BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota"

Transkripsi

1 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota Pada analisis ini hanya melihat dari sisi penerimaan kabupaten/kota di provinsi Aceh. Kinerja keuangaan dari sisi penerimaan dilihat dari tiga sisi yaitu melihat kemampuan keuangan daerah yang murni dari PAD, kemampuan keuangan daerah yang berasal dari transfer pemerintah pusat dalam bentuk DBH, dan kemampuan keuangan daerah yang berasal dari transfer yang bersifat bantuan (grant) Sisi Penerimaan Daerah Jika dilihat dari sisi derajat desentralisasi fiskal yang mengukur kemampuan pendapatan asli daerah untuk menunjang keuangan daerah pada kabupaten/kota di Provinsi Aceh sangat kurang. PAD sebagai salah satu indikator kemampuan daerah dalam menggali potensi sumber daya yang ada di daerah masing-masing. Perkembangan rasio PAD terhadap total penerimaan daerah pada tahun untuk pada kabupaten/kota di aceh semakin divergen, dengan ratarata yang semakin meningkat dari 3.40 pada tahun 2005 menjadi 5.09 terlihat bahwa kemampuan penggalian potensi daerah di masing-masing kabupaten/kota masih sangat rendah. Penerimaan PAD tidak sebanding dengan total pendapatan transfer dari pusat, walaupun menunjukan bahwa kemandirian fiskal mulai meningkat tapi sangat rendah. Pada tahun 2004 untuk daerah Pantai Barat, Kabupaten Simelue yang memiliki derajat desentralisasi tertinggi yaitu persen sedangkan yang terendah terdapat di Kabupaten Gayo Lues yaitu 0.93 persen. Sementara itu daerah Pantai Timur derajat desentralisasi tertinggi terdapat di Kota Lhoksumawe sebesar 5.03 persen. Pada tahun 2009 derajat desentralisasi fiskal tertinggi di Kabupaten Aceh Utara dengan nilai persen. Daerah ini merupakan penghasil migas sehingga pajak daerah juga tinggi. Sementara itu derajat desentralisasi terendah pada daerah Pantai Barat tahun 2009 terletak di Kabupaten Aceh Tenggara yaitu 2.28 persen. Secara umum kemampuan daerah Pantai Timur lebih besar dalam mengumpulkan

2 88 pendapatan asli daerah dimana pada tahun 2004 secara rata-rata derajat desentralisasi sebesar 3.24 persen meningkat menjadi 6.13 persen pada tahun 2009, sedangkan daerah Pantai Barat hanya sebesar 3.62 pada tahun 2004 meningkat menjadi 4.06 persen pada tahun Hal ini dikarenakan karena masih banyaknya kegiatan ekonomi yang ada di Pantai Timur selain itu didukung dengan sarana dan prasana infrastruktur yang lebih memadai sehingga kegiatan perekonomian berjalan lebih baik. Hasil penelitian ini tidak selaras dengan hasil penelitian Agustina (2010) terhadap semua kabupaten/kota di Indonesia yang menunjukkan penurunan kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah setelah otonomi. Peningkatan kontribusi di PAD pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Aceh disebabkan adanya UU No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus Aceh sehingga ada penganturan penerimaan daerah yang berbeda dengan Provinsi lainnya. Secara umum peningkatan kontribusi PAD cukup baik 2004 Kab/Kota Barat Timur Persentase Std Dev Rata-rata Sumber : BPS (data diolah) Gambar 18 Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota periode

3 89 Sementara itu derajat potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia kabupaten/kota di Provinsi Aceh yang mencerminkan salah satu indikator peningkatan potensi sumber daya modal dan manusia juga semakin divergen, dimana pada tahun 2004 rata-rata derajat potensi sumber daya sebesar persen meningkat menjadi persen pada tahun 2009 dan tetap katagori kurang Kab/Kota Barat Timur Persentase Std Dev Rata-rata Sumber : BPS (data diolah) Gambar 19 Derajat potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia kabupaten/kota periode di provinsi Aceh. Derajat potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia tahun 2004 tertinggi di Kabupaten Aceh Barat daya yaitu persen untuk daerah Pantai Barat sedangkan daerah Pantai Timur yang tertinggi pada tahun 2004 terdapat di daerah Kabupaten Aceh Tamiang sebesar persen. Kabupaten Aceh Barat memang memiliki pertambangan rakyat dan perkebunan kepala sawit sedangkan Kabupaten Aceh Tamiang selain perkebunan kelapa sawit juga terdapat pertambangan minyak. Semakin meningkatnya menggali potensi sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing daerah juga meningkatkan dana bagi hasil yang

4 90 diterima. Pada tahun 2009 derajat potensi yang tertinggi terdapat di Kabupaten Aceh Utara yaitu persen termasuk katagori sangat baik. Kabupaten ini merupakan salah satu daerah terkaya di provinsi Aceh dengan adanya PT. Pupuk Iskandar Muda dan Arun LNG yang memberikan kontribusi penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak. Secara umum hampir semua kabupaten/kota di Aceh mengalami peningkatan penerimaan dana bagi hasil dari pemerintah pusat. Secara rata-rata derajat potensi sumber daya yang dimiliki Pantai Barat dengan Pantai Timur tidak jauh berbeda. Hal ini diduga karena pendapatan pajak dan bukan pajak yang dimiliki masing-masing daerah tidak jauh berbeda. Pantai Timur yang didominasi pendapatan dari minyak dan gas bumi sedangkan Pantai Barat didominasi dari pertanian dan perkebunan serta sedikit pertambangan. Jika dilihat dari derajat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat kabupaten/kota periode di Provinsi Aceh masih sangat tinggi dengan rata-rata persen pada tahun 2004 dan meningkat menjadi persen. Derajat ketergantungan tertinggi tahun 2004 untuk daerah Pantai Barat terdapat di daerah Kabupaten Gayo Lues yaitu persen. Daerah gayo merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Aceh Tenggara yang hanya mengandalkan hasil bumi seperti kopi, kakao sehingga belum cukup mampu mengisi keuangan daerah dari penerimaan pajak daerah. Sementara itu derajat ketergantungan tertinggi untuk daerah Pantai Timur terdapat di Kota Banda Aceh sedangkan yang terendah di Kabupaten Aceh Utara persen, rendahnya derajat ketergantungan kabupaten Aceh Utara karena cukup besarnya dana bagi hasil sumber daya alam dan sumber daya manusia sedangkan Kota Banda Aceh yang menerima dana alokasi umum dan dana alokasi khusus yang besar dari pusat pemerintahan sehingga banyak kegiatan yang menjadi prioritas nasional dilakukan oleh pemerintah daerah Kota Banda Aceh melalui dana alokasi khusus. Sementara itu derajat ketergantungan daerah tahun 2009 semakin tinggi. Untuk daerah Pantai Timur Kabupaten Pidie merupakan daerah yang memiliki jumlah penduduk miskin terbesar dan merupakan daerah konflik sehingga banyak bangunan yang rusak akibat konflik tersebut sangat tinggi ketergantungan terhadap transfer dari pusat yaitu persen sedangkan yang terendah masih terdapat di Kabupaten Aceh Utara yaitu persen. Sedangkan daerah Pantai

5 91 Barat derajat ketergantungan tertinggi terdapat di Kabupaten Aceh Singkil sebesar persen. Tingginya derajat ketergantungan pada Kabupaten Aceh Singkil dikarenakan kurangnya sumber daya alam di daerah ini sehingga penggalian potensi penerimaan daerah masing sangat rendah. Selain itu posisi daerah yang terpencil menyebabkan kegiatan ekonomi kurang berjalan maksimal. Secara ratarata derajat ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana transfer dari pusat lebih besar di daerah Pantai Barat yaitu persen pada tahun 2009 sedangkan daerah Pantai Timur hanya persen Kab/Kota Barat Timur Persentase Std Dev Rata-rata Sumber : BPS (data diolah) Gambar 20 Derajat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat kabupaten/kota periode Sisi Pengeluaran Daerah Penerimaan daerah baik dari PAD maupun dana transfer dari pemerintah pusat menjadi sumber pembiayaan pelaksaan pembangunan daerah. Pengalokasian anggaran yang tepat sasaran dan skala prioritas akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah tersebut. Belanja pembangunan yang tinggi dari pada belanja aparatur lebih bermanfaat dalam memperbaiki sarana dan prasarana

6 92 pembangunan karena manfaatnya dirasakan oleh masyarakat banyak. Peningkatan sarana dan prasarana infrastruktur, pendidikan dan kesehatan yang baik dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat tersebut. Penerimaan daerah baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan menjadi sumber pembiayaan daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah. Pelaksanaan pembangunan tergantung pada kebijakan dari masing-masing pemerintah daerah, yang diwujudkan dalam pengalokasian belanja daerah. Alokasi belanja yang disusun mencerminkan pola-pola kebijakan, prioritasprioritas dan program-program pembangunan suatu daerah untuk setiap tahunnya (Priyarsono et al 2008). Perbedaan kebijakan pemerintah daerah dalam mengalokasikan belanja daerah, disebabkan karena setiap daerah memiliki kebijakan masing-masing yang menjadi prioritas pembangunan daerahnya. Pada diagram dotplot terlihat bahwa belanja rutin cenderung meningkat dengan rata-rata pada tahun 2004 sebesar persen. Pengeluaran rutin tertinggi untuk Pantai Timur terdapat di daerah Kota Banda Aceh dengan persen. Tingginya belanja rutin di Kota Banda Aceh karena merupakan pusat pemerintahan Provinsi Aceh sehingga sarana dan prasarana telah lengkap. Daerah yang memiliki belanja rutin terendah di Kabupaten Aceh Timur yaitu persen. Rendahnya belanja rutin di Kabupaten Aceh Timur karena daerah ini merupakan wilayah konflik yang banyak anggaran yang digunakan untuk memperbaiki sarana dan prasarana yang rusak akibat konflik tersebut. Pada daerah Pantai Barat belanja rutin tertinggi pada tahun 2004 terdapat di Kabupaten Nagan Raya sebesar persen. Belanja rutin pada tahun 2009 cenderung meningkat menjadi persen. Daerah Pantai Timur yang tertinggi pengeluaran rutin yaitu Kabupaten Aceh Besar persen. Kabupaten Aceh Besar walaupun merupakan salah satu daerah yang rusak parah akibat gempa dan tsunami, akan tetapi sarana dan prasarana yang rusak banyak dibangun kembali oleh pemerintah pusat dan bantuan luar negeri karena wialayah yang terkena becana terletak di dekat pusat

7 93 pemerintahan Provinsi Aceh sehingga belanja pembangunan yang menggunakan dana daerah tidak besar. Pada daerah Pantai Barat derajat pengeluaran rutin tertinggi terdapat di Kabupaten Aceh Selatan sebesar persen. Sementara itu Kabupaten Aceh Jaya yang memiliki pengeluaran rutin terendah persen. Kabupaten ini merupakan daerah terparah yang terkena gempa dan tsunami dan jauh dari pusat pemerintahan sehingga masih mengandalkan keuangan daerah untuk membangunan. Selain itu daerah ini merupakan daerah pemekaran baru pada tahun 2001 sehingga dana yang digunakan masih banyak digunakan untuk membangun sarana dan prasarana pemerintahan dan ekonomi Kab/Kota Barat Timur Persentase Std Dev Rata-rata Sumber : BPS (data diolah) Gambar 21 Derajat belanja rutin kabupaten/kota periode Secara rata-rata belanja rutin daerah Pantai Timur lebih tinggi dibanding dengan daerah Pantai Barat. Pada tahun 2004 rata-rata belanja rutin daerah Pantai Barat sebesar persen jauh dibawah daerah Pantai Timur yang mencapai persen. Pada tahun 2009 rata-rata belanja rutin Pantai Timur meningkat

8 94 menjadi persen sedangkan daerah Pantai Barat sebesar persen. Tingginya belanja rutin daerah Pantai Timur diduga karena sudah baiknya sarana dan prasarana perekonomian di daerah Pantai Timur umumnya sehingga belanja yang digunakan banyak diserap untuk kesejahteraan pegawai dibandingkan untuk pembangunan. Sementara itu jika dilihat dari sisi belanja pembangunan pada kabupaten/kota di Provinsi Aceh sejak tahun 2005 sebesar persen dan cenderung menurun menjadi persen tahun Semakin menurunnya belanja pembangunan akan memberikan dampak yang negatif pada tahun-tahun berikutnya karena menurunya dana untuk perbaikan sarana dan prasarana untuk menunjang proses kegiatan ekonomi di daerah tersebut Kab/Kota Barat Timur Persentase Std Dev Rata-rata Sumber : BPS (data diolah) Gambar 22 Derajat belanja pembangunan kabupaten/kota periode Pada tahun 2004 persentase pengeluaran pembangunan pada daerah Pantai Barat yang terbesar di Kabupaten Aceh Timur yaitu persen. Sementara itu pada tahun yang sama pengeluaran pembangunan terkecil yaitu Kota Banda Aceh

9 95 sebesar persen. Sementara itu pada tahun yang sama daerah Pantai Barat yang tertinggi belanja pembangunannya terdapat di Kabupaten Simelue yaitu sebesar persen. Pada tahun 2009 belanja pembangunan tertinggi pada Kabupaten Aceh Jaya sebesar persen dan terendah di Kabupaten Aceh Besar persen. Tingginya belanja pembangunan pada Kabupaten Aceh Jaya pada tahun 2009 diduga karena banyaknya kerusakan sarana dan prasana perekonomian saat terjadi gempa dan tsunami yang melanda Provinsi Aceh, mengingat pusat gempa yang terjadi memang berada di Kabupaten Aceh Jaya, sehingga dana yang terserap banyak digunakan untuk perbaikan sarana tersebut. Sementara itu untuk melihat kemandirian fiskal suatu daerah dapat diukur dengan menggunakan rumus pendapatan asli daerah dan bagi hasil pajak ditambah bukan pajak terhadap total belanja daerah. Semakin besar nilai derajat kemandirian mengindikasikan bahwa daerah tersebut mampu menjalankan roda perekonomian dengan mengandalkan potensi daerah. Jika dilihat dari rata-rata derajat kemandirian fiskal adanya kecenderungan peningkatan dari tahun 2004 sebesar persen meningkat menjadi persen. Peningkatan ini mengindikasikan bahwa adanya perbaikan penerimaan daerah untuk mendukung proses pembangunan. Untuk daerah Pantai Barat, Kabupaten Aceh Barat Daya pada tahun 2004 memiliki derajat kemandirian fiskal paling tinggi yaitu persen. Kabupaten Simelue merupakan daerah pemekaran baru pada tahun 1999 sehingga proses pembangunan pada awal-awal pemekaran masih mengandalkan keuangan daerah yang didapat dari pajak perikanan dan pertanian yang merupakan basis ekonomi daerah ini. Sementara itu Kabupaten Aceh Singkil pada tahun 2004 memiliki derajat kemandirian fiskal terendah yaitu persen. Hal ini diduga karena potensi sumber penerimaan daerah daerah yang rendah dibandingkan dengan total belanja daerah. Sementara itu pada tahun 2004 daerah Timur yang memiliki derajat kemandirian tertinggi terdapat di Kota Sabang sebesar persen. Pada tahun 2009 untuk daerah Pantai Barat Kabupaten Aceh Barat Daya masih memiliki derajat kemandirian tertinggi yaitu persen sedangkan yang terendah masih di Kabupaten Aceh Singkil.

10 96 Pada tahun 2009 daerah Pantai Timur yang memiliki derajat kemandirian tertinggi terdapat Kabupaten Aceh Utara yaitu persen. Hal ini diduga besarnya sumbangan pajak dari sektor pertambangan minyak dan gas bumi. Secara rata-rata derajat kemandirian daerah Pantai Timur lebih tinggi dibandingkan dengan daerah Pantai Barat seriring berjalanya proses pembangunan. Pada tahun 2004 rata-rata derajat kemandirian Pantai Timur mencapai persen sedangkan Pantai Barat sebesar persen. Namun pada tahun 2009 derajat kemandirian Pantai Timur meningkat menjadi persen sedangkan daerah Pantai Barat hanya persen Kab/Kota Barat Timur Persentase Std Dev Rata-rata Sumber : BPS (data diolah) Gambar 23 Derajat kemandirian kabupaten/kota periode Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pendapatan Perkapita Pengeluaran pemerintah daerah yang diterima berbagai sumber pendapatan memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap pembentukan nilai tambah bruto. Pertumbuhan nilai tambah yang lebih besar terhadap pertumbuhan penduduk,

11 97 maka akan meningkatkan pendapatan perkapita. Pengaruh pengeluaran pemerintah daerah di sektor infrastruktur, kesehatan dan pendidikan diestimasi dengan menggunakan analisis regresi berganda dengan data panel. Metode penelitian ini menggunakan adalah metode random effect. Pemilihan model antara metode fixed effect dan random effect dilakukan dengan pengujian Hausman test. Hasil pengujian Hausman test dapat dilihat pada Tabel 24, yang menunjukkan bahwa untuk periode penelitian nilai chi square lebih 2 2 kecil daripada chi square tabel ( hitung ) sehingga tidak cukup bukti menolak Ho. Dengan demikian estimasi menunjukkan bahwa pendekatan random tabel effect lebih baik dibandingkan dengan pendekatan fixed effect. Tabel 24 Uji Hausman Hipotesis Penelitian Kesimpulan Ho : random effect Terima Ho Keterangan : signifikan pada a = 5% Hasil estimasi yang dilakukan pada periode menunjukkan variabel-variabel rasio pengeluaran pemerintah daerah terhadap pendapatan perkapita. Hasil pengujian dengan metode random effect dirangkum dalam tabel 24. Tabel 25 menunjukkan bahwa koefisien determinasi (R 2 ) sebesar persen. Koefisien ini menunjukkan bahwa persen variasi pendapatan perkapita ditentukan oleh rasio pengeluaran infrastruktur, rasio pengeluaran kesehatan, dan rasio pendidikan, sedangkan selebihnya persen ditentukan faktor lain. Hasil estimasi Tabel 25 menunjukan rasio pengeluaran infrastruktur dan rasio pengeluaran kesehatan tidak berpengaruh secara statistik terhadap peningkatan pendapatan perkapita. Tabel 25 Hasil estimasi dampak rasio pengeluaran pemerintah daerah terhadap pendapatan perkapita (LnPDRBP) Variable Coefficient t-statistic P-value R square (R 2 ) LnINF LnKES LnPDD DLnPDD C Sumber : data diolah

12 98 Hasil estimasi membuktikan bahwa rasio pengeluaran pendidikan tersebut berpengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan perkapita. Hubungan antara komponen rasio pengeluaran pemerintah dengan pendapatan perkapita dapat digambarkan dalam persamaan berikut : LnPDRBP it = a i + ß 1 LnINF it + ß 2 LnKES it + ß 3 LnPDD it + ß 4 DLnPDD it + e it..(5.1) = a * i LnINF it LnKES it LnPDD it DLnPDD it....(5.2) Penjelasan dari model diatas adalah : (1) setiap kenaikan 1 persen rasio pengeluaran pendidikan akan meningkatan pendapatan perkapita sebesar persen untuk daerah Pantai Barat ceteris paribus, (2) Hasil gabungan antara koefisien interaksi rasio pengeluaran pendidikan untuk Pantai Timur dengan koefisien rasio pendidikan dapat dijelaskan bahwa setiap kenaikan rasio pengeluaran pendidikan sebesar 1 persen akan meningkatkan pendapatan perkapita sebesar persen cetiris paribus pada daerah Pantai Timur. Hasil estimasi ini menunjukan bahwa pengeluaran pendidikan Pantai Barat memberikan pengaruh yang lebih besar dalam meningkatkan pendapatan perkapita dan mengindikasikan daerah Pantai Barat memerlukan peningkatan sumber daya. Hal ini disebabkan oleh sumber daya manusia yang dimiliki daerah Pantai Barat lebih rendah dibanding daerah Pantai Timur sehingga pengeluaran pendidikan lebih diperlukan pada daerah Pantai Barat. Hasil susenas tahun 2009 penduduk 15 tahun keatas yang memiliki ijazah tertinggi untuk tingkat SMA/Aliyah daerah Pantai Barat hanya persen sedangkan daerah Pantai Timur sebesar persen, untuk ijazah diploma 4 dan diatasnya Pantai Barat hanya 3.34 persen jauh dibawah daerah Pantai Timur sebesar 7.86 persen. Pemerintah Aceh secara umum mulai memprioritaskan sektor pendidikan sejak gempa dan tsumani aceh tahun 2004 dengan mengirimkan mahasiswa dari berbagai jenjang untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi di dalam dan luar negeri. Pendidikan menjadi perhatian lebih setelah didukung oleh UUPA no 16/2006 yang menjelaskan bahwa 30 persen dana pembagian hasil dari minyak dan gas bumi di alokasikan untuk sektor pendidikan. Jika dilihat dari jumlah penduduk 15 tahun keatas yang memiliki ijazah tertinggi ada kecenderungan peningkatan pada jenjang pendidikan diploma empat/strata satu keatas dimana

13 99 pada tahun 2004 mencapai 0.94 persen meningkat menjadi 3.58 persen diatas ratarata nasional yang hanya mencapai 3.45 persen pada tahun Model diatas menjelaskan bahwa semakin besar rasio pengeluaran pemerintah yang tujukan langsung kepada masyarakat akan meningkatkan pendapatan perkapita yang pada akhirnya mengurangi ketimpangan pendapatan. Pernyataan ini sesuai dengan penelitian Asri N (2008) yang menunjukkan pengeluaran pemerintah berkorelasi positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi dan berpengaruh terhadap penurunan ketimpangan pendapatan. Sumber : BPS (diolah) Gambar 24 Persentase RT yang menerima pelayanan gratis tahun (%). Jika dilihat pengeluaran kesehatan di Pemerintah Aceh semakin besar dengan memberikan pelayanan gratis kepada seluruh masyarakat yang memegang kartu penduduk Aceh yang dinamakan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). Pemerintah daerah di Provinsi Aceh dalam memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada masyarakat cukup luas cakupannya. Pelayanan gratis kepada rumah tangga pada tahun 2005 mencapai persen jauh diatas rata-rata cakupan nasional yang hanya persen. Cakupan pelayanan kesehatan gratis terus meningkat menjadi persen pada tahun 2009 sedangkan tingkat nasional hanya persen (Gambar 24). Pemerintah kabupaten/kota maupun provinsi di Aceh memang memberikan perhatian lebih terhadap pelayanan kesehatan

14 100 mengingat masih tingginya kematian bayi lahir yang mencapai 31.7 jiwa/1000 kelahiran pada tahun Implikasi lainnya adalah bahwa peningkatan rasio belanja pemerintah daerah efektif dalam menstimulus pendapatan perkapita, melalui peningkatan produk domestik regional bruto. Peningkatan rasio ini juga menjelaskan bahwa perbaikan kondisi sarana dan prasarana serta sosial ekonomi masyarakat akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengeluaran pemerintah daerah pada awal otonomi masih didominasi oleh pengeluaran rutin terutama belanja pegawai sebagai dampak dari pengalihan pegawai pusat ke pemerintah daerah, porsi pembangunan relatif lebih kecil. Pemerintah daerah di Aceh setelah terjadi gempa dan tsunami mendapatkan banyak bantuan untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak, selain itu dana untuk pembedayaan ekonomi, kesehatan, pendidikan juga banyak dari NGO, pemerintah asing, sehingga rasio pengeluaran pemerintah daerah ditambah dengan bantuan asing semakin menstimulus perekonomian Aceh. 5.3 Dampak DAU terhadap Ketimpangan Pendapatan Sementara itu pengaruh transfer dana alokasi umum terhadap ketimpangan pendapatan daerah tergantung daripada rencana kegiatan yang dibuat oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Apabila porsi dana alokasi umum yang merupakan block grant lebih besar untuk belanja barang dan jasa daripada belanja pegawai maka akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan dan perbaikan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya akan menurunkan ketimpangan pendapatan. Pemerintah pusat memberikan dana alokasi umum kepada pemerintah daerah bertujuan untuk memperkecil kesenjangan horizontal antar pemerintah daerah agar pelayanan publik tercapai dengan standar pelayanan minimum. Transfer dari pusat diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menggali potensi lokal. Transfer dana alokasi umum yang diberikan kepada daerah menjadi insentif daerah untuk meningkat kemampuan fiskalnya, sehingga proses pembangunan dapat memberikan hasil terhadap kesejahteraan masyarakat. Peningkatan pembentukan modal daerah akan berdampak terhadap kemampuan daerah untuk

15 101 menarik investasi. Investasi tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah daerah maupun swasta. Metode penelitian dalam mengestimasi dampak DAU terhadap ketimpangan pendapatan yang membedakan antara daerah Pantai Barat dan Pantai Timur menggunakan menggunakan adalah metode panel dinamis. Pengujian spesifikasi model panel data dinamis dalam penelitian ini menggunakan uji Sargan atau yang lebih dikenal dengan Sargan Test of Overidentifying Restriction. Uji Sargan ini digunakan untuk melihat validitas instrumen yang digunakan di dalam model. Hasil uji Sargan terhadap model persamaan panel data dinamis dapat disimpulkan bahwa instrumen/model yang digunakan adalah valid pada tingkat kepercayaan 10 persen. Kesimpulan tersebut didasarkan pada nilai p-value pada model persamaan yang digunakan. Nilai p-value pada model pengaruh dana alokasi umum terhadap ketimpangan adalah Hasil tersebut merujuk pada kesimpulan bahwa tidak cukup bukti secara statistik untuk menolak Ho, sehingga disimpulkan bahwa instrumen/model valid secara statistik. Tabel 26 Hasil estimasi dampak DAU, pendapatan perkapita, populasi, dan D 0 DAU terhadap Gini Ratio dengan SYS-GMM Parameters Coefficient P-Vaue Sargan Test ABm1 ABm2 LnGini i,t LnDAU LnPDRBP LnPOP D 0 LnDAU C Implied? Sumber : data diolah Model estimasi dampak dana alokasi umum antara daerah Pantai Barat dengan Pantai Timur terhadap ketimpangan pendapatan dapat digambarkan sebagai berikut : LnGini i,t = a i + ß 0 LnGini i,t-1 +ß 1 LnDAU i,t +ß 2 LnPDRBP i,t +ß 3 LnPOP i,t +ß 4 D 0 LnDAU i,t + e it...(5.3) LnGini i,t = a i * LnGini i,t LnPDRBP i,t LnPOP i,t D 0 LnDAU i,t..(5.4)

16 102 Model SYS-GMM dengan koefisien lag yaitu berada diantara koefisien lag fixed effect yaitu dengan koefisien lag oedinary least square (OLS) dengan nilai , maka model SYS-GMM ini tidak bias. Hasil lengkap di Lampiran 7. Interpretasi model diatas menyebutkan bahwa : (1) nila koefisien lag gini yang kurang dari 1 menunjukan adanya proses konvergensi, sedangkan yang lebih dari 1 menunjukan bahwa ketimpangan pendapatan kabupaten/kota persisten. Model panel dinamis SYS-GMM menunjukan koefisien Gini t-1 adalah mengindikasikan adanya konvergensi ketimpangan pendapatan di antara kabupaten/kota di Provinsi Aceh, dengan konvergensi sebesar persen. (2) setiap kenaikan 1 persen pendapatan perkapita akan menurunkan ketimpangan sebesar persen. Jika dihubungkan dengan hipotesis kuznets yang menjelaskan bahwa pada awal proses pembangunan maka peningkatan pendapatan akan meningkatkan ketimpangan pendapatan, namum seiring dengan proses pembangunan maka peningkatan pendapatan perkapita menurunkan ketimpangan karena adanya spillover hasil pembangunan. Jika dilihat dari persamaan diatas, maka proses pembangunan di Provinsi Aceh sudah sampai tahap jangka panjang karena dengan peningkatan pendapatan perkapita menurunkan ketimpangan pendapatan. Variabel interaksi dummy daerah Pantai Barat dan Pantai Timur juga berpengaruh signifikan. Dampak rasio dana alokasi umum daerah Pantai Barat terhadap penurunan ketimpangan sebesar artinya setiap kenaikan 1 persen rasio DAU/APBD akan menurunkan ketimpangan sebesar persen, sedangkan daerah Pantai Timur dampak rasio DAU/APBD terhadap ketimpangan sebesar artinya setiap kenaikan 1 persen rasio DAU/APBD akan menurunkan ketimpangan sebesar persen ketimpangan. Penelitian ini menunjukan bahwa dampak dana alokasi umum terhadap penurunan ketimpangan lebih besar daerah Pantai Barat dibanding dengan Pantai Timur. Hal ini terjadi karena secara rata-rata porsi penerimaan dana alokasi umum terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah di Pantai Barat lebih besar, sehingga dapat menutupi celah fiskal daerahnya. Implikasi lainnya adalah dengan dengan penerimaan yang memadai terhadap belanja daerah, maka proses pembangunan dapat dijalankan yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai

17 103 tambah ekonomi yang pada akhirnya menurunkan ketimpangan pendapatan. Ratarata rasio dana alokasi umum terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah Pantai Barat meningkat dari tahun 2004 sebesar 0.62 menjadi Sumber : BPS (diolah) Gambar 25 Rata-rata rasio DAU/APBD daerah Pantai Barat dan Pantai Timur tahun Sementara itu jika dilihat dari kegiatan perekonomian di Pantai Barat mulai semakin meningkat. Hal ini terlihat dari share PDRB daerah Pantai Barat yang menunjukan kemajuan terhadap pembentukan total PDRB Provinsi Aceh. Sumber : BPS (diolah) Gambar 26 Share PDRB wilayah Pantai Barat dan Pantai Timur terhadap pembentukan PDRB Provinsi Aceh tahun (Persentase).

18 104 Pada Gambar 26 tahun 2004 kontribusi daerah Pantai Barat terhadap pembentukan nilai tambah Provinsi Aceh sebesar persen meningkat menjadi persen pada tahun Peningkatan kontribusi daerah Pantai Barat disebabkan mulai banyaknya perkebunan yang beroperasi kembali pasca perdamaian Helsinki. Selain itu pada saat ini semakin banyak pertambangan emas baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun pihak swasta di daerah Pantai Barat. Selain itu perbaikan infrastrukstur pendukung proses perekonomian sudah mulai membaik. Hal ini tidak terlepas dari peran serta lembaga asing dalam memberikan bantuan dalam proses rekontruksi dan rehabilitasi pasca tsunami. Perbaikan distribusi ekonomi juga diikuti dengan peningkatan pendapatan perkapita. Rata-rata pendapatan perkapita yang tergabung dengan Pantai Barat menunjukan peningkatan dan hampir menyamai dengan rata-rata pendapatan perkapita daerah Pantai Timur. Rata-rata pendapatan perkapita tahun 2004 daerah Pantai Barat sebesar Rp 4.75 juta sedangkan daerah Pantai Timur sebesar Rp juta. Pada tahun 2009 rata-rata pendapatan perkapita daerah Pantai Barat Rp juta sedangkan daerah Pantai Timur menurun menjadi Rp 9.51 juta (lihat Gambar 27). Sumber : BPS (diolah) Gambar 27 Rata-rata pendapatan perkapita migas Pantai Barat dan Pantai Timur tahun (Juta Rupiah) Penurunan rata-rata pendapatan perkapita daerah Pantai Timur disebabkan oleh menurunnya kontribusi nilai tambah sektor migas di Kabupaten Aceh Utara

19 105 dan industri pengolahan di Kota Lhoksumawe akibat semakin menipis cadangan minyak bumi dan gas pada daerah tersebut. Penurunan pendapatan perkapita tertinggi pada Kabupaten Aceh Utara dari tahun 2004 sebesar Rp juta menjadi Rp juta. Penurunan ini disebabkan oleh tidak beroperasi maksimal PT Pupuk Iskandar Muda karena pasokan gas yang tidak mencukupi dari PT Arun LNG karena cadangan yang semakin menipis. Sumbangan sektor pertambangan dan penggalian di Kabupaten Aceh Utara pada tahun 2004 mencapai Rp milyar dan terus menurun menjadi Rp 1.56 milyar pada tahun Sementara itu sumbangan sektor industri pengolahan di Kota Lhoksumawe pada tahun 2004 sebesar Rp 6.11 milyar terus menurun menjadi Rp 2.46 milyar pada tahun Sementara itu jika pendapatan perkapita seluruh kabupaten/kota digabung, maka terlihat pada digram dotplot pendapatan perkapita dengan migas di Provinsi Aceh juga menunjukkan kearah pemerataan. Hal ini dapat dilihat dari nilai standar deviasi pendapatan perkapita kabupaten/kota pada tahun 2004 sebesar menurun menjadi 5.23 pada tahun Ini mengindikasikan bahwa perbedaan pendapatan perkapita antar kabupaten/kota semakin rendah Kab/ Kota Barat Timur PDRB Perkapita (Juta Rupiah) Rata-rata Stad Dev Sumber : Data PDRB kabupaten/kota berbagai tahun (diolah) Gambar 28 Diagram dotplot PDRB perkapita kabupaten/kota dengan migas di Provinsi Aceh tahun

20 106 Pertumbuhan ekonomi yang baik adalah apabila pertumbuhan tersebut dapat meningkatkan pendapatan perkapita masyarakatnya. Stimulus pengeluaran pemerintah daerah diharapkan dapat meningkatkan perekonomian dengan memberikan porsi pengeluaran yang lebih besar terhadap sektor-sektor yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi, seperti pengeluaran infrastruktur. Selain itu dalam menunjang perekonomian dibutuhkan tenaga sumber daya manusia yang handal, oleh karena itu pengeluaran pemerintah daerah pada sektor kesehatan dan pendidikan perlu ditingkatkan terhadap total pengeluaran daerah untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (lihat Gambar 28). Semakin meratanya distribusi ekonomi yang semakin baik antar daerah di Provinsi Aceh juga terlihat juga dari nilai indeks theil yang semakin rendah. Nilai Indeks Theil PDRB perkapita digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan wilayah, semakin rendah nilai indeks theil maka semakin rendah ketimpangan pendapatan di wilayah tersebut. Tabel 27 Indeks theil PDRB perkapita Provinsi Aceh tahun Tahun Nilai Sumber : PDRB kab/kota tahun (diolah) Pada tahun 2004 nilai indeks theil sebesar 0.49 kemudian terus menurun menjadi 0.17 pada tahun Nilai indeks theil yang semakin menurun selaras dengan peningkatan kontribusi pembentukan nilai tambah pada daerah Pantai Barat dan peningkatan pendapatan perkapita pada daerah tersebut. Sementara itu kontribusi nilai tambah daerah Pantai Timur yang semakin menurun yang diikuti dengan menurunya pendapatan perkapita pada daerah Pantai Timur. 5.4 Implikasi Kebijakan Ketimpangan pendapatan yang merupakan ekses dari ketimpangan pembangunan karena pemerintah tidak memiliki sumber daya yang cukup baik dari sisi fiskal maupun sisi ketersediaan sumber ekonomi untuk mendorong

21 107 perekonomian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, apabila terus dibiarkan akan menimbulkan masalah sosial. Peranan pemerintah daerah sejak dilaksanakanya otonomi daerah semakin dominan, sebagai implikasi dari pemberian kewenangan yang semakin luas kepada pemerintah daerah, daerah dituntut untuk dapat mandiri melaksanakan pembangunan, baik sisi perencanaan maupun sisi pelaksanaannya sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah. Sejalan dengan esensi otonomi daerah,maka besarnya dana yang diterima daerah juga diikuti dengan deskresi yang luas untuk membelanjakan sesuai dengan kebutuhan daerah. Diharapkan agar local government spending akan benar-benar bermanfaat dan menjadi stimulus fiskal bagi perekonomian di daerah dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Oleh karena itu keberhasilan pemerintah daerah dalam mensejahterakan masyarakat tergantung dari pengalokasian belanja daerah terutama pada program atau kegiatan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat (kepentingan publik), sehingga dapat mendorong perekonomian dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan menurunkan penduduk miskin. Kebijakan yang lebih efektif yang sangat diperlukan untuk mengatasi ketimpangan pendapatan di aceh adalah : 1. Meningkatkan akses wilayah terhadap terhadap fasilitas-fasilitas yang menunjang kegiatan ekonomi dan kemajuan teknologi. Pembangunan infrastruktur yang merata akan memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan perekonomian. 2. Pemerintah kabupaten/kota harus melengkapi kerangka hukum untuk memastikan bahwa sumber daya mereka alokasikan secara strategis, bertanggung jawab dan transparan. Pemerintah kabupaten/kota harus menetapkan kerangka kerja peraturan dan mekanisme perencanaan partisipatif yang sesuai serta prosedur pembukuan dan pelaporan yang akurat dan tepat waktu. Di samping itu, mereka harus mempersiapkan dan melaksanakan mekanisme pemantauan dan pengawasan yang independen dan transparan 3. Investasi untuk aparat administratif secara nyata harus menghasilkan peningkatan efisiensi yang selayaknya. Apabila peningkatan efisiensi

22 108 tidak mendukung untuk dilakukanya investasi, sumber daya harus dialihkan kepada layanan masyarakat. Keuntungan dari menginvestasikan dana publik untuk meningkatkan layanan masyarakat dampaknya lebih besar daripada pembangunan gedunggedung baru untuk administrasi umum. Pemberian dana alokasi umum sesuai dengan formulasinya yang bertujuan untuk memperkecil kesenjangan fiskal diharapkan kedepan semakin maksimal pemanfaatannya sesuai dengan konsep otonomi daerah tidak lagi dibebani dengan kepentingan dan tujuan lain yang besifat politik/teknis. Berdasarkan konsep grand design desentralisasi fiskal, maka formulasi dana alokasi umum perlu perbaikan, yaitu : 1. Menghindari campur tangan politik dalam penetapan DAU adalah dengan membentuk lembaga independen yang melakukan perhitungan DAU 2. Arah kedepan, penggunaan belanja pegawai sebagai variabel untuk alokasi DAU harus ditiadakan 3. Penilaian kebutuhan fiskal dalam formulasi DAU tidak lagi menggunakan proxy, namun telah menggunakan alat ukur yang lebih mencerminkan kebutuhan riil tiap-tiap daerah

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh dan Kementrian Keuangan Republik

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota Pembahasan pengelolaan keuangan daerah dibatasi pada kinerja keuangan yang ditinjau dari sisi penerimaan dan sisi pengeluaran daerah.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini menguraikan gambaran dan analisis terkait dengan implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini juga menjelaskan pengaruh

Lebih terperinci

V. ANALISIS PENGARUH BANTUAN STIMULUS INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL

V. ANALISIS PENGARUH BANTUAN STIMULUS INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL V. ANALISIS PENGARUH BANTUAN STIMULUS INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL 5.1. Hasil Estimasi Analisis mengenai pengaruh bantuan infrastruktur (P2IPDT)

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Otonomi daerah yang berarti bahwa daerah memiliki hak penuh dalam mengurus rumah tangganya sendiri

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Se propinsi

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Se propinsi BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan pengumpulan data yang berupa laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Se propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa sumber-sumber pendapatan daerah yang digunakan untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kerangka kebijakan pembangunan suatu daerah sangat tergantung pada permasalahan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu penyerahan kewenangan yang diberikan dari pemerintah pusat yang mana dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu bentuk harapan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang saat ini dalam masa pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dalam perkembangannya senantiasa memberikan dampak baik positif

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN KESEIMBANGAN PEMBANGUNAN ACEH

EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN KESEIMBANGAN PEMBANGUNAN ACEH EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN KESEIMBANGAN PEMBANGUNAN ACEH i Kebijakan otonomi memberikan peluang bagi daerah provinsi, kabupaten dan kota untuk mengaktualisasi kewenangan dan kemandiriannya dalam penyelenggaraan

Lebih terperinci

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA Pengalihan kewenangan pemerintah pusat ke daerah yang membawa konsekuensi derasnya alokasi anggaran transfer ke daerah kepada pemerintah daerah sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Sejarah perjalanan pembangunan Indonesia, khususnya bidang ekonomi, sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era reformasi ditandai

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan analisis rasio ketergantungan keuangan daerah, simpulan yang

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan analisis rasio ketergantungan keuangan daerah, simpulan yang BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan analisis rasio ketergantungan keuangan daerah, simpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut. 1. Pemerintah Daerah Provinsi Aceh memiliki tingkat

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 60 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Sumbangan Sektor Pertanian terhadap PDRB, Penyerapan Tenaga Kerja, dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah Aceh 5.1.1. Sumbangan Sektor Pertanian terhadap PDRB, dan Penyerapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang menguji teori-teori melalui pengukuran variabel penelitian dengan angka dan melakukan analisis data dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH 7.1 Kebijakan Umum Pengelolaan Pendapatan Daerah Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara bahwa Keuangan Daerah

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Banyak wilayah-wilayah yang masih tertinggal dalam pembangunan.

I. PENDAHULUAN. Banyak wilayah-wilayah yang masih tertinggal dalam pembangunan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak wilayah-wilayah yang masih tertinggal dalam pembangunan. Masyarakat yang berada di wilayah tertinggal pada umumnya masih belum banyak tersentuh oleh program-program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan merupakan acuan utama yang mendeskripsikan

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan merupakan acuan utama yang mendeskripsikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tingkat kesejahteraan merupakan acuan utama yang mendeskripsikan bagaimana sebuah negara berkembang. Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu mistar pengukur yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.32 Tahun 2004 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. berbagai kegiatan pembangunan nasional diarahkan kepada pembangunan yang merata ke

PENDAHULUAN. berbagai kegiatan pembangunan nasional diarahkan kepada pembangunan yang merata ke PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan tujuan masyarakat yakni kesejahteraan yang adil dan makmur. Sejalan dengan tujuan tersebut berbagai kegiatan

Lebih terperinci

ANALISIS PEMETAAN KINERJA FISKAL DAN PENGARUH TRANSFER TERHADAP KINERJA KEUANGAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH OLEH KHURUM MAQSUROH H

ANALISIS PEMETAAN KINERJA FISKAL DAN PENGARUH TRANSFER TERHADAP KINERJA KEUANGAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH OLEH KHURUM MAQSUROH H ANALISIS PEMETAAN KINERJA FISKAL DAN PENGARUH TRANSFER TERHADAP KINERJA KEUANGAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH OLEH KHURUM MAQSUROH H14104008 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan proses multidimensial yang meliputi perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam kelembagaan (institusi)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Faktor keuangan merupakan faktor yang paling dominan dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Salah satu kriteria penting untuk

Lebih terperinci

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL PADA KABUPATEN GORONTALO

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL PADA KABUPATEN GORONTALO PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL PADA KABUPATEN GORONTALO HELDY ISMAIL Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu yang berisi sumber pendapatan dan penggunaan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak pulau dan banyak provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota, kecamatan, kelurahan dan dibagi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintahan daerah dapat terselenggara dengan baik karena adanya beberapa faktor sumber daya yang mampu menggerakkan jalannya organisasi pemerintah daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan, meratakan pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah dalam mengelola potensi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan tuntutan reformasi di Indonesia, otonomi daerah mulai diberlakukan. Hal ini salah satunya ditandai dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Derah dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja pengelolaan pemerintahan, Indonesia dibagi menjadi daerah kabupaten dan. sendiri urusan pemerintahan dan pelayanan publik.

BAB I PENDAHULUAN. kerja pengelolaan pemerintahan, Indonesia dibagi menjadi daerah kabupaten dan. sendiri urusan pemerintahan dan pelayanan publik. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan Negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur dan merata berdasarkan Pancasila

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penerapan otonomi daerah memberikan ruang kepada daerah untuk mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga pemberian pelayanan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Kondisi Ketenagakerjaan Aceh kembali membaik, terlihat dari TPAK yang menunjukkan peningkatan dari 61,77% pada Agustus 2012 menjadi 65,56% per Februari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam meningkatkan kesajahteraan seluruh rakyat Indonesia dan pemerataan status ekonomi antara penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan daerah diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70 tahun yang lalu. Pada tahun 1945 1960, ada dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Gambaran pengelolaan keuangan daerah mencakup gambaran kinerja dan pengelolaan keuangan daerah tahuntahun sebelumnya (20102015), serta kerangka pendanaan. Gambaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita, atau yang biasa disebut pertumbuhan ekonomi. Indikator

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita, atau yang biasa disebut pertumbuhan ekonomi. Indikator BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan suatu negara diarahkan pada upaya meningkatkan pendapatan perkapita, atau yang biasa disebut pertumbuhan ekonomi. Indikator yang digunakan untuk melihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dimana Pemerintah

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data).

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data). 31 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data). 3.2 Metode Analisis Data 3.2.1 Analisis Weighted

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik pada tahun 2001 telah menimbulkan dampak dan pengaruh yang signifikan bagi Indonesia (Triastuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232) kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, telah

BAB I PENDAHULUAN. dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, telah terjadi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian Penelitian dilakukan di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Dengan pertimbangan di setiap wilayah mempunyai sumber daya dan potensi dalam peningkatan pertumbuhan

Lebih terperinci

CPDA. Consolidating for Peacefull Development in Aceh FAKULTAS EKONOMI

CPDA. Consolidating for Peacefull Development in Aceh FAKULTAS EKONOMI CPDA Consolidating for Peacefull Development in Aceh FAKULTAS EKONOMI Gambaran Umum 1 Grafik 1. 2 Aceh akan terus memiliki sumber daya keuangan yang besar dalam masa mendatang dari dana otonomi khusus.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk V. PEMBAHASAN 5.1. Kinerja Ekonomi Daerah Kota Magelang Adanya penerapan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mendorong perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

3. METODE. Kerangka Pemikiran

3. METODE. Kerangka Pemikiran 25 3. METODE 3.1. Kerangka Pemikiran Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu serta mengacu kepada latar belakang penelitian, rumusan masalah, dan tujuan penelitian maka dapat dibuat suatu bentuk kerangka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kemandirian Keuangan Daerah 2.1.1.1 Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 bahwa kemandirian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari reformasi. Undang-Undang

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada dasarnya pembangunan ekonomi ditujukan untuk mengatasi kemiskinan, penggangguran, dan ketimpangan. Sehingga dapat terwujudnya masyarakat yang sejahtera, makmur,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur urusan pemerintahan sesuai dengan Undang-undang

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Kebijakan Perhitungan Dana Alokasi Umum TA 2017 DAMPAK PENGALIHAN KEWENANGAN DARI PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI IMPLEMENTASI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyelenggaraan pemerintah daerah sebagai sub sistem pemerintahan Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era reformasi seperti saat ini sangat penting diberlakukannya otonomi daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah agar dapat lebih meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang layak bagi seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, baik negara ekonomi berkembang maupun negara ekonomi maju. Selain pergeseran

Lebih terperinci

POTRET BELANJA PUBLIK ACEH TENGAH TAHUN Public Expenditure Analysis & Capacity Strengthening Program (PECAPP) Takengon, 19 Desember 2013

POTRET BELANJA PUBLIK ACEH TENGAH TAHUN Public Expenditure Analysis & Capacity Strengthening Program (PECAPP) Takengon, 19 Desember 2013 POTRET BELANJA PUBLIK ACEH TENGAH TAHUN 2013 Public Expenditure Analysis & Capacity Strengthening Program (PECAPP) Takengon, 19 Desember 2013 PENERIMAAN DAERAH 2 Penerimaan Aceh Tengah meningkat secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masa sentralisasi pemerintahan telah berakhir diganti dengan otonomi daerah. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, setiap daerah diberi kewenangan yang luas

Lebih terperinci

PECAPP. Now or Never. Pengelolaan Sumber Daya Keuangan Aceh yang Lebih Baik Analisa Belanja Publik Aceh 2012

PECAPP. Now or Never. Pengelolaan Sumber Daya Keuangan Aceh yang Lebih Baik Analisa Belanja Publik Aceh 2012 Now or Never Pengelolaan Sumber Daya Keuangan Aceh yang Lebih Baik Analisa Belanja Publik Aceh 2012 Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Aceh akan menerima lebih dari Rp 100T pada akhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih demokratis menjadi suatu fenomena global termasuk Indonesia. Tuntutan ini mengharuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan menganalisis hubungan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang umumnya digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di dalam suatu daerah dengan ditunjukkan

Lebih terperinci