5 KEEFEKTIVAN TEKNIK RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5 KEEFEKTIVAN TEKNIK RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP"

Transkripsi

1 5 KEEFEKTIVAN TEKNIK RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP ABSTRACT Conflicts of capture fisheries are generally related to the exploitation of scarce fish resources involving certain parties or groups of interest. The aim of the research is to describe the effectiveness of capture fisheries conflict management. Data were obtained through series surveis in the study areas. Principal component analysis and structural equation model were used to verify hypotheses. The main causing factors for conflicts are regulation and law enforcement, the presence of community leaders, competition in the use of resources, perception of the people toward resources, issues among the community and the local economic condition. Meanwhile, the main type of capture fisheries conflicts namely: 1) conflict on fee imposition 2) conflict on anchoring/landing port 3) conflict on fight for fishing ground, 4) conflict on capture tool discrepancy, 5) conflict between local fishers and migrant fishers. The most suitable conflict resolution methods is mediation. The method is positively influential to the participation of sustainable capture fisheries management, but negatively influential to the management of fair capture fisheries. Key words: SEM, PCA, conflict management, capture fisheries. Pendahuluan Konflik muncul ketika keinginan dari dua atau lebih kelompok berbenturan atau berbeda dan sekurang-kurangnya sekelompok dari pihak yang terlibat berupaya memaksakan keinginan kelompoknya pada kelompok lain. Konflik dapat dipandang sebagai sebuah fenomena sosial yang muncul sebagai dampak dari perubahan yang tiba-tiba atau gradual yang memunculkan perbedaan kepentingan atau keinginan diantara kelompok masyarakat. Ketersediaan atau keterbatasan sumberdaya berhubungan erat dengan aktivitas masyarakat. Aktivitas pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dapat dikelompokkan ke dalam sinergistik, komplementer, kompetitif dan antagonistik. Dari ke empat model ini, hubungan yang bersifat kompetitif dan antagonistik berpotensi memicu timbulnya konflik. Konflik terjadi karena adanya kompetisi atau klaim terhadap alokasi sumberdaya. Dalam menganalisis peranan ketersediaan atau keterbatasan sumberdaya (scarcity) terhadap terjadinya konflik, maka interaksi antara sumberdaya dengan ekosistemnya juga harus mendapat

2 perhatian, karena perubahan salah satu sistem dari ekosistem akan mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Pengelolaan konflik adalah upaya menyelesaikan konflik yang muncul di kalangan masyarakat. Bennett dan Neiland (2000) menyatakan metoda resolusi konflik umumnya bersifat spesifik. Dalam artian walaupun telah dikenal berbagai metoda untuk menyelesaikan konflik, tetapi tidak seluruh metoda tersebut cocok untuk menyelesaikan konflik tertentu. Resolusi konflik dapat ditempuh dengan menggunakan dua pendekatan yaitu melalui pengadilan (litigasi) atau pendekatan alternatif yang lebih dikenal sebagai alternative dispute resolution (ADR). Konflik di wilayah pesisir (pantai) umumnya melibatkan pihak atau kelompok yang berbeda serta kepentingan yang berbeda (Anonimous 1993). Untuk itu agar pengelolaan konflik dapat dilakukan dengan efektif, maka harus ada timbal balik atau benefit dari resolusi konflik itu sendiri. Resolusi konflik akan sulit dilakukan karena melibatkan dorongan jangka pendek (biasanya dorongan ekonomi) dan kepentingan jangka panjang (seperti konflik yang melibatkan masalah biologi dan lingkungan). Oleh karena itu, salah satu cara yang dapat digunakan dalam penyelesaian konflik adalah pendekatan multiple objectives dalam perencanaan pengelolaan perikanan tangkap. Resolusi konflik yang efektif diharapkan akan berdampak positif. Hal ini disebabkan karena tidak semua konflik selalu berdampak negatif. Konflik yang berdampak positif dibutuhkan dalam tahap perkembangan kearah yang lebih baik. Dalam hal ini konflik justru mampu mempererat masyarakat dan pada akhirnya akan menciptakan alokasi sumberdaya yang lebih adil. Dengan demikian melalui resolusi konflik yang tepat akan tercipta kondisi positif pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, mendorong partisipasi masyarakat, terciptanya keadilan (equity) antar kelompok masyarakat, serta mengembangkan stabilitas sosial Menyadari tentang sifat konflik perikanan tangkap, maka untuk dapat memberikan resolusi yang efektif, baik untuk konflik yang sedang terjadi maupun yang mungkin terjadi, diperlukan identifikasi menyeluruh tentang pihak-pihak yang mempunyai kepentingan. Hal ini sangat penting guna menyusun model resolusi konflik perikanan tangkap yang efektif secara sistematis dan 124

3 berkelanjutan. Pendekatan yang baik untuk menyusun rencana pengelolaan konflik adalah dengan mengajak pihak-pihak yang berkepentingan berpartisipasi dalam mengembangkan pemahaman yang sama terhadap suatu konflik, dinamikanya dan pengaruhnya di masyarakat sehingga akan lebih mampu menginterpretasikan konflik yang ada, mengenali tanda tanda meningkatnya konflik dan memperkirakan dampak konflik tersebut. Dengan memiliki ketrampilan untuk mengelola konflik, seperti memetakan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, menyusun strategi untuk menyeimbangkan kekuatan, merefleksikan sikap yang dimiliki ketika menghadapi konflik, sampai pada pilihan teknik resolusi konflik; diharapkan akan dicapai resolusi konflik yang menyeluruh, dan keputusan atau kesepakatan yang diambil dari pihak-pihak tersebut dapat berjalan lancar dan sesuai dengan keinginan pihak-pihak yang terkait (Anonimous, 2002). Kemungkinan adanya resolusi konflik akan meningkatkan hubungan di antara mereka dan secara otomatis jalan keluar yang diambil akan menjadi pendorong mereka untuk berperilaku menghindari konflik, dan atau memelihara kesepakatan yang sudah ada. Pengelolaan konflik (conflict management) juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, karena tanpa pengelolaan yang tepat maka konflik yang timbul di masyarakat dapat menghambat dan akan berpengaruh terhadap produktifitas nelayan serta partisipasi masyarakat akan sulit dikembangkan secara optimal. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan masukan dalam rangka menyusun perencanaan pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Berdasarkan uraian diatas maka masalah penelitian (research problems) adalah bagaimana keefektivan resolusi konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian? Kerangka Teoritis dalam Menganalisis Keefektifan Resolusi Konflik Pengenalan tipologi konflik merupakan hal penting untuk menjelaskan penyebab terjadinya konflik, karena dengan diketahuinya tipologi konflik maka penyebab dan alternatif resolusi konflik dapat dianalisis. Tipologi tidak berupaya 125

4 menggambarkan semua bukti-bukti empiris, tetapi menarik benang merah yang diperkirakan dapat mewakili suatu karakteristik (McKinney 1966). Obserschall (1973) menyatakan banyak peneliti dibidang conflict resolution yang merasakan manfaat dari tergambarkannya tipologi konflik. Charles (1992) misalnya, telah berhasil merekonstruksi konflik yang sering terjadi di perikanan. Menurutnya, konflik dapat dikelompokkan ke dalam konflik jurisdiksi, konflik pengelolaan, konflik alokasi internal dan konflik alokasi eksternal atau konflik intersektoral. Penelitian ini akan lebih memfokuskan pada konflik alokasi internal, sesuai dengan hasil studi pendahuluan. Penyebab konflik dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu: penyebab internal dan penyebab ekternal. Penyebab internal terkait dengan karakteristik individu atau kelompok yang berkonflik, sedangkan penyebab eksternal adalah semua faktor yang berada diluar kontrol individu atau kelompok tetapi dapat memicu timbulnya konflik. Berdasarkan hal itu, konflik yang dikemukakan oleh Charles (1992) dapat dikelompokkan ke dalam penyebab eksternal. Bradford dan Stringfellow (2001) menyatakan perbedaan karakteristik individu dalam kelompok dapat memicu timbulnya konflik. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain terkait dengan keahlian individual, kesepakatan terhadap kelompok, kekuatan (power) individu dalam kelompok serta hubungan sosial. Pada akhirnya perbedaan ini akan mempengaruhi outcome dari kelompok yang bersangkutan. Outcome dapat diukur dari kinerja kelompok, kreativitas dan kepuasan anggota terhadap outcome kelompok. Amason et al. (1995) dan Jehn (1995 ) mengelompokkan konflik menjadi: 1) affective conflict dan 2) task conflict. Affective conflicts merupakan ketidak sepahaman anggota kelompok tentang incompatibilitas seseorang yang dapat menimbulkan rasa curiga, tidak percaya, dan tidak bersahabat dengan anggota kelompok lainnya (Brehmer 1976; Faulk 1982). Berbagai riset menunjukkan bahwa konflik jenis ini akan mengurangi keefektifan proses pengambilan keputusan dangan jalan mengurangi kemampuan kelompok untuk menghasilkan keputusan yang lebih baik. Task conflict disebabkan adanya perbedaan pengetahuan, kekuatan dan kesepakatan diantara anggota kelompok Perbedaan 126

5 keahlian dapat berwujud perbedaan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan anggota kelompok terhadap masalah yang dihadapi serta upaya memecahkannya. Adanya perbedaan keahlian ini dapat menyebabkan masing-masing anggota mengajukan pendekatan atau pandangan yang berbeda terhadap masalah yang dihadapi, sehingga perbedaan tersebut pada akhirnya malah dapat menimbulkan konflik. Gilbraith dan Stringfellow (2002) mengatakan konflik afektif terjadi karena dua hal, yaitu: perbedaan kekuatan (power) dan kesepakatan (committment). Suatu kelompok yang perbedaan kekuatannya sangat besar akan cenderung mengalami friksi personal yang lebih tinggi ketimbang kelompok yang anggotanya berasal dari status sosial yang sama. Friksi juga dapat terjadi ketika sebagian anggota memiliki kesepakatan untuk menyelesaikan masalah sementara anggota yang lain bersikap masa bodoh terhadap masalah yang dihadapi oleh kelompok yang bersangkutan. Jabri (1996) berpendapat bahwa menganalisis konflik dari sudut peranan aktor seringkali sangat kompleks. Hal ini disebabkan aktor yang kedudukannya lebih kuat dalam konflik seringkali lebih didengar. Hubungan kekuatan antar aktor pada akhirnya terkait dengan status sumberdaya, jika ketersediaan sumberdaya makin terbatas, maka hubungan kekuatan tersebut akan bergeser ke isu alokasi sumberdaya. Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Oleh karena itu selain tipologi konflik maka penggambaran konflik menurut tahapannya (diagnosis) juga menjadi penting (Fisher et al. 2000). Diagnosis pentahapan konflik bertujuan untuk mengkaji tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan eskalasi konflik serta berusaha untuk meramalkan pola-pola peningkatan intensitas konflik dimasa depan dengan tujuan untuk menghindari pola itu terjadi. Pentahapan konflik dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu tahap prakonflik, tahap konfrontasi, tahap krisis, tahap akibat dan tahap pascakonflik. Proses resolusi konflik pada dasarnya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu melalui proses peradilan (litigasi) dan diluar pengadilan atau penyelesaian konflik alternatif (Alternative Dispute Resolution/ADR). Melalui proses litigasi, akan 127

6 memunculkan pihak yang menang dan pihak yang kalah. Sementara pada pendekatan ADR output yang dihasilkan lebih fleksibel dan lebih dapat diterima oleh semua pihak dan hasilnya lebih berorientasi jangka panjang. Selain itu ADR lebih popuer digunakan untuk mengatasi konflik yang terkait dengan masalah lingkungan dan sumberdaya alam. Jenis-jenis ADR yang sering digunakan terdiri dari negosiasi, mediasi, fasilitasi dan arbitrase. Karakteristik dan penggunaan beberapa teknik ADR tersebut secara ringkas dijelaskan pada Tabel 11. Konsep piramid sering digunakan sebagai simbolisasi berbagai metode resolusi konflik (Gambar 26). Pada puncak piramid adalah cooperative teamwork, dengan tujuan utama mencapai sinergi untuk mencari resolusi konflik yang paling menguntungkan semua pihak yang berkonflik. Pada dasar piramid terdapat isolation yaitu kondisi pihak yang berkonflik bersikap masa bodoh (Brown et al. 1995). Piramid resolusi konflik menggambarkan pilihan proses resolusi konflik mulai dari isolation hingga ke cooperation. Proses resolusi konflik menggunakan hukum formal (litigasi) akan menghasilkan suasana yang terisolasi karena ada pihak yang dimenangkan dan yang dikalahkan oleh tatanan hukum formal, sementara resolusi konflik yang menggunakan pendekatan ADR akan menghasilkan kondisi yang kooperatif. Hal ini disebabkan pihak yang berkonflik saling berinteraksi untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak. Kerjasama Penyelesaian sengketa alternatif Masing-masing pihak merepresentasikan keinginannya Intervensi pihak ke tiga Negosiasi Konsiliasi Fasilitasi Mediasi Arbitrasi Negosiasi rule making Ligitasi Konfrontasi Bekerja sama untuk membangun konsensus Penyelesaian melalui jalur pengadilan Isolasi Gambar 26. Metode pengelolaan konflik (Diadopsi dari Bennett dan Neiland 2000) 128

7 Tabel 11. Perbandingan beberapa penyelesaian konflik alternatif Arbitrasi Mediasi Definisi Pihak ketiga yang netral atau panel tenaga ahli membuat keputusan setelah mendengarkan argument dan mempelajari bukti-bukti Karakteristik Keputusan yang dihasilkan dapat mengikat atau tidak mengikat. Sangat terstruktur tetapi tidak terlalu formal dibandingkan dengan adjudication. Penasehat masing-masing pihak yang berkonflik menunjukkan bukti dan argumentasi. Pihak yang berkonflik memilih pihak ketiga dan menetapkan peraturan. Selanjutnya pihak ketiga dapat memilih norma atau aturan yang digunakan. Efektif jika pihak yang berkonflik tidak terlalu banyak. Penggunaan Ketika dibutuhkan keputusan yang segera, dapat digunakan pada tahapan konflik yang berbeda. Cocok untuk konflik yang berkaitan dengan hukum dan fakta, sehingga keputusan yang dibuat harus memenuhi standar tertentu. Digunakan pada konflik tingkat tinggi, atau ketika dipandang bahwa close relationship dimasa datang tidak mungkin diwujudkan lagi. Negosiasi Definisi Pihak yang berkonflik berupaya untuk menyelesaikan perbedaan dengan melakukan kompromi atau menggunakan prinsip yang disepakati bersama tanpa melibatkan pihak ketiga Definisi Pihak yang berkonflik memilih pihak ketiga yang netral untuk membantu mereka merancang dan mengarahkan dalam proses mencari penyelesaian konflik yang dapat diterima oleh semua pihak. Karakteristik Pihak yang berkonflik membuat keputusan. Pihak yang berkonflik saling bertukar informasi dan permasalahan yang menjadi penyebab konflik dihadapan mediator. Pihak yang berkonflik dapat mengemukakan emosi/perasaannya. Dapat dijadikan dasar bagi pihak yang berkonflik untuk bernegosiasi dimasa datang tanpa melibatkan kehadiran pihak ketiga. Penggunaan Sangat baik digunakan jika pihak yang berkonflik masih memandang perlunya hubungan baik yang akan dijaga. Bermanfaat ketika negosiasi dapat menemukan kesepakatan dan salah satu pihak merasa dirugikan atau dikesampingkan. Fasilitasi Definisi Pertukaran informasi dan pembentukan beberapa alternatif penyelesaian dilakukan dengan bantuan pihak ketiga yang memiliki kemampuan dalam memimpin pertemuan. Digunakan untuk konflik dengan skala rendah hingga ke medium. 129

8 Tabel 11 (Lanjutan) Negosiasi Karakteristik Prosesnya tidak terstruktur dan tanpa aturan yang formal/ agenda. Untuk konflik skala rendah formatnya lebih kasual dan tidak formal. Dapat dilakukan ditempat salah-satu pihak yang berkonflik. Penggunaan Sering digunakan sebagai langkah awal dalam proses resolusi konflik. Digunakan jika isunya sudah jelas atau sudah cukup isu, pihak yang berkonflik dan memberi dan menerima. Cocok untuk konflik yang non-teknikal yang tidak terkait dengan hukum. Hubungan antar pihak yang berkonflik sebelumnya sudah terjalin baik untuk waktu yang lama. Fasilitasi Karakteristik Cocok digunakan jika pihak yang berkonflik lebih dari dua. Ada agenda yang jelas. Prosesnya mirip seperti pertemuan. Dapat dilakukan dengan atau tanpa pihak yang netral. Fasilitator tidak dapat mempengaruhi keputusan yang dibuat, tapi dapat mengatur jalannya pertemuan. Penggunaan Cocok digunakan untuk mendefinisikan problem dan tujuan, serta untuk mengidentifikasi dukungan personal dan institusional. Dapat digunakan sebagai langkah awal untuk mengidentifikasi proses penyelesaian konflik. Sumber: Priscoli (2003) Resolusi konflik melalui cooperative action berupaya untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan (win-win solutions) guna menghasilkan kondisi yang lebih baik (better off) bagi semua pihak. Walaupun demikian, tidak dapat diartikan bahwa pendekatan ini terbaik untuk pihak yang berkonflik. Dalam beberapa situasi, sekelompok orang yang berkonflik justru memperoleh manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok lainnya. Dalam kebanyakan sistem hukum formal, pendekatan litigasi (pengadilan) yang menggunakan aturan hukum yang kaku, sering menghasilkan kelompok yang lebih kuat di mata hukum. Oleh sebab itu pendekatan ini menghasilkan pihak yang kalah dan menang. Walaupun demikian tidak dapat diartikan bahwa pendekatan litigasi merupakan opsi yang buruk. Dalam beberapa kasus, pendekatan litigasi justru dibutuhkan, misalnya untuk konflik batasan hukumnya sudah jelas. Perbandingan resolusi konflik dengan menggunakan pendekatan litigasi dan ADR dapat dilihat pada Tabel

9 Tabel 12. Perbandingan resolusi konflik dengan metode litigasi dan Alternatif Dispute Resolution (ADR) Litigasi Keunggulan (Galanter 1966) 1) Aturan-aturannya bersifat seragam 2) Hak dan kewajiban sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan tawar-menawar antar pihak yang berkonflik 3) Putusan atas PERKa yang serupa biasanya adalah sama 4) Bersifat hierarkis, sehingga tingkat yang lebih rendah akan diawasi oleh tingkat yang lebih tinggi 5) Diorganisasikan secara birokratis 6) Bersifat rasional (dapat dipelajari dan dimengerti oleh semua orang) 7) Dijalankan oleh para profesional 8) Sistem lebih teknis dan kompleks 9) Dapat diubah dan diganti 10) Bersifat politis 11) Tugas menemukan dan menerapkan hukum dibedakan menurut fungsinya. Kelemahan (Anonimous 2002) 1) Memicu munculnya konflik ikutan dan mendorong timbulnya kemarahan antar kelompok. 2) Membuat salah satu kelompok curiga akan motif kelompok lainnya. 3) Pengambilan keputusan yang lebih lama. 4) Lebih menekankan pada solusi ketimbang menghasilkan kondisi yang sama-rata dan sama- rasa. 5) Menghasilkan pihak yang menang, pihak yang kalah dan perpecahan dalam masyarakat. 6) Lebih mahal baik ditinjau dari energi yang dikeluarkan maupun biaya ekonomi sumberdaya Alternative Dispute Resolution (ADR) Keunggulan (Priscolly 2002) 1) Sifat kesukarelaan dalam proses, tidak seorangpun dapat dipaksa untuk menggunakan prosedur ADR 2) Prosedur yang cepat karena bersifat tidak formal 3) Keputusan non-yudisial, wewenang untuk membuat keputusan berada pada pihak yang berkonflik 4) Kontrol tentang kebutuhan organisasi. Prosedur ADR menempatkan keputusan ditangan orang yang mempunyai posisi tertentu (penting) 5) Memberikan jaminan kerahasiaan bagi para pihak yang berkonflik dengan porsi yang sama 6) Fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat resolusi masalah 7) Hemat waktu dan biaya 8) Pemeliharaan hubungan karena kesepakatan yang dinegosiasikan memperhatikan kebutuhan pihak yang terlibat 9) Tingginya kemungkinan pelaksanaan kesepakatan 10) Kontrol dan kemudahan memperkirakan hasil Keputusan bertahan sepanjang waktu Kelemahan (O loughin dan Schumaker 1998) 1) Kurang efektif bila digunakan pada masalah yang kompleks dan sensitif 2) Dapat dipengaruhi oleh pemegang otoritas 3) Pengambilan keputusan yang didasarkan pada keahlian atau pengetahuan yang dapat dikompromikan 4) Pihak lain yang sebenarnya tidak dibutuhkan masih dimungkinkan untuk berpartisipasi sehingga mengganggu proses resolusi konflik 5) Kurang kuatnya hasil keputusan dari segi hukum 131

10 Untuk menyelesaikan konflik, seringkali pihak luar diminta untuk membantu bernegosiasi dengan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik. Keterbukaan adalah hal yang penting untuk memecahkan semua masalah. Bila keputusan yang diambil dari pihak-pihak tersebut dapat berjalan lancar dan sesuai dengan keinginan kedua belah pihak. Perjanjian dan jalan keluar yang diambil sebaiknya keluar dari mereka sendiri dan bukan dari pihak luar. Resolusi konflik pada dasarnya tidak dilakukan atas dasar siapa yang benar, siapa yang salah, tapi lebih didasarkan pada pengakuan dan penghargaan atas adanya perbedaan posisi dan kepentingan para pihak yang terlibat Creighton dan Priscoli (2001) menggambarkan situasi ideal yang seharusnya dicapai dalam resolusi konflik melalui proses negosiasi seperti dijelaskan pada Gambar 27. A - Kompetisi A Menang B Kalah E Negosiasi integratif Tingkat kepuasan untuk A D - Dihindari (Kalah untuk A + B) B - Negosiasi untuk mencapai kompromi A + B Sama-sama kalah dan menang C Akomodasi A - Kalah, B - Menang Tingkat kepuasan untuk B Gambar 27. Kondisi optimal resolusi konflik melalui proses negosiasi (diadopsi dari Creighton dan Priscoli 2001) Dalam proses negosiasi, pihak yang berkonflik akan berupaya bergerak antara titik A (dimana A menang) ke titik B (dimana B menang). Sebagai konsekuensinya, proses negosiasi yang baik seharusnya berada pada daerah B, kedua belah pihak tidak merasa menang atau kalah. Pada kenyataannya untuk 132

11 mencapai daerah ini sering sulit dilakukan oleh karena itu proses negosiasi dapat diperluas hingga mencapai daerah integrative bargaining collaboration. Pada daerah ini proses negosiasi diperluas tidak hanya melibatkan pihak yang berkonflik tetapi juga pihak lain yang dipandang mampu ikut menyelesaikan konflik. Untuk mencapai daerah tersebut juga dapat dilakukan melalui proses mediasi dan fasilitasi. Daerah D adalah daerah yang harus dihindari, karena pada daerah ini semua pihak yang berkonflik menjadi lebih buruk (worse off). Untuk mencapai kondisi kesepakatan yang berkesinambungan (durable settlement), Lincoln (1986) menyebutkan tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1) Substantive interest, yaitu: content need, dana, waktu, material dan sumberdaya. 2) Procedural interests, yaitu kebutuhan akan perilaku tertentu atau cara bagaimana sesuatu dapat diselesaikan. 3) Relationship or phsychological interest, yaitu kebutuhan yang merujuk pada perasaan seseorang, bagaimana seseorang diperlakukan, dan prakondisi untuk menciptakan hubungan yang berkelanjutan. Dengan menggabungkan penyebab konflik dengan metoda resolusi konflik maka dapat diketahui keefektifan metoda resolusi konflik. Isu sentral yang selalu muncul ketika melakukan evaluasi dampak dari metode pengelolaan konflik atau kebijakan dalam rangka melihat keefektifan resolusi konflik adalah isu kausalitas. Dalam mengevaluasi keefektifan suatu kebijakan (resolusi konflik), maka tidak cukup hanya dengan mengukur tujuan yang berhasil dicapai, tetapi harus mampu mencari hubungan kausalitas antara kebijakan dengan hasilnya. Menurut Coenen (1991) dalam Bruyninckx dan Cioppa (2000) terdapat tiga kondisi yang harus dipenuhi untuk mengidentifikasi hubungan kausalitas, yaitu : 1) Sequential relationship antara penyebab dengan hasil yang mengikutinya. 2) Covariance antara sebab dan akibat, dengan perkataan lain harus ada korelasi empirik antara sebab dengan akibat. 3) Tidak ada faktor penjelas yang lain. Sebagai contoh jika ada perubahan antara kebijakan dan efeknya tetapi ada faktor lain yang dapat menjelaskan perubahan tersebut (di luar kebijakan dan efeknya) maka tidak dapat 133

12 dibuktikan adanya hubungan sebab akibat yang absolut antara kebijakan dengan efek. Secara skematis pendekatan teoritis analisis keefektivan konflik dituangkan dalam kerangka pemikiran pada Gambar 28. FAKTOR PENYEBAB KONFLIK : (Bennett dan Neiland 2000) 1. Aktor 2. Kondisi Sumberdaya Perikanan 3. Kondisi Lingkungan JENIS KONFLIK TEKNIK RESOLUSI KONFLIK (Priscoli 2002) 1. Negosiasi 2. Konsiliasi 3. Fasilitasi 4. Mediasi 5. Arbitrasi 6. Negosiasi peranan/ peraturan 1. Litigasi 2. Konfrontasi ANALISIS KEEFEKTIVAN RESOLUSI KONFLIK (Losa et. al 2002; Barki et. al 2001; Harris et. al 2000) 1. Peningkatan partisipasi 2. Pelestarian sumberdaya 3. Menjamin keadilan Gambar 28. Kerangka pemikiran studi keefektivan resolusi konflik Metode Variabel penelitian Faktor penyebab konflik Berdasarkan analisis tipologi konflik terdapat 11 variabel penyebab konflik perikanan tangkap yaitu : 1) Jumlah kelompok/pihak yang terlibat konflik (PART 1), yang diukur oleh persepsi responden terhadap jumlah kelompok/pihak yang terlibat konflik. 134

13 Tidak tahu dengan nilai 1 Dua kelompok dengan nilai 2 Tiga kelompok dengan nilai 3 Empat kelompok dengan nilai 4 Lebih dari empat kelompok dengan nilai 5 2) Keberadaan tokoh panutan dalam masyarakat yang terlibat dalam proses penyelesaian konflik (LEAD 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang jumlah tokoh panutan yang terlibat konflik. Tidak ada dengan nilai 1 Satu orang dengan nilai 2 Dua orang dengan nilai 3 Tiga orang dengan nilai 4 Lebih dari tiga kelompok dengan nilai 5 3) Kemampuan menentukan pihak atau kelompok yang terlibat dalam konflik (PART 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemudahan menentukan jumlah pihak atau kelompok yang telibat konflik. Sangat sulit dengan nilai 1 Sulit dengan nilai 2 Agak mudah dengan nilai 3 Mudah dengan nilai 4 Sangat mudah dengan nilai 5 4) Kepatuhan terhadap tokoh panutan dalam proses penyelesaian konflik (LEAD 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang kepatuhan masyarakat terhadap tokoh panutan. Tidak patuh dengan nilai 1 Agak tidak patuh dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Agak patuh dengan nilai 4 Selalu patuh dengan nilai 5 135

14 5) Keberadaan pihak-pihak pengacau yang tidak setuju pada kesepakatan yang dihasilkan dalam penyelesaian konflik (OPOS), yang diukur oleh kehadiran/keberadaan pihak-pihak pengacau menurut persepsi responden. Selalu ada dengan nilai 1 Sering dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Jarang dengan nilai 4 Selalu ada dengan nilai 5 6) Kemampuan menentukan isu atau pokok masalah yang menjadi penyebab terjadinya konflik (ISSU), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemudahan menentukan isu atau pokok masalah. Sangat sulit dengan nilai 1 Sulit dengan nilai 2 Agak mudah dengan nilai 3 Mudah dengan nilai 4 Sangat mudah dengan nilai 5 7) Keberadaan pihak-pihak lain diluar masyarakat nelayan yang terlibat dalam konflik (PART 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemudahan menentukan keberadaan pihak-pihak lain. Sangat sulit dengan nilai 1 Sulit dengan nilai 2 Agak mudah dengan nilai 3 Mudah dengan nilai 4 Sangat mudah dengan nilai 5 8) Keseimbangan biaya operasi dengan hasil tangkapan (EKON 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang keseimbangan biaya operasi dengan hasil tangkapan. 136

15 Sangat tidak seimbang dengan nilai 1 Tidak seimbang dengan nilai 2 Seimbang dengan nilai 4 Sangat seimbang dengan nilai 5 9) Perbedaan kondisi ekonomi yang mencolok dalam masyarakat nelayan (EKON 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya perbedaan kondisi ekonomi Sangat tidak setuju dengan nilai 1 Tidak setuju dengan nilai 2 Setuju dengan nilai 4 Sangat setuju dengan nilai 5 10) Resesi ekonomi berkepanjangan (EKON 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh resesi ekonomi berkepanjangan. Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1 Tidak berpengaruh dengan nilai 2 berpengaruh dengan nilai 4 Sangat berpengaruh dengan nilai 5 11) Jumlah nelayan lokal yang terlalu banyak (POPU 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang hubungan perkembangan jumlah nelayan dengan frekuensi terjadinya konflik. Sangat tidak berhubungan dengan nilai 1 Tidak berhubungan dengan nilai 2 Berhubungan dengan nilai 4 Sangat berhubungan dengan nilai 5 137

16 12) Jumlah nelayan andon yang terlalu banyak (POPU 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya hubungan jumlah nelayan andon terhadap frekuensi terjadinya konflik. Sangat tidak berhubungan dengan nilai 1 Tidak berhubungan dengan nilai 2 Berhubungan dengan nilai 4 Sangat berhubungan dengan nilai 5 13) Perbedaan kebiasaan atau adat istiadat dalam masyarakat (CULT), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh perbedaan kebiasaan. Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1 Tidak berpengaruh dengan nilai 2 berpengaruh dengan nilai 4 Sangat berpengaruh dengan nilai 5 14) Penegakan hukum (LAWS 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh lemahnya penegakan hukum. Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1 Tidak berpengaruh dengan nilai 2 Berpengaruh dengan nilai 4 Sangat berpengaruh dengan nilai 5 15) Ketaatan terhadap jalur penangkapan (LAWS 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh lemahnya ketaatan terhadap jalur penangkapan. 138

17 Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1 Tidak berpengaruh dengan nilai 2 Berpengaruh dengan nilai 4 Sangat berpengaruh dengan nilai 5 16) Kepentingan tertentu (INTE), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh kepentingan tertentu yang mengatasnamakan kepentingan nelayan. Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1 Tidak berpengaruh dengan nilai 2 Berpengaruh dengan nilai 4 Sangat berpengaruh dengan nilai 5 17) Persaingan pemanfaatan sumberdaya perikanan (COMP 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh persaingan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1 Tidak berpengaruh dengan nilai 2 Berpengaruh dengan nilai 4 Sangat berpengaruh dengan nilai 5 18) Potensi sumberdaya perikanan tangkap (STOK), yang diukur oleh persepsi responden tentang pengaruh berkurangnya potensi sumberdaya perikanan tangkap. Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1 Tidak berpengaruh dengan nilai 2 Berpengaruh dengan nilai 4 Sangat berpengaruh dengan nilai 5 139

18 19) Perebutan daerah tangkap (COMP 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh perebutan daerah tangkap. Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1 Tidak berpengaruh dengan nilai 2 Berpengaruh dengan nilai 4 Sangat berpengaruh dengan nilai 5 Teknik resolusi konflik Teknik resolusi konflik dijelaskan oleh variabel-variabel sebagai berikut : 1) Upaya pencegahan terjadinya konflik (RESO 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang pentingnya upaya pencegahan terjadinya konflik Sangat tidak penting dengan nilai 1 Tidak penting dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Penting dengan nilai 4 Sangat penting dengan nilai 5 2) Ketuntasan penyelesaian konflik (RESO 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang pentingnya penyelesaian konflik secara tuntas. Sangat tidak penting dengan nilai 1 Tidak penting dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Penting dengan nilai 4 Sangat penting dengan nilai 5 3) Kesediaan semua pihak untuk bertemu (RESO 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang kesedian menghadiri pertemuan antar pihak yang berkonflik. 140

19 Tidak pernah bersedia dengan nilai 1 Kurang bersedia dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Bersedia dengan nilai 4 Selalu bersedia dengan nilai 5 4) Kebutuhan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik (RESO 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya pihak ketiga dalam penyelesaian konflik. Sangat tidak perlu dengan nilai 1 Tidak perlu dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Perlu dengan nilai 4 Sangat perlu dengan nilai 5 5) Ketidakseimbangan kekuatan antara masing-masing pihak yang berkonflik (RESO 5), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya keseimbangan kekuatan antara masing-masing pihak yang berkonflik. Sangat tidak seimbang dengan nilai 1 Tidak seimbang dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Seimbang dengan nilai 4 Sangat seimbang dengan nilai 5 6) Kebutuhan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik (RESO 6), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya pihak ketiga dalam penyelesaian konflik. Sangat tidak perlu dengan nilai 1 Tidak perlu dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Perlu dengan nilai 4 Sangat perlu dengan nilai 5 141

20 7) Keberadaan pokok persoalan konflik (RESO 7), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemampuan masyarakat untuk menyelesaikan pokok persoalan konflik. Sangat tidak mampu dengan nilai 1 Tidak mampu dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Mampu dengan nilai 4 Sangat mampu dengan nilai 5 8) Kemampuan menyelesaiakan konflik (RESO 8), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemampuan mengidentifikasi pemicu konflik. Sangat tidak mampu dengan nilai 1 Tidak mampu dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Mampu dengan nilai 4 Sangat mampu dengan nilai 5 Keefektivan resolusi konflik Kemampuan responden dalam memilih teknik resolusi konflik juga diarahkan untuk mengetahui ketepatan dan kecocokan penggunaan teknik ADR. Ketepatan penggunaan teknik ADR diukur menggunakan 15 item pertanyaan yang diadopsi dari Priscoli (2002) yang dijelaskan oleh variabel-variabel sebagai berikut : 1) Keberadaan pihak yang mendominasi dalam penyelesaian konflik (ADR 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang keberadaan pihak/seseorang yang memiliki kekuasaan atau mendominasi kelompok. Tidak pernah ada dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Ada dengan nilai 4 Selalu ada dengan nilai 5 142

21 2) Pengaruh pihak yang mendominasi dalam penyelesaian konflik (ADR 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh pihak yang mendominasi dalam penyelesaian konflik. Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1 Tidak berpengaruh dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Berpengaruh dengan nilai 4 Sangat berpengaruh dengan nilai 5 3) Penyelesaian konflik tanpa pihak ketiga (ADR 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya pihak ketiga dalam penyelesaian konflik. Sangat tidak perlu dengan nilai 1 Tidak perlu dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Perlu dengan nilai 4 Sangat perlu dengan nilai 5 4) Kebutuhan prasyarat dalam penyelesaian konflik (ADR 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya prasyarat dalam penyelesaian konflik. Sangat tidak perlu dengan nilai 1 Tidak perlu dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Perlu dengan nilai 4 Sangat perlu dengan nilai 5 5) Mekanisme untuk menjamin kepatuhan akan kesepakatan (ADR 5), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya menjamin kepatuhan akan kesepakatan. 143

22 Sangat tidak perlu dengan nilai 1 Tidak perlu dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Perlu dengan nilai 4 Sangat perlu dengan nilai 5 6) Pengungkapan faktor-faktor penyebab konflik (ADR 6), yang diukur oleh persepsi responden tentang pentingya masing-masing pihak mengungkapkan faktor-faktor penyebab konflik. Sangat tidak penting dengan nilai 1 Tidak penting dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Penting dengan nilai 4 Sangat penting dengan nilai 5 7) Adanya kelompok yang berpengaruh (ADR 7), yang diukur oleh persepsi responden tentang keberadaan pihak/seseorang yang memiliki kekuasaan atau mendominasi kelompok. Tidak pernah ada dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Ada dengan nilai 4 Selalu ada dengan nilai 5 8) Keinginan memelihara hubungan jangka panjang (ADR 8), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya keinginan masing-masing kelompok untuk membina hubungan jangka panjang. Tidak pernah ada dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Ada dengan nilai 4 Selalu ada dengan nilai 5 144

23 9) Kesepakatan penggunaan prosedur untuk konsensus (ADR 9), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya kelompok yang sepakat menggunakan prosedur untuk mencapai konsensus. Tidak pernah ada dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Ada dengan nilai 4 Selalu ada dengan nilai 5 10) Saling percaya dan menghormati (ADR 10), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya rasa saling percaya yang tinggi dan rasa saling menghormati diantara kelompok yang berkonflik. Tidak pernah ada dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Ada dengan nilai 4 Selalu ada dengan nilai 5 11) Kemampuan mengidentifikasi isu pokok yang menjadi penyebab konflik (ADR 11), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemampuan kelompok dalam mengidentifikasi isu pokok yang menjadi penyebab konflik. Sangat tidak mampu dengan nilai 1 Tidak mampu dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Mampu dengan nilai 4 Sangat mampu dengan nilai 5 12) Kesigapan dalam mencegah konflik (ADR 12), yang diukur oleh persepsi responden tentang kesigapan mencegah semakin meluasnya konflik. 145

24 Sangat tidak sigap dengan nilai 1 Tidak sigap dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Sigap dengan nilai 4 Sangat sigap dengan nilai 5 13) Muatan politis (ADR 13), yang diukur oleh persepsi responden tentang latar belakang politis yang menyebabkan konflik. Sangat tidak bernuansa politis dengan nilai 1 Jarang bernuansa politis dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Bernuansa politis dengan nilai 4 Sangat bernuansa politis dengan nilai 5 14) Efisiensi teknik resolusi konflik (ADR 14), yang diukur oleh persepsi responden tentang keefektivan teknik resolusi konflik dari segi biaya Sangat tidak efektif dengan nilai 1 Tidak efektif dengan nilai 2 Cukup efektif dengan nilai 3 Efektif dengan nilai 4 Sangat efekif dengan nilai 5 15) Adanya tekanan untuk melaksanakan kesepakatan (ADR 15), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya tekanan untuk melaksanakan kesepakatan yang telah dicapai. Tidak pernah ada dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Ada dengan nilai 4 Selalu ada dengan nilai 5 146

25 Kecocokan teknik resolusi konflik Kecocokan (keefektivan) teknik resolusi konflik diukur dengan delapan pertanyaan untuk mengetahui kemampuan responden dalam mengenali teknik resolusi konflik yang dapat digunakan. Pertanyaan nomor 1 dan 2 merepresentasikan teknik fasilitasi. Pertanyaan nomor 3 dan 4 merepresentasikan teknik negosiasi. Pertanyaan nomor 5 dan 6 merepresentasikan teknik mediasi, dan Pertanyaan nomor 7 dan 8 merepresentasikan teknik avoidance. 1) Teknik untuk mencegah terjadinya konflik (SUIT 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang kecocokan teknik untuk mencegah terjadinya konflik. Sangat tidak cocok dengan nilai 1 Tidak cocok dengan nilai 2 Cocok dengan nilai 4 Sangat cocok dengan nilai 5 2) Kesediaan tokoh-tokoh kunci untuk bertemu (SUIT 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang kesediaan untuk bertemu dalam penyelesaian konflik. Sangat tidak bersedia dengan nilai 1 Tidak bersedia dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Bersedia dengan nilai 4 Selalu bersedia dengan nilai 5 3) Keseimbangan pengetahuan hukum (SUIT 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya keseimbangan pengetahuan hukum ataupun tehnis pengelolaan konflik. 147

26 Sangat tidak perlu dengan nilai 1 Tidak perlu dengan nilai 2 Perlu dengan nilai 4 Sangat perlu dengan nilai 5 4) Pihak yang terlibat konflik (SUIT 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang jumlah pihak yang terlibat konflik. Tidak tahu dengan nilai 1 Dua kelompok dengan nilai 2 Tiga kelompok dengan nilai 3 Empat kelompok dengan nilai 4 Lebih dari empat kelompok dengan nilai 5 5) Faktor penyebab konflik (SUIT 5), yang diukur oleh persepsi responden tentang faktor yang menyebabkan konflik. Tidak tahu dengan nilai 1 Satu faktor dengan nilai 2 Dua faktor dengan nilai 3 Tiga faktor dengan nilai 4 Lebih dari tiga faktor dengan nilai 5 6) Tokoh saling bertolak belakang (SUIT 6), yang diukur oleh persepsi responden tentang tokoh kunci yang terlibat konflik saling bertolak belakang. Sangat bertolak belakang dengan nilai 1 Bertolak belakang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Tidak bertolak belakang dengan nilai 4 Sangat tidak bertolak belakang dengan nilai 5 7) Prioritas dalam penyelesaian konflik (SUIT 7), yang diukur oleh persepsi responden tentang prioritas penyelesaian konflik 148

27 Tidak tahu dengan nilai 1 Tidak jelas dengan nilai 2 Prosedur dengan nilai 3 Biaya dengan nilai 4 Waktu dengan nilai 5 8) Konflik dapat diselesaikan masyarakat lokal (SUIT 8), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemampuan masyarakat lokal dalam menyelesaiakan konflik Sangat tidak mampu dengan nilai 1 Tidak mampu dengan nilai 2 Cukup mampu dengan nilai 3 Mampu dengan nilai 4 Sangat mampu dengan nilai 5 9) Diperlukan pihak ketiga (SUIT 9), yang diukur oleh persepsi responden tentang pentingnya pihak ketiga dalam penyelesaian konflik Sangat diperlukan dengan nilai 1 Diperlukan dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Tidak diperlukan dengan nilai 4 Sangat tidak diperlukan dengan nilai 5 Outcome resolusi konflik Pemahaman terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SDPT) yang berkeadilan Akuntabilitas 1) Kesepakatan pengelolaan SDPT dibuat secara tertulis (AKUNT 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya kesepakatan yang dibuat secara tertulis. 149

28 Tidak pernah ada dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Ada dengan nilai 4 Selalu ada dengan nilai 5 2) Kesepakatan tersedia untuk nelayan (AKUNT 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang SDPT tersedia bagi setiap nelayan/kelompok yang membutuhkan Sangat tidak tersedia dengan nilai 1 Tidak tersedia dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Tersedia dengan nilai 4 Sangat tersedia dengan nilai 5 3) Kesepakatan memenuhi etika dan nilai (AKUNT 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang pengelolaan SDPT memenuhi etika dan nilai yang berlaku di masyarakat Sangat tidak memenuhi dengan nilai 1 Tidak memenuhi dengan nilai 2 Memenuhi dengan nilai 4 Sangat memenuhi dengan nilai 5 4) Kesepakatan sudah sesuai dengan kebutuhan (AKUNT 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang pengelolaan SDPT sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sangat tidak sesuai dengan nilai 1 Tidak sesuai dengan nilai 2 Sesuai dengan nilai 4 Sangat sesuai dengan nilai 5 150

29 Transparansi 1) Tersedianya informasi tentang kesepakatan (TRAN 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang kejelasan informasi baik berupa pengumuman maupun media lainnya tentang kesepakatan Sangat tidak jelas dengan nilai 1 Tidak jelas dengan nilai 2 Jelas dengan nilai 4 Sangat jelas dengan nilai 5 2) Tersedianya mekanisme pengaduan masyarakat terhadap kesepakatan/aturan (TRAN 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya mekanisme/prosedur pengaduan masyarakat Tidak tersedia dengan nilai 1 Jarang tersedia dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Tersedia dengan nilai 4 Selalu tersedia dengan nilai 5 3) Pertemuan kelompok nelayan (TRAN 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pertemuan kelompok nelayan untuk merumuskan/membahas/mengevaluasi kebijakan kesepakatan pengelolaan SDPT Tidak pernah ada dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Ada dengan nilai 4 Selalu ada dengan nilai 5 4) Laporan pelaksanaan hasil kesepakatan (TRAN 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang tersedianya laporan pelaksanaan hasil kesepakatan. 151

30 Tidak tersedia dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Tersedia dengan nilai 4 Selalu tersedia dengan nilai 5 Partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya PT, diukur dengan skala Pretty et al. (1995) yang mengelompokkan partisipasi masyarakat ke dalam tujuh tingkatan, yaitu 1) partisipasi pura-pura (manipulative participation), 2) partisipasi pasif, 3) partisipasi dalam bentuk konsultasi, 4) partisipasi karena iming-iming material, 5) partisipasi fungsional, 6) partisipasi interaktif dan 7) self mobilization. Sub variabel yang diukur meliputi: partisipasi dalam perencanaan PT, partisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan PT dan partisipasi dalam monitoring dan evaluasi PT. Tipologi partisipasi masyarakat dapat dilihat pada Tabel

31 Tabel 13. Tipologi partisipasi masyarakat Tipologi 1. Partisipasi pura-pura (manipulative participation) 2. Partisipasi pasif (passive participation) 3. Partisipasi dalam bentuk konsultasi (participation by consultation) 4. Partisipasi karena adanya iming-iming material (participation for material incentives) 5. Partisipasi fungsional (functional participation) 6. Partisipasi interaktif (interactive participation) 7.Partisipasi mandiri (Selfmobilization) Sumber : Pretty et al. (1995) Karakteristik Partisipasi hanya diwujudkan dalam bentuk pura-pura, dimana keberadaan suatu kelompok dalam oraganisasi hanya diwakili oleh orang yang tidak memiliki kekuatan dan tidak mewakili kelompok yang harus diwakilinya Bentuk partisipasi dimana masyarakat hanya diberitahu mengenai apa yang sudah diputuskan atau apa yang telah terjadi. Respons masyarakat tidak ditindaklanjuti dengan baik Pihak luar mendefinisikan problem dan proses pengumpulan informasi, sementara masyarakat berpartisipasi dalam bentuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Dalam bentuk partisipasi ini tidak ada sharing dalam pengambilan keputusan Masyarakat berpartisipasi dengan cara memberikan kontribusi, misalnya tenaga, sebagai imbal baik atas pemberian uang tunai atau material lain sebagai insentif. Pengalaman menunjukkan bahwa tidak ada jaminan bahwa masyarakat akan menerapkan teknologi atau pendekaatan yang diperkenalkan jika insentif yang diberikan telah berakhir. Partisipasi dipandang oleh pihak eksternal sebagai media agar tujuan proyek dapat dicapai khususnya dalam bentuk pengurangan biaya. Masyarakat berpartispasi melalui pembentukan kelompok untuk mencapai tujuan proyek yang telah ditetapkan sebelumnya. Keterlibatan bisa dalam bentuk sharing pada saat pengambilan keputusan, tetapi peran pihak ekternal dalam pengambilan keputusan ini lebih kuat. Masyarakat terlibat dalam proses analisis secara bersama, membuat rencana kerja serta membentuk atau menguatkan lembaga lokal. Partisipasi tidak hanya dilihat sebagai alat mencapai tujuan. Proses melibatkan berbagai metode untuk menangkap perbedaan pandangan, serta menggunakan cara yang tersruktur dan sistematis dalam proses pembelajaraan. Masyarakat berpartisipasi dengan jalan mengambil inisiatiatif secara independen untuk merubah sistem. Mereka menjalin kontak dengan pihak luar untuk mendapatkan sumber daya atau nasihat teknis yang dibutuhkan, tetapi mereka tetap mengontrol penggunaan sumber daya tersebut. 153

32 Partisipasi dalam Perencanaan Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dijelaskan oleh variabel-variabel sebagai berikut : 1) Partisipasi dalam perencanaan perumusan kebijakan (PARLA 1), penyusunan rencana pengelolaan (PARLA 2), pengaturan effort (PARLA 3), pengaturan musim (PARLA 4) dan penentuan zonasi penangkapan (PARLA 5) Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 0-7, dengan kriteria Tidak berpartisipasi dengan nilai 0 Partisipasi pura-pura dengan nilai 1 Partisipasi pasif dengan nilai 2 Partisipasi konsultasi dengan nilai 3 Partisipasi iming-iming material dengan nilai 4 Partisipasi fungsional dengan nilai 5 Partisipasi interaktif dengan nilai 6 Partisipasi inisiatif sendiri dengan nilai 7 2) Partisipasi dalam implementasi pengelolaan SDPT dalam kegiatan peningkatan produksi perikanan (PARIM 1), pengembangan armada (PARIM 2), peningkatan kualitas produk (PARIM 3), pelatihan kualitas produk (PARIM 4), konservasi (PARIM 5), konservasi coastal sactuary (PARIM 6), konservasi marine reserve (PARIM 7), konservasi marine protected area (PARIM 8), replantasi hutan mangrove (PARIM 9), reboisasi sempadan pantai (PARIM 10), pengembangan usaha ekonomi (PARIM 11), ketrampilan pengolahan produk (PARIM 12), pemberian paket bantuan (PARIM 13), kegiatan pengembangan kelembagaan (PARIM 14), kegiatan koperasi (PARIM 15), kelembagaan perkreditan (PARIM 16), kelembagaan prasarana (PARIM 17), kelembagaan pengolah hasil (PARIM 18). Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 0-7, dengan kriteria Tidak berpartisipasi dengan nilai 0 Partisipasi pura-pura dengan nilai 1 Partisipasi pasif dengan nilai 2 Partisipasi konsultasi dengan nilai 3 Partisipasi iming-iming material dengan nilai 4 Partisipasi fungsional dengan nilai 5 Partisipasi interaktif dengan nilai 6 Partisipasi inisiatif sendiri dengan nilai 7 154

33 3) Partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan SDPT dalam konservasi SDPT (PARMO 1) dan penegakan hukum (PARMO 2) Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 0-7, dengan kriteria Tidak berpartisipasi dengan nilai 0 Partisipasi pura-pura dengan nilai 1 Partisipasi pasif dengan nilai 2 Partisipasi konsultasi dengan nilai 3 Partisipasi iming-iming material dengan nilai 4 Partisipasi fungsional dengan nilai 5 Partisipasi interaktif dengan nilai 6 Partisipasi inisiatif sendiri dengan nilai 7 Pemahaman terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang keberlanjutan Variabel pengelolaan perikanan tangkap (PT) yang berkelanjutan mengacu pada FAO (1999) yang memandang pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan dari perspektif ekologi, sosial-ekonomi, komunitas dan kelembagaan. Keberlanjutan ekologis 1) Pembatasan jumlah tangkapan dalam rangka menjaga keberlanjutan usaha penangkapan ikan (SUSEK1), yang diukur oleh pemahaman responden tentang perlunya pembatasan jumlah tangkapan Tidak diperlukan dengan nilai 1 Kurang diperlukan dengan nilai 2 Cukup diperlukan dengan nilai 3 Diperlukan dengan nilai 4 Sangat diperlukan dengan nilai 5 2) Penangkapan mempertimbangkan dampak terhadap ketersediaan jenis yang lain (SUSEK 2), yang diukur oleh pemahaman responden tentang perlunya penangkapan yang mempertimbangkan dampak terhadap ketersediaan jenis yang lain. 155

34 Sangat tidak perlu dengan nilai 1 Tidak perlu dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Perlu dengan nilai 4 Sangat diperlukan dengan nilai 5 3) Pengaruh penangkapan terhadap kondisi lingkungan (SUSEK 3), yang diukur oleh pemahaman responden tentang pengaruh penangkapan terhadap kondisi lingkungan. Sangat tidak memahami dengan nilai 1 Tidak memahami dengan nilai 2 Cukup memahami dengan nilai 3 Memahami dengan nilai 4 Sangat memahami dengan nilai 5 4) Alternatif pemanfaatan sumberdaya perikanan yang mampu menjaga kelestarian (SUSEK 4), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang alternatif pemanfaatan sumberdaya perikanan Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 5) Potensi sumberdaya ikan mencukupi kebutuhan nelayan (SUSEK 5), yang diukur oleh pemahaman responden tentang kecukupan sumberdaya ikan terhadap kebutuhan nelayan. Sangat tidak cukup dengan nilai 1 Tidak cukup dengan nilai 2 Cukup dengan nilai 3 Lebih dari cukup dengan nilai 4 Sangat melimpah dengan nilai 5 156

35 6) Hasil tangkapan sampingan masih banyak tertangkap (SUSEK 6), yang diukur oleh persepsi responden tentang jumlah hasil tangkapan sampingan. Masih sangat banyak dengan nilai 1 Masih banyak dengan nilai 2 Cukup banyak dengan nilai 3 Sedikit dengan nilai 4 Sedikit sekali dengan nilai 5 7) Aturan ukuran mata jaring dipatuhi nelayan (SUSEK 7), yang diukur oleh persepsi responden tentang frekuensi kepatuhan nelayan terhadap aturan ukuran mata jaring. Tidak pernah patuh dengan nilai 1 Jarang patuh dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Patuh dengan nilai 4 Selalu patuh dengan nilai 5 8) Aturan ukuran mata jaring (SUSEK 8), yang diukur oleh pemahaman responden tentang aturan mata jaring. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 9) Menurunnya stok ikan ditandai semakin menurunnya hasil tangkapan (SUSEK 9), yang diukur oleh pemahaman responden tentang penurunan stok ikan ditandai semakin menurunnya hasil tangkapan. 157

36 Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 10) Penurunnya stok ikan ditandai semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap (SUSEK 10), yang diukur oleh pemahaman responden tentang menurunnya stok ikan ditandai semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 11) Kegiatan penangkapan menggunakan bahan-bahan kimia/peledak (SUSEK 11), yang diukur oleh pemahaman responden tentang pengaruh kegiatan penangkapan menggunakan bahan-bahan kimia/peledak. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 Keberlanjutan Sosial-Ekonomi : 1) Usaha yang dilakukan masih mampu mencukupi kebutuhan untuk masa mendatang (SUSSO 1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang kemampuan kegiatan usaha PT untuk mencukupi kebutuhan di masa mendatang. 158

37 Sangat tidak mampu dengan nilai 1 Tidak mampu dengan nilai 2 Cukup mampu dengan nilai 3 Mampu dengan nilai 4 Sangat mampu dengan nilai 5 2) Usaha yang dilakukan mampu meningkatkan kesejahteraan (SUSSO 2), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang kemampuan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan. Sangat tidak mampu dengan nilai 1 Tidak mampu dengan nilai 2 Cukup mampu dengan nilai 3 Mampu dengan nilai 4 Sangat mampu dengan nilai 5 3) Pengaruh kondisi sumberdaya perikanan yang menurun terhadap harga input dan output (SUSSO 3), yang diukur oleh pemahaman responden tentang pengaruh kondisi perikanan yang menurun terhadap harga input dan output. Sangat tidak memahami dengan nilai 1 Tidak memahami dengan nilai 2 Cukup memahami dengan nilai 3 Memahami dengan nilai 4 Sangat memahami dengan nilai 5 4) Keadilan dalam pemanfaatan SDPT (SUSSO 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang keadilan pemanfaatan SDPT. Sangat tidak adil dengan nilai 1 Tidak adil dengan nilai 2 Cukup adil dengan nilai 3 Adil dengan nilai 4 Sangat adil dengan nilai 5 159

38 Keberlanjutan komunitas 1) SDPT mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (SUSKO 1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang kemampuan SDPT untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak tahu dengan nilai 2 Cukup tahu dengan nilai 3 Tahu dengan nilai 4 Sangat tahu dengan nilai 5 2) Nelayan memiliki kesempatan memanfaatkan sumberdaya ikan di daerahnya (SUSKO 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya kesempatan nelayan memanfaatkan sumberdaya ikan. Tidak ada dengan nilai 1 Kurang dengan nilai 2 Cukup dengan nilai 3 Banyak dengan nilai 4 Sangat banyak dengan nilai 5 3) Masyarakat lokal dilibatkan dalam pengelolaan SDPT (SUSKO 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang frekuensi masyarakat lokal dilibatkan dalam pengelolaan SDPT Tidak pernah dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Sering dengan nilai 4 Selalu dengan nilai 5 4) Masyarakat mempertahankan nilai-nilai tradisional dalam pemanfaatan SDPT (SUSKO 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang frekuensi mempertahankan nilai-nilai tradisional. 160

39 Tidak pernah dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Sering dengan nilai 4 Selalu dengan nilai 5 5) Tradisi proses pengambilan keputusan dipertahankan (SUSKO 5), yang diukur oleh persepsi responden tentang frekuensi tradisi proses pengambilan keputusan yang dipertahankan. Tidak pernah dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Sering dengan nilai 4 Selalu dengan nilai 5 6) Nilai-nilai adat masih digunakan dalam masyarakat (SUSKO 6), yang diukur oleh persepsi responden tentang frekuensi penggunaan nilai-nilai adat oleh masyarakat. Tidak pernah dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Sering dengan nilai 4 Selalu dengan nilai 5 7) Dampak negatif pemanfaatan SDPT terhadap kondisi sosial ekonomi (SUSKO 7), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang dampak negatif pemanfaatan SDPT terhadap kondisi sosial ekonomi. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 161

40 Keberlanjutan kelembagaan 1) Kelembagaan yang ada saat ini dapat dipertahankan untuk masa yang akan datang (SUSIN 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang kelembagaan dapat dipertahankan di masa yang akan datang Tidak bisa dengan nilai 1 Kurang bisa dengan nilai 2 Cukup bisa dengan nilai 3 Bisa dengan nilai 4 Sangat bisa dengan nilai 5 2) Kondisi sumberdaya mampu memberikan manfaat secara ekonomi (SUSIN 2), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang kemampuan sumberdaya memberikan manfaat secara ekonomi. Tidak mampu dengan nilai 1 Kurang mampu dengan nilai 2 Cukup mampu dengan nilai 3 Mampu dengan nilai 4 Sangat mampu dengan nilai 5 Pemahaman masyarakat tentang pengelolaan SDPT Peraturan dan kebijakan 1) Pengetahuan tentang peraturan (REGUL1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang peraturan. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 2) Pengetahuan tentang aturan syarat teknis kapal (REGUL2), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan syarat teknis kapal. 162

41 Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 3) Pengetahuan tentang JTB (REGUL3), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan JTB Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 4) Pengetahuan tentang aturan jalur penangkapan (REGUL4), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan jalur penangkapan. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 5) Pengetahuan tentang aturan mengenai pencemaran (REGUL5), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan mengenai pencemaran Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 6) Pengetahuan aturan perizinan usaha (REGUL6), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan perizinan usaha. 163

42 Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 7) Pengetahuan tentang aturan pungutan perikanan (REGUL7), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan pungutan perikanan. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 8) Pengetahuan tentang aturan prasarana dan kelembagaan (REGUL8), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan prasarana dan kelembagaan. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 Rencana pangelolaan sumberdaya perikanan tangkap 1) Pengetahuan tentang aturan preservasi dan konservasi habitat (PLANK 1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan preservasi dan koservasi habitat. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 164

43 2) Pengetahuan tentang pengaturan effort (PLANK 2), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang pengaturan effort. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 3) Pengetahuan tentang pengaturan ukuran mata jaring (PLANK 3), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang pengaturan ukuran mata jaring. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 4) Pengetahuan tentang pengaturan musim (PLANK 4), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang pengaturan musim. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 5) Pengetahuan tentang pengaturan jalur penangkapan PLANK 5), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang pengaturan jalur penangkapan. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 165

44 Kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap 1) Pengetahuan tentang batas lestari (KEGKO 1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang batas lestari. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 2) Pengetahuan tentang konservasi sumberdaya (KEGKO 2), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang konservasi sumberdaya. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 3) Pengetahuan tentang coastal sanctuary (KEGKO 3), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang coastal sanctuary. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 4) Pengetahuan tentang konservasi marine reserve (KEGKO 4), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang konservasi marine reserve. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 166

45 5) Pengetahuan tentang replantasi hutan mangrove (KEGKO 5), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang replantasi hutan mangrove. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 6) Pengetahuan tentang reboisasi sempadan pantai (KEGKO 6), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang reboisasi sempadan pantai. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 7) Pengetahuan tentang konservasi marine protected area (KEGKO 7), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang konservasi marine protected area. Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 Sistem pengawasan masyarakat 1) Pengetahuan tentang monitoring dan evaluasi terhadap konservasi (WASMA 1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang monitoring dan evaluasi terhadap konservasi. 167

46 Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 2) Pengetahuan tentang penegakan hukum (WASMA 2), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang penegakan hukum Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 Pengumpulan data Data yang diperlukan untuk analisis diperoleh dari survei persepsi responden di tiga lokasi penelitian. Setiap responden diberi sembilan set angket, setiap set digunakan untuk menilai satu jenis konflik. Ke sembilan jenis konfik tersebut yaitu: 1) konflik retribusi (RETR), 2) konflik perebutan daerah tangkap (DAET), 3) konflik perbedaan alat tangkap (ALTA), 4) konflik penggunaan potas/obat-obatan/obat-obatan (POTA), 5) konflik bagi hasil (BAGH), 6) konflik nelayan lokal vs andon (LOKA), 7) konflik pencemaran lingkungan (PENL), 8) konflik Tambat labuh (TAML) dan 9) konflik perusakan terumbu karang (PERK). Setiap set kuesioner terdiri dari item pertanyaan yang ditujukan untuk mengetahui faktor penyebab konflik, teknik resolusi konflik yang digunakan dan outcome dari proses resolusi konflik yang dilakukan. Analisis data Analisis keefektifan resolusi konflik dilakukan dengan menggunakan principal component analisys (PCA) dan structural equation model (SEM). PCA digunakan karena mampu memetakan jenis konflik, penyebab konflik, dan teknik resolusi konflik dalam satu bidang tertentu yang disebut sebagai biplot (Lossa et al. 2002), jika jenis konflik, penyebab konflik dan teknik resolusi konflik berada dalam satu bidang, maka dapat dikatakan bahwa teknik tersebut sesuai untuk 168

47 mengatasi konflik yang bersangkutan. Teknik intepretasi seperti ini juga diadopsi dari Bengen (1998), dalam mengintepretasikan hasil analisis PCA. Metode analisis SEM dilakukan guna mengkonfirmasi hasil analisis PCA yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan analisis SEM akan dapat diketahui kontribusi variabel eksogenous (observed) terhadap variabel endogenous (latent) dalam menilai keefektivan teknik resolusi konflik. Model SEM tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 29. Metoda resolusi konflik α 2 α 4 Penyebab Konflik α 1 Jenis konflik Kepuasan terhadap teknik resolusi konflik yang digunakan α 6 α 3 Keterangan : α 1, α 3 α 6 = Faktor Loading α 2 = Koefisien korelasi α 5 Outcome Gambar 29. Model struktural antara konflik, teknik resolusi konflik, kepuasan terhadap resolusi konflik dan outcome (diadopsi dari Barki et al. 2001) Selain melakukan identifikasi tipologi konflik dan metode resolusinya, penelitian juga diarahkan untuk merancang model proses pengelolaan perikanan tangkap berbasis resolusi konflik yang diharapkan dapat berpengaruh terhadap pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap dan pemahaman masyarakat tentang pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan. Penilaian aspek pemahaman dilakukan menggunakan kuesioner persepsi responden dengan kriteria penilaian menggunakan skor dengan selang : 0,00-1,49; 1,50-2,49; 2,50-3,49; 3,50-4,49 dan lebih besar dari 4,49. Semakin besar skor yang diperoleh menunjukkan tingkat pemahaman/kecocokan/keadilan yang semakin baik. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan 169

48 tangkap diukur dengan skala Pretty et al. (1995). Analisis aspek persepsi, kecocokan/kemungkinan dan peluang sukses penggunan ADR dilakukan menggunakan statistik analysis of variance (ANOVA) dengan bantuan software SPSS versi 13. Analisis of variance digunakan untuk melihat perbedaan variabel yang dinilai pada setiap lokasi penelitian. Model yang diestimasi Dengan dinotasikan variabel penyebab konflik adalah X i dan komponen utama dari variabel X i adalah K, maka model komponen utama penyebab konflik dapat diformulasikan sebagai berikut : k = a... a X (1) j j1 X j1 + a j2 X j2 + jn jn k j adalah komponen utama pertama. Karena faktor penyebab terdiri dari n variabel maka persamaan (1) pada hakekatnya berjumlah n persamaan dimana k j ; j = 1,2,3... i; i = n. k a X a X a X n 1n = (2) k2 = a21x 21 + a22 X a2n X 2n.. k = a X + a X... a i i1 i1 i2 i2 + in X in Dalam notasi matriks, persamaan (2) dapat dipresentasikan sebagai berikut : a a a i1 a a a i a a 1n a 2n.. in X X.. X 1n k k =.. k 2n in 1 2 n k = a in X in ' (3) 170

49 dimana X in ' adalah transpose dari X in. Dengan menghitung varian dari persamaan (1), maka dalam notasi matriks persamaan tersebut menjadi : V ( k j ) V ( a j ' X ) = a j ' Sa j = (4) dimana S adalah kovarian matriks. Dengan teknik optimasi Lagrangean, V ( k j ) dapat dimaksimisasi dengan fungsi kendala a ' = 1, sehingga dapat menghasilkan: j a j a atau '( S LI ) = 0 j ' S La ' = 0 j a j (5) dimana L = Lagrangean multiplier I = Matriks identiti order j Karena a j 0 maka persamaan (5) dapat ditulis : ( LI ) = 0 S (6) Solusi terhadap persamaan (6) akan menghasilkan L sebanyak n buah, dimana eigenvalue (akar ciri) adalah L yang maksimum. ( L ) = max( L, L ) AkarCiri,... * 1 2 L n Dengan cara yang sama, dapat pula ditentukan kompunen utama ke dua dan seterusnya. Untuk komponen utama ke dua, optimasi Lagrangean dengan kendala a j ' a j = 1dan a j ' a k = 0. Dari persamaan (1), a j1 adalah component loading yang menunjukkan arah dan bobot pengaruh variabel X ji terhadap komponen utama ke j. Analisis komponen utama pada dasarnya adalah teknik redefinisi dan reduksi variabel yang kompleks dan besar jumlahnya menjadi komponen utama dari variabel tersebut. Jumlah komponen utama yang digunakan bergantung pada seberapa besar variasi yang bisa diwakili oleh komponen-komponen utama tersebut. Tolok ukur untuk menentukan komponen utama yang digunakan menurut Morrison (1990) adalah bila secara kuantitatif komponen-komponen 171

50 utama tersebut jumlah kumulatif akar ciri telah mencapai minimum 75%. Pendugaan komponen utama untuk aspek teknik resolusi dan outcome menggunakan cara yang sama seperti yang diterangkan di atas.. Pendugaan hubungan antara variabel-variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel-variabel teknik resolusi (RESO) serta variabel-variabel (RESO) dan variabel-variabel outcome (OUTC) menggunakan teknik structural equation model (SEM) yang dirinci sebagai berikut : 1) menentukan factor loading (faktor) dari variabel-variabel (KONF) dengan menggunakan confirmatory factor analysis. 2) menentukan factor loading (faktor) dari variabel-variabel (RESO) dengan menggunakan confirmatory factor analysis. 3) Menentukan hubungan korelasi antara penyebab konflik (KONF) dengan teknik resolusi (RESO). 4) Menentukan hubungan korelasi antara teknik resolusi (RESO) dengan outcome (OUTC) Pada dasarnya analisis SEM dimaksudkan untuk mengkonfirmasi hasil analisis PCA yang telah dilakukan sebelumnya. Variabel-variabel yang mempunyai loading yang besar pada ke dua alat analisis tersebut dianggap sebagai variabel utama. Alat analisis yang digunakan adalah Statistica versi 6 dari Soft Stat, dimana kontribusi dari observed variable terhadap masing-masing latent variables nya (KONF, RESO, OUTC) dan pengaruh antara satu latent variable terhadap latent variables yang lainnya baik yang langsung maupun tidak langsung diestimasi secara simultan. Hasil Berdasarkan hasil survei di tiga lokasi penelitian, berhasil diidentifikasi 27 kasus konflik perikanan tangkap yang dapat dikelompokkan ke dalam sembilan jenis konflik yaitu: 1) konflik perbedaan alat tangkap (ALTA), 2) konflik penggunaan potas/obat-obatan/obat-obatan (POTA), 3) konflik pengolahan limbah (PENL), 4) konflik perusakan terumbu karang (PERK), 5) konflik bagi hasil (BAGH), 6) konflik perebutan daerah tangkap (DAET), 7) konflik nelayan 172

51 lokal vs andon (LOKA), 8) konflik tambat labuh (TAML), dan 9) konflik retribusi (RETR). Pada Tabel 14 dapat dilihat faktor penyebab konflik yang dinilai dengan skor 1 5. mendapat penilaian (skor) lebih dari tiga adalah keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU), persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK), kondisi perekonomian masyarakat (EKON), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan jumlah nelayan (POPU). Faktor penyebab yang mendapat penilaian terendah adalah adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE) dengan skor 1,89. Penyebab Konflik Tabel 14. Rerata skor jenis konflik menurut penyebabnya Jenis Konflik * Rerata Skor PART 3,35 3,35 2,75 2,64 3,43 3,31 2,51 3,35 2,25 2,99 LEAD 4,16 4,09 3,71 3,86 4,33 4,22 3,33 3,48 2,55 3,75 OPOS 2,95 2,95 3,34 2,76 2,97 2,95 2,95 2,90 2,90 2,97 ISSU 3,80 3,80 3,86 3,86 3,79 3,80 3,80 3,81 3,74 3,81 EKON 3,44 2,87 2,23 2,23 4,09 3,53 3,79 1,29 4,69 3,13 POPU 3,19 3,19 2,03 2,03 2,64 4,23 3,78 4,24 1,69 3,00 CULT 2,17 3,03 1,79 1,79 2,56 2,60 4,50 1,43 1,45 2,37 LAWS 4,45 4,66 2,66 3,52 1,73 3,93 2,29 1,36 1,74 2,93 INTE 1,55 1,55 2,72 2,72 1,79 1,55 1,55 1,38 2,19 1,89 COMP 4,58 3,93 3,60 2,74 1,54 4,43 4,18 1,21 1,26 3,05 STOK 3,98 4,42 1,52 4,41 3,13 3,92 3,52 1,19 2,19 3,14 *) 1 = ALTA, 2 = POTA, 3 = PENL, 4 = PERK, 5 = BAGH, 6 = DAET, 7 = LOKA, 8 = TAML, 9 = RETR Kemampuan responden dalam menentukan teknik resolusi konflik diukur dengan menggunakan 8 item pertanyaan, setiap teknik resolusi konflik diukur dengan menggunakan dua buah pertanyaan. Teknik fasilitasi diukur dengan pertanyaan RESO 1 dan RESO 2, negosiasi (RESO 3 dan RESO 4), mediasi (RESO 5 dan RESO 6) atau dibiarkan selesai dengan sendirinya/avoidance (RESO 7 dan RESO 8). Kemampuan responden dalam menentukan teknik resolusi yang tepat dapat dilihat pada Tabel

52 Tabel 15. Rerata skor jenis konflik menurut teknik resolusi Metoda Jenis Konflik * Rerata Resolusi Skor RESO 1 3,62 4,05 3,62 4,72 3,10 4,35 3,40 3,71 4,26 3,87 RESO 2 3,98 4,67 3,98 2,79 3,41 4,87 3,65 4,95 4,97 4,14 RESO 3 4,40 4,40 4,40 3,34 4,54 4,40 4,40 4,14 4,10 4,24 RESO 4 4,38 4,40 4,38 2,76 4,56 4,40 4,40 4,10 4,06 4,16 RESO 5 3,58 4,03 3,58 3,28 3,56 4,42 4,42 4,14 4,10 3,90 RESO 6 3,32 3,72 3,32 3,31 2,87 3,72 3,72 3,10 2,74 3,31 RESO 7 3,32 4,48 3,32 3,14 4,03 4,48 3,45 4,33 4,23 3,86 RESO 8 2,60 4,47 2,60 3,07 3,28 4,47 4,47 4,33 4,13 3,71 *) 1 = ALTA, 2 = POTA, 3 = PERL, 4 = PERK, 5 = BAGH, 6 = DAET, 7 = LOKA, 8 = TAML, 9 = RETR Merujuk pada Tabel 15, dapat disimpulkan bahwa teknik negosiasi memperoleh rerata skor yang tertinggi, yaitu 4.24 dan 4.16; diikuti dengan teknik fasilitasi dengan rerata skor 3.87 dan 4.14; avoidance dengan rerata skor 3.86 dan 3.71; serta teknik mediasi dengan rerata skor 3.90 dan Hipotesis pertama terkait dengan kemampuan stakeholder memetakan faktor penyebab dan menentukan teknik resolusi konflik perikanan tangkap diuji menggunakan dua metoda, yaitu analisis komponen utama (principal component analysis/pca), dan model persamaan struktural (structural equation model/sem). Analisis PCA dilakukan dengan menempatkan faktor penyebab konflik sebagai variabel dan jenis konflik sebagai kasus atau individu. Berdasarkan hasil analisis komponen utama (PCA) diketahui bahwa ragam pada komponen utama pertama hingga komponen ke empat untuk variabel penyebab konflik mencapai 85,71 persen. Selanjutnya komponen utama pertama hingga ke tiga mempunyai akar ciri, yaitu : 3,745; 2,433; 1,990 dan 1,259 yang menjelaskan masing-masing : 34,05 persen; 22,12 persen; 18,09 dan 11,44 persen keragaman gugus data. Analisis hubungan/korelasi antara variabel dan sumbu utama diperoleh gambaran sebagai berikut: 1) Variabel penyebab konflik keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK) memberikan sumbangan terbesar pada komponen utama pertama. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama pertama, masing-masing adalah: -0,770; -0,748; -0,744 dan -0,

53 2) Variabel penyebab konflik isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU) dan kondisi perekonomian masyarakat (EKON) memberikan sumbangan terbesar pada komponen utama kedua. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama kedua, masing-masing adalah: 0,921 dan 0,704. 3) Variabel penyebab konflik keberadaan pihak yang bertolak belakang (OPOS) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama ke empat. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama ke empat adalah: 0,766. Hubungan/korelasi antara variabel dan komponen utama selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 16. Intepretasi variabel-variabel yang mempunyai keterkaitan erat dengam sumbu utama dapat dilihat pada lingkaran korelasi, yaitu dengan koordinat variabel atau kualitas representasi variabel pada sumbu utama yang ditunjukkan oleh dekat tidaknya variabel tersebut pada sumbu. Semakin dekat variabel tersebut pada sumbu, semakin besar korelasinya (positif atau negatif). Sementara koodinat dari setiap kasus atau individu pada komponen utama merepresentasikan proksimitas atau kedekatan antara kasus dengan variabel. Evaluasi kualitas representasi individu pada sumbu utama dapat dilihat pada grafik sebaran individu. Intepretasi variabel-variabel yang mempunyai keterkaitan erat dengan sumbu utama dapat dilihat di lingkaran korelasi pada Gambar

54 Komponen utama II : 22.12% Komponen utama I : 34.05% Gambar 30. Korelasi antar variabel penyebab konflik dan sebaran individu kasus jenis konflik pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2) Gambar 30 menunjukkan variabel penyebab konflik perikanan tangkap yang mempunyai keterkaitan erat dengan sumbu utama. Posisi variabel-variabel tersebut pada sumbu utama merepresentasikan arah dan bobot pengaruh variabel tersebut terhadap komponen utama. Variabel penyebab konflik keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK) berada lebih dekat dengan sumbu utama pertama. Variabel penyebab konflik isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU) dan kondisi perekonomian masyarakat (EKON) berada lebih dekat dengan sumbu utama ke dua. Sedangkan variable penyebab konflik keberadaan pihak yang bertolak belakang (OPOS) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama ke empat. Dari gambar tersebut terlihat bahwa posisi konflik perusakan 176

55 terumbu karang (PERK) sangat dipengaruhi oleh keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD) yang mempunyai komponen loading yang terbesar pada sumbu utama yang pertama. Evaluasi kualitas representasi individu pada sumbu utama pertama dan kedua dapat dianalisis grafik sebaran individu pada Gambar 30, pada prinsipnya koodinat dari setiap kasus atau individu pada komponen utama merepresentasikan proksimitas atau kedekatan antara kasus dengan variabel. Pada gambar tersebut terlihat bahwa pada kasus konflik bagi hasil (BAGH), konflik tambat labuh (TAML) dan konflik retribusi (RETR) dapat direpresentasikan oleh variabel penyebab konflik keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan persepsi masyarakat terhadap keadaan sumberdaya (STOK). Demikian pula pada kasus konflik daerah tangkap (DAET) dan konflik alat tangkap (ALTA) direpresentasikan oleh variable isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU) dan kondisi perekonomian masyarakat (EKON). Analisis PCA selanjutnya dilakukan untuk mengetahui keterkaitan antara variable teknik resolusi konflik (RESO) dengan jenis konflik. Pada analisis ini, variable teknik resolusi konflik ditempatkan sebagai variabel dan jenis konflik ditempatkan sebagai kasus atau individu. Hasil analisis diketahui bahwa ragam pada komponen pertama hingga komponen kedua mencapai 75,63 persen. Selanjutnya komponen utama pertama hingga ke dua mempunyai akar ciri, yaitu : 3,826 dan 2,224 yang menjelaskan masing-masing: 47,83 persen dan 27,81 persen keragaman gugus data. Analisis hubungan/korelasi antara variabel dan sumbu utama diperoleh gambaran sebagai berikut: 1) Variabel teknik resolusi konflik fasilitasi (RESO 2), negosiasi (RESO 3 dan RESO 4), mediasi (RESO 5) dan avoidance (RESO 7 dan RESO 8) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama pertama. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama pertama, masing-masing adalah: -0,797; -0,727; -0,772; -0,865; -0,793 dan -0,

56 2) Variabel teknik resolusi konflik fasilitasi (RESO 1) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama kedua. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama kedua, yaitu: -0,890. Hubungan/korelasi antara variabel dan sumbu utama selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 19. Intepretasi variabel-variabel yang mempunyai keterkaitan erat Komponen utama II : 27.81% dengan sumbu utama dapat dilihat di lingkaran korelasi pada Gambar 31. Komponen utama I : 47.83% Gambar 31. Korelasi antar variabel teknik resolusi konflik dan sebaran individu kasus jenis konflik pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2) Pada Gambar 31 terlihat bahwa variabel teknik resolusi konflik fasilitasi (RESO 2), negosiasi (RESO 3 dan RESO 4), mediasi (RESO 5) dan avoidance (RESO 7 dan RESO 8) lebih dekat pada sumbu utama yang pertama, sedangkan variable teknik resolusi konflik fasilitasi (RESO 1) lebih dekat pada sumbu utama yang ke dua. Hasil analisis menunjukkan bahwa eigenvalue sebesar 47,83 persen 178

57 pada sumbu utama yang pertama (F1) yang berarti variable RESO pada sumbu tersebut sangat representative. Evaluasi kualitas representasi individu pada sumbu utama pertama dan kedua dapat dianalisis grafik sebaran individu pada Gambar 31, terlihat bahwa pada kasus konflik bagi hasil (BAGH), konflik tambat labuh (TAML), konflik pengolahan limbah (PENL) dan konflik perusakan terumbu karang (PERK) direpresentasikan oleh teknik fasilitasi (RESO 2), mediasi (RESO 5) dan avoidance (RESO 7 dan RESO 8). Kasus konflik nelayan lokal vs andon (LOKA) direpresentasikan oleh teknik negosiasi (RESO 3 dan RESO 4). Sementara konflik alat tangkap (ALTA) direpresentasikan oleh tehik fasilitasi (RESO 1). Pada gambar dapat dilihat posisi individu/kasus konflik alat tangkap (ALTA) ternyata sangat dipengaruhi oleh variabel teknik resolusi konflik (RESO) yang mempunyai komponen loading dominan pada sumbu utama pertama. Pengujian hipotesis 1 selanjutnya dilakukan dengan menggunakan model persamaan struktural (SEM) hubungan antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO). Ketepatan model struktural dengan kondisi sesungguhnya dinilai berdasarkan kriteria kecocokannya (Goodness of Fit). Berdasarkan kriteria ini dapat disimpulkan bahwa model memiliki kecocokan yang tinggi, sebagaimana dilihat dari nilai Maximum Likelihood Chi-Square, RMS Standardized Residual, Goodness of Fit Index (GFI), Adjusted GFI (AGFI) dan Normed Fit Index (NFI). Berdasarkan kriteria Chi Square, model dikatakan fit jika nilai Chi Square tidak signifikan, sementara untuk kriteria yang lain, semakin besar nilainya maka semakin baik (fit) model tersebut. Dari ke lima kriteria tersebut hanya Chi Square yang mengindikasikan model kurang fit sementara ke empat kriteria yang lain menunjukkan model sudah fit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model struktural yang digunakan sudah baik. Hubungan antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) ditunjukan oleh factor loading dari masingmasing variabel laten (KONF dan RESO). Besarnya nilai loading dari masingmasing faktor menunjukkan arah dan bobot pengaruh faktor tersebut terhadap variabel KONF dan RESO. 179

58 Pada Gambar 32 dapat dilihat bahwa pada kasus konflik perikanan tangkap (PETA), variabel penyebab konflik (KONF) yang merepresentasikan jenis konflik tersebut adalah keberadaan peraturan dan penegakkan hukum (LAWS), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP), persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK) dan latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), masing-masing adalah 0,723; 0,582; 0,564; 0,548 dan 0,272. Sedangkan observed variable yang merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) yaitu mediasi, negosiasi dan avoidance masing-masing dengan nilai 0,670; 0,387 dan 0,355. PART 0.390** LEAD 0.582** OPOS ISSU ** FASILITASI EKON ** NEGOSIASI POPU 0.214** KONF 0.446** RESO CULT 0.272** 0.670** MEDIASI LAWS COMP INTE 0.723** 0.564** ** 0.548** 0.355** AVOIDANCE STOK Gambar 32. Structural Equation Modeling untuk penyebab konflik (KONF) dengan teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik perikanan tangkap Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada kasus konflik perikanan tangkap (PETA) menunjukkan nilai yang signifikan, yaitu 0,446 yang mendukung hipotesis 1, yaitu terdapat hubungan positif antara kemampuan responden mengidentifikasi faktor penyebab konflik dengan kemampuan memilih teknik resolusi konflik yang digunakan. Tanda positif ini memberikan indikasi bahwa 180

59 semakin baik kemampuan mengidentifikasi faktor penyebab konflik maka semakin baik pula kemampuan menentukan teknik resolusi konflik. Kumulatif dari hasil analisis structural equation model hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) untuk ke sembilan jenis konflik yang terdapat di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 16 sebagai berikut : Variabel penyebab konflik (KONF) pada kasus konflik alat tangkap (ALTA) direpresentasikan oleh latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD) dan kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dengan masing-masing nilai 0,697; 0,397 dan -0,338. Dari tabel tersebut juga dapat diketahui bahwa teknik mediasi, negosiasi dan avoidance merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada kasus konflik alat tangkap (ALTA) masing-masing dengan nilai 0,380; 0,687 dan 0,364. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada kasus konflik alat tangkap (ALTA) menunjukkan nilai signifikan, yaitu 0,824 yang berarti mendukung hipotesis 1. Pada kasus konflik penggunaan potas/obat-obatan/bahan kimia (POTA), faktor keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD) merepresentasikan variabel penyebab konflik (KONF) dengan nilai loading 0,485. Demikian pula mediasi, negosiasi dan avoidance memberikan kontribusi yang signifikan dalam membentuk variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik penggunaan potas/obat-obatan/bahan kimia (POTA) yaitu masing-masing dengan nilai 0,677; 0,387 dan 0,363. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik penggunaan potas/obat-obatan/bahan kimia (POTA) menunjukkan nilai signifikan, yaitu 0,785 yang berarti mendukung hipotesis 1. Variabel penyebab konflik (KONF) pada konflik pengolahan limbah (PENL) direpresentasikan oleh keberadaan pihak yang bertolak belakang (OPOS), isu yang berkembang dalam mansyarakat (ISSU), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE), dan persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK), masing-masing dengan nilai 1,00; -0,596; 0,556; -0,474 dan 0,308. Sedangkan faktor yang merepresentasikan 181

60 variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik pengolahan limbah (PENL) yaitu negosiasi dan avoidance dengan nilai 1,00 dan 0,467. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik pengolahan limbah (PENL) menunjukkan nilai tidak signifikan, yaitu -0,185 yang berarti tidak mendukung hipotesis 1. Pada konflik perusakan terumbu karang (PERK), faktor merepresentasikan variabel penyebab konflik (KONF) yaitu persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP), kondisi perekonomian masyarakat (EKON) dan adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE) masing-masing dengan nilai 0,969; 0,921; 0,539 dan -0,309, Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik perusakan terumbu karang (PERK) yaitu negosiasi dan avoidance dengan nilai 0,957 dan 0,491 pada taraf signifikansi 95 persen. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik perusakan terumbu karang (PERK) menunjukkan nilai tidak signifikan, yaitu -0,232 yang berarti tidak mendukung hipotesis 1. Pada kasus konflik bagi hasil (BAGH), variabel penyebab konflik (KONF) direpresentasikan oleh keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), banyak sedikitnya pihak yang terlibat dalam konflik (PARTY), latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), kondisi perekonomian masyarakat (EKON), jumlah nelayan (POPU) dan adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE) masingmasing dengan nilai 0,835; 0,744; 0,480; 0,420; -0,405 dan -0,378. Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik bagi hasil (BAGH) yaitu negosiasi, mediasi dan avoidance masing-masing dengan nilai 0,904; 0,889 dan 0,874. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik bagi hasil (BAGH) menunjukkan nilai signifikan, yaitu 0,736 yang berarti mendukung hipotesis 1. Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel penyebab konflik (KONF) pada konflik daerah tangkap (DAET) yaitu latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), jumlah nelayan 182

61 (POPU), banyak sedikitnya pihak yang terlibat dalam konflik (PART),, keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK) dan adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE) masing-masing dengan nilai 0,950; 0,638; -0,564; 0,527; 0,516; 0,387 dan 0,326. Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik daerah tangkap (DAET) yaitu mediasi, negosiasi, avoidance dan fasilitasi masing-masing dengan nilai 0,902; 0,882; 0,733 dan 0,422. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik daerah tangkap (DAET) menunjukkan nilai signifikan, yaitu 0,954 yang berarti mendukung hipotesis 1. Pada konflik nelayan lokal vs andon (LOKA), faktor yang merepresentasikan variabel penyebab konflik (KONF) yaitu keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), banyak sedikitnya pihak yang terlibat dalam konflik (PARTY), kondisi perekonomian masyarakat (EKON), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan jumlah nelayan (POPU). dan adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE) masing-masing dengan nilai 0,744; 0,730; 0,675; 0,659; - 0,471; -0,455 dan 0,405. Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik nelayan lokal vs andon (LOKA) yaitu negosiasi, mediasi, avoidance dan fasilitasi masing-masing dengan nilai 0,932; 0,837; 0,788 dan 0,347. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik daerah tangkap (DAET) menunjukkan nilai signifikan, yaitu 0,843 yang berarti mendukung hipotesis 1. Pada konflik tambat labuh (TAML), faktor yang merepresentasikan variabel penyebab konflik (KONF) yaitu latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), isu yang berkembang dalam mansyarakat (ISSU) dan keberadaan dan kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) masing-masing dengan nilai -0,452; -0,319; - 0,249 dan 0,288. Demikian pula faktor yang memberikan kontribusi yang signifikan dalam membentuk variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada 183

62 konflik tambat labuh (TAML) yaitu fasilitasi dan negosiasi dengan nilai -0,333 dan 0,312 Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik tambat labuh (TAML) menunjukkan nilai signifikan, yaitu -0,648 yang berarti tidak mendukung hipotesis 1. Faktor yang merepresentasikan variabel penyebab konflik (KONF) pada konflik retribusi (RETR) yaitu latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP), dan isu yang berkembang dalam mansyarakat (ISSU), masing-masing dengan nilai -0,615, -0,365 dan 0,291. Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik retribusi (RETR) yaitu mediasi dengan nilai 0,290. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik retribusi (RETR) menunjukkan nilai signifikan pada taraf 95 persen, yaitu -0,387 yang berarti tidak mendukung hipotesis 1. Pada Tabel 16 dapat dilihat kumulatif hasil structural equation modeling untuk variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO). 184

63 Tabel 16. Kumulatif structural equation modeling untuk penyebab konflik (KONF) dengan teknik resolusi konflik (RESO) Variabel Jenis Konflik PETA ALTA POTA PENL PERK BAGH DAET LOKA TAML RETR (Penyebab Konflik)-1->[PART] 0,390 ** 0,234 ** 0,219 ** -0,236-0,039 0,744 ** 0,527 ** 0,675 ** ** ** (Penyebab Konflik)-2->[LEAD] 0,582 ** 0,397 ** 0,485 ** 0,556 ** 0,105 0,835 ** 0,638 ** 0,744 ** * * (Penyebab Konflik)-3->[Opos] 0,037 0,059 0,057 1,000 ** -0,135 0,166 0,181 0, * (Penyebab Konflik)-4->[ISSU] 0,034 0,056 0,042-0,596 ** -0,066 0,164 0,067 0, ** ** (Penyebab Konflik)-5->[Ekon] -0,085-0,128 0,227 * 0,122 0,539 ** 0,420 ** -0,077 0,659 ** (Penyebab Konflik)-6->[POPU] 0,214 ** -0,149 ** -0,136 ** -0,155-0,171-0,405 ** -0,564 ** -0,455 ** (Penyebab Konflik)-7->[CULT] 0,272 ** 0,697 ** 0,293-0,025 0,169 0,480 ** 0,950 ** -0, ** ** (Penyebab Konflik)-8->[LAWS] 0,723 ** -0,029-0,093 0,432 * 0,186 0,283 0,516 ** -0,730 ** ** (Penyebab Konflik)-9->[COMP] 0,564 ** -0,338 ** 0,212 ** -0,399 * 0,921 ** 0,150 0,033 0,471 ** ** ** (Penyebab Konflik)-10->[Interst] -0,130 ** 0,110 0,159 * -0,474 ** -0,309-0,378 ** 0,326 ** 0,405 ** (Penyebab Konflik)-11->[Stok] 0,548 ** 0,135 0,096 0,308 0,969 ** 0,296 0,387 ** -0,257 * ** (Metoda Resolusi)-12->[Fasilita] 0,073 ** 0,094 ** 0,091 ** -0,459 ** -0,203 0,307 * 0,422 ** 0,347 ** ** (Metoda Resolusi)-13->[Negoisas] 0,387 ** 0,380 ** 0,387 ** 1,000 ** 0,957 * 0,904 ** 0,882 ** 0,932 ** ** ** (Metoda Resolusi)-14->[Mediasi] 0,670 ** 0,687 ** 0,677 ** 0,117 0,203 0,889 ** 0,902 ** 0,837 ** * ** (Metoda Resolusi)-15->[Avoidanc] 0,355 ** 0,364 ** 0,363 ** 0,467 ** 0,491 * 0,874 ** 0,733 ** 0,788 ** * * (RESO)-31-(KONF) 0,446 ** 0,824 ** 0,785 ** -0,185-0,232 0,736 ** 0,954 ** 0,843 ** ** * Fit Measure ML Chi-Square 928, , , , , , , , Degrees of Freedom 89,000 89,000 89,000 89,000 89,000 89,000 89,000 89, p-level 0,000 0,000 0,001 0,000 0,000 0,000 0,000 0, RMS Standardized Residual 0,127 0,110 0,102 0,185 0,168 0,122 0,110 0, GFI 0,765 0,750 0,790 0,598 0,626 0,710 0,724 0, AGFI 0,683 0,663 0,717 0,457 0,496 0,610 0,627 0, NFI 0,575 0,571 0,595 0,264 0,303 0,506 0,622 0, Keterangan: ** signifikan pada taraf α = 0,01 * signifikan pada taraf α = 0,

64 Hipotesis 2 terkait dengan pengaruh resolusi konflik terhadap outcome pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, yaitu pengaruh teknik resolusi konflik terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab, peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab, dan peningkatan pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan. Berdasarkan hasil analisis, rerata skor outcome menurut jenis konflik dapat dilihat pada Tabel 17. Jenis Konflik Tabel 17. Rerata skor outcome menurut jenis konflik Rerata skor outcome* TRANP AKUNT PARPL PARIM PARMO SUSEK SUSSO SUSKO SUSIN ALTA 3,81 3,70 2,63 3,32 2,35 3,77 3,90 3,80 3,88 POTA 3,85 3,70 2,63 3,32 2,35 3,78 3,90 3,80 3,88 PENL 3,71 3,83 2,67 3,51 2,41 3,75 3,92 3,77 4,16 PERK 3,85 3,79 2,67 3,51 2,41 3,75 3,92 3,80 4,21 BAGH 3,70 3,78 2,55 3,44 2,26 3,77 3,88 3,73 4,15 DAET 3,83 3,65 2,63 3,32 2,35 3,79 3,90 3,85 4,09 LOKA 3,83 3,73 2,63 3,32 2,35 3,76 3,90 3,89 4,14 TAML 3,40 3,45 2,78 3,10 2,52 3,77 3,99 3,84 3,98 RETR 3,53 3,65 2,62 3,10 3,19 3,78 3,92 3,69 4,19 Rerata skor 3,72 3,70 2,65 3,33 2,47 3,77 3,92 3,80 4,08 Skor tertinggi outcome terdapat pada variabel keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, yaitu keberlanjutan ekologis (SUSEK), keberlanjutan social-ekonomi (SUSSO), keberlanjutan komunitas (SUSKO), dan keberlanjutan kelembagaan (SUSIN), dengan rerata skor masingmasing adalah : 3,77; 3,92; 3,80 dan 4,08. Berdasarkan rerata skor tersebut dapat disimpulkan bahwa pemahaman masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan termasuk dalam kategori baik. Demikian pula aspek pemahaman terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan dari perspektif akuntabilitas (AKUNT) dan transparansi (TRANP) menunjukkan rerata skor yang lebih tinggi 3,70 dan 3,72. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan sudah termasuk dalam kategori baik. Pemahaman terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan direpresentasikan dalam variabel partisipasi dalam perencanaan pengelolaan perikanan tangkap (PARPL), partisipasi dalam 186

65 pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap (PARIM) dan partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap (PARMO) dengan rerata skor masing-masing sebesar 2,65; 3,33 dan 2,47. Dari ketiga sub variabel partisipasi, ternyata partisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap (PARIM) memperoleh rerata skor paling tinggi, sementara partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap (PARMO) memperoleh rerata skor terendah. Berdasarkan rerata skor tersebut dapat disimpulkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap termasuk ke dalam tingkatan partisipasi konsultatif. Pretty et al, (1995) menyebutkan bahwa pada tingkat partisipasi konsultatif pihak luar mendefinisikan problem dan proses pengumpulan informasi, sementara masyarakat berpartisipasi dalam bentuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Dalam bentuk partisipasi ini tidak ada sharing dalam pengambilan keputusan. Analisis komponen faktor utama (PCA) dilakukan dengan menempatkan outcome sebagai variabel dan jenis konflik sebagai kasus atau individu. Berdasarkan hasil analisis PCA diketahui bahwa ragam pada komponen pertama hingga komponen ke tiga untuk variabel outcome, mencapai 75,60 persen. Komponen utama pertama hingga ke tiga mempunyai akar ciri yaitu: 3,465; 1,783 dan 1,556, yang menjelaskan masing-masing: 38,50 persen; 19,81 persen dan 17,29 persen keragaman gugus data. Analisis hubungan/korelasi antara variabel dan sumbu utama diperoleh gambaran sebagai berikut: 1) Variabel outcome transparansi dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan (TRANS), partisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap (PARIM), partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap (PARMO) dan keberlanjutan ekologi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SUSEK) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama pertama. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama pertama, masing-masing adalah -0,688; -0,772; -0,776 dan - 0,893. 2) Variabel outcome keberlanjutan komunitas dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SUSKO) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu 187

66 utama kedua. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama kedua adalah -0,701) 3) Variabel outcome keberlanjutan social ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SUSSO) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama ke tiga. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama ke tiga adalah 0,723. Keterkaitan antara variabel outcome dengan kasus atau individu jenis konflik dapat dilihat pada Gambar 33. Komponen utama II : 19.81% Komponen utama I : 38.50% Gambar 33. Korelasi antar variabel outcome dan sebaran individu kasus jenis konflik pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2) Gambar 33 terlihat bahwa variabel outcome transparansi dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan (TRANS), partisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap (PARIM), partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap (PARMO) dan keberlanjutan ekologi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SUSEK) berada dekat dengan sumbu utama pertama. Sedangkan variabel keberlanjutan komunitas dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SUSKO) berada dekat dengan sumbu utama ke dua dan variabel keberlanjutan 188

7 PEMBAHASAN UMUM 7.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik

7 PEMBAHASAN UMUM 7.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik 7 PEMBAHASAN UMUM 7.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Konflik perikanan tangkap dapat muncul karena berbagai alasan. Menurut Bennett et al. (2004) konflik muncul sebagai fungsi struktur sosial (perspektif

Lebih terperinci

3 METODOLOGI UMUM 3.1 Lokasi Penelitian

3 METODOLOGI UMUM 3.1 Lokasi Penelitian 3 METODOLOGI UMUM 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di tiga kabupaten, yaitu Trenggalek, Malang dan Tulungagung, Provinsi Jawa Timur. Provinsi ini dipilih karena memiliki potensi perikanan tangkap

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu-isu tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti air, tanah, hutan dan kelautan-perikanan, merupakan topik yang semakin penting dalam kajian akademik,

Lebih terperinci

KEEFEKTIVAN PENGELOLAAN KONFLIK PADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN SELATAN JAWA TIMUR ACHMAD BUDIONO

KEEFEKTIVAN PENGELOLAAN KONFLIK PADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN SELATAN JAWA TIMUR ACHMAD BUDIONO KEEFEKTIVAN PENGELOLAAN KONFLIK PADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN SELATAN JAWA TIMUR ACHMAD BUDIONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN Dengan ini saya menya takan bahwa

Lebih terperinci

Alternative Dispute Resolution dalam Sengketa Bisnis

Alternative Dispute Resolution dalam Sengketa Bisnis Alternative Dispute Resolution dalam Sengketa Bisnis P R E P A R E D B Y : I R M A M. N A W A N G W U L A N, M B A M G T 4 0 1 - H U K U M B I S N I S S E M E S T E R G A N J I L 2 0 1 4 U N I V E R S

Lebih terperinci

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Permasalahan konflik perikanan tangkap di perairan Kalsel ditinjau dari tipologi konflik terdiri dari (1) yuridiksi perikanan terjadi pada kasus daerah tangkap disebabkan

Lebih terperinci

2 PENDEKATAN TEORITIS ANALISIS KONFLIK DAN PENGELOLAAN KONFLIK

2 PENDEKATAN TEORITIS ANALISIS KONFLIK DAN PENGELOLAAN KONFLIK 2 PENDEKATAN TEORITIS ANALISIS KONFLIK DAN PENGELOLAAN KONFLIK 2.1 Kerangka Teoritis Analisis Konflik dan Pengelolaan Konflik 2.1.1 Definisi dan anatomi konflik Terdapat beragam literatur yang terkait

Lebih terperinci

DUA PANDANGAN ATAS KONFLIK

DUA PANDANGAN ATAS KONFLIK SOLUSI UNTUK POTENSI KONFLIK ORGANISASI/PERUSAHAAN DENGAN PIHAK LAIN Prof. Dr. SUMARDJO CARE LPPM IPB (CENTER FOR ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION AND EMPOWERMENT-IPB) 1 DUA PANDANGAN ATAS KONFLIK LAMA Konflik

Lebih terperinci

KONFLIK ORGANISASI. Rangkaian Kolom Kluster I, 2012

KONFLIK ORGANISASI. Rangkaian Kolom Kluster I, 2012 KONFLIK ORGANISASI Salah satu yang sering muncul dalam upaya melakukan inovasi organisasi adalah terjadinya konflik di dalam organisasi. Sebagaimana lazim diketahui bahwa suatu organisasi secara keseluruhan

Lebih terperinci

Bimbingan dan Konseling Sosial

Bimbingan dan Konseling Sosial Bimbingan dan Konseling Sosial Situasi Sosial Situasi yang menggambarkan adanya interaksi antar individu, yang didalamnya terdapat sikap saling mempengaruhi. Situasi dalam keanekaragaman. Konflik Kata

Lebih terperinci

Tugas : Perilaku Organisasi Nama : Erwin Febrian Nim : Pertanyaan:

Tugas : Perilaku Organisasi Nama : Erwin Febrian Nim : Pertanyaan: Tugas : Perilaku Organisasi Nama : Erwin Febrian Nim : 14121005 Pertanyaan: 1. Jelaskan pengertian konflik dan cara pandang konflik? 2. Jelaskan jenis, sebab dan proses terjadinya konflik? 3. Jelaskan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

Cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak ketiga yang dapat diterima (acceptable). Artinya para pihak yang berkonflik mengizinkan

Cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak ketiga yang dapat diterima (acceptable). Artinya para pihak yang berkonflik mengizinkan Cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak ketiga yang dapat diterima (acceptable). Artinya para pihak yang berkonflik mengizinkan keterlibatan pihak ketiga untuk membantu mencapai penyenyelesaian.

Lebih terperinci

Conventional vs Sustainable Tourisms WISATA KONVENSIONAL 1. Satu tujuan: Keuntungan 2. Tak terencana 3. Berorientasi pada wisatawan 4. Kontrol oleh pi

Conventional vs Sustainable Tourisms WISATA KONVENSIONAL 1. Satu tujuan: Keuntungan 2. Tak terencana 3. Berorientasi pada wisatawan 4. Kontrol oleh pi STRATEGI DAN PERENCANAAN PENGEMBANGAN WISATA PANTAI DAN LAUT (Ekowisata Berbasis Masyarakat) Ani Rahmawati, S.Pi, M.Si Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA Conventional vs Sustainable Tourisms

Lebih terperinci

A. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

A. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan A. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan Litigasi atau jalur pengadilan merupakan suatu proses gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan yang menggantikan konflik sesungguhnya, dimana para pihak

Lebih terperinci

TERMINOLOGI PARTISIPATIF

TERMINOLOGI PARTISIPATIF TERMINOLOGI PARTISIPATIF METODE PENGEMBANGAN PARTISIPATIF Agustina Bidarti & Yunita Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya APA ITU PARTISIPASI? Partisipasi sering dikaitkan dengan kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

MANAJEMEN KONFLIK OLEH : PROF. DR. SADU WASISTIONO, MS

MANAJEMEN KONFLIK OLEH : PROF. DR. SADU WASISTIONO, MS MANAJEMEN KONFLIK OLEH : PROF. DR. SADU WASISTIONO, MS APA YANG DIMAKSUD DENGAN KONFLIK? BEBERAPA PENGERTIAN : *Konflik adalah perjuangan yang dilakukan secara sadar dan langsung antara individu dan atau

Lebih terperinci

DINAMIKA PERUBAHAN & RESOLUSI KONFLIK

DINAMIKA PERUBAHAN & RESOLUSI KONFLIK DINAMIKA PERUBAHAN & RESOLUSI KONFLIK Resolusi dan Alternatif Resolusi Konflik (3) Dr. Teguh Kismantoroadji Dr. Eko Murdiyanto 1 Kompetensi Khusus: Mahasiswa mampu menentukan alternatif resolusi konflik

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 6 M E D I A S I A.

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 6 M E D I A S I A. BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 6 M E D I A S I A. Pengertian dan Karakteristik Mediasi Mediasi berasal dari bahasa Inggris mediation atau penengahan, yaitu penyelesaian

Lebih terperinci

Majamenen Konflik Dalam Sebuah Organisasi

Majamenen Konflik Dalam Sebuah Organisasi Majamenen Konflik Dalam Sebuah Organisasi (Perspektif Komunikasi Organisasi) Oleh : Anita Septiani Rosana*) Abstraksi Munculnya konflik dalam sebuah organisasi tidak selalu bersifat negatif. Konflik bisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia hidup diatas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan mendayagunakan. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia hidup diatas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan mendayagunakan. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu kekayaan alam atau sumber daya alam yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia adalah tanah. Manusia hidup

Lebih terperinci

KONFLIK DAN NEGOSIASI

KONFLIK DAN NEGOSIASI BAB XI KONFLIK DAN NEGOSIASI Konflik Definisi Konflik Proses yang dimulai ketika satu pihak menganggap pihak lain secara negatif mempengaruhi atau akan secara negatif mempengaruhi sesuatu yang menjadi

Lebih terperinci

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 257 11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 11.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, sehingga tantangan untuk memelihara

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN Kegiatan perikanan tangkap sangat tergantung pada tersedianya sumberdaya perikanan, baik berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya buatan (sarana dan prasarana

Lebih terperinci

9. PERUBAHAN DAN PENGEMBANGAN ORGANISASI

9. PERUBAHAN DAN PENGEMBANGAN ORGANISASI 9. PERUBAHAN DAN PENGEMBANGAN ORGANISASI Manajer senatiasa mengantisipasi perubahan-perubahan dalam lingkungan yang akan mensyaratkan penyesuaian-penyesuaian disain organisasi diwaktu yang akan datang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan dua hal yang amat penting, pertama adalah

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP Disampaikan dalam Kuliah S2 KMPK-IKM UGM Hukum, Etika dan Regulasi Kesehatan Masyarakat Oleh : Dinarjati Eka Puspitasari, S.H., M.Hum Yogyakarta, 21 Maret 2016 Penegakan

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

MANAJEMEN KONFLIK ENI WIDIASTUTI

MANAJEMEN KONFLIK ENI WIDIASTUTI MANAJEMEN KONFLIK ENI WIDIASTUTI Definisi: Perselisihan internal maupun eksternal akibat adanya perbedaan gagasan, nilai atau perasaan antar 2 orang atau lebih. (Marquis dan Huston, 2010) Konflik merupakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Madura merupakan wilayah dengan luas 15.250 km 2 yang secara geografis terpisah dari Pulau Jawa dan dikelilingi oleh selat Madura dan laut Jawa. Sebagai kawasan yang

Lebih terperinci

MEDIASI ATAU KONSILIASI DALAM REALITA DUNIA BISNIS

MEDIASI ATAU KONSILIASI DALAM REALITA DUNIA BISNIS MEDIASI ATAU KONSILIASI DALAM REALITA DUNIA BISNIS Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metode Alternatif Penyelesaian Sengketa Disusun Oleh: Raden Zulfikar Soepinarko Putra 2011 200 206 UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sebagai makhluk sosial tidak

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sebagai makhluk sosial tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa terhindar dari sengketa. Perbedaan pendapat maupun persepsi diantara manusia yang menjadi pemicu

Lebih terperinci

KEEFEKTIVAN PENGELOLAAN KONFLIK PADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN SELATAN JAWA TIMUR ACHMAD BUDIONO

KEEFEKTIVAN PENGELOLAAN KONFLIK PADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN SELATAN JAWA TIMUR ACHMAD BUDIONO KEEFEKTIVAN PENGELOLAAN KONFLIK PADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN SELATAN JAWA TIMUR ACHMAD BUDIONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN Dengan ini saya menya takan bahwa

Lebih terperinci

Pengertian Pemberdayaan PEMBERDAYAAN. Makna Pemberdayaan 5/24/2017. Penyebab Ketidakberdayaan. Pemberdayaan (empowerment) Power/daya.

Pengertian Pemberdayaan PEMBERDAYAAN. Makna Pemberdayaan 5/24/2017. Penyebab Ketidakberdayaan. Pemberdayaan (empowerment) Power/daya. Pengertian Pemberdayaan PEMBERDAYAAN Minggu ke 12 Pemberdayaan (empowerment) Power/daya Mampu Mempunyai kuasa membuat orang lain melakukan segala sesuatu yang diinginkan pemilik kekuasaan Makna Pemberdayaan

Lebih terperinci

Moh Jamin, SH,MH Fakultas Hukum UNS

Moh Jamin, SH,MH Fakultas Hukum UNS Moh Jamin, SH,MH Fakultas Hukum UNS Pengantar SENGKETA Keadaan yang mencerminkan para pihak mempunyai masalah, yaitu menghendaki pihak lain berbuat atau tidak berbuat sesuatu, tetapi pihak lain menolak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dana dari masyarakat dan menyalurkannya secara efektif dan efisien pada

BAB I PENDAHULUAN. dana dari masyarakat dan menyalurkannya secara efektif dan efisien pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendirian bank di Indonesia bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional

Lebih terperinci

DINAMIKA PERUBAHAN & RESOLUSI KONFLIK

DINAMIKA PERUBAHAN & RESOLUSI KONFLIK DINAMIKA PERUBAHAN & RESOLUSI KONFLIK Pengelolaan akibat Konflik Dr. Teguh Kismantoroadji Dr. Eko Murdiyanto 1 Kompetensi Khusus: Mahasiswa mampu Menjelaskan pengelolaan terhadap akibat konflik Mahasiswa

Lebih terperinci

Konflik dan Negosiasi

Konflik dan Negosiasi Konflik dan Negosiasi Afid Burhanuddin, M.Pd. STKIP PGRI PACITAN Konflik? Pertentangan dengan hati nurani sendiri Pertentangan antara dua atau lebih terhadap satu hal atau lebih dengan sesama anggota organisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kemampuan yang terakumulasi dalam diri anggota organisasi. menunjang keberhasilan pelaksanaan pekerjaannya.

BAB I PENDAHULUAN. dan kemampuan yang terakumulasi dalam diri anggota organisasi. menunjang keberhasilan pelaksanaan pekerjaannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya manusia merupakan sumber pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang terakumulasi dalam diri anggota organisasi. Sumberdaya manusia merupakan aset organisasi

Lebih terperinci

PENGANTAR PERKOPERASIAN

PENGANTAR PERKOPERASIAN PENGANTAR PERKOPERASIAN BAB V : NILAI-NILAI DASAR DAN PRINSIP-PRINSIP KOPERASI OLEH ; LILIS SOLEHATI Y PENTINGNYA IDEOLOGI Ideologi adalah keyakinan atas kebenaran dan kemanfaatan sesuatu, jika sesuatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kinerja lebih tinggi daripada jumlah masukan individual (Stephen, Timothy

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kinerja lebih tinggi daripada jumlah masukan individual (Stephen, Timothy BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teoritis 2.1.1. Pengertian Tim Kerja Tim kerja adalah kelompok yang usaha-usaha individualnya menghasilkan kinerja lebih tinggi daripada jumlah masukan individual (Stephen,

Lebih terperinci

Lihat https://acrobat.adobe.com/sea/en/how-to/pdf-to-word-doc-converter.html untuk informasi lebih lanjut. LAMPIRAN 3

Lihat https://acrobat.adobe.com/sea/en/how-to/pdf-to-word-doc-converter.html untuk informasi lebih lanjut. LAMPIRAN 3 Untuk mengedit teks ini: Buka file ini pada Adobe Acrobat Klik 'Export PDF tool' pada bagian kanan Pilih Microsoft Word' untuk formatnya kemudian pilih Word Document Klik Export. Simpan file dengan memberikan

Lebih terperinci

Pengantar Negosiasi. Wiwiek Awiati & Fatahillah. Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT

Pengantar Negosiasi. Wiwiek Awiati & Fatahillah. Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT Pengantar Negosiasi Wiwiek Awiati & Fatahillah Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT Negosiasi - Pengertiannya Metode penyelesaian sengketa yang paling dasar, sederhana, dan tidak formal.

Lebih terperinci

LEMBAR KONFIRMASI KOMPETENSI

LEMBAR KONFIRMASI KOMPETENSI LEMBAR KONFIRMASI KOMPETENSI Jabatan/Eselon : Unit Kerja : NO. KOMPETENSI LEVEL KOMPETENSI STANKOM 1 ANALISIS STRATEGI (AS) Mengidentifikasi,menguraikan, 1. Mempelajari informasi yang didapatkan meghubungkan

Lebih terperinci

PERAN KEPEMIMPINAN DALAM KONFLIK

PERAN KEPEMIMPINAN DALAM KONFLIK PERAN KEPEMIMPINAN DALAM KONFLIK PENGERTIAN KONFLIK Konflik (menurut bahasa) adalah perbedaan, pertentangan dan perselisihan. Konflik pertentangan dalam hubungan kemanusiaan (intrapersonal dan interpersonal)

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. Kebijakan nuklir..., Tide Aji Pratama, FISIP UI., 2008.

BAB 5 KESIMPULAN. Kebijakan nuklir..., Tide Aji Pratama, FISIP UI., 2008. BAB 5 KESIMPULAN Kecurigaan utama negara-negara Barat terutama Amerika Serikat adalah bahwa program nuklir sipil merupakan kedok untuk menutupi pengembangan senjata nuklir. Persepsi negara-negara Barat

Lebih terperinci

6 MODEL PROSES RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP

6 MODEL PROSES RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP 6 MODEL PROSES RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP ABSTRACT Conflict of capture fisheries is generally managed in partial or ad-hoc manners and conflict resolution has not been effective because it may

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Manajemen Proyek Konstruksi. Manajemen proyek adalah semua perencanaan, pelaksanaan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Manajemen Proyek Konstruksi. Manajemen proyek adalah semua perencanaan, pelaksanaan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Manajemen Proyek Konstruksi Manajemen proyek adalah semua perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan koordinasi suatu proyek dari awal (gagasan) hingga berakhirnya proyek untuk

Lebih terperinci

PENANGANAN KONFLIK NON LAHAN (SOSIAL) DI DALAM PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN DAN PABRIK KELAPA SAWIT

PENANGANAN KONFLIK NON LAHAN (SOSIAL) DI DALAM PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN DAN PABRIK KELAPA SAWIT Halaman: 1 dari10 (SOSIAL) DI DALAM PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN Dibuat Oleh Direview oleh Disahkan oleh 1 Halaman: 2 dari10 Riwayat Perubahan Dokumen Revisi Tanggal Revisi Uraian Oleh 2 Halaman:

Lebih terperinci

Key words: Alternative Dispute Resolution, Procedural Law, Land Law. Kata Kunci: Alternatif Penyelesaian Sengketa, Hukum Acara, Hukum Agraria.

Key words: Alternative Dispute Resolution, Procedural Law, Land Law. Kata Kunci: Alternatif Penyelesaian Sengketa, Hukum Acara, Hukum Agraria. Penyuluhan dan Konsultasi Hukum Bidang Alternatif Penyelesaian Sengketa / Alternative Dispute Resolution (ADR), Hukum Acara, dan Hukum Agraria di Kelurahan Semanan, Kecamatan Kalideres, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

BANK INDONESIA SEBAGAI MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BANK DENGAN NASABAH MELALUI MEDIASI PERBANKAN

BANK INDONESIA SEBAGAI MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BANK DENGAN NASABAH MELALUI MEDIASI PERBANKAN BANK INDONESIA SEBAGAI MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BANK DENGAN NASABAH MELALUI MEDIASI PERBANKAN Oleh Anak Agung Ayu Intan Puspadewi Suatra Putrawan Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

Yogie Afdhal Jurusan Administrasi Pendidikan FIP UNP. Abstract

Yogie Afdhal Jurusan Administrasi Pendidikan FIP UNP. Abstract PERSEPSI GURU TENTANG GAYA PENGELOLAAN KONFLIK OLEH KEPALA SEKOLAH DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI SE KECAMATAN V KOTO KAMPUNG DALAM KABUPATEN PADANG PARIAMAN Yogie Afdhal Jurusan Administrasi Pendidikan

Lebih terperinci

Nama: Anton Rahmat Riyadi NIM :

Nama: Anton Rahmat Riyadi NIM : Nama: Anton Rahmat Riyadi NIM : 14122059 1. Jelaskan pengertian konflik dan cara pandang konflik 2. Jelaskan jenis, sebab, dan proses terjadinya konflik 3. Jelaskan hubungan konflik dan kinerja di perusahaan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya ikan masih dianggap memiliki sifat terbuka (open access) dan milik bersama (common property), artinya setiap orang mempunyai hak untuk memanfaatkan sumber daya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: harga tanah. Lembaga pertanahan berkewajiban untuk melakukan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: harga tanah. Lembaga pertanahan berkewajiban untuk melakukan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan pada Bab IV, maka peneliti dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Aktor Penyelenggara Pengadaan Tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. * Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. * Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis. A. Latar Belakang Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum sosiologis. Penelitian hukum normatif mengkaji data-data sekunder di bidang

Lebih terperinci

TEKNIK LOBBY, NEGOSIASI DAN DIPLOMASI

TEKNIK LOBBY, NEGOSIASI DAN DIPLOMASI TEKNIK LOBBY, NEGOSIASI DAN Modul ke: DIPLOMASI Metode Pertarungan dan Penutupan Negosiasi: 1.Mengenal metode pertarungan dan taktik negosiasi. 2.Menghadapi metode pertarungan. 3.Penutupan negosiasi Fakultas

Lebih terperinci

Evaluasi Program Pelatihan

Evaluasi Program Pelatihan FORUM Evaluasi Program Pelatihan Oleh : M. Nasrul, M.Si Evaluasi pelatihan adalah usaha pengumpulan informasi dan penjajagan informasi untuk mengetahui dan memutuskan cara yang efektif dalam menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelola yang baik (good corporate governance) tidak hanya berlaku bagi. pertanggungjawaban kinerja organisasi.

BAB I PENDAHULUAN. kelola yang baik (good corporate governance) tidak hanya berlaku bagi. pertanggungjawaban kinerja organisasi. BAB I 1.1 Pengantar PENDAHULUAN Tuntutan mengenai pengelolaan suatu organisasi berdasarkan sistem tata kelola yang baik (good corporate governance) tidak hanya berlaku bagi organisasi di sektor pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

TEKNIK NEGOSIASI S. BUDI PRAYITNO. Universitas Diponegoro Semarang

TEKNIK NEGOSIASI S. BUDI PRAYITNO. Universitas Diponegoro Semarang 1 TEKNIK NEGOSIASI Oleh : S. BUDI PRAYITNO Universitas Diponegoro Semarang Leadership Training Proficiency Integrated Water Resource Management Solo, 22 24 November 2011 2 NEGOSIASI : - adalah suatu proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Governance disini diartikan sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalahmasalah publik. Dalam

Lebih terperinci

STANDARD OPERATING PROCEDURE PENYELESAIAN KONFLIK EKSTERNAL

STANDARD OPERATING PROCEDURE PENYELESAIAN KONFLIK EKSTERNAL PAGE : 1 of 6 1. TUJUAN Tujuan dari dokumen ini adalah untuk menetapkan prosedur yang berkaitan dengan konflik eksternal yang timbul antara pihak-pihak luar dan perusahaan. 2. RUANG LINGKUP SOP ini digunakan

Lebih terperinci

P E N D A H U L U A N

P E N D A H U L U A N P E N D A H U L U A N Latar Belakang Krisis di Indonesia berlangsung panjang, karena Indonesia memiliki faktor internal yang kurang menguntungkan. Faktor internal tersebut berupa konflik kebangsaan, disintegrasi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II.

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II. BAB III ANALISIS Sesuai dengan permasalahan yang diangkat pada Tugas Akhir ini, maka dilakukan analisis pada beberapa hal sebagai berikut: 1. Analisis komunitas belajar. 2. Analisis penerapan prinsip psikologis

Lebih terperinci

Guru Sebagai Pemimpin Konstruktivis Tuesday, 27 December :59

Guru Sebagai Pemimpin Konstruktivis Tuesday, 27 December :59 Abstrak: Seorang guru sebagai pemimpin konstruktivis memfasilitasi proses pembelajaran partisipatori yang memungkinkan partisipan dalam suatu komunitas belajar untuk mengkonstruksikan makna bersama-sama

Lebih terperinci

CETAK BIRU EDUKASI MASYARAKAT DI BIDANG PERBANKAN

CETAK BIRU EDUKASI MASYARAKAT DI BIDANG PERBANKAN CETAK BIRU EDUKASI MASYARAKAT DI BIDANG PERBANKAN Kelompok Kerja Edukasi Masyarakat Di Bidang Perbankan 2007 1. Pendahuluan Bank sebagai lembaga intermediasi dan pelaksana sistem pembayaran memiliki peranan

Lebih terperinci

MAKALAH NEGOSIASI DISUSUN GUNA MEMENUHI MATA KULIAH KOMUNIKASI BISNIS. DOSEN PENGAMPU : DR. AHYAR YUNIAWAN, SE., MSi EISHA LATARUVA, SE,.

MAKALAH NEGOSIASI DISUSUN GUNA MEMENUHI MATA KULIAH KOMUNIKASI BISNIS. DOSEN PENGAMPU : DR. AHYAR YUNIAWAN, SE., MSi EISHA LATARUVA, SE,. MAKALAH NEGOSIASI DISUSUN GUNA MEMENUHI MATA KULIAH KOMUNIKASI BISNIS DOSEN PENGAMPU : DR. AHYAR YUNIAWAN, SE., MSi EISHA LATARUVA, SE,. MM DISUSUN OLEH : 1. Maria Aditya K C2C008084 2. Metha Kartika C

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA KETERLAMBATAN PENYELESAIAN PEKERJAAN DALAM PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI DI PT. TRI JAYA NASIONAL

PENYELESAIAN SENGKETA KETERLAMBATAN PENYELESAIAN PEKERJAAN DALAM PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI DI PT. TRI JAYA NASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA KETERLAMBATAN PENYELESAIAN PEKERJAAN DALAM PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI DI PT. TRI JAYA NASIONAL Oleh: A.A. Wira Permata Sari I Wayan Wiryawan A.A. Sagung Wiratni Darmadi

Lebih terperinci

Peran Dan Tanggung Jawab Masyarakat Pelaksanaan Sistem Monitoring Karbon Hutan di Provinsi Maluku

Peran Dan Tanggung Jawab Masyarakat Pelaksanaan Sistem Monitoring Karbon Hutan di Provinsi Maluku Peran Dan Tanggung Jawab Masyarakat Pelaksanaan Sistem Monitoring Karbon Hutan di Provinsi Maluku Disampaikan pada; Lokakarya Strategi Monitoring PSP di Tingkat Provinsi Ambon, 27 Mei 2013 Nus Ukru Dewan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN dan PEMBERDAYAAN NASABAH BANK DALAM ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA 1

PERLINDUNGAN dan PEMBERDAYAAN NASABAH BANK DALAM ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA 1 PERLINDUNGAN dan PEMBERDAYAAN NASABAH BANK DALAM ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA 1 Muliaman D. Hadad 2 I. Pendahuluan Fungsi lembaga perbankan sebagai perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. 1.Pengertian Gaya Kepemimpinan Partisipatif

PEMBAHASAN. 1.Pengertian Gaya Kepemimpinan Partisipatif PEMBAHASAN 1.Pengertian Gaya Kepemimpinan Partisipatif Model kepemimpinan merupakan aspek penting bagi seorang pemimpin, karena model kepemimpinan akan efektif jika disesuaikan dengan tingkat kematangan

Lebih terperinci

Kerangka Hukum & Regulasi Kesehatan Lingkungan Yang Berorientasi Pada Pembangunan Berkelanjutan

Kerangka Hukum & Regulasi Kesehatan Lingkungan Yang Berorientasi Pada Pembangunan Berkelanjutan Kerangka Hukum & Regulasi Kesehatan Lingkungan Yang Berorientasi Pada Pembangunan Berkelanjutan Disampaikan dalam Kuliah S2 KMPK-IKM UGM Hukum, Etika dan Regulasi Kesehatan Masyarakat Oleh : Dr. Dinarjati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bernegara, agar tercipta kehidupan yang aman, tertib, dan adil.

BAB I PENDAHULUAN. bernegara, agar tercipta kehidupan yang aman, tertib, dan adil. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum (Pasal 1 ayat (3). Ketentuan tersebut merupakan landasan

Lebih terperinci

Penilaian Preferensi Masyarakat Pengungsi terhadap Potensi Konflik Tenurial dan Tingkat Interaksi terhadap Hutan

Penilaian Preferensi Masyarakat Pengungsi terhadap Potensi Konflik Tenurial dan Tingkat Interaksi terhadap Hutan Penilaian Preferensi Masyarakat Pengungsi terhadap Potensi Konflik Tenurial dan Tingkat Interaksi terhadap Hutan Hasil Survei dan Konsultasi Tim Greenomics Indonesia terhadap Masyarakat Pengungsi di Sepanjang

Lebih terperinci

PERENCANAAN PARTISIPATIF

PERENCANAAN PARTISIPATIF PERENCANAAN PARTISIPATIF Pengertian Perencanaan Pengertian perencanaan memiliki banyak makna sesuai dengan pandangan masing-masing ahli dan belum terdapat batasan yang dapat diterima secara umum. Pengertian

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN 369 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Selama tahun 1990-2009 terjadi pengurangan luas hutan SWP DAS Arau sebesar 1.320 ha, mengakibatkan kecenderungan peningkatan debit maksimum, penurunan debit minimum

Lebih terperinci

SISTEMATIKAN PEMBAHASAN I. ENVIRONMENTAL DISPUTE RESOLUTON SECARA UMUM 11/10/2011

SISTEMATIKAN PEMBAHASAN I. ENVIRONMENTAL DISPUTE RESOLUTON SECARA UMUM 11/10/2011 ENVIRONEMNTAL DISPUTE RESOLUTION Wiwiek iek Awiati SISTEMATIKAN PEMBAHASAN Environmental Dispute Resolution (EDR) secara umum Environmental Dispute Resolution (EDR) dalam sengketa Lingkungan Hak Gugat

Lebih terperinci

WORKSHOP Penyusunan Buku Kelompok Rentan. Yogyakarta, Juni 2010 MAKALAH. Otda & Konflik Tata Ruang Publik. Oleh: Wawan Mas udi JPP Fisipol UGM

WORKSHOP Penyusunan Buku Kelompok Rentan. Yogyakarta, Juni 2010 MAKALAH. Otda & Konflik Tata Ruang Publik. Oleh: Wawan Mas udi JPP Fisipol UGM WORKSHOP Penyusunan Buku Kelompok Rentan Yogyakarta, 21-22 Juni 2010 MAKALAH Otda & Konflik Tata Ruang Publik Oleh: Wawan Mas udi JPP Fisipol UGM Otda & Konflik Tata Ruang Publik Wawan Mas udi JPP Fisipol

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Faktor yang mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah adalah pertama munculnya kesadaran

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A.

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Introduction Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, mulai

Lebih terperinci

BAB IV TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1 Tujuan dan Sasaran Jangka Menengah Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Blitar Tujuan dan sasaran adalah tahap perumusan sasaran strategis yang menunjukkan

Lebih terperinci

Perilaku Keorganisasian IT

Perilaku Keorganisasian IT Perilaku Keorganisasian IT-021251 UMMU KALSUM UNIVERSITAS GUNADARMA 2016 PERILAKU ANTAR KELOMPOK DAN MANAJEMEN KONFLIK Pengertian Kelompok Kelompok? Perilaku kelompok? Dua karakteristik pokok dari kelompok,

Lebih terperinci

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS 8.1. Rancangan Program Peningkatan Peran LSM dalam Program PHBM Peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM belum sepenuhnya diikuti dengan terciptanya suatu sistem penilaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sengketa dengan orang lain. Tetapi di dalam hubungan bisnis atau suatu perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. sengketa dengan orang lain. Tetapi di dalam hubungan bisnis atau suatu perbuatan BAB I PENDAHULUAN Pada dasarnya tidak ada seorang pun yang menghendaki terjadinya sengketa dengan orang lain. Tetapi di dalam hubungan bisnis atau suatu perbuatan hukum, masing-masing pihak harus mengantisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleksitas permasalahannya maupun kuantitasnya seiring dinamika di bidang

BAB I PENDAHULUAN. kompleksitas permasalahannya maupun kuantitasnya seiring dinamika di bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kasus-kasus yang menyangkut sengketa di bidang pertanahan dapat dikatakan tidak pernah surut, bahkan mempunyai kecenderungan untuk meningkat di dalam kompleksitas

Lebih terperinci

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR 45 Komposisi hasil tangkapan yang diperoleh armada pancing di perairan Puger adalah jenis yellowfin tuna. Seluruh hasil tangkapan tuna yang didaratkan tidak memenuhi kriteria untuk produk ekspor dengan

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN 221 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Tingkat partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat tergolong rendah dan bersifat parsial atau tidak ideal, di mana hanya dua tahapan partisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paling baik untuk memperjuangkan kepentingan para pihak. Pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. paling baik untuk memperjuangkan kepentingan para pihak. Pengadilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum. Setiap perbuatan dan tindakan yang dilakukan oleh warga negara haruslah didasarkan pada hukum. Penegakan hukum berada diatas

Lebih terperinci

PANITIA UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL 2011/ 2012 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS WARMADEWA

PANITIA UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL 2011/ 2012 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS WARMADEWA PANITIA UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL 2011/ 2012 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS WARMADEWA MATA UJI : KEBIJAKAN PEMERINTAH JURUSAN/ CAWU : ILMU PEMERINTAHAN/ III HARI/ TANGGAL : SELASA,

Lebih terperinci

kelimpahan air dalam jangka pendek. Tetapi jika hal tersebut tidak dilakukan maka sumber air yang ada saat ini tidak mampu mendukung kehidupan

kelimpahan air dalam jangka pendek. Tetapi jika hal tersebut tidak dilakukan maka sumber air yang ada saat ini tidak mampu mendukung kehidupan VI. PEMBAHASAN Hasil kegiatan kampanye Pride di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing merupakan rangkaian kegiatan mulai perencanaan dengan mengetahui masalah, mencari solusi, memetakan kekuatan dan kekurangan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Penelitian dan pengembangan ini telah menghasilkan model pembelajaran berbasis kasus yang dapat diterapkan untuk peningkatan sikap profesional dalam pendidikan

Lebih terperinci

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA Frida Purwanti Universitas Diponegoro Permasalahan TNKJ Tekanan terhadap kawasan makin meningkat karena pola pemanfaatan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS

BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS 2.1. Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian sebelumnya dilakukan oleh (Adikampana dkk, 2014) yang berjudul Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1 Definisi hutan rakyat Definisi Hutan rakyat dapat berbeda-beda tergantung batasan yang diberikan. Hutan rakyat menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999

Lebih terperinci

In House Training Pengenalan Konflik, ADR, Negosiasi dan Mediasi. Manado Rabu, 03 Juni 2015

In House Training Pengenalan Konflik, ADR, Negosiasi dan Mediasi. Manado Rabu, 03 Juni 2015 In House Training Pengenalan Konflik, ADR, Negosiasi dan Mediasi Manado Rabu, 03 Juni 2015 Memahami Konflik Negosiasi dan Teknik Negosiasi ADR Mediasi Dan Teknik Mediasi DELAPAN JAM Mulai jam 09.00 Berakhir

Lebih terperinci