HASIL DAN PEMBAHASAN Tinjauan Umum Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Tinjauan Umum Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Tinjauan Umum Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi dalam pembentukan nilai tambah suatu kegiatan ekonomi. Produktivitas tenaga kerja dapat memberikan gambaran tentang seberapa besar nilai tambah yang diberikan oleh tenaga kerja pada suatu kegiatan ekonomi. Sebagaimana telah didefinisikan pada bagian sebelumnya, dalam penelitian ini produktivitas tenaga kerja dihitung dari nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada suatu tahun dibagi dengan jumlah penduduk yang bekerja (tenaga kerja) pada tahun yang sama. Oleh karena itu, sebelum membahas produktivitas tenaga kerja perlu dipaparkan gambaran umum komponen penentu produktivitas tenaga kerja, yaitu nilai PDRB dan jumlah tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Data PDRB yang disajikan adalah data PDRB tanpa Migas atas dasar harga konstan PDRB Pulau Jawa dalam penelitian ini dihitung sebagai penjumlahan agregat dari seluruh PDRB kabupaten/kota di Pulau Jawa. Tabel 4 menunjukkan hasil perhitungan kontribusi sektoral PDRB menurut lapangan usaha pada tahun Penggunaan PDRB tanpa Migas mengingat bahwa jumlah yang memiliki output dari sub-sektor Migas kurang dari 10 persen dari total 115 kabupaten/ yang ada di Pulau Jawa. Selama tahun pengamatan , lapangan usaha atau sektor industri pengolahan merupakan sektor yang paling dominan, hampir 30 persen dari total PDRB. Dikuti kemudian dengan sektor perdagangan (rata-rata 23 persen) dan sektor keuangan dengan kontribusi rata-rata sebesar 12,37 persen. Sektor pertanian memberikan kontribusi sekitar seperlima terhadap pembentukan PDRB, sementara sektor pertambangan hanya 0,74 persen salah satunya karena tidak memasukkan hasil pertambangan minyak dan gas bumi (migas). Tabel 4 menyajikan perkembangan dan rata-rata kontribusi PDRB secara sektoral.

2 Tabel 4. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Pulau Jawa menurut Lapangan Usaha Tahun Tahun Lapangan Usaha (dalam persentase) ,10 0,83 29,25 1,44 5,90 21,57 5,67 12,77 9, ,83 0,81 28,97 1,48 5,85 22,05 5,89 12,71 9, ,21 0,69 29,31 1,54 5,88 22,51 6,16 12,45 9, ,94 0,67 29,26 1,57 5,86 22,83 6,40 12,37 9, ,65 0,67 29,50 1,60 5,81 22,90 6,50 12,40 8, ,35 0,68 29,17 1,59 5,86 23,43 6,75 12,18 8, ,07 0,69 28,96 1,59 5,87 23,74 7,00 12,10 8, ,59 0,84 28,59 1,55 5,90 24,31 7,33 11,94 8,95 Rata-rata 11,84 0,74 29,13 1,54 5,87 22,92 6,46 12,37 9,14 Kontribusi sektoral selama periode pengamatan tidak menunjukkan perubahan yang mencolok. Meskipun demikian, dari tahun 2001 ke tahun 2008 terdapat kecenderungan penurunan kontribusi pada sektor pertanian, sebaliknya kenaikan kontribusi terjadi pada sektor perdagangan. Sementara jika dilihat dari nilainya, selama tahun terdapat kecendrungan kenaikan PDRB Pulau Jawa. Jika pada tahun 2001 nilainya sebesar ,46 (juta rupiah) dengan rata-rata ,49 (juta rupiah), maka pada tahun 2005 meningkat menjadi ,54 (juta rupiah) dengan rata-rata sebesar ,15 (juta rupiah). Tahun 2008 nilai PDRB Pulau Jawa terus mengalami peningkatan menjadi ,25 (juta rupiah) dengan nilai ratarata ,77 (juta rupiah). Ditinjau dari nilai PDRB kabupaten/kota terhadap nilai rata-rata PDRB Pulau Jawa, pada tahun 2001 sebanyak 89 kabupaten/kota memiliki PDRB di bawah rata-rata PDRB Pulau Jawa, sementara 26 kabupaten/kota sisanya memiliki PDRB di atas nilai rata-rata PDRB Pulau Jawa. Komposisi tersebut tidak banyak berubah, pada tahun 2008 sebanyak 90 kabupaten/kota nilai PDRB-nya berada dibawah rata-rata PDRB Pulau Jawa sedangkan 25 kabupaten/kota sisanya memiliki PDRB lebih tinggi dari rata-rata PDRB Pulau Jawa. Peringkat atas didominasi kota-kota di Provinsi DKI Jakarta dan sekitarnya di bagian barat serta Surabaya dan sekitarnya di bagian timur Pulau Jawa. Sementara Kepulauan Seribu yang juga merupakan wilayah administratif Provinsi

3 DKI Jakarta justru berada pada peringkat terbawah. Hal tersebut terkait dengan karakteristik geografisnya sebagai kepulauan sehingga menyulitkan jangkauan layanan infrastruktur yang tersedia. Selain itu posisinya yang terpisah dari wilayah administratif Provinsi DKI Jakarta lainnya juga menyebabkan kurang dapat menikmati fasilitas infrastruktur yang ada di ibu kota. Tabel 5 menyajikan peringkat sepuluh kabupaten/kota teratas dan sepuluh terbawah berdasarkan nilai PDRB tahun 2001, 2005 dan Tabel 5. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat PDRB di Pulau Jawa Tahun Peringkat PDRB (Juta Rp) PDRB (Juta Rp) PDRB (Juta Rp) 1 Jakarta Pusat ,46 Jakarta Pusat ,00 Jakarta Pusat ,00 2 Surabaya ,88 Jakarta Selatan ,00 Surabaya ,93 3 Jakarta Selatan ,00 Surabaya ,51 Jakarta Selatan ,00 4 Jakarta Utara ,35 Jakarta Utara ,00 Jakarta Utara ,00 5 Jakarta Timur ,09 Jakarta Timur ,00 Jakarta Timur ,00 6 Jakarta Barat ,00 Jakarta Barat ,00 Jakarta Barat ,93 7 Bekasi ,57 Bekasi ,09 Bekasi ,59 8 Bogor ,96 Bogor ,22 Tangerang ,00 9 Kediri ,11 Bandung ,20 Bogor ,00 10 Sidoarjo ,05 Sidoarjo ,51 Bandung , RATA-RATA PDRB PULAU JAWA , , , Tegal ,18 Pacitan ,65 Pacitan , Batu ,84 Batu ,78 Batu , Mojokerto ,09 Tegal ,00 Tegal , Magelang ,24 Madiun ,19 Madiun , Madiun ,21 Magelang ,02 Pasuruan , Pasuruan ,34 Pasuruan ,23 Magelang , Salatiga ,08 Salatiga ,95 Salatiga , Banjar ,85 Blitar ,37 Blitar , Blitar ,10 Banjar ,00 Banjar , Kep. Seribu ,00 Kep. Seribu ,00 Kep.Seribu ,00 Distribusi Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha Data tenaga kerja yang digunakan dalam penelitian ini juga disajikan dalam bentuk rinci menurut lapangan usaha utama, yaitu 9 (sembilan) sektor

4 sebagaimana yang digunakan dalam PDRB. Perlu dicatat bahwa untuk beberapa kabupaten/kota terdapat klasifikasi lain-lain, yaitu untuk tenaga kerja yang sulit dimasukkan dalam klasifikasi Sembilan sektor. Pada penelitian ini, klasifikasi tersebut diabaikan dengan alasan hanya sebagian kecil kabupaten/kota yang memiliki sehingga jumlahnya relatif sedikit. Sektor pertanian menjadi sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Rata-rata tenaga kerja sektor pertanian tahun sebesar 36 persen dari total tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa. Terdapat kecenderungan penurunan persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian selama periode tersebut. Tabel 6. Persentase Tenaga Kerja di Pulau Jawa menurut Lapangan Usaha Tahun Tahun Lapangan Usaha (dalam persentase) ,7 0,5 15,7 0,2 4,6 20,7 5,5 2,2 10, ,0 0,7 17,0 0,2 5,4 19,5 6,6 1,6 12, ,5 0,6 15,2 0,3 4,4 20,6 5,9 1,4 12, ,2 0,5 16,1 0,3 5,1 21,2 6,5 1,6 12, ,5 0,6 16,5 0,2 5,6 21,8 6,2 1,8 12, ,6 0,7 17,2 0,5 5,7 22,1 6,3 1,8 13, ,4 0,7 15,5 0,2 6,1 22,3 5,7 1,5 13, ,0 0,8 13,7 0,3 6,1 23,9 6,5 2,0 11,7 Rata- Rata 36,1 0,7 15,9 0,3 5,4 21,5 6,1 1,7 12,3 Keterangan: 1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan; 2. Pertambangan & Penggalian; 3. Industri Pengolahan; 4. Listrik, Gas dan Air Bersih; 5. Bangunan dan Kontruksi; 6. Perdagangan, Rumah Makan dan Hotel; 7. Pengangkutan, Perdagangan & Komunikasi; 8. Keuangan, Asuransi, Persewaan Bangunan & Jasa Perusahaan; 9. Jasa-Jasa Kemasyarakatan Tenaga kerja juga banyak terkonsentrasi di sektor perdagangan, selama periode pengamatan rata-rata berjumlah lebih dari seperlima (21,5 persen) dari total penduduk yang bekerja. Sektor perindustrian menjadi sektor berikutnya yang banyak menyerap tenaga kerja dengan rata-rata sebanyak 15,9 persen. Sedangkan sektor yang sedikit menyerap tenaga kerja adalah sektor pertambangan, sektor listrik, gas dan air bersih, dan sektor keuangan. (Tabel 6). Sementara jika dilihat dari besarnya penduduk yang bekerja, selama tahun terdapat kecenderungan kenaikan jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa.

5 Jika pada tahun 2001 jumlah tenaga kerja sebesar orang dengan nilai rata-rata orang, maka pada tahun 2005 jumlah tenaga kerja meningkat menjadi dengan rata-rata sebesar orang. Tahun 2008 jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa terus mengalami peningkatan menjadi orang dengan nilai rata-rata sebanyak tenaga kerja. Ditinjau dari jumlah tenaga kerja kabupaten/kota terhadap nilai rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa, pada tahun 2001 sebanyak 61 kabupaten/kota yang memiliki jumlah tenaga kerja di bawah rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa, sementara 54 kabupaten/kota sisanya memiliki jumlah tenaga kerja di atas nilai rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa. Pada tahun 2005 sebanyak 60 kabupaten/kota yang memiliki jumlah tenaga kerja berada dibawah rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa sedangkan 55 kabupaten/kota sisanya memiliki jumlah tenaga kerja di lebih tinggi dari rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa. Sedangkan pada tahun 2008, komposisi tersebut tidak banyak berubah dengan sebanyak 63 memiliki jumlah tenaga kerja di bawah ratarata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa dan 52 kabupaten/kota lainnya jumlah tenaga kerjanya lebih besar dari rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa. Tabel 7 menyajikan peringkat sepuluh kabupaten/kota teratas dan sepuluh terbawah berdasarkan jumlah tenaga kerja dibanding rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa. Tabel 7. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat Jumlah Tenaga Kerja di Pulau Jawa Tahun Peringkat Tenaga Kerja (orang) Tenaga Kerja (orang) Tenaga Kerja (orang) 1 Bandung Bandung Bogor Surabaya Bogor Tangerang Malang Malang Surabaya Bogor Surabaya Malang Jember Jember Jember Tangerang Tangerang Bandung Jakarta Timur Jakarta Timur Jakarta Timur Pasuruan Bandung Jakarta Barat Sukabumi Banyuwangi Jakarta Selatan Banyuwangi Garut Bandung

6 RATA-RATA TENAGA KERJA PULAU JAWA Tabel 7. (Lanjutan) Peringkat Tenaga Kerja (orang) Tenaga Kerja (orang) Tenaga Kerja (orang) Batu Sukabumi Probolinggo Pasuruan Probolinggo Batu Madiun Pasuruan Salatiga Sukabumi Madiun Pasuruan Salatiga Salatiga Madiun Blitar Banjar Banjar Banjar Magelang Blitar Mojokerto Blitar Magelang Magelang Mojokerto Mojokerto Kepulauan Seribu Kepulauan Seribu Kep. Seribu Produktivitas Tenaga Kerja Berdasarkan kedua data yang telah dipaparkan di atas, yaitu dengan membagi nilai PDRB kabupaten/ dengan jumlah tenaga kerja kabupaten/kota maka diperoleh nilai produktivitas tenaga kerja kabupaten/. Berdasarkan ketersediaan data, produktivitas tenaga kerja dapat dihitung secara rinci untuk masing-masing sektor di setiap pada setiap tahun, yaitu tahun 2001 sampai dengan Secara agregat produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa cenderung meningkat. Pada tahun 2001 rata-rata seorang tenaga kerja menghasilkan output sebesar Rp. 13,49 juta rupiah per tahun dan pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp. 19,31 juta rupiah per tahun (Gambar 6). Sementara secara sektoral, sektor Keuangan merupakan sektor dengan produktivitas tenaga kerja terbesar. Setiap tenaga kerja sektor keuangan secara rata-rata menghasilkan Rp. 119,6 juta rupiah/tahun, disusul dengan sektor Listrik, Gas dan Air Bersih/LGA (Rp. 97,48 juta rupiah/tenaga kerja/tahun), sektor Industri Pengolahan (30,65 juta rupiah/tenaga kerja/tahun). Perhatian perlu diberikan kepada sektor LGA karena beberapa tidak memiliki tenaga kerja di sektor ini. Hal tersebut dapat terjadi karena berkaitan dengan

7 masalah kesulitan klasifikasi jenis perkejaan ataupun karena sektor ini memang hemat tenaga kerja. Gambar 6. Perkembangan Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa Tahun Sektor pertanian merupakan sektor dengan tingkat produktivitas tenaga kerja terendah, rata-rata setiap tenaga kerja menghasilkan output Rp. 5,43 juta rupiah/tahun (Tabel 8). Sedangkan di sektor pertambangan rata-rata setiap tenaga kerja memberikan output sebesar Rp. 18,44 juta rupiah/tahun. Perlu diingat bahwa PDRB yang digunakan pada analisis ini adalah PDRB tanpa migas sehingga produktivitas tenaga kerja sektor pertambangan hanya mencakup PDRB dari subsektor Pertambangan tanpa migas dan Penggalian, tidak termasuk dari sub-sektor Migas. Tabel 8. Rata-rata Produktivitas Tenaga Kerja Menurut lapangan Usaha Tahun Sektor/Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Produktivitas Tenaga Kerja (Juta Rp/TK/Tahun) 5,43 Pertambangan 18,44 Industri Pengolahan 30,65 Listrik, Gas dan Air Bersih 97,48 Bangunan 18,17 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 17,65 Pengangkutan dan Komunikasi 17,55 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 119,60

8 Jasa-Jasa 12,29 Rendahnya produktivitas di sektor pertanian menjadi salah satu indikasi terjadi masalah dalam transformasi ketenagakerjaan. Seharusnya ketika permintaan tenaga kerja di sektor pertanian telah lebih rendah dibanding dengan penawarannya maka kelebihan penawan tenaga kerja tersebut diserap oleh sektorsektor lainnya. Kenyataannya terdapat hambatan (barrier) yang menghalangi perpindahan tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian ke sektor lainnya, misalnya pengetahuan dan ketrampilan tertentu yang harus dimiliki tenaga kerja. Kondisi sektor pertanian yang over supply jumlah tenaga kerja tersebut merupakan penjelas tertekannya produktivitas sektor pertanian pada tingkat yang rendah. Tabel 9 menyajikan peringkat sepuluh kabupaten/kota teratas dan sepuluh terbawah berdasarkan nilai produktivitas tenaga kerja pada tahun 2001, 2005 dan Secara umum tidak terdapat perubahan yang berarti pada peringkat kabupaten/kota di Pulau Jawa. Tabel 9. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat Produktivitas Tenaga Kerja Berdasarkan Perbandingan Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa, Peringkat Produktivitas (Juta Rp/TK/ Tahun) Produktivitas (Juta Rp/TK/ Tahun) Produktivitas (Juta Rp/TK/ Tahun) 1 Jakarta Pusat 174,30 Jakarta Pusat 204,39 Jakarta Pusat 215,12 2 Kediri 143,73 Kediri 147,10 Kediri 178,64 3 Jakarta Utara 80,06 Jakarta Utara 91,13 Jakarta Utara 98,26 4 Jakarta Selatan 72,89 Jakarta Selatan 86,12 Cilegon 86,82 5 Cilegon 67,76 Cilegon 78,67 Jakarta Selatan 80,65 6 Bekasi 48,94 Bekasi 56,53 Tangerang 69,60 7 Jakarta Barat 45,09 Jakarta Timur 54,10 Surabaya 63,89 8 Jakarta Timur 43,59 Jakarta Barat 52,50 Bekasi 57,70 9 Surabaya 39,52 Cirebon 46,07 Jakarta Timur 55,10 10 Cirebon 39,01 Surabaya 46,03 Jakarta Barat 52, PRODUKTIVITAS 13,49 16,28 19,31 PULAU JAWA Tegal 3,81 Trenggalek 4,67 Pemalang 5, Wonogiri 3,78 Pemalang 4,63 Trenggalek 5, Trenggalek 3,78 Wonogiri 4,61 Wonogiri 5, Wonosobo 3,62 Tegal 4,45 Kebumen 4, Pasuruan 3,59 Bondowoso 4,23 Pekalongan 4, Blora 3,53 Wonosobo 3,93 Wonosobo 4, Bondowoso 3,46 Pamekasan 3,88 Pamekasan 4,39

9 113 Grobogan 3,33 Blora 3,86 Blora 4, Pamekasan 3,25 Grobogan 3,69 Grobogan 4, Pacitan 2,80 Pacitan 3,58 Pacitan 3,81 Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Antar Perbedaan produktivitas tenaga kerja adalah selisih antara produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa. kabupaten/kota yang memiliki produktivitas tenaga kerja lebih besar dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa akan memiliki nilai perbedaan yang positif. Sebaliknya untuk kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja lebih kecil dari produktivitas Pulau Jawa maka perbedaan produktivitasnya akan bertanda negatif. Semakin besar nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja menunjukkan kabupaten/kota tersebut memiliki produktivitas tenaga kerja yang semakin tinggi. Hasil perhitungan perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa tahun 2001 sampai dengan 2008 dapat diringkas sebagaimana disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Ringkasan Nilai Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja di Pulau Jawa, Tahun Rata-rata Standar Deviasi Nilai Maximum Nilai Minimum ,02 23,63 160,81-10, ,96 25,38 168,86-13, ,91 26,43 169,87-12, ,52 26,90 177,73-13, ,67 26,68 188,12-12, ,64 28,14 197,53-13, ,11 42,76 343,00-14, ,21 29,39 195,81-15,50 Rata-rata perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa pada tahun 2001 sebesar 1,022 dengan standar deviasi 21,59. Dibandingkan dengan data tahun 2008 tidak didapatkan perbedaan yang signifikan. Meskipun demikian terdapat kecenderungan penurunan pada rata-rata produktivitas tenaga kerja menjadi -0,21, sedangkan nilai deviasi standar cenderung meningkat dan

10 pada tahun 2008 menjadi 29,39 yang mengindikasikan peningkatan perbedaan produktivitas tenaga kerja antar kabupaten/kota yang semakin senjang. Persebaran tingkat produktivitas tenaga kerja tersebut dapat dipetakan berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasinya (Gambar 7).

11 Gambar 7. Persebaran Berdasarkan Nilai Rata-rata dan Standar Deviasi Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Tahun

12 2001 dan 2008

13 Tahun 2001 sebanyak 89 kabupaten/kota memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja di bawah rata-rata dan 26 kabupaten/kota berada di atas rata-rata. Sedangkan pada tahun 2008 sebanyak 90 kabupaten/kota memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja di bawah rata-rata dan 25 kabupaten/kota yang lain berada di atas rata-rata. Terdapat perbedaan distribusi antara kabupaten/kota yang nilai perbedaan produktivitas tenaga kerjanya berada di bawah dan di atas rata-rata. Seluruh kabupaten/kota yang berada di bawah rata-rata, baik berdasarkan data tahun 2001 maupun 2008 memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja antara rata-rata dikurangi dengan standar deviasi. Hasil perhitungan tahun 2001 pada kabupaten/kota yang memiliki nilai perbedaan produktivitas di atas rata-rata meskipun hanya berjumlah 26, memiliki nilai yang lebih tersebar. Sebanyak 16 kabupaten/kota memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja sebesar nilai rata-rata ditambah dengan deviasi standar. Sebanyak 5 kabupaten/kota memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu nilai rata-rata ditambah dengan dua kali standar deviasi, sedangkan 5 kabupaten/kota yang memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja lebih tinggi berada pada nilai rata-rata ditambah dengan tiga kali standar deviasi. Data tahun 2008 menghasilkan 25 kabupaten/kota yang memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja di atas rata-rata. kota yang memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja sebesar nilai rata-rata ditambah dengan deviasi standar sebanyak 15. Sedangkan 5 kabupaten/kota memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu nilai rata-rata ditambah dengan dua kali standar deviasi, dan 5 kabupaten/kota sisanya memiliki perbedaan produktivtas tenaga kerja sebesar nilai rata-rata ditambah dengan tiga kali standar deviasi. Jakarta Pusat merupakan wilayah yang memiliki selisih perbedaan produktivitas tenaga kerja yang tertinggi dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa. Produktivitas tenaga kerja Jakarta Pusat pada tahun 2008 sebesar Rp. 215,12 juta rupiah /tahun sementara produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa Rp. 19,31 juta rupiah/tahun sehingga perbedaanya sebesar Rp. 195,81 juta rupiah/tahun. Kabupaten Pacitan dengan nilai produktivitas tenaga kerja terendah

14 menempati posisi paling bawah karena memiliki selisih negatif terbesar dengan produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa. Nilai dan peringkat perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2008 selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Pengujian perbedaan peringkat selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2008 dapat dilakukan dengan melakukan uji keselarasan Kendall (Kendall Concordance Test). Ringkasan hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil Pengujian Statistik Uji Keselarasan Kendall N 8 Kendall's W a.975 Chi-Square df 114 Asymp. Sig..000 a. Kendall's Coefficient of Concordance Sumber : Data diolah (2011) Berdasarkan nilai probabilitas, yaitu nilai asymp. Sig (asymptotic significant) yang hasilnya < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan terdapat perbedaan ditolak, sehingga kesimpulannya tidak terdapat perbedaan di antara peringkat kabupaten/kota dari tahun 2001 sampai Berdasarkan koofisien konkordansi Kendall sebesar 0,975 berarti tingkat keselarasannya sangat tinggi atau peringkat kabupaten/kota berdasarkan nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja antar tahun tidak banyak mengalami perubahan. Perhitungan Komponen Shift share Nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota dapat didekomposisi atau diuraikan menjadi tiga komponen, yaitu industrial mix, productivity different dan allocative. Komponen-komponen tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber perbedaan produktivitas tenaga kerja dikarenakan perbedaan alokasi tenaga kerja atau perbedaan produktivitas sektoral

15 antar kabupaten/kota. Hasil perhitungan masing-masing komponen tersebut dipaparkan pada bagian selanjutnya. Komponen Industrial Mix Komponen industrial mix menggambarkan senjang produktivitas tenaga kerja yang disebabkan oleh perbedaan konsentrasi tenaga kerja di masing-masing kabupaten/kota terkait dengan produktivitas tenaga kerja di wilayah yang lebih luas (Pulau Jawa). Nilai komponen industrial mix akan tinggi jika terjadi konsentrasi tenaga kerja di suatu kabupaten/kota (P j i > P j Jawa) pada sektor yang memiliki produktivitas agregat yang tinggi. Sebaliknya jika terjadi konsentrasi yang rendah (P j i < P j Jawa) pada sektor yang memiliki produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa yang tinggi, maka nilai komponen industrial mix kabupaten/kota tersebut akan rendah. Ringkasan hasil perhitungan komponen industrial mix yang menunjukkan peringkat masing-masing kabupaten/kota ditunjukkan pada Tabel 12. Tabel 12. Peringkat Sepuluh Teratas dan Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen Industrial Mix (μ = Σ(Pij - Pjawa) * Xj.jawa) Tahun Pering- Kat μ μ μ 1 Cirebon 20,72 Depok 11,71 Jakarta Selatan 10,96 2 Bekasi 18,32 Jakarta Selatan 10,03 Depok 10,66 3 Depok 18,09 Tangerang 9,88 Tangerang 10,24 4 Bandung 17,82 Bogor 8,98 Jakarta Timur 9,90 5 Bogor 16,34 Tangerang 8,75 Surabaya 9,90 6 Sukabumi 15,90 Bandung 8,50 Jakarta Barat 9,30 7 Tangerang 8,33 Cimahi 8,45 Jakarta Pusat 9,15 8 Cimahi 7,86 Jakarta Barat 8,29 Bekasi 9,02 9 Jakarta Timur 7,72 Bekasi 8,13 Cilegon 8,81 10 Jakarta Selatan 7,71 Jakarta Pusat 8,01 Sidoarjo 8, Ngawi -4,82 Sumenep -5,64 Kuningan -6, Lebak -5,05 Bondowoso -5,72 Cianjur -6, Temanggung -5,34 Probolinggo -5,76 Subang -6,60

16 Tabel 12. (Lanjutan) Pering- Kat μ μ 109 Grobogan -5,47 Bangkalan -5,79 Grobogan -6, Ponorogo -5,58 Blora -6,09 Wonogiri -6, Pacitan -5,59 Pamekasan -6,12 Blora -6, Pamekasan -5,64 Kepulauan Seribu -6,31 Gunung Kidul -6, Gunung Kidul -5,65 Pacitan -6,36 Ngawi -7, Blora -5,95 Ngawi -6,79 Sampang -7, Sampang -6,45 Sampang -7,97 Pamekasan -9,47 Fenomena perbedaan nilai industrial mix di atas dapat dipahami lebih lanjut dengan membandingkan struktur ketenagakerjaan antar kabupaten/kota. Sebagai contoh dibandingkan antara Jakarta Selatan dan Kabupaten Pamekasan yang masing-masing merupakan wilayah dengan nilai komponen tertinggi dan terendah. (Tabel 13). μ industrial mix Tabel 13. Perbandingan Konsentrasi Tenaga Kerja di Jakarta Selatan dan Kabupaten Pamekasan Tahun 2008 (dalam persen) Keuangan Sektor Listrik, Gas dan Air Industri Pengolahan Angkutan dan Komunikasi Pertambangan Perdagangan Bangunan Jasa-jasa Pertanian Tenaga Kerja (Persen) Jakarta Selatan Kabupaten Pamekasan Produktivitas TK Pulau Jawa (juta Rp/orang/tahun) 10,47 0,08 116,18 0,35 0,00 96,49 7,58 4,76 40,25 8,91 3,38 21,68 0,68 0,42 19,80 37,98 6,63 19,66 5,63 1,53 18,76 27,76 6,31 14,72 0,65 76,89 5,85 Jakarta Selatan yang memiliki perbedaan produktivitas positif terbesar dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa memiliki konsentrasi tenaga

17 kerja pada sektor-sektor yang memiliki tingkat produktivitas tenaga kerja yang tinggi. Sebaliknya Kabupaten Pamekasan yang memiliki perbedaan negatif terbesar tenaga kerjanya kurang terkonsentrasi pada sektor-sektor yang memiliki produktivitas tinggi tetapi justru terkonsentrasi pada sektor yang produktivitasnya rendah. Tenaga kerja di Jakarta Selatan pada sektor Keuangan yang memiliki produktivitas tenaga kerja tertinggi (Rp. 116 juta rupiah/tahun) jauh lebih terkonsentrasi (10,47 persen) dibanding dengan Kabupaten Pamekasan yang hanya 0,08 persen pada sektor yang sama. Demikian juga dengan sektor Industri, sektor Angkutan, sektor Perdagangan dan sektor Jasa yang juga memiliki produktivitas tenaga kerja tinggi konsentrasi tenaga kerja di Jakarta Selatan relatif lebih besar disbanding dengan tenaga kerja di Kabupaten Pamekasan. Sebaliknya, tenaga kerja di Kabupaten Pamekasan sebagian besar (lebih dari 75 persen) terkonsentrasi di sektor Pertanian yang memiliki produktivitas tenaga kerja terendah (Rp. 5,8 juta rupiah/tahun). Gambaran menarik lainnya adalah terkait dengan transformasi tenaga kerja pada kurun waktu pengamatan. Sebagai contoh adalah Cirebon yang pada tahun 2001 memiliki nilai komponen industrial mix terbesar (20,72) sehingga berada pada peringkat pertama, pada tahun 2008 tergeser kedudukannya dan berada pada peringkat 17 dengan nilai komponen industrial mix sebesar 7,33. Hal tersebut dapat ditelusuri dari pergesaran konsentrasi tenaga kerja di Cirebon sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Perkembangan Struktur Tenaga Kerja di Cirebon pada Tahun 2001 dan 2008 Sektor Pangsa (persen) Produktivitas Produktivitas Pangsa Pulau Jawa Pulau Jawa (persen) (JutaRp/orang/tahun) (JutaRp/orang/tahun) Pertanian 1,78 4,46 3,62 5,85 Pertambangan 0,73 21,20 1,03 19,80 Industri Pengolahan 11,94 25,18 3,22 40,25 Listrik, Gas dan Air 0,63 110,14 2,27 96,49 Bangunan 4,71 17,31 9,06 18,76 Perdagangan 37,17 14,04 51,37 19,66 Angkutan dan Komunikasi 10,05 13,92 13,80 21,68 Keuangan 28,38 78,63 5,56 116,18 Jasa-jasa 4,61 11,69 10,07 14,72

18 Nilai Komponen Industrial Mix 20,72 7,33 Penurunan pangsa tenaga kerja di sektor Keuangan dari tahun 2001 (sebesar 28,38 persen) menjadi 5,56 persen pada tahun 2008, padahal sektor tersebut memiliki produktivitas tinggi (bahkan pada tahun 2008 menjadi sektor yang paling produktif) menjadi salah satu penyebab penurunan nilai komponen industrial mix. Demikian juga pergeseran konsentrasi tenaga kerja yang terjadi di sektor Industri Pengolahan juga turut menyumbang penurunan nilai komponen industrial mix di Cirebon. Meskipun terjadi peningkatan konsentrasi tenaga kerja di sektor perdagangan yang juga mengalami peningkatan produktivitas tenaga kerja, tetapi kondisi tersebut tidak dapat mengkompensasi penurunan nilai komponen nilai industrial mix. Komponen Productivity Differential Nilai komponen productivity differential menyumbang pada perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa melalui perbedaan produktivitas masing-masing sektor. Suatu sektor di kabupaten/kota yang memiliki produktivitas tenaga kerja lebih tinggi dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa di sektor yang sama, akan memiliki nilai komponen productivity differential yang besar. Sebaliknya jika produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota pada suatu sektor lebih rendah dari produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa untuk sektor tersebut maka nilai komponen nilai komponen productivity differential juga akan rendah. Dengan kata lain, komponen ini menggambarkan kondisi spesifik suatu wilayah yang bersifat kompetitif. Suatu kabupaten/kota memiliki tingkat produktivitas yang tinggi pada suatu sektor karena mendapat dukungan kebijakan, sumberdaya manusia dan investasi di sektor tersebut. Oleh karena itu perbedaan kemampuan SDM, tingkat teknologi, alokasi investasi, ketersediaan infrastruktur, dan lain-lain dapat menjadi penyebab perbedaan produktivitas sektoral antar kabupaten/kota di Pulau Jawa.

19 Hasil perhitungan komponen productivity defferential yang disajikan dalam bentuk ringkasan sepuluh teratas dan terbawah nilai salah satu komponen shift share tersebut dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Peringkat Sepuluh Teratas dan Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen Productivity Differential π i = Σ j p j jawa(x j i x j jawa) Tahun Peringkat π i π i 1 Jakarta Pusat 87,88 Jakarta Pusat 101,73 Kediri 102,38 2 Kediri 85,14 Kediri 89,59 Jakarta Pusat 97,41 3 Jakarta Utara 48,10 Jakarta Utara 57,65 Bekasi 89,07 4 Cilegon 33,41 Cilegon 51,16 Cirebon 68,04 5 Jakarta Timur 29,43 Kepulauan Seribu 51,12 Jakarta Utara 59,77 6 Kepulauan Seribu 27,88 Jakarta Selatan 41,63 Cilegon 47,69 7 Jakarta Selatan 27,28 Cirebon 39,36 Jakarta Timur 28,32 8 Cirebon 27,20 Jakarta Timur 29,11 Jakarta Selatan 26,15 9 Bekasi 19,60 Bekasi 21,15 Tangerang 25,45 10 Jakarta Barat 19,38 Jakarta Barat 20,34 Karawang 25, Brebes -8,29 Sampang -10,70 Temanggung -12, Demak -8,31 Demak -10,72 Pacitan -12, Pacitan -8,37 Grobogan -10,72 Banyumas -12, Wonogiri -8,67 Purbalingga -10,73 Tegal -12, Pemalang -8,82 Kebumen -10,74 Pemalang -12, Purbalingga -8,88 Wonosobo -11,17 Grobogan -12, Pasuruan -8,94 Brebes -11,17 Pekalongan -13, Wonosobo -8,95 Tegal -11,39 Wonogiri -13, Tegal -9,49 Blora -11,63 Wonosobo -13, Bondowoso -9,63 Bondowoso -12,06 Blora -14,14 π i Perbedaan nilai komponen productivity differential di atas dapat dijelaskan lebih lanjut dengan membandingkan tingkat produktivitas tenaga kerja sektoral di Kediri dan Kabupaten Blora yang masing-masing pada tahun 2008 merupakan wilayah dengan nilai komponen productivity differential tertinggi dan terendah. (Tabel 16). Kediri yang memiliki nilai komponen productivity differential paling besar mempunyai nilai produktivitas tenaga kerja yang relatif lebih tinggi dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa kecuali untuk sektor

20 Pertambangan, sektor LGA, sektor Bangunan, dan sektor Jasa. Sektor-sektor yang memiliki produktivitas yang tinggi tersebut juga didukung oleh konsentrasi tenaga kerja yang tinggi juga, misalnya sektor Perdagangan dan sektor Industri. Sebaliknya di Kabupaten Blora seluruh sektor perekonomian memiliki nilai produktivitas tenaga kerja yang lebih rendah dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa, bahkan pada sektor yang banyak menyerap tenaga kerja seperti sektor Pertanian dan sektor Perdagangan. Tabel 16. Produktivitas Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha di Kediri dan Kabupaten Blora Tahun 2008 Sektor Produk- Tivitas Kediri Perbedaan dengan Produktivitas Jawa Tenaga Kerja Produk- Tivitas Kabupaten Blora Perbedaan dengan Produktivitas Jawa Tenaga Kerja Produk tivitas Pulau Jawa Pertanian 6,06 0, ,84-2, ,85 Pertambangan 3,69-16, ,04-4, ,80 Industri 558,27 518, ,47-31, ,25 Listrik, Gas dan Air 58,92-37, ,70-65, ,49 Bangunan 3,07-15, ,52-15, ,76 Perdagangan 140,40 120, ,85-15, ,66 Angkutan 23,54 1, ,49-15, ,68 Keuangan 320,62 204, ,71-88, ,18 Jasa-jasa 10,28-4, ,85-11, ,72 Keterangan: Produktivitas Perbedaan dengan produktivitas jawa Tenaga kerja : Juta Rp/Orang/Tahun : Juta Rp/Orang/Tahun : Orang Komponen Allocative Komponen allocative merupakan gabungan kedua komponen sebelumnya, yaitu nilai yang menyebabkan perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dibanding wilayah yang lebih luas (produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa) baik yang disebabkan oleh perbedaan produktivitas tenaga kerja sektoral maupun alokasi tenaga kerja secara sektoral. Oleh karena itu nilai komponen allocative ditentukan oleh kemampuan suatu wilayah untuk mentransformasi tenaga kerja dari sektor dengan produktivitas rendah ke sektor yang memiliki produktivitas tenaga kerja yang lebih tinggi.

21 Bentuk ringkas peringkat sepuluh teratas dan terbawah kabupaten/kota berdasarkan komponen allocative dapat dilihat pada Tabel 17. Sedangkan selengkapnya nilai dan peringkat kabupaten/kota berdasarkan komponen allocative selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2008 dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 17. Peringkat Sepuluh Teratas dan Sepuluh Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen Allocative αi = Σj(xji xjjawa)(pji pjjawa) Tahun 2001, 2005 dan 2008 Peringkat α i α i α i 1 Jakarta Pusat 66,05 Jakarta Pusat 78,37 Jakarta Pusat 89,26 2 Kediri 40,75 Kediri 36,20 Kediri 51,51 3 Jakarta Selatan 24,41 Jakarta Selatan 18,19 Jakarta Selatan 24,24 4 Cilegon 16,36 Bekasi 13,33 Tangerang 14,61 5 Jakarta Utara 13,25 Jakarta Utara 10,98 Cilegon 11,02 6 Bekasi 12,16 Jakarta Barat 7,59 Jakarta Utara 10,47 7 Jakarta Barat 6,51 Sampang 6,91 Surabaya 9,44 8 Surabaya 5,57 Bondowoso 5,36 Blora 5,95 9 Sampang 3,78 Blora 5,29 Wonogiri 5,75 10 Cimahi 3,66 Surabaya 4,39 Garut 4, Jakarta Timur -7,05 Pasuruan -5,70 Purwakarta -12, Magelang -8,30 Magelang -6,63 Bogor -13, Kepulauan Seribu -14,97 Jepara -7,96 Bogor -13, Bogor -15,29 Bekasi -8,15 Depok -14, Bandung -17,61 Lebak -8,42 Bekasi -18, Bekasi -18,71 Tangerang -9,89 Karawang -18, Pekalongan -18,73 Cirebon -13,01 Subang -22, Depok -19,19 Depok -14,20 Kepulauan Seribu -22, Cirebon -22,40 Pekalongan -18,60 Cirebon -49, Sukabumi -30,55 Kepulauan Seribu -42,14 Bekasi -50,21 Sumber: Data diolah Lampiran 6.a. sampai dengan 6.h. menyajikan hasil perhitungan perbedaan produktivitas tenaga kerja dan kontribusi masing-masing komponen analisis shift share (y i y JAWA = μ i + π i + α i ) dari tahun 2001 sampai dengan tahun Pola Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Matrik Kontiguitas Spasial Perbedaan produktifitas tenaga kerja antara suatu kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa perlu dilihat lebih lanjut secara spasial.

22 Fokus pembahasan akan diarahkan pada meneliti apakah terdapat pengelompokan kabupaten/kota berdasarkan pada nilai produktivitas tenaga kerja maupun komponen shift share yang merupakan penyusun nilai produktifitas tenaga kerja. Untuk keperluan tersebut maka perlu dibangun suatu model keterkaitan spasial di antara kabupaten-kabupaten/kota-kota di Pulau Jawa dengan menggunakan spatial weight matrix (matrik W). Sesuai dengan fokus pembahasan untuk melihat pola pengelompokan, maka digunakan pendekatan ketetanggaan sebagai matrik W. Artinya keterkaitan spasial diasumsikan terjadi pada kabupatenkabupaten/kota-kota yang berbatasan dan berdekatan. Secara umum tidak ada hambatan mobilitas antar kabupaten/kota yang bertetangga dan diasumsikan interaksi tidak hanya terjadi antar kabupaten/kota yang berbatasan langsung tetapi juga pada beberapa kabupaten/kota lainnya yang menjadi tetangga dari kabupaten/kota yang berbatasan langsung. Oleh karena itu matrik W yang digunakan untuk keperluan analisis spasial pada penelitian ini adalah queen contiguity orde 4. Pemilihan orde 4 juga dapat mengatasi masalah ketetanggan pada sebuah kabupaten/kota yang berlokasi di dalam kabupaten/kota lainnya. Bogor misalnya, jika menggunakan orde 1 maka hanya bertetangga dengan Kabupaten Bogor saja tetapi dengan menggunakan orde 4 akan bertetangga dengan 22 kabupaten/kota lainnya. Perlakuan khusus perlu diberikan untuk Kepulauan Seribu di Provinsi DKI Jakarta dan Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep di Provinsi Jawa Timur karena wilayah-wilayah tersebut berada di kepulauan/pulau yang terpisah dari dataran utama Pulau Jawa. Kepulauan Seribu misalnya, Karena tidak memiliki batas bersama dengan wilayah lain dianggap tidak memiliki keterkaitan ketetanggaan. Kondisi tersebut dikoreksi dengan menganggap ada ketetanggaan dengan wilayah-wilayah administratif lainnya di Provinsi DKI Jakarta, sehingga Kepulauan Seribu yang semula tidak memiliki tetangga menjadi memiliki 5 (lima) tetangga. Sedangkan kabupaten-kabupaten yang berada di Pulau Madura semula dikonstruksikan hanya bertetangga dengan sesama kabupaten lain di Pulau Madura sehingga masing-masing memiliki 3 (tiga) tetangga. Kondisi tersebut juga

23 dikoreksi dengan menambahkan Surabaya dan Kabupaten Gresik sebagai wilayah tetangga kabupaten-kabupaten di Pulau Madura sehingga Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep menjadi memiliki 5 (lima) tetangga. Pengujian Autokorelasi Spasial Anselin (2003) mengusulkan beberapa langkah untuk menguji keberadaan pengelompokan spasial atau mengidentifikasi keberadaan autokorelasi spasial (spatial autocorrelation). perhitungan Moran s I statistik (Tabel 18). Tabel 18. Ringkasan Hasil Perhitungan Moran s I Tahun Perbedaan Produktivitas Langkah pertama adalah dengan menggunakan Model Komponen Industrial Mix Model Komponen Productivity Diffferential Model Komponen Allocative Moran s-i p-value Moran s-i p-value Moran s-i p-value Moran s-i p-value ,0923 0,010 0,1599 0,001 0,0969 0,009 0,0039 0, ,0907 0,003 0,1459 0,001 0,0497 0,037 0,0184 0, ,0899 0,012 0,0140 0,001 0,0811 0,015 0,0158 0, ,0879 0,006 0,1095 0,002 0,1829 0,002-0,0808 0, ,1125 0,012 0,1771 0,001 0,1077 0,030 0,0201 0, ,1099 0,007 0,1413 0,002 0,1034 0,007 0,0148 0, ,1236 0,004 0,1856 0,001 0,0986 0,007 0,0592 0, ,0905 0,009 0,0611 0,044 0,1605 0,001-0,0102 0,529 Terjadinya autokorelasi spasial dilihat melalui nilai p-value, yaitu Jika p- value < 0,05 maka secara statistik dugaan terjadi autokorelasi menjadi signifikan (Anselin, 2010). Pada perhitungan di atas, perbedaan produktivtas tenaga kerja antar kabupaten/kota, komponen industrial mix, dan komponen productivity different menunjukkan signifikansi terjadinya autokorelasi, dan hanya komponen allocatove yang tidak signifikan kecuali pada tahun Nilai Moran s I yang positif menunjukkan terjadinya autokorelasi yang positif. Dalam penelitian ini, hal tersebut dapat dibaca terdapat kecenderungan kabupaten-kabupaten/kota-kota dengan tingkat produktivitas tenaga kerja yang tinggi akan mengelompok dan demikian juga sebaliknya terjadi pengelompokan di antara kabupaten-kabupaten/kota-kota yang memiliki produktivitas rendah.

24 Berdasarkan hasil perhitungan Moran s I maka perbedaan produktivitas antara kabupaten/kota di Jawa dengan produktivitas Pulau Jawa menunjukkan sebagian besar berkorelasi spasial secara positif. Demikian juga dengan komponen industrial mix dan productivity different juga menunjukkan terjadinya autokorelasi spasial. Sementara pada komponen allocative tidak terdapat konsistensi hubungan pada beberapa tahun pengamatan. Klaster Berdasar Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Moran s I merupakan ukuran global yang belum dapat menunjukkan di kabupaten-kabupaten/kota-kota mana terjadi klaster. Oleh karena itu, pengujian diteruskan dengan menggunakan Moran scatterplots (Gambar 8.a. dan 8.b.). Hasilnya menunjukkan sebagian besar kabupaten/kota berada pada kuadran LL, yaitu memiliki produktivitas rendah dan dikitari oleh kabupaten/kota tetangga yang juga memiliki produktivitas rendah. Kondisi tersebut terjadi baik pada tahun 2001 maupun 2008.

25 WXi - XJAWA X i - X JAWA Gambar 8.a. Moran Scatter Plot Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja di Pulau Jawa Tahun 2001 WXi - XJAWA

26 X i - X JAWA Gambar 8.b. Moran Scatter Plot Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja di Pulau Jawa Tahun 2008 Meskipun demikian, tidak setiap kabupaten/kota memiliki signifikansi posisi dalam kuadran Moran scatterplot tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian melalui Local Indicator Spatial Analysis (LISA) significant maps. Hasil penggabungan antara Moran scatterplot dan Moran significant maps adalah LISA cluster maps yang menggambarkan posisi masing-masing kabupaten/kota. Berdasarkan LISA cluster maps baik pada tahun 2001 maupun 2008 sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 8, terdapat klaster High-High, Low-Low, High-Low, Low-High maupun kabupaten/kota yang tidak memiliki signifikansi pengelompokan.

27 TAHUN 2001 TAHUN 2008 Gambar 9. Klaster Berdasarkan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja

28

29 Klaster High-High terjadi pada kabupaten/kota yang memiliki produktivitas tenaga kerja tinggi di Jakarta dan sekitarnya (High High). DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi mampu menciptakan nilai tambah yang tinggi terutama berasal dari sektor-sektor yang memiliki produktivitas tenaga kerja sektoral yang tinggi seperti sektor keuangan, perdagangan dan jasa-jasa. Tetapi pada wilayah yang sama juga ditemukan outlier yaitu kabupatenkabupaten/kota-kota yang justru memiliki produktivitas tenaga kerja rendah meskipun bertetangga dengan kabupaten/kota yang memiliki produktivitas tenaga kerja yang tinggi (Low High). Pola autokorelasi negatif tersebut dapat dipahami melalui pengertian PDRB menurut lapangan usaha yang merupakan penjumlahan nilai tambah yang dihasilkan seluruh kegiatan unit ekonomi di suatu wilayah pada suatu waktu tertentu. Nilai tambah tersebut terdiri dari upah/gaji. pajak, dan surplus usaha. Rendahnya produktivitas kota-kota di sekitar DKI Jakarta seperti Depok, Bekasi dan Bogor dapat dilihat dari distribusi nilai tambah yang diterima masing-masing wilayah. Penduduk di kota-kota tersebut merupakan tenaga kerja komuter di Provinsi DKI Jakarta sehingga nilai tambah yang diterima kota-kota tersebut berasal dari penerimaan upah/gaji. Sementara nilai tambah yang lebih besar yang berasal dari pajak dan surplus usaha tetap terakumulasi di kota-kota di Provinsi DKI Jakarta. Sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah berada pada klaster Low Low, yang artinya memiliki produktivitas tenaga kerja yang rendah dan berkelompok dengan kabupaten-kabupaten/kota-kota lain yang menjadi tetangga yang juga memiliki produktivitas rendah. Dengan kata lain terjadi kemerataan produktivitas tenaga kerja pada tingkat produktivitas tenaga kerja yang rendah. Semarang dan Kabupaten Kudus merupakan kabupaten/kota outlier di Provinsi Jawa Tengah, yang justru memiliki rpoduktivitas tenga kerja yang relatif tinggi dibanding kabupaten/kota disekitarnya (Kuadran High Low). Sayangnya kedua wilayah tersebut belum dapat menjadi pusat pertumbuhan yang dapat memberikan kontribusi peningkatan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di sekitarnya.

30 Pola keterkaitan yang tidak signifikan yang menunjukkan tidak terdapat pengelompokan nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja terjadi di Jawa Barat maupun Jawa Timur. Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik dan Kediri di bagian timur Pulau Jawa yang merupakan kabupaten/kota dengan tingkat perbedaan produktivitas tenaga kerja yang tinggi tidak memiliki signifikansi klaster dengan kabupaten/kota tetangganya. Hal tersebut mengindikasikan penyebaran kabupaten/kota yang memiliki perbedaan produktivitas tenaga kerja yang tinggi tetapi belum cukup signifikan untuk berperan sebagai pusat-pusat pertumbuhan bagi wilayah di sekitarnya. Pola interaksi yang menunjukkan terjadinya autokorelasi spasial negatif (klaster HL dan LH) mengindikasikan interaksi spasial yang tidak sehat. Kondisi ini sesuai dengan teori yang dikemukan oleh Myrdal yang menunjukkan lemahnya dampak sebar (spread effect) dibanding dengan dampak balik (backwash effect). Hal tersebut berarti pusat-pusat pertumbuhan belum dapat memberikan dampak positif terhadap wilayah di sekitarnya. Sedangkan kabupaten-kabupaten/kota-kota yang lain tidak menujukan signifikansi pengelompokan. Model Regresi Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Spesifikasi Model dengan Spasial Data Panel Permodelan spasial digunakan untuk mengestimasi kontribusi masingmasing komponen shift share: Industry-Mix Component (μ i ), Productivity Differential Component (π i ), dan Allocative Component (α i ) terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa. Estimasi parameter pada masing-masing komponen shift share sebagai variabel bebas (independent variable) akan dilakukan secara terpisah dengan variabel terikat (dependent variable) sebagai varibael penjelas (explanatory variable) yaitu perbedaan produktivitas tenaga kerja. Dengan demikian, terdapat 3 (tiga) model persamaan tunggal (single equation model), yaitu pengaruh komponen industry-mix terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja, pengaruh komponen productivity differential terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja, dan pengaruh komponen allocative terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja.

31 Permodelan dilakukan dengan menggunakan data panel, yaitu menggabungkan antara data cross section 115 kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan data time series 8 (delapan) titik tahun dari tahun 2001 sampai dengan tahun Langkah awal dalam pemodelan spasial data panel adalah menguji adanya efek spasial Fixed Effect dan Random Effect menggunakan uji Likelihood Ratio (LR). Spesifikasi model ini dimaksudkan untuk dapat menghasilkan persamaan yang tidak bias sehingga penaksiran pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat tidak bias. Adapun hipotesis yang digunakan untuk uji Likelihood Ratio sebagai berikut. 1. SAR Fixed Effect H 0 : Lag model tidak berpengaruh H 1 : Paling tidak ada satu lag model yang berpengaruh 2. SAR Random Effect H 0 : 1 H 1 : 1 3. SEM Fixed Effect (Lag model tidak berpengaruh) (Lag model berpengaruh) H 0 : Error model tidak berpengaruh H 1 : Paling tidak ada satu error model yang berpengaruh 4. SEM Random Effect H 0 : 1 H 1 : 1 (Error model tidak berpengaruh) (Error model berpengaruh) Uji likelihood Ratio (LR test) dilakukan pada masing-masing model, yaitu kontribusi komponen Industry-Mix terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota, kontribusi komponen Productivity Different terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota, dan kontribusi komponen Allocative terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota. Pengujian hipotesis menggunakan tingkat signifikasi ( ) sebesar 5%. Hasil uji likelihood Ratio dapat dilihat pada Tabel 19, 20, dan 21.

32 Tabel 19. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja di Pulau Jawa: The Industry-Mix Component (μ i ) Model Chi-Square DF P-value SAR Fixed Effect 2566, ,000 SAR Random Effect 1892, ,000 SEM Fixed Effect 2579, ,000 SEM Random Effect 1913, ,000 Tabel 20. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja di Pulau Jawa: The Productivity Differential Component (π i ) Model Chi-Square DF P-value SAR Fixed Effect 1168, ,000 SAR Random Effect 572, ,000 SEM Fixed Effect 1227, ,000 SEM Random Effect 618, ,000 Tabel 21. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja di Pulau Jawa: The Allocative Component (α i ) Model Chi-Square DF P-value SAR Fixed Effect 2324, ,000 SAR Random Effect 1646, ,000 SEM Fixed Effect 2338, ,000 SEM Random Effect 1658, ,000 Berdasarkan Tabel 19, 20, dan 21 diketahui nilai p-value untuk setiap model kurang dari = 5%. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa pengaruh efek spasial baik fixed effect maupun random effect signifikan pada model SAR maupun SEM. Oleh karena belum dapat ditentukan model yang paling sesuai maka perlu dilakukan uji Hausman untuk menentukan apakah model tersebut termasuk model fixed effect atau random effect.

33 Hipotesis yang digunakan dalam uji Hausman sebagai berikut. H 0 : h 0 (random effect) H 1 : h 0 (fixed effect) Hasil uji Hausman dapat dilihat pada Tabel 22, 23, dan 24 berikut ini. Tabel 22. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja untuk Industry-Mix Component (μ i ) Model Chi-Square DF P-value SAR Fixed Effect SAR Random 29, ,000 Effect SEM Fixed Effect SEM Random 40, ,000 Effect Tabel 23. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja untuk Productivity Differential Component (π i ) Model Chi-Square DF P-value SAR Fixed Effect SAR Random 876, ,000 Effect SEM Fixed Effect SEM Random 127, ,000 Effect Tabel 24. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja untuk Allocative Component (α i ) Model Chi-Square DF P-value SAR Fixed Effect SAR Random 15, ,0005 Effect SEM Fixed Effect SEM Random 6, ,0381 Effect Hasil p-value Tabel 22, 23, dan 24 setiap model SAR dan SEM menunjukkan nilai kurang dari 5%, sehingga model efek spasial yang terbentuk adalah fixed effect. Dengan demikian terdapat dua kemungkinan untuk model

34 perbedaan produktivitas dengan masing-maisng variabel penjelas yang ada yaitu model SAR fixed effect dan SEM fixed effect. Pemilihan model terbaik (goodness of fit) adalah dengan menggunakan kriteria R 2 dan Corr 2. Nilai kedua kriteria R 2 dan Corr 2 untuk semua kemungkinan model dapat dilihat pada Tabel 25, 26, dan 27. Tabel 25. Nilai R 2 dan Corr 2 Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dengan The Industry-Mix Component (μ i ) Model R 2 Corr 2 SAR Fixed Effect 0,9557 0,0514 SEM Fixed Effect 0,9517 0,0502 Tabel 26. Nilai R 2 dan Corr 2 Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dengan The Productivity Differential Component (π i ) Model R 2 Corr 2 SAR Fixed Effect 0,9719 0,4080 SEM Fixed Effect 0,9699 0,4086 Tabel 27. Nilai R 2 dan Corr 2 Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dengan The Allocative Component (α i ) Model R 2 Corr 2 SAR Fixed Effect 0,9662 0,3108 SEM Fixed Effect 0,9641 0,2941 Tabel 25, 26, dan 27 menunjukkan pemilihan model terbaik antara SAR dan SEM dengan fixed effect spatial. Kriteria terbaik adalah memilih model yang memiliki nilai R 2 terbesar dan Corr 2 terkecil sehingga didapat selisih keduanya yng paling besar. Hasil perhitungan dapat disimpulkan bahwa untuk masing-masing variabel penjelas the Industry-Mix Component (μ i ) dan the Productivity Differential Component (π i ) model terbaik yang didapatkan adalah SAR fixed effect.

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Kabupaten yang berada di wilayah Jawa dan Bali. Proses pembentukan klaster dari

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Kabupaten yang berada di wilayah Jawa dan Bali. Proses pembentukan klaster dari BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penelitian ini mengembangkan model pengklasteran Pemerintah Daerah di Indonesia dengan mengambil sampel pada 30 Pemerintah Kota dan 91 Pemerintah Kabupaten

Lebih terperinci

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun 1.1. UMUM 1.1.1. DASAR Balai Pemantapan Kawasan Hutan adalah Unit Pelaksana Teknis Badan Planologi Kehutanan yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 6188/Kpts-II/2002, Tanggal 10

Lebih terperinci

INFORMASI UPAH MINIMUM REGIONAL (UMR) TAHUN 2010, 2011, 2012

INFORMASI UPAH MINIMUM REGIONAL (UMR) TAHUN 2010, 2011, 2012 INFORMASI UPAH MINIMUM REGIONAL (UMR) TAHUN 2010, 2011, 2012 Berikut Informasi Upah Minimum Regional (UMR) atau Upah Minimum Kabupaten (UMK) yang telah dikeluarkan masing-masing Regional atau Kabupaten

Lebih terperinci

Summary Report of TLAS Trainings in Community Forest on Java Year of Implementation :

Summary Report of TLAS Trainings in Community Forest on Java Year of Implementation : Summary Report of TLAS Trainings in Community Forest on Java Year of Implementation : 2011-2012 No. Provinces and Groups of Participants Training Dates and Places Number and Origins of Participants Remarks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, program pembangunan lebih menekankan pada penggunaan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, program pembangunan lebih menekankan pada penggunaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dewasa ini, program pembangunan lebih menekankan pada penggunaan pendekatan regional dalam menganalisis karakteristik daerah yang berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan,

Lebih terperinci

PROPINSI KOTAMADYA/KABUPATEN TARIF KABUPATEN/KOTAMADYA HARGA REGULER. DKI JAKARTA Kota Jakarta Barat Jakarta Barat

PROPINSI KOTAMADYA/KABUPATEN TARIF KABUPATEN/KOTAMADYA HARGA REGULER. DKI JAKARTA Kota Jakarta Barat Jakarta Barat PROPINSI KOTAMADYA/KABUPATEN TARIF KABUPATEN/KOTAMADYA HARGA REGULER DKI JAKARTA Kota Jakarta Barat Jakarta Barat 13.000 Kota. Jakarta Pusat Jakarta Pusat 13.000 Tidak Ada Other Kota. Jakarta Selatan Jakarta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 70 HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Pertumbuhan Penduduk dan Ekonomi Pulau Jawa serta Share-nya dalam Konteks Nasional dari Waktu ke Waktu Dinamika Pertumbuhan Penduduk Pulau Jawa Pertumbuhan penduduk dianggap

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut. BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut. 1. Berdasarkan Tipologi Klassen periode 1984-2012, maka ada 8 (delapan) daerah yang termasuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah) 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Selain Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur menempati posisi tertinggi

Lebih terperinci

KANAL TRANSISI TELEVISI SIARAN DIGITAL TERESTERIAL PADA ZONA LAYANAN IV, ZONA LAYANAN V, ZONA LAYANAN VI, ZONA LAYANAN VII DAN ZONA LAYANAN XV

KANAL TRANSISI TELEVISI SIARAN DIGITAL TERESTERIAL PADA ZONA LAYANAN IV, ZONA LAYANAN V, ZONA LAYANAN VI, ZONA LAYANAN VII DAN ZONA LAYANAN XV 2012, 773 8 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG PENGGUNAAN PITA SPEKTRUM FREKUENSI RADIO ULTRA HIGH FREQUENCY (UHF) PADA ZONA LAYANAN IV,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah yang bersangkutan dengan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi penelitian Adapun lokasi penelitian ini adalah di provinsi Jawa Timur yang terdiri dari 38 kota dan kabupaten yaitu 29 kabupaten dan 9 kota dengan mengambil 25 (Dua

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor. Akan

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota eranan ekonomi wilayah kabupaten/kota terhadap perekonomian Jawa Barat setiap tahunnya dapat tergambarkan dari salah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dihitung menggunakan data PDRB Provinsi

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota oda perekonomian yang bergulir di Jawa Barat, selama tahun 2007 merupakan tolak ukur keberhasilan pembangunan Jabar.

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR. Provinsi Jawa Timur membentang antara BT BT dan

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR. Provinsi Jawa Timur membentang antara BT BT dan BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR 4. 1 Kondisi Geografis Provinsi Jawa Timur membentang antara 111 0 BT - 114 4 BT dan 7 12 LS - 8 48 LS, dengan ibukota yang terletak di Kota Surabaya. Bagian utara

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK A. Gambaran Umum Objek/Subjek Penelitian 1. Batas Administrasi. Gambar 4.1: Peta Wilayah Jawa Tengah Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITAN. Lokasi pada penelitian ini adalah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur.

BAB III METODE PENELITAN. Lokasi pada penelitian ini adalah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur. BAB III METODE PENELITAN A. Lokasi Penelitian Lokasi pada penelitian ini adalah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur. Pemilihan lokasi ini salah satunya karena Provinsi Jawa Timur menepati urutan pertama

Lebih terperinci

Jumlah No. Provinsi/ Kabupaten Halaman Kabupaten Kecamatan 11. Provinsi Jawa Tengah 34 / 548

Jumlah No. Provinsi/ Kabupaten Halaman Kabupaten Kecamatan 11. Provinsi Jawa Tengah 34 / 548 4. Kota Bekasi 23 109 5. Kota Bekasi 10 110 6. Kabupaten Purwakarta 17 111 7. Kabupaten Bandung 43 112 8. Kodya Cimahi 3 113 9. Kabupaten Sumedang 26 114 10. Kabupaten Garut 39 115 11. Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi harus di pandang sebagai suatu proses yang saling

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi harus di pandang sebagai suatu proses yang saling BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah 5.1. Kondisi Geografis BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 o 50 ' - 7 o 50 ' Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN, AGUS D.W. MARTOWARDOJO.

MENTERI KEUANGAN, AGUS D.W. MARTOWARDOJO. LAMPIRAN VI PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR /PMK.07/2011 TENTANG ALOKASI KURANG BAYAR DAN BAGI HASIL PAJAK DAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN ANGGARAN 2009 DAN TAHUN ANGGARAN 2010 YANG DIALOKASIKAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Penghitungan kesenjangan pendapatan regional antar kabupaten/kota di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG MASALAH Dinamika yang terjadi pada sektor perekonomian Indonesia pada masa lalu

BAB I PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG MASALAH Dinamika yang terjadi pada sektor perekonomian Indonesia pada masa lalu BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dinamika yang terjadi pada sektor perekonomian Indonesia pada masa lalu menunjukkan ketidak berhasilan dan adanya disparitas maupun terjadinya kesenjangan pendapatan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hasil dari uji heterokedastisitas tersebut menggunakan uji Park. Kriteria

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hasil dari uji heterokedastisitas tersebut menggunakan uji Park. Kriteria BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Uji Kualitas Data 1. UJI Heteroskedastisitas Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi imi terjadi heterokedastisitas atau tidak, untuk

Lebih terperinci

2011, Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara R

2011, Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara R BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA 615, 2011 KEMENTERIAN KEUANGAN. DBH. Pajak. Cukai. Tahun Anggaran 2011 PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 161/PMK.07/2011 TENTANG ALOKASI KURANG BAYAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dan potensi daerah. Otonomi daerah memberikan peluang luas bagi

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dan potensi daerah. Otonomi daerah memberikan peluang luas bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga paradigma kebijakan pembangunan nasional sebaiknya diintegrasikan dengan strategi pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Pembahasan Hasil Regresi Dalam bab ini akan dibahas mengenai bagaimana pengaruh PAD dan DAU terhadap pertumbuhan ekonomi dan bagaimana perbandingan pengaruh kedua variabel tersebut

Lebih terperinci

Grafik Skor Daya Saing Kabupaten/Kota di Jawa Timur

Grafik Skor Daya Saing Kabupaten/Kota di Jawa Timur Grafik Skor Daya Saing Kabupaten/Kota di Jawa Timur TOTAL SKOR INPUT 14.802 8.3268.059 7.0847.0216.8916.755 6.5516.258 5.9535.7085.572 5.4675.3035.2425.2185.1375.080 4.7284.4974.3274.318 4.228 3.7823.6313.5613.5553.4883.4733.3813.3733.367

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Industrialisasi pada negara sedang berkembang sangat diperlukan agar dapat tumbuh

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Gambaran Persebaran Penduduk Miskin Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kabupaten atau kota sejumlah 35 kabupaten dan kota (BPS,

Lebih terperinci

LOKASI SEKTOR UNGGULAN di JAWA TIMUR

LOKASI SEKTOR UNGGULAN di JAWA TIMUR LOKASI SEKTOR UNGGULAN di JAWA TIMUR Kondisi Umum Perekonomian Kabupaten/Kota di Jawa Timur Perekonomian di berbagai kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Timur terbentuk dari berbagai macam aktivitas

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 36 BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH 4.1 Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di tengah Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi Jawa Tengah terletak

Lebih terperinci

UPAH MINIMUM TAHUN 2005 PROPINSI KABUPATEN - KOTAMADYA DI INDONESIA No Propinsi Kabupaten / Kotamadya Sektor Industri Upah Minimum 2005 (Rp)

UPAH MINIMUM TAHUN 2005 PROPINSI KABUPATEN - KOTAMADYA DI INDONESIA No Propinsi Kabupaten / Kotamadya Sektor Industri Upah Minimum 2005 (Rp) PROPINSI KABUPATEN KOTAMADYA DI INDONESIA 1 Nanggroe Aceh Darussalam No. 25 / 2004 Tanggal 29102004 2 Sumatera Barat No. 564528 / 2004 Tanggal 22112004 3 Jambi No. 491 / 2004 Tanggal 26112004 4 Riau No.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1. Gambaran Umum Subyek penelitian Penelitian ini tentang pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten/kota

Lebih terperinci

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah) 3.14. KECAMATAN NGADIREJO 3.14.1. PDRB Kecamatan Ngadirejo Besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kecamatan Ngadirejo selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3.14.1

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN

BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN 164 BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN Adanya keterbatasan dalam pembangunan baik keterbatasan sumber daya maupun dana merupakan alasan pentingnya dalam penentuan sektor

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di Pulau Jawa Provinsi Jawa Timur yang terdiri dari 29 kabupaten dan 9 kota di antaranya dari Kab Pacitan, Kab Ponorogo, Kab Trenggalek,

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis dan Iklim Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang terletak di Pulau Jawa selain Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), Banten,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas mengenai gambaran persebaran IPM dan komponen-komponen penyususn IPM di Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya dilakukan pemodelan dengan menggunakan

Lebih terperinci

RILIS HASIL LISTING SENSUS EKONOMI 2016 PROVINSI JAWA TIMUR TEGUH PRAMONO

RILIS HASIL LISTING SENSUS EKONOMI 2016 PROVINSI JAWA TIMUR TEGUH PRAMONO RILIS HASIL LISTING SENSUS EKONOMI 2016 PROVINSI JAWA TIMUR TEGUH PRAMONO 2 Penjelasan Umum Sensus Ekonomi 2016 Sensus Ekonomi merupakan kegiatan pendataan lengkap atas seluruh unit usaha/perusahaan (kecuali

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. LAMPIRAN Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap 15.24 6.68 22.78 1676090 2 Kab. Banyumas 18.44 5.45 21.18 1605580 3 Kab. Purbalingga 20.53 5.63 21.56 879880 4 Kab. Banjarnegara

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa 72 V. PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Pulau Jawa merupakan salah satu Pulau di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian hipotesisinya yang meliputi uji serempak (ujif), uji signifikansi paramerer individual (uji T), dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satunya bidang ekonomi. pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu

BAB I PENDAHULUAN. salah satunya bidang ekonomi. pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di Indonesia telah mengalami kemajuan di berbagai bidang salah satunya bidang ekonomi. pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu indikator kondisi perekonomian

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Uji Asumsi Klasik 1. Uji Heteroskedastisitas Berdasarkan uji Park, nilai probabilitas dari semua variabel independen tidak signifikan pada tingkat 5%. Keadaan ini

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena global. Permasalahan ketimpangan bukan lagi menjadi persoalan pada negara dunia ketiga saja. Kesenjangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dari tahun ketahun. Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tentang kemiskinan ini hanya terbatas pada kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007-2011. Variabel yang digunakan dalam menganalisis

Lebih terperinci

PEMODELAN KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN METODE SEEMINGLY UNRELATED REGRESSION (SUR) SPASIAL

PEMODELAN KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN METODE SEEMINGLY UNRELATED REGRESSION (SUR) SPASIAL PEMODELAN KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN METODE SEEMINGLY UNRELATED REGRESSION (SUR) SPASIAL Dibyo Adi Wiboao 1), Setiawan 2), dan Vita Ratnasari 3) 1) Program Studi Magister Statistika, Institut

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 25 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Pembangunan di Era Orde Baru telah melahirkan kebijakan yang sentralistik, baik dalam proses perencanaan maupun pengambilan keputusan. Pembangunan diarahkan

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 37 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menjelaskan tentang metodologi yang digunakan dalam studi ini, yang terdiri dari spesifikasi model, definisi operasional variabel, data dan sumber data, serta metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Kebijaksanaan pembangunan dilakukan

Lebih terperinci

4 KINERJA PDAM Kantor BPPSPAM

4 KINERJA PDAM Kantor BPPSPAM DAFTAR ISI Kata pengantar Halaman 5 Laporan Kinerja PDAM di Indonesia Periode 2011 Halaman 7 Provinsi DKI Jakarta Halaman 15 Provinsi Banten Halaman 17 Provinsi Jawa Barat Halaman 25 Provinsi Jawa tengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makroekonomi jangka panjang. Dari satu periode ke periode berikutnya kemampuan suatu negara untuk

Lebih terperinci

KAJIAN AWAL KETERKAITAN KINERJA EKONOMI WILAYAH DENGAN KARAKTERISTIK WILAYAH

KAJIAN AWAL KETERKAITAN KINERJA EKONOMI WILAYAH DENGAN KARAKTERISTIK WILAYAH KAJIAN AWAL KETERKAITAN KINERJA EKONOMI WILAYAH DENGAN KARAKTERISTIK WILAYAH Hitapriya Suprayitno 1) dan Ria Asih Aryani Soemitro 2) 1) Staf Pengajar, Jurusan Teknik Sipil ITS, suprayitno.hita@gmail.com

Lebih terperinci

JURUSAN STATISTIKA - FMIPA INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER. Ayunanda Melliana Dosen Pembimbing : Dr. Dra. Ismaini Zain, M.

JURUSAN STATISTIKA - FMIPA INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER. Ayunanda Melliana Dosen Pembimbing : Dr. Dra. Ismaini Zain, M. JURUSAN STATISTIKA - FMIPA INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER Seminar hasil TUGAS AKHIR Ayunanda Melliana 1309100104 Dosen Pembimbing : Dr. Dra. Ismaini Zain, M.Si PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.70 /11/33/Th.VIII, 05 November 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,68 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2014 yang sebesar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Provinsi yang memiliki jumlah tenaga kerja yang tinggi.

BAB III METODE PENELITIAN. Provinsi yang memiliki jumlah tenaga kerja yang tinggi. BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Ruang Lingkup Penelitian Lokasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Provinsi Jawa Timur. Secara administratif, Provinsi Jawa Timur terdiri dari

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S --

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S -- BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Letak dan Luas Wilayah Jawa Tengah terletak di antara 108 30 B.T -- 111 30 B.T dan 6 30 L.S -- 8 30 L.S. Propinsi ini terletak di

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Data Secara umum, wilayah Jawa Timur dapat dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu Jawa Timur daratan dan Kepulauan Madura. Luas wilayah Jawa Timur daratan hampir mencakup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan

Lebih terperinci

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT 5.1 Analisis Model Regresi Data Panel Persamaan regresi data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah 44 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat ditentukan menggunakan indeks Williamson yang kemudian dikenal

Lebih terperinci

ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN ANGGARAN 2011 NO PROVINSI/KABUPATEN/KOTA JUMLAH

ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN ANGGARAN 2011 NO PROVINSI/KABUPATEN/KOTA JUMLAH LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 33/PMK.07/2011 TENTANG : ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN ANGGARAN 2011 ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN

Lebih terperinci

Lampiran Surat No : KL /BIII.1/1022/2017. Kepada Yth :

Lampiran Surat No : KL /BIII.1/1022/2017. Kepada Yth : Lampiran Surat No : KL.01.01.01/BIII.1/1022/2017 Kepada Yth : Provinsi Banten 1. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten 2. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak 3. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang

Lebih terperinci

Gede Suwardika 1, korespondensi: 1 ABSTRAK

Gede Suwardika 1,  korespondensi: 1 ABSTRAK PEMODELAN PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SEKTOR UNGGULAN MENGGUNAKAN SEEMINGLY UNRELATED REGRESSION DENGAN PROSES SPATIAL SEBAGAI EARLY WARNING KEBIJAKAN PENDIDIKAN YANG BERORIENTASI DUNIA KERJA SEKTORAL

Lebih terperinci

WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG SALINAN WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 44 TAHUN 2012 TENTANG STANDARISASI INDEKS BIAYA KEGIATAN, PEMELIHARAAN, PENGADAAN

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.69 /11/33/Th.VII, 06 November 2013 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2013: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 6,02 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2013 mencapai 16,99

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Perhitungan Komponen CDI CDI dihitung pada level kota dan menggambarkan ukuran rata-rata kesejahteraan dan akses terhadap fasilitas perkotaan oleh individu. CDI menurut

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dari Sisi Penerimaan dan Sisi Pengeluaran Selama masa desentralisasi fiskal telah terjadi beberapa kali perubahan

Lebih terperinci

DAFTAR KUOTA PELATIHAN KURIKULUM 2013 PAI PADA MGMP PAI SMK KABUPATEN/KOTA

DAFTAR KUOTA PELATIHAN KURIKULUM 2013 PAI PADA MGMP PAI SMK KABUPATEN/KOTA NO PROVINSI DK KABUPATEN JUMLAH PESERTA JML PESERTA PROVINSI 1 A C E H 1 Kab. Aceh Besar 30 180 2 Kab. Aceh Jaya 30 3 Kab. Bireuen 30 4 Kab. Pidie 30 5 Kota Banda Aceh 30 6 6 Kota Lhokseumawe 30 2 BANGKA

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS HASIL ESTIMASI Angka Kematian Bayi 25 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

BAB 4 ANALISIS HASIL ESTIMASI Angka Kematian Bayi 25 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat BAB 4 ANALISIS HASIL ESTIMASI 4.1 Analisis Deskriptif Data 4.1.1 Angka Kematian Bayi 25 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Angka kematian bayi (AKB) Provinsi Jawa Barat selama kurun waktu tahun 2005

Lebih terperinci

P E N G A N T A R. Jakarta, Maret 2017 Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Dr. Andi Eka Sakya, M.Eng

P E N G A N T A R. Jakarta, Maret 2017 Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Dr. Andi Eka Sakya, M.Eng P E N G A N T A R Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Hujan diterbitkan setiap bulan September dan Prakiraan Musim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat yang dilaksanakan secara berkelanjutan berdasarkan pada kemampuan nasional, dengan

Lebih terperinci

PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011

PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011 No. 44/10/31/Th. XIV, 1 Oktober 2012 PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011 Laju pertumbuhan ekonomi yang diukur dari PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan total PDRB Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.31 /05/33/Th.VIII, 05 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,45 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Februari 2014 yang sebesar 17,72

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 51/Menhut-II/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 51/Menhut-II/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 51/Menhut-II/2009 TENTANG PERUBAHAN KESATU ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.02/MENHUT- II /2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI

Lebih terperinci

Lampiran 1 LAPORAN REALISASI DAU, PAD TAHUN 2010 DAN REALISASI BELANJA DAERAH TAHUN 2010 KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR (dalam Rp 000)

Lampiran 1 LAPORAN REALISASI DAU, PAD TAHUN 2010 DAN REALISASI BELANJA DAERAH TAHUN 2010 KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR (dalam Rp 000) Lampiran 1 LAPORAN REALISASI DAU, PAD TAHUN 2010 DAN REALISASI BELANJA DAERAH TAHUN 2010 KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR (dalam Rp 000) Kabupaten/Kota DAU 2010 PAD 2010 Belanja Daerah 2010 Kab Bangkalan 497.594.900

Lebih terperinci

Pengelompokkan Kabupaten/Kota Di Pulau Jawa Berdasarkan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Menggunakan Bisecting K-Means

Pengelompokkan Kabupaten/Kota Di Pulau Jawa Berdasarkan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Menggunakan Bisecting K-Means Pengelompokkan Kabupaten/ Di Pulau Jawa Berdasarkan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Menggunakan Bisecting K-Means Dila Fitriani Azuri*, Zulhanif, Resa Septiani Pontoh Departemen Statistika, FMIPA Universitas

Lebih terperinci

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG BIAYA PERJALANAN DINAS JABATAN DALAM NEGERI BAGI WALIKOTA, WAKIL WALIKOTA, UNSUR PIMPINAN SERTA ANGGOTA DPRD, PEGAWAI NEGERI SIPIL

Lebih terperinci

4. DINAMIKA POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAWA TIMUR

4. DINAMIKA POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAWA TIMUR 4. DINAMIKA POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAWA TIMUR 4.1 Kondisi Kecukupan Kalori dan Protein Keseimbangan kontribusi diantara jenis pangan yang dikonsumsi masyarakat adalah salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengangguran merupakan masalah yang sangat kompleks karena mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

PEMODELAN DAN PEMETAAN ANGKA BUTA HURUF PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN PENDEKATAN REGRESI SPASIAL. Bertoto Eka Firmansyah 1 dan Sutikno 2

PEMODELAN DAN PEMETAAN ANGKA BUTA HURUF PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN PENDEKATAN REGRESI SPASIAL. Bertoto Eka Firmansyah 1 dan Sutikno 2 PEMODELAN DAN PEMETAAN ANGKA BUTA HURUF PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN PENDEKATAN REGRESI SPASIAL Bertoto Eka Firmansyah dan Sutikno Mahasiswa Jurusan Statistika, ITS, Surabaya Dosen Pembimbing, Jurusan Statistika,

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab analisis dan pembahasan ini akan jelaskan tentang pola persebaran jumlah penderita kusta dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, kemudian dilanjutkan dengan pemodelan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga termasuk pula percepatan/akselerasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri.

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu pertumbuhan, penanggulangan kemiskinan, perubahan atau transformasi ekonomi dan keberlanjutan pembangunan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Peta Provinsi Jawa Tengah Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 2. Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci