V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT"

Transkripsi

1 V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT 5.1 Analisis Model Regresi Data Panel Persamaan regresi data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi indeks pembangunan manusia. Data yang digunakan dalam persamaan regresi adalah data panel yang berasal dari data sekunder BPS menurut Kabupaten/ Kota di Jawa Barat selama tahun Tabel 5.1 menyajikan hasil estimasi regresi dari model data panel. Pada model data panel, koefisien estimasi yang disajikan merupakan hasil dari dua metode estimasi, yaitu Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM). Penggunaan kedua metode estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi, melihat kebaikan serta validitas kedua metode estimasi yang digunakan. Tabel 5.1 Hasil Regeresi Data Panel Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Barat. Variabel FEM REM Koefisien P-Value Koefisien P-Value (1) (2) (3) (4) (5) C 4, ,0000 4, ,0000 LNPDRBK 0, ,0000 0, ,0280 LNPOV -0, ,0883-0, ,0000 LNSRNPEN 0, ,0248 0, ,0000 LNGR 0, ,0000 0, ,7192 LNSRNKES 0, ,0130-0, ,0768 LNPKES 0, ,0000 0, ,0877 LNSRNINF 0, ,0130 0, ,3393 Hausman Test 34, ,0000 F-Statistic 339,7745 0, , ,0000 Adjusted R-Squared 0, , Dari hasil regresi data panel tersebut, terlihat bahwa FEM lebih baik dibandingkan metode REM. Hal ini tercermin dari statistik uji Hausman ( ) yang signifikan terhadap taraf uji 10 persen p-value 0,0000, artinya cukup bukti untuk menolak hipotesis tidak adanya korelasi antara peubah penjelas komponen error. 66

2 Uji model FEM secara keseluruhan valid dalam taraf uji 10 persen yang ditunjukkan nilai statistik uji F (339,7745) dan p-value0,00. Nilai adjusted R 2 bernilai 0,988331yang berarti keragaman tingkat indeks pembangunan manusia dapat dijelaskan oleh PDRB perkapita, kemiskinan, sarana pendidikan, pelayan pendidikan, sarana kesehatan, pelayan kesehatan dan sarana infrastruktur sebesar 98,83 persen, sedangkan sisanya 1,17 persen dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar model. Model FEM yang digunakan dalam penelitian ini adalah pembobotan pada cross section (Panel EGLS /Cross-section weights). Hal ini dilakukan untuk mengurangi heteroskedastis antar unit cross section.berdasarkan hasil estimasi pada tabel 5.1, semua variabel yang diuji signifikan terhadap indeks pembangunan manusia. Selain itu bentuk natural logaritma dari model dilakukan untuk memudahkan mengukur elastisitas antar variabel. Dengan demikian koefisien parameter dari hasil regresi tersebut juga menunjukkan elastisitas dari variabel-variabel yang dimasukkan dalam model. 5.2 Faktor yang Mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia PDRB per kapita Berdasarkan tabel 5.1, PDRB per kapita mempunyai pengaruh yang nyata terhadap Jawa Barat. PDRB per kapita berpengaruh positif terhadap peningkatan. Nilai koefisien PDRB per kapita adalah 0,006177yang berarti kenaikan 1 persen PDRB per kapita akan menaikan sebesar 0,006177, asumsi cateris paribus. PDRB per kapita juga menggambarkan kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. PDRB per kapita juga menggambarkan kesejahteraan keluarga dalam suatu kabupaten/ kota. Peningkatan PDRB per kapita tentu memberikan kemudahan dalam memenuhi segala kebutuhan dasar termasuk akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang selanjutnya menentukan Indeks Pembangunan Manusia. PDRB per kapita di Jawa Barat dalam selang waktu mengalami peningkatan. Hal ini mencerminkan adanya perbaikan dalam 67

3 7,50 PDRB per kapita (Rp Juta) 7,00 6,50 6,00 5,50 5,00 5,53 6,24 6,55 6,77 6,96 4,50 4,

4 Kemiskinan terkait erat variabel ekonomi makro lainnya baik secara langsung maupun tidak antara lain tingkat upah tenaga kerja, tingkat pengangguran, produktifitas tenaga kerja, kesempatan kerja, gerak sektor riil, distribusi pendapatan, tingkat inflasi, pajak dan subsidi, investasi, alokasi dan kualitas sumber daya alam. Sedangkan dalam aspek sosial, kemiskinan sangat terkait tingkat dan jenis pendidikan, kesehatan, kondisi fisik dan alam suatu wilayah, etos dan motivasi kerja, kultur atau budaya, hingga keamanan dan politik serta bencana alam (Yudhoyono dan Harniati, 2004). Upaya penanggulangan kemiskinan tidak dapat lepas dari penciptaan stabilitas ekonomi sebagai landasan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat (Bappenas). Dengan demikian kemiskinan merupakan hambatan dalam meningkatkan, hal ini dikarenakan kemiskinan membuat akses terhadap pendidikan dan kesehatan sebagai tolak ukur peningkatan terganggu. Hal ini sesuai definisi yang diberikan oleh BPS mengenai kemiskinan yaitu kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang atau rumahtangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal/yang layak bagi kehidupannya. Dengan demikian ketidakmampuan ini akan mengganggu kebutuhan terhadap pendidikan dan kesehatan yang pada akhirnya akan membuat indeks pembangunan manusia menjadi rendah. Jawa Barat masih menghadapi masalah kemiskinan yang antara lain ditandai oleh masih tingginya proporsi penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2009 adalah sebesar 11,58 persen dari jumlah penduduk Jawa Barat, menurun dari tahun 2008 yang mencapai angka 11,74 persen (Gambar 5.2). Tingkat kemiskinan ini dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita perbulan dibawah Garis Kemiskinan. 69

