V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Disparitas Pendapatan Analisis disparitas pendapatan dalam penelitian ini dipergunakan untuk melihat ketimpangan pendapatan kabupaten penghasil migas yang dijelaskan oleh besaran PDRB perkapita tahun dalam dua kategori. Kategori pertama yaitu nilai indeks Williamson gabungan seluruh kabupaten/kota dalam satu provinsi dengan menyertakan migas. Kategori kedua nilai indeks Williamson gabungan kabupaten/kota dalam satu provinsi tanpa menyertakan peran migas. Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Indonesia Disparitas antar kabupaten/kota penghasil migas secara menyeluruh kabupaten/kota penghasil migas di Indonesia ditampilkan pada Gambar 3. Dari hasil penghitungan indeks Williamson dengan migas menunjukkan ketimpangan pendapatan yang terus meningkat dengan nilai indeks yang besar berkisar antara Tren peningkatan nilai indeks berlangsung hingga tahun 2005 dengan nilai mencapai Memasuki tahun 2006 hingga 2007 ketimpangan pendapatan berangsur turun hingga mencapai 0.91 pada tahun 2007 (Lampiran 1). indeks Williamso dengan migas tanpa migas tahun Gambar 3 Perkembangan Indeks Williamson Kabupaten/Kota Penghasil Migas tahun

2 49 Indeks Williamson tanpa migas menunjukkan pola yang menurun sepanjang tahun dan tingkat disparitas yang cukup besar berkisar antara Tingginya disparitas pendapatan di kabupaten penghasil migas menunjukan tingkat pendapatan antar wilayah yang tidak merata. Standar deviasi dari nilai indeks yang rendah (0.01) berarti naik turunnya nilai indeks sepanjang tahun tidak terlalu besar (Lampiran 1). Dari hasil penghitungan indeks Williamson seluruh kabupaten/kota penghasil migas antara tahun dapat ditarik kesimpulan bahwa migas berdampak negatif terhadap kesenjangan pendapatan antar wilayah. Kesenjangan pendapatan antar daerah penghasil migas pada masing-masing provinsi dapat dilihat pada pembahasan berikutnya. Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Provinsi Riau Nilai Indeks Williamson Provinsi Riau tahun menunjukkan pola yang berbeda antara nilai indeks dengan migas dan tanpa migas. Nilai indeks Williamson dengan migas menunjukkan pola yang semakin menurun namun memiliki tingkat disparitas yang tinggi dengan nilai indeks berkisar antara Rata-rata nilai indeks Williamson tahun mencapai nilai 0.67 dengan standar deviasi sebesar Nilai standar deviasi yang relatif rendah menunjukkan bahwa perbedaan nilai indeks antar waktu yang tidak terlalu besar. (Lampiran 1). indek WWilliamson Dengan Migas Tanpa Migas tahun Gambar 4 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Riau tahun

3 50 Tingkat kesenjangan pendapatan dengan migas memiliki nilai indeks yang sangat besar ini disebabkan perbedaan pendapatan perkapita antar kabupaten. Kabupaten dengan tingkat pendapatan perkapita yang tinggi adalah Kabupaten Bengkalis dengan tingkat pendapatan perkapita yang mencapai Rp 74 juta pada tahun Sementara kabupaten lain seperti Kabupaten Rokan Hulu hanya memiliki pendapatan perkapita Rp 20 juta pada tahun yang sama. Indeks Williamson tanpa migas memiliki pola yang meningkat sepanjang tahun dengan tingkat disparitas yang rendah. Dalam kurun , tingkat kesenjangan pendapatan di Provinsi Riau berkisar antara Ratarata nilai indeks Williamson dalam kurun waktu adalah 0.20 dan standar deviasi sebesar Rendahnya disparitas pendapatan tanpa migas ini menunjukkan bahwa tingkat pendapatan antar kabupaten yang relatif merata dengan tingkat pendapatan berkisar antara Rp 19 juta 28 juta (Tabel 2). Dari penghitungan indeks Williamson di Provinsi Riau ini dapat disimpulkan bahwa migas berdampak negatif terhadap ketimpangan pendapatan Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Provinsi Jambi Nilai indeks Williamson di Provinsi Jambi pada kurun waktu memiliki pola yang relatif sama antara indeks dengan migas dan indeks tanpa migas. Disparitas pendapatan di provinsi ini paling rendah dibanding 5 provinsi lainnya. Nilai indeks dengan migas pada kurun waktu menunjukkan pola yang menurun dengan tingkat disparitas yang rendah antara dan rata-rata mencapai Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat pendapatan antar kabupaten yang relatif lebih merata. Disparitas pendapatan yang cenderung kecil disebabkan kondisi dan potensi sumber daya alam di provinsi ini relatif lebih merata dengan pendapatan perkapita berkisar Rp 10 juta. Kabupaten dengan pendapatan perkapita tertinggi yaitu Tanjung Jabung Timur (Rp 20 juta) dan terendah Kabupaten Tebo (Rp 6 juta) (Tabel 2). Disparitas pendapatan tanpa migas memiliki pola yang menurun dengan nilai berkisar antara Perbedaan antara 2 nilai indeks pada gambar 5 karena adanya pengaruh migas yang membuat nilai indeks Williamson tanpa migas ini relatif lebih rendah daripada nilai indeks dengan migas. Rata-rata nilai indeks

4 51 tanpa migas ini adalah 0.23 dengan standar deviasi sebesar Rendahnya nilai standar deviasi ini berarti naik turunnya nilai indeks tidak terlalu besar. indeks Williams Dengan Migas Tanpa Migas tahun Gambar 5 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Jambi tahun Hingga tahun 2007 indeks Williamson dengan migas dan tanpa migas di Provinsi Jambi pada tahun 2007 mencapai masing-masing 0.35 dan 0.21 (Lampiran 1) Hasil dari penghitungan indeks Williamson di provinsi ini dapat disimpulkan bahwa migas berdampak negatif terhadap ketimpangan pendapatan Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Provinsi Sumatera Selatan Nilai indeks Williamson dengan migas di Provinsi Sumatera Selatan seperti tampak pada gambar 6 memiliki pola yang yang cenderung meningkat hingga tahun 2005 dengan nilai Tahun 2006, nilai indeks kembali turun (0.69) dan di tahun 2007 kembali naik (0.71). Nilai indeks yang cukup fluktuatif sepanjang waktu ini tercermin dari besarnya standar deviasi yang mencapai (Lampiran 1). Peningkatan nilai indeks di provinsi diduga karena faktor pemekaran wilayah. Pada tahun 2005, lahir beberapa kabupaten baru diantaranya adalah Kabupaten OKU Selatan, OKU Timur dan Ogan Ilir. Hingga tahun 2007 nilai indeks Williamson dengan migas di Provinsi Sumatera Selatan mencapai 0,71 jauh meningkat dibanding tahun 2002 yang mencapai 0,44.

5 52 indeks Williams Dengan Migas Tanpa Migas tahun Gambar 6 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Sumatera Selatan tahun Indeks Williamson tanpa migas dan dengan migas memiliki pola yang relatif sama. Perbedaan dari kedua nilai indeks ini disebabkan pengaruh migas yang membuat nilai indeks dengan migas lebih besar. Pada nilai indeks tanpa migas ini tingkat pendapatan relatif lebih merata yang ditunjukkan oleh rendahnya nilai indeks yang berkisar antara Dari Provinsi Sumatera Selatan dapat ditarik kesimpulan bahwa peningkatan disparitas pendapatan diduga tidak hanya disebabkan oleh faktor minyak dan gas bumi namun juga karena faktor pemekaran wilayah Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Provinsi Jawa Barat Disparitas pendapatan di Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu cenderung memiliki tren yang menurun. Hal yang menarik dari Provinsi Jawa Barat ini adalah peran migas dalam penciptaan disparitas. Jika di Provinsi Riau, Jambi dan Sumatera Selatan peran migas cenderung meningkatkan ketimpangan pendapatan namun di Jawa Barat migas justru menurunkan disparitas pendapatan. Seperti tampak pada Gambar 7 terlihat bahwa disparitas pendapatan tanpa migas justru lebih besar dibanding dengan migas. Hal ini dikarenakan kecilnya peran pertambangan migas dalam struktur ekonomi daerah. Struktur ekonomi di Kabupaten Bekasi dan Karawang lebih didominasi oleh sektor industri sehingga perbedaan pendapatan perkapita lebih disebabkan peningkatan nilai tambah sektor tersebut. Struktur ekonomi kabupaten lain juga menunjukkan peran migas tidak

6 53 terlalu besar. Dari 5 kabupaten penghasil migas hanya Kabupaten Indramayu yang memiliki struktur ekonomi dengan peran migas yang cukup besar. (Tabel 2) indeks Williams Dengan Migas Tanpa Migas tahun Gambar 7 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Jawa Barat tahun Dari hasil perhitungan diketahui nilai rata-rata indeks dengan migas sebesar 0.65 sedangkan nilai rata-rata indeks tanpa migas mencapai Hal ini berarti bahwa tingkat pendapatan dengan migas relatif lebih merata. Sementara jika melihat Gambar 7 dan membandingkan nilai standar deviasi keduanya terlihat bahwa penurunan indeks tanpa migas relatif lebih tajam dalam kurun waktu (Lampiran 1) Ketimpangan pendapatan yang besar di provinsi ini disebabkan perbedaan pendapatan perkapita antar kabupaten yang besar. Kabupaten Bekasi dengan pendapatan perkapita tertinggi merupakan salah satu kabupaten yang berperan dalam penciptaan disparitas pendapatan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa migas berperan menurunkan ketimpangan pendapatan antar kabupaten di Provinsi Jawa Barat Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Provinsi Jawa Timur Nilai indeks Williamson di Provinsi Jawa Timur dalam kurun waktu memiliki tren yang menurun (Gambar 8). Kondisi disparitas pendapatan di provinsi ini mirip dengan Provinsi Jawa Barat dengan peran migas yang cenderung

7 54 menurunkan disparitas pendapatan. Seperti tampak pada Gambar 8 terlihat bahwa nilai indeks Williamson dengan migas lebih rendah dibandingkan nilai indeks tanpa migas. Hal ini diduga karena kecilnya peran migas dalam struktur ekonomi daerah. Di Kabupaten Sidoarjo dengan struktur ekonomi yang didominasi oleh sektor industri, pertambangan migas hanya menyumbang kurang dari 2 persen saja. Demikian pula struktur ekonomi kabupaten lain, peran migas tidak terlalu besar. Dari 6 Kabupaten penghasil migas hanya Kabupaten Tuban saja yang memiliki struktur ekonomi dengan peran migas yang cukup besar Indeks Williamso Dengan Migas Tanpa Migas Tahun Gambar 8 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Jawa Timur tahun Secara keseluruhan disparitas pendapatan dengan dan tanpa migas memiliki nilai yang tidak terlalu berbeda. Rata-rata nilai indeks dengan migas mencapai 0.66 sedangkan tanpa migas mencapai Kabupaten Sidoarjo merupakan kabupaten dengan pendapatan perkapita tertinggi diantara 6 kabupaten lainnya yang memegang peran penting terhadap ketimpangan pendapatan. Penghitungan nilai indeks Williamson ini memberi kesimpulan bahwa migas berperan menurunkan ketimpangan pendapatan antar kabupaten di Provinsi Jawa Timur Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur merupakan provinsi terbesar penghasil migas di Indonesia. Struktur ekonomi kabupaten di provinsi ini secara umum didominasi sektor pertambangan migas. Besarnya potensi migas di provinsi ini memberi

8 55 sumbangan yang sangat besar dalam penerimaan provinsi maupun kabupaten di wilayah ini. Nilai indeks Williamson dengan migas dalam kurun waktu menunjukkan tren penurunan. Nilai indeks Williamson dengan migas di provinsi ini merupakan nilai tertinggi dibanding 5 provinsi lainnya. Pada tahun 2002 nilai indeks Williamson Provinsi Kalimantan Timur mencapai 0.73 kemudian turun pada tahun berikutnya menjadi 0.72 dan hingga tahun 2006 mencapai nilai (Lampiran 1). Ketimpangan pendapatan yang tinggi ini disebabkan adanya perbedaan pendapatan perkapita diantara daerah penghasil migas. Kota Bontang sebagai kota penghasil migas dan juga sebagai kota industri pengolah hasil migas memiliki tingkat pendapatan perkapita tertinggi dengan pendapatan mencapai Rp 407,10 juta. Demikian juga dengan Kabupaten Kutai Kartanegara yang terkenal sebagai kabupaten penghasil migas terbesar di Indonesia ini memiliki pendapatan perkapita sebesar Rp 139,57 juta indeks Williams Dengan Migas Tanpa Migas tahun Gambar 9 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Kalimantan Timur tahun Di lain pihak, nilai indeks Williamson tanpa migas jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai indeks dengan migas. Disparitas pendapatan tanpa migas menunjukkan pola yang terus meningkat dengan nilai berkisar Pada tahun 2002 nilai indeks Williamson mencapai 0.34 dan terus mengalami peningkatan hingga pada 2007 telah mencapai Rendahnya nilai indeks tanpa migas ini menandakan bahwa tingkat pendapatan yang relatif lebih merata. Dari perbandingan nilai indeks Williamson diatas dapat kita simpulkan bahwa migas

9 56 memberikan dampak yang negatif dalam meningkatkan ketimpangan pendapatan antar kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur. 5.2 Analisis Tipologi Klassen Analisis tipologi Klassen memberikan gambaran tentang pola pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota penghasil migas yang merupakan analisis yang cukup penting untuk melihat kondisi perekonomiannya. Dengan melihat pola pertumbuhan ekonomi tersebut akan dapat terlihat bagaimana potensi relatif perekonomian suatu daerah baik secara agregat dan sektoral terhadap daerah lain sekitarnya. Tipologi Klassen membagi wilayah menjadi 4 kuadran yaitu kuadran I merupakan kelompok daerah maju (laju pertumbuhan dan pendapatan perkapita diatas rata-rata), kuadran II merupakan daerah maju tapi tertekan (pertumbuhan ekonomi rendah tapi pendapatan perkapita diatas rata-rata), kuadran III merupakan daerah berkembang (pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tapi pendapatan perkapita lebih rendah dari rata-rata) dan terakhir kuadran IV merupakan daerah tertingal (pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita dibawah rata-rata). Pada masing-masing kuadran dibagi menjadi 2 bagian dimana pada baris pertama merupakan kelompok daerah dengan struktur perekonomian yang didominasi sektor pertambangan migas dan baris kedua merupakan kelompok daerah yang struktur perekonomiannya tidak didominasi sektor pertambangan migas. Pengelompokan daerah menggunakan tipologi Klassen pada tahun 2002 terlihat bahwa Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur, dan Bekasi serta Kota Samarinda dan Tarakan masuk dalam kelompok daerah maju, seperti ditampilkan pada Tabel 6. Kemajuan Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Timur banyak ditopang oleh melimpahnya sumber daya migas yang menjadi pendorong laju perekonomian daerah. Namun berbeda dengan Kabupaten Bekasi, kemajuan kabupaten ini lebih disebabkan peran sektor industri yang sangat besar. Hal ini tampak jelas dari struktur perekonomian Kabupaten Bekasi yang sekitar 80 persen lebih didominasi oleh sektor industri sementara sektor pertambangan dengan migas hanya menyumbang kurang dari 2 persen saja. Sedangkan untuk Kota

10 57 Samarinda dan Tarakan, kemajuan kedua daerah tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh sektor industri dan perdagangan, sementara sektor pertambangan dengan migas hanya menyumbang kurang dari 6 persen saja. Tabel 6 Pengelompokan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Penghasil Migas Berdasarkan Tipologi Klassen tahun 2002 Pendapatan Perkapita Laju Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan Perkapita Diatas Rata-Rata Pendapatan Perkapita Dibawah Rata-Rata Laju Pertumbuhan Ekonomi Diatas Rata-Rata Daerah Maju (16 %) Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Samarinda, Tarakan dan Bekasi Daerah Berkembang (22 %) Tanjung Jabung Timur, Indramayu, Nunukan, Sarolangun,Tanjung Jabung Barat, Subang, dan Mojokerto Laju Pertumbuhan Ekonomi Dibawah Rata-Rata Daerah maju Tapi Tertekan (12 %) Kampar, Bengkalis, Rokan Hilir dan Bontang Daerah Relatif Terbelakang (50 %) Musi Banyuasin, Ogan Komering Ulu, Musi Rawas, Indragiri Hulu, Tebo, Batanghari, Kota Jambi, Lahat, Bulungan, Majalengka, Karawang, Sidoarjo, Bojonegoro, Tuban, Lamongan dan Bangkalan Seluruh kabupaten penghasil migas yang berada di Provinsi Sumatera Selatan masuk ke dalam kelompok daerah yang relatif terbelakang (kuadran IV). Masuknya sejumlah kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan yang masuk ke dalam kelompok daerah tertinggal tidaklah mengherankan mengingat rendahnya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita di wilayah tersebut. Kabupaten Kampar, Bengkalis, Rokan Hilir dan Kota Bontang pada tahun 2002 masuk dalam kelompok daerah yang maju tapi tertekan (kuadran III). Keempat kabupaten/kota penghasil migas ini memiliki tingkat pendapatan perkapita diatas rata-rata kabupaten penghasil migas lainnya (Tabel 2) namun laju pertumbuhan ekonominya berada dibawah rata-rata kabupaten lain. Sedangkan

11 58 Kabupaten Sarolangun, Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, Nunukan, Indramayu, Subang dan Mojokerto berdasarkan pengelompokan Tipologi Klassen termasuk daerah yang berkembang (kuadran II). Secara umum pada tahun 2002 sebanyak 50 persen kabupaten/kota penghasil migas tergolong sebagai daerah yang tertinggal sedangkan sisanya masuk dalam kelompok daerah maju (16 persen), maju tapi tertekan (12 persen) dan berkembang (22 persen). Menurut Syafrizal (2008) pengelompokan wilayah dengan menggunakan tipologi Klassen ini bersifat dinamis karena sangat tergantung pada perkembangan kegiatan pembangunan pada kabupaten/kota yang bersangkutan. Ini berarti bahwa dalam beberapa tahun kedepan, pengelompokkan akan dapat berubah sesuai dengan perkembangan laju pertumbuhan dan tingkat pendapatan perkapita daerah yang bersangkutan. Tabel 7 Pengelompokan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Penghasil Migas Berdasarkan Tipologi Klassen tahun 2007 Pendapatan Perkapita Laju Pertumbuhan Pendapatan Perkapita Diatas Rata-Rata Pendapatan Perkapita Dibawah Rata-Rata Laju Pertumbuhan Diatas Rata-Rata Daerah Maju (12 %) Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Samarinda, dan Bekasi Daerah Berkembang (38 %) OKU, Lahat, Musi Rawas, Nunukan, Tarakan, Indramayu, Sarolangun, Tanjung Jabung Barat, Tebo, Kota Jambi, Subang,Mojokerto Laju Pertumbuhan Dibawah Rata-Rata Daerah maju Tapi Tertekan (25 %) Kampar, Bengkalis, Musi Banyuasin Rokan Hilir, Indragiri Hulu, Bulungan, Bontang dan Bojonegoro Daerah Relatif Terbelakang (25 %) Tanjung Jabung Timur, Batanghari, Majalengka, Karawang, Sidoarjo, Tuban, Lamongan dan Bangkalan Demikian pula dengan perkembangan pembangunan yang terjadi di kabupaten penghasil migas, setelah selang 5 tahun terjadi beberapa pergeseran

12 59 daerah dalam pengelompokkan ini. Beberapa wilayah yang pada tahun 2002 masuk sebagai daerah yang relatif tertinggal pada tahun 2007 dapat bergeser masuk ke dalam kelompok daerah yang berkembang ataupun daerah yang maju tapi tertekan. Namun ada satu daerah yang pada tahun 2002 termasuk daerah maju tapi pada tahun 2007 bergeser menjadi daerah berkembang yaitu Kota Tarakan (Tabel 7). Kemajuan beberapa daerah yang sebelumnya berada di kuadran IV (daerah tertinggal) pada tahun 2007 masuk sebagai kelompok daerah yang berkembang yaitu kabupaten Tebo, Kota Jambi, Ogan Komering Ulu, Lahat dan Musi Rawas. Sedangkan kabupaten yang sebelumnya masuk dalam kelompok daerah tertinggal pada tahun 2002 kemudian pada tahun 2007 masuk ke dalam kelompok daerah yang maju tapi tertekan yaitu Kabupaten Indragiri Hulu, Musi Banyuasin, Bulungan dan Bojonegoro. Pergeseran sejumlah kabupaten penghasil migas yang terjadi sebagai akibat pembangunan ekonomi yang terjadi di wilayah yang bersangkutan. Kemajuan sejumlah kabupaten tersebut tidak hanya dikarenakan peningkatan pendapatan perkapita namun juga ditunjang oleh percepatan pertumbuhan ekonomi yang mampu mengimbangi pertumbuhan ekonomi kabupaten lainnya. Secara umum pada tahun 2007 sebanyak 38 persen kabupaten/kota masuk dalam kelompok daerah berkembang sedang sisanya masuk kelompok daerah maju (12 persen), maju tapi tertekan (25 persen) dan tertinggal (25 persen). 5.3 Analisis Data Panel Dalam penelitian ini analisis data meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di daerah penghasil migas. Khusus untuk model yang membahas model pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan dibedakan menjadi 3 persamaan yaitu : pertama, model persamaan yang menyertakan seluruh kabupaten penghasil, kedua, model persamaan yang menyertakan kabupaten dengan sumbangan sektor pertambangan dalam PDRB diatas 25 persen dan ketiga model persamaan yang menyertakan kabupaten dengan sumbangan sektor pertambangan dalam PDRB kurang dari 25 persen. Alasan pembedaan model ini dimaksudkan untuk melihat apakah dana bagi hasil migas mempempunyai pengaruh yang berbeda antara

13 60 daerah yang relatif kaya sumber daya migas dengan daerah yang sumber daya migasnya tidak terlalu besar. Periode data yang dipakai dalam analisis data panel menggunakan data tahun Periode analisis data panel ini berbeda dengan periode analisis disparitas pendapatan dan tipologi Klassen karena keterbatasan data yang tersedia Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jumlah penduduk (LnPOP), pendapatan asli daerah (LnPAD), dana bagi hasil (LnDBH), tabungan (LnSAVE), pengangguran (LnTPT), penduduk yang lulus SMU (LnSMU) dan pengeluaran pendidikan (LnEDU) serta variabel bebasnya adalah pertumbuhan ekonomi (LnPDRB). Penyusunan model data panel dilakukan dalam dua tahap. Pertama, membandingkan fixed effects model dengan random effects model. Kedua, membuat estimasi model atau persamaan dengan menentukan koefisien masing-masing variabel bebas. Software yang dipergunakan dalam pengolahan data penelitian adalah Eviews 6.0. Penentuan model yang sesuai ditetapkan dengan uji Hausman. Statistik Uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi Square dengan degree of freedom sebanyak jumlah variabel bebas dari model. Uji kesesuaian model data panel dengan fixed effects dan random effects menggunakan uji Hausman menunjukkan 2 nilai p-value (prob.) < 0,05, hal ini berarti model persamaan yang disusun memiliki heterogenitas individu tetapi tidak secara random. Dengan demikian fixed effects model lebih sesuai digunakan. Persamaan pada Tabel 8, menghasilkan nilai R 2 untuk persamaan 1,2, dan 3 yang sama yaitu , , yang berarti bahwa pengaruh variabel bebas jumlah penduduk, pendapatan asli daerah, dana bagi hasil, tabungan, pengangguran, penduduk yang lulus SMU, dan pengeluaran pendidikan terhadap variabel tidak bebas pertumbuhan ekonomi sebesar 99.91, dan persen sedang sisanya sebesar 0.09, 0.09 dan 0.08 persen lainnya dijelaskan oleh variabel yang tidak masuk dalam model.

14 61 Hasil pengujian pengaruh variabel bebas secara serempak terhadap varaiabel tidak bebas dengan menggunakan uji F menunjukkan nilai F hitung sebesar jauh lebih besar dibandingkan dengan F tabel yang mencapai nilai Hasil ini menunjukkan bahwa variabel jumlah penduduk, pendapatan asli daerah, dana bagi hasil, tabungan, pengangguran, penduduk yang lulus SMU, dan pengeluaran pendidikan signifikan berpengaruh secara bersama-sama terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada persamaan 1, 2 dan 3 diketahui variabel pendapatan asli daerah, dana bagi hasil, tabungan, penduduk yang lulus SMU dan pengeluaran pendidikan berhubungan secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan variabel populasi dan pengangguran berhubungan secara negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Tabel 8 Uji Signifikansi Variabel Bebas pada Persamaan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Penghasil Migas tahun Variabel Persamaan 1 Persamaan 2 Persamaan 3 Koefisien Prob Koefisien Prob Koefisien Prob C Ln(POP) Ln(PAD) Ln(DBH) Ln(SAVE) Ln(TPT) Ln(SMU) Ln(EDU) R Adj R F-statistic Sumber : Data diolah Ket : Persamaan 1 (seluruh kabupaten), Persamaan 2 (kabupaten dengan peran sektor pertambangan >25 persen), Persamaan 3 (kabupaten dengan peran sektor pertambangan <25 persen) Variabel populasi atau jumlah penduduk dari hasil analisis diketahui signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan koefisien bernilai yang berarti bahwa peningkatan 1 persen jumlah penduduk akan menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.03 persen dengan asumsi variabel yang lain konstan. Hal ini sesuai dengan teori pertumbuhan Thomas Robert Malthus yang jauh hari sudah memperingatkan tentang pertumbuhan penduduk yang berlebihan (over population). Disebutkan bahwa pertumbuhan penduduk nantinya akan

15 62 seperti deret ukur sedangkan pertambahan produksi hasil pangan akan seperti deret hitung. Pertumbuhan jumlah penduduk yang cenderung cepat menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi disebagian besar negara-negara berkembang, terutama yang kondisi dasarnya masih miskin, amat tergantung pada sektor pertanian, serta diliputi keterbatasan lahan serta sumber daya alam (Todaro dan Smith, 2006). Jumlah penduduk yang besar sebetulnya memiliki potensi sebagai pelaku pertumbuhan sekaligus pasar potensial. Namun potensi tersebut akan berubah menjadi dampak negatif apabila daerah tidak dapat mengontrol laju pertumbuhan jumlah penduduknya (over popolation) karena lahan yang tersedia jumlahnya terbatas. Masalah lainnya kemudian timbul apabila pertumbuhan jumlah penduduk yang ada tidak dibarengi dengan kenaikan kualitas pertambahan penduduk tersebut seperti kualitas pendidikan dan kesehatan. Nilai koefisien variabel jumlah penduduk yang ditunjukkan oleh persamaan 1 memiliki arah yang sama dengan persamaan 2 dan 3. Perbedaan ketiganya terletak pada besaran koefisien variabel jumlah penduduk. Nilai koefisien variabel jumlah penduduk pada persamaan 2 dan 3 masing-masing sebesar dan dan. Hal ini menunjukkan di daerah dengan share pertambangan lebih dari 25 persen (persamaan 2) memiliki dampak penurunan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi akibat pertambahan jumlah penduduk dibanding daerah dengan share sektor pertambangan kurang dari 25 persen (persamaan 3). Variabel pendapatan asli daerah signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan koefisien bernilai 0.03 yang berarti bahwa peningkatan 1 persen pendapatan asli daerah akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.03 persen dengan asumsi variabel yang lain konstan. Hasil ini sesuai dengan hipotesa yang dikemukakan diawal. Dengan demikian daerah yang memiliki tingkat pendapatan asli daerah (PAD) yang lebih tinggi memiliki peluang untuk tumbuh lebih cepat daripada daerah dengan tingkat PAD yang rendah. Pendapatan asli daerah merupakan salah satu modal dasar untuk menggerakkan pembangunan daerah. Semakin besar PAD suatu daerah akan memberikan dampak yang positif bagi total pengeluaran pemerintah daerah yang

16 63 pada gilirannya memberikan dampak yang positif pula bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Variabel pendapatan asli daerah pada persamaan 2 tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun pendapatan asli daerah memiliki dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi namun jumlahnya relatif terbatas sehingga kurang signifikan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pada umumnya daerah yang ada dalam persamaan 2 (daerah dengan pendapatan DBH yang relatif tinggi) sangat mengandalkan penerimaan daerah dari penerimaan dana bagi hasil yang dikucurkan pemerintah pusat. Pada masa mendatang pemerintah daerah di kabupaten dengan sumber daya migas yang relatif berlimpah hendaknya mampu meningkatkan pendapatan asli daerahnya mengingat sifat dari sumber migas yang tidak dapat terbarukan. Variabel dana bagi hasil dalam persamaan 1 signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan koefisien bernilai 0.02 yang berarti bahwa peningkatan 1 persen dana bagi hasil maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.02 persen dengan asumsi variabel yang lain tetap. Hal ini sesuai dengan hipotesa yaitu peningkatan dana bagi hasil berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi. Variabel dana bagi hasil seperti halnya pendapatan asli daerah, merupakan modal yang penting dalam menggerakkan pembangunan daerah. Besarnya dana bagi hasil memberikan dampak yang positif bagi anggaran pendapatan dan belanja daerah dalam meningkatkan total pengeluaran pemerintah. Peningkatan pengeluaran daerah diharapkan mampu memberi dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Koefisien dana bagi hasil pada persamaan 1 memiliki arah koefisien yang sama dengan persamaan 2 dan 3. Hal ini berarti bahwa tidak terdapat perbedaan antara ketiga daerah tersebut. Dari ketiga persamaan model pertumbuhan memberi gambaran bahwa di semua wilayah, dana bagi hasil memberikan dampak yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi.

17 64 Variabel tabungan pada persamaan 1 diketahui signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan koefisien bernilai 0.02 yang berarti bahwa peningkatan tabungan sebesar 1 persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.02 persen dengan asumsi variabel yang lain konstan. Hasil analisis penelitian ini sesuai dengan teori pertumbuhan endogen yang menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat tabungan maka semakin tinggi tingkat pertumbuhan output. (Dornburch, 2001). Peningkatan tabungan menjadi hal yang penting dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. Besarnya dana tabungan yang dihimpun dari masyarakat oleh lembaga perbankan akan disalurkan kembali untuk membiayai kegiatan-kegiatan produktif dalam suatu perkonomian. Semakin cepat perputaran aliran dana akan memberikan efek berganda bagi pertumbuhan ekonomi di suatu daerah. Variabel tabungan pada persamaan 2 memiliki dampak yang tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi tabungan sebagai bagian dari pengerak pertumbuhan ekonomi di daerah struktur ekonominya didominasi oleh sektor pertambangan migas tidak sepenuhnya terwujudnya. Kondisi ini dikarenakan rendahnya ratio (perbandingan) antara besarnya kredit yang disalurkan dengan jumlah dana pihak ketiga (tabungan) di daerah tersebut. Data yang diperoleh dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa pada umumnya daerah-daerah yang berada di wilayah ini memiliki nilai LDR (Loan Deposit Ratio) yang rendah berkisar antara persen. Hal inilah yang menyebabkan besarnya dana yang terhimpun dalam bentuk tabungan tidak mampu seluruhnya diserap melalui kredit yang disalurkan pihak perbankan. Rendahnya daya serap dana pihak ketiga ini tentunya berdampak terhadap percepatan perekonomian di wilayah tersebut. Variabel pengangguran pada persamaan 1 terbukti signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan koefisien bernilai yang berarti bahwa peningkatan jumlah pengangguran sebesar 1 persen akan menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.03 persen dengan asumsi variabel yang lain konstan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Arthur Okun yang terkenal dengan Hukum Okun (Dornbursh et al, 2001). Dalam penelitiannya,

18 65 Okun menyusun hubungan empiris antara pengangguran dan PDB riil di Amerika Serikat. Dari hasil penelitiannya, Okun menyatakan bahwa 1 poin tambahan pengangguran membebani 2 persen PDB. Hal ini dapat dimaklumi karena semakin besar penduduk yang menganggur dengan sendirinya akan membuat pendapatan perkapita semakin kecil. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh persamaan 2 dan 3, hanya saja dampak peningkatan pengangguran terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah yang memiliki share pertambangan lebih dari 25 persen relatif lebih rendah jika dibandingkan daerah dengan share pertambangan kurang dari 25 persen. Pengangguran yang tinggi memang membawa dampak buruk bagi perkonomian sebab output yang dihasilkan tidak dapat maksimal, sehingga ada kapasitas produksi yang belum terpakai/menganggur. Akibatnya pertumbuhan ekonomi menjadi turun sebab input yang terpakai juga sedikit (Sukirno, 2000). Variabel pendidikan yang diwakili oleh jumlah penduduk yang lulus SMU dalam persamaan 1 signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan koefisien bernilai 0.07 yang berarti bahwa peningkatan 1 persen jumlah penduduk yang lulus SMU akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.07 persen dengan asumsi variabel yang lain tetap. Hal ini sesuai dengan hipotesa yang artinya kenaikan pendidikan suatu daerah akan mempengaruhi kenaikan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Maksud dari peningkatan pendidikan disini adalah peningkatan kualitas pendidikan yang ditandai dengan banyaknya jumlah penduduk yang lulus SMU. Jadi daerah dengan kualitas pendidikan yang tinggi memiliki peluang untuk tumbuh lebih cepat daripada daerah yang kualitas pendidikannya masih rendah. Hasil ini sesuai dengan teori pertumbuhan endogen (New Growth Theory) yang menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi selain dipengaruhi akumulasi modal dan tabungan juga ditentukan oleh kualitas human capitalnya (Romer, 1995). Hal yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah baik pusat maupun daerah. Selama ini baik pemerintah pusat maupun daerah terkesan kurang memberikan perhatian pada sektor pendidikan.

19 66 Pengaruh variabel pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada persamaan 1 sama dengan hasil yang ditunjukkan dalam persamaan 3 namun berbeda dengan hasil pada persamaan 2. Pada daerah yang memiliki dana bagi hasil yang besar (persamaan 2) terlihat bahwa peran pendidikan (jumlah lulusan SMU) tidak memiliki dampak yang signifikan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa peran jumlah penduduk yang lulus SMU di daerah ini tidak mampu sepenuhnya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini diduga karena besarnya jumlah penduduk yang lulus SMU belum seluruhnya mampu diserap sehingga tidak memberikan dampak yang signifikan bagi pertumbuhan perekonomian. Variabel pengeluaran pendidikan dalam persamaan 1 diketahui positif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Besarnya nilai koefisien pengeluaran pendidikan yang bernilai 0.03 berarti bahwa peningkatan sebesar 1 persen pengeluaran pendidikan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.03 persen dengan asumsi variabel lain konstan. Hal ini sesuai dengan hipotesa yang artinya kenaikan pengeluaran pendidikan akan mempengaruhi kenaikan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Peningkatan kualitas pendidikan ditinjau dari sisi besarnya anggaran pendidikan merupakan investasi yang penting dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi. Tingkat pendidikan yang semakin baik akan meningkatkan ketrampilan dan produktifitas dari tenaga kerja sehingga mampu memberikan output yang lebih baik dari segi kuantitas maupun kualitas barang dan jasa yang diproduksi. Pengeluaran pendidikan merupakan investasi yang penting dalam proses pembangunan daerah berkaitan dengan masalah pengentasan kemiskinan. Penentu perbedaan pendapatan dan produktifitas adalah kualitas pendidikan (kualitas pengajaran, fasilitas dan kurikulum) dan bukan hanya kuantitasnya saja (lamanya bersekolah) (Behrman dan Birdsall, 1983). Peningkatan pengeluaran pendidikan akan sangat berpengaruh bagi penyediaan berbagai fasilitas pendidikan dan peningkatan kualitas guru. Dalam UU tentang pendidikan nasional mengamanatkan bagi pemerintah pusat dan daerah untuk menganggarkan minimal 20 persen dari APBN/APBD untuk sektor pendidikan, namun dalam kenyataannya masih banyak daerah yang

20 67 mengalokasikan anggaran pendidikan kurang dari 20 persen untuk sektor ini. Sektor pendidikan bagi suatu wilayah sangat penting bila ingin membangun suatu dasar atau landasan pertumbuhan yang kekal dan tahan lama. Secara umum hasil, variabel jumlah lulusan SMU yang diperoleh dalam persamaan 1 memiliki arah koefisien sama dengan persamaan 2 dan 3. Perbedaan hanya pada besaran nilai koefisien. Pada persamaan 3, peningkatan pengeluaran pendidikan di daerah ini memberikan dampak yang relatif lebih besar dibanding daerah yang ada dalam persamaan 2. Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Haryanto (2006) yang melakukan penelitian di 30 Provinsi tahun 2001 hingga 2004 terdapat beberapa perbedaan. Dari hasil penelitiannya diketahui, transfer pemerintah pusat berupa dana perimbangan dan pendapatan asli daerah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi sementara pada penelitian ini justru memberikan hasil yang berbeda. Dana bagi hasil dan pendapatan asli daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten penghasil migas. Sementara variabel lain seperti variabel populasi, pengangguran dan pendidikan mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi yang searah dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryanto. Sementara itu jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2006) yang melihat pengaruh tabungan terhadap pertumbuhan ekonomi, menunjukkan bahwa hasil penelitian ini memiliki analisa yang searah dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari. Pada penelitian ini diketahui bahwa peningkatan tabungan berpengaruh positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah penghasil migas. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya karena adanya perbedaan waktu penelitian, lokasi penelitian dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Pada penelitian ini selain variabel yang digunakan oleh Haryanto, ditambahkan pula variabel lain yaitu variabel tabungan sementara transfer dana pemerintah pusat pada penelitian ini hanya dibatasi pada transfer dana bagi hasil.

21 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendapatan domestik regional bruto perkapita (PDRB), dana bagi hasil (DBH), jumlah penduduk (POP), pengangguran (TPT), pengeluaran kesehatan(sehat) dan penduduk yang lulus SMU (SMU) serta variabel tidak bebas yaitu kemiskinan (POOR). Penyusunan model data panel dilakukan dalam dua tahap. Pertama, membandingkan fixed effects model dengan random effects model. Kedua, membuat estimasi model atau persamaan dengan menentukan koefisien masingmasing variabel bebas. Software yang dipergunakan dalam pengolahan data penelitian adalah Eviews 6.0. Penentuan model yang sesuai ditetapkan dengan uji Hausman. Statistik Uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi Square dengan degree of freedom sebanyak jumlah variabel bebas dari model. Uji kesesuaian model data panel dengan fixed effects dan random effects menggunakan uji Hausman menunjukkan 2 nilai p-value (prob.) < 0,05, hal ini berarti model persamaan yang disusun memiliki heterogenitas individu tetapi tidak secara random. Dengan demikian fixed effects model lebih sesuai digunakan. Tabel 9 Uji Signifikansi Variabel Bebas pada Persamaan Kemiskinan Kabupaten Penghasil Migas tahun Variabel Persamaan 1 Persamaan 2 Persamaan 3 Koefisien Prob Koefisien Prob Koefisien Prob C PDRB perkpt (juta Rp) DBH (milyar Rp) POP (ribu orang) TPT (persen) SEHAT (milyar Rp) SMU (persen) R Adj R F statistic Sumber : Data diolah Ket : Persamaan 1 (seluruh kabupaten), Persamaan 2 (kabupaten dengan peran sektor pertambangan >25 persen), Persamaan 3 (kabupaten dengan peran sektor pertambangan <25 persen).

22 69 Persamaan pada Tabel 9, menghasilkan nilai R 2 untuk persamaan 1,2, dan 3 yang sama yaitu , , yang berarti bahwa pengaruh variabel bebas produk domestik regional bruto, dana bagi hasil, jumlah penduduk, pengangguran, pengeluaran kesehatan dan penduduk yang lulus SMU terhadap variabel tidak bebas kemiskinan sebesar 99.67, dan persen sedang sisanya sebesar 0.33, 0.48 dan 0.56 persen lainnya dijelaskan oleh variabel yang tidak masuk dalam model. Hasil pengujian pengaruh variabel bebas secara serempak terhadap varaiabel tidak bebas dengan menggunakan uji F menunjukkan nilai F hitung sebesar jauh lebih besar dibandingkan dengan F tabel yang mencapai nilai Secara keseluruhan dari hasil uji F diketahui bahwa variabel produk domestik regional bruto, dana bagi hasil, jumlah penduduk, pengangguran, pengeluaran kesehatan dan penduduk yang lulus SMU signifikan berpengaruh terhadap variabel kemiskinan. Variabel pendapatan domestik regional bruto perkapita pada persamaan 1 signifikan mempengaruhi kemiskinan dengan koefisien sebesar yang berarti bahwa peningkatan PDRB perkapita 1 unit akan menurunkan jumlah orang miskin sebesar 0.05 unit dengan asumsi variabel yang lain konstan. Hal ini berarti setiap kenaikan PDRB perkapita sebesar Rp 1 juta maka akan mengurangi atau menurunkan persentase penduduk miskin sebanyak 0.05 persen. Hal ini mengindikasikan pentingnya mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk menurunkan jumlah penduduk miskin. Peningkatan pendapatan perkapita dalam level yang lebih rendah seperti keluarga akan mampu memberikan kesempatan bagi anggata rumah tangga untuk memperoleh tingkat pendidikan dan kesehatan yang lebih layak. Peningkatan pendidikan seorang indivudu dengan sendirinya akan meningkatkan kualitas dan kemampuan dari invidu tersebut untuk memperoleh penghidupan yang lebih layak. Peningkatan standar hidup dari seseorang akan mengangkat individu tersebut keluar dari garis kemiskinan (kemiskinan absolut) dengan demikian secara keseluruhan peningkatan pendapatan per kapita diharapkan akan mampu mengurangi angka kemiskinan terutama di kabupaten penghasil migas.

23 70 Koefisien variabel PDRB perkapita yang diperoleh dari persamaan 1 mempunyai arah yang sama dengan persamaan 3. Hasil yang berbeda ditunjukkan persamaan 2 yang memiliki arah koefisien yang berbeda dengan dua persamaan sebelumnya. Pada daerah yang struktur ekonominya didominasi sektor pertambangan migas peningkatan pendapatan perkapita justru meningkatkan persentase penduduk miskin. Hal ini terjadi karena peningkatan PDRB perkapita tidak seluruhnya mampu dinikmati oleh sebagian besar penduduk di wilayah tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi akibat peningkatan nilai tambah dari sektor pertambangan migas hanya memberi dampak relatif kecil mengingat penyerapan tenaga kerja di sektor ini (pertambangan migas) jauh lebih sedikit dibanding sektor lain seperti pertanian maupun industri. Hasil dari dari sektor pertambangan migas lebih berupa dana bagi hasil yang tidak sepenuhnya mampu dinikmati oleh sebagian besar penduduk di wilayah tersebut. Variabel dana bagi hasil pada persamaan 1 tidak signifikan mempengaruhi penurunan kemiskinan di daerah penghaasil migas. Hal ini diduga karena sebagian besar dana bagi hasil tidak dialokasikan untuk berbagai program pengentasan kemiskinan, kalaupun ada jumlahnya relatif terbatas sehingga kurang mampu memberikan dampak yang signifikan bagi pengurangan penduduk miskin. Pada sebagian besar daerah penghasil terutama yang berada di Provinsi Kalimantan Timur dan Riau, sebagian besar anggaran daerah digunakan untuk belanja rutin dan porsi terbesar (60-80%) adalah untuk gaji pegawai. Variabel populasi pada persamaan 1 diketahui signifikan mempengaruhi kemiskinan dengan koefisien bertanda positif yang berarti bahwa peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan persentase orang miskin. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesa yang ada bahwa peningkatan populasi yang tidak terkendali akan meningkatkan jumlah orang miskin di suatu daerah. Peningkatan penduduk sebanyak 1 juta orang maka akan meningkatkan persentase penduduk miskin sebesar 8.2 persen (cateris paribus). Hasil ini menunjukkan perlunya pemerintah mengontrol pertambahan penduduk, yang memang relatif besar di keluarga miskin. Untuk itu, diperlukan penggalakan kembali program Keluarga Berencana dengan fokus pada keluarga miskin (Siregar dan Wahyuniarti, 2008).

24 71 Pertambahan penduduk yang cepat cenderung berdampak negatif terhadap penduduk miskin, terutama yang paling miskin; mereka yang tidak mempunyai lahan atau alat produksi sendiri biasanya merupakan korban pertama dari langkahlangkah penghematan anggaran pemerintah seperti ketika pemerintah terpaksa membatasi dana untuk program-program kesehatan dan pendidikan. (Todaro dan Smith, 2006). Peningkatan penduduk terutama di keluarga miskin akan semakin memiskinkan penduduk. Hal ini terjadi karena semakin beratnya beban ekonomi harus yang ditanggung oleh suatu keluaga dengan jumlah anggota keluarga yang lebih banyak. Variabel populasi pada persamaan 2 dan 3 mempunyai arah yang sama dengan persamaan 1. Perbedaan terjadi hanya pada besarnya nilai koefisien dari masing-masing persamaan. Dari ketiga persamaan yang ada, persamaan 3 mempunyai pengaruh pertambahan penduduk yang paling besar terhadap peningkatan penduduk miskin. Variabel persentase pengangguran pada persamaan 1 signifikan mempengaruhi kemiskinan dengan koefisien bertanda positif. Hal ini berarti bahwa peningkatan persentase pengangguran akan meningkatkan persentase penduduk miskin di suatu wilayah. Pada persamaan 1 terlihat bahwa peningkatan pengangguran sebesar 1 unit akan meningkatkan penduduk miskin sebanyak 0.25 unit (cateris paribus) dengan kata lain setiap peningkatan 1 persen pengangguran maka akan menambah jumlah penduduk miskin sebanyak 0.25 persen. Besarnya pengaruh variabel penggangguran terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa sebagian rumah tangga di daerah penghasil migas memiliki ketergantungan yang sangat besar atas pendapatan gaji/upah yang diperoleh saat ini. Hilangnya lapangan perkerjaan (diperlihatkan dengan meningkatkan angka pengangguran) menyebabkan berkurangnya sebagian besar penerimaan yang digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Lebih jauh, jika masalah pengangguran ini terjadi pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah (terutama pada kelompok masyarakat dengan pendapatan hanya sedikit berada diatas garis kemiskinan) maka insiden pengangguran akan dengan mudah menggeser posisi mereka menjadi kelompok masyarakat miskin.

25 72 Kondisi kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang rentan ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah baik pusat maupun daerah. Pemerintah diharapkan lebih cepat tanggap terhadap berbagai kondisi ekonomi yang berkembang saat ini. Pemberlakuan area bebas perdagangan antara China dan ASEAN (CAFTA/China ASEAN Free Trade Area) harus menjadi perhatian serius terutama bagi pemerintah pusat. Pemberlakuan CAFTA ini tentunya akan mengancam keberadaan sejumlah industri yang banyak menyerap tenaga kerja seperti industri tekstil dan pakaian jadi. Sejumlah produk China saat ini mulai membanjiri pasar-pasar termasuk berbagai jenis produk pertanian. Variabel pengangguran dari ketiga persamaan memiliki koefisien yang searah. Hasil analisis data menunjukkan bahwa persamaan 2 mempunyai pengaruh peningkatan pengangguran terhadap jumlah penduduk miskin yang paling besar dibanding 2 persamaan lainnya. Pada persamaan 3 peningkatan 1 persen orang pengangguran akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0.14 persen (cateris paribus). Variabel pengeluaran kesehatan signifikan mempengaruhi kemiskinan dengan koefisien bertanda negatif dengan nilai yang berarti bahwa peningkatan 1 unit pengeluaran kesehatan akan mengurangi persentase penduduk miskin sebanyak unit jumlah penduduk miskin dengan kata lain bahwa peningkatan pengeluaran kesehatan sebesar Rp 1 trilyun maka akan mengurangi jumlah orang miskin sebanyak 9.3 persen (cateris paribus). Variabel pengeluaran kesehatan di daerah yang struktur ekonominya didominasi sektor pertambangan migas (persamaan 2) menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap penurunan kemiskinan. Hal ini diduga karena pengeluaran kesehatan yang dianggarkan relatif terbatas sehingga tidak memberikan dampak yang nyata bagi penurunan angka kemiskinan di wilayah tersebut. Pada studi yang lain, tidak adanya cacat tubuh karena lepra diperkirakan dapat membuat pekerja di India mampu menghasilkan tiga kali lipat (Max dan Shepard, 1989). Selain itu hasil penelitian Strauss dan Thomas (1998) menyimpulkan bahwa kesehatan dan nutrisi memang meningkatkan produktifitas, dimana perbaikan terbesar dinikmati oleh orang-orang yang sebelumnya memiliki pendidikan paling rendah dan paling miskin.

26 73 Peningkatan kesehatan akan berdampak pada peningkatan produktifitas sehingga mampu memperoleh pendapatan yang lebih tinggi sehingga meningkatkan peluang bagi seseorang keluar dari kemiskinan. Implikasinya adalah pemerintah pusat maupun daerah harus mampu menyediakan anggaran kesehatan yang cukup bagi seluruh masyarakat terutama bagi golongan masyarakat miskin. Pemberian Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) bagi masyarakat yang tergolong miskin di kelas III pada Rumah Sakit Pemerintah merupakan salah satu langkah nyata untuk meningkatkan kondisi kesehatan masyarakat. Variabel pengeluaran kesehatan pada persamaan 2 dan 3 memiliki tanda koefisien yang searah dengan persamaan 1. Perbedaan pada ketiga persamaan terletak pada besaran nilai koefisien masing-masing persamaan. Dari ketiga persamaan tersebut, persamaan 2 mempunyai pengaruh pengeluaran kesehatan terhadap penduduk miskin paling besar diantara 2 persamaan yang lain. Hasil yang tidak signifikan pada persamaan 2 menunjukkan bahwa besarnya anggaran kesehatan di wilayah tersebut tidak sepenuhnya mampu menurunkan persentase penduduk miskin yang ada. Hal ini diduga karena besarnya anggaran kesehatan yang ada tidak dialokasikan tepat sasaran. Variabel penduduk yang lulus SMU pada persamaan 1 terbukti signifikan mempengaruhi kemiskinan dengan koefisien bertanda negatif yang berarti bahwa peningkatan jumlah penduduk yang lulus SMU akan menurunkan jumlah orang miskin di suatu daerah. Peningkatan jumlah penduduk yang lulus SMU sebanyak 1 persen akan menurunkan penduduk miskin sebanyak 0.19 persen pada persamaan 1, sebanyak 0.02 persen pada persamaan 2 dan sebanyak persen pada persamaan 3 dengan asumsi variabel yang lain tetap. Hasil ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan memegang peran yang penting menurunkan jumlah penduduk miskin. Kemiskinan erat kaitannya dengan kualitas hidup yang rendah termasuk didalamnya kualitas pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan diharapkan akan meningkatkan produktifitas seseorang yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan orang tersebut. Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Siregar dan Wahyuniati (2008) mengenai pengaruh pertumbuhan ekonomi, populasi, jumlah

GAMBARAN UMUM DAERAH PENGHASIL MIGAS

GAMBARAN UMUM DAERAH PENGHASIL MIGAS IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENGHASIL MIGAS Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari daratan 1.8 juta km 2 dan lautan 7.9 juta km 2. Potensi sumber daya alam Indonesia cukup besar, salah satunya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan alam yang sangat berlimpah. Kekayaan yang terkandung di bumi Indonesia meliputi kekayaan laut berupa hasil ikan dan biota

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Penghitungan kesenjangan pendapatan regional antar kabupaten/kota di Provinsi

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota eranan ekonomi wilayah kabupaten/kota terhadap perekonomian Jawa Barat setiap tahunnya dapat tergambarkan dari salah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada dasarnya pembangunan ekonomi ditujukan untuk mengatasi kemiskinan, penggangguran, dan ketimpangan. Sehingga dapat terwujudnya masyarakat yang sejahtera, makmur,

Lebih terperinci

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR:8003 K/80/MEM/2016 TENTANG PENETAPAN DAERAH PENGHASIL DAN DASAR PENGHITUNGAN

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Kebijaksanaan pembangunan dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam yang berlimpah pada suatu daerah umumnya akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada sumber daya alam yang tidak

Lebih terperinci

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA Abstrak yang berkualitas adalah pertumbuhan yang menciptakan pemerataan pendapatan,pengentasan kemiskinan dan membuka kesempatan kerja yang luas. Di

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pada mulanya pembangunan selalu diidentikkan dengan upaya peningkatan pendapatan per kapita atau populer disebut sebagai strategi pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2010:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dokumen RPJP Provinsi Riau tahun , Mewujudkan keseimbangan

BAB I PENDAHULUAN. dokumen RPJP Provinsi Riau tahun , Mewujudkan keseimbangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan misi pembangunan daerah Provinsi Riau yang tertera dalam dokumen RPJP Provinsi Riau tahun 2005-2025, Mewujudkan keseimbangan pembangunan antarwilayah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini menguraikan gambaran dan analisis terkait dengan implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini juga menjelaskan pengaruh

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota oda perekonomian yang bergulir di Jawa Barat, selama tahun 2007 merupakan tolak ukur keberhasilan pembangunan Jabar.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 1997). Salah satu indikator kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 1997). Salah satu indikator kemajuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam proses pembangunan ekonomi, industrialisasi merupakan salah satu tahap perkembangan yang dianggap penting untuk dapat mempercepat kemajuan ekonomi suatu bangsa.

Lebih terperinci

PENGARUH ALOKASI DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN EKONOMI REGIONAL DI PROVINSI JAMBI

PENGARUH ALOKASI DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN EKONOMI REGIONAL DI PROVINSI JAMBI PENGARUH ALOKASI DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN EKONOMI REGIONAL DI PROVINSI JAMBI T E S I S Oleh : MASRIDA ZASRIATI,SE BP : 09212 06 023 PROGRAM STUDI PERENCANAAN PEMBANGUNAN PROGRAM PASCA SARJANA

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dihitung menggunakan data PDRB Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor keuangan memegang peranan yang sangat signifikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sektor keuangan menjadi lokomotif pertumbuhan sektor riil melalui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri.

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu pertumbuhan, penanggulangan kemiskinan, perubahan atau transformasi ekonomi dan keberlanjutan pembangunan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten induknya yaitu Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi ke

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten induknya yaitu Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi ke BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder periode tahun 2001-2008 yang mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang mempengaruhi pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. serta kesejahteraan penduduk. Kesenjangan laju pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. serta kesejahteraan penduduk. Kesenjangan laju pertumbuhan ekonomi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah tidaklah terpisahkan dari pembangunan nasional, karena pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah masalah yang penting dalam perekonomian suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh suatu negara bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia ( Sadono Sukirno, 1996:33). Pembangunan ekonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia ( Sadono Sukirno, 1996:33). Pembangunan ekonomi daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah suatu usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita dengan cara mengolah kekuatan ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB IV. DINAMIKA KABUPATEN/KOTA PESISIR DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PEMP

BAB IV. DINAMIKA KABUPATEN/KOTA PESISIR DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PEMP BAB IV. DINAMIKA KABUPATEN/KOTA PESISIR DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PEMP Analisis deskriptif dan kuadran dalam penelitian ini digunakan untuk memberikan gambaran mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manfaatnya. Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain

BAB I PENDAHULUAN. manfaatnya. Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan Pembangunan nasional diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya sehingga tercapainya kehidupan yang makmur dan berkeadilan. Perencanaan Pembangunan

Lebih terperinci

BAB V PERBANDINGAN REGIONAL

BAB V PERBANDINGAN REGIONAL BAB V PERBANDINGAN REGIONAL 47 Analisis perbandingan PDRB Kabupaten Empat Lawang dengan kabupaten/ kota lain yang ada di wilayah Sumatera Selatan ini difokuskan dengan menggunakan teknik analisis Tipologi

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

DAMPAK BELANJA DAERAH TERHADAP KETIMPANGAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI JAMBI

DAMPAK BELANJA DAERAH TERHADAP KETIMPANGAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI JAMBI Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi) Jurnal Paradigma Ekonomika Vol. 9, No. 01 April 2014 DAMPAK BELANJA DAERAH TERHADAP KETIMPANGAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI JAMBI Rosmeli * *Dosen Fakultas Ekonomi

Lebih terperinci

PENGARUH BELANJA MODAL, PENGANGGURAN DAN PENDUDUK TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN AGAM DAN KABUPATEN PASAMAN

PENGARUH BELANJA MODAL, PENGANGGURAN DAN PENDUDUK TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN AGAM DAN KABUPATEN PASAMAN PENGARUH BELANJA MODAL, PENGANGGURAN DAN PENDUDUK TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN AGAM DAN KABUPATEN PASAMAN SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Pada Program

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi, infrastrukur dan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses menuju perubahan yang diupayakan suatu negara secara terus menerus dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tenaga kerja merupakan faktor yang sangat krusial bagi pembangunan ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering menjadi prioritas dalam

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI, KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN DI DAERAH PENGHASIL MIGAS HARIYANTO

PERTUMBUHAN EKONOMI, KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN DI DAERAH PENGHASIL MIGAS HARIYANTO PERTUMBUHAN EKONOMI, KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN DI DAERAH PENGHASIL MIGAS HARIYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan membangunan ekonomi setiap negara adalah tercapainya. pembangunan ekonomi yang adil dan merata. Pembangunan ekonomi adalah

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan membangunan ekonomi setiap negara adalah tercapainya. pembangunan ekonomi yang adil dan merata. Pembangunan ekonomi adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan membangunan ekonomi setiap negara adalah tercapainya pembangunan ekonomi yang adil dan merata. Pembangunan ekonomi adalah sebuah usaha untuk meningkatkan

Lebih terperinci

INDEKS KESENJANGAN EKONOMI ANTAR KECAMATAN DI KOTA PONTIANAK (INDEKS WILLIAMSON)

INDEKS KESENJANGAN EKONOMI ANTAR KECAMATAN DI KOTA PONTIANAK (INDEKS WILLIAMSON) BADAN PUSAT STATISTIK KOTA PONTIANAK No : 02/02/6171/Th VI, 12 Pebruari 2008 INDEKS KESENJANGAN EKONOMI ANTAR KECAMATAN DI KOTA PONTIANAK (INDEKS WILLIAMSON) Rata-rata pertumbuhan ekonomi di Kota Pontianak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya makin kaya sedangkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kerangka kebijakan pembangunan suatu daerah sangat tergantung pada permasalahan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten Subang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Riau mempunyai Visi Pembangunan Daerah Riau untuk jangka panjang hingga tahun 2020 yang merupakan kristalisasi komitmen seluruh lapisan masyarakat Riau, Visi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah pada periode

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. utama. Industrialisisasi dimasa sekarang tidak dapat terlepas dari usaha dalam

I. PENDAHULUAN. utama. Industrialisisasi dimasa sekarang tidak dapat terlepas dari usaha dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian dewasa ini masih sering dianggap sebagai penunjang sektor industri semata. Meskipun sesungguhnya sektoral pertanian bisa berkembang lebih dari hanya

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, telah

BAB I PENDAHULUAN. dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, telah terjadi

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan jalan mengolah sumberdaya ekonomi potensial menjadi ekonomi riil

I. PENDAHULUAN. dengan jalan mengolah sumberdaya ekonomi potensial menjadi ekonomi riil 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah usaha meningkatkan pendapatan perkapita dengan jalan mengolah sumberdaya ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui penanaman modal,

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Ketenagakerjaan merupakan isu penting dalam sebuah aktivitas bisnis dan perekonomian Indonesia. Angkatan kerja, penduduk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi di masa lalu telah mengubah struktur ekonomi secara

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi di masa lalu telah mengubah struktur ekonomi secara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan upaya yang dilakukan negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Selama kurun waktu yang cukup panjang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dan potensi daerah. Otonomi daerah memberikan peluang luas bagi

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dan potensi daerah. Otonomi daerah memberikan peluang luas bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga paradigma kebijakan pembangunan nasional sebaiknya diintegrasikan dengan strategi pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengangguran merupakan satu dari banyak permasalahan yang terjadi di seluruh negara di dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini terjadi karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan upaya yang sudah direncanakan dalam melakukan suatu perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota Pada analisis ini hanya melihat dari sisi penerimaan kabupaten/kota di provinsi Aceh. Kinerja keuangaan dari sisi penerimaan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan proses multidimensial yang meliputi perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam kelembagaan (institusi)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan penduduknya. Pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan penduduknya. Pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator dari kemajuan pembangunan, indikator ini pada dasarnya mengukur kemampuan suatu negara untuk memperbesar outputnya

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan indikator

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan indikator BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang lazim dipergunakan untuk melihat keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi sangat penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama

BAB I PENDAHULUAN. Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang diinginkan dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah memiliki kaitan erat dengan demokratisasi pemerintahan di tingkat daerah. Agar demokrasi dapat terwujud, maka daerah harus memiliki kewenangan yang lebih

Lebih terperinci

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi.

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi. Judul : Analisis Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Biaya Infrastruktur, dan Investasi Terhadap Ketimpangan Distribusi Pendapatan Melalui Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Bali Nama : Diah Pradnyadewi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan, meratakan pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Menurut Todaro dan

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Menurut Todaro dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pembangunan ekononomi merupakan serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Menurut Todaro dan Smith (2006) pembangunan

Lebih terperinci

SENSITIVITAS PERTUMBUHAN EKONOMI SUMSEL TERHADAP HARGA KOMODITAS PRIMER; PENDEKATAN PANEL DATA

SENSITIVITAS PERTUMBUHAN EKONOMI SUMSEL TERHADAP HARGA KOMODITAS PRIMER; PENDEKATAN PANEL DATA SUPLEMEN I SENSITIVITAS PERTUMBUHAN EKONOMI SUMSEL TERHADAP HARGA KOMODITAS PRIMER; PENDEKATAN PANEL DATA Perekonomian Sumatera Selatan (Sumsel) berbasis pada sektor-sektor primer. Sektor primer inilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan tantangan tersendiri bagi setiap daerah baik provinsi maupun kota dan kabupaten untuk menunjukkan kemandiriannya. Hal ini sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakekatnya pertumbuhan ekonomi mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah merupakan salah satu usaha daerah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi berkelanjutan. Seluruh negara

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 4.1. Gambaran Umum inerja perekonomian Jawa Barat pada tahun ini nampaknya relatif semakin membaik, hal ini terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi Jawa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ALAT ANALISIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ALAT ANALISIS DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii HALAMAN PERSEMBAHAN... iv PRAKATA... v DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xiii

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. arti yang seluas-luasnya. Akan tetapi untuk mewujudkan tujuan dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. arti yang seluas-luasnya. Akan tetapi untuk mewujudkan tujuan dari pembangunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dalam arti yang seluas-luasnya. Akan tetapi untuk mewujudkan tujuan dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

ANALISA PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PULAU SUMATERA. Etik Umiyati

ANALISA PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PULAU SUMATERA. Etik Umiyati Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi) ANALISA PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PULAU SUMATERA Etik Umiyati ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 2025 merupakan kelanjutan perencanaan dari tahap pembangunan sebelumnya untuk mempercepat capaian tujuan pembangunan sebagaimana

Lebih terperinci

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Nilai konsumsi rumah tangga perkapita Aceh meningkat sebesar 3,17 juta rupiah selama kurun waktu lima tahun, dari 12,87 juta rupiah di tahun 2011 menjadi 16,04 juta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya

I. PENDAHULUAN. setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkembangnya perekonomian dunia pada era globalisasi seperti saat ini memacu setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya saing. Salah satu upaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang terencana dan dilaksanakan secara bertahap. Pembangunan adalah suatu

Lebih terperinci