kelimpahan air dalam jangka pendek. Tetapi jika hal tersebut tidak dilakukan maka sumber air yang ada saat ini tidak mampu mendukung kehidupan
|
|
- Hendri Salim
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 VI. PEMBAHASAN Hasil kegiatan kampanye Pride di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing merupakan rangkaian kegiatan mulai perencanaan dengan mengetahui masalah, mencari solusi, memetakan kekuatan dan kekurangan hingga pemilihan media. Hal tersebut bertujuan untuk membangun kapasitas sosial untuk konservasi di kawasan. Dengan demikian mekanisme pemasaran sosial yang dipakai, merupakan cara dalam merubah kondisi dengan menganalisa persoalan, hambatan dan tujuan yang hendak dicapai dengan pelibatan mutlak dari kelompok masyarakat itu sendiri (Kotler et al 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan perilaku terjadi akibat pengaruh transaksi sosial dalam perhitungan untung-rugi konservasi sumberdaya hutan. Umumnya pilihan masyarakat untuk mengambil keputusan merubah perilaku konservasi sumberdaya hutan saat ini berdasar pemikiran keuntungan yang akan didapat di masa yang akan datang, meskipun juga memperhitungkan kemanfaatan yang didapat pada jangka pendek seperti pengembangan pakan ternak. Nilai penting kampanye Pride di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing didefinisikan sebagai kesadaran bersama dalam bentuk peningkatan kualitas hidup (value of live) masyarakat apabila melakukan kegiatan konservasi. Peningkatan tersebut menjadi penting bagi masyarakat di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing, ketika masyarakat paham bahwa kegiatan konservasi yang dilakukan akan berhasil guna dalam bentuk pengembalian (reward) berupa pengurangan ancaman bagi kehidupannya seperti kekurangan air, kekurangan bahan pangan dan kekurangan kayu bakar, termasuk reward berupa peningkatan ekonomi di masa yang akan datang. Proses pemikiran masyarakat hingga pengambilan tindakan untuk perubahan perilaku konservasi juga didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Salah satu contohnya adalah masyarakat sangat mengerti jika tanaman buah tidak mungkin memberikan hasilnya dalam jangka waktu sesaat, namun apabila tidak segera dilakukan penanaman sekarang maka di masa akan datang pun tidak akan mendapatkan hasilnya. Begitu juga pemahaman mengenai penanaman pohon, inovasi budaya merti banyu dan penanaman di sempadan sungai untuk tujuan konservasi air, tidak mungkin akan memberikan
2 89 kelimpahan air dalam jangka pendek. Tetapi jika hal tersebut tidak dilakukan maka sumber air yang ada saat ini tidak mampu mendukung kehidupan masyarakat di masa yang akan datang. Perubahan pengertian tersebut dapat berjalan sebagai aspek akibat dari peningkatan pengetahuan dari informasi konservasi yang di kampanyekan (Figueroa dan Kincaid 2002). Aksi-aksi konservasi masyarakat yang di catat pada saat wawancara menunjukkan bahwa peningkatan pengetahuan konservasi dengan kampanye Pride berpengaruh besar bagi gerakan konservasi. Hal tersebut dapat dilihat dari aksi yang dilakukan masyarakat memiliki kesamaan bentuk dan tujuan sama yaitu konservasi sumberdaya hutan. Termasuk dampak kampanye dalam pelembagaan inisiatif hukum formal tingkat lokal secara partisipatif dalam bentuk peraturan desa yang berhubungan dengan konservasi sumberdaya hutan yang di fasilitasi oleh YBL Masta (LSM). Lebih lanjut peraturan tersebut selanjutnya mendorong masyarakat untuk ikut berperan. Dari hasil analisa penelitian menunjukkan bahwa perubahan perilaku konservasi di kawasan hutan Potorono-Gunung Sumbing tidak terjadi secara spontan tetapi melalui proses-proses sosial. Proses perubahan sosial terdiri atas tingkatan-tingkatan transaksi sosial dan tarik ulur untuk menjadi sebuah keputusan bersama. Menurut Rothschild (1999) dalam Suroso (2003) proses marketing sosial menghendaki manajemen perilaku dengan insentif-insentif penguat atau konsekuensi yang mendukung pertukaran sukarela. Dengan demikian perubahan sosial di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing merupakan pilihan bagi suatu kelompok sosial atau masyarakat dengan memperhitungkan nilai tukar perubahan (value of social change) (Kotler et al 2002). Proses sosial dimulai dari kesadaran kolektif masyarakat ketika pengetahuan meningkat. Kesadaran kolektif terbangun hasil dari informasi yang disebarluaskan, diperbincangkan dan dipikirkan dalam bentuk komunikasi antar individu atau antar kelompok sosial sejenis. Di tahap ini masyarakat melakukan transaksi awal tentang penting atau tidak untuk memahami persoalan alih fungsi pengelolaan lahan hutan, penebangan liar serta reboisasi dan penghijauan di daerahnya berhubungan dengan kehidupannya. Di tahap tersebut masyarakat
