BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab analisis dan pembahasan ini akan jelaskan tentang pola persebaran jumlah penderita kusta dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, kemudian dilanjutkan dengan pemodelan regresi poisson, pemodelan GWPR dengan pembobot fungsi kernel gaussian dan pemodelan GWPR dengan pembobot fungsi kernel bisquare. Melalui pemodelan tersebut dapat ditentukan faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap jumlah penderita kusta di Jawa tengah pada tahun 2012 dengan menambahkan pengaruh spasial. 4.1 Deskripsi Kabupaten/kota di Jawa Tengah Berdasarkan Jumlah Penderita Kusta dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Pendeskripsian untuk data jumlah penderita kusta serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dilakukan dengan menggunakan peta tematik. Untuk mempermudah penjelasan dengan peta, nilai untuk setiap variabel penelitian dikelompokan menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi menurut range dari data yang terdapat di provinsi jawa tengah. Berikut hasil pemetaan dari masing-masing variabel penelitian yang digambarkan dalam peta tematik Persebaran Jumlah Penderita Kusta di tiap Kabupaten/kota Jumlah penderita kusta di Jawa Tengah tahun 2012 adalah sebanyak 1513 jiwa yang tersebar diseluruh kabupaten/kota. Angka tertinggi terdapat di Kabupaten Tegal dengan jumlah penderita 170 jiwa sedangkan angka terendah 0 jiwa terdapat di Kabupaten Semarang, Kota Magelang, dan Salatiga. Data jumlah 31

2 penderita kusta serta variabel prediktor untuk tiap kabupaten/kota di Jawa Tengah dapat dilihat pada lampiran 1. (jiwa) kategori : 0-38 (rendah) (sedang) (tinggi) JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.1 Persebaran Jumlah Penderita Kusta Wilayah yang masuk ke dalam jumlah penderita kusta kategori tinggi banyak terdapat di bagian utara. Kabupaten Blora, Brebes, Pemalang, Pekalongan, dan Tegal termasuk dalam kategori tinggi artinya di kabupaten tersebut terdapat penderita kusta antara jiwa. Kabupaten yang berbatasan langsung dengan kabupaten Blora seperti Rembang, Pati, dan Grobogan merupakan kabupaten dengan jumlah penderita pada kategori sedang (39-82 jiwa) kabupaten lain yang masuk kategori sedang yaitu kabupaten Batang, Kota Pekalongan, Kudus, dan Demak. Kabupaten lain yang tidak disebutkan di atas merupakan kabupaten dengan jumlah penderita kusta kategori rendah (0-38 jiwa). 32

3 4.1.2 Persebaran Persentase Rumah Tangga ber-perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) di tiap Kabupaten/kota (%)kategori : (rendah) (sedang) (tinggi) JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.2 Persebaran persentase rumah tangga ber-phbs Gambar 4.2 menunjukan persentase rumah tangga ber-phbs kategori tinggi (77,5-93,9) dalam satuan persen (%) sebagian besar berada di wilayah timur yaitu kabupaten Pati, Demak, Grobogan, Sragen, Karanganyar, Klaten, dan Wonogiri. Sedangkan kabupaten/kota kategori rendah (46,2-61,3) sebagian besar terdapat di sekitar Kabupaten Temanggung yaitu Kabupaten Banjarnegara, Kendal, Wonosobo, Brebes, Magelang, dan Semarang. Berdasarkan tabel 4.1 yang memuat angka statistik deskriptif tiap variabel penelitian, rata rata persentase rumah tangga ber-phbs adalah 74,85%. Kabupaten/kota dengan persentase rumah tangga ber-phbs tertinggi adalah Kota Pekalongan sebesar 93,9% dan terendah adalah Kabupaten Banjarnegara sebesar 46,2%. 33

4 4.1.3 Persebaran Persentase Rumah Sehat di tiap Kabupaten/kota (%) kategori : (rendah) (sedang) (tinggi) JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.3 Persebaran persentase rumah sehat Pada Tahun 2012 sebanyak 4,686,852 (57,3%) rumah diperiksa dan yang memenuhi syarat rumah sehat sebesar 3,190,839 (68,1%) sedikit meningkat dibandingkan dengan tahun 2011 yang mencapai (62,95%). (Profil kesehatan, 2012). Gambar 4.3 menunjukan Kabupaten Blora, Klaten, Kudus, Sukoharjo, Semarang, dan Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Magelang, Kota Tegal adalah wilayah yang masuk dalam kategori tinggi (76,47-98,05) untuk variabel persentase rumah sehat. Sedangkan Kabupaten Tegal, Banjarnegara, Brebes, Rembang, Pati, dan Batang adalah kabupaten yang masuk ke kategori rendah (36, ). Persentase rumah sehat tertinggi terdapat di Kabupaten Semarang sebesar 98,05% sedangkan persentase rumah sehat terendah berada di Kabupaten Banjarnegara sebesar 36,12%. 34

5 4.1.4 Persebaran Banyaknya Dokter di tiap Kabupaten/kota (jiwa) kategori : (rendah) (tinggi) (sedang) JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.4 Persebaran banyaknya dokter Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah banyaknya dokter yang tercatat di Jawa Tengah adalah berjumlah 1876 dengan rata-rata 53,6 dokter per kabupaten/kota. Jika dilihat dari peta tematik kabupaten/kota yang masuk ke dalam kategori tinggi adalah Kabupaten Kendal (88 jiwa) dan Kota Semarang (108 jiwa). Banyaknya dokter dengan kategori sedang (51-76 jiwa) menggelompok di bagian timur yaitu kabupaten Demak, Klaten, Pati, Jepara, Kudus, Grobogan, Sragen, Karanganyar, Magelang, dan Wonogiri. Sedangkan kabupaten/kota dengan kategori sedang yang berada dibagian barat yaitu Kabupaten Pekalongan, Pemalang, Brebes, dan Banyumas. Kabupaten/kota dengan jumlah dokter terendah adalah Kota Tegal (20 jiwa). 35

6 4.1.5 Persebaran Banyaknya Puskesmas di tiap kabupaten/kota (unit) kategori : 5-17 (rendah) (sedang) (tinggi) JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.5 Persebaran banyaknya puskesmas Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah jumlah Puskesmas di Jawa Tengah adalah 873 unit yang tersebar di seluruh kabupaten/kota. Mayoritas Kabupaten/kota di Jawa Tengah masuk dalam kategori sedang yaitu terdapat unit puskesmas di wilayahnya. Banyaknya puskesmas terendah yaitu terdapat di Kota Magelang dengan 5 unit puskesmas sedangkan yang tertinggi adalah di Kabupaten Banyumas dengan 39 unit puskesmas. Kabupaten/kota yang masuk kategori tinggi (31-39 unit) sebagian besar mengelompok di bagian barat seperti kabupaten Brebes, Cilacap, Banyumas, Banjarnegara, Kebumen, dan Sebagian lainnya menyebar di wilayah selatan dan utara berbatasan dengan laut yaitu Kota Semarang, Klaten, dan Wonogiri. 36

7 4.1.6 Persebaran Persentase Penduduk Berjenis Kelamin Laki-laki di tiap Kabupaten/kota (%) kategori : (rendah) (sedang) (tinggi) JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.6 Persebaran persentase penduduk berjenis kelamin laki-laki Berdasarkan penghitungan sementara angka proyeksi penduduk tahun 2012 hasil Sensus Penduduk tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistik didapatkan jumlah penduduk laki-laki di Jawa Tengah jiwa atau 49,58% dan jumlah penduduk perempuan di Jawa Tengah jiwa atau 50,42%. Sehingga didapatkan rasio jenis kelamin sebesar 98,34 per 100 penduduk perempuan, berarti setiap 100 penduduk perempuan ada sekitar 98 penduduk laki-laki (Profil Kesehatan, 2012). Gambar 4.6 menunjukan bahwa kabupaten/kota dengan persentase penduduk laki-laki dengan kategori sedang (49,10-49,8) dan kategori tinggi (49,81-50,79) hampir sama, hanya saja persentase penduduk laki-laki dengan kategori sedang berpola mengelompok di sebelah timur sedangkan yang kategorinya tinggi mengelompok di sebelah barat. Persentase penduduk laki-laki 37

8 terendah adalah Kabupaten Pati 48,54% dan persentase penduduk laki-laki tertinggi adalah Kabupaten Kendal 50,79% Persebaran Kepadatan Penduduk di tiap Kabupaten/kota (penduduk/km2) kategori : (rendah) (sedang) (tinggi) JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.7 Persebaran kepadatan penduduk Gambar 4.7 menunjukan hampir semua kabupaten/kota adalah kategori rendah artinya terdapat penduduk/km 2 di dalam kabupaten/kota tersebut. Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Magelang, dan Kota Tegal adalah kategori sedang ( penduduk/km 2 ) sedangkan yang berkategori tinggi hanya Kota Surakarta yang kepadatan penduduknya sebesar penduduk/km 2. Selain karena luas daerah yang kecil sekitar 44 kilometer persegi (Sensus Penduduk 2010) Surakarta menjadi wilayah yang terpadat penduduknya karena Surakarta merupakan merupakan daerah tujuan urbanisasi, kawasan pemukiman bagi pekerja dan pelaku kegiatan ekonomi. 38

9 4.1.8 Persebaran Jumlah Penyuluhan Kesehatan Kelompok di tiap Kabupaten/kota kategori : JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.8 Persebaran jumlah penyuluhan kesehatan kelompok Jika dilihat dari gambar 4.8 persebaran penyuluhan kesehatan kelompok sebagian besar adalah kabupaten/kota yang masuk kategori rendah dan sedang. Berdasarkan tabel 4.1 penyuluhan kelompok pada tahun 2012 tercatat dilakukan sebanyak kali dengan penyuluhan terbanyak dilakukan di Kabupaten Kendal yaitu kali dan paling sedikit dilakukan di Kabupaten Blora sebanyak 66 kali Persebaran Pengeluaran Riil per Kapita di tiap Kabupaten/kota Berdasarkan tabel 4.1 rata-rata pengeluaran riil per kapita untuk Provinsi Jawa Tengah adalah 644,26 ribu rupiah. Pengeluaran riil per kapita kategori tinggi yang ditandai dengan warna merah pada peta terdapat di beberapa kabupaten/kota diantaranya Kabupaten Klaten, Karanganyar, Pati, Sukoharjo, 39

10 Wonogiri, Kota Pekalongan, Kota Semarang, Salatiga, Kota Tegal, dan Surakarta. Pengeluaran riil per kapita terendah adalah Kabupaten Wonosobo sebesar 632,71 (ribu Rp) dan tertinggi adalah Kota Surakarta sebesar 658,92 (ribu Rp). (Ribu Rp)kategori : (rendah) (sedang) (tinggi) JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.9 Persebaran pengeluaran riil per kapita Persebaran Persentase Penduduk Miskin di tiap Kabupaten/kota (%)kategori : (rendah) (sedang) (tinggi) JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.10 Persentase penduduk miskin 40

11 Berdasarkan tabel 4.1 rata-rata persentase penduduk miskin di Jawa Tengah adalah 14,42% untuk setiap kabupaten/kota. Gambar 4.10 menunjukan kabupaten/kota dengan persentase penduduk miskin kategori rendah yang berkisar antara 5,13-10,75% adalah Kota Semarang 5,13%, Salatiga 7,11%, Kudus 8,63%, Jepara 9,38%, Semarang 9,40%, dan Kota Pekalongan 9,47%. Persentase penduduk miskin kategori tinggi adalah yang berkisar antara 16,74-22,5% yaitu Kabupaten Demak, Banjarnegara, Pemalang, Banyumas, Brebes, Purbalingga, Rembang, Kebumen, dan tertinggi adalah Kabupaten Wonosobo 22,50%. Kabupaten lain yang tidak disebutkan di atas masuk ke dalam kategori sedang untuk variabel persentase penduduk miskin Persebaran Rata-rata Lama Sekolah Penduduk di tiap Kabupaten/kota (tahun)kategori : (rendah) (sedang) (tinggi) JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.11 Persebaran rata-rata lama sekolah penduduk 41

12 Mayoritas kabupaten/kota di Jawa Tengah masuk di kategori rendah untuk rata-rata lama sekolah yaitu sekitar 6,07-7,23 tahun. Hal ini menunjukan bahwa tingkat pendidikan di Jawa tengah masih tergolong rendah karena rata-rata penduduk jawa tengah hanya melanjutkan pendidikan sampai jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Rata-rata lama sekolah tertinggi adalah di Kota Surakarta 10,5 tahun dan terendah adalah di Kabupaten Brebes 6,07 tahun. Berikut adalah statistik deskriptif variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap jumlah penderita kusta di Jawa Tengah apabila disajikan dalam bentuk tabel. Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian variabel Mean Varians minimum maksimum Y 43, , X 1 74,85 168,02 46,2 93,9 X 2 69,85 179,43 36,12 98,05 X 3 53,60 334, X 4 24,94 82, X 5 49,64 0,297 48,54 50,79 X , , X , , X 8 644,26 49,93 632,71 658,92 X 9 14,42 20,66 5,13 22,5 X 10 7,65 1,39 6,07 10,49 Dari tabel 4.1 diatas dapat dikatakan varians tertinggi untuk faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penderita kusta adalah jumlah penyuluhan kelompok (X 7 ) dan kepadatan penduduk (X 6 ). Nilai varians yang tinggi dapat diartikan variabel jumlah penyuluhan kelompok dan kepadatan penduduk sangat fluktuatif. Berikut adalah grafik scatterplot antara jumlah penderita kusta dan faktorfaktor yang mempengaruhinya. Gambar 4.12 menunjukan adanya hubungan linier 42

13 yang positif dan negatif antara jumlah penderita kusta dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Scatterplot of Y vs X1; X2; X3; X4; X5; X6; X7; X8; X9; X X1 X2 X3 X X5 X6 X7 X8 160 Y X9 X Gambar 4.12 Scatterplot Jumlah Penderita Kusta dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya. Variabel yang memiliki garis yang naik dari kiri bawah ke kanan atas adalan variabel dengan pengaruh positif untuk jumlah penderita kusta di Jawa Tengah, dari scatterplot diatas pengaruh yang positif ditunjukan oleh persentase rumah tangga ber-phbs (X 1 ), banyaknya dokter (X 3 ), banyaknya puskesmas (X 4 ), dan persentase penduduk miskin (X 9 ). Seiring dengan makin tingginya angka prevalensi kusta di jawa tengah, kabupaten/kota dengan jumlah penderita kusta cukup tinggi akan berusaha meningkatkan pelayanan di sektor-sektor kesehatan seperti menambah kapasitas tenaga kesehatan dan tempat berobat di masingmasing wilayahnya untuk mengendalikan penyakit tersebut oleh karena itu banyaknya dokter dan puskesmas berpengaruh positif. Variabel yang berpengaruh 43

14 negatif atau variabel yang memiliki garis turun dari kiri atas ke kanan bawah untuk jumlah penderita kusta adalah persentase rumah sehat (X 2 ), Kepadatan penduduk (X 6 ). Pengeluaran riil per kapita (X 8 ), dan rata-rata lama sekolah (X 10 ). 4.2 Pemeriksaan Multikolinearitas Sebelum melakukan pemodelan menggunakan regresi poisson dan GWPR perlu dilakukan uji untuk mendeteksi apakah terdapat multikolinearitas pada variabel-variabel prediktornya. Jika terdapat adanya multikolinearitas maka harus ada variabel yang direduksi sampai tidak lagi terdapat korelasi antar variabel prediktor. Sesuai dengan yang telah di jelaskan pada subbab 2.1 ada tiga kriteria yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kondisi multikolinearitas salah satunya menggunakan kriteria nilai VIF. Berikut ini adalah tabel nilai VIF dari masing-masing variabel prediktor. Tabel 4.2 Nilai VIF dari 10 Variabel Prediktor Variabel Prediktor Nilai VIF X 1 1,983 X 2 2,189 X 3 3,210 X 4 3,053 X 5 1,894 X 6 3,529 X 7 1,626 X 8 2,667 X 9 2,405 X 10 4,381 Dari tabel 4.2 dapat disimpulkan jika tidak terjadi korelasi antar variabel prediktor atau tidak terjadi kasus multikolinearitas karena semua variabel menunjukan nilai VIF yang kurang dari 10 sehingga variabel-variabel tersebut selanjutnya akan digunakan untuk membentuk model regresi poisson. 44

