94,3%. Dominasi monyet dengan warna mahkota kuning keemasan-kecokelatan ini sangat konsisten di sepuluh populasi lokal yang

60 43 dibuktikan dengan koefisien keragaman yang sangat rendah, 7,66%. Sementara, monyet dengan warna mahkota abu-abu ditemukan dalam jumlah sangat sedikit bahkan pada empat populasi lokal, WwUB, SG, AK, dan PrUW, tidak ditemukan sama sekali. Proporsi monyet dengan warna mahkota abu-abu tertinggi ditemukan pada populasi lokal BmBL, tetapi frekuensinya tetap tidak melebihi 20% dari jumlah anggota populasi yang diamati (Tabel 6). Rambut paha lateral Rambut punggung Mahkota A B Gambar 6 Warna mahkota, rambut punggung, dan rambut paha lateral monyet ekor panjang. Warna mahkota, rambut punggung, dan rambut paha lateral kuning keemasan-kecokelatan (A) dan abu-abu (B). Warna rambut punggung dan rambut paha lateral didominasi secara konsisten oleh warna kuning keemasan-kecokelatan di setiap populasi lokal dengan koefisien keragaman masing-masing 9,54%. Kecuali populasi lokal BmBL, seluruh populasi lokal memiliki frekuensi warna rambut punggung dan paha lateral masing-masing di atas 85% bahkan pada populasi lokal PS, WwUB, SG, AK, dan PrUW mencapai 100% (Tabel 6). Penyebaran monyet dengan warna rambut punggung dan paha lateral abu-abu sangat tidak merata dengan koefisien keragaman 158,6%. Populasi lokal BmBL memiliki frekuensi warna rambut punggung dan paha lateral abu-abu masing-masing di atas 25%,

61 44 sedangkan sembilan populasi lokal lainnya memiliki frekuensi masing-masing di bawah 15% bahkan 0% untuk populasi lokal PS, WwUB, SG, AK, dan PrUW (Tabel 6). Tabel 6 Distribusi frekuensi warna mahkota, rambut punggung, rambut paha lateral, dan kulit abdomen monyet ekor panjang di sepuluh populasi lokal Frekuensi karakter Kawasan Jawa Timur Bali Lombok Pop. Rambut Rambut paha Mahkota lokal punggung lateral Kulit abdomen ab k-emcococok k-em- k-em- ab ab biru pink PgsAP n=24 0,04 0,96 0,04 0,96 0,04 0,96 1,00 BmBL n=25 0,20 0,80 0,28 0,72 0,28 0,72 1,00 PrPL n=44 0,05 0,95 0,05 0,95 0,05 0,95 1,00 AK n=31 1,00 1,00 1,00 1,00 PrUW n=27 1,00 1,00 1,00 0,96 0,04 SG n=50 1,00 1,00 1,00 1,00 WwUB n=31 1,00 1,00 1,00 1,00 PrBG n=29 0,10 0,90 0,14 0,86 0,14 0,86 1,00 PS n=41 0,02 0,98 1,00 1,00 1,00 PrGP n=32 0,16 0,84 0,06 0,94 0,06 0,94 1,00 Rataan 0,057 0,943 0,057 0,943 0,057 0,943 0,996 4 SD 0,072 0,072 0,090 0,090 0,090 0,090 0,012 0,012 KK (%) 126,36 7,66 158,60 9,54 158,60 9,54 1,18 316,23 n: jumlah monyet dewasa yang diamati pada populasi lokal (ekor); ab: abu-abu; k-em-cok: kuning keemasan-kecokelatan Berdasarkan pada pola distribusi proporsi (Tabel 6), frekuensi warna rambut punggung sama dengan frekuensi warna rambut paha lateral pada masingmasing populasi lokal di ketiga kawasan atau pulau. Kesamaan ini ditandai oleh pola distribusi frekuensi yang sama di antara keduanya. Dengan cara yang sama, frekuensi warna mahkota umumnya sama dengan frekuensi warna rambut punggung dan paha lateral meskipun satu ekor pada populasi lokal PS, PrBG, dan BmBL, serta tiga ekor pada populasi lokal PrBG menunjukkan hal yang berbeda. Pengamatan terhadap warna kulit abdomen monyet ekor panjang di sepuluh populasi lokal teridentifikasi dua warna berbeda yaitu kebiruan dan putih

62 45 kemerahan (pink) (Gambar 7). Hasil survei menunjukkan warna kebiruan menyebar dari daerah dada sampai sedikit di depan daerah pubis. Pengamatan juga menemukan beberapa tipe warna kebiruan seperti menyebar sampai daerah inguinal, bercak-bercak kebiruan yang terpisah, dan kebiruan agak pudar. A B Gambar 7 Warna kulit adomen monyet ekor panjang. Warna kebiruan (A) dan warna putih kemerahan atau pink (B). Tanda panah menunjukkan kulit abdomen. Pengamatan terhadap warna kulit abdomen monyet menunjukkan warna kebiruan mendominasi di seluruh populasi lokal baik di Kawasan Jawa Tmur, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok dengan rataan frekuensi 96,6% (Tabel 6). Distribusi fekuensinya pada masing-masing populasi lokal cukup homogen dengan koefisien keragaman yang kecil 1,18%. Warna kebiruan ditemukan hampir di seluruh individu yang diamati, kecuali populasi lokal PrUW. Warna kulit abdomen pink atau putih kemerahan teramati pada populasi lokal PrUW dengan frekuensi yang sangat rendah 0,04 atau hanya satu ekor dari 27 ekor yang diamati. Monyet dengan kulit abdomen pink tidak ditemukan pada populasi lokal yang ada di Pulau Lombok dan Kawasan Jawa Timur serta di sebagaian besar populasi lokal di Pulau Bali. Cambang (Crest Lateral Wajah) dan Jambul Pengamatan terhadap 334 ekor monyet ekor panjang dewasa dari sepuluh populasi lokal menunjukkan seluruh monyet memiliki cambang tipe transzigomatikus (Gambar 8). Cambang tipe lainnya seperti infrazigomatikus

63 46 tidak ditemukan. Untuk karakter ini, semua kawasan (Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok) menunjukkan pola distribusi frekuensi yang sangat homogen (Tabel 7). A B Gambar 8 Cambang (A) dan jambul (B) monyet ekor panjang. Tanda panah menunjukkan tipe transzigomatikus (A) dan posisi jambul di tengah dan tegak (tengah/tegak, B). Tabel 7 Frekuensi karakter transzigomatikus dan infrazigomatikus kelas fenotipe cambang monyet ekor panjang di sepuluh populasi lokal Frekuensi karakter Kawasan Pop. lokal Cambang transzigomatikus infrazigomatikus Jawa Timur PgsAP (n=24) 1,00 BmBL (n=25) 1,00 PrPL (n=44) 1,00 AK (n=31) 1,00 Bali PrUW (n=27) 1,00 SG (n=50) 1,00 WwUB (n=31) 1,00 PrBG (n=29) 1,00 Lombok PS (n=41) 1,00 PrGP (n=32) 1,00 rataan 1,00 SD KK (%) n: jumlah monyet ekor panjang yang diamati di setiap populasi lokal (ekor) Berbeda dengan cambang transzigomatikus, jambul tidak selalu ditemukan pada monyet ekor panjang. Secara umum, populasi lokal yang berada di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok memiliki pola distribusi frekuensi fenotipe jambul relatif sama (Tabel 8).

64 Tabel 8 Frekuensi karakter tengah/tegak, kiri/ke kiri, kiri/tegak, dan tanpa jambul kelas fenotipe jambul monyet ekor panjang di sepuluh populasi lokal Kelas fenotipe jambul Kawasan Pop. lokal Frekuensi karakter Tengah/ tegak Kiri/ke kiri Kiri/tegak tanpa Jawa Timur PgsAP (n=24) 1,00 BmBL (n=25) 0,92 0,08 PrPL (n=44) 0,48 0,05 0,48 AK (n=31) 1,00 Bali PrUW (n=27) 1,00 SG (n=50) 0,92 0,06 0,02 WwUB (n=31) 0,90 0,10 PrBG (n=29) 0,76 0,03 0,21 Lombok PS (n=41) 0,66 0,15 0,20 PrGP (n=32) 0,97 0,03 Rataan 0,861 a 0,032 b 3 b 0,098 b SD 0,166 0, ,148 KK (%) 19,34 137, ,31 n: jumlah monyet ekor panjang yang diamati di setiap populasi lokal (ekor) Huruf sama ke arah baris menunjukkan perbedaan tidak nyata (P=0,05) 47 Pada Tabel 8 terlihat bahwa rataan frekuensi monyet tanpa jambul mendekati 10% dari seluruh populasi lokal yang diamati. Monyet tanpa jambul ini tersebar secara tidak merata di setiap populasi lokal, bahkan tidak ditemukan pada populasi lokal PrPG, WwUB, AK, PrUW, dan PgsAP. Meskipun sejumlah 6 dan 8 ekor monyet dewasa tanpa jambul ditemukan berturut-turut di populasi lokal PrBG dan PS, jumlah ini jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah monyet berjambul yang mendekati empat kalinya. Proporsi tertinggi untuk monyet tanpa jambul ditemukan pada populasi lokal PrPL (48%), sedangkan pada SG dan BmBL proporsinya cukup rendah yaitu berturut-turut 2% dan 8%. Penelitian menunjukkan bahwa monyet yang memiliki jambul sangat mendominasi di setiap populasi lokal di tiga kawasan atau pulau dengan proporsi antara %. Pengamatan terhadap posisi dan kecondongan jambul diidentifikasi tiga kelompok yaitu posisi di tengah (garis median kepala) dengan kecondongan tegak (tengah/tegak), posisi di kiri garis median kepala dengan kecondongan ke kiri (kiri/ke kiri), dan posisi di kiri dengan kecondongan tegak (kiri/tegak). Hasil seluruh pengamatan menunjukkan monyet dengan jambul tengah/tegak memiliki proporsi tertinggi di semua populasi lokal (kisaran 0,48-1,00 dan rataan 0,861) disusul oleh kiri/ke kiri (kisaran -0,15 dan rataan

65 0,032) dan kiri/tegak (kisaran -0,03 dan rataan 3) seperti yang dilukiskan dengan diagram boksplot (Gambar 9). 48 frekuensi teng.teg kiri.kiri kiri.teg tidak jenis crest kepala Gambar 9 Sebaran frekuensi jenis (posisi dan kecondongan) jambul monyet ekor panjang di seluruh populasi lokal. Jambul tengah/tegak (teng.teg) tersebar dengan sebaran frekuensi terbanyak, disusul tanpa jambul (tidak), jambul kiri/ke kiri (kiri.kiri), dan jambul kiri/tegak (kiri.tegak). Rataan proporsi monyet tanpa jambul, jambul kiri/ke kiri, dan kiri/tegak tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan uji T pada taraf nyata 5%. Sebaliknya rataan proporsi jambul tegak/tengah sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) dari rataan proporsi karakter lainnya. Distribusi frekuensi monyet dengan jambul tegak/tengah cukup merata (KK 19,34%) di setiap populasi lokal, kecuali populasi lokal PrPL dengan frekuensi yang relatif lebih rendah (48%). Dari sepuluh populasi lokal yang disurvei, separuhnya menunjukkan keberadaan monyet dengan jambul kiri/ke kiri meskipun dengan frekuensi rendah yaitu antara 0,03-0,15 (Tabel 8). Distribusi yang sangat tidak merata terlihat pada jambul kiri/tegak. Jambul ini teramati hanya pada satu ekor dari 32 monyet yang disurvei di populasi lokal PrGP, sementara di sembilan populasi lokal lainnya tidak ditemukan.

66 49 Pusaran Rambut Kepala Berdasarkan pada posisi dan arah pusaran yang diamati, pusaran kepala dikelompokkan atas lima yaitu pusaran dengan posisi di kanan garis median kepala atau jambul dengan arah pusaran rambut searah putaran jarum jam (disebut kanan/searah), di kiri garis median kepala atau jambul dengan arah pusaran rambut berlawanan putaran jarum jam (disebut kiri/berlawanan), di kanan dan kiri jambul dengan arah pusaran searah putaran jarum jam untuk kanan jambul dan berlawanan putaran jarum jam untuk kiri jambul (disebut kanankiri/searah-berlawanan), posisi di kepala bagain depan dengan arah pusaran searah putaran jarum jam (disebut depan/searah), dan di kepala bagian depan dengan arah pusaran berlawanan putaran jarum jam (disebut depan/berlawanan). Contoh kepala dengan pusaran ditampilkan pada Gambar 10. A Gambar 10 Pusaran kepala pada monyet ekor panjang. Pusaran jenis kiri/berlawanan putaran jarum jam (A) dan kanan-kiri/searahberlawanan putaran jarum jam (B). Tanda panah menunjukkan pusaran. B Dari 334 ekor monyet dewasa yang diamati, sejumlah 150 ekor atau mendekati 45% tidak memiliki pusaran kepala. Sisanya, 184 ekor (55%), memiliki pusaran kepala dengan berbagai posisi dan arah pusaran. Monyet tanpa pusaran kepala ditemukan di setiap populasi lokal baik di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok, tetapi dengan frekuensi yang beragam (KK 38%, Tabel 9). Rataan frekuensi monyet tanpa pusaran dari sepuluh populasi lokal adalah 0,429. Frekuensi tertingi monyet tanpa pusaran teramati pada populasi

67 lokal PrPL (0,77), dan frekuensi terendahnya ditemukan pada populasi lokal BmBL (0,16). 50 Tabel 9 Frekuensi karakter kanan/searah, kiri/berlawanan, kanan-kiri/searahberlawanan, sepan/searah, depan/berlawanan, dan tanpa pusaran kelas fenotipe pusaran kepala monyet ekor panjang di sepuluh populasi lokal Kelas fenotipe pusaran kepala Frekuensi karakter Kawasan Populasi lokal kanan/ searah kiri/ berlawanan kanankiri/ searahberlawa nan depan/ searah depan/ berlawa nan tanpa pusaran Jawa PgsAP (n=24) 0,04 0,54 0,17 0,25 Timur BmBL (n=25)) 0,76 0,08 0,16 PrPL (n=44) 0,09 0,07 0,07 0,77 AK (n=31) 0,16 0,45 0,03 0,35 Bali PrUW (n=27) 0,22 0,15 0,15 0,48 SG (n=50) 0,28 0,30 0,08 0,34 WwUB (n=31) 0,26 0,13 0,13 0,48 PrBG (n=29) 0,21 0,24 0,14 0,03 0,38 Lombok PS (n=41) 0,07 0,37 0,02 0,54 PrGP (n=32 0,22 0,19 0,06 0,53 Rataan 0,155 ab 0,319 bc 0,085 a 3 8 0,429 c SD 0,092 0,204 0,055 0,010 0,024 0,163 KK (%) 59,45 63,85 64, ,034 n: jumlah monyet ekor panjang yang diamati di setiap populasi lokal (ekor) Huruf sama ke arah baris menunjukkan perbedaan tidak nyata (P=0.05) Karakter pusaran kanan/searah hampir ditemukan di seluruh populasi lokal yang diamati baik di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok. Distribusi frekuensi monyet dengan pusaran kanan/searah di masingmasing populasi lokal beragam (KK 59,45%, Tabel 9). Sebaran frekuensi karakter pusaran kanan/searah antara -0,28 dan rataan frekuensi seluruh populasi lokal sebesar 0,155. Frekuensi tertinggi ditemukan pada populasi lokal SG (0,28) dan terendah ditemukan di populasi lokal BmBL (). Sama halnya dengan pusaran kanan/searah, frekuensi pusaran kiri/berlawanan bervariasi pada populasi lokal dengan koefisien keragaman 63,85% (Tabel 9). Namun demikian, karakter ini ditemukan di seluruh populasi lokal yang diamati baik di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok. Karakter pusaran kiri/berlawanan tidak selalu menempati frekuensi tertinggi di setiap populasi lokal. Jenis pusaran ini ditemukan dengan frekuensi

68 51 tertinggi di populasi lokal PgsAP (0,54), BmBL (0,76) dan AK (0,45). Sementara, frekuensi terendahnya ditemukan di populasi lokal PrPL (0,07). Selain itu, di populasi lokal PrPL, jenis pusaran ini memiliki frekuensi yang sama dengan frekuensi pusaran kanan-kiri/searah-berlawanan. Pusaran kanan-kiri/searah-berlawanan ditemukan hampir di seluruh populasi lokal yang diamati. Meskipun demikian, distribusi frekuensinya tidak homogen di masing-masing populasi lokal yang disurvei (KK 64,39%, Tabel 9). Proporsi tertinggi pusaran ini ditemukan di populasi lokal PgsAP (0,17), dan disusul oleh populasi lokal PrUW (0,15) di urutan kedua. Sementara, pusaran kanan-kiri/searah-berlawanan ini tidak ditemukan di populasi lokal SG (). Rataan frekuensi pusaran kanan-kiri/searah-berlawanan untuk ke seluruhan populasi lokal sebesar 0,085. Pusaran depan/searah dan depan/berlawanan memiliki lokasi penyebaran yang sangat terbatas (Tabel 9). Monyet dengan pusaran depan/searah hanya ditemukan di populasi lokal PrBG, sedangkan monyet yang berpusaran depan/berlawanan hanya ditemukan di populasi lokal SG. Proporsi kedua pusaran ini cukup rendah masing-masing 0,03 pada PrBG dan 0,08 pada SG. Penyebaran yang sangat tidak merata ini merupakan penyebab koefisien keragaman yang sangat tinggi (30%). Pengujian rataan proporsi pusaran kanan/searah, kiri/berlawanan, kanankiri/searah-berlawanan, dan tanpa pusaran dengan uji T menunjukkan bahwa rataan frekuensi tanpa pusaran tidak berbeda dengan rataan frekuensi pusaran kiri/berlawanan (P=0,05) tetapi sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan rataan frekuensi pusaran kanan/searah dan kanan-kiri/searah-berlawanan (P=0,01). Rataan frekuensi pusaran kanan/searah tidak berbeda nyata (P =0,05) dengan rataan frekuensi kiri/berlawanan dan kanan-kiri/searah-berlawanan, sedangkan rataan frekuensi kiri/berlawanan sangat berbeda dengan rataan kanankiri/searah-berlawanan (P=0,01). Untuk pusaran depan/searah dan depan/berlawanan tidak dilakukan pengujian karena distribusi frekuensi kedua pusaran tersebut sangat tidak merata.

69 Analisis Korespondensi Karakter Fenotipe Kualitatif Monyet Ekor Panjang Penelitian Hasil ekstraksi atau dekomposisi data karakter fenotipe menjadi beberapa faktor atau sumbu ditampilkan pada Lampiran 6. Keragaman total sebesar 1,7135 terpartisikan ke dalam faktor pertama (F1) 0,3708 atau 21,64%, ke F2 0,1928 atau 11,25%, F3 0,1638 atau 9,56%, dan F4 0,1597 atau 9,32%. Empat faktor pertama ini mencakup sekitar 51,77% keragaman total. Besarnya proporsi (massa) masing-masing kelas warna mahkota, warna rambut punggung, warna rambut paha lateral, warna kulit abdomen, cambang, jambul, dan pusaran kepala adalah 0,143. Warna mahkota kuning keemasan-kecokelatan, warna rambut puggung kuning keemasan-kecokelatan, warna rambut paha lateral kuning keemasan-kecokelatan, warna kulit abdomen kebiruan, cambang transzigomatikus, jambul tengah/tegak, dan tanpa pusaran kepala adalah penyumbang massa tertinggi di kelasnya masing-masing dengan proporsi berturut-turut 0,136, 0,134, 0,133, 0,142, 0,143, 0,120, dan 0,064. Karakter warna rambut punggung abu-abu memberi keragaman tertinggi pada F1 dengan proporsi 33,3%, disusul oleh warna rambut paha lateral abu-abu, dan warna mahkota abu-abu masing-masing 30,3% dan 28,2%. Kelompok kedua terbesar penyumbang keragaman pada F1 adalah warna rambut paha lateral kuning keemasan-kecokelatan 2,3%, warna rambut punggung kuning keemasankecokelatan 2,2%, dan warna mahkota kuning keemasan-kecokelatan 1,5%. Sebaliknya, faktor pertama (F1) merepresentasikan 92% keragaman warna rambut punggung abu-abu dan kuning keemasan-kecokelatan. Keragaman warna rambut paha lateral abu-abu dan kuning keemasan-kecokelatan dijelaskan oleh F1 masing-masing sekitar 85%. Hal serupa, keragaman warna mahkota abu-abu dan kuning keemasan-kecokelatan dijelaskan masing-masing 76% oleh F1. Sementara karakter lainnya kurang baik direpresentasian oleh F1 karena nilai R 2 sangat rendah (0-3%). Keragaman F2 disumbang terbanyak oleh karakter tanpa jambul sebesar 39,1%, diikuti oleh pusaran kanan/searah 11,2% dan pusaran kiri/berlawanan 6,9% di urutan kedua dan ketiga. Karakter jambul tengah/tegak dan pusaran kanan-kiri/searah-berlawanan menyumbang keragaman masing-masing 5,7% dan 52

70 53 4,4% pada F2. Karakter warna abdomen kebiruan menyumbang keragaman 3,0% dan jambul kiri/tegak hanya menyumbang keragaman sebesar 1,7%. Karakter lain menyumbang keragaman cukup rendah pada F2 antara 0% sampai 0,6%. Di lain pihak, F2 cukup baik melukiskan karakter tanpa pusaran kepala dan tanpa jambul dengan proporsi masing-masing 65% dan 59%. F2 kurang baik merepresentasikan karakter jambul tengah/tegak karena hanya mampu melukiskan sekitar 48% dari seluruh keragaman karakter ini. Pada F3, karakter penyumbang keragaman tertinggi adalah pusaran kepala kanan/searah sebesar 28,3%, selanjutnya disusul oleh jambul kiri/tegak sebesar 21,7% dan warna kulit abdomen kebiruan 20,3%. Sebaliknya, F3 melukiskan dengan kurang baik semua karakter fenotipe karena nilai R 2 cukup rendah (di bawah 39%). Proyeksi atau pemetaan titik koordinat semua karakter fenotipe pada bidang dua dimensi dengan sumbu F1 dan F2 (Gambar 11) menunjukkan bahwa sumbu F1 memisahkan individu yang berwarna mahkota, rambut punggung dan rambut paha lateral abu-abu dengan individu karakter lainnya. Sedangkan F2 memisahkan individu beradasarkan karakter tanpa jambul dan tanpa pusaran kepala dengan individu yang karakter fenotipe kulit abdomen putih kemerahan dan jambul kiri/tegak. Posisi karakter warna mahkota, rambut punggung, dan rambut paha lateral abu-abu sangat jauh dari titik pusat sumbu F1 dan berdekatan satu sama lainnya menunjukkan ketiga karakter ini memiliki profil yang sangat berbeda dari rataan profilnya, namun satu dengan yang lain memiliki profil yang mirip. Dengan kata lain, ketiga karakter ini tidak terdistribusi secara merata pada individu, meskipun distribusi frekuensi ketiga karakter tersebut relatif sama satu sama lain dalam populasi. Profil karakter tanpa jambul dan jambul kiri/tegak sangat berbeda dan masing-masing terletak menjauhi pusat sumbu F2. Ini mengindikasikan bahwa karakter tanpa jambul dan jambul kiri/tegak terdistribusi tidak merata pada individu dan pola distribusi frekuensi kedua karakter ini tidak sama dalam populasi. Karakter kulit abdomen putih kemerahan terletak sangat jauh dari pusat sumbu di sisi positif F2 mengindikasikan karakter ini tersebar sangat tidak merata pada individu.

71 54 F2=11.25% mhab pgab phab amer kitg knse dpse krla knkr dpla thtg phec tran mhec pgec kiki puni crti F1=21.64% Gambar 11 Proyeksi karakter fenotipe monyet ekor panjang pada sumbu F1 dan F2 analisis korespondensi berganda. mhab: mahkota abu-abu; pgab: punggung abu-abu; phab: paha abu-abu; mhec: mahkota kuning keemasan-kecokelatan; pgec: punggung kuning keemasankecokelatan; phec: paha kuning keemasan-kecokelatan; abir: abdomen kebiruan; amer: abdomen putih kemerahan; tran: transzigomatikus; thtg: tengah/tegak; kitg: kiri/tegak; kiki: kiri/ke kiri; crti: jambul tidak ada; knse: kanan/searah; krla: kiri berlawanan; knkr: kanan-kiri/searah-berlawanan; dpse: depan/searah; dpla: depan/berlawanan; puni: pusaran nihil. Meskipun karakter tanpa pusaran kepala tidak tersebar secara merata pada individu, karakter ini terletak pada kuadran yang sama dengan karakter jambul kiri/ke kiri dan tanpa jambul. Potensi terjadinya asosiasi antar karakter ini cukup tinggi. Beberapa karakter lain yang saling berdekatan seperti pusaran kanan/searah, depan/searah, dan kanan-kiri/searah-berlawanan memiliki profil yang mirip. Hal yang sama juga terjadi antara pusaran kiri/berlawanan dengan jambul tengah/tegak. Karakter cambang transzigomatikus, kulit abdomen kebiruan, warna mahkota kuning keemasan-kecokelatan, warna rambut punggung kuning

72 55 keemasan-kecokelatan, dan warna rambut paha lateral kuning keemasankecokelatan terletak sangat dekat pada sumbu F1 dan F2. Karakter tersebut terdistribusi relatif merata pada individu dan pola distribusi frekuensinya relatif sama satu dengan yang lain dalam populasi. Bahkan, karakter cambang transzigomatikus yang tepat di titik pusat sumbu melukiskan karakter ini ditemukan di setiap individu yang diamati sebagaimana data menunjukkannya. Posisi karakter warna mahkota, rambut punggung, dan rambut paha lateral kuning keemasan-kecokelatan yang saling bertumpukan mencerminkan ketiga karakter ini memiliki profil yang sama. Proyeksi bersama antara karakter fenotipe dengan jenis kelamin dan populasi lokal pada satu bidang dengan sumbu F1 dan F2 menunjukkan posisi semua populasi lokal mengarah atau mendekati pusat sumbu. Meskipun demikian, populasi lokal PrPL, BmBL dan PrGP relatif lebih jauh dari pusat sumbu dibandingkan dengan populasi lokal lainnya (Gambar 12). Hal ini mengindikasikan profil populasi lokal tersebut dapat dibedakan. Posisi populasi lokal WwUB, AK (perbedaan jari-jari lingkaran dengan kepercayaan 95% sangat kecil terhadap jari-jari pusat sumbu), PrUW, PrBG, dan PgsAP yang mendekati pusat sumbu mengindikasikan profil populasi lokal tersebut mendekati rataan dari seluruh profil karakter fenotipe. Populasi yang demikian tidak terbedakan karena pola distribusi frekuensi karakter fenotipe cukup merata. Populasi lokal SG, meskipun sangat dekat dengan populasi lokal WwUB, AK, atau PrUW, tidak nyata mendekati pusat sumbu pada pengujian jari-jari dengan selang kepercayaan 95%. Hal yang sama juga terjadi pada populasi lokal PS. Populasi lokal SG dan PS, dengan demikian, profilnya terbedakan. Populasi lokal SG dibedakan dari populasi lokal lain karena profilnya memiliki frekuensi tinggi untuk karakter pusaran depan/berlawanan. Dengan kata lain, individu dengan pusaran yang terletak di depan kepala/jambul dan arahnya berlawanan putaran jarum jam relatif lebih banyak ditemukan pada populasi lokal SG. Demikian pula, untuk populasi lokal PS, profilnya terbedakan karena relatif lebih tingginya frekuensi karakter jambul kiri/ke kiri. Ini berarti monyet dengan jambul yang posisinya di kiri garis median kepala dan condong ke kiri relatif lebih

73 banyak ditemukan di populasi lokal PS daripada yang ditemukan di populasi lokal lainnya. 56 F2=11.25% mhab pgab phab amer kitg knkr knse dpse krlapgsap PRUW AKdpla BMBL thtg PRGP BT SG WWUB PRBG tran mhec abir JT pgec phec PSkiki puni PRPL crti F1=21.64% Gambar 12 Proyeksi karakter fenotipe monyet ekor panjang, jenis kelamin, dan populasi lokal pada sumbu F1 dan F2 analisis korespondensi berganda. Huruf kecil menyatakan karakter dan huruf kapital menyatakan jenis kelamin dan populasi lokal. Mhab: mahkota abuabu; pgab: punggung abu-abu; phab: paha abu-abu; mhec: mahkota kuning keemasan-kecokelatan; pgec: punggung kuning keemasankecokelatan; phec: paha kuning keemasan-kecokelatan; abir: abdomen kebiruan; amer: abdomen putih kemerahan; tran: transzigomatikus; thtg: tengah/tegak; kitg: kiri/tegak; kiki: kiri/ke kiri; crti: jambul tidak ada; knse: kanan/searah; krla: kiri/berlawanan; knkr: kanan-kiri/searah-berlawanan; dpse: depan/searah; dpla: depan/berlawanan; puni: pusaran nihil. BT: betina; JT: jantan; PS: Pusuk; PRGP: Pura Gunung Pengsong; PRBG: Pura Bukit Gumng; WWUB: Wanara Wana Ubud; SG: Sangeh; AK: Alas Kedaton; PRUW: Pura Uluwatu; PRPL: Pura Pulaki; PGSAP: Pura Giri Sloka Alas Puwo; BMBL: Bama Baluran. Populasi lokal BmBL dan PrGP terletak saling berdekatan, karenanya kedua populasi lokal tersebut memiliki profil yang mirip. Populasi lokal BmBL

74 57 dan PrGP terletak di sisi negatif sumbu F1 sebagaimana halnya dengan karakter warna mahkota, rambut punggung, dan rambut paha lateral abu-abu. Jadi, kedua populasi lokal memiliki pola distribusi frekuensi karakter fenotipe warna mahkota, rambut punggung, dan rambut paha lateral abu-abu relatif lebih tinggi daripada yang ditemukan di populasi lokal lainnya. Populasi lokal PrPL terletak di sisi negatif sumbu F2 dan pada kuadran yang sama dengan karakter tanpa jambul dan tanpa pusaran kepala. Profil populasi lokal PrPL dapat dibedakan karena profilnya dicirikan oleh frekuensi karakter tanpa pusaran kepala relatif lebih tinggi. Oleh karena ada asosiasi kuat antara karakter tanpa pusaran dan karakter tanpa jambul, maka dapat dinyatakan monyet yang tidak memiliki jambul relatif lebih banyak ditemukan di populasi lokal PrPL dibandingkan dengan yang ditemukan di populasi lokal lainnya. Monyet jantan dan betina menempati lokasi yang sangat dekat dengan titik pusat sumbu F1 dan F2. Hal ini menunjukkan monyet jantan dan betina memiliki profil yang tidak terbedakan. Dapat disimpulkan bahwa karakter fenotipe yang diamati terdistribusi secara umum pada jantan dan betina. Dengan kata lain, tidak satupun kelas fenotipe yang diamati dapat dijadikan penciri khusus untuk monyet jantan atau betina. Sebagaimana halnya proyeksi pada bidang F1 dan F2, proyeksi pada bidang F1 dan F3 tidak memberikan gambaran yang berbeda jauh (Gamar 13). Meskipun sumbu F3 memisahkan individu dengan karakter fenotipe warna kulit abdomen putih kemerahan dan jambul kiri/tegak dengan individu dengan pusaran depan/berlawanan, sumbu F3 tidak mampu memisahkan populasi lokal berdasarkan karakter tersebut. Hal ini bisa terjadi karena sangat rendahnya massa karakter tersebut (Lampiran 6).