5 Persentase Kemiskinan 15,00 14,00 13,00 12,00 11,00 10,00 13,06 14,49 13,55 12,74 11,58 9, Tahun

6 5.2.3 Pendidikan Sarana pendidikan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap Jawa Barat. Tingkat sarana pendidikan berpengaruh positif terhadap peningkatan. Nilai koefisien sarana pendidikan adalah 0,014065yang berarti kenaikan 1 persen sarana pendidikan akan menaikkan sebesar 0,014065, asumsi cateris paribus. Dalam model ini, sarana pendidikan merupakan penghitungan rasio dari jumlah sekolah SD dan SMP terhadap penduduk usia sekolah SD dan SMP. Hal ini dikarenakan adanya program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah.pendidikan memiliki hubungan yang erat peningkatan. Hal ini sesuai yang dipaparkan Todaro(2003) dimana desebutkan pendidikan memainkan peran kunci dalam membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan. Aspek pendidikan tidak hanya berkaitan sarana pendidikan, tetapi terdapat aspek-aspek lain yang lebih menyentuh terhadap kualitas pendidikan tersebut. Dengan demikian dalam penelitian ini dimasukkan juga rasio jumlah guru terhadap jumlah murid. Rasio jumlah guru terhadap jumlah murid mempunyai pengaruh nyata terhadap indeks pembangunan manusia. Hal ini terlihat dari probabilitasnya yang sebesar 0,0000. Nilai koefisien rasio jumlah guru-murid adalah 0,014856yang berarti kenaikan 1 persen rasio jumlah guru-murid akan menaikkan sebesar 0,014856, asumsi cateris paribus. Dengan demikian investasi pendidikan berupa pembangunan sekolah harus juga diikuti mendorong partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. Biaya murah terhadap pendidikan juga sangat menentukan tingkat partisipasi masyarakat untuk bersekolah. Dengan meningkatnya partisipasi masyarakat pada pendidikan maka akan menjadi investasi tak hanya bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan 71

7 23,20 Jumlah sekolah SD dan SMP (ribu) 23,10 23,00 22,90 22,80 22,70 22,60 22,76 22,87 22,88 22,90 23,11 22,

8 Jumlah Guru SD dan SMP (ribu orang) 350,0 300,0 250,0 200,0 150,0 100,0 50,0 0,0 283,1 286,2 215,8 207,2 157,5 2005/ / / / /2010

9 Jumlah Pelayan Kesahatan (orang) Tahun

10 Jumlah Puskesmas

11 orang, barang dan jasa diangkut dari satu tempat ke tempat lain diseluruh penjuru dunia. Perannya sangat penting baik dalam proses produksi maupun dalam menunjang distribusi komoditi ekonomi. Telekomunikasi, listrik, dan air merupakan elemen sangat penting dalam proses produksi dari sektor-sektor ekonomi seperti perdagangan, industri dan pertanian. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi. Dalam permasalahan penelitian ini, ketersediaan infrastruktur dapat memudahkan masyarakat dalam mengakses aspek-aspek yang menentukan pembangunan manusia seperti sarana kesehatan dan sarana pendidikan. Sarana infrastruktur yang memadai juga akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan menjadi lebih rendah. Dengan demikian pendapatan masyarakat tidak terbuang hanya untuk biaya transportasi dan dapat dialihkan untuk pengeluaran kesehatan maupun pendidikan. Pada pembangunan bidang fisik, telah cukup banyak dilakukanprogram dan kegiatan strategis oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat, meliputi sub bidang infrastruktur wilayah,tata ruang, energi dan lingkungan hidup.mengenai pembangunan Infrastruktur Wilayah, meliputi infrastruktur transportasi, sumberdaya air dan irigasi, listrik dan energi, serta saranadan prasarana permukiman, kondisinya masih mengalami beberapakendala terkait beberapa isu pelayanan infrastuktur wilayah.pada aspek infrastruktur jalan, berbagai upaya yang telahdilakukan selama tahun 2009, panjang jalan telah mencapai km. Panjang jalan ini telah meningkat dari tahun

12 23,00 22,76 Panjang Jalan (ribu km) 22,50 22,00 21,50 21,00 21,72 21,29 21,74 21,75 20, No. Kabupaten/ Kota Efek No. Kabupaten/ Kota Efek 1 Kab. Bogor -0, Kab, Purwakarta -0, Kab. Sukabumi -0, Kab, Karawang -0, Kab. Cianjur -0, Kab, Bekasi 0, Kab. Bandung 0, Kota Bogor 0, Kab. Garut -0, Kota Sukabumi 0, Kab. Tasikmalaya 0, Kota Bandung 0, Kab. Ciamis -0, Kota Cirebon 0, Kab. Kuningan -0, Kota Bekasi 0, Kab. Cirebon -0, Kota Depok 0, Kab. Majalengka -0, Kota Cimahi 0, Kab. Sumedang -0, Kota Tasikmalaya 0, Kab. Indramayu -0, Kota Banjar -0, Kab. Subang -0,021119

13 Jawa Barat. Efek individu dalam model menunjukkan adanya perbedaan karakteristik indeks pembangunan manusia tiap kabupaten/kota di Jawa Barat dan dimasukkan sebagai bagian dari intersep dalam menginterprestasikan model untuk tiap kabupaten/kota. Adanya perbedaan karakteristik juga dapat dibagi melalui pengelompokan besaran tiap Kabupaten/ Kota di Jawa Barat. Pengelompokan ini diperlukan karena banyaknya jumlah kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Barat, hal ini juga berkaitan karakteristik yang berbeda di tiap kabupaten/kota sehingga kebijakan yang diterapkan untuk tiap daerah tersebut juga akan berbeda. Di Provinsi Jawa Barat besaran tiap kabupaten/kota berada dalam selang 67,39-78,61. Dengan demkian pengelompokan berdasarkan selang tersebut dapat dibuat sebagai berikut: rendah = Nilai yang kurang dari 70 sedang = Nilai yang lebih besar dari 70 namun kurang dari 75 tinggi = Nilai yang lebih besar dari 75 Dengan pengelompokan tersebut, maka kabupaten/kota di Jawa Barat dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 78

14 Tabel 5.4. Pengelompokan Kabupaten/Kota Berdasarkan Nilai Rendah Sedang Tinggi Kab. Sukabumi Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Sumedang Kab. Purwakarta X 1 Min: 3,22 Rata-rata: 4,66 Max: 8,28 X 2 Min: 10,48 Rata-rata: 14,02 Max: 18,22 X 3 Min: 2,63 Rata-rata: 3,51 Max: 4,34 X 4 Min: 4,44 Rata-rata: 5,12 Max: 5,87 X 5 Min: 8,05 Rata-rata: 10,67 Max: 12,10 X 6 Min: 2,29 Rata-rata: 3,47 Max: 4,38 X 7 Min: 3,54 Rata-rata: 6,71 Max: 8,80 Kab. Bogor Kab. Cianjur Kab Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Majalengka Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Karawang Kab. Bekasi Kota Bogor Kota Bandung Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Min: 2,74 Rata-rata: 7,14 Max: 24,24 Min: 4,50 Rata-rata: 12,15 Max: 23,55 Min: 2,03 Rata-rata: 3,31 Max: 4,81 Min: 2,65 Rata-rata: 4,69 Max: 6,68 Min: 2,07 Rata-rata: 8,23 Max: 13,74 Min: 1,42 Rata-rata: 2,89 Max: 4,68 Min: 0,41 Rata-rata: 6,00 Max: 12,37 Dimana X 1 = PDRB per kapita (Rp juta) X 2 = Tingkat kemiskinan (persen) Kota Sukabumi Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Min: 4,11 Rata-rata: 9,13 Max: 19,97 Min: 13,06 Rata-rata: 7,73 Max: 2,93 Min: 2,45 Rata-rata: 3,23 Max: 4,64 Min: 3,96 Rata-rata: 5,33 Max: 6,04 Min: 2,57 Rata-rata: 11,78 Max: 20,62 Min: 1,34 Rata-rata: 3,27 Max: 7,10 Min: 2,58 Rata-rata: 3,81 Max: 4,87 X 3 = Rasio sarana pendidikan (1/ ) sekolah per orang) X 4 = Rasio jumlah guru (1/100) guru per murid) X 5 = Rasio sarana kesehatan (1/ puskesmas per orang) X 6 = Rasio jumlah tenaga medis (1/ tenaga medis per orang) X 7 = Rasio sarana infrastruktur 79

15

16 Daerah Tinggi Daerah Sedang Daerah Rendah Kota Depok Kota Bekasi Kota Cirebon Kota Sukabumi Kota Banjar Kota Tasikmalaya Kota Cimahi Kota Bandung Kota Bogor Kab. Bekasi Kab. Karawang Kab. Subang Kab. Indramayu Kab. Majalengka Kab. Ciamis Kab. Tasikmalaya Kab. Garut Kab. Bandung Kab. Cianjur Kab. Bogor Kab. Purwakarta Kab. Sumedang Kab. Cirebon Kab. Kuningan Kab. Sukabumi 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,

17 Daerah Tinggi Daerah Sedang Daerah Rendah Kota Depok Kota Bekasi Kota Cirebon Kota Sukabumi Kota Banjar Kota Tasikmalaya Kota Cimahi Kota Bandung Kota Bogor Kab. B e k a s i Kab. Karawang Kab. Subang Kab. Indramayu Kab. Majalengka Kab. C i a m i s Kab. Tasikmalaya Kab. G a r u t Kab. Bandung Kab. Cianjur Kab. B o g o r Kab. Purwakarta Kab. Sumedang Kab. Cirebon Kab. Kuningan Kab. Sukabumi 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,

18 Daerah Tinggi Daerah Sedang Daerah Rendah Kota Depok Kota Bekasi Kota Cirebon Kota Sukabumi Kota Banjar Kota Tasikmalaya Kota Cimahi Kota Bandung Kota Bogor Kab. Bekasi Kab. Karawang Kab. Subang Kab. Indramayu Kab. Majalengka Kab. Ciamis Kab. Tasikmalaya Kab. Garut Kab. Bandung Kab. Cianjur Kab. Bogor Kab. Purwakarta Kab. Sumedang Kab. Cirebon Kab. Kuningan Kab. Sukabumi 0,000 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,

19 Daerah Tinggi Daerah Sedang Daerah Rendah Kota Depok Kota Bekasi Kota Cirebon Kota Sukabumi Kota Banjar Kota Tasikmalaya Kota Cimahi Kota Bandung Kota Bogor Kab. Bekasi Kab. Karawang Kab. Subang Kab. Indramayu Kab. Majalengka Kab. Ciamis Kab. Tasikmalaya Kab. Garut Kab. Bandung Kab. Cianjur Kab. Bogor Kab. Purwakarta Kab. Sumedang Kab. Cirebon Kab. Kuningan Kab. Sukabumi 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,

20 5.3 Kebijakan Kabupaten/Kota Dengan Nilai Terendah Dalam Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia Perbedaan karakteristik antar kabupaten/kota di Jawa Barat sudah terlihat dalam bahasan sebelumnya. Daerah yang rendah perlu menjadi perhatian. Hal ini penting untuk mencapai target Provinsi Jawa Barat untuk menjadi provinsi termaju pada tahun Dari paparan diatas, dapat dipetakan karakteristik daerah-daerah terendah. Karakteristik tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Karakteristik Daerah terendah di Provinsi Jawa Barat Variabel Kab. Kab. Kab. Kab. Kab. Sukabumi Kuningan Cirebon Sumedang Purwakarta PDRB Per R R R R S Kapita Kemiskinan T T T S S Sarana S S S T T Pendidikan Jumlah Guru R R R R R Sarana S S S S S Kesehatan Pelayan R S S S S Kesehatan Sarana Infrastruktur S R S S S Ket: R = Rendah S = Sedang T= Tinggi Tabel 5.5 diatas memperlihatkan bahwa semua daerah yang memiliki terendah di Jawa Barat juga memiliki PDRB per kapita yang rendah. Kemiskinan di daerah ini juga cenderung tinggi, terlihat di Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Kuningan, dan Kabupaten Cirebon. Selain itu, permasalahan yang terjadi di daerah rendah di Provinsi Jawa Barat adalah karena rasio jumlah guru yang rendah. Jumlah guru SD dan SMP di kabupaten Sukabumi, Kabupaten, Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Purwakarta belum memadai dalam melakukan pengajaran terhadap jumlah penduduk usia sekolah di daerah tersebut. Kebijakan-kebijakan yang perlu diterapkan dalam mengangkat ke lima kabupaten ini dapat difokuskan pada PDRB per kapita dan kemiskinan. Kedua variabel tersebut memang berkaitan. Ketika PDRB per kapita ditingkatnya maka kemiskinan pun akan menurun. Oleh karena itu kebijakan-kebijakan yang bisa 85

21 direkomendasikan untuk Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Kuningan, dan Kabupaten Cirebon adalah: 1. Program pemberian bantuan permodalan bagi koperasi dan usaha mikro kecil dan menengah. Program ini dapat mendorong pemerataan pendapatan.program ini juga akan berdampak pada peningkatan lapangan pekerjaan dan selanjutnya meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan demikian program ini akan efektif untuk meningkatkan pendapatan per kapita sekaligus mengurangi persentase kemiskinan. 2. Penanganan pengangguran, yaitu penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih bersifat padat karya bukan padat modal.penanganan terhadap pengangguran mutlak dilakukan, yaitu membuka lapangan pekerjaan yang bersifat padat karya. Pemberian pendidikan terhadap angkatan kerja juga sangat dibutuhkan agar dapat meningkatkan ketersediaan angkatan kerja yang siap bekerja ataupun dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri sehingga akan meningkatkan jumlah penduduk yang bekerja dan memperoleh pekerjaan. Pada akhirnya tujuan meningkatkan daya beli masyarakat. 3. Program pembangunan infrastruktur sangat penting dilakukan, terutama di Kabupaten Kuningan yang memiliki sarana infrastruktur rendah. Investasi merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Oleh karena itu kabupaten-kabupaten rendah harus membuat kebijakan yang mendukung iklim investasi. Kemudahan pengurusan ijin investasi perlu diperhatikan. Perbaikan infrastruktur sebagai dukungan terhadap investasi juga mutlak dilakukan. Program perbaikan infrastruktur yang dapat dilakukan adalah pembangunan serta perbaikan jalan dan jembatan. Dengan program ini akan memberikan kelancaran arus distribusi barang dan jasa serta meningkatkan produktivitas barang dan jasa. 4. Pengadaan guru agar ketersediaan guru memadai untuk menciptkan pelayanan pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia. 86

22 5. Untuk Kabupaten Sukabumi, diperlukan lebih banyak tenaga medis untuk memberikan akses kesehatan yang lebih memadai kepada penduduk di kabupaten tersebut. Perekruitan Dokter dan Bidan sangat berpengaruh terhadap penurunan angka kematian bayi dan dapat meningkatkan harapan hidup di Kabupaten Sukabumi. 87

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Penghitungan kesenjangan pendapatan regional antar kabupaten/kota di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga termasuk pula percepatan/akselerasi

Lebih terperinci

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI...... i 1. GEOGRAFI Tabel : 1.01 Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat Dan Kabupaten/Kota... 1 Tabel : 1.02 Jumlah Kecamatan Dan Desa Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011... 2 2. KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota eranan ekonomi wilayah kabupaten/kota terhadap perekonomian Jawa Barat setiap tahunnya dapat tergambarkan dari salah

Lebih terperinci

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 15/02/32/Th.XVII, 16 Februari 2014 TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014 Pendataan Potensi Desa (Podes) dilaksanakan 3 kali dalam 10 tahun. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah 5.1. Kondisi Geografis BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 o 50 ' - 7 o 50 ' Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 41 BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penghitungan Indeks Williamson Untuk melihat ketimpangan PDRB per kapita antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat digunakan alat analisis Indeks Williamson.

Lebih terperinci

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH Penetapan indikator kinerja daerah bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai ukuran keberhasilan pencapaian visi dan misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota oda perekonomian yang bergulir di Jawa Barat, selama tahun 2007 merupakan tolak ukur keberhasilan pembangunan Jabar.

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG ALOKASI KURANG BAYAR DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM PERTAMBANGAN PANAS BUMI TAHUN ANGGARAN 2006, TAHUN

Lebih terperinci

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8% VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh pada Tabel 16 menunjukkan bahwa model yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daya beli masyarakat berkaitan erat dengan pendapatan perkapita, Sedangkan pendapatan perkapita dipengaruhi oleh penyediaan lapangan kerja dan distribusi pendapatan

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Perkembangan Kemiskinan, Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah, Daya Beli, dan Infrastruktur Sosial di Propinsi Jawa Barat Gambaran perkembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk merupakan suatu hal yang penting karena merupakan modal dasar dalam pembangunan suatu wilayah. Sukirno (2006) mengatakan penduduk dapat menjadi faktor pendorong

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS HASIL ESTIMASI Angka Kematian Bayi 25 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

BAB 4 ANALISIS HASIL ESTIMASI Angka Kematian Bayi 25 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat BAB 4 ANALISIS HASIL ESTIMASI 4.1 Analisis Deskriptif Data 4.1.1 Angka Kematian Bayi 25 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Angka kematian bayi (AKB) Provinsi Jawa Barat selama kurun waktu tahun 2005

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian di lakukan di Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan data tahun 2005 sampai dengan data tahun 2009. Pemilihan dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014

DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014 TOTAL BAES01 JAWA BARAT 129,401,372,000.00 BELANJA PEGAWAI 100,974,521,000.00 BELANJA BARANG OPERASIONAL 8,203,990,000.00 BELANJA BARANG NON OPERASIONAL 2,838,361,000.00 BELANJA MODAL 17,384,500,000.00

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang 56 BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN A. Letak Wilayah dan Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 Lintang selatan dan 104 48-108 48 Bujur Timur, dengan luas

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi. PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 06/PMK.07/2010 TENTANG ALOKASI DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69 mengamanatkan Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 BPS PROVINSI JAWA BARAT INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No. 38/07/32/Th. XVIII, 1 Juli 2016 Pembangunan manusia di Jawa Barat pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 No. 64/11/32/Th. XIX, 6 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Agustus 2017 : Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)

Lebih terperinci

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2012 KEMENTERIAN KEUANGAN. Alokasi. Dana. SDA. Pertambangan. Panas Bumi. TA 2012. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01/PMK.07/2012 TENTANG PERKIRAAN

Lebih terperinci

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017 DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017 I. REALISASI INVESTASI PMA & PMDN 1. Total Realisasi Investasi PMA dan PMDN berdasarkan Laporan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor perindustrian ini adalah dengan cara mengembangkan industri kecil.

BAB I PENDAHULUAN. sektor perindustrian ini adalah dengan cara mengembangkan industri kecil. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu sektor perekonomian yang sedang mendapat perhatian dari pemerintah pada saat ini adalah sektor perindustrian. Untuk dapat meningkatkan sektor perindustrian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1 Data Penelitian

LAMPIRAN. Lampiran 1 Data Penelitian LAMPIRAN Lampiran 1 Data Penelitian Kota/Kab Tahun PDRB INV LBR Bogor 2009 1273760 110108 111101 2010 1335090 1382859 268543 2011 1439103 23266318 268543 2012 1527428 23266318 268543 2013 1628110 23272174

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk melakukan kegiatan ekonomi di dalamnya. Kota Bandung juga memiliki jumlah penduduk yang banyak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Kebijaksanaan pembangunan dilakukan

Lebih terperinci

Analisis Tingkat Pengangguran di 25 Kabupaten Kota di Jawa Barat

Analisis Tingkat Pengangguran di 25 Kabupaten Kota di Jawa Barat Analisis Tingkat Pengangguran di 25 Kabupaten Kota di Jawa Barat 2006-2009 Indra Yudha Mambea, Estro Dariatno Sihaloho, Jacobus Cliff Diky Rijoly Magister Ilmu Ekonomi Fakultas Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan yang

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 21/4/32/Th XIX, 17 April 2017 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 IPM Jawa Barat Tahun 2016 Pembangunan manusia di Jawa Barat pada tahun 2016 terus mengalami kemajuan

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 46/08/32/Th. XVII, 3 Agustus 2015 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014 TAHUN 2014, PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 253.296 TON, CABAI

Lebih terperinci

5. DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA

5. DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA 5. DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA 5.1 Determinan Ketahanan Pangan Regional Analisis data panel dilakukan untuk mengetahui determinan ketahanan pangan regional di 38 kabupaten/kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan dalam menetukan keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data).

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data). 31 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data). 3.2 Metode Analisis Data 3.2.1 Analisis Weighted

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 merupakan awal pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Otonomi daerah

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013 No. 02/11/Th. XIV, 12 November 2014 INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013 1. Indeks Pembangunan Gender (IPG) Kota Bekasi Tahun 2013 A. Penjelasan Umum IPG merupakan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi 2016 No. 30/05/Th. XIX, 24 Mei 2017 BERITA RESMI STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi 2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang terjadi pada awal tahun 1996 dan puncaknya pada tahun 1997 mendorong pemerintah pusat mendelegasikan sebagian wewenang dalam hal pengelolaan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dihitung menggunakan data PDRB Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kelemahan strategi pembangunan ekonomi di masa lalu dan krisis ekonomi yang berkepanjangan, telah menimbulkan berbagai persoalan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Tujuan utama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan, meratakan pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali

Lebih terperinci

Jumlah penduduk Jawa Barat berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 43 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 1,91 persen per tahun

Jumlah penduduk Jawa Barat berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 43 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 1,91 persen per tahun Jumlah penduduk Jawa Barat berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 43 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 1,91 persen per tahun Sekapur Sirih Sebagai pengemban amanat Undang-undang Nomor 16 Tahun 1997

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) yang didapatkan dari perhitungan setiap kabupaten/kota di Jawa Barat pada tahu 2015 dibawah ini

Lebih terperinci

EVALUASI PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) PROVINSI JAWA BARAT

EVALUASI PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) PROVINSI JAWA BARAT EVALUASI PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) PROVINSI JAWA BARAT Disampaikan oleh : Prof. DR. Ir. Deny Juanda Puradimaja, DEA Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat Disampaikan pada : Rapat Koordinasi Pemantauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan pembangunan di pusat. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai perusahaan penyedia listrik milik pemerintah di tanah air, PT.

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai perusahaan penyedia listrik milik pemerintah di tanah air, PT. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sebagai perusahaan penyedia listrik milik pemerintah di tanah air, PT. (Persero) Perusahaan Listrik Negara (PLN) berusaha untuk terus meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. dipergunakan untuk melihat keadaan perekonomian di suatu wilayah.

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. dipergunakan untuk melihat keadaan perekonomian di suatu wilayah. BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian 3.1.1 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umumnya dipergunakan untuk melihat keadaan perekonomian di suatu

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 menurut Kab/ Kota di Provinisi Jawa Barat (Persen)

LAMPIRAN. Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 menurut Kab/ Kota di Provinisi Jawa Barat (Persen) 74 L A M P I R A N 75 LAMPIRAN Lampiran 1 Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 menurut Kab/ Kota di Provinisi Jawa Barat (Persen) No Kabupaten/ Kota Tahun 2009 2010 2011 1 Kota. Bandung 8,34 8,45 8,73 2 Kab.

Lebih terperinci

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2014 (dalam rupiah)

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2014 (dalam rupiah) UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 214 KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA : 5 MAHKAMAH AGUNG : 2 JAWA BARAT SEMULA SETELAH 1 I. IKHTISAR MENURUT SUMBER DANA 1 RUPIAH MURNI 3 KETERTIBAN DAN KEAMANAN 4 PERADILAN

Lebih terperinci

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2013 (dalam rupiah)

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2013 (dalam rupiah) UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 213 KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA : 5 MAHKAMAH AGUNG : 2 PROP. JAWA BARAT SEMULA SETELAH 1 I. IKHTISAR MENURUT SUMBER DANA 1 RUPIAH MURNI 3 KETERTIBAN DAN KEAMANAN 4

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN LITERATUR

BAB 2 TINJAUAN LITERATUR 9 BAB 2 TINJAUAN LITERATUR 2.1 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi menurut Profesor Simon Kuznets adalah kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Provinsi Jawa Barat Kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat berjumlah 26 kabupaten/kota yang terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota dengan 625 kecamatan dan 5.877 desa/kelurahan. Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. tahun mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur.

BAB III METODE PENELITIAN. tahun mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder periode tahun 2001-2010 mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. hasil analisis yang telah dibahas dalam bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan

BAB VI PENUTUP. hasil analisis yang telah dibahas dalam bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian serta berdasarkan hasil analisis yang telah dibahas dalam bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Dari hasil pengujian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat. Pemilihan Provinsi Jawa

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat. Pemilihan Provinsi Jawa BAB III METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat. Pemilihan Provinsi Jawa Barat ini didasarkan pada data realisai anggaran menunjukkan bahwa Anggaran Pendapatan

Lebih terperinci

PROFIL PEMBANGUNAN JAWA BARAT

PROFIL PEMBANGUNAN JAWA BARAT 1 PROFIL PEMBANGUNAN JAWA BARAT A. GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI WILAYAH Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 Lintang Selatan dan 104 o 48-108o48 Bujur Timur, dengan batas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perkembangan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Pembahasan mengenai kinerja keuangan pemerintah daerah ditinjau dari beberapa hal. Pertama, proporsi belanja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional merupakan salah satu kegiatan pemerintah Indonesia yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

PENGUKURAN PRODUKTIVITAS RELATIF DAN ANALISIS TINGKAT UPAH TERHADAP PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI JAWA BARAT

PENGUKURAN PRODUKTIVITAS RELATIF DAN ANALISIS TINGKAT UPAH TERHADAP PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI JAWA BARAT PENGUKURAN PRODUKTIVITAS RELATIF DAN ANALISIS TINGKAT UPAH TERHADAP PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI JAWA BARAT Dewi Shofi Mulyati, Iyan Bachtiar, dan Yanti Sri Rezeki * Abstrak Pentingnya

Lebih terperinci

Daftar Populasi dan Sampel Penelitian

Daftar Populasi dan Sampel Penelitian Lampiran 1 Daftar Populasi dan Sampel Penelitian No Kabupaten/Kota Kriteria Sampel 1 2 1 Bogor Sampel 1 2 Sukabumi Sampel 2 3 Cianjur Sampel 3 4 Bandung Sampel 4 5 Garut Sampel 5 6 Tasikmalaya Sampel 6

Lebih terperinci

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Kuncoro (2014), dalam jurnal Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran dan Pendidikan terhadap Tingkat Kemiskinan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI JAWA BARAT 2014

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI JAWA BARAT 2014 OUTLINE ANALISIS PROVINSI 1. Perkembangan Indikator Utama 1.1 Pertumbuhan Ekonomi 1.2 Pengurangan Pengangguran 1.3 Pengurangan Kemiskinan 2. Kinerja Pembangunan Kota/ Kabupaten 2.1 Pertumbuhan Ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita, atau yang biasa disebut pertumbuhan ekonomi. Indikator

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita, atau yang biasa disebut pertumbuhan ekonomi. Indikator BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan suatu negara diarahkan pada upaya meningkatkan pendapatan perkapita, atau yang biasa disebut pertumbuhan ekonomi. Indikator yang digunakan untuk melihat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini akan memberikan kesimpulan hasil penelitian berdasarkan teori dan temuan studi yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Selain itu, juga akan diberikan rekomendasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Jawa Barat adalah salah satu Provinsi di Indonesia. Provinsi Jawa Barat memiliki luas wilayah daratan 3.710.061,32 hektar, dan Jawa Barat menduduki

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini menguraikan gambaran dan analisis terkait dengan implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini juga menjelaskan pengaruh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

4 DINAMIKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN JAWA BARAT

4 DINAMIKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN JAWA BARAT 4 DINAMIKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN JAWA BARAT 4.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian 4.1.1 Kondisi Geografi Aspek-aspek geografis yang meliputi posisi, susunan keruangan dan lokasi sangat menentukan langkah-langkah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. keterampilan para petani dan petugas melalui sekolah lapangan serta pelatihan pemandu (PL I, PL II, PL III).

KATA PENGANTAR. keterampilan para petani dan petugas melalui sekolah lapangan serta pelatihan pemandu (PL I, PL II, PL III). KATA PENGANTAR Kegiatan SL-PTT merupakan fokus utama program yang dilaksanakan dalam upaya mendorong terjadinya peningkatan produktivitas padi. Kegiatan ini dilaksanakan secara serempak secara nasional

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 5.1. Kondisi Geografis V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 Lintang Selatan dan 104 o 48-108 o 48 Bujur Timur, dengan batas wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

ANALISIS KONTRIBUSI DAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA DI JAWA BARAT

ANALISIS KONTRIBUSI DAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA DI JAWA BARAT ANALISIS KONTRIBUSI DAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA DI JAWA BARAT Asep Yusup Hanapia 1, Aso Sukarso, Chandra Budhi L.S Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Siliwangi ABSTRACT The

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan,

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan, I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh setiap negara di dunia. Sektor pertanian salah satu sektor lapangan usaha yang selalu diindentikan dengan kemiskinan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Utara. Series data yang digunakan dari tahun

BAB III METODE PENELITIAN. Utara. Series data yang digunakan dari tahun BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan BPS Provinsi Maluku Utara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja, menaikan devisa negara serta mengangkat prestise nasional.

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja, menaikan devisa negara serta mengangkat prestise nasional. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kegiatan pembangunan industri di era globalisasi ini bertujuan untuk menyediakan bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat, meningkatkan pendapatan masyarakat,

Lebih terperinci

BAB VII PEMBAHASAN. guna membiayai pembangunan pada suatu negara. Pajak merupakan salah satu

BAB VII PEMBAHASAN. guna membiayai pembangunan pada suatu negara. Pajak merupakan salah satu BAB VII PEMBAHASAN 7.1 Pajak Tanah Kewajiban pembayaran pajak merupakan perwujudan partisipasi masyarakat guna membiayai pembangunan pada suatu negara. Pajak merupakan salah satu sumber terbesar dari pemasukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapita (Irawan dan Suparmoko, 2002). Sedangkan menurut Todaro (2003),

BAB I PENDAHULUAN. kapita (Irawan dan Suparmoko, 2002). Sedangkan menurut Todaro (2003), BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan ekonomi adalah sebuah usaha untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang diukur melalui tinggi rendahnya pendapatan riil per kapita (Irawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama

BAB I PENDAHULUAN. Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang diinginkan dapat

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa 72 V. PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Pulau Jawa merupakan salah satu Pulau di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional dimana keadaan ekonominya mula-mula relatif statis selama jangka

BAB I PENDAHULUAN. nasional dimana keadaan ekonominya mula-mula relatif statis selama jangka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai kemampuan ekonomi nasional dimana keadaan ekonominya mula-mula relatif statis selama jangka waktu yang cukup lama untuk dapat

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Asumsi klasik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji. Multikolinearitas dan uji Heteroskedastisitas.

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Asumsi klasik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji. Multikolinearitas dan uji Heteroskedastisitas. BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Uji Kualitas Instrumen dan Data Uji kualitas data dalam penelitian ini menggunakan uji asumsi klasik. Asumsi klasik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Salah satu komponen dari penelitian adalah menggunakan metode yang

BAB III METODE PENELITIAN. Salah satu komponen dari penelitian adalah menggunakan metode yang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Salah satu komponen dari penelitian adalah menggunakan metode yang ilmiah, agar metode yang ilmiah ini dapat dilaksanakan dengan relatif lebih mudah dan

Lebih terperinci

SISTEM PENGUPAHAN DI INDONESIA

SISTEM PENGUPAHAN DI INDONESIA SISTEM PENGUPAHAN DI INDONESIA Sistem Penentuan Upah (pengupahan) yang berlaku di Indonesia adalah sistem yang berbasis indeks biaya hidup dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per Kapita sebagai proksi

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Perhitungan Komponen CDI CDI dihitung pada level kota dan menggambarkan ukuran rata-rata kesejahteraan dan akses terhadap fasilitas perkotaan oleh individu. CDI menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh keterbatasan dari daya saing produksi (supply side), serta

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh keterbatasan dari daya saing produksi (supply side), serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hasil survei Bank Dunia pada tahun 2012 menunjukkan, masalah terbesar kedua di Indonesia yang menghambat kegiatan bisnis dan investasi adalah infrastruktur yang tidak

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 40 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini berdasarkan pengolahan data yang telah dikumpulkan akan menjawab permasalahan dan tujuan pertama dan kedua kajian. Pengolahan data dilakukan melalui dua tahap, yaitu

Lebih terperinci