HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 70 HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Pertumbuhan Penduduk dan Ekonomi Pulau Jawa serta Share-nya dalam Konteks Nasional dari Waktu ke Waktu Dinamika Pertumbuhan Penduduk Pulau Jawa Pertumbuhan penduduk dianggap sebagai faktor yang berperan penting dalam proses pembangunan. Dari data yang berhasil dihimpun oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dapat diketahui bahwa penduduk yang menghuni Pulau Jawa terus meningkat dari waktu ke waktu. Tabel 5.1 menunjukkan bahwa dari tahun 1930 hingga kini, jumlah penduduk di Pulau Jawa terus bertambah, yaitu berjumlah sekitar 41.7 juta jiwa (tahun 1930) menjadi juta jiwa (tahun 2008). Dari angka tersebut, dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu kurang dari delapan dekade, jumlah penduduk di Pulau Jawa meningkat lebih dari tiga kali lipat. Dari Tabel 5.1 juga dapat dilihat bahwa lebih dari separuh jumlah penduduk nasional mendiami Pulau Jawa, meskipun besarnya persentase jumlah penduduk Pulau Jawa terhadap total penduduk nasional dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Berdasarkan data yang tercantum pada Tabel 5.1, dapat diketahui bahwa besarnya proporsi jumlah penduduk Pulau Jawa tahun 2008 mencapai sekitar 58.8% penduduk nasional. Besarnya persentase tersebut menunjukkan betapa kuatnya daya tarik Pulau Jawa sehingga sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di wilayah yang luasnya tidak lebih dari 7% luas daratan nusantara tersebut. Adapun dinamika pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa, luar Jawa dan nasional dari tahun 1930 hingga 2008 serta proporsinya secara grafis disajikan pada Gambar 5.1 (a) dan (b). Tabel 5.1. Jumlah Penduduk di Pulau Jawa, Luar Jawa dan Nasional Tahun (juta jiwa) Pulau Jumlah Penduduk (juta jiwa) Jawa+Madura Luar Jawa Nasional % Penduduk Jawa thd Nasional % Penduduk Luar Jawa thd Nasional Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas (Survei Penduduk Antar Sensus), BPS.

2 71 Populasi Penduduk (juta jiwa) 250 Jaw a+madura Luar Jaw a 200 Nasional Tahun (a) Proporsi (% ) 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Luar Jaw a Jaw a Tahun (b) Gambar 5.1. (a) Dinamika Pertumbuhan Jumlah Penduduk di Pulau Jawa, Luar Jawa dan Nasional Tahun (juta jiwa); (b) Proporsi Jumlah Penduduk di Pulau Jawa dan Luar Jawa terhadap Nasional Tahun Pulau Jawa mengalami peningkatan laju pertumbuhan penduduk hingga tahun 1980 (sebagaimana disajikan pada Tabel 5.2 di bawah ini). Dari tahun 1980-an hingga tahun 2000 besarnya laju pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa terus mengalami penurunan. Fenomena menurunnya laju pertumbuhan penduduk dalam periode waktu tersebut ternyata bukan hanya dialami oleh Pulau Jawa, tetapi terjadi juga di luar Jawa. Namun sejak tahun 2000 laju pertumbuhan penduduk baik di Pulau Jawa maupun di luar Jawa mengalami peningkatan kembali, dimana besarnya laju pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa cenderung mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan laju pertumbuhan penduduk di luar Jawa maupun laju pertumbuhan penduduk nasional. Data trend laju pertumbuhan penduduk di Jawa, luar Jawa dan nasional disajikan secara grafis pada Gambar 5.2. Tabel 5.2. Laju Pertumbuhan Penduduk di Pulau Jawa, Luar Jawa dan Nasional Tahun Pulau Laju Pertumbuhan Penduduk per Tahun (Juta Jiwa) Jawa+Madura Luar Jawa Nasional Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas (Survei Penduduk Antar Sensus), BPS (diolah).

3 72 Laju Pertumbuhan Penduduk per Tahun (% ) Jaw a+madura Luar Jaw a Nasional Tahun Gambar 5.2. Dinamika Laju Pertumbuhan Penduduk di Pulau Jawa, Luar Jawa dan Nasional Tahun Dinamika Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan per Kapita di Pulau Jawa Kuatnya daya tarik Pulau Jawa ternyata juga dibuktikan dari peranannya yang sangat signifikan terutama dilihat dari besarnya kontribusi PDRB yang disumbangkan terhadap total PDRB nasional. Dari grafik yang ditampilkan pada Gambar 5.3, dapat diketahui bahwa pada tahun 2000 hingga 2007, Pulau Jawa secara konsisten menyumbangkan sekitar 60% dari total PDRB nasional, sedangkan sisanya (sekitar 40%) merupakan kontribusi PDRB dari luar Jawa (yang luas wilayahnya meliputi 93% luas daratan nusantara) P e rs e n ta s e (% ) Jaw a Luar Jaw a Tahun Gambar 5.3. Persentase PDRB Pulau Jawa dan Luar Jawa terhadap PDRB Nasional Tahun (dalam %). Pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah secara sederhana dapat dilihat dari laju pertambahan nilai Gross Domestic Products (GDP) atau di Indonesia sering dikenal dengan istilah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan data BPS yang ditampilkan secara grafis pada Gambar 5.4, dapat dilihat bahwa besarnya PDRB di Pulau Jawa terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dimana nilainya selalu lebih besar daripada PDRB di luar Jawa.

4 E+09 PDRB Tanpa Migas Harga Konstan 2000 (juta Rp) 1.80E E E E E E E E+08 Jaw a Luar Jaw a 2.00E+08 Nasional Tahun 0.00E Gambar 5.4. Dinamika Pertumbuhan PDRB di Pulau Jawa, Luar Jawa dan Nasional Tahun (juta rupiah). 9,000,000 PDRB p er Kapita T anp a Mig as Harg a Konstan 2000 (Rupiah /kapita) 8,000,000 7,000,000 6,000,000 5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000,000 Jaw a Luar Jaw a Nasional Tahun Gambar 5.5. Dinamika Peningkatan PDRB per Kapita di Pulau Jawa, Luar Jawa dan Nasional Tahun Ditinjau dari besarnya nilai PDRB per kapita seperti yang ditampilkan secara grafis pada Gambar 5.5, dapat diketahui bahwa PDRB per kapita di Pulau Jawa lebih tinggi dari PDRB per kapita di luar Jawa maupun nasional. Dari fakta tersebut dapat dilihat bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di Pulau Jawa relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di luar Jawa yang notabene PDRB per kapita-nya masih lebih rendah dari rata-rata PDRB per kapita nasional. Dari semua uraian di atas dapat diketahui bahwa Pulau Jawa memegang peranan yang sangat signifikan dalam konstelasi pembangunan nasional. Kuatnya magnet Pulau Jawa yang tercermin dari kondisi geobiofisik wilayahnya yang sangat subur, kondisi sosial-budaya yang relatif berkembang, tingkat perekonomian dan iklim usaha yang kondusif, membuat pulau ini berkembang dengan munculnya pusat-pusat pertumbuhan. Hal ini senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Anwar (2004) yang menyatakan bahwa pendekatan

5 74 pembangunan nasional cenderung bersifat Bias Jawa (Java Bias) dan Bias Perkotaan (Urban Bias). Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah Masing-masing Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dari Waktu ke Waktu Perkembangan wilayah merupakan salah satu aspek penting dalam pelaksanaan pembangunan. Beberapa alasan pentingnya aspek tersebut dalam pembangunan antara lain adalah untuk memacu perkembangan sosial-ekonomi dan mengurangi segala bentuk disparitas pembangunan antar wilayah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mengetahui tingkat perkembangan suatu wilayah, dapat dilakukan dengan melihat pencapaian hasil pembangunan melalui indikator-indikator kinerja di bidang sosial-ekonomi maupun bidang-bidang lain dengan menggunakan berbagai metode analisis. Dalam penelitian ini, tingkat perkembangan wilayah dianalisis dengan dua metode, yaitu indeks diversitas entropy untuk melihat perkembangan atau keberagaman sektor-sektor perekonomiannya, serta tipologi Klassen untuk mengelompokkan wilayah berdasarkan tingkat perkembangan ekonominya, khususnya dilihat dari kriteria rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan besarnya pendapatan per kapita di masing-masing wilayah. Perkembangan Aktivitas Perekonomian Wilayah di Masing-masing Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Perkembangan aktivitas perekonomian di suatu wilayah dapat dianalisis dengan menghitung indeks diversitasnya menggunakan konsep entropy. Adapun prinsip dari indeks diversitas entropy ini adalah semakin beragam aktivitas atau semakin luas jangkauan spasial suatu aktivitas, maka semakin tinggi nilai entropy suatu wilayah, yang berarti bahwa wilayah tersebut semakin berkembang. Aktivitas suatu wilayah dapat dicerminkan dari perkembangan sektor-sektor perekonomian dalam PDRB. Semakin besar nilai indeks entropy-nya, maka dapat diperkirakan bahwa sektor-sektor perekonomian dalam wilayah tersebut semakin berkembang (beragam) dengan komposisi yang semakin berimbang (proporsional). Sebaliknya, semakin kecil nilai indeks entropy di suatu wilayah mencerminkan bahwa sektor perekonomian di wilayah tersebut tidak beragam. Biasanya pada wilayah tersebut hanya ada satu atau beberapa sektor perekonomian yang dominan, sedangkan sektor-sektor lainnya kurang

6 75 berkembang dengan baik. Dalam penelitian ini, indeks diversitas entropy dipakai untuk menganalisis tingkat perkembangan aktivitas ekonomi di masing-masing kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan menggunakan data PDRB 9 sektor dari tahun Ringkasan hasil analisis indeks diversitas entropy perkembangan aktivitas perekonomian wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan data PDRB 9 sektor tahun 2000 hingga 2006 disajikan pada Tabel 5.3, sedangkan hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 5.3. Ringkasan Hasil Analisis Indeks Diversitas Entropy (IDE) dan Koefisien Variasi (CV) Sektor-sektor Ekonomi Wilayah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Tahun Provinsi DKI Jakarta* Rata-rata IDE CV (%) Jawa Barat Rata-rata IDE CV (%) Jawa Tengah Rata-rata IDE CV (%) DI Yogyakarta Rata-rata IDE CV (%) Jawa Timur Rata-rata IDE CV (%) Banten Rata-rata IDE CV (%) Total IDE (Jawa) Rata2 IDE kab/kota di Jawa CV jawa (%) Sumber: Hasil Analisis. Keterangan: * Khusus Provinsi DKI terdiri dari 5 kotamadya dan 1 kabupaten administratif. n n Rumus: = ln ; dan CV= (standar deviasi/rata-rata) x 100%. IDE P i P i= 1 i= 1 i Dari hasil analisis entropy sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 5.3, dapat diketahui bahwa nilai entropy total Pulau Jawa mengalami peningkatan dalam kurun waktu dari tahun 2000 hingga 2006 meskipun besarnya peningkatan nilai indeks tersebut tidak terlalu signifikan (yaitu sebesar di tahun 2000 menjadi di tahun 2006). Namun, hal tersebut mencerminkan bahwa sektor