75 58 F3=9.56% dpla knkr kiki krla dpse pgab BMBL PGSAP WWUB pgec PS mhab phab thtg tran PRGP SG PRPL puni mhec JT PRUW WWUB crti knse amer kitg F1=21.64% Gambar 13 Proyeksi karakter fenotipe monyet ekor panjang, jenis kelamin, dan populasi lokal pada sumbu F1 dan F3 analisis korespondensi berganda. Huruf kecil menyatakan karakter dan huruf kapital menyatakan jenis kelamin dan populasi lokal. Mhab: mahkota abuabu; pgab: punggung abu-abu; phab: paha abu-abu; mhec: mahkota kuning keemasan-kecokelatan; pgec: punggung kuning keemasankecokelatan; phec: paha kuning keemasan-kecokelatan; abir: abdomen kebiruan; amer: abdomen putih kemerahan; tran: transzigomatikus; thtg: tengah/tegak; kitg: kiri/tegak; kiki: kiri/ke kiri; crti: jambul tidak ada; knse: kanan/searah; krla: kiri/berlawanan; knkr: kanan-kiri/searah-berlawanan; dpse: depan/searah; dpla: depan/berlawanan; puni: pusaran nihil. BT: betina; JT: jantan; PS: Pusuk; PRGP: Pura Gunung Pengsong; PRBG: Pura Bukit Gumng; WWUB: Wanara Wana Ubud; SG: Sangeh; AK: Alas Kedaton; PRUW: Pura Uluwatu; PRPL: Pura Pulaki; PGSAP: Pura Giri Sloka Alas Puwo; BMBL: Bama Baluran.

76 Pembahasan Warna Mahkota, Rambut Punggung, Rambut Paha Lateral, dan Kulit Abdomen Pola warna rambut M. fascicularis bertipe agoti. Rambut bertipe agoti disusun oleh pita hitam paling tidak pada ujungnya, kekuningan sampai kecokelatan pada bagian batang atau tengahnya, dan putih atau transparan pada pangkalnya. Variasi warna rambut monyet ekor panjang diakibatkan oleh variasi proporsi ketiga warna tersebut (Hamada et al. 1985). Pada penelitian ini, warna rambut pada monyet ekor panjang diidentifikasi dua warna yang cukup mudah dibedakan yakni warna abu-abu dan kuning keemasan sampai kecokelatan (kuning keemasan-kecokelatan). Dalam setiap warna terdapat variasi gradasi warna, tetapi sangat sulit untuk dibedakan dan diingat manakala pengamatan berpindah dari satu individu ke individu lain, terlebih lagi dari populasi lokal satu ke populasi lokal lain. Berdasarkan hal tersebut, warna mahkota, rambut punggung, dan rambut paha lateral dikelompokkan menjadi dua yaitu abu-abu dan kuning keemasan-kecokelatan sebagaimana juga digunakan oleh Fooden (1995) untuk membedakan warna rambut M. fascicularis di Asia Tenggara selain warna kehitaman. Analisis korenspondensi berganda terhadap karakter fenotipe (Gambar 11) mengindikasikan adanya kesamaan antara warna mahkota, warna rambut punggung dan rambut paha lateral pada monyet ekor panjang. Ketiga kelas fenotipe ini secara konsisten dipetakan berdekatan bahkan bertumpukan pada grafik korespondensi. Jadi, individu dengan warna mahkota kuning keemasankecokelatan memiliki warna rambut punggung dan paha lateral kuning keemasankecokelatan pula. Dengan pola yang sama, warna abu-abu pada mahkota akan diikuti warna abu-abu pada rambut punggung dan paha lateral. Pola ini teramati pada seluruh monyet yang di survei baik dari Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok. Hasil penelitian ini mendukung kesimpulan Fooden (1995) bahwa ada kesamaan antara warna mahkota, rambut pungung, dan paha lateral pada monyet ekor panjang. Secara umum, monyet ekor pajang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok 59 memiliki warna mahkota, warna rambut punggung, dan

77 60 warna rambut paha lateral yang sama yaitu kuning keemasan-kecokelatan. Kondisi ini sama dengan yang dilaporkan oleh Fooden (1995) untuk M. fascicularis di Pulau Jawa dan Sumatera. Pada masing-masing populasi lokal (Tabel 6), monyet dengan warna makota, rambut punggung dan rambut paha lateral kuning keemasan-kecokelatan sangat mendominasi. Isolasi geografi tampaknya belum menyebabkan perubahan pada kelas fenotipe tersebut secara nyata. Pada Pulau Lasia dan Karimunjawa, fenotipe tersebut ditemukan berwarna coklat gelap atau kehitaman (Fooden 1995). Warna mahkota, rambut punggung, dan paha laeral abu-abu ditemukan pada enam populasi lokal yaitu PS dan PrGP (Pulau Lombok); PrBG dan PrPL (Bali); serta PgsAP dan BmBL (Jawa Timur). Meskipun karakter tersebut terdistribusi di tiga kawasan atau pulau, individu dengan karakter fenotipe ini sangat sedikit ditemukan. Individu tersebut ditemukan relatif lebih banyak di populasi lokal BmBL dan PrGP yaitu berturut-turut 20% dan 16%. Warna rambut monyet ekor panjang yang tidak banyak jenisnya menandakan jumlah gen/alel yang terlibat dalam pembentukan warna rambut sedikit. Pengkajian lebih lanjut penting dilakukan untuk mengetahui polimofisme dan pola pewarisannya. Pengetahuan terhadap polimorfime dan pola pewarisan suatu fenotipe merupakan syarat dasar agar fenotipe tersebut dapat digunakan sebagai penanda struktur genetik populasi (Nozawa et al. 1996). Hampir seluruh monyet yang disurvei memperlihatkan warna kebiruan pada kulit abdomen. Hanya satu monyet pada populasi lokal PrUW yang menunjukkan warna putih kemerahan atau pink pada kulit abdomennya. Warna kebiruan pada kulit sangat terkait dengan keberadaan pigmen melanin pada lapisan kulit sebagaimana dilaporkan oleh Machida dan Perkins (1967) dalam Hamada et al. (1985). Mereka melaporkan bahwa pigmen melanin terletak pada lapisan epidermis dan dermis kulit pada berbagai primata. Kulit kehitaman timbul karena adanya pigmen melanin pada lapisan epidermis atau di kedua lapisan epidermis dan dermis, sedangkan kulit kebiruan diakibatkan oleh adanya pigmen melanin pada lapisan dermis kulit. Selain itu, kulit kebiruan adalah lebih primitif dari kulit kehitaman.

78 61 Berdasarkan analogi di atas, warna putih kemerahan pada kulit abdomen monyet muncul, tentu, karena tiadanya pigmen melanin pada dermis. Karakter warna putih kemerahan pada kulit abdomen monyet bersifat apomorfik atau autapomorfik karena berbeda dari karakter primitifnya dan hanya ditemukan pada satu individu di PrUW. Sangat menarik untuk diketahui proses terjadinya karakter autapomorfik ini dan pola pewarisan ke generasi selanjutnya. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat penurunan karakter ini dari generasi ke generasi, sehingga dapat disimpulkan apakah karakter ini melibatkan faktor genetik atau bukan faktor genetik. Pengetahuan ini sangat penting untuk dapat dimengerti lebih banyak bagaimana proses evolusi biologi berjalan di alam. Cambang dan Jambul Fooden (1995) mengelompokkan cambang monyet ekor panjang menjadi dua yaitu transzigomatikus dan infrazigomatikus. Cambang transzigomatikus dibentuk oleh rambut di depan telingga mengarah ke depan, sedangkan infrazigomatikus dibentuk oleh rambut di depan telinga mengarah ke belakang menutupi daun telingga. Hasil penelitian ini menunjukkan semua individu yang diamati memiliki cambang bertipe transzigomatikus. Tidak ditemukannya tipe infrazigomatikus pada populasi lokal baik di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok sangat kuat kaitannya dengan sejarah penyebaran yakni monyet di Pulau Bali dan Pulau Lombok berasal dari monyet Pulau Jawa. Dalam Buku FIELDIANA Zoology yang dikarang oleh Jeck Fooden (1995) diinformasikan bahwa cambang infrazigomatikus ditemukan pada monyet di Burma Selatan (M. f. aurea), sedangkan kedua jenis cambang ditemukan pada monyet di Pulau Simeulue (M. f. fusca), Pulau Lasia (M. f. lasiae), dan Pulau Nicobar (M. f. umbrosa). Monyet ekor panjang dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu individu dengan jambul dan tanpa jambul. Dari 334 monyet dewasa yang diamati pada penelitian ini, sebagian besar (± 89%) memiliki jambul dan sisanya (±11%) tanpa jambul. Tiga jenis jambul diidentifikasi berdasarkan pada posisi dan kecondongannya (Tabel 8). Jenis jambul tengah/tegak (posisi pada garis median kepala dan tegak) sangat dominan di semua populasi lokal.

79 62 Adanya beberapa karaker jambul memungkinkan kelas fenotipe ini berpotensi sebagai penciri karakter populasi lokal. Kekhasan populasi lokal dapat dilihat dari distribusi frekuensi karakter tersebut dalam populasi, seperti populasi lokal PrPL memiliki anggota tanpa jambul dengan frekuensi relatif lebih tinggi (48% Tabel 8). Dalam rangkaian penelitian yang dilakukan, penulis mencatat bahwa ada beberapa variasi bentuk jambul pada monyet ekor pajang. Meskipun tidak dalam bentuk data, paling sedikit ditemukan tiga bentuk jambul yang berbeda. Ke depan, penelitian mengenai hal ini sangat dibutuhkan sehingga kekhasan populasi lokal lebih banyak dapat diungkapkan dan sasaran konservasi lebih terfukoskan. Pusaran Rambut Kepala Monyet Ekor Panjang Penelitian menunjukkan tidak ada pusaran di kepala dan ada pusaran di kepala ditemukan dengan frekuensi yang tidak jauh berbeda, tepatnya 41% untuk tidak ada pusaran dan 59% untuk ada pusaran dari seluruh individu yang disurvei. Pengamatan terhadap arah pusaran untuk pusaran yang berada di kanan dan kiri jambul (kanan dan kiri garis median kepala) mengindikasikan kuat bahwa arah pusaran mengikuti arah rambut kepala. Arah rambut di sebelah kiri dan kanan garis median kepala adalah kaudo-lateral. Posisi pusaran di kanan jambul (kanan garis median kepala) akan memiliki arah pusaran searah jarum jam. Hal ini timbul karena pusaran dimulai dari ujung depan jambul lalu bergerak ke samping kanan-ke belakang-ke tengah (Gambar 10) yang menyerupai putaran jarum jam. Untuk pusaran yang ada di kiri jambul, pusaran dimulai dari ujuang depan jambul lalu melingkar ke samping kiri-ke belakang-ke tengah sehingga berlawanan dengan putaran jarum jam. Pusaran di bagian depan kepala (di depan jambul) arah putarannya belum bisa dipolakan karena kurangnya catatan yang dilakukan untuk posisi relatifnya terhadap garis median kepala. Hasil analisisis korespondensi menunjukkan ada asosiasi kuat antara karakter tanpa pusaran dengan tanpa jambul dan jambul kiri/ke kiri yakni samasama menempati di sisi poitif sumbu F1 dan di sisi negatif sumbu F2 (Gambar 11). Dengan kata lain, sebagian besar (mungkin semuanya) individu yang tidak memiliki jambul atau memiliki jambul kiri/ke kiri tidak memiliki pusaran kepala.

80 63 Analisis korespondensi juga mengindikasikan bahwa sebagian besar pusaran kepala ditemukan pada individu yang memiliki jambul. Sama halnya dengan kelas fenotipe jambul, kelas fenotipe pusaran kepala yang memiliki 6 karakter dapat digunakan sebagai penciri kekhasan populasi seperti populsi lokal PrPL dengan frekuensi tanpa pusaran relatif lebih tinggi (77%). Informasi yang menelaah kelas fenotipe jambul dan pusaran belum ditemukan. Penelitian lanjutan sangat diperlukan untuk menganalisis jumlah gen/alel yang terlibat dan pewarisannya dari generasi ke generasi. Kekhasan Fenotipe Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang Distribusi jumlah karakter untuk masing-masing kelas fenotipe pada populasi lokal cukup beragam dengan koefesien keragaman di atas 40% untuk semua populasi lokal (Tabel 5). Namun demikian, hampir sebagian besar karakter fenotipe terutama karakter yang berfrekuensi relatif tinggi ditemukan di setiap populasi lokal baik di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok. Tinggi dan rendahnya frekuensi suatu karakter fenotipe mungkin berkaitan dengan sejarah penyebaran, pemisahan populasi, dan derajat isolasi populasi. Karakter yang hanya ditemukan pada satu populasi lokal dengan frekuensi rendah dapat dinyatakan sebagai salah satu bentuk varian dari bentuk liarnya seperti jambul kiri/tegak pada PrGP, pusaran depan/berlawanan pada SG, pusaran depan/searah pada PrBG, dan kulit abdomen putih kemerahan pada PrUW. Tidak semua varian dapat digunakan sebagai pembeda antar populasi pulau atau penciri kekhasan populasi lokal karena frekuensinya yang rendah. Adanya bentuk varian baru hanya pada populasi lokal tertentu telah mempertontonkan suatu proses evolusi biologi dan pemutusan penyebaran karakter dari satu populasi ke populasi lain akibat isolasi. Analisis profil populasi lokal menggunakan analisis korespondensi dapat membedakan beberapa populasi lokal dari yang lainnya (Gambar 12). Populasi lokal WwUB, AK, PgsAP, PrUW, dan PrBG memiliki profil yang mirip satu dengan yang lain, dan profil (distribusi frekuensi) karakter fenotipenya merupakan rataan dari semua profil karakter. Hal ini mengindikasikan frekuensi karakter fenotipe yang ada dalam populasi lokal tidak terbedakan satu dengan

81 64 yang lainnya. Populasi lokal yang demikian tidak memiliki frekuensi karakter fenotipe tertentu yang cukup untuk menjadi pembeda dari populasi lokal lain. Meskipun, sebagai contoh, pada populasi lokal PrUW ditemukan individu yang kulit abdomennya putih kemerahan, PrUW tidak berbeda dari populasi lokal lain seperti WwUB atau AK. Ini disebabkan oleh frekuensi karakter warna kulit abdomen putih kemerahan rendah dalam populasi PrUW (ukuran massa= Lampiran 6). Populasi lokal AK, meskipun pada pengujian radius dengan kepercayaan 95% tidak nyata mendekati titik pusat sumbu tetapi dengan perbedaan jari-jari lingkaran yang kecil, memiliki profil yang mirip dengan PrUW atau WwUB karena posisinya yang sangat dekat dengan dua populasi lokal tersebut. Populasi lokal PrPL, PS, SG, PrGP, dan BmBL dapat dibedakan karena perbedaan profil yang dimiliki. Perbedaan ini terkait dengan keberadaan karakter tertentu dengan frekuensi relatif lebih tinggi. Analisis korespondensi (Gambar 12) menunjukkan anggota populasi yang memiliki jambul kiri/ke kiri ditemukan relatif lebih banyak pada populasi lokal PS daripada yang ditemukan di populasi lokal lain. Hal serupa juga terlihat pada populasi lokal PrGP dan BmBL. Kedua populasi lokal ini terbedakan karena sama-sama memiliki anggota populasi dengan warna mahkota, rambut punggung, dan rambut paha lateral abu-abu relatif lebih banyak daripada populasi lokal lain. Demikian pula, profil populasi lokal SG terbedakan karena adanya individu yang memiliki pusaran di depan kepala dengan arah pusaran berlawanan putaran jarum jam relatif lebih banyak dibandingkan dengan yang ditemukan di populasi lokal lain. Meskipun beberapa populasi lokal terbedakan karena profil yang dimilikinya, populasi lokal tersebut belum dapat digolongkan memiliki kekhasan fenotipe. Hal ini disebabkan oleh proporsi karakter yang menjadi pembeda profil sangat rendah. Pada Lampiran 6 dapat dilihat bahwa dari tujuh kelas fenotipe yang diamati terdapat sembilan belas karakter sehingga rataan massa karakter adalah 0,053. Karakter yang menjadi pembeda pada populasi lokal PS, SG, PrGP, dan BmBL memiliki massa yang lebih rendah daripada rataan massa karakter. Sebagai contoh, karakter jambul kiri/ ke kiri dan pusaran kepala depan/belawanan yang masing-masing menjadi pembeda untuk PS dan SG memiliki massa

82 65 berturut-turut 6 dan 2 (Lampiran 6). Kedua massa tersebut jauh lebih rendah daripada rataan massa karakter 0,053. Dengan demikian, semua karakter pembeda dengan frekuensi yang sangat rendah tidak dapat dinyatakaan sebagai kekhasan populasi. Berbeda dengan empat populasi lokal terdahulu, populasi lokal PrPL memiliki kekhasan. Karakter pembeda untuk populasi lokal PrPL, yakni tanpa pusaran kepala, memiliki massa (0,064) melebihi rataan massa karakter (0,053). Analisis korespendensi juga menunjukkan bahwa ada asosiasi antara karakter tanpa pusaran kepala dengan karakter tanpa jambul. Maka, dapat disimpulkan bahwa populasi lokal PrPL memiliki kekhasan yang dicirikan oleh anggota populasi yang tidak memiliki jambul dan tidak ada pusaran pada kepala relatif lebih banyak dibandingkan dengan yang ditemukan pada populasi lokal lain. Kekhasan fenotipe yang ditemukan pada satu populasi lokal belum dapat dinyatakan sebagai kekhasan populasi pulau. Ini disebabkan oleh distribusinya yang sangat terbatas, dan fenotipe tersebut bukan merupakan modus fenotipe populasi pulau. Hasil penelitian menunjukkan hampir sebagian besar karakter fenotipe ditemukan baik di populasi lokal Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok. Selain itu, pola modus suatu karakter fenotipe relatif sama atau sebangun antar populasi lokal. Sebagai contoh, warna mahkota kuning keemasan-kecokelatan yang ditemukan dengan frekuensi tertinggi di populasi lokal BmBL atau PgsAP, juga ditemukan dengan frekuensi tertinggi di populasi lokal lain baik di Pulau Bali maupun di Pulau Lombok, meskipun ketinggian frekuensinya berbeda. Analisis korespondensi juga menunjukkan bahwa, secara umum, semua populasi lokal mendekati pusat sumbu baik yang dipetakan dengan F1-F2 maupun F1-F3. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai belum adanya perbedaaan fenotipe yang bermakna di antara populasi lokal. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa populasi monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok masih memiliki fenotipe kualitatif yang sama.

83 66 Simpulan 1. Isolasi geografi belum menimbulkan perubahan pada fenotipe kualitatif monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok. 2. Monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok memiliki warna mahkota, warna rambut pungggung, warna rambut paha lateral kuning keemasan-kecokelatan dan kulit abdomen kebiruan. 3. Monyet ekor panjang Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok memiliki cambang transzigomatikus. 4. Karakter fenotipe jambul dan pusaran kepala, secara umum, ditemukan baik pada populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok.

84 Strutur Genetik Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok 67 Hasil Penelitian Alel dan Lokus Polimorfik Lokus dinyatakan polimorfik apabila jumlah alel bersama dalam populasi pada lokus tersebut lebih dari satu dengan frekuensi alel yang paling umum kurang atau sama dengan 0,95. Alel pada masing-masing lokus mikrosatelit dalam populasi diidentifikasi berdasarkan perbedaan migrasi pita setelah dielektroforesis dengan gel poliakrilamid 7% selama dua jam (Gambar 14). Gambar 14 Alel lokus D1S533. Nomor menyatakan sampel (individu), huruf M menyatakan penanda (100 base pairs ladder). Genotipe 1,2,4 =232/232; 3,6=194/194; 5=194/216; 7=194/224 8=216/216. Panjang alel merupakan panjang produk PCR. Pengukuran keragaman genetik sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang yang berasal dari tiga kawasan yaitu Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok dengan menggunakan sembilan lokus mikrosatelit menunjukkan lokus D2S1368 monomorfik (homosigot) di seluruh populasi lokal. Lokus D1S533 monomorfik di populasi lokal PS (homosigot) dan PrPL (satu alel dengan frekuensi melebihi 0,95), sedangkan lokus D3S1768 monomorfik (homosigot) pada populasi lokal PrGP (Tabel 10). Nilai proporsi lokus polimorfik yang ditemukan di populasi lokal PS, PrGP, dan PrPL sama, masing-masing 78%. Ini

85 68 menunjukkan dua lokus monomorfik ditemukan di populasi lokal tersebut. Sementara, satu lokus yang monomorfik (proporsi lokus polimorfik 89%) ditemukan di masing-masing tujuh populasi lokal lainnya. Tabel 10 Jumlah alel pada masing-masing lokus mikrosatelit di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang Jumlah alel pada populasi lokal (buah) Lokus Jml alel (bu ah) Jawa Timur Bali Lombok Pgs Bm Pr AK Pr SG Ww Pr PS AP BL PL (17) UW (18) UB BG (17) (15) (14) (13) (16) (13) (20) D1S D1S D1S D2S D2S D3S D4S D4S D5S Total alel PLP 0,89 0,89 0,78 0,89 0,89 0,89 0,89 0,89 0,78 0,78 RAPL 4,89 4,89 3,67 4,56 3,89 3,78 3,89 4,11 3,44 3,67 SD 2,37 2,15 1,73 2,51 1,69 1,72 1,76 1,76 1,81 2,18 KK 48,5 43,9 47,2 55,0 43,5 45,4 45,4 42,9 52,6 59,4 PLP: Proporsi lokus polimorfik; RAPL: rataan alel per lokus; Angka dalam kurung menunjukkan jumlah contoh yang dicuplik Pr PG (16) Sebanyak 56 alel mikrosatelit ditemukan dari 159 ekor monyet yang diukur variabilitasnya dengan sembilan lokus mikrosatelit. Sejumlah 31 alel atau sekitar 55,4% ditemukan di populasi lokal PS. Jumlah ini merupakan jumlah alel terendah di antara populasi lokal. Sebaliknya, 44 alel atau 78,57% ditemukan pada masing-masing populasi lokal PgsAP dan BmBL. Jumlah ini merupakan jumlah tertinggi di antara sepuluh populasi lokal yang diamati. Sementara pada populasi lokal lain, jumlah alel yang ditemukan berkisar 58,93-73,21% (Tabel 10). Rataan jumlah alel pada populasi lokal dalam pulau atau kawasan cenderung menurun dari barat ke timur. Jumlah alel terbanyak ditemukan pada populasi lokal di Jawa Timur disusul oleh populasi lokal di Pulau Bali dan selanjutnya Pulau Lombok seperti terlihat pada Gambar 15.

86 69 rataan jumlah alel (buah) 50,0 45,0 40,0 35,0 30,0 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0 44,0 35,8 32,0 J. Timur Bali Lombok Kawasan Gambar 15 Rataan jumlah alel populasi lokal di dalam Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok. Pola penurunan rataan jumlah alel dari barat ke timur identik dengan pola penurunan rataan jumlah alel per lokus. Rataan jumlah alel per lokus pada populasi lokal dalam pulau cenderung menurun dari barat ke timur seperti ditampilkan pada Gambar 16. 6,00 rataan alel per lokus (buah) 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 4,89 3,98 3,56 Jawa Timur Bali Lombok Kawasan Gambar 16 Rataan alel per lokus seluruh populasi lokal di dalam Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok. Rataan jumlah alel per lokus tertinggi ditemukan pada populasi lokal Kawasan Jawa Timur, disusul oleh populasi lokal Pulau Bali, dan selanjutnya populasi lokal Pulau Lombok dengan rataan jumlah alel per lokus terendah.

87 70 Distribusi Frekuensi Alel Masing-masing lokus memiliki alel dengan jumlah berbeda-beda dan alel pada masing-masing lokus tidak menyebar secara merata di populasi lokal. Sebanyak 4 alel dengan panjang antara pasang basa diidentifikasi pada lokus D1S533 (Gambar 17). frekuensi alel 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 PgsAP BmBL PrPL AK PrUW SG WwUB PrBG PS PrGP _a 194 0,43 0,18 0,96 0,59 0,22 0,75 0,42 0,48 1,00 0,75 _b 216 0,27 0,57 0,03 0,03 0,11 0,15 0,15 0,09 _c 224 0,10 0,14 0,38 0,31 0,14 0,12 0,28 _d 232 0,20 0,11 0,04 0,44 0,31 0,10 0,16 populasi lokal Gambar 17 Distribusi frekuensi alel lokus D1S533 di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang. _a, _b, _c, _d simbul alel; 194, 216, 224, 232 panjang alel dalam pasang basa (panjang produk PCR). Pola distribusi frekuensi alel lokus D1S533 di masing-masing populasi lokal berbeda (Gambar 17). Dari empat alel tersebut, hanya sebuah alel (d1s533 a ) yang ditemukan di populasi lokal PS. Dua alel (d1s533 a dan d1s533 d ) ditemukan di populasi lokal PrPL dengan frekuensi yang sangat berbeda. Frekuensi alel d1s533 a sangat tinggi (0,96) sehingga lokus ini dinyatakan monomorfik di populasi lokal PrPL. Sementara, jumlah alel yang ditemukan di populasi lokal lain bervariasi antara 3-4 alel, dan distribusi frekuensinya tidak merata seperti frekuensi alel d1s533 b rendah (0,03) di masing-masing populasi lokal AK dan PrUW. Sejumlah 5 alel diidentifikasi pada lokus mikrosatelit D1S548 dari 159 ekor monyet yang diuji. Panjang alel bervariasi antara pasangan basa dan pola distribusi frekuensi alel bervariasi pada populasi lokal (Gambar 18).

88 71 frekuensi alel 0,8 0 0,7 0 0,6 0 0,5 0 0,4 0 0,3 0 0,2 0 0,1 0 0,0 0 P g s A P B m B L P rp L A K P ru W S G W w U B P rb G P S P rg P _ a ,2 0 0,6 8 0,0 0 0,5 9 0,4 4 0,0 8 0,3 1 0,6 0 0,1 2 0,0 0 _ b ,1 3 0,0 0 0,2 3 0,1 5 0,2 5 0,1 9 0,4 2 0,2 5 0,6 5 0,4 7 _ c ,0 3 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 3 0,0 3 0,0 0 _ d ,6 3 0,2 1 0,1 9 0,2 1 0,0 9 0,3 3 0,2 7 0,1 3 0,1 2 0,1 6 _ e ,0 0 0,1 1 0,5 8 0,0 6 0,2 2 0,3 9 0,0 0 0,0 0 0,0 9 0,3 8 P o p u la si lo k a l Gambar 18 Distribusi frekuensi alel lokus D1S548 di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang. _a, _b, _c, _d, _e simbul alel; 192, 200, 204, 208, 212 panjang alel dalam pasang basa (panjang produk PCR). Sebagian besar populasi lokal memiliki jumlah alel lokus D1S548 antara 3-4 alel kecuali populasi lokal PS memiliki seluruhnya (Gambar 18). Alel d1s548 a tidak ditemukan pada populasi lokal PrGP dan PrPL tetapi alel ini ditemukan dengan frekuensi tinggi (melebihi 0,50) pada populasi lokal PrBG, AK, dan BmBL. Alel d1s548 b tidak ditemukan pada BmBL namun keberadaannya dominan pada PS (0,65). Di antara alel lokus D1S548, alel d1s548 c sangat jarang ditemukan pada populasi lokal. Alel ini hanya ditemukan pada populasi lokal PS, PrBG, dan PgsAP masing-masing dengan frekuensi rendah 0,03. Sebaliknya, alel d1s548 d ditemukan di semua populasi lokal dengan berbagai frekuensi, tetapi frekuensi tertinggi ditemukan di populasi lokal PgsAP (0,63). Alel d1s548 e tersebar secara tidak merata. Alel ini ditemukan di enam populasi lokal yaitu PS, PrGP, SG, AK, PrUW, PrPL, dan BmBL dengan frekuensi bervariasi. Lima alel dengan panjang antara pasangan basa diidentifikasi pada lokus D1S550 (Gambar 19). Pola distribusi frekuensi alel berbeda-beda di antara populasi lokal. Semua alel tersebut ditemukan di populasi lokal PrGP dan WwUB dengan frekuensi berbeda-beda.

89 72 0,70 0,60 frekuensi alel 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 PgsAP BmBL PrPL AK PrUW SG WwUB PrBG PS PrGP _a 153 0,07 0,07 0,54 0,26 0,38 0,17 0,08 0,18 0,13 _b 161 0,53 0,29 0,15 0,21 0,41 0,08 0,38 0,30 0,32 0,31 _c 169 0,33 0,43 0,15 0,03 0,50 0,19 0,65 0,35 0,41 _d 173 0,07 0,21 0,31 0,38 0,19 0,25 0,31 0,05 0,15 0,09 _e 181 0,04 0,06 Populasi lokal Gambar 19 Distribusi frekuensi alel lokus D1S550 di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang. _a, _b, _c, _d, _e simbul alel; 153, 161, 169, 173, 181 panjang alel dalam pasang basa (panjang produk PCR). Pada Gambar 19 dapat dilihat bahwa alel d1s550 a tidak ditemukan di populasi lokal PrBG, namun alel ini mendominasi di populasi lokal PrPL dengan frekuensi 0,54. Hal sebaliknya, alel d1s550 c tidak ditemukan di populasi lokal PrPL, tetapi alel ini ditemukan di populasi lokal PrBG dengan frekuensi tertinggi (0,65). Alel ini juga ditemukan dengan proporsi tertinggi pada SG (0,50). Sementara, alel d1s550 e tidak ditemukan di sebagian besar populasi lokal. Alel d1s550 e ditemukan hanya di populasi lokal PrGP dan WwUB tetapi dengan frekuensi yang rendah yaitu 0,06 dan 0,04 secara berurutan. Pada lokus D2S367 diidentifikasi enam alel dengan kisaran panjang alel pasangan basa (Gambar 20). Sejumlah dua alel yakni d2s367 b dan d2s367 e ditemukan pada populasi lokal di Pulau Lombok (PS dan PrGP). Alel d2s367 b terdistribusi dengan fekuensi relatif lebih tinggi daripada satu alel lainnya di pulau ini.

90 73 Alel d2s367 a ditemukan di populasi lokal AK dan PrPL (Pulau Bali), serta populasi lokal BmBL (Jawa Timur). Sama halnya dengan Pulau Lombok, frekuensi alel d2s367 b tertinggi di semua populasi lokal di Pulau Bali, dan disusul oleh alel d2s367 e di tempat kedua kecuali pada populasi lokal PrUW (frekuensi kedua alel tersebut sama). Sementara, alel d2s367 f yang ditemukan di populasi lokal PrBG, SG, dan PrPL (Bali) tidak ditemukan di populasi lokal di Pulau Lombok. 0,70 frekuensi alel 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 PgsAP BmBL PrPL AK PrUW SG W wub PrBG PS PrGP _a 124 0,11 0,19 0,21 _b 140 0,20 0,07 0,50 0,53 0,50 0,50 0,65 0,65 0,62 0,53 _c 144 0,37 0,39 _d 148 0,03 0,07 _e 156 0,37 0,29 0,15 0,26 0,50 0,28 0,35 0,30 0,38 0,47 _f 168 0,03 0,07 0,15 0,22 0,05 Populasi lokal Gambar 20 Distribusi frekuensi alel lokus D2S367 di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang. _a, _b, _c, _d, _e, _f simbul alel; 124, 140, 144, 148, 156, 168 panjang alel dalam pasang basa (panjang produk PCR). Di Kawasan Jawa Timur, hampir semua alel lokus D2S367 ditemukan di masing-masing populasi lokal, kecuali alel d2s367 a tidak ditemukan di populasi lokal PgsAP. Demikian pula, alel d2s367 d dan d2s367 f ditemukan dengan frekuensi rendah (0,03) di populasi lokal PgsAP. Secara umum, pola distribusi frekuensi alelnya berbeda-beda di antara populasi lokal. Sejumlah 6 alel diidentifikasi pada lokus mikrosatelit D3S1768 dengan panjang alel antara pasangan basa. Alel lokus D3S1768 tersebar secara beragam pada populasi lokal di tiga pulau (Gambar 21). Di Kawasan Jawa Timur, hampir semua alel lokus D3S1768 ditemukan di kedua populasi lokal. Sebanyak lima alel kecuali alel d3s1768 b ditemukan di populasi lokal PgsAP. Sementara,

91 semua alel lokus D3S1768 tersebar di populasi lokal BmBL meskipun alel d3s1768 b ditemukan dengan frekuensi rendah (0,04). 74 1,00 0,80 frekuensi alel 0,60 0,40 0,20 P gs A P B m B L P rp L A K P ru W S G W w U B P rb G P S P rg P _a 188 0,33 0,21 0,58 0,76 0,13 0,47 0,69 0,85 0,94 1,00 _b 196 0,04 0,15 0,25 0,53 0,19 _c 204 0,23 0,11 0,35 0,09 0,06 0,12 0,03 0,03 _d 208 0,07 0,14 _e 212 0,13 0,32 0,08 0,03 _f 220 0,23 0,18 0,08 0,56 0,05 P o p u la si lo ka l Gambar 21 Distribusi frekuensi alel lokus D3S1768 di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang. _a, _b, _c, _d, _e, _f simbul alel; 188, 196, 204, 208, 212, 220 panjang alel dalam pasang basa (panjang produk PCR). Di Pulau Bali, alel lokus D3S1768 tersebar secara beragam antara 2-4 alel di masing-masing populasi lokal. Frekuensi alel d3s1768 a tertinggi di populasi lokal PrBG, WwUB, AK, dan PrPL, sedangkan proporsi alel d3s1768 b dan d3s1768 f tertinggi berturut-turut di populasi lokal SG dan PrUW. Sementara, alel d3s1768 c dan d3s1768 f ditemukan dengan frekuensi rendah masing-masing 0,03 dan 0,05 di populasi lokal PrBG. Di Pulau Lombok, hanya separuh alel lokus D3S1768 ditemukan di populasi lokal. Tiga alel yaitu d3s1768 a, d3s1768 c, d3s1768 e ditemukan di populasi lokal PS dengan frekuensi yang sangat berbeda. Frekuensi alel d3s2768 a sangat tinggi (0,94), sedangkan frekuensi dua alel lainnya rendah masing-masing 0,03. Selain itu, alel d3s1768 a juga merupakan satu-satunya alel yang ditemukan di populasi lokal PrGP Pulau Lombok. Lokus mikrosatelit D4S243 memiliki alel terbanyak di antara sembilan lokus yang digunakan pada penelitian ini. Sebanyak dua belas alel terdeteksi dari 159 DNA monyet yang dianalisis dengan panjang alel antara pasangan

92 75 basa (Gambar 22). Alel lokus D4S243 menyebar secara tidak merata pada populasi lokal baik di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok. Kawasan Jawa Timur memiliki sebaran alel lebih banyak dari pulau lainnya. Tidak kurang dari 66% alel lokus D4S243 ditemukan di populasi lokal di Jawa Timur. 0,7 0 0,6 0 0,5 0 frekuensi alel 0,4 0 0,3 0 0,2 0 0,1 0 0,0 0 P g s A P B m B L P rp L A K P ru W S G W w U B P rb G P S P rg P _ a ,0 7 0,0 7 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 9 0,1 3 _ b ,0 7 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,2 3 0,6 8 0,4 4 _ c ,0 0 0,1 8 0,0 0 0,0 6 0,2 5 0,0 0 0,0 8 0,3 5 0,0 9 0,3 1 _ d ,1 0 0,1 4 0,0 8 0,1 2 0,1 9 0,1 7 0,3 8 0,0 3 0,0 0 0,0 3 _ e ,1 3 0,1 8 0,1 9 0,5 0 0,2 2 0,1 4 0,2 7 0,2 5 0,0 0 0,0 0 _ f ,2 3 0,1 1 0,2 3 0,2 1 0,2 5 0,1 7 0,0 8 0,1 0 0,0 0 0,0 0 _ g ,0 3 0,0 0 0,2 3 0,0 6 0,0 9 0,0 8 0,1 5 0,0 5 0,0 0 0,0 0 _ h ,0 0 0,0 0 0,2 3 0,0 3 0,0 0 0,0 0 0,0 4 0,0 0 0,0 0 0,0 0 _ i ,1 0 0,1 1 0,0 4 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,1 5 0,0 9 _ j ,2 0 0,0 7 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 _ k ,0 7 0,1 4 0,0 0 0,0 3 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 _ l ,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,4 4 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 P o p u la s i lo k a l Gambar 22 Distribusi frekuensi alel lokus D4S243 di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang. _a, _b, _c, _d, _e, _f, _g, _h, _i, _j, _k, _l simbul alel; 190, 194, 206, 210, 214, 218, 222, 226, 234, 238, 242, 258 panjang alel dalam pasang basa (panjang produk PCR). Sejumlah sembilan alel lokus D4S243 ditemukan di populasi lokal PgsAP dan depalan alel ditemukan di populasi lokal BmBL. Alel d4s243 b tidak ditemukan di populasi lokal BmBL tetapi ditemukan di populasi lokal PgsAP. Sebaliknya, alel d4s243 c tidak ditemukan di populasi lokal PgsAP namun ditemukan di populasi lokal BmBL. Alel d4s243 g terdistribusi dengan frekuensi rendah di populasi lokal PgsAP (0,03), bahkan alel ini tidak ditemukan di

93 76 populasi lokal BmBL. Demikian pula, alel d4s243 h dan d4s243 l tidak ditemukan di kedua populasi lokal Jawa Timur. Pada populasi loka di Pulau Bali, alel lokus D4S243 terdistribusi dengan kisaran 40-58%. Sebanyak enam alel ditemukan di populasi lokal PrBG dengan frekuensi tertinggi untuk alel d4s243 c (0,35) dan terendah untuk alel d4s243 d (0,03). Di lain pihak, sejumlah enam alel yang ditemukan pada populasi lokal WwUB juga ditemukan pada populasi lokal AK. Alel d4s243 h ditemukan dengan frekuensi rendah di kedua populasi lokal WwUB (0,04) dan AK (0,03). Satu alel tambahan untuk populasi lokal AK adalah alel d4s243 k, tetapi proporsinya cukup rendah (0,03). Sementara, sebanyak lima alel masing-masing ditemukan di populasi lokal SG dan PrUW. Alel d4s243 d, d4s243 e, dan d4s243 f ditemukan baik di populasi lokal SG maupun PrUW. Alel d4s243 c ditemukan di populasi lokal PrUW tetapi tidak ditemukan di populasi lokal SG. Sebaliknya, alel d4s243 l ditemukan pada populasi lokal SG tetapi tidak ditemukan di populasi lokal PrUW. Frekuensi alel d4s243 l tertinggi (0,44) di populasi lokal SG. Selain itu, alel d4s243 l merupakan alel privat karena diidentifikasi hanya di populasi lokal SG dan tidak ditemukan di populasi lokal lainnya di ketiga kawasan atau pulau. Sebanyak enam alel ditemukan di populasi lokal PrPL. Alel d4s243 f,g,h ditemukan dengan frekuensi tertinggi masing-masing 0,23, sedangkan alel d4s243 i terdistribusi dengan proporsi rendah (0,04). Di Pulau Lombok (PS dan PrGP), jumlah alel lokus D4S243 yang ditemukan pada populasi lokal berkisar 30-41%. Empat alel yaitu alel d4s243 a, d4s243 b, d4s243 c, dan d4s243 i ditemukan di populasi lokal PS. Alel d4s433 b ditemukan dengan frekuensi tertinggi (0,68). Semua alel yang ditemukan di populasi lokal PS juga ditemukan di populasi PrGP dengan tambahan satu alel lain, d4s243 d, tetapi dengan frekuensi rendah (0,03). Seperti di populasi lokal PS, alel d4s243 b juga ditemukan dengan frekuensi tertinggi di populasi lokal PrGP (0,44). Lokus D4S2456 memiliki sembilan alel dan merupakan lokus dengan jumlah alel terbanyak kedua setelah lokus D4S243. Panjang alel berkisar antara pasangan basa (Gambar 23). Penyebaran alel lokus D4S2456 tidak merata pada populasi lokal baik di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok.

94 77 Alel d4s2456 a hanya ditemukan di populasi lokal PrBG, PgsAP, dan BmBL. Alel d4s256 b tidak ditemukan di populasi lokal PrBG, dan bersama-sama alel d4s2456 c tidak ditemukan di populasi lokal WwUB, PrUW, dan PrPL. Alel d4s456 d dan d4s2456 e tersebar hampir di semua populasi lokal, kecuali di populasi lokal PrGP alel d4s2456 d tidak ditemukan. Alel d4s2456 g tersebar di sebagian besar populasi lokal kecuali populasi lokal PS dan PrUW. 0,50 0,40 frekuensi alel 0,30 0,20 0,10 PgsAP BmBL PrPL AK PrUW SG WwUB PrBG PS PrGP _a 320 0,03 0,04 0,10 _b 328 0,33 0,04 0,15 0,17 0,12 0,03 _c 332 0,10 0,21 0,15 0,14 0,03 0,21 0,09 _d 336 0,13 0,29 0,12 0,12 0,41 0,39 0,15 0,08 0,21 _e 340 0,10 0,25 0,19 0,03 0,47 0,25 0,31 0,20 0,32 0,38 _f 344 0,20 0,14 0,23 0,21 0,09 0,03 0,12 0,18 0,15 0,25 _g 348 0,03 0,04 0,31 0,18 0,03 0,15 0,20 0,16 _h 352 0,15 0,09 0,23 0,23 _i 356 0,07 0,09 0,03 0,04 0,09 Populasi lokal Gambar 23 Distribusi frekuensi alel lokus D4S2456 di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang. _a, _b, _c, _d, _e, _f, _g, _h, _i simbul alel; 320, 328, 332, 336, 340, 344, 348, 352, 356 panjang alel dalam pasang basa (panjang produk PCR). Alel ds2456 h tidak ditemukan pada populasi lokal di Pulau Lombok dan Jawa Timur. Alel ini tersebar di empat populasi lokal di Pulau Bali yaitu PrBG, WwUB, AK, dan PrPL. Sementara, alel d4s2456 i tersebar cukup unik karena ditemukan hanya pada satu populasi lokal di Pulau Lombok (PrGP), satu populasi lokal di Jawa Timur (PgsAP), dan tiga populasi lokal di Pulau Bali (WwUB, AK, dan PrUW).

95 78 Delapan alel yang dideteksi pada lokus D5S820 tersebar di populasi lokal secara beragam. Panjang alel berkisar antara pasangan basa (Gambar 24). 0,50 0,40 frekuensi alel 0,30 0,20 0,10 PgsAP BmBL PrPL AK PrUW SG WwUB PrBG PS PrGP _a 180 0,03 0,03 _b 184 0,13 0,07 0,03 0,09 0,06 0,31 0,12 0,06 _c 188 0,14 0,35 0,06 0,22 0,14 0,18 0,32 0,28 _d 192 0,33 0,25 0,08 0,24 0,25 0,08 0,08 0,28 0,26 0,13 _e 196 0,23 0,39 0,31 0,38 0,19 0,39 0,35 0,25 0,12 0,16 _f 200 0,30 0,14 0,12 0,15 0,31 0,08 0,28 0,15 0,13 _g 204 0,04 0,06 0,13 0,19 0,03 0,03 0,13 _h 212 0,12 0,06 0,09 0,03 0,13 Populasi lokal Gambar 24 Distribusi frekuensi alel lokus D5S820 di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang. _a, _b, _c, _d, _e, _f, _g, _h simbul alel; 180, 184, 188, 192, 196, 200, 204, 212 panjang alel dalam pasang basa (panjang produk PCR). Enam alel selain alel d5s820 a dan d5s820 h ditemukan di populasi lokal PS. Alel d5s820 c ditemukan dengan frekuensi tertinggi (0,32) dan alel d5s820 g terdistribusi dengan proporsi rendah (0,03). Alel d5s820 a selain tidak ditemukan di populasi lokal PS, juga tidak ditemukan di populasi lokal PrGP, PrBG, WwUB, SG, PrPL, PgsAP, dan BmBL. Alel ini hanya ditemukan di dua populasi lokal yaitu AK dan PrUW di Pulau Bali. Alel d5s820 b tersebar di sebagian besar populasi lokal kecuali PrBG dan PrPL. Hal yang sama juga terjadi untuk alel d5s820 c, tetapi alel ini tidak ditemukan di populasi lokal WwUB dan PgsAP.

96 79 Dua alel yaitu d5s820 d dan d5s820 e terdistribusi di seluruh populasi lokal baik di Jawa Timur, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok. Alel d5s820 f juga ditemukan di seluruh populasi lokal, kecuali populasi lokal PrUW. Sementara, alel d5s820 g tidak ditemukan di populasi lokal SG, dan alel d5s820 h tidak ditemukan di populasi lokal PS, PrGB, dan WwUB. Lebih dari itu, kedua alel d5s820 g dan d5s820 h sama-sama tidak ditemukan di popuasi lokal PgsAP dan BmBL Kawasan Jawa Timur. 1,00 0,80 frekuensi alel 0,60 0,40 0,20 PgsAP BmBL PrPL AK PrUW SG WwUB PrBG PS PrGP _a 182 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 Populasi lokal Gambar 25 Distribusi frekuensi alel lokus D2S1368 di sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang. _a simbul alel; 182 panjang alel dalam pasang basa (panjang produk PCR). Lokus D2S1368 monomorfik di semua populasi lokal (Gambar 25). Semua sampel yang dianalisis bergenotipe homosigot sehingga pada lokus ini diidentifikasi hanya satu alel dengan panjang 182 pasangan basa. Variasi Genetik dan Keseimbangan Hardy-Weinberg Sebagian besar lokus polimorfik memiliki nilai heterosigositas melebihi 0,700 di populasi lokal Kawasan Jawa Timur. Dua lokus di masing-masing populasi lokal ditemukan dengan nilai heterosigositas kurang dari 0,700 yaitu lokus D1S548 (0,559) dan D1S550 (0,616) di populasi lokal PgsAP, serta lokus D1S533 (0,632) dan D2S248 (0,500) di populasi lokal BmBL (Tabel 11).

97 80 Di Pulau Bali, nilai heterosigositas lokus D3S1768 terendah di populasi lokal PrBG (0,276) dan AK (0,398). Nilai heterosigositas lokus paling rendah di populasi lokal WwUB dan PrUW adalah lokus D2S367 masing-masing 0,471 dan 0,516. Sementara, nilai heterosigositas lokus D1S533 paling rendah di populasi lokal SG (0,417). Heterosigositas lokus D1S533 juga sangat rendah di populasi lokal PrPL (0,077). Lokus ini digolongkan sebagai lokus monomorfik di populasi lokal PrPL karena ada satu alelnya ditemukan dengan frekuensi melebihi 0,95. Hal yang sama, lokus D2S1368 merupakan lokus monomorfik baik di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok, sehingga nilai heterosigositas lokus ini sebesar 0 di semua populasi lokal. Heterosigositas lokus D4S2456 tertinggi ditemukan di sebagian besar populasi lokal di Pulau Bali (PrBG, WwUB, AK, dan SG), sementara heterosigositas lokus D4S243 tertinggi ditemukan di populasi lokal PrUW dan PrPL. Tabel 11 Heterosigositas dan simpangan baku masing-masing lokus mikrosatelit pada populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok Populasi lokal Lokus D1S 533 Jawa Timur Bali Lombok PgsAP BmBL PrPL AK PrUW SG WwUB PrBG PS PrGP 0,715 ±0,048 0,632 ±0,082 0,077 ±0,070 0,522 ±0,048 0,683 ±0,042 0,417 ±0,091 0,717 ±0,052 0,683 ±0,048 0 ±0 0,417 ±0,096 D1S 548 0,559 ±0,086 0,500 ±0,091 0,600 ±0,074 0,604 ±0,074 0,712 ±0,046 0,713 ±0,037 0,680 ±0,037 0,576 ±0,066 0,561 ±0,090 0,635 ±0,043 D1S 550 0,616 ±0,062 0,709 ±0,047 0,615 ±0,063 0,742 ±0,035 0,679 ±0,040 0,671 ±0,056 0,742 ±0,048 0,497 ±0,062 0,740 ±0,034 0,732 ±0,048 D2S 367 0,713 ±0,042 0,765 ±0,054 0,692 ±0,069 0,626 ±0,054 0,516 ±0,022 0,641 ±0,045 0,471 ±0,063 0,497 ±0,062 0,487 ±0,044 0,514 ±0,025 D2S ±0 0 ±0 0 ±0 0 ±0 0 ±0 0 ±0 0 ±0 0 ±0 0 ±0 0 ±0 D3S ,784 ±0,035 0,815 ±0,038 0,563 ±0,065 0,398 ±0,094 0,621 ±0,070 0,513 ±0,022 0,489 ±0,098 0,276 ±0,090 0,116 ±0,074 0 ±0 D4S 243 0,883 ±0,029 0,894 ±0,023 0,828 ±0,030 0,706 ±0,068 0,808 ±0,025 0,741 ±0,052 0,772 ±0,053 0,771 ±0,034 0,520 ±0,091 0,708 ±0,051 D4S ,832 ±0,043 0,815 ±0,035 0,809 ±0,035 0,879 ±0,021 0,625 ±0,048 0,759 ±0,041 0,822 ±0,038 0,844 ±0,021 0,799 ±0,031 0,778 ±0,045 D5S 820 0,752 ±0,032 0,765 ±0,049 0,782 ±0,049 0,788 ±0,048 0,847 ±0,028 0,746 ±0,044 0,766 ±0,044 0,774 ±0,022 0,799 ±0,035 0,857 ±0,030 Heterosigositas masing-masing lokus di populasi lokal PS, kecuali lokus D1S533 dan D2S1368, bervariasi antara 0,116-0,799. Heterosigositas tertinggi

98 81 dimiliki oleh lokus D4S1456 dan D5S820, sedangkan terendah dimiliki oleh lokus D3S1768. Nilai heterosigositas lokus D1S533 dan D2S1368 sebesar disebabkan oleh genotipe homosigot pada semua sampel dari populasi lokal PS. Pada populasi lokal PrGP, heterosigositas per lokus berkisar antara 0,417-0,857 untuk lokus polimorfik. Selain itu, dua lokus monomorfik yaitu D2S1368 dan D3S1768 ditemukan di populasi lokal ini. Tabel 12 Rataan heterosigositas (H) dan galat baku (SE) populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok Kawasan Populasi lokal H Jawa Timur PgsAP 0,650±0,0879 BmBL 0,655±0,0904 PrPL 0,552±0,1022 AK 0,585±0,0874 Bali PrUW 0,610±0,0831 SG 0,578±0,0819 WwUB 0,606±0,0862 PrBG 0,546±0,0903 Pulau Lombok PS 0,447±0,1094 PrGP 0,516±0,1070 Rataan 0,575±0,0629 Rataan heterosigositas (H) untuk keseluruhan populasi lokal sebesar 0,575 (Tabel 12). Rataan heterosigositas populasi lokal di Kawasan Jawa Timur berkisar antara 0,650-0,655, sedangkan rataan heterosigositas populasi lokal di Pulau Bali berkisar antara 0,546-0,610. Rataan heterosigositas populasi lokal untuk Pulau Lombok berkisar antara 0,447-0,516. Rataan heterosigositas populasi lokal PS (Pulau Lombok) paling rendah (0,477) dan rataan heterosigositas populasi lokal BmBL (Jawa Timur) paling tinggi (0,655) di antara rataan heterosigositas populasi lokal. Rataan heterosigositas populasi lokal dalam pulau cenderung menurun dari barat ke timur (Gambar 26). Rataan heterosigositas seluruh populasi lokal di Kawasan Jawa Timur tertinggi (0,653) disusul oleh rataan heterosigositas populasi lokal di Pulau Bali (0,580) dan selanjutnya populasi lokal di Pulau Lombok (0,481).

99 82 Rataan heterosigositas (H) 0,700 0,600 0,500 0,400 0,300 0,200 0,100 0,653 0,580 0,481 0 Jawa Timur Bali Lombok Kaw asan Gambar 26 Rataan heterosigositas (H) masing-masing populasi di dalam Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok. Pengujian keseimbangan Hardy-Weinberg masing-masing lokus pada populasi lokal dengan menggunakan nilai F IT (Tabel 13) menunjukkan tidak ada lokus yang menyimpang dari keseimbangan Hardy-Weinberg di masing-masing populasi lokal di Kawasan Jawa Timur. Semua lokus memiliki nilai F IT mendekati 0, kecuali lokus D2S1368 karena bersifat monomorfik. Tabel 13 Nilai F IT masing-masing lokus mikrosatelit pada populasi lokal di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, Pulau Lombok Populasi lokal Lokus Jawa Timur Bali Pulau Lombok Pgs AP Bm BL Pr PL AK D1S533 0,36 0,22 0,22-0,01 0,07-0,19 0,49* 1,00* 0,56* D1S548 0,05 0,11 0,23 0,04-0,01 0,33 0,05-0,05 0,02 D1S550 0,25-0,22 0,13-0,01 0,43-0,04 0,20-0,20 0,06 D2S367-0,13-0,22-0,53* -1,00* -0,59* -0,50-0,42-0,60* -0,88* D2S1368 1,00* 1,00* 1,00* 1,00* 1,00* 1,00* 1,00* 1,00* 1,00* 1,00* D3S1768 0,33 0,04-0,39-0,19 0,30 0,03 0,06 0,28-0,02 1,00* D4S243 0, 25 0,37 0,07 0,17-0,09 0,48 0,51 0,42 0,33 0,57* D4S2456 0,04 0,04 0,05 0,13-0,10 0,42-0,03 0,17 0,27 0,04 D5S820-0,07 0,07 0,12 0,11 0,04-0,04-0,32 0,16-0,11-0,02 * Menyimpang dari keseimbangan Hardy-Weinberg (P=0,05) Pr UW SG Ww UB Pr BG PS Pr GP Di Pulau Bali, kecuali lokus D2S1368 (monomorfik) dan lokus D1S533 (monomorfik di populasi PrBG), semua lokus yang menyimpang dari keseimbangan Hardy-Weinberg diakibatkan oleh kekurangan genotipe homosigot

100 83 yang ditunjukkan oleh nilai F IT mendekati -1. Efek ini bukan merupakan efek dari perkawinan keluarga. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa anggota populasi lokal yang ada di Kawasan Jawa Timur dan Pulau Bali masih menunjukkan pola perkawinan acak. Sebanyak tiga lokus yang menyimpang dari keseimbangan Hardy- Weinberg ditemukan populasi lokal PS Pulau Lombok. Penyimpangan keseimbangan Hardy-Weinberg pada lokus D1S533 dan D2S1368 terjadi karena kedua lokus tersebut monomorfik sehingga F IT mendekati 1. Sedangkan, penyimpangan lokus D2S367 (F IT -0,60) dari keseimbangan Hardy-Weinberg diakibatkan oleh kekurangan genotipe homosigot sehingga nilai F IT mendekati -1. Meskipun demikian, sebagian besar lokus menunjukkan dalam keseimbangan Hardy-Weinberg, sehingga dapat disimpulkan bahwa anggota populasi lokal PS masih melakukan perkawinan secara random antar anggota. Sementara, pada populasi lokal PrGP, dari tujuh lokus polimorfik, sebanyak tiga lokus ditemukan menyimpang dari keseimbangan Hardy-Weinberg. Dua lokus yaitu D1S533 dan D4S243 menyimpang dari keseimbangan Hardy-Weinberg dengan F IT mendekati 1. Ini berarti terjadi kelebihan genotipe homosigot sebagai efek dari perkawinan tidak acak antar anggota. Sedangkan satu lokus lainnya yaitu lokus D2S367 mengalami penyimpangan justru karena kekurangan genotipe homosigot yang bukan merupakan efek dari perkawinan keluarga. Sebagian besar lokus masih berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg sehingga dapat disimpulkan pula bahwa anggota populasi lokal PrGP masih melakukan perkawinan secara acak. Diferensiasi Genetik Populasi Lokal Dalam Pulau dan Aliran Genetik Pemecahan heterosigositas total (H T ) menjadi heterosigositas dalam (H S ) dan antar populasi lokal (D ST ) akan dapat diukur diferensiasi genetik populasi lokal (F ST ). Nilai F ST populasi lokal di Kawasan Jawa Timur sebesar 0,039 (Tabel 14) mengindikasikan pemisahan populasi monyet ekor panjang di Kawasan ini menjadi dua populasi lokal telah menurunkan keragaman genetik atau heterosigositas sebesar 3,9% jika dibandingkan dengan dalam keadaan bersama dan dalam keseimbangan Hardy-Weinberg. Diferensiasi genetik populasi lokal di

101 Kawasan Jawa Timur lebih rendah dibandingkan dengan diferensiasi genetik populasi lokal di dalam Pulau Bali. 84 Tabel 14 Diferensiasi genetik (F ST ) dan jumlah migran efektif (Nem) pada populasi lokal dalam Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok Jumlah H T H S D ST F ST Nem Kawasan populasi lokal (H T -H S ) Jawa Timur 2 0,667 0,641 0,026 0,039 6,2 Bali 6 0,643 0,564 0,079 0,123 1,8 Lombok 2 0,485 0,474 0,011 0,023 10,6 Pemisahan populasi monyet di Pulau Bali menjadi beberapa populasi lokal telah menurunkan keragaman genetik sebesar 12,3% (F ST =0,123) dari keadaan bersama dan dalam keseimbangan Hardy-Weinberg. Diferensiasi genetik populasi lokal di dalam Pulau Bali juga lebih tinggi daripada diferensiasi genetik populasi lokal di Pulau Lombok. Di Pulau Lombok, penurunan heterosigositas akibat pemisahan populasi hanya 2,3% (F ST =0,023) dari keadaan tidak terpisah dan dalam keseimbangan Hardy-Weinberg. Aliran genetik, dinyatakan dengan jumlah migran yang masuk ke dalam populasi lokal setiap generasi (Nem), di Kawasan Jawa Timur sebesar 6,2 (Tabel 14). Ini berarti, dalam satu generasi, populasi lokal di Kawasan Jawa Timur akan kemasukan monyet baru sebanyak enam ekor (dibulatkan). Dengan cara yang sama, populasi lokal di Pulau Bali akan kedapatan monyet baru sebanyak dua ekor per generasi, dan sebelas ekor per generasi untuk populasi lokal di Pulau Lombok. Deferensiasi Genetik Populasi Lokal Seluruh Pulau Untuk mengetahui besarnya diferensiasi genetik populasi sebagai akibat dari pemisahannya menjadi populasi pulau dan selanjutnya menjadi populasi lokal dalam pulau (F ST ) maka dihitung keragaman masing-masing hirarki yang meliputi keragaman total (H T ), keragaman regional atau pulau (H R ), dan

102 85 keragaman populasi lokal (H S ). H T didapatkan dengan cara mengabungkan seluruh kawasan atau pulau. Analisis diferensiasi genetik (F ST ) untuk seluruh kawasan atau pulau mengindikasikan telah terjadi penurunan keragaman genetik yang cukup tinggi (F ST =0,186, Gambar 27). Dengan keberadaan sebagai populasi lokal yakni terpisah satu dengan yang lain telah menurunkan keragaman genetik sebesar 18,8% dari variabilitas genetik total. Penurunan keragaman genetik populasi kawasan atau pulau terhadap keragaman genetik total (F RT ) yang cukup rendah (0,060) menunjukkan keragaman genetik kawasan atau pulau tidak berbeda jauh dengan keragaman genetik total. Sementara, F SR yang mewakili penurunan keragaman genetik populasi lokal terhadap keragaman genetik kawasan atau pulau relatif lebih tinggi yaitu 0,135. Ini mengindikasikan, secara keseluruhan, keberadaan menjadi populasi lokal di suatu pulau telah menurunkan keragaman genetik sebesar 13,5%. Populasi lokal Jawa Timur H T=0.655 H R=0.616 H S=0.533 Populasi lokal Bali F ST=0.186 F SR=0.135 F RT=0.060 Populasi lokal Pulau Gambr 27 Diferensiasi genetik populasi lokal monyet ekor panjang (F ST ) untuk seluruh kawasan atau pulau (Jawa Timur, Pulau Bali, Pulau Lombok). F ST mengukur penurunan keragaman genetik populasi lokal (H S ) terhadap keragaman total (H T ). F SR mengukur penurunan keragaman genetik populasi lokal terhadap keragaman genetik kawasan atau pulau (H R ). F RT mengukur penurunan keragaman genetik kawasan atau pulau terhadap keragaman genetik total (H T ). Jarak Genetik Antar Populasi Lokal Jarak genetik standar Nei (D S ) yang digunakan untuk melihat kedekatan genetik antar populasi lokal (Tabel 15) menunjukkan populasi lokal di Kawasan Jawa Timur memiliki kesamaan genetik yang tinggi di antara populasi lokal

103 86 sekawasan (PgsAP-BmBL, D S =0,184). Hal yang sama, populasi lokal PS memiliki kedekatan genetik tertinggi dengan populasi lokal PrGP (D S =0,055). Kedua populasi lokal ini terletak dalam pulau yang sama. Di Pulau Bali, jarak genetik terendah ditemukan antara populasi lokal AK-PrBG (D S =0,129), dan jarak genetik tertinggi ditemukan antara populasi lokal PrPL-PrUW (D S =0,384). Jarak genetik antar populasi lokal Kawasan Jawa Timur dan Pulau Bali terendah antara PgsAP-WwUB (D S =0,253) dan jarak genetik tertinggi antara BmBL-PrPL (D S =0,570). Tabel 15 Jarak genetik standar Nei (D S ) antar populasi lokal monyet ekor panjang Pop. Pgs BmBL PrPL AK PrUW SG WwUB PrBG PS PrGP lokal AP PgsAP 0 BmBL 0,184 0 PrPL 0,415 0,570 0 AK 0,278 0,299 0,214 0 PrUW 0,340 0,307 0,384 0,293 0 SG 0,306 0,384 0,226 0,221 0,353 0 WwUB 0,253 0,337 0,268 0,132 0,223 0,226 0 PrBG 0,277 0,270 0,357 0,129 0,335 0,267 0,147 0 PS 0,348 0,543 0,248 0,259 0,448 0,257 0,228 0,178 0 PrGP 0,339 0,499 0,216 0,266 0,402 0,249 0,193 0,151 0,055 0 Jarak genetik antar populasi lokal Kawasan Jawa Timur dan Pulau Lombok terendah ditemukan antara PgsAP-PrGP (D S =0,339) dan jarak genetik tertinggi antara BmBL-PS (D S =0,543). Sementara, untuk Pulau Bali dan Pulau Lombok, jarak genetik antar populasi lokal terendah ditemukan antara PrBG- PrGP (D S =0,151) dan jarak genetik tertinggi antara PrUW-PS (D S =0,448). Untuk menganalisis jarak genetik populasi antar pulau, masing-masing pasangan jarak genetik populasi lokal antar dua pulau dirata-ratakan (Tabel 16). Tabel 16 Rataan jarak genetik standar Nei (D S ) antar populasi kawasan atau pulau Kawasa/Pulau Jawa Timur Bali Pulau Lombok Jawa Timur 0 Bali 0,336 0 Pulau Lombok 0,432 0,258 0 Rataan pasangan jarak genetik antara populasi monyet ekor panjang Jawa Timur- Lombok lebih besar daripada rataan pasangan jarak genetik antara populasi monyet ekor panjang Jawa Timur-Bali, dan Bali- Lombok (Tabel 16).

104 87 Pengelompokan populasi lokal berdasarkan jarak genetik standar Nei (D S ) menggunakan metode unweighted pair-group method with arithmetic average (UPGMA) menunjukkan populasi lokal yang ada di Pulau Bali terbagi ke dalam tiga posisi berbeda yaitu BrBG-AK-WwUB, SG-PrPL, dan PrUW (Gambar 28). Gambar 28 Pengelompokan populasi lokal monyet ekor panjang berdasaran jarak genetik standar Nei (D S ) dengan metode UPGMA. Populasi lokal yang ada di Pulau Lombok (PS-PrGP) digrupkan dengan BrBG-AK-WwUB (anggota populasi lokal Pulau Bali) karena kedekatan genetik yang dimilikinya. Sementara, populasi lokal PrUW yang terpisah secara tersendiri dari populasi lokal lain sepulau, dikelompokkan ke populasi lokal PgsAP-BmBL (Jawa Timur). Meskipun dikelompokkan bersama, populasi lokal PrUW memiliki jarak genetik yang cukup tinggi masing-masing melebihi 0.30 dengan kedua populasi lokal yang ada di Kawasan Jawa Timur tersebut. Secara skematis, posisi relatif populasi lokal di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Pulau Lombok dapat dilukiskan seperti pada Gambar 29. Gambar 29 Skema posisi lokasi populasi lokal monyet ekor panjang.

105 88 Populasi lokal PS dan PrGP dapat digolongkan sebagai populasi yang mewakili bagian utara (PS) dan selatan (PrGP) Pulau Lombok dengan jarak ±20 km. Populasi lokal di Pulau Bali juga dapat dikelompokkan berdasarkan lokasinya yaitu bagian utara atau barat laut (PrPL), bagian selatan (PrUW), bagian timur (PrBG), dan bagian tengah berderet dari timur ke barat WwUB, SG, dan AK. Sementara, populasi lokal Jawa Timur dapat dinyatakan sebagai wakil daerah selatan (PgsAP) dan daerah utara (BmBL) dengan jarak ±90 km. Pembahasan Lokus Mikrosatelit Polimorfik dan Penyebaran Alel Identifikasi lokus mikrosatelit polimorfik adalah tugas pertama para ahli genetika populasi sebelum menjadikannya sebagai penanda molekul untuk mengungkapkan struktur genetik suatu populasi. Berbagai penelitian eksplorasi polimorfisme lokus mikrosatelit pada primata non-human dengan menggunakan primer mikrosatelit manusia telah dilakukan (Nair et al. 2000; Smith et al. 2000; Bonhomme et al. 2005; Rogers et al. 2005; Kanthasmawy et al. 2006). Sembilan lokus mikrosatelit yang dikaji pada penelitian ini (Tabel 10), lokus D2S1368 bersifat monomorfik karena hanya ditemukan satu alel pada seluruh sampel DNA yang dianalisis. Delapan lokus lainnya bersifat polimorfik dengan jumlah alel setiap lokus berbeda-beda. Perbedaan jumlah alel dalam satu lokus antar populasi sangat terkait dengan sejarah penyebaran dan evolusi suatu populasi atau spesies. Sebagai contoh, pada lokus D1S548 penelitian ini ditemukan 4 alel, sedangkan pada monyet ekor panjang di Pulau Mauritius ditemukan 6 alel, dan 4 alel pada monyet Philipina serta Viet Nam (Bonhomme et al. 2005). Polimorfisme lokus mikrosatelit tinggi ditimbulkan oleh laju mutasi yang tinggi lebih kurang per lokus per generasi (Weber dan Wong 1993). Mutasi lokus mikrosatelit menyangkut penambahan atau pengurangan jumlah motifnya (runutan nukleotida yang terulang). Dua alasan yang digunakan untuk menerangkan proses penambahan dan pengurangan motif adalah slipped strand mispairing dan pindah silang tidak setangkup (unequal crossing over) saat replikasi DNA (Avise 1994; Moxon dan Wills 1999; Sturzeneker et al. 2000).

106 89 Penambahan atau pengurangan motif pada mikrosatelit memberikan keuntungan karena alel dalam satu lokus mudah dibedakan melalui elektroforesis. Lokus mikrosatelit dengan motif tetranukleotida akan lebih mudah dibedakan jenis alelnya melalui teknik tersebut. Inilah salah satu alasan Kanthaswamy et al. (2006) memilih lokus mikrosatelit dengan motif tetranukleotida dalam pembuatan strategi managemen genetik standar untuk koloni Macaca mulatta di berbagai Pusat Penelitian Primata di Amerika. Dengan alasan yang sama, sebagian besar lokus mikrosatelit yang dipilih pada penelitian kali ini juga bermotif tetranukleotida. Hasil penelitian menunjukkan populasi lokal di Pulau Lombok memiliki jumlah alel lebih rendah dari populasi lokal yang ada di Pulau Bali dan Jawa Timur (Tabel 10). Rendahnya jumlah alel pada populasi lokal sejalan dengan rendahnya jumlah alel per lokus pada populasi lokal di Pulau Lombok (Gambar 16). Rendahnya jumlah alel pada populasi lokal di Pulau Lombok mungkin ditimbulkan oleh efek founder. Jumlah anggota populasi awal berimplikasi kepada jumlah alel yang ada dalam populasi tersebut. Penyebaran monyet ke Pulau Lombok masih belum jelas modus kerjanya. Hipotesis rafting dan introduksi manusia untuk menjelaskan cara penyebaran monyet ekor panjang ke Pulau Lombok, sama-sama membawa konsekuesi rendahnya koloni awal di pulau ini, yang selanjutnya berimplikasi terhadap rendahnya alel yang ditemukan. Penyebaran monyet ekor panjang dari barat ke timur dengan populasi Jawa sebagai sumber seperti yang dinyatakan selama ini sejalan dengan hasil penelitian ini. Terlihat suatu cline yakni penurunan jumlah alel dari barat ke timur yakni diawali dari populasi lokal Jawa Timur dengan jumlah alel tertinggi diikuti oleh Pulau Bali dan selanjutnya Pulau Lombok dengan jumlah alel terendah (Gambar 15). Tidak semua alel suatu lokus ditemukan pada populasi lokal. Demikian pula, pola distribusi (kecondongan) frekuensi alel beragam pada populasi lokal. Alel tertentu ditemukan pada beberapa populasi lokal bahkan hanya pada satu populasi lokal (alel privat), meskipun populasi lokal berada pada pulau yang sama. Sebagai contoh, alel d1s533 b dan d1s533 c ditemukan pada populasi lokal PrGP tidak ditemukan pada PS meskipun kedua populasi lokal berada pada satu

107 90 pulau (Pulau Lombok). Di Pulau Bali, alel d1s533 d tidak ditemukan pada populasi lokal SG dan AK tetapi ditemukan pada populasi lokal lainnya. Populasi lokal di Kawasan Jawa Timur juga menunjukkan hal sama seperti alel d1s548 b dan d1s548 c ditemukan pada PgsAP tidak ditemukan pada BmBL. Pemutusan distribusi alel dalam satu kawasan sangat terkait dengan keberadaan populasi lokal yang terpisah satu dengan yang lain. Pemisahan ini menyebabkan tidak maksimumnya pertukaran antar anggota populasi yang selanjutnya menimbulkan kesenjangan distribusi alel antar populasi. Beberapa alel ditemukan pada Kawasan Jawa Timur tetapi tidak ditemukan di Pulau Bali atau Pulau Lombok, dan sebaliknya ditemukan di Pulau Bali tetapi tidak ditemukan di Kawasan Jawa Timur. Alel tersebut antara lain alel d2s367 c, alel d2s367 d, dan alel d3s1768 d ditemukan pada populasi lokal di Jawa Timur, tetapi tidak ditemukan pada populasi lokal di Pulau Bali atau Pulau Lombok. Atau sebaliknya, alel ditemukan di populasi lokal Pulau Bali, tetapi tidak ditemukan pada populasi lokal Kawasan Jawa Timur, seperti alel d1s550 e, alel d4s243 h, alel d4s2456 h, d5s820 a, dan d4s243 l (alel privat). Fakta ini menjadi bukti bahwa barier geografi cukup efektif memutus penyebaran karakter, terlepas dari alasan mutasi terkini atau mutasi paralel. Alel privat pada suatu populasi memberi makna yang penting dalam sejarah evolusi biologi populasi. Alel privat dapat dijadikan penciri populasi lokal. Ditemukannya alel ini pada populasi lokal lain dalam selang waktu tertentu, secara faktual, menunjukkan adanya migrasi anggota populasi tersebut ke populasi lain. Beberapa alel yang ditemukan di Pulau Bali tetapi tidak ditemukan di kedua populasi lokal PgsAP dan BmBL Kawasan Jawa Timur mencerminkan adanya kelompok lain (selain kedua populasi lokal di atas) yang migrasi dari Jawa ke Pulau Bali. Dengan melihat pola distribusi alel di populasi lokal Pulau Bali, dapat diduga dengan kuat bahwa sedikitnya ada empat kelompok berbeda yang migrasi selama sejarah penyebaran monyet ekor panjang dari Jawa ke Pulau Bali. Pada tahap selanjutnya, monyet ekor panjang yang ada di Pulau Bali mengalami pemisahan dan atau penggabungan beberapa kelompok kecil sehingga terbentuk populasi lokal seperti yang ada kini. Hal ini dibuktikan sebagian oleh alel yang menjadi modus di satu populasi lokal ditemukan dengan frekuensi

108 91 rendah di populasi lokal lain, seperti alel d4s243 h menjadi modus di PrPL, tetapi frekuensinya rendah di AK atau WwUB (Gambar 22). Adanya perpindahan anggota antar populasi lokal juga dibuktikan dengan rendah atau sedangnya diferensiasi genetik (F ST ) antar populasi lokal yang ada di Pulau Bali (Tabel 14). Sementara, semua alel yang ada di Pulau Lombok ditemukan di populasi lokal di Pulau Bali, kecuali alel d4s243 a. Alel d4s243 a ditemukan pada populasi lokal PgsAP dan BmBL Jawa Timur dengan frekuensi rendah (<0,10). Distribusi alel mengindikasikan bahwa monyet di Pulau Lombok berasal dari monyet di Pulau Bali. Temuan beberapa alel dengan frekuensi rendah (di bawah 0,05) di beberapa populasi lokal memberi makna tersendiri mengenai proses evolusi biologi. Fluktuasi frekuensi alel dan kemunculan atau kehilangan suatu alel dalam populasi merupakan tanda proses evolusi biologi di tingkat mikro bekerja (Campbell et al. 2006). Dua alasan dapat dikaitkan dengan rendahnya frekuensi suatu alel yaitu produk mutasi terkini dan atau efek dari random genetic drift karena berbagai sebab. Keragaman dan Diferensiasi Genetik Analisis keragaman genetik populasi lokal monyet ekor panjang menunjukkan keragaman genetik populasi lokal di Pulau Lombok lebih rendah daripada yang ditemukan di populasi lokal Pulau Bali dan Jawa Timur. Relatif rendahnya rataan heterosigostas (H) populasi lokal Pulau Lombok (0,481) berkaitan erat dengan kisah penyebarannya. Jumlah anggota populasi awal yang sedikit selain berimplikasi pada rendahnya jumlah alel yang ada, juga akan menurunkan keragaman genetik (efek founder). Adanya suatu cline yakni penurunan heterosigositas yang dimulai dari populasi lokal Jawa Timur (0,653), Bali (0,580), dan akhirnya Pulau Lombok (0,481 Gambar 26) yang sejalan dengan pola penyebaran monyet ekor panjang dari barat ke timur dengan Jawa sebagai pusat penyebaran. Rataan heterosigositas populasi lokal PS (0,447) relatif lebih rendah dari rataan heterosigositas populasi lokal PrGP (0,516) di Pulau Lombok. Fakta ini disokong oleh lebih banyaknya lokus pada populasi lokal PS dengan

109 92 heterosigositas lebih rendah dibandingkan dengan lokus yang sama pada populasi lokal PrGP (Tabel 11). Rataan alel per lokus yang relatif sedikit (3,44 alel per lokus) di populasi lokal PS lebih menguatkan populasi lokal ini memiliki keragaman genetik relatif rendah. Keragaman genetik rendah akan menurunkan potensial evolusi populasi terhadap faktor stokastik, seperti perubahan alam, meningkatkan peluang pemunculan alel letal, dan menurunkan fitness (Frankham et al. 2004). Usaha untuk memonitor keragaman genetik populasi terutama populasi lokal PS secara reguler diperlukan untuk mendeteksi erosi keragaman genetik populasi sedini mungkin di masa mendatang. Populasi lokal di Pulau Bali yang memiliki rataan heterosigositas terendah adalah PrBG (0,546) sedangkan rataan heterosigositas tertinggi ditemukan pada PrUW (0,610). Rataan heterosigositas yang rendah pada populasi lokal PrBG diakibatkan oleh lebih banyaknya lokus mikrosatelit yang memiliki heterosigositas di bawah rataan heterosigositas seluruh populasi lokal Pulau Bali. Sejumlah tiga lokus polimorfik ditemukan di populasi lokal PrBG dengan heterosigositas di bawah rataan heterosigositas populasi lokal Bali (0,580), sementara hanya satu atau dua lokus yang ditemukan di populasi lokal lainnya (Tabel 11). Pada PrBG, lokus D3S1768, bahkan, memiliki heterosigositas yang sangat rendah (0,276) akibat relatif sedikitnya jumlah alel yang ada meskipun tidak menyimpang dari keseimbangan Hardy-Weinberg (Tabel 13). Lokus dengan heterosigositas terendah ditemukan pada populasi lokal PrPL (h=0,077 untuk lokus D1S533). Jumlah alel yang sedikit (dua alel) mengakibatkan rendahnya heterosigositas dan tidak menyimpangnya lokus D1S533 dari keseimbangan Hardy-Weinberg, meskipun terdapat hanya satu individu heterosigot. Populasi lokal PgsAP dan BmBL Jawa Timur memiliki rataan heterosigositas di atas rataan umum semua populasi lokal yang dianalisis (Tabel 12). Rataan heterosigositas yang tinggi pada dua populasi lokal Jawa Timur berkaitan dengan relatif tingginya jumlah alel per lokus (masing-masing 4,98 Tabel 10) dan sebagian besar lokusnya memiliki heterosigositas di atas rataan umum heterosigositas populasi lokal (Tabel 11). Berhasilnya populasi lokal di Kawasan Jawa Timur mempertahankan keragaman genetik populasi sangat

110 93 ditopang oleh sistem perkawinan acak yang masih terjadi. Selain itu, populasi monyet di Jawa yang diyakini sebagai sumber populasi di sebelah timur Pulau Jawa juga mendukung lebih beragamnya struktur genetik monyet Jawa dibandingkan dengan yang ditemukan di Pulau Bali atau Pulau Lombok. Satu modus kerja lain yang juga menopang keragaman genetik populasi lokal di Kawasan Jawa Timur adalah adanya aliran genetik. Taman Nasional Alas Purwo dan Baluran yang luas sangat memugkinkan untuk ditemukan populasi monyet lain di sekitar area populasi lokal PgsAP dan BmBL. Hal ini terindikasi dari rendahnya ukuran populasi efektif (Ne) yang ditemukan di kedua populasi lokal tersebut (Ne < 50 ekor), tetapi keragaman genetik kedua populasi tersebut tinggi. Erosi genetik pada populasi akan dapat dicegah oleh adanya monyet migran. Hasil penelitian mendapatkan jumlah migran absolut per generasi (Nem) pada populasi lokal Jawa Timur sebesar 6 ekor (Tabel 14). Dalam realita, jumlah migran ke populasi lokal Kawasan Jawa Timur mungkin melebihi nilai tersebut. Rataan heterosigositas (H) populasi lokal monyet ekor panjang Pulau Lombok 0,481 dan populasi lokal Bali 0,580 relatif lebih rendah dari rataan heterosigositas M. mulatta asal Thailand, India, dan China berturut-turut 0,61, 0,66, dan 0,78 (Morin et al. 1997). Perbedaan ini terjadi karena perbedaan spesies, perbedaan lokus mikrosatelit yang digunakan, dan asal sampel yang beragam. Meskipun demikian, populasi lokal monyet ekor panjang Jawa Timur memiliki rataan heterosigosias 0,653 relatif sama dengan M. mulatta asal India (0,66). Rataan heterosigositas M. mulatta yang didapatkan oleh Kanthaswamy et al. (2006) dengan menggunakan penanda molekul mikrosatelit sebesar 0,7725. Tingginya rataan heterosigositas ini terkait dengan beragamnya asal sampel yang dianalisis yakni koloni monyet dari beberapa pusat penelitian primata di Amerika. Demikian pula, rataan heterosigositas (H) populasi lokal monyet ekor panjang Bali, Pulau Lombok, dan Jawa Timur lebih kecil dari rataan heterosgositas M. nemestrina (0,758) yang dipelihara di Wasington Regional Primate Research Center, Seattle, Washington (Nair et al. 2000). Rataan heterosigositas populasi lokal Pulau Lombok (0,481), Pulau Bali (0,580) dan Jawa Timur (0,653) relatif lebih rendah dari rataan heterosigositas monyet ekor panjang asal Pulau Mauritius (0,7) dan Philipina (0,72, Bonhomme

111 94 et al. 2005). Lebih tingginya rataan heterosigositas monyet Mauritius dan Philipina lebih disebabkan oleh asal sampel yang berbeda-beda meski dari satu pulau atau negara. Sebaliknya, penelitian yang dilakukan saat ini lebih mencerminkan keadaan nyata suatu populasi lokal yang dibentuk oleh alam dan terisolasi. Penelitian variasi genetik monyet ekor panjang di Pulau Tinjil (Indonesia) oleh Perwitasari-Farajallah et al. (2004) menggunakan empat lokus mikrosatlit menemukan rataan heterosigositas 0,5796. Nilai ini relatif sama dengan rataan heterosigositas populasi lokal Bali (0,580), relatif lebih tinggi dari yang ditemukan pada populasi lokal Pulau Lombok (0,481), tetapi relatif lebih rendah dari yang ditemukan pada populasi lokal Jawa Timur (0,653). Kawamoto et al. (1984) mempublikasikan rataan heterosigositas troops monyet ekor panjang di Pulau Bali (0,0246) lebih rendah dari yang ditemukan di Pulau Lombok (0,0323) dan troops Jawa memiliki nilai yang lebih tinggi (0,0423) di antara ketiganya (penelitian menggunakan penanda protein darah). Sebagian hasil penelitian saat ini (dengan penanda molekul mikrosatelit) sesuai dengan hasil penelitian Kawamoto tersebut yang mana populasi lokal Jawa Timur memiliki rataan heterosigositas tertinggi (0,653). Sebagian lainnya tidak sejalan dengan hasil penelitian Kawamoto yaitu rataan heterosigositas populasi lokal Bali (0,580) lebih tinggi dari rataan heterosigositas populasi lokal Lombok (0,483). Analisis pola perkawinan anggota populasi lokal Kawasan Jawa Timur Pulau Bali, dan Pulau Lombok menunjukkan masih terjadinya perkawinan secara acak di antara anggota populasi lokal. Hal ini dibuktikan oleh sebagian besar nilai F IT lokus mikrosatelit dalam populasi lokal tidak menyimpang dari 0, yang berarti masih dalam keseimbangan Hardy-Weinberg (Tabel 13). Tampaknya pemisahan menjadi beberapa kelompok sosial di dalam satu populasi lokal tidak menghalangi terjadinya perkawinan acak. Menempati area yang sama (simpatrik) atau menempati area yang saling berdekatan antar kelompok sosial dalam satu populasi lokal merupakan faktor pendukung terjadinya kawin acak. Migrasi monyet jantan dari kelompok sosial satu ke kelompok sosial lain atau bahkan antar populasi lokal merupakan tingkah laku umum pada monyet ekor pajang