15 4.3 Pemodelan Jumlah Penderita Kusta Menggunakan Regresi Poisson Dalam pemodelan menggunakan regresi poisson ini melibatkan sepuluh faktor yang diduga terkait dengan jumlah penderita kusta di Jawa Tengah. Regresi poisson digunakan karena data penderita kusta dapat diasumsikan berdistribusi poisson karena datanya yang berupa data diskrit atau data count (jumlahan). Gambar 4.13a Plot Kuantil-kuantil normal Gambar 4.13b Histogram data jumlah penderita kusta 45

16 Gambar 4.13 merupakan plot kuantil-kuantil normal dan histogram untuk variabel jumlah penderita kusta di Jawa tengah. Dari plot kuantil dan y i menunjukan bahwa sebaran data tidak mengikuti garis lurus dan histogram dari y i juga tidak simetris, hal ini menunjukan penyimpangan data dari sebaran normal. Selanjutnya akan dilakukan estimasi parameter model regresi poisson diperoleh nilai estimasi pada tabel berikut. Tabel 4.3 Nilai Estimasi Parameter Model Regresi Poisson Parameter Estimasi Standar Error Z hitung P-value β 0 6,115 6,5359 0,936 0,374 β 1 0,0276 0,0033 8,431 0,000 β 2-0,0091 0,0032-2,890 0,004 β 3 0,0241 0,0028 8,468 0,000 β 4-0,0349 0,0054-6,479 0,000 β 5 0,1186 0,0751 1,578 0,109 β 6 0,0003 0, ,90 0,000 β 7-0, , ,702 0,008 β 8-0,0022 0,0058-0,379 0,731 β 9 --0,0118 0,0086-1,377 0,179 β 10-1,2151 0, ,875 0,000 Devians : 858,134 Derajat bebas : 24 AIC : 880,134 α=5% Uji Serentak Parameter Regresi Poisson Pengujian serentak pada parameter regresi poisson hipotesis pengujiannya adalah sebagai berikut : H 0 : β 1 = β 2 =... = β10 = 0 H 1 : paling sedikit ada satu β 0 ; j=1,2,,10 j Hasil output untuk pemodelan regresi poisson apabila diuji secara serentak maka hasilnya tolak H 0 karena nilai devians = 858,134 lebih besar dari 36,4, atau ( βˆ ) 2 D > χ ( 24;0,05), sehingga dapat disimpulkan paling sedikit ada satu β 0 atau j 46

17 dengan kata lain minimal ada salah satu parameter yang berpengaruh secara signifikan terhadap model regresi poisson Uji Parsial Parameter Regresi Poisson Selanjutnya untuk mengetahui parameter yang berpengaruh signifikan terhadap model dilakukan uji secara parsial. Untuk melakukan uji parameter secara parsial kita dapat membandingkan niali Z hitung masing-masing paremeter terhadap Z α/2 =1,96 dengan taraf signifikasi 5% atau dengan melihat p-value yang kurang dari α=0,05. Dari tabel 4.3 kita dapatkan parameter yang secara parsial signifikan terhadap model regresi poisson adalah β 1, β 2, β3, β4, β6, β7, dan β10 karena Z hitung > Z α/2. Jadi model regresi poisson untuk jumlah penderita kusta adalah sebagai berikut. ˆ µ = exp(6, ,0276β 0,0091β ,0241β 0,0349β ,0003β 6 + 0,00001β 7 1,2151β ) 10 Variabel prediktor yang berpengaruh terhadap jumlah penderita kusta di Jawa Tengah dengan model regresi poisson adalah persentae rumah tangga ber- PHBS (X 1 ), persentase rumah sehat (X 2 ), banyaknya dokter (X 3 ), banyaknya puskesmas (X 4 ), kepadatan penduduk (X 6 ), Jumlah penyuluhan kesehatan kelompok (X 7 ), dan rata-rata lama sekolah (X 10 ). Berdasarkan model yang didapat jika persentase rumah tangga ber-phbs bertambah satu persen, maka akan meningkatkan jumlah penderita kusta sebesar exp(0,0276) dengan syarat variabel lain konstan. Hal ini kurang sesuai dengan teori yang ada, hal ini dikarenakan daerah yang berkategori tinggi jumlah penderita kustanya justru merupakan kabupaten/kota dengan persentase rumah tangga yang ber-phbs kategori sedang 47

18 oleh karena itu perlu ditingkatkan lagi upaya untuk menyadarkan masyarakat tentang berperilaku hidup bersih sehat terutama di kabupate/kota dengan jumlah penderita kusta tergolong kategori tinggi. Masalah yang serupa juga terjadi pada variabel banyaknya dokter (X 3 ) dan jumlah penyuluhan kesehatan kelompok (X 7 ), solusinya adalah setiap kabupaten/kota yang jumlah penderita kustanya termasuk kategori tinggi untuk lebih meningkatkan pembangunan dan pelayanan di sektorsektor kesehatan. Sementara untuk variabel yang lain tidak terdapat masalah seperti diatas karena koefisien regresinya tidak berbanding terbalik atau sudah sesuai dengan teori. Untuk variabel rata-rata lama sekolah (X 10 ) jika ada pertambahan satu satuan maka akan menurunkan ln jumlah penderita kusta sebesar 1,2151. Hal ini juga berlaku untuk variabel persentase rumah sehat, apabila bertambah satu persen maka akan menurunkan jumlah penderita kusta sebanyak exp(0,0091). Untuk variabel kepadatan penduduk (X 6 ) jika ada pertambahan satu penduduk/km 2 maka akan menambah jumlah penderita kusta sebesar exp(0,0003). Setelah pemodelan regresi poisson dilakukan maka dalam langkah penelitian selanjutnya akan dicari pemodelan jumlah penderita kusta dengan pendekatan spasial GWPR, tetapi sebelumnya harus dilakukan pengujian heterogenitas spasial pada jumlah penderita kusta dan faktor-faktor yang mempengaruhinya menggunakan uji Breusch-Pagan dan hasilnya diperoleh nilai BP = 18,3979 dan p-value = 0,0486 pada taraf signifikasi 5%. Kesimpulannya adalah terdapat keragaman spasial antar wilayah, maka analisis selanjutnya dapat dilakukan. 48

19 4.4 Pemodelan Jumlah Penderita Kusta Menggunakan GWPR Pemodelan dengan GWPR (Geographically Weighted Poisson Regression) merupakan bentuk lokal dari regresi poisson karena memperhatikan letak geografis sehingga perlu adanya pembobot lokasi. Langkah awal dalam analisis GWPR adalah dengan menentukan letak geografis dari masing-masing wilayah atau titik pengamatan. Sebelum menghitung matriks pembobot yang harus dilakukan yaitu mencari jarak euclidean ( d ij ) antar kabupaten/kota dengan menggunakan rumus umum (2.26) yang dapat dicari menggunakan program R dan dikonversikan ke dalam satuan kilometer. Pada tabel 4.5 didapatkan jarak euclidean yang sudah dikonversi untuk Kabupaten Cilacap. Untuk memperoleh nilai bandwidth (h) optimum pemodelan GWPR, selain metode Cross Validation kriteria lain yang dapat digunakan yaitu dengan AICc minimum (Nakaya, 2004). Dalam penelitian kriteria yang digunakan yaitu nilai AICc minimum dikarenakan penggunaan CV tidak didukung oleh software statistik yang digunakan. Untuk pembobot bisquare yang digunakan adalah kernel adaptive bisquare sedangkan untuk pembobot gaussian yang digunakan adalah kernel fixed gaussian. Pada fungsi fixed bandwidth yang optimum digunakan sama pada setiap wilayah yang dianalisis, sedangkan pada fungsi adaptive akan memiliki bandwidth yang berbeda-beda sesuai dengan kepadatan data pada wilayah yang dianalisis. Ketika data padat bandwidth akan bernilai kecil, sedangkan ketika data jarang bandwidth akan semakin besar. Fungsi ini mampu menyesuaikan ukuran varians data (Aini, 2013). 49