7 76 perekonomian di Pulau Jawa mengalami perkembangan, khususnya dilihat dari keberagaman jenis aktivitasnya. Sementara itu, dilihat dari besarnya nilai indeks diversitas entropy masingmasing kabupaten/kota di tiap provinsi di Pulau Jawa, dapat diketahui bahwa kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta memiliki rata-rata nilai indeks diversitas entropy yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelima provinsi lainnya. Sedangkan dari besarnya nilai coefficient of variation (CV) pada tiap-tiap provinsi tahun , dapat dilihat bahwa Provinsi Jawa Timur memiliki nilai CV yang paling besar (lebih dari 100%), yang kemudian disusul oleh Provinsi Jawa Tengah (sekitar 80%) dan Jawa Barat (sekitar 72%) (lihat Gambar 5.6.a dan b) Rata-rata IDE DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Coefficient of variation (CV) Tahun (a) Gambar 5.6. (a) Besarnya Rata-rata Indeks Diversitas Entropy (IDE) dan (b) Nilai Coefficient of Variation (CV) IDE Masing-masing Provinsi di Pulau Jawa Tahun Tahun (b) Hal ini menunjukkan bahwa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur memiliki tingkat perkembangan wilayah dengan keragaman yang sangat tinggi. Artinya, ada beberapa wilayah (kabupaten/kota) yang sektor perekonomiannya sangat berkembang, namun masih banyak juga wilayah lain dalam provinsi tersebut yang relatif kurang berkembang. Kondisi serupa juga dialami oleh Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat, meskipun dengan tingkat keragaman yang masih lebih rendah dibandingkan Provinsi Jawa Timur. Sedangkan bila ditinjau dari besarnya CV nilai rata-rata indeks diversitas entropy kabupaten/kota di Pulau Jawa (Tabel 5.3), dapat diketahui bahwa nilainya secara konsisten mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Fakta ini memperlihatkan adanya suatu bentuk disparitas pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa, khususnya ditinjau dari struktur perekonomian dan sektor-sektor pembentuknya.

8 77 Tipologi Klassen Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Tipologi Klassen merupakan salah satu metode analisis ekonomi regional yang dapat digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau mengelompokkan wilayah berdasarkan struktur pertumbuhan ekonominya. Pada penelitian ini, pengelompokan wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan tipologi Klassen dilakukan berdasarkan indikator besarnya laju pertumbuhan ekonomi (Lampiran 2) dan besarnya PDRB per kapita di tiap kabupaten/kota (Lampiran 3) yang dibandingkan dengan ratarata laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita di Pulau Jawa. Dengan menggunakan matriks Klassen, seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa dapat dikelompokkan ke dalam 4 kuadran berdasarkan dua indikator tersebut, yaitu: wilayah maju (kuadran I), wilayah maju tapi tertekan (kuadran II), wilayah relatif terbelakang (kuadran III), dan wilayah berkembang cepat (kuadran IV). Pengelompokan ini bersifat dinamis, karena sangat tergantung pada perkembangan kegiatan pembangunan di masing-masing kabupaten/kota. Artinya, dari waktu ke waktu pengelompokan akan dapat berubah sesuai dengan perkembangan laju pertumbuhan ekonomi dan besarnya PDRB per kapita di kabupaten/kota yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, pengelompokan wilayah dengan tipologi Klassen dilakukan pada dua periode waktu yang berbeda, yaitu sebelum masa Otonomi Daerah dan setelah masa Otonomi Daerah. Hal tersebut bertujuan untuk membandingkan tingkat perkembangan wilayah pada masa sebelum dan setelah diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah. Dengan cara tersebut, maka dapat dilihat bagaimana pengaruh/dampak diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah terhadap kemandirian dan tingkat perkembangan di masing-masing wilayah, khususnya ditinjau dari perkembangan laju pertumbuhan ekonomi dan besarnya PDRB per kapita penduduk di wilayah tersebut. A. Sebelum Masa Otonomi Daerah Analisis tipologi Klassen pada masa sebelum diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah dilakukan dengan membandingkan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan besarnya PDRB per kapita di masing-masing kabupaten/kota dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan besarnya PDRB per kapita di Pulau Jawa. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data PDRB tiap kabupaten/kota dan PDRB total di Pulau Jawa tahun 1986 s.d 1999 (untuk menghitung rata-rata

9 78 laju pertumbuhan ekonomi) serta data PDRB per kapita tahun 1999, baik di tiap kabupaten/kota maupun PDRB per kapita di Pulau Jawa. Gambar 5.7 berikut menyajikan hasil scatterplot tipologi Klassen kabupaten/kota di Pulau Jawa dalam empat kuadran berdasarkan kriteria rata-rata laju pertumbuhan ekonomi (LPE) dan besarnya PDRB per kapita pada masa sebelum diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah. Tipologi Klassen Kab/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (Th ) dan PDRB per Kapita Tahun ,000,000 60,000,000 KOTA KEDIRI KOTA JAKARTA PUSAT PDRB per Kapita Th.1999 (Rp/jiwa) 50,000,000 40,000,000 30,000,000 20,000,000 10,000,000 0 Kuadran II Kuadran I KOTA JAKARTA UTARA* KOTA JAKARTA SELATAN KOTA SURABAYA BEKASI KOTA KOTA JAKARTA KOTA JAKARTA KOTA CIREBON BARAT MALANG TIMUR KOTA SIDOARJO GRESIK SEMARANG KUDUS KOTA YOGYAKARTA KOTA KOTA MAGELANG KOTA BEKASI KOTA KULON PROGO KUNINGAN BOJONEGOROJEPARA SUMENEP SRAGEN GROBOGAN BREBES KLATEN MADIUNCIANJUR TRENGGALEK SAMPANG PURWOREJO PATI PASURUAN MAGETAN PURBALINGGAPEMALANG KEBUMEN PONOROGO PAMEKASAN REMBANG MAJALENGKA LAMONGAN BANGKALAN JOMBANG CIREBON PEKALONGAN LUMAJANG SITUBONDO GUNUNG MOJOKERTO NGAWI BONDOWOSO TASIKMALAYA CIAMIS BANTUL SUMEDANG PROBOLINGGO KOTA KOTA NGANJUK BLITAR SUBANG BLORA BANYUMAS PACITAN BATANG GARUT BANYUWANGI PASURUAN BOGOR TULUNGAGUNG KOTA PROBOLINGGO KOTA BANDUNG MALANG SERANG BOYOLALI TEGAL SUKABUMI KOTA KOTA SLEMAN SALATIGA PEKALONGAN KENDAL TANGERANG MOJOKERTO KEDIRI MAGELANG PANDEGLANG BANJARNEGARA JEMBER TUBAN INDRAMAYU KIDUL KOTA BANDUNG KARAWANG SURAKARTA CILACAP PURWAKARTA BLITAR MADIUN SEMARANG DEMAK WONOGIRI KOTA SUKOHARJO SUKABUMI LEBAKTEGAL WONOSOBO TEMANGGUNG KOTA BOGOR KARANGANYAR Kuadran III Kuadran IV KOTA TANGERANG -10,000, Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Th (%) Gambar 5.7. Scatterplot Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Kriteria Besarnya Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB per Kapita) Sebelum Masa Otonomi Daerah (Periode ) Hasil perhitungan menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita di Pulau Jawa pada masa sebelum kebijakan Otonomi Daerah masing-masing adalah sebesar 6.04% dan Rp. 5,348,565,-/tahun, Berdasarkan kriteria nilai tersebut, maka sesuai hasil scatterplot (Gambar 5.7), dapat diketahui bahwa sebagian besar kabupaten/kota di Pulau Jawa masuk dalam kategori kuadran 3. Untuk mempermudah mengetahui nama-nama kabupaten/kota yang masuk ke dalam masing-masing kategori, berikut disajikan hasil tipologi Klassen dalam empat kuadran (Gambar 5.8).

10 79 Kuadran I 14.81% Kuadran II Kuadran IV 3.70% 18.52% Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Kota Yogyakarta, Kota Magelang Kota Kediri, Jak-ut, Jak-sel, Kab.Bekasi, Surabaya, Kota Cirebon, Kota Malang, Jak-tim, Kota Tangerang, Kudus, Gresik, Kota Semarang, Sidoarjo, Kota Bandung, Kota Probolinggo, Purwakarta Kuadran III 62.96% Bogor, Kota Bekasi, Kota Mjkerto, Kota Peklongan, Kota Pasuruan, Sleman, Kota Salatiga, Kendal, Probolinggo, Bywangi, Serang, Subang, Sumedang, Sumenep, Mjkerto, Stbondo, Klnprogo, Garut, Jombang, Malang, Magetan, Gnkidul, Lumajang, Kota Blitar, Blitar, Ciamis, Bantul, Pasuruan, Nagnjuk, Byolali, Tuban, Tskmalaya, Kediri, Cianjur, Madiun, Jember, Jepara, Bjnegoro, Pklongan, Lamongan, Batang, Bangkalan, Pandeglang, Cirebon, Skbumi, Pati, Klaten, Kuningan, Mjlngka, Prwrejo, Bndwoso, Rembang, Ngawi, Pnorogo, Sregen, Demak, Mgelang, Pamekasan, Trenggalek, Brebes, Pacitan, Blora, Purbalingga, Bnyumas, Kebumen, Tegal, Sampang, Grobogan Kota Surakarta, Tulungagung, Cilacap, Karawang, Bandung, Tangerang, Kota Sukabumi, Karanganyar, Kota Madiun, Semarang, Kota Bogor, Sukoharjo, Indramayu, Kota Tegal, Temanggung, Lebak, Banjarnegara, Wonogiri, Pemalang, Wonosobo Keterangan: K1: Wilayah maju K2: Wilayah maju tapi tertekan K3: Wilayah relatif terbelakang K4: Wilayah berkembang cepat Gambar 5.8. Tipologi Klassen Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Kriteria Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) dan Besarnya PDRB per Kapita pada Masa Sebelum Otonomi Daerah (Tahun ) Hasil klasifikasi tipologi Klassen sebagaimana disajikan pada Tabel 5.4 menunjukkan perbandingan relatif kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan kriteria rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita. Dari hasil tipologi Klassen tersebut dapat diketahui bahwa sebanyak 62.96% dari total