112 95 (Napier dan Napier 1985; Bennett et al. 1995). Faktor pendukung lainnya adalah rasio jantan dan betina dewasa yang cukup tinggi (1:2,3 Tabel 4). Diferensiasi genetik (F ST ) antar populasi lokal di dalam Pulau Lombok dan di dalam Kawasan Jawa Timur digolongkan rendah (F ST =0-0,05 tergolong rendah, klasifikasi Hartl dan Clark 1997). Rendahnya diferensiasi genetik ini (F ST =0,023 antar populasi lokal dalam Pulau Lombok, F ST =0,039 antar populasi lokal dalam Kawasan Jawa Timur, Tabel 14) mencerminkan adanya aliran genetik antar populasi lokal dalam satu pulau atau kawasan dan pola kawin acak. Aliran genetik akan menghomogenisasi variasi genetik antar populasi sehingga perbedaan genetik di antara populasi lokal menjadi rendah. Aliran genetik, yang dinyatakan sebagai jumlah migran yang masuk ke dalam populasi lokal per generasi (Nem), sebesar 11 ekor untuk populasi lokal di Pulau Lombok dan 6 ekor untuk populasi lokal Jawa Timur (Tabel 14) sudah melebihi besar Nem yang dipersyaratkan oleh Wright (1931). Nem minimum 1 ekor per generasi telah dapat mencegah erosi diversitas genetik populasi sebagai akibat random genetic drift (Wright 1931). Diferensiasi genetik populasi lokal di Pulau Bali (F ST =0,123) relatif lebih tinggi daripada F ST Pulau Lombok (0,023) dan Jawa Timur (0,039). Diferensiasi genetik sebesar 0,123 tergolong sedang atau moderat (F ST =0,05-0,15 tergolong moderat, klasifikasi Hartl dan Clark 1997). Penurunan heterosigositas yang lebih tinggi akibat pemecahan populasi menjadi beberapa populasi lokal di Pulau Bali dibandingkan dengan hal serupa di Pulau Lombok dan Jawa Timur dapat mengindikasikan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah pemecahan populasi monyet di Pulau Bali (PrBG, WwUB, SG, AK, PrUW, PrPL) lebih dahulu daripada di Pulau Lombok (PS, PrGP) dan di Jawa Timur (PgsAP, BmBL). Kemungkinan kedua adalah tingkatan isolasi antar populasi lokal di Pulau Bali lebih tinggi dibandingkan antar populasi lokal di Pulau Lombok dan Jawa Timur. Tingkatan isolasi akan mempengaruhi aliran genetik antar populasi. Dengan F ST 0,123 menghasilkan besar Nem lebih kurang 2 ekor per generasi. Besar Nem 2 ekor per generasi untuk populasi lokal di Pulau Bali jauh lebih redah dari Nem populasi lokal Pulau Lombok (11 ekor per generasi) dan Jawa Timur (6 ekor per generasi). Namun demikian, Nem 2 ekor per generasi sudah

113 96 memenuhi bahkan melebihi yang disyaratkan oleh Wright (1931) untuk mencegah kehilangan variasi genetik populasi akibat genetic drift. Diferensiasi genetik antar populasi lokal di Pulau Bali pada penelitian ini (F ST =0,123) relatif lebih tinggi dari nilai F ST (0,1024) antar troop monyet ekor panjang di Pulau Bali yang dilaporkan oleh Kawamoto et al. (1981). Tetapi F ST antar populasi lokal monyet ekor panjang Bali (0,123), Pulau Lombok (0,023), dan Jawa Timur (0,039) lebih rendah dari F ST antar populasi lokal di Jawa Barat (0,241) (Perwitasari-Farajallah 1999). Analisis diferensiasi genetik populasi lokal dengan menggabungkan seluruh kawasan atau pulau menunjukkan diferensiasi genetik populasi lokal yang tinggi (F ST =0,186) (F ST =0,15-0,25 tergolong tinggi, klasifikasi Hartl dan Clark 1997). Pemisahan populasi menjadi populasi pulau dan selanjutnya dalam pulau terbelah menjadi beberapa populasi lokal telah menurunkan keragaman sebesar 18,6% dari keragaman total jika populasi dalam keadaan bergabung. Kecenderungan penurunan keragaman genetik populasi ini diakibatkan oleh fragmentasi populasi dan efek isolasi. Jarak Genetik Antar Populasi Lokal Jarak genetik standar Nei akan mengukur banyaknya alel berbeda per lokus antar dua populasi. Apabila dua populasi memiliki jumlah dan frekuensi alel yang sama, maka jarak genetik kedua populasi D S = 0. Tetapi, jika kedua populasi tidak memiliki alel yang sama, maka jarak genetiknya D S = tak terhingga. Jadi, jarak genetik ini akan mengukur kedekatan struktur genetik populasi (jumlah alel dan frekuensinya). Hasil penelitian menunjukkan jarak genetik PS dan PrGP paling rendah di antara semua pasangan jarak genetik antar populasi lokal. Demikian pula, populasi lokal PgsAP memiliki kesamaan genetik tertinggi dengan populasi lokal BmBL. Kesamaan genetik yang tinggi pada PS- PrGP dan PgsAP-BmBL didukung oleh lokasinya di pulau yang sama yakni masing-masing di Pulau Lombok dan Jawa Timur sehingga memungkinkan adanya aliran genetik (Nem) yang tinggi sebagaimana data menunjukkannya. Rendahnya jarak genetik antar populasi lokal mungkin juga diakibatkan oleh pemisahannya yang belum lama.

114 97 Jarak genetik PS dan PrGP (Pulau Lombok) dengan populasi lokal yang ada di Pulau Bali memperlihatkan suatu pola terbatas dengan populasi lokal bagian timur dan tengah Bali. Peningkatan jarak genetik antar populasi lokal baik PS maupun PrGP (Pulau Lombok) dengan populasi lokal bagian timur dan tengah Pulau Bali selaras dengan peningkatan jarak lokasi antar populasi lokal (Tabel 15). Populasi lokal PrBG (bagian timur Bali) memiliki kesamaan genetik tertinggi dengan kedua populasi lokal di Pulau Lombok. Selanjutnya, jarak genetik kedua populasi lokal di Pulau Lombok tersebut meningkat berturut-turut dengan populasi lokal WwUB, SG, dan AK yang lokasinya berderet dari timur ke barat (lihat skema posisi lokasi Gambar 29). Jarak genetik kedua populasi lokal Pulau Lombok dengan populasi lokal PrUW (bagian selatan, Bali) tertinggi, sedangkan dengan PrPL (barat laut, Bali) relatif rendah mendekati jarak genetik dengan populasi lokal SG (tengah, Bali). Semenara, jarak genetik kedua populasi lokal Lombok dengan kedua popuasi lokal Kawasan Jawa Timur relatif tinggi meskipun lebih rendah dari jarak genetiknya dengan populasi lokal PrUW Bali (Tabel 15). Jarak genetik antar populasi lokal dalam Pulau Bali menampakkan pola yang tidak jelas. Jarak genetik beberapa pasangan populasi lokal tidak sesuai dengan jarak antar lokasinya. Populasi lokal WwUB memiliki kedekatan genetik lebih tinggi dengan AK daripada dengan SG (Tabel 15) padahal posisi WwUB lebih dekat dengan SG (±8 km) daripada dengan AK (±12,5 km, lihat skema posisi lokasi Gambar 29). Berdasarkan lokasinya, jarak AK-PrBG (±51 km) lebih jauh dari jarak SG-PrBG (±47 km) atau WwUB-PrBG (±41 km), tetapi jarak genetik dua pasangan terakhir lebih tinggi daripada pasangan AK-PrBG (Tabel 15). Jarak genetik antar populasi lokal Bali dangan Jawa Timur menunjukkan pola yang tidak jelas. Beberapa pasangan jarak genetik antar populasi lokal memperlihatkan keganjilan. Populasi lokal PrPL yang posisinya paling dekat dengan Jawa Timur (lihat skema posisi lokasi Gambar 29) memiliki jarak genetik 1,5-2 kali lebih tinggi daripada jarak genetik populasi lokal PrBG (populasi lokal terjauh dari Jawa Timur) dengan kedua populasi lokal Jawa Timur (PgsAP dan BmBL). Demikian pula, jarak genetik populasi lokal PrBG dengan kedua

115 98 populasi lokal Jawa Timur lebih rendah daripada jarak genetik populasi lokal SG atau PrUW dengan kedua populasi lokal Jawa Timur tersebut (Tabel 15), padahal lokasi PrBG lebih jauh daripada lokasi SG atau PrUW ke Kawasan Jawa Timur. Meskipun ketidakselarasan terjadi antara jarak genetik bersanding dengan letak lokasi populasi lokal terutama dalam Pulau Bali, secara keseluruhan, keselarasan jarak genetik bersanding dengan letak geografi ditemukan pada tingkatan pulau. Rataan pasangan jarak genetik populasi Jawa Timur dengan Pulau Lombok lebih tinggi daripada rataan pasangan jarak genetik populasi Jawa Timur dengan Bali atau populasi Bali dengan Lombok (Tabel 16). Rataan jarak genetik populasi antar pulau yang semakin meningkat ke arah timur dengan populasi di Jawa (sebagai awal) seirama dengan penyebarannya di kepulauan selatan Indonesia yang berjalan dari barat ke timur. Ketidakselarasan jarak genetik bersanding dengan letak lokasi di dalam Pulau Bali mencerminkan jarak genetik tidak terkait dengan jarak lokasi antar populasi lokal. Perbedan genetik mungkin lebih berkaitan dengan sejarah penyebaran dan kolonisasi dalam pulau. Jarak genetik antar populasi akan dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi ukuran populasi efektif, aliaran genetik (migrasi), pola perkawinan, laju mutasi, seleksi alam, dan genetik drift. Dalam kaitan dengan mikrosatelit, seleksi tampaknya tidak menjadi faktor yang berpengaruh karena penanda molekul ini pada umumnya bersifat netral (Rogers et al. 2005). Populasi dengan ukuran populasi efektif rendah (<50 ekor), tiadanya migrasi, dan pola kawin tidak acak antar anggota akan mengalami fluktuasi frekuensi alel yang tinggi. Genetic drift pun akan semakin nyata pada populasi yang demikian. Perubahan frekuensi alel yang berlanjut dari generasi ke generasi menyebabkan struktur genetik populasi akan semakin berbeda dari stuktur genetik awal. Perubahan frekuensi alel dalam populasi merupakan bukti telah terjadinya evolusi biologi (Campbell et al. 2006). Dendogram (Gambar 28) menunjukkan populasi lokal dalam Pulau Bali tidak terkelompokkan dalam satu grup, sedangkan populasi lokal dalam Pulau Lombok dan Jawa Timur masing-masing berada dalam satu grup. Populasi lokal SG yang lokasinya dekat dengan WwUB dan AK (Gambar 29) tidak berada pada grup yang sama. Pengelompokan ini meyakinkan bahwa populasi lokal Bali

116 99 berasal dari kelompok yang bereda-beda selama kisah penyebarannya dari Jawa ke Pulau Bali. Populasi lokal PS dan PrGP (Pulau Lombok) dan PgsAP dan BmBL (Jawa Timur) kemungkinan besar belum lama terpisah, jika tidak, adanya monyet migran yang masuk ke populasi lokal dengan jumlah yang cukup sehingga perbedaan genetik antar populasi rendah. Frankham et al. (2004) mengelompokkan jarak genetik standar Nei, D S =0,03 sebagai populasi yang terpisah secara geografi, D S =0,23 sebagai subspesies, dan Ds=1,21 sebagai spesies berbeda pada suat penelitian Drosophila willistoni. Hasil penelitian menunjukkan, secara rataan, jarak genetik populasi lokal Kawasan Jawa Timur dengan populasi lokal Pulau Bali dan Pulau Lombok lebih tinggi dari 0,23 (Tabel 16). Selain itu, semua pasangan jarak genetik populasi lokal antar kawasan atau pulau tersebut nilainya melebihi 0,23. Sementara, jarak genetik populasi lokal Pulau Bali dengan Pulau Lombok, secara rataan, juga melebihi 0,23. Namun, hampir separuh pasangan jarak genetik antar populasi dua pulau tersebut ditemukan dengan nilai sama atau lebih rendah dari 0,23 (Tabel 15). Dengan menggunakan standar Frankham et al. (2004), dapat dinyatakan populasi monyet ekor panjang Bali atau Pulau Lombok telah berbeda secara genetik dari populasi monyet ekor panjang Jawa Timur (Jawa). Simpulan 1. Keragaman genetik populasi lokal monyet ekor panjang Kawasan Jawa Timur lebih tinggi daripada keragaman genetik populasi lokal Pulau Bali, dan keragaman genetik populasi lokal Pulau Bali lebih tinggi daripada yang ditemukan di populasi lokal Pulau Lombok. 2. Penurunan keragaman genetik sebagai akibat pemisahan populasi pulau menjadi populasi lokal di dalam Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok digolongkan rendah sampai moderat, sedangkan penurunan keragaman genetik akibat pemisahan populasi monyet ekor panjang menjadi populasi pulau (Jawa, Bali, dan Pulau Lombok) dan selanjutnya menjadi populasi lokal dalam pulau digolongkan tinggi.

117 Anggota populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok, secara umum, masih menunjukkan pola perkawinan acak. 4. Jarak genetik antara populasi monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur dan Pulau Bali lebih tinggi dibandingkan dengan jarak genetik antara populasi monyet ekor panjang di Pulau Bali dan Pulau Lombok.

118 Pembahasan Umum 101 Struktur Populasi, Keragaman Fenotipe Kualitatif, dan Keragaman Genetik Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok Penelitian cross secional dan eksploratif yang telah dilakukan menghasilkan data struktur populasi lokal yang sangat beragam. Hal ini dicirikan oleh nilai koefisien keragaman yang cukup tinggi pada semua parameter struktur populasi yang dihitung (Tabel 3). Keberagaman ini bukan merupakan sesuatu yang keliru melainkan suatu bukti bahwa berbagai faktor ikut terlibat dalam populasi sehingga menimbulkan perbedaan dinamika antar populasi. Faktor seperti luas habitat, derajat isolasi populasi lokal, dan pemberian pakan tambahan akan mempengaruhi struktur suatu populasi. Selain itu, sejarah kolonisasi dan pemisahan populasi, serta faktor stokastik baik bersifat internal maupun eksternal juga akan mempengaruhi pembentukan struktur populasi. Variasi kombinasi dan intensitas faktor-faktor tersebut yang bekerja dalam suatu populasi akan melahirkan struktur populasi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Hasil penelitian menunjukkan setiap populasi lokal di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok memiliki pola komposisi umur populasi yang normal (Gambar 5). Jumlah monyet anakan dan muda yang melebihi jumlah monyet betina atau jantan dewasa memberikan gambaran kondisi reproduksi monyet pada populasi lokal dalam keadaan baik. Kondisi ini merupakan satu faktor yang mendukung kestabilan populasi lokal bertahan hidup di habitatnya mulai dari beberapa tahun sebelumnya sampai kini. Komposisi umur populasi tersebut juga menjamin keberlangsungan hidup populasi lokal pada habitatnya cukup aman ke depan. Parameter struktur populasi yang sangat penting dalam genetika populasi adalah ukuran populasi efektif (Ne) (Nozawa et al. 1996; Ciofi & Bruford 1999; Frankham et al. 2004). Banyak cara untuk menghitung ukuran populasi efektif, namun pada penelitian ini menggunakan rumus dari Nozawa et al. (1996), karena semata-mata rumus tersebut telah digunakan pada monyet Jepang (M. fuscata). Hasil penelitian menunjukkan ukuran populasi efektif di beberapa populasi lokal

119 102 di bawah 50 ekor (Tabel 4). Besaran ini cukup mengkhawatirkan untuk kelangsungan hidup populasi. Secara simulasi, populasi dengan Ne 50 ekor, dengan asumsi jumlah populasi tetap, akan kehilangan keragaman genetik 10% dalam sepuluh generasi (Frankham et al. 2004). Di lain pihak, hasil penelitian juga menunjukkan aliran genetik ke dalam populasi lokal cukup tinggi (melebihi yang disyaratkan Wright 1931, satu ekor per generasi). Karena tidak ada informasi yang menyatakan tidak ada populasi lain di sekitar populasi lokal yang diamati, ancaman keberlangsungan hidup populasi lokal dengan Ne di bawah 50 ekor tidak perlu dicemaskan. Erosi keragaman genetik populasi akan dicegah oleh adanya monyet migran. Keragaman genetik populasi dapat didekati dengan beberapa cara. Salah satunya adalah menggunakan penanda fenotipe kualitatif, tetapi yang terbaik adalah menggunakan penanda molekul yang langsung ke materi genetik (DNA). Satu kelemahan fenotipe kualitatif sebagai penanda keragaman genetik adalah penentuan polimorfisme dan pola pewarisannya dari generasi ke generasi (Nozawa et al. 1996). Kemungkinan besar benar bahwa keragaman fenotipe kualitatif lebih banyak dipengaruhi oleh keragaman genetik. Namun, proses epigenetik terhadap pemunculan suatu karakter tidak bisa diabaikan. Akan menjadi keliru dalam penyimpulan apabila perbedaan karakter yang teramati langsung dinyatakan sebagai perbedaan genetik. Bisa jadi, perbedaan karakter diakibatkan oleh proses epigenetik sementara struktur genetiknya sama (Kawamoto et al. 1984). Terlepas dari kelemahan fenotipe kualitatif sebagai penanda keragaman genetik, banyak peneliti justru menggunakannya untuk pertimbangan klasifikasi suatu spesies atau subspesies (Melnick & Kidd 1985; Fooden 1995). Timbulnya perubahan pada fenotipe kualitatif, seperti perubahan warna rambut, sering membutuhkan waktu adaptasi yang cukup lama. Fenotipe kualitatif yang diamati pada penelitian ini belum menampakkan perubahan yang bermakna di antara populasi monyet ekor panjang Jawa Timur, Bali, dan Pulau Lombok. Beberapa karakter yang hanya ditemukan di populasi lokal tertentu belum bisa digunakan sebagai pembeda antar populasi pulau karena distribusinya terbatas dan keberadaannya sangat sedikit. Kelas fenotipe warna mahkota, warna rambut

120 103 punggung, warna rambut paha leteral, warna kulit abdomen, dan jambul menunjukkan pola distribusi frekuensi relatif sama antar populasi Jawa Timur, Bali dan Pulau Lombok. Sementara, pola distribusi karakter fenotipe pusaran kepala menunjukkan sedikit perbedaan antar populasi lokal. Namun, karakter yang menjadi modus di populasi lokal satu juga ditemukan di semua populasi lokal lainnya dengan frekuensi tinggi meski bukan sebagai modus. Sebagai contoh, karakter tanpa pusaran kepala menjadi modus di populasi lokal PrPL. Karakter ini juga ditemukan sebagai modus di populasi lokal lain, kecuali pada AK, PgsAP, dan BmBL. Belum adanya informasi mengenai keterlibatan beberapa alel atau gen dan interaksinya dalam memunculkan karakter fenotipe kualitatif tersebut (polimorfisme genetik) dan pola pewarisannya dari generasi ke generasi menyulitkan untuk mendiskusikan perbedaan pola distribusi frekuensi tersebut. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa populasi monyet ekor panjang Jawa (dalam hal ini Jawa Timur), Bali, dan Pulau Lombok masih menampakkan fenotipe kualitatif yang sama. Berbeda dengan fenotipe kualitatif, keragaman alel mikrosatelit lebih mencerminkan keragaman genetik, karena mikrosatelit merupakan bagian dari materi genetik itu sendiri (DNA). Penanda molekul mikrosatelit, bahkan, dinyatakan lebih memberikan kepastian terhadap suatu struktur genetik populasi dibandingkan dengan menggunakan penanda molekul protein (Morin et al. 1997). Adanya perbedaan pola distribusi alel suatu lokus mikrosatelit di antara populasi lokal menunjukkan penanda molekul mikrosatelit sangat baik untuk mengungkapkan perubahan-perubahan struktur genetik populasi (evolusi biologi). Sampai saat ini, belum ada patokan mengenai tinggi keragaman genetik populasi dikategorikan aman atau terancam. Tetapi, beberapa ahli menyatakan bahwa keragaman genetik populasi rendah akan meningkatkan peluang pemunculan alel letal dan menurunkan potensial evolusi (Frankham et al. 2004; Klug & Cummings 2005). Sementara, Avise (1994) menyatakan bahwa keragaman genetik populasi bukan merupakan penyebab melainkan akibat dari suatu proses yang terjadi di populasi tersebut. Cukup menjadi jelas bahwa

121 104 melalui pengungkapan struktur genetik populasi akan dapat diperkirakan apa yang telah terjadi sebelumnya dan diramalkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Hasil penelitian menunjukkan keragaman genetik populasi monyet ekor panjang Jawa Timur, Bali, dan Pulau Lombok relatif berbeda. Ada kecenderungan penurunan rataan alel perlokus dan rataan heterosigositas populasi dari barat (Jawa Timur sebagai awal) ke timur (Gambar 16 dan 26). Pada tingkat pulau, rataan pasangan jarak genetik (D S ) populasi pulau cenderung meningkat dari barat ke timur. Rataan jarak genetik populasi monyet ekor panjang Jawa Timur dengan populasi Bali lebih rendah daripada rataan jarak genetik populasi Jawa Timur dengan populasi Pulau Lombok. Sementara, rataan jarak genetik populasi Jawa Timur dengan populasi Bali lebih tinggi daripada yang ditemukan antara populasi Bali dan Pulau Lombok (Tabel 16). Semua perbedaan tersebut tampaknya berkaitan dengan sejarah penyebaran monyet ekor panjang di kepulauan selatan Indonesai. Dalam sejarah penyebarannya, monyet ekor panjang Jawa yang diyakini sebagai pusat penyebaran bergerak ke timur menuju pulau yang berada di sebelah timur Pulau Jawa. Jarak genetik yang lebih rendah antara populasi Bali-Pulau Lombok dibandingkan dengan populasi Jawa Timur-Bali dapat mengindikasikan monyet Jawa migrasi ke Pulau Bali lebih awal daripada perpindahannya dari Pulau Bali ke Pulau Lombok. Filogeografi Monyet Ekor Panjang Jawa Timur, Bali, dan Lombok Filogeografi adalah studi terhadap prinsip-prinsip dan proses yang mempengaruhi distribusi geografi suatu populasi dan turunannya (Avise 1995). Sejarah penyebaran monyet ekor panjang ke Pulau Bali dan kepulauan di sebelah timur garis Wallace banyak dibahas oleh Fooden (1995). Diskenariokan bahwa monyet ekor panjang Jawa (sebagai sumber) migrasi langsung ke Pulau Bali lebih dari 18 ribu tahun yang lalu. Pulau Bali dengan Pulau Jawa yang dipisahkan oleh selat dangkal (lebar ±3 km dengan kedalaman maksimum ±65 m) menyatu beberapa kali saat penurunan permukaan air laut. Penyatuan terakhir kedua pulau terjadi pada periode glasiasi maksimum terakhir 18 ribu tahun yang lalu saat penurunan permukaan air laut mencapai ±120 meter dari permukaan yang sekarang. Penyatuan terjadi sampai ±5 ribu tahun yang lalu dan selanjutnya

122 105 terpisah karena peningkatan air laut. Sementara, Pulau Lombok yang dipisahkan dengan Pulau Bali oleh selat dalam (lebar ±34 km dengan sebagian besar kedalamannya melebihi 120 m) tidak menyatu saat glasiasi maksimum terakhir. Penyebaran monyet ekor panjang ke Pulau Lombok atau ke kepulauan sebelah timurnya menjadi tidak jelas, tetapi introduksi manusia diyakini sebagai modus kepindahannya yang dimulai 4,5 ribu tahun yang lalu. Hasil penelitian memperlihatkan pola distribusi frekuensi alel pada populasi lokal bervariasi. Berdasarkan pada pola distribusi frekuensi alel di Pulau Bali, dapat diduga bahwa sedikitnya ada empat kelompok berbeda yang migrasi selama sejarah penyebaran monyet ekor panjang dari Jawa ke Bali. Kelompok pertama dengan penciri alel d4s243 l, yang kini ditemukan hanya pada populasi lokal SG dengan frekuensi 0,44 (alel privat, Gambar 22), kelompok kedua dengan penciri alel d4s243 h yang kini frekuensi tertinggi ditemukan pada populasi lokal PrPL 0,23 (Gambar 22), kelompok ketiga dengan penciri alel d4s2456 h yang sekarang frekuensi tertinggi ditemukan pada PrBG atau WwUB masing-masing 0,23 (Gambar 23), dan kelompok keempat dengan penciri alel d3s1768 f yang kini frekuensi tertinggi ditemukan di PrUW (Gambar 21). Dendogram pada Gambar 28 juga mendukung hal ini. Meskipun populasi lokal PrPL dan SG ditempatkan dalam satu grup, kedua populasi lokal berbeda secara genetik, karena adanya alel privat yang hanya ditemukan di populasi lokal SG. Monyet ekor panjang Jawa mungkin migrasi beberapa kali ke Pulau Bali seirama dengan kisah penyatuan dan pemisahan kedua pulau seperti dilansir oleh Fooden (1995). Monyet ekor panjang yang ada di Pulau Bali, pada tahap selanjutnya, mengalami pemisahan dan atau penggabungan beberapa kelompok kecil sehingga terbentuk populasi lokal seperti yang ada kini. Perpindahan anggota antar populasi lokal dibuktikan dengan penemuan alel penciri populasi, kecuali alel d4s243 l, di populasi lokal lain dengan frekuensi rendah. Selain itu, diferensiasi genetik (F ST ) antar populasi lokal di Pulau Bali yang moderat mengindikasikan adanya aliran genetik (perpindahan anggota) antar populasi (Gambar 27). Penyebaran monyet ke Pulau Lombok menjadi kurang jelas karena masih terpisahnya dengan Pulau Bali saat glasiasi maksimum yang terakhir. Dendogram menggambarkan bahwa populasi lokal Pulau Lombok lebih mendekati kelompok

123 106 PrBG-AK-WwUB (Gambar 28). Distribusi alel juga memperlihatkan bahwa semua alel yang ada di Pulau Lombok ditemukan di Pulau Bali, kecuali alel d4s243 a. Penelitian saat ini tidak menemukan alel d4s243 a di Pulau Bali kemungkinan berkaitan dengan random sampling. Alel d4s243 a ditemukan di populasi lokal PgsAP dan BmBL Jawa Timur tetapi dengan frekuensi cukup rendah (<0,10). Dapat disimpulkan bahwa monyet ekor panjang di Pulau Lombok berasal dari monyet ekor panjang di Pulau Bali. Monyet ekor panjang di Pulau Lombok dapat berasal dari populasi mana saja di Pulau Bali, tetapi yang terbanyak mungkin dari populasi lokal PrBG. Di lain pihak, Fooden (1995) menyatakan bahwa monyet Lombok dapat berasal dari lokasi dimana saja di Pulau Bali dan Pulau Jawa. Cara perpindahan yang paling mungkin untuk pola seperti itu adalah introduksi manusia. Sebagaimana monyet ekor panjang di Pulau Lombok dapat berasal dari berbagai populasi lokal di Pulau Bali, maka intruduksinya ke Pulau Lombok pun mungkin terjadi lebih dari sekali. Introduksi monyet ekor panjang ke Pulau Lombok terjadi lebih belakangan daripada migrasinya dari Pulau Jawa ke Pulau Bali. Hal ini ditandai oleh jarak genetik populasi Bali dengan Pulau Lombok lebih kecil daripada jarak genetik populasi Jawa Timur dengan Bali. Fooden (1995) melansir bahwa migrasi monyet ekor panjang dari Jawa ke Pulau Bali kemungkinan dimulai sebelum 18 ribu tahun yang lalu, sedangkan intruduksi monyet ekor panjang ke Pulau Lombok dimulai sekitar 4,5 ribu tahun yang lalu. Sementara, populasi lokal yang ada di masing-masing Kawasan Jawa Timur dan Pulau Lombok tampaknya mengalami pemisahan belum lama. Ini dicirikan oleh kesamaan genetik yang tinggi antar populasi lokal sekawasan atau sepulau. Diferensiasi genetik yang rendah antar populasi sekawasan juga mengindikasikan pemisahan yang belum lama. Jika tidak, aliran genetik yang tinggi antar populasi lokal mesti terjadi untuk menghilangkan kesenjangan genetik antar populasi lokal. Untuk mengkonfirmasi lebih lanjut mengenai sejarah penyebaran monyet ekor panjang (filogeografi) baik di Pulau Jawa, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok atau bahkan pulau lain di sebelah timur Pulau Lombok, perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan penanda DNA mitokondria yang pewarisannya