3 90 memikirkan tentang biaya yang dibutuhkan dan keuntungan yang akan didapat dari keputusan untuk melakukan kegiatan konservasi. Selanjutnya setelah didapatkan suatu simpulan, individu atau kelompok sosial tersebut membandingkan persoalan yang dihadapi dengan yang berada di tempat lain atau dengan individu atau kelompok sosial yang berbeda. Di dalam proses tersebut masyarakat melakukan transaksi kedua mengenai nilai keputusan yang diambil sebelumnya termasuk membandingkan dengan pengalamanpengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Proses selanjutnya berupa membangun opini, dugaan serta disain yang berhubungan dengan keputusan perubahan perilaku yang hendak diambil, termasuk membuktikan informasi-informasi yang diterima dengan kenyataan yang ada. Hingga tahap transaksi yang terakhir berupa pemakaian atau konsumsi perilaku konservasi. Di dalam tingkatan-tingkatan proses transaksi tersebut, kampanye Pride berperan sebagai salah satu pemberi masukan lewat berbagai saluran informasi bagi masyarakat untuk berperilaku konservasi. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut; ketika masyarakat belum paham mengenai ancaman yang ada, hasil penelitian dasar kampanye Pride memberikan fakta hasil penelitian bersama tentang ancaman-ancaman konservasi yang ada. Selanjutnya, ketika masyarakat mengetahui sumber ancaman bagi hidupnya, kampanye Pride melalui media saluran informasi seperti Poster, Leaflet dan Kunjungan Sekolah, memberikan informasi, data dan fakta berhubungan dengan ancaman bagi masyarakat termasuk dampak atau resiko di masa akan datang. Ketika masyarakat setelah tahu dan paham mengenai ancaman bagi hidup dan daerahnya menginginkan pengetahuan mengenai solusi yang sebaiknya diambil, kampanye Pride dengan menyebarkan buklet konservasi berhubungan dengan solusi masalah termasuk dengan kegiatan pelatihan dan kegiatan sejenis, menambah pilihan atau opsi bagi masyarakat dengan informasi yang berisi tentang solusi persoalan. Dengan demikian sangat penting untuk memberikan informasi yang bersifat fakta nyata bukan dibuat-buat, maka ketika terjadi perubahan perilaku, perubahan tersebut bukan sebagai akibat dari paksaan atau bujukan. Dengan demikian perubahan perilaku yang terjadi di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing bersifat sukarela, artinya masyarakat
4 91 melakukan perubahan perilaku konservasi sebagai kesadaran masing-masing individu (Kotler et al 2002; Robinson 2001). Faktor yang paling penting dari membangun kesadaran konservasi masyarakat adalah proses difusi yang diartikan sebagai perembetan informasi yang mempengaruhi indera ke banyak orang. Difusi dengan pemberian rangsang luar perubahan perilaku yang akan berjalan cepat jika didukung oleh fakta empiris melalui penelitian dasar bersama (participation trough formative research). Hal ini memperkuat teori Dagron (2001); Salmon dan Christensen (2003); Figuoera dan Kincaid (2002) dan Kotler et al. (2002) yang menyatakan bahwa kekuatan dalam perubahan perilaku tergantung dari struktur awal yang direncanakan berdasar pada fokus persoalan bersama yang hendak diselesaikan. Dengan demikian proses perubahan perilaku yang merupakan kombinasi dari organisir, komunikasi dan peningkatan kesadaran dapat berjalan. Young et al.(2007) menyatakan bahwa sebuah kegiatan kampanye untuk perubahan perilaku tidak akan berhasil apabila tidak melibatkan perubahan perilaku itu sendiri sebagai capaian tujuan. Dengan demikian dalam mempengaruhi perubahan perilaku, hal paling penting adalah memahami kondisi umum kelompok target, tahapan evolusi kelompok target serta segmen masyarakat yang dapat mendukung dan atau memperlemah pencapaian tujuan. Hasil kajian penelitian menyatakan terdapat perubahan fase masyarakat dari tahap persiapan menjadi tahap aksi. Hal tersebut dibuktikan dengan gerakan-gerakan sosial yang terjadi untuk mengatasi ancaman kelangsungan sumberdaya hutan. Salah satu indikator gerakan sosial yang terjadi adalah pengorganisiran masyarakat di 8 desa oleh masing-masing lembaga pemerintahan desa dengan pelibatan stakeholder yang lain untuk menyelenggarakan pekan penanaman kawasan dan akan dijalankan setiap tahun. Transaksi sosial di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing dari hasil kajian penelitian dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu; pertama transaksi sosial terjadi sebagai keinginan akibat pengaruh faktor internal dan eksternal perilaku masyarakat kawasan. Faktor internal meliputi norma, jangka hidup, mobilitas dan pengetahuan masyarakat. Sedangkan faktor eksternal meliputi hubungan sosial, kebijakan eksternal, lingkungan dan teknologi (Pretty dan Ward 2001). Dengan
5 92 demikian tingkah laku orang atau sekelompok orang dipengaruhi oleh sistem sosial yang bekerja termasuk budaya, sehingga pemakaian bahasa untuk berkomunikasi dan membangun agen perubah perilaku dalam melaksanakan program harus menyesuaikan dengan budaya masyarakat target. Seperti teori yang dikemukakan oleh Foucault, Althauser serta Hindess dan Hirst dalam Macdonell (2005), yang menyatakan bahwa aktivitas keseharian termasuk cara seseorang berpikir, bertingkah laku hingga berbicara dan menulis dipengaruhi oleh struktur kekuasaan dalam masyarakat. Kedua, transaksi sosial terjadi sebagai sebuah pilihan antara merubah perilaku atau tetap berperilaku seperti sebelumnya. Pertimbangan pilihan tergantung dari faktor-faktor individu yang meliputi faktor biologi untuk memelihara kelangsungan hidup dan faktor sosiopsikologis berdasar pengetahuan dan pengalaman yang telah dijalani (Sarwono 2002). Pilihan-pilihan dalam perubahan sosial mengandung konsekuensi masing-masing. Seperti halnya ketika seseorang memutuskan untuk membeli sebuah barang maka pilihan tersebut mengandung konsekuensi tertentu (Kotler et al. 2002). Hal serupa juga terjadi di kawasan Potorono-Gunung Sumbing yang menunjukkan bahwa masyarakat ketika merubah perilakunya memiliki banyak konsekuensi termasuk memerlukan waktu yang lama dan kegiatan tidak bisa dilakukan sendiri. Konsekuensi tersebut di pilih dengan memperhitungkan insentif jasa lingkungan seperti air, kelimpahan pangan dan peningkatan penghasilan yang di dapat di masa mendatang. Menurut Suwarsono (1991), perubahan perilaku dapat dinyatakan sebagai motif kelompok sosial atau masyarakat. Setiap pilihan perubahan sosial atau bahkan menjadi gerakan sosial memiliki latar belakang visi dari kumpulan individu dalam suatu wilayah. Apabila kelompok sosial atau masyarakat tidak berada dalam cekaman ancaman yang langsung berhubungan dengan hidupnya maka tidak akan terjadi pengembangan visi. Sehingga tidak terjadi dorongan keinginan untuk berubah, meskipun terjadi intervensi oleh pihak luar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok masyarakat dengan karakter laggart dapat berubah apabila ditekan dengan kebijakan seperti yang terjadi di Desa Sukomakmur. Kebijakan yang dijalankan di Desa Sukomakmur berkaitan dengan konservasi merupakan hasil kegiatan pemberdayaan untuk
6 93 inisiatif kebijakan lokal oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yaitu YBL MastA. Proses pemberdayaan tersebut dilakukan sebagai strategi untuk membangun dasar hukum kehutanan ditingkat lokal masyarakat oleh pemerintah desa. Dari kegiatan tersebut dihasilkan peraturan desa tentang lingkungan hidup yang sesuai dengan norma, kondisi serta keinginan masyarakat setempat. Hal tersebut menunjukkan bahwa karakter seseorang atau sekelompok orang dapat berubah akibat tekanan lingkungan serta sistem yang berjalan atau mengatur (Sorjani 1985; Suseno 1999). Studi perubahan perilaku di kawasan hutan Potorono-Gunung Sumbing memberikan gambaran tentang penggabungan keinginan untuk melawan atau merubah cekaman berbentuk ancaman konservasi. Penggabungan keinginan tersebut selanjutnya menjadi motivasi untuk mengorganisir diri baik secara kelompok maupun antar kelompok massa untuk melakukan aksi konservasi. Seperti diungkapkan oleh Papa et al. (2006) organisir dalam kelompok terjadi ketika terjadi suatu persamaan, baik disebabkan oleh permasalahan atau ancaman, kepentingan, tujuan ataupun ekonomi. Dalam hal ini usaha perbaikan manajemen kelola hutan rakyat yang dilakukan masyarakat, dianggap mampu memberi kontribusi pada peningkatan ekonomi (Awang et al. 2002). Usaha perbaikan kelola hutan rakyat tersebut tidak secara individu terjadi, disebabkan informasi yang diterima memiliki kapasitas yang sama. Ketika terjadi sebuah aksi bersama dengan visi yang sama dalam sebuah kewilayahan maka hal tersebut membentuk sebuah gerakan sosial. Konsekuensi sebuah gerakan sosial terutama dicirikan aksi yang lebih kuat dibanding orasi (Borum dan Tilby 2005). Dalam mengatasi ancaman di kawasan hutan, masing-masing individu merasa lemah. Ketika terjadi intervensi oleh pihak luar maka terjadi pergolakan antar individu yang mewakili proses komunikasi interpersonal. Keputusan untuk merubah perilaku dari tiap individu sangat mempengaruhi terjadinya gerakan sosial. Papa et al. (2006) menyatakan tentang komunikasi interpersonal yang dilakukan semua orang hampir setiap hari hingga terjadi proses pengorganisasian baik dalam skala kelompok kecil maupun kelompok massa yang besar. Proses pengorganisasian sendiri didorong oleh keinginan untuk mencapai sebuah tujuan yang sama (Suporaharjo 2005; Suryo 2001). Gerakan sosial yang merupakan hasil
7 94 dari komunikasi interpersonal melalui saluran-saluran media konservasi, menjadi penghubung peningkatan pengetahuan, membangun kenyamanan pemikiran, mendorong perubahan norma sosial dan merubah perilaku menjadi peduli lingkungan. Begitu juga kasus gerakan sosial konservasi yang terjadi di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing. Masyarakat menjalankan gerakan konservasi sebagai pengaruh dari kerelaan merubah perilaku sadar konservasi sebagai kebutuhan yang harus dilakukan. Hasil pengamatan studi menunjukkan, gejala gerakan sosial konservasi di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing diakibatkan oleh informasi konservasi yang di terima secara terus menerus oleh masyarakat lewat berbagai macam saluran informasi kampanye Pride. Dinyatakan oleh Kotler et al. (2002) saluran media merupakan salah satu persyaratan dalam jaminan untuk merubah persepsi atau pandangan orang tentang sesuatu hal. Hal ini juga didukung oleh teori Gladwell et al. (2002) yang menyatakan bahwa informasi mengenai solusi permasalahan kehidupan yang sedang dihadapi, akan membangkitkan kebutuhan untuk menyelesaikan. Lebih lanjut Gladwell menyatakan, gerakan sosial di dalam sebuah kelompok sosial atau masyarakat terjadi sebagai bentuk reaksi massa akibat informasi yang diterima dan merembet ke seluruh komunitas. Perembetan informasi dalam komunitas atau komunikasi interpersonal, sangat penting artinya sebagai sebuah proses saling mempengaruhi, membangun partisipasi bahkan menjadi norma sosial masyarakat. Komunikasi dalam perubahan sosial mutlak diperlukan sebagai bagian perubahan sosial. Komunikasi interpersonal dapat diaplikasikan dalam bentuk entertainment dan edukasi ataupun lewat penyampaian verbal. Dengan demikian perubahan perilaku merupakan pengaruh dari informasi yang disampaikan secara terus-menerus dari berbagai jalan, baik lewat visi, verbal, pendengaran serta perasaan (Kotler et al 2002). Beberapa persyaratan dalam komunikasi untuk membangkitkan gerakan sosial menurut Rockefeller Foundation (2001) dalam Figuoera dan Kincaid (2002) adalah: 1. Pemberdayaan individu dan masyarakat 2. Mengikat keputusan umum yang berhubungan dengan hidupnya 3. Fokus kepada hubungan timbal balik komunikasi
8 95 4. Mendasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang ideal 5. Merupakan bentuk proses yang dari suatu informasi yang belum diketahui menjadi diketahui 6. Proses komunikasi interpersonal dikontrol oleh komunitas Konsep gerakan sosial dan perubahan perilaku yang terjadi di kawasan hutan produksi-lindung Potorono-Gunung Sumbing merupakan penggabungan dari konsep untuk peningkatan pengetahuan komunitas dengan kampanye