20 Bandwidth optimum untuk pembobot kernel gaussian yang didapatkan dari hasil analisis menggunakan GWR4.0 adalah 63,4352 dengan kriteria AICc minimum 396,188 dan nilai tersebut berlaku untuk semua titik lokasi pengamatan. Sedangakan untuk pembobot bisquare didapatkan dari output R menghasilkan bandwidth dengan nilai CV= Bandwidth untuk fungsi bisquare berbeda-beda di setiap kabupaten/kota berikut adalah nilai h optimum untuk masing-masing kabupaten/kota di Jawa Tengah. Tabel 4.4 Nilai bandwidth pembobot kernal bisquare No. Kabupaten/kota bandwidth No. Kabupaten/kota bandwidth 1 Cilacap 223,31 19 Kudus 190,49 2 Banyumas 208,06 20 Jepara 173,83 3 Purbalingga Demak 168,93 4 Banjarnegara 155,00 22 Semarang 445,26 5 Kebumen 147,94 23 Temanggung 129,85 6 Purworejo 121,65 24 Kendal 264,23 7 Wonosobo 129,45 25 Batang 127,97 8 Magelang 132,40 26 Pekalongan 150,98 9 Boyolali 165,49 27 Pemalang 183,68 10 Klaten 167,49 28 Tegal 158,88 11 Sukoharjo 190,23 29 Brebes 219,22 12 Wonogiri 204,05 30 Kota Magelang 132,40 13 Karanganyar 207,88 31 Kota Surakarta 189,32 14 Sragen 210,08 32 Kota Salatiga 153,13 15 Grobogan 204,11 33 Kota Semarang 143,62 16 Blora 254,29 34 Kota Pekalongan 150,98 17 Rembang 250,08 35 Kota Tegal 210,05 18 Pati 214,64 Berdasarkan tabel 4.4 jika menggunakan pembobot kernel bisquare Kabupaten Cilacap memiliki bandwidth optimum sebesar 223,31. Setelah didapat nilai d ij pada wilayah yang akan ditaksir parameternya, selanjutnya matriks pembobot spasial disusun berdasarkan persamaan (2.24) dan (2.25) dengan menggunakan bandwidth optimum. Matriks pembobot adalah matriks diagonal 50

21 yang digunakan untuk menduga parameter koefisien regresi di setiap kabupaten/kota di Jawa Tengah, berikut adalah contoh nilai d ij dan pembobot untuk Kabupaten Cilacap. Tabel 4.5 Jarak euclidean dan pembobot di Kabupaten Cilacap No. Kabupaten/kota d ij (Km) Pembobot Gaussian Bisquare 1 Cilacap Banyumas 30,972 0,888 0,962 3 Purbalingga 54,725 0,689 0,883 4 Banjarnegara 78,034 0,469 0,771 5 Kebumen 75,261 0,495 0,786 6 Purworejo 110,337 0,220 0,571 7 Wonosobo 107,782 0,236 0,588 8 Magelang 136,922 0,097 0,389 9 Boyolali 177,613 0,020 0, Klaten 177,613 0,020 0, Sukoharjo 199,826 0,007 0, Wonogiri 214,601 0,003 0, Karanganyar 218,325 0,003 0, Sragen 224,777 0, Grobogan 230,883 0, Blora 280, Rembang 285, Pati 250, Kudus 227,550 0, Jepara 224,777 0, Demak 204,019 0,006 0, Semarang 276,503 0,0001 0, Temanggung 137,308 0,096 0, Kendal 110,559 0,219 0, Batang 125,433 0,142 0, Pekalongan 118,993 0,172 0, Pemalang 103,567 0,264 0, Tegal 169,833 0,028 0, Brebes 93,909 0,334 0, Kota Magelang 138,198 0,093 0, Kota Surakarta 201,798 0,006 0, Kota Salatiga 171,275 0,026 0, Kota Semarang 177,934 0,020 0, Kota Pekalongan 118,993 0,172 0, Kota Tegal 96,682 0,313 0,660 51

22 Tabel 4.5 di atas adalah contoh untuk pembobot di Kabupaten Cilacap, untuk wilayah lain dapat diperoleh dengan mengubah jarak euclidean dengan langkah yang sama. Berdasarkan tabel 4.5 maka terbentuk matriks pembobot diagonal untuk penaksiran parameter di Kabupaten Cilacap. Untuk penaksiran parameter menggunakan kernel, matriks pembobotnya adalah sebagai berikut. 1,00 0,888 0,689 0,469 0,495 0,220 0,236 0,097 0,020 0,020 0,007 0,003 0,003 0,002 = 1 diag 0,001 0,000 0,000 0,000 0,002 0,002 0,006 0,00 0,096 0,219 0,142 0,172 0,264 0,028 0,334 0,093 0,006 0,026 0,020 0,172 0,313 ( u, v ) W 1 Sedangkan untuk penaksiran parameter menggunakan kernel bisquare, matriks pembobot adalah sebagai berikut. 1,00 0,962 0,883 0,771 0,786 0,571 0,588 0,389 0,135 0,135 0,040 0,006 0,002 0,000 = 1 diag 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,027 0,000 0,387 0,570 0,469 0,513 0,616 0,178 0,678 0,381 0,034 0,170 0,133 0,513 0,660 ( u, v ) W 1 Pembentukan matriks pembobot digunaan untuk menaksir parameter berdasarkan lokasi ( u 1, v ). Jadi untuk penaksiran parameter dari lokasi ( 1 u 2, v ) 2 sampai ( u, v ) menggunakan matriks yang berbeda. Pada matrik pembobot kernel bisquare karena jarak Kabupaten Cilacap dengan Kabupaten Sragen, Grobogan, Blora, Rembang, Pati, Kudus, dan Jepara lebih besar atau berada di luar lebar jendela (bandwidth) optimum, maka nilai pembobot kabupaten tersebut adalah nol untuk Kabupaten Cilacap. 52

23 4.4.1 Uji Kesamaan Model Regresi Poisson dan GWPR Pengujian kesamaan antara model regresi poisson dengan model GWPR dilakukan untuk mengetahui apakan ada perbedaan antara kedua model dengan hipotesisnya adalah sebagai berikut: ( β j ( ui vi )) = β j Η :, 0 ( β j ( ui vi )) β j Η 1 :, ; i=1,2,,n; j=0,1,2,,p Kriteria pengujiannya adalah tolak H 0 jika F hitung > F( α ; dfa; dfb) artinya ada perbedaan yang signifikan antara model regresi poisson dengan model GWPR. Tabel 4.6 Uji Kesamaan Model Model Devians Db Devians/Db F hitung Global (Regresi Poisson) 858,134 24,000 35,756 GWPR (Kernel Gaussian) 262,684 10,394 25,272 1,415 GWPR (Kernel Bisquare) 631,408 19,797 31, Dari tabel 4.6 diketahui F hitung untuk model regresi poisson dan GWPR dengan pembobot kernel gaussian yaitu 1,415, jika dibandingkan dengan F (0,05;24;10) yaitu 2,7, maka F hitung < F tabel disimpulkan gagal tolak H 0 artinya tidak terdapat perbedaan antara model regresi poisson dan model GWPR dengan pembobot kernel gaussian. Sedangkan untuk model regresi poisson dan model GWPR dengan pembobot kernel bisquare didapatkan nilai F hitung 1,121 < F (0,05;24;19) yaitu 2,08 sehingga gagal tolak H 0 artinya tidak terdapat perbedaan antara model regresi poisson dan GWPR dengan pembobot kernel bisquare. 53

24 4.4.2 Uji Parsial Parameter Model GWPR Selanjutnya adalah melakukan pengujian terhadap parameter model untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap jumlah penderita kusta disetiap lokasi. Misal pengujian parameter dilakukan untuk lokasi pertama yaitu Kabupaten Cilacap, maka hipotesisnya adalah : Η Η ( β ( u, v )) 0 : j 1 1 = 0 ( β ( u, v )) 0 1 : j 1 1 Parameter yang akan di uji yaitu β 0, β1, β 2, β 3,..., β10, statistik ujinya adalah dengan membandingkan nilai t hitung dengan nilai t tabel yaitu 2,06. Jika nilai hitung > t( n k 1; α 2) t maka kesimpulannya parameter ke-j pada lokasi-i berpengaruh signifikan terhadap model. Misalnya untuk Kabupaten Cilacap pengujian parsial untuk estimasi parameternya adalah sebagai berikut. Tabel 4.7 Uji Parsial Model GWPR dengan pembobot kernel gaussian Parameter Estimasi Standar Error t hotung β 0 70,811 20,164 3,512* β 1 0,0576 0,0067 8,623* β 2-0,0119 0,0075-1,593* β 3 0,0637 0, ,073* β 4-0,024 0,0125-1,919* β 5-0,3708 0,189-1,96 β 6 0,0007 0, ,559* β 7-0, , ,088* β 8-0,0687 0,0183-3,758* β 9 0,0228 0,0171 1,332* β 10-1,6774 0,139-12,04* *) signifikan pada α=5% Berdasarkan kriteria pengujian diperoleh variabel-variabel yang signifikan berpengaruh terhadap jumlah penderita kusta untuk Kabupaten Cilacap dengan 54

25 pembobot gaussian adalah β, β,, Kabupaten Cilacap adalah : µ β 1, 3 6 β8 10 dan β maka pemodelan untuk ( 70,811+ 0,0576X + 0,0637X + 0,0007X 0,0687X 1, X ) 1 = exp Model di atas menjelaskan bahwa jumlah penderita kusta akan bertambah sebesar exp(0,0576) jika X 1 bertambah 1% dengan syarat variabel lain konstan, hal yang sama juga berlaku untuk variabel X 3 dan X 6. Sebaliknya jumlah penderita kusta akan berkurang exp(0,0687) jika variabel X 8 bertambah satu satuan dengan syarat variabel lain konstan, hal sama berlaku untuk variabel X 10. Pengujian untuk masing-masing kabupaten kota dapat dilihat hasil estimasinya pada lampiran 7. Pada tabel 4.8 menyajikan hasil dari pengujian secara parsial untuk setiap wilayah yang kesimpulannya akan didapatkan variabel signifikan yang berbeda-beda di tiap kabupaten/kota. Tabel 4.8 Variabel signifikan dengan pembobot gaussian No. Kabupaten/kota Variabel signifikan 1 Cilacap X 1, X 3, X 6, X 8, X 10 2 Banyumas X 1, X 3, X 5, X 6, X 8, X 10 3 Purbalingga X 1, X 3, X 5, X 6, X 8, X 10 4 Banjarnegara X 1, X 3, X 5, X 6, X 7, X 8, X 10 5 Kebumen X 1, X 3, X 4, X 6, X 7, X 8, X 10 6 Purworejo X 1, X 3, X 4, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10 7 Wonosobo X 1, X 3, X 4, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10 8 Magelang X 1, X 3, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10 9 Boyolali X 1, X 3, X 6, X 8, X 9, X Klaten X 1, X 3, X 6, X 8, X 9, X Sukoharjo X 1, X 6, X 7, X 8, X 9, X Wonogiri X 1, X 6, X 7, X 8, X 9, X Karanganyar X 1, X 6, X 7, X 8, X 9, X Sragen X 1, X 6, X 7, X 8, X 9, X Grobogan X 7, X 9, X Blora X 1, X 7, X Rembang X 1, X 3, X 4, X 8 18 Pati X 1, X 2, X 8, X Kudus X 2, X 8, X 9, X

26 Tabel 4.8 Variabel signifikan dengan pembobot gaussian (lanjutan) No. Kabupaten/kota Variabel signifikan 20 Jepara X 2, X 3, X 6, X 7, X 8, X Demak X 2, X 3, X 6, X 9, X Semarang X 1, X 2, X 3, X 4, X 5, X 6, X 7, X 8, X 9, X Temanggung X 1, X 3, X 4, X 6, X 7, X 8, X 9, X Kendal X 1, X 2, X 3, X 5, X 6, X Batang X 1, X 2, X 3, X 5, X 6, X 7, X 8, X 9, X Pekalongan X 1, X 2, X 3, X 4, X 5, X 6, X 7, X 8, X 9, X Pemalang X 1, X 2, X 3, X 4, X 5, X 6, X 8, X Tegal X 1, X 3, X 6, X 8, X 9, X Brebes X 1, X 3, X 4, X 5, X 6, X 8, X Kota Magelang X 1, X 3, X 6, X 7, X 8, X 9, X Kota Surakarta X 1, X 6, X 7, X 8, X 9, X Kota Salatiga X 1, X 3, X 6, X 8, X 9, X Kota Semarang X 1, X 2, X 3, X 6, X 7, X 9, X Kota Pekalongan X 1, X 2, X 3, X 4, X 5, X 6, X 7, X 8, X 9, X Kota Tegal X 1, X 3, X 4, X 5, X 6, X 8, X 10 Dari Tabel 4.8 kabupaten/kota di Jawa Tengah dikelompokan menjadi 21 kelompok menurut kesamaan variabel yang signifikan jika dilakukan pemodelan GWPR dengan pembobot kernel gaussian. Kelompok pertama yang memiliki 10 variabel yang signifikan adalah Kabupaten Semarang, Kabupaten Pekalongan, dan Kota Pekalongan. Kelompok Kabupaten Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, Karanganyar dan Kota Surakarta merupakan kelompok kabupaten yang sinifikan terhadap 6 variabel yaitu persentase rumah tangga ber-phbs (X 1 ), kepadatan penduduk (X 6 ), jumlah penyuluhan kesehatan kelompok (X 7 ), pengeluaran riil per kapita (X 8 ), persentase penduduk miskin (X 9 ), dan rata-rata lama sekolah (X 10 ). Kesamaan variabel yang signifikan tersebut terjadi di lokasi yang saling berdekatan seperti yang terlihat pada gambar 4.14 yang ditandai dengan pola yang bebeda-beda untuk masing-masing kelompok. 56

27 Variabel signifikan : X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7, X8, X9, X10 X1, X2, X3, X4, X5, X6, X8, X10 X1, X2, X3, X5, X6, X10 X1, X2, X3, X5, X6, X7, X8, X9, X10 X1, X2, X3, X6, X7, X9, X10 X1, X2, X8, X10 X1, X3, X4, X5, X6, X8, X10 X1, X3, X4, X6, X7, X8, X10 X1, X3, X4, X6, X7, X8, X9, X10 X1, X3, X4, X8 X1, X3, X5, X6, X7, X8, X10 X1, X3, X5, X6, X8, X10 X1, X3, X6, X7, X8, X9, X10 X1, X3, X6, X8, X10 X1, X3, X6, X8, X9, X10 X1, X6, X7, X8, X9, X10 X1, X7, X10 X2, X3, X6, X7, X8, X10 X2, X3, X6, X9, X10 X2, X8, X9, X10 X7, X9, X10 JEPARA KUDUS PATI REMBANG KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN KENDAL BREBES PEMALANG KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN BLORA TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO WONOGIRI Gambar 4.14 Pengelompokan kabupaten/kota berdasarkan variabel yang signifikan dengan pembobot kernel gaussian Kesamaan variabel yang signifikan juga terlihat pada Kabupaten Tegal, Boyolali, Klaten, dan Kota Salatiga yang signifikan terhadap persentase rumah tangga ber-phbs (X 1 ), banyaknya dokter (X 3 ), banyaknya puskesmas (X 4 ), persentase penduduk berjenis kelamin laki-laki (X 5 ), kepadatan penduduk (X 6 ), pengeluaran riil per kapita (X 8 ), dan rata-rata lama sekolah penduduk (X 10 ). Persentase rumah tangga ber-phbs (X 1 ) dan rata-rata lama sekolah penduduk (X 10 ) adalah variabel yang berpengaruh signifikan hampir di semua kabupaten/kota di Jawa Tengah. 57

28 Uji Parsial untuk estimasi parameter Kabupaten Cilacap dengan pembobot kernel bisquare adalah sebagai berikut. Tabel 4.9 Uji Parsial Model GWPR dengan pembobot kernel bisquare Parameter Estimasi Standar Error t hotung β 0 37,579 8,01 4,691* β 1 0,049 0, ,737* β 2-0,0058 0,0049-1,182* β 3 0,049 0, ,788* β 4-0,023 0,0075-3,054* β 5 0,0077 0,0926 0,083* β 6 0,0006 0, ,156* β 7-0, , ,649* β 8-0,044 0,0075-5,935* β 9-0,004 0,0118-0,351* β 10-1,619 0, ,712* *) signifikan pada α=5% Di Kabupaten Cilacap parameter yang signifikan dengan penambahan pembobot bisquare adalah β 1, β3, β 4, β6, β8, dan β10 maka pemodelan untuk Kabupaten Cilacap adalah sebagai berikut: µ ( 37, ,049X + 0,049X 0,023X + 0,0006X 0,044X 1, X ) 1 = exp Dari model tersebut dapat diartikan jika ada pertambahan satu satuan dari variabel X 1 maka jumlah penderita kusta akan bertambah sebanyak exp(0,049) dengan syarat variabel lain konstan, hal yang sama berlaku untuk variabel X 3 dan X 6. Sedangkan jika ada penambahan satu satuan dari variabel X 4 maka akan mengurangi jumlah penderita kusta sebanyak exp(0,023) dengan syarat variabel lain konstan, hal sama berlaku untuk variabel X 8 dan X 10. Pengujian untuk masing-masing kabupaten kota dapat dilihat hasil estimasinya pada lampiran 10. Tabel 4.10 menyajikan hasil dari pengujian secara parsial untuk setiap wilayah 10 58

29 yang kesimpulannya akan didapatkan variabel signifikan yang berbeda-beda di tiap kabupaten/kota. Tabel 4.10 Variabel signifikan dengan pembobot bisquare No. Kabupaten/kota Variabel signifikan 1 Cilacap X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 8, X 10 2 Banyumas X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 8, X 10 3 Purbalingga X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 7, X 8, X 10 4 Banjarnegara X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10 5 Kebumen X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 8, X 9, X 10 6 Purworejo X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 7 Wonosobo X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 8 Magelang X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 9 Boyolali X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X Klaten X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X Sukoharjo X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X Wonogiri X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X Karanganyar X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X Sragen X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X Grobogan X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X Blora X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X Rembang X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X Pati X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X Kudus X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X Jepara X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X Demak X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X Semarang X 1, X 3, X 4, X 6, X 8, X Temanggung X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X Kendal X 1, X 2, X 3, X 5, X 6, X 8, X Batang X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 7,X 9,X Pekalongan X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 7, X Pemalang X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 7, X 8, X Tegal X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X Brebes X 1, X 2, X 3, X 5, X 6, X 8, X Kota Magelang X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X Kota Surakarta X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X Kota Salatiga X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X Kota Semarang X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X Kota Pekalongan X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 7, X Kota Tegal X 1, X 2, X 3, X 5, X 6, X 8, X 10 Karena lebih banyak kabupaten/kota yang signifikan terhadap variabelvariabel yang sama pengelompokan berdasarkan variabel yang signifikan dalam 59

30 pemodelan GWPR dengan pembobot bisquare lebih sedikit dari pada pengelompokan menggunakan pembobot gaussian. Terdapat 9 kelompok kabupaten/kota berdasarkan variabel yang signifikan.kelompok terbanyak yaitu kelompok kabupaten yang signifikan terhadap variabel persentase rumah tangga ber-phbs (X1), persentase rumah sehat (X2), banyaknya dokter (X3), banyaknya puskesmas (X4), kepadatan penduduk (X6), persentase penduduk miskin (X8), dan rata-rata lama sekolah (X10) yang terdapat di Kabupaten Tegal dan beberapa kabupaten/kota yang berada bagian Timur yang wilayahnya saling berdekatan. Pengelompokan kabupaten berdasarkan variabel yang signifikan juga dapat dilihat pada gambar berikut. X1, X2, X3, X4, X6, X7, X10 X1, X2, X3, X4, X6, X7, X8, X10 X1, X2, X3, X4, X6, X7, X8, X9, X10 X1, X2, X3, X4, X6, X7,X9,X10 X1, X2, X3, X4, X6, X8, X10 X1, X2, X3, X4, X6, X8, X9, X10 X1, X2, X3, X4, X6, X9, X10 X1, X2, X3, X5, X6, X8, X10 X1, X3, X4, X6, X8, X10 JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL DEMAK PEKALONGAN BREBES KENDAL PEMALANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP MAGELANG BOYOLALI KARANGANYAR KEBUMEN KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA WONOGIRI Gambar 4.15 Pengelompokan kabupaten/kota berdasarkan variabel yang signifikan dengan pembobot kernel adapive bisquare 60

31 Variabel yang signifikan disemua kabupaten/kota adalah pesentase rumah tangga ber-phbs (X 1 ), banyaknya dokter (X 3 ), kepadatan penduduk (X 6 ), dan rata-rata lama sekolah penduduk (X 10 ). Terbukti bahwa tidak hanya aspek kesehatan saja yang berpengaruh terhadap jumlah penderita kusta di suatu wilayah akan tetapi terdapat juga pengaruh dari aspek sosial, ekonomi, dan pendidikan walaupun nilai estimasinya berbeda-beda untuk tiap kabupaten/kota. Adanya permasalahan dari dari berbagai aspek perlu diperhatikan lagi agar jumlah penderita kusta dapat cepat disembuhkan dan penularannya tidak menyebar luas. 4.5 Pemilihan Model Terbaik Perbandingan antara model regresi poisson dan model GWPR dengan pembobot fungsi kernel gaussian dan bisquare bertujuan untuk mendapatkan model terbaik. Kriteria yang digunakan untuk pemilihan model terbaik adalah nilai AIC minimum, diketahui nilai AIC untuk tiap model adalah sebagai berikut Tabel 4.11 Perbandingan nilai AIC Model Nilai AIC Regresi Poisson 880,134 GWPR (gaussian) 307,294 GWPR (bisquare) 659,165 Berdasarkan tabel 4.11 diketahui model terbaik untuk pemodelan jumlah penderita kusta di Jawa Tengah tahun 2012 adalah model GWPR dengan pembobot kernel gaussian karena memiliki nilai AIC terkecil yaitu 307,294 dibandingkan dengan dua model lain. 61

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas mengenai gambaran persebaran IPM dan komponen-komponen penyususn IPM di Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya dilakukan pemodelan dengan menggunakan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. LAMPIRAN Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap 15.24 6.68 22.78 1676090 2 Kab. Banyumas 18.44 5.45 21.18 1605580 3 Kab. Purbalingga 20.53 5.63 21.56 879880 4 Kab. Banjarnegara

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Gambaran Persebaran Penduduk Miskin Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kabupaten atau kota sejumlah 35 kabupaten dan kota (BPS,

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Penutup Penyelenggaraan Sensus Penduduk 2010 merupakan hajatan besar bangsa yang hasilnya sangat penting dalam rangka perencanaan pembangunan.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1. Gambaran Umum Subyek penelitian Penelitian ini tentang pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten/kota

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Fisik Daerah Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua Provinsi besar, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengangguran merupakan masalah yang sangat kompleks karena mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No.42/06/33/Th.X, 15 Juni 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 IPM Jawa Tengah Tahun 2015 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah, No.26/04/33/Th.XI, 17 April 2017 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 IPM Jawa Tengah Tahun 2016 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2016 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Pembahasan Hasil Regresi Dalam bab ini akan dibahas mengenai bagaimana pengaruh PAD dan DAU terhadap pertumbuhan ekonomi dan bagaimana perbandingan pengaruh kedua variabel tersebut

Lebih terperinci

BAB III REGRESI SPASIAL DENGAN PENDEKATAN GEOGRAPHICALLY WEIGHTED POISSON REGRESSION (GWPR)

BAB III REGRESI SPASIAL DENGAN PENDEKATAN GEOGRAPHICALLY WEIGHTED POISSON REGRESSION (GWPR) BAB III REGRESI SPASIAL DENGAN PENDEKATAN GEOGRAPHICALLY WEIGHTED POISSON REGRESSION (GWPR) 3.1 Regresi Poisson Regresi Poisson merupakan suatu bentuk analisis regresi yang digunakan untuk memodelkan data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makroekonomi jangka panjang. Dari satu periode ke periode berikutnya kemampuan suatu negara untuk

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 36 BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH 4.1 Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di tengah Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi Jawa Tengah terletak

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No.1/3307/BRS/11/2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 Pembangunan manusia di Wonosobo pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH No. 56/08/33 Th.IX, 3 Agustus 2015 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 167,79 RIBU TON, CABAI RAWIT SEBESAR 107,95 RIBU TON,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah merupakan Provinsi yang termasuk ke dalam Provinsi yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 No. 50/08/33/Th. VIII, 4 Agustus 2014 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 145,04 RIBU TON, CABAI RAWIT 85,36 RIBU TON, DAN BAWANG

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Peta Provinsi Jawa Tengah Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 2. Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan daerah merupakan suatu proses perubahan terencana yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang berperan di berbagai sektor yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tentang kemiskinan ini hanya terbatas pada kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007-2011. Variabel yang digunakan dalam menganalisis

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 447 60 8 364 478 2.632 629 4.618 57.379 8,05 2 Purbalingga 87 145 33 174 119 1.137

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S --

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S -- BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Letak dan Luas Wilayah Jawa Tengah terletak di antara 108 30 B.T -- 111 30 B.T dan 6 30 L.S -- 8 30 L.S. Propinsi ini terletak di

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 748 34 3 790 684 2,379 1,165 5,803 57,379 10.11 2 Purbalingga 141 51 10 139 228

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN No. 62/11/33/Th.V, 07 November 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2011 mencapai 16,92 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah yang bersangkutan dengan

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk. mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang

BAB III PEMBAHASAN. Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk. mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang BAB III PEMBAHASAN Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang dimiliki. Asumsi-asumsi dalam analisis cluster yaitu sampel

Lebih terperinci

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012 Komoditi TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012 Produksi Penyediaan Kebutuhan Konsumsi per kapita Faktor Konversi +/- (ton) (ton) (ton) (ton) (kg/kap/th) (100-angka susut)

Lebih terperinci

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH Kondisi umum Provinsi Jawa Tengah ditinjau dari aspek pemerintahan, wilayah, kependudukan dan ketenagakerjaan antara lain sebagai berikut : A. Administrasi Pemerintah,

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH TAHUN

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hasil dari uji heterokedastisitas tersebut menggunakan uji Park. Kriteria

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hasil dari uji heterokedastisitas tersebut menggunakan uji Park. Kriteria BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Uji Kualitas Data 1. UJI Heteroskedastisitas Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi imi terjadi heterokedastisitas atau tidak, untuk

Lebih terperinci

Analisis Geographycally Weighted Regression Pada Data Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah

Analisis Geographycally Weighted Regression Pada Data Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah Prosiding SI MaNIs (Seminar Nasional Integrasi Matematika dan Nilai Islami) Vol.1, No.1, Juli 2017, Hal. 327-334 p-issn: 2580-4596; e-issn: 2580-460X Halaman 327 Analisis Geographycally Weighted Regression

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang dinamakan dengan nawacita.

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK A. Gambaran Umum Objek/Subjek Penelitian 1. Batas Administrasi. Gambar 4.1: Peta Wilayah Jawa Tengah Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor. Akan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini disajikan deskripsi data, k-means clustering, uji stasioneritas data masing-masing cluster, orde model VAR, model VAR-GSTAR dengan pembobot normalisasi korelasi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Analisa pemodelan fungsi hubungan pada variabel repon dengan variabel prediktor akan dijelaskan pada bab ini. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan

Lebih terperinci

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN No Kelompok Pola Harapan Nasional Gram/hari2) Energi (kkal) %AKG 2) 1 Padi-padian 275 1000 50.0 25.0 2 Umbi-umbian 100 120 6.0

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.70 /11/33/Th.VIII, 05 November 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,68 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2014 yang sebesar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Obyek Penelitian Hasil analisa Deskripsi Obyek Penelitian dapat dilihat pada deskriptif statistik dibawah ini yang menjadi sampel penelitian adalah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Metode penelitian merupakan cara penelitian yang digunakan untuk mendapatkan data untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Sugiyono (2010:2) mengemukakan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.31 /05/33/Th.VIII, 05 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,45 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Februari 2014 yang sebesar 17,72

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 728 112 20 1,955 2,178 2,627 1,802 9,422 57,379 16.42 2 Purbalingga 70 50 11 471

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.69 /11/33/Th.VII, 06 November 2013 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2013: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 6,02 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2013 mencapai 16,99

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No. 66/11/33/Th.VI, 05 November 2012 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2012: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,63 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2012 mencapai 17,09

Lebih terperinci

Bab 4 Hasil dan Pembahasan

Bab 4 Hasil dan Pembahasan Bab 4 Hasil dan Pembahasan Model prediksi variabel makro untuk mengetahui kerentanan daerah di Provinsi Jawa Tengah, dilakukan dengan terlebih dahulu mencari metode terbaik. Proses pencarian metode terbaik

Lebih terperinci

PEMODELAN GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION DENGAN FUNGSI KERNEL BISQUARE

PEMODELAN GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION DENGAN FUNGSI KERNEL BISQUARE PEMODELAN GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION DENGAN FUNGSI KERNEL BISQUARE TERHADA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN DEMAK 1 Marlita Vebiriyana, 2 M. Yamin Darsyah, 3 Indah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu keadaan di mana masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dan kehidupan yang layak, (menurut World Bank dalam Whisnu, 2004),

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 78 TAHUN 2013 TAHUN 2012 TENTANG PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Provinsi Jawa Tengah Sensus Ekonomi 2016 No. 37/05/33 Th. XI, 24 Mei 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH Hasil Pendaftaran

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya 2016 p-issn : ; e-issn :

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya 2016 p-issn : ; e-issn : Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya 2016 p-issn : 2550-0384; e-issn : 2550-0392 PENGELOMPOKAN PERSENTASE PENDUDUK BERUMUR 15 TAHUN KE ATAS MENURUT KABUPATEN/KOTA DAN PENDIDIKAN TERTINGGI

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/12/33/Th.III, 1 Desember 2009 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2009 Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dilaksanakan dua kali dalam setahun,

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 56 TAHUN 201256 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian hipotesisinya yang meliputi uji serempak (ujif), uji signifikansi paramerer individual (uji T), dan

Lebih terperinci

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016 PENEMPATAN TENAGA KERJA A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016 NO KAB./KOTA L P JUMLAH 1 KABUPATEN REMBANG 820 530 1.350 2 KOTA MAGELANG 238 292 530 3 KABUPATEN WONOGIRI 2.861

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 71 A TAHUN 201356 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DEFINITIF DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PENEMPATAN TENAGA KERJA

PENEMPATAN TENAGA KERJA PENEMPATAN TENAGA KERJA A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2015 NO. KAB./KOTA 2015 *) L P JUMLAH 1 KABUPATEN SEMARANG 3,999 8,817 12816 2 KABUPATEN REMBANG 1,098 803 1901 3 KOTA.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertanian merupakan salah satu basis perekonomian Indonesia. Jika mengingat bahwa Indonesia adalah negara agraris, maka pembangunan pertanian akan memberikan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/01/33/Th.II, 2 Januari 2008 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2007 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Tengah pada Agustus 2007 adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksplanasi, karena dalam penelitian ini menggunakan dua variabel. Metode eksplanasi

Lebih terperinci

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP)

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP) No. 74/12/33 Th.VII, 2 Desember 2013 HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP) RUMAH TANGGA PETANI GUREM JAWA TENGAH TAHUN 2013 SEBANYAK 3,31 JUTA RUMAH TANGGA, TURUN 28,46 PERSEN DARI TAHUN 2003 Jumlah

Lebih terperinci

BAB III MODEL GEOGRAPHICALLY WEIGHTED LOGISTIC REGRESSION SEMIPARAMETRIC (GWLRS)

BAB III MODEL GEOGRAPHICALLY WEIGHTED LOGISTIC REGRESSION SEMIPARAMETRIC (GWLRS) 28 BAB III MODEL GEOGRAPHICALLY WEIGHTED LOGISTIC REGRESSION SEMIPARAMETRIC (GWLRS) 3.1 Geographically Weighted Logistic Regression (GWLR) Geographically Weighted Logistic Regression adalah metode untuk

Lebih terperinci

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH No Program Anggaran Sub Sasaran Lokasi 1. Program Rp. 1.000.000.000 Pelayanan dan Sosial Kesejahteraan Sosial Penyandang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bagian awal bab ini disajikan pemetaan untuk mendeskripsikan jumlah DBD dan faktor yang mempengaruhi di Kota Semarang. Bagian selanjutnya dilakukan pemodelan untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah 44 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat ditentukan menggunakan indeks Williamson yang kemudian dikenal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada kabupaten/kota provinsi Jawa Tengah tahun 2011-2013 yang seluruh data keuangannya telah di terbitkan dan dilaporkan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi merupakan suatu perubahan struktur ekonomi dan usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejaheraan penduduk atau masyarakat. Kemiskinan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selama beberapa dekade terakhir terdapat minat yang terus meningkat terhadap desentralisasi di berbagai pemerintahan di belahan dunia. Bahkan banyak negara

Lebih terperinci

BAB III MIXED GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION (MGWR)

BAB III MIXED GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION (MGWR) BAB III MIXED GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION 3.1 Mixed Geographically Weighted Regression Model Mixed Geographically Weighted Regression merupakan model kombinasi atau gabungan antara regresi global

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam meningkatkan pendapatan suatu pembangunan perekonomian di Indonesia, tentunya diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 08/05/33/Th.I, 15 Mei 2007 TINGKAT PENGANGGURAN DI JAWA TENGAH MENURUN 0,1% Tingkat Penganguran Terbuka di Jawa Tengah pada Februari 2007 adalah 8,10%. Angka ini 0,10% lebih

Lebih terperinci

1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH. TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah)

1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH. TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah) LAMPIRAN LAMPIRAN A 1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah) NO. KOTA/KABUPATEN PAD DAU DAK BELANJA MODAL PDRB 1 Kab. Banjarnegara 71.107 562.288 65.367

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah merupakan sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah merupakan sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian 33 A. Gambaran Umum BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN Jawa Tengah merupakan sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa. Dengan ibu kotanya adalah Semarang. Provinsi ini di sebelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Industrialisasi pada negara sedang berkembang sangat diperlukan agar dapat tumbuh

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar penelitian yang digunakan ialah metode penelitian eksplanatoris. Penelitian eksplanatoris merupakan penelitian yang bersifat noneksploratif,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya. KATA PENGANTAR Sektor pertanian merupakan sektor yang vital dalam perekonomian Jawa Tengah. Sebagian masyarakat Jawa Tengah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Peningkatan kualitas dan kuantitas

Lebih terperinci

PEMODELAN STATUS KESEJAHTERAAN DAERAH KABUPATEN ATAU KOTA DI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN GEOGRAPHICALLY WEIGHTED LOGISTIC REGRESSION SEMIPARAMETRIC

PEMODELAN STATUS KESEJAHTERAAN DAERAH KABUPATEN ATAU KOTA DI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN GEOGRAPHICALLY WEIGHTED LOGISTIC REGRESSION SEMIPARAMETRIC ISSN: 2339-2541 JURNAL GAUSSIAN, Volume 4, Nomor 1, Tahun 2015, Halaman 43-52 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/gaussian PEMODELAN STATUS KESEJAHTERAAN DAERAH KABUPATEN ATAU KOTA DI JAWA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Efektivitas pembelajaran merupakan pencapaian tujuan antara perencanaan dan hasil pembelajaran. Hal ini didukung oleh pernyataan Menurut Elvira (2008: 58), efektivitas

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR : 561.4/69/2010 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Uji Asumsi Klasik 1. Uji Heteroskedastisitas Berdasarkan uji Park, nilai probabilitas dari semua variabel independen tidak signifikan pada tingkat 5%. Keadaan ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan oleh siswa, bukan dibuat untuk siswa. Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik

Lebih terperinci

FUZZY SUBTRACTIVE CLUSTERING BERDASARKAN KEJADIAN BENCANA ALAM PADA KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH

FUZZY SUBTRACTIVE CLUSTERING BERDASARKAN KEJADIAN BENCANA ALAM PADA KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH FUZZY SUBTRACTIVE CLUSTERING BERDASARKAN KEJADIAN BENCANA ALAM PADA KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH 1 Diah Safitri, 2 Rita Rahmawati, 3 Onny Kartika Hitasari 1,2,3 Departemen Statistika FSM Universitas Diponegoro

Lebih terperinci

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015 KATA PENGANTAR Sektor pertanian merupakan sektor yang vital dalam perekonomian Jawa Tengah. Sebagian masyarakat Jawa Tengah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Peningkatan kualitas dan kuantitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan salah satu hal yang penting bagi suatu negara. Dengan adanya pariwisata, suatu negara atau lebih khusus lagi pemerintah daerah tempat

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun 2000-an kondisi agribisnis tembakau di dunia cenderung

Lebih terperinci

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 561.4/52/2008 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 561.4/52/2008 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009 KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 561.4/52/2008 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009 GUBERNUR JAWA TENGAH, Membaca : Surat Kepala Dinas Tenaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat yang dilaksanakan secara berkelanjutan berdasarkan pada kemampuan nasional, dengan

Lebih terperinci

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH OUT LINE 1. CAPAIAN PRODUKSI 2. SASARAN LUAS TANAM DAN LUAS PANEN 3. CAPAIAN

Lebih terperinci

MODEL REGRESI TERBOBOTI GEOGRAFIS DENGAN FUNGSI PEMBOBOT KERNEL GAUSSIAN, BISQUARE, DAN TRICUBE PADA PERSENTASE KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH

MODEL REGRESI TERBOBOTI GEOGRAFIS DENGAN FUNGSI PEMBOBOT KERNEL GAUSSIAN, BISQUARE, DAN TRICUBE PADA PERSENTASE KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MODEL REGRESI TERBOBOTI GEOGRAFIS DENGAN FUNGSI PEMBOBOT KERNEL GAUSSIAN, BISQUARE, DAN TRICUBE PADA PERSENTASE KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH Nungki Fauzi T A N, Isnandar Slamet, Muslich Program Studi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Keadaan Geografis a. Letak Geografis Provinsi Jawa Tengah secara geografis terletak antara 5 o 4 dan 8 o 3 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Model Regresi Linier Metode regresi linier merupakan suatu metode yang memodelkan hubungan antara variabel respon dengan variabel prediktor. Tujuannya adalah untuk mengukur

Lebih terperinci

Penerapan Algoritma Fuzzy C-Means untuk Pengelompokan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Berdasarkan Status Kesejahteraan Tahun 2015

Penerapan Algoritma Fuzzy C-Means untuk Pengelompokan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Berdasarkan Status Kesejahteraan Tahun 2015 Penerapan Algoritma Fuzzy C-Means untuk Pengelompokan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Berdasarkan Status Kesejahteraan Tahun 2015 Nurika Nidyashofa 1*, Deden Istiawan 22 1 Statistika, Akademi Statistika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pandangan pembangunan ekonomi modern memiliki suatu pola yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan ekonomi modern tidak hanya

Lebih terperinci

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun 1.1. UMUM 1.1.1. DASAR Balai Pemantapan Kawasan Hutan adalah Unit Pelaksana Teknis Badan Planologi Kehutanan yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 6188/Kpts-II/2002, Tanggal 10

Lebih terperinci