124 107 dari pihak induk betina dan atau kromosom Y yang pewarisannya dari pejantan. Kombinasi beberapa penanda molekul tentu menghasilkan data yang lebih komplit. Spesiasi Alopatrik Spesiasi alopatrik adalah proses pembentukan spesies baru atau subspesies pada populasi yang menempati kawasan berbeda (alopatrik, Avise 1994). Dalam hal M. fascicularis, primotolog tampaknya belum menyepakati jumlah subspesiesnya. Sody (1949) mengelompokkan monyet ekor panjang Jawa, Bali, dan Pulau Lombok sebagai subspesies berbeda berturut-turut M. f. mordax, M. f. submordax, dan M. f. sublimiatus. Sedangkan Supriatna dan Wahyono (2000) menempatkan monyet ekor panjang Jawa, Bali, dan Pulau Lombok ke dalam subspesies yang sama yaitu M. f. fascicularis. Di pihak lain, kepastian mengenai besaran jarak genetik antar populasi untuk dapat dikelompokkan sebagai populasi berbeda (subspesies) belum ditemukan. Namun, Frankham et al. (2004) mengelompokkan jarak genetik standar Nei, D S =0,03 sebagai populasi yang terfragmentasi, D S =0,23 sebagai subspesies, dan Ds=1,21 sebagai spesies berbeda. Meskipun besaran tersebut untuk pengelompokkan Drosophila willistoni dengan penanda molekul isozim, nilai tersebut akan digunakan sebagai patokan untuk diskusi pada penelitian ini. Pengamatan karakter fenotipe monyet ekor panjang Jawa Timur, Bali, dan Pulau Lombok lebih banyak menunjukkan kesamaan dari perbedaan. Analisis korespondensi memperlihatkan semua populasi lokal mendekati titik sumbu meskipun pada pengujian lingkaran dengan selang kepercayaan 95% terdapat beberapa populasi lokal yang tidak nyata mendekati sumbu. Perbedaan karakter fenotipe ini lebih mencerminkan kepemilikan populasi lokal ketimbang mewakili populasi pulau karena frekuensinya yang rendah dan tidak terdistribusi merata pada populasi lokal lain di pulau yang sama. Proses spesiasi monyet ekor panjang karena isolasi geografi (Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok) tampaknya belum menunjukkan perubahan yang bermakna pada morfologi eksternalnya. Pernyataan yang mengatakan bahwa monyet ekor panjang Jawa, Bali, dan

125 108 Lombok masih tergolong dalam satu subspesies, M. f. fascicularis, dapat diterima. Analisis jarak genetik antar populasi lokal monyet ekor panjang di Pulau Lombok, Pulau Bali, dan Jawa (dalam hal ini Jawa Timur) menunjukkan jarak genetik populasi lokal Pulau Lombok dengan Jawa melebihi 0,23 (syarat jarak genetik untuk menjadi subspesies oleh Frankham et al. 2004). Seperti yang ditampilkan pada Tabel 16, jarak genetik populasi Jawa Timur dengan populasi Pulau Lombok sebesar 0,432, dan tidak ada satu pun pasangan jarak genetik antar populasi lokal ke dua pulau kurang dari 0,23 (Tabel 15). Berdasarkan pada jarak genetik ini dapat diterima bahwa monyet ekor panjang Jawa berbeda dengan monyet ekor panjang Lombok, atau monyet ekor panjang Jawa dan Lombok mungkin sudah menjadi dua subspesies yang berbeda. Hal serupa juga terjadi untuk monyet ekor panjang Jawa Timur dengan Bali. Secara rataan, jarak genetik populasi Jawa Timur dengan Bali sebesar 0,336, dan semua pasangan jarak genetik populasi lokal Jawa Timur dengan Bali melebihi 0,23 dengan kisaran 0,253-0,570 (Tabel 15 ). Pernyataan yang mengatakan monyet ekor panjang Jawa dengan Bali berbeda bisa diterima. Perbedaan antara monyet ekor panjang Bali dengan Pulau Lombok perlu mendapatkan penekanan meskipun, secara rataan, jarak genetik populasi Bali dengan Pulau Lombok (0,258) melebihi 0,23. Penghitungan jarak genetik memperlihatkan ada sejumlah pasangan jarak genetik yang cukup rendah antara populasi lokal Bali dengan Pulau Lombok. Pada Tabel 15 dapat dilihat jarak genetik PS-PrBG 0,178, PS-WwUB 0,228, PrGP-PrBG 0,151, PrGP-WwUB 0,193, dan PrGP-PrPL 0,216 sama atau lebih rendah dari yang dipersyaratkan sebagai subspesies (0,23). Populasi PrBG, WwUB, dan PrPL mewakili posisi lokasi bagian timur, tengah, dan barat laut Pulau Bali. Ini berarti, posisinya tersebar di Pulau Bali. Kondisi ini menghantarkan pernyataan yang mengatakan monyet ekor panjang Bali belum berbeda dengan monyet ekor panjang Pulau Lombok tidak bisa ditolak. Selanjutnya, pernyataan bahwa monyet ekor panjang Jawa sebagai M. f. mordax dan monyet Bali sebagai M. f. submordax dapat diterima. Namun, pengelompokan monyet ekor panjang Pulau Lombok sebagai subspesies berbeda (M. f. sublimiatus) dari monyet Bali (M. f. submordax) belum

126 109 didukung oleh data jarak genetik jika menggunakan patokan yang dilansir oleh Frankham et al. (2004) untuk suatu pengelompokan Drosophila willistoni dengan penanda molekul isozim. Keragaman Genetik Sebagai Basis Pengelolaan Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang Konservasi bukan saja mengandung pengertian melestarikan tetapi juga pemanfaatan hewan bagi kepentingan manusia secara lestari (Alikodra, 2002). Pengingkaran isu genetik dalam sebuah managemen spesies terutama spesies terancam sering membuahkan managemen yang suboptimum dan dalam beberapa kasus menjadi keputusan yang menghancurkan. Sebelum tindakan konservasi diambil, langkah awal yang perlu dilakukan adalah penentuan status struktur genetik populasi sehingga dapat diputuskan pengelolaannya sebagai unit managemen berbeda atau tidak (Frakham et al. 2004). Itulah beberapa kutipan pendapat para ahli konservasi yang sangat relepan sehubungan dengan langkahlangka konservasi in situ. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama biologi molekuler telah mampu mengidentifikasi varian genetik suatu individu atau kelompok. Keragaman genetik ini memfasilitasi pendekatan yang lebih akurat mengenai dinamika suatu populasi dan peramalan nasib suatu spesies dikemudian hari. Dengan kata lain, data struktur genetik sangat membantu dalam managemen konservasi suatu spesies baik individu atau kelompok. Adanya keterkaitan keragaman fenotipe (karakter kualitatif dan kuantitatif) tertentu dengan keragaman genetik, maka identifikasi individu untuk karakter tertentu dapat digunakan untuk menduga keragaman genetik yang ada. Kesulitan mendeteksi pola penurunannya dan banyak faktor non genetik yang mempengaruhi penampilannya merupakan kelemahan dari data fenotipe. Meskipun demikian, data fenotipe dapat dijadikan pelengkap dan alternatif manakala data keragaman genetik langsung di tingkat genom belum ada, sudah tentu dengan interpretasi yang hati-hati. Karakter fenotipe tertentu yang ditemukan dengan jumlah banyak dalam suatu populasi lokal dapat dijadikan kekhasan pada poplasi lokal tersebut, seperti di Pulaki (Bali) banyak ditemukan

127 110 individu tanpa jambul. Kekhasan ini dapat memberi nilai estetika tersendiri dan seyogyanya dikelola sebagai unit managemen yang berbeda. Apabila populasi lokal di JawaTimur sebagai representasi sumber genetik populasi karena mampu mempertahankan keragaman genetik tinggi pada populasi lokal, maka populasi lokal di Pulau Bali sudah mengalami penurunan keragaman genetik (dari H=0,653 Jawa menjadi H=0,580 Bali). Terlebih lagi populasi lokal di Pulau Lombok mengalami penurunan keragaman genetik yang lebih tinggi (dari H=0,653 Jawa menjadi H=0,481 Lombok). Rendahnya diferensiasi genetik antar populasi lokal dalam pulau dan masih adanya pola kawin acak antar anggota dalam populasi lokal merupakan sesuatu yang menggembirakan. Meskipun parameter genetika populasi tersebut menjamin keberlangsungan hidup populasi, populasi lokal di Pulau Lombok mesti mendapatkan perhatian agar penurunan keragaman genetik di masa mendatang tidak terjadi. Salah satu usaha penguatan struktur genetik adalah melalui pemasukan anggota baru. Pengelompokan populasi lokal berdasarkan jarak genetik menggunakan metode UPGMA memperlihatkan populasi lokal Pulau Lombok memiliki kedekatan genetik dengan populasi lokal di Bukit Gumang (PrBG, Bali). Jika dilakukan introduksi monyet ekor panjang ke Pulau Lombok, monyet yang diintroduksi semestinya diambilkan dari populasi Bukit Gumang (PrBG, Bali). Berdasarkan pada data yang ditemukan, keberadaan populasi monyet Bali cukup aman. Meskipun keragaman genetik mengalami penurunan jika dibandingkan dari sumbernya (populasi lokal di Jawa), diferensiasi genetik antar populasi masih tergolong sedang. Hal ini mengindikasikan adanya imigran ke populasi lokal setiap generasinya. Pemantauan atau monitoring variabilitas genetik secara reguler juga perlu dilakukan untuk mengetahui penurunan keragaman genetik sedini mungkin, seperti menganalisis kembali struktur genetik setiap 4-5 generasi (20-25 tahun). Khusus populasi lokal Sangeh (Bali) mesti dikelola sebagai unit berbeda. Adanya alel privat d4s243 l memberikan keunikan pada populasi lokal Sangeh. Pengeluaran salah satu anggota populasi Sangeh untuk dipindahkan ke lokasi lain mesti sangat berhati-hati. Pemindahan secara artifisil alel privat ini ke populasi

128 111 lainnya akan menghilangkan keunikan populasi lokal Sangeh. Populasi Sangeh dapat menerima migran dari populasi lain karena tidak akan mengubah keunikan struktur genetiknya. Daya dukung habitat terhadap pertumbuhan populasi lokal sangat terbatas terlebih habitat yang terletak di tengah-tengah daerah pemukiman atau pertanian seperti Sangeh (SG), Alas Kedaton (AK), dan Ubud (WwUB). Pertumbuhan populasi yang melebihi daya dukung habitat menimbulkan hal yang kurang baik. Kenyamanan yang semakin berkurang karena kelebihan anggota populasi mendorong beberapa anggota keluar dari habitat alami ke daerah sekitarnya. Monyet yang berada di luar habitat alaminya berdampak kurang baik kepada masyarakat sekitar. Perluasan habitat merupakan solusi terbaik untuk dapat menampung laju pertumbuhan populasi. Namun, alternatif ini sangat sulit diterapkan karena keterbatasan lahan yang ada. Relokasi beberapa individu merupakan alternatif terbaik kedua. Relokasi monyet hendaknya dilakukan secara selektif pula, sehingga tidak menghilangkan varian genetik khas populasi atau kekhasan karakter fenotipe populasi. Untuk mencegah efek founder dan tekanan silang dalam pada area baru, ada baiknya relokasi dilakukan bersama dari beberapa lokasi. Alternatif ketiga adalah pemanfataan kelebihan anggota populasi untuk pengembangan pengetahuan. Penggunaan monyet ekor panjang sebagai hewan model telah banyak dilakukan. Penempatan kelebihan anggota populasi lokal pada berbagi pusat penangkaran merupakan pilihan yang perlu dipertimbangkan terkait dengan pemanfaatannya dalam berbagai penelitian. Muara dari pilihan ini adalah peningkatan kesejahteraan umat manusia. Sebelum alternatif ketiga ini dilaksanakan, berbagai kajian perlu dilakukan secara mendalam sehingga tidak menimbulkan kerugian baik terhadap kelangsungan hidup populasi maupun masyarakat setempat.

129 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Hasil analisis keragaman dan jarak genetik menggambarkan pola migrasi (penyebaran) monyet ekor panjang di Arkipelago Selatan Indonesia berjalan dari barat ke timur dengan Pulau Jawa sebagai pusat penyebaran. 2. Kondisi struktur populasi (komposisi umur) dan keragaman genetik menjamin keberlangsungan hidup populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok. 3. Monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok, secara umum, masih menunjukkan fenotipe kualitatif yang sama. Namun, secara genetik (dengan penanda molekul mikrosatelit), monyet ekor panjang di Pulau Bali lebih dekat dengan monyet ekor panjang di Pulau Lombok daripada dengan monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur. Saran 1. Kebijakan konservasi monyet ekor panjang di Pulau Jawa, Pulau Bali, dan Pulau Lombok seyogyanya didasarkan pada karakteristik fenotipe dan genetik populasi, seperti mempertahankan kekhasan fenotipe (anggota tanpa jambul kepala) pada populasi lokal monyet ekor panjang di Pulaki (Bali) dan mempertahankan keunikan genetik (alel privat) populasi lokal di Sangeh (Bali). 2. Pemantauan keragaman genetik populasi lokal perlu dilakukan untuk mencegah erosi genetik di masa mendatang. Salah satu caranya adalah reanalisis struktur dan keragaman genetik populasi lokal yaitu setiap empat atau lima generasi (20-25 tahun) untuk mengetahui kestabilan populasi dan penurunan keragaman genetik sedini mungkin. Informasi tersebut akan membantu dalam pemilihan langkah konservasi selanjutnya.

130 DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. YPFK. Bogor. Avise JC Molecular Markers, Natural History, and Evolution. Chapman and Hall Inc. New York. Ayliffe MA, Lawrence GJ, Ellis JG, Pryor AJ Heteroduplex molecules formed between allelic sequences cause nonparental RAPD bands. Nucleic Acids Research. 22(9): Becker JM, Caldwell GA, Zachgo EN Biotechnology. A Laboratory Course. 2 nd ed. Academic Press. San Diego, New York. Bennett BT, Abee CR, Henrickson R Nonhuman Primates in Biomedical Research. Biology and Management. Academic Press. San Diego, New York. Bonhomme M, Blancher A, Crouau-Roy B Multiplexed microsatellite for rapid identification and characterization of individuals and populations of Cercopithecidae. American Journal of Primatology. 67: Bowcock AM, Ruiz-Linares A, Tomfohrde J, Minch E, Kidd JR, Cavalli-Sforza LL High resolution of human evolutionary trees with polymorphic microsatellites. Nature. Vol. 368: Brown TA Genomes. John Wiley & Sons (ASIA) PTE Ltd. Singapore. Brunner PC, Douglas MR, Bernatchez L Microsatellite and mitochondrial DNA assessment of population structure and stocking effects in Arctic char Salvelinus alpinus (Teleostei: Salmonidae) from central Alpine lakes. Molecular Ecology. 7: Campbell NA, Reece JB, Taylor MR, Simon EJ Biology. Concepts and Connections. International Edition. 5 th edition. Pearson Education, Inc., publishing as Benjamin Cummings. USA. Chiarelli AB Taxonomic Atlas of Living Primates. Academic Press. London and New York. Ciofi C & Bruford MW Genetic structure and gene flow among Komodo dragon population inferred by microsatellite loci analysis. Molecular Ecology. 8: S17-S30. Comas D, Calafell F, Mateu E, Peres-Lezaun A, Bertranpetit J Geographic variation in human mitochondrial DNA control region sequence: The population history of Turkey and its relationship to the European populations. Mol. Biol. Evol. 13(8): Cooper SJB, Bull CM, Gardner MG Characterization of microsatellite loci from socially monogamous lizard Tiliqua rugosa using a PCR-based isolation technique. Molecular Ecology. 6: Cox B & Moore PD Biogeography. An ecological and evolutionary Approach. Sixth edition. Blackwell Science Ltd. USA. Davis L, Kuehl M, Buttly J Basic Methods in Molecular Biology. 2 nd Ed. Appleton and Lange, Nor Walk, Connecticut. USA. Dolhinow P & Fuentes A The Nonhuman Primates. Myfield Publishing Company. California.

131 114 Domingo-Roura X, Lopez-Giraldez T, Shinohara M, Takenaka O Hypervariable microsatellite loci in the Japanese macaque (Macaca fuscata) conserved in related species. American Journal of Primatology. 43: Ely J, Alford P, Ferrell RE DNA fingerprinting and the genetic management of a captive chimpanzee population (Pan troglodytes). American Journal of Primatology. 24: Erlich HA PCR Technology. Principles and Applications for DNA Amplification. Stockton Press. New York. Eudey AA Pleistocene glacial phenomena and the evolution of Asian macaques. In The Macaques. Studies in Ecology, Behavior and Evolution. Edited by D.G. Lindburg. : Frankham R, Ballou JD, Briscoe DA A Primier of Conservation Genetics. Cambridge University Press. Cambridge. Felsenstein J Phylip (Phylogeny Inference Package) Version 3.6. University of Washington. Fiedler PL & Jain K Conservation Biology. The Theory and Practice of Nature Conservation, Preservation, and Management. Chadman and Hall, New York and London. Fooden J Taxonomy and Evolution of the Monkeys of Celebes (Primates: Cercopithecidae). Switzerland: S. Karger. Fooden J Classification and distribution of living macaques (Macaca Lacépède, 1799). In The Macaques. Studies in Ecology, Behavior and Evolution. Edited by D.G. Lindburg. :1-9. Fooden J FIELDIANA. Zoology. New Series No. 81. Systematic Review of Southeast Asian Longtail Macaques, Macaca fascicularis (Raffles, [1821]). Published by Field Museum of Natural History. USA. Froehlich JW, Supriatna J, Muskita Y Biodiversity and the conservation biology of Macaca nigra: an anthropological view. Trop Biodiversity. 3: Groves CP Speciation in Macaca. The view from Sulawesi. In The Macaques. Studies in Ecology, Behavior and Evolution. Edited by D.G. Lindburg. Groves C Primate Taxonomy. Smithsonian Institution Press. Washington and London. Hall R Cenozoic reconstruction of SE Asia and SW Pacific: Changing patterns of land and sea. In Faunal and Floral Migrations and Evolution in SE Asia-Australasia. Metcalfe I, Smith TMB, Morwood M, Davidson I, editors. Lisse: A.A Balkema Publishers. Hamada Y, Watanabe T, Takenaka O, Suryobroto B, Kawamoto Y Morphological studies of the Sulawesi macaques: Body colors. In Kyoto University Overseas Research Report of Studies on Asian Non-Human Primates IV. Kyoto University Primate Research Institute 1985.: Hartl DL & Clark AG Principles of Population Genetics. Third ed. Snauer Associates, Inc. Publishers. Sunderland, Massachusetts.

132 115 Harihara S, Kawamoto Y, Suryobroto B, Omoto K, Takenaka O Differentiation of mitochondrial DNA types in Sulawesi macaques. In Variation in The Asian Macaques. T. Shotake and K. Wada (eds). Tokai University Press. Tokyo: Hayashi S, Hayasaka K, Takenaka O, Horai S Molecular phylogeny of gibbons inferred from mitochondrial DNA sequences: Preliminary Report. J. Mol. Evol. 41: Hearne CM, Ghosh S, and Todd JA Microsatellites for linkage analysis of genetic traits. Trends Genet. 8 (8): Hendrickx AG & Dukelow WC Reproductive Biology. In Nonhuman Primates in Biomedical Research. Biology and Management. Edited by B.T. Bennett, C.R. Abee, and R. Hendrickson. Academic Press Inc. San Diego, California.: Hiendleder S, Lewalski H, Wassmuth R, Janke A The complete mitochondrial DNA sequence of the domestic sheep (Ovis aries) and comparison with the other major ovine haplotype. J. Mol. Evol. 47: Hillis DM, Morits C, Mable BK Molecular Systematics. 2 nd Edition. Sinauer Associates, Inc. Publishers. Sunderland, Massachusetts, USA. Hoelzer GA & Melnick DJ Evolutionary relationships of the macaques. In The Macaques. Studies in Ecology, Behavior and Evolution. Edited by D.G. Lindburg. Van Nostrand Reinhold Co. Hoelzer GA, Hoelzer MA, Melnick DJ The evolutionary history of the Sinica-group of macaque monkeys as revealed by mtdna restriction site analysis. Molecular Phylogenetics and Evolution. 1(3): Innis MA, Geldfand DH, Sninsky JJ, White TJ PCR Protocols. A Guide to Methods and Applications. Academic Press. San Diego, New York. Inoue M, Takenaka A, Tanaka S, Kominami R, Takenaka O Paternity discrimination in a Javanese macaque group by DNA fingerprinting. Primates. 31(4): Jolly A The Evolution of Primate Behavior. 2 nd Ed. Macmillan Publishing Company. New York. Kanthaswamy S et al Microsatellite markers for standardized genetic management of captive colonies of reshus macaques (Macaca mulatta). American Journal of Primatology. 68: Kawamoto Y. & Suryobroto B Gene constitution of crab-eating macaques (Macaca fascicularis) on Timor. Kyoto University Overseas Research of Studies on Asian Nonhuman Primates IV: KawamotoY, Nozawa K, Ischak TM Genetic variability and differentiation of local population in the Indonesian crab-eating macaque (Macaca fascicularis). Kyoto University Overseas Report of Studies on Indonesian Macaque. 1: KawamotoY, Takenaka O, Suryobroto B, Brotoisworo E Genetic differentiation of Sulawesi macaques. Kyoto University Overseas Research Report of Studies on Asian Non-Human Primates IV: Kawamoto Y & Ischak TM Genetic differentiation of the Indonesian Crabeating Macaque (Macaca fascicularis): I. Preliminary Report on Blood Protein Polymorphism. Primates. 22(2):

133 116 Kawamoto Y, Ischak TM, Supriatna J Genetic variation within and between troops of the crab-eating macaque (Macaca fascicularis) on Sumatra, Jawa, Bali, Lombok and Sumbawa, Indonesia. Primates, 25(2): Kawamoto Y, Shotake T, Nozawa K Genetic differentiation among three genera of family Cercopithecidae. Primates. 23(2): Kim KS, Lee SU, Jeong HW, Ha JH. (1998). The complete nucleotide sequence of the domestic dog (Canis familiaris) mitochondrial genome. Molecular Phylogenetics and Evolution. 10(2): Kimberling DN, Ferreira AR, Shuster SM, Keim P RAPD marker estimation for genetic structure among isolated northern leopard frog populations in the south-western USA. Molecular Ecology. 5: Klug WS & Cummings MR Essentials of Genetics. International Ed. 5 th Ed. Pearson Education, Inc. USA. Krawczak M & Schmidtke J DNA Fingerprinting. BIOS Scientific Publishers Limited. Oxford, UK. Lebart L, Morineau A, Warwick KM Multivariate Descriptive Statistical Analysis. Correspondence Analysis and Related Techniques for Large Matrices. Translated by M. Berry, J. Wiley, and Son. New York. Leeson C, Kyes RC, Iskandar E Estimating population density of the longtailed macaques (Macaca fascicularis) on Tinjil Island, Indonesia, using the line transect sampling method. Jurnal Primatologi Indonesia. 4(1): Lessa EP & Applebaum G Screening techniques for detecting allelic variation in DNA sequences. Molecular Ecology, 2: Li WH & Graur D Fundamentals of Molecular Evolution. Sinauer Associates Inc. Publisher. Sunderland, Massachusetts. Li WH Molecular Evolution. Sinauer Associates Inc. Publisher. Sunderland, Massachusetts, USA. Lincoln RJ, Boxshall GA, Clark PF A Dictionary of Ecology, Evolution and Systematics. Cambridge University Press. Cambridge, New York. McCracken GF, Burghardt GM, Housts SE Microsatellite markers and multiple paternity in the garter snake Thamnophis sirtalis. Molecular Ecology. 8: Melnick DJ & Hoelzer GA What is mtdna good for in the study of primate evolution. Evolution Anthropology. 2 (1): Melnick DJ & Kidd KK Genetic and evolutionary relationships among Asian macaques. International Journal of Primatology. 6 (2): Michaux B Distributional Patterns ad Tectonic Development in Indonesia: Wallace Reinterpreted. Aust. Syst. Bot. 4: Mitchell G & Erwin J Behavior, Cognition, and Motivation. Comparative Primate Biology. Volume 2, Part A. Alan R. Liss, Inc., New York. Morin PA, Kanthaswamy S, Smith DG Simple sequence repeats (SSR) polymorphisms for colony management and population genetics in rhesus macaques (Macaca mulatta). American Journal of Primatology. 42: Moxon ER & Wills C DNA Microsatellite: Agents of Evolution? Scientific American.:

134 117 Muladno Polimorfisme dan analisis keterpautan mikrosatelit pada genom babi. Hayati, 7 (1): Nair S, Ha J, Rogers J Nineteen new microsatellite DNA polymorphisms in pigtailed macaques (Macaca fascicularis). Primates, 41 (3): Napier JR & Napier PH The Natural History of the Primates. The British Museum (Natural History). Cromwell, London. Nei M Molecular Evolutionary Genetics. Colombia University Press. New York. Nei M & Kumar S Molecular Evolution and Phylogenetics. Oxford University Press, Inc. USA. Neveu H, Montagnon D, Rumpler Y Paternity discrimination in four Prosimian species by the random amplified polymorphic DNA method. Folia Primatol. 67: Neveu H, Hafen T, Zimmermann E, Rumpler Y Comparison of the genetic diversity of wild and captive group of Microcebus inurinus using the random amplified polymorphic DNA method. Folia Primatol. 69 (suppl 1): Newman TK, Fairbanks LA, Pollack DB, Rogers J The effective of human microsatellite loci for determining paternity in non-human primates: A case study in vervets (Cercopithecus aethiops sabaeus). Abstracts. American Journal of Primatology. 49(1): 82. Newton CR & Graham A PCR. Introduction to Biotechniques. BIOS Scientific Publishers Limited. Oxford, UK. Nozawa K, Shotake T, Minezawa M, Kawamoto Y, Kawamoto K, Kawamoto S Population-genetic studies of the Javanese macaque, Macaca fuscata. In: Variations in the Asian Macaques. T. Shotake and K. Wada (eds.). Tokai University Press. Tokyo, Japan.: Nozawa K, Shotake T, Kawamoto Y, Tanabe Y Population Genetics of Japanese Monkeys: II. Blood Protein Polymorphisms and Population Structure. Primates. 23(2): Page RDM & Holmes EC Molecular Evolution. A Phylogenetic Approach. Blackwell Science Ltd. USA. Pepin L, Amigues Y, Lepingle A, Berthier JL, Bensaid A, Vaiman D Sequence conservation of microsatellite between Bos taurus (cattle) Capra hircus (goat) and related species. Examples of using in parentage testing and phylogeny analysis. Abstract. Heredity. 74 (Pt 1): Perwitasari-Farajallah D Variation in blood protein and mitochondrial DNA within and between local populations of longtail macaques (Macaca fascicularis) on the island of Java, Indonesia. Primate Research Institute, Kyoto University. Perwitasari-Farajallah D, Kawamoto Y, Suryobroto B Variation in blood proteins and mitochondrial DNA within and between local populations of longtailed macaques, Macaca fascicularis, on the island of Jawa, Indonesia. Primates. 40(4): Perwitasari-Farajallah D, Farajallah A, Kyes RC, Sajuthi D, Iskandriati D, Iskandar E Genetic variability in the population of long-tailed macaques introduced into Tinjil Island, Indonesia: Microsatellite Loci Variations. Hayati, 11(1):21-24.

