INSENTIF EKONOMI DALAM PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) KAWASAN LINDUNG DI JAWA BARAT (Studi Kasus Kawasan Bandung Utara) ENDANG HERNAWAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INSENTIF EKONOMI DALAM PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) KAWASAN LINDUNG DI JAWA BARAT (Studi Kasus Kawasan Bandung Utara) ENDANG HERNAWAN"

Transkripsi

1 INSENTIF EKONOMI DALAM PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) KAWASAN LINDUNG DI JAWA BARAT (Studi Kasus Kawasan Bandung Utara) ENDANG HERNAWAN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 iii PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi dengan judul: Insentif Ekonomi Dalam Penggunaan Lahan (Land Use) Kawasan Lindung di Jawa Barat (Studi Kasus Kawasan Bandung Utara) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA dan Dr. Ir. Sudarsono Soedomo yang belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

3 iv ABSTRACT ENDANG HERNAWAN. Insentive of Economy for Land Use in West Java Province (Case Staudy in The North Bandung Area). Under supervisions of HARIADI KARTODIHARDJO, DUDUNG DARUSMAN, and SUDARSONO SOEDOMO. West Java Province Government has decided to provide 45% of their territory as protected and conservation areas. One is the area north of Bandung which is a protected area that already has the structure of the city. The purpose of this study is to formulate the concept of PDR, and PES in an effort to restrain the occurrence of changes in land use and encourage conservation behavior in the country. This study was conducted in April 2007 to December Total PDR (purcharse of development right) is the difference between the selling price of agricultural land of the expectation value of agricultural land. While the services value of tree growers is the difference between the expected value of the forest land lease with the expectation value of the forest land on which the optimum cycle. Feasiblity of Implementation PDR is a hydrological benefit that has been discounted (NARTHAd), and therefore allowed to buy the rights to build if NARTHAd> DR. While rental tree (SP) is allowed if NARTHAd> SP. The results showed that the PDR at KBU is only feasible in rural areas and rural fringe. Feasibility of PDR in KBU is farmland in the Kabupaten Bandung Barat and the Kabupaten Bandung. Because the value hydrological benefits from both districts are also used by the downstream area of Bandung City and Cimahi City, need to share the cost of buying the rights to development a farm. While PES is set at the proper planting of trees in the 26-year lease gives the highest value of hydrological benefits. Compensation for farmers trees can be used in protected areas not forests and forest. Feasibility of implementation of the PDR and PES in four districts of the aspects of the policy has a promising future. While aspects of Local Government financing, still did not show support, so it needs to continue to promote the four districts in the unit so that the direction of financial policies in support of environmental protection and agricultural land (the budget pro-environmental policies). While public support reflected the public perception of the loss of hydrological function and production of foodstuffs, especially vegetables and fruits in the unit is still far from expectations. Key words : conservation area, landuse, incentive of economy, PDR'S and PES model s

4 v RINGKASAN ENDANG HERNAWAN. Insentif Ekonomi Dalam Penggunaan Lahan (Land Use) Kawasan Lindung di Jawa Barat (Studi Kasus Kawasan Bandung Utara) Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO selaku Ketua, DUDUNG DARUSMAN dan SUDARSONO SOEDOMO sebagai anggota. Berdasarkan kedudukan KBU berada pada ketinggian 750 m dpl ke atas dan merupakan daerah perbukitan dan pegunungan dan merupakan daerah resapan air untuk daerah bawahannya khususnya Kota Bandung, maka sejak tahun 1982 melalui SK Gubernur Jawa Barat No. 181/1982 tentang Peruntukan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara, dari seluas ha telah ditetapkan sebesar 68,69% sebagai kawasan lindung dan sisanya 31,31% sebagai kawasan budidaya. Kemudian berdasarkan RUTR Kawasan Bandung Utara Tahun 1998 telah ditetapkan kawasan lindung sebesar 72,44% dan sisanya sebesar 17,56% sebagai kawasan budidaya. Sedangkan berdasarkan kajian oleh Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat (2004) dalam menyesuaikan dengan Perda No.2 Tahun 2003, menunjukkan bahwa kawasan konservasi potensial sangat tinggi dan tinggi mencapai 87% dari luas KBU. Karena kondisi dewasa ini di KBU telah berkembang pusat-pusat pertumbuhan, maka dalam mencegah terjadinya perubahan guna lahan di KBU, selain penegakan peraturan (law enforcement), juga memerlukan mekanisme ekonomi melalui pemberian kompensasi atas perbedaan harga jual tanah dengan nilai harapan tanahnya atau mengganti atas hilangnya keuntungan akibat mempertahankan lahannya ditanami pohon. Model insentif yang menjadi alternatif pilihan adalah model PDR melalui pembelian hak membangun senilai selisih harga jual tanah pertanian setempat dengan NHT lahan pertanian, dan model PES melalui pemberian sewa penanaman pohon dalam jangka waktu tertentu sebesar perbedaan NHT lahan hutan dengan NHT optimumnya. Sebagai ukuran efektivitas penerapan PDR dan PES adalah surplus manfaat hidrologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas penerapan PDR di KBU hanya jika diterapkan di zona rural area dan rural fringe. Dari seluas ha lahan pertanian di zona rural fringe memerlukan PDR sebesar Rp2T dengan perolehan manfaat hidrologis sebesar Rp2,3T, sehingga secara efektif

5 vi mendapatkan kelebihan surplus manfaat hidrologis atas PDR yang dikeluarkan sebesar Rp320M. Kemudian dari ha lahan pertanian di zona rural area memerlukan PDR sebesar Rp457M, dengan perolehan manfaat hidrologis sebesar Rp2,7T, secara efektif mendapatkan kelebihan surplus manfaat hidrologis sebesar Rp2,2T. Sementara penerapan PDR dan PES di zona urban area, urban fringe dan urral fringe, menunjukkan sudah tidak efektif. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, maka tingkat efektivitas apabila diterapkan PDR, hanya efektif di wilayah KBU yang masuk Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung dengan kelebihan surplus manfaat hidrologis bagi rumah tangga masing-masing sebesar Rp1,7T dan Rp407M, sedangkan untuk Kota Cimahi dan Kota Bandung tidak efektif bila digunakan PDR dalam mencegah perubahan guna lahan. Hal ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung masih didominasi oleh zona rural area, yang mana nilai jual lahan pertanian tidak berbeda jauh dari NHT nya, atau dengan kata lain tingkat perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung yang masuk wilayah KBU relatif lebih kecil dibanding Kota Bandung dan Kota Cimahi yang masuk KBU, sehingga fungsi hidrologisnya masih cukup tinggi. Mengingat bahwa Kota Cimahi dan Kota Bandung menerima surplus manfaat hidrologi dari Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung di KBU, maka perlu dilakukan cost-sharing yakni dengan membantu pemberian insentif dengan membeli hak membangun lahan pertanian yakni Pemerintah Kota Bandung atas PDR di wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung, dan Pemerintah Kota Cimahi atas PDR di Kabupaten Bandung Barat. Besarnya insentif berupa sewa lahan ditanami pohon dengan memberikan kompensasi atas kehilangan keuntungan bersih saat sekarang dari daur optimumnya yakni 21 tahun. Besarnya insentif ini atas kompensasi atas kehilangan tersebut semakin lama semakin mahal yakni pada sewa 22 tahun sebesar Rp9,3M per ha kemudian meningkan sampai akhir daur 35 tahun dengan nilai sewa sebesar Rp202,8M per ha. Efektivitas penerapan PES pada ,5 ha kawasan lindung tertinggi pada jangka waktu sewa 26 tahun atau 5 tahun setelah daur optimumnya (21 tahun) dengan nilai total sewa sebesar Rp864 M, akan efektif memperoleh jasa

6 vii hidrologis sebesar Rp11T. Setelah tahun sewa 26 tahun, PES masih efektif diterapkan di kawasan lindung non hutan tetapi terus menurun surplus manfaat hidrologisnya. Sedangkan efektivitas penerapan PES pada hutan produksi seluas 127,41 ha yang dikelola KPH Bandung Utara, jika tidak boleh menebang di kawasan hutan produksi tersebut, tertinggi berada di tahun sewa 26 tahun dengan PES sebesar Rp3,9M dan perolehan surplus manfaat hidrologi sebesar Rp49M. Setelah tahun sewa 26 tahun sampai 35 tahun, PES masih efektif diterapkan di kawasan hutan produksi KPH Bandung Utara tetapi surplus manfaat hidrologisnya semakin menurun. Penerapan PDR atau PES di KBU dari aspek arah kebijakan yang terkait KBU sampai saat sekarang masih belum mendukung, namun dengan telah terbitnya UU No.26/2007 dan PP No.15/2010 yang mana dalam pengendalian pemanfaatan ruang salahsatunya dilakukan menggunakan mekanisme insentif/disinsentif, maka penerapan PDR atau PES memiliki prospek dapat diterapkan di masa yang akan datang. Sedangkan dari aspek pembiayaan dari Pemerintah Daerah, masih belum menunjukkan dukungan, sehingga perlu terus mendorong empat kabupaten/kota di KBU agar dapat mengalihkan dari pos pembiayaannya untuk kegiatan pertanian dan lingkungan kedalam pembiayaan PDR dan PES secara bertahap dan cost-sharing. Sedangkan dukungan masyarakat yang dicerminkan oleh persepsi masyarakat yang masih rendah atas kehilangan fungsi hidrologis dan produksi bahan makanan terutama sayur dan buah-buahan di KBU masih jauh dari harapan, sehingga perlu dilakukan sosialisasi dan kampanye yang berkelanjutan tentang kehilangan sumber pangan dan kawasan lindung. Kata kunci: kawasan lindung, guna lahan, insentif ekonomi, model PDR dan model PES

7 viii Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar Institut Pertanian Bogor. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh larya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.

8 ix INSENTIF EKONOMI DALAM PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) KAWASAN LINDUNG DI JAWA BARAT (Studi Kasus Kawasan Bandung Utara) ENDANG HERNAWAN Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

9 x Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup 1. Prof. Dr. Ir. Ahmad Fauji 2. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurochmat Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka 1. Dr. Ir. Firmansyah, MT 2. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS

10 xi Judul : Insentif Ekonomi Dalam Penggunaan Lahan (Land Use) Kawasan Lindung di Jawa Barat (Studi Kasus Kawasan Bandung Utara) Nama : Endang Hernawan NIM : E Menyetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr.Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS. Ketua Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman, MA. Anggota Dr.Ir. Sudarsono Soedomo Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr.Ir. Imam Wahyudi, MS Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 05 Agustus 2010 Tanggal Lulus :...

11 xii Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan mengalir sungai-sungai daripadanya. Dan menjadikan padanya semua buahbuahan berpasang-pasangan. Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Quran Surat Ar Ra d (Guruh) (13): Ayat 3).

12 xiii KATA PENGANTAR Perjalanan yang cukup panjang dalam penyelesaian penelitian dan penulisan disertasi ini, bukan hanya sekedar hasil jerih payah semata, namun merupakan anugerah yang tiada bandingnya dari Allah SWT, karena tanpa bimbingan dan RhidloNya perjalanan yang panjang tersebut tanpa berkesudahan dengan selesainya penulisan disertasi ini. Untuk itu dengan ucapan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan, karena atas rahmat dan karunia Nya, maka disertasi berjudul: Insentif Ekonomi Dalam Penggunaan Lahan (Land Use) Kawasan Lindung di Jawa Barat (Studi Kasus Kawasan Bandung Utara) telah penulis selesaikan. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Dalam kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dengan kesabarannya telah membimbing dan mengarahkan serta memberi dorongan bagi penulis mulai dari penyusunan proposal, selama penelitian dan analisis hingga selesainya penulisan disertasi. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman, MA selaku Anggota Komisi Pembimbing atas sumbangan tenaga, pikiran, arahan dan bimbingan serta memberikan semangat sejak dari awal rencana penelitian, tahap analisis hingga selesainya penulisan disertasi. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Dr.Ir. Sudarsono Soedomo selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan kesabarannya telah membimbing, memberi masukan serta memberi dorongan bagi penulis mulai dari penulisan proposal, analisis hingga penulisan disertasi. Semoga Allah SWT membalas dan melimpahkan balasan yang setimpal. Amin. Pada kesempatan ini juga penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB Prof.Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS, dan Dekan Fakultas Kehutanan IPB yang selalu mendorong dalam penyelesaian disertasi ini. Selanjutnya kepada Dekan Fakultas Kehutanan UNWIM, Pujo Utomo, S.Hut, MSi beserta rakan-rakan dosen Fakultas Kehutanan UNWIM yang telah memberikan dukungan dalam penelitian dan penulisan

13 xiv disertasi ini. Juga kepada para pihak yang tidak bisa disebut satu persatu yang telah membantu dan mendorong sehingga dapat diselesaikannya penelitian dan penulisan disertasi. Khusus kepada Istriku tercinta, Nani Rosna, terima kasih atas segala dorongan serta doa nya, juga kesabarannya dalam mendampingi penulis. Demikian juga kepada anak-anakku, Lupita, Zein, Zia dan Pasya yang selalu mendoakan dan dukunganya; kalianlah sumber semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan disertasinya. Semoga disertasi yang telah disusun memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan praktek dalam mencegah perubahan penggunaan lahan pertanian dan kawasan lindung serta membantu pengendalian implementasi tata ruang melalui model PDR dan PES. Bogor, Agustus 2010 Penulis Endang Hernawan

14 xv RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Desa Leuwiseeng, Kecamatan Panyingkiran, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat pada tanggal 3 Maret 1963, sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara keluarga Bapak H. E. Armidi, BA (alm) dan Ibu Hj. Ening (alm). Penulis menikah dengan Nani Rosna, SE pada tahun 1991 dan telah dikaruniai dua putri dan dua putra: Lupita Aisyah Hernawan, Zein Witriandani Hernawan, Muhammad Zia Pratama Hernawan, dan Muhammad Pasya Wiratama Hernawan. Pendidikan dasar diselesaikan di Desa Leuwiseeng, di SDN Leuwiseeng, Kecamatan Panyingkiran, Kabupaten Majalengka. Pendidikan SMP di tempuh penulis di SMPN Kadipaten, dan menyelesaikan pendidikan SMA di SMAN Majalengka pada tahun Penulis menyelesaikan S-1 pada Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor pada tahun Pada tahun 1994 penulis menyelesaikan studi S-2 pada program studi Magister Teknik Geodesi Institut Teknologi Bandung. Kemudian pada tahun 2002 penulis juga menyelesaikan studi S-2 pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2002, penulis mendapat beasiswa BPPS melanjutkan studi S-3 pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK), Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengawali karir sebagai dosen di Akademi Ilmu Kehutanan (AIK) Provinsi Jawa Barat pada tahun 1988, kemudian pada tahun 1992 AIK Provinsi Jawa Barat berubah menjadi Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti Jatinangor Sumedang, dan penulis menjadi dosen pada Jurusan manajemen Hutan Fakultas Kehutanan tersebut hingga sekarang. Pada 30 April 2010 penulis mendapatkan jabatan akademik/fungsional dosen sebagai Lektor Kepala dengan mata kuliah Manajemen Hutan. Selain sebagai dosen, sejak tahun 1999 sampai sekarang penulis terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan melalui Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan dan PNPM Mandiri Perdesaan.

15 xvi Selama mengikuti program Doktoral, penulis telah menulis karya ilmiah yang telah dan akan diterbitkan; yaitu (1) Insentif Ekonomi Dalam Penggunaan Lahan (Land Use) Kawasan Lindung di Kawasan Bandung Utara, yang dipublikasikan pada Jurnal Manajemen Hutan JMHT Vol.XV, (1) 45 54, Agustus 2009; (2) Analisis Kemungkinan Penerapan Cost-Benefit Sharing Pronciples Antar Pemerintah Kabupaten Menggunakan Model Purchase of Development Right (PDR) yang akan diterbitkan oleh Jurnal Manajemen Hutan JMHT pada edisi Agustus 2010, dan (3) Kompensasi Perubahan Fungsi Hutan Produksi menjadi Hutan Lindung di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan banten yang akan diterbitkan pada Winaya Mukti Forestry Research Journal Vol. 10 No. 2 Oktober 2010.

16 DAFTAR ISI hal DAFTAR TABEL... xix DAFTAR GAMBAR... xxi DAFTAR LAMPIRAN... xxiii DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH... xxiv I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Maksud dan Tujuan Penelitian... 6 C. Kegunaan Penelitian... 7 D. Kerangka Penelitian... 7 E. Kebaruan (Novelty) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Guna Lahan B. Hirarki dan Sistem Perkotaan C. Pola Guna Lahan Kota D. Pasar Lahan E. Tata Ruang Kota (Urban Spatial Structure) F. Kerjasama dan Koordinasi Pengelolaan DAS G. Insentif Ekonomi dalam Pengendalian Guna Lahan H. Contoh Penerapan Insentif Dalam Mendorong Mempertahankan Guna Lahan dan Adopsi Upaya Konservasi III. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Batasan Fisik B. Batasan Administrasi C. Kondisi Fisik Dasar D. Kondisi Penggunaan Lahan E. Kondisi Sosial Ekonomi... 76

17 xviii F. Kondisi Jaringan Jalan G. Karakteristik Biofisik Kawasan Bandung Utara IV. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian B. Metode Penelitian C. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data D. Alur Penelitian E. Metode Analisis V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Struktur Ruang Kawasan Bandung Utara B. Nilai Jasa Lingkungan di Kawasan Bandung Utara C. Nilai Lahan Milik di KBU D. Nilai Lahan Hutan di KBU E. Penetapan Harga Insentif PDR dan PES di KBU F. Kemungkinan Implementasi PDR dan PES di KBU VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Rangkuman (Sintesa) Temuan B. Kesimpulan C. Saran D. Saran untuk Penelitian Lanjutan DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN LAMPIRAN

18 DAFTAR TABEL hal 1. Penyebaran Luas Kawasan Lindung Dalam Memenuhi Perda No.2 Tahun 2003 Propinsi Jawa Barat Ciri-ciri Orde Kota Bangkitan dan tarikan pergerakan dari beberapa aktivitas tata guna lahan Bangkitan lalulintas, jenis perumahan dan kepadatannya Interaksi Antar Daerah Ciri Zoma Guna Lahan Pengelompokkan Barang Pribadi dan Barang Publik Pembedaan Insentif Variabel dari Insentif Enabling Jenis Insentif dan Disinsentif Biaya Dan Manfaat Kawasan Lindung di Lahan Milik dan Lahan Publik Sumberdaya Federal Untuk PDR Pada Peternak Private, Pertanian dan Hutan Pengembangan Program PDR Di AS Bagian Timur Contoh Jenis-Jenis Program Beberpa Negara Bagian dalam Konservasi Lahan Pertanian Dukungan Bank Dunia Untuk PES Kecamatan dan Kelurahan/Desa Yang Termasuk KBU Luas Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Ketinggian Luas Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Kemiringan Luas Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Jenis Batuan Zona Konservasi Air Tanah di Kawasan Bandung Utara Luas Sub DAS Hulu Citarum di Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Wilayah Administrasi dan Status Kawasan Hutan Distribusi Penggunaan Lahan di Kawasan Bandung Utara Perbandingan Karakteristik Faktor Biofisik Antara DAS di Bagian Hulu dan Hilir Menurut Ramdlan et al (2003) dengan Kondisi KBU Kriteria Penetapan Orde Kota di KBU Klasifikasi Kelas Rumah berdasarkan Kondisi Fisik Bangunan Hirarki Struktur Kota-Kota Kabupaten Bandung Di Wilayah KBU Berdasarkan RUTR Kab. Bandung Alasan Pemerintah Propinsi Jawa Barat Dalam Menentapkan Hirarki Kota-Kota di KBU Orde Kota di KBU Berdasarkan Perkembangan Fasilitas Pelayanan dan Infrastruktur Produksi dan Tarikan Perjalanan di KBU Pada Wilayah Kota Bandung Produksi dan Tarikan Perjalanan di KBU Pada Wilayah Kabupaten Bandung Tarikan dan Bangkitan Aktivitas Guna Lahan di AS dan Inggris Perubahan Aktivitas Guna Lahan Perumahan dan Perkotaan di KBU..., Rekapitulasi Izin Lokasi di Kawasan Bandung Utara (ha) Estimasi Nilai VCR Jaringan Jalan Utama KBU Diferensiasi Zona Guna Lahan Setiap Kabupaten/Kota KBU

19 35. Tingkat Transformasi Penggunaan Lahan di KBU Nilai Surplus konsumen dan nilai jasa hidrologis KBU NPV jasa hidrologis setiap guna lahan di KBU NJOP Beberapa Pusat Pertumbuhan dan Daerah Hinterland-nya di KBU Nilai Tanah Berdasarkan Nilai Jual Setempat di KBU Luas Tanam dan Re-rata Produksi Pertanian dan Ladang/Kebun di Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi dalam KBU Nilai Tanah Pertanian Berdasarkan Nilai Harapan Tanah (NHT) di KBU Nilai Bangunan Rumah di KBU Berdasarkan Zona Guna Lahan Luas Kawasan Hutan di KBU Rencana Produksi Getah Pinus Setiap Daur Per ha di Hutan Produksi di KBU Berdasarkan Rencana Sadapan tahun Re-rata Produksi Getah Setiap Daur Per ha di Hutan Lindung KBU Berdasarkan Rencana Sadapan Tahun Re-rata Produksi Kayu Setiap Daur Per ha di Hutan Produksi KBU Pendapatan Bersih dan Nilai Harapan Tanah (NHT) Hutan Pinus di Kawasan Hutan Produksi KBU Komposisi Satus Penggunaan Lahan di Kawasan Bandung Utara Nilai PDR Atas Dasar Harga Jual Lahan Pertanian dan Lahan Permukiman Per m 2 di KBU Rasio Land Rent yang Diperoleh dengan Mengusahakan Lahan untuk Sawah dan Penggunaan lain di Jawa, Tahun Efektivitas PDR di setiap Zona Guna Lahan di KBU Efektivitas Penerapan PDR di Setiap Kabupaten/Kota di KBU Besarnya PES Penanaman Pohon Efektivitas Penerapa PES di Kawasan Lindung di KBU Efektivitas Penerapan PES di Kawasan Hutan Produksi Perhutani di KBU di KBU Profitabilitas perlindungan hutan ketika PES tertinggi diberikan dalam melawan profitabilitas pembalakan kayu pada harga kayu tahun Beberapa contoh kontrak provisi jasa air di Costa Rica melalui program PSA Perkembangan Kebijaksanaan Terkait Dengan Pemanfaatan Lahan di Kawasan Bandung Utara dan Tingkat Efektivitas Implementasinya Program Kegiatan dan Pagu Indikasi Pada APBD Kota Bandung TA Program Kegiatan dan Pagu Indikasi Pada APBD Kota Cimah TA Program Kegiatan dan Pagu Indikasi Pada APBD Kabupaten Bandung TA xx

20 DAFTAR GAMBAR 1. Kurva Bid-Rent Lands Use Sampai Batas Pusat Pertumbuhan Kerangka Penelitian Susunan Orde Kota Dalam Suatau Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) Dua Pola Penggunaan Lahan Konsentris Konsep Segitiga Dalam Menentukan Minimasi Biaya Friksi Ruang Model Bid-Rent dan Zone Penggunaan Lahan Kota (Menurut Rustiadi et al, 2009) Perbandingan Model Thunen dan Model Generalized Thunen Bangkitan dan Tarikan Pergerakan Segitiga Penggunaan Lahan Desa Kota Model Robin Pryer (1971) Model Struktur Keruangan dari Regional City (Pontoh dan Kustiawan, 2009) Tipologi Insentif Logika Pembayaran Jasa Lingkungan (PES) Hubungan pertukaran jasa dan barang antar kota dan desa Peta Wilayah Kawasan Bandung Utara Alur Penelitian Metode Segitiga Penentuan Penggunaan lahan Kota Desa Hirarki kota-kota yang ada di KBU Berdasarkan Kebijaksanaan Pemerintah Kota Bandung (1993) dan Kab. Bandung (1992) Hirarki kota-kota yang ada di Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Kebijaksanaan Pemerintah Propinsi Jawa Barat (1998) Hirarki kota-kota yang ada di Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Perkembangan Fasilitas Pelayanan dan Infrastruktur Luas Izin Lokasi di KBU Wilayah Kota Bandung Luas Izin Lokasi di KBU Wilayah Kabupaten Bandung Proporsi Jasa Hidrologis Dari Berbagai Guna Lahan di KBU Curva Bid-Rent Nilai Tanah Berdasarkan Harga Jual Tanah di KBU Curva Nilai Harapan Tanah Pertanian di KBU Komoditas pertanian pada berbagai guna lahan di KBU Curva Bid-Rent Bangunan Rumah di KBU Taksiran Produksi Getah pada setiap daur di Hutan Produksi KBU Taksiran Produksi Kayu Pinus pada setiap daur di Hutan Produksi KBU Pendapatan Bersih Produk Kayu dan Getah Pinus di Hutan Produk di KBU Nilai Harapan Tanah (NHT) Hutan Produksi Pinus di KBU

21 xxii 31. Perbedaan Nilai Lahan Pertanian Atas dasar Harga Jual dan NHT Proses Konversi Lahan Pertanian Menjadi Permukin di KBU Efektivitas Penerapan PES di Kawasan Lindung KBU Efektivitas Penerapan PES di Kawasan Hutan Produksi di KBU Kerangka Kerja Untuk Menganalisis Efisiensi PES Total area di program PSA di Costa Rica (Pagiola, 2008) Konsep PES and hasil dari interaksi komunitas perusahaan Mekanisme Pelaksanaan PDR Mekanisme Pelaksanaan PES Peta Rencana Pemanfaatan Ruang Wilayah Kawasan Bandung Utara Menurut RTRW Propinsi Jawa Barat Peta Rencana Pemanfaatan Ruang Wilayah Kawasan Bandung Utara Menurut RTRW Kabupaten Bandung (sebelum pemekaran menjadi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat)

22 xxiii DAFTAR LAMPIRAN 1. Perhitungan Nilai Manfaat Hidrologi KBU Atas Dasar Nilai Ekonomi Manfaat Air Untuk Rumah Tangga Perhitungan Penyebaran Nilai Jual Tanah Pertanian di Zona Guna Lahan KBU Perhitungan penyebaran harga lahan permukiman setiap zona guna lahan Pehitungan penyebaran harga bangunan rumah setiap zona guna lahan Perhitungan penyebaran NHT pertanian berdasarkan NPV setiap zona lahan Penentuan nilai PDR Perhitungan PDR setiap Zona Guna Lahan dan Wilayah Administratif Hitungan daur finanasial (nilai harapan tanah hutan)

23 xxiv DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah BAPPEDA : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BPLHD : Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Built up area : Areal perbatasan kota dengan bukan kota Built up area land : Areal penggunaan lahan kekotaan utama CBD : Central Busines District CPT : Central Place Theory CVM : Contongent Valuation Method DAS : Daerah Aliran Sungai GTM : Generelaized Thunen Model Hinterland : Daerah pinggiran kota KBU : Kawasan Bandung Utara Monocentric : Kota dengan satu pusat kota NART : Nilai Air untuk Rumah Tangga NART HA : Nilai Air per satuan luas NART HAd : Nilai Air per satuan luas yang telah didiscounting NHT : Nilai Harapan Tanah NHT H : Nilai Harapan Tanah hutan NHT HS : Nilai Harapan Tanah hutan pada tahun sewa NHT HS : Nilai Harapan Tanah hutan pada tahun sewa NHT HOP : Nilai Harapan Tanah hutan optimum NHTp : Nilai Harapan Tanah pertanian NJOP : Nilai Jual Objek Pajak NPV : Net present value Over bounded city : Sebagian besar batas fisik ciri kekotaan berada di dalam batas administrasi kota. PDR : Purchase of Development Right PES : Payment for Environmental Services Proverty rights : Hak kepemilikan lahan RKPD : Rencana Kerja Pemerintah Daerah RPJM : Rencana Pembangunan Jangka Menengah RTRWN : Rencana Tata Ruang Nasional RTRWP : Rencana Tata Ruang Propinsi RTRW Kab/Kota : Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota Rural area : Daerah dimana 100% penggunaan lahannya berorientasi agraris. Rural fringe area : Daerah yang sebagian besar guna lahan didominasi oleh bentuk bentuk guna lahan kedesaan atau > 60% penggunaan lahannya rural land use, dan <40% penggunaan lahannya urban land use. Tereltak dari titik perbatasan rural sampai ke jarak 40% dari titik tersebut (jarak dihitung dari urban real sampai rural real). Terjadi perubahan transformasi struktural penggunaan lahan meskipun cukup lambat.

24 xxv SKPD : Satuan Kerja Pengembangan Daerah SWP : Satuan Pengembangan Wilayah TDR : Transfer of Development Rights Townscape : Lingkungan kekotaan True Bounded City : Batas fisik kota koinsiden dengan batas administrasi kota. Under bounded city : Sebagian besar batas fisik ciri kekotaan berada jauh di luar batas administrasi kota Urban area : Daerah dimana 100% penggunaan lahannya berorientasi kekotaan. Urban fringe area : Daerah yang sebagian besar guna lahan didominasi oleh bentuk bentuk guna lahan kekotaan atau > 60% penggunaan lahannya urban land use, dan <40% penggunaan lahannya rural land use. Tereltak dari titik perbatasan urban built up land) sampai ke jarak 40% dari titik tersebut (jarak dihitung dari urban real sampai rural real). Terjadi perubahan transformasi struktural penggunaan lahan walau tidak secepat urban area. Urral fringe area : Daerah yang persentase guna lahan kota seimbang dengan guna lahan desa berkisar antara 40 60%, dan dalam jangka pendek transformasi struktural penggunaan lahan akan terjadi walaupun tidak secepat pada subzone urban fringe. VCR : Volume Capacity Ratio

25 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki kebijakan untuk mengalokasikan wilayah daratannya seluas 45% sebagai kawasan berfungsi lindung pada tahun 2010 melalui Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2003 (Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2003). Kebijakan tersebut ditandaskan kembali pada RPJM Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun melalui Peraturan Gubernur Nomor 54 Tahun Berdasarkan kebijakan tersebut maka setiap RTRW Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat harus menyesuaikan dengan arahan RTRWP Jawa Barat dengan mengalokasikan sebagian kawasannya untuk kawasan berfungsi lindung, sesuai dengan persyaratan. Berdasarkan hasil kajian Bappeda Propinsi Jawa Barat (2003), dalam penyesuaian dengan Perda tersebut, alokasi kawasan berfungsi lindung di setiap kabupaten/wilayah seperti terlihat pada tabel berikut. Tabel 1. Penyebaran Luas Kawasan Lindung Dalam Memenuhi Perda No.2/ 2003 Propinsi Jawa Barat No. Kabupaten/Wilayah Luas Daratan Luas Kws Lindung Persentase (ha) (ha) (%) 1 Bogor Bekasi Sukabumi Cianjur Bandung Purwakarta Karawang Subang Sumedang Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Majalengka Cirebon Indramayu Jumlah Sumber: Bappeda Propinsi Jawa Barat (2003) dalam Setiobudi (2005) Berdasarkan hasil evaluasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun 2008 atas pencapaian kebijakan kawasan lindung 45%, kawasan lindung yang sesuai

26 2 sebesar 27,5% (11,3% dari kawasan hutan dan 16,2% dari luar kawasan hutan), yang kurang sesuai sebesar 14,8% dan yang tidak sesuai sebesar 6,6%. Penyimpangan pemanfaatan ruang tersebut ditunjukan dengan tingginya alih fungsi lahan produktif yang disebabkan oleh pengaruh kegiatan ekonomi, perkembangan penduduk maupun kondisi sosisal budaya. Alih fungsi yang terjadi umumnya mengabaikan rencana tata ruang yang telah direncanakan. Penyimpangan pemanfaatan ruang tersebut disebabkan juga oleh tidak jelasnya bentuk kompensasi atas dampak perubahan penggunaan lahan budidaya menjadi kawasan lindung. Dengan pengalokasian kawasan berfungsi lindung dalam memenuhi ketentuan Perda No. 2/2003 sebesar 45%, maka di setiap kabupaten memerlukan perubahan guna lahan dari guna lahan budidaya menjadi kawasan yang berfungsi lindung. Dampak bagi kabupaten yang sebagian besar wilayahnya menjadi kawasan berfungsi lindung adalah upaya pembangunan ekonominya menjadi terbatas. Selain itu, juga berdampak bagi pemilik lahan yakni apabila ada kerugian akibat pengaturan rencana tata ruang maka akan ditanggung oleh pemilik lahan itu sendiri. Hal ini didasarkan aturan bahwa rencana tat ruang yang sudah diundangkan memiliki kekuatan hukum untuk ditaati bagi warga negaranya. Dengan terbitnya UU No. 26 Tahun 2007 kompensasi atas kerugian tersebut telah diakomodasi. Menurut Pasal 60 huruf c dari undang-undang tersebut, setiap orang berhak untuk memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang. Oleh karena itu menurut Sadyohutomo (2008), untuk menuju azas keadilan sesama warga negara maka (1) setiap kerugian akibat rencana tata ruang harus ada kompensasi. Kompensasi dapat berbentuk uang tunai, insentif, subsidi, tranfer of development right/bentuk pembangunan lain, atau bentuk-bentuk kompensasi lainnya, dan (2) yang membayar kompensasi adalah publik yang diuntungkan oleh adanya rencana, sedangkan pemerintah bertindak sebagai agen/pengelola/mediator. Prosedur penentuan, bentuk dan perhitungan besarnya kompensasi perlu dituangkan dalam kebijaksanaan pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hal ini, maka dalam menentukan bentuk dan besaran kompensasi akibat pengaturan tata ruang perlu dikaji model insentif sebagai

27 3 model kompensasi atas perubahan penggunaan lahan, dengan mengadopsi model cost-benefit sharing principles. Dalam mengkaji prinsip tersebut akan dilakukan melalui studi kasus di Kawasan Bandung Utara (KBU). KBU ini yang secara resmi disebut sebagai Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara terletak di Bagian Utara Kota Bandung, dimana secara administratif pemerintahan mencakup Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat (pecahan Kabupaten Bandung sejak tahun 2008) dan Kota Cimahi. Mengingat kawasan ini berada pada ketinggian 750 m dpl ke atas dan merupakan daerah perbukitan dan pegunungan dan merupakan daerah resapan air untuk daerah bawahannya khususnya Kota Bandung, maka sejak tahun 1982 melalui SK Gubernur Jawa Barat No. 181/1982 tentang Peruntukan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara, dari seluas ha telah ditetapkan sebesar 68,69% sebagai kawasan lindung dan sisanya 31,31% sebagai kawasan budidaya. Kemudian berdasarkan RUTR KBU Tahun 1998 telah ditetapkan kawasan lindung sebesar 72,44% dan sisanya sebesar 17,56% sebagai kawasan budidaya. Sedangkan berdasarkan kajian oleh Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat (2004) dalam menyesuaikan dengan Perda No.2 Tahun 2003, menunjukkan bahwa kawasan konservasi potensial sangat tinggi dan tinggi mencapai 87% dari luas KBU. Namun disisi lain, KBU memiliki karakter alamnya yang cukup nyaman dengan suasana desa pertanian pegunungan dan landscape yang indah sehingga banyak diminati para pemukim dari Kota Bandung. Selain telah berkembangnya permukiman, di KBU juga telah berkembang prasarana dan sarana kegiatan pariwisata dan pendidikan seperti perhotelan dan sekolah kedinasan dan tempat penelitian. Permintaan akan permukiman, sarana dan prasarana pariwisata dan pendidikan tersebut telah meningkatkan harga lahan, yang mendorong terjadinya penjualan lahan pertanian (sawah maupun lahan kering) untuk dibangun perumahan, perhotelan dan tempat pendidikan. Perubahan penggunaan lahan tersebut pada akhirnya menyebabkan terjadinya fragmentasi landscape pertanian dan kawasan lindung yang luas yang dibutuhkan untuk mendukung usaha pertanian, DAS Citarum yang sehat, maupun tanaman dan hewan asli setempat. Perkembangan yang terjadi di KBU tersebut telah menimbulkan dampak terhadap kondisi kawasan yang mempunyai fungsi lindung ini, khususnya

28 4 keseimbangan sistem air bumi cekungan Bandung. Menurut Sugiarto (1995), di Kota Bandung, dimana air bumi telah terabstraksi sebesar 161,10 juta m 3 /tahun, sedangkan estimasi masukan dari air hujan hanya sekitar 54,59 juta m 3 /tahun ditambah masukan dari samping, maka keseimbangan airbumi lokal di Kota Bandung pada tahun 1995 defisit sebesar 16,98 juta m 3 /tahun, dengan nisbah masukan/keluaran sebesar 89,46%. Dengan demikian kondisi keseimbangan airbumi khususnya Kota Bandung sangat kritis. Berdasarkan phenomena di atas, di KBU telah terjadi ketidak-konsistenan dalam implementasi rencana tata ruang yang disebabkan oleh produk rencana tata ruang yang belum dipakai sebagai acuan dalam penyusunan program pembangunan daerah. Kondisi ini lebih disebabkan oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 (sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan tata ruang KBU di atas) yang belum ditunjang oleh perangkat-perangkat penunjang operasional Implementasi RTRW diantaranya perangkat pemanfaatan dan pengendalian ruang yang meliputi zoning regulation, insentif dan disinsentif, mekanisme perijinan yang efektif, serta sistem informasi tata ruang. Kurang efektifnya pengendalian pemanfaatan ruang KBU melalui mekanisme perijinan pembangunan dewasa ini disebabkan lahan KBU sebagian besar merupakan lahan milik (54%), sehingga implementasi regulasi khususnya dalam mengarahkan pengguna lahan (land user) untuk tidak melakukan konversi guna lahan berfungsi lindung maupun untuk berperilaku konservasi dalam pengelolaan lahannya, tidak berjalan. Menurut Zhang dan Laband (2004), seperti halnya upaya-upaya reforestasi lahan milik di Amerika Serikat, tidak efektifnya pengendalian pemanfaata ruang lebih disebabkan karena regulasi yang terkait dengan upaya-upaya konservasi di lahan milik (seperti menanam pohon) seringkaili hanya berupa proses administrasi dan penegakan yang legalistik. Regulasi kawasan lindung cenderung berbentuk command and control dalam mengarahkan perilaku pengguna lahan, sehingga siapa yang diatur harus mengikuti regulasi dan sekaligus ia membayar pengeluaran (biaya transaksi seperti kertas kerja dan inspeksi, dan biaya penghijauan). Pada akhirnya regulasi tersebut berimplikasi pada pemilik lahan dalam mempertimbangkan kelayakan finansial dalam penggunaan lahannya. Dampak ekonomi dari regulasi kawasan lindung ini terutama terkait dengan perubahan keuntungan ekonomi bagi pemilik lahan baik margin intensif

29 5 maupun margin extensif pada operasi penggunaan lahannya. Kedua margin inilah yang sebenarnya mendorong keputusan pengguna lahan untuk merubah penggunaan lahannya. Margin extensive akan mengarahkan lahan ditransfer dari penggunaan lahan dengan nilai terendah ke penggunaan lahan dengan nilai tertinggi. Sementara margin intensive akan mengarahkan penggunaan lahan ke penggunaan yang memiliki biaya terendah. Akibatnya implementasi regulasi kawasan lindung ini menjadi tidak efektif. Kedua konsep margin tersebut mengarahkan pada konsep rente lahan., yang mana perbedaan kapasitas rent-paying atau perbedaan kelas lahan seringkali digambarkan dalam terma perbedaan lokasi atau perbedaan kualitas lahan. Hal pertama yang menjadi ukurannya adalah kedekatannya terhadap air, infrastruktur, fasilitas-fasilitas, dan pusat budaya; berikutnya adalah tipe tanah atau faktor yang berkaitan dengan iklim dan buatan manusia. Oleh karena itu sumberdaya lahan biasanya dibayar pada harga tertinggi ketika digunakan untuk tujuan komersil atau industri dibanding penggunaan lainnya. Dalam daftar urutan sederhana berikutnya mulai dari yang tertinggi sampai terendah adalah permukiman, lahan pertanian, perumputan atau tujuan kehutanan (Barlowe, 1986, dalam Hubacek dan Vazquez, 2002) dan kawasan konservasi. Nilai yang lebih tinggi dan penggunaan lebih produktif secara ekonomi mengambil lahan terbaik untuk tujuannya; sedangkan sisa areal prioritas terendah untuk penggunaan lainnya. Berdasarkan konsep di atas, maka persoalan ketidak-konsistenan penggunaan lahan di KBU, lebih disebabkan oleh faktor lokasi KBU sendiri yang memiliki kedekatan terhadap pusat-pusat pertumbuhan, sehingga keputusan penggunaan lahan oleh pemilik lahan milik cenderung pada harga tertinggi yakni permukiman. Dari struktur kota, KBU merupakan bagian dari zona penggunaan lahan kota, dengan orde pertama yakni Kota Bandung. Konsekwensi sebagai bagian zona penggunaan lahan kota, maka berkembang pusat-pusat pertumbuhan. Karena kedekatan lokasi KBU dengan pusat perekonomian, maka mekanisme insentif bagi pemilik lahan harus menggunakan pendekatan yang bersifat voluntary (sukarela). Model yang mulai banyak diterapkan di berbagai negara adalah model Purchace of Development Right (PDR) dan model Payment Environment Service (PES). Model ini didasarkan pada prinsip kesukarelaan pengguna lahan dalam memberlakukan lahannya baik untuk mempertahankan

30 6 sebagai tempat bekerja maupun dalam upaya-upaya konservasi, melalui mekanisme penjualan hak membangun maupun penjualan jasa lingkungan lahan di lahan tempat mereka bekerja. Model ini pada akhirnya juga dapat digunakan untuk mengatasi keseimbangan dan guna mengurangi konflik antara masyarakat di upland - yang dituduh penyebab mahalnya biaya eksternalitas dan masyarakat di lowland yang memikul biaya. B. Maksud dan Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk menentukan nilai besaran insentif dan disinsentif ekonomi dalam upaya peningkatan efektivitas pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya terkait dengan mengendalian penggunaan lahan berfungsi lindung di KBU. Model yang digunakan adalah PDR dan PES. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merumuskan konsep PDR dan PES dalam mengarahkan pemilik lahan dalam menggunakan lahannya, dengan mempertimbangkan hirarki kota dan sistem perkotaan di KBU. Secara khusus, penelitian ini dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan berikut 1. Mengetahui struktur ruang KBU terutama terkait dengan hirarki kota dan sistem perkotaan, sistem penggunaan lahan kota dan diferensiasi perubahan penggunaan lahan dari guna lahan kota sampai ke guna lahan kedesaan. 2. Mengatahui tingkat transformasi struktur penggunaan lahan sebagai dasar pemberian insentif dan disinsentif. 3. Menghitung besaran nilai lahan menggunakan pendekatan NJOP, harga jual setempat dan nilai harapan tanah. 4. Menghitung besaran PDR dan PES, dengan mempertimbangkan tingkat transformasi struktur penggunaan lahan, khususnya untuk penggunaan lahan pertanian dan kehutanan. 5. Merumuskan konsep penerapan PES dan PDR dalam mencegah terjadinya perubahan penggunaan lahan akibat perbedaan rente lahan antara penggunaan lahan untuk kawasan berfungsi lindung dan hutan dengan penggunaan lahan lainnya. 6. Merumuskan tahapan kemungkinan penerapan PES dan PDR.

