BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah"

Transkripsi

1 44 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat ditentukan menggunakan indeks Williamson yang kemudian dikenal dengan CV Williamson (CVw). Berdasarkan hasil perhitungan, pada Williamson di Provinsi masa sebelum otonomi daerah ( ) nilai indeks Jawa Tengah berada pada kisaran antara 0,6219-0,6530. Hal ini menunjukkan tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah di Jawa Tengah sebelum otonomi daerah tergolong tinggi karena nilai CVw melebihi batas 0,5. CV w Tahun Sumber: BPS (diolah) Keterangan: Dihitung dengan data PDRB per kapita ADHK Gambar 5.1 Trend Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Tahun Pada Januari 2001 pemerintah mulai menerapkan otonomi daerah dimana pemerintah daerah berwenang menentukan arah kebijakannya sendiri dengan tujuan pelayanan masyarakat dan memajukan perekonomian daerah masing- ekonomi masing. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah, trend nilai kesenjangan antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah meningkat dahulu hingga tahun Hal

2 45 ini disebabkan oleh perbedaan kesiapandari masing-masing wilayah dalam menghadapi otonomi daerah.kesempatan dan peluang pembangunan yang ada dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah lebih baik. Sedangkan daerah yang masih tertinggal, kurang mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan sarana dan prasarana serta rendahnya kualitas SDM. Pertumbuhan ekonomi lebih cepat di daerah dengan kondisi yang lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung meningkat. Pada tahun 2004, pelaksanaan otonomi daerah sudah mulai berjalan secara efektif ditandai dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi hampir di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Peningkatan ini diikuti dengan semakin menurunnya nilai indeks kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan pelaksanaan pembangunan terus berlanjut di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah dimana arah pembangunan tersebut telah disesuaikan dengan kepentingan dan potensi daerah masing-masing. Sehingga setiap daerah umumnya telah dalam kondisi yang lebih baik dari segi sarana dan prasarana serta kualitas sumber daya manusia. Dalam kondisi demikian, setiap kesempatan dan peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata di seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah. Akibatnya, proses pembangunan dapat mengurangi tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Walaupun nilai kesenjangan ekonomi tersebut berangsurangsur menurun, namuntingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah masih tergolong dalam kategorikesenjangan taraf tinggi karena nilainya diatas batas 0,5.

3 Klasifikasi Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Perkembangan wilayah di Provinsi Jawa Tengah relatif stabil, tanpa adanya pemekaran wilayah administratif, baik kabupaten maupun kota selama kurun waktu penelitian. Provinsi Jawa Tengah terdiri dari 29 kabupaten dan 6 kota.wilayah tersebut dapat diklasifikasikan menggunakan alat analisis Klassen Typology yangberdasarkan dua indikator utama, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan (PDRB) per kapita daerah. Klassen Typologymembagi daerah yang diamati dalam empat klasifikasi, yaitu: (1) daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income); (2) daerah maju tapi tertekan (high income but low growth); (3) daerah berkembang cepat (high growth but low income); dan (4) daerah relatif tertinggal (low growth and low income). Berdasarkan hasil analisis Klassen Typology, terdapat beberapa wilayah di Provinsi Jawa Tengah mengalami pergeseran tipologi (perpindahan posisi kuadran). Namun, dari analisis juga ditemui beberapa wilayah yang selalu berada pada tipologi statis (pada posisi kuadran yang tetap). Pengklasifikasian ini bersifat dinamis karena sangat tergantung pada paradigma pembangunan di provinsi yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa dalam periode waktu penelitian yang berbeda, pengklasifikasian juga dapat berubah sesuai dengan perkembangan pertumbuhan PDRB dan PDRB per kapita di masing-masing daerah pada saat itu. Sebelum pelaksanaan otonomi daerah (1998), wilayah-wilayah yang tergolong daerah maju dan cepat tumbuh yaitu Kabupaten Cilacap, Kota Magelang, Kota Salatiga, dan Kota Semarang.Wilayah-wilayah yang tergolong daerah maju tapi tertekan yaitu Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kudus, Kabupaten Kendal, dan Kota Surakarta. Wilayah-wilayah yang

4 47 tergolong dalam daerah berkembang cepat yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Blora, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Brebes, dan Kota Tegal. Sedangkan wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah relatif tertinggal yaitu, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Rembang, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Tegal, dan Kota Pekalongan. Setelah pelaksanaan otonomi daerah (2010), wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah maju dan cepat tumbuh yaitu Kabupaten Cilacap, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kendal, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang dan Kota Pekalongan. Wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah maju tapi tertekan yaitu Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kudus, Kabupaten Semarang, dan Kota Tegal. Wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah berkembang cepat yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, dan Kabupaten Pati. Sedangkan wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah relatif tertinggal yaitu Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Rembang, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Brebes.

5 48 Tabel 5.1 Klasifikasi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah menurut Klassen Typology Tahun 1998 dan 2010 Y Yi > Y Yi < Y R Daerah maju dan Daerah berkembang Ri > R Ri < R Sebelum otonomi daerah (1998) Sebelum otonomi daerah (1998) cepat tumbuh Daerah maju tapi tertekan Selama otonomi daerah (2010) Selama otonomi daerah (2010) Sebelum otonomi daerah (1998) Sebelum otonomi daerah (1998) cepat Daerah relatif tertinggal Sumber: BPS (diolah) Keterangan: 1 = Kabupaten Cilacap 2 = Kabupaten Banyumas 19 = Kabupaten Kudus 3 = Kabupaten Purbalingga 20 = Kabupaten Jepara Selama otonomi daerah (2010) Selama otonomi daerah (2010)

6 49 4 = Kabupaten Banjarnegara 21 = Kabupaten Demak 5 = Kabupaten Kebumen 22 = Kabupaten Semarang 6 = Kabupaten Purworejo 23 = Kabupaten Temanggung 7 = Kabupaten Wonosobo 24 = Kabupaten Kendal 8 = Kabupaten Magelang 25 = Kabupaten Batang 9 = Kabupaten Boyolali 26 = Kabupaten Pekalongan 10 = Kabupaten Klaten 27 = Kabupaten Pemalang 11 = Kabupaten Sukoharjo 28 = Kabupaten Tegal 12 = Kabupaten Wonogiri 29 = Kabupaten Brebes 13 = Kabupaten Karanganyar 30 = Kota Magelang 14 = Kabupaten Sragen 31 = Kota Surakarta 15 = Kabupaten Grobogan 32 = Kota Salatiga 16 = Kabupaten Blora 33 = Kota Semarang 17 = Kabupaten Rembang 34 = Kota Pekalongan 18 = Kabupaten Pati 35 = Kota Tegal Rincian kabupaten/kota yang mengalami pergeseran serta yang berada pada posisi statis dari masa sebelum otonomi ke masa otonomi daerah yaitu: 1. Wilayah yang tetap berada di daerah maju dan cepat tumbuh adalah Kabupaten Cilacap, Kota Magelang, Kota Salatiga, dan Kota Semarang. 2. Wilayah yang tetap berada di daerah maju tapi tertekan adalah Kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Kudus. 3. Wilayah yang tetap berada di daerah berkembang cepat adalah Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Blora, dan Kabupaten Pati. 4. Wilayah yang tetap berada di daerah relatif tertinggal adalah Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Rembang, Kabupaten Demak, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Tegal. 5. Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah maju tapi tertekan ke daerah maju dan cepat tumbuh adalah Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kendal, dan Kota Surakarta. 6. Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah berkembang cepat ke daerah maju tapi tertekan adalah Kota Tegal.

7 50 7. Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah relatif tertinggal ke daerah maju dan cepat tumbuh adalah Kota Pekalongan. 8. Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah relatif tertinggal cepat ke daerah maju tapi tertekan adalah Kabupaten Semarang. 9. Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah relatif tertinggal ke daerah berkembang cepat adalah Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Sregen dan Kabupaten Grobogan. 10. Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah berkembang cepat ke daerah relatif tertinggal adalah Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Jepara, Kabupaten Pemalang, dan Kabupaten Brebes. Setelah pelaksanaan otonomi daerah (tahun 2010), kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan tetapi masih tergolong dalam taraf tinggi. Oleh karena itu, menurut analisis Klassen Typology, jumlah wilayah yang masuk dalam kategori daerah maju dan cepat tumbuh bertambah dari empat wilayah menjadi delapan wilayah. Namun, wilayah yang masuk dalam kategori daerah relatif tertinggal juga masih banyak yaitu sebanyak enam belas wilayah. Hal ini perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius dari pemerintah daerah maupun pemerintah Provinsi Jawa Tengah supayadaerahdaerah yang tertinggal dapat diprioritaskan dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan dengan lebih memacu laju pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal. Diharapkan daerah yang tertinggal dapat memajukan perekonomian daerahnya, mengejar daerah yang sudah maju. Sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah dapat diatasi.

8 51 5.3Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Pengujian kesesuaian model dalam persamaan pengaruh jumlah tenaga kerja, rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, belanja modal/pembangunan, panjang jalan, dan penyaluran air bersih terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah dilakukandalam dua tahap yaitu membandingkan PLS model dengan fixed effects modelkemudian dilanjutkan dengan membandingkan fixed effects model dengan random effect mdodel. Tabel 5.2 Hasil Uji Chow Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. D.f Prob. 82, ,0000 Dasar statistika untuk memutuskan apakah akan menggunakan pendekatan pooled OLS atau fixed effect menggunakan uji Chow. Keputusan menggunakan fixed effect dapat dilihat dari nilai probabilitas Chi-Square. Berdasarkan hasil estimasi diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,0000 lebih kecil dari taraf nyata 0,05 yang berarti tolak H 0. Kemudian untuk pemilihan model dilanjutkan dengan uji Hausman untuk menentukan model yang digunakan fixed effectatau random effect. Berdasarkan hasil estimasi diperoleh nilai probabilitas Chi-Square sebesar 0,0314 lebih kecil dari taraf nyata 0,05 yang berarti tolak H 0 sehingga model yang layak digunakan adalah fixed effect. Tabel 5.3 Hasil Uji Hausman Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah TertinggalProvinsi Jawa Tengah Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. D.f Prob. 13, ,0314

9 52 Pengujian uji asumsi klasik dilakukan untuk memastikan bahwa model yang dipilih telah memenuhi asumsi yang telah ditentukan, yaitu: a. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan bila jumlah observasi kurang dari 30. Berdasarkan uji Jarque-bera, nilai probabilitas (0,000000) < taraf nyata 5 persen (0,05) maka tolak H 0 berarti error term tidak terdistribusi normal. b. Multikolinearitas Model yang baik harus terbebas dari masalah mutikolinearitas. Berdasarkan matriks korelasi pearson antar variabel independen, terlihat bahwa korelasi antar variabel cukup rendah (kurang dari 0,8) sehingga dapat disimpulkan model telah memenuhi asumsi terbebas dari multikolinieritas. c. Uji Heteroskedastisitas Pengujian heteroskedastisitas dilihat dari perbandingan nilai sum squared resid Weighted Statistic (68,22851) < nilai sum squared resid Unweighted Statistic (70,15147) sehingga terjadi heteroskedastisitas dalam model yang dipilih. Untuk mengatasi adanya heteroskedastisitas dalam model, maka metode estimasi yang dipilih diperbaiki dengan metode Generalized Least Squared (GLS)atau disebut metode cross section weightdan white heterokedasticity. d. Uji Autokorelasi Pengujian asumsi autokorelasi dilakukan dengan menghitung nilai statistik uji Durbin Watson. Berdasarkan hasil penghitungan, didapatkan nilai statistik Durbin Watson sebesar 1,46 dengan nilai dl sebesar 0,50 dan du sebesar 2,39 maka nilai statistik Durbin Watson berada pada daerah tanpa ada keputusan.

10 53 Setelah melakukan uji asumsi klasik, dilanjutkan dengan uji statistik untuk menguji validitas dari model, yaitu: a. Koefisien Determinasi(R 2 ) Koefisien determinasi mencerminkan variasi dari variabel dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen. Model dalam penelitian ini memiliki R 2 sebesar 0,75. Ini berarti model persamaan jumlah tenaga kerja, rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, belanja modal/pembangunan, panjang jalan, dan penyaluran air bersih mampu menjelaskan variabel laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah sebesar 75 persen, sedangkan 25 persen diterangkan oleh variabel lain di luar model. b. Uji Secara Serempak (Uji F) Nilai probabilitas F-statistic (0,000000) < taraf nyata 5 persen(0,05) maka tolak H 0 artinya minimal ada satu peubah independen yang berpengaruh signifikan terhadap peubah dependen dan dapat dinyatakan pula bahwa hasil estimasi tersebut mendukung keabsahan model. c. Uji signifikansi individu (uji t) Signifikasi individu dilakukan dengan melihat probabilitas masing-masing variabel independen terhadap taraf nyata 5 persen. Hasil yang diperoleh yaitu terdapat tiga variabel yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah antara lain rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, dan panjang jalan. Variabel-variabel ini berpengaruh secara positif. Tetapi terdapat tiga variabel yang tidak signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah yaitu jumlah tenaga kerja, belanja modal/pembangunan dan penyaluran air bersih.

11 54 Tabel 5.4 Hasil Estimasi Regresi Panel Data dengan Pendekatan Fixed Effect dengan Pembobotan danwhite Cross Section Variabel Independen Koefisien Std.Error t-statistik Probabilitas LNTK -0, , , ,6990 LNRLS 3, , , ,0000* LNAHH 32, , , ,0019* LNBM 0, , , ,7251 LNJLN 1, , , ,0005* LNAIR -0, , , ,7502 C -142, , , ,0021* Kriteria Statistik Nilai R-squared 0, Adjusted R-squared 0, F-statistic Prob(F-statistic) 0, Durbin-Watson stat 1, Keterangan: *signifikan pada taraf nyat 5 persen Berdasarkan hasil estimasi model panel data dengan menggunakan fixed effect model setelah melalui serangkaian uji, maka diperoleh model terbaik dengan hasil estimasi sebagai berikut: Y = -142,2464-0,328154LnTK it + 3, LnRLS it + 32,32304 LnAHH it + 0, LnBM it + 1, LnJLN it -0, LnAIR it + e Pada masing-masing variabel independen yang signifikan dapat diinterpretasikan sebagai berikut: 1. Nilai konstanta (C) sebesar -142,2464 menunjukkan bahwa jika variabelvariabel independen dianggap konstan, maka laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah sebesar -142,2464 satuan. Angka sebesar itu dipengaruhi oleh variabel lain di luar model. 2. Koefisien jumlah tenaga kerja (LNTK) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan penyerapan tenaga kerja di Provinsi Jawa Tengah

12 55 masih belum optimal. Penggunaan tenaga kerja sudah berlebihan sehingga tidak lagi mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. 3. Koefisien rata-rata lama sekolah (LNRLS) dengan elastisitas 3, artinya jika terjadi kenaikan rata-rata lama sekolah di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah sebesar satu satuan maka laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah naik sebesar 3, satuan (ceteris paribus). 4. Koefisien angka harapan hidup (LNAHH) dengan elastisitas 32,32304 artinya jika terjadi kenaikan angka harapan hidup di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah sebesar satu satuan maka laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah naik sebesar 32,32304 satuan (ceteris paribus). 5. Variabel belanja modal/pembangunan (LNBM) tidak berpengaruh signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan pada tahun 2010 proporsi belanja untuk pembangunan kurang dari 10 satuan dari total belanja daerah. Dan sekitar 90 satuan belanja daerah dialokasikan untuk belanja rutin antara lain belanja pegawai, belanja barang dan jasa, bagi hasil, dan lain-lain. 6. Koefisien panjang jalan (LNJLN) dengan elastisitas 1, artinya jika terjadi kenaikan panjang jalan di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah sebesar satu satuan, maka laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah akan naik sebesar 1, satuan(ceteris paribus). 7. Variabel penyaluran air bersih (LNAIR) tidak berpengaruh signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Seharusnya variabel ini berpengaruh karena dapat meningkatkan produktivitas jika porsi penyaluran air bersih lebih besar di daerah tersebut.

13 Implikasi Kebijakan Berdasar hasil regresi panel data, dari ketiga faktor yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal yaitu rata-rata lama sekolah (pendidikan), angka harapan hidup (kesehatan), dan panjang jalan dapat dikelompokan menjadi dua faktor yaitu kualitas SDM dan infrastruktur. Oleh karena itu, implikasi kebijakan yang dapat dibuat pemerintah untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah yaitu meningkatkan kualitas SDM dan infrastruktur Peningkatan Kualitas SDM Modal manusia (human capital) merupakan salah satu faktor penting dalam proses pertumbuhan ekonomi. Modal manusia dalam terminologi ekonomi sering digunakan untuk bidang pendidikan, kesehatan dan berbagai kapasitas manusia lainnya yang ketika bertambah dapat meningkatkan produktivitas (Todaro, 2006). Suatu negara yang mampu membeli berbagai peralatan canggih tetapi tidak mempekerjakan tenaga kerja terampil dan terlatih tidak akan dapat memanfaatkan barang-barang modal tersebut secara efektif. Peningkatan kualitas SDM dapat dilakukan melalui program-program sebagai berikut: 1. Peningkatan kualitas pendidikan di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Komponen rata-rata lama sekolah di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah yang semakin meningkat setiap tahunnya dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Tabel 5.5 Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Tahun (Tahun) ,02 6,08 6,17 6,26 6,31 6,49 6,61 6,54 6,74 6,77 Sumber: BPS,

14 57 Teori Human Capital menjelaskan bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan mempengaruhi secara penuh pertumbuhan ekonomi suatu daerah karena pendidikan berpengaruh terhadap produktivitas. Pendidikan menjadikan SDM lebih cepat mengerti dan siap dalam menghadapi perubahan dan pembangunan suatu daerah. Menurut Todaro (2006), pendidikan memainkan peran kunci dalam hal kemampuan suatu perekonomian untuk mengadopsi teknologi modern dan dalam meningkatkan kapasitas produksi bagi pertumbuhan yang berkelanjutan. Peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan melalui perbaikan sarana dan prasarana pendidikan seperti gedung-gedung sekolah, perpustakaan sekolah maupun perpustakaan umum di daerah, serta menambah bantuan belajar bagi murid seperti beasiswa. Berdasarkan tabel 5.6 jumlah guru di daerah tertinggal lebih sedikit dibandingkan daerah maju sehingga jumlah rasio murid terhadap guru di daerah tertinggal lebih tinggi dibanding daerah maju maupun provinsi. Hal ini berarti di daerah tertinggal masih kekurangan guru. Oleh karena itu, untuk lebih mengefektifkan kegiatan pembelajaran, perlu penambahan guru di daerah tertinggal. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian insentif berupa tunjangan lebih bagi guru yang bersedia mengajar di daerah-daerah tertinggal. Tabel 5.6 Perbandingan Jumlah Guru, Murid, Rasio Murid Terhadap Guru di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 Sekolah Guru Murid Rasio murid terhadap guru SD ,3 SLTP ,7 SLTA ,9 Total Daerah Tertinggal ,2 Total Daerah Maju ,7 Provinsi Jawa Tengah ,9 Sumber: BPS, 2010

15 58 2. Peningkatan kualitas kesehatan masyarakat di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Komponen angka harapan hidup di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah cenderung meningkat sehingga dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Menurut Todaro (2006), harapan hidup yang lebih lama akan meningkatkan pengembalian atas investasi dalam pendidikan. Kesehatan juga merupakan prasayarat bagi peningkatan produktivitas. Dengan demikian kesehatan juga dilihat sebagai komponen vital pertumbuhan sebagai input fungsi produksi agregat. Tabel 5.7 Perkembangan Angka Harapan Hidup di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Tahun (Tahun) ,68 68,82 68,95 69,14 69,26 69,48 69,62 96,69 69,87 70,06 Sumber: BPS, peningkatkan kualitas kesehatan dilakukan dengan pemberian kemudahan akses terhadap pelayanan kesehatan serta ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai berupa puskesmas, rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain seperti apotik, toko obat, distributor obat tradisional yang tersebar di seluruh daerah tertinggal. Berdasarkan tabel 5.8 jumlah dokter di daerah tertinggal pada tahun 2010 lebih kecil dibandingkan jumlah dokter di daerah maju. Dan rata-rata dokter per puskesmas di daerah tertinggal hanya sebesar 2,15 lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata dokter per puskesmas di daerah maju sebesar 3,47 maupun di Provinsi Jawa Tengah sebesar 2,62. Tabel 5.8 Perbandingan Jumlah Dokter dan Dokter Per Puskesmas di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 Wilayah Dokter Dokter Per Puskesmas Daerah Tertinggal 851 2,15 Daerah Maju ,47 Provinsi Jawa Tengah ,62 Sumber: BPS, 2010

16 59 Hal tersebut menunjukkan di daerah tertinggal masih kekurangan dokter. Oleh karena itu, peningkatan kualitas kesehatan juga dapat dilakukan dengan penambahan jumlah dokter di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Ini dapat dilakukan dengan pemberian insentif berupa tunjangan lebih bagi dokter yang bersedia bekerja di daerah-daerah tertinggal Peningkatan Kualitas Infrastruktur Infrastruktur merupakan elemen penting bagi pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Ketersediaan transportasi yang memadai dapat membuka keterisolasian daerah sehingga dapat menggerakan perekonomian daerah tersebut dengan lancarnya arus barang dan jasa (Prahara, 2010). Jalan merupakan sarana penghubung untuk mobilitas barang dan jasa baik di dalam daerah itu sendiri maupun dari daerah tersebut ke daerah lain di sekitarnya. Tabel 5.9 Panjang Jalan Menurut Kondisi di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 (Km) Baik Sedang Rusak Rusak Berat 5.657, , , ,67 Sumber: BPS, 2010 Berdasarkan tabel 5.9 kondisi jalan yang rusak dan rusak berat lebih pendek dibandingkan jalan yang dalam kondisi baik dan sedang, tetapi jika jalan yang rusak dan rusak berat diperbaiki, maka dapat meningkatkan efisiensi transportasi, baik untuk barang maupun manusia. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan kualitas infrastruktur, terutama pembangunan jalan yang menghubungkan antar wilayah. Hal ini dapat dilakukan dengan perbaikan jalan yang rusak. Dapat juga dilakukan perpanjangan jalan di daerah tertinggal untuk memperlancar kegiatan perekonomian di daerah tersebut.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dihitung menggunakan data PDRB Provinsi

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Uji Asumsi Klasik 1. Uji Heteroskedastisitas Berdasarkan uji Park, nilai probabilitas dari semua variabel independen tidak signifikan pada tingkat 5%. Keadaan ini

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hasil dari uji heterokedastisitas tersebut menggunakan uji Park. Kriteria

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hasil dari uji heterokedastisitas tersebut menggunakan uji Park. Kriteria BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Uji Kualitas Data 1. UJI Heteroskedastisitas Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi imi terjadi heterokedastisitas atau tidak, untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1. Gambaran Umum Subyek penelitian Penelitian ini tentang pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten/kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan daerah merupakan suatu proses perubahan terencana yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang berperan di berbagai sektor yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas mengenai gambaran persebaran IPM dan komponen-komponen penyususn IPM di Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya dilakukan pemodelan dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Pembahasan Hasil Regresi Dalam bab ini akan dibahas mengenai bagaimana pengaruh PAD dan DAU terhadap pertumbuhan ekonomi dan bagaimana perbandingan pengaruh kedua variabel tersebut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah merupakan Provinsi yang termasuk ke dalam Provinsi yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data Penelitian

Lampiran 1. Data Penelitian Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelan g Lampiran 1. Data Penelitian Kab / Kota Tahun Kemiskinan UMK TPT AMH LnUMK (%) (Rb Rp) (%) (%) 2010 18.11 698333 13.4565 9.75

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tentang kemiskinan ini hanya terbatas pada kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007-2011. Variabel yang digunakan dalam menganalisis

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian hipotesisinya yang meliputi uji serempak (ujif), uji signifikansi paramerer individual (uji T), dan

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 36 BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH 4.1 Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di tengah Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi Jawa Tengah terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makroekonomi jangka panjang. Dari satu periode ke periode berikutnya kemampuan suatu negara untuk

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Penghitungan kesenjangan pendapatan regional antar kabupaten/kota di Provinsi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari : 1. Kab. Banjarnegara 13. Kab. Demak 25. Kab.

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari : 1. Kab. Banjarnegara 13. Kab. Demak 25. Kab. BAB III METODE PENELITIAN A. Obyek dan Subyek Penelitian Dalam penelitian ini daerah yang digunakan adalah seluruh kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari : 1. Kab. Banjarnegara 13. Kab.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. tahun mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur.

BAB III METODE PENELITIAN. tahun mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder periode tahun 2001-2010 mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengangguran merupakan masalah yang sangat kompleks karena mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Metode penelitian merupakan cara penelitian yang digunakan untuk mendapatkan data untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Sugiyono (2010:2) mengemukakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah yang bersangkutan dengan

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa 72 V. PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Pulau Jawa merupakan salah satu Pulau di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Peta Provinsi Jawa Tengah Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 2. Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. LAMPIRAN Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap 15.24 6.68 22.78 1676090 2 Kab. Banyumas 18.44 5.45 21.18 1605580 3 Kab. Purbalingga 20.53 5.63 21.56 879880 4 Kab. Banjarnegara

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Gambaran Persebaran Penduduk Miskin Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kabupaten atau kota sejumlah 35 kabupaten dan kota (BPS,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi merupakan suatu perubahan struktur ekonomi dan usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejaheraan penduduk atau masyarakat. Kemiskinan,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Obyek Penelitian Hasil analisa Deskripsi Obyek Penelitian dapat dilihat pada deskriptif statistik dibawah ini yang menjadi sampel penelitian adalah

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. mengenai situasi dan kondisi latar penelitian. Menurut Arikunto (1989),

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. mengenai situasi dan kondisi latar penelitian. Menurut Arikunto (1989), BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Subjek dan Objek Penelitian Menurut Moleong (2010:132), subjek penelitian sebagai informan, yang berarti orang pada latar penelitian yang dapat memberikan informasi mengenai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S --

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S -- BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Letak dan Luas Wilayah Jawa Tengah terletak di antara 108 30 B.T -- 111 30 B.T dan 6 30 L.S -- 8 30 L.S. Propinsi ini terletak di

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENGANGGURAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENGANGGURAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENGANGGURAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013-2015 Disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar strata I pada Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksplanasi, karena dalam penelitian ini menggunakan dua variabel. Metode eksplanasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik pada tahun 2001 telah menimbulkan dampak dan pengaruh yang signifikan bagi Indonesia (Triastuti

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. per fungsi terhadap pertumbuhan ekonomi 22 kabupaten tertinggal dengan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. per fungsi terhadap pertumbuhan ekonomi 22 kabupaten tertinggal dengan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Tahap Evaluasi Model 5.1.1. Tahap Evaluasi Pemilihan Model Estimasi model, untuk mengetahui pengaruh belanja pemerintah daerah per fungsi terhadap pertumbuhan ekonomi 22

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 56 TAHUN 201256 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor. Akan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang dinamakan dengan nawacita.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI... HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERNYATAAN... HALAMAN PERSEMBAHAN... PRAKATA...

DAFTAR ISI... HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERNYATAAN... HALAMAN PERSEMBAHAN... PRAKATA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERNYATAAN... HALAMAN PERSEMBAHAN... PRAKATA... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI... ABSTRACT... BAB I

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu keadaan di mana masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dan kehidupan yang layak, (menurut World Bank dalam Whisnu, 2004),

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH TAHUN

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Regional Bruto tiap provinsi dan dari segi demografi adalah jumlah penduduk dari

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Regional Bruto tiap provinsi dan dari segi demografi adalah jumlah penduduk dari 54 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan dibahas hasil dari estimasi faktor-faktor yang memengaruhi migrasi ke Provinsi DKI Jakarta sebagai bagian dari investasi sumber daya manusia. Adapun variabel

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH No. 56/08/33 Th.IX, 3 Agustus 2015 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 167,79 RIBU TON, CABAI RAWIT SEBESAR 107,95 RIBU TON,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertanian merupakan salah satu basis perekonomian Indonesia. Jika mengingat bahwa Indonesia adalah negara agraris, maka pembangunan pertanian akan memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Fisik Daerah Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua Provinsi besar, yaitu

Lebih terperinci

1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH. TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah)

1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH. TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah) LAMPIRAN LAMPIRAN A 1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah) NO. KOTA/KABUPATEN PAD DAU DAK BELANJA MODAL PDRB 1 Kab. Banjarnegara 71.107 562.288 65.367

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 No. 50/08/33/Th. VIII, 4 Agustus 2014 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 145,04 RIBU TON, CABAI RAWIT 85,36 RIBU TON, DAN BAWANG

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada kabupaten/kota provinsi Jawa Tengah tahun 2011-2013 yang seluruh data keuangannya telah di terbitkan dan dilaporkan kepada

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi. BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG Dimasa pergantian era reformasi pembangunan manusia merupakan hal pokok yang harus dilakukan oleh pemerintah di Indonesia, bahkan tidak hanya di Indonesia di negara-negara

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 78 TAHUN 2013 TAHUN 2012 TENTANG PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Industrialisasi pada negara sedang berkembang sangat diperlukan agar dapat tumbuh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. provinsi. Dalam satu karesidenan terdiri dari beberapa kapupaten atau kota.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. provinsi. Dalam satu karesidenan terdiri dari beberapa kapupaten atau kota. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Karesidenan adalah sebuah pembagian administratif dalam sebuah provinsi. Dalam satu karesidenan terdiri dari beberapa kapupaten atau kota.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara untuk mengembangkan outputnya (GNP per kapita). Kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. negara untuk mengembangkan outputnya (GNP per kapita). Kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum dekade 1970, pembangunan identik dengan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi lebih menitikberatkan pada kemampuan suatu negara untuk mengembangkan outputnya

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No.42/06/33/Th.X, 15 Juni 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 IPM Jawa Tengah Tahun 2015 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab analisis dan pembahasan ini akan jelaskan tentang pola persebaran jumlah penderita kusta dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, kemudian dilanjutkan dengan pemodelan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 71 A TAHUN 201356 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DEFINITIF DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK A. Gambaran Umum Objek/Subjek Penelitian 1. Batas Administrasi. Gambar 4.1: Peta Wilayah Jawa Tengah Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 748 34 3 790 684 2,379 1,165 5,803 57,379 10.11 2 Purbalingga 141 51 10 139 228

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Analisis pengaruh PDRB per kapita, pengeluaran pemerintah sektor kesehatan, dan pengeluaran pemerintah sektor pendidikan terhadap indeks pembangunan manusia

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 447 60 8 364 478 2.632 629 4.618 57.379 8,05 2 Purbalingga 87 145 33 174 119 1.137

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat yang dilaksanakan secara berkelanjutan berdasarkan pada kemampuan nasional, dengan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah suatu proses dalam melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Proses pembangunan yang mencakup berbagai perubahan mendasarkan status sosial,

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TENAGA KERJA DI JAWA TENGAH TAHUN 2014

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TENAGA KERJA DI JAWA TENGAH TAHUN 2014 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TENAGA KERJA DI JAWA TENGAH TAHUN 2014 NASKAH PUBLIKASI Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Ekonomi Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam meningkatkan pendapatan suatu pembangunan perekonomian di Indonesia, tentunya diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Penutup Penyelenggaraan Sensus Penduduk 2010 merupakan hajatan besar bangsa yang hasilnya sangat penting dalam rangka perencanaan pembangunan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang senantiasa memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional, guna mewujudkan cita-cita

Lebih terperinci

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN No Kelompok Pola Harapan Nasional Gram/hari2) Energi (kkal) %AKG 2) 1 Padi-padian 275 1000 50.0 25.0 2 Umbi-umbian 100 120 6.0

Lebih terperinci

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012 Komoditi TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012 Produksi Penyediaan Kebutuhan Konsumsi per kapita Faktor Konversi +/- (ton) (ton) (ton) (ton) (kg/kap/th) (100-angka susut)

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No.1/3307/BRS/11/2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 Pembangunan manusia di Wonosobo pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia dianggap sebagai titik sentral dalam proses pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan dikendalikan oleh sumber

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. syarat kriteria BLUE (Best Unbiased Estimato). model regresi yang digunakan terdapat multikolinearitas.

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. syarat kriteria BLUE (Best Unbiased Estimato). model regresi yang digunakan terdapat multikolinearitas. 81 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Uji Kausalitas Penelitian ini menggunakan analisis model GLS (General Least Square). Metode GLS sudah memperhitungkan heteroskedastisitas pada variabel independen

Lebih terperinci

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah, No.26/04/33/Th.XI, 17 April 2017 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 IPM Jawa Tengah Tahun 2016 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2016 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

1) Kriteria Ekonomi Estimasi model dikatakan baik bila hipotesis awal penelitian terbukti sesuai dengan tanda dan besaran dari penduga.

1) Kriteria Ekonomi Estimasi model dikatakan baik bila hipotesis awal penelitian terbukti sesuai dengan tanda dan besaran dari penduga. LAMPIRAN Lampiran 1. Evaluasi Model Evaluasi Model Keterangan 1) Kriteria Ekonomi Estimasi model dikatakan baik bila hipotesis awal penelitian terbukti sesuai dengan tanda dan besaran dari penduga. 2)

Lebih terperinci

DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2 Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 1 ISSN (Online):

DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2 Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 1  ISSN (Online): DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2 Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 1 ISSN (Online): 2337-3814 ANALISIS PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH UNTUK SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PDRB SEKTOR PERTANIAN 35 KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Tahapan Pemilihan Pendekatan Model Terbaik

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Tahapan Pemilihan Pendekatan Model Terbaik BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Tahapan Pemilihan Pendekatan Model Terbaik Estimasi model pertumbuhan ekonomi negara ASEAN untuk mengetahui pengaruh FDI terhadap pertumbuhan ekonomi negara ASEAN yang menggunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini menguraikan gambaran dan analisis terkait dengan implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini juga menjelaskan pengaruh

Lebih terperinci

3. METODE. Kerangka Pemikiran

3. METODE. Kerangka Pemikiran 25 3. METODE 3.1. Kerangka Pemikiran Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu serta mengacu kepada latar belakang penelitian, rumusan masalah, dan tujuan penelitian maka dapat dibuat suatu bentuk kerangka

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 728 112 20 1,955 2,178 2,627 1,802 9,422 57,379 16.42 2 Purbalingga 70 50 11 471

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN No. 62/11/33/Th.V, 07 November 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2011 mencapai 16,92 juta

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Utara. Series data yang digunakan dari tahun

BAB III METODE PENELITIAN. Utara. Series data yang digunakan dari tahun BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan BPS Provinsi Maluku Utara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan seringkali dipahami dalam pengertian yang sangat sederhana yaitu sebagai keadaan kekurangan uang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar penelitian yang digunakan ialah metode penelitian eksplanatoris. Penelitian eksplanatoris merupakan penelitian yang bersifat noneksploratif,

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. 1. Analisis Model Regresi dengan Variabel Dependen PAD. a. Pemilihan Metode Estimasi untuk Variabel Dependen PAD

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. 1. Analisis Model Regresi dengan Variabel Dependen PAD. a. Pemilihan Metode Estimasi untuk Variabel Dependen PAD BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Analisis Data 1. Analisis Model Regresi dengan Variabel Dependen PAD a. Pemilihan Metode Estimasi untuk Variabel Dependen PAD Cross-section F Pemilihan model estimasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pandangan pembangunan ekonomi modern memiliki suatu pola yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan ekonomi modern tidak hanya

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/12/33/Th.III, 1 Desember 2009 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2009 Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dilaksanakan dua kali dalam setahun,

Lebih terperinci

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menganalisis pengaruh Belanja Pemerintah di Bidang Kesehatan, Belanja Pemerintah di Bidang Pendidikan, Indeks Pemberdayaan Gender, dan Infrastruktur Jalan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 08/05/33/Th.I, 15 Mei 2007 TINGKAT PENGANGGURAN DI JAWA TENGAH MENURUN 0,1% Tingkat Penganguran Terbuka di Jawa Tengah pada Februari 2007 adalah 8,10%. Angka ini 0,10% lebih

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. industri kecil di Jawa Tengah yang terdiri dari dua puluh sembilan kabupatendan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. industri kecil di Jawa Tengah yang terdiri dari dua puluh sembilan kabupatendan BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Subjek Penelitian 1. Objek Penelitian. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah penyerapan tenaga kerja industri kecil di Jawa Tengah yang terdiri dari dua

Lebih terperinci

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH Rapat Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Penanganan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah Surakarta, 9 Februari 2016 Kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selama beberapa dekade terakhir terdapat minat yang terus meningkat terhadap desentralisasi di berbagai pemerintahan di belahan dunia. Bahkan banyak negara

Lebih terperinci

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menganalisis pengaruh kemiskinan, pengeluran pemerintah bidang pendidikan dan pengeluaran pemerintah bidang kesehatan terhadap Indeks Pembangunan Manusia

Lebih terperinci

5. PENGARUH BELANJA PEMERINTAH, INFRASTRUKTUR, DAN TENAGA KERJA TERHADAP PDRB

5. PENGARUH BELANJA PEMERINTAH, INFRASTRUKTUR, DAN TENAGA KERJA TERHADAP PDRB Sementara itu, Kabupaten Supiori dan Kabupaten Teluk Wondama tercatat sebagai daerah dengan rata-rata angka kesempatan kerja terendah selama periode 2008-2010. Kabupaten Supiori hanya memiliki rata-rata

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/01/33/Th.II, 2 Januari 2008 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2007 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Tengah pada Agustus 2007 adalah

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.70 /11/33/Th.VIII, 05 November 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,68 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2014 yang sebesar

Lebih terperinci

ANALISIS REGRESI PANEL TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN/KOTA D.I.YOGYAKARTA

ANALISIS REGRESI PANEL TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN/KOTA D.I.YOGYAKARTA ANALISIS REGRESI PANEL TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN/KOTA D.I.YOGYAKARTA Mita Pangestika 1 *Jurusan Statistika FIMIPA Universitas Islam Indonesia *mitapanges@gmail.com

Lebih terperinci

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016 PENEMPATAN TENAGA KERJA A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016 NO KAB./KOTA L P JUMLAH 1 KABUPATEN REMBANG 820 530 1.350 2 KOTA MAGELANG 238 292 530 3 KABUPATEN WONOGIRI 2.861

Lebih terperinci