135 118 Primack RB A Premier of Conservation Biology. Sinauer Associates Inc. USA. Reeve HK, Westneat DF, Queller DC Estimating average within-group relatedness from DNA fingerprints. Molecular Ecology. 1: Rogers J et al A panel of 20 highly variable microsatellite polymorphisms in rhesus macaques (Macaca mulatta) selected for pedigree of population genetic analysis. American Journal of Primatology. 67: Rowe N The Pictorial Guide to the Living Primates. Pogonias Press. New York. Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T Molecular Cloning. A Laboratory Manual. 2 nd Ed. Cold Spring Harbor Laboratory Press. Santosa Y Beberapa parameter bio-ekologi penting dalam pengusahaan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Media Konservasi. V(1): Simonsen BT, Siegismund HR, Arctander P Population structure of African buffalo inferred from mtdna sequences and microsatellite loci: high variation but low differentiation. Molecular Ecology. 7: Smith DG, Kanthasmawy S, Viary J, Cody L Additional highly polymorphic microsatellite (STR) loci for estimating kinship in Rhesus Macaques (Macaca mulatta). American Journal of Primatology. 50: 1-7. Sody HJV Notes on some primates, carnivore and the babirusa from the Indo-Malayan and Indo-Australian regions. Treubia 20: Sturzeneker et al Microsatellite instability as a model to study the process of microsatellite mutations. Human Molecular Genetics. 9(3): Suaryana KG, Fuentes A, Putra I GAA, Putra I DKH, Rompis ALT Ekologi dan distribusi monyet ekor panjang di Bali. Prosiding Seminar Primatologi Indonesia FKH Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. : Supriatna J & Wahyono EH Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Suryobroto B, Praswati TS, Farajallah A, Perwitasari RRD, Atmowidi T, Raffiudin R Studi primata di Jawa Barat: struktur genetik dan diferensiasi mtdna populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Laporan Penelitian Hibah Bersaing I/4 Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 1995/1996. Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, IPB, Bogor. Suzuki H, Kawamoto Y, Takenaka O, Munechika I, Hori H, Sakurai S Phylogenetic relationships among Homo sapiens and related species based on restriction site variations in DNA spacers. Biochemical Genetics. Vol. 32, Nos. 7/8: Swindler DR Introduction to the Primates. University of Washington Press. Seattje and London. Takenaka O, Hotta M, Takenaka A, Kawamoto Y, Suryobroto B, Brotoisworo E. 1985a. Origin and evolution of the Sulawesi macaque. Electrophoresis Analysis of Hemoglobins. Kyoto University Overseas Research Report of Studies on Asian Non-Human Primates IV.: 5-17.

136 119 Takenaka O, Hotta M, Kawamoto Y, Suryobroto B, Brotoisworo E. 1985b. Origin and evolution of the Sulawesi macaque. Complete Amino Acid Sequences of Seven ß Chain of Three Molecular Species. Kyoto University Overseas Research Report of Studies on Asian Non-Human Primates IV.: Takezaki N & Nei M Genetic distances and reconstruction of phylogenetic trees from microsatellite DNA. Genetics 144: Viard F, Franck P, Dubois M-P, Estoup A, Jarne P Variation of microsatellite size homoplasy across electromorphs, loci, and population in three invertebrate species. J. Mol. Evol. 47: Wandia I N Mikrosatelit sebagai Penanda molekul untuk mengukur polimorfisme genetik monyet ekor panjang di Sangeh, Bali. J. Vet. 4(3): Wandia I N, Supraptini-Mansjoer S, Suryobroto B Polimorfisme genetik monyet ekor panjang di daerah pariwisata Uluwatu, Bali. J. Vet. 5(2): Warren KS, Nijman IJ, Lenstra JA, Swan RA, Heriyanto, Den Boer M Microsatellite DNA variation in Bornean orangutans (Pongo pygmaeus). J. Med. Primatol. 29: Weber JL & Wong C Mutation of human short tandem repeats. Human Molecular Genetics. 2(8): Wheatley BP Feeding and ranging of East Bornean Macaca fascicularis. In The Macaques. Studies in Ecology, Behavior and Evolution. Edited by Lindburg DG. : Wheatley BP Diet of Balinese temple monkeys, Macaca fascicularis. Kyoto University Overseas Research Report of Studies on Asian Non- Human Primates. Kyoto University Primate Research Institute. No. 7: Whitton J, Rieseberg LH, Ungerer MC Microsatellite loci are not conserved across the Asteraceae. Mol. Biol. Evol. 14(2): Williams LE & Bernstein IS Studi of Primate Social Behavior. In Nonhuman Primates in Biomedical Research. Biology and Management. Edited by B.T. Bennett, C.R. Abee, and R. Hendrickson (1995). Academic Press Inc. San Diego, California.: , , Witte SM & Rogers J Microsatellite polymorphisms in Bolivian squirrel monkeys (Saimiri boliviensis). American Journal of Primatology. 47: Wright S Evolution in Mendelian population. Genetics. 16: Yoshimi I & Takasaki H Long distance mobility of male Japanese macaques evidenced by mitochondrial DNA. Primates 44: Zappler G A Grosset All-Color Guide. Monkeys and Apes. Grosset and Dunlap Publishers. New York.

137 LAMPIRAN

138 Lampiran 1 Preparasi membran dialisis, larutan dialisis, dan urea lysis buffer 121 Preparasi membran dialisis 1. Dipotong membran dialisis (VISKING Seamless Cellulose Tubing) sepanjang cm. 2. Dimasukkan ke dalam satu liter larutan 2% sodium bikarbonat, 1mM EDTA (ph 8,0). 3. Diaduk sampai semua potongan membran tenggelam dan didihkan selama 30 menit. Setelahnya cuci dengan air destilata 3-5 kali. 4. Kemudian dididihkan lagi dalam larutan 1 mm EDTA (ph 8,0) selama 10 menit. 5. Selanjutnya, didinginkan perlahan dan langsung bisa dipakai atau disimpan pada suhu 4 o C. Sebelum digunakan bisa juga dibilas dengan air destilata. Pengerjaan selanjutnya harus menggunakan sarung tangan. Preparasi larutan dialisis (1x TE Volume dua liter) 1. Dimasukkan 10 ml 0,2 M Na3EDTA (ph 8,0) ke dalam gelas piala (volume melebihi 2 l). 2. dimasukkan juga 10 ml 2 M Tris-Cl (ph 8,0) ke dalam gelas piala tadi. 3. Selanjutnya, ditambahkan air deionase ke dalam gelas piala tersebut sampai volume akhir 2 l. Diaduk sebentar sampai semua zat tercampur rata dan larutan siap digunakan. Urea lysis buffer volume 1 liter 1. Dimasukkan 5 ml larutan 2 M Tris HCl (ph 8,0) kedalam gelas piala (volume 2 l), dan ditambahkan ke dalamnya 50 ml 0,2 M EDTA (ph 8,0). 2. Dimasukkan juga ke dalamnya 25 ml 5 M NaCl, lalu ditambahkan urea sebanyak 360 g. 3. Terakhir, ditambahkan air deionase sehingga volume menjadi 1 liter. 4. Campuran dikocok hingga homogen, dan kemudian di autoklav. 5. Setelahnya, larutan siap dipakai atau disimpan di refrigerator.

139 Lampiran 2 Pewarnaan perak (silver staining) pada gel poliakrilamid 7% 122 Bahan: Air deionase 5x TBE Acrilamid 30% APS 10% TEMED 11,3 ml 4,0 ml 4,7 ml 150 l 15 l Semua bahan dicampur dan dicetak dalam cetakan elektroforesis vertikal. Pita dimunculkan dengan pewarnaan perak (silver staining) sebagai berikut. 1. Setelah elektroforesis, gel dilepas dari cetakan dan ditempatkan pada wadah gel. Tuangkan larutan ke-1 (terdiri dari CTAB 0,2 g dalam air deionase dengan volume akhir 200 ml) ke dalam wadah gel, dan biarkan gel terendam selama 20 menit sambil digoyang. 2. Larutan 1 dibuang, kemudian gel dicuci dengan 200 ml air deionase selama 20 menit. 3. Air dibuang, lalu tuangkan larutan ke-2 (2,4 ml NH 4 OH dalam air deionase dengan vulome akhir 200 ml) sambil digoyang selama 15 menit. 4. Larutan ke-2 dibuang, selanjutnya masukkan larutan ke-3 (0,32 g AgNO 3, 0,08 ml NaOH 10 N, 0,8 ml NH 4 OH dalam air deionase dengan volume akhir larutan 200 ml), dan digoyang selama 15 menit. 5. Buang larutan ke-3, dan cuci dengan 200 ml air deionase selama 10 menit. 6. Air bekas pencucian dibuang, lalu tambahkan larutan ke-4 (4 g Na 2 CO 3, 100 l formaldehida dalam air deionase sehingga volume akhir 200 ml) sambil digoyang sampai muncul pita. Larutan ke-4 segera dibuang setelah pita muncul, dan dimasukkan larutan ke-5 (asam asetat glasial 1% dengan volume 200 ml) untuk menghentikan reduksi perak. 7. Selanjutnya, gel dapat dipres atau direndam dulu dengan gliserol 20% sebelum dipres untuk tujuan penyimpanan yang lama.

140 Lampiran 3 Rumus yang digunakan dalam analisis fenotipe dan genetik 123 Ukuran populasi efektif (Ne) (Nozawa et al. 1996) Ne = 4-2/N f 5/N f 1+(1-5/N f ) Nm /N f 1-(1-5/N f ) Nm N f N Ne N f N m N = ukuran populasi efektif = jumlah monyet betina dewasa = jumlah jantan dewasa = jumlah jantan dan betina dewasa sensus Frekuensi alel pada suatu lokus (Nei 1987) xi 2nii nij / 2n x i n ii n ij n j i = frekuensi alel ke i suatu lokus = jumlah individu bergenotipe homosigot alel ke i = jumlah individu bergenotipe heterosigot dengan alel ke i = jumlah individu yang dicupik i dan j = jenis alel yang ditemukan pada suatu lokus

141 Lampiran 3 Rumus yang digunakan dalam analisis fenotipe dan genetik (lanjutan) 124 Heterosigositas per lokus (h) dan rataan heterosigositas (H) (Nei 1987). h m = 2n(1- S x i 2 )/(2n-1) i=1 2 V(h)= {2(2n-2){? x 3 i -(? x 2 i ) 2 }+? x 2 i -(? x 2 i ) 2 } 2n(2n-1) h = heterosigositas per lokus V(h) = ragam h x i i m n = frekuensi alel ke- i = alel ke-1,2,3, = jumlah alel = jumlah (contoh) individu r H = S h j /r j=1 H = rataan heterosigoitas seluruh lokus h j = nilai diversitas lokus ke- j j = lokus ke- 1,2,3,... r = jumlah lokus

142 125 Lampiran 3 Rumus yang digunakan dalam analisis fenotipe dan genetik (lanjutan) Analisi keseimbangan Hardy-Weinberg (kawin acak) dalam populasi lokal menggunakan indeks fiksasi (F IT ). Penyimpangan nilai F IT dari nol (tidak terjadi inbreeding) diuji dengan uji?2 dengan derajat bebas satu (Nei 1987). H S = n/ n -1 [1-S i x i 2 - H O /2 n] H T m = 1- S x 2 i + H S / n - H O / 2 n i=1 s m H O = 1- S S X kii k=1 i=1 F IT = 1- H O /H T F IT = indeks fiksasi H O = heterosigositas terobservasi H s = heterosigositas harapan populasi lokal H T = heterosigositas total X ii = frekuensi genotip homosigot terobservasi x i = frekuensi alel ke-i; n = Rataan harmoni contoh k = populasi lokal ke-1,2,3,..; i = Alel ke-1,2,3, m = jumlah alel? 2 = nf IT 2 n = jumlah contoh Diferensiasi genetik antar populasi lokal dihitung dengan menggunakan penduga F ST atau G ST (Nei, 1987; Nei dan Kumar, 2000) dan aliran genetik (Nm) dihitung dengan menggunakan model pulau (Avise, 1994). F ST = (H T - H S )/ H T H S = 2n(1-?x 2 i )/( 2n-1); 2 x i =?x 2 i /s H T = 1-? x i 2 + H S /(2ns); x i 2 = (?x i /s) 2 F ST = diversitas relatif populasi lokal terhadap populasi total Hs = diversitas dalam populasi lokal H T = diversitas populasi total x i = frekwensi alel ke-i; i = alel ke-1,2,3,.. ; n = jumlah contoh; s = jumlah populasi lokal Nm=(1-F ST )/4F ST

143 126 Lampiran 3 Rumus yang digunakan dalam analisis fenotipe dan genetik (lanjutan) Jarak genetik antar populasi lokal dihitung menggunakan jarak genetik standar Nei (Ds) (Takezaki dan Nei, 1996) di bawah asumsi infinite allele model. D S = -ln [J XY /(J X J Y ) 1/2 ] ; J X =? j r? j mj x ij 2 /r J Y =? j r? i mj y ij 2 /r ; J XY =? j r? i mj x ij y ij /r D S = jarak genetik standar J X = rataan diversitas seluruh lokus dalam populasi X JY = rataan diversitas seluruh lokus dalam populasi Y J XY = rataan jumlah hasil kali frekuensi alel seluruh lokus populasi X dan Y x ij = frekuensi alel ke-i lokus ke-j populasi X y ij = frekuensi alel ke-i lokus ke-j populasi Y i = alel ke-1,2,3,.. ; mj = jumlah alel lokus ke-j j = lokus ke-1,2,3, ; r = jumlah lokus

144 Lampiran 4 Kelas fenotipe jambul monyet ekor panjang dan Uji T 127 Frekuensi karakter fentotipe jambul monyet ekro panjang Karakter jambul kepala Kawasan Pop. lokal Tengah/ tegak Kiri/ke kiri Kiri/tegak tanpa PgsAP (n=24) 1,00 Jawa Timur BmBL (n=25) 0,92 0,08 PrPL (n=44) 0,48 0,05 0,48 AK (n=31) 1,00 Bali PrUW (n=27) 1,00 SG (n=50) 0,92 0,06 0,02 WwUB (n=31) 0,90 0,10 PrBG (n=29) 0,76 0,03 0,21 Lombok PS (n=41) 0,66 0,15 0,20 PrGP (n=32) 0,97 0,03 Rataan 0,861 a 0,032 b 3 b 0,098 b SD 0,166 0, ,148 KK (%) 19,34 137, ,31 Uji T beda rataan karakter fenotipe jambul (ragam berbeda) Pasangan karakter Beda rataan T db Nilai P Tengah/tegak & kiri/ke kiri 0,829** 14, ,317 3,413e-08 Tengah/tegak & kiri/tegak 0,858** 15,5246 9,053 7,837e-08 Tengah/tegak & tanpa jambul 0,763** 10, ,814 6,765e-09 Kiri/ke kiri & kiri/tegak 0,029 tn 1,8999 9,722 0,08748 Kiri/ ke kiri & tanpa jambul 0,066 tn -1, ,612 0,2250 Kiri/tegak & tidak ada crest 0,095 tn -1,9239 9,065 0,08629 ** berbeda sangat nyata (P =0,01), tn: berbeda tidak nyata (P = 0,05)

145 Lampiran 5 Kelas fenotipe pusaran kepala monyet ekor panjang dan Uji T 128 Frekuensi jenis pusaran kepala monyet ekor panjang pada sepuluh populasi lokal Karakter fenotipe Pusaran kepala Kawasan Populasi lokal kanan/ searah kiri/ berlawanan kanankiri/ searahberlawa nan depan/ searah depan/ berlawa nan tanpa Jawa PgsAP (N=24) 0,04 0,54 0,17 0,25 Timur BmBL (N=25) 0,76 0,08 0,16 PrPL (N=44) 0,09 0,07 0,07 0,77 AK (N=31) 0,16 0,45 0,03 0,35 Bali PrUW (N=27) 0,22 0,15 0,15 0,48 SG (N=50) 0,28 0,30 0,08 0,34 WwUB (N=31) 0,26 0,13 0,13 0,48 PrBG (N=29) 0,21 0,24 0,14 0,03 0,38 Lombok PS (N=41) 0,07 0,37 0,02 0,54 PrGP (N=32) 0,22 0,19 0,06 0,53 Rataan 0,155 ab 0,319 bc 0,085 a 3 8 0,429 c SD 0,092 0,204 0,055 0,010 0,024 0,163 KK (%) 59,45 63,85 64, ,034 Huruf sama ke arah baris menunjukkan perbedaan tidak nyata (P=0,05) Uji T beda rataan karakter fenotipe pusaran kepala (kecuali depan/searah dan depan berlawanan) Pasangan karakter Beda rataan T db Nilai P Kanan/searah & kiri/berlawanan 0,164 tn -2, ,628 0,046 Kanan/searah & kanakiri/searah-berlawanan 0,070 tn 1, ,819 0,073 Kanan/searah & tanpa 0,274** -4, ,328 1 Kiri/berlawanan & kanankiri/searah-berlawanan 0,234** 3, ,381 7 Kiri/ berlawanan & tanpa 0,110 tn -1, ,184 0,230 Kanan-kiri/searah & berlawanan-tanpa 0,344** -5, ,133 0 ** berbeda sangat nyata (P = 0,01), tn: berbeda tidak nyata (P = 0,05)

146 129 Lampiran 6 Analisis korespondensi berganda karakter fenotipe monyet ekor panjang Jumlah eigen 1, Histogram eigen pertama eigen persentase persentase kumulatif 1 0, ,64 21,64 *********************************************************************** 2 0, ,25 32,89 ********************************* **** 3 0, ,56 42,45 ******************************* 4 0, ,32 51,77 ******************************* 5 0, ,36 60,13 **************************** 6 0, ,34 68,47 *************************** 7 0, ,24 76,71 *************************** 8 0, ,31 84,02 ************************ 9 0, ,02 91,04 *********************** 10 0, ,36 96,39 ****************** 11 0, ,79 99,18 ********** 12 0, ,80 99,98 *** ,02 10 * * * Ringkasan eigen dari 16 sampai

147 130 Lampiran 6 Analisis korespondensi berganda karakter fenotipe monyet ekor panjang (lanjutan) Koordinat dan kontribusi kolom nama massa koordinat kontribusi mutlak korelasi kuadrat (R 2 ) F1 F2 F3 F4 F5 F6 F1 F2 F3 F4 F5 F6 F1 F2 F3 F4 F5 F6 mhec 0,136 0,2 0,01 0,02 0, , , mhab 7-3,79-0,11-0,28-0,23 0,01 0,04 28,2 0 0,4 0, , pgec 0,134 0,25 0,01 0,01 0, , , pgab 9-3,71-0,19-0,08-0,1-0,01-0,02 33,3 0,2 0 0, , Phec 0,133 0,26 0,02 0, , , phab 0,01-3,31-0,24-0,07-0,06 0-0,02 30,3 0, , abir 0, ,01 0,03 0-0, ,1 0 0, ,04 0,24 0,01 0,49 0 amer 0 0,47 3,69-8,82-1,36 12,86-0, ,3 0,5 49, ,04 0,23 0,01 0,5 0 tran 0, thtg 0,12-0,07 0,3 0,07 0,14 0,04 0 0,2 5,7 0,4 1,6 0,1 0 0,03 0,48 0,03 0,11 0,01 0 kiki 6 0,45-0,41 0,81-3,29 0,04-0,01 0,4 0,6 2,5 43, ,01 0,01 0,03 0, kitg 0 0,52 2,79-9,12-2,55-12,91 0,04 0 1,7 21,7 1,7 49, ,02 0,25 0,02 0,5 0 crti 0,016 0,35-2,15-0,59 0,3 0,04 0 0,5 39,1 3,4 0, ,02 0,59 0,04 0, knse 0,024 0,12 0,95-1,39-0, ,1 11,2 28,3 1, ,18 0,39 0, krla 0,042-0,24 0,56 0,71 0,02-0,03 0,08 0,6 6,9 12, ,2 0,02 0,13 0, dpse 0 0,4 0,94 0,85 1,46-0,1 17,63 0 0,2 0,2 0, ,01 0 0,93 dpla 2 0,48 0,43 2,1-5,82 0,35-0,3 0,1 0,2 4,6 36,2 0,1 0, ,05 0, knkr 0,011 0,21 0,89 0,81 1,4-0,2-0,95 0,1 4,4 4,2 13,1 0,3 6,7 0 0,06 0,05 0,16 0 0,07 puni 0,064 0,06-0,89-0,15 0,02 0, ,65 0, Elemen tambahan JT 0,067 0,1 0,04 0,02-0,03 0,08-0, , ,01 0,01 BT 0,076-0,09-0,04-0,02 0,03-0,07 0, , ,01 0,01 PS 0,018 0,19-0,33 0,12-0,26 0, ,01 0 0,01 0 0

148 131 PrGP 0,014-0,61 0,14-0,39 0,04-0,4-0, ,04 0 0,02 0 0,02 0 PrBG 0,012-0,26-0,1-0,06 0,2-0,02 0, , ,02 WwUB 0,013 0,29 0,19-0,04-0,05-0,01-0, , SG 0,021 0,27 0,3 0,08-0,51 0, ,01 0,02 0 0, AK 0,013 0,22 0,33 0,17 0,16 0 0, , PrUW 0,012 0,27 0,37-0,35 0,23 0,46-0, ,01 0,01 0,01 0 0,02 0 PrPL 0,019 0,15-1,04-0,28 0,14 0,02-0, ,16 0, PgsAP 0,01 0,03 0,43 0,46 0,35-0,04-0, ,01 0,02 0, BmBL 0,011-0,98 0,24 0,47 0,19-0,03-0, ,08 0 0,

149 Lampiran 6 Analisis korespondensi berganda karakter fenotipe monyet ekor panjang (Lanjutan) 132 Uji posisi populasi lokal terhadap pusat sumbu F1 da F2 populasi lokal F1 F2 Radius dari sumbu Lingkaran dengan kepercayaan 95% PgsAP 0,03 0,43 0,45 0,48 BmBL* -0,98 0,24 1,02 0,47 PrPL* 0,15-1,04 1,06 0,34 AK* 0,22 0,33 0,43 0,42 PrUW 0,27 0,37 0,28 0,45 SG* 0,27 0,30 0,43 0,32 WwUB 0,29 0,19 0,37 0,42 PrBG -0,26-0,10 0,28 0,43 PS * 0,19-0,33 0,37 0,36 PrGP* -0,61 0,14 0,62 0,41 * nyata menjauhi titik sumbu (P = 0,05) jika radius titik dari pusat sumbu lebih besar dari lingkaran titik dengan kepercayaan 95%.

150 133 Lampiran 7 Frekuensi alel masing-masing lokus mikrosatelit pada sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang lokus D1S 533 D1S 548 D1S 550 D2S 367 D2S 1368 D3S 1768 Sim bul alel a b c d a b c d e a b c d e a b c d e f Panjang Populasi lokal (pasang Jawa Timur Bali Lombok basa) PgsAP BmBL PrPL AK PrUW SG WwUB PrBG PS PrGP 194 0,43 0,18 0,96 0,59 0,22 0,75 0,42 0,48 1,00 0, ,27 0,57 0,03 0,03 0,11 0,15 0,15 0, ,10 0,14 0,38 0,31 0,14 0,12 0, ,20 0,11 0,04 0,44 0,31 0,10 0, ,20 0,13 0,03 0,63 0,07 0,53 0,33 0,07 0,20 0,37 0,03 0,37 0,03 0,68 0,21 0,11 0,07 0,29 0,43 0,21 0,11 0,07 0,39 0,07 0,29 0,07 0,23 0,19 0,58 0,54 0,15 0,31 0,19 0,50 0,15 0,15 0,59 0,15 0,21 0,06 0,26 0,21 0,15 0,38 0,21 0,53 0,26 a 182 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 a b b c d f ,33 0,23 0,07 0,13 0,23 0,21 0,04 0,11 0,14 0,32 0,18 0,58 0,35 0,08 0,76 0,15 0,09 0,44 0,25 0,09 0,22 0,38 0,41 0,03 0,19 0,50 0,50 0,13 0,25 0,06 0,56 0,08 0,19 0,33 0,39 0,17 0,08 0,50 0,25 0,50 0,28 0,22 0,47 0,53 0,31 0,42 0,27 0,08 0,38 0,19 0,31 0,04 0,65 0,35 0,69 0,19 0,12 0,60 0,25 0,03 0,3 0,30 0,65 0,05 0,65 0,30 0,05 0,85 0,03 0,08 0,05 0,12 0,65 0,03 0,12 0,09 0,18 0,32 0,35 0,15 0,62 0,38 0,94 0,03 0,03 0,47 0,16 0,38 0,13 0,31 0,41 0,09 0,06 0,53 0,47 1,00

151 134 Lampiran 7 Frekuensi alel masing-masing lokus mikrosatelit pada sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang (lanjutan) Populasi lokal Jawa Timur Bali Lombok lokus Sim bul alel Panjang (pasang basa) PgsAP BmBL PrPL AK PrUW SG WwUB PrBG PS PrGP D4S 243 a b c d e f g h i j k l ,07 0,07 0,10 0,13 0,23 0,03 0,10 0,20 0,07 0,07 0,18 0,14 0,18 0,11 0,11 0,07 0,14 0,08 0,19 0,23 0,23 0,23 0,04 0,06 0,12 0,50 0,21 0,06 0,03 0,03 0,25 0,19 0,22 0,25 0,09 0,17 0,14 0,17 0,08 0,44 0,08 0,38 0,27 0,08 0,15 0,04 0,23 0,35 0,03 0,25 0,10 0,05 0,09 0,68 0,09 0,15 0,13 0,44 0,31 0,03 0,09 D4S 2456 a b c d e f g h i ,03 0,33 0,10 0,13 0,10 0,20 0,03 0,07 0,04 0,04 0,21 0,29 0,25 0,14 0,04 0,12 0,19 0,23 0,31 0,15 0,15 0,15 0,12 0,03 0,21 0,18 0,09 0,09 0,41 0,47 0,09 0,03 0,17 0,14 0,39 0,25 0,03 0,03 0,15 0,31 0,12 0,15 0,23 0,04 0,10 0,03 0,08 0,20 0,18 0,20 0,23 0,12 0,21 0,21 0,32 0,15 0,03 0,09 0,38 0,25 0,16 0,09 D5S 820 a b c d e f g h ,13 0,33 0,23 0,30 0,07 0,14 0,25 0,39 0,14 0,35 0,08 0,31 0,12 0,04 0,12 0,03 0,03 0,06 0,24 0,38 0,15 0,06 0,06 0,03 0,09 0,22 0,25 0,19 0,13 0,09 0,06 0,14 0,08 0,39 0,31 0,03 0,31 0,08 0,35 0,08 0,19 0,18 0,28 0,25 0,28 0,03 0,12 0,32 0,26 0,12 0,15 0,03 0,06 0,26 0,13 0,16 0,13 0,13 0,13

152 Lampirn 8 Ideks fiksasi (F IT ) lokus mikrosatelit pada masing-masing populasi lokal monyet ekor panjang dan nilai? Populasi lokal Lokus mikrosatelit F IT? 2 P PgsAP D1S533 0,36 1,89 0,169 D1S548 0,05 0,03 0,856 D1S550 0,25 0,93 0,335 D2S367-0,13 0,24 0,621 D2S1368 1,00* 15,00 0 D3S1768 0,33 1,61 0,205 D4S243 0,25 0,95 0,330 D4S2456 0,04 0,02 0,877 D5S820-0,07 0,07 0,796 BmBL D1S533 0,22 0,65 0,420 D1S548 1,000 D1S550-0,22 0,67 0,413 D2S367-0,22 0,71 0,401 D2S1368 1,00* 14,00 0 D3S1768 0,04 0,02 0,890 D4S243 0,37 1,91 0,167 D4S2456 0,04 0,02 0,890 D5S820 0,07 0,06 0,799 PrPL D1S533 1,000 D1S548 0,11 0,15 0,701 D1S550 1,000 D2S367 1,000 D2S1368 1,00* 13,00 0 D3S1768-0,39 1,95 0,163 D4S243 0,07 0,07 0,791 D4S2456 0,05 0,03 0,853 D5S820 0,12 0,18 0,670 AK D1S533 0,22 0,80 0,371 D1S548 0,23 0,87 0,350 D1S550 0,13 0,29 0,589 D2S367-0,53* 4,75 0,029 D2S1368 1,00* 17,00 0 D3S1768-0,19 0,62 0,432 D4S243 0,17 0,50 0,481 D4S2456 0,13 0,30 0,582 D5S820 0,11 0,19 0,659 PrUW D1S533-0,01 0,981 D1S548 0,04 0,02 0,888 D1S550-0,01 0,961 D2S367-1,00* 16,00 0 D2S1368 1,00* 16,00 0 D3S1768 0,30 1,46 0,227 D4S243-0,09 0,12 0,733 D4S2456-0,10 0,17 0,678 D5S820 0,04 0,03 0,867 * Menyimpang dari keseimbangan Hardy-Weinberg (P= 0,05)