11 80 kabupaten/kota di Pulau Jawa 3 termasuk ke dalam kuadran III, yang berarti bahwa sebagian besar wilayah kabupaten/kota pada masa sebelum Otonomi Daerah tergolong wilayah yang kurang berkembang (rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan besarnya PDRB per kapita pada wilayah dalam kuadran ini berada di bawah rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita di Pulau Jawa). Sedangkan wilayah-wilayah yang tergolong dalam kuadran I (memiliki laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita di atas rata-rata Pulau Jawa) berjumlah 16 kabupaten/kota (sekitar 14.81% dari jumlah total kabupaten/kota di Pulau Jawa). Apabila pengelompokan wilayah dibedakan berdasarkan klasifikasi kabupaten dan kota, maka dapat diketahui bahwa sebagian besar kabupaten masuk dalam kategori kuadran III (75.61%), sedangkan sebagian besar kota masuk dalam kategori kuadran I (42.31%). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum kondisi perkotaan lebih berkembang dibandingkan dengan kabupaten. Karena kabupaten identik dengan kawasan perdesaan, maka hasil klasifikasi tipologi Klassen tersebut mengindikasikan bahwa kondisi perkotaan lebih berkembang dibandingkan perdesaan. Atau dengan perkataan lain, hal ini juga mengindikasikan adanya bentuk ketimpangan desa-kota. Klasifikasi kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan tipologi Klassen sebelum masa Otonomi Daerah (periode ) pada masing-masing kuadran disajikan pada Tabel 5.4. Adapun pengelompokan wilayah dari hasil analisis tipologi Klassen disajikan secara spasial pada Gambar 5.9. Tabel 5.4. Klasifikasi Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Tipologi Klassen Sebelum Masa Otonomi Daerah (Periode ) Kuadran Banyaknya Kabupaten % Banyaknya Kota Sumber: Hasil Analisis. Keterangan: *) Sampai dengan tahun 1999 di Pulau Jawa terdapat 108 kab/kota. % Banyaknya kab/kota Persentase terhadap Total (%) Kuadran I Kuadran II Kuadran III Kuadran IV Jumlah *) Sampai dengan tahun 1999, di Pulau Jawa terdapat 108 kabupaten/kota.

12 81 Gambar 5.9. Klasifikasi Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Hasil Tipologi Klassen Sebelum Masa Otonomi Daerah Dilihat dari sebaran spasial kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan hasil tipologi Klassen sebelum masa Otonomi Daerah sebagaimana disajikan pada Gambar 5.9, dapat diketahui bahwa kabupaten/kota yang berada di kuadran I umumnya merupakan kabupaten/kota yang sebagian besar berada di kawasan metropolitan Jabodetabek (yaitu Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Kabupaten Bekasi, dan Kota Tangerang), kawasan metropolitan Gerbangkertosusila (terutama Kabupaten Gresik, Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo), serta beberapa wilayah kabupaten/kota lain (Kota Bandung, Kabupaten Purwakarta, Kota Cirebon, Kota Semarang, Kota Probolinggo, dan Kabupaten Kudus), dimana secara geografis letak kabupaten/kota tersebut berada di Pantai Utara Jawa (Pantura). Hal ini mengindikasikan bahwa wilayah-wilayah yang berada di Pantai Utara Jawa lebih berkembang dibandingkan wilayah-wilayah yang berada di Pantai Selatan Jawa. Dari sebaran spasial tersebut juga dapat dilihat bahwa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur di luar Kawasan Gerbangkertosusila, Kota Kediri dan Kota Malang didominasi oleh wilayah-wilayah yang tergolong dalam kuadran III, yaitu kabupaten/kota yang masuk dalam kategori wilayah relatif terbelakang/kurang berkembang. Hal ini mengindikasikan adanya ketimpangan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur yang cukup tinggi, dimana bentuk ketimpangan tersebut tercermin dari adanya kesenjangan tingkat perkembangan wilayah antar kabupaten/kota.

13 82 B. Setelah Masa Otonomi Daerah Analisis tipologi Klassen pada masa setelah diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah juga dilakukan dengan membandingkan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan besarnya PDRB per kapita di masing-masing kabupaten/kota dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan besarnya PDRB per kapita di Pulau Jawa. Data dalam analisis ini diambil pada periode waktu setelah diberlakukannya Otonomi Daerah (mulai tahun 2000). Adapun data yang digunakan adalah data PDRB di masing-masing kabupaten/kota dan PDRB total di Pulau Jawa tahun 2000 s.d 2007 (untuk menghitung rata-rata laju pertumbuhan ekonomi) serta data PDRB per kapita tahun 2007, baik di tiap kabupaten/kota maupun PDRB per kapita di Pulau Jawa. Gambar 5.10 dan 5.11 berikut menyajikan hasil scatterplot dan tipologi Klassen kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan kriteria rata-rata laju pertumbuhan ekonomi (LPE) dan besarnya PDRB per kapita pada masa setelah diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah. 180,000,000 Tipologi Klassen Kab/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (Th ) dan PDRB per Kapita Tahun ,000,000 KOTA KEDIRI KOTA JAKARTA PUSAT 140,000,000 PDRB per Kapita Th.2007 (Rp/jiwa) 120,000, ,000,000 80,000,000 60,000,000 40,000,000 20,000,000 0 Kuadran II Kuadran I KOTA JAKARTA UTARA* KOTA JAKARTA SELATAN KOTA SURABAYA KOTA CILEGON KOTA KOTA JAKARTA JAKARTA TIMUR BARAT BEKASI KUDUS KOTA CIREBON KOTA MALANG KOTA TANGERANG GRESIK KOTA KOTA BANDUNG KOTA CILACAP MOJOKERTO KOTA SEMARANG SIDOARJO YOGYAKARTA KOTA KOTA KOTA SURAKARTA CIMAHI KARAWANG KEPULAUAN SERIBUBANDUNG BOGOR KOTA PURWAKARTA PROBOLINGGO KOTA BANDUNG KARANGANYAR TRENGGALEK CIREBON KOTA KOTA BREBES SUKABUMIKOTA TEGAL PURBALINGGA JEMBER KOTA SEMARANG BANYUWANGI BEKASI REMBANG BLITAR TANGERANG SUKOHARJO SUKABUMI BARAT BOGOR LUMAJANG KOTA KOTA GROBOGAN BANYUMAS DEPOK TUBAN BATU SERANG TASIKMALAYA TEGAL PAMEKASAN BANJARNEGARA SUMENEP BLORA TEMANGGUNGSRAGEN DEMAK BATANG GUNUNG CIAMIS TULUNGAGUNG KOTA PACITAN WONOGIRI WONOSOBO PEMALANG PEKALONGAN PASURUAN KENDAL MADIUN KULON CIANJUR LAMONGAN MAGETAN PROBOLINGGO MOJOKERTO KOTA MAGELANG PASURUAN BOYOLALI BOJONEGORO KEDIRI SALATIGA BANGKALAN JOMBANG SUMEDANG GARUT SITUBONDO KOTA MAGELANG PURWOREJO PATI BANTUL BLITAR KEBUMEN LEBAK BONDOWOSO NGAWI KIDUL PONOROGO SAMPANG JEPARA PROGO KOTA MAJALENGKA INDRAMAYU MALANG PEKALONGAN PANDEGLANG NGANJUK SLEMAN MADIUN TASIKMALAYA SUBANG KLATEN BANJAR KUNINGAN Kuadran III Kuadran IV -20,000, Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Th (%) Gambar Scatterplot Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Kriteria Besarnya Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB per Kapita) Setelah Masa Otonomi Daerah (Periode )

14 83 Kuadran I 8.62% Kuadran II Kuadran IV 12.07% 23.28% Kota Kediri, Jakarta Selatan, Kota Surabaya, Jakarta Timur, Kota Cirebon, Kota Malang, Sidoarjo, Gresik, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Mojokerto, Cilacap, Kota Probolinggo, Purwakarta Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Kota Cilegon, Jakarta Barat, Bekasi, Kudus, Kota Tangerang, Kota Bandung, Karawang, Kota Cimahi Kuadran III 56.03% Bogor, Kep.Seribu, Bandung, Tulungagung, Kota Magelang, Kota Pekalongan, Kota Tasikmalaya, Kota Madiun, Kota Pasuruan, Probolinggo, Sleman, Mojokerto, Situbondo, Malang, Sumedang, Kendal, Ciamis, Blitar, Magetan, Garut, Kota Salatiga, Subang, Kota Banjar, Jombang, Serang, Bojonegoro, Sumenep, Klaten, Pasuruan, Nganjuk, Indramayu, Bantul, Klprogo, Gnkidul, Kediri, Madiun,Prwrejo, Cianjur, Bylali, Ngawi, Pklongan, Jepara, Mjlengka, Lamongan, Pati, Batang, Pandeglang, Bangkalan, Pnorogo, Tskmalaya, Bjrnegara, Sragen,Temanggung, Bndwoso, Mglang, Lebak, Wnogiri, Sampang, Pemalang, Demak, Pacitan, Pamekasan, Wonosobo, Kebumen, Blora Kota Surakarta, Kota Bekasi, Kota Batu, Kota Sukabumi, Banyuwangi, Lumajang, Tuban, Semarang, Tangerang, Kota Bogor, Bandung Barat, Sukoharjo, Karanganyar, Kota Blitar, Kota Tegal, Jember, Kota Depok, Sukabumi, Rembang, Cirebon, Kuningan, Brebes, Banyumas, Purbalingga, Trenggalek, Tegal, Grobogan Keterangan: K1: Wilayah maju K2: Wilayah maju tapi tertekan K3: Wilayah relatif terbelakang K4: Wilayah berkembang cepat Gambar Tipologi Klassen Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Kriteria Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) dan Besarnya PDRB per Kapita pada Masa Setelah Otonomi Daerah (Tahun ) Setelah diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah (terhitung sejak tahun 2000), mulai banyak kabupaten/kota di Pulau Jawa yang mengalami pemekaran wilayah. Kabupaten/kota hasil pemekaran wilayah tersebut (beserta kabupaten induknya) berdasarkan urutan terbentuknya adalah sebagai berikut: Kota Depok (Bogor), Kota Cilegon (Serang), Kepulauan Seribu (Jakarta Utara), Kota Cimahi

15 84 (Bandung), Kota Tasikmalaya (Tasikmalaya), Kota Batu (Malang), Kota Banjar (Ciamis), hingga yang terakhir kali terbentuk tahun 2006 adalah Kabupaten Bandung Barat (hasil pemekaran dari Kabupaten Bandung). Dari kedelapan kabupaten/kota yang mengalami pemekaran, lima diantaranya merupakan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan sisanya merupakan kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur dan Banten. Kabupaten/kota pada kedua provinsi lainnya di Pulau Jawa (Provinsi Jawa Tengah dan DIY) sama sekali tidak terjadi pemekaran, baik pada masa sebelum maupun setelah Otonomi Daerah. Berbekal otoritas penuh dalam mengelola sendiri wilayahnya, kedelapan kabupaten/kota yang memisahkan diri dari kabupaten induk berkembang menjadi pusat pertumbuhan yang baru. Bahkan, ditinjau dari tingkat perkembangan wilayahnya, kabupaten/kota tersebut mampu menyaingi tingkat perkembangan wilayah kabupaten induknya. Dari hasil pengelompokan wilayah berdasarkan analisis tipologi Klassen seperti yang disajikan pada Gambar 5.11, dapat diketahui bahwa konfigurasi kabupaten/kota yang mengisi tiap-tiap kuadran dalam matriks Klassen mengalami perubahan. Perubahan konfigurasi tersebut dipengaruhi oleh pergeseran besarnya rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan besarnya rata-rata PDRB per kapita di Pulau Jawa. Pada masa sebelum Otonomi Daerah, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa adalah sebesar 6.04%, namun setelah Otonomi Daerah rata-rata laju pertumbuhan ekonominya turun menjadi 4.93%. Dilihat dari besarnya rata-rata PDRB per kapita di Pulau Jawa, telah terjadi peningkatan dari Rp ,-/kapita (sebelum Otonomi Daerah) menjadi Rp ,-/kapita (setelah Otonomi Daerah). Pada masa setelah Otonomi Daerah, besarnya laju pertumbuhan ekonomi di sebagian besar kabupaten/kota di Pulau Jawa mulai melambat, tidak sebesar laju pertumbuhan pada masa sebelum Otonomi Daerah (periode ). Dari Gambar 5.11 dan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa pada masa setelah diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah, jumlah kabupaten/kota di Pulau Jawa yang termasuk ke dalam kuadran I (kategori wilayah maju) justru berkurang, dengan persentase yang hanya mencapai 8.62%. Namun, pada kondisi yang sama, jumlah kabupaten/kota yang semula terpolarisasi ke dalam kuadran III (kategori wilayah relatif terbelakang) juga berkurang, dengan persentase sebesar 56.03%. Hal ini berarti bahwa pada masa setelah Otonomi Daerah (saat campur tangan pemerintah pusat tidak lagi mendominasi), banyak kabupaten/kota yang

16 85 mengalami tingkat perkembangan yang cukup signifikan dengan kemandirian penuh dari wilayahnya masing-masing. Delapan kabupaten/kota yang mengalami pemekaran wilayah (sebagaimana yang telah disebutkan di atas), juga ikut merasakan dampak Otonomi Daerah. Dilihat dari pengelompokan wilayah hasil analisis tipologi Klassen (Gambar 5.11), dapat diketahui bahwa dari kedelapan wilayah yang memisahkan diri dari kabupaten induknya, 2 diantaranya (Kota Cilegon dan Kota Cimahi) termasuk ke dalam kuadran I (kategori wilayah maju), 3 wilayah (Kota Batu, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Depok) masuk dalam kuadran IV (kategori wilayah berkembang cepat), dan 3 wilayah sisanya (Kepulauan Seribu, Kota Tasikmalaya, dan Kota Banjar) berada pada kuadran III (kategori wilayah relatif terbelakang). Sedangkan seluruh kabupaten induk dari kedelapan kabupaten/kota tersebut (kecuali Jakarta Utara) tergolong dalam kuadran III. Tabel 5.5. Kuadran Klasifikasi Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Tipologi Klassen Setelah Masa Otonomi Daerah (Periode ) Banyaknya Kabupaten % Banyaknya Kota Jumlah *) Sumber: Hasil Analisis. Keterangan: *) Sampai dengan tahun 2007 di Pulau Jawa terdapat 116 kab/kota (8 kab/kota mengalami pemekaran wilayah). % Banyaknya kab/kota Persentase terhadap Total (%) Kuadran I Kuadran II Kuadran III Kuadran IV Dari Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa pada masa setelah diterapkannya kebijakan Otonomi Daerah, jumlah kabupaten/kota yang masuk dalam kuadran II (kategori wilayah maju tapi tertekan) dan kuadran IV (kategori wilayah berkembang cepat) bertambah banyak, yang ditandai dengan besarnya persentase yang semakin meningkat. Dilihat dari kategori pengelompokan wilayah berdasarkan klasifikasi kabupaten dan kota sebagaimana ditampilkan pada Tabel 5.5, dapat diketahui bahwa sebagian besar kabupaten terpolarisasi di kuadran III dan IV dengan besarnya persentase masing-masing adalah 67.44% dan 24.42%. Sedangkan untuk wilayah kota jumlahnya relatif merata di masing-masing kuadran. Apabila perbedaan distribusi ini dibandingkan dengan masa sebelum Otonomi Daerah, maka dapat diketahui bahwa besarnya persentase jumlah

17 86 kabupaten yang terpolarisasi di kuadran III mengalami penurunan (berkurang), dan persentase jumlah kabupaten yang terpolarisasi di kuadran IV mengalami peningkatan. Namun demikian, pada masa setelah Otonomi Daerah, kuadran I masih didominasi oleh wilayah perkotaan (kota), sehingga hal ini juga mengindikasikan bahwa kawasan perkotaan di Pulau Jawa secara umum masih lebih berkembang dibandingkan dengan kabupaten. Untuk selengkapnya, daftar nama kabupaten/kota yang termasuk ke dalam masing-masing kuadran dapat dilihat pada Gambar Sedangkan pengelompokan wilayah dari hasil analisis tipologi Klassen disajikan secara spasial pada Gambar Gambar Klasifikasi Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Hasil Tipologi Klassen Setelah Masa Otonomi Daerah Dilihat dari sebaran spasial klasifikasi kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan hasil tipologi Klassen setelah masa Otonomi Daerah seperti yang disajikan pada Gambar 5.12, dapat diketahui bahwa kuadran I masih terkonsentrasi pada kabupaten/kota yang terletak di Pantai Utara Jawa (Pantura) meskipun konfigurasinya sedikit mengalami pergeseran. Dari Gambar 5.12 tersebut terlihat bahwa kuadran I didominasi oleh kabupaten/kota yang terletak di Kawasan Jabodetabek (Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Kabupaten Bekasi dan Kota Tangerang), Kota Cilegon, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kota Karawang, dan Kabupaten Kudus. Sedangkan beberapa kabupaten/kota di Kawasan Gerbangkertosusila yang pada masa sebelum Otonomi Daerah tergolong dalam kuadran I, pada masa setelah Otonomi Daerah tidak lagi berada di kuadran I, melainkan di kuadran II. Sementara itu, kabupaten/kota yang tergolong ke dalam kuadran IV letaknya secara spasial lebih tersebar di seluruh provinsi. Dan dapat diamati pula bahwa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur sepertinya

18 87 menjadi lebih merata setelah masa Otonomi Daerah. Hal tersebut dapat disaksikan dari besarnya persentase jumlah kabupaten/kota yang mengisi tiap-tiap kuadran dan konfigurasinya secara spasial berdasarkan tipologi Klassen. Apabila dibandingkan antara masa sebelum dan setelah Otonomi Daerah (Tabel 5.6), maka dapat dilihat bahwa secara umum rata-rata laju pertumbuhan ekonomi (PDRB) seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa pada masa sebelum Otonomi Daerah ( ) relatif lebih tinggi dibandingkan pada masa setelah Otonomi Daerah ( ), begitu pula dengan nilai maksimumnya. Tabel Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi (PDRB), PDRB per Kapita dan Persentase Jumlah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dalam Tipologi Klassen pada Masa Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah Variabel Sebelum OTDA ( ) Setelah OTDA ( ) Laju Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) (%/tahun) Rata-rata Minimum Maksimum PDRB per Kapita (Rp/tahun) Rata-rata 5,348,565 14,224,731 Minimum 1,220,150 3,436,540 Maksimum 59,292, ,094,130 Persentase Jumlah Kab/Kota dalam Tipologi Klassen (%) Kuadran I Kuadran II Kuadran III Kuadran IV Sumber: Hasil Analisis. Hal ini dapat mencerminkan cukup tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi pada masa sebelum Otonomi Daerah. Namun, ketika terjadi krisis ekonomi di Indonesia pada tahun , maka secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi menurun drastis. Sehingga dampak dari terjadinya krisis ekonomi tersebut masih dapat dirasakan pada masa setelah Otonomi Daerah. Hal itulah yang menyebabkan besarnya rata-rata laju pertumbuhan ekonomi seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa pada masa setelah Otonomi Daerah relatif lebih rendah dibandingkan pada masa setelah Otonomi Daerah, meskipun dilihat dari besarnya PDRB per kapita yang terjadi justru sebaliknya.

19 88 Dari perubahan konfigurasi wilayah hasil tipologi Klassen, dapat diketahui bahwa Otonomi Daerah cukup membawa dampak positif bagi beberapa kabupaten/kota di Pulau Jawa. Persentase jumlah kabupaten/kota yang termasuk ke dalam kuadran I (kategori wilayah maju) berkurang dari 14.81% menjadi 8.62%, sementara jumlah kabupaten/kota yang termasuk ke dalam kuadran III (kategori wilayah relatif terbelakang) berkurang, yaitu dari yang semula 62.96% menjadi 56.03%. Perubahan persentase dan sebaran kabupaten/kota pada kuadrankuadran tersebut disebabkan oleh pergeseran besarnya laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita secara relatif terhadap rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita di Pulau Jawa. Pergeseran konfigurasi kabupaten/kota dalam tipologi Klassen pada masa setelah Otonomi Daerah juga dapat mencerminkan kemampuan recovery tiap-tiap wilayah untuk bangkit dari keterpurukan kondisi perekonomian pasca terjadinya krisis. Dampak Diberlakukannya Kebijakan Otonomi Daerah terhadap Struktur Perekonomian Wilayah di Masing-masing Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Ditinjau dari hasil analisis tipologi Klassen pada masa sebelum dan setelah diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa telah terjadi pergeseran struktur perekonomian wilayah di masing-masing kabupaten/kota di Pulau Jawa. Pergeseran struktur perekonomian wilayah tersebut terutama disebabkan karena berubahnya tingkat pencapaian kinerja ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang tercermin dari besarnya rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan nilai PDRB per kapita di masing-masing wilayah. Dengan diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah, ada wilayah-wilayah yang mampu mengoptimalkan potensi daerahnya sehingga dapat meningkatkan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi serta PDRB per kapita masyarakatnya. Namun tak sedikit juga wilayah yang belum mampu memanfaatkan momentum dikeluarkannya kebijakan tersebut untuk menggali potensi di daerahnya sehingga tak kunjung berkembang/relatif terbelakang. Hal tersebut tercermin dari pergeseran struktur perekonomian wilayah di masing-masing kabupaten/kota yang dapat dilihat dari kategori kuadran-kuadran dalam tipologi Klassen. Merujuk pada ketentuan pembagian kuadran sebagaimana telah dijelaskan di bagian metode penelitian (Gambar 3.3), maka struktur pergeseran tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut (Gambar 5.13).

20 89 Struktur Pergeseran KUADRAN (sebelum OTDA) KUADRAN (setelah OTDA) Baik Sedang Terbelakang A B C ++ o+ -+ +o oo -o +- o Baik - Baik Sedang - Baik Terbelakang - Baik Baik - Sedang Sedang - Sedang Terbelakang - Sedang Baik - Terbelakang Sedang - Terbelakang Terbelakang - Terbelakang Gambar Struktur Pergeseran Tipologi Klassen Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Pasca Diberlakukannya Kebijakan Otonomi Daerah Dengan merujuk pada struktur pergeseran kuadran hasil tipologi Klassen sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 5.13, maka klasifikasi kabupaten/kota di Pulau Jawa secara spasial dan tabular disajikan pada Gambar 5.14 dan Tabel 5.7. Gambar Klasifikasi Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Struktur Pergeseran Tipologi Klassen Pasca Otonomi Daerah Berdasarkan Gambar 5.14 tersebut terlihat bahwa wilayah-wilayah yang tergolong ke dalam kategori 1, 2, dan 3 terkonsentrasi di sekitar Kawasan Jabodetabek, Kota Bandung, Kota Cilegon, dan Kabupaten Kudus, yang pada umumnya berada di kawasan Pantura. Sedangkan kabupaten/kota yang tergolong ke dalam kategori 8 dan 9 pada umumnya merupakan wilayah-wilayah yang

21 90 letaknya jauh dari kota-kota besar. Dari gambar tersebut juga dapat diamati bahwa Jawa timur merupakan provinsi yang mempunyai kabupaten/kota Tabel 5.7. Klasifikasi Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Struktur Pergeseran Tipologi Klassen Beserta Persentasenya Kategori Total Sumber: Hasil Analisis. Jumlah Jumlah Total % % Kabupaten Kota Kab/Kota % Dari hasil klasifikasi berdasarkan struktur pergeseran kuadran pada tipologi Klassen yang ditampilkan pada Gambar 5.14 dan Tabel 5.7 tersebut, dapat diketahui bahwa wilayah yang termasuk ke dalam kategori 1, jumlahnya hanya 5 kabupaten/kota (sekitar 4.31%), yaitu 2 kabupaten dan 3 kota. Sedangkan kabupaten/kota yang termasuk ke dalam kategori 9 jumlahnya paling banyak, yaitu 54 kabupaten/kota (atau sekitar 46.55% dari total jumlah kabupaten/kota yang ada di Pulau Jawa). Dari 54 kabupaten/kota yang tergolong ke dalam kategori 9 tersebut, 49 diantaranya merupakan wilayah kabupaten dan 5 lainnya merupakan wilayah kota. Dominansi wilayah kabupaten dalam konfigurasi tersebut menunjukkan bahwa secara umum, wilayah-wilayah kabupaten di Pulau Jawa mengalami tingkat perkembangan yang lebih rendah dibandingkan dengan wilayah kota (perkotaan). Dari Tabel 5.7 tersebut juga dapat dilihat bahwa sebagian besar wilayah kabupaten tergolong ke dalam kategori 9, yaitu sekitar 58.33%. Artinya, sebagian besar wilayah-wilayah tersebut tidak mengalami pergeseran tipologi Klassen, yaitu tetap berada pada kuadran III, meskipun secara relatif besarnya rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan rata-rata PDRB per kapita mengalami pergeseran dari masa sebelum dan setelah Otonomi Daerah. Namun, nilai rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita pada wilayah-wilayah tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan rata-rata PDRB per kapita Pulau Jawa.

22 91 Terhitung sudah lima tahun sejak dikeluarkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hasilnya, beberapa kabupaten/kota memang berhasil mengalami peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita di wilayahnya. Namun begitu, tidak sedikit pula wilayah-wilayah yang pada kenyataannya belum dapat memanfaatkan momentum dikeluarkannya kebijakan Otonomi Daerah untuk menggali potensi dan mengelola sumberdaya yang ada di wilayahnya secara maksimal, sehingga tingkat perkembangan wilayah-wilayah tersebut relatif rendah (lambat), dengan laju pertumbuhan ekonomi dan nilai PDRB per kapita yang masih berada di bawah rata-rata Pulau Jawa. Beberapa dari kabupaten/kota yang tingkat perkembangannya masih relatif rendah tersebut diantaranya adalah wilayah-wilayah yang mengalami pemekaran (dalam hal ini adalah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar). Sebagian daerah mengartikan bahwa otonomi harus dilakukan dengan pemekaran wilayah. Padahal pemekaran wilayah yang terjadi tidak selalu memberikan hasil yang positif. Pemekaran merupakan strategi yang tepat untuk beberapa daerah, terutama daerah yang mempunyai luas wilayah sangat besar, dan didukung oleh sumberdaya yang cukup baik. Namun harus diingat bahwa pemekaran wilayah bukanlah obat bagi penyelesaian segala permasalahan yang dihadapi oleh daerah-daerah tertinggal. Dari sekian banyak daerah otonom baru, hanya beberapa saja yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerahnya. Selebihnya masih sangat bergantung pada bantuan dari pemerintah. Dalam hal ini, perlu disadari bahwa pembangunan ekonomi daerah memerlukan upaya yang keras dan perencanaan yang baik. Membangun infrastruktur ke kantong-kantong kawasan produksi sangat dibutuhkan untuk mengangkat ekonomi masyarakat. Namun tanpa perencanaan dan pelaksanaan yang baik maka semuanya akan sia-sia. Oleh karena itu, pelaksanaan Otonomi Daerah perlu dievaluasi kembali karena sejauh ini banyak daerah yang dimekarkan dalam implementasinya ternyata belum siap untuk otonom, malah hanya menyebabkan pemborosan APBD dan APBN saja. Sejalan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas untuk menentukan kebijakan dan program pembangunan yang terbaik bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah masing-masing. Namun, adanya latar belakang demografi, geografi, infrastruktur dan ekonomi yang tidak sama, serta kapasitas sumberdaya yang berbeda, maka salah satu konsekuensi dari pelaksanaan Otonomi Daerah

23 92 adalah keberagaman daerah dalam hal kinerja pelaksanaan dan pencapaian tujuan pembangunan. Perbedaan kinerja selanjutnya akan menyebabkan kesenjangan antar daerah, timbulnya konflik dan kemungkinan disintegrasi bangsa. Disparitas Regional di Pulau Jawa Disparitas pembangunan antar wilayah bukan hanya menjadi isu penting yang terjadi antara Jawa dan luar Jawa, namun juga di dalam Pulau Jawa itu sendiri. Sesuai dengan hipotesis yang dikembangkan di dalam penelitian ini, disparitas pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa diduga dapat bersumber dari (1) disparitas antar provinsi; (2) disparitas antara kawasan metropolitan dan non metropolitan; (3) disparitas antara Kawasan Jabodetabek dan non Jabodetabek; (4) disparitas antara kabupaten dan kota (perkotaan); (5) disparitas antara kawasan pesisir dan non pesisir; dan (6) disparitas antara kawasan pesisir Jawa bagian Utara dan pesisir Jawa bagian Selatan. Dalam penelitian ini, akan dibuktikan kebenaran dari hipotesis yang dibangun tentang dugaan adanya disparitas pada keenam bentuk pembagian wilayah (sebagaimana telah disebutkan di atas), serta dikaji mana di antara keenam bentuk disparitas yang mempunyai derajat disparitas terbesar sebagai penyebab ketidakmerataan pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa. Kajian ini terutama difokuskan untuk melihat trend besarnya tingkat disparitas yang terjadi pada masa sebelum dan setelah Otonomi Daerah. 1. Disparitas Antar Provinsi Pulau Jawa terdiri dari 6 provinsi 4, yaitu Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Timur dan Banten. Ditinjau dari jumlah penduduknya (Tabel 5.8), dapat diketahui bahwa dari tahun 1986 hingga 2007 jumlah penduduk masing-masing provinsi di Pulau Jawa mengalami peningkatan, dimana penduduk paling banyak menghuni Provinsi Jawa Barat, yang kemudian disusul oleh Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Provinsi DIY adalah provinsi dengan jumlah penduduk paling sedikit di Pulau Jawa. Sedangkan Provinsi DKI Jakarta dengan luas wilayah yang relatif sempit merupakan provinsi dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi (terpadat di Indonesia). Secara grafis, dinamika pertumbuhan jumlah penduduk masing-masing provinsi di Pulau Jawa dapat dilihat pada Gambar Pulau Jawa sebelumnya terdiri dari 5 provinsi. Namun, sejak tahun 2000, Banten memisahkan diri dari provinsi induk (Jawa Barat).

24 93 Tabel 5.8. Jumlah Penduduk per Provinsi di Pulau Jawa Tahun (jiwa) Tahun DKI Jakarta Jawa Barat* Jawa Tengah DIY Jawa Timur Banten Jumlah ,578,565 31,721,169 27,197,434 2,859,810 31,078, ,063, ,927,999 34,986,368 28,417,036 2,908,232 32,060, ,300, ,705,600 37,408,822 29,202,565 2,922,371 33,762, ,001, ,316,300 40,843,975 29,739,137 3,055,396 34,365, ,320, ,347,083 35,453,747** 31,255,990 3,121,701 35,319,050 8,380, ,878, ,725,049 37,581,957** 31,880,632 3,211,181 36,638,914 9,024, ,062, ,723,416 40,329,050** 32,380,284 3,434,533 36,895,561 9,423, ,186,215 Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas (Survei Penduduk Antar Sensus), BPS. Keterangan: *) Sejak tahun 2000 Provinsi Jawa Barat mengalami pemekaran, terbagi menjadi Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. **) Setelah pemekaran. 45,000,000 40,000,000 Jumlah Penduduk (jiwa ) 35,000,000 30,000,000 25,000,000 20,000,000 15,000,000 10,000,000 5,000,000 - DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Banten Tahun Gambar Dinamika Pertumbuhan Jumlah Penduduk Masing-masing Provinsi di Pulau Jawa Tahun Tabel 5.9. Persentase Jumlah Penduduk Masing-masing Provinsi terhadap Jumlah Penduduk Total di Pulau Jawa Tahun (%) Tahun DKI Jakarta Jawa Barat* Jawa Tengah DIY Jawa Timur Banten ** ** ** Rata-rata Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas (Survei Penduduk Antar Sensus). Statistik Indonesia, BPS (diolah). Keterangan: *) Sejak tahun 2000 Provinsi Jawa Barat mengalami pemekaran, terbagi menjadi Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. **) Setelah pemekaran.

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun 1.1. UMUM 1.1.1. DASAR Balai Pemantapan Kawasan Hutan adalah Unit Pelaksana Teknis Badan Planologi Kehutanan yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 6188/Kpts-II/2002, Tanggal 10

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Kabupaten yang berada di wilayah Jawa dan Bali. Proses pembentukan klaster dari

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Kabupaten yang berada di wilayah Jawa dan Bali. Proses pembentukan klaster dari BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penelitian ini mengembangkan model pengklasteran Pemerintah Daerah di Indonesia dengan mengambil sampel pada 30 Pemerintah Kota dan 91 Pemerintah Kabupaten

Lebih terperinci

PROPINSI KOTAMADYA/KABUPATEN TARIF KABUPATEN/KOTAMADYA HARGA REGULER. DKI JAKARTA Kota Jakarta Barat Jakarta Barat

PROPINSI KOTAMADYA/KABUPATEN TARIF KABUPATEN/KOTAMADYA HARGA REGULER. DKI JAKARTA Kota Jakarta Barat Jakarta Barat PROPINSI KOTAMADYA/KABUPATEN TARIF KABUPATEN/KOTAMADYA HARGA REGULER DKI JAKARTA Kota Jakarta Barat Jakarta Barat 13.000 Kota. Jakarta Pusat Jakarta Pusat 13.000 Tidak Ada Other Kota. Jakarta Selatan Jakarta

Lebih terperinci

INFORMASI UPAH MINIMUM REGIONAL (UMR) TAHUN 2010, 2011, 2012

INFORMASI UPAH MINIMUM REGIONAL (UMR) TAHUN 2010, 2011, 2012 INFORMASI UPAH MINIMUM REGIONAL (UMR) TAHUN 2010, 2011, 2012 Berikut Informasi Upah Minimum Regional (UMR) atau Upah Minimum Kabupaten (UMK) yang telah dikeluarkan masing-masing Regional atau Kabupaten

Lebih terperinci

Summary Report of TLAS Trainings in Community Forest on Java Year of Implementation :

Summary Report of TLAS Trainings in Community Forest on Java Year of Implementation : Summary Report of TLAS Trainings in Community Forest on Java Year of Implementation : 2011-2012 No. Provinces and Groups of Participants Training Dates and Places Number and Origins of Participants Remarks

Lebih terperinci

KANAL TRANSISI TELEVISI SIARAN DIGITAL TERESTERIAL PADA ZONA LAYANAN IV, ZONA LAYANAN V, ZONA LAYANAN VI, ZONA LAYANAN VII DAN ZONA LAYANAN XV

KANAL TRANSISI TELEVISI SIARAN DIGITAL TERESTERIAL PADA ZONA LAYANAN IV, ZONA LAYANAN V, ZONA LAYANAN VI, ZONA LAYANAN VII DAN ZONA LAYANAN XV 2012, 773 8 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG PENGGUNAAN PITA SPEKTRUM FREKUENSI RADIO ULTRA HIGH FREQUENCY (UHF) PADA ZONA LAYANAN IV,

Lebih terperinci

Jumlah No. Provinsi/ Kabupaten Halaman Kabupaten Kecamatan 11. Provinsi Jawa Tengah 34 / 548

Jumlah No. Provinsi/ Kabupaten Halaman Kabupaten Kecamatan 11. Provinsi Jawa Tengah 34 / 548 4. Kota Bekasi 23 109 5. Kota Bekasi 10 110 6. Kabupaten Purwakarta 17 111 7. Kabupaten Bandung 43 112 8. Kodya Cimahi 3 113 9. Kabupaten Sumedang 26 114 10. Kabupaten Garut 39 115 11. Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN, AGUS D.W. MARTOWARDOJO.

MENTERI KEUANGAN, AGUS D.W. MARTOWARDOJO. LAMPIRAN VI PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR /PMK.07/2011 TENTANG ALOKASI KURANG BAYAR DAN BAGI HASIL PAJAK DAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN ANGGARAN 2009 DAN TAHUN ANGGARAN 2010 YANG DIALOKASIKAN

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 25 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Pembangunan di Era Orde Baru telah melahirkan kebijakan yang sentralistik, baik dalam proses perencanaan maupun pengambilan keputusan. Pembangunan diarahkan

Lebih terperinci

Lampiran Surat No : KL /BIII.1/1022/2017. Kepada Yth :

Lampiran Surat No : KL /BIII.1/1022/2017. Kepada Yth : Lampiran Surat No : KL.01.01.01/BIII.1/1022/2017 Kepada Yth : Provinsi Banten 1. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten 2. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak 3. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang

Lebih terperinci

ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN ANGGARAN 2011 NO PROVINSI/KABUPATEN/KOTA JUMLAH

ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN ANGGARAN 2011 NO PROVINSI/KABUPATEN/KOTA JUMLAH LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 33/PMK.07/2011 TENTANG : ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN ANGGARAN 2011 ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN

Lebih terperinci

2011, Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara R

2011, Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara R BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA 615, 2011 KEMENTERIAN KEUANGAN. DBH. Pajak. Cukai. Tahun Anggaran 2011 PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 161/PMK.07/2011 TENTANG ALOKASI KURANG BAYAR

Lebih terperinci

WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG SALINAN WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 44 TAHUN 2012 TENTANG STANDARISASI INDEKS BIAYA KEGIATAN, PEMELIHARAAN, PENGADAAN

Lebih terperinci

P E N G A N T A R. Jakarta, Maret 2017 Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Dr. Andi Eka Sakya, M.Eng

P E N G A N T A R. Jakarta, Maret 2017 Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Dr. Andi Eka Sakya, M.Eng P E N G A N T A R Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Hujan diterbitkan setiap bulan September dan Prakiraan Musim

Lebih terperinci

DAFTAR KUOTA PELATIHAN KURIKULUM 2013 PAI PADA MGMP PAI SMK KABUPATEN/KOTA

DAFTAR KUOTA PELATIHAN KURIKULUM 2013 PAI PADA MGMP PAI SMK KABUPATEN/KOTA NO PROVINSI DK KABUPATEN JUMLAH PESERTA JML PESERTA PROVINSI 1 A C E H 1 Kab. Aceh Besar 30 180 2 Kab. Aceh Jaya 30 3 Kab. Bireuen 30 4 Kab. Pidie 30 5 Kota Banda Aceh 30 6 6 Kota Lhokseumawe 30 2 BANGKA

Lebih terperinci

4 KINERJA PDAM Kantor BPPSPAM

4 KINERJA PDAM Kantor BPPSPAM DAFTAR ISI Kata pengantar Halaman 5 Laporan Kinerja PDAM di Indonesia Periode 2011 Halaman 7 Provinsi DKI Jakarta Halaman 15 Provinsi Banten Halaman 17 Provinsi Jawa Barat Halaman 25 Provinsi Jawa tengah

Lebih terperinci

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG BIAYA PERJALANAN DINAS JABATAN DALAM NEGERI BAGI WALIKOTA, WAKIL WALIKOTA, UNSUR PIMPINAN SERTA ANGGOTA DPRD, PEGAWAI NEGERI SIPIL

Lebih terperinci

Lampiran 1 Nomor : 7569 /D.3.2/07/2017 Tanggal : 26 Juli Daftar Undangan

Lampiran 1 Nomor : 7569 /D.3.2/07/2017 Tanggal : 26 Juli Daftar Undangan Lampiran 1 Nomor : 7569 /D.3.2/07/2017 Tanggal : 26 Juli 2017 Daftar Undangan 1. Kepala Badan Pengembangan SDM Kabupaten Banjarnegara 2. Kepala Badan Pengembangan SDM Kabupaten Banyumas 3. Kepala Badan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 51/Menhut-II/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 51/Menhut-II/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 51/Menhut-II/2009 TENTANG PERUBAHAN KESATU ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.02/MENHUT- II /2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dari tahun ketahun. Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah yang bersangkutan dengan

Lebih terperinci

LAMPIRAN IV SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 46 /SEOJK.03/2016 TENTANG BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH

LAMPIRAN IV SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 46 /SEOJK.03/2016 TENTANG BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH LAMPIRAN IV SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 46 /SEOJK.03/2016 TENTANG BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH - 1 - DAFTAR WILAYAH KERJA DAN ALAMAT KANTOR REGIONAL DAN KANTOR OTORITAS JASA KEUANGAN BERDASARKAN

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR. Provinsi Jawa Timur membentang antara BT BT dan

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR. Provinsi Jawa Timur membentang antara BT BT dan BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR 4. 1 Kondisi Geografis Provinsi Jawa Timur membentang antara 111 0 BT - 114 4 BT dan 7 12 LS - 8 48 LS, dengan ibukota yang terletak di Kota Surabaya. Bagian utara

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA Jalan Patimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110, Telp. 021-72796585 Fax.021-72796585 Nomor : l.)(n.02.0b-oc/sbo Lampiran : 1 (satu)berkas Jakarta,

Lebih terperinci

RINCIAN ALOKASI TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA PROVINSI/KABUPATEN/KOTA DALAM APBN T.A. 2018

RINCIAN ALOKASI TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA PROVINSI/KABUPATEN/KOTA DALAM APBN T.A. 2018 RINCIAN ALOKASI TRANSFER KE DAERAH DAN DESA PROVINSI/KABUPATEN/KOTA DALAM APBN T.A. BAGI HASIL DAK N FISIK TOTAL ALOKASI UMUM TA PROFESI DESA TA I Provinsi Aceh 126.402.087 76.537.898 19.292.417 396.906.382

Lebih terperinci

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG BIAYA PERJALANAN DINAS JABATAN DALAM NEGERI BAGI WALIKOTA, WAKIL WALIKOTA, UNSUR PIMPINAN SERTA ANGGOTA DPRD, PEGAWAI NEGERI SIPIL

Lebih terperinci

KAWASAN PERKEBUNAN. di sampaikan pada roundtable pengembangan kawasan Makasar, 27 Februari 2014

KAWASAN PERKEBUNAN. di sampaikan pada roundtable pengembangan kawasan Makasar, 27 Februari 2014 KAWASAN PERKEBUNAN di sampaikan pada roundtable pengembangan kawasan Makasar, 27 Februari 2014 FOKUS KOMODITI 1. Tebu 2. Karet 3. Kakao 4. Kopi (Arabika dan Robusta) 5. Lada 6. Pala 7. Sagu KAWASAN TEBU

Lebih terperinci

C. REKOMENDASI PUPUK N, P, DAN K PADA LAHAN SAWAH SPESIFIK LOKASI (PER KECAMATAN)

C. REKOMENDASI PUPUK N, P, DAN K PADA LAHAN SAWAH SPESIFIK LOKASI (PER KECAMATAN) C. REKOMENDASI PUPUK N, P, DAN K PADA LAHAN SAWAH SPESIFIK LOKASI (PER KECAMATAN) DAFTAR ISI No. 01. Propinsi Nangroe Aceh Darussalam 10 / 136 23 1. Kabupaten Aceh Selatan 14 24 2. Kabupaten Aceh Sungkil

Lebih terperinci

LAMPIRAN XV PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 137 TAHUN 2015 TENTANG RINCIAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2016

LAMPIRAN XV PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 137 TAHUN 2015 TENTANG RINCIAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2016 PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 137 TAHUN 2015 TENTANG RINCIAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2016 RINCIAN DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM PANAS BUMI MENURUT PROVINSI/KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik pada tahun 2001 telah menimbulkan dampak dan pengaruh yang signifikan bagi Indonesia (Triastuti

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. LAMPIRAN LAMPIRAN 116 Lampiran 1 Suhu udara, kelembaban udara, curah hujan bulanan, dan jumlah hari hujan bulanan di kabupaten/ kota di Pulau Jawa Kabupaten / Kota Suhu ( o C) RH (%) Curah Hujan Bulanan (mm) Jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga termasuk pula percepatan/akselerasi

Lebih terperinci

UPAH MINIMUM TAHUN 2005 PROPINSI KABUPATEN - KOTAMADYA DI INDONESIA No Propinsi Kabupaten / Kotamadya Sektor Industri Upah Minimum 2005 (Rp)

UPAH MINIMUM TAHUN 2005 PROPINSI KABUPATEN - KOTAMADYA DI INDONESIA No Propinsi Kabupaten / Kotamadya Sektor Industri Upah Minimum 2005 (Rp) PROPINSI KABUPATEN KOTAMADYA DI INDONESIA 1 Nanggroe Aceh Darussalam No. 25 / 2004 Tanggal 29102004 2 Sumatera Barat No. 564528 / 2004 Tanggal 22112004 3 Jambi No. 491 / 2004 Tanggal 26112004 4 Riau No.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, program pembangunan lebih menekankan pada penggunaan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, program pembangunan lebih menekankan pada penggunaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dewasa ini, program pembangunan lebih menekankan pada penggunaan pendekatan regional dalam menganalisis karakteristik daerah yang berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan,

Lebih terperinci

LAMPIRAN XVII PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 137 TAHUN 2015 TENTANG RINCIAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2016

LAMPIRAN XVII PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 137 TAHUN 2015 TENTANG RINCIAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2016 PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 137 TAHUN 2015 TENTANG RINCIAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2016 Pendidikan Kesehatan dan KB Perumahan, Air Minum, dan Kedaulatan Pangan

Lebih terperinci

UPDATE HASIL MONITORING EL NINO DAN PRAKIRAAN CURAH HUJAN AGUSTUS DESEMBER 2015

UPDATE HASIL MONITORING EL NINO DAN PRAKIRAAN CURAH HUJAN AGUSTUS DESEMBER 2015 BMKG UPDATE HASIL MONITORING EL NINO DAN PRAKIRAAN CURAH HUJAN AGUSTUS DESEMBER 15 Status Perkembangan 18 Agustus 15 RINGKASAN, VERSI 18 AGUSTUS 15 Monitoring kolam hangat di Laut Pasifik menunjukkan konsistensi

Lebih terperinci

Pengelompokkan Kabupaten/Kota Di Pulau Jawa Berdasarkan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Menggunakan Bisecting K-Means

Pengelompokkan Kabupaten/Kota Di Pulau Jawa Berdasarkan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Menggunakan Bisecting K-Means Pengelompokkan Kabupaten/ Di Pulau Jawa Berdasarkan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Menggunakan Bisecting K-Means Dila Fitriani Azuri*, Zulhanif, Resa Septiani Pontoh Departemen Statistika, FMIPA Universitas

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No.42/06/33/Th.X, 15 Juni 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 IPM Jawa Tengah Tahun 2015 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus

Lebih terperinci

PENGUMUMAN Penerimaan Program Sarjana Membangun Desa (SMD) Tahun 2011

PENGUMUMAN Penerimaan Program Sarjana Membangun Desa (SMD) Tahun 2011 PENGUMUMAN Penerimaan Program Sarjana Membangun Desa (SMD) Tahun 2011 Diberitahukan kepada alumni/lulusan Perguruan Tinggi/Sekolah Tinggi dari disiplin Ilmu-ilmu Peternakan atau Kedokteran Hewan, bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dan potensi daerah. Otonomi daerah memberikan peluang luas bagi

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dan potensi daerah. Otonomi daerah memberikan peluang luas bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga paradigma kebijakan pembangunan nasional sebaiknya diintegrasikan dengan strategi pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan

Lebih terperinci

Jumlah Penduduk Jawa Timur dalam 7 (Tujuh) Tahun Terakhir Berdasarkan Data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab./Kota

Jumlah Penduduk Jawa Timur dalam 7 (Tujuh) Tahun Terakhir Berdasarkan Data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab./Kota Jumlah Penduduk Jawa Timur dalam 7 (Tujuh) Tahun Terakhir Berdasarkan Data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab./Kota TAHUN LAKI-LAKI KOMPOSISI PENDUDUK PEREMPUAN JML TOTAL JIWA % 1 2005 17,639,401

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor. Akan

Lebih terperinci

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah, No.26/04/33/Th.XI, 17 April 2017 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 IPM Jawa Tengah Tahun 2016 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2016 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota eranan ekonomi wilayah kabupaten/kota terhadap perekonomian Jawa Barat setiap tahunnya dapat tergambarkan dari salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengangguran merupakan masalah yang sangat kompleks karena mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang

Lebih terperinci

ALOKASI TRANSFER KE DAERAH (DBH dan DAU) Tahun Anggaran 2012 No Kabupaten/Kota/Provinsi Jenis Jumlah 1 Kab. Bangka DBH Pajak 28,494,882, Kab.

ALOKASI TRANSFER KE DAERAH (DBH dan DAU) Tahun Anggaran 2012 No Kabupaten/Kota/Provinsi Jenis Jumlah 1 Kab. Bangka DBH Pajak 28,494,882, Kab. ALOKASI TRANSFER KE DAERAH (DBH dan DAU) Tahun Anggaran 2012 No Kabupaten/Kota/Provinsi Jenis Jumlah 1 Kab. Bangka DBH Pajak 28,494,882,904.00 2 Kab. Bangka DBH SDA 57,289,532,092.00 3 Kab. Bangka DAU

Lebih terperinci

Nama Penyedia Alamat Penyedia Lokasi Pabrik (Provinsi) Merk : PT. LAMBANG JAYA : JL. RAYA HAJIMENA KM 14 NO. 165 NATAR - LAMPUNG SELATAN - LAMPUNG

Nama Penyedia Alamat Penyedia Lokasi Pabrik (Provinsi) Merk : PT. LAMBANG JAYA : JL. RAYA HAJIMENA KM 14 NO. 165 NATAR - LAMPUNG SELATAN - LAMPUNG Nama Penyedia Alamat Penyedia Lokasi Pabrik (Provinsi) Merk : PT. LAMBANG JAYA : JL. RAYA HAJIMENA KM 14 NO. 165 NATAR - LAMPUNG SELATAN - LAMPUNG : INDO JARWO TRANSPLANTER - LJ-RTP2040 Periode : Januari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Industrialisasi pada negara sedang berkembang sangat diperlukan agar dapat tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam meningkatkan pendapatan suatu pembangunan perekonomian di Indonesia, tentunya diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat yang dilaksanakan secara berkelanjutan berdasarkan pada kemampuan nasional, dengan

Lebih terperinci

Grafik Skor Daya Saing Kabupaten/Kota di Jawa Timur

Grafik Skor Daya Saing Kabupaten/Kota di Jawa Timur Grafik Skor Daya Saing Kabupaten/Kota di Jawa Timur TOTAL SKOR INPUT 14.802 8.3268.059 7.0847.0216.8916.755 6.5516.258 5.9535.7085.572 5.4675.3035.2425.2185.1375.080 4.7284.4974.3274.318 4.228 3.7823.6313.5613.5553.4883.4733.3813.3733.367

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan daerah merupakan suatu proses perubahan terencana yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang berperan di berbagai sektor yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

Analisis Hubungan Kluster Industri dengan Penentuan Lokasi Pelabuhan: Studi Kasus Pantai Utara Pulau Jawa

Analisis Hubungan Kluster Industri dengan Penentuan Lokasi Pelabuhan: Studi Kasus Pantai Utara Pulau Jawa Analisis Hubungan Kluster Industri dengan Penentuan Lokasi Pelabuhan: Studi Kasus Pantai Utara Pulau Jawa Oleh : Maulana Prasetya Simbolon 4104 100 072 Pembimbing : Ir. Tri Achmadi, P.hD. LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang 56 BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN A. Letak Wilayah dan Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 Lintang selatan dan 104 48-108 48 Bujur Timur, dengan luas

Lebih terperinci

Katalog: 9199018 TNJAUAN RNAL Berdasarkan PDRB KABUPATN/KTA 2011-2015 BUKU 2 PULAU JAWA DAN BAL BADAN PUSAT STATSTK Tinjauan Regional Berdasarkan PDRB Kabupaten/Kota 2011-2015 Pulau Jawa dan Bali Buku

Lebih terperinci

Nomor : 04521/B5/LL/ Maret 2018 Lampiran : 1 (satu) eksemplar Perihal : Permohonan ijin

Nomor : 04521/B5/LL/ Maret 2018 Lampiran : 1 (satu) eksemplar Perihal : Permohonan ijin KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN Jalan Jenderal Sudirman, Pintu 1 Senayan, Gedung D Lantai 14 Senayan, Jakarta 10270 Telp. (021) 57974124 Fax. (021)

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah 5.1. Kondisi Geografis BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 o 50 ' - 7 o 50 ' Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK A. Gambaran Umum Objek/Subjek Penelitian 1. Batas Administrasi. Gambar 4.1: Peta Wilayah Jawa Tengah Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 36 BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH 4.1 Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di tengah Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi Jawa Tengah terletak

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Fisik Daerah Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua Provinsi besar, yaitu

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KOTA PROBOLINGGO TAHUN 2016

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KOTA PROBOLINGGO TAHUN 2016 No. 010/06/3574/Th. IX, 14 Juni 2017 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KOTA PROBOLINGGO TAHUN 2016 IPM Kota Probolinggo Tahun 2016 Pembangunan manusia di Kota Probolinggo pada tahun 2016 terus mengalami

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 25/04/35/Th. XV, 17 April 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) JAWA TIMUR TAHUN 2016 IPM Jawa Timur Tahun 2016 Pembangunan manusia di Jawa Timur pada

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. sebuah provinsi yang dulu dilakukan di Indonesia atau dahulu disebut Hindia

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. sebuah provinsi yang dulu dilakukan di Indonesia atau dahulu disebut Hindia BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Profil Eks Karesidenan Madiun Karesidenan merupakan pembagian administratif menjadi kedalam sebuah provinsi yang dulu dilakukan di Indonesia atau dahulu disebut

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota oda perekonomian yang bergulir di Jawa Barat, selama tahun 2007 merupakan tolak ukur keberhasilan pembangunan Jabar.

Lebih terperinci

WALIKOTA MADIUN, Menimbang

WALIKOTA MADIUN, Menimbang PERATURAN WALIKOTA MADIUN NOMOR 36 TAHUN 2015 TENTANG BIAYA PERJALANAN DINAS JABATAN BAGI PEJABAT NEGARA, PEGAWAI NEGERI SIPIL, PEGAWAI TIDAK TETAP DAN BIAYA AKOMODASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA MADIUN

Lebih terperinci

GERHANA MATAHARI CINCIN 1 SEPTEMBER 2016

GERHANA MATAHARI CINCIN 1 SEPTEMBER 2016 GERHANA MATAHARI CINCIN 1 SEPTEMBER 2016 A. PENDAHULUAN Gerhana Matahari adalah peristiwa ketika terhalanginya cahaya Matahari oleh Bulan sehingga tidak semuanya sampai ke Bumi. Peristiwa yang merupakan

Lebih terperinci

WILAYAH KERJA KANTOR PUSAT DAN KANTOR BANK INDONESIA. No Nama Kantor Alamat Kantor Wilayah Kerja

WILAYAH KERJA KANTOR PUSAT DAN KANTOR BANK INDONESIA. No Nama Kantor Alamat Kantor Wilayah Kerja Lampiran 1 WILAYAH KERJA KANTOR PUSAT DAN KANTOR BANK INDONESIA 1. Kantor Pusat Bank Jl. MH. Thamrin No.2 DKI Jakarta, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Indonesia Jakarta 10010 Kabupaten Kerawang, Kabupaten

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis dan Iklim Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang terletak di Pulau Jawa selain Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), Banten,

Lebih terperinci

WILAYAH KERJA KANTOR PUSAT DAN KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA DALAM PELAKSANAAN PENITIPAN SEMENTARA SURAT YANG BERHARGA DAN BARANG BERHARGA

WILAYAH KERJA KANTOR PUSAT DAN KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA DALAM PELAKSANAAN PENITIPAN SEMENTARA SURAT YANG BERHARGA DAN BARANG BERHARGA LAMPIRAN I SURAT EDARAN BANK INDONESIA NOMOR 14/29/DPU TANGGAL 16 OKTOBER 2012 PERIHAL TATA CARA PENITIPAN SEMENTARA SURAT YANG BERHARGA DAN BARANG BERHARGA PADA BANK INDONESIA WILAYAH KERJA KANTOR PUSAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multi dimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga-lembaga sosial. Perubahan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut. BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut. 1. Berdasarkan Tipologi Klassen periode 1984-2012, maka ada 8 (delapan) daerah yang termasuk

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Peta Provinsi Jawa Tengah Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 2. Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No.1/3307/BRS/11/2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 Pembangunan manusia di Wonosobo pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 78 TAHUN 2013 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2014

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 78 TAHUN 2013 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2014 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 78 TAHUN 2013 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2014 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

RINCIANALOKASI KURANG BAYAR DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM PERTAMBANGAN UMUM TAHUN ANGGARAN 2007, TAHUN ANGGARAN 2008, DAN TAHUN ANGGARAN 2009 YANG DIALOKASIKAN DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA

Lebih terperinci

DAFTAR SATUAN KERJA TUGAS PEMBANTUAN DAN DEKONSENTRASI TAHUN 2009 DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

DAFTAR SATUAN KERJA TUGAS PEMBANTUAN DAN DEKONSENTRASI TAHUN 2009 DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM DAFTAR SATUAN KERJA DAN TAHUN 2009 DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM NO. KAB/KOTA 1 PENATAAN RUANG - - 32 32 2 SUMBER DAYA AIR 28 132-160 3 BINA MARGA 31 - - 31 59 132 32 223 E:\WEB_PRODUK\Agung\Pengumuman\NAMA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.1361/AJ.106/DRJD/2003

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.1361/AJ.106/DRJD/2003 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.1361/AJ.106/DRJD/2003 TENTANG PENETAPAN SIMPUL JARINGAN TRANSPORTASI JALAN UNTUK TERMINAL PENUMPANG TIPE A DI SELURUH INDONESIA DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN LAMONGAN PROFIL KEMISKINAN DI LAMONGAN MARET 2016 No. 02/06/3524/Th. II, 14 Juni 2017 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena global. Permasalahan ketimpangan bukan lagi menjadi persoalan pada negara dunia ketiga saja. Kesenjangan

Lebih terperinci

Nomor Propinsi/Kabupaten/Kota Jumlah T-15 T-17 T-19 Jumlah biaya

Nomor Propinsi/Kabupaten/Kota Jumlah T-15 T-17 T-19 Jumlah biaya Nomor Propinsi/Kabupaten/Kota Jumlah T-15 T-17 T-19 Jumlah biaya 1 2 3 4 5 6 7 8 1 Nanggroe Aceh Drslm 30 17 11 2 Rp 4,971,210,858.00 1 Kab. Pidie 3 3 - - Rp 504,893,559.00 2 Kab. Aceh Utara 6 5 1 - Rp

Lebih terperinci

Kode Lap. Tanggal Halaman Prog.Id. : 09 Maret 2015 KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA : 018 KEMENTERIAN PERTANIAN ESELON I : 04 DITJEN HORTIKULTURA

Kode Lap. Tanggal Halaman Prog.Id. : 09 Maret 2015 KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA : 018 KEMENTERIAN PERTANIAN ESELON I : 04 DITJEN HORTIKULTURA BELANJA MELALUI KPPN DAN BUN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 212 KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA : 18 KEMENTERIAN PERTANIAN : 4 DITJEN HORTIKULTURA : LRBEB 1b : 9 Maret 215 : 1 1 IKHTISAR MENURUT SATKER

Lebih terperinci

PROGRES KOTA/KABUPATEN PAKET DIPA 2006, STATUS 01 OKTOBER 2007

PROGRES KOTA/KABUPATEN PAKET DIPA 2006, STATUS 01 OKTOBER 2007 PROGRES /KABUPATEN DIPA 2006, STATUS 01 OKTOBER 2007 DIPA 2006 Distribusi Pedoman Juni 2006 I. Persiapan Daerah I. PerencanaanIII. Penetapan Proposal Pokja Pembentukan Pokja Konsep & Mekanisme IV. dengan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU KEPADA PROVINSI JAWA TIMUR DAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu keadaan di mana masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dan kehidupan yang layak, (menurut World Bank dalam Whisnu, 2004),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah) 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Selain Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur menempati posisi tertinggi

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN INDUK

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN INDUK KEMENTERIAN KEUANGAN REPLIK INDONESIA SURAT PENGESAHAN NOMOR SP DIPA--0/AG/2014 DS 3766-1803-2940-3158 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 69 TAHUN 2009 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2010

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 69 TAHUN 2009 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2010 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 69 TAHUN 2009 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2010 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam upaya meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Program dari kegiatan masing-masing Pemerintah daerah tentunya

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Program dari kegiatan masing-masing Pemerintah daerah tentunya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia telah menerapkan penyelenggaraan Pemerintah daerah yang berdasarkan asas otonomi daerah. Pemerintah daerah memiliki hak untuk membuat kebijakannya

Lebih terperinci

Struktur Organisasi Dinas Kimrum

Struktur Organisasi Dinas Kimrum Struktur Organisasi Dinas Kimrum Strategi Pembangunan Sanitasi di Jawa Barat Air Minum PAMSIMAS (5 kab) SPAM - IKK Air Limbah Perumahan (SPPIP, PPKP), kawasan kumuh, rusunawa Lingkungan Hidup ( ICWRMIP,

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Pembahasan Hasil Regresi Dalam bab ini akan dibahas mengenai bagaimana pengaruh PAD dan DAU terhadap pertumbuhan ekonomi dan bagaimana perbandingan pengaruh kedua variabel tersebut

Lebih terperinci

EVALUASI/FEEDBACK KOMDAT PRIORITAS, PROFIL KESEHATAN, & SPM BIDANG KESEHATAN

EVALUASI/FEEDBACK KOMDAT PRIORITAS, PROFIL KESEHATAN, & SPM BIDANG KESEHATAN EVALUASI/FEEDBACK PRIORITAS, PROFIL KESEHATAN, & SPM BIDANG KESEHATAN MALANG, 1 JUNI 2016 APLIKASI KOMUNIKASI DATA PRIORITAS FEEDBACK KETERISIAN DATA PADA APLIKASI PRIORITAS 3 OVERVIEW KOMUNIKASI DATA

Lebih terperinci

TRIWULAN IV (Oktober-Desember 2014)

TRIWULAN IV (Oktober-Desember 2014) Total 33 JAWA TENGAH 2 3375 KOTA PEKALONGAN 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 100,00 Sangat Mendukung 14 RIAU 1 1471 KOTA PEKAN BARU 2 2 0 2 2 2 2 2 2 2 95,00 Sangat Mendukung 21 KEPULAUAN RIAU 1 2171 KOTA BATAM 2 1

Lebih terperinci

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH SESUDAH OTONOMI DAERAH : APAKAH MENGALAMI PERGESERAN? (Studi Pada Kabupaten dan Kota se Jawa Bali)

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH SESUDAH OTONOMI DAERAH : APAKAH MENGALAMI PERGESERAN? (Studi Pada Kabupaten dan Kota se Jawa Bali) PETA KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH SESUDAH OTONOMI DAERAH : APAKAH MENGALAMI PERGESERAN? (Studi Pada Kabupaten dan Kota se Jawa Bali) Wirawan Setiaji Priyo Hari Adi Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya

Lebih terperinci