BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas mengenai gambaran persebaran IPM dan komponen-komponen penyususn IPM di Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya dilakukan pemodelan dengan menggunakan analisis Spatial Error Model (SEM) untuk mengetahui persebaran IPM dan komponen-komponen penyusunnya di Provinsi Jawa Tengah. 4.1 Pola Penyebaran IPM dan Komponen-Komponen Penyusun IPM Berdasarkan data survei terakhir yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai IPM tahun 2011, Jawa Tengah menempati peringkat 14 untuk tingkat nasional dengan nilai IPM sebesar 72,94. Angka tersebut masih terlalu rendah jika dibandingkan dengan provinsi lain yang nilai IPM-nya berada dikisaran tinggi, padahal Jawa Tengah adalah provinsi yang notabene memiliki wilayah besar dengan banyak kabupaten/kota. Hasil output ArcView pada gambar 4.1 menunjukkan persebaran IPM di Provinsi Jawa Tengah pada tahun Berdasarkan gambar 4.1 dapat diketahui bahwa warna lokasi semakin hijau, maka persentase IPM semakin tinggi. Terlihat bahwa kabupaten/kota dengan persentase IPM berkisar antara 74,9% - 78,18% adalah Kota Magelang (76,33%), Kota Salatiga (76,83%), Kota Semarang (77,42%), dan Kota Surakarta (78,18%). Kabupaten/kota dengan presentase IPM antara 73,49% - 74,90% adalah Kabupaten Karanganyar (73,82%) dan Kabupaten Klaten (74,10%), Kabupaten Semarang (74,45%), Kabupaten Temanggung 28

2 (74,47%). Kabupaten/kota dengan presentase antara 71,86% - 73,49% terlihat mengelompok yaitu pada Kabupaten Rembang (72,45%), Kabupaten Demak (73,09%), Kabupaten Jepara (73,12%), Kabupaten Kudus (73,24%), dan Kabupaten Pati (73,49%). Untuk kabupaten/kota dengan persentase berkisar antara 70,39% - 71,86% juga terlihat mengelompok pada Kabupaten Blora (71,25%), Kabupaten Boyolali (71,25%), Kabupaten Grobogan (71,27%), dan Kabupaten Sragen (71,33%). Sedangkan kabupaten/kota dengan persentase paling rendah yaitu berkisar antara 68,61% - 70,39%, yaitu Kabupaten Brebes (68,61%), Kabupaten Pemalang (70,22%), dan Kabupaten Banjarnegara (70,39%). Gambar 4.1 Persebaran IPM Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2011 Berikutnya gambaran tentang penyebaran AHH ditunjukkan pada gambar 4.2. Kabupaten/kota dengan lamanya AHH ditunjukkan dengan warna semakin coklat kabupaten/kota, maka semakin lama rata-rata tahun hidup yang akan 29

3 dijalani seseorang di tiap kabupaten/kota di Jawa Tengah. Kabupaten/kota yang tergolong memiliki AHH tinggi berkisar antara 71,67 72,89 per tahun adalah Kota Semarang (72,18 per tahun), Kota Surakarta (72,25 per tahun), Kabupaten Karanganyar (72,28 per tahun), Kabupaten Wonogiri (72,35 per tahun), Kabupaten Semarang (72,54 per tahun), Kabupaten Temanggung (72,66 per tahun), dan Kabupaten Sragen (72,75 per tahun). Kabupaten/kota dengan AHH 70,78 71,67 per tahun ditempati oleh Kabupaten Jepara (70,99 per tahun), Kabupaten Demak (71,59 per tahun), Kabupaten Blora (71,41 per tahun) dan Kabupaten Cilacap (71,12 per tahun). Adapun kabupaten/kota dengan tingkat AHH antara 69,68 70,78 per tahun terdapat pada Kabupaten Wonosobo (70,23 per tahun), Kabupaten Purworejo (70,78 per tahun), Kabupaten Magelang (70,18 per tahun), dan Kabupaten Boyolali (70,43 per tahun). Kabupaten/kota dengan AHH berkisar antara 67,96 69,68 per tahun adalah Kabupaten Pekalongan (69,28 per tahun), Kabupaten Banjarnegara (69,20 per tahun) dan Kabupaten Kebumen (69,37 per tahun). Sedangkan kabupaten/kota yang memiliki AHH rendah yaitu berkisar antara 67,90 67,96 per tahun adalah Kabupaten Pemalang (67,90 per tahun) dan Kabupaten Brebes (67,96 per tahun). 30

4 Gambar 4.2 Persebaran AHH Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2011 Persebaran AMH di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011 ditunjukkan pada gambar 4.3 dengan warna lokasi semakin merah, maka persentase AMH semakin tinggi. Persentase AMH menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah yang tergolong tinggi berkisar antara 94,9% - 97,29% adalah Kota Pekalongan (95,93%), Kabupaten Temanggung (95,96%), Kota Semarang (96,47%), Kota Salatiga (96,52%), Kota Surakarta (96,71%), dan Kota Magelang (97,29%). Kabupaten/kota dengan AMH antara 92,08% - 94,90% terlihat mengelompok yaitu Kabupaten Jepara (93,15%), Kabupaten Magelang (93,29%), Kabupaten Demak (92,53%), Kabupaten Semarang (93,67%) dan Kabupaten Kudus (93,73%),. Kabupaten/kota dengan AMH antara 89,92% - 92,08% adalah Kabupaten Wonosobo (91,16%), Kabupaten Kebumen (91,53%), dan Kabupaten Purworejo (91,74%). Untuk kabupaten/kota dengan AMH berkisar antara 86,15% 31

5 - 89,92% adalah Kabupaten Banjarnegara (88,48%) Kabupaten Kendal (89,31%), dan Kabupaten Batang (89,90%). Sedangkan kabupaten/kota yang memiliki AMH rendah berkisar antara 83,50% - 86,15% yaitu Kabupaten Wonogiri (83,50), Kabupaten Sragen (84,41%), Kabupaten Blora (85,06%) dan Kabupaten Brebes (86,15%). Gambar 4.3 Persebaran AMH Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2011 Apabila persentase IPM di suatu kabupaten/kota tinggi, ada kemungkinan kemampuan daya beli masyarakatnya juga tinggi. Gambar 4.4 menunjukkan penyebaran PPP di setiap kabupaten/kota. Kabupaten/kota dengan PPP tinggi ditunjukkan dengan warna semakin ungu. Kabupaten dengan PPP berkisar antara Rp ,00 Rp ,00 yaitu Kabupaten Pati (Rp ,00), Kabupaten Wonogiri (Rp ,00), Kabupaten Karanganyar (Rp ,00), Kabupaten Sukoharjo (Rp ,00), Kota Salatiga (Rp ,00), Kota 32

6 Magelang (Rp ,00), Kota Tegal (Rp ,00) dan Kota Surakarta (Rp ,00). Kabupaten/kota dengan PPP berkisar antara Rp ,00 Rp ,00 adalah Kabupaten Blora (Rp ,00), Kabupaten Rembang (Rp ,00), dan Kabupaten Klaten (Rp ,00). Kabupaten/kota dengan PPP antara Rp ,00 Rp ,00 terlihat mengelompok pada Kabupaten Semarang (Rp ,00), Kabupaten Temanggung (Rp ,00), Kabupaten Magelang (Rp ,00), dan Kabupaten Kendal (Rp ,00). Kabupaten dengan PPP berkisar antara Rp ,00 Rp ,00 adalah Kabupaten Grobogan (Rp ,00) Kabupaten Purworejo (Rp ,00), Kabupaten Jepara (Rp ,00), dan Kabupaten Cilacap (Rp ,00). Sedangkan yang mempunyai PPP rendah adalah Kabupaten Wonosobo (Rp ,00), Kabupaten Sragen (Rp ,00), Kabupaten Batang (Rp ,00), Kabupaten Boyolali (Rp ,00), dan Kabupaten Demak (Rp ,00). 33

7 Gambar 4.4 Persebaran PPP Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2011 Untuk melihat pola hubungan antara persentase IPM di Jawa Tengah dengan komponen-komponen penyusunnya bisa diketahui dengan melihat tabel korelasi antara persentase IPM dengan komponen penyusunnya disajikan pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Korelasi Persentase IPM (Y) dengan Komponen Penyusunnya (X) Variabel Korelasi r xy P-Value AHH (X 1 ) 0,533 0,001 AMH (X 2 ) 0,732 0,000 PPP (X 3 ) 0,649 0,000 Hubungan antara nilai IPM dengan komponen-komponen penyusunnya ditunjukkan pada tabel 4.1 bahwa semua komponen penyusun IPM tersebut memiliki korelasi dengan persentase IPM. Hal ini terlihat dari P-value kurang dari α = 5%. 34

8 4.2 Model Regresi Pada pemodelan regresi, estimasi parameter dilakukan dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Dengan pemodelan OLS ini, akan didapatkan parameter-parameter yang signifikan atau tidak, yang berpengaruh terhadap nilai IPM. Yang kemudian akan dilanjutkan dengan pemodelan SEM. Sebelum melakukan analisis regresi, pendeteksian terhadap multikolinearitas perlu dilakukan. Melihat hasil besaran korelasi antar variabel independen tampak bahwa tidak ada variabel yang memiliki korelasi cukup tinggi (< 90%) sehingga dapat dikatakan tidak terjadi multikolinearitas yang serius (Ghozali dalam Astuti, 2013). Oleh karena itu, analisis regresi ini dapat dilanjutkan dengan tetap menggunakan ketiga varibel independen. Hasil regresi OLS disajikan pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Pengujian Parameter Regresi OLS Parameter Koefisien Std. Error t-statistik P-value Konstanta -88,478 7,454-11,870 0,000 AHH 0,712 0,056 12,644 0,000 AMH 0,368 0,022 16,760 0,000 PPP 0,121 0,011 10,563 0,000 R 2 96% Ket :*) signifikan pada α=10% Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa parameter AHH, AMH dan PPP mempunyai nilai sebesar 0,000 kurang dari α = 5%, artinya pengaruhnya signifikan terhadap nilai IPM pada taraf α = 5%. Nilai AHH, AMH dan PPP diasumsikan tidak sama dengan dengan nol. 35

9 Salah satu uji kesesuaian model regresi OLS adalah uji kebebasan residual yaitu tidak terjadi autokorelasi, yang diuji dengan menggunakan uji Durbin- Watson. Rumusan hipotesis pada pengujian ini adalah: H 0 : H 1 : (Tidak ada autokorelasi antar lokasi) (Ada autokorelasi antar lokasi) Nilai P-value pada pengujian Durbin-Watson ini sebesar 0,059 yang lebih kecil dari 0,10. Ini menunjukkan bahwa pada taraf signifikansi 10% H 0 ditolak. Dengan kata lain, asumsi kebebasan residual tidak terpenuhi. Sehingga, model perlu dilanjutkan dengan menggunakan model regresi spasial. 4.3 Matriks Pembobot Dalam sebuah model regresi, sifat-sifat yang dimiliki oleh error tidak lain merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh variabel dependen. Berdasarkan gambar 4.1, IPM di Provinsi Jawa Tengah nampak berpola mengelompok antara wilayah yang saling berdekatan. Kabupaten Grobogan, Blora, Sragen dan Boyolali tergolong wilayah yang memiliki tingkat IPM berkisar antara 70,39% - 71,86%. Kabupaten Jepara, Demak, Kudus, Pati, dan Rembang tergolong wilayah yang memiliki tingkat IPM antara 71,86%-73,49%. Begitu juga pada Kabupaten Klaten dan Karanganyar dengan IPM berkisar antara 73,49%-74,9%. Sehingga matriks pembobot spasial yang sesuai dalam penalitian ini adalah matriks pembobot Queen Contiguity. Matriks pembobot ini mensyaratkan adanya pengelompokan wilayah yang memiliki persinggungan antara sisi dan sudut dari wilayah tersebut, dimana Wij = 1 untuk wilayah yang bersisian (common side) 36

10 atau titik sudutnya (common vertex) bertemu dengan wilayah yang menjadi perhatian, Wij = 0 untuk wilayah lainnya. 4.4 Spatial Error Model (SEM) Selanjutnya dilakukan pemodelan menggunakan SEM. Berikut ini merupakan hasil output dari pemodelan SEM dengan masing-masing nilai parameter pada tingkat signifikansi 10%. Tabel 4.3 Pengujian Parameter SEM Parameter Koefisien Z P-value Konstanta -84,366-11,613 0,000 AHH 0,658 12,229 0,000 AMH 0,369 17,222 0,000 PPP 0,120 10,589 0,000 Lambda 0,369 1,948 0,051 R 2 = 96,36% Berdasarkan output Geoda pada tabel 4.3 hasil dari SEM tersebut menunjukkan adanya dependensi spasial pada error. Hal ini nampak dari AHH, AMH dan PPP memiliki tanda positif serta signifikan pada tingkat 10%. Koefisien lambda bertanda positif dan signifikan pada tingkat 10%, artinya ada keterkaitan IPM pada suatu wilayah dengan wilayah lainnya yang berdekatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa lambda berperan penting pada pemodelan SEM. Selain itu variabel AHH, AMH dan PPP berperan penting pada SEM dengan taraf signifikansi 10%. Artinya, IPM di suatu wilayah dipengaruhi oleh nilai AHH, AMH dan PPP wilayah tersebut serta residual spasial dari wilayah lain yang berdekatan dan memiliki karakteristik sama. 37

11 Model SEM yang terbentuk adalah sebagai berikut. Keterangan : yi : IPM di kabupaten/kota ke-i : AHH di kabupaten/kota ke-i : AMH di kabupaten/kota ke-i : PPP di kabupaten/kota ke-i W ij u i ε i : matriks penimbang spasial : residual spasial dari kabupaten/kota ke-i : residual dari kabupaten/kota ke-i Model SEM dapat diinterpretasikan bahwa pengaruh AHH terhadap IPM adalah sama untuk setiap kabupaten/kota dengan elatisitasnya sebesar 0,658. Artinya apabila faktor lain dianggap konstan, jika nilai AHH di suatu kabupaten/kota naik sebesar 1 satuan maka nilai IPM akan bertambah sebesar 0,658 satuan. Adapun pengaruh AMH terhadap IPM adalah juga sama untuk setiap kabupaten/kota dengan elatisitasnya sebesar 0,369. Artinya apabila faktor lain dianggap konstan, jika nilai AMH di suatu kabupaten/kota naik sebesar 1 satuan maka nilai IPM akan bertambah sebesar 0,369 satuan. Pengaruh PPP terhadap IPM adalah sama untuk setiap kabupaten/kota dengan elatisitasnya sebesar 0,120. Artinya apabila faktor lain dianggap konstan, 38

12 jika nilai PPP di suatu kabupaten/kota naik sebesar 1 satuan maka nilai IPM akan bertambah sebesar 0,120 satuan. Selanjutnya, berikut dipaparkan SEM untuk setiap kabupaten/kota. 1. Kabupaten Cilacap 2. Kabupaten Banyumas 3. Kabupaten Purbalingga 4. Kabupaten Banjarnegara 5. Kabupaten Kebumen 6. Kabupaten Purworejo 39

13 7. Kabupaten Wonosobo 8. Kabupaten Magelang 9. Kabupaten Boyolali 10. Kabupaten Klaten ) ( 11. Kabupaten Sukoharjo 12. Kabupaten Wonogiri 13. Kabupaten Karanganyar 40

14 14. Kabupaten Sragen 15. Kabupaten Grobogan 16. Kabupaten Blora 17. Kabupaten Rembang 18. Kabupaten Pati 19. Kabupaten Kudus 20. Kabupaten Jepara 41

15 21. Kabupaten Demak 22. Kabupaten Semarang 23. Kabupaten Temanggung ( ) 24. Kabupaten Kendal 25. Kabupaten Batang 26. Kabupaten Pekalongan 27. Kabupaten Pemalang 42

16 28. Kabupaten Tegal 29. Kabupaten Brebes 30. Kota Magelang 31. Kota Surakarta 32. Kota Salatiga 33. Kota Semarang 34. Kota Pekalongan 43

17 35. Kota Tegal Model SEM pada Kota Tegal, dapat diinterpretasikan bahwa apabila faktor lain dianggap konstan, jika AHH bertambah satu satuan maka akan menambah nilai persentase IPM di Kota Tegal sebesar 0,658, jika AMH bertambah satu satuan maka akan menambah nilai persentase IPM di Kota Tegal sebesar 0,369, dan jika PPP bertambah satu satuan maka akan menambah nilai persentase IPM di Kota Tegal sebesar 0,120 untuk U Bre dan U Teg merupakan kabupaten yang dekat dengan Kota Tegal, dengan kedua nilai error dari kedua kabupaten tersebut berpengaruh terhadap model di Kota Tegal sebesar 0, Perbandingan Model Regresi OLS dan Model SEM Pemilihan model terbaik antara model regresi OLS dan model SEM bertujuan untuk mengetahui model mana yang lebih baik diterapkan pada kasus IPM di Provinsi Jawa Tengah. Kriteria kebaikan model yang digunakan adalah dengan membandingkan nilai AIC dari kedua model tersebut. Berikut perbandingan modelnya. Tabel 4.4 Nilai AIC Model SEM Model AIC OLS 45,6231 SEM 43,8540 Berdasarkan tabel 4.4 terlihat bahwa model dengan nilai AIC minimal yaitu model SEM. Sehingga model SEM lebih baik digunakan untuk menganalisis data IPM di Provinsi Jawa Tengah dibandingkan dengan model regresi dengan menggunakan metode OLS. 44

18 Berdasarkan hubungan antara IPM dengan AHH, AMH dan PPP, dapat diartikan bahwa persamaan dan perbedaan karakteristik pada tiap kabupaten/kota yang berdekatan dapat menimbulkan peningkatan atau penurunan IPM di Jawa Tengah. 4.6 Pengujian dari Asumsi Model SEM Model SEM yang terbentuk perlu dilakukan pengujian asumsi, untuk mengetahui kelayakan dan keabsahan dari modelnya diantaranya yaitu asumsi normalitas residual, dan asumsi ada autokorelasi dari residualnya. 1. Asumsi Residual Berdistribusi Normal Kenormalan residual dapat diuji secara formal dengan menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov (KS), dengan hipotesis yang diajukan sebagai berikut. H 0 H 1 : residual menyebar normal : residual tidak menyebar normal Tabel 4.5 Pengujian Asumsi Normalitas Residual pada Model SEM N Nilai KS Nilai KS tabel P-value 5 0,110 0,23 >0,150 Nilai KS yang diperoleh sebesar 0,110 lebih kecil dari nilai KS tabel (0,23) dan nilai p-value lebih besar dari sehingga H 0 diterima, artinya asumsi kenormalan residual terpenuhi. 2. Asumsi Residual Autokorelasi Spasial Asumsi ini menggunakan Uji Durbin Watson dengan hipotesis yang diajukan sebagai berikut. H 0 : H 1 : (Tidak ada autokorelasi antar lokasi) (Ada autokorelasi antar lokasi) 45

19 Nilai P-value pada pengujian Durbin-Watson ini sebesar 0,003 yang lebih kecil dari 0,10. Ini menunjukkan bahwa pada taraf signifikansi 10% H 0 ditolak, artinya terdapat autokorelasi spasial pada residual SEM. 46

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Gambaran Persebaran Penduduk Miskin Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kabupaten atau kota sejumlah 35 kabupaten dan kota (BPS,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. LAMPIRAN Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap 15.24 6.68 22.78 1676090 2 Kab. Banyumas 18.44 5.45 21.18 1605580 3 Kab. Purbalingga 20.53 5.63 21.56 879880 4 Kab. Banjarnegara

Lebih terperinci

PEMODELAN KETAHANAN PANGAN KEDELAI (GLYSINE SOYA MAX (LENUS&MERRIL)) DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN PENDEKATAN SPATIAL REGRESSION

PEMODELAN KETAHANAN PANGAN KEDELAI (GLYSINE SOYA MAX (LENUS&MERRIL)) DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN PENDEKATAN SPATIAL REGRESSION PEMODELAN KETAHANAN PANGAN KEDELAI (GLYSINE SOYA MAX (LENUS&MERRIL)) DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN PENDEKATAN SPATIAL REGRESSION 1 Fathikatul Arnanda, 2 Yusnia Kriswanto, 3 Imaroh Izzatun, 4 Devi Nurlita,

Lebih terperinci

PEMODELAN SPATIAL ERROR MODEL (SEM) UNTUK INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMODELAN SPATIAL ERROR MODEL (SEM) UNTUK INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) DI PROVINSI JAWA TENGAH PEMODELAN SPATIAL ERROR MODEL (SEM) UNTUK INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) DI PROVINSI JAWA TENGAH 1 Diana Wahyu Safitri, 2 Moh Yamin Darsyah, 3 Tiani Wahyu Utami 1,2,3 Program Studi Statistika FMIPA Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah merupakan Provinsi yang termasuk ke dalam Provinsi yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan daerah merupakan suatu proses perubahan terencana yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang berperan di berbagai sektor yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengangguran merupakan masalah yang sangat kompleks karena mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No.42/06/33/Th.X, 15 Juni 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 IPM Jawa Tengah Tahun 2015 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makroekonomi jangka panjang. Dari satu periode ke periode berikutnya kemampuan suatu negara untuk

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hasil dari uji heterokedastisitas tersebut menggunakan uji Park. Kriteria

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hasil dari uji heterokedastisitas tersebut menggunakan uji Park. Kriteria BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Uji Kualitas Data 1. UJI Heteroskedastisitas Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi imi terjadi heterokedastisitas atau tidak, untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1. Gambaran Umum Subyek penelitian Penelitian ini tentang pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten/kota

Lebih terperinci

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah, No.26/04/33/Th.XI, 17 April 2017 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 IPM Jawa Tengah Tahun 2016 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2016 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 748 34 3 790 684 2,379 1,165 5,803 57,379 10.11 2 Purbalingga 141 51 10 139 228

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 447 60 8 364 478 2.632 629 4.618 57.379 8,05 2 Purbalingga 87 145 33 174 119 1.137

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No.1/3307/BRS/11/2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 Pembangunan manusia di Wonosobo pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH No. 56/08/33 Th.IX, 3 Agustus 2015 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 167,79 RIBU TON, CABAI RAWIT SEBESAR 107,95 RIBU TON,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tentang kemiskinan ini hanya terbatas pada kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007-2011. Variabel yang digunakan dalam menganalisis

Lebih terperinci

1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH. TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah)

1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH. TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah) LAMPIRAN LAMPIRAN A 1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah) NO. KOTA/KABUPATEN PAD DAU DAK BELANJA MODAL PDRB 1 Kab. Banjarnegara 71.107 562.288 65.367

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 No. 50/08/33/Th. VIII, 4 Agustus 2014 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 145,04 RIBU TON, CABAI RAWIT 85,36 RIBU TON, DAN BAWANG

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab analisis dan pembahasan ini akan jelaskan tentang pola persebaran jumlah penderita kusta dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, kemudian dilanjutkan dengan pemodelan

Lebih terperinci

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN No Kelompok Pola Harapan Nasional Gram/hari2) Energi (kkal) %AKG 2) 1 Padi-padian 275 1000 50.0 25.0 2 Umbi-umbian 100 120 6.0

Lebih terperinci

PEMODELAN PRODUKSI PADI DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN PENDEKATAN SPATIAL ECONOMETRICS

PEMODELAN PRODUKSI PADI DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN PENDEKATAN SPATIAL ECONOMETRICS PEMODELAN PRODUKSI PADI DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN PENDEKATAN SPATIAL ECONOMETRICS 1 Fathikatul Arnanda, 2 Abdul Karim 1,2 Program Studi Statistik Fakultas Matematika dan IlmuPengetahuaan Alam,Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor. Akan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH TAHUN

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 728 112 20 1,955 2,178 2,627 1,802 9,422 57,379 16.42 2 Purbalingga 70 50 11 471

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Pembahasan Hasil Regresi Dalam bab ini akan dibahas mengenai bagaimana pengaruh PAD dan DAU terhadap pertumbuhan ekonomi dan bagaimana perbandingan pengaruh kedua variabel tersebut

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah 44 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat ditentukan menggunakan indeks Williamson yang kemudian dikenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu keadaan di mana masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dan kehidupan yang layak, (menurut World Bank dalam Whisnu, 2004),

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksplanasi, karena dalam penelitian ini menggunakan dua variabel. Metode eksplanasi

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 56 TAHUN 201256 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Metode penelitian merupakan cara penelitian yang digunakan untuk mendapatkan data untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Sugiyono (2010:2) mengemukakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Uji Asumsi Klasik 1. Uji Heteroskedastisitas Berdasarkan uji Park, nilai probabilitas dari semua variabel independen tidak signifikan pada tingkat 5%. Keadaan ini

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Penutup Penyelenggaraan Sensus Penduduk 2010 merupakan hajatan besar bangsa yang hasilnya sangat penting dalam rangka perencanaan pembangunan.

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN No. 62/11/33/Th.V, 07 November 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2011 mencapai 16,92 juta

Lebih terperinci

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH Kondisi umum Provinsi Jawa Tengah ditinjau dari aspek pemerintahan, wilayah, kependudukan dan ketenagakerjaan antara lain sebagai berikut : A. Administrasi Pemerintah,

Lebih terperinci

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016 PENEMPATAN TENAGA KERJA A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016 NO KAB./KOTA L P JUMLAH 1 KABUPATEN REMBANG 820 530 1.350 2 KOTA MAGELANG 238 292 530 3 KABUPATEN WONOGIRI 2.861

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 78 TAHUN 2013 TAHUN 2012 TENTANG PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada kabupaten/kota provinsi Jawa Tengah tahun 2011-2013 yang seluruh data keuangannya telah di terbitkan dan dilaporkan kepada

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S --

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S -- BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Letak dan Luas Wilayah Jawa Tengah terletak di antara 108 30 B.T -- 111 30 B.T dan 6 30 L.S -- 8 30 L.S. Propinsi ini terletak di

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi merupakan suatu perubahan struktur ekonomi dan usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejaheraan penduduk atau masyarakat. Kemiskinan,

Lebih terperinci

PENEMPATAN TENAGA KERJA

PENEMPATAN TENAGA KERJA PENEMPATAN TENAGA KERJA A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2015 NO. KAB./KOTA 2015 *) L P JUMLAH 1 KABUPATEN SEMARANG 3,999 8,817 12816 2 KABUPATEN REMBANG 1,098 803 1901 3 KOTA.

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 71 A TAHUN 201356 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DEFINITIF DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012 Komoditi TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012 Produksi Penyediaan Kebutuhan Konsumsi per kapita Faktor Konversi +/- (ton) (ton) (ton) (ton) (kg/kap/th) (100-angka susut)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang dinamakan dengan nawacita.

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/01/33/Th.II, 2 Januari 2008 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2007 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Tengah pada Agustus 2007 adalah

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar penelitian yang digunakan ialah metode penelitian eksplanatoris. Penelitian eksplanatoris merupakan penelitian yang bersifat noneksploratif,

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/12/33/Th.III, 1 Desember 2009 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2009 Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dilaksanakan dua kali dalam setahun,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya. KATA PENGANTAR Sektor pertanian merupakan sektor yang vital dalam perekonomian Jawa Tengah. Sebagian masyarakat Jawa Tengah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Peningkatan kualitas dan kuantitas

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian hipotesisinya yang meliputi uji serempak (ujif), uji signifikansi paramerer individual (uji T), dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertanian merupakan salah satu basis perekonomian Indonesia. Jika mengingat bahwa Indonesia adalah negara agraris, maka pembangunan pertanian akan memberikan

Lebih terperinci

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH No Program Anggaran Sub Sasaran Lokasi 1. Program Rp. 1.000.000.000 Pelayanan dan Sosial Kesejahteraan Sosial Penyandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah yang bersangkutan dengan

Lebih terperinci

DAFTAR LAMPIRAN. Data Variabel Pertumbuhan Ekonomi Atas Dasar Harga Berlaku. Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun

DAFTAR LAMPIRAN. Data Variabel Pertumbuhan Ekonomi Atas Dasar Harga Berlaku. Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1 Data Variabel Pertumbuhan Ekonomi Atas Dasar Harga Berlaku Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2015 1 Kab. Banjarnegara 10,56 13,03 10,99 2 Kab. Batang 10,26 12,26

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK A. Gambaran Umum Objek/Subjek Penelitian 1. Batas Administrasi. Gambar 4.1: Peta Wilayah Jawa Tengah Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Obyek Penelitian Hasil analisa Deskripsi Obyek Penelitian dapat dilihat pada deskriptif statistik dibawah ini yang menjadi sampel penelitian adalah

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Peta Provinsi Jawa Tengah Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 2. Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan

Lebih terperinci

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015 KATA PENGANTAR Sektor pertanian merupakan sektor yang vital dalam perekonomian Jawa Tengah. Sebagian masyarakat Jawa Tengah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Peningkatan kualitas dan kuantitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini disajikan deskripsi data, k-means clustering, uji stasioneritas data masing-masing cluster, orde model VAR, model VAR-GSTAR dengan pembobot normalisasi korelasi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Fisik Daerah Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua Provinsi besar, yaitu

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.70 /11/33/Th.VIII, 05 November 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,68 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2014 yang sebesar

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

PEMODELAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN PENDEKATAN SPASIAL AUTOREGRESSIVE MODEL PANEL DATA

PEMODELAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN PENDEKATAN SPASIAL AUTOREGRESSIVE MODEL PANEL DATA PEMODELAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN PENDEKATAN SPASIAL AUTOREGRESSIVE MODEL PANEL DATA Ulfatun Khasanah 1, Abdul Karim 2,, Indah Manfaati Nur 3 1 Mahasiswa Statistika,,

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 08/05/33/Th.I, 15 Mei 2007 TINGKAT PENGANGGURAN DI JAWA TENGAH MENURUN 0,1% Tingkat Penganguran Terbuka di Jawa Tengah pada Februari 2007 adalah 8,10%. Angka ini 0,10% lebih

Lebih terperinci

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH OUT LINE 1. CAPAIAN PRODUKSI 2. SASARAN LUAS TANAM DAN LUAS PANEN 3. CAPAIAN

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.31 /05/33/Th.VIII, 05 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,45 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Februari 2014 yang sebesar 17,72

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.69 /11/33/Th.VII, 06 November 2013 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2013: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 6,02 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2013 mencapai 16,99

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Provinsi Jawa Tengah Sensus Ekonomi 2016 No. 37/05/33 Th. XI, 24 Mei 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH Hasil Pendaftaran

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No. 66/11/33/Th.VI, 05 November 2012 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2012: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,63 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2012 mencapai 17,09

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data Penelitian

Lampiran 1. Data Penelitian Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelan g Lampiran 1. Data Penelitian Kab / Kota Tahun Kemiskinan UMK TPT AMH LnUMK (%) (Rb Rp) (%) (%) 2010 18.11 698333 13.4565 9.75

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari : 1. Kab. Banjarnegara 13. Kab. Demak 25. Kab.

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari : 1. Kab. Banjarnegara 13. Kab. Demak 25. Kab. BAB III METODE PENELITIAN A. Obyek dan Subyek Penelitian Dalam penelitian ini daerah yang digunakan adalah seluruh kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari : 1. Kab. Banjarnegara 13. Kab.

Lebih terperinci

RUANG LINGKUP KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI JAWA TENGAH

RUANG LINGKUP KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI JAWA TENGAH RUANG LINGKUP KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI JAWA TENGAH Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Provinsi Jawa Tengah

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH,

GUBERNUR JAWA TENGAH, GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 5 wsm 2^17 TENTANG ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya 2016 p-issn : ; e-issn :

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya 2016 p-issn : ; e-issn : Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya 2016 p-issn : 2550-0384; e-issn : 2550-0392 PENGELOMPOKAN PERSENTASE PENDUDUK BERUMUR 15 TAHUN KE ATAS MENURUT KABUPATEN/KOTA DAN PENDIDIKAN TERTINGGI

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL PENGARUH TINGKAT PENGANGGURAN TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA (Studi Kasus Provinsi Jawa Tengah) Abstract

ANALISIS SPASIAL PENGARUH TINGKAT PENGANGGURAN TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA (Studi Kasus Provinsi Jawa Tengah) Abstract Analisis Spasial (Rita R) ANALISIS SPASIAL PENGARUH TINGKAT PENGANGGURAN TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA (Studi Kasus Provinsi Jawa Tengah) Rita Rahmawati 1, Diah Safitri 2, Octafinnanda Ummu Fairuzdhiya

Lebih terperinci

BOKS PERKEMBANGAN KINERJA BPR MERGER DI JAWA TENGAH

BOKS PERKEMBANGAN KINERJA BPR MERGER DI JAWA TENGAH BOKS PERKEMBANGAN KINERJA BPR MERGER DI JAWA TENGAH 1. Perkembangan Jumlah BPR Merger Sejak paket kebijakan bidang perbankan digulirkan pada bulan Oktober 1988 atau yang dikenal dengan Pakto 88, jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan

Lebih terperinci

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH Rapat Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Penanganan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah Surakarta, 9 Februari 2016 Kemiskinan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun 2000-an kondisi agribisnis tembakau di dunia cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pandangan pembangunan ekonomi modern memiliki suatu pola yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan ekonomi modern tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selama beberapa dekade terakhir terdapat minat yang terus meningkat terhadap desentralisasi di berbagai pemerintahan di belahan dunia. Bahkan banyak negara

Lebih terperinci

Bab 4 Hasil dan Pembahasan

Bab 4 Hasil dan Pembahasan Bab 4 Hasil dan Pembahasan Model prediksi variabel makro untuk mengetahui kerentanan daerah di Provinsi Jawa Tengah, dilakukan dengan terlebih dahulu mencari metode terbaik. Proses pencarian metode terbaik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat yang dilaksanakan secara berkelanjutan berdasarkan pada kemampuan nasional, dengan

Lebih terperinci

REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL JULI 2017

REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL JULI 2017 REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL 13-17 JULI 2017 NO SIMBOL JENIS STAND NOMOR STAND INSTANSI 1 1 Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah 2 2 Dinas Ketahanan Pangan Provinsi

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR : 561.4/69/2010 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan oleh siswa, bukan dibuat untuk siswa. Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan seringkali dipahami dalam pengertian yang sangat sederhana yaitu sebagai keadaan kekurangan uang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 36 BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH 4.1 Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di tengah Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi Jawa Tengah terletak

Lebih terperinci

GUBERNURJAWATENGAH. PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOM0R '2 TAJroJii 2e15 TENTANG

GUBERNURJAWATENGAH. PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOM0R '2 TAJroJii 2e15 TENTANG GUBERNURJAWATENGAH PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOM0R '2 TAJroJii 2e15 TENTANG PERKIRAANALOKASIDANABAGI HASILCUKAIHASILTEMBAKAU BAGIANPEMERINTAHPROVINSIJAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATENjKOTADI JAWATENGAHTAHUNANGGARAN2016

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk. mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang

BAB III PEMBAHASAN. Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk. mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang BAB III PEMBAHASAN Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang dimiliki. Asumsi-asumsi dalam analisis cluster yaitu sampel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Industrialisasi pada negara sedang berkembang sangat diperlukan agar dapat tumbuh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

PEDOMAN PENYUSUNAN JAWABAN TERMOHON TERHADAP PERMOHONAN PEMOHON (PERSEORANGAN CALON ANGGOTA DPD)

PEDOMAN PENYUSUNAN JAWABAN TERMOHON TERHADAP PERMOHONAN PEMOHON (PERSEORANGAN CALON ANGGOTA DPD) LAMPIRAN XI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

SPATIAL AUTOCORRELATION UNTUK DETEKSI DATA KEWILAYAHAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PROVINSI JAWA TENGAH 1. PENDAHULUAN

SPATIAL AUTOCORRELATION UNTUK DETEKSI DATA KEWILAYAHAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PROVINSI JAWA TENGAH 1. PENDAHULUAN SPATIAL AUTOCORRELATION UNTUK DETEKSI DATA KEWILAYAHAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PROVINSI JAWA TENGAH Muhammad Saifudin Nur 1, Abdul Karim 2 1 FMIPA,, Semarang, Indonesia saipungdekirby@gmail.com

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS BADAN PENGELOLA KEUANGAN DAN ASET DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

IR. SUGIONO, MP. Lahir : JAKARTA, 13 Oktober 1961

IR. SUGIONO, MP. Lahir : JAKARTA, 13 Oktober 1961 IR. SUGIONO, MP Lahir : JAKARTA, 13 Oktober 1961 1 BBPTU HPT BATURRADEN Berdasarkan Permentan No: 55/Permentan/OT.140/5/2013 Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden yang

Lebih terperinci

Daftar Sampel BPR Milik Pemerintah Kabupaten

Daftar Sampel BPR Milik Pemerintah Kabupaten Lampiran 1 Daftar Sampel BPR Milik Pemerintah Kabupaten No Nama BPR pemerintah daerah Lokasi 1 PD BPR Kendali Artha Kab Kendal 2 PD BPR Bank Daerah Pati Kab Pati 3 PD BPR BP Kab Kudus Kab Kudus 4 PD BPR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah suatu proses dalam melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Proses pembangunan yang mencakup berbagai perubahan mendasarkan status sosial,

Lebih terperinci