153 136 Lampirn 8 Ideks fiksasi (F IT ) lokus mikrosatelit pada masing-masing populasi lokal monyet ekor panjang dan nilai? 2 (lanjutan) Populasi lokal Lokus mikrosatelit F IT? 2 P SG D1S533 0,07 0,09 0,765 D1S548-0,01 0,953 D1S550 0,43 3,30 0,069 D2S367-0,59* 6,17 0,013 D2S1368 1,00* 18,00 0 D3S1768 0,03 0,01 0,914 D4S243 0,48 4,19 0,041 D4S2456 0,42 3,19 0,074 D5S820-0,04 0,03 0,852 WwUB D1S533-0,19 0,47 0,495 D1S548 0,33 1,42 0,234 D1S550-0,04 0,02 0,888 D2S367-0,50 3,25 0,071 D2S1368 1,00* 13,00 0 D3S1768 0,06 0,04 0,832 D4S243 0,51 3,41 0,065 D4S2456-0,03 0,01 0,910 D5S820-0,32 1,35 0,246 PrBG D1S533 0,49* 4,89 0,027 D1S548 0,05 0,04 0,838 D1S550 0,20 0,80 0,371 D2S367-0,42 3,57 0,059 D2S1368 1,00* 2 0 D3S1768 0,28 1,56 0,211 D4S243 0,42 3,57 0,059 D4S2456 0,17 0,60 0,437 D5S820 0,16 0,54 0,463 PS D1S533 1,00* 17,00 0 D1S548-0,05 0,04 0,839 D1S550-0,20 0,68 0,410 D2S367-0,60* 6,12 0,013 D2S1368 1,00* 17,00 0 D3S1768-0,02 0,948 D4S243 0,33 1,84 0,175 D4S2456 0,27 1,23 0,267 D5S820-0,11 0,20 0,654 PrGP D1S533 0,56* 5,00 0,025 D1S548 0,02 0,948 D1S550 0,06 0,06 0,803 D2S367-0,88* 12,25 0 D2S1368 1,00* 16,00 0 D3S1768 1,00* 16,00 0 D4S243 0,57* 5,13 0,023 D4S2456 0,04 0,02 0,881 D5S820-0,02 0,01 0,930 * Menyimpang dari keseimbangan Hardy-Weinberg (P= 0,05)

154 Lampiran 9 Runutan nukleotida primer mikrosatelit yang digunakan untuk penelitian 137 Lokus Primer D1S533 F catcccccccaaaaaatata R ttgctaatcaaataacaatggg D1S548 F gaactcattggcaaaaggaa R gcctctttgttgcagtgatt D1S550 F cctgttgccacctacaaaag R taagttagttcaaattcatcagtgc D2S367 agcttcttgttcacaggtgt ttctttggtctaagggtcac D2S1368 F tttgtttcttgatctgggc R tgttaaacttttcactgaggtataa D3S1768 F ggttgctgccaaagattaga R cactgtgatttgctgttgga D4S243 F tcagtctctctttctccttgca R taggagcctgtggtcctgtt D4S D5S820 F attgcatggcaactcttctc R gttcttcagggaaacagaacc F: Forward primer; R: Reverse primer (

155 138 Lampiran 10 Alel mikrosatelit yang terobservasi pada monyet ekor panjang (Elektroforesis pada gel poliakrilamid 7% dengan pewarnaan perak) Lokus D1S533. M: penanda 100 base pairs ladder; 1-8: sampel (individu) Lokus D1S548. M: penanda 100 base pairs ladder; 1-10: sampel (individu) Lokus D1S550. M: penanda 100 base pairs ladder; 1-7: sampel (individu) Lokus D2S367. M: penanda 100 base pairs ladder; 1-9: sampel (individu) Lokus D2S1368. M: penanda 100 base pairs ladder; 1-10: sampel (individu) Lokus D3S1768. M: penanda 100 base pairs ladder; 1-10: sampel (individu)

156 139 Lampiran 10 Alel mikrosatelit yang terobservasi pada monyet ekor panjang (Elektroforesis pada gel poliakrilamid 7% dengan pewarnaan perak). Lanjutan Lokus D4S243 M: penanda 100 base pairs ladder; 1-13: sampel (individu) Lokus D4S2456 M: penanda 100 base pairs ladder; 1-10: sampel (individu) Lokus D5S820 M: penanda 100 base pairs ladder; 1-7: sampel (individu)

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tersebar luas di Daratan Asia Tenggara, Lempeng Sunda, Kepulauan Filipina, dan daerah Wallacea Selatan. Monyet ekor panjang di Indonesia

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN KERAGAMAN GENETIK POPULASI LOKAL MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI JAWA TIMUR, BALI, DAN LOMBOK I NENGAH WANDIA

STRUKTUR DAN KERAGAMAN GENETIK POPULASI LOKAL MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI JAWA TIMUR, BALI, DAN LOMBOK I NENGAH WANDIA STRUKTUR DAN KERAGAMAN GENETIK POPULASI LOKAL MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI JAWA TIMUR, BALI, DAN LOMBOK I NENGAH WANDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Monyet ekor panjang termasuk kelompok monyet dunia lama ( Old World

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Monyet ekor panjang termasuk kelompok monyet dunia lama ( Old World BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Monyet ekor panjang termasuk kelompok monyet dunia lama ( Old World Monkey) dan diklasifikasikan sebagai berikut (Napier dan Napier, 1985; Swindler, 1998): Kelas

Lebih terperinci

ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau

ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau terancam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi

Lebih terperinci

POLIMORFISME LOKUS MIKROSATELIT D10S1432 PADA POPULASI MONYET EKOR PANJANG DI SANGEH

POLIMORFISME LOKUS MIKROSATELIT D10S1432 PADA POPULASI MONYET EKOR PANJANG DI SANGEH POLIMORFISME LOKUS MIKROSATELIT D10S1432 PADA POPULASI MONYET EKOR PANJANG DI SANGEH SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok Hasil Penelitian Kelompok Sosial dan Komposisi Umur Anggota Populasi Lokal Sensus terhadap

Lebih terperinci

Karakteristik Lokus Mikrosatelit D10s1432 pada Populasi Monyet Ekor Panjang Di Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi

Karakteristik Lokus Mikrosatelit D10s1432 pada Populasi Monyet Ekor Panjang Di Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi Indonesia Medicus Veterinus 2014 3(3) : 244-251 ISSN : 2301-7848 Karakteristik Lokus Mikrosatelit D10s1432 pada Populasi Monyet Ekor Panjang Di Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi CHARACTERISTICS OF D10S1432

Lebih terperinci

Buletin Veteriner Udayana Vol.1 No.2. :47-53 ISSN : Agustus 2009

Buletin Veteriner Udayana Vol.1 No.2. :47-53 ISSN : Agustus 2009 DINAMIKA POPULASI MONYET EKOR PANJANG (MACACA FASCICULARIS) DI HUTAN WISATA ALAS KEDATON TABANAN (The Population Dynamic of Long Tail Monkey (Macaca fascicularis) in Alas Kedaton, Tabanan) I Gede Soma

Lebih terperinci

VARIASI MORFOMETRI MONYET EKOR PANJANG (Macaca. fascicularis) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO DAN TAMAN NASIONAL BALURAN SKRIPSI

VARIASI MORFOMETRI MONYET EKOR PANJANG (Macaca. fascicularis) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO DAN TAMAN NASIONAL BALURAN SKRIPSI VARIASI MORFOMETRI MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO DAN TAMAN NASIONAL BALURAN SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah. kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis),

I. PENDAHULUAN. hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah. kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah ketersediaan keanekaragaman sumberdaya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Polimorfisme RAPD dan Mikrosatelit Penelitian ini menggunakan primer dari Operon Technology, dimana dari 10 primer acak yang diseleksi, primer yang menghasilkan pita amplifikasi yang

Lebih terperinci

Struktur Genetika Populasi Monyet Ekor Panjang Di Alas Kedaton Menggunakan Marka Molekul Mikrosatelit D18S536

Struktur Genetika Populasi Monyet Ekor Panjang Di Alas Kedaton Menggunakan Marka Molekul Mikrosatelit D18S536 Indonesia Medicus Veterinus 013 (1) : 3 4 Struktur Genetika Populasi Monyet Ekor Panjang Di Alas Kedaton Menggunakan Marka Molekul Mikrosatelit D18S536 Alda dasril lumban gaol 1, I ketut suatha, I nengah

Lebih terperinci

Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo

Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo Nama : Rohmat Diyono D151070051 Pembimbing : Cece Sumantri Achmad Farajallah Tanggal Lulus : 2009 Judul : Karakteristik Ukuran Tubuh dan Polimorfisme

Lebih terperinci

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1 DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1 Kromosom Meiosis Dan Mitosis Biokimia Sifat Keturunan Apakah Gen Itu? Regulasi Gen Mutasi Gen, Alel, dan Lokus Pewarisan Sederhana atau Mendel Keterpautan (Linkage) Inaktivasi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI RAGAM ALEL PADA TIGA LOKUS DNA MIKROSATELIT AUTOSOM MASYARAKAT SOROH PANDE DI KABUPATEN GIANYAR UNTUK KEPENTINGAN FORENSIK

IDENTIFIKASI RAGAM ALEL PADA TIGA LOKUS DNA MIKROSATELIT AUTOSOM MASYARAKAT SOROH PANDE DI KABUPATEN GIANYAR UNTUK KEPENTINGAN FORENSIK IDENTIFIKASI RAGAM ALEL PADA TIGA LOKUS DNA MIKROSATELIT AUTOSOM MASYARAKAT SOROH PANDE DI KABUPATEN GIANYAR UNTUK KEPENTINGAN FORENSIK Skripsi Sebagai tugas akhir untuk memenuhi syarat mencapai derajat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang berada di sana.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 4 Amplifikasi gen GH exon 4 pada kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen dan PESA (Persilangan PE-Saanen) diperoleh panjang fragmen 200 bp (Gambar 8). M 1 2 3

Lebih terperinci

POLIMORFISME GEN PENYANDI KARAKTER OBESITAS (MC4R/RESEPTOR MELANOKORTIN 4) PADA MONYET EKOR PANJANG

POLIMORFISME GEN PENYANDI KARAKTER OBESITAS (MC4R/RESEPTOR MELANOKORTIN 4) PADA MONYET EKOR PANJANG POLIMORFISME GEN PENYANDI KARAKTER OBESITAS (MC4R/RESEPTOR MELANOKORTIN 4) PADA MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) ASAL BALI, JAWA TIMUR DAN SUMATERA I GUSTI AGUNG ARTA PUTRA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Keanekaragaman ternak sapi di Indonesia terbentuk dari sumber daya genetik ternak asli dan impor. Impor ternak sapi Ongole (Bos indicus) atau Zebu yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen FSHR Alu-1 Amplifikasi fragmen gen FSHR Alu-1 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan dengan kondisi annealing 60 C selama 45 detik dan diperoleh produk

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 79 PEMBAHASAN UMUM Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kuda di Sulawesi Utara telah dikenal sejak lama dimana pemanfatan ternak ini hampir dapat dijumpai di seluruh daerah sebagai ternak tunggangan, menarik

Lebih terperinci

KAJIAN EKOLOGI, POPULASI DAN KRANIOMETRI BANGE (Macaca tonkeana) DI KABUPATEN MOROWALI SULAWESI TENGAH MOHAMAD IRFAN

KAJIAN EKOLOGI, POPULASI DAN KRANIOMETRI BANGE (Macaca tonkeana) DI KABUPATEN MOROWALI SULAWESI TENGAH MOHAMAD IRFAN KAJIAN EKOLOGI, POPULASI DAN KRANIOMETRI BANGE (Macaca tonkeana) DI KABUPATEN MOROWALI SULAWESI TENGAH MOHAMAD IRFAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan sebagai salah satu sumber protein hewani mengandung semua jenis asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia (Suhartini dan Nur 2005 dalam Granada 2011),

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebagai negara megadiversity (Auhara, 2013). Diperkirakan sebanyak jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebagai negara megadiversity (Auhara, 2013). Diperkirakan sebanyak jenis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia masuk dalam urutan ketiga dari ketujuh negara dunia lainnya sebagai negara megadiversity (Auhara, 2013). Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa atau sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perserikatan Bangsa Bangsa telah mendirikan FAO Global Strategy for the Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan mengatur pemanfaatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Di seluruh dunia, terdapat 20 jenis spesies Macaca yang tersebar di Afrika bagian utara, Eropa, Rusia bagian tenggara, dan Asia (Nowak, 1999). Dari 20 spesies tersebut

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FENOTIPE MORFOMERISTIK DAN KERAGAMAN GENOTIPE RAPD (RANDOMLY AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA) IKAN NILEM (Osteochilus hasselti) DI JAWA BARAT

KARAKTERISTIK FENOTIPE MORFOMERISTIK DAN KERAGAMAN GENOTIPE RAPD (RANDOMLY AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA) IKAN NILEM (Osteochilus hasselti) DI JAWA BARAT KARAKTERISTIK FENOTIPE MORFOMERISTIK DAN KERAGAMAN GENOTIPE RAPD (RANDOMLY AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA) IKAN NILEM (Osteochilus hasselti) DI JAWA BARAT MULYASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Amplifikasi silang jenis Mindi Amplifikasi DNA merupakan proses penggandaan DNA dimana basa penyusun DNA direplikasi dengan bantuan primer. Primer merupakan potongan rantai

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD)

KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD) KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai

Lebih terperinci

RAGAM ALEL KELAPA PUDAK, PADMA, BLULUK DAN BUNGA DI KECAMATAN MANGGIS, KARANGASEM, BALI BERDASARKAN PENANDA DNA MIKROSATELIT

RAGAM ALEL KELAPA PUDAK, PADMA, BLULUK DAN BUNGA DI KECAMATAN MANGGIS, KARANGASEM, BALI BERDASARKAN PENANDA DNA MIKROSATELIT RAGAM ALEL KELAPA PUDAK, PADMA, BLULUK DAN BUNGA DI KECAMATAN MANGGIS, KARANGASEM, BALI BERDASARKAN PENANDA DNA MIKROSATELIT Skripsi Sebagai tugas akhir untuk memenuhi syarat mencapai derajat Sarjana S-1

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF KELINCI FLEMISH GIANT, ENGLISH SPOT, DAN REX DI KABUPATEN MAGELANG

KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF KELINCI FLEMISH GIANT, ENGLISH SPOT, DAN REX DI KABUPATEN MAGELANG KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF KELINCI FLEMISH GIANT, ENGLISH SPOT, DAN REX DI KABUPATEN MAGELANG SKRIPSI LIDIA FAFARITA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki banyak bangsa sapi dan hewan-hewan lainnya. Salah satu jenis sapi yang terdapat di Indonesia adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi asli Indonesia secara genetik dan fenotipik umumnya merupakan: (1) turunan dari Banteng (Bos javanicus) yang telah didomestikasi dan dapat pula (2) berasal dari hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Amplifikasi Gen Mx Amplifikasi gen Mx telah berhasil dilakukan. Hasil amplifikasi gen Mx divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Gen GH exon 3 pada kambing PE, Saanen, dan PESA (Persilangan PE dan Saanen) berhasil diamplifikasi menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Panjang fragmen

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Profil RAPD Keragaman profil penanda DNA meliputi jumlah dan ukuran fragmen DNA. Hasil amplifikasi dengan menggunakan primer OPA-02, OPC-02, OPC-05 selengkapnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tailed macaque) (Lekagul dan Mcneely, 1977). Macaca fascicularis dapat ditemui di

I. PENDAHULUAN. tailed macaque) (Lekagul dan Mcneely, 1977). Macaca fascicularis dapat ditemui di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Macaca fascicularis Raffles merupakan salah satu jenis primata dari famili Cercopithecidae yang dikenal dengan nama monyet atau monyet ekor panjang (long tailed macaque)

Lebih terperinci

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian 2015 LUWAK Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian LUWAK A. Biologi Luwak Luwak merupakan nama lokal dari jenis musang

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Variasi pada jengger ayam

Gambar 1.1. Variasi pada jengger ayam Uraian Materi Variasi Genetik Terdapat variasi di antara individu-individu di dalam suatu populasi. Hal tersebut menunjukkan adanya perubahan genetis. Mutasi dapat meningkatkan frekuensi alel pada individu

Lebih terperinci

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Ria Maria (G34090088), Achmad Farajallah, Maria Ulfah. 2012. Karakterisasi Single Nucleotide Polymorphism Gen CAST pada Ras Ayam Lokal. Makalah Kolokium

Lebih terperinci

KAJIAN PENANDA GENETIK GEN CYTOCHROME B DAN DAERAH D-LOOP PADA Tarsius sp. OLEH : RINI WIDAYANTI

KAJIAN PENANDA GENETIK GEN CYTOCHROME B DAN DAERAH D-LOOP PADA Tarsius sp. OLEH : RINI WIDAYANTI KAJIAN PENANDA GENETIK GEN CYTOCHROME B DAN DAERAH D-LOOP PADA Tarsius sp. OLEH : RINI WIDAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 i ABSTRACT RINI WIDAYANTI. The Study of Genetic

Lebih terperinci

II. TELAAH PUSTAKA. 6. Warna buah Buah masak fisiologis berwarna kuning (Sumber : diolah dari berbagai sumber dalam Halawane et al.

II. TELAAH PUSTAKA. 6. Warna buah Buah masak fisiologis berwarna kuning (Sumber : diolah dari berbagai sumber dalam Halawane et al. 4 II. TELAAH PUSTAKA Jabon (Neolamarckia sp.) merupakan tanaman yang tumbuh di daerah beriklim muson tropika seperti Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Filipina. Jabon juga ditemukan tumbuh di Sri Lanka,

Lebih terperinci

VARIASI GENETIK. ,MON YKT EKOR PA3 JANC (.Macaca fascicularis) DI BEBERAPA LOKASI DI BALI OLEH: I NENGAH WANDIA

VARIASI GENETIK. ,MON YKT EKOR PA3 JANC (.Macaca fascicularis) DI BEBERAPA LOKASI DI BALI OLEH: I NENGAH WANDIA VARIASI GENETIK,MON YKT EKOR PA3 JANC (.Macaca fascicularis) DI BEBERAPA LOKASI DI BALI OLEH: I NENGAH WANDIA GENETIC VARIATION OF LONG-TAILED MACAQUES (Mucaca foscicularis) AT SOME LOCALITIES ln BALI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Secara umum kerabat durian (Durio spp.) merupakan tanaman buah yang memiliki nilai ekonomi tinggi di Indonesia. Jangkauan pasarnya sangat luas dan beragam mulai dari pasar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST AluI) Amplifikasi fragmen gen CAST AluI dilakukan dengan menggunakan mesin PCR dengan kondisi annealing 60 0 C selama 45 detik, dan diperoleh produk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di Indonesia, dan memegang peranan penting diantaranya iklim, tenaga kerja, dan kesediaan lahan yang masih cukup

Lebih terperinci

Kata kunci : monyet ekor panjang, aspartat aminotransferase, alanin transaminase, obesitas

Kata kunci : monyet ekor panjang, aspartat aminotransferase, alanin transaminase, obesitas RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, 26 Agustus 1993, merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Made Sutrisna, S.E. dan Ni Made Sriningsih. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1998

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hasil perikanan yang beranekaragam, sehingga mendatangkan devisa negara yang cukup besar terutama dari

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR GENETIK HIU Carcharhinus falciformis (SILKY SHARK) DI INDONESIA BERDASARKAN GEN CONTROL REGION DNA MITOKONDRIA

ANALISIS STRUKTUR GENETIK HIU Carcharhinus falciformis (SILKY SHARK) DI INDONESIA BERDASARKAN GEN CONTROL REGION DNA MITOKONDRIA TESIS ANALISIS STRUKTUR GENETIK HIU Carcharhinus falciformis (SILKY SHARK) DI INDONESIA BERDASARKAN GEN CONTROL REGION DNA MITOKONDRIA ANDRIANUS SEMBIRING NIM 1291261025 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 2 Gen GH exon 2 pada ternak kambing PE, Saanen, dan persilangannya (PESA) berhasil diamplifikasi menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Pasangan

Lebih terperinci

KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI

KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI priyambodo@fmipa.unila..ac.id #RIPYongki Spesies dan Populasi Species : Individu yang mempunyai persamaan secara morfologis, anatomis, fisiologis dan mampu saling

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Karakteristik Lokus Mikrosatelit D7S1789 pada Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Wenara Wana, Padang Tegal, Ubud, Bali.

Karakteristik Lokus Mikrosatelit D7S1789 pada Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Wenara Wana, Padang Tegal, Ubud, Bali. Karakteristik Lokus Mikrosatelit D7S1789 pada Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Wenara Wana, Padang Tegal, Ubud, Bali. Characteristics of Microsatellite Locus D7S1789 on Long-Tailed

Lebih terperinci

Polimorfisme Lokus Mikrosatelit D10S1432 Pada Populasi Monyet Ekor Panjang Di Sangeh

Polimorfisme Lokus Mikrosatelit D10S1432 Pada Populasi Monyet Ekor Panjang Di Sangeh Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2013 Vol. 1, No. 1: 16-21 Polimorfisme Lokus Mikrosatelit D10S1432 Pada Populasi Monyet Ekor Panjang Di Sangeh Polymorphism of D10S1432 Microsatellite Locus on

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia besar yang hidup di Pulau Jawa. Menurut Alikodra (1823), satwa berkuku genap ini mempunyai peranan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Menurut Napier and Napier (1967), klasifikasi monyet ekor panjang adalah sebagai berikut: Phyllum Sub Phyllum Class Ordo Sub

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Burung beo (Gracula religiosa Linnaeus 1758) merupakan salah satu satwa yang banyak digemari masyarakat, karena kepandaiannya dalam menirukan ucapan-ucapan manusia ataupun suara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Profil RAPD Keanekaragaman profil RAPD meliputi jumlah fragmen dan ukuran fragmen DNA. Hasil amplifikasi dengan menggunakan tiga primer (OPA-2, OPC- 2, dan OPC-5)

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Batasan Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Batasan Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul... i Halaman Pengesahan... iii Halaman Pernyataan... iv Halaman Persembahan... v Kata Pengantar... vi Daftar Isi... viii Daftar Tabel... x Daftar Gambar... xi Daftar Lampiran...

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di Indonesia. Daerah utama penanaman kedelai

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR 1 (PIT1) PADA KERBAU LOKAL (Bubalus bubalis) DAN SAPI FH (Friesian-Holstein) SKRIPSI RESTU MISRIANTI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

The Origin of Madura Cattle

The Origin of Madura Cattle The Origin of Madura Cattle Nama Pembimbing Tanggal Lulus Judul Thesis Nirmala Fitria Firdhausi G352080111 Achmad Farajallah RR Dyah Perwitasari 9 Agustus 2010 Asal-usul sapi Madura berdasarkan keragaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. maupun luar negeri. Hingga saat ini jati masih menjadi komoditas mewah

I. PENDAHULUAN. maupun luar negeri. Hingga saat ini jati masih menjadi komoditas mewah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jati (Tectona grandis Linn. f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan diminati oleh banyak orang, baik dalam maupun luar negeri.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai ekonomi untuk budidaya sapi pedaging. Sapi Pesisir dan sapi Simmental merupakan salah satu jenis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. beragam di dunia. Kuda (Equus caballus) adalah salah satu bentuk dari

PENDAHULUAN. Latar Belakang. beragam di dunia. Kuda (Equus caballus) adalah salah satu bentuk dari PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara dengan keanekaragaman hayati paling beragam di dunia. Kuda (Equus caballus) adalah salah satu bentuk dari keanekaragaman hewan yang dimiliki

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau PENGANTAR Latar Belakang Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau Wild Mallard). Proses penjinakan telah terjadi berabad-abad yang lalu dan di Asia Tenggara merupakan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRAK... viii. ABSTRACT.. ix RINGKASAN.. DAFTAR ISI... xiii.

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRAK... viii. ABSTRACT.. ix RINGKASAN.. DAFTAR ISI... xiii. DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN..... UCAPAN TERIMA KASIH... iv vi ABSTRAK... viii ABSTRACT.. ix RINGKASAN.. x DAFTAR ISI... xiii DAFTAR TABEL xv DAFTAR GAMBAR.... xvi DAFTAR LAMPIRAN.... xvii BAB

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dijumpai hampir di seluruh pelosok Indonesia. Menurut Thomassen (2006),

I. PENDAHULUAN. dijumpai hampir di seluruh pelosok Indonesia. Menurut Thomassen (2006), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung walet sarang putih (Collocalia fuciphaga) dengan mudah dijumpai hampir di seluruh pelosok Indonesia. Menurut Thomassen (2006), famili Apodidae dijumpai di setiap

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA Oleh: Edy Setyawan C64104005 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh kokoh, leher pendek, paruh ramping dan cere berdaging. Distribusi burung Famili Columbidae tersebar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Morfologi Umum Primata

II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Morfologi Umum Primata II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Morfologi Umum Primata Secara keseluruhan primata sudah mengalami spesialisasi untuk hidup di pohon. Menurut J.R. Napier dan P.H. Napier (1967), klasifikasi ilmiah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. runcing mendukung burung ini untuk terbang lebih cepat. Burung walet sarang

II. TINJAUAN PUSTAKA. runcing mendukung burung ini untuk terbang lebih cepat. Burung walet sarang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung walet sarang putih Burung walet sarang putih merupakan burung pemangsa serangga yang bersifat aerial dan suka meluncur. Sayapnya yang berbentuk sabit, sempit, dan runcing

Lebih terperinci

DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN

DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN Darda Efendi, Ph.D Nurul Khumaida, Ph.D Sintho W. Ardie, Ph.D Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB 2013 Marka = tanda Marka (marka biologi) adalah sesuatu/penanda

Lebih terperinci

A~a n = B~b~b 1 n = C~c b ~c s ~c a ~c n = D~d n = i~i n= L~l n = o~o n = = h.

A~a n = B~b~b 1 n = C~c b ~c s ~c a ~c n = D~d n = i~i n= L~l n = o~o n = = h. Lokus o~o yang terpaut kromosom X akan memberikan tiga macam warna fenotipe yaitu oranye (a 1 ), tortoiseshell (a ) dan bukan oranye (a ) dengan jumlah a 1 + a + a = n. Frekuensi alel ditentukan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni

TINJAUAN PUSTAKA. Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni TINJAUAN PUSTAKA Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni siklus hidupnya terdiri dari telur larva pupa imago. E. kamerunicus

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sel pada tubuh memiliki DNA yang sama dan sebagian besar terdapat pada

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sel pada tubuh memiliki DNA yang sama dan sebagian besar terdapat pada BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. DNA (Deoxyribonuleic Acid) Deoxyribonucleic acid (DNA) adalah suatu materi yang terdapat pada tubuh manusia dan semua makhluk hidup yang diwarisi secara turun menurun. Semua

Lebih terperinci

menggunakan program MEGA versi

menggunakan program MEGA versi DAFTAR ISI COVER... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii PRAKATA... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... x INTISARI... xi ABSTRACT... xii PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM Evolusi Molekuler dan Spesiasi

PEMBAHASAN UMUM Evolusi Molekuler dan Spesiasi PEMBAHASAN UMUM Evolusi Molekuler dan Spesiasi Taksonomi atau sistematik adalah hal yang penting dalam klasifikasi organisme dan meliputi beberapa prosedur seperti identifikasi dan penamaan. Sekarang dikenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gurame merupakan ikan air tawar yang berada di perairan Indonesia dan

BAB I PENDAHULUAN. Gurame merupakan ikan air tawar yang berada di perairan Indonesia dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gurame merupakan ikan air tawar yang berada di perairan Indonesia dan telah dibudidaya sebagai ikan konsumsi sejak lama oleh masyarakat Indonesia. Budidaya ikan Gurame

Lebih terperinci

Materi Pokok Materi penjabaran Lingkup materi Fisiologi Tumbuhan. Struktur Bagian Tubuh Tanaman. Reproduksi Tumbuhan. Sistem Transportasi

Materi Pokok Materi penjabaran Lingkup materi Fisiologi Tumbuhan. Struktur Bagian Tubuh Tanaman. Reproduksi Tumbuhan. Sistem Transportasi Materi Pokok Materi penjabaran Lingkup materi Fisiologi Tumbuhan 1 ANATOMI, MORFOLOGI, DAN FISIOLOGI TUMBUHAN Struktur Bagian Tubuh Tanaman a. Mekanisme fotosintesis b. Mekanisme respirasi, fotorespirasi,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut

II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) 2.1.1. Klasifikasi Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut (Napier dan Napier, 1967): Filum

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang membentang di wilayah 10 Kabupaten dan 2 Provinsi tentu memiliki potensi wisata alam yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang

BAB I PENDAHULUAN. Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang mudah dikenali dan distribusinya tersebar luas di dunia. Dominan hidupnya di habitat terestrial. Kelimpahan

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA Oleh Riza Aitiando Pasaribu C64103058 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PROFIL PLASMID Bacillus thuringiensis ISOLAT JAKARTA, BOGOR, TANGERANG, DAN BEKASI WISNU HERLAMBANG

PROFIL PLASMID Bacillus thuringiensis ISOLAT JAKARTA, BOGOR, TANGERANG, DAN BEKASI WISNU HERLAMBANG PROFIL PLASMID Bacillus thuringiensis ISOLAT JAKARTA, BOGOR, TANGERANG, DAN BEKASI WISNU HERLAMBANG PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

Lebih terperinci

6/7/2013. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung Jl. Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung

6/7/2013. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung Jl. Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung Jl. Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung Mata Kuliah : Ekologi Hidupan Liar Kode MK : Bio 612101 Tahun Ajaran : 2012/2013 Pokok Bahasan : Manajemen Populasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha peternakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara umum telah dilakukan secara turun temurun meskipun dalam jumlah kecil skala rumah tangga, namun usaha tersebut telah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci