I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bandung dengan luas wilayah ha semula dirancang hanya untuk berpenduduk jiwa. Namun kenyataannya, kini berpenduduk 3 juta jiwa (siang hari) dan 2,5 juta (malam hari) (BPS, 2007). Kondisi menunjukkan kepadatan luar biasa yang pada akhirnya memberikan konsekuensi ketidaknyamanan hidup bagi masyarakatnya. UNESCO memberi batas ideal pemukim sebuah kota 60 jiwa/ha, tetapi Kota Bandung jauh melampaui angka tersebut, yaitu sebesar 149 jiwa/ha dan laju pertambahan penduduk 2,1% (Dinas Kependudukan Kota Bandung, 2006). Fenomena tersebut telah banyak mengubah bentukan lanskap dan penggunaan lahan di daerah pinggiran terutama yang langsung berbatasan dengan kota yang ditunjukkan dengan banyaknya daerah yang semula merupakan daerah hijau berubah peruntukannya menjadi permukiman, kawasan industri, dan kawasan non agraris lainnya. Hal ini membuat daerah pinggiran kota mempunyai kawasan terbangun (built up area) dengan kepadatan tinggi, tidak teratur, kondisi lingkungan yang buruk, kondisi sumberdaya estetika yang menurun, pola pergerakan penduduk yang tinggi yang menyebabkan tingginya kemacetan lalulintas dan menimbulkan konflik antar pihak yang berkepentingan. Peningkatan penduduk yang pesat menyebabkan kebutuhan ruang bagi perumahan semakin meningkat. Pada perkembangan selanjutnya pembangunan perumahan bergerak ke arah Bandung Utara. Kawasan Bandung Utara (KBU) berada pada ketinggian 750 m ke atas, sampai pada kawasan pegunungan dan perbukitan sekitarnya. Kawasan ini telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat Nomor 181/SK1824-Bapp/1982. Pesatnya perkembangan kawasan ini menjadi lebih rumit karena tingginya konflik kepentingan dan status kepemilikan tanah yang bermasalah sehingga menyebabkan semakin tidak terkendalinya pembangunan disana. Kawasan Bandung Utara (KBU) dengan keindahan bentang alamnya dan iklim yang nyaman menyebabkan tingginya pembangunan perumahan dan kegiatan perkotaan lainnya yang tumbuh tidak sesuai dengan peruntukan kawasan tersebut. Tingginya perubahan fungsi penggunaan lahan menyebabkan turunnya kualitas lingkungan kawasan konservasi Bandung Utara. Hampir 70%

2 2 dari luas kawasan yang berfungsi lindung di KBU mengalami kerusakan, padahal KBU dengan luas total ,33 ha merupakan daerah resapan air yang secara ekosistem menjadi penyedia air tanah sekitar 60% bagi Kawasan Cekungan Bandung (Bandung basin) yang luasnya mencapai ha, sehingga mendorong Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengeluarkan kebijakan untuk menetapkan KBU sebagai Kawasan Konservasi Resapan Air (Pergub 21 Tahun 2009). Pengendalian lahan di kawasan tersebut belum efektif akibat terjadinya gejala urban sprawl di KBU. Gejala urban sprawl marak terjadi di sekitar kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Djuanda yang langsung berbatasan dengan wilayah Kota Bandung. Kawasan sekitar Tahura Djuanda merupakan wilayah yang memiliki indeks konservasi (air) tinggi. Perubahan lahan yang terjadi di kawasan sekitar konservasi akan berdampak negatif terhadap sistem ekologis kawasan tersebut sebagai wilayah konservasi yang menyediakan jasa lingkungan khususnya jasa lingkungan air (hidrologis) bagi masyarakat Kota Bandung. Kecenderungan perubahan lahan di KBU selain disebabkan oleh faktor kebutuhan perluasan lahan kota, juga diduga disebabkan oleh posisi kawasan sekitar Tahura Djuanda yang memiliki keindahan pemandangan (scenic beauty) dan lingkungan alami yang cukup asri sehingga dirasakan nyaman sebagai wilayah permukiman. Dalam hal ini scenic beauty dari kawasan yang berbatasan dengan pusat kota dapat memicu terjadinya urban sprawl. Perubahan lahan yang semula agraris menjadi non agraris di sekitar kawasan Tahura Djuanda terkait pula dengan apresiasi masyarakat terhadap nilai lindung atau konservasi dari kawasan tersebut. Pengabaian terhadap nilai tersebut telah mendorong perubahan lahan untuk dimanfaatkan sesuai dengan kepentingannya tanpa mempertimbangkan nilai strategis kawasan tersebut yang menyediakan sejumlah jasa lingkungan yang sangat penting sebagai penyangga kebutuhan masyarakat Kota Bandung khususnya dalam penyediaan jasa lingkungan hidrologis. Dampak lain dari kerusakan KBU adalah terjadinya gangguan pada cadangan dan konservasi air. Sekitar ha lahan tersebut merupakan Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung, Cimahi, Citarik Hulu dan lima anak sungai lainnya yang bermuara di sungai Citarum. Jika Sub-DAS kesembilan sungai tersebut terganggu, akan mempengaruhi pasokan air ke Sungai Citarum

3 3 yang menjadi sumber penggerak PLTA Waduk Saguling, Cirata dan Sumber Air Waduk Jatiluhur (Dinas Tata Ruang, 2004) Fungsi ekologis KBU perlu dipertahankan guna menjamin pemanfaatan ruang yang lestari. Perubahan tataguna lahan yang terjadi karena pertimbangan penggunaan lahan masih didominasi oleh kepentingan ekonomi dan sosial. Apabila fungsi kawasan diperhatikan dalam perhitungan nilai ekonomi, maka upaya konversi lahan dapat dicegah khususnya pada kawasan yang memiliki nilai ekologis yang tinggi. Internalisasi nilai ekonomi lingkungan dalam kegiatan usaha pemanfataan ruang diperlukan di masa mendatang. UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur mengenai struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang. Dalam struktur ruang diatur mengenai sistem pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan transportasi. Dalam pola pemanfaatan ruang diatur mengenai kawasan budidaya dan kawasan lindung. Salah satu aspek penting yang diatur dalam UU Penataan Ruang terkait dengan perubahan penggunaan lahan adalah perlu menyediakan 30% lahan terbuka hijau di perkotaan dan 30% lahan hutan di kawasan daerah aliran sungai. Kenyataan menunjukkan bahwa kawasan perkotaan pada umumnya mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan aturan tersebut. Fenomena ini juga menjadi permasalahan dalam pembangunan Kota Bandung dan sekitarnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, upaya pengendalian ruang di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda diperlukan untuk mempertahankan kawasan tersebut sebagaimana fungsinya sebagai kawasan berkonservasi tinggi yang memberikan fungsi perlindungan tata ekologis terhadap masyarakat di sekitarnya. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji permasalahan perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda dan merumuskan kebijakan pengendalian ruangnya Kerangka Pemikiran Pertumbuhan penduduk dan peningkatan akselerasi pembangunan wilayah membutuhkan lahan sebagai ruang hidup dan ruang untuk beraktivitas ekonomi yang mendorong terjadinya konversi atau perubahan lahan. Perubahan penggunaan lahan (landuse change) merupakan masalah yang serius dalam pengelolaan lahan di Indonesia (Warlina, 2007). Intervensi manusia banyak

4 4 mengubah lanskap lahan yang semula alami menjadi lansekap lahan yang disesuaikan dengan tujuan pemanfaatannya secara terencana dan atau tidak terencana. Perubahan lahan yang terencana dilakukan sesuai dengan rencana peruntukannya, tetapi perubahan lahan yang tidak terencana terjadi di luar rencana peruntukannya. Perubahan lahan yang terjadi di luar peruntukannya umumnya berdampak negatif terhadap kelestarian ekosistem wilayah tersebut, misalnya pembangunan permukiman di atas wilayah konservasi yang telah ditetapkan (Djakapermana, 2008). Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan penggunaan lahan menurut Ramdan (2004) meliputi: (a) tekanan penduduk terhadap lahan. Lahan dalam pandangan teori ekonomi klasik bersama dengan modal dan sumberdaya manusia (tenaga kerja) merupakan faktor produksi yang menjamin berlangsungnya kegiatan ekonomi. Berbagai kegiatan ekonomi dilaksanakan di atas (permukaan) lahan, mulai dari yang tradisional sampai modern. Makin beragamnya aktivitas ekonomi, maka kebutuhan lahan semakin meningkat.; (b) Pertumbuhan sektor-sektor pembangunan yang meningkat. Pertumbuhan sektorsektor pembangunan memerlukan lahan sebagai prasarana penunjang kegiatan pembangunan. Perubahan penggunaan lahan selalu terkait dengan perubahan sistem ekologis (ekosistem) di atasnya. Perubahan ekosistem dimulai dari berubah atau berkurangnya sebagian komponen ekosistem yang ada, yang selanjutnya mempengaruhi komponen lainnya dalam sistem tersebut. Akibat prinsip interdependensi antar komponen ekosistem yang kuat, maka adanya perubahan komponen mempengaruhi kinerja ekosistem secara keseluruhan. Hasil penelitian Martono (1996) menunjukkan terjadinya konversi lahan dari hutan dan tegalan menjadi taman wisata di Cangkringan Sleman telah mengakibatkan perubahan iklim mikro di wilayah tersebut. Pertambahan penduduk yang tinggi signifikan mendorong perubahan lahan khususnya di wilayah perkotaaan. Peningkatan jumlah penduduk perkotaan selalu diikuti oleh peningkatan kebutuhan ruang seiring dengan dinamika pertumbuhan kota sebagai pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan (Djakapermana, 2008). Perkembangan kota tersebut menyebabkan pergeseran fungsi-fungsi perkotaan ke arah pinggiran kota (urban fringe) yang disebut sebagai proses perembetan kenampakan fisik perkotaan ke arah luar (urban sprawl phenomena) umumnya berlangsung cepat dan tidak terencana (Yunus,

5 5 2000). Gejala urban sprawl menyebabkan pola perkembangan dan pembangunan yang tidak terencana dari wilayah kota menuju wilayah pedesaan sehingga terjadi pertumbuhan penggunaan lahan perkotaan (urban area) ke arah pinggiran yang cepat dan menyebabkan tidak terkendalinya penggunaan lahan di wilayah pinggiran kota (Schultink et al. 2005). Akselerasi dari perambahan (sprawl) menyebabkan biaya-biaya ekonomi, sosial, dan lingkungan yang sampai sekarang masih tersembunyi, tidak diacuhan atau secara diam-diam diserap oleh masyarakat. Pembebanan dari biaya tersebut terlihat pada biaya barang dan jasa yang tinggi. Fenomena tersebut telah banyak mengubah bentukan lanskap dan penggunaan lahan di daerah pinggiran terutama yang langsung berbatasan dengan kota yang ditunjukkan dengan banyaknya daerah yang semula merupakan daerah hijau berubah peruntukannya menjadi permukiman, kawasan industri, dan kawasan non agraris lainnya. Hal ini membuat daerah pinggiran kota mempunyai kawasan terbangun (built up area) dengan kepadatan tinggi, tidak teratur, kondisi lingkungan yang buruk, kondisi sumberdaya estetika yang menurun, pola pergerakan penduduk yang tinggi yang menyebabkan tingginya kemacetan lalulintas dan menimbulkan konflik antar pihak yang berkepentingan. Perubahan lahan yang tidak terencana ini akan mengurangi fungsi ekologis daerah pinggiran sebagai wilayah penyangga kota yang umumnya merupakan wilayah dengan indeks konservasi tinggi. Pengendalian ruang di wilayah tersebut diperlukan untuk mengantisipasi dampak negatif dari gejala urban sprawl tersebut. Pertumbuhan Kota Bandung sebagai ibukota Propinsi Jawa Barat telah menimbulkan gejala urban sprawl ke luar kota yang umumnya mengarah ke KBU. Perubahan lahan yang tidak terkendali banyak terjadi di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda yang langsung berbatasan dengan pusat Kota Bandung. Penyimpangan pemanfaatan ruang akibat perubahan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan dapat disebabkan oleh adanya daya tarik alami keberadaan kawasan yang berubah fungsi dan masih rendahnya apresiasi masyarakat terhadap nilai lindung atau konservasi dari keberadaan kawasan yang selama ini memberikan perlindungan ekosistem serta menyediakan sejumlah jasa lingkungan. KBU yang disebut sebagai wilayah inti Bandung Raya Bagian Utara adalah wilayah yang berada pada elevasi 750 meter di atas permukaan laut,

6 6 sampai puncak gunung dan perbukitan di sekitarnya yang terletak di bagian Utara Kabupaten Bandung sebagai bagian dari suatu sistem DAS. KBU perlu mendapat perhatian khusus karena pada lerengya terdapat suatu kota metropolitan dengan segala aktivitas dan perkembangannya. KBU selama ini merupakan salah satu kawasan yang sering menimbulkan kontroversi di berbagai kalangan, kondisinya semakin memprihatinkan. KBU seperti Lembang, Punclut, Ciumbuleuit, dan Dago memiliki berbagai kelebihan sehingga lahan kawasan tersebut mempunyai nilai ekonomi tinggi. Wilayah ini dikatakan elite karena terdapat hotel-hotel berbintang, restoran internasional, tempat kebugaran, dan lambang-lambang kemakmuran golongan atas. Kawasan sekitar Tahura Djuanda umumnya merupakan dataran tinggi yang memiliki keindahan panorama (scenic beauty) dan lingkungan alami cukup asri sehingga mendorong terjadinya perubahan lahan dari yang semula berupa daerah alami menjadi daerah terbuka dengan pola ruang menyerupai perkotaan yang didominasi oleh penggunaan ruang untuk permukiman. Dalam hal ini scenic beauty dari kawasan yang berbatasan dengan pusat kota dapat memicu terjadinya urban sprawl yang menyebabkan degradasi fungsi kawasan konservasi dan mengancam terganggunya sistem ekologis dari kawasan yang secara alami memberikan perlindungan dan jasa lingkungan bagi wilayah kota di sekitarnya. Perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi yang marak terjadi disebabkan pula oleh rendahnya apresiasi terhadap nilai konservasi dari keberadaan kawasan yang berfungsi lindung atau konservasi. Nilai lahan sering tidak mempertimbangkan nilai keberadaan kawasan tersebut, sehingga kepedulian untuk memanfaatkan ruang sesuai dengan peruntukannya cenderung terabaikan. Adanya perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda berdampak terhadap penurunan fungsi lindung kawasan yang secara alami merupakan wilayah dengan indeks konservasi tinggi, sehingga dikategorikan sebagai kawasan resapan air. Salah satu hal yang menyebabkan tinggi kecenderungan perubahan lahan di kawasan Tahura Djuanda adalah belum adanya mekanisme pengaturan pengendalian ruang yang membatasi penduduk untuk datang bermukim di sekitar kawasan. Nilai lahan yang relatif murah bagi penduduk perkotaan menjadi daya tarik sendiri. Selain itu sistem pajak yang diterapkan masih konvensional yakni nilai lahan dihitung seperti penggunaan lahan lainnya sehingga tidak ada

7 7 perlakuan khusus dari aspek lingkungan. Hal ini karena penilaian terhadap keindahan kawasan dan nilai ekonomi total kawasan belum dilakukan dan diperhitungkan dalam pengelolaan kawasan. Untuk mengantisipasi dampak ekologis dari perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda diperlukan kajian kebijakan yang ditujukan untuk mengendalikan penggunaan ruang tersebut. Kebijakan yang perlu diatur dalam pengendalian ruang di kawasan tersebut mencakup tentang penataan kelembagaan pengendalian ruangnya, serta pengembangan kebijakan pengendalian ruang yang bersifat insentif dan disinsentif. Perumusan disain kebijakan mempertimbangkan pula kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan dalam mengatur ruang di kawasan tersebut. Disain kebijakan dalam pengendalian ruang dilakukan dengan melibatkan pakar dan stakeholders yang terkait langsung dengan pemanfaatan ruang di kawasan tersebut. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Kondisi Kawasan Bandung Utara Urban Sprawl Penggunaan Ruang Tahura Djuanda Analisis Spasial Perubahan Penggunaan Lahan Analisis Keindahan Kawasan Valuasi Nilai Ekonomi Total Trend Perubahan Penggunaan Ruang Tahura Keterkaitan Keindahan Kawasan dengan Tren Perubahan Ruang Nilai Ekonomi Kawasan Tahura Djuanda Kebijakan Pengendalian Ruang Kawasan Tahura Djuanda Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

8 Perumusan Masalah Kawasan konservasi Tahura Djuanda yang merupakan kawasan berindeks konservasi tinggi memiliki fungsi perlindungan ekosistem dan menyediakan jasa lingkungan hidrologis bagi masyarakat di sekitarnya. Gejala urban sprawl akibat pertumbuhan Kota Bandung memicu perubahan lahan di kawasan sekitar Tahura yang semula merupakan ekosistem alami berubah menjadi lahan terbuka yang didominasi oleh pemanfaatan ruang untuk permukiman. Perubahan lahan yang tidak terencana tersebut berdampak negatif terhadap kualitas lingkungan di wilayah tersebut terutama fungsi kawasan tersebut sebagai daerah resapan air dan bagi keberadaan Tahura, Kawasan hutan berfungsi sebagai kawasan cagar alam (Gunung Tangkuban Perahu) dan Tahura Djuanda adalah kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan bawahannya. Wilayah Perkotaan seperti Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung. Perdesaan dialokasikan pada Kawasan Bandung Utara bagian Timur dan Barat yaitu kawasan budidaya sawah. Kawsan Bandung Utara yang termasuk daerah hulu Sub Daerah Aliran Sungai Cikapundung, Cimahi, Citarik Hulu dan lima anak sungai lainnya yang bermuara di sungai Citarum mempunyai peran yang sangat penting sebagai daerah pemasok air. Bagian hulu DAS umumnya merupakan daerah resapan air yang mengalirkan airnya ke daerah hilir, sehingga keterkaitan hulu dan hilir DAS sangat erat. Daerah hilir tidak mungkin mendapatkan kesinambungan pasokan air minum dengan kuantitas dan kualitas yang memadai apabila kondisi ekosistem daerah hulu yang menjadi resapan airnya terganggu (Acreman, 2004; Johnson et al., 2001). KBU selama ini merupakan salah satu kawasan yang sering menimbulkan kontroversi di berbagai kalangan. Wilayah ini boleh dikatakan elite karena terdapat hotel-hotel berbintang, restoran internasional, tempat kebugaran, dan lambang-lambang kemakmuran golongan atas. Namun kini kondisinya semakin memprihatinkan. Kawasan Bandung Utara seperti Lembang, Punclut, Ciumbuleuit, dan Dago memiliki berbagai kelebihan sehingga tanah di daerah itu mempunyai nilai ekonomi tinggi. Oleh karena itu tak heran jika banyak para pengembang begitu bernafsu untuk melakukan pembangunan fisik disana.

9 9 Saat ini, lebih dari ha lahan konservasi di Kecamatan Lembang dipenuhi ratusan bangunan yang diduga liar (bangle), padahal luas kawasan yang diperbolehkan ada bangunan di Lembang sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung hanya ha, bahkan maraknya pembangunan itu seringkali mengabaikan aspek hukum dan lingkungan. Salah satu pembangunan yang merusak lingkungan itu adalah diurugnya Situ PPI (Persatuan Perikanan Indonesia) pada tahun Pesatnya perkembangan kawasan ini diperparah dengan tingginya konflik kepentingan dan status kepemilikan tanah yang bermasalah sehingga menyebabkan semakin tidak terkendalinya pembangunan disana. Dampak lain dari kerusakan KBU adalah terjadinya gangguan pada cadangan dan konservasi air, dimana sekira hektar lahan tersebut merupakan Sub Daerah Aliran Sungai Cikapundung, Cimahi, Citarik Hulu dan lima anak sungai lainnya yang bermuara di sungai Citarum. Jika Sub-DAS kesembilan sungai tersebut terganggu, akan mempengaruhi pasokan air ke Sungai Citarum yang menjadi sumber penggerak PLTA Waduk Saguling, Cirata dan Sumber Air Waduk Jatiluhur. Tumbuhnya permukiman dan vila di KBU diperkirakan perusahaan dan pengembang akan menyedot air tanah untuk penduduk di kawasan rumah mewah itu sedikitnya liter per detik. Angka ini berdasarkan standar kebutuhan air bersih 0,5 liter per detik setiap hektar. Perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda merupakan dampak dari gejala urban sprawl. Selain letak kawasan tersebut yang dekat dengan pusat Kota Bandung, juga disebabkan oleh keindahan panorama kawasan tersebut yang umumnya berada di dataran tinggi dan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap nilai konservasi dari keberadaan kawasan tersebut. Sampai saat ini perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi cukup merisaukan yang ditunjukkan dengan makin meluasnya pengembangan kawasan permukiman dan kegiatan ekonomi lainnya ke arah kawasan konservasi Tahura Djuanda, sehingga diperlukan disain kebijakan yang efektif untuk mengendalikan perubahan lahan tersebut. Beberapa pertanyaan permasalahan yang mengemuka dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimana kecenderungan pola dan arah perubahan penggunaan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda.

10 10 b. Bagaimana kaitan antara faktor-faktor yang mempengaruhi nilai scenic beauty kawasan sekitar Tahura Djuanda. dengan tren perubahan penggunaan lahan. c. Bagaimana memberikan nilai konservasi kawasan Tahura sebagai kawasan konservasi di kawasan Bandung Utara. d. Bagaimana rumusan kebijakan pengendalian ruang di sekitar kawasan Tahura Djuanda yang merupakan kawasan konservasi bagi wilayah Bandung Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk merumuskan kebijakan pengendalian ruang di sekitar kawasan konservasi Taman Hutan Raya Djuanda Propinsi Jawa Barat. Tujuan khusus penelitian adalah: 1. Menganalisis perubahan penggunaan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi scenic beauty kawasan sekitar Tahura Djuanda dan kaitannya dengan perubahan penggunaan lahan. 3. Menganalisis nilai ekonomi total kawasan Tahura sebagai kawasan konservasi di kawasan Bandung Utara. 4. Merumuskan kebijakan pengendalian ruang di sekitar kawasan Tahura Djuanda yang merupakan kawasan konservasi bagi wilayah Bandung Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi pemerintah daerah, dapat dijadikan rumusan kebijakan dalam pengendalian penggunaan ruang di sekitar Tahura Djuanda, Jawa Barat terutama dalam mempertahankan fungsinya sebagai kawasan konservasi dan tujuan wisata. 2. Bagi masyarakat (stakeholder), memberikan kontribusi hasil pemikiran secara ilmiah kepada masyarakat tentang pentingnya nilai manfaat jasa lingkungan yang ada di kawasan konservasi Tahura Djuanda baik fungsinya sebagai kawasan konservasi maupun sebagai daerah tujuan wisata sehingga perlu upaya perlindungan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak terkendali.

11 11 3. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan referensi dan pengkajian lebih lanjut perencanaan penggunaan ruang di sekitar Tahura ke depan Kebaruan (Novelty) Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini terutama dari segi metode, penelitian ini menggunakan metode secara komprehensif untuk mengkaji tren perubahan penggunaan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda dengan membandingkan nilai manfaat jasa lingkungan dan nilai keindahan kawasan (scenic beauty value) yang terkandung di dalamnya. Metoda estimasi keindahan kawasan (scenic beauty estimation) pada umumnya digunakan untuk menilai potensi suatu kawasan yang akan dikembangkan terutama sebagai kawasan pariwisata dalam pengertian bahwa daerah atau kawasan tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah kawasan pertumbuhan baru Perubahan penggunaan terutamanya didorong oleh pertumbuhan penduduk yang masuk kedalam suatu kawasan yang mempunyai nilai daya tarik yang tinggi seperti keindahan estetika, iklim yang nyaman dan lokasi yang berbukit. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa keindahan kawasan tersebut yang merupakan daya tarik dan dikaitkan dengan fungsi daerah tersebut sebagai kawasan konservasi dan dengan berlokasi yang berbatasan langsung dengan kota besar dapat memberikan dampak buruk bagi kualitas kawasan tersebut, bila perkembangan yang masuk kekawasan tersebut tidak dikendalikan dengan baik. Dari segi hasil, penelitian ini menilai jasa lingkungan di kawasan konservasi Tahura Djuanda baik dari sisi fungsi konservasi maupun nilai keindahan kawasan dapat digunakan sebagai masukan untuk arahan kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda. Hasil ini belum pernah ada dalam berbagai penelitian lainnya.

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya Alam dan Lingkungan (SDAL) sangat diperlukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila dilakukan secara berlebihan dan tidak

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Bab pertama studi penelitian ini menjelaskan mengenai latar belakang, rumusan persoalan, tujuan dan sasaran penelitian, ruang lingkup yang mencakup ruang lingkup materi dan ruang lingkup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu bentuk ekosistem yang secara umum terdiri dari wilayah hulu dan hilir. Wilayah hulu DAS didominasi oleh kegiatan pertanian lahan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan adalah upaya perubahan dari kondisi kurang baik menjadi lebih baik. Untuk itu pemanfaatan sumber daya alam dalam proses pembangunan perlu selalu dikaitkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian.

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk kemakmuran rakyat, memerlukan keseimbangan antar berbagai sektor. Sektor pertanian yang selama ini merupakan aset penting karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1) A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Cisangkuy merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu yang terletak di Kabupaten Bandung, Sub DAS ini

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan

Lebih terperinci

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D 306 007 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal dasar bagi pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan secara tepat dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. stabilitator lingkungan perkotaan. Kota Depok, Jawa Barat saat ini juga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. stabilitator lingkungan perkotaan. Kota Depok, Jawa Barat saat ini juga BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Lingkungan perkotaan identik dengan pembangunan fisik yang sangat pesat. Pengembangan menjadi kota metropolitan menjadikan lahan di kota menjadi semakin berkurang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah, hutan mempunyai nilai filosofi yang

Lebih terperinci

Arahan Pengendalian Alih Fungsi Daerah Resapan Air Menjadi Lahan Terbangun di Kecamatan Lembang, Bandung

Arahan Pengendalian Alih Fungsi Daerah Resapan Air Menjadi Lahan Terbangun di Kecamatan Lembang, Bandung JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 Arahan Pengendalian Alih Fungsi Menjadi Lahan Terbangun di Kecamatan Lembang, Bandung Nastiti Premono Putri, Heru Purwadio

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Salah satu tantangan pembangunan jangka panjang yang harus dihadapi Indonesia terutama di kota-kota besar adalah terjadinya krisis air, selain krisis pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA Sejalan dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk kota Jakarta, hal ini berdampak langsung terhadap meningkatnya kebutuhan air bersih. Dengan meningkatnya permintaan

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengalami 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota Bandung dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Perkembangan yang dimaksud terlihat pada aspek ekonomi dan sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah dataran yang dibatasi oleh punggung bukit yang berfungsi sebagai daerah resapan, penyimpanan air hujan dan juga sebagai pengaliran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI IV. 1 Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Daerah Aliran sungai (DAS) Citarum merupakan DAS terbesar di Jawa Barat dengan luas 6.614 Km 2 dan panjang 300 km (Jasa Tirta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki sumber daya alam yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki sumber daya alam yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, baik di darat maupun di laut. Hal ini didukung dengan fakta menurut Portal Nasional

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JENIS PENGGUNAAN LAHAN PESISIR SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: ARI KRISTIANTI L2D

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JENIS PENGGUNAAN LAHAN PESISIR SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: ARI KRISTIANTI L2D FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JENIS PENGGUNAAN LAHAN PESISIR SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: ARI KRISTIANTI L2D 098 410 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR

PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR Oleh: NUR ASTITI FAHMI HIDAYATI L2D 303 298 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan Register 19 semula ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan

I. PENDAHULUAN. Hutan Register 19 semula ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Register 19 semula ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 67/Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang Rencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. waktu. Kota tidak bersifat statis, akan tetapi selalu bergerak, berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. waktu. Kota tidak bersifat statis, akan tetapi selalu bergerak, berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota akan selalu mengalami perkembangan fisik seiring dengan perubahan waktu. Kota tidak bersifat statis, akan tetapi selalu bergerak, berkembang dan berubah. Seperti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) Citarum merupakan salah satu DAS terbesar di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas 11.44 ribu kilometer persegi. Curah hujan tahunan 3 ribu

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menjadi ancaman

Lebih terperinci

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR GEOGRAFI TERHADAP PERUBAHAN NILAI LAHAN DI KECAMATAN PARONGPONG

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR GEOGRAFI TERHADAP PERUBAHAN NILAI LAHAN DI KECAMATAN PARONGPONG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kota-kota besar di negara sedang berkembang seperti Indonesia memperlihatkan perbedaan perkembangan yang mencolok. Hal ini dapat terlihat dari perkembangan

Lebih terperinci

DISAIN KEBIJAKAN PENGENDALIAN RUANG DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA DJUANDA PROVINSI JAWA BARAT

DISAIN KEBIJAKAN PENGENDALIAN RUANG DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA DJUANDA PROVINSI JAWA BARAT DISAIN KEBIJAKAN PENGENDALIAN RUANG DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA DJUANDA PROVINSI JAWA BARAT AKBARSYAH RIVAI SAAD SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Irigasi Jatiluhur terletak di Daerah Aliran Sungai Citarum Provinsi Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan sumberdaya yang ada dalam rangka memberikan kontribusi untuk

Lebih terperinci

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5. 1. Letak Geografis Kota Depok Kota Depok secara geografis terletak diantara 106 0 43 00 BT - 106 0 55 30 BT dan 6 0 19 00-6 0 28 00. Kota Depok berbatasan langsung dengan

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 gg Tentang Penataan Ruang 1 Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KECAMATAN UMBULHARJO, KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR

KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KECAMATAN UMBULHARJO, KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KECAMATAN UMBULHARJO, KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR Oleh : YUSUP SETIADI L2D 002 447 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA 31 KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA Administrasi Secara administratif pemerintahan Kabupaten Katingan dibagi ke dalam 11 kecamatan dengan ibukota kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dapat memberikan pengaruh positif sekaligus negatif bagi suatu daerah. Di negara maju pertumbuhan penduduk mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

IX. KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN RUANG

IX. KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN RUANG IX. KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN RUANG 9.1 Pembahasan Umum Kawasan Bandung Utara dengan daya tarik yang tinggi berupa kawasan dengan udara yang nyaman, bentang alam berbukit-bukit dengan ketinggian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pariwisata merupakan industri penting sebagai penyumbang Gross Domestic Product (GDP) suatu negara dan bagi daerah sebagai penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan papan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap individu manusia pasti

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Rangkuman (Sintesa) Temuan KBU merupakan kawasan lindung yang sangat dekat dengan pusat kegiatan ekonomi dan pusat pengembangan wilayah yakni Kota Bandung. Sebagai bagian dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

This document has been created with TX Text Control Trial Version You can use this trial version for further 59 days.

This document has been created with TX Text Control Trial Version You can use this trial version for further 59 days. Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan industri, permintaan akan pemenuhan kebutuhan air bersih meningkat dengan pesat. Hingga saat ini, di Cekungan Airtanah

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan 1. Perkembangan fisik Kota Taliwang tahun 2003-2010 Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan lahan dari rawa, rumput/tanah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pangan bagi dirinya sendiri. Kegiatan pertanian tersebut mendorong suatu

PENDAHULUAN. pangan bagi dirinya sendiri. Kegiatan pertanian tersebut mendorong suatu PENDAHULUAN Latar Belakang Pertanian muncul sejak manusia mampu untuk menjaga ketersediaan pangan bagi dirinya sendiri. Kegiatan pertanian tersebut mendorong suatu kelompok manusia untuk bergantung dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha yang memanfaatkan potensi sumberdaya lahan secara maksimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara dengan jumlah kepulauan terbesar didunia. Indonesia memiliki dua musim dalam setahunnya, yaitu musim

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang 1 BAB I PENDAHULUAN Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang sangat sering dihadapi dalam perencanaan keruangan di daerah pada saat ini, yaitu konversi kawasan lindung menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Seiring dengan perkembangan waktu selalu disertai dengan peningkatan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Seiring dengan perkembangan waktu selalu disertai dengan peningkatan 102 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Seiring dengan perkembangan waktu selalu disertai dengan peningkatan jumlah penduduk perkotaan serta meningkatnya tuntutan kebutuhan hidup dalam aspek-aspek

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah, terutama kondisi lahan pertanian yang dimiliki Indonesia sangat berpotensi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan diuraikan latar belakang studi, rumusan masalah, tujuan dan sasaran yang akan dicapai, metoda penelitian (meliputi ruang lingkup, pendekatan, sumber dan cara mendapatkan

Lebih terperinci

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses berkembangnya suatu kota baik dalam aspek keruangan, manusia dan aktifitasnya, tidak terlepas dari fenomena urbanisasi dan industrialisasi. Fenomena seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Merciana Daverta, 2013 Kepedulian Masyarakat Kelurahan Ciumbuleuit Kecamatan Cidadap Kota Bandung Terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Merciana Daverta, 2013 Kepedulian Masyarakat Kelurahan Ciumbuleuit Kecamatan Cidadap Kota Bandung Terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini kota-kota di Indonesia mengalami perkembangan pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. Seiring dengan berkembangnya suatu kota, kebutuhan

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA R. SOERJO

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA R. SOERJO - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA R. SOERJO I. UMUM Tahura R. Soerjo merupakan salah satu aset hutan Jawa Timur yang paling

Lebih terperinci

BAB 2 Perencanaan Kinerja

BAB 2 Perencanaan Kinerja BAB 2 Perencanaan Kinerja 2.1 Rencana Strategis Tahun 2013-2018 Rencana Stategis Dinas Kean Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018 mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Depok merupakan salah satu daerah penyangga DKI Jakarta dan menerima cukup banyak pengaruh dari aktivitas ibukota. Aktivitas pembangunan ibukota tidak lain memberikan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bandung merupakan Ibukota Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk berdasarkan proyeksi sensus penduduk tahun 2012 yaitu 2,455,517 juta jiwa, dengan kepadatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar kota di Negara Indonesia tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir. Setiap fenomena kekotaan yang berkembang pada kawasan ini memiliki karakteristik

Lebih terperinci

KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR

KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR Oleh : Elfin Rusliansyah L2D000416 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah karunia alam yang memiliki potensi dan fungsi untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Potensi dan fungsi tersebut mengandung manfaat bagi populasi manusia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi wisata yang unik, beragam dan tersebar di berbagai daerah. Potensi wisata tersebut banyak yang belum dimanfaatkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950);

1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950); PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR : 38 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG GUNUNG CIREMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN Menimbang : a. bahwa Gunung Ciremai sebagai kawasan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH

DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH Kasdi Subagyono Pesatnya pembangunan sektor industri, perumahan, transportasi, wisata dan sektor perekonomian lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimilikinya selain faktor-faktor penentu lain yang berasal dari luar. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimilikinya selain faktor-faktor penentu lain yang berasal dari luar. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan. Aliran permukaan sendiri memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas air yang dimilikinya selain

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu kota pada mulanya berawal dari suatu pemukiman kecil, yang secara spasial mempunyai lokasi strategis bagi kegiatan perdagangan (Sandy,1978). Seiring dengan perjalanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepedulian masyarakat dunia terhadap kerusakan lingkungan baik global maupun regional akibat adanya pembangunan ditandai dengan diselenggarakannya Konferensi Stockholm

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber penghasil devisa potensial selain sektor migas. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan memiliki potensi alam dan budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Melihat perkembangan penduduk dan kota, urbanisasi yang tinggi dan tuntutan perumahan dan permukiman serta sarana dan prasarana yang memadai maka pusat

Lebih terperinci