31 7 C. Kegunaan Penelitian Perancangan kota (urban design) merupakan suatu hasil perpaduan kegiatan antara profesi perencana kota, arsitektur, rekayasa sipil, dan transportasi dalam wujud fisik dalam dua bentuk umum yaitu ruang kota (urban space) dan ruang terbuka (open space). Ruang kota disediakan untuk melayani jasa bagi kehidupan manusia dan ruang terbuka sebagai pelengkap dan pengontras bentuk urban, serta menyediakan tanah untuk penggunaan di masa depan. Akibatnya kota menjadi suatu utilitas eksklusif dan tidak merasa perlu terkait dengan ruang tidak produktif dan di luar kota, khususnya daerah hinterland dan desa di sekitarnya. Dipihak lain, perencanaan dan pengelolaan kawasan lindung, khususnya hutan lindung dan konservasi, lebih memperhatikan bagaimana perlindungan dan pengelolaan habitat dan kawasan dapat berjalan tanpa memperhatikan perkembangan kebutuhan lahan akibat pertumbuhan demografi dan ekonomi di masa depan. Persoalan kawasan ini muncul ketika permintaan lahan menjadi tinggi untuk kegiatan perumahan dan kegiatan perkotaan lainnya, dan menjadi persoalan yang serius ketika pertimbangan produktivitas menjadi ukuran, yang pada akhirnya mendorong perubahan penggunaan lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan produktif. Sejalan dengan itu, terjadi persoalan lingkungan di daerah kota yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan di luar ruang kota akibat terjadi pengusiran lahan (expulsing) berfungsi lindung menjadi kawasan budidaya. Melalui penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dalam dua kubu perencana di atas, yakni perencana kota dan perencana kawasan lindung dan kawasan konservasi, agar dapat mewujudkan sebuah kota dan kehidupan berkelanjutan. Mekanisme insentif dan disinsentif ekonomi ini diharapkan mengatasi keseimbangan dan guna mengurangi konflik antara masyarakat di perdesaan yang dituduh menghambat perkembangan kota dan masyarakat kota yang memikul biaya. D. Kerangka Penelitian Menurut Bappeda Provinsi Jawa Barat (1998), perkembangan KBU tidak dapat dilepaskan dari perkembangan Kota Bandung. Kota Bandung lahir tahun 1906, dengan konsep Garden City yang pertama kali diformulasikan oleh

32 8 Ebenezer Howard kemudian diterapkan oleh Thomas Karsten dalam mendesain Kota Bandung. Sebagai Kota awal abad 20-an, yang dipengaruhi oleh konsep Kota di Eropa dan Amerika abad 19, Kota Bandung memiliki satu pusat kota (monocentric). Permukiman berada di luar zona pusat kota, dan di luar zona permukiman adalah zona pertanian, perkebunan dan kemudian diikuti zona lahan hutan sebagai pen-supply makanan dan serat ke kota. Zona pertanian dan kawasan hutan merupakan KBU dewasa ini. Sejalan dengan pertumbuhan kota, maka zona permukiman dan pusatpusat pertumbuhan kota berkembang ke luar dan bergerak ke arah KBU. Kecenderungan ini mulanya diawali pembangunan hotel-restoran Bumi Sangkuriang serta perluasan Kampus ITB, kemudian diikuti oleh perkembangan kawasan-kawasan permukiman berskala cukup besar dan fasilitas perkotaan lainnya. Kemudian kondisi ini secara legal formal didukung oleh penataan ruang yang mengarahkan beberapa kawasan menjadi pusat pertumbuhan di KBU. Berdasarkan kondisi tersebut, maka Kota Bandung tidak lagi monocentric yang berpusat di Kota Bandung (sekitar Alun-Alun Bandung), namun telah berkembang menjadi multicentric, termasuk di KBU yang dalam konsep kota lama sebagai lahan pertanian dan lahan hutan, yang mana dewasa ini di KBU telah berkembang pusat-pusat pertumbuhan. Berdasarkan model Von Thünen s, penggunaan lahan (land use) akan tergantung jarak dari pusat kota (pertumbuhan). Jarak ini mencerminkan biaya transportasi, semakin jauh dari pusat-pusat pertumbuhan (kota), maka akan semakin mahal biayanya. Jarak dari pusat kota juga akan mempengaruhi harga sewa tanah atau harga tanah, semakin dekat dengan pusat kota, maka harga sewa tanah atau harga tanah akan semakin mahal. Berdasarkan karakter kekotaannya, maka kurva bid-rent di setiap pusat pertumbuhan KBU diperkirakan akan mengikuti kurva pada Gambar 1 (bagian 1). Berdasarkan gambar tersebut, guna lahan ditentukan oleh kemampuan pengguna lahan membayar sewa lahan pada fungsi ekonomi yang berbeda seperti pasar eceran, industri dan permukiman. Lokasi optimal berada di distrik pusat bisnis (CBD) karena memiliki aksesibilitas tertinggi. Dengan asumsi kondisi ruang adalah isotropik, maka penggabungan (overlapping) kurva bid rent (bagian 2 Gambar 1) dari semua aktivitas ekonomi perkotaan dalam suatu pola guna lahan memusat (concentric) menghasilkan peruntukan lahan bagi pasar eceran di CBD,

33 9 industri/ komersil pada ring berikutnya, apartemen dan kemudian rumah tunggal biasa di ring terakhir. Pada dunia nyata keadaan seperti psiografi (perbukitan), sejarah dan sosial akan mempengaruhi kurva bid rent tersebut. Rente Lahan Rente Lahan B- Industri A-Pasar eceran Pusat kota Jarak dari pusat Kota C-Apartemen D- Rumah tinggal biasa Bag 1. Kurva-Bid Rent Bag 2. Overlay Kurva-Bid Rent Gambar 1. Kurva Bid-Rent Penggunaan Lahan Sampai Batas Pusat Pertumbuhan Ketika kota tumbuh dan berkembang, lokasi yang lebih jauh dari pusat kota akan digunakan, membuat biaya sewa untuk lahan yang memiliki aksesibilitas tinggi menjadi meningkat, sehingga terjadi peningkatan kepadatan dan produktivitas. Keadaan ini secara umum menggambarkan di wilayah tersebut terjadi pengusiran (expulsing) berbagai aktivitas yang kurang produktif ke luar pusat kota oleh aktivitas yang lebih produktif. Hal ini diperkirakan terjadi di setiap pusat pertumbuhan KBU, sehingga secara agregat akan mendorong permukiman meng-okupasi guna lahan pertanian dan kawasan lindung di seluruh KBU. Pergeseran penggunaan lahan tersebut disebabkan karena terjadi pergeseran margin intensif dan margin extensive lahan. Bentuk regulasi arahan pengendalian penggunaan lahan berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 terdiri atas peraturan zonasi, perizinan, insentif dan disinsentif, dan pemberian sanksi. Mekanisme insentif dan disinsentif dimaksudkan sebagai bentuk pengaturan untuk mendorong pemanfaatan ruang yang sejalan dengan tata ruang dan pengendalian pembangunan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang. Namun demikian pengaturan tersebut sering bersifat

34 10 command and control, sehingga sering terjebak pada mekanisme administratif yang pada akhirnya juga menjadi tidak efektif. Dalam menahan pergeseran margin intensif dan ekstensif tersebut melalui mekanisme kompensasi yakni mekanisme transfer of development right/bentuk pembangunan lain atau melalui dengan peniadaan hak membangun melalui pembelian hak membangun dari pemilik atau pengguna lahan (model PDR), atau menjual jasa lingkungan dari lahannya (model PES.) Dalam konsep PDR dan PES, maka pemilik lahan dapat menjual hak membangunnya secara sukarela baik dari segi luas arealnya maupun lamanya, sehingga pada luasan dan waktu tertentu dia atas lahan tersebut tidak dilakukan pembangunan atau konversi menjadi areal permukiman atau menjual jasa lingkungan dari aktivitas konservasi di lahannya. Berdasarkan mekanisme tersebut, diharapkan RTRWP Jawa Barat dapat diimplementasikan di KBU yakni dengan mengalokasikan kawasan KBU sebagai kawasan lindung 87%. Sebagai ukuran kinerja implementasi tata ruang di KBU tersebut adalah terjaminnya fungsi lindung KBU terutama dalam pengaturan tata air dan hidrologi. Oleh karena itu tingkat efektivitas penerapan PDR dan PES diukur dari nilai manfaat hidrologi. Secara skematis kerangka penelitian yang direncanakan sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2. E. Kebaruan (Novelty) 1. Kebaruan (fokus penelitian) dalam mengungkap besarnya nilai PDR dan PES sebagai model pemberian insentif dalam mencegah terjadinya perubahan penggunaan lahan dan mendorong terjadinya perilaku konservasi dari pengguna lahan sesuai dengan arahan RTRW Provinsi sebagai kawasan lindung dengan mempertimbangkan struktur ruang kota yang meliputi hirarki, sistem penggunaan lahan kota, diferensiasi penggunaan lahan dan tingkat transformasi penggunaan lahan. 2. Kebaruan keilmuan terkini (advance) karena fokus penelitian, berdasarkan review hasil-hasil penelitian sebelumnya, menghasilkan fakta belum adanya penelitian mengenai penentuan besarnya nilai hak membangun (development right) dalam mekanisme PDR dan besarnya harga sewa bagi penanam pohon dalam mekanisme PES dengan mempertimbangkan struktur ruang kota dalam konteks penentuan besarnya insentif pengendalian pemanfaatan ruang.

35 RTRWP JAWA BARAT TAHUN 2003: - 45 % KL - 55 % KB PENYESUAIAN RTRW KBU DENGAN RTRW P JAWA BARAT Kajian Nilai Lahan di KBU Kajian Manfaat Hidrologia di KBU Kajian Struktur Ruang KBU Lahan Milik Lahan Publik Surplus konsumen Hirarki Kota KBU Harga Jual Tanah Nilai Harapan Tanah Pertanian Nilai Harapan Tanah Hutan Diferensiasi Guna Lahan Daur Optimum Nilai Jasa hidrologi Kawasan Lindung Zona Guna Lahan Penetapan Nilai PDR NPV Jasa Hidrologi Penetapan Nilai PES Efektivitas Implementasi RTRWP Jawa Barat di KBU Pola Ruang KBU Kawasan Hutan produksi Gambar 2. Kerangka Penelitian

36 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Guna Lahan Sumberdaya lahan didefinisikan sebagai lahan dimana ekstraksi sumberdaya alam terjadi (dapat terjadi) seperti hutan, bahan tambang, atau pertanian (Lovering et al, 2001). Dengan demikian pengertian sumberdaya lahan lebih luas daripada tanah, yaitu suatu lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, topografi, tanah, hidrologi dan vegetasi dimana pada batas-batas tertentu mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan. Menurut Jayadinata (1999), konsep lahan atau tanah setidaknya mancakup (1) konsep ruang, (2) konsep tanah, (3) konsep faktor produksi, (4) konsep situasi, (5) konsep properti dan (6) konsep modal. Selanjutnya menurut Sutawijaya (2004), tanah merupakan sumber daya yang menyediakan ruangan (space) yang dapat mendukung semua kebutuhan makhluk hidup. Dikatakannya pula bahwa ruangan yang disediakan tersebut sangat terbatas, sedangkan kebutuhan akan tanah mempunyai kecenderungan terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam memenuhi kebutuhan perumahan, pertanian, industri dan lain lain. Hal inilah yang menuntut perkembangan teoritis nilai tanah. Guna lahan atau penggunaan lahan adalah segala macam campur tangan manusia baik secara permanen ataupun secara siklus terhadap sekumpulan sumberdaya lahan dengan tujuan untuk memperoleh manfaat dari lahan, guna mencukupi kebutuhan hidupnya, baik berupa kebendaan maupun spiritual ataupun keduanya (Sugiharto, 2006). Menurut Hubacek dan Jose Vazquez (2002), guna lahan dipengaruhi oleh tiga kelompok faktor. Kelompok pertama, terdiri dari faktor fisik, biologi dan teknik mencakup kuantitas, alam, ketersediaan dan karakteristik sumberdaya lahan, yang limit pastinya ditetapkan oleh apa yang dapat dilakukan operator dalam menggunakan sumber daya lahannya. Kelompok kedua, institusi, sebagai the rules of the game di masyarakat, membatasi orang dan secara tidak sadar menentukan kebiasaan orang dalam berinteraksi. Dan kelompok ketiga, secara terbatas merupakan kekuatan ekonomi, supply dan demand, sebagai pembentuk guna

37 13 lahan dewasa ini. Sedangkan Jayadinata (1999) menyatakan bahwa faktor yang menjadi penentu dalam pola guna lahan adalah (1) perilaku masyarakat (social behavior) dan (2) faktor ekonomi. Supply lahan dalam pandangan fisik selalu dipertimbangkan sebagai hal yang tetap dan terbatas. Namun supply lahan secara ekonomi tergantung pada supply fisik, faktor kelembagaan, ketersediaan teknologi, dan lokasinya. Supply ekonomi mungkin dibatasi sebagai unit lahan yang memasukan kekhususan dalam merespon terhadap rangsangan, seperti harga dan kelembagaan. Pemilik lahan dalam menentukan tipe dan intensitas penggunaan lahannya tergantung pada harga lahan yang akan diperoleh per hektar. Dewasa ini supply lahan menggambarkan praktek utilisasi, ketersediaan ekonomi sekarang, dan kemampuan beradaptasi terhadap kebutuhan demand (Hubacek dan Jose Vazquez, 2002). Berdasarkan kondisi tersebut, pada saat supply masih cukup luas, maka demand menjadi tidak terbatas. Menurut Hubacek dan Jose Vazquez (2002), demand lahan dibedakan atas dua kategori yang berbeda yakni direct demand dan derived demand. Direct demand lahan dikatakannya sebagai demand lahan yang digunakan langsung untuk konsumsi lahan, diarahkan oleh sinyal pasar bahwa konsumer menjadi land user, seperti petani, yang memberikan kepuasan terhadap demand bagi barang dan jasa sekarang. Namun demand kedua yakni derived demand, yang merupakan demand secara umum dimana konsumen meminta produk, sementara produser men-supply lahan sebagai faktor produksi. Mekanisme supply dan demand tersebut akan menentukan pola penggunaan lahan. Menurut Sugiharto (2006), pola guna lahan secara fisik yang dimaksud adalah upaya dalam meningkatkan pemanfaatan, mutu, dan penggunaan lahan untuk kepentingan penempatan suatu atau beberapa kegiatan fungsional sehingga dapat memenuhi kebutuhan kehidupan dan kegiatan usaha secara optimal ditinjau dari segi sosial ekonomi, sosial budaya, fisik, dan secara hukum. B. Hirarki dan Sistem Perkotaan Pembentukan kota, hirarki dan sistem perkotaan diawali dengan terbentuknya wilayah pasar. Konsep dan model dasarnya merupakan perkembangan dari

38 14 pengorganisasian spasial dari wilayah pasar satu produk satu produsen (monopoli) sampai organisasi spasial dari produksi bermacam barang dan banyak produsen sehingga membentuk susunan hirarki spasial di suatu tempat terpusat (Dicken dan Lloyd, 1990). Kerangka konsep sederhana dalam menjelaskan proses terbentuknya wilayah pasar tersebut dikenal dengan Central Place Theory (CPT). Dasar memahami CPT sesungguhnya berasal dari konsep tentang aglomerasi ekonomi yang pengertian umumnya yang menurut Nugroho dan Dahuri (2004) sebagai perolehan keuntungan ekonomi akibat dua atau lebih produsen bergabung dan berdekatan secara spasial, dan menurut Nuryadin et al (2007), ekonomi aglomerasi merupakan daerah-daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonomi terjadi. Selanjutnya dikatakan Nugroho dan Dahuri (2004) bahwa setidaknya ditemukan dua gejala besar didalam aglomerasi berkaitan dengan wilayah pasar, yaitu (1) bertemunya dua atau lebih aktivitas ekonomi yang berbeda, sehingga wilayah pasar setiap produsen cenderung menyatu, dan (2) bertemuanya dua atau lebih aktivitas ekonomi yang sama, sehingga memungkinkan terbentuknya pasar baru yang lebih besar. Kedua keadaan ini secara umum berimplikasi terhadap pembatasan tumbuhnya jumlah kota, penekanan kebutuhan infrastruktur, dan identifikasi dan pencarian mekanisme aglomerasi terhadap aktivitas ekonomi yang lain. Konsekwensi dari aglomerasi ini adalah terbentuknya hirarki yang tediri dari kota besar, kota sedang dan kota kecil. Sementara Dicken dan Llyod (1990) menyebutkan tipe aglomerasi dibedakan dalam dua hal yakni lokalisasi ekonomi dan urbanisasi ekonomi. Menurut Nugroho dan Dahuri (2004), yang harus dicatat bahwa teori ini baru memperhitungkan tentang kegiatan dari industri tersier (pelayanan jasa) untuk menempatkan lokasi dari tempat sentral tersebut. Asumsi teori ini melalui penyederhanaan suatu dunia nyata, dimana wilayah pasar adalah datar (flat plane) dan sumberdaya alam dan penduduk tersebar dengan merata dan pekerjaan penduduk adalah semua petani (homogen). Dengan demikian menurutnya, CPT ini sulit diterapkan di wilayah dengan sistem perkotaan karena faktor-faktor yang mempengaruhinya lebih kompleks dari asumsi yang dijelaskan CPT, tetapi keadaan wilayah dan ekonomi perdesaan yang belum banyak tersentuh sektor modern (tipe wilayah homogen) tampaknya dapat dijelaskan oleh CPT. Adapun wilayah dengan

39 15 sektor modern yang dapat dianalisis oleh CPT adalah distribusi sektor jasa atau pusat perbelanjaan di kota. Selanjutnya Nuryadin et al (2007), mengatakan aglomerasi menghasilkan perbedaan spasial dalam tingkat pendapatan, semakin teraglomerasi secara spasial suatu perekonomian maka akan semakin meningkat pertumbuhannya, sehingga daerah-daerah yang banyak industri pengolahan tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah-daerah yang hanya mempunyai sedikit industri pengolahan Menurut Sinulingga (2005), CPT dapat digunakan untuk merumuskan bagaimana hubungan antara tempat sentral dengan wilayah pengaruhnya (hinterland) serta merumuskan bagaimana hirarki dari tempat sentral. Dengan menggunakan CPT, menurut Sinulingga, Walter Christaler telah menentukan hirarki kota-kota dalam suatu wilayah dengan cara meninjau jumlah pelayanan yang dapat diemban oleh sebuah kota. Untuk melakukan analisis sistem perkotaan dewasa ini yang lebih kompleks telah berkembang berbagai metode diantaranya metode survei, metode gravitasi, metode peringkat dan metode gugus. Yang membedakan keempat metode ini adalah cara pengamatan dan variabel yang diamati (Nugroho dan Dahuri, 2004). Selain keempat metode tersebut juga terdapat metode Purnomosidi yang dikembangkan oleh Dr. Purnomosidi yang menurut Sinulingga (2005) telah melakukan penelitian hirarki perkotaan di Indonesia dengan mengamati aliran barang dari kota ke kota. Dalam pembahasannya dinyatakan bahwa pada satuan wilayah pengembangan (SWP) terdapat hirarki kota-kota dengan sebutan orde kota yaitu orde 1, orde 2, dan seterusnya. Kota orde 1 adalah kota yang tidak berada dibawah subordinansi kotakota lainnya. Disamping itu kota orde 1 perlu menguasai fasilitas distribusi yang lengkap termasuk pelabuhan. Orde 2 berada dalam subordinasi orde 1, sedangkan orde 3 berada dalam subordinasi orde 2, demikian selanjutnya. Untuk kepentingan di Indonesia, ciri masing-masing orde kota dapat dijelaskan pada Tabel 2, susunan orde kota dalam satu SWP terdapat pada Gambar 3. Menurut Sinulingga (2005), manfaat mengetahui hirarki perkotaan ialah untuk deliniasi wilayah menjadi SWP-SWP yang mana dalam satu SWP kota orde I mempunyai wilayah pengaruh seluas SWP, sedangkan kota orde II mempunyai

40 16 wilayah pengaruh pada sebagian dari satu SWP yang dinamakan wilayah pengembangan partier (WPP). Orde Kota Kota Orde I Tabel 2. Ciri-Ciri Orde Kota Ciri-Ciri (1) (2) Kota Orde II Kota Orde III Kota Oede IV 1. Kedudukan sebagai ibukota negara atau pusat-pusat pembangunan nasional atau ibukota provinsi 2. Jangkauan pelayanan km 3. Jumlah penduduk 250 ribu sampai 5 juta 4. Terletak pada jalan nasional 5. Mempunyai fasilitas pelayanan yang lengkap termasuk pelabuhan laut 6. Terdapat kegiatan perindustrian yang besar dan modern, jasa perdagangan termasuk ekspor dan impor, perbankan internasional 7. Terdapat pelayanan-pelayanan lainnnya dalam sakala nasional seperti universitas, rumah sakit besar, dan sekaligus bandara nasional maupun internasional. 1. Ibukota propinsi, atau dan pusat pengembangan wilayah, atau kota besar 2. Jangkauan pelayanan km 3. Jumlah penduduk ribu 4. Berorientasi ke kota orde I dengan fasilitas yang kurang lengkap dibanding orde I 5. Terletak pada jalan nasional atau jalan provinsi 6. Memiliki terminal penumpang, memiliki perusahaan industri terutama agro industri 7. penyedia tenaga kerja, serta fasilitas jasa seperti perbankan dan pasar 8. memiliki pelayanan rumah sakit, dan sekolah-sekolah menengah umum, ataupun kadang-kadang universitas. 1. Ibukota kabupaten atau kota administratif 2. Jangkauan pelayanan km 3. Jumlah penduduk ribu 4. berorientasi ke kota ode II 5. terletak pada jalan propinsi atau jalan kabupaten sebagai kota 6. berfungsi penghubung perdesaan dan perkotaan, melayani kebutuhan perdesaan dan merupakan pusat wilayah perdesaan yang terbesar 7. memiliki beberapa pelayanan yang sering dilakukan walaupun tidak tiap hari seperti pasar, penyimpanan produksi, penyortiran produksi pertanian, juga termasuk jasa keuangan, perdagangan, pertukaran barang, jasa pengangkutan. 8. Jasa lain ialah pendidikan, kesehatan, sosial, dan administrasi 1. Ibukota kecamatan 2. Jangkauan pelayanan 7,5 15 km 3. Jumlah penduduk 5 20 ribu 4. berorientasi ke kota orde III 5. terletak pada jalan kabupaten

41 17 Tabel 2 (lanjutan) (1) (2) Sumber: Sinulingga, berfungsi sebagai pelayanan langsung jasa distribusi barang-barang kebutuhan perdesaan yang diperoleh dari kota orde di atasnya, dan tempat mengumpulkan hasil-hasil dari daerah perdesaan dan membawanya ke kota orde di atasnya 7. tersedia pasar kecil dan fasilitas penyimpanan sementara hasil-hasil pertanian. 8. terdapat fasilitas pendidikan formal ataupun informasl. Orde pertama Orde kedua Orde ketiga Orde keempat Arus yang menunjukkan hubungan dominan Gambar 3. Susunan Orde Kota Dalam Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) (Sinulingga, 2005) C. Pola Guna Lahan Kota Keberadaan orde kota, disamping kekuatan lainnya, mempunyai pengaruh pada pola persebaran jenis penggunaan lahan di kota. Interaksi yang berjalan antar berbagai elemen lingkungan telah menciptakan kekhasan pola. Yunus (2005) telah mengklasifikasikan 5 model pendekatan untuk melakukan kajian terhadap keadan

42 18 penggunaan lahan kota, yaitu (1) pendekatan ekologi, (2) pendekatan ekonomi, (3) pendekatan morfologi, (4) pendekatan sistem kegiatan dan (5) pendekatan ekologi faktorial. Keterkaitan dengan disertasi, maka akan dibahas 3 pendekatan saja yaitu pendekatan ekologi, pendekatan ekonomi dan pendekatan morfologi. Menurut Jayadinata (1999), penggunaan lahan kota didasarkan pada teori konsentrik, teori sektoral, dan teori pusat lipatganda. Selanjutnya dikatakan bahwa teori konsentrik dikembangkan oleh E.W. Burgess yang membagi kota kedalam pusat kota, jalur transisi, jalur perumahan buruh, jalur permukiman kaum menengah dan lajur penglaju. Sedangkan menurut Rustiadi et al (2009), teori konsentrik ini kemudian dikembangkan dan dimodifikasi oleh Sinclair seperti yang diilustrasikan pada Gambar Zona Bisnis 2. Zona Transisi 3. Zona Permukiman Pekerja 4. Zona Permukiman yang lebih baik 5. Zona Penglaju 1 Dikuasai para spekulator 2 Petani masa pendek/spekulan 3 Petani peralihan 4 Pemerahan susu 5 Lain-lain a. Konsep Zona Konsentris Burgess 1925 b. Konsep Zona Konsentris Sinclair 1967 Gambar 3. Dua pola penggunaan lahan konsentris (Rustiadi et al, 2009) Menurut Jayadinata (1999) dan Rustiadi et al (2009), teori sektoral dikembangkan oleh Homer Hoyt dari hasil pengamatannya di kota-kota di Amerika Serikat yang menggambarkan bahwa kota dapat tersusun dengan urutan (1) aktivitas pusat kota (CBD), (2) pada sektor tertentu terdapat kawasan industri ringan dan

43 19 perdagangan, (3) kawasan perumahan untuk tenaga kerja, (4), permukiman dengan pendapatan menengah, dan (5) kawasan tempat tinggal golongan atas. Sementara itu teori lipatganda (multiple nuclei model) menurut Jayadinata (1999) dan Pontoh dan Kustiawan (2009) dikembangkan oleh Harris dan Ullman tahun 1945 yang mengemukakan bahwa pusat pertumbuhan kota yang bermula dari satu pusat menjadi ruwet bentuknya. Hal ini disebabkan oleh munculnya pusat-pusat tambahan yang masing-masing akan berfungsi menjadi kutub pertumbuhan. Di sekeliling nukleus-nukleus baru itu akan mengelompok tata guna tanah yang bersambungan secara fungsional. Keadaan seperti ini akan melahirkan struktur kota yang memiliki sel-sel pertumbuhan. 1. Pendekatan ekologi Menurut Yunus (2005), prinsip dasar dari pendekatan ekologi adalah prosesproses ekologi pada masyarakat manusia mirip dengan apa yang terjadi pada masyarakat tumbuh-tumbuhan atau satwa. Proses impersonal ini antara lain (a) membutuhkan tempat tinggal, (b) mengembangkan keturunannya dan (c) membutuhkan tempat untuk mencari makan. Proses tersebut sangat jelas terlihat pada suatu kota melalui sistem sosial yang ada dan kemudian menghasilkan pola diferensial sosial dan pola diferensial penggunaan lahan. Dalam penjelasannya Yunus (2005) mengatakan bahwa sebagaimana dinamika ekologi dalam dunia tumbuhan, dalam pendekatan ekologi ini juga dikenal proses suksesi sampai klimaks melalui kompetisi ekologi yang kompleks hingga terjadinya dominansi kelompok sosial dan ekonomi tertentu membentuk suatu natural area dengan keseragaman sifat-sifat. Kunto (2008) mengidentifikasi namanama komplek permukiman di Kota Bandung seperti Babakan Surabaya, Kampung Jawa, Babakan Tarogong, Babakan Ciamis, Babakan Ciamis, Babakan Bogor, merupakan dominansi etnis tertentu dalam wilayah tersebut. 2. Pendekatan ekonomi (economic approach) Pontoh dan Setiawan (2009) menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi didasarkan pada pemahaman bahwa nilai lahan, rent dan cost mempunyai kaitan yang erat dengan pola penggunaan lahan. Selanjutnya dikatakan bahwa yang dapat

44 20 menjelaskan perbedaan pola penggunaan lahan adalah Teori Sewa Lahan, dan Teori Nilai Lahan. Nilai pasar lahan adalah nilai sekarang dari aliran pendapatan sewa yang dihasilkan oleh lahan. Sedangkan rente adalah harga, atau income dari, lahan dan property lahan dihitung per satuan waktu. Konsep ini disebut the contract rent. Bagi penyewa, pembayaran contract-rent adalah biaya operasional. Dari sudut pandang investor, rente adalah return of investment diantara perbedaan kemungkinan investasi. Rente dibayar oleh user untuk real estates mengganti opportunity cost bagi investor, yang menggambarkan simpanan keuntungan mereka dari investasi alternatif (Hubacek dan Vazquez, 2002). Rente Lahan dalam pandangan klasik adalah pendapatan yang dihasilkan dari penjualan jasa suatu unit lahan, terlepas dari jasa modal atau buruh. Oleh karena itu rente lahan merupakan gambaran pertumbuhan keuntungan ekonomi lahan dalam kegiatan produksi. Perbedaan kapasitas rent-paying atau perbedaan kelas lahan seringkali digambarkan dalam terma perbedaan lokasi atau perbedaan kualitas lahan. Ukuran perbedaan lokasi terdiri atas kedekatannya terhadap air, infrastruktur, fasilitas-fasilitas, dan pusat budaya; sedangkan ukuran kelas laham meliputi tipe tanah atau faktor yang berkaitan dengan iklim, atau faktor buatan manusia seperti bangunan. Akhirnya, para ekonom seringkali memandang lahan sebagai bagian dari kapital, yang mana rente dibayar lebih dari harga supply. Dalam pandangan ini, rente didefinisikan sebagai surplus ekonomi dalam jangka pendek setelah semua faktor produksi dapat dibayar, oleh karena kondisi supply dan demand lahan yang tidak dapat diperluas. Dalam jangka panjang, dengan asumsi kompetisi sempurna, kondisi supply dan demand lahan akan menjadi seimbang, dan phenomena rente ekonomi lahan menjadi hilang. Tetapi perbedaan kapasitas guna lahan yang memberikan basis rente lahan tidak akan hilang dengan terjadinya keseimbangan supply dan demand tersebut (Wessel, 1967 dalam Hubacek dan Vazquez, 2002). Selanjutnya menurut Nasution (1997) dalam Sugiharto (2006), lahan mempunyai lima jenis rente yakni rente ricardian, rente lokasi, rente lingkungan, rente sosial, dan rente publik. Kaitannya dengan pola guna lahan rente lahan banyak didasarkan pada rente lokasi, dengan teori utama yang mendukung pendekatan ini adalah teori sewa lahan.

45 21 Menurut Yunus (2005) yang mengutip pendapat Haig (1926), bahwa sewa lahan ini merupakan bentuk pembayaran untuk aksesibilitas atau penghematan untuk biaya transportasi dan ini akan berkaitan dengan proses penawaran (bidding process) dalam menentukan siapa yang berhak untuk menempati suatu lokasi, sebagai upaya untuk minimasi friksi ruang yang meliputi biaya transportasi dan lokasi, yang digambarkan segitiga pada Gambar 5 berikut. Rente Biaya Transportasi Lokasi Gambar 5. Konsep Segitiga Dalam Menentukan Minimasi Biaya Friksi Ruang (Yunus, 2005, hal. 65) Menurut Rustiadi et al (2009), dalam mekanisme pasar, kegiatan-kegiatan yang mempunyai nilai rente lahan yang lebih tinggi mampu menggeser kegiatankegiatan yang mempunyai rente lahan yang lebih rendah, hal ini karena rente lahan yang lebih tinggi memiliki posisi tawarnya (bergaining position) cenderung lebih tinggi, sehingga menimbulkan suatu land rent gradient. Dalam penggunaan lahan, adanya land rent gradient akan mempengaruhi dinamika penggunaannya, urutan nilai rente lahan dari yang tertinggi hingga terendah adalah perdagangan, industri, permukiman, pertanian intensif, pertanian ekstensif dan kehutanan (Gambar 6). Kondisi penggunaan model penentuan penggunaan lahan tersebut dapat digunakan dengan asumsi bahwa derajat aksesibilitas ke segala arah menunjukkan keseragaman, namun pada kenyataannya tidak demikian. Selain konsep di atas, dalam pendekatan ekonomi ini telah muncul lebih dulu model teori permintaan tanah yang dikembangkan pertama kali oleh Von Thunen pada tahun Menurut Sutawijaya (2004), model ini merupakan suatu model sewa tanah pada sektor pertanian yang menyatakan bahwa ada sebuah tempat sentral (kota) dengan dikelilingi oleh dataran luas, di mana kebutuhan makanan untuk kota tersebut disediakan oleh daerah-daerah

46 22 sekitarnya, dengan anggapan-anggapan yang dipakai dalam model ini adalah hanya ada satu kota yang tidak mempunyai dan tidak cukup untuk kegiatan pertanian, tanah di sekitar perkotaan hanya digunakan untuk pertanian dan mempunyai kurva penawaran tanah yang inelastis sempurna, biaya transportasi proporsional terhadap jarak dari kota, dan produksi pertanian mempunyai skala hasil yang tetap. LR LR A LR B A B A: Jasa/komersil B: Industri manufaktur C: Perumahan D: Pertanian inetnsif E: Pertanian ekstensif LR C C LR D LR E D E Pusat kota d A d B d C d D d E Gambar 6. Model Bid-Rent dan Zone Penggunaan Lahan Kota (Rustiadi et al, 2009) Menurut hasil penelitian Sutawijaya (2004) di Kota Semarang, faktor-faktor yang mempengaruhi nilai lahan adalah kepadatan penduduk yang berpengaruh positif 0,299%. Faktor jarak memiliki pengaruh negatif terhadap nilai-nilai tanah sebesar 0,162% jika jarak meningkat sebesar 1% dari pusat kota. Lebar jalan akan memberikan dampak positif terhadap nilai tanah sebesar 0,402% jika pertambahan lebar jalan sebesar 1%. Kondisi jalan raya akan memberikan nilai lahan positif 0,208% jika ada fasilitas transit di lokasi objek. Sedangkan faktor terakhir adalah bebas dari banjir, yang memberikan efek positif pada nilai-nilai tanah sebesar 0,212% jika tidak ada banjir di lokasi objek.

47 23 Menurut Konagaya (1998), model Von Thünen merupakan model normatif yang mana hanya ada satu guna lahan mendominasi di setiap areal, sehingga tidak dapat menyesuaikan dengan ratio data ril. Berdasarkan hal itu, kemudian Konagaya mengembangkan Model Thunen normatif menjadi suatu model yang disebut model GTM (Generelized Thunen Model) guna meningkatkan kinerja explanatory dan memiliki gabungan gambar instuitif dari gerakan batas guna lahan dengan dasardasar teori eksakta, yang disediakan untuk memprediksi perubahan guna lahan di masa depan. Model ini telah diterapkan dalam memprediksi perubahan guna lahan di Sumatra dan Pula Jawa. Perbedaan antara Model Thünen (1826) dengan Model GTM (Konagaya, 1998) dapat dilihat pada Gambar 7. 1 Fungsi ratio guna lahan 1 Fungsi ratio guna lahan 0 Jarak dari kota 0 Jarak dari kota Guna Lahan Kota Guna Lahan Pertanian Guna Lahan Kehutanan Lokasi Kota Gambar a. Model Thünen (1826) Gambar b. Model Generalized Thünen (GTM) (Konagaya, 1998) Gambar 7. Perbandingan Model Thunen dan Model Generalized Thunen

48 24 Dengan menggunakan model GTM, Konagaya (2001) telah berhasil menggambarkan pergeseran batas guna lahan, dan memprediksi perubahan guna lahan di masa depan. Model GTM ini telah diaplikasikan untuk data di Indonesia dalam menggambarkan pengaruh dua regulasi dalam perubahan guna lahan di Sumatra, dan memprediksi profile guna lahan sampai 2025 di Jawa yang memperingatkan akan kehilangan hutan di ruas antara Jakarta dan Bandung. Kemudian Zhang dan Laband (2004), dengan menggunakan model Von Thunen telah melakukan penelitian tentang konsekwensi dari regulasi reforestasi di Amerika Serikat.; Venables dan Limao (1999) telah memodifikasi model von Thunen menjadi model Heckscher-Ohlin-Von Thunen dalam penelitian pola perdagangan dan produksi di berbagai negara dengan lokasi yang berbeda dari pusat kota. 3. Pendekatan morfologi kota (urban morphological approach) Menurut Pontoh dan Setiawan (2009), pendekatan morfologi kota memfokuskan perhatian pada bentuk-bentuk fisikal kawasan perkotaan yang tercermin dari jenis penggunaan lahan, sistem jaringan jalan, dan blok-blok bangunan, townscape, urban sprawl, dan pola jaringan jalan sebagai indikator morfologi kota. Selanjutnya Smailes (1955) dalam Yunus (2005), telah memperkenalkan lebih dulu 3 unsur morfologi kota yaitu (1) unsur-unsur penggunaan lahan, (2) pola-pola jalan dan (3) tipe bangunan. Pola-pola Jalan Pola-pola jaringan jalan akan membentuk sistem transportasi. Kaitannya dengan tata guna lahan, pergerakan lalu lintas merupakan fungsi dari tata guna lahan yang menghasilkan bangkitan lalu lintas. Bangkitan lalu lintas ini mencakup (1) lalu lintas yang meninggalkan suatu lokasi, dan (2) lalu lintas yang menuju atau tiba ke suatu lokasi, seperti diilustrasikan pada Gambar 8 (Tamin, 2000).

49 25 i d Pergerakan yang berasal dari zona i Pergerakan yang menuju ke zona d Gambar 8. Bangkitan dan Tarikan Pergerakan (Tamin, 2000) Jenis tata guna lahan yang berbeda (permukiman, pendidikan, dan komersial) mempunyai bangkitan lalu lintas yang berbeda dalam jumlah arus lalu lintas, jenis lalu lintas (pejalan kaki, truk, mobil), serta lalu lintas pada waktu tertentu. Jumlah dan jenis lalu lintas yang dihasilkan oleh setiap tata guna lahan merupakan hasil dari fungsi parameter sosial dan ekonomi, seperti contoh di Amerika Serikat (Black, 1978 dalam Tamin, 2000): 1 ha perumahan menghasilkan pergerakan per minggu 1 ha perkantoran menghasilkan 700 pergerakan kendaraan per hari, dan 1 ha tempat parkir umum menghasilkan 12 pergerakan kendaraan per hari. Contoh lain (juga di Amerika Serikat) sebagaimana Tabel 3. Tabel 3. Bangkitan dan tarikan pergerakan dari beberapa aktivitas tata guna lahan Deskripsi aktivitas tata guna lahan Pasar swalayan Pertokoan lokal Pusat pertokoan Restoran siap saji Restoran Gedung perkantoran Rumah sakit Perpustakaan Daerah industri Sumber: Black (1978) dalam Tamin (2000) Rata-rata jumlah pergerakan kendaraan per 100 m Jumlah kajian

50 26 Bangkitan pergerakan bukan saja beragam dalam jenis tata guna lahan, tetapi juga tingkat aktivitasnya. Semakin tinggi tingkat penggunaan sebidang tanah, semakin tinggi pergerakan arus lalulintas yang dihasilkannya. Salah satu ukuran intensitas aktivitas sebidang tanah adalah kepadatannya. Tabel 4 memperlihatkan bangkitan lalulintas dari suatu daerah permukiman yang mempunyai tingkat kepadatan berbeda di Inggris (Black, 1978 dalam Tamin, 2000). Jenis perumahan Tabel 4. Bangkitan lalulintas, jenis perumahan dan kepadatannya Permukiman di luar kota Permukiman di batas kota Unit rumah Flat tinggi Kepadatan permukiman (keluarga/ha) Sumber: Black (1978) dalam Tamin (2000) Pergerakan per hari Bangkitan pergerakan per ha Berdasarkan data di atas, walaupun arus lalu lintas terbesar yang dibangkitkan dari daerah permukiman di luar kota, bangkitan lalulintasnya terkecil karena intensitas aktivitasnya (dihitung dari tingkat kepadatan permukiman) paling rendah. Karena bangkitan lalu lintas berkaitan dengan jenis dan intensitas perumahan, maka hubungan antara bangkitan lalulintas dan kepadatan permukiman menjadi tidak linear (Tamin, 2000). Pola sebaran arus lalulintas antara zona i ke zona tujuan d adalah hasil dari dua hal yang terjadi secara bersamaan, yaitu lokasi dan intensitas tata guna lahan yang akan menghasilkan arus lalulintas, dan pemisahan ruang, interaksi antara dua buah tata guna lahan yang akan menghasilkan pergerakan manusia dan/atau barang. Daya tarik suatu tata guna lahan akan berkurang dengan meningkatnya jarak (dampak pemisahan ruang). Tata guna lahan cenderung menarik pergerakan lalu lintas dari tempat yang lebih dekat dibandingkan dengan dari tempat yang lebih jauh. Pergerakan lalu lintas yang dihasilkan juga akan lebih banyak yang berjarak pendek daripada jarak yang berjarak jauh. Interaksi antar daerah sebagai fungsi dari intensitas setiap daerah dan jarak antar kedua daerah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

51 27 Tabel 5. Interaksi Antar Daerah Jarak Jauh Dekat Interaksi dapat diabaikan Interaksi rendah Interaksi rendah Interaksi menengah Intensitas menengah Interaksi sangat tinggi Intensitas tata guna lahan antara dua zona Kecil kecil Kecil besar Besar - besar Sumber: Black (1978) dalam Tamin (2000) Berdasarkan uraian di atas, maka untuk mengetahui jenis tata guna lahan dapat diketahui dari hasil analisis lalu lintas yang ada di suatu wilayah terutama dari komponen bangkitan dan tarikan pergerakan lalu lintas. Penggunaan lahan sebagai deferensiator tata ruang regional Bentuk dasar morfologi kota di atas lebih ditekankan pada struktur keruangan kota lokal dalam artian bahwa struktur keruangan yang ditinjau terbatas pada areal kekotaan yang secara morfologis kompak dan bentuk penggunaan lahan seluruhnya berorientasi non-agraris. Kaitannya dengan penggunaan lahan untuk lahan kota dan desa, dilakukan melalui analisis regional city (kota regional). Menurut Pontoh dan Setiawan (2009), untuk membedakan jenis penggunaan lahan kekotaan dan penggunaan lahan kedesaan, pada umumnya berkaitan dengan lahan pertanian, karena sebagian besar jenis (dominansi) penggunaan tanah kedesaan selalu berorientasi dengan kegiatan pertanian, sebaliknya di kota adalah berkaitan dengan penggunaan lahan non-pertanian. Permasalahan utama sebenarnya terletak pada daerah peralihan dari kenampakan real urban ke kenampakan real rural. Di daerah peralihan inilah masalah dominansi seakan-akan menjadi kabur. Proses perubahan penggunaan lahan kota ke penggunaan lahan di desa atau sebaliknya dinamakan diferensiasi penggunaan lahan. Selanjutnya dikatakan bahwa salah satu cara perhitungan dominansi jenis penggunaan lahan kekotaan maupun kedesaan menggunakan metode segitiga penggunaan lahan desa-kota (rural-urban land use triangle) yang dikembangkan oleh Robin Pryor pada tahun Dalam teknik ini, dihitung persentase penggunan lahan kekotaan, persentase penggunaan lahan kedesaan dan persentase jarak dari lahan kekotaan utama (built-up-land) ke lahan kedesaan utama.

52 28 Subzone yang terbentuk terdiri dari (1) urban area, (2) urban fringe, (3) rural fringe dan (4) rural area. Kemudian Yunus (2005) mengembangkannya menjadi 5 subzone dengan subzona baru untuk diferensiasi subzone pada daerah yang terletak antara urban fringe dan rural fringe, yaitu menjadi (1) urban area, (2) urban fringe, (3) urral fringe, (4) rural fringe dan (5) rural area (Gambar 9). D Rural - Urban Fringe E Urban Fringe Urral Fringe Rural Fringe A B 0 25 C 50 A : Persentase jarak lahan kota ke desa B : Persentase guna lahan kota C : Persentas guna lahan desa D : Batas areal built-up kota E : Batas areal desa Gambar 9. Segitiga Penggunaan Lahan Desa Kota (Yunus, 2005) Untuk memudahkan penetapan secara kuantitatif, maka batasan masingmasing subzone sebagai berikut (Yunus, 2005): Tabel 6. Ciri Zona Guna lahan Zona Guna lahan Penjelasan (1) (2) Urban area Daerah dimana 100% penggunaan lahannya berorientasi kekotaan. Urban fringe area Daerah yang sebagian besar guna lahan didominasi oleh bentuk bentuk guna lahan kekotaan atau > 60% penggunaan lahannya urban land use, dan <40% penggunaan lahannya rural land use. Tereltak dari titik perbatasan urban built up land) sampai ke jarak 40% dari titik tersebut (jarak dihitung dari urban real sampai rural real). Terjadi perubahan transformasi struktural penggunaan lahan walau tidak secepat urban area. Urral fringe area Daerah yang persentase guna lahan kota seimbang dengan guna lahan desa berkisar antara 40 60%, dan dalam jangka pendek transformasi struktural penggunaan lahan akan terjadi walaupun tidak secepat pada subzone urban fringe.

53 29 Tabel 6 (lanjutan) (1) (2) Rural fringe area Daerah yang sebagian besar guna lahan didominasi oleh bentuk bentuk guna lahan kedesaan atau > 60% penggunaan lahannya rural land use, dan <40% penggunaan lahannya urban land use. Tereltak dari titik perbatasan rural sampai ke jarak 40% dari titik tersebut (jarak dihitung dari urban real sampai rural real). Terjadi perubahan transformasi struktural penggunaan lahan meskipun cukup lambat. Rural area Daerah dimana 100% penggunaan lahannya berorientasi agraris. Pontoh dan Setiawan (2009) menyatakan urban area adalah daerah yang bentuk penggunaan lahannya betul-betul berorientasi non pertanian, sedangkan rural area adalah daerah yang bentuk penggunaan lahannya berorientasi pertanian. Sementara itu rurral-urban fringe adalah zone transisi dalam penggunaan lahan, karakteristik dan sosial dan demografi, terteletak diantara (a) lingkungan terbangun perkotaan dan kawasan subperkotaan dari pusat kota; dan (b) kawasan penyangga kedesaan, dicirikan oleh hampir tidak ditemuinya permukiman tanpa lahan pertanian. Sedangkan Rustiadi et al (2009) menamakan daerah transisi tersebut sebagai kawasan spekulasi (Sinclair urban fringe), yang mana penggunaan lahan jangka pendek tergantung pada rencana pembangunan yang akan datang. Berdasarkan kondisi di atas, menurut Sinclair (2002) terkait dengan keberlanjutan pembangunan secara ekologi, rural area adalah sebagai sumber makanan dan serat (ekonomi), fitur keanekaragaman hayati dan alam (lingkungan), dan tempat tinggal dan bekerja (modal sosial). Menurut Pontoh dan Setiawan (2009) dan Russwurm (1980) dalam Yunus (2005) membagi zona antar real urban dan real rural ke dalam 3 subzona yaitu (1) inner fringe, (2) outer fringe, dan (3) urban shadow zone, seperti diilustrasikan pada Gambar 10. D. Pasar Lahan Kaitan dengan perubahan penggunaan lahan, hal yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana kekuatan pasar mengatur konsumsi dan penggunaan lahan. Pertanyaan mendasar, apakah hukum supply dan demand menjamin alokasi lahan lebih efisien bagi masyarakat secara keseluruhan, yang merupakan total

54 30 keuntungan sekarang (net present benefits) dari alternatif penggunaan tersebut adalah maksimal. Keputusan tentang penggunaan lahan biasanya berpengaruh secara individu dalam masyarakat dengan cara yang berbeda dan apakah hal itu menguntungkan hanya untuk satu orang sementara yang lain dirugikan (Hubacek dan Vazquez, 2002) Keterangan gambar: 1 : Ruang tempat akhir pekan dan musiman 8 : Pinggiran luar 2 : Penyebaran subsistem, ruang perkotaan 9 : Zona bayangan perkotaan atau daerah pinggiran kota 3 : Zona commuting maksimum 10 : Daerah penyangga perdesaan 4 : Nodal perkotaan 11 : Perumahan terisolasi 5 : Kota terkonsentrasi atau pusat kawasan terbangun 6 : Pinggiran desa kota atau pinggiran perkotaan 7 : Pinggiran dalam Gambar 10. Model Struktur Keruangan dari Regional City (Pontoh dan Kustiawan, 2009) Secara potensial masyarakat bisa mendapatkan efisiensi alokasi sumberdaya lahan, tergantung pada seberapa besar rancangan kelembagaannya. Walaupun analisis ekonomi biasanya berasumsi bahwa operator lahan memiliki kebebasan yang tidak terbatas seperti berapa, kapan, dan apa sumberdaya yang digunakan dalam operasi, dalam kenyataannya kebebasan tersebut dibatasi oleh alam terhadap hak untuk

55 31 menggunakan lahannya. Property rights ini mengacu pada sebundel hak terkait dengan kepemilikan, keistimewaan, dan batasan penggunaan lahan sebagai suatu sumberdaya khusus. Oleh karena itu, property rights atau kepemilikan lahan adalah ditentukan oleh kekuatan pembatas kelembagaan yang mengarahkan operasi pada lahan dalam sistem ekonomi. Property rights membantu untuk menghadapi tiga kebutuhan dalam memfungsikan pasar yang baik. Pertama semua manfaat dan biaya dari penggunaan sumberdaya harus tumbuh untuk satu orang pemilik. Kedua, pemilik harus dapat menstransfer haknya sesuai keinginan mereka. Dan ketiga, penegakan hak harus di tempat yang pasti sesuai kondisi pertama dan kedua ditemui (Hubacek dan Vazquez, 2002). Oleh karena itu, menurut Hubacek dan Vazquez (2002) kekuatan bagi sistem pasar ditentukan oleh dirinya sendiri. Untuk memperoleh alokasi sumberdaya yang lebih efisien, sistem pasar memerlukan pendekatan hak kepemilikan yang didasarkan pada tiga kebutuhan tersebut. Dalam dunia nyata kebutuhan ini tidak ditemui pada semua hal. Khususnya kebutuhan pertama, eksklusif, seringkali dilanggar dalam prakteknya. Sementara tipikal analisis ekonomi berasumsi bahwa operator lahan memikul semua biaya dan manfaat dari aktivitasnya, aksi individual biasanya berpengaruh pada bagian ketiga. Untuk hal itu, jika developer tidak memasukan pertimbangan kehilangan kesejahteraan untuk masyarakat lain yang disebabkan oleh proyeknya, hal ini akan mempengaruhi keadaan eksternal. Suatu eksternalitas (atau eksternalitas negatif dalam kasus ini) itu ada ketika aksi satu individu berpengaruh negative kepada kesejahteraan yang lain, dan yang terakhir tidak menerima kompensasi untuk mengganti kehilangan tersebut. Eksternalitas sering terjadi pada situasi penggunaan lahan yang memberikan produk yang beragam dan biaya yang terkait dengan penggunaan sumberdaya lahan. Untuk hal itu, misalnya hutan dapat digunakan untuk produksi kayu, rekreasi, perlindungan DAS, dan kehidupan liar, dan seringkali tidak mungkin atau terlalu mahal untuk menghindari bercampurnya antara penggunaan yang berbeda. Hal ini merupakan karakter dari public good pada barangbarang lingkungan. Menurut Sadyohutomo (2008) publick good memiliki karakteristik berikut.

56 32 1. Nonexcludable, manfaat dari barang publik tidak khusus untuk seseorang atau kelompok masyarakat yang terbatas, tetapi untuk masyarakat secara luas. Seseorang atau kelompok orang akan sulit untuk menghalangi orang lain untuk mengakses barang publik (open access). 2. Nonrivalrous, yaitu pada batas tertentu tingkat konsumsi dari seseorang terhadap barang publik tidak mempengaruhi kesempatan orang lain untuk mengonsumsi barang publik yang sama. Juga, barang publik dikatakan bukan barang pesaing, dengan demikian satu orang mengkonsumsi barang tersebut tidak akan mengurangi penggunaan yang lain. Barang publik yang mempunyai kedua sifat di atas dikatakan sebagai barang publik murni. Akan tetapi, tidak semua barang publik sebagai barang publik murni. Apabila barang publlik bersifat nonexcludable, tetapi dalam pemakaiannya terjadi perebutan (persaingan) dengan pemakain lainnya maka dikelompokkan sebagai barang publik dengan biaya tambahan. Sedangkan apabila barang publik bersifat nonrivalrous, tetapi dalam pemakaiannya bisa dibuat excludable maka dikelompokkan sebagai barang publik excludable. Untuk lebih jelasnya dapat lihat pengelompokkan barang pribadi dan barang publik pada Tabel 7. Tabel 7. Pengelompokkan Barang Pribadi dan Barang Publik Excludable Non Excludable Rivalrous Barang pribadi (milik) Barang publik dengan tambahan biaya, misalnya jalan raya padat kendaraan, udara pada daerah padat aktivitas Non Rivalrous Bang publik excludable, misalnya TV kabel, jaringan telpon, dan jaringan listrik dengan kapasitas yang tersedia masih besar Sumber: Sadyohutomo (2008) Barang publik murni, misalnya siaran TV, siaran radio, jalan raya dengan kepadatan rendah, dan udara pada daerah aktivitas rendah Berdasarkan kondisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pasar lahan adalah pasar tidak sempurna. Kondisi ini menempatkan sumberdaya lahan pada posisi relatif tidak menguntungkan bagi pembangunan (Lovering et al, 2001). Menurut Nelson dan Duncan (1995) dalam Lovering et al (2001), penyebab ketidak-menguntungkan itu, seperti untuk pembangunan kota, adalah:

57 33 a. Overvaluation (penilaian berlebihan) lahan. Kebijakan pemerintah pusat dan lokal memainkan peranan dalam nilai pasar lahan. Sebagai contoh berupa konsesi pajak dan subsisdi konsesi atas utilisasi, tawaran perangsang bagi pembangunan industri dan perumahan, sementara kebijakan perencanaan mungkin menetapkan subsidi inefisiensi pembangunan di lokasi dengan kepadatan yang lebih rendah. Konsesi dan rangsangan ini menutupi nilai lahan riil untuk penggunaan sumberdaya, dan menghalangi perlindungannya. b. Dampak spillover. Dampak perluasan pembangunan ke areal perdesaan dan batas kota terhadap konversi lahan secara langsung, seperti konversi lahan pertanian, dan konsekwensi tidak langsung, dikenal sebagai spillover effect, dalam produktivitas sekitar lahan serta dampak lingkungan. c. Manfaat yang tidak bisa dihargai (unpriced benefits). Banyak manfaat sumberdaya lahan yang tidak dapat diukur di pasar lahan. Hal ini menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah uang yang akan merefleksikan nilai atas yang dapat dimanfaatkan. d. Impermanence Syndrome. Kombinasi over valuation sumberdaya lahan untuk pembangunan dan pembatasan produktivitas sebagai akibat dampak urban spillover sampai ke apa yang dikenal sebagai impermanence syndrome. Impermanence syndrome terjadi ketika pemilik sumberdaya mulai percaya bahwa di tempat tersebut sangat kecil aktivitas sumberdaya di masa depan di lahannya. E. Tata Ruang Kota (Urban Spatial Structure) Perkotaan sebagai pusat permukiman dan sekaligus pusat pelayanan (jasa) terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi pengaruhnya (hinterland) akan mempunyai struktur (tata) ruang tertentu dalam rangka penyesuaian fungsinya untuk mencapai tingkat efisiensi pelayanan dan sekaligus kenyamanan lingkungan untuk permukiman. Menurut Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi

58 34 masyarakat yang secara hirarki memiliki hubungan fungsional. Sementara pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Menurt Pasal 14 ayat (1) perencanaan tata ruang tersebut dilakukan untuk menghasilkan (1) rencana umum tata ruang dan (2) rencana rinci tata ruang. Rencana umum tata ruang secara hirarki terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten /Rencana Tata Ruang Kota (Pasal 14 ayat 2). Sedangkan rencana rinci tata ruang terdiri dari (1) rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional, (2) rencana tata ruang kawasan strategis propinsi dan (3) rencana detil tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata ruang kawasan stretegis kabupaten/kota. Elemen-elemen pembentuk struktur ruang kota adalah hampir sama dengan elemen-elemen yang membentuk suatu wilayah seperti yang telah diuraikan terdahulu, yaitu kumpulan pelayanan jasa, kumpulan industri sekunder dan perdagangan gorsir, lingkungan permukiman serta jaringan transportasi. Sementara itu pola ruang diwujudkan dalam bentuk tata guna tanah, air, udara, dan sumberdaya lainnya dalam wujud penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya. Dalam implementasi penataan ruang seringkali mengalami kesulitan, sehingga produk rencana tata ruang belum dipakai sebagai acuan dalam penyusunan program pembangunan daerah. Menurut Setiobudi (2008), secara umum terdapat beberapa permasalahan yang terkait dengan implementasi penataan ruang diantaranya adalah rendahnya kualitas produk rencana tata ruang, belum adanya pedoman standar dan petunjuk teknis yang lengkap, desakan/tekanan pembangunan, rendahnya keterlibatan masyarakat dalam penataan raung, dan masih lemahnya law enforcement. Berdasarkan permasalahan tersebut, Setiobudi (2008) mengatakan bahwa dalam implementasi penataan ruang diperlukan seperangkat penunjang operasional yakni perangkat pemanfaatan dan pengendalian ruang, manajemen perkotaan dan partisipasi masyarakat. Terkait dengan permasalahan sulitnya mendapatkan lahan bagi pembangunan, maka pendekatan yang lebih popular adalah intervensi

59 35 pemerintah. Menurut Lovering et al (2001), ada 4 (empat) teknik pengendalian atau perlindungan guna lahan melalui intervensi pemerintah yaitu kebijakan perpajakan, right-to-farm laws, acquisition of development rights, dan metode zoning. Kebijakan pajak diadopsi dalam upaya untuk mejaga para petani tidak menjual lahannya kepada spekulan dan menjaga lahannya agar tetap berproduksi untuk periode waktu yang lebih panjang. Teknik perpajakan umum terkait tersebut adalah kebijakan insentif dan disinsentif. Right-to-farm laws ditujukan untuk mempersulit permukiman di sekitar lahan pertanian yang akan mengganggu produktivitas lahan pertanian. Akuisisi hak membangun ditujukan untuk menahan terjadi konversi guna lahan dari guna lahan pertanian menjadi guna lahan permukiman dengan cara membeli hak membangun lahan (purchas of developmentr rights). Ketiga teknik ini diharapkan dapat mengatasi para spekulan tanah dalam proses pembangunan. Menurut Walls dan McConnell (2007), pasar TDR bekerja sebagai alat perlindungan lahan ketika pemilik lahan bersedia dan dapat menjual hak membangun, dan pengembang tertarik untuk membeli haknya. Kekuatan relatif antara sisi supply dan demand dari pasar akan menentukan harga TDR yang dijual. Kesediaan mensupply untuk menyediakan TDR dan pengembang membeli hak membangunnya tergantung pada interaksi yang kompleks atas fitur rancangan program PDR, peraturan zoning, dan kondisi pasar rumah dan lahan di suatu lokasi. Adapun peraturan zoning yang mempengaruhi harga TDR adalah pembatasan kepadatan rumah yang menetapkan jumlah maksimum per hektar. F. Kerjasama dan Koordinasi Pengelolaan DAS DAS dapat dianggap sebagai satu kesatuan ekosistem. Menurut Rodgers dan Zoofrano (2002), DAS adalah suatu sistem yang sangat rumit ketika dipandang semata-mata dalam terma fisik, dan akan lebih rumit lagi pada saat pola permukiman, aktivitas budidaya dan ekonomi juga ikut dipertimbangkan. Oleh karena itu menurut Asdak (2003), ekosistem DAS terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang terpenting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem DAS. Perlindungan ini, antara lain, dari fungsi dan stabilitas tata air. Oleh karenanya, perencanaan DAS hulu seringkali menjadi fokus mengingat bahwa dalam suatu DAS,

60 36 daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi. Aktivitas pembangunan yang mengubah tata guna lahan dan atau pembuatan bangunan, termasuk bangunan konservasi, yang dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah tengah dan hilir dalam bentuk perubahan. Dengan kata lain, keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam di daerah tengah dan hilir DAS tidak bisa lepas dari pengelolaan lingkungan/sumberdaya alam di daerah hulu. Menurut Asdak (2003), di dalam bagian DAS sendiri juga merupakan suatu sistem yang memiliki keterkaitan antar satu wilayah dengan wilayah lain pada wilayah DAS tersebut, terutama kaitannya dengan ketersediaan dan kebutuhan air. Ketersediaan air merupakan total dari ketersediaan air hujan, air permukaan (mata air dan sungai), dan ketersediaan air bumi (dalam dan dangkal). Sedangkan kebutuhan air merupakan total kebutuhan air untuk rumah tangga, industri, dan pertanian untuk seluruh bagian DAS tersebut. Kebutuhan air tersebut tidak selamanya dapat dipenuhi oleh ketersediaan air di satu wilayah dalam bagian DAS, sehingga harus dipenuhi dari wilayah lain baik secara alami maupun melalui distribusi air buatan. Oleh karena itu dalam bagian DAS sendiri memerlukan penggunaan secara konjungtif (bersama) dan dengan sistem pengelolaan sumberdaya terpadu. Oleh karena itu berdasarkan hasil penelitian Sugiharto (1995) di DAS Citarum Hulu bahwa total kebutuhan air di hulu DAS tersebut tidak akan dapat dipenuhi oleh ketersediaan air permukaan saja atau air bumi saja tetapi masih mungkin dipenuhi dari keduanya dengan penggunaan konjungtif (bersama) dan dengan sistem pengelolaan sumberdaya air terpadu. Perilaku atau kinerja DAS sangat dipengaruhi oleh aktivitas para stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan pada DAS tersebut. Aktivitas stekholders dapat dibedakan atas aktivitas yang mempengaruhi produksi air, aktivitas yang mempengaruhi kualitas air dan aktivitas dalam pemanfaatan air. Dengan diketahuinya stakeholders yang diperkirakan akan mendapatkan manfaat dan mereka yang akan dibebani ongkos, maka diharapkan dapat dirumuskan kebijakan pengelolaan DAS yang telah mempertimbangkan mekanisme regulasi dan pengaturan kelembagaan yang akan menerapkan prinsip-prinsip insentif-disinsentif terhadap stekholders, sesuai dengan kategori dan kedudukannya. Prinsip ini dikenal dengan cost-benefit sharing principles.

61 37 Pengelolaan terpadu DAS umumnya akan melibatkan banyak kelembagaan (sektoral dan non sektoral, pemerintah dan non pemerintah). Menurut Asdak (2003), pengalaman selama ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, masing-masing lembaga tersebut cenderung bersifat sektoral, dan oleh karenanya, seringkali terjadi tabrakan kepentingan antar lembaga yang terlibat dalam pengelolaan DAS. Untuk menghindari terjadinya tabrakan kepentingan, diperlukan klarifikasi dan identifikasi secara jelas tugas dan wewenang masing-masing lembaga dalam menjalankan fungsinya. Selain masalah tabrakan kepentingan, masalah lain yang umum terjadi dalam pengelolaan sumberdaya yang melibatkan banyak lembaga adalah masalah kerjasama dan koordinasi antar lembaga. Oleh karena itu, pengaturan kelembagaan dan regulasi yang akan mengatur mekanisme kerja antar lembaga tersebut harus disiapkan dengan matang sehingga dapat menghasilkan pola kerjasama dan koordinasi yang optimal. Dalam pengelolaan DAS dewasa ini berkembang sistem terintegrasi pengelolaan air perdesaan yakni Integrated Rural Water Management, sebagai bagian dari prinsip umum: Integrated Water Resources Management, yang meliputi koordinasi perencanaan dan manajemen lahan, air, dan sumberdaya lingkungan lainnya untuk penggunaan yang pantas, efisien dan lestari (Prinz, 1999). Sementara Asdak (2003) mengatakan dalam konteks penyelenggaraan pengelolaan DAS, mekanisme kelembagaan umumnya dilaksanakan melalui tiga cara agar lebih berhasil dalam implementasinya di lapangan. Ketiga acara tersebut adalah: 1. Investasi publik secara langsung, mesalnya program penanaman pohon penghijauan di lahan masyarakat, investasi dalam pembuatan dan pengendali dan stabilitasi bantaran sungai, dan investasi dalam pembuatan hutan rakyat. 2. Regulasi dan prosedur yang akan memberikan panduan kepada perseorangan maupun kelompok, misalnya aturan pemanfaatan makanan ternak (rumput, daun) di lahan negara, aturan pembuatan jalan, aturan pemanenan hasil hutan, dan seterusnya. 3. Mekanisme insentif/pajak, misalnya pemberian subsidi dan/atau investasi dalam kaitannya dengan program-program rehabilitasi lingkungan (rumah yang dilengkapi sumur resapan, Pajak Bumi dan Bangunan dikurangi), subsidi silang

62 38 antara pelaksanan program pengelolaan DAS di daerah hulu dan penerima manfaat di daerah tengah/hilir DAS. G. Insentif Ekonomi dalam Pengendalian Guna Lahan 1. Konsep-Konsep Kunci dan Definisi Insentif Regulasi publik terhadap keputusan penggunaan lahan milik telah menjadi isu lingkungan utama di America Serikat pada akhir-akhir ini. Dalam aktivitas konservasi, kebijakan pembatasan dan peraturan larangan sudah dipandang tidak populer lagi (Biot et al, 1995), karena hal ini mengarahkan pada penggunaan secara paksa, demikian juga melalui kekuatan proyek merupakan bentuk pemaksaan penerapan upaya konservasi. Di Amerika Serikat telah dilakukan berbagai upaya diantaranya melalui legal formal dengan melakukan berbagai amandemen undangundang untuk meningkatkan kewenangan intervensi pemerintah dalam penggunaan lahan milik untuk mengarahkan pada kegiatan konservasi. Namun dalam mengendalikan penggunaan lahan milik ini melalui undang-undang dan juga cara komunitas lokal, ternyata masih dipandang kurang efektif (Balsdon, 2003). Menurut Smith (1994) dalam Enters (1999), cara insentif bila salah penerapan juga menghasilkan ketergantungan yang berkelanjutan terhadap proyek dan program yang memberikan insentif. Dengan demikian insentif menurut Enters (1999) hanya sebagai instrumen, dan berfungsi sebagai spade, shovel, atau hoe, yang tidak hanya menghasilkan capaian jangka pendek, tetapi secara potensial dapat memompa target jangka panjang melalui praktek-praktek manajemen berkelanjutan, dengan kata lain insentif harus menjadi katalis untuk perubahan, dan bukan penyebab perubahan penggunaan lahan. Dalam penerapan insentif ini hal yang seharusnya diperhatikan adalah masalah terjadinya disperitas antara tujuan publik dan private dari penggunaan tanah. Menurut Meijerink (1997) dalam Enters (1999), insentif memang seharusnya hanya diaplikasikan untuk tujuan publik, namun pencapaian targetnya akan lebih baik lagi apabila mempertimbangkan tujuan private. Terjadinya divergensi antara tujuan private dan publik, terletak pada ketidak-seimbangan (imbalance) antara penambahan biaya pada tingkat lokal (on-site) dan masyarakat yang lebih luas (off-site). Menurut

63 39 Sander et al (1995) dalam Enters (1999), ketidakseimbangan ini diakibatkan oleh kegagalan pasar (market failure). Terjadinya degradasi karena tidak semua biaya dan manfaat dalam proses produksi pertanian atau lainnya direfleksikan dalam harga pasar. Biaya off-site, misalnya, dari pertanian di lahan curam, tidak direfleksikan dalam harga hasil pertanian, dan tidak juga dalam membuat keputusan petani. Namun di lahan perkotaan atau suburban, pasar akan merefleksikan nilai lingkungan lahan bergantung pada aksi publik terhadap kebutuhan mitigasi ruang terbuka (kawasan lindung), pengelolaan penggunaan lahan yang baik oleh kabupaten dan otoritas perkotaan (Balsdon, 2004). Dari perspekstif efisiensi ekonomi, secara ideal, sebenarnya tidak ada kasus penggunaan insentif dalam pengelolaan ruang terbuka, karena biaya ekonomi, sosial dan lingkungan dan manfaat konservasi akan direfleksikan melalui harga di pasar. Dengan demikian alokasi sumberdaya optimal dilakukan melalui keputusan individu pemilik lahan (Binning, 2004). Berdasarkan pemahaman di atas yang beragam, diperlukan pengertian insentif yang lebih jelas. Menurut Oxford Modern, insentif adalah suatu pembayaran atau konsensi untuk menstimulasi dalam memperbesar output tenaga kerja. Definisi lain, insentif adalah perangsang atau pemancing aktivitas, sebagai faktor motivasi dalam meningkatkan aksi, atau stimulan motivasi agar mengambil langkah ke arah yang diharapkan. Berdasarkan definisi ini, Huszar (1999) mendefinisikan insentif sebagai sesuatu jasa untuk membujuk atau mempengaruhi penerapan suatu etika. Kemudian menurut Sadyohutomo (2008), insentif merupakan salah satu bentuk kompensasi akibat rencana tata ruang selain kompensasi dalam bentuk pemberian uang tunai, transfer of development right/dispensasi untuk pembangunan lain, atau bentuk kompensasi lainnya. 2. Jenis dan Macam Insentif Menurut Enters (1999), insentif dapat dibedakan atas insentif langsung (direct incentives) dan insentif tidak langsung (indirect incentives) (Gambar 11). Keduanya adalah instrumen dalam pandangan secara kasar yang langsung atau tidak langsung mempengaruhi keputusan produsen atau konsumen melalui pancingan finansial dan atau non-finansial. Dirancang untuk katalis perubahan dan berdampak segera pada perilaku individu dan komunitas, insentif langsung disediakan secara

64 40 langsung bagi pengguna sumberdaya. Sebagai contoh, pajak polusi dan cicilan pajak dalam konservasi tanah bermanfaat bagi pengguna tanah secara langsung dan memperkuat mereka untuk mengubah produksi kearah praktek-praktek yang lebih berkelanjutan. Insentif Insentif Langsung Insentif tidak langsung Insentif Variabel Insentif enabling Insentif sektoral Insentif makroekonomi Gambar 11. Tipologi Insentif (Enter, 1999) Secara umum, insentif langsung terdiri dari (Enters, 1999): input-input pertanian, provisi infrastruktur lokal, bantuan dan subsidi, konsesi pajak untuk investasi dalam praktek-praktek konservasi, green funds, perbedaan fee, penghargaan dan hadiah, pinjaman dengan kredit berbunga rendah, dan pembagian biaya perencanaan (arrangement). Sedangkan insentif tidak langsung terdiri dari insentif variabel dan insentif enabling yang dibedakan sebagaimana Tabel 8. Sectoral Tabel 8. Pembedaan Insentif Variabel dari Insentif Enabling Insentif Variabel Macro economic Insentif Enabling Harga input dan output Nilai tukar Securitas lahan Pajak Pajak Aksesibilitas Subsidi Suku bunga Pengembangan pasar Tarif Fiskal dan meneter Devolusi manajemen sumberdaya alam Desentralisasi pengambilan keputusan Fasilitas kredit Securitas nasional Sumber: IFAD (1996;1998) dalam Enters (1999)

65 41 Kemudian menurut Setiobudi (2008), terdapat 3 (tiga) kelompok perangkat/ mekanisme insentif dan disinsentif yaitu (1) pengaturan/regulasi/kebijakan, (2) ekonomi/keuangan sebagai penerapan dari pengenaan pajak dan retribusi, dan (3) pemilikan/pengadaan langsung oleh pemerintah atau swasta. Rincian jenis insentif dan disinsentif dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Jenis Insentif dan Disinsentif Kelompok Perangkat/ Obyek Mekanisme Insentif dan Disinsentif Guna Lahan Pelayanan Umum Prasarana (1) (2) (3) (4) 1) Pengaturan/regulasi/ kebijaksanaan 1) Pengaturan hukum pemilikan lahan oleh private. 2) Pengaturan sertifikasi tanah. 3) Amdal 4) TDR 5) Pengaturan perizinan: - Izin prinsip; izin usaha/tetap. - Izin lokasi. - Planning permit. - Izin gangguan - IMB. - Izin penghunian - bangunan (IPB). 2) Ekonomi/Keuangan 1) Pajak lahan/pbb. 2) Pajak pengembangan lahan. 3) Pajak balik nama/jual beli lahan. 4) Retribusi perubahan lahan. 5) Development Impact Fees. 6) Betterment tax. kompensasi 1) Pajak kemacetan. 2) Pajak pencemaran. 3) Retribusi perizinan; - Izin prinsip; - izin usaha /tetap. - Izin lokasi. - Izin rencna. - Izin gangguan. - IMB. - Izin penghunian banguan (PB) 4) User charge atas pelayanan umum. 1) User charge/tool for plan. 2) Initial cost for land consolidation.

66 42 Tabel 9 (lanjutan) (1) (2) (3) (4) 5) Subsidi untuk pengadaan pelayanan umum oleh pemerintah atau swasta 3) Pemilikan/ pengadaan langsung oleh pemerintah 1) Penguasaan lahan oleh pemerintah 1) Pengadaan pelayanan umum oleh pemerintah (air bersih, pengumpulan/ pengolahan sampah, air kotor, listrik, telepon, angkutan umum). Sumber : Petunjuk Operasional RTRW Kota Bandung dalam Setiobudi (2008) 1) Pengadaan infrastruktur oleh pemerintah. 2) Pembanguna n perumahan oleh pemerintah. 3) Pembanguna n fasilitas umum 0leh pemerintah. Menurut Binning (2004), karena pasar tidak menyediakan bagi nilai dan jasa lingkungan yang disediakan lahan konservasi, pendekatan alternatif dilakukan dengan mengidentifkasi biaya dan manfaat insentif yang didasarkan pada ukuran kegiatan konservasi di kawasan lindung (woodlands). Apabila biaya dan manfaat ini dapat dengan mudah dikuantifikasikan, dapat dijadikan dasar dalam pembagian manfaat. Pada Tabel 10 dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi biaya dan manfaat antara kawasan lindung di lahan milik dan kawasan lindung publik. Kemudian menurut EVA dan MAP (2001) insentif konservasi adalah penerapan finansial untuk mempengaruhi cara orang berfikir dan berbuat, dimana tujuannya bukan sebagai kompensasi bagi pemilik lahan untuk oportunitas kehilangan penggunaan lahan, tetapi lebih sebagai penyedia kontribusi untuk biaya mempertemukan ekspektasi konservasi komunitas, mencoba untuk mencakup komunitas dalam perlindungan sisa flora dan fauna dan untuk meningkatkan kelestarian praktek-praktek manajemen. Namun menurut Balsdon (2003), bahwa pada kenyataannya, banyak eksternalitas mirip the tragedy of the commons, sehingga pemilik lahan tidak memperoleh manfaat konservasi habitat (atau kontrol erosi) secara pribadi, sehingga investasinya merugi.

67 43 Tabel 10. Biaya Dan Manfaat Kawasan Lindung di Lahan Milik dan Lahan Publik Biaya (Cost) Lahan Milik (landholders) Opportunity cost sama dengan pelarangan penggunaan lahan (contoh untuk ladang penggembalaan) Tenaga kerja untuk konstruksi pagar pembatas (tata batas) Biaya pemeliharaan pagar pembatas (pal batas) Biaya manajemen konservasi masa depan Nilai yang hilang dan nilai lahan Sumber: Binning, 2004 Publik Kehilangan opsi penggunaan di masa depan Bahan pembatas (pal batas) Jasa tambahan dan fasilitas Administrasi program Manfaat (Benefits) Lahan milik Publik (landholders) Nilai kapital pagar Terlindunginya pembatas konservasi ekosistem Memungkinkan meningkatkan manajemen pertanian Kesenangan Meningkanya etika manajemen lahan Aliran dampak pada lahan milik lainnya H. Contoh Penerapan Insentif Dalam Mendorong Mempertahankan Guna Lahan dan Adopsi Upaya Konservasi Penerapan insentif bagi pengguna lahan (land user) untuk kegiatan konservasi sumberdaya alam mulai banyak dilakukan oleh berbagai negara, khususnya di negaranegara Amerika dan Eropa. Ada dua bentuk insentif yang menonjol diberikan yaitu pembelian hak pembangunan di lahannya (purchase of development right, PDR) dan pembayaran jasa lingkungan dari penggunaan lahannya (payment ecosystem service, PES). Perbedaan mendasar dari kedua bentuk insentif tersebut adalah untuk PDR, insentif digunakan untuk mencegah terjadinya perubahan penggunaan lahan private dan lahan negara, contoh kasus di lahan peternakan, pertanian dan hutan Amerika Serikat Bagian Barat. Sedangkan PES digunakan untuk mendorong perilaku konservatif di lahan private guna memaksimalkan jasa lingkungan penggunaan lahannya, sebagai contoh PES untuk jasa konservasi keanekaragaman hayati di lahan peternakan di negara Colombia, Costa Rica, dan Nicaragua. 1. Purchase of Development Right (PDR) PDR dewasa ini telah populer dan menjadi suatu alat perlindungan lahan pertanian dan sumberdaya lainnya dari pembangunan. Menurut Stein et al (2001)

68 44 latar belakang penerapan PDR diawali oleh kekhawatiran publik Amerika Serikat akan hilangnya sumber pangan, daging dan serat yakni lahan pertanian yang luas di negara bagian western akibat tingginya permintaan permukiman perdesaan di negara bagian tersebut karena tertarik pada pemandangan, ruang terbuka yang luas, dan gaya hidup perdesaan. Sedangkan program PDR di Amerika Serikat Bagian Timur dimulai pada tahun 1970 ketika komunitas di wilayah tersebut merasakan kehilangan para petani yang mensupply makanan dan serat lokal, sehingga memutuskan untuk melakukan perlindungan terhadap lahan-lahan petani dan ruang terbuka yang tersisa dari kerusakan. Menurut Stein et al (2001), kecenderungan meningkatnya permintaan permukiman perdesaan oleh karena harga lahan yang murah tetapi berkualitas yang dicari customer dalam mana daerah Western telah menyediakan karakter unik bentang alam dan komunitas perdesaan Western. Demand permukiman perdesaan telah meningkatkan harga lahan, yang mengakibatkan terjadinya fragmentasi bentang alam yang luas yang dibutuhkan untuk mendukung rumah tangga petani, DAS yang sehat, serta tanaman dan hewan setempat. Dalam dua dekade terakhir, lebih satu juta are yang menuju kawasan Graeter Yellowstone telah dipisah-pisahkan dalam 200 arean atau kurang. Selanjutnya dikatakan bahwa orang-orang Western bertekad melakukan inovasi yang kuat dalam melakukan konservasi landscape tempat kerja dan lahan milik disaat opportunity telah tersedia. Pemilik lahan memerlukan alat yang luwes yang dapat membantu melindungi landscape tempat bergantung kehidupannya. Menurut Daniels (1990) dan Daniels (1998), perlindungan lahan pertanian sangat kompleks, sehingga tidak ada satupun teknik yang dapat mengatasi semua aspek, namun dikatakannya suatu program dapat digunakan minimal mencapai lima tujuan yaitu (1) melindungi lahan dari masa kritis, yakni sebagai dasar kecukupan dari tanah pertanian untuk mendapatkan dukungan bisnis untuk tetap ada, (2) menjaga harga lahan yang layak untuk pengembangan pertanian dan dimasuki oleh petani baru (muda), (3) dapat dipercaya sebagai program perlindungan jangka panjang, (4) efektivitas biaya perlindungan harus pada tingkat yang layak biaya relatif terhadap keuntungan, dan (5) secara terus menerus mendapat dukungan modal sosial dan dukungan politik publik dari pejabat pemerintah.

69 45 Selanjutnya Daniels (1990) dan Daniels (1998) mengatakan bahwa kesuksesan program perlindungan tanah pertanian dan kehutanan seharusnya mencakup sebagian besar atau semua hasil berikut: (1) pajak kekayaan dapat dipecahkan untuk petani dan pengelola hutan komersil; (2) perencanaan komprehensif di tingkat kabupaten atau multi kota, bersama-sama dengan zone pedesaan yang hanya mengijinkan kepadatan pembangunan perumahan yang rendah dan alokasi sangat kecil bagi pembangunan kegiatan komersil atau pembangunan industri; (3) penjualan atau pelepasan hak membangun ke pemerintah daerah atau pusat, mencerminkan komitmen untuk kegiatan pertanian; (4) perlindungan untuk petani dalam melawan gangguan penggunaan untuk bertani; (5) pembatasan pengembangan pengairan dan saluran air dan hanya dibatasi di perkotaan; (6) zona permukiman perdesaan ditempatkan pada tanah dengan mutu lebih rendah dan tidak mengganggu lahan pertanian komersil. Alat yang luwes dan diharapkan memenuhi ciri-ciri keberhasilan perlindungan tanah pertanian dan kehutanan di atas adalah transaksi program PDR. Menurut Daniels (1998), di Amerika, pemilik tanah sebenarnya memiliki sebundel hak terhadap tanah. Hak-hak tersebut meliputi hak atas air, hak atas udara, hak atas menjual lahan, hak untuk diwariskan, hak menggunakan, dan hak untuk mendirikan bangunan. Semua dari hak ini dapat dipisahkan dari sebundel hak tersebut dan dapat dijual, didermakan, atau pembebanan hak lainnya. Menurut Rielly (2000), program PDR dirancang untuk membatasi seseorang dalam membangun bukan penggunaan untuk pertanian di lahannya, suatu hak yang secara tradisionil melekat pada lahan milik. Selanjutnya Lovering et al (2001) mengatakan bahwa PDR mencakup penjualan hak membangun terpisah dari hak lainnya. Dengan demikian program PDR memberikan jalan keluar dari dilema yang dihadapi petani akibat meningkatnya harga lahan dengan pemberian kepada pemilik lahan suatu cara untuk merealisasikan nilai pembangunan lahannya dengan tanpa memiliki hak untuk membangunnya. Selanjutnya dikatakan hahwa pemilik lahan dapat menjual sebagian atau semua hak membangun atas propertynya dan menggunakan pendapatannya untuk berbagai kebutuhan individual untuk mata pencaharian keluarganya dari lahan. Sementara itu manfaatnya bagi peternak adalah pengurangan hutang dan pajak propertynya,

70 46 memperluas atau memodernisasi usaha peternakannya, pengembalian investasinya, dan/atau menempati lahannya dengan keuntungan PDR-nya. Menurut Daniels (1998), dibawah PDR seorang pemilik tanah pertanian dengan sukarela menjual hak membangunnya (juga dikenal sebagai consevation easement) ke lembaga pemerintah atau private land trust dan menerima kompensasi sebagai balasan untuk pembatasan penggunaan lahan. Petani tetap memegang peranan terhadap lahannya dan dapat menjual atau digunakan sepanjang masa, walau penggunaan di lahannya adalah terbatas pada kegiatan pertanian dan ruang terbuka. Suatu easement dicatat pada akta pemilikan tanah dan "melekat pada lahan," yang manapun untuk selamanya atau untuk periode waktu tertentu dalam dekomen easement. Easement melarang pembangunan permukiman tidak terkecuali untuk pemilik, anak-anak pemilik, atau buruh tani. Akses publik secara normal tidak diijinkan, atau pun melakukan pembuangan sampah atau memindahkan tanah. Praktek-praktek dan struktur pertanian normal diijinkan sepanjang mereka mematuhi ketentuan. Selanjutnya Stein et al (2001) menyampaikan bahwa komunitas di sana melembagakan finansial publik yang dapat mendanai dalam mengakuisi dan meniadakan hak-hak pembangunan dalam kerangka melindungi lahan-lahan pertanian supaya lestari. Anggota komunitas bekerja dengan kantor pemilihan umum setempat untuk tingkat kota, kabupaten, negara bagian, federal, dan secara khusus disponsori program PDR yang memungkinkan lahan milik untuk dapat bekerjasama dengan lahan publik dalam memelihara usaha pertanian sekaligus memelihara pemandangan indah, habitat hidupan liar, fungsi DAS, dan opportunitas rekreasi. Melalui program PDR, publik menyediakan pembayaran secara tunai untuk pemilik lahan untuk nilai hak membangunnya di setiap persil lahan. Pemilik tetap menjadi pemilik lahan, tetapi dikompensasi untuk melepaskan hak membangunnya sebagai real estate. Pertanian dan penggunaan lainnya dari lahan dapat berkelanjutan. Untuk publik, program PDR memungkinkan banyak mengurangi biaya koservasi lahan. Menurut Veslany (2002), ciri penting dari PDR ini adalah bahwa transaksi PDR merupakan bentuk sukarela dari pemilik lahan. Mereka melakukannya hanya ketika pemilik lahan percaya bahwa hal itu merupakan sesuatu yang terbaik untuk dilakukan. Tujuan transaksi PDR adalah untuk membantu pemilik lahan melindungi

71 47 tempat bekerjanya dan kepemilikan landscape lahan lainnya dari tekanan pembangunan melalui pendekatan kompensasi untuk konservasi. Dalam implementasi PDR terdapat dua persoalan mendasar yang dihadapi yakni bagaimana transaksi dilakukan dan bagaimana PDR didanai. Transaksi PDR berlangsung di suatu negara bagian melalui lembaga seperti land trust atau lembaga lainnya sebagai penghubung ke pemerintah lokal dalam membuat penawaran kepada pemilik lahan untuk membeli hak membangun lahannya. Pemilik lahan bebas untuk menolak, atau mencoba bernegosiasi pada harga tinggi (Lovering et al, 2001). Kesepakatan yang dibuat, memberikan secara permanen pembatasan yang dilekatkan pada property yang membatasi tipe aktivitas yang mungkin mengambil alih keberlanjutan lahan (Daubenmire dan Blaine, 2001). Melalui cara ini, negara bagian dapat membatasi atau mengatur penggunaan lahan di masa depan. Permasalahan dengan PDR adalah bahwa pembayaran pajak menjadi ganda untuk hak membangun (Lovering et al, 2001). Berikut disampaikan sumber-sumber dana PDR di Amerika Setikat yang berasal dari Federal dalam melindungi lahan peternakan, pertanian dan hutan milik sebagaimana disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Sumberdaya Federal Untuk PDR Pada Peternak, Pertanian dan Hutan Sumber dana Jenis program dan Tujuan Jumlah dana dan Hasil (1) (2) (3) the Farmland Protection Progam (FPP), 1996 Farm Bill 2002 Program Perlindungan Lahan Pertanian: untuk membantu peternak dan petani secara keuangan untuk menahan kepemilikan lahannya dan untuk meningkatkan kelangsungan ekonomi dari usaha pertaniannya program perlidungan lahan pertanian: perlindungan lapangan kerja pertanian dan peternakan di Barat Sejak tahun 1996, FPP menyediakan total anggaran $59 juta dalam bentuk pendanaan Federal, menghasilkan perlindungan areal seluas acre melalui PDR diberbagai tempat di AS. menyediakan $ 647 juta selama 6 tahun, dengan rincian sbb: Tahun 2002: $ 50 juta Tahun 2003: $150 juta Tahun 2004: $125 juta Tahun 2005: $125 juta Tahun 2006: $100 juta Tahun 2007: $ 97 juta

72 48 Tabel 11 (lanjutan) (1) (2) (3) the forest legacy program (FLP), 1997 Program konservasi lain dalam Farm Bill 2002 Sumber: Veslany (2002) Program pewarisan hutan (the Forest Lebacy Program): menjamin conservation easement di hutan produksi dari ancaman konversi lahan ke penggunaan non-hutan untuk melindungi lahan pertanian produktif dan meningkatkan tujuan konservasi. Grasland Reserve Program baru telah dibuat, dimulai tahun 2002, untuk melindungi sebanyak 2 juta acre ekologi alamiah penting dan rehabilitasi padang rumput. propgram perlindungan lahan basah diadakan untuk pendanan pembelian secara permanen atau jangka easement 30 tahun lahan basah pertanian. Dalam sejarahnya FLP memnerima pendanaan terbesar. Setelah dimulai dengan dana $2juta tahun 1997, usaha dikonsentrasikan untuk meningkatkan pendanaan dari luar dan sukses, menghasilkan $65 juta untuk tahu Pada anggran tahun 2003, Presiden George W, Bush merekomendasikan $70 juta untuk FLP Program membutuhkan 60% pendanaan untuk pembelian secara permanen atau easement jangka 30 tahun. Sisanya 40% digunakan untuk perjanjian 10, 15 atau 20 tahun. meningkatkan luas areal dari acres (2001) menjadi total acre, dengan pendaftaran per tahun dibatasi sampai acre. Selain itu, program perlindungan (the Conservation Reserve Program), keberadaannya dalam menyediakan pembayaran bagi petani dalam men-set lahan sensitif, didanai untuk 6 tahun. Direncanakan terjadi peningkatan menjadi 39.2 juta acre dari sekarang 36.4 juta acre. Stein et al (2001) menjelaskan seecara umum bahwa mekanisme pendanaan PDR di tingkat negara bagian di seluruh AS disediakan secara tahunan bersumber dari sumbangan atas keuntungan lotre, dan otorisasi obligasi langsung oleh legislatif atau pemilih referendum. Selanjutnya dilaporkannya bahwa beberapa contoh mekanisme pendanaan program PDR di berbagai negara bagian seperti diuraikan berikut: Di negara Bagian Montanna menentapkan program a rancher-friendly didanai dengan fee lisensi untuk rekreasi pemancingan dan berburu, dan pemilih di Missoula dan Helena masing-masing menyediakan sekitar $5 juta dalam bentuk obligasi melalui pajak property, guna meningkatkan pendaaan untuk areal taman,

73 49 rekreasi, dan program ruang terbuka. Pada tahun 1999 Montana Agricultural Heritage Program telah dibentuk dengan alokasi pendaaan awal sebesar $1 juta. Pada tahun 1996 Kabupaten Douglas, Colorado, satu kabupaten yang pertumbuhannya tercepat, menyetujui sekitar $25 juta dari keuntungan obligasi yang ditanggung oleh pajak pembelian/penggunaan untuk ruang terbuka. Di Davis, California, para pengembang (developer) membayar untuk program PDR melalui program mitigasi keunikan lahan pertanian. Mereka diberi ijin untuk mengembangkan property di areal yang tepat jika mereka membantu membayar untuk mitigasi ruang terbuka hijau melalui pendanaan PDR di property lainnya. Pada tahun 1998 di Kabupaten Bernalillo, New Mexico, para pemilih menyetujui selama dua tahun sebesar setengah dari 1 persen pajak penjualan, sehingga telah meningkatkan pendanaan kegiatan perlindungan ruang terbuka. Pada tahun 1998 di Carson City, Nevada, para pemilih memberikan separuh dari 1 persen pajak penjualan/penggunaan kualitas hidup untuk perlindungan taman, jalan setapak, dan ruang terbuka. Kentucky mengijinkan pemerintah kota untuk mendanai program PDR-nya dari pajak advalorem, fee lisensi dalam hak monopoli, penjualan dan profesi, pajak kamar, atau kombinasi, dipilih dalam referendum lokal. Beberapa kabupaten di Maryland menggunakan pajak penjualan real-estate lokal ditambah dengan derma pendanaan umum untuk mendanai program PDR-nya. Pennsylvania dari cukai rokok Maine memiliki kartu kredit yang menyediakan dana untuk memperoleh lahan sumberdaya alam penting, termasuk lahan pertanian. Virginia Beach, Virginia, menyediakan uang untuk program PDR-nya dari pajak telpon seluler, menyumbangkan meningkatkan pajak property lokal sebesar 1.5 persen, sumbangan dari pemerintah kota. Upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pengembangan PDR di Amerika Serikat seperti disajikan pada Tabel 12.

74 50 Lokasi Tahun Di Negara bagian Colorado, 1992 Kabupaten Routt, 1992 Negara Bagian Colorado, 1995 Tabel 12. Pengembangan Program PDR Di AS Bagian Timur Jenis Lembaga Tujuan Pendirian Keterangan Great Outdoors Colorado (GOCO) Pendirian the Yampa Valley Land Trust (YVLT) Komite Perencanaan Ruang Terbuka (the Open Space Planning Commite) the Colorado Cattlement Agricultural Land Trust (CCALT) telah dibentuk oleh Asosiasi Peternak Colorado. CCALT merupakan agricultural land trust pertama yang dibentuk di AS oleh mainstream produsen. Sumber: Stein et al (2001;2002) Merupakan a trust fund dengan sumber dana Colorador lotre sebesar $35 juta per tahun untuk mengakuisisi tempat rekreasi di luar gedung (outdoors), hidupan liar, dan ruang terbuka hijau Menghasilkan the Routt County Open Land Plan, disempurnakan dalam tahun , yang mencakup opsi-opsi perlindungan bagi areal peternakan dan menetapkan perluasan program PDR di seluruh kabupaten, pada tahun Mereka membentuk CCALT untuk menjadikan pertanian lokal agar memperhatikan masalah konservasi, partner bagi peternak Colorado dalam menghadapi pertumbuhan pembangunan dan tekanan ekonomi, dan untuk meningkatkan produksi pertanian secara terus menerus bermanfaat bagi setiap orang. Sejak sumbangan pertama tahun 1994, GOCO telah membantu kegiatan konservasi mencapai acre ruang terbuka hijau, termasuk acre lahan pertanian. CCALT melengkapi proyek PDR pertama melindungi acre dengan pendanaan dari GOCO, Yayasan Perikanan dan Hidupan Liar National, Gates Family Foundation, the Conservation Fund, Colorado Departement of Wildlife, The US Burreau of Land Management, dan U.S Forest Service. Kemudian setelah kabupaten-kabupaten di Bagian Timur AS menciptakan program PDR, komunitas di bagian Barat mengembangkan program PDR menjadi lebih efektif, dimaksudkan untuk melindungi landscape tempat bekerja, dengan daftar berbagai program PDR dan Private Land Trust di berbagai negara bagian di Amerika Serikan Bagian Barat, sebagaimana tersaji pada Tabel 13.

75 51 Tabel. 13. Contoh Jenis-Jenis Program Beberapa Negara Bagian dalam Konservasi Lahan Pertanian Jenis Program Negara Bagian Private Land Program Negara Bagian Program Lokal Trust (1) (2) (3) (4) ALASKA Negara Bagian menerima $ 400 juta hasil sitaan permukiman dari pengadilan dengan Exxon untuk curahan minyak tahun 1989, dan mendirikan the Exxon Valdez Oil Spill Trustee Council untuk mengelola dana sumbangan, bekerjasama dengan negera bagian dan pemerintah federal. Bagian hasilnya digunakan untuk melindungi lahan melalui conservation easement. Dewan ini telah melindungi acre lahan milik negara bagian, menggunakan conservation easement satu tiga. ARIZONA Badan Taman Negara Bagian (The State Parks Board) mengelola dua program yang dapat digunakan untuk PDR. Program areal alami dibentuk dengan pendanaan dari the Arizona Heritage Initiative (ARS 41501) pada tahun Program ini mendapatkan persetase dari pendapatan Arizona Lottery setiap tahun untuk akuisisi lahan, termasuk conservation easement, untuk konservasi Great Land Trust (Anchorage), Interior Alaska (Fairbanks), Kachemak Heritage Land Trust (Homer), Kodiak Brown Bear Trust (Anchorage), Nushagak/Mulchatna -Wood/Tichik Land Trust (Dillingham), Southeast Alaska Land Trust (Juneau). Kota Queen Greek akan menerapkan program PDR lokal pertama di negara bagian ini. Didanai dari fee pembangunan yang dikumpulkan dari setiap pembangunan rumah baru di Queen Greek, keuntungan diproyeksikan sampai $111 juta per tahun untuk 10 tahun berikutnya. Menunggu: Kabupaten Pima sekarang ini sedang Arizona Land Trust (Tucson), Balack Mountain Conservancy (Gave Greek), Cascabel Hermitage Association (Tucson), Central Arizona Land Trust (Prescott), Desert Foothills Land Trust (Gave Greek), Grand Canyon Trust (Flagstaff), Keep Sedona Beautiful

76 52 Tabel 13 (la jutan) (1) (2) (3) (4) nilai keunikkan alami. Pemilih menetapkan the Arizona Growing Smarter Grant Program di tahun 1998 melalui Proposition 303, the Growing Smarter Act. Itu dialokasikan $220 juta untuk 11 tahun dari pendanaan umum untuk akuisi atau mengurangi lahan negara bagian atau area dekat kota. Dana tersebut dapat juga digunakan untuk pembelian hak mem-bangun di tanah negara. Dimulai tahun 1998, the Arizona Common Ground Roundtable mensponsori diskusi diantara berbagai kelompok seperti peternak, konservasionis, para ilmuwan, lembaga publik, dan mendukung secara antusias untuk memahami tantangan konservasi di negara bagian. Kelompok tersebut merekomendasikan berkenaan dengan pembangunan pada program PDR di seluruh negara bagian ke Governor Hull s Growing Smarter Commision, bersidang pada tahun 1998 sebagai bagian the Growing Smarter Act. Berdasarkan rekomen-dasi komisi tersebut, pembuat undangundang melo-loskan the Growing Smarter Plus paket legislatif tahun 2000, yang memasukan kreasi program PDR diseluruh negara bagian, the Development Rights Retirement Fund. Badan ini mengembangkan Sonoran Desert (Habitat) Conservation Plan telah mempertimbangkan membuat program PDR sebagai bagian dari rencana implementasinya. (Sedona), Malpai Boderlands Group (Douglas), McDowell- Sonoran Land Trust (Scottscale), Oracle Land Trust (Oracle), Prescott Greeks Preservation Association (Prescott), Ribcon Institute (Tueson), Southeast Arizona Land Trust (Tuscon), Superstition Area Land Trust (Apache Junction).

77 53 Tabel 13 (lanjutan) (1) (2) (3) (4) juga akan mengelola melalui Badan Taman Negara Bagian, tetapi mekanisme pendanaannya telah dikembangkan. Pada Juni 2002 Gubernur Jane D. Hull mengisyaratkan menetapkan the Arizona Agricultural Protection Act dan memfasilitasi penetapan agricultural easement untuk melindungi lahan pertanian atau peternakan. CALIFORNIA Program Konservasi Lahan Pertanian Kalifornia didirikan tahun program ini dikelola melalui Departemen Konservasi Divisi Perlindungan Sumber daya Lahan dan pendanaan dari sumbangan tahunan. Program menyediakan hibah bagi pemerintah lokal, distrik konservasi sumberdaya, organisasi non-profit, dan distrik ruang terbuka regional untuk proyek-proyek yang menggunakan conservation easement guna melindungi lahan pertanian. Proposition 12 Maret 2000, menyediakan $25 juta yang lain untuk hibah beberapa tahun terakhir. Dengan Proposition 20 Maret 2002, ditambah $75 juta disediakan untuk konservasi lahan pertanian. California juga mendaftar di USDA Forest Service s Forest Legacy Program. The Marin County Open Space District dibentuk 1972 dalam suatu pemilihan penduduk. Distrik telah melindungi acres dari fee pembangunan dan acree oleh conservation easement. Distrik juga telah berkontribusi mendekati $1 juta untuk the Marin Agricultural Land Trust (MALT) untuk membeli agricultural easement di lahan pertanian, MALT telah melindungi lebih dari acre di 46 keluarga petani dan peternak. The Sonoma County Agricultural Preservation and Open Space District dibentuk tahun 1991 dan melindungi acre termasuk acre lahan pertanian. Pendanaan dari 0,25% pajak penjualan disetujui oleh pemilih di tahun Ada sekitar 160 local land trust di California

78 54 Tabel 13 (lanjutan) (1) (2) (3) (4) Sumber: Stein et al (2001;2002) Kota Davis memberikan pajak perlindungan ruang terbuka selama 30 tahun untuk mengakuisisi, meningkatkan, memelihara ruang terbuka pada 7 November Perkiraan $17.5 juta dapat digunakan untuk PDR. Kabupatenkabupaten Marin, San Joaquin, dan Solano juga telah menggunakan distrik perpajakan khusus, dalam mana pemilik lahan dan pembeli rumah membayar pajak ekstra untuk mendanai perlindungan lahan pertanian. Pelunasan pajak keuntungan penjualan untuk meningkatkan dana bagi PDR. 2. PES untuk Jasa Konservasi Keanekaragaman Hayati di Lahan Pertanian di Negara Amerika Tengah dan Amerika Utara Dewasa ini daya tarik pembayaran untuk jasa lingkungan (payment for environmental services, PES) telah meningkat sebagai suatu mekanisme untuk menterjemahkan biaya eksternalitas, nilai bukan-pasar atas lingkungan ke dalam insentif finansial bagi sektor lokal untuk menyediakan jasa lingkungan. Dalam banyak kasus, terma PES digunakan sebagai suatu payung yang lebar untuk berbagai macam mekanisme berbasis pasar untuk konservasi, sebagai contoh, mekanisme seperti sertifikasi-ekologi dan pengenaan pembayaran bagi wisatawan (Engel et al, 2008). Secara teoritikal PES baru muncul beberapa dekade yang lalu, sementara implementasi praktek dari instrumen berbasis pasar ini untuk pengelolaan sumberdaya alam hanya baru-baru ini (Kosoy et al, 2007).

79 55 Logika dasar dari mekanisme PES seperti terlihat pada Gambar 12. Berdasarkan Gambar 12 tersebut, menunjukkan bahwa para pengelola ekosistem seperti konservasi hutan, hanya menerima sedikit manfaat dari penggunaan lahannya. Manfaat ini sering lebih rendah dari alternatif manfaat penggunaan lahan lainnya, seperti konversi menjadi lahan pertanian atau peternakan. Dipihak lain deforestasi memiliki dampak bagi penduduk di daerah hilir, yang telah lama mereka mendapatkan manfaat jasa seperti filtrasi air, dan reduksi karbon dioksida. Pembelian oleh pengguna jasa dapat membantu membuat opsi konservasi lebih baik bagi manajer ekosistem, sehingga mereka bersedia mengadopsi PES (Engel et al, 2008). Pagiola (2008) menyatakan bahwa Costa Rica sebagai pionir penggunan PES di negara berkembang secara formal, merupakan pengembangan dan perluasan (nasional) dari program Pago por Servicios Ambientales (PSA). Program ini berkembang berlandaskan pada Undang-Undang Kehutanan Costa Rica Tahun 1997 (Forest Law No.7575), dimana pengguna lahan (land user) dapat menerima pembayaran untuk penggunaan lahan tertentu, termasuk kegiatan penanaman tanaman baru atau konservasi hutan alam. Undang-undang tersebut menyediakan dasar pengaturan untuk kontrak pemilik lahan untuk jasa yang disediakan oleh lahannya, dan kemudian didirikan the National Fund for Forest Financing (Fondo Nacional de Financiamento Forestal, FONAFIFO). Menurut Pagiola (2008) bahwa pendanaan program PSA melalui FONAFIFO, sebesar 3,5% berasal dari pajak penjual bahan bakar fosil (sekitar US$ 10 juta per tahun). Pendanaan program PSA dari 2001 sampai 2006 didukung pinjaman (loan) dari Bank Dunia dan sumbangan (grant) dari the Global Environment Facility (GEF), melalui the Ecomarkets Project. Selain membiayai Ecomarkets Project tersebut, Bank Dunia dan GEF juga membiayai berbagai proyek PES lainnya (Pagiola et al, 2004). Secara lengkap, berbagai proyek PES yang didukung Bank Dunia tersebut dapat dilihat pada Tabel 14.

80 56 Gambar 12. Logika Pembayaran Jasa Lingkungan (PES) (Engel et al, 2008) Tabel 14. Dukungan Bank Dunia Untuk Payment for Environment Services Negara/Tem pat Proyek Nama Proyek Deskripsi Proyek (1) (2) (3) Costa Rica Guatemala Venezuela The Ecomarket Project dan Mainstreaming Market Based Instruments for Environmental Management (MMBIEM) The Western Altiplano Natural Resources A GEF financed project Proyek ini mendukung negara-negara program PES, memberikan loan sebesar US$32.6 juta dari Bank Dunia untuk membantu pemerintah menjamin kontrak jasa pada tingkat sekarang dan sebesar US$8 juta hibah dari the GEF untuk membantu program konservasi keanekaragaman hayati (World Bank, 2000); kemudian pada tahun 2007 mengembangkan proyek baru berupa Mainstreaming Market Based Instruments for Environmental Management (MMBIEM) Proyek ini termasuk komponen untuk mendukung pengujian dan percontohan mekanisme PES pada tingkat bawah dan mendukung pengembangan perumusan kerangka dan instrumen kebijakan national (World Bank, 2003a) Fokus Taman Nasional Canaima pada tahap persiapan, termasuk mekanisme mengkaitkan pembayaran konservasi DAS dibuat oleh produser pembangkit listrik tenaga air CVG-EDELCA

81 57 Tabel 14 (lanjutan) (1) (2) (3) Mexico - Bank Dunia menyediakan dukungan teknis bagi usaha pemerintah untuk memantapkan program The Payment for Hydrological Environmental Service. Dominican Republic, Ecuador, dan El Salvador South Afrika Pilot PES Programs Sumber: Pagiola et al (2004) The Cope Action Plan for the Environment (CAPE) BioCarbon Fund Percontohan program PES di negara-negara ini baru tahap pendahuluan. Masi pada tahap pendahuluan, bertujuan untuk menggunakan pendekatan PES sebagai satu alat untuk meningkatkan konservasi di the Cape Floristic Region Berita yang dibuat BioCarbon Fund adalah pengujian potensial untuk pembelian jasa penyimpanan karbon yang dihasilkan oleh perubahan penggunaan lahan. Sebagai contoh, satu rpopsal akan membayar penyimpanan karbon oleh sistem tanaman lindung kopi di upland Mexican Menurut Engel dan Palmer (2008), potensi penerapan mekanisme PES di Indonesia dalam pengusahaan hutan menunjukkan bahwa mekanisme PES di Indonesia merupakan suatu peraturan yang kompleks yang mana biaya untuk efektivitas penerapan sistem PES lebih tinggi dari fee pembalakan dewasa ini. Sementara itu penerapan PES telah berjalan di Costa Rica dan digunakan sebagai mekanisme pembayaran penggunaan jasa air, pembayaran keanekaragaman, dan pembayaran karbon (Pagiola, 2008). Kemudian Engel et al (2008) mengatakan bahwa terdapat perbedaan penerapan program PES tergantung pada karakteristik rancangan, terutama terkait siapa yang membayar, siapa yang membeli dan bagaimana mekanisme PES bekerja. Selanjutnya Kosoy et al (2007), berdasarkan hasil penelitian di tiga lokasi yakni di Jesus de Otoro, San Pedro dan Herdeia Amerika Tengah menyimpulkan bahwa karakteristik rancangan dibuat berdasarkan perbedaan opportunity cost, latar belakang dan persepsi pengguna. Kemudian Muñoz- Piña et al (2008) di Mexico melakukan penelitian tentang penggunaan PSAH (Pago de Servicios Ambientales Hidrológicos), untuk perlindungan hutan dalam mengatasi kelangkaan air.

82 58 Gutman (2007) mengatakan bahwa secara tradisional antara desa-kota adalah kompak, namun dewasa ini proses pertukaran produk barang dari desa dengan produk kota tidak berjalan sepenuhnya. Peningkatan marjinalisasi dan lingkungan alam telah meningkatkan kerusakan lingkungan di desa. Kekompakan desa-kota yang baru memerlukan pengakuan dari kota dan kesediaan kota membayar untuk kelestarian lingkungan desa. Dalam kekompakan desa-kota yang baru dapat dugunakan untuk menyediakan kesempatan lapangan kerja dan pendapatan lebih untuk areal desa, sementara kota akan mendapatkan manfaat dari supply produk desa secara berkelanjutan dan jasa lingkungan disediakan oleh restorasi lingkungan desa. Kemudian Herrador dan Dimas (2000) menggambarkan hubungan pertukaran jasa dan barang antar kota dan desa seperti tersaji pada Gambar berikut. Jasa lingkungan Barang Produsen Perdesaan Perumahan dan Bisnis Pembayaran untuk barang Pembelian untuk jasa lingkungan Gambar 13. Hubungan pertukaran jasa dan barang antar kota dan desa (Herrador dan Dimas, 2000)

83 III. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Batasan Fisik Wilayah Bandung Utara merupakan wilayah inti Bandung Raya Bagian Utara yang terletak di bagian Utara Kabupaten Bandung, di Utara Kota Bandung dan Kota Cimahi dengan batas-batas seperti yang telah ditetapkan dalam SK Gubernur Jawa Barat No.181.1/SK.1624-Bapp/1982 tentang Peruntukan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara. Batasan fisik ini antara lain: 1. Sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh garis punggung topografi yang membentang puncak-puncak Gunung Burangrang, Masigit, Gedongan, Sunda, Tangkuban Perahu dan Manglayang. 2. Sebelah Barat dan Selatan dibatasi oleh garis tinggi 750 m di atas permukaan laut (dpl). Gambar 14. Peta Wilayah Kawasan Bandung Utara

84 60 B. Batasan Administrasi Wilayah Bandung Utara memiliki luas total sekitar 38548,33 ha yang secara administratif berada di dalam empat wilayah administrasi kabupaten/kota yaitu Kota Cimahi terdiri dari 2 kecamatan dan 9 kelurahan, Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 7 kecamatan dan 51 desa, Kabupaten Bandung terdiri dari 2 kecamatan dan 11 dessa, serta Kota Bandung terdiri dari 10 kecamatan dan 35 kelurahan. Kecamatan dan kelurahan/desa yang termasuk dalam kawasan Bandung Utara dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 15. Kecamatan dan Kelurahan/Desa Yang Termasuk Kawasan Bandung Utara Jumlah Kepadatan Luas Wilayah No. Kabupaten/Kota Penduduk Penduduk (ha) (jiwa) (Jiwa/ha) (1) (2) (3) (4) (5) I KAWASAN BANDUNG UTARA DI KOTA CIMAHI 1.1. Cimahi Tengah Padasuka , Cimahi , Setiamanah , Karangmekar , Cimahi Utara Cipageran , Citeureup , Cibabat , Pasir kaliki , II Total Kota Cimahi KBU KAWASAN BANDUNG UTARA DI KABUPATEN BANDUNG BARAT 2.1. CikaLong Wetan Ganjarsari Cipada Cisarua Cipada Pasirlangu Pasirhalang Kertawangi Jambudipa Padaasih Tugumukti Sadangmekar

85 61 Tabel 15 (lanjutan) (1) (2) (3) (4) (5) 2.3 Ngamprah Bojongkoneng Cimanggu Mekarsari Cilame Pakuhaji Tanimulya Ngamprah Parongpong Cihanjuang Cihanjuanrahayu Sariwangi Ciwaruga Cigugurgirang Cihideung Karyawangi Lembang Kayuambon Lembang Cikidang Cikahuripan Cikole Gudangkahuripan Jayagiri Cibodas Langensari Mekarwangi Pagerwangi Sukajaya Suntenjaya Wangunsari Wangunharja Cibogo Cimenyan Cimenyan Mandalamekar Cikadut Ciburial Sindanglaya Kel. Padasuka Kel.Cibeunying Mekarsaluyu Mekarmanik Total Kabupaten Bandung Barat KBU

86 62 Tabel 15 (lanjutan) (1) (2) (3) (4) (5) III KAWASAN BANDUNG UTARA DI KABUPATEN BANDUNG 3.1 Cilengkrang Girimekar Jatiendah Melatiwangi Cipanjalu Ciporeat Cicalengkrang Cileunyi Cibiru Hilir Cibiru Wetan Cinunuk Cimekar Cileunyi Kulon Cileunyi Wetan Total Kabupaten Bandung KBU IV KAWASAN BANDUNG UTARA DI KOTA BANDUNG 4.1 Sukasari Sarijadi Sukarasa Geger Kalong Isola Sukajadi Sukawarna Sukagalih Cipedes Pasteur Sukabungah sukaraja Cidadap Ledeng Ciumbuleuit Hegarmanah Coblong Dago Lebaksiliwangi Sekeloa Lebak Gede Cipaganti Cibeunying Kaler Cigadung Neglasari , Cibeunying Kidul Pasir Layung Sukapada ,77 570

87 63 Tabel 15 (lanjutan) (1) (2) (3) (4) (5) 4.7 Cicadas Mandalasari Karang Pamulang Arcamanik Sidangjaya Ujung Berung Pasirwangi Pasir Jati Pasanggrahan Cibiru Cisurupan Palasari Pasir Biru Total Kota Bandung KBU Total KBU ,33 30 Sumber: Dinas Tarukim Prov Jawa Barat (2004 ) C. Kondisi Fisik Dasar 1. Topografi KBU merupakan daerah perbukitan gunung berapi dengan ketinggian m di atas permukaan laut, dengan curah hujan berkisar antara mm per tahun. Pembagian wilayah berdasarkan ketinggian dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Luas Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Ketinggian No. Ketinggian (m dpl) Luas (ha) Persentase (%) ,26 25, ,17 60, ,90 14,29 Jumlah 38548, Sumber: Dinas Tarukim Prov Jawa Barat (2004 ) Kemiringan lereng perbukitan Bandung Utara bergelombang sampai terjal, dengan persen kemiringan antara 0 sampai 40 % dan semakin ke Utara akan didapati lereng yang lebih curam. Lereng yang layak untuk permukiman dan gedung

88 64 (layak bangun) sekitar 30 % dari luas wilayah KBU. Kondisi kemiringan dan luas masing-masing kemiringan dapat dilihat Tabel 17. Tabel 17. Luas Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Kemiringan No. Kemiringan (%) Luas (ha) Persentase (%) ,58 13, ,79 20, ,28 10, ,55 21, ,13 33,91 Jumlah 38548, Sumber: Dinas Tarukim Prov Jawa Barat (2004 ) 2. Geologi Batuan yang membentuk KBU terdiri dari batuan yang berasal dari kegiatan Gunung api Kuarter (G. Sunda dan G. Tangkuban Perahu), antara lain tufa, breksi gunung api, trass, endapan lahar, dan lava. Lapisan-lapisannya sering membaji, melensa dengan ketebalan masing-masing bervariasi, yang umumnya miring ke Selatan, Barat Daya, atau Tenggara dengan sudut yang selanjutnya menyusup di bawah endapan danau. Pada bagian permukaan, batuan-batuan tersebut lapuk menjadi tanah dengan ketebalan bervariasi antara 0,50 m 4,00 m. Sifat fisik batuan bervariasi antara keras (lava dan breksi vulkanik) hingga lunak dan gembur (tanah pelapukan) dengan permeabilitas bervariasi antara 10-2 sampai 10-7 cm/detik atau dari permeabel hingga impermeabel. Adapun suatu wilayah dapat dikategorikan mempunyai sifat permeabel atau mampu menyerapkan air hujan ke dalam tanah jika nilai koefisien permeablitasnya 10-4 cm/detik. Secara lengkap kondisi geologi dan luas sebaran masing-masing jenis batuan dapat dilihat pada Tabel 18.

89 65 Tabel 18. Luas Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Jenis Batuan No. Jenis Batuan Luas (ha) Persentase (%) 1 A 19650,00 50,97 2 AE 2011,33 5,22 3 B 884,76 2,3 4 C 6491,54 16,84 5 CE 5568,03 14,44 6 D 3942,66 10,23 Keterangan: Jumlah 38548, A = Tufa Pasiran didominasi abu vulkanik, endapan kipas aluvial dan batuan api klasik B = Aliran lava dominan C = Hasil gunung api tak teruraikan D = Endapan aliran massa E = Breksi volkanik, aliran lava dan aglomerat AE = Tufa Pasiran didominasi abu vulkanik, endapan kipas aluvial, batuan gunung api, klastik Breksi volkanik, aliran lava dan aglomerat CE = Hasil gunung api tak teruraikan, breksi volkanik, aliran lava dan aglomerat. Sumber: Dinas Tarukim Prov Jawa Barat (2004 ) 3. Potensi Bencana Alam Potensi bencana alam yang ada di wilayah Bandung Utara antara lain: (1) Longsoran Tebing. Longsorang Tebing sangat potensial terjadi di sepanjang tebing-tebing sungai dan lereng-lereng terjal mengingat banyak jenis tanah yang gembur dan lepas. Beberapa kejadian longsoran yang pernah terjadi antara lain di Lembang, Dago Utara, dan G. Manglayang. (2) Aliran Lahar. Bahaya aliran lahar yang berpotensi menimbulkan bencana bagi wilayah Bandung Utara berasal dari G. Tangkuban Perahu. Apabila terjadi letusan, diduga aliran laharnya akan memasuki Sungai Cimahi dan Sungai Cikapundung. Luas Wilayah Bandung Utara yang termasuk bahaya aliran lahar adalah sekitar 5.805,58 ha atau sekitar 15 % dari luas Wilayah Bandug Utara. (3) Erosi. Erosi dapat terjadi pada seluruh permukaan wilayah Bandung Utara terutama jika tidak ada penutup. Kondisi saat ini menunjukkan adanya beberapa

90 66 tempat yang telah mengalami erosi berat, yang diindikasikan oleh sudah tidak adanya Horizon A dari tanah, Horizon B dan C sudah tersingkap, bahkan kadang batuan dasar juga sudah mulai tampak. Erosi yang cukup potensial dan cukup besar di wilayah Bandung Utara akan menyebabkan terjadinya pendangkalan dan penyempitan Sungai Citarum, dan akhirnya menyebabkan banjir. (4) Gempa Bumi. Sepanjang sejarah, bencana gempa bumi di wilayah Bandung Utara tidak begitu menonjol. Namun demikian tetap perlu diwaspadai mengingat dekatnya jarak gunung api (gempa vulkanik), dan terletak di wilayah aktif secara tektonik (gempa tektonbik). Tanah yang gembur dan lereng yang terjal berpotensi sebagai longsoran akibat gempa bumi. (5) Gerakan Tanah. Di wilayah Bandung Utara terdapat zona gerakan tanah seluas ,93 ha. Dengan berbagai kemungkinan bencana seperti tersebut di atas, maka kegiatan pembangunan di wilayah Bandung Utara harus memperhatikan faktor bencana tersebut, agar suasana kehidupan aman dan tenang bagi masyarakat yang berada di kawasan tersebut dapat tercapai. 4. Hidrologi Air Tanah Berdasarkan hasil survei periode Mei-Agustus 1993 yang dilakukan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, secara umum wilayah Cekungan Bandung dibagi menjadi lima zona konsevasi air tanah, yaitu: (1) Zona Konservasi Air Tanah I. Zona ini merupakan wilayah yang secara teknis hidrogeologis sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan pengambilan air tanah untuk semua peruntukan kecuali air minum dan air rumah tangga pada semua kedalaman. Khusus untuk keperluan industri, pengambilan baru air tanah hanya diperbolehkan dengan membuat sumur bor baru sebagai sumur pengganti. Pada zona ini kedudukan air tanah makin menurun mencapai kedalam 81 m bmt (di bawah permukaan tanah), dengan penurunan mencapai 6,61 m/tahun. Wilayah yang termasuk zona ini meliputi seluruh Kota Bandung, kecuali Kecamatan Rancasari, wilayah Kabupaten abandung meliputi Kecamatan

91 67 Dayeuh Kolot, Cimahi Selatan, Cimahi Utara, Cimahi Tengah, Margaasih dan Majalaya. (2) Zona Konservasi Air Tanah II. Pada zona ini untuk keperluan industri disarankan menyadap cadangan air tanah pada akuifer kedalaman lebih dari 150 m bmt, dengan debit pengambilan kurang dari 150 liter/menit. Akuifer kedalaman kurang dari 150 m bmt diperlukan untuk keperluan air minum dan rumah tangga. Kedudukan muka air tanah kelompok akuifer m bmt pada zona ini umumnya telah menurun berkisar antara 1,68 m hingga 7,19 m/tahun. Wilayah yang termasuk zona ini meliputi Kecamatan Rancasari, Cileunyi, Cikeruh, Rancaekek, Cicalengka, Cikancung, Ciparay, Banjaran, Pameungpeuk, Margahayu, Katapang, dan Soreang. (3) Zona Konservasi Air Tanah III. Zona ini merupakan wilayah dengan cadangan air tanah masih dapat dikembangkan, untuk keperluan industri disarankan menyadap air tanah akuifer lebih dari 80 m bmt dengan debit pengambilan kurang dari 200 l/menit. Air tanah pada akuifer kedalaman kurang 80 m bmt diperuntukan bagi konsumsi air minum dan rumah tangga. Wilayah yang termasuk zona ini meliputi Kecamatan Bojongsoang, Ciparay, Paseh, dan Cilengkrang. (4) Zona Konservasi Air Tanah IV. Zona ini merupakan wilayah resapan utama air tanah cekungan Bandung. Pengambila air tanah di wilayah ini dilarang pada semua kedalaman kecuali untuk keperluan air minum dan rumah tangga penduduk setempat. Wilayah yang termasuk zona ini adalah sebagian Kecamatan Cisarua, Cimahi Utara, Ngamprah, Parongpong dan Lembang. (5) Zona Konservasi Air Tanah V. Zona ini merupakan wilayah dengan cadangan air tanah yang masih dapat dikembangkan lebih lanjut baik menyadap air tanah dari akuifer dangkal maupun dalam, dengan debit kurang dari 250 l/menit. Penyadapan air tanah pada akuifer kedalaman kurang dari 60 m bmt terutama diperutukan bagi keperluan air minum dan rumah tangga. Zona ini tersebar di seluruh kecamatan.

92 68 Dari 38548,33 ha lua KBU, zona V merupakan zona Luas masing-masing zona terluas yakni 29180,84 ha (75,70%), kemudian diikuti oleh zona III dan IV seluas 7114,99 ha (18,46%, zona I seluas 1796,58 ha (4,66%) dan zona II seluas 455,92 ha (1,18%). Adapun sebaran luas zona konservasi di KBU dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Zona Konservasi Air Tanah di Kawasan Bandung Utara No. Zona Konservasi Luas (ha) Persentase (%) 1 Zona I 1796,58 4,66 2 Zona II 455,92 1,18 3 Zona III dan IV 7114,99 18,46 4 Zona V 29180,84 75,70 Jumlah 38548, Sumber: Dinas Tarukim Prov Jawa Barat (2004 ) Air Permukaan dan Mata Air KBU merupakan daerah tangkapan air dan salah satu Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum sebagai Sub DAS. Adapun Sub DAS tersebut berasal dari rangkaian pegunungan yang ada di KBU yang terdiri dari rangkaian pegunungan di bagian Barat yaitu Gunung Burangrang, Gunung Masigit, Gunung Gedogan, Gunung Lembungan, Gunung Wayang sampai Gunung Tangkuban Perahu; rangkaian pegunungan ke arah Timur mulai dari Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Keramat, Gunung Lingkung sampai Gunung Bukit Tunggul. Disamping itu juga berasal dari bukit-bukit yang ada di antara rangkaian pegunungan tersebut. DAS tersebut berada di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. Secara rinci Sub DAS yang terdapat di KBU tersebut dapat dilihat pada Tabel 21. Mata air adalah air tanah yang tertekan keluar yang menjadi air permukaan. Kualitas mata air pada umumnya masih baik, belum terpengaruh oleh bahan-bahan yang berbahya. Di KBU mata air pertama (bagian paling Utara) muncul di daerah Utara Cisarua dengan debit lebih dari 40 liter/detik. Mata air berikutnya muncul di daerah sekitar Lembang sampai Dago. Di daerah ini mata air dimanfaatkan

93 69 seluruhnya untuk irigasi sehingga tidak ada limpasan. Berdasarkan data dari PDAM Kabupaten Bandung sampai saat ini telah tercatat jumlah mata air yang ada di KBU sebanyak 175 mata air dengan total debit 6115 liter/detik. Sedangkan menurut data dari DPU Cipta Karya Jabar mata air yang terdapat di KBUsekitar 49 buah dengan debit kurang dari 5 l/detik ada 29 buah, 5 20 l/detik ada 18 buah, dan 2 buah ber debit lebih besar dari 20 l/detik. Tabel 20. Luas Sub DAS Hulu Citarum di Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Wilayah Administrasi dan Status Kawasan Hutan No. Sub DAS Hulu Sungai dan Ketinggian (m) dpl Kab/ Kota Kawasan Hutan Luas DAS Luar Kawasan Hutan Total Luas ha % ha % ha % (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 1. Cimahi Rangkaian Pegunungan Sebelah Barat: Gunung Burangrang, G. Masigit, G.Gedogan, G.Lembungan dan G.Tangkuban Perahu ( ) 2. Cibeureum Rangkaian Pegunungan Sebelah Barat: Gunung Burangrang, G. Masigit, G.Gedogan, G.Lembungan dan G.Tangkuban Perahu ( ) Kota Cimahi Kab. Bandung ,

94 70 Tabel 20 (lanjutan) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) Rangkaian Pegunungan Sebelah Timur: Gunung Tangkuban Perahu, G. Keramat, G. Lingkung, dan G. Bukit Tunggul ( ) Kab. Bandung Kota Bandung Kab. Subang 3. Cikapundung Kab.Sumedang ,3 0,1 0,1 0, ,7 29, ,0 29,4 0,1 0,5 Jumlah , , Cidurian Drainase bukit kecil Kab. Bandung 150 2, , Cikeruh Drainase bukit kecil Sumber: PT Perhutani ( 2002 ) 5. Ekosistem Kab. Sumedang , , KBU yang meliputi wilayah seluas ha, bukan merupakan wilayah yang homogen. Ada karakter dan fungsi yang beranekaragam, karena itu tidak cukup dikelola dengan satu kaidah. Perlu ada pembedaan dan pembagian ruang menurut karakter dan fungsinya berdasarkan kaidah masing-masing. Berdasarkan hal tersebut, keseluruhan KBU dibedakan dalam beberapa mintakat (zoning), guna memperjelas dan mempertajam permasalahan, serta guna menentukan tindakan yang sesuai dengan kondisi masing-masing mintakat tersebut. KBU dibedakan dalam lima mintakat yang didasarkan pada (1) karakter morfologinya, (2) sifat tanah dan batuan, dan (3) fungsi dan perannya terhadap tata air di kawasan bahawannya. Adapun kelima mintakat tersebut adalah: (1) Mintakat Cekungan Lembang. Sebagian mintakat ini lerengnya kecil. Hasil endapan Gunung Tangkuban Perahu yang subur, peresapan relatif tinggi, hulu daerah aliran sungai Cikapundung, dipisahkan dengan cekungan Bandung oleh patah Lembang dan deretan Gunung Lembang sampai Gunung Manglayang, di

95 71 sebelah Timur dibatasi oleh Bukit Tunggul. Mintakat ini mempunyai hubungan tata air dengan cekungan Bandung diduga hanya melalui sungai Cikapundung. Oleh adanya patahan dan batuan tua G Sunda yang memisahkannya dengan cekungan Bandung, banyak yang berpendapat resapan pada cekungan Lembang ini tidak mencapai cekungan Bandung. Adapula yang berpendapat bahwa air yang meresap tersebut menerobos di bawah atau di celah-celah batuan tua Gunung Sunda. Produktivitas pertanian di mintakat ini cukup tinggi. (2) Mintakat Manglayang. Mitakat ini merupakan wilayah di puncak Gunung Manglayang ke arah kakinya di sebelah Barat dan Selatan. Berbukit-bukit, tidak terlalu subur, dan peresapan relatif rendah. Mempunyai keterkaitan tata air dengan kawasan bawahnya terutama melalui air permukaan. Produktivitas pertanian tidak terlalu tinggi. (3) Mintakat Pakar-Ciburial. Terletak di sebelah Selatan patahan Lembang bagian Timur, di Selatan bukit yang membujur dari Bukit Jarian sampai Gunung Lembang. Ini merupakan daerah berbukit, tingkat resapan rendah, produktivitas pertanian rendah, erosi tinggi. Hubungan tata air dengan kawasan bawahnya terutama melalui air permukaan. Sumber air juga terbatas karena hanya beras; dari perbukitan dengan resapan yang rendah. (4) Mintakat Tangkuban Perahu. Meliputi keseluruhan aluvial yang berasal dari endapan vulkanik Tangkubanperahu. Merupakan lereng-lereng panjang, subur dengan tingkat resapan yang relatif tinggi. Mintakat ini mempunyai hubungan tata air dengan kawasan bawahnya yaitu Bandung dan Cimahi melalui peresapan mapun permukaan. Produktivitas pertanian tinggi, tetapi invasi permukiman pada kawasan ini juga tinggi. Kondisi morfologinya memungkinkan dapat dilakukan pembangunan dengan skala relatif besar. (5) Mintakat Burangrang. Merupakan kawasan dari puncak sampai kaki Gunung Burangrang. Sedikit berbukit, bagian atasnya (pada elevasi 900 m ke atas) merupakan daerah dengan produktivitas yang tinggi. Peresapan diduga cukup tinggi. Karena itu dengan daerah bawahnya (Padalarang) mempunyai hubungan tata air melalui air permukaan dan diduga melalui resapan.

96 72 D. Kondisi Penggunaan Lahan Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur No /SK.1624-Bapp/1982 tertanggal 3 Nopember 1982 tentang Peruntukan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya bagian Utara, nampak bahwa KBU diarahkan pada pengembangan pertanian tanaman keras (kina, karet, kebun buah-buahan) dengan mempertahankan fungsi hutan yang ada. Secara rinci arahan penggunaan lahan di KBU dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Distribusi Penggunaan Lahan di Kawasan Bandung Utara Penggunaan Lahan Luas (ha) Persen (%) Hutan PPA Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Produksi/Perkebunan Perkebunan/Kebun Campuran Kebun Campuran Kebun Campuran/Hortikultura Hortikultura Aneka Pertanian dan Non Pertanian 55, , , , ,10 615,82 17, , ,59 0,14 38,2 16,56 13,79 16,26 1,6 0,04 2,83 10,58 Jumlah , Sumber: Dinas Tarukim Provinsi Jawa Barat, 2004 Dari data pada Tabel 21 tersebut, arahan penggunaan lahan di KBU diperuntukan bagi hutan baik itu PPA, hutan lindung maupun hutan produksi seluas ,24 ha (68,69 %), dan peruntukan lahan untuk pertanian tanaman keras dan hortikultura seluas 7.989,52 ha (20,73 %), dan peruntukan aneka pertanian non tanaman keras dan non pertanian, baik permukiman perkotaan maupun perdesaan serta peruntukan lainnya seluas 4.078,59 ha (10,58 %). Berdasarkan arahan penggunaan lahan berdasarkan SK Gubernur tersebut di atas, maka pengembangan di KBU juga tidak menutup kemungkinan untuk pengembangan non hutan dan non pertanian tanaman keras yakni untuk permukiman dan lingkungan khusus, seperti untuk kegiatan pariwisata, rekreasi dan ilmiah. Penggunaan lahan untuk permukiman dilakukan dengan mekanisme perijinan yang lebih ketat.

97 73 (1) Hutan Hutan yang ada di KBU mencakup areal seluas ,32 ha, terdiri dari hutan produksi tetap dan hutan terbatas seluas ,1142 ha yang dikelola oleh Perhutani dan hutan Cagar Alam seluas 2.812,90 ha yang dikelola oleh PHPA. Sebagian besar hutan yang ada di KBU berada sebelah Utara dengan ketinggian lebih dari 2000 m dpl dan atau yang mempunyai kelerengan > 40 %. Selain hutan produksi dan Cagar Alam, di KBU terdapat hutan lindung seluas 7.244,32 ha. Hutan seluas ini mengalami pengurangan dari SK Gubernur di atas seluas 7.481,12 ha. Pengurangan ini karena sebagian dikonversi menjadi Cagar Alam dan sebagian lagi dikarenakan adanya perambahan hutan oleh penduduk untuk kegiatan pertanian dan permukiman. Kegiatan perambahan hutan yang dilakukan oleh penduduk dan mengubah peruntukannya menjadi ladang dan perkampungan banyak terjadi di daerah Maribaya, Cimenyan dan Cilengkrang. Perubahan fungsi lahan oleh pengembang dilakukan dengan membebaskan lahan-lahan pertanian dan perkampungan pada kawasan bawahnya. Pembebasan ini menyebabkan terjadinya pergeseran penduduk ke kawasan atasnya dengan pertimbangan harga lahan yang lebih murah. Pergeseran ini pun juga menyebabkan petani yang tergeser mendekati kawasan hutan dan mulai memanfaatkan lahan hutan untuk berbagai kegiatan perladangan, sehingga menimbulkan kerusakan hutan. (2) Perkebunan Kegiatan perkebunan yang ada di KBU menempati seluas ha, tersebar di tiga mintakat (zona), yaitu: Mintakat Burangrang yaitu berada di Kecamatan Cikalong Wetan seluas 9 55 ha dengan jenis tanaman teh dan segaian kecil kina. Mintakat Tangkuban Perahu yaitu berada di Kecamatan Parongpong dan Kecamatan Cisarua yang menempati areal seluas seluas 236 ha dengan tanaman teh. Mintakat Cekungan Lembang yang berada di Kecamatan Ujung Berung seluas 973 ha dengan jenis tanamn teh dan kina.

98 74 Keberadaab perkebunan teh dan kina yang dikelola PTP ini diperkirakan masih akan bertahan cukup lama, mengingat HGU kegiatan perkebunan mempunyai jangka waktu yang cukup lama yaitu 30 tahun serta merupakan pemasok hasil holtikultura dan agrowisata. (3) Tegalan dan Kebun Campuran Penggunaan lahan pada peruntukan tanaman keras. Ladang dan kebun campuran mengalami peningkatan dibanding dengan ketentuan SK Gubernur dari seluas 7.989,52 ha menjadi seluas 9.605,20 ha pada tahun 1997 dengan ciri sebagai lahan kering yang didominasi oleh oleh tanaman keras, terutama buah-buahan. Perubahan pola tanaman ini, disebabkan penanaman tanaman semusim pada lahan kering ini kesulitan mengalami supllai air, terutama pada saat musim kemarau. (4) Pertanian Non Tanaman Keras Lahan pertanian non tanaman keras di KBU menempati areal seluas 3.487,2 ha, yang terdiri dari lahan basah dan lahan kering. Kegiatan pertanian lahan basah sudah dilengkapi dengan irigasi baik irigasi teknis maupun semi teknis dengan jenis tanaman padi, sayuran dan palawija dengan sistembergilir. Sedangkan pertanian lahan kering umumnya ditanami tanaman sayuran, dan palawija dengan sistem bergilir, yang umumnya mengandalkan air hujan. Luas lahan pertanian ini umumnya mengalami kecenderungan untuk alih fungsi menjadi daerah terbangun, baik berupa permukiman perdesaan, permukiman terorganisir (perumahan), villa, resort dan hotel. Kecenderungan ini dikarenakan lahan-lahan pertanian yang ada di KBU tidak semua dimiliki oleh penduduk setempat, tetapi juga oleh penduduk kota atau investor. Karena penduduk kota umumnya berfikir lebih rasional, maka apabila lahan pertaniannya dianggap kurang menguntungkan maka ada kecenderungan untuk diubah menjadi daerah terbangun yang lebih menguntungkan, seperti hotel, resort atau kawasan permukiman, baik dilakukan sendiri maupun dijual kepada pihak lain. Perubahan lahan pertanian di daerah perkotaan dan pinggiran kota menjadi perumahan atau daerah terbangun lainnya merupakan sesuatu yang umum terjadi

99 75 di berbagai wilayah. Keberadaan lahan pertanian di daerah perkotaan, menempatkan posisi lahan pertanian perkotaan menjadi hal yang aneh dalam terminology pejabat, program dan pelaksanaan, sehingga penegakan hukum terhadap keamanan keberadaan lahan pertanian perkotaan menjadi tidak konsisten dengan keberadaan kebijakan dan regulasi yang tidak jelas, sikap pejabat yang kurang tegas, kontradiksi kebijakan antar instansi, sehingga dalam proses untuk mendapatkan lahan formal menjadi susah dan kekurangan koherensi atau kebijakan dan legislasi lintas sektoral (Flynn-Dapaah, 2002). Oleh karena itu, keberadaan lahan pertanian di KBU, lebih rentan terhadap pengalihan fungsi pemanfaatan lahan daripada lahan lainnya, selain karena umumnya merupakan lahan milik, juga umumnya memiliki aksesibilitas yang lebih baik, dan secara ekonomi menunjukkan produktivitas yang semakin menurun. (5) Perumahan Perubahan pemanfaatan lahan yang sangat mencolok selama kurun waktu mulai diberlakukannya SK Gubernur No. 181 tahun 1982 hingga tahun 1997 terjadi pada pemanfaatan untuk daerah terbangun. Perkembangannya lebih mengarah KBU menjadi daerah perkotaan yang ditandai dengan banyaknya terbangun berbagai Villa, perumahan, resor dan hotel. Kondisi ini lebih disebabkan karena sudah dikuasainya lahan-lahan pertanian oleh penduduk kota baik perorangan maupun oleh para pengembang. Selain itu, kebutuhan pembangunan rumah tinggal yang dilakukan oleh penduduk setempat hingga tahun 1997 telah mencapai ha yang berkembang seiring dengan perkembangan jumlah penduduknya. Pembangunan perumahan ini dikembangkan secara individu dan tumbuh secara alami membentuk perkampungan atau perdesaan. Pertumbuhan pembangunan perumahan oleh penduduk ini sulit dikendalikan oleh instansi terkait karena tanpa disertai proses perijinan yang seharusnya, dan dilakukan berdasarkan lahan yang dimilikinya. Daerah permukiman yang tumbuh secara alami ini sebagian besar berada di wilayah mintakat Burangrang (Cikalong Wetan dan Padalarang), Mintakat

100 76 Cekungan Lembang, Mintakat Tangkuban Perahu (Cimahi, Cisarua dan Parongpong), serta Wilayah Mintakat Kota Bandung (Mintakat Ciwangi, Ciburial dan Manglayang) yang bekembang akibat desakan kebutuhan perumahan. Perubahan penggunaan lahan terbesar terjadi akibat pesatnya pertumbuhan perumahan terorganisir yang dikembangkan oleh developer selama kurun waktu tahun 1986 hingga tahun Ijin lokasi yang telah dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan dan Bappeda Kabupaten Bandung sebanyak 105 ijin lokasi yang telah menempati areal seluas ha. Dari 105 ijin lokasi tersebut 56 ijin yang meliputi 460 ha sudah selesai dibangun, 26 ijin mencakup seluas 460 ha dalam proses konstruksi dan pemasaran, sedang 23 ijin mencakup luas ha belum dibangun. Sebagian besar lahan yang dibangun ini berada di aral pertanian tanaman keras dan non tanaman keras. E. Kondisi Sosial Ekonomi Berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang KBU pada tahun 1998, jumlah penduduk KBU mencapai jiwa dengan rata-rata kepadatan penduduk 23 jiwa/ha. Kepadatan penduduk tertinggi di Kecamatan Sukajadi (193 jiwa/ha) dan Kecamatan Cibeunying Kidul (180 jiwa/ha), sedangkan kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah berada di Kecamatan Cikalong Wetan (6 jiwa/ha) dan Kecamatan Cilengkrang (8 jiwa/ha). Kecenderungan pertumbuhan penduduk di KBU terus meningkat yang mana pada tahun 2010 (RUTR KBU) penduduk KBU diperkirakan akan mencapai jiwa dengan kepadatan rata-rata 31 jiwa/ha. Kepadatan penduduk ini semakin meningkat terutama di Kecamatan Cimahi Utara, Padalarang dan Cimenyan dengan jumlah penduduk terbesar berada di Kecamatan Cimenyan jiwa dan jumlah penduduk terkecil berada di Kecamatan Padalarang yaitu jiwa. Pertumbuhan dan peningkatan kepadatan penduduk di KBU menjadi persoalan penting berkaitan dengan perlindungan kawasan.

101 77 Penduduk KBU sebagian besar bermatapencaharian pada sektor pertanian, sedangkan sentra-sentra perekonomian (perdagangan dan distribusi hasil pertanian) berada pada simpul-simpul kota seperti Kota Lembang dan Kota Cimahi. Perkembangan perekonomian KBU maupun kondisi ekonomi masyarakat, pada saat ini dipengaruhi juga oleh perubahan pemanfaatan lahan. F. Kondisi Jaringan Jalan Kondisi sistem jaringan jalan di KBU dan sekitarnya menunjukkan poros Utara-Selatan yang berpotongan dengan poros Barat-Timur, diikuti bentuk radial konsentrik untuk sistema jaringan di Selatan. Hal ini diakibatkan oleh kondisi fisik wilayah yang cukup berat untuk kawasan Utara. Dari segi dimenasi jalan dan fungsi jalan, di KBU merupakan jalan arteri primer dan kolektor primer. Sementara itu di setiap perdesaan telah terbangun jalan desa yang menghubungkan antar dusun dan antar dusun, dengan demikian maka kondisi infrastruktur jalan dapat dikategorikan baik. Kemudian dengan jaringan yang cukup rapat telah membuka akses ke berbagai tempat, sehingga dari segi aksesibilitas di KBU cukup tinggi. G. Karekteristik Biofisik Kawasan Bandung Utara Bila melihat kondisi fisik dasar KBU yang diuraikan di atas, KBU memenuhi karakteristik daerah hulu DAS sesuai dengan karakteristik yang digolongkan Ramdan et al (2003) yang dicirikan oleh topografi bergelombang, berbukit dan gunung; rawan terhadap erosi (termasuk rawan bencana) dan penutupan lahan didominasi hutan. Karakteristik lain adalah tanah umumnya marginal dan pengolahan tanah masih bersifat ekstensif dan merupakan lahan kering; tidak sesuai dengan karakteristik yang ditetapkan Ramdan et al (2003) tersebut. Sedangkan dari faktor sosial ekonomi, KBU telah memiliki karakteristik daerah hilir DAS, seperti infrastruktur yang sudah baik, aksesibilitas tinggi, tingkat pendidikan penduduk tinggi, orientasi pasar, lahan banyak dimiliki pribadi, tenaga kerja upahan, tingkat kesejahteraan relatif tinggi, serta teknologi juga sudah kompleks. Secara lebih rinci keterpenuhan karakteristik biofisik

102 78 dan sosial ekonomi KBU terhadap karakteristika sebagai Bagian Hulu DAS menurut Ramdan et al (2003) dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 22. Perbandingan Karakteristik Faktor Biofisik Antara DAS di Bagian Hulu Faktor dan Hilir Menurut Ramdan et al (2003) dengan Kondisi KBU Karakteristik Menurut Ramdan Kondisi KBU et al (2003) Daerah Hilir Daerah Hulu Kondisi Kawasan Keterpenuhan (1) (2) (3) (4) (5) 1. Faktor Biofisik Topografi Datar Bergelombang, berbukit dan gunung Penutupan lahan Kesuburan tanah Pengolahan tanah 2. Faktor Sosial Ekonomi Bukan hutan Umumnya subur (akibat sedimentasi) Intensif dan umumnya telah beririgasi baik Didominasi hutan Umumnya marjinal Bersifat ekstensif dan pertanian lahan kering Bergelombang, berbukit dan gunung Hutan (46,05 %), perkebunan (5,58%) dan bukan hutan dan kebun (53,95 %) Umumnya subur (akibat daerah vulkanik) dan merupakan daerah pertanian tanaman sayuran, padi dan palawija Bersifat intensif, sebagian lahan basah beririgasi dan sebagian lahan kering tadah hujan Infrastruktur Baik Jelek Baik dengan memiliki jalan raya menghubungkan Kota Bandung dan Kab. Subang dan Jakarta Aksesibilitas Tinggi Rendah Tinggi dimana seluruh desa dapat diakses kendaraan bermotor roda dua Tingkat pendidikan maupun roda empat Tinggi Rendah Penduduk sebagian besar pendidikan SLTP ke atas Memiliki karakteristik Daerah Hulu Memiliki karakteristik Daerah Hulu Memiliki karakteristik daerah hilir Memiliki karakteristik daerah hilir Memiliki karakteristik daerah hilir Memiliki karakteristik daerah hilir Memiliki karakteristik daerah hilir

103 79 Tabel 22 (lanjutan) (1) (2) (3) (4) (5) Berorientasi Subsisten pasar motif produksi kepemilika n lahan budaya tenaga kerja tingkat kesejahteraan teknologi keterlibatan LSM Lahan miliki Adanya pencampuran budaya Upahan Lebih banya lahan pemerintah Jarang terjadi pencampuran budaya Berasal dari keluarga Para petani berorientasi pasar, karena merupakan sentra-sentra sayuran di Jawa Barat Sebanyak 46,05 % merupakan lahan pemerintah berupa kawasan hutan, dan HGU Telah berkembang sebagai daerah permukiman baru perluasan metropolitan Bandung, dan telah tumbuh mejadi daerah wisata, sehingga telah terjadi pencampuran budaya Karena sistem pertanian khususnya sayuran dilakukan secara intensif, maka tenaga kerja pertanian banyak menggunakan sistem upahan Relatif tingg Rendah Sebagian besar penduduk masuk kategori keluarga sejahtera 1 ke atas Sudah kompleks Masih sederhana Industri yang berkembang adalah pariwisata, pertanian on farm serta tempat berbagai fasilitas penelitian dan pendidikan Sedikit Banyak Masih dominan pemerintah Memiliki karakteristik daerah hilir Memiliki karakteristik daerah hulu Memiliki karakteristik daerah hilir Memiliki karakteristik daerah hilir Memiliki karakteristik daerah hilir Memiliki karakteristik daerah hilir Memiliki karakteristik daerah hilir

104 80 Berdasarkan data pada Tabel 22, KBU sebagai daerah hulu DAS memenuhi karakteristik sebagai daerah hulu DAS dari faktor biofisik hanya dari aspek topografi dan penutupan lahan, sedangkan dari aspek biofisik lainnya dan faktor sosial ekonomi sebagian besar wilayah KBU sudah memiliki karakteristik daerah hilir DAS. Selain karena aspek potensi lokasi yang dimiliki KBU seperti kesuburan tanah, kesejukan udara, panorama yang indah serta aksesibilitas yang baik ke Pusat Kota Bandung; KBU telah diperlakukan sebagai daerah hilir melalui dukungan politik dan arah kebijakan Pemerintah Daerah dengan menjadikan KBU sebagai daerah perluasan pertumbuhan Metropolitan Bandung. Berdasarkan hal tersebut, maka penyelesaian masalah yang dihadapi di wilayah ini pada hakekatnya tidak hanya terbatas dalam upaya perlindungan kawasan lindung, khususnya dalam pelestarian tata air, namun juga masalah kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan pembangunan di KBU.

105 IV. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah Kawasan Bandung Utara (disingkat KBU). Wilayah KBU memiliki luas total sekitar 38548,33 ha yang secara administratif berada di dalam tiga wilayah administrasi pemerintahan yaitu Kota Cimahi terdiri dari 2 kecamatan dan 9 kelurahan, Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 7 kecamatan dan 51 desa, Kabupaten Bandung terdiri dari 2 kecamatan dan 11 dessa, serta Kota Bandung terdiri dari 10 kecamatan dan 35 kelurahan. B. Metode Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk (1) mengetahui struktur ruang KBU terutama terkait dengan hirarki kota dan sistem perkotaan, sistem penggunaan lahan kota dan diferensiasi perubahan guna lahan dari guna lahan kota sampai ke guna lahan kedesaan.; (2) mengetahui tingkat transformasi struktur penggunaan lahan sebagai dasar pemberian insentif dan disinsentif; (3) menghitung besaran nilai manfaat hidrologi untuk rumah tangga; (4) menghitung besaran nilai lahan berdasarkan NJOP, harga jual setempat dan nilai harapan tanah, dengan mempertimbangkan zona guna lahan; (5) menghitung besaran PDR dan PES serta efektivitasnya di setiap zona guna lahan dan wilayah administrasi kabupaten/kota di KBU; (6) merumuskan konsep penerapan PES dan PDR; dan (5) merumuskan tahapan kemungkinan penerapan PES dan PDR. C. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Jenis Data Data utama yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Data struktur ruang kota Data utama, berupa: - Data pusat-pusat pertumbuhan yang ada - Data kedudukan kota - Jangkauan pelayanan kota

106 82 - Kepadatan penduduk - Fasilitas pelayanan - Infrastruktur - Jenis kegiatan utama b. Data tingkat kerawanan perubahan guna lahan Data utama berupa: - Asal perjalanan dan tujuan perjalanan pada lokasi tertentu - Data guna lahan - Jarak antar pusat pertumbuhan c. Data nilai lahan dan produktivitas lahan Data utama berupa: - NJOP tiap kelas tanah - Harga jual tanah pertanian dan tanah permukiman - Harga bangunan (rumah) - Biaya produksi pertanian, jumlah produksi pertanian dan harga jual pertanian d. Data jasa lingkungan (hidrologis) Data utama berupa: - Jumlah rumah tangga yang tinggal menetap - Pendapatan rata-rata per tahun setiap anggota rumah keluarga - Sumber air rumah tangga - Jumlah air rata-rata yang dibutuhkan dalam satu hari - Korbanan yang dilakukan rumah tangga untuk memperoleh satu meter kubik air (biaya pengadaan, seperti biaya operasi, biaya perawatan untuk jangka waktu tertentu) e. Data nilai harapan tanah - Luas hutan produksi dan hutan lindung di KBU - Jumlah pohon per kelas umur - Jumlah pohon yang dijarangi tiap kelas umur - Produksi getah per pohon per kelas umur - Jumlah produksi kayu penjarangan dan akhir per ukuran diameter

107 83 - Biaya produksi - Biaya penanaman sampai awal pemanenan - Suku bunga f. Data penetapan harga insentif PDR dan PES - Data status kepemilikan lahan KBU - Data luas wilayah masing-masing kabupaten/kota di KBU - Data penyebaran luas guna lahan di KBU - Data luas kawasan lindung bukan kawasan hutan g. Data kebijakan dan APBD - Data kebijakan terkait dengan KBU - Data APBD Kabupaten/Kota yang masuk KBU Data penunjang yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: - Data umum lokasi penelitian - Peta Kawasan Bandung Utara - Peta Peta Hutan Produksi dan Hutan Lindung - Data monografi desa Metode Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan dengan cara: a. Studi literatur untuk mengumpulkan data terkait dengan data kebijakan dan APBD, profil desa, monografi desa, data terkait diferensiasi guna lahan, peta-peta dan sebagainya; b. Obeservasi dengan mengamati segala hal yang berhubungan dengan KBU baik menyangkut permukiman, lahan pertanian, perkotaan maupun hutan c. Wawancara D. Alur Penelitian Secara skematis alur penelitian dalam menentukan besaran PDR dan PES dalam mencegah terjadinya perubahan guna lahan dan mendorong menanam pohon di KBU untuk meningkatkan efektivitas pengendalian tata ruang dapat dilihat pada gambar berikut.

108 84 PENGENDALIAN TATA RUANG KBU ANALISIS NILAI LAHAN ANALISIS STRUKTUR RUANG KBU ANALISIS NILAI JASA HIDROLOGI Lahan Milik Lahan Hutan Guna Lahan Hirarki Kota Surplus Konsumen Harga jual lahan NHTp NHTh Diferensiasi Guna Lahan Nilai Jasa Hidrologi PDR PES KLNH dan H Zona Guna Lahan NPV Jasa Hidrologi PDR Zona Gina Lahan PES KLNH & PES H Efektivitas PDR Efektivitas PES EFEKTIVITAS PENGENDALIAN TATA RUANG Gambar 15. Alur Penelitian

109 85 E. Metode Analisis 1. Analisis Penentuan struktur ruang KBU Struktur ruang KBU yang akan diteliti adalah hirarki kota dan sistem perkotaan yang ada di KBU, sistem penggunaan lahan kota dan diferensiasi perubahan guna lahan dari guna lahan kota sampai ke guna lahan kedesaan dan transformasi struktur penggunaan lahan. Penentuan hirarki kota ditujukan untuk mengetahui satuan-satuan wilayah pengembangan (SWP) yang menjadi dasar untuk mengetahui sistem penggunaan lahan di setiap SWP dan diferensiasinya. a. Penentuan hirarki kota Metode penentuan hirarki kota dan sistem perkotaan dilakukan dengan cara mengidentifikasi perkembangan fasilitas pelayanan dan infrastruktur dari pusat-pusat pertumbuhan yang telah diidentifikasi sebelumnya. Adapun fasilitas pelayanan dan infrastruktur yang jadi indikator masing-masing pusat pertumbuhan adalah sebagai berikut: Kedudukannya sebagai pusat pemerintahan atau pelayanan umum lainnya; Jangkauan pelayanan yakni cakupan luas pelayanan yang dibedakan atas jangkauan nasional, kabupaten dan lokal; Kepadatan penduduk; Fasilitas pelayanan yang meliputi fasilitas pendidikan, kesehatan, perdagangan, pariwisata, dan fasillitas pelayanan lainnya. Infrastruktur terkait dengan jaringan jalan, pelabuhan udara dan infrastruktur lainnya. Kegiatan perdagangan dan peindustrian, dibedakan atas skala besar, sedang dan kecil. Sebagai acuan penetapan orde kota adalah yang dikembangkan Sinulingga (2005) yang telah disesuaikan sebagaimana Tabel 23.

110 86 Tabel 23. Kriteria Penetapan Orde Kota di KBU Orde Kota I Sumber: Sinulingga (2005, hal. 68) Kedudukan Ibukota propinsi atau pusat-pusat pembangunan nasional atau ibukota provinsi II Ibukota kabupaten/ kota, atau dan pusat pengembangan wilayah, atau kota besar Jangkauan Pelayanan km Cakupan nasional Cakupan propinsi dan kabupaten/kota III Ibukota kecamatan Cakupan pelayanan beberapa kecamatan IV Ibukota kecamatan Cakupan kecamatan ybs Kepadatan penduduk per ha > 100 jiwa Universitas, rumah sakit tipe A, pusat import dan ekspor, gedung pembelajaan/pusat pasar, pusat bank/ kantor wilayah bank, dan kantor pemerintah Sekolah Menengah Atas, rumah sakit tipe B, pusat pasar/bank, kantor pemerintah Fasilitas pelayanan Infrastruktur Kegiatan Sekolah Menengah Atas, rumah sakit tipe C, pasar dan kantor pemerintah 5 20 SMP, puskesmas pembantu, kantor pemerintah Lapangan udara internasional/ nasional, jalan nasional, station kereta api, terminal bis terpadu Jalan nasional dan jalan propinsi, jaringan kereta api utama dan terminal bis Industri besar yang modern, ekspor, jasa perdagangan, dan perbankan internasional Agro industri, jasa perdagangan, grosir, dan bank Jalan provinsi Industri kecil, sortir dan dan jalan penyimpanan hasil kabupaten, jalan produksi kereta api, terminal bis Jalan kabupaten Perdagangan eceran, penyimpanan sementara hasil pertanian

111 87 b. Penentuan sistem penggunaan lahan kota Sistem penggunaan lahan kota yang diidentifikasi terlebih dahulu adalah penetapan zona perkotaan dan zona perumahan. Penetapan kedua zona ini didasarkan pada bangkitan perjalanan (trip generation) yang ditandai produksi perjalanan (trip production) atau asal perjalanan berasal dari perumahan dan tarikan perjalanan (trip atraction) atau tujuan dari kegiatan perkantoran, perdagangan, jasa, pendidikan, dan kegiatan perkotaan lainnya. Tingginya angka produksi perjalanan dibandingkan tarikan di suatu zona menandakan pemanfaatan lahan lebih dominan untuk kegiatan perumahan, sebaliknya angka tarikan perjalanan yang tinggi menunjukkan kegiatan perkotaan lebih dominan sehingga menarik perjalanan dari beberapa zona lainnya. Analisis produksi dan tarikan untuk Kota Bandung dan Kabupaten Bandung menggunakan hasil analisis sekunder hasil penelitian LPM-ITB (1998) dan proyeksi dari Bappeda Propinsi Jawa Barat (1998). Selain menggunakan bangkitan perjalanan penetapan zona perumahan dan zona perkotaan dilakukan dengan melihat kepadatan lalu lintas jaringan jalan yang dihitung dalam VCR (Volume Capacity Ratio). Data yang digunakan adalah hasil perhitungan estimasi Bappeda Propinsi Jawa Barat (1998) untuk kurun waktu 2010 terhadap kapasitas jalan utama di KBU, dengan asumsi tidak ada penambahan jaringan jalan baru. c. Metode penentuan diferensiasi penggunaan lahan KBU Metode penentuan diferensiasi penggunaan lahan kota dari daerah kekotaan (built-up area) sampai ke daerah kedesaan murni (rural areal), menggunakan metode segitiga penggunaan lahan desa kota yang dikembangkan Yunus (2005), seperti gambar dan kriteria berikut:

112 D Rural - Urban Fringe E 88 Urban Fringe Urral Fringe Rural Fringe A B C Kriteria: A : Persentase jarak lahan kota ke desa B : Persentase guna lahan kota C : Persentas guna lahan desa D : Batas areal built-up kota E : Batas areal desa Urban area : Daerah dimana 100% penggunaan lahannya berorientasi kekotaan; Urban fringe area : Daerah yang sebagian besar guna lahan didominasi oleh bentuk bentuk guna lahan kekotaan atau > 60% penggunaan lahannya urban land use, dan <40% penggunaan lahannya rural land use. Terletak dari titik perbatasan urban built up land sampai ke jarak 40% dari titik tersebut (jarak dihitung dari urban real sampai rural real). Terjadi perubahan transformasi struktural penggunaan lahan sangat cepat walau tidak secepat urban area. Urral fringe area : Daerah yang persentase guna lahan kota seimbang dengan guna lahan desa berkisar antara 40 60%, dan dalam jangka pendek transformasi struktural penggunaan lahan akan terjadi walaupun tidak secepat pada subzone urban fringe. Rural fringe area : Daerah yang sebagian besar guna lahan didominasi oleh bentuk bentuk guna lahan kedesaan atau > 60% penggunaan lahannya rural land use, dan <40% penggunaan lahannya urban land use. Tereltak dari titik perbatasan rural sampai ke jarak 40% dari titik tersebut (jarak dihitung dari urban real sampai rural real). Terjadi perubahan transformasi struktural penggunaan lahan meskipun cukup lambat. Rural area : Daerah dimana 100% penggunaan lahannya berorientasi agraris. Sumber: Yunus (2005, hal. 168) Gambar 16. Metode Segitiga Penentuan Penggunaan lahan Kota Desa d. Metode penentuan tingkat transformasi struktural penggunaan lahan KBU Metode penentuan tingkat transformasi penggunaan lahan dilakukan dengan melakukan evaluasi arahan penggunaan lahan yang menunjukkan kesesuaian lahan yang dibedakan atas sawah irigasi teknis, tegalan/ladang, kebun campuran, tanaman sayuran, hutan sejenis dan hutan lebat. Lokasi-lokasi tersebut kemudian diidentifikasi letaknya terhadap subzone guna lahan. Kemudian sesuai dengan kategori subzone di atas, maka ditetapkan tingkat transformasi struktural penggunaan lahan di setiap jenis guna lahan.

113 89 2. Analisis Manfaat Hidrologi Sebagai acuan kelayakan dalam penerapan implementasi PDR dan PES adalah nilai manfaat hidrologis atas dasar nilai sumber air untuk kebutuhan rumah tangga. Konsumsi air untuk rumah tangga meliputi air untuk kebutuhan minum, memasak, dan MCK. Penentuan nilai ekonomi air untuk konsumsi kebutuhan rumah tangga dilakukan dengan metode biaya pengadaan yang merupakan modifikasi dari metode biaya perjalanan dan metode kontingensi dengan menggunakan kurva permintaan, yang tahapannya sebagai berikut: 1) Menentukan model (kurva) permintaan dengan meregresikan permintaan (Y) sebagai variabel terikat dengan harga (biaya pengadaan) sebagai variabel bebas dan faktor sosial ekonomi lainnya. Y = β 0 + β 1 X 1 + β 2 X β n X n Y X 1 β 0 β 1,2,3.. n X 2, 3,...n = Permintaan atau konsumsi (satuan atau kapita) = Biaya pengadaan (Rp/satuan) = Intersep = Koefisien regresi = Peubah bebas/faktor sosek...(1) 2) Menentukan intersep baru β 0 fungsi permintaan dengan peubah bebas X 1 dan faktor lain (X 2, X 3, X n ) tetap sehingga persamaan menjadi : Y = β 0 + β 1 X 1...(2) 3) Menginversi persamaan fungsi asal sehingga X 1 menjadi peubah terikat dan Y menjadi peubah bebas, sehingga persamaan menjadi : Y - β 0 X 1 =...(3) β 1 4) Menduga rata-rata WTP dengan cara mengintegralkan persamaan (3) a U = ƒ(y)dy...(4) 0 5) Menentukan nilai X 1 pada saat Y dengan cara mensubstitusikan nilai Y ke persamaan (3) 6) Menentukan rata-rata nilai yang dikorbankan oleh konsumen dengan cara mengalikan X 1 dengan Y. 7) Menentukan nilai total WTP, nilai yang dikorbankan dan surplus konsumen dengan cara mengalikan nilai tersebut dengan populasi. Harga air dihitung berdasarkan pada biaya pengadaan, yaitu biaya yang harus dikorbankan untuk mendapatkan dan menggunakan air tersebut. Untuk penentuan nilai

114 90 ekonomi air rumah tangga, maka dihitung harga (biaya pengadaan) air untuk rumah tangga dengan rumus sebagai berikut : HA RTi = dimana; BPA RTi K RTi...(5) HA RTi = Harga/biaya pengadaan air responden ke i (Rp/ m 3 ) BPA RTi = Biaya pengadaan air rumah tangga ke i (Rp) K RTi = Jumlah kebutuhan air rumah tangga ke i (m 3 ) Nilai ekonomi total air rumah tangga didasarkan pada konsumsi air rumah tangga per kapita sehingga pengganda yang digunakan adalah jumlah penduduk desa penelitian yang menggunakan air untuk kebutuhan rumah tangganya bersumber dari aliran yang berasal dari Gunung Tangkuban Perahu yakni yang mewakili DAS hulu, tengah dan hilir. Untuk menentukan total nilai penggunaan air digunakan rumus sebagai berikut: NART = RNA RT X P...(6) dimana; NART = Nilai air rumah tangga (Rp/tahun) RNA RT = Rata-rata nilai air rumah tangga (Rp/org/tahun) P = Jumlah penduduk Untuk menjadi acuan kelayakan pemberian insentif atas model PDR dan PES dihitung nilai air rumah tangga per satuan luas dengan rumus sebagai berikut: NART NART HA = L...(7) dimana; NART HA = Nilai Air Rumah Tangga Per ha per tahun (Rp/ha/tahun) L = Luas KBU dalam ha Untuk menetapkan kelayakan pemberian insentif maka NART HA tersebut dilakukan discounting menjadi NART Had, dengan rumus sebagai berikut. NART HAd = NART HA 1.0p r 1...(8)

115 91 Suku bunga yang dipakai adalah suku bunga riil (p) yakni selisih antara re-rata BI rate dengan re-rata inflasi. Sedangkan waktu (r) yang dipakai adalah 20 tahun yakni analog dengan masa ekonomis rumah. Penetapan waktu 20 tahun ini dengan asumsi bahwa lahan pertanian jika dijual untuk dikonversi menjadi lahan permukiman dan diatasnya dibangun rumah. 3. Analisis Nilai Lahan Pertanian dan Permukiman Nilai tanah diartikan sebagai kekuatan nilai dari tanah untuk dipertukarkan dengan barang lain. Sebagai contoh tanah yang mempunyai produktivitas rendah seperti tanah padang rumput relatif lebih rendah nilainya karena keterbatasan dalam penggunaannya. Sedangkan nilai pasar tanah didefinisikan sebagai harga (yang diukur dalam satuan uang) yang dikehendaki oleh penjual dan pembeli (Shenkel, 1988 dalam Sutawijaya, 2004). Nilai lahan pertanian dan permukiman yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada nilai jual objek pajak (NJOP), harga jual setempat dan nilai harapan tanah (NHT). a. Nilai lahan berdasarkan NJOP Nilai lahan yang digunakan berdasarkan NJOP yang dilakukan melalui pencatatan bukti PBB dan dengan menggunakan metode CVM. Nilai Jual Objek Pajak (sales value = NJOP) lahan, yaitu harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Faktor-faktor yang diperhatikan dalam penentuan klasifikasi bumi adalah (1) letak, (2) peruntukan, (3) pemanfaatan, dan (4) kondidi lingkungan dan lain-lain. Sementara faktor-faktor yang diperhatikan dalam penentuan klasifikasi bangunan adalah: (1) bahan yang digunakan, (2) rekayasa, (3) letak dan (4) kondisi lingkungan dan lainlain. Berdasarkan criteria tersebut, maka NJOP dapat dijadikan gambaran nilai lahan saat sekarang. Klasifikasi besaran NJOP dibedakan atas NJOP di pusat kota (pertumbuhan) dan NJOP di daerah pengaruhnya (hinterland-nya) pada kisaran NJOP terkecil dan NJOP terbesar. b. Nilai lahan berdasarkan harga jual setempat Nilai lahan (tanah) pertanian dan permukiman berdasarkan harga jual setempat dihitung dengan menggunakan metode CVM (Contingent Valuation Method) yakni dengan cara menanyakan besarnya nilai kesediaan menjual lahannya yang dijadikan

116 92 responden. Besarnya nilai jual tanah dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : NLRt = WTP rj... (9) n WTPrj = WTPij / nij...(10) i=1 dimana; NLRt = Nilai jual tanah pada zona guna lahan ke-j (Rp/m 2 ) WTPrj = Rata-rata kesediaan menjual pada zona ke-j (Rp/m2) WTPij = Kesediaan menjual responden ke- i pada zona ke -j (Rp/m 2 /orang) nij = Jumlah responden (orang) pada zona ke-j Dalam penelitian ini ingin diketahui pola hubungan nilai jual lahan pertanian dan permukiman yang dihipotesiskan dipengaruhi oleh variabel bebas yakni variabel kategori zona (x 1 ) dan variabel hirarki kota (x 2 ), maka digunakan analisis regresi berganda dengan metode stepwise (mengeluarkan faktor-faktor yang tidak berpengaruh). Model regresi yang digunakan sebagai berikut : dimana; Yi = a + b 1 x 1 + b 2 x 2...(11) Yi = Nilai jual tanah (Rp/m 2 ) a,b = konstanta x 1, x 2 = kategori zona lahan dan hirarki kota c. Nilai lahan pertanian berdasarkan nilai harapan tanah (NHT) KBU telah ditetapkan sebagai kawasan lindung dan diindikasikan memiliki kawasan konservasi potensial sangat tinggi dan tinggi mencapai 87% dari luas KBU, namun sebagian lahan milik dijadikan lahan budidaya pertanian. Kondisi ini mengingat status kepemilikan lahan di KBU didominasi oleh lahan milik (54%) dan lahan publik 46%. Maka untuk menghitung nilai lahan berdasarkan NHT menggunakan nilai harga sekarang (Net Present Value, NPV) dari budidaya tanaman pertanian. Oleh karena sebagian besar budidaya lahan pertanian didominasi oleh tanaman sayuran, sawah irigasi, bunga potong, ternak sapi perah, ternak sapi potong dan ternak domba; maka NPV yang dihitung berdasarkan NPV tanaman pertanian dan ternak. NHT dihitung sebagai berikut: NHTp = Yr E 1.0p r 1...(12)

117 93 dimana; NHTp = Nilai harapan tanah pertanian (Rp/m 2 ) Yr = Nilai bersih produksi hasil pertanian selama setahun (Rp/m 2 /thn) p = Suku bunga riil r = Lamanya produksi (thn) E = Total pengeluaran setiap produksi selama setahun (Rp/m 2 /thn) Tingkat suku bunga yang dipakai adalah suku bunga riil yakni selisih antara rerata BI rate dengan re-rata inflasi. Sedangkan lamanya waktu yang dipakai adalah 20 tahun yakni analog dengan masa ekonomis rumah. Penetapan waktu 20 tahun ini dengan asumsi bahwa lahan pertanian jika dijual untuk dikonversi menjadi lahan permukiman dan diatasnya dibangun rumah. Dalam penelitian ini ingin diketahui pola hubungan NHT lahan pertanian yang dihipotesiskan dipengaruhi oleh variabel bebas yakni variabel kategori zona (x 1 ) dan variabel hirarki kota (x 2 ), dengan model regresi berikut. Y i = a + b 1 x 1 + b 2 x 2...(13) dimana; Y i = Nilai harapan tanah (Rp/m 2 ) a,b = konstanta x 1, x 2 = kategori zona lahan dan hirarki kota Variebal kategori zona direpresentasikan sebagai persentase lahan rural di setiap zona guna lahan yakni zona kekotaan memiliki persentase lahan rural (0%), sampai zona rural area yang memiliki persentase lahan rural (100%). Sedangkan hirarki kota diberikan definisi atas tingkat hirarki kota yakni orde 1 merupakan orde kota tertinggi dimana tidak ada fasilitas kekotaan yang tidak dipenuhi (0%), sampai orde IV dimana fasilitas kota tidak dipenuhi (100%). Metode yang digunakan adalah metode stepwise menggunakan software SPSS Versi 6.0. Berdasarkan hasil analisis regresi dibuatkan kurva sewa lahan (bid land rent curva) pertanian atas dasar NHT. 4. Analisis Nilai Bangunan Dalam penentuan nilai bangunan pun dilakukan dengan dua cara yaitu berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP) bangunan yang dilakukan melalui pencatatan bukti PBB dan dengan menggunakan metode CVM. Faktor-faktor yang dijadikan dasar

118 94 klasifikasi bangunan dalam NJOP adalah (1) bahan yang digunakan, (2) rekayasa, (3) letak, dan (4) kondisi lingkungan dan lain-lain. Nilai bangunan dihitung dengan menggunakan metode CVM (Contingent Valuation Method) yakni dengan cara menanyakan besarnya nilai kesediaan menjual bangunan (rumah) dari responden. Besarnya nilai bangunan dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : NLR b = WTP b...(14) n WTP b = WTP i / ni...(15) i=1 dimana : NLR b = Nilai Perumahan klasifikasi tipe rumahke-i (Rp/m 2 ) WTP b = Rata-rata kesediaan menjual rumah (Rp/m 2 ) WTP i = Kesediaan menjual responden ke i (Rp/m 2 /orang) ni = Jumlah responden (orang) Adapun klasifikasi rumah sebagai berikut: Tabel 24. Klasifikasi kelas rumah berdasarkan kondisi fisik bangunan No Parameter Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 1 Luas lantai < 50 m m 2 > 100 m 2 2 Jenis lantai Tanah/tegel Tegel/keramik Keramik/marmer 3 Jens atap Ijuk/genteng tanah Genteng tanah/semen Genteng tanah/ keramik/kayu 4 Jenis dinding terluas Batako/papan kayu biasa/ bambu Tembok/ kayu indah Tembok/ kayu indah 5 Penerangan Minyak tanah/listrik (<450 Watt) Listrik ( Watt) Listrik ( > 900 Watt) 6 Sumber air Sumur/sungai Sumur/PAM/ PAM/pompa air minum pompa air 7 MCK Sungai/MCK umum MCK Sendiri MCK Sendiri Dalam penelitian ini ingin diketahui pola hubungan nilai bangunan yang dihipotesiskan dipengaruhi oleh variabel bebas yakni variabel kategori zona (x 1 ) dan variabel hirarki kota (x 2 ), dengan model regresi berikut. dimana; Y i = a + b 1 x 1 + b 2 x 2...(16) Y i = Nilai bangunan (Rp/m 2 ) a,b = konstanta x 1, x 2 = kategori zona lahan dan hirarki kota

119 95 Variebal kategori zona direpresentasikan sebagai persentasi lahan rural di setiap zon yakni zona kekotaan memiliki persentase lahan rural (0%), sampai zona rural area yang memiliki persentase lahan rural (100%). Sedangkan hirarki kota diberikan definisi atas tingkat hirarki kota yakni orde 1 merupakan orde kota tertinggi dimana tidak ada fasilitas kekotaan yang tidak dipenuhi (0%), sampai orde IV dimana fasilitas kota tidak dipenuhi (100%). Metode yang digunakan adalah metode stepwise menggunakan software SPSS Versi 6.0. Berdasarkan hasil analisis regresi dibuatkan kurva nilai bangunan. 5. Analisis nilai lahan berdasarkan NHT lahan hutan produksi Hutan produksi di KBU didominasi oleh jenis hutan pinus yang menghasilkan kayu dan getah, dengan asumsi sistem penanaman tidak dilakukan dengan sistem tumpangsari. Dengan demikian rente hutan didefinisikan sebagai nilai sekarang diskonto hanya dari tegakan kayu dan getah. Nilai tegakan kayu dihitung menggunakan nilai harapan tanah hutan per ha dengan rumus sebagai berikut: NHT H = Y r + T a 1.0p r-a T q 1.0p r-a - C.1.0p r - E...(17) 1.0p r 1 dimana; NHT H = Nilai harapan tanah hutan Yr = Nilai bersih pada akhir daur Ta..Tq = Nilai bersih penjarangan C = Biaya penanaman sampai awal pemanenan p = Suku bunga riil r = lamanya daur a.. q = Tahun penjarangan E = Total pengeluaran selama daur 6. Analisis Penentuan Besarnya Nilai PDR Lahan Milik Penggunaan NHT berdasarkan NPV diasumsikan sebagai harga dasar nilai jual tanah yang dipertimbangan pemilik lahan dalam menjual tanahnya, sehingga pemilik lahan akan menjual tanahnya apabila nilai jual tanah setempat melebihi NHT P nya. Terkait dengan penentuan besarnya nilai pembelian hak membangun (Purchase of development right, PDR) untuk menahan pemilik lahan tidak menjual lahannya menggunakan rumus sebagai berikut: PDR = NLRt NHTp...(18)

120 96 dimana; PDR = Nilai hak membangun (Rp/m 2 ) NLRt = Nilai jual tanah pada zona guna lahan (Rp/m 2 ) NHTp = Nilai harapan tanah pertanian (Rp/m 2 ) Sebagai ukuran efektivitas penerapan PDR adalah nilai manfaat hidrologi yang telah didiscounting (NART HAd ), oleh karena itu maka pembelian hak membangun diizinkan apabila NART HAd > PDR. 7. Analisis Penentuan Besarnya Nilai insentif Penanam Pohon (PES) Penggunaan NHT hutan pinus produksi dalam penentuan besarnya pemberian insentif bagi penanam pohon untuk menanam pohon di lahannya, diasumsikan bahwa nilai produktivitas pohon lainnya sama dengan pohon pinus. Oleh karena itu petani akan menanam pohon dan tidak menebangnya apabila mendapatkan kompensasi dari NHT tertinggi yang akan diperoleh jika mengusahakan kayu dan getah pinus selama daur produksinya, dengan rumus sebagai berikut: PES = NHT HS NHT Hop...(19) dimana; PES = Nilai jasa lingkungan hutan (Rp/ha) NHT HS = Nilai harapan tanah hutan tahun sewa (Rp/ha) NHT Hop = Nilai harapan tanah hutan optimum (Rp/ha) Sedangkan manfaat hidrologis yang diterima publik dari tidak menebang pohon tersebut adalah NART HAd dalam waktu tidak terbatas. Oleh karena itu penentuan efektivitas lamanya pohon disewa pada saat selisih (NART HAd ) dengan PES tertinggi. 8. Implementasi Penerapan PDR dab PES di KBU Kemungkinan penerapan PDR dan PES akan dilihat dari dua aspek yakni aspek kebijakan terkait KBU dan aspek penyediaan anggaran APBD di 4 kabupaten/kota yang ada di KBU yakni Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung. Dari aspek kebijakan akan dibandingkan dengan prasyarat bisa diterapkannya PDR dan PES di negara-negara yang telah menggunakannya. Sementara dari aspek APBD, ingin melihat peluang APBD sebagai sumberdana pembelian hak membangun dan pemberian insentif penanaman pohon.

121 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Struktur Ruang Kawasan Bandung Utara (KBU) 1. Hirarki Perkotaan di KBU Akibat kedekatannya dengan Kota Bandung yang berdasarkan Pola Dasar Pengembangan Jawa Barat dan Rencana Tata Ruang Propinsi Jawa Barat 2010 ditetapkan sebagai salah satu Pusat Pertumbuhan Utama yang jangkauan pelayanannya mencakup skala nasional, maka KBU merupakan kawasan lindung yang sangat dekat dengan pusat kegiatan ekonomi dan pusat pengembangan wilayah. Sebagai bagian dari pusat satuan wilayah pengembangan (SWP) Bandung, maka secara lokal, wilayah KBU tersusun atas kota-kota dengan hirarki yang berorientasi pada hirarki tertinggi (orde pertama) yakni Kota Bandung, dengan hirarki yang lebih rendah yakni sebagai pusat pelayanan skala lokal. Meskipun dalam arahan kebijakan Pemerintah Jawa Barat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 bahwa penentuan pusat pertumbuhan wilayah ini selain didasarkan pada kecenderungan kegiatan sosial ekonomi, juga mempertimbangkan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan pada wilayah pusat pertumbuhan tersebut, namun Kota Bandung sebagai kota orde pertama memiliki pengaruh seluas SWP, sehingga tidak terhindarkan berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan di KBU. Sebenarnya hal ini telah disadari oleh perencana Kota Bandung sejak Zaman kolonial Hindia Belanda, sehingga Kota Bandung yang lahir pada tahun 1906 pada masa Pemerintah Hindia Belanda bukan dibangun sebagai pusat kegiatan ekonomi tetapi dirancang sebagai tempat permukiman dan peristirahatan (buitenzorg) kaum kolonial dengan menggunakan konsep Garden City. Konsep ini pertama kali diformulasikan oleh Ebenezer Howard yang kemudian diterapkan oleh Thomas Karsten dalam mendesain Kota Bandung. Konsep Garden City tersebut memiliki karakteristik utama (BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998b, hal. I-2) yaitu kontrol terhadap seluruh pemilikan lahan, desain yang seksama terhadap keseluruhan

122 98 kota dan tersedianya lahan-lahan pertanian permanen di sekeliling kota sebagai penyangga (green belt). Berdasarkan kosep garden city ini, maka keberadaan lahan pertanian yang ada di KBU semestinya mendapat dukungan dari berbagai lembaga, guna keberlanjutan Kota Bandung itu sendiri. Akan tetapi dengan perkembangan kebijaksanaan seperti di atas dan perkembangan penduduk berdampak pada pertumbuhan kota sejak berdirinya. Menurut BAPPEDA Tk I Provinsi Jawa Barat (1998b, hal. I-4), Kota Bandung telah beberapa kali mengalami perluasan wilayah dan terakhir kali diperluas pada tahun 1987 melalui Peraturan Pemerintah Propinsi Jawa Barat No. 16/1987 menjadi ha. Selanjutnya dikatakan bahwa kecenderungan yang terjadi di KBU pada mulanya diawali oleh pembangunan hotelrestoran Bumi Sangkuriang serta perluasan lingkungan kampus ITB yang diikuti oleh perkembangan kawasan-kawasan permukiman berskala besar serta fasilitas perkotaan lainnya yang berlangsung dengan cepat sehingga sukar dikendalikan. Wilayah Kota Bandung yang termasuk KBU telah tumbuh menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru. Di pihak lain Pemerintah Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi (setelah pisah dari Kabupaten Bandung), juga memberlakukan wilayahnya di KBU sebagai pusat-pusat kegiatan ekonomi. Berdasarkan hal itu, maka pertimbangan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan pada wilayah pusat pertumbuhan sebagai kebijakan Pemerintah Propinsi Jawa Barat diindikasikan telah diabaikan. Berdasarkan kebijaksanaan Pemerintah Kota Bandung dan Kabupaten Bandung, atas dasar simpul-simpul pertumbuhan dengan pendekatan kependudukan dan kegiatannya, telah di wilayah KBU telah ditetapkan pusat-pusat pertumbuhan berikut (BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998a, hal. IV-17): 1. Berdasarkan RUTR Kota Bandung, pusat sekunder di wilayah yang termasuk KBU, ditetapkan (1) Kelurahan Sarijadi (Kecamatan Sukasari) dan (2) Kelurahan Sadangserang (Kecamatan Coblong) 2. Berdasarkan RUTRD Kabupaten Bandung (sebelum dipecah menjadi Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat), telah ditetapkan orde sistem kota-kota yang termasuk KBU berikut:

123 99 - Orde I - 0 yang dirancang memiliki kemiripan dengan kota Bandung, untuk Kecamatan Cimahi Tengah, Cimahi Utara, Parongpong dan Kecamatan Cileunyi. - Orde II - B, meliputi Kecamatan Padalarang - Orde III - A, meliputi Kecamatan Lembang - Orde III B, meliputi kecamatan Cikalong Wetan, Cisarua dan Ngamprah. Secara lebih rinci terkait dengan skala pelayanan dan fungsi kota dari masingmasing tingkat hirarki kota tersebut dapat dilihat pada Tabel 25 dan hirarki kota-kota yang ada di KBU, dapat digambarkan secara skematis seperti pada Gambar 17. Hirarki Kota Tabel 25. Hirarki Struktur Kota Kabupaten Bandung Di Wilayah KBU Skala pelayanan Berdasarkan RUTR Kab. Bandung Fungsi Kota Nama Kota Keterangan A B C D Orde I-0 Lokal Cileunyi * * * * Limpahan peralihan sebagian Kecamatan Parongpong * * Kota Bandung Cimahi * * Utara Lokal Cimahi * * Tengah Orde II-B Lokal Padalarang * * * * Membantu pelayanan Kota Soreang (Ibu Kota Kab. Bandung) Orde III-A Lokal Lembang * * + * Kota yang diprioritaskan pertumbuhannya berkembang pesat, sehingga dapat berfungsi sebagai Vounter Magnet Orde III-B Lokal Cikalong Wetan Cisarua * * + * Ngamprah * * * * * + * Pusat pelayanan Keterangan: A : Pusat pelayahan wilayah belakang (hinterland service) B : Pusat komunikasi antar wilayah (inter regional communication) C : Pusat kegiatan industri (good processing/manufacturing) - Untuk Kecamatan Cikalong Wetan, Cisarua dan Lembang dikembangkan agroindstri dan home industry penunjang parawisata D : Pusat permukiman (residental subcentre) E : Ibu Kota Kab. Pembantu * : Peningkatan fungsi yang sudah ada + : Pengembangan fungsi baru Sumber: BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998a

124 100 III-A III-B III-B I-0 III-B Cisarua Parongpong Lembang Ngamprah Cikalong Wetan II-B I-0 I I-0 Padalarang Cimahi Kota Bandung Cileunyi Sumber: BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998a Gambar 17. Hirarki kota-kota yang ada di KBU Berdasarkan Kebijaksanaan Pemerintah Kota Bandung (1993) dan Kab. Bandung (1992) Namun Bappeda Tk I Provinsi Jawa Barat (1998a) memandang pusat-pusat kota tersebut perlu penyesuaian lagi, terutama terhadap kota-kota yang difungsikan sebagai kawasan konservasi (kawasan lindung) agar perkembanganya tidak semakin meluas dan mengganggu fungsi lindung KBU. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut, kemudian Bappeda Tk I Propinsi Jawa Barat pada tahun 1998 menetapkan struktur tata ruang KBU yang dibentuk berdasarkan simpul-simpul pertumbuhan dengan pendekatan kependudukan dan kegiatan yang ada, yang secara skematis terlihat seperti pada Gambar 18. Ada beberapa alasan Pemerintah Propinsi Jawa Barat dalam menetapkan hirarki kota-kota di KBU, seperti disajikan pada tabel berikut:

125 101 Tabel 26. Alasan Pemerintah Propinsi Jawa Barat Dalam Menentapkan Hirarki Kota-Kota di KBU No. Kota Kecamatan Penetapan Hirarki Kota Alasan Pemerintah Propinsi Jawa Barat (1) (2) (3) (4) 1. Kota Kecamatan Padalarang 2. Kota Kecamatan Cikalong Wetan 3. Kota Kecamatan Cisarua 4. Kota Kecamatan Parongpong 5. Kota Kecamatan Lembang Peningkatan dari kota orde II-B menjadi orde I - 0 Peningkatan dari kota orde III-B mejadi orde III-A Peningkatan dari kota orde III-B mejadi orde II-B Penurunan dari orde kota I 0 menjadi III A Peningkatan dari orde kota III-A menjadi II-B Tingginya investasi di sektor perumahan dan adanya keinginan pemerintah untuk menjadikan Kota Padalarang sebagai daerah perkotaan dengan otonomi sendiri, maka diperkirakan akan berkembang pesat. Untuk itu Kota Padalarang ini ditetapkan sebagai kota penyangga yang mempunyai kemiripan dengan Kota Bandung. Mempunyai kecenderungan untuk berkembang akibat adanya kegiatan perkebunan dan adanya akses Padalarang Purwakarta, sehingga untuk mengantisipasi perkembangan kegiatan perkotaan di Kota Kecamatan Cikalong Wetan tanpa membahayakan fungsi kawasan konservasi yang ada. Mengalami tingkat pertumbuhan yang cukup pesat sebagai akibat adanya pembangunan permukiman oleh para developer dan berfungsi sebagai pusat pelayanan jalur distribusi dan koleksi hasil-hasil pertanian bagi daerah sekitarnya dan sebagai pusat pelayanan beberapa kecamatan yang ada di sekitarnya dengan tingkat pertumbuhan sedang. Semula ditetapkan sebagai penyangga yang memiliki kemiripan dengan Kota Bandung, namun untuk menghindari perkembangan kota meluas hingga ke kawasan konsevasi sehingga perlu diturunkan fungsinya hanya sebagai pusat pelayanan lokal dengan pertumbuhan cepat Mengalami tingkat pertumbuhan yag cukup pesat dan berfungsi sebagai pusat pelayanan, yaitu sebagai pusat koleksi dan distribusi hasil-hasil pertanian bagi kota-kota kecamatan yang ada di sekitarnya, sehingga fungsinya perlu dinaikan menjadi pusar pelayanan kota-kota kecamatan yang ada di sekitarnya, dengan tingkat pertumbuhan sedang.

126 102 Tabel 26 (lanjutan) (1) (2) (3) (4) 6. Kota Kecamatan Cimenyan 7. Kota Kecamatan Cilengkrang Tidak dikategorikan ditetapkan menjadi Kota Orde III-B Tidak dikategorikan ditetapkan menjadi Kota Orde III-B Lokasinya berdekatan dengan kawasan lindung dimana pada RUTRD Kabupaten Bandung tidak dikategorikan dalam hirarki kota, tapi dalam kenyataannya mempunyai kegiatan utama di bidang pertanian, yaitu dalam melayani kegiatan yang mendukung pertanian dengan skala pelayanan lokal dengan tingkat pertumbuhan sedang. Wilayahnya berdekatan dengan Kecamatan Cileunyi dan Cibiru (Kota Bandung), dimana pada RUTRD Kabupaten Bandung tidak dikategorikan dalam hirarki kota, tapi dalam kenyataannya ada aktivitas pertanian yang dilayani, dengan skala pelayanan lokal dengan tingkat pertumbuhan sedang dan perkembangannya dibatasi pada kegiatan yang mendukung pertanian Sumber: BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998a III-A III-A II-B III-B III-B III-A III-B Ngamprah Cisarua Parongpong Lembang Cimenyan Cilengkrang Cikalong Wetan I-0 I-0 I I-0 Padalarang Cimahi Kota Bandung Cileunyi Sumber: BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998a Gambar 18. Hirarki kota-kota yang ada di Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Kebijaksanaan Pemerintah Propinsi Jawa Barat (1998)

127 103 Perbedaan di atas, dapat juga dipandang sebagai bentuk perkembangan, dimana pada saat penyusunan RUTRD Kabupaten Bandung pada tahun 1992 dan RTRW Kota Bandung tahun 1993 masih teridentifikasi 9 pusat pertumbuhan, kemudian pada tahun 1998 saat menyusun Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Bandung Utara telah teridentifikasi 11 pusat pertumbuhan. Dengan telah ditetapkannya kebijakan tersebut, ditinjau dari penggunaan lahan berdampak pada perkembangan fisik wilayah KBU cukup pesat, hal ini dapat dilihat dari banyaknya kompleks perumahan (real estate) dan berkembangnya sarana dan prasarana wisata. Menurut Bappeda Propinsi Jawa Barat (1998) perkembangan fisik tersebut ditunjang oleh adanya penguasaan tanah yang relatif mudah, pemandangan yang cukup indah, dan berbagai aspek lainnya yang mendorong berkembangnya KBU. Dilihat dari kegiatan perkotaan, wilayah perencanaan merupaan kawasan permukiman dengan kegiatan penunjang seperti perdagangan, pendidikan, pemerintahan, jasa dan kegiatan lainnya. Menurut Sinulingga (2005), fasilitas pelayanan, jangkauan pelayanan, jumlah penduduk, infrastrutur dan jenis kegiatan ekonomi merupakan dasar dalam penetapan hirarki kota dalam satu SWP. Dalam perkembangannya, pusat-pusat pertumbuhan yang telah diidentifikasi pada tahun 1992 dan 1998 di atas, pada saat sekarang telah mengalami perkembangan yang berbeda kaitannya dengan fungsinya sebagai pusat pelayanan. Pusat-pusat pelayanan yang ada di KBU pada saat sekarang dapat diuraikan sebagai berikut.

128 104 Nama Kota Kedudukan Tabel 27. Orde Kota di KBU Berdasarkan Perkembangan Fasilitas Pelayanan dan Infrastruktur Jangkauan Pelayahan Kepadatan penduduk per ha Fasilitas Pelayanan Infra-struktur Kegiatan Hirarki Kota (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Lembang Pusat pelayanan sosial ekonomi, pemerintahan dan pelayanan umum Luas mencakup Nasional Jaringan jalan kolektor primer (Subang Bandung) Industri besar (15); industri sedang (2) Orde-II Cimahi (Cimahi Tengah, Cimahi Utara) Kota Bandung (Sukajadi,S ukasari, Cidadap, Coblong,Cicendo) Pusat pelayanan sosisalekonomi, ibu kota Kota Cimahi dan pusat pelayanan umum Pelayanan subdistrik Luas mencakup nasional Luas mencakup nasional 11 jiwa Peguruan Tinggi: KOWAD, Sespim POLRI, SESKO-AU, DODIK Pusat Penelitian Pertanian; Pusat per-dagangan Hotel penunjang pariwisata Cimahi Tengah: 166 jiwa Cimahi Utara: 97 jiwa Sukajadi (193), Sukasari (119), Cidadap (65), Coblong (108), Cicendo (166) Pusat perdagang-an; Rumah Sakit Umum (2) RS Jiwa (1) Pusat Pe-merintahan dan Per-kantoran Komplek militer dan pusat pendidikan militer Pusat per-dagangan PT: ITB, UNPAD, UPI, NHI, STT Telkom, Politeknik ITB, Politeknik Swiss, Univ. Maranatha, Rumah Sakit Umum (4 ) Rumah sakit spesial (3) Akses primer Akses primer Cimahi Teng: industri besar (16), idustri sedang (1) Cimahi Utara: Industri besar (36) Orde-II Orde-I

129 105 Nama Kota Kota Bandung (Arcamanik, Cicadas dan Ujung Berung) Tabel 27 (lanjutan) Kedudukan Jangkauan Pelayahan Kepadatan penduduk per ha Fasilitas Pelayanan Infra-struktur Kegiatan Hirarki Kota (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Pusat pelayanan Lokal Akses primer Orde-II umum dan pemerintah kecamatan Kota Bandung (Cibiru); Kab. Bandung (Cileunyi) Kota Bandung (Cibeunying Kaler dan Cibeunying Kidul) Kab. Bandung (Ngamprah dan Padalarang) Pusat pelayanan umum dan pemerintah kecamatan Pusat pelayanan umum dan pemerintah kecamatan Ibu Kota Kab. Bandung Barat Arcamanik (70) Cicadas (111) Ujung Berung (93) Lokal Cibiru (61) Cileunyi (95) Lokal Lokal Cibeunying Kaler (154) Cileunyi (307) Ngam-prah (29) Padalarang (24) Pusat perdagang-an (2) RS Umum (1) Puskesmas (5) Terminal Bis Antar Kota dan Antar Prop Terminal Angkot SMA (4) Pusat perdagang-an (1) RS Umum (1) Puskesmas (1) Terminal Bis (1) Terminal Angkot (1) Pasar (1) SMA (6) Puskesmas (3) Pasar (1) SMA (2) Puskesmas (1) Pasar (1) Akses primer Akses Primer Arca-manik: idustri besar-sedang (16) Cica-das: Industri besar- sedang (3) Ujung Berung (23) Cibiru: idustri besarsedang (10) Cileu-nyi: Industri besar (5) Akses Primer Ngam-prah: idustri besar (16) Orde-II Orde-III Orde- III

130 106 Tabel 27 (lanjutan) Nama Kota Kab. Bandung (Cisarua dan Parongpong ) Kedudukan Jangkauan Pelayahan Kepadatan penduduk per ha Fasilitas Pelayanan Infra-struktur Kegiatan Hirarki Kota (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Ibukota Lokal Cisarua Perguruan Tinggi (5) Akses Parong-pong: industri Orde-III Kecamatan (12) SMA (13) sekunder dan besar (1) Parongpong RS Jiwa (1) RS Umum (1) Akses Tersier (21) Puskesmas (5) Kab. Bandung (Cilengkran g) Kab. Bandung (Cikalong Wetan) Kab. Bandung (Cimenyan) Ibukota kecamatan Ibukota Kecamatan Ibukota kecamatan Sumber: Hasil Pengolahan Lokal 11 jiwa Perguruan Tinggi (1) SMA ((2) Pasar (1) Lokal 6 jiwa SMA (1) Puskesmas (1) Pasar (1) Lokal 41 jiwa) SMA (14) RS Umum (1) Puskesmas (5) Akses Tersier Order- III Akses primer Industri besar (4) Orde-IV Akses Tersier Orde- IV

131 107 Berdasarkan perkembangan faslitas pelayanan dan infrastruktu saat sekarang tersebut, secara skematis hirarki kota di KBU menjadi seperti tersaji pada Gambar 19. Lembang (11) Cisarua (12) Cikalong Wetan (6) IV Parongpong (21) III II Cimenyan (41) IV Cilengkrang (11) IV III II I III II II Ngamprah (29) Padalarang (24) Cimahi Tengah (166) Cimahi Utara (97) Sukasari (119) Cidadap (65) Sukajadi (193) Coblong (108) Cicendo (166) Cibeunying Kaler (154) Cibeunying Kidul (307) Arcamanik (170) Cicadas (111) Ujung Berung (93) Cibiru (61) Cileunyi (95) Keterangan: : Akses primer : Akses sekunder : Akses tersier ( ) : Kepadatan penduduk (Gambar bersifat skematis, dan tidak skalamatik/proporsional) Sumber: Hasil Pengolahan Gambar 19. Hirarki kota-kota yang ada di Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Perkembangan Fasilitas Pelayanan dan Infrastruktur Melihat gambar tersebut, menunjukkan pada saat sekarang telah mengalami perkembangan beberapa pusat pertumbuhan yang diindikasikan pada tahun 1992 dan 1998, dan munculnya orde-orde kota baru yang merupakan ekses dari berkembangnya Kota Bandung menuju Kota Metropolitan. Di wilayah Kabupaten Bandung Barat yakni Kota Kecamatan Parongpong dan Kota Kecamatan Cisarua menuju penyatuan menjadi pusat pelayanan lokal yang melayani seluruh desa-desa yang ada di dua kecamatan tersebut, dengan fungsi primernya sebagai pusat pelayanan jalur distribusi dan koleksi hasil-hasil pertanian dengan akses tersier ke Kota Bandung dan Kota Cimahi tanpa melalui Lembang. Sementara fungsi

132 108 sekundernya adalah sebagai pusat perguruan tinggi, pusat kesehatan jiwa, pusat pemerintahan kecamatan dan komplek militer. Sementara Kota Kecamatan Lembang berkembang menjadi pusat pelayanan tersendiri dengan fungsi primernya adalah pusat koleksi dan distribusi hasil-hasil pertanian. Sedangkan fungsi sekundernya adalah pusat perdagangan, pusat perguruan tinggi dan pusat penelitian, daerah tujuan wisata dan pusat pemerintahan kecamatan dan perkantoran. Dengan lokasinya yang stretegis yang dilalui jaringan kolektor primer (Bandung-Lembang-Subang) dan dari macam kegiatannya yang cukup beragam, sehingga dapat dijadikan pusat pelayanan umum. Sedangkan Kecamatan Ngamprah menuju penyatuan dengan Kecamatan Padalarang dengan akses tersier dan keduanya berhubungan dengan akses primer langsung ke Kota Cimahi. Penyatuan ini juga didorong oleh telah ditetapkannya Kecamatan Ngamprah sebagai ibukota Kabupaten Bandung Barat (pecahan dari Kabupaten Bandung Induk). Sementara itu Kecamatan Cikalong Wetan menjadi pusat pelayanan lokal dengan perkembangan yang dibatasi oleh kawasan lindung dan lahan perkebunan, sehingga memiliki hirarki yang rendah (orde-iv) dengan akses dibatasi ke Kota Padalarang. Di Kota Cimahi, Kota Kecamatan Cimahi Tengah dan Kota Kecamatan Cimahi Utara menuju penyatuan menjadi pusat pelayanan umum terutama setelah menjadi Ibu Kota Cimahi, namun demikian tetap dipengaruhi oleh Kota Bandung dengan akses primer. Dilihat dari fungsi kegiatannya Kota Cimahi merupakan fungsi primer dalam peranannya sebagai pusat kegiatan perdagangan regional, pusat industri dan sebagainya. Kemudian kalau dilihat dari fungsi sekundernya dapat diidentifikasi sebagai lokasi perguruan tinggi, pusat kesehatan, pusat pemerintahan dan perkantoran, serta komplek militer. Di Kota Bandung, beberapa pusat kota yaitu Kecamatan Sukasari, Cidadap, Sukajadi, Coblong dan Cicendo dengan pelayanan yang jumlah kondisi dan jenis kegiatannya dapat dikatakan merupakan pusat pelayanan subdistrik, karena dilihat dari jangkauan pelayanannya sudah cukup luas, termasuk salah satu orientasi orde kota lainnya. Sedangkan Kecamatan Arcamanik, Cicadas dan Ujung Berung memiliki

133 109 fungsi primer pusat perdagangan lokal dan menjadi orientasi orde kota lainnya yang lebih rendah. Sementara itu Kota Cibeunying Kaler dan Cibeunying Kidul yang merupakan bagian Kota Bandung sebelah Utara, hanya digunakan sebagai pusat pelayanan lokal untuk penduduk di kelurahan yang ada di 2 kecamatan tersebut dan difokuskan sebagai pusat pelayanan lngkungan dengan bentuk peningkatan fungsi dan kondisi. Selanjutnya Kota Cibeunying Kaler dan Cibeunying Kidul menjadi orientasi Kota Cimenyan yang fungsi primernya adalah pusat pelayanan kegiatan pertanian. Wilayah Kota Bandung bagian Timur yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung telah tumbuh menjadi satu kesatuan pusat kegiatan yakni Cibiru dan Cileunyi. Dengan letaknya yang strategis dengan akses jalan tol dan akses primer, kedua kota ini menjadi pusat perdagangan lokal dan menjadi orientasi kota orde lainnya yang lebih rendah yakni Kecamatan Cilengkrang yang berkembang sebagai pusat pelayanan kegiatan pertanian dengan skala pelayanan lokal. 2. Sistem Penggunaan Lahan Kota a. Penetapan Zona Perkotaan dan Zona Perumahan Untuk mengetahui kegiatan dominan di masing-masing pusat pertumbuhan dalam SWP Bandung secara lokal di wilayah KBU, maka diperlukan suatu analisis pergerakan orang dalam sistem transportasi. Elemen-elemen sistem transportasi yang terkait dalam penetapan zona perkotaan dan perumahan, meliputi: (1) Pelaku perjalanan yang menyangkut perilaku, jumlah, fluktuasi perjalanan yang diakibatkan oleh aktivitas terhadap kegiatan ruang kota. Terkait dengan sistem penggunaan lahan, kajian tentang bangkitan perjalanan baik kondisi eksisting maupun tahun perencanaan dapat digunakan untuk menganalisis struktur ruang yang dibentuk, terutama dari sistem perumahan maupun perkotaan. (2) Prasarana transportasi, baik berupa sistem jaringan jalan (road system), jaringan bebas hambatan (toll system), sistem jaringan kereta api dengan kajian secara menyeluruh, dan yang terkait. Terkait dengan sistem penggunaan lahan, kajian ini dapat digunakan untuk melihat penyebaran kegiatan perkotaan dan perumahan serta perubahannya.

134 110 (3) Sistem sarana transportasi, meliputi jenis moda, fasilitas pendukung diperlukan untuk menganalisis pergeseran permukiman dari pusat perkotaan ke luar kota berdasarkan tingkat kelajuan para pekerja. (4) Manajemen tranportasi yang terkait dengan pengaturan terminal, rute angkutan umum, jenis moda angkutan umum, arah pergerakan kendaraan umum, pribadi dan barang; digunaan untuk menganalisis penyebaran aglomerasi penduduk/ permukiman. Dalam kaitan dengan penetapan identifikasi pemanfaatan untuk kegiatan perkotaan (perkantoran, perdagangan, jasa, pendidikan dll) dan untuk kegiatan perumahan, akan digunakan analisis pola bangkitan perjalanan dan sistem jaringan jalan untuk wilayah Kabupaten Bandung dan Kota Bandung yang masuk wilayah KBU. Bangkitan dan Tarikan Pergerakan Bangkitan pergerakan (trip generation) merupakan perkiraan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan dan jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan yang dicirikan oleh jumlah arus lalu lintas, jenis lalulintas (pejalan kaki, truk, mobil) dan lalu lintas pada waktu tertentu (Tamin, 2000). Satuan jumlah dari jenis lalulintas disimbulkan SMP. Tingginya angka produksi perjalanan dibandingkan tarikan di suatu zona menandakan pemanfaatan lahan lebih dominan untuk kegiatan perumahan, sebaliknya angka tarikan perjalanan yang tinggi menunjukkan kegiatan perkotaan lebih dominan sehingga menarik perjalanan dari beberapa zona lainnya. Analisis produksi dan tarikan secara internal/lokal untuk Kota Bandung dan Kabupaten Bandung menggunakan hasil analisis sekunder hasil penelitian LPM-ITB (1997) dan proyeksi dari Bappeda Prop. Jabar (1998), kemudian ditetapkan aktivitas tata guna lahannya seperti terlihat pada Tebel 28 dan Tabel 29. Penggunaan angka relatif dalam penentuan tata guna lahan perumahan dan perkotaan secara internal/lokal, hanya menunjukkan aktivitas yang mendominasi pada tata guna lahan tersebut, artinya jika di suatu lokasi mempunyai dominasi aktivitas kegiatan perumahan bukan berarti bahwa di lokasi tersebut tidak terdapat kegiatan

135 111 perkotaan atau sebaliknya. Angka relatif tersebut digunakan untuk melihat perubahan penggunaan lahan secara internal. Untuk memberikan gambaran angka absolut bangkitan (asal) dan tarikan (tujuan) pada guna lahan perkotaan dan perumahan di Amerika Serikat dan Inggris seperti tersaji pada Tabel 30. Tabel 28. Produksi dan Tarikan Perjalanan di KBU Pada Wilayah Kota Bandung No Zona/ Kota Aktivitas Aktivitas Kecamatan Asal Tujuan Tata Guna Asal Tujuan Tata Guna Lahan Lahan 1 Isola Perumahan Perkotaan 2 Ledeng Perumahan Perkotaan 3 Ciumbuleuit Perumahan Perkotaan 4 Dago Perkotaan Perkotaan 5 Hegarmanah Perkotaan Perkotaan 6 Gegerkalong Perumahan Perkotaan 7 Sukarasa Perkotaan Perkotaan 8 Sarijadi Perkotaan Perkotaan 9 Sukawarna Perkotaan Perkotaan 10 Sukagalih Perkotaan Perkotaan 11 Cipedes Perkotaan Perkotaan 12 Sukaraja Perkotaan Perkotaan 13 Husein Perumahan Perkotaan Sastranegara 14 Sukabungah Perumahan Perkotaan 15 Pasteur Perumahan Perkotaan 16 Cipaganti Perumahan Perkotaan 17 Lebaksiliwangi Perumahan Perumahan 18 Sekeloa Perkotaan Perkotaan 19 Lebakgede Perumahan Perumahan 20 Cigadung Perumahan Perumahan 21 Sadangserang Perumahan Perumahan 22 Sukaluyu Perumahan Perumahan 23 Neglasari Perumahan Perumahan 24 Sukapada Perkotaan Perkotaan 25 Pasirlayung Perkotaan Perkotaan 26 Padasuka Perkotaan Perkotaan 27 Cikutra Perkotaan Perkotaan 28 Cicadas Perkotaan Perkotaan 29 Ujungberung Perkotaan Perumahan 30 Cisurupan Perkotaan Perumahan 31 Cigending Perkotaan Perumahan 32 Pasirendah Perkotaan Perkotaan Jumlah Asal & Tujuan Perumahan Perkotaan Jumlah Total Perjalanan Sumber: BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998a dan Hasil Pengecekan

136 112 Tabel 29. Produksi dan Tarikan Perjalanan di KBU Kab. Bandung (SMP/jam) No Zona/Kecamatan Asal Tujuan Aktivitas Tata Guna Lahan Asal Tujuan Aktivitas Tata Guna Lahan 1 Cikalong Wetan Pasar Perumahan 2 Padalarang Perkotaan Perkotaan 3 Ngamprah Perkotaan Perumahan 4 Cisarua Pasar pertanian Perumahan 5 Lembang Pasar pertanian Perumahan 6 Cimenyan Pasar pertanian Perumahan 7 Cilengkrang Pasar pertanian Pasar pertanian 8 Cileunyi Perkotaan Perkotaan 9 Parompong Perumahan Perumahan 10 Cimahi Tengah Perkotaan Perkotaan 11 Cimahi Utara Perumahan Perumahan Jumlah asal dan tujuan Pasar Pertanian Perumahan Jumlah total perjalanan Sumber: BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998a dan Hasil Pengecekan Tabel 30. Tarikan dan Bangkitan Aktivitas Guna Lahan di AS dan Inggris Deskripsi aktivitas tata guna Bangkitan pergerakan per Tarikan pergerakan per ha lahan ha Perkotaan 1. Pasar Swalayan Pertokoan Pusat pertokoan Restoran siap santap Restoran Gedung perkantoran Rumah sakit Perpustakaan Daerah industri 500 Perumahan 1. Permukiman di luar kota Permukiman di batas kota Unit rumah Flat tinggi Sumber: Tamin (2000) Berdasarkan data pada Tabel 28 dan Tabel 29 di atas, menunjukkan untuk wilayah Kota Bandung, pada tahun 1997 dari 32 zona/kecamatan terdapat 14 zona/kecamatan yang merupakan zona asal perjalanan dengan dominasi aktivitas kegiatan perumahan dan 28 zona sebagai tujuan perjalanan dengan dominasi aktivitas

137 113 kegiatan perkotaan. Ke-empat belas zona kegiatan permukiman tersebut merupakan zona wilayah Kota Bandung yang berada di bagian Utara atau berbatasan dengan Kabupaten Bandung. Namun pada tahun 2010, KBU diindikasikan telah mengalami perubahan, dimana dari 32 zona yang ada di KBU sebanyak 23 zona merupakan zona tujuan perjalanan dengan dominasi aktivitas perkotaaan, sisanya sebanyak 9 zona dominasi oleh aktivitas perumahan. Zona yang mengalami perubahan dari perumahan menjadi perkotaan adalah Isola, Ledeng, Ciumbuleuit, Gegerkalong, Husen Sastranegara, Sukabungah, Pasteur, Cipaganti. Zona yang tetap didominasi aktivitas perkotaan adalah Dago, Hegarmanah, Sukarasa, Sarijadi, Sukawarna, Sukagalih, Cipedes, Sukaraja, Sekeloa, Sukapada, Pasirlayung, Padasuka, Cikutra, Cicadas, dan Pasirendah. Sementara dari dominasi aktivitas perkotaan yang berubah didominasi aktivitas perumahan adalah Ujungberung, Cisurupan dan Cigending. Zona yang tetap didominasi aktivitas perumahan adalah Lebakgede, Cigadung, Sadangserang, Sukaluyu, dan Neglasari. Sementara itu keseluruhan Zona/Kecamatan KBU pada wilayah Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi pada tahun 1997, dari 11 kecamatan sebanyak 9 kota kecamatan di KBU merupakan tujuan perjalanan yang diindikasikan oleh dominasi aktivitas pasar lokal, pusat koleksi dan distribusi hasil-hasil pertanian, serta kawasan perkotaan dan perkantoran; sedangkan yang merupakan asal mobilitas hanya kecamatan Parongpong dan Kecamatan Cimahi Utara. Kemudian berdasarkan prediksi dan pengecekan tahun 2008, aktivitas di KBU diindikasikan telah mengalami perubahan dimana dari 11 kota kecamatan sebanyak 8 kota kecamatan telah menjadi kawasan asal perjalanan atau dominasi kegiatannya berubah menjadi perumahan. Adapun kecamatan yang mengalami perubahan dari tujuan perjalanan menjadi asal perjalanan adalah Kecamatan Cikalong Wetan, Ngamprah, Cisarua, Lembang, dan Cimenyan. Hal ini berarti bahwa perkembangan pusat-pusat pertumbuhan tersebut lebih lambat dibanding dengan perkembangan perumahan baik yang dibangun oleh pengembang (melalui perijinan) maupun dilakukan secara alami oleh masing-masing keluarga.

138 114 Dengan adanya perubahan penggunaan lahan di Kota Bandung dan Kota Cimahi yang semakin didominasi oleh aktivitas perkotaan, maka wilayah KBU yang masuk Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat mendapatkan limpahan penduduk dengan tumbuhnya penggunaan lahan perumahan. Perubahan-perubahan penggunaan lahan tersebut umumnya terjadi di dekat pusat pertumbuhan yakni di kota kecamatan. Aktivitas beberapa kota kecamatan yang semula didominasi oleh aktivitas penggunaan lahan perkotaan, pada saat sekarang telah didominasi perumahan, sehingga struktur kawasan kota kecamatan tersebut sebagian besar merupakan kawasan perumahan. Sedangkan perubahan zona perumahan menjadi perkotaan pada umumnya terjadi di Kota Bandung, seiring dengan berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan di Kota Bandung sebagai subdistrik, sehingga subdistrik tersebut mendapatkan limpahan pertumbuhan kota dari pusat pertumbuhan sekitarnya dengan tumbuhnya industri jasa. Ringkasan pergeseran perubahan penggunaan lahan perumahan dan perkotaan di Kota Bandung ke Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat seperti tersaji pada tabel berikut. Tabel 31. Perubahan Aktivitas Guna Lahan Perumahan dan Perkotaan di KBU Aktivitas Utama Guna Lahan Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat Kota Bandung dan Kota Cimahi Tahun 1997 Tahun 2010 Tahun 1997 Tahun 2010 Jml Jml Jml Jml % % % % Zona/kec Zona/kec Zona/kec Zona/kec Perumahan Perkotaan Pasar Lokal Pasar Pertanian Sebagai gambaran perkembangan perumahan dan pertumbuhan kota dapat dilihat dari perkembangan ijin lokasi sebagaimana rekapitulasi berikut. Tabel 32. Rekapitulasi Izin Lokasi di Kawasan Bandung Utara (ha) Kabupaten/ Industri Resort Villa Real Bangunan Perumahan Kota Jasa Pariwisata Estate gedung Jumlah (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Kota Bandung Cibiru Sukajadi Sukasari

139 115 Tabel 32 (lanjutan) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Cidadap Coblong Cicendo Kab. Bandung ,663 Cimenyan Lembang Parongpong Cisarua Ngamprah Cileunyi Cilengkrang Cikalong Wetan Cimahi Utara KBU ,869 Sumber: BPN Kota Bandung (2001), BPN Kabupaten Bandung (2001), dan Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat (2004) 90 R Jumlah ijin R R 30 I R I I I P V G R P V G I P V G P V G P V G R I P V G Cibiru Sukajadi Sukasari Cidadap Coblong Cicendo kecamatan Gambar 20. Luas Izin Lokasi di KBU Wilayah Kota Bandung

140 R Jumlah ijin R V R P P R R V V GR G P GR P V G P V G P V GR P V G P V GR P V G kecamatan Gambar 21. Luas Izin Lokasi di KBU Wilayah Kabupaten Bandung Sistem Jaringan Jalan Sistem jaringan jalan sangat menentukan perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian dan kawasan lindung menjadi areal perumahan dan perkotaan. Kapasitas jaringan jalan utama merupakan faktor yang menjadi bahan pertimbangan orang untuk melakukan pilihan dalam penggunaan lahan ke arah yang lebih intensif. Kepadatan lalu lintas jaringan jalan tersebut dihitung dalam nilai VCR (Volume Capacity Ratio). Tingkat kepadatan berhubungan dengan jenis kegiatan di sepanjang jalan tersebut, dimana nilai VCR-nya masuk kategori kritis, menunjukkan bahwa aktivitas perkotaan dan perumahan yang mendominasi lintasan jalan tersebut, sebaliknya nilai VCR-nya rendah menunjukkan lintas sepanjang jalan tersebut didominasi oleh kegiatan pertanian atau guna lahannya berupa guna lahan pertanian dan kehutanan. Berdasarkan hasil perhitungan estimasi Bappeda Propinsi Jawa Barat (1998) untuk kurun waktu 2010, dengan asumsi tidak ada penambahan jaringan jalan baru, kapasitas jalan utama di KBU yakni ruas jalan Setiabudi, Surya Sumantri, Sukajadi, Cihampelas, Ir.H.Juanda, Dipati Ukur, Terusan Pateur, Pasteur, KPH Mustopa

141 117 sampai Cileunyi akan melebihi kapasitas jalan dengan nilai VCR di atas 1. Kegiatankegiatan yang dominan di sepanjang jalan tersebut adalah perkotaan dan perumahan kota. Sedangkan untuk kabupaten Bandung yakni Jalan Cikalong Wetan Cipeundeuy, Cimahi Cisarua, Cisarua Lembang, Panorama (Setiabudi) Grand Hotel (Lembang), dan Cihanjuang Ciwaruga telah melebihi kapasitas yang ada, dimana kegiatan dominan di sepanjang jalan tersebut adalah pasar lokal dan perumahan. Secara rinci estimasi VCR Jaringan Jalan Utama KBU di Kabupaten Bandung dan Kota Bandung dapat dilihat pada Tabel 33. Kegiatan dominan di sepanjang jalan utama tersebut yakni aktivitas perkotaan dan perumahan mencerminkan salah satu unsur morfologi kota di KBU sebagaimana yang disampaikan Hebert (1973) dalam Yunus (2005) bahwa morfologi kota tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada, blok-blok bangunan baik daerah hunian ataupun perdagangan/industri dan juga bangunan-bangunan individual. Sementara itu Smailes (1955) dalam Yunus (2005) memperkenalkan 3 unsur morfologi kota yaitu (1) unsur-unsur penggunaan lahan, (2) pola-pola jalan dan (3) tipe-tipe bangunan. Penyebaran penggunaan lahan di KBU di atas, dimana pada KBU di luar Kota Bandung, telah menunjukkan kenampakkan kekotaan dan areal batas kota (built up area) jauh melampaui batas administrasi kota Bandung. Berdasarkan eksistensi batas fisik kota berada jauh dari batas administrasi kota (spill urban area) tersebut, maka kondisi Kota Bandung sebagai pusat Kota KBU dinamakan under bounded city. Pada kondisi kenampakan kekotaan dan areal batas kota yang jauh melampaui batas administrasi kota memungkinkan munculnya beberapa permasalahan d pengaturan wilayah. Wewenang pemerintah Kota Bandung untuk merencanakan wilayahnya hanya terbatas pada daerah yang terletak di dalam batas administrasi pemerintahan kota. Sementara itu untuk daerah kekotaan yang terletak di luar batas Kota Bandung menjadi wewenang pemerintah daerah yang lain yakni Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi. Perbedaan ini terlihat dari arah kebijakan tata ruang yang telah dikemukakan dalam sub bab sebelumnya.

142 118 Tabel 33. Estimasi Nilai VCR Jaringan Jalan Utama KBU No. Nama Jalan VCR Tahun 2010 Kategori Zona Kegiatan Utama (1) (2) (3) (4) (5) I Kb Bandung Barat dan Kb Bandung 1. Cikalong Wetan Cipeundeuy 1.0 Kritis Perumahan perdesaan/pasar 2. Cimahi Cisarua 1.0 Kritis Perumahan kota/pasar/industri 3. Cisarua Lembang 1.0 Kritis Perumahan/Pasar/ pemerintahan 4. Lembang Maribaya Stabil Pertanian/wisata 5. Panorama Grand Hotel 1.0 Kritis Perumahan/perhotelan 6. Cisarua Situ Lembang Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 7. Patrol Palintang Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 8. Sentral Ciwaruga Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 9. Padalarang Sp Cisarua Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 10. Cihanjuang Cisarua Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 11. Cihideung Ciwaruga Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 12. Cihanjuang Ciwaruga 1.0 Kritis Perumahan 13. Cileunyi Palintang Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 14. Padasuka Cimenyan Stabil Pertanian/perumahan perdesaan II Kota Bandung 1. Setiabudi (UPI ke atas) > 2.0 Kritis Perumahan 2. Setiabudi (UPI ke bawah Kritis Perkotaan 3. Gegerkalong Tidak stabil Perumahan 4. Surya Sumantri > 2.0 Kritis Perkotaan 5. Sukajadi > 2.0 Kritis Perkotaan 6. Cipaganti Tidak stabil Perkotaan 7. Cihampelas > 2.0 Kritis Perkotaan 8. Ciumbuleuit Tidak stabil Perumahan kota/perkotaan 9. Siliwangi > 2.0 Kritis Perumahan kota/perkotaan 10. Tamansari Tidak stabil Perumahan kota/perkotaan 11. Ir. H. Juanda (bawah simpang) > 2.0 Kritis Perkotaan 12. Ir.H. Juanda (atas simpang) Tidak stabil Perumahan/perkotaan 13. Dipatiukur > 2.0 Kritis Perkotaan

143 119 Tabel 33 (lanjutan) No. Nama Jalan VCR Tahun 2010 Kategori Zona Kegiatan Utama (1) (2) (3) (4) (5) 14. Terusan Pasteur >2.0 Kritis Perkotaan 15. Pasteur Kritis Perumahan/perkotaan 16. Surapati Tidak stabil Perkotaan 17. KPH Mustopa > 2.0 Kritis Perkotaan/perumahan 18. Raya Sindanglaya > 2.0 Kritis Perumahan/perkotaan 19. Raya Ujungberung > 2.0 Kritis Perumahan/perkotaan 20. Raya Cibiru > 2.0 Kritis Perumahan/perkotaan Keterangan: VCR = Volume Capacity Ratio Nilai VCR < 0.85: stabil; 0.85 < VCR < 1.0: tidak stabil; VCR > 1.0 kritis *) asumsi tanpa penambahan perubahan sistem jaringan jalan Sumber: Bappeda Propinsi Jawa Barat (1998)

144 120 Perembetan kenampakkan kekotaan (urban sprawl) dari Kota Bandung yang masuk KBU ke wilayah KBU Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi disebabkan meningkatnya penduduk kota Bandung maupun aktivitasnya. Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota dengan cara pengambil alih lahan non urban oleh penggunaan lahan urban (invasion) di daerah pinggiran kota atau telah terjadi pengusiran (explusion) guna lahan non-urban oleh guna lahan urban. Melihat gejala perembetan kenampakan kota di KBU yang mengikuti jalur utama transportasi seperti di atas, maka perluasan areal kekotaan (urban sprawl) di KBU masuk kategori perembetan memanjang (ribbon development/lineair development/ axial development). Menurut Yunus (2005), pada kondisi ini daerah sepanjang rute transportasi utama merupakan tekanan paling berat dari perkembangan. Membumbungnya harga lahan pada kawasan ini telah memojokkan pemilik lahan pertanian pada posisi yang sangat sulit. Karakteristiknya adalah makin banyaknya konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian, makin banyaknya penduduk melakukan kegiatan non-pertanian, serta makin padatnya bangunan, sehingga mempengaruhi kegatan pertanian. Dengan adanya pusat-pusat pertumbuhan yang menyebar di KBU yang dihubungkan satu sama lain oleh jalan utama seperti yang diuraikan pada sub bab di atas dan jenis perembetan yang masuk kategori ribbon development, maka model bentuk kota di KBU dengan pusatnya Kota Bandung adalah model stellar atau radial dengan jalur yang tidak merata ke semua arah. Pada masing-masing lidah terbentuk pusat-pusat pertumbuhan subdistrik (subsidiary centers) yang berfungsi memberi pelayanan pada areal kekotaan yang letaknya agak jauh dari pusat kegiatan utama (Kota Bandung). Pada bagian-bagian yang menjorok ke dalam tumbuh permukiman yang dibangun mandiri oleh masyarakat atau oleh pengembang. Di luar permukiman tersebut, pada kondisi topografis adalah curam pada umumnya ditanami tanaman menahun (pohon-pohonan), tetapi pada kondisi tanahnya relatif datar ditanami oleh tanaman semusim berupa sayuran dan palawija.

145 121 b. Deferensiasi Zona Guna Lahan KBU Dengan kondisi perembetan yang masuk kategori ribbon development dan bentuk kotanya adalah stellar, maka deferensiasi penggunaan lahan di KBU bertitik tolak dari dua pusat pertumbuhan di masing-masing jalan utama. Hal ini sesuai karakteristik kota yang berbentuk stellar, pada masing-masing lidah akan terbentuk pusat-pusat pertumbuhan subdistrik (subsidiary centers) yang berfungsi memberi pelayanan pada areal kekotaan yang letaknya agak jauh dari pusat kegiatan utama (Kota Bandung). Dalam kondisi kota berbentuk stelar, maka model konseptual deferensiasi penggunaan lahan tidak sepenuhnya berlaku, dan model segitiga penggunaan lahan desa-kota (rural-urban land use triangle) tidak tunggal lagi melainkan triple yaitu model segitiga penggunaan lahan kota-desa, model segitiga penggunaan lahan desakota dan berlanjut menjadi model penggunaan kota-desa, di setiap jalan utama. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Yunus (2005) bahwa keberadaan jalur transportasi, titik pertumbuhan, peraturan-peraturan zoning, spekuliasi lahan adalah beberapa contoh unsur-unsur penyebab terjadinya distorsi model ideal tersebut. Adapun kondisi struktural deferensiasi zona guna lahan berdasarkan ciri penggunaan lahan kekotaan dan kedesaan di setiap kabupaten yang desa-desanya masuk KBU, sebagaimana tabel berikut. Tabel.34. Deferensiasi Zona Guna Lahan Setiap Kabupaten/Kota KBU Kabupaten/Kota Rural Rural Urral Urban Urban Jml Area Fringe Fringe Fringe Area Desa/Kel Kab. Bandung Barat 23,91% 43,48% 13,04% 15,22% 4,35% 46 Kab. Bandung 11,11% 44,44% 33,33% 11,11% 0,00% 9 Kota Cimahi 0,00% 0,00% 25,00% 62,50% 12,50% 8 Kota Bandung 0,00% 12,90% 35,48% 22,58% 29,03% 31 Berdasarkan data pada tabel di atas, dari 46 desa di Kabupaten Bandung Barat yang masuk wilayah KBU didominasi desa kategori Rural Fringe yakni sebanyak 23 desa (43%), kemudian Rural Area sebanyak 11 desa (24%), Urban Fringe sebanyak 7 desa (15%) dan Urban Area sebanyak 2 desa (4%). Untuk Kabupaten Bandung dari 9 desa yang masuk KBU didominasi kategori Rural Fringe sebanyak 4 desa (44%), Urral Fringe 3 desa (33%), Urban Fringe 1 desa (11%), dan Rural Area 1 desa (11%).

146 122 Untuk Kota Cimahi dari 8 kelurahan yang masuk KBU didominasi Urban Fringe 5 kelurahan (62,5%), kemudian Urral Fringe 2 desa (25%), dan Urban Area 1 kelurahan (12,5%). Sedangkan untuk Kota Bandung dari 31 kelurahan yang masuk KBU didominasi oleh Urral Fringe 11 kelurahan (35,5%), Urban Area 9 kelurahan (29%), Urban Fringe 7 kelurahan (22,6%), dan Rurral Fringe 4 kelurahan (12,9%). c. Transformasi Penggunan Lahan di KBU Berdasarkan struktur diferensial zona penggunaan lahan di atas, penggunaan lahan di KBU memiliki tingkat transformasi lahan atau baik lambat maupun cepat akan mengalami perubahan penggunaan lahan menjadi lahan permukiman. Kondisi tingkat transformasi lahan tersebut semakin mengkhawatirkan mengingat bahwa penggunaan lahan di KBU diarahkan sebagai kawasan lindung. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No /SK.1624-Bapp/1982, Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat pada tahun 2004 telah melakukan evaluasi arahan penggunaan lahan yang menunjukkan kesesuaian mulai dari sawah irigasi teknis, tegalan/ladang, kebun campuran, tanaman sayuran, hingga hutan sejenis dan hutan lebat. Namun penggunaan lahan tersebut memiliki tingkat transformasi yang berbeda tergantung keberadaanya di zona guna lahan. Maka berdasarkan keberadaan guna lahan dalam zona guna lahan, dimana tingkat ransformasi struktur penggunaan lahan untuk masing-masing zona guna lahan sangat lambat jika berada di rural area dan sangat cepat jika berada di urban area, maka tingkat transformasi penggunaan lahan dii KBU seperti tabel berikut: Tabel 35. Tingkat Transformasi Struktur Penggunaan Lahan di KBU Penggunaan lahan Sangat lambat Lambat Sedang Cepat Sangat Cepat Jml desa/kel Sawah Irigasi 5,56% 27,78% 27,78% 31,48% 7,41% 54 Tegalan/ Ladang 7,14% 57,14% 21,43% 14,29% 0,00% 14 Kebun Campuran 9,09% 27,27% 36,36% 22,73% 4,55% 22 Tanaman sayuran 18,18% 45,45% 22,73% 9,09% 4,55% 22 Perkebunan (Kina dan 75,00% 25,00% 0,00% 0,00% 0,00% 4 Karet) Hutan campuran 25,00% 37,50% 37,50% 0,00% 0,00% 8 Hutan Sejenis 28,57% 57,14% 14,29% 0,00% 0,00% 14

147 123 Berdasarkan tabel di atas, desa/kelurahan yang masih memiliki penggunaan lahan sawah irigasi berada di 54 desa/kelurahan, tegalan/ladang berada di 14 desa/kelurahan, kebun sayuran di 22 desa/kelurahan, tanaman sayuran di 22 desa/kelurahan, perkebunan (kina dan karet) di 4 desa, hutan campuran di 8 desa dan hutan sejenis (produksi) di 14 desa/kelurahan. Keberadaan penggunaan lahan tersebut akan menentukan tingkat transformasi penggunaan lahan atau perubahan penggunaan lahan sangat cepat apabila berada di zona urban area dan sangat lambat jika penggunaan lahan tersebut berada di zona ural area. Penggunaan lahan sawah irigasi yang berada di 54 desa memiliki tingkat transformasi struktur penggunaan lahan sangat cepat sebesar 7,41%, cepat 31,48%, sedang 27,78%, lambat 27,78% dan sangat lambat 5,56%. Kemudian lahan tegalan/ladang yang berada di 14 desa/kelurahan memiliki tingkat transformasi struktur penggunahan lahan cepat sebanyak 42,9%, sedang 36,36%, lambat 27,27%, dan sangat lambat 7,14%. Sementara itu penggunaan lahan kebun campuran, yang berada di 22 desa/kelurahan, memiliki tingkat transformasi strktur penggunaan sangat cepat 4,55%, cepat 22,73%, sedang 36,36%, lambat 27,27% dan sangat lambat 9,09%. Penggunaan lahan tanaman sayuran yang berada di 22 desa/kelurahan memiliki tingkat stransformasi struktur penggunaan lahan yang sangat cepat 4,55%, cepat 9,09%, sedang 27,73%, lambat 45,45% dan sangat lambat 18,18%. Untuk penggunaan lahan perkebunan (karet dan kina) masih cukup aman yakni berada di 4 desa yang memiliki tingkat transformasi struktur penggunaan lahan lambat 25% dan sangat lambat 75%. Sedangkan hutan campuran berada di 8 desa dengan tingkat transformasi struktur penggunaan lahan sedang. Dan untuk penggunaan hutan sejenis (tanaman) yang berada di 14 desa memiliki tingkat struktur penggunaan lahan sedang 14,29%, lambat 57,14% dan sangat lambat 28,57%. Berdasarkan uraian di atas, maka penggunaan lahan di KBU berada di zona yang memiliki tingkat transpormasi guna lahan sedang sampai sangat cepat. Dalam kondisi tingkat transformasi tersebut, maka transformasi struktur penggunaan lahan KBU akan terjadi, baik dalam waktu cepat maupun lambat. Menurut Sadyohutomo (2008), terjadinya transformasi penggunaan lahan di kawasan lindung tersebut

148 124 disebabkan oleh belum adanya peraturan yang tegas mengenai pengavelingan (subdivision) yang dilakukan oleh perorangan. Akibatnya, perubahan penggunaan tanah menjadi tidak terkendali dan cenderung menimbulkan tata lingkungan yang tidak teratur, serta terjadinya fragmentasi lahan pertanian oleh permukiman yang dibangun oleh masyarakat secara mandiri. B. Nilai Jasa Lingkungan di Kawasan Bandung Utara Sebagai acuan kelayakan pemberian insentif baik model PDR dan PES adalah nilai manfaat hidrologis. Dengan proporsi KBU sebesar 72,44% ditetapkan sebagai kawasan lindung dan sisanya sebesar 17,56% sebagai kawasan budidaya, maka fungsi utama KBU adalah melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Salah satu fungsinya adalah untuk pengaturan tata air (hidrologis) bagi kawasan bawahannya yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat, menjaga kesehatan DAS Citarum, penyedia air bagi kebutuhan rumah tangga dan penyedia jasa wisata. Dengan telah munculnya pusat-pusat pertumbuhan di KBU, maka tekanan terhadap fungsi utama kawasan semakin besar, terutama terjadi perubahan penggunaan lahan yang didorong oleh perbedaan nilai lahan pertanian dengan nilai harapan tanahnya. Persoalannya adalah bahwa sebagian lahan di KBU adalah lahan milik. Dipihak lain harga komoditas pertanian yang dihasilkan lahan tidak mencerminkan nilai lingkungan. Oleh karena itu dalam mengatasi persoalan tersebut diperlukan mekanisme ekonomi untuk mendorong pemilik dan pengguna lahan melakukan upaya sesuai dengan arahan penggunaan lahan di kawasan lindung. Penilaian jasa lingkungan yang telah disumbangkan pemilik dan pengguna lahan merupakan dasar pemberian besaran dan lokasi pemberian insentif. Jasa lingkungan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah manfaat hidrologis. Dari hasil survei di lapangan terhadap 128 responden, cara memperoleh air hampir seimbang yakni dari mata air/sungai langsung (27,34%), sumur tanpa pompa (21,88%), sumur dengan pompa (25%) dan PAM/ledeng (25,78%). Ada kecenderungan bahwa cara memperoleh air dipengaruhi oleh zona guna lahan,

149 125 dimana zona lahan rural area memperoleh air dengan cara langsung dari mata air/ sungai baik dengan cara mendatangi langsung atau disalurkan melalui selang, zona pertengahan menggunakan sumur tanpa pompa maupun dipompa serta di urban area menggunakan PAM/ledeng. Berdasarkan hasil analisis regresi dengan metode stepwise diketahui bahwa variabel yang mempengaruhi besarnya konsumsi air adalah biaya pengadaan air (x 1 ), jumlah anggota keluarga (x 3 ) dan zona guna lahan (x 5 ), sedangkan variabel jumlah pendapatan (x 2 ), cara memperoleh air (x 4 ) dan hirarki kota (x 6 ) tidak berpengaruh secara nyata. Model regresi yang dihasilkan adalah y = 26,590 0,018 x ,082x ,476 x 5 dengan r 2 sebesar 75,5% dan p value sebesar Hasil analisis regresi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan model regresi ini, biaya pengadaan air, jumlah anggota keluarga dan zona guna lahan secara siginifikan menentukan besarnya penggunaan air dan kebutuhan air untuk rumah tangga. Dengan model regresi seperti tersebut, maka dengan rerata jumlah keluarga (x 3 ) sebanyak 4,8 orang dan zona guna lahan (x 5 ) sebesar 3,3, maka model regresi di atas menjadi y = 321,0544 0,018 x 1. Dengan asumsi bahwa air untuk rumah tangga di KBU masih melimpah sehingga sumberdaya air memiliki karakteristik nonrivalrous yang mana tingkat konsumsi air minum seseorang tidak mempengaruhi kesempatan orang lain untuk mengkonsumsi air minum, maka dengan jumlah rumah tangga penduduk di KBU sebanyak 412,681 KK memiliki nilai surplus konsumen manfaat air untuk rumah tangga di KBU sebesar Rp per tahun. Dengan dengan luas areal KBU seluas ,35 ha, maka jasa lingkungan yang diberikan oleh KBU sebagai kawasan lindung adalah sebesar Rp per ha per tahun (Tabel 36). Untuk mengetahui kehilangan manfaat hidrologis ke depan dilakukan discounting. Tingkat suku bunga yang dipakai adalah suku bunga riil yakni selisih rerata BI rate dengan re-rata inflasi setiap bulan selama tahun Adapun re-rata BI rate dan inflasi mulai dari Januari sampai Desember 2009 yang diumumkan Bank Indonesia masing-masing adalah 7,15% dan 4,90%, sehingga bunga riilnya adalah 2,50%. Waktu yang ditetapkan adalah selama 20 tahun, yakni analog lamanya masa

150 126 pakai bangunan. Dengan demikian nilai jasa hidrologi bagi RT saat sekarang (NPV Jasa hidrologi) maksimal adalah sebesar Rp per ha. Nilai jasa hidrologi ini dijadikan dasar kelayakan pemberian insentif baik melalui PDR maupun PES. Komponen Tabel 36. Nilai Surplus konsumen dan nilai jasa hidrologis KBU Nilai sampel (Rp/KK/th) Populasi KK Nilai Total (Rp/th) Luas KBU (ha) Nilai Jasa Hidrologi per ha (Rp/ha/th) (1) (2) (3) (4) (5) (6) Kesediaan berkorban , , , Nilai yang , , , dikorbankan Surplus , , , Konsumen Keterangan: (4) = (2) x (3) (6) = (4//(5) Karena setiap guna lahan memiliki fungsi hidrologi yang berbeda, maka nilai jasa setiap guna lahan akan berbeda tergantung dari masukan air dari air hujan di guna lahan tersebut. Dengan asumsi besarnya koefisien infiltrasi sama dengan (1 C), dimana (C) adalah re-rata koefisein larian air hujan, maka berdasarkan data dari Asdak (2007) yang mengutip data dari Horn dan Schwab (1965), dan U.S Forest Service (1980), digunakan besarnya re-rata nilai koefisien larian setiap penutupan lahan (guna lahan) yakni lahan hutan lebat (0,05), hutan sejenis (0,10), ladang (0,25), tanaman sayuran (0,38) dan lahan permukiman (0,8). Berdasarkan nilai koefisien larian tersebut dapat ditentukan bobot infiltrasi yang akan digunakan untuk menghitung jasa masing-masing guna lahan dalam menghasilkan manfaat air bagi RT, dengan hasil seperti terlihat pada Tabel 37 dan Gambar 22. Berdasarkan data pada tabel tersebut, NPV jasa hidrologi yang disediakan lahan di KBU untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga di dalam dan daerah bawahannya sebesar Rp , untuk waktu yang tidak terhingga. Mengingat besarnya manfaat hidrologi di KBU, maka hilangnya daerah resapan di KBU, akan menimbulkan kerugian yang cukup besar. Untuk itu, maka perlu dilakukan upaya pencegahan supaya tidak terjadi perubahan guna lahan menjadi

151 127 lahan permukiman, yang akan mengurangi potensi manfaat hidrologi dari lahan di KBU bagi kebutuhan air rumah tangga. Penggunaan Lahan Tabel 37. NPV jasa hidrologis setiap guna lahan di KBU Luas (ha) Koef larian (C) Koef masukan (1-C) Bobot NPV Jasa Hidrologi per ha (Rp/ha) Nilai jasa hidrologi Tiap Penggunaan Lahan (Rp) Hutan PPA 2561,25 0,05 0,95 15,40% Hutan Lindung 7244,32 0,05 0,95 15,40% Hutan Produksi 1814,20 0,10 0,90 14,59% Tetap Hutan Produksi 3838,90 0,10 0,90 14,59% Terbatas Perkebunan 2164,00 0,10 0,90 14,59% Tegalan dan Kebun 9605,20 0,25 0,75 12,16% Campuran Pertanian non 3487,20 0,38 0,62 10,05% tanaman keras (sayuran) Perumahan dan 7833,28 0,80 0,20 3,24% Daerah Terbangun Lainnya Jumlah 38548,3 5 6,17 100,00% Pertanian non tanaman keras 8% Tegalan dan Kebun Campuran 26% Perkebunan 7% Hutan PPA 9% Hutan Produksi Terbatas 13% Perumahan dan Daerah Terbangun Lainnya 6% Hutan Lindung 25% Hutan Produksi Tetap 6% Gambar 22. Proporsi Jasa Hidrologis Dari Setiap Guna Lahan di KBU

152 128 C. Nilai Lahan Milik di KBU 1. Nilai Lahan Berdasarkan NJOP Mengacu pada UU No. 12 Tahun 1985 dan perubahannya UU No. 12 Tahun 1994, dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (sales value = NJOP), yaitu harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti. NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu (seperti DKI Jakarta) ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya. Berdasarkan ketentuan di atas, maka nilai pajak bumi dan bangunan dapat digunakan untuk menentukan nilai jual tanah, sebagai bentuk nilai guna lahan berdasarkan kelompok atau klasifikasi kelas dan bangunan. Nilai pajak bumi dan bangunan memberikan gambaran pula tentang kebijakan terkait dengan intervensi pemerintah ke dalam pasar tanah. Dengan penetapan PBB ini dapat digunakan sebagai dasar pengendalian penggunaan tanah sesuai dengan penerapan insentif dan disinsentif dalam zoning lahan. Diferensiasi penggunaan lahan yang diuraikan terdahulu telah mempertimbangkan keberadaan jalur transportasi, titik pertumbuhan (growing points), peraturan zoning, sehingga gambaran nilai guna lahan di setiap kategori guna lahan tersebut dapat dilihat dari kelas PBB. Berdasarkan hasil pencatatan di beberapa sub zona di KBU digambarkan NJOP terendah dan tertinggi di desa yang dilayani setip pusat pertumbuhan (kota) dapat dilihat pada Tabel 38. Berdasarkan data pada Tabel 38, hirarki kota orde II, orde-iii dan orde- IV merupakan orde dalam pengaruh orde-i Kota Bandung, memiliki NJOP pada setiap kelasnya berbeda. Untuk pusat pertumbuhan Cikalong Wetan (orde-iv) yang memiliki lokasi terjauh dari built-up area kota Bandung (28 km) yang dihubungkan arteri primer dan jalan negara di pusat kotanya memiliki nilai NJOP sebesar Rp per m 2, namun daerah hinterlandnya menunjukkan kelas tanah yang masuk kelas lahan desa, dengan nilai lahan terendah Rp10 000/m 2 dan nilai tertinggi Rp20 000/m 2. Sementara itu dalam hirarki kota yang sama (Orde-IV) yakni Kecamatan Cimenyan memiliki nilai lahan di pusat kota Rp /m 2

153 129 dengan daerah hinterlandnya memiliki nilai terendah Rp10 000/m 2 dan nilai tertinggi Rp /m 2. Kondisi ini lebih dipengaruhi oleh jarak dari built-up area Kota Bandung, dimana Kota Cimenyan hanya berkisar 4,5 km. Selain itu di Cimenyan telah tumbuh menjadi daerah perumahan sebanyak 68 izin, dan resort pariwisata sebanyak 323 izin, sedangkan di Cikalong Wetan hanya dipengaruhi oleh kedudukannya sebagai pusat pasar lokal dan adanya 200 izin perumahan Untuk orde III, menunjukan nilai lahan yang ekstrim yakni sebesar Rp per m 2 untuk pusat Kota Parongpong, sementara untuk kota Cisarua dan Ngamprah dengan nilai Rp /m 2 dan Rp /m 2. Tingginya nilai tanah di Parongpong, lebih disebabkan oleh banyaknya daerah terbangun yakni perumahan (476 izin), resort pariwisata (1 izin), villa real estate (128 izin), dan bangunan gedung (23 izin), serta kedekatannya dengan built-up area kota Bandung. Sedangkan di Cisarua hanya terdapat 21 izin bangunan gedung serta sebagai pusat pelayanan kota kecamatan dan pasar lokal, dan di Kota Ngamprah sebanyak 1511 izin. Namun demikian dari ketiga pusat pertumbuhan tersebut, masih memiliki daerah hinterland-nya nilai tanah kelas desa yakni Rp10 000/m 2, sedangkan nilai lahan hinterland tertinggi berada di Parongpong sebesar Rp /m 2, kemudian Cisarua Rp82 000/m 2 dan Ngamprah Rp48 000/m Nilai Lahan Berdasarkan Harga Jual Setempat Berdasarkan hasil wawancara terhadap 38 responden, guna lahan tempat bekerja penduduk dalam kegiatan pertanian di KBU adalah guna lahan sawah, kebun sayuran, tegalan, pekarangan, serta kawasan hutan perhutani. Untuk mengetahui curva sewa lahan pertanian, maka guna lahan pekarangan dan guna lahan hutan tidak dimasukkan pada kategori guna lahan pertanian. tetapi masingmasing dimasukkan dalam guna lahan permukiman dan guna lahan hutan. Sedangkan lahan permukiman dimaksud adalah lahan yang telah siap dibangun atau sudah berdiri bangunan di atasnya.

154 130 Nama Kota/ Kec Tabel 38. NJOP Beberapa Pusat Pertumbuhan dan Daerah Hinterland-nya di KBU Hirarki Kota Jarak dari built up- area Kota Bandung (km) Fungsi Jalan utama NJOP Pusat Kota (Rp/m 2 ) Kelas Pajak Bumi Daerah Hinterland Terendah NJOP (Rp/m 2 ) Tertinggi NJOP (Rp/m 2 ) Cikalong Wetan Orde-IV 28 AP A A Cisarua Orde-III 7,2 AT A A Parongpong Orde-III 5,8 AT A A Ngamprah Orde-III 6,7 AT A A Cimahi Utara Orde-II 8,7 AT A A Lembang Orde-II 8,6 AP A A Cimenyan Orde-IV 4,5 AT A A

155 131 Berdasarkan analisis regresi dengan metode stepwise diketahui bahwa variabel yang mempengaruhi nilai tanah pertanian adalah kategori zona dimana lokasi tanah berada (x 1 ), sementara itu variabel hirarki kota (x 2 ) tidak berpengaruh nyata. Model regresi linier yang dihasilkan adalah y = , ,494x 1 dengan r 2 sebesar 81,3% dan p value sebesar Sedangkan variabel yang mempengaruhi nilai tanah untuk permukiman adalah kategor zona dimana lokasi tanah berada (x 1 ), sementara itu variabel hirarki kota (x 2 ), jarak dari jalan (x 3 ), jarak dari sungai (x 4 ), jarak dari mata air (x 5 ), jarak dari hutan (x 6 ) dan topografi (x 7 ) tidak berpengaruh nyata. Model regresi yang dihasilkan adalah y = , ,089x 1 dengan r 2 sebesar 78,7% dan p value sebesar Adapun sebaran nilai jual setempat hasil regresi dapat dilihat pada Tabel 39 dan Gambar 23. Tabel 39. Nilai Tanah Berdasarkan Nilai Jual Setempat di KBU Zona Lahan % Lahan Rural Harga Jual Lahan Harga Jual Lahan Permukiman (Rp/m 2 ) Pertanian (Rp/m 2 ) Urban area Urban fringe Urral fringe Rural fringe Rural Area Nilai Lahan (Rp/m2) Persen Guna Lahan Rural (%) Harga Jual Lahan Permukiman Harga Jual Lahan Pertanian Gambar 23. Curva Bid-Rent Nilai Tanah Berdasarkan Harga Jual Tanah di KBU Sementara itu Sutawijaya (2004) berdasarkan hasil penelitian di Kota Semarang menyimpulkan bahwa faktor kepadatan penduduk, jarak ke pusat kota, lebar jalan, kondisi jalan, ketersediaan sarana transportasi angkutan umum bus/

156 132 angkot, dan yang terakhir adalah faktor lingkungan yang bebas banjir sangat berpengaruh terhadap nilai tanah untuk permukiman. 2. Berdasarkan Nilai Harapan Tanah Pertanian Nilai harapan tanah didasarkan pada nilai saat sekarang (NPV) produktivitas tanah pertanian dihitung berdasarkan profit dari budi daya tanaman pertanian. Tingkat suku bunga yang dipakai adalah suku bunga riil yakni selisih re-rata BI rate dengan re-rata inflasi setiap bulan selama tahun Adapun rerata BI rate dan inflasi mulai dari Januari sampai Desember 2009 yang diumumkan Bank Indonesia masing-masing adalah 7,15% dan 4,90%, sehingga bunga riilnya adalah 2,5%. Waktu yang ditetapkan adalah selama 20 tahun, yakni analog lamanya masa pakai bangunan. Besarnya bunga riil dan waktu tersebut sebagai dasar perhitungan NHT dengan menghitung NPV yang akan dijadikan patokan menilai besarnya insentif atau disinsentif dalam menahan perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan permukiman. Sebagai gambaran luas tanam dan rata-rata produksi pertanian dan ladang di di Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi dalam KBU dapat dilihat pada Tabel 40. Tabel 40. Luas Tanam dan Re-rata Produksi Pertanian dan Ladang/Kebun di Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi dalam KBU Pertanian Ladang/Tegalan No Kecamatan Re-rata Re-rata Luas tanam Produksi Luas tanam (ha) Produksi (ha) (kwintal/ha) (kwintal/ha) I Kab.Bandung*) , , , , Ngamprah 1.134, , , , Cimenyan 448, , , , Cikalong Wetan 3.842, , , , Lembang 336, , , , Cisarua 1.175, , , , Parongpong 237,0000 8, , , Cileunyi 1.448, , , , Cilengkrang 644, , , ,0000 II Kota Cimahi 212, , , , Cimahi Utara 104, , , , Cimahi Tengah 79, , , ,1400 *) Sebelum pecah mennjadi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat Sumber: Hasil Pengolahan Kabupaten Bandung Dalam Angka 2002; Hasil Pengolahan Kota Cimahi Dalam Angka 2002 (Dinas Tata Ruang dan Permukiman Jawa Barat, 2004)

157 133 Berdasarkan hasil analisis regresi menggunakan metode stepwise diketahui bahwa variabel yang mempengaruhi nilai harapan tanah pertanian adalah kategori zona dimana lokasi tanah berada (x 1 ), sementara itu variabel hirarki kota (x 2 ) tidak berpengaruh nyata, dengan model regresi y = 84411, ,166x 1 dengan r 2 sebesar 31,3% dan p value sebesar Meskipun nilai itersepsi nya kecil, berdasarkan model regresi ini bisa dijelaskan bahwa semakin zona nya ke tingkat kekotaan (urban) maka semakin besar nilai harapan tanah pertanian dan semakin ke tingkat kedesaan (rural) semakin kecil nilai harapan tanahnya. Adapun NHT lahan pertanian yang ada di zona kekotaan sebesar Rp per m 2 kemudian menurun sampai di zona kedesaan sebesar Rp per m 2. Kondisi ini dapat dibaca bahwa semakin dekat lahan pertanian ke kota, dengan lahan garapannya yang semakin sempit dan banyak alternatif penggunaan lahannya, maka petani semakin rasional dengan menanam tanaman atau komoditas yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Sedangkan di daerah kedesaan, dimana kepemilikan lahan masih luas, para petani belum terdorong untuk menanam tanaman yang bernilai lebih tinggi tetapi hanya menanam atau membudidayakan komoditas yang sudah biasa mereka lakukan. Dengan kelerengan kurva yang agak datar, berarti nilai produktivitas lahan pertanian antara lahan pertanian di kota dan di desa tidak jauh berbeda. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 41 dan Gambar 24. Tabel 41. Nilai Tanah Pertanian Berdasarkan NHT di KBU Zona Guna Persen Lahan Lahan Rural (%) NHT (Rp/m 2 ) Urban Area Urban Fringe Urral Fringe Rural Fringe Rural Area

158 134 Nilai Lahan (Rp/m2) Persen Guna Lahan Rural (%) Gambar 24. Curva Nilai Harapan Tanah Pertanian di KBU 2. Nilai Bangunan Perumahan Konversi lahan untuk tujuan pemukiman dan prasarana sosial ekonomi khususnya di wilayah urban tidak dapat dihindari baik di Jawa maupun di Luar Jawa (Rusastra et al., 1997). Bahkan di luar Jawa kecenderungannya meningkat. Menurut Rusastra dan Budhi (1997) di Banjarmasin banyak terjadi koversi lahan sawah di daerah urban dan semi-urban akibat perluasan pemukiman. Selanjutnya dikatakan Irawan et al (2000), keadaan ini dapat memicu konversi lebih luas lagi. Karena pembangunan pemukiman tersebut akan diikuti oleh pembangunan prasarana ekonomi. Dari sisi pertanian hal tersebut akan mengganggu ekosistem sawah berupa gangguan hama, kurangnya penyinaran, dan gangguan tata air. Artinya konversi lahan sifatnya cenderung akseleratif. Untuk mengetahui besarnya pertambahan nilai lahan menjadi bangunan, akan dihitung nilai rumah per satuan luas di setiap zona guna lahan. Berdasarkan hasil analisis regresi dengan metode stepwise diketahui bahwa variabel yang mempengaruhi nilai bangunan adalah kategori zona dimana lokasi rumah berada (x 1 ), sementara itu variabel hirarki kota (x 2 ), bentuk rumah (x 3 ), tipe rumah (x 4 ), jarak dari jalan (x 3 ), dan topografi (x 6 ) tidak berpengaruh nyata. Model regresi yang dihasilkan adalah Y = , ,640x 1 dengan r 2 sebesar 94,0% dan p value sebesar Berdasarkan model regresi ini dapat dijelaskan bahwa semakin zona nya mengarah ke tingkat kekotaan (urban area) maka nilai bangunan rumah semakin besar atau dengan kata lain bahwa semakin dekat jarak

159 135 lokasi rumah terhadap built-up area (pusat pertumbuhan), maka semakin besar nilai bangunan rumahnya. Guna lahan sawah di KBU yang umumnya sempit dan mulai terfragmentasi oleh rumah yang dibangun oleh masyarakat, sehingga areal garapan lahan sawah ± m 2 (0,1294 ha) Guna lahan kebun sayuran di lahan kering yang umumnya juga sempit dan mulai terfragmentasi oleh rumah penduduk, sehingga areal garapan kebun sayur rata-rata m 2 (0,3932 ha) Guna lahan tegalan dikelola kurang intensif dibandingkan usaha tanaman lainnya, tanpa pemeliharaan, umumnya dikombinasikan antara pohon, pisang dan rumput gajah. Selain itu, tegalan ini tempat mengambil rumput liar dan kayu bakar Rumput gajah ini umumnya di tanam secara tersendiri di tegalan atau dibawah tegakan pohon. Gambar 25. Komoditas pertanian pada berbagai guna lahan di KBU Tabel 42. Nilai Bangunan Rumah di KBU Berdasarkan Zona Guna Lahan Zona Guna Lahan Persen Lahan Rural (%) Nilai bangunan (Rp/m 2 ) Urban Area Urban Fringe Urral Fringe Rural Fringe Rural Area

160 136 Nilai Bangunan (Rp/m2) Persentase Lahan Rural (%) Nilai bangunan Gambar 26. Curva Bid-Rent Bangunan Rumah di KBU D. Nilai Lahan Hutan di KBU Berdasarkan Peta Fungsi Kawasan Hutan Bandung Utara Perum Perhutan Unit III Jawa Barat dan Banten, kawasan hutan di KBU yang dikelola Perum Perhutani seluas 12788,41 ha terbagi ke dalam hutan lindung seluas 9858,82 ha, hutan produksi terbatas seluas 2,32 ha, hutan produksi tetap seluas 101,09 ha dan hutan konservasi seluas 2802,18 ha. Secara lebih rinci sebaran jenis dan luas kawasan hutan di KBU yang dikelola Perum Perhutani dapat dilihat pada tabel berikut. No. Jenis Hutan Tabel 43. Luas Kawasan Hutan di KBU Berfungsi Hidrologis/ Konservasi (ha) Fungsi Hutan Tidak Berfungsi Hidrologis/Konservasi (ha) Jumlah (ha) 1. Hutan Lindung 9305,22 553, ,82 2. Hutan Produksi 26,32-26,32 Terbatas (HPTb) 3. Hutan Produksi 101,09-101,09 Tetap (HPTt) 4. Hutan Konservasi 2802, ,18 Jumlah 12234,81 553, ,41 Sumber: Peta Fungsi Hutan Kawasan Bandung Utara, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

161 137 Nilai lahan hutan dihitung berdasarkan atas nilai harapan tanah hutan produksi. Karena hutan produksi di KBU didominasi oleh jenis hutan pinus yang menghasilkan kayu dan getah dengan penanamannya melalui sistem tumpangsari, maka nilai harapan tanah hutan dihitung menggunakan tegakan pinus. 1. Produksi Getah Pinus Sebagai lokasi sampel dalam melakukan perhitungan perhitungan produksi getah pinus di hutan produksi adalah di Bagian Hutan Gunung Sanggarah BKPH Lembang di lokasi Lembang dan Cikole, atas dasar rencana sadapan tahun 2006 berdasarkan Surat Keputusan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten Nomor: 345/Kpts/CAN/III/2005, tanggal 1 Agustus 2006 dengan rincian seperti pada Tabel 44. Tabel 44. Rencana Produksi Getah Pinus Setiap Daur Per ha Hutan Produksi di KBU Berdasarkan Rencana Sadapan Tahun 2006 Bagian Hutan/ BKPH Anak Petak Fungsi Hutan KU Rencana sadapan tahun 2006 Taksiran Produksi Luas Jm Per (ha) Pohon Pohon Per ha Total Gn. Sanggarah BKPH Padalarang -Cikalong Wetan 96b HP KU III 17, , d2 HP KU VI 4, , i HP KU III 20, , c HP KU IV , jml HP 63, Gn Keramat Cisalak Gn Karamat 9c HP KU IV 9, , HP KU VI , jml HP - 12, Total Sumber: Surat Keputusan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten Nomor: 345/Kpts/CAN/III/2005, tanggal 1 Agustus 2006 Berdasarkan data pada Tabel 44, produksi getah per pohon ditaksir berbeda. Dari data yang ada menunjukkan pula bahwa pohon pinus di hutan produksi di daerah tersebut disadap pertama kali pada kelas umur III atau umur 15 tahun, serta kelas umur tertinggi disadap pada KU VII atau umur pinus 35 tahun. Atas dasar data tersebut dan dengan menggunakan interpolasi, maka diperoleh

162 138 gambaran produksi getah tiap daur 15, 20, 25, 30, dan 35, di hutan produksi di KBU seperti pada Tabel 45 dan Gambar 27. Tabel 45 Re-rata Produksi Getah Setiap Daur Per ha di Hutan Produksi KBU Berdasarkan Rencana Sadapan Tahun 2006 Produksi Getah (kg) dalam setahun Umur Daur (tahun) tahun 15th 20th 25th 30th 35th , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,60 69,60 69,60 69, , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,24 381, ,24 408, ,20 421, ,92 457, ,48 492, ,20 617, , , , , , ,40 Total 3028, , , , ,79 Berdasarkan taksiran re-rata produksi getah pinus tersebut, pertambahan produktivitas tertinggi berada pada kisaran umur 20 tahun sampai 25 tahun tahun yaknis sebesar 9148 kg per ha. Dengan menggunakan prinsip hasil maksimum (maximum sustained yield), maka daur produksi terpilih adalah daur 25 tahun, karena pertambahan produksi getah tertinggi pada umur 25 tahun dan setelah umur 25 tahun pertambahan produksi getah terus menurun. Dengan dilakukan pelarangan penebangan hutan di KBU, maka dari aspek tujuan pengusahaan getah setelah 25 tahun tidak bisa dipertanggungjawabkan karena ada produksi getah yang diproduksi dengan biaya yang lebih besar daripada manfaatnya. Dengan kata lain, ada inefisiensi yang harus ditanggung oleh publik.

163 139 Produksi Getah Pinus (kg) Setiap Daur di Hutan Produksi Produksi (kg) Daur (tahun) Gambar 27. Taksiran Produksi Getah pada setiap daur di Hutan Produksi KBU 2. Produksi Kayu Pinus Dengan melihat sebaran jumlah kayu di masing-masing kelas umur pada data pada Tabel 24 di atas, kegiatan penjarangan di hutan produksi KBU dilakukan secara tidak rutin yang disebabkan adanya larangan dilakukan penebangan pohon di KBU. Untuk melihat nilai harapan tanah dari produksi kayu, maka jumlah kayu dihitung dari jumlah pohon yang ada, dengan asumsi bahwa pengurangan jumlah pohon merupakan proses produksi. Berdasarkan hal tersebut maka jumlah produksi kayu pinus di hutan produksi KBU seperti terlihat pada Tabel 46 dan Gambar 28. Berdasarkan taksiran produksi kayu pada tabel dan gambar tersebut, pertambahan volume kayu tertinggi berada di kisaran umur 15 tahun sampai 20 tahun tahun sebesar 76 m 3 per ha. Dengan menggunakan prinsip hasil maksimum (maximum sustained yield), maka daur produksi kayu terpilih adalah daur 20 tahun, karena pada umur tersebut pertambahan volume kayu tertinggi dan setelah

164 140 umur 20 tahun pertambahan volume kayu terus menurun. Dengan dilakukan pelarangan penebangan di hutan KBU, seperti halnya produksi getah, maka dari aspek tujuan pengusahaan kayu setelah 20 tahun tidak bisa dipertanggung jawabkan karena ada produksi kayu yang diproduksi dengan biaya yang lebih besar daripada manfaatnya. Dengan kata lain, ada inefisiensi yang harus ditanggung oleh publik. Tabel 46. Re-rata Produksi Kayu Setiap Daur Per ha di Hutan Produksi KBU No Umur (tahun) Produksi Kayu (m 3 /ha) Daur (tahun) 15th 20th 25th 30th 35th ,396 78,396 78,396 78,396 78, ,612 1,572 1,572 1,572 1, ,06 138, , , ,296 16,002 16, , ,78 Jumlah 190, , ,48 315, ,966

165 141 Produksi Kayu Pinus Di Hutan Produksi Volume kayu (m3) Daur Produksi (tahun) Gambar 28. Taksiran Produksi Kayu Pinus pada setiap daur di Hutan Produksi KBU 3. Nilai Harapan Tanah (NHT) Lahan Hutan Penggunaan prinsip hasil maksimum lestari (maximum sustained yield) di atas dari produksi getah pinus dan kayu pinus sulit diterapkan sebagai dasar pemberian insentif bagi penanam pohon, karena tegakan maksimum re-rata tidak identik dengan maksimum net benefit. Sementara penggunaan lahan milik akan memaksimalkan net benefit dari tanahnya. Untuk itu, maka dalam penentuan besarnya insentif (kompensasi) bagi penanam pohon melalui model PES akan digunakan Nilai Harapan Tanah (NHT) lahan hutan. NHT lahan hutan merupakan pendapatan bersih dari sebidang lahan hutan, yang dihitung secara discounting. Atau dengan kata lain NHT lahan hutan merupakan nilai pendapatan bersih saat sekarang (NPV) dari usaha penanaman kayu. Tingkat suku bunga yang dipakai adalah suku bunga riil yakni re-rata selisih antara BI rate dengan tingkat inflasi selama tahun 2009, yakni 2,5%. Sedangkan komoditas yang diproduksi adalah getah dan kayu pinus, dengan daur sampai 35 tahun (KU VII). Dalam menghitung besaran NHT diasumsikan bahwa hutan produksi pinus di KBU adalah hutan normal, dimana hutan pinus di KBU yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten tersebut dibagi dalam petak-

166 142 petak. Hasil perhitungan NHT ini akan menentukan daur optimal dan besarnya NHT. Daur optimal tersebut akan dijadikan dasar dalam pemberian nilai insentif sebagai kompensasi atas tidak efisiennya produksi apabila dilarag ditebang setelah melampaui daur optimalnya. Besarnya nilai insentif dhitung dengan pengurangan nilai NHT daur tersebut dengan nilai NHT optimal. Sebagai dasar penentuan kelayakan pemberian insentif adalah kelebihan manfaat hidrologi atas pemberian insentif. Adapun pendapatan bersih dalam produksi kayu dan getah serta NHT hutan produksi pinus sampai KU VII di KBU dapat dilihat pada Tabel 47 dan Gambar 29 dan Gambar 30. Berdasarkan data pada tabel dan gambar tersebut, NHT tertinggi lahan hutan pinus berada pada daur 21 tahun sebesar Rp kemudian menurun sampai daur 35 tahun menjadi sebesar Rp Hal ini berarti bahwa apabila pengelola hutan tidak diperbolehkan untuk menebang, maka pengelolaan hutan tersebut menjadi tidak efisien karena untuk memproduksi getah dan kayu pinus yang diproduksi dengan biaya yang lebih besar daripada manfaatnya. Sementara itu dengan tidak ditebangnya hutan, publik tetap mendapatkan manfaat hidrologis. Oleh karena itu publik harus memberi kompensasi kepada pengelola sebesar kehilangan keuntungan maksimal yang diperoleh pada daur 21 tahun, dimana tahun pelarangan ditebangnya itu dilakukan.

167 143 Tabel 47. Pendapatan Bersih dan Nilai Harapan Tanah (NHT) Hutan Pinus di Kawasan Hutan Produksi KBU Daur Jenis Biaya Langsung (Rp/ha) Pendapatan Pendapatan bersih NHT (thn) Produk (Rp) (Rp) h (Rp) Eksploitasi Pengolahan Jumlah (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 15 1 Getah Kayu Jml Getah Kayu Jml Getah Kayu Jumlah Getah Kayu Jumlah Getah Kayu Jumlah Getah Kayu Jumlah Getah Kayu Jumlah Getah Kayu Jumlah

168 Tabel 47 (lanjutan) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 23 1 Getah Kayu Jumlah Getah Kayu Jumlah Getah Kayu Jumlah Getah Kayu Jumlah Getah Kayu Jumlah Getah Kayu Jumlah Getah Kayu Jumlah Getah Kayu Jumlah Getah Kayu Jumlah

169 Tabel 41 (lanjutan) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 32 1 Getah Kayu Jumlah Getah Kayu Jumlah Getah Kayu Jumlah Getah Kayu Jumlah

170 146 Pendapatan bersih (Rp) Pendapatan bersih (Rp/ha) Thousands Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Daur Produksi (tahun) Gambar 29. Pendapatan Bersih Produk Kayu dan Getah Pinus di Hutan Produk di KBU

171 147 Nilai Harapan Tanah (Rp/ha) x Daur Produksi Hutan (Tahun) NILAI HARAPAN TANAH Gambar 30. Nilai Harapan Tanah (NHT) Hutan Produksi Pinus di KBU E. Penetapan Harga Insentif PDR dan PES di KBU Perbedaan mendasar antara PDR dan PES adalah terletak pada tujuan penerapannya, dimana PDR digunakan untuk mencegah terjadinya perubahan guna lahan private dan lahan negara dari tujuan konservasi maupun produksi pertanian dan kayu ke perumahan. Sedangkan PES digunakan untuk mendorong perilaku konservatif dari pemilik lahan atau pengguna lahan di lahan private atau lahan negara guna memaksimalkan jasa lingkungan penggunaan lahannya. Berdasarkan distribusi guna lahan di KBU, atas dasar Surat Keputusan Gubernur No /SK.1624-Bapp/1982 tertanggal 3 Nopember 1982 tentang Peruntukan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya bagian Utara, komposisi status lahan di KBU didominasi oleh lahan milik yakni 54%, sedangkan lahan publik adalah 46%. Dipihak lain, berdasarkan kajian oleh Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat (2004) dalam menyesuaikan dengan Perda No.2 Tahun 2003, kawasan konservasi potensial sangat tinggi dan tinggi mencapai 87 % dari luas KBU. Dari kondisi tersebut di atas, maka mekanisme pemberian insentif di lahan milik (private) dengan fungsi kawasan budidaya digunakan metode PDR, sedangkan lahan milik dan publik dengan fungsi kawasan lindung digunakan metode PES. Dalam menghitung nilai lahan baik di tanah pertanian milik maupun tanah hutan digunakan metode Nilai Harapan Tanah (NHT), dan acuan kelayakan penerapan insentif PDR maupun PES adalah manfaat hidrologi.

172 148 Tabel 48. Komposisi Satus Penggunaan Lahan di Kawasan Bandung Utara No Penggunaan Lahan Luas (ha) Persen (%) I Lahan Publik Hutan PPA Hutan Lindung Hutan Produksi Tetap Hutan Produksi Terbatas Perkebunan II Lahan Milik Tegalan dan Kebun Campuran Pertanian non tanaman keras Perumahan dan Daerah Terbangun Lainnya Total Pembelian Hak Membangun (PDR) di Lahan Pertanian Milik Langkah awal dalam penerapan PDR adalah menentukan nilai hak membangun. Menurut Wright and Skaggs (2002), nilai hak membangun adalah perbedaan antara nilai jual lahan pertanian jika penjualannya digunakan untuk membangun dan nilai penggunaan untuk kegiatan pertanian. Nilai penggunaan pertanian dan nilai pembangunan ditentukan melalui proses penilaian tradisional. Nilai hak membangun dapat berkisar dari 10% sampai lebih dari 90% dari harga pasar, tergantung pada tekanan pembangunan. Besarnya nilai PDR merupakan nilai insentif untuk menahan pemilik lahan dalam mengkonversi lahan tempat usahanya (lahan pertanian) menjadi perumahan atau bangunan lainnya atau dijual dan akan dijadikan permukiman baik bersifat perorangan maupun dibangun oleh pengembang. Pencegahan perubahan lahan pertanian selain untuk mempertahankan sumber pangan tetapi juga ditujukan guna mencegah terganggunya fungsi lindung dan konservasi. Dalam penelitian ini fungsi lindung dimaksud adalah manfaat hidrologis. Keuntungan yang diberikan dalam pembelian hak membangun adalah selain tetap terjaganya lahan pertanian sebagai produsen hasil pertanian, juga tetap terjaganya manfaat hidrologis. Dalam penelitian ini, besaran nilai hak membangun, dilakukan dengan menghitung selisih nilai jual lahan pertanian dengan NHT berdasarkan NPV. Tingkat tekanan pembangunan dicerminkan oleh zona penggunaan lahan. Dasar penentuan nilai insentif menggunakan NPV di lahan pertanian telah dilakukan banyak peneliti diantaranya yang dilaporkan Stocking dan Tengberg (1999) yakni

173 149 dengan cara membandingkan NPV atas biaya erosi dalam penerapan sistem penanaman dengan dan tanpa upaya konservasi, yang mana besarnya nilai insentif adalah besarnya selisih NPV atas biaya konservasi. Hal ini untuk melihat biaya erosi sebagai kehilangan hasil, atau keuntungan upaya konservasi sebagai yang disimpan. Adapun besarnya nilai hak membangun (PDR) di setiap zona guna lahan atas dasar nilai jual lahan pertanian dan lahan permukiman seperti terlihat pada Tabel 49 dan Gambar 31. Tabel 49. Nilai PDR Atas Dasar Harga Jual Lahan Pertanian dan Lahan Permukiman Per m 2 di KBU Zona Guna Lahan % Rural Harga Jual Lahan Pertanian (Rp/m 2 ) Harga Jual Lahan Permukiman (Rp/m 2 ) NHT (Rp/m 2 ) Nilai PDR (Rp/m 2 ) Atas Harga Lahan Pertanian Atas Harga Jual Lahan Permukiman Urban Area Urban Area Urban Fringe Urban Fringe Urral Fringe Urral Fringe Urral Fringe Rural Fringe Rural Fringe Rural Area Rural Area (579) Nilai Lahan (Rp/m2) x Persen Guna Lahan Rural (%) Harga Jual Lahan Permukiman Harga Jual Lahan Pertanian NHT Gambar 31. Perbedaan Nilai Lahan Pertanian Atas dasar Harga Jual dan NHT Berdasarkan data pada Tabel 49 dan Gambar 31 tersebut, nilai PDR untuk mencegah terjadinya penjualan lahan pertanian dan dikonversi menjadi lahan

174 150 permukiman semakin berada di zona urban area dibutuhkan PDR yang semakin besar dan kemudian mengecil ke arah zona rural area. Besarnya nilai PDR atas dasar harga jual lahan pertanian di zona urban area sebesar Rp /m 2, kemudian menurun ke zona rural area sampai nilai PDR nol, sedangkan atas harga jual lahan permukiman nilai PDR di zona urban area sebesar Rp /m 2 menurun ke zona rural areal dengan nilai PDR di zona rural area sebesar Rp /m 2. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penjualan lahan pertanian di zona kekotaan, pemilik lahan memiliki perkiraan bahwa lahannya akan digunakan untuk perumahan, perkantoran dan perhotelan atau tempat bisnis lainnya sehingga menjual lahannya dengan harga lebih besar dari NPV komoditas pertanian apabila dikelola secara terus menerus. Kemudian apabila lahan pertanian tersebut dikonversi menjadi lahan permukiman, maka nilai PDR semakin membesar. Kondisi tersebut menurut Nelson dan Duncan (1995) dalam Lovering at al (2001), di lahan pertanian yang ada di zona kota, pemilik lahan mengalami apa yang disebut impermanence syndrome yakni pemilik lahan mulai percaya bahwa di tempat tersebut sangat kecil aktivitas sumberdaya di masa depan. Secara ekonomi alih fungsi lahan yang dilakukan petani baik melalui transaksi penjualan ke pihak lain ataupun melalui penggantian pada usaha non padi merupakan keputusan yang rasional. Sebab dengan keputusan tersebut petani berekspektasi pendapatan totalnya, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti, menunjukkan bahwa penggunaan lahan sawah untuk penanaman padi sangat inferior dibanding penggunaan untuk turisme, perumahan dan industri. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 50. Penelitian Syafa at et al. (2001) pada sentra produksi padi utama di Jawa dan Luar Jawa, menunjukkan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi yang menetukan alih fungsi lahan sawah ke pertanian lain dan non pertanian adalah (1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; dan (2) respon petani terhadap dinamika pasar, lingkungan, dan daya saing usahatani meningkat. Penelitian Sumaryanto dan Pasandaran (1996) di Jawa menunjukkan bahwa alih fungsi lahan sawah ke non pertanian (63%) lebih tinggi dibandingkan ke pertanian non sawah (37%). Dari 63% tersebut, 33% untuk pemukiman, 6%

175 151 untuk industri, 11% untuk prasarana dan 13% untuk lainnya. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kedekatan lokasi sawah dengan pusat ekonomi sangat nyata mempengaruhi laju konversi lahan. Tabel 50. Rasio Land Rent yang Diperoleh dengan Mengusahakan Lahan untuk Sawah dan Penggunaan lain di Jawa, Tahun Perbandingan Penggunaan Lahan Rasio Land Rent Peneliti 1. Sawah : Industri 1 : 500 Iriadi (1990) 2. Sawah : Perumahan 1 : 622 Riyani (1992) 3. Sawah : Pariwisata 1 : 14 Kartika (1990) 4. sawah : Hutan Produksi 1 : 2,6 Lubis (1991) Sumber: Nasoetion dan Winoto, Konversi lahan sawah ke pertanian lain dan ke pemukiman dapat terjadi tanpa melalui transaksi. Namun kasus di Jawa menunjukkan bahwa kasus konversi seperti itu jauh lebih sedikit dibandingkan yang melalui transaksi. Ini menunjukkan bahwa harga lahan sawah sangat mempengaruhi konversi lahan sawah (Sumaryanto et al, 1996). Hal ini sejalan dengan hasil temuan Rusastra et al. (1997) di Kalimantan Selatan, bahwa alasan utama petani melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan dan harga lahan yang tinggi, dan skala usaha yang kurang efisien untuk diusahakan. Pada tahun yang sama penelitian Syafa at et al. (1995) di Jawa menemukan bahwa alasan utama petani melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan, lahannya berada dalam kawasan industri, serta harga lahan. Pajak lahan yang tinggi cenderung mendorong petani untuk melakukan konversi dan rasio pendapatan non pertanian terhadap pendapatan total yang tinggi cenderung menghambat petani untuk melakukan konversi. Sementara menurut Witjaksono (1996) ada lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Sebagai ukuran efektivitas penerapan PDR adalah kelebihan surplus manfaat hidrologis atas PDR nya. Berdasarkan data pada Tabel 49, nilai NPV jasa hidrologi bagi RT adalah sebesar Rp per ha (lihat sub bab Nilai Jasa Lingkungan di KBU), maka tingkat efektivitas penggunaan PDR di setiap zona guna lahan dapat dilihat pada Tabel 51. Dari data pada Tabel 51, penerapan PDR di KBU hanya efektif jika diterapkan di zona rural area dan rural fringe. Dari seluas 7452 ha lahan pertanian di zona rural fringe memerlukan PDR sebesar Rp dengan perolehan surplus manfaat hidrologis sebesar Rp , secara efektif

176 152 mendapatkan kelebihan surplus manfaat hidrologis atas PDR yang dikeluarkan sebesar Rp Kemudian dari ha lahan pertanian di zona rural area memerlukan PDR sebesar Rp , dengan perolehan surplus manfaat hidrologis sebesar Rp , akan efektif mendapatkan kelebihan surplus manfaat hidrologis sebesar Rp Sementara penerapan PDR dan PES di zona urban area, urban fringe dan urral fringe menunjukkan sudah tidak efektif. Tabel 51. Efektivitas PDR di Setiap Zona Guna Lahan di KBU Zona Guna Luas Total Manfaat Efektivitas PDR Total PDR (Rp) Lahan (ha) Hodrologis (Rp) (Rp) urban area ( ) urban fringe ( ) urral fringe ( ) rural fringe rural area Total Keterangan: *) luas x Rp Kondisi tidak efektifnya penerapan PDR dan PES di zona urban area, urban fringe dan urral fringe disebabkan dua hal yakni terjadinya penilaian berlebihan (overvaluation) atas harga lahan dan masih rendahnya persepsi masyarakat atas manfaat hidrologi. Terjadinya overvaluation atas harga lahan di KBU yang jauh melampaui NHT nya, akan menyulitkan implementasi PDR. Menurut Nelson dan Duncan (1995), dalam kondisi overvaluation ini memerlukan kebijakan pemerintah pusat dan lokal melalui konsesi pajak dan utilisasi. Dalam kaitannya dengan menahan konversi lahan, maka diperlukan pengenaan pajak dan pembebanan disinsentif atas pembangunan perumahan di lahan pertanian atau lahan konservasi untuk menutupi kehilangan manfaat hidrologi akibat didirikan bangunan di atas lahan tersebut. Rendahnya persepsi masyarakat diindikasikan oleh rendahnya kesediaan membayar rumah tangga terhadap manfaat horologi yang diperolehnya. Dengan nilai manfaat sebesar Rp per ha, atau untuk setiap KK per tahun hanya menghargai Rp dengan korbanan sebesar Rp , maka setiap hari setiap KK hanya menghargai air sebesar Rp7 646 (re-rata anggota KK 4,8 orang) atau Rp1 593 per orang, dengan hanya mau berkorban setiap hari sebesar Rp2 098 per KK atau Rp437 per orang. Padahal penggunaannya digunakan untuk

177 153 kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat yakni untuk air minum, masak, dan MCK. Selain rendahnya persepsi atas manfaat hidrologi, persepsi masyarakat juga rendah terhadap hasil pertanian, yang sepenuhnya menyerahkan harga hasil pertanian pada mekanisme pasar, sehingga pada saat panen raya harga jual hasil pertanian berupa sayur-sayuran dan padi menjadi jatuh, akibatnya petani terdorong menjual lahan tempat bekerjanya dan lahan tersebut umumnya dikonversi menjadi permukiman atau guna lahan lain. Rendahnya persepsi tersebut mencerminkan publik belum memiliki kesadaran terhadap kemungkinan kehilangan sumberdaya air dan sumber makanan dan buah-buahan, sehingga menilai harga air dan makanan sangat rendah. Rendahnya kesadaran publik tersebut, penyebab utama kesulitan implementasi PDR ke depan. Menurut Rielly (2000) berdasarkan pengalaman penggunaan PDR di Suffolk County AS, program PDR telah berkontribusi terhadap keberlanjutan pertanian melalui peningkatan daya tahan petani terhadap the impermanence syndrome, melalui peningkatan jumlah lahan yang dapat dilindungi, sehingga lahan terfragmentasi dapat dikurangi. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa PDR telah mengubah cara pandang petani terkait dengan pembangunan, khususnya dalam menahan gangguan atas meningkatnya pembangunan permukiman di sekitar lahannya. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, penerapan PDR di KBU hanya efektif di lahan pertanian dan kawasan lindung di wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung dengan surplus manfaat hidrologis masing-masing sebesar Rp dan Rp Sedangkan untuk Kota Cimahi dan Kota Bandung penerapan PDR sudah tidak efektif lagi dalam mencegah perubahan guna lahan pertanian dan kawasan lindung menjadi lahan permukiman (lihat Tabel 52). Efektifnya penerapan PDR di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung disebabkan penggunaan lahan di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung masih didominasi oleh zona rural, sehingga nilai jual lahan pertanian tidak berbeda jauh dari NHTp nya, atau dengan kata lain perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung yang masuk wilayah KBU relatif lebih kecil dibanding Kota

178 154 Bandung dan Kota Cimahi yang masuk KBU, sehingga fungsi hidrologisnya masih cukup tinggi. Tabel 52. Efektivitas Penerapan PDR di Setiap Kabupaten/Kota di KBU Kabupaten/Kota Luas Zona (ha) Total Insentif (Rp) Total Manfaat Hidrologis (Rp) Efektivitas PDR (Rp) Kab. Bandung Barat Kab. Bandung Kota Cimahi Kota Bandung Total Keuntungan penerapan program PDR yang lain adalah PDR menunjang keberadaan lahan pertanian secara permanen atas peningkatan pembangunan dan dengan dipertahankannya lahan pertanian maka dapat menyelamatkan ketahanan pangan, nilai habitat hidupan liar, serta nilai hidrologis (Rielly, 2000). Dalam mendukung kepermanenan lahan pertanian tersebut, maka dalam pendanaan PDR perlu didorong terjadinya cost-benefit sharing antar pemerintah yang ada di kabupaten/kota di KBU. Mengingat bahwa penduduk di wilayah Kota Cimahi dan Kota Bandung menerima surplus manfaat hidrologi dari Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung di KBU, maka perlu dilakukan cost sharing dengan membantu pemberian insentif melalui pembelian hak membangun lahan pertanian yakni Kota Bandung atas PDR di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung, dan Kota Cimahi atas PDR di Kabupaten Bandung Barat, sehingga lahan pertanian dan kawasan lindung milik guna mempertahankan ketahanan pangan dan nilai hodrologis di KBU. 2. Penetapan Besarnya PES Penanaman Pohon Dalam menentukan besarnya PES di setiap lokasi berbeda, dan lebih didasarkan pada kesepakatan antara pemilik lahan dengan pengguna/pemanfaat jasa lingkungan yang dihasilkan. Pagiola (2008) melaporkan bahwa penentuan nilai PES dalam jasa hidrologi yang dilakukan di Costa Rica melalui kesepakatan antara pemilik lahan dengan pengguna air seperti perusahaan pengguna air melalui bantuan Lembaga Non Pemerintah. Sedangkan menurut Gene (2007)

179 155 penentuan nilai PES dilakukan dengan analisis komparatif antara NPV pemilik dalam perlindungan hutan dengan pengusahaan pembalakan. Dalam penelitian ini, besarnya PES merupakan selisih keuntungan finansial pada daur optimal dengan keuntungan finansial yang diperoleh pada daur apabila pengelola lahan tetap mempertahankan hutannya untuk tidak ditebang, sebagai bentuk kompensasi atas opportunity cost dalam mendapatkan kesempatan memperoleh keuntungan melalui penggantian jenis hutan atau melakukan regenerasi sehingga produktivitas lahannya menjadi maksimal. Berdasarkan hal itu, maka besarnya kompensasi adalah selisih NHT tertinggi dengan NHT pada daur tersebut. Berdasarkan hitungan NHTh sebelumnya, menunjukkan bahwa NHT tertinggi terdapat pada daur optimum yakni 21 tahun senilai Rp , maka besarnya PES masing-masing daur setelah daur optimum adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 53. Daur (tahun) Tabel 53. Besarnya PES Penanaman Pohon NHT h maksimum (21 th) (Rp/ha) NHTh (Rp/ha) Nilai PES (Rp/ha) Nilai PES di kawasan lindung Kawasan lindung berfungsi lindung di KBU berdasarkan kriteria Keppres No.32 Tahun 1990 seluas ,5 ha atau 73,81% dari luas keseluruhan KBU, yang meliputi hutan lindung dan hutan konservasi, kawasan resapan air, kawasan perlindungan setempat dan kawasan rawan bencana (Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat, 2004). Berdasarkan jasa hidrologi yang

180 156 diperolehnya, maka efektivitas penerapan PES di kawasan lindung di KBU seperti tersaji pada Tabel 54 dan Gambar 33. Guna lahan kering pertanian dengan nilai produktivitas yang rendah merupakan guna lahan pertanian yang paling rawan dikonversi menjadi permukiman Proses konversi lahan pertanian kering menjadi komplek perumahan, sebagai akibat perbedaan nilai guna lahan pertanian dengan permukiman yang memicu terjadinya penjualan dan perubahan guna lahan pertanian menjadi permukiman Gambar 32. Proses Konversi Lahan Pertanian Menjadi Permukin di KBU Berdasarkan data pada Tabel 54 dan Gambar 33, menunjukkan bahwa efektivitas penerapan PES pada ,50 ha kawasan lindung tertinggi pada jangka waktu sewa 26 tahun atau 5 tahun setelah daur optimumnya (21 tahun) dengan nilai total PES sebesar Rp dengan efektif memperoleh surplus manfaat hidrologis sebesar Rp Setelah tahun sewa 26 tahun, PES masih efektif diterapkan di kawasan lindung tetapi surplus manfaat hidrologisnya terus menurun. Nilai Efektivitas x Millions Tahun Sewa (thn) Total PES (Rp) Total NPV Jasa Hidrologis (Rp) Efektivitas PES (Rp) Gambar 33. Efektivitas Penerapan PES di Kawasan Lindung

181 157 Jangka waktu sewa (thn) Total Kawasan Lindung (ha) Nilai PES per ha (Rp/ha) Tabel 54. Efektivitas Penerapan PES di Kawasan Lindung KBU Total PES (Rp) NPV Jasa Hidrologis (Rp/ha) Total NPV Jasa Hidrologis (Rp) Efektivitas PES (Rp) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,69 Keterangan*) Data Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat atas dasar Keppres No.22 Tahun 1990 (4) = (2) x (3) (6) = (2) x (5) (7) = (6) - (4)

182 158 Nilai PES di Hutan Produksi Agar Perhutani tetap mmelihara tegakan meskipun tidak diperbolehkan menebang tegakannya selama mungkin di hutan produksi di KBU, maka diperlukan pemberian kompensai berupa insentif sewa pohon. Dari total hutan produksi seluas 127,41 ha, maka efektivitas penerapan PES di setiap daur setelah daur finansialnya optimum seperti terlihat pada Gambar 34 dan Tabel 55. Efektivitas PES Rp x Tahun Sewa (thn) Total Sewa pohon (Rp) Total NPV Jasa Hidrologis (Rp) Efektivitas PES (Rp) Gambar 34. Efektivitas Penerapan PES di Kawasan Hutan Produksi di KBU Berdasarkan data pada Gambar 34 dan Tabel 55, efektivitas penerapan PES pada hutan produksi seluas 127,41 ha yang dikelola KPH Bandung Utara, jika dilarang menebang tegakan di hutan produksi seluas 127,41 ha di KBU, tertinggi berada di tahun sewa 26 tahun dengan surplus manfaat hidrologis sebesar Rp ,50. Setelah tahun sewa 26 tahun, PES masih efektif diterapkan di kawasan hutan produksi KPH Bandung Utara tetapi surplus manfaat hidrologisnya semakin menurun. Penentuan nilai berdasarkan NPV untuk perubahan penggunaan lahan hutan produksi menjadi hutan lindung telah digunakan di the Reserva Forestal Golfo Dulce, Costa Rica. Berdasarkan nilai hopotetis Gene (2007) dalam menghitung profitabilitas perlindungan hutan untuk melawan profitabilitas pengusahaan pembalakan (logging) pada hutan tersebut, melalui penetapan harga PES sebesar $130/ha/tahun untuk waktu 5 tahun dan $75/ha/tahun untuk jangka 15 tahun disajikan pada Tabel 56.

183 159 Jangka waktu sewa (thn) Total Kawasan Hutan Lindung (ha) Nilai PES (Rp/ha) Tabel 55. Efektivitas Penerapan PES di Hutan Produksi Peruhutani di KBU Total PES (Rp) NPV Jasa Hidrologis (Rp/ha) Total NPV Jasa Hidrologis (Rp) Efektivitas PES (Rp) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,76 Keterangan: (4) = (2) x (3) (6) = (2) x (5) (7) = (6) - (4)

184 160 Tabel 56. Profitabilitas perlindungan hutan ketika PES tertinggi diberikan dalam melawan profitabilitas pembalakan kayu pada harga kayu tahun 2005 NPV, 5 tahun NPV, 5 tahun Luas (ha) Logging Logging Perlindungan hutan, PES =$130/ha/tahun Perlindungan hutan, PES =$130/ha/tahun ,126 18,007 22,087 21, ,649 37,882 47,644 45, ,172 57,756 71,810 69, ,695 77,631 98,387 92, ,218 97, , , , , , ,608 Sumber: Gene (2007) Berdasarkan data pada Tabel 56, profitabilitas perlindungan hutan lebih rendah dibandingkan profitabilitas pengusahaan pembalakan kayu. Menurut Sinder et al (2003) dalam Gene (2007) apabila profitabilitas perlindungan hutan lebih rendah dibandingkan profitabilitas pembalakan kayu, maka PES skeptis dapat digunakan untuk meningkatkan konservasi di areal dimana alternatif penggunaan lahan diperoleh, dan menyatakan bahwa sistem mungkin tidak cukup untuk melindungi lahan dalam pandangan ekonomi atau opportunity... Namun di tempat lain PES efektif digunakan, seperti yang disampaikan Pagiola (2008), bahwa di Costa Rica telah terjadi kesepakatan antara pengguna lahan dan pengguna air dalam besaran PES dan pembiayaannya, seperti data pada Tabel 57. Tabel 57. Beberapa contoh kontrak provisi jasa air di Costa Rica melalui program PSA Perusahaan Tipe DAS/ Pengguna Areal Energía Global Areal yang dicakup oleh kontrak (ha) Juml areal yang didaftarkan hingga akhir 2004 (ha) Kontribusi thd pembayaran PES tk Partisipasi pengguna lahan (US$/ha/thn) Kontribusi terhadap Biaya adm FONAFIFO (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Produsen listrik Platanar S.A. CNFL Produsen listrik Produsen listrik Río Volcán dan Río San Fernando Río Platanar Río Aranjuez Río Balsa % dari pembayaran $13/ha thn $7/ha thn 2 5

185 161 Tabel 57 (lanjutan) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Río Laguna Cote Florida Ice & Farm Bottler Río Segundo a $29/ha thn 1 Keterangan: a untuk mengatasi biaya opportunity lokal yang tinggi, pembayaran oleh Florida Ice and Farm and Heredia ESPH diakumulasi, sehinga pengguna lahan dibayar US $67/ha/yr. Sumber: Pagiola (2008) Berbeda dengan menentukan efektivitas penerapan PES dalam penelitian ini, Pagiola (2005) menyediakan kerangka analisis keefektifan program PES sebagaimana tersaji pada Gambar 35. Value of Environmental Services Trade-off PES Win-Win B A PES D PES C PES On-Site Profit Trade-off lose-lose Gambar 35. Kerangka Kerja Untuk Menganalisis Efisiensi PES (Pagiola, 2005 dalam Engie at al, 2008) Berdasarkan kerangka analisis keefektifan program tersebut, program PES ditujukan untuk mendorong penggunaan lahan yang secara pribadi tidak menguntungkan tetapi secara sosial diinginkan menjadi profitable untuk penggunaan lahan secara individu, sehingga mereka bersedia mengadopsi PES yang diilustrasikan pada kasus A. Beberapa pengalaman program PES yang tidak efisiensi dapat diidentifikasi sebagai berikut: a) Korbanan pembayaran yang tidak cukup untuk mempengaruhi adopsi penggunaan lahan yang secara sosial diinginkan (kasus B). b) Mempengaruhi adopsi penggunaan lahan yang secara sosial diinginkan, yang mensupply jasa lingkungan, tetapi biaya lebih tinggi dari nilai jasa (kasus C)

186 162 c) Pembayaran untuk adopsi praktek-praktek yang akan mengadopsi dengan berbagai cara (kasus D). Perbedaan penetapan efektivitas dari hasil penelitian ini dengan yang dilakukan Pagiola (2008) terletak pada mekanisme penetapan efektivitas, yang mana hasil penelitian ini lebih memberikan alternatif kepada pemilik lahan dalam melakukan pemilihan jangka waktu lamanya tegakan pohon tidak ditebang, dan bagi publik mengetahui kemungkinan manfaat hidrologis yang akan diperoleh. F. Kemungkinan Implementasi PDR dan PES di KBU 1. Gambaran Penggunaan PDR dan PES dalam perlindungan lahan pertanian dan hutan Implementasi program PDR dan program PES dalam mencegah perubahan penggunaan lahan dan mendorong perilaku konservasi dalam pengelolaan lahan telah populer di berbagai negara. Implementasi PDR populer di Amerika Serikat, sementara PES populer di negara-negara Amerika Latin dan Amerika Tengah. Sedangkan di Indonesia, baik PDR maupun PES belum populer digunakan. Di Amerika Serikat program PDR merupakan salah satu upaya dalam rangka melindungi lahan pertanian, disamping upaya lainnya yakni zoning pertanian, distrik pertanian, pemecahan pajak pertanian, transfer of development rights, dan pembatasan pertumbuhan kota (Daniel, 1998). Menurut Pagiola (2008), program PSA telah populer di mata pemilik lahan di Costa Rica, dengan permintaan jauh melampaui batas ketersediaan pendanaan. Gambar 36 mengilustrasikan perkembangan daftar setiap tipe kontrak sejak Pada akhir tahun 2005, sekitar ha terdaftar dalam program. Konservasi hutan merupakan kontrak yang lebih populer, mencakup areal hutan sekitar 91% sejak 1998, dan 95% terdaftar hingga akhir Hutan tanaman berkontribusi 5% dari total areal (4% pada akhir 2005) dan manajemen hutan berkelanjutan (sekarang dihentikan) untuk 4% dari total areal (1% pada akhir 2005), sedangkan kontrak agroforestry tidak tercatat secara signifikan. Program PDR dan PES belum populer diterapkan di Indonesia dalam perlindungan lahan pertanian dan hutan, sementara penelitian terkait PDR dan PES juga masih terbatas. Enggel dan Palmer (2008) telah melakukan penelitian

187 163 tentang kemungkinan penggunaan PES dalam kegiatan logging sebagaimana konsep yang ditawarkan seperti pada Gambar 37. Gambar 36. Total area di program PSA di Costa Rica (Pagiola, 2008) Maximum logging profit (net of variable cost) I WA (War of attrition) Community can enforce rights- Logging negotiation succeed Community receives negotiated Community cannot enforce rights->logging takes place without community consent C E II D F NF (Negotiation failure) Fixed logging cost A B I II Unprofitable logging Community wins potensial conflict Logging negotiations fail -> Fores conservation Community s per-period valuation of standing forest Gambar 37. Konsep PES dan hasil dari interaksi komunitas perusahaan (Engel dan Palmer, 2008) Pada konsep Gambar 37 terdapat dua pembatas yang menghasilkan tiga potensial outcome hasil interaksi komunitas perusahaan. Kemungkinan pertama, perusahaan dapat secara efektif mengontrol kapital dan sumberdaya hutan,

188 164 memproduksi kayu dengan tanpa melibatkan komunitas dan sedikit atau tidak memberikan imbalan pada komunitas (areal I). Kemungkinan kedua, komunitas dapat menguatkan haknya atas hutan dan ini akan menghasilkan suatu negosiasi yang menghasikan kesepakatan antara komunitas dan perusahaan (areal II). Kemungkinan ketiga, komunitas dapat menguatkan haknya atas hutan, tetapi valuasi tegakan hutan mungkin terlalu tinggi atau profit logging rendah, pada kondisi ini tidak ada kesepakatan antara komunitas dan perusahaan dalam menentukan outcome, sehingga negosiasi akan gagal (areal III). 2. Mekanisme Implementasi PDR dan PES dalam perlindungan lahan pertanian dan hutan Penerapan PDR dan PES belum populer di Indonesia, dan di KBU belum diterapkan. Sebagai gambaran mekanisme implementasi PDR dan PES dalam perlindungan lahan pertanian dan hutan diadopsi dari hasil study literatur yakni PDR dari pengalaman di Amerika Serikat dan PES dari Costa Rica. Sebagaimana yang digambarkan Daniel (1998), mekanisme pelaksanaan PDR seperti terlihat pada Gambar 38. Selanjutnya Stein et al (2001) menyampaikan bahwa komunitas di AS telah melembagakan finansial publik yang dapat mendanai akusisi dan meniadakan hak-hak membangun dalam upaya melindungi lahan-lahan pertanian supaya lestari sekaligus memelihara pemandangan indah, habitat hidupan liar, fungsi DAS, dan opportunitas rekreasi. Melalui program PDR, publik menyediakan pembayaran secara tunai bagi pemilik lahan atas nilai hak membangunnya setiap persil lahan. Pemilik lahan tetap menjadi pemilik lahan, tetapi dikompensasi untuk melepaskan hak untuk membangunnya sebagai real estate. Sedangkan kegiatan pertanian dan penggunaan lainnya dari lahan dapat berkelanjutan. Untuk publik, program PDR memungkinkan banyak mengurangi biaya koservasi lahan, seperti biaya PDR lebih rendah daripada mengeluarkan hak pembayaran lahan, dan biaya berkaitan dengan manajemen berikutnya sisa lahan yang direspon pemilik lahan. Sementara itu menurut Pagiola (2008) mekanisme implementasi PES di Costa Rica dapat dijelaskan seperti Gambar 38. Mekanisme PES dimulai dengan pemilik lahan mengadakan kontrak dengan SINAC dan NGOs seperti FUNDECOR, FONAFIFO, dilanjutkan pemilik lahan menyampaikan rencana

189 165 pengelolaan hutan lestari yang dipersiapkan oleh rimbawan berlisensi (regante). Rencana tersebut menggambarkan usulan penggunaan lahan, dan mencakup informasi tentang tenure lahan dan kondisi fisik lahan meliputi topografi, tanah, iklim, drainase, penggunaan lahan aktual, dan kapasitas lahan dengan respek terhadap penggunaan lahan; rencana perlindungan hutan dari kebakaran, penebangan liar, dan pencurian, dan jadwal monitoring. Setelah rencana tersebut disetujui, pemilik lahan mulai melaksanakan rencana, dan menerima pembayaran. Pembayaran awal diperoleh pada saat kontrak ditandatangani, tetapi pembayaran tahunan selanjutnya dilakukan setelah dilakukan verifikasi atas kepatuhan dari kesepakatan (oleh regente, dengan melakukan audit secara sederhana). Kontrak penanaman kayu selama lima tahun dibayar dengan rincian sebagai berikut, 50% dibayar pada tahun awal kontrak, 20% dalam tahun kedua, 15% dalam tahun ketiga, 10% dalam tahun keempat, dan 5% dalam tahun kelima. Kontrak ini meminta peserta PES secara terus menerus melaksanakan kesepakatan penggunaan lahan untuk 15 tahun. Pemilik Lahan Menjual hak membangun di lahannya Menerima uang tunai Easement conservation pada lahan yang dijual Pemerintah/ Private Land Trust Aturan penggunaan lahan Pencatatan pd Akta kepemilikan lahan Gambar 38. Mekanisme Pelaksanaan PDR Penetapan sistem monitoring dan verifikasi kontrak yang dipercaya adalah bagian penting daripada sistem pembayaran. Monitoring dilakukan terutama oleh agen yang bertanggungjawab atas perjanjian dengan petani yakni SINAC, FUNDEFOR, dan para regente, dengan aturan audit untuk memverifikasi akurasi

190 166 monitoring. Dengan dukungan finansial Economarket Project, FONAFIFO telah membentuk database untuk jejak kepatuhan. Peserta yang tidak patuh akan kehilangan pembayaran selanjutnya. Sedangkan para regente yang salah melakukan sertifikasi dapat kehilangan lisensinya. Secara ringkas mekanisme implementasi PES seperti pada Gambar 39. Regente (Rimbawan Penilai) Pemilik lahan/petani Lembaga Publik Kontrak Membantu Penyusunan Rencana Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Lestari Rencana yang disetujui Monitoring dan Audit Pelaksanaan Kegiatan Pembayaran PES tahun1, 2 dst Gambar 39. Mekanisme Pelaksanaan PES 3. Kepentingan penerapan PDR dan PES di KBU Kondisi ketersediaan dan kebutuhan air di KBU mengalami ketidakseimbangan diindikasikan sudah lama. Sugiarto (1995), menyampaikan kondisi keseimbangan air bumi di wilayah pengembangan DAS Citarum Hulu yang masuk KBU sebagai berikut. Wilayah Pengembangan Kota Bandung, kebutuhan air non pertanian mencapai 176,95 juta m 3 /tahun, setara 5,61 m 3 /detik, pelayanan oleh PDAM Bandung hanya memenuhi 12,3%, sedangkan ketersediaan air permukaan

191 167 dari debit andalan sungai terdekat yakni Sungai Cikapundung hanya 0,85m 3 /detik, sehingga pemenuhan air baku sangat kurang. Saat ini PDAM Bandung mendapatkan air baku dari S. Cisangkuy di Wilayah Banjar Soreang dengan debit 0,97 m 3 /detik, S. Cikapundung 0,25 m 3 /detik dan S. Cibeureum 0,04 m 3 /detik, kapasitas ini hanya memenuhi 23,64% dari kebutuhan air non pertanian. Abstraksi airbumi untuk WP Kota Bandung diestimasi sebesar 161,10 juta m 3 /tahun. Dengan ketersediaan airbumi dalam dangkal sebesar 54,59 juta m 3 /tahun, maka estimasi abstraksi airbumi dalam sebesar 106,51 juta m 3 /tahun. Wilayah Pengembangan Lembang, kebutuhan air untuk rumah tangga sebesar 16,69 juta m 3 /tahun, kebutuhan industri 0,016 juta m 3 /tahun, maka kebutuhan air non pertanian 16,70 m 3 /tahun. Kebutuhan ini dipenuhi dengan ketersediaan mata air 2,52 juta m 3 /tahun sedangkan kekurangannya dipenuhi dari air permukaan. Ketersediaan air permukaan di wilayah ini cukup melimpah yakni 43,20 juta m 3 /tahun, tetapi perlu dipertimbangkan bahwa S. Cikapundung juga sebagai sumber air baku untuk Kota Bandung. Pengembangan di wilayah ini akan mempengaruhi ketersediaan air baku bagi Kota Bandung. Kebutuhan untuk air pertanian sebesar 21,23 juta m 3 /tahun hanya dipenuhi dari air permukaan dengan sistem irigasi semi teknis dan tidak terjamin keandalannya karena tidak ada tandon yang mampu menampung air dalam jumlah yang cukup. Dengan ini pengelolaan DAS, penataan manajemen irigasi dan pola tanam yang cocok sangat perlu diharapkan pada DAS Cikapundung. Wilayah Pengambangan Cimahi, merupakan WP tersempit tetapi mempunyai kepadatan dan aktivitas ekonomi yang tinggi. Kebutuhan air untuk rumah tangga sebesar 19,35 juta m 3 /tahun, dipenuhi PDAM sebesar 2,21 juta m 3 /tahun, berarti sebesar 17,14 juta m 3 /tahun setara 0,543 m 3 /detik dipenuhi dengan mengabstraksi airbumi dan memanfaatkan air permukaan (sungai) atau mata air. Kebutuhan industri sebesar 24,514 juta m 3 /tahun dan ini sepenuhnya dipenuhi dengan mengabstraksi air bumi. Dengan demikian kebutuhan air non pertanian sangat tergantung kepada ketersediaan air bumi dan hal ini tidak diharapkan berlangsung terus karena tidak berwawasan

192 168 lingkungan. Sedangkan ketersediaan air sungai hanya 1,83 juta m 3 /tahun, ini jauh dari memadai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa WP Cimahi adalah WP yang paling berpotensi mengalami kritis air. Berdasarkan kondisi pada tahun 1995 tersebut, maka total kebutuhan air tidak akan dapat dipenuhi oleh ketersediaan air permukaan saja atau air bumi saja, tetapi mungkin dipenuhi dari keduanya dengan penggunaan konjungtif (bersama) dan dengan sistem pengelolaan sumberdaya terpadu. Dengan laju pembangunan di wilayah KBU yang tinggi, maka kemungkinan terjadinya defisit ketersediaan air di tiga wilayah pengembangan tersebut dewasa ini sangat tinggi. Kondisi demikian, maka memerlukan upaya segera untuk menahan laju pembangunan dengan melakukan encegahan perubahan penggunaan lahan. Salah satu upaya adalah melalui mekanisme insentif ekonomi diantaranya menggunakan model PDR dan PES. 4. Kemungkinan penerapan PDR dan PES di KBU Berdasarkan hasil studi pustaka, keberhasilan penerapan PDR di Amerika Serikat didasarkan pada kondisi (1) telah tumbuhnya kesadaran publik akan hilangnya makanan, daging dan serat sehingga merasa perlu melindungi petani dan lahannya; (2) berkembangnya kelembagaan finansial publik mendanai mencegah pembangunan di lahan pertanian; (3) adanya mekanisme referendum dalam menentukan pendanaan dan menghimpun dana publik; (4) kesadaran bayar pajak yang tinggi dan pengalokasian yang jelas untuk kegiatan PDR; tumbuhnya lembaga yang dipercayai masyarakat dan pemerintah seperti land trust yang memfasilitasi petani dalam menjual haknya dan proses penilaian (easement); dan proses legislasi dan penganggaran dari pemerintah yang efektif dan efisien. Sementara itu keberhasilan penerapan PES di negara-negara Amerika Latin dan Amerika Tengah didasarkan pada kondisi (1) dukungan regulasi pemerintah dalam mendorong kegiatan konservasi melalui pemberian insentif; (2) kesadaran dan pengguna jasa lingkungan seperti perusahaan listrik, perhotelan, pariwisata dan perkebunan dalam mendukung upaya konservasi; (3) dana jasa lingkungan dikembalikan pada kegiatan konservasi secara akuntabel; dan (4) berjalannya mekanisme kontrak pengelola kawasan konservasi dengan pengguna jasa lingkungan

193 169 Berdasarkan kondisi yang mendukung penerapan PDR dan PES di atas, untuk mengetahui kemungkinan penerapan di KBU yang berada di 4 wilayah pemerintah kabupaten/kota yakni Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung dan Kota Cimahi, hanya akan dilihat dari aspek dukungan kebijakan dan dukungan sumber dana dari APBD ke empat kabupaten/kota tersebut. Dukungan Arah Kebijakan Terkait KBU KBU merupakan kawasan lintas administrasi, berada di Bagian Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Dengan demikian, berkaitan dengan arahan pemanfaatan lahan, minimal KBU mengacu pada produk tata ruang sebagai berikut: Undang-Undang Tata Ruang Nomor 26 Tahun 2007 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Bandung Utara, yang disusun Bappeda Propinsi Jawa Barat tahun Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cimahi 2010 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2012 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung (Perda No. 12 Tahun 2001) Kebijakan Operasional RUTR Kawasan Bandung Utara.

194 170 Gambar 40. Peta Rencana Pemanfaatan Ruang Wilayah KBU Menurut RTRW Propinsi Jawa Barat

195 171 Gambar 41. Peta Rencana Pemanfaatan Ruang Wilayah KBU Menurut RTRW Kabupaten Bandung (sebelum pemekaran menjadi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat) Pada dasarnya KBU ini sudah mendapat perhatian sejak tahun 1982, sehingga arahan pemanfaatan lahannya tidak hanya dari keempat produk tata ruang di atas yang telah diacu. Kebijakan, peraturan dan perundangan baik yang terkait langsung maupun tidak langsung terhadap pengelolaan KBU terdapat 32 buah. Secara kronologis perkembangan kebijakan yang terkait dengan KBU dan tingkat efektivitas implementasinya dapat diuraikan sebagaimana tabel berikut.

I. PENDAHULUAN. No. Kabupaten/Wilayah

I. PENDAHULUAN. No. Kabupaten/Wilayah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki kebijakan untuk mengalokasikan wilayah daratannya seluas 45% sebagai kawasan berfungsi lindung pada tahun 2010 melalui Peraturan

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Rangkuman (Sintesa) Temuan KBU merupakan kawasan lindung yang sangat dekat dengan pusat kegiatan ekonomi dan pusat pengembangan wilayah yakni Kota Bandung. Sebagai bagian dari

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah Kawasan Bandung Utara (disingkat KBU). Wilayah KBU memiliki luas total sekitar 38548,33 ha yang secara administratif berada di dalam

Lebih terperinci

Prinsip Pembagian Biaya-Manfaat Menggunakan Model Pembelian Hak Membangun (PDR)

Prinsip Pembagian Biaya-Manfaat Menggunakan Model Pembelian Hak Membangun (PDR) Prinsip Pembagian Biaya-Manfaat Menggunakan Model Pembelian Hak Membangun (PDR) Purchase of Development Rights (PDR) Mechanism Application on Cost-Benefit Sharing Principles Endang Hernawan 1*, Hariadi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

JMHT Vol. XV, (2): 45-53, Agustus 2009 Artikel Ilmiah ISSN: X

JMHT Vol. XV, (2): 45-53, Agustus 2009 Artikel Ilmiah ISSN: X Insentif Ekonomi dalam Penggunaan Lahan (Land Use) Kawasan Lindung di Kawasan Bandung Utara Incentive of Economy for Land Use in The North Bandung Area Endang Hernawan 1 *, Hariadi Kartodiharjo 2, Dudung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

Draft 18/02/2014 GUBERNUR JAWA BARAT,

Draft 18/02/2014 GUBERNUR JAWA BARAT, Draft 18/02/2014 Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN BANTUAN KEUANGAN KEPADA KABUPATEN UNTUK KEGIATAN FASILITASI DAN IMPLEMENTASI GREEN PROVINCE

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 ABSTRAK DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan

Lebih terperinci

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENENTUAN LOKASI PASAR INDUK KABUPATEN BOGOR BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN AKSESIBILITAS E L I Y A N I

PENENTUAN LOKASI PASAR INDUK KABUPATEN BOGOR BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN AKSESIBILITAS E L I Y A N I PENENTUAN LOKASI PASAR INDUK KABUPATEN BOGOR BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN AKSESIBILITAS E L I Y A N I SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

VIII. STRUKTUR HAK KEPEMILIKAN LAHAN DALAM KAWASAN SUB DAS BATULANTEH

VIII. STRUKTUR HAK KEPEMILIKAN LAHAN DALAM KAWASAN SUB DAS BATULANTEH VIII. STRUKTUR HAK KEPEMILIKAN LAHAN DALAM KAWASAN SUB DAS BATULANTEH Deng Xio Ping suatu ketika pernah mengatakan bahwa the China s problem is land problem, and the land problem is rural problem. Persoalan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi)

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) RONALD FRANSISCO MARBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Demikian Laporan Pendahuluan ini kami sampaikan, atas kerjasama semua pihak yang terkait kami ucapkan terima kasih.

KATA PENGANTAR. Demikian Laporan Pendahuluan ini kami sampaikan, atas kerjasama semua pihak yang terkait kami ucapkan terima kasih. [Type text] [Type text] [Type tex[type text] [T KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-nya Laporan Akhir Studi Penerapan Mekanisme Insentif

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu bentuk ekosistem yang secara umum terdiri dari wilayah hulu dan hilir. Wilayah hulu DAS didominasi oleh kegiatan pertanian lahan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

BAB VI OPTIMALISASI PENGENDALIAN PENTAAN RUANG DALAM RANGKA PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI KAWASAN PANTURA

BAB VI OPTIMALISASI PENGENDALIAN PENTAAN RUANG DALAM RANGKA PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI KAWASAN PANTURA 6-1 BAB VI OPTIMALISASI PENGENDALIAN PENTAAN RUANG DALAM RANGKA PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI KAWASAN PANTURA Kecenderungan dan pola spasial alih fungsi lahan sawah yang telah terjadi

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan basis perekonomiannya berasal dari sektor pertanian. Hal ini disadari karena perkembangan pertanian merupakan prasyarat

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1 KEMITRAAN ANTARA PERUM PERHUTANI DENGAN PETANI VANILI DALAM UPAYA MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI : STUDI KASUS PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI DESA PADASARI, KECAMATAN CIMALAKA, KABUPATEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bandung dengan luas wilayah 16.730 ha semula dirancang hanya untuk berpenduduk 500.000 jiwa. Namun kenyataannya, kini berpenduduk 3 juta jiwa (siang hari) dan 2,5

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan yang

Lebih terperinci

Dr.Ir. Suwarto M.Si KELEMBAGAAN LAHAN DAN TENAGA KERJA PADA USAHATANI LAHAN KERING UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Dr.Ir. Suwarto M.Si KELEMBAGAAN LAHAN DAN TENAGA KERJA PADA USAHATANI LAHAN KERING UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Dr.Ir. Suwarto M.Si KELEMBAGAAN LAHAN DAN TENAGA KERJA PADA USAHATANI LAHAN KERING UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadhirat Allah s.w.t. atas segala rakhmat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 5 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 5 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, 30 Juni 30 Juni 2008 2008 PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 5 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa pengaturan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii ABSTRACT MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN. Analysis of Northern

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS PRODUKSI DAN KELAYAKAN USAHATANI KAKAO DI KABUPATEN MADIUN

ANALISIS PRODUKSI DAN KELAYAKAN USAHATANI KAKAO DI KABUPATEN MADIUN digilib.uns.ac.id ANALISIS PRODUKSI DAN KELAYAKAN USAHATANI KAKAO DI KABUPATEN MADIUN TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

Arahan Pengendalian Alih Fungsi Daerah Resapan Air Menjadi Lahan Terbangun di Kecamatan Lembang, Bandung

Arahan Pengendalian Alih Fungsi Daerah Resapan Air Menjadi Lahan Terbangun di Kecamatan Lembang, Bandung JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 Arahan Pengendalian Alih Fungsi Menjadi Lahan Terbangun di Kecamatan Lembang, Bandung Nastiti Premono Putri, Heru Purwadio

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FARMA YUNIANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

Implementasi Alih Fungsi Penggunaan Tanah dari Lahan Pertanian di Kabupaten Klaten...

Implementasi Alih Fungsi Penggunaan Tanah dari Lahan Pertanian di Kabupaten Klaten... Implementasi Alih Fungsi Penggunaan Tanah dari Lahan Pertanian di Kabupaten Klaten... IMPLEMENTASI ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH DARI LAHAN PERTANIAN MENJADI LAHAN NON PERTANIAN DI KABUPATEN KLATEN BERDASARKAN

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) HENDRO ASMORO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT NINA RESTINA 1i SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Abstrak... i Kata Pengantar... ii Daftar Isi... iv Daftar Tabel... viii Daftar Gambar... xii

DAFTAR ISI. Abstrak... i Kata Pengantar... ii Daftar Isi... iv Daftar Tabel... viii Daftar Gambar... xii DAFTAR ISI Abstrak... i Kata Pengantar... ii Daftar Isi... iv Daftar Tabel... viii Daftar Gambar... xii BAB 1 BAB 2 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1-1 1.2 Perumusan Masalah... 1-3 1.2.1 Permasalahan

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2012, No.205 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN, PANGAN

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN GETAH PINUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI JAWA BARAT IBRAHIM HAMZAH

ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN GETAH PINUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI JAWA BARAT IBRAHIM HAMZAH ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN GETAH PINUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI JAWA BARAT IBRAHIM HAMZAH DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006 KATA PENGANTAR Untuk mencapai pembangunan yang lebih terarah dan terpadu guna meningkatkan pembangunan melalui pemanfaatan sumberdaya secara maksimal, efektif dan efisien perlu dilakukan perencanaan, pelaksanaan

Lebih terperinci

STRATEGI PEMERINTAH KABUPATEN KARAWANG UNTUK MENSINERGIKAN PROGRAM RAKSA DESA ABAS SUDRAJAT

STRATEGI PEMERINTAH KABUPATEN KARAWANG UNTUK MENSINERGIKAN PROGRAM RAKSA DESA ABAS SUDRAJAT STRATEGI PEMERINTAH KABUPATEN KARAWANG UNTUK MENSINERGIKAN PROGRAM RAKSA DESA ABAS SUDRAJAT SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69 mengamanatkan Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

ANALISIS PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN MASYARAKAT HILIR TERHADAP UPAYA PERBAIKAN KONDISI HUTAN DI HULU DAS DELI

ANALISIS PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN MASYARAKAT HILIR TERHADAP UPAYA PERBAIKAN KONDISI HUTAN DI HULU DAS DELI ANALISIS PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN MASYARAKAT HILIR TERHADAP UPAYA PERBAIKAN KONDISI HUTAN DI HULU DAS DELI SKRIPSI Oleh : MERIAM ZANARIA 061201024 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG Oleh : Ir. Bahal Edison Naiborhu, MT. Direktur Penataan Ruang Daerah Wilayah II Jakarta, 14 November 2013 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG Pendahuluan Outline Permasalahan

Lebih terperinci

EVALUASI PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) PROVINSI JAWA BARAT

EVALUASI PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) PROVINSI JAWA BARAT EVALUASI PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) PROVINSI JAWA BARAT Disampaikan oleh : Prof. DR. Ir. Deny Juanda Puradimaja, DEA Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat Disampaikan pada : Rapat Koordinasi Pemantauan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kota Batu Provinsi Jawa Timur) FATCHURRAHMAN ASSIDIQQI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN SKRIPSI Oleh : WARREN CHRISTHOPER MELIALA 121201031 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

EVALUASI PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PROGRAM PENDANAAN KOMPETISI MELALUI KEGIATAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL DI KABUPATEN KARAWANG

EVALUASI PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PROGRAM PENDANAAN KOMPETISI MELALUI KEGIATAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL DI KABUPATEN KARAWANG EVALUASI PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PROGRAM PENDANAAN KOMPETISI MELALUI KEGIATAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL DI KABUPATEN KARAWANG ASEP AANG RAHMATULLAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan sebagai pusat permukiman dan sekaligus pusat pelayanan (jasa) terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah pengaruhnya (hinterland)

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG KRITERIA DAN SYARAT KAWASAN PERTANIAN DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) DI KECAMATAN SINGKOHOR KABUPATEN ACEH SINGKIL TAHUN 2015

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) DI KECAMATAN SINGKOHOR KABUPATEN ACEH SINGKIL TAHUN 2015 EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) DI KECAMATAN SINGKOHOR KABUPATEN ACEH SINGKIL TAHUN 2015 SKRIPSI Oleh: Chandra Pangihutan Simamora 111201111 BUDIDAYA HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN BANDUNG UTARA DI WILAYAH KABUPATEN BANDUNG DAN KABUPATEN BANDUNG

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1490, 2014 KEMENPERA. Perumahan. Kawasan Pemukiman. Daerah. Pembangunan. Pengembangan. Rencana. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA Lis Noer Aini Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Arsitektur

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI

KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena

Lebih terperinci

PREVIEW II ARAHAN PENGENDALIAN ALIH FUNGSI DAERAH RESAPAN AIR MENJADI LAHAN TERBANGUN DI KECAMATAN LEMBANG, BANDUNG

PREVIEW II ARAHAN PENGENDALIAN ALIH FUNGSI DAERAH RESAPAN AIR MENJADI LAHAN TERBANGUN DI KECAMATAN LEMBANG, BANDUNG PREVIEW II ARAHAN PENGENDALIAN ALIH FUNGSI DAERAH RESAPAN AIR MENJADI LAHAN TERBANGUN DI KECAMATAN LEMBANG, BANDUNG NASTITI PREMONO PUTRI (3609100069) DOSEN PEMBIMBING : IR. HERU PURWADIO,MSP LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN (Studi Kasus di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau) RAHMAT PARULIAN

Lebih terperinci

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

ANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN DI DESA AJIBARANG WETAN, KECAMATAN AJIBARANG, KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI

ANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN DI DESA AJIBARANG WETAN, KECAMATAN AJIBARANG, KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI ANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN DI DESA AJIBARANG WETAN, KECAMATAN AJIBARANG, KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana S1 Fakultas

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 5.1. Kondisi Geografis V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 Lintang Selatan dan 104 o 48-108 o 48 Bujur Timur, dengan batas wilayah

Lebih terperinci