V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam"

Transkripsi

1 V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun pada masa waktu yang berbeda. Kurun waktu penyajiannya dimulai tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 dengan skop Indonesia, tetapi dengan penekanan pada 21 provinsi terpilih yang menjadi sampel penelitian ini yaitu: Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Bengkulu, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Lampung, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istemewa Yogyakarta, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Maluku, dan Provinsi Papua. Dua belas provinsi yang tidak terpilih sebagai sampel penelitian adalah provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta karena datanya sempilan; Provinsi Jawa Timur, Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Sulawesi Tenggara karena laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada publikasi Kementerian Keuangan tidak lengkap; Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Banten, Provinsi Gorontalo, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Maluku Utara, dan Provinsi Papua Barat karena 7 provinsi ini merupakan provinsi hasil pemekaran, sehingga ada beberapa variabel yang datanya tidak tersedia.

2 Blok Pendapatan Daerah Pajak Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, dan pendapatan lain-lain. Sementara itu, sumber utama dari pendapatan asli daerah bersumber dari Pajak Daerah (PJKD). Perkembangan pajak daerah pada 21 provinsi antara tahun 2004 sampai tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 15. Sementara pajak daerah pada 12 provinsi lainnya di Indonesia tidak digambarkan karena tidak terpilih sebagai sampel penelitian. 0 Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah). Gambar 15. Perkembangan Pajak Daerah pada 21 Provinsi Pajak Daerah (PJKD) dan Non Pajak Daerah (NPJKD) merupakan dua variabel pembentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Gambar 16 adalah konstribusi PJKD dalam PAD di 3 provinsi yang masing-masing mengumpulkan pajak daerah tertinggi dan terendah tahun 2004 sampai tahun 2008.

3 73 0 Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah). Gambar 16. Konstribusi Pajak Daerah Tertinggi dan Terendah dalam Pendapatan Asli Daerah di 21 Provinsi Tahun Berdasarkan gambaran kondisi pajak daerah, maka rata-rata pajak daerah per provinsi dari tahun 2004 sampai 2009 adalah Rp Hal ini menunjukkan adanya varian penarikan pajak antar daerah di Indonesia, sekaligus memberikan gambaran varian potensi perekonomian daerah dalam bentuk Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di masing-masing daerah Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana transfer pusat kepada provinsi dan kabupaten/kota yang akan menjadi pos pendapatan dalam APBD masingmasing. Gambar 17 menunjukkan perkembangan DAU di 21 provinsi. Pada tahun 2005 sebesar Rp adalah sedikit menurun dari tahun 2004 sebesar Rp , tetapi naik secara terus menerus menjadi sebesar Rp pada tahun 2006, sebesar Rp pada tahun 2007, dan sebesar Rp pada tahun 2008.

4 Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah). Gambar 17. Dana Alokasi Umum di 21 Provinsi Tahun Adapun keragaan tentang perkembangan dana alokasi umum yang tertinggi dan terendah di 21 provinsi penelitian antara tahun 2004 sampai tahun 2008, dikombinasi dengan pendapatan asli daerah dan bagi hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP) pada tahun bersamaan, dapat dilihat pada Gambar 18 berikut ini. 0 Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah). Gambar 18. Dana Alokasi Umum Tertinggi dan Terendah Dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun

5 75 Provinsi penerima dana alokasi umum yang menduduki peringkat pertama, kedua, dan ketiga tertinggi adalah Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp , Provinsi Jawa Barat sebesar Rp , dan Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp Sementara provinsi penerima dana alokasi umum yang menduduki peringkat ke 19, 20, dan 21 adalah Provinsi Kalimantan Timur sebesar Rp , Provinsi Bengkulu sebesar Rp , dan Provinsi Riau sebesar Rp Provinsi Kalimantan Timur dan Riau dikenal sebagai penghasil pendapatan yang berasal dari eksploitasi sumberdaya alam, ternyata termasuk sebagai provinsi yang menerima dana alokasi umum terendah. Rendahnya dana alokasi umum Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Riau dikonpensasi dengan alokasi anggaran bagi hasil pajak dan bukan pajak yang cukup besar. Hal ini mengkonfirmasi fungsi dana alokasi umum sebagai dana transfer keuangan pusat ke daerah untuk pemerataan pembangunan, sementara fungsi bagi hasil pajak dan bukan pajak adalah untuk peningkatan pendapatan daerah penghasil pajak dan bukan pajak, terutama bagi hasil pajak dan bukan pajak dari sumberdaya alam Blok Belanja Daerah Belanja Sektor Pendidikan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengamanatkan bahwa belanja sektor pendidikan (BSP) minimal mencapai 20 persen dari total anggaran belanja Pemerintah, namun secara faktual tidak seluruh provinsi melaksanakannya. Tabel 5 menunjukan 3 provinsi dengan alokasi belanja sektor pendidikan tertinggi yaitu Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp (37.32 persen), Provinsi Jawa Barat sebesar Rp (29.85 persen), dan Provinsi

6 76 Sumatera Utara sebesar Rp (26.79 persen). Sementara 3 provinsi dengan belanja sektor pendidikan terendah berurutan hingga yang paling rendah adalah Provinsi Papua sebesar Rp (10.45 persen), Provinsi Maluku sebesar Rp (16,50 persen), dan Provinsi Bengkulu sebesar Rp (19.26 persen). Tabel 5. Provinsi dengan Anggaran Belanja Sektor Pendidikan Tertinggi dan Terendah Tahun Urutan Provinsi Total Belanja Pemerintah Belanja Sektor Pendidikan Persentase 1. Jawa Tengah Jawa Barat Sumatra Utara Papua Maluku Bengkulu Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah). Belanja sektor pendidikan pada 21 provinsi tersebut selama tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 mencapai Rp , atau dibandingkan dengan seluruh belanja Pemerintah di 21 provinsi tersebut pada kurun waktu yang sama sebesar Rp , maka belanja sektor pendidikan mencapai persen dari total anggaran, atau sudah melebihi amanat Undang-Undang Dasar Tahun Perbandingan alokasi belanja sektor pendidikan dengan total belanja Pemerintah pada tahun 2004 sampai tahun 2008 di 21 provinsi penelitian ditunjukkan pada Gambar 19. Terlihat kecendrungan belanja sektor pendidikan dan total belanja Pemerintah menunjukan arah yang sama-sama mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 belanja sektor pendidikan Rp atau persen dari total belanja Pemerintah sebesar Rp ,

7 77 namun sedikit turun pada tahun 2005 menjadi sebesar Rp (25.74 persen), kemudian meningkat cukup tajam berturut turut pada tahun 2006 sebesar Rp atau persen, lalu meningkat menjadi sebesar Rp atau persen pada tahun 2007, lalu pada tahun 2008 meningkat lagi menjadi sebesar Rp atau persen. 0 Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah). Gambar 19. Perbandingan Alokasi Belanja Sektor Pendidikan dan Belanja Pemerintah di 21 Provinsi Penelitian Tahun Kenaikan belanja sektor pendidikan selama 5 tahun, dari semula pada tahun 2004 sebesar Rp menjadi Rp pada tahun Kondisi ini memberikan gambaran jika selama 5 tahun, capaian belanja sektor pendidikan mencapai sekitar 40 persen, atau rata-rata mengalami peningkatan sebesar 8 persen per tahun.

8 Belanja Sektor Kesehatan Alokasi belanja sektor kesehatan (BSK) tidak sebesar belanja sektor pendidikan, rata-rata belanja sektor kesehatan hanya mencapai sepertiga dari belanja sektor pendidikan. Tabel 6 menunjukkan perbandingan antara belanja sektor kesehatan dengan total belanja Pemerintah selama 5 tahun, dari tahun 2004 sampai tahun Tabel 6. Perbandingan Belanja Sektor Kesehatan dengan Total Belanja Pemerintah di 21 Provinsi Tahun Tahun Total Belanja Pemerintah Belanja Sektor Kesehatan Persentase Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (Diolah) Provinsi dengan belanja sektor kesehatan tertinggi dan terendah disajikan pada Gambar Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah). Gambar 20. Belanja Sektor Kesehatan Tertinggi dan Terendah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun

9 79 Nampak bahwa Provinsi Jawa Tengah mengeluarkan belanja sektor kesehatan tertinggi sebesar Rp (9.72 persen dari total belanja Pemerintah sebanyak Rp ), Provinsi Jawa Barat sebesar Rp (7.98 persen), dan Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp (9.04 persen). Provinsi dengan belanja sektor kesehatan rendah hingga terendah adalah Provinsi Jambi sebesar Rp (7.73 persen), Provinsi Bengkulu Rp (10.32 persen), serta Provinsi Sulawesi Utara sebesar Rp (6.67 persen). Provinsi Bengkulu menunjukan perhatian yang tinggi terhadap sektor kesehatan meskipun belanja sektor kesehatannya secara nominal berada pada posisi terendah kedua, tetapi dari sisi persentasi justru tertinggi, bahkan mengalahkan provinsi-provinsi yang menduduki urutan tertinggi secara nominal Blok Permintaan Agregat Variabel endogen dalam blok ini terdiri atas pengeluaran konsumsi rumah tangga (PKRT) dan investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB). Adapun komponen belanja konsumsi Pemerintah (PKP) dan net ekspor (NX) dijadikan variabel eksogen penelitian ini. Penjumlahan dari 4 variabel tersebut disebut dengan produk domestik regional bruto dari sisi pengeluaran (PDRBEXP). Gambar 21 berikut menyajikan proporsi komponen PDRBEXP pada 21 provinsi penelitian. Proporsi komponen PKRT mencapai Rp juta (53 persen PDRBEXP). Komponen lainnya yaitu PKP Rp juta (10 persen). Sementara PMTB sebesar Rp juta (18 persen), dan net ekspor (NX) sebesar Rp juta (19 persen).

10 80 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010a (diolah). Gambar 21. Proporsi Komponen dalam Produk Domestik Bruto dari Sisi Pengeluaran Tahun Blok Penawaran Agregat Variabel endogen dalam blok ini terdiri atas total produksi sektor pertanian (TQST), total produksi sektor industri (TQSI), total produksi sektor bangunan dan infrastruktur (TQSB), serta total produksi sektor lainnya (TQSLL). Penjumlahan dari 4 variabel tersebut disebut dengan produk domestik regional bruto sektoral atau dari sisi penerimaan (PDRSEC). Gambar 22 berikut menyajikan proporsi komponen produk domestik regional bruto sektoral atau sisi penerimaan total di 21 provinsi penelitian dari tahun 2004 sampai dengan tahun Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010b (diolah). Gambar 22. Proporsi Komponen Dalam Produk Domestik Bruto Sektoral Tahun

11 81 Proporsi komponen total produksi sektor pertanian (TQST) sebesar Rp juta (20 persen), total produksi sektor industri (TQSI) sebesar Rp juta (25 persen), total produksi sektor bangunan dan infrastruktur (TQSB) sebesar Rp (5 persen), serta total produksi sektor lainnya (TQSLL) sebesar Rp (50 persen) Blok Tenaga Kerja Variabel endogen dalam blok ini terdiri atas tenaga kerja sektor pertanian (TKST), tenaga kerja sektor industri (TKSI), dan tenaga kerja sektor bangunan dan infrastruktur (TKKSB). Sementara tenaga kerja sektor lainnya (TKKSL) dijadikan variabel eksogen. Keseluruhan dari tenaga kerja sektor tersebut disebut dengan tenaga kerja sektor (TKS). Selanjutnya selisih antara angkatan kerja (AK) dengan tenaga kerja sektor (TKS) disebut pengangguran (U). Gambar 23 menunjukan provinsi dengan persentase jumlah pengangguran terendah dan tertinggi pada tahun Sumber: Balitfo Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2010 (diolah). Gambar 23. Provinsi dengan Pengangguran Terendah dan Tertinggi Tahun 2008

12 82 Provinsi dengan pengangguran terendah adalah provinsi Bali sebesar 3.31 persen, Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 3.73 persen, dan Provinsi Papua sebesar 4.39 persen, sementara pengangguran tertinggi berada di Provinsi Jawa Barat sebesar persen, Provinsi Kalimantan Timur sebesar persen, serta Provinsi Maluku sebesar persen. Provinsi Nusa Tenggara Timur dan provinsi Papua menarik untuk didalami, karena meskipun angka pengangguran rendah, tetapi dapat dikonstantir terserap menjadi tenaga kerja sektor pertanian yang tergolong tenaga kerja mandiri di sektor informal dengan pendapatan rendah dan tidak menentu, sehingga tingkat kemiskinan desa dan kota tetap tinggi Blok Indeks Pembangunan Manusia Rata-Rata Lama Sekolah Rata-rata lama sekolah (RLS) bersama dengan angka melek huruf (AMH) merupakan dua sub komponen pembentuk komponen indeks pendidikan (IP), sementara komponen indeks pendidikan bersama-sama dengan komponen indeks hidup panjang (IHP) dan komponen hidup layak (IHL) adalah 3 komponen pembentuk indeks pembangunan manusia (IPM). Gambar 24 menunjukan provinsi yang memiliki rata-rata lama sekolah tertinggi dan terendah pada tahun 2008, dan Gambar 25 menunjukan perkembangan rata-rata lama sekolah di provinsi tersebut dari tahun 2004 sampai tahun Pada tahun 2008 rata-rata lama sekolah tertinggi berturut-turut adalah Provinsi Kalimantan Timur memiliki rata-rata lama sekolah selama 8.8 tahun, Provinsi Sulawesi Utara memiliki rata-rata lama sekolah selama 8.8 tahun, dan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki rata-rata lama sekolah selama 8.71 tahun. Sedangkan provinsi dengan rata-rata lama sekolah rendah hingga

13 83 terendah adalah Provinsi Kalimantan Barat memiliki rata-rata lama sekolah 6.7 tahun, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki rata-rata lama sekolah selama 6.55 tahun, dan Provinsi Papua memiliki rata-rata lama sekolah selama 6.52 tahun. Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah) dan Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah). Gambar 24. Perbandingan Rata-Rata Lama Sekolah Tertinggi dan Terendah, Pendapatan Per Kapita, dan Persentase Belanja Sektor Pendidikan Tahun 2008 Dibandingkan dengan persentasi belanja sektor pendidikan terhadap total belanja Pemerintah pada tahun 2008, nampaknya rata-rata lama sekolah pada tahun bersamaan tidak mempunyai hubungan kausalitas yang kuat, tetapi sebaliknya rata-rata lama sekolah memiliki hubungan yang kuat dengan pendapatan per kapita per tahun (ICAP). Misalnya Provinsi Kalimantan Timur yang memiliki rata-rata lama sekolah tertinggi, tetapi hanya dengan mengeluarkan belanja sektor pendidikan belanja sektor pendidikan sebanyak

14 persen dari total belanja Pemerintah. Berbeda dengan belanja sektor pendidikan, maka pendapatan per kapita per tahun Provinsi Kalimantan Timur sebesar Rp juta adalah tertinggi di Indonesia tentu memiliki pengaruh yang besar terhadap rata-rata lama sekolah. 0 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah). Gambar 25. Perkembangan Rata-Rata Lama Sekolah Tertinggi dan Terendah Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008 Perkembangan rata-rata lama sekolah dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan tetapi terjadi jurang yang cukup dalam antara 3 provinsi dengan ratarata lama sekolah tertinggi dengan 3 provinsi lainnya yang masuk dalam kelompok dengan rata-rata lama sekolah terendah. Sejak tahun 2005 tren rata-rata lama sekolah cenderung datar, artinya walaupun ada peningkatan rata-rata lama sekolah tetapi dalam bilangan yang kecil sekali, sementara kenaikan belanja sektor pendidikan setiap tahun rata-rata

15 85 mencapai 8 persen, ini menjelaskan bahwa dampak belanja sektor pendidikan terhadap rata-rata lama sekolah tidak signifikan Angka Melek Huruf Angka melek huruf seperti juga rata-rata lama sekolah merupakan sub komponen pembentuk komponen indeks pendidikan, hanya saja bobot angka melek huruf adalah dua per tiga dibandingkan sepertiga bobot rata-rata lama sekolah (BPS, 2008). Gambar 26 menunjukan provinsi yang memiliki angka melek huruf tertinggi dan terendah pada tahun 2008, dan Gambar 27 menunjukan perkembangan angka melek huruf di provinsi tersebut dari tahun 2004 sampai tahun Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah). Gambar 26. Perbandingan Angka Melek Huruf Tertinggi dan Terendah, Persentase Belanja Sektor Pendidikan, dan Rata-Rata Lama Sekolah Tahun 2008

16 86 Secara grafis terlihat bahwa pola hubungan yang searah antara angka melek huruf dengan rata-rata lama sekolah, namun tidak nampak jelas pola hubungan antara angka melek huruf dengan persentase belanja sektor pendidikan, oleh karena itu patut diduga pengaruh rata-rata lama sekolah terhadap angka melek huruf cukup kuat karena sama-sama sebagai indikator output pembangunan manusia, sedang pengaruh belanja sektor pendidikan terhadap angka melek huruf tidak signifikan, karena belanja sektor pendidikan merupakan indikator input pembangunan manusia, sementara angka melek huruf merupakan indikator output pembangunan manusia. Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah). Gambar 27. Perkembangan Angka Melek Huruf Tertinggi dan Terendah Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008 Perkembangan angka melek huruf tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 di Provinsi Sulawesi Utara, Maluku, dan Riau yang memiliki angka melek huruf tertinggi sudah cenderung datar, karena nilainya mendekati 100 persen. Sementara

17 87 angka melek huruf di provinsi yang memiliki angka melek huruf terendah menunjukan tren kenaikan mendekati 90 persen untuk Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Nusa Tenggara Barat, serta angka melek huruf menuju 80 persen untuk Provinsi Papua. Provinsi Sulawesi Utara memiliki sekaligus angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah tertinggi, maka dapat dipastikan akan memiliki indeks pendidikan tertinggi di antara 21 provinsi penelitian. Sebaliknya Provinsi Papua berada pada posisi terendah untuk angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, yang berarti memiliki indeks pendidikan yang terendah pula Angka Harapan Hidup Gambar 28 menunjukkan provinsi yang memiliki Angka Harapan Hidup (AHH) tertinggi dan terendah tahun 2008, sedangkan Gambar 29 menunjukan perkembangan AHH di provinsi tersebut dari tahun 2004 sampai tahun Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah). Gambar 28. Perbandingan Angka Harapan Hidup Tertinggi dan Terendah, Persentase Belanja Sektor Kesehatan, dan Pengeluaran Rumah Tangga Per Kapita Tahun 2008

18 88 Secara grafis tidak terlihat pola hubungan yang searah antara angka harapan hidup dengan belanja sektor kesehatan, dan pengeluaran rumah tangga per kapita (KRTCAP) pada tahun yang bersamaan. Diduga penyebabnya karena indikator angka harapan hidup merupakan indikator output pembangunan manusia, sementara indikator belanja sektor kesehatan dan pengeluaran rumah tangga per kapita sebagai indikator input pembangunan manusia, sehingga kurang kuat hubungan kausalitas satu sama lain dalam tahun yang sama. Pada Gambar 29 di bawah ini menunjukkan perkembangan angka harapan hidup yang cenderung datar bagi provinsi dengan angka harapan hidup tertinggi, dan naik sangat landai bagi provinsi dengan angka harapan hidup terendah. Keadaan ini memberikan konfirmasi bahwa upaya meningkatkan angka harapan hidup perlu perjuangan yang berat, dengan kemajuannya sangat sedikit, meskipun belanja sektor kesehatan dan pengeluaran rumah tangga per kapita ditingkatkan lebih signifikan. Sisi yang menggembirakan adalah secara matematis tidak ada batasan umur tertinggi bagi setiap orang. Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah). Gambar 29. Perkembangan Angka Harapan Hidup Tertinggi dan Terendah Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008

19 89 Dibandingkan dengan perkembangan pengeluaran rumah tangga per kapita pada Gambar 30, terlihat bahwa perkembangan angka harapan hidup pada Gambar 29 memang searah, sehingga patut diduga kenaikan indikator input pembangunan manusia berupa pengeluaran rumah tangga per kapita mempengaruhi belanja keluarga untuk sub komponen maupun komponen Indeks Pembangunan Manusia, termasuk peningkatan angka harapan hidup. Namun, hubungan antara angka harapan hidup dengan pengeluaran rumah tangga per kapita yang searah tersebut tidak dapat diartikan bahwa provinsi yang tinggi pengeluaran rumah tangga per kapitanya dapat dipastikan tinggi pula angka harapan hidupya. Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah). Gambar 30. Perkembangan Pengeluaran Rumah Tangga Per Kapita Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008 Sebagai contoh Provinsi Kalimantan Selatan, kendati provinsi ini membelanjakan pengeluaran rumah tangga per kapita yang tinggi antara Rp hingga Rp per kapita per tahun, tetapi dalam kenyataannya

20 90 angka harapan hidupnya menduduki peringkat kedua terbawah. Sebaliknya, meskipun Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta hanya membelanjakan pengeluaran rumah tangga per kapita antara Rp sampai Rp per kapita per tahun, tetapi angka harapan hidupnya berada pada peringkat pertama tertinggi Daya Beli Daya beli atau disebut dengan purchasing power parity (PPP), merupakan satu satunya komponen pembentuk indeks hidup layak. UNDP menggunakan kemampuan daya beli yang diambil dari pendapatan riil per kapita, sementara Badan Pusat Statistik menggunakan dari perhitungan pengeluaran untuk sejumlah barang konsumsi tertentu yang telah disepakati para ahli. Hasil perhitungan BPS ini yang kemudian digunakan untuk menghitung indeks hidup layak dalam penelitian ini (Badan Pusat Statistik, 2008). Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah). Gambar 31. Perbandingan Kemampuan Daya Beli Tertinggi dan Terendah, Persentase Pengangguran, dan Pengeluaran Rumah Tangga Per Kapita Tahun 2008

21 91 Gambar 31 menunjukkan provinsi yang memiliki kemampuan daya beli tertinggi dan terendah tahun 2008, sedangkan Gambar 32 menunjukan perkembangan kemampuan daya beli di provinsi tersebut dari tahun 2004 sampai tahun Secara grafis kemampuan daya beli mempunyai hubungan kausalitas yang searah dengan pengeluaran rumah tangga per kapita, artinya kenaikan kemampuan daya beli sejalan dengan kenaikan pengeluaran rumah tangga per kapita. Sebaliknya kemampuan daya beli mempunyai arah yang berlawanan dengan pengangguran (U), sehingga setiap kenaikan pengangguran akan menurunkan kemampuan daya beli. Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah). Gambar 32. Perkembangan Daya Beli Tertinggi dan Terendah Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008 Pada Gambar 31 menunjukan provinsi dengan daya beli tertinggi adalah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Riau, dan Provinsi Kalimantan

22 92 Timur. Sedang provinsi dengan daya beli terendah adalah Provinsi Maluku, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan Provinsi Papua. Daya beli mempunyai prilaku yang selalu meningkat dari tahun ke tahun, baik bagi kelompok provinsi dengan daya beli tertinggi, maupun bagi kelompok provinsi dengan daya beli terendah. Jika prilaku komponen daya beli ini dibandingkan dengan prilaku sub komponen rata-rata lama sekolah dan sub komponen angka melek huruf, serta komponen angka harapan hidup yang semuanya mempunyai tren sudah melandai, maka upaya menaikkan indeks pembangunan manusia yang paling realistis dalam jangka pendek adalah melalui peningkatan daya beli. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi untuk menghasilkan pertumbuhan dan pemerataan perekonomian adalah titik bermula dari upaya peningkatan indeks pembangunan manusia secara merata di seluruh Indonesia Indeks Pembangunan Manusia Indeks pembangunan manusia merupakan indeks rata-rata dari hasil penjumlahan komponen indeks pendidikan, indeks hidup panjang, dan indeks hidup layak, yang kesemuanya merupakan variabel-variabel endogen, sehingga indeks pembangunan manusia merupakan variabel endogen pula. Gambar 33 berikut menunjukkan perkembangan Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Riau, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Provinsi Papua, dengan indeks pembangunan manusia tertinggi dan terendah yang dibandingkan dengan masing-masing indeks hidup panjang, indeks pendidikan, dan indeks hidup layak.

23 93 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah). Gambar 33. Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia Tertinggi dan Terendah, Indeks Hidup Panjang, Indeks Pendidikan, dan Indeks Hidup Layak Tahun 2008 Provinsi dengan indeks pembangunan manusia tertinggi adalah provinsi Sulawesi Utara yaitu sebesar 75.16, Provinsi Riau yaitu sebesar 75.09, dan Provinsi Daerah Istemewa Yogyakarta yaitu sebesar Sementara provinsi dengan indeks pembangunan manusia terendah adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu sebesar 66.15, Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu sebesar 64.12, dan Provinsi Papua yaitu sebesar Contoh pengambilan provinsi yang memiliki indeks pembangunan manusia tertinggi dan terendah diharapkan dapat memberikan gambaran tentang perilaku indeks pembangunan manusia dari tahun ke tahun, khususnya dari tahun 2004 sampai tahun Secara lebih lengkap kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 34.

24 94 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah). Gambar 34. Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Tertinggi dan Terendah Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008 Secara grafis terlihat kesenjangan yang cukup dalam antara indeks pembangunan manusia tertinggi dan terendah, serta adanya perbedaan sudut kemiringan antara indeks pembangunan manusia tertinggi dengan terendah. Dengan kata lain, upaya peningkatan indeks pembangunan manusia bagi provinsi berindeks pembangunan manusia tinggi akan lebih sulit dibandingkan dengan peningkatan indeks pembangunan manusia bagi provinsi memiliki indeks pembangunan manusia yang rendah Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota Tingkat kemiskinan desa dan kota (TKDK) merupakan persentasi penduduk miskin di desa dan di kota terhadap total penduduknya. Dengan kata lain, tingkat kemiskinan desa dan kota merupakan seluruh penduduk miskin di suatu wilayah yang memiliki kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan sekaligus.

25 95 Gambar 35 menyajikan tingkat kemiskinan desa dan kota terendah dan tertinggi pada 21 provinsi penelitian. Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah). Gambar 35. Perbandingan Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota Terendah dan Tertinggi dengan Daya Beli Tahun 2008 Secari grafis terlihat hubungan yang berkebalikan antara tingkat kemiskinan desa dan kota dengan daya beli, baik bagi provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah maupun tertinggi. Pada Gambar 36 menunjukan perkembangan kemiskinan di provinsi dengan tingkat kemiskinan desa dan kota terendah maupun tertinggi. Secara grafis terlihat tren yang mendatar untuk penurunan tingkat kemiskinan desa dan kota di provinsi dengan tingkat kemiskinan desa dan kota terendah, sebaliknya nampak tren yang agak curam untuk penurunan tingkat kemiskinan desa dan kota bagi provinsi dengan tingkat kemiskinan desa dan kota tertinggi. Fenomena ini memberikan konfirmasi untuk penanggulangan

26 96 kemiskinan harus fokus pada provinsi dengan tingkat kemiskinan desa dan kota tinggi. Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah). Gambar 36. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Desa Kota Terendah dan Tertinggi Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN 55 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Kerangka Pemikiran Berdasarkan studi pustaka, teori-teori ekonomi makro, dan kerangka logika yang digunakan, terdapat saling keterkaitan antara komponen perekonomian makro

Lebih terperinci

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sampai 2015 menunjukkan kenaikan setiap tahun. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 041/P/2017 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 041/P/2017 TENTANG SALINAN KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 041/P/2017 TENTANG PENETAPAN ALOKASI DANA DEKONSENTRASI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN TAHUN ANGGARAN 2017 MENTERI PENDIDIKAN

Lebih terperinci

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I 1 KATA PENGANTAR Kualitas belanja yang baik merupakan kondisi ideal yang ingin diwujudkan dalam pengelolaan APBD. Untuk mendorong tercapainya tujuan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh penyerapan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU TAHUN 2015 No. 10/02/14/Th. XVII, 5 Februari 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU TAHUN EKONOMI RIAU TAHUN TUMBUH 0,22 PERSEN MELAMBAT SEJAK LIMA TAHUN TERAKHIR Perekonomian Riau tahun yang diukur berdasarkan Produk Domestik

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian 205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

Lebih terperinci

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN Pembangunan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Tahun 2016 PERUMAHAN PERBATASAN LAIN2 00 NASIONAL 685.00 1,859,311.06 46,053.20 4,077,857.49 4,523.00 359,620.52 5,293.00 714,712.50 62,538.00 1,344,725.22

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat menjadi meningkat (Atmanti, 2010). perekonomian. Secara lebih jelas, pengertian Produk Domestik Regional Bruto

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat menjadi meningkat (Atmanti, 2010). perekonomian. Secara lebih jelas, pengertian Produk Domestik Regional Bruto BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi suatu daerah didasarkan pada bagaimana suatu daerah dapat meningkatkan pengelolaan serta hasil produksi atau output dari sumber dayanya disetiap

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan suatu alat yang digunakan untuk mencapai tujuan negara, dimana pembangunan mengarah pada proses untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan.

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan adalah kondisi dimana ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan. Masalah kemiskinan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No.53/09/16 Th. XVIII, 01 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA SELATAN MARET 2016 GINI RATIO SUMSEL PADA MARET 2016 SEBESAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, 2007). Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia dengan luas wilayahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu negara maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai

Lebih terperinci

Nusa Tenggara Timur Luar Negeri Banten Kepulauan Riau Sumatera Selatan Jambi. Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumatera Utara.

Nusa Tenggara Timur Luar Negeri Banten Kepulauan Riau Sumatera Selatan Jambi. Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumatera Utara. LAMPIRAN I ZONA DAN KOEFISIEN MASING-MASING ZONA Zona 1 Zona 2 Zona 3 Zona 4 Zona 5 Zona 6 Koefisien = 5 Koefisien = 4 Koefisien = 3 Koefisien = 2 Koefisien = 1 Koefisien = 0,5 DKI Jakarta Jawa Barat Kalimantan

Lebih terperinci

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) KONSEP 1 Masyarakat Anak Pendidikan Masyarakat Pendidikan Anak Pendekatan Sektor Multisektoral Multisektoral Peserta Didik Pendidikan Peserta Didik Sektoral Diagram Venn:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selama awal perkembangan literatur pembagunan, kesuksesan

BAB I PENDAHULUAN. Selama awal perkembangan literatur pembagunan, kesuksesan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama awal perkembangan literatur pembagunan, kesuksesan pembangunan diindikasikan dengan peningkatan pendapatan per kapita dengan anggapan bahwa peningkatan pendapatan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis Secara astronomis, Indonesia terletak antara 6 08 Lintang Utara dan 11 15 Lintang Selatan dan antara 94 45 141 05 Bujur Timur dan dilalui oleh garis ekuator atau

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu perubahan sosial

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu perubahan sosial BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir. Proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu perubahan sosial budaya. Pembangunan agar

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NOMOR 123 TAHUN 2014 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN

Lebih terperinci

Monitoring Realisasi APBD 2013 - Triwulan I

Monitoring Realisasi APBD 2013 - Triwulan I Monitoring Realisasi APBD 2013 - Triwulan I 1 laporan monitoring realisasi APBD dan dana idle Tahun 2013 Triwulan I RINGKASAN EKSEKUTIF Estimasi realisasi belanja daerah triwulan I Tahun 2013 merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan pembangunan. Pembangunan pada dasarnya adalah suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan pembangunan. Pembangunan pada dasarnya adalah suatu proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu negara maka membutuhkan pembangunan. Pembangunan pada dasarnya adalah suatu proses untuk melakukan

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN BADAN PUSAT STATISTIK No.06/02/81/Th.2017, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO MALUKU PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,344 Pada September 2016,

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN No.54/9/13/Th. XIX, 1 ember 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2016 SEBESAR 0,331 Pada 2016, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 No. 11/02/82/Th. XVI, 1 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 GINI RATIO DI MALUKU UTARA KEADAAN SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,309 Pada September 2016, tingkat ketimpangan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2016 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No.11/02/34/Th.XIX, 6 Februari 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2016 EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2016 TUMBUH 5,05 PERSEN LEBIH TINGGI DIBANDING TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentu dapat menjadi penghambat bagi proses pembangunan. Modal manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. tentu dapat menjadi penghambat bagi proses pembangunan. Modal manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Negara sedang berkembang, pada umumnya memiliki sumber daya manusia (SDM) yang melimpah namun dengan kualitas yang masih tergolong rendah. Hal ini tentu dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk merupakan suatu hal yang penting karena merupakan modal dasar dalam pembangunan suatu wilayah. Sukirno (2006) mengatakan penduduk dapat menjadi faktor pendorong

Lebih terperinci

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 1 PETA KABUPATEN/KOTA KALIMANTAN TIMUR Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 2 BAB 1. PENDAHULUAN Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan propinsi terluas

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017 No. 41/07/36/Th.XI, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017 GINI RATIO PROVINSI BANTEN MARET 2017 MENURUN Pada 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Banten yang diukur

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No.46/07/52/Th.I, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR 0,371 Pada

Lebih terperinci

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor), Babi Aceh 0.20 0.20 0.10 0.10 - - - - 0.30 0.30 0.30 3.30 4.19 4.07 4.14 Sumatera Utara 787.20 807.40 828.00 849.20 871.00 809.70 822.80 758.50 733.90 734.00 660.70 749.40 866.21 978.72 989.12 Sumatera

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2015 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 47/08/34/Th.XVII, 5 Agustus 2015 PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2015 EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II 2015 MENGALAMI KONTRAKSI 0,09 PERSEN,

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016 BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No.39/07/Th.XX, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016 GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR

Lebih terperinci

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : ) ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : ) ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang Abtraksi Dalam melakukan analisis pendaptan terdapat empat rasio yang dapat dilihat secara detail, yaitu rasio pajak ( tax ratio ),rasio

Lebih terperinci

Fungsi, Sub Fungsi, Program, Satuan Kerja, dan Kegiatan Anggaran Tahun 2012 Kode. 1 010022 Provinsi : DKI Jakarta 484,909,154

Fungsi, Sub Fungsi, Program, Satuan Kerja, dan Kegiatan Anggaran Tahun 2012 Kode. 1 010022 Provinsi : DKI Jakarta 484,909,154 ALOKASI ANGGARAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENDIDIKAN YANG DILIMPAHKAN KEPADA GUBERNUR (Alokasi Anggaran Dekonsentrasi Per Menurut Program dan Kegiatan) (ribuan rupiah) 1 010022 : DKI Jakarta 484,909,154

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara yang berkembang, masalah yang sering dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan) distribusi pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah masalah yang penting dalam perekonomian suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh suatu negara bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam yang berlimpah pada suatu daerah umumnya akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada sumber daya alam yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia dianggap sebagai titik sentral dalam proses pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan dikendalikan oleh sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan taraf hidup atau mensejahterakan seluruh rakyat melalui pembangunan ekonomi. Dengan kata

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN No.39/07/15/Th.XI, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR 0,335 Pada Maret 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk

Lebih terperinci

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - TAHUN ANGGARAN 2013 - TRIWULAN III

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - TAHUN ANGGARAN 2013 - TRIWULAN III LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - 1 LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 TRIWULAN III KATA PENGANTAR Kualitas belanja yang baik merupakan kondisi ideal yang ingin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendekatan pembangunan manusia telah menjadi tolak ukur pembangunan. pembangunan, yaitu United Nations Development Programme (UNDP)

BAB I PENDAHULUAN. Pendekatan pembangunan manusia telah menjadi tolak ukur pembangunan. pembangunan, yaitu United Nations Development Programme (UNDP) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sumber Daya Manusia (SDM) adalah kekayaan suatu negara yang dijadikan sebagai modal dasar pembangunan. Pembangunan bertujuan untuk menciptakan lingkungan

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nilai inti untuk memahami pembangunan yang paling hakiki antara lain

BAB I PENDAHULUAN. nilai inti untuk memahami pembangunan yang paling hakiki antara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan semua proses yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana. Pada intinya pembangunan merupakan sebuah upaya atau proses

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2017

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2017 2 BPS PROVINSI DI YOGYAKARTA No 46/08/34/ThXIX, 7 Agustus 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2017 EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II 2017 TUMBUH 5,17 PERSEN LEBIH LAMBAT

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN IV TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN IV TAHUN 2013 BPS PROVINSI LAMPUNG No.06/02/18/Th.XIV, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN IV TAHUN 2013 EKONOMI LAMPUNG TUMBUH 5,97 PERSEN SELAMA TAHUN 2013 Sebagai dasar perencanaan pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu, karena pada

I. PENDAHULUAN. tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu, karena pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang amat penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Perubahan. No.1562, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Perubahan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 13/02/12/Th. XX, 06 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,312 Pada ember

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses pembangunan yang terjadi di suatu daerah. Pengukuran pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat pada besaran Pendapatan Domestik

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NTB No. 12/02/52/Th.X, 5 Februari 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015 EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT PADA TRIWULAN IV 2015 TUMBUH 11,98 PERSEN Sampai dengan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TAHUN 2016 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 09/02/18 Tahun XVIII, 6 Februari 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TAHUN 2016 EKONOMI LAMPUNG TAHUN 2016 TUMBUH 5,15 PERSEN MENGUAT DIBANDINGKAN TAHUN SEBELUMNYA Perekonomian Lampung

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2016 2 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 45/08/34/Th.XVIII, 5 Agustus 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2016 EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II 2016 TUMBUH 5,57 PERSEN LEBIH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 LATAR BELAKANG Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. (Todaro dan Smith)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Pertumbuhan Ekonomi DIY Triwulan III-2017 No. 63/11/Th.XIX, 6 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pertumbuhan Ekonomi DIY Triwulan III-2017 EKONOMI DIY TRIWULAN III-

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I-2016

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 09/05/18/Th.XVII, 4 Mei 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 EKONOMI LAMPUNG TUMBUH 5,05 PERSEN MENGUAT DIBANDINGKAN TRIWULAN I-2015 Perekonomian Lampung triwulan I-2016

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN No.54/09/17/I, 1 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2016 SEBESAR 0,357 Daerah Perkotaan 0,385 dan Perdesaan 0,302 Pada

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai upaya dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah semata-sama

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai upaya dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah semata-sama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan yang diharapkan oleh setiap daerah tidak terkecuali bagi kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bali. Berbagai upaya

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 17 /04/63/Th.XV, 1 April 2011 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI KALIMANTAN SELATAN *) Pada Maret 2011, Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Selatan tercatat 107,64 atau

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

WALIKOTA YOGYAKARTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA WALIKOTA YOGYAKARTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 74 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG STANDARDISASI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAPPENAS. Pelimpahan Urusan Pemerintahan. Gubernur. Dekonsetrasi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAPPENAS. Pelimpahan Urusan Pemerintahan. Gubernur. Dekonsetrasi. Perubahan. No.526, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAPPENAS. Pelimpahan Urusan Pemerintahan. Gubernur. Dekonsetrasi. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan terutama di Negara berkembang, artinya kemiskinan menjadi masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian

Lebih terperinci

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT No. 42 / IX / 14 Agustus 2006 PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2005 Dari hasil Susenas 2005, sebanyak 7,7 juta dari 58,8 juta rumahtangga

Lebih terperinci

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan http://simpadu-pk.bappenas.go.id 137448.622 1419265.7 148849.838 1548271.878 1614198.418 1784.239 1789143.87 18967.83 199946.591 294358.9 2222986.856

Lebih terperinci

Dr. Ir. Sukardi, M.Si

Dr. Ir. Sukardi, M.Si BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Disampaikan Pada Acara : Rapat Koordinasi Pengendalian (RAKORDAL) Triwulan III Tahun Anggaran 2015 Provinsi Kalimantan Tengah Di Aula Serba Guna BAPPEDA

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP KESIMPULAN

BAB VII PENUTUP KESIMPULAN BAB VII PENUTUP KESIMPULAN Pencapaian kinerja pembangunan Kabupaten Bogor pada tahun anggaran 2012 telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal ini terlihat dari sejumlah capaian kinerja dari indikator

Lebih terperinci

TABEL 1 GAMBARAN UMUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT (TBM) KURUN WAKTU 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2011

TABEL 1 GAMBARAN UMUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT (TBM) KURUN WAKTU 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2011 TABEL 1 GAMBARAN UMUM No. Provinsi Lembaga Pengelola Pengunjung Judul Buku 1 DKI Jakarta 75 83 7.119 17.178 2 Jawa Barat 1.157 1.281 72.477 160.544 3 Banten 96 88 7.039 14.925 4 Jawa Tengah 927 438 28.529

Lebih terperinci

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Nilai konsumsi rumah tangga perkapita Aceh meningkat sebesar 3,17 juta rupiah selama kurun waktu lima tahun, dari 12,87 juta rupiah di tahun 2011 menjadi 16,04 juta

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2017 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEBUDAYAAN KEPADA GUBERNUR DALAM PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI

Lebih terperinci

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembar

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.112, 2011 KEMENTERIAN KEUANGAN. DBH. Cukai Hasil Tembakau. Alokasi Sementara. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 /PMK.07/2011 TENTANG ALOKASI SEMENTARA

Lebih terperinci

2017, No telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahu

2017, No telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahu No.740, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDIKBUD. Penyelenggaraan Dekonsentrasi. TA 2017. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2017 TENTANG PELIMPAHAN

Lebih terperinci

PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN Status Gizi Provinsi

PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN Status Gizi Provinsi LAMPIRAN 1 PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013 Status Gizi No Provinsi Gizi Buruk (%) Gizi Kurang (%) 1 Aceh 7,9 18,4

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM), peningkatan angka nominal

I. PENDAHULUAN. Peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM), peningkatan angka nominal I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM), peningkatan angka nominal indeks pembangunan manusia, dan pencapaian sasaran Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA DIREKTORAT FASILITASI DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK BANTEN SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK BANTEN SEPTEMBER 2016 MENURUN No.12/02/Th.XI, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK BANTEN SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,392 Pada ember 2016, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER Provinsi DKI Jakarta TAHUN 2011

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER Provinsi DKI Jakarta TAHUN 2011 No. 07/01/31/Th. XV, 2 Januari 2013 INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER Provinsi DKI Jakarta TAHUN 2011 1. Indeks Pembangunan Gender (IPG) DKI Jakarta Tahun 2011 A. Penjelasan Umum

Lebih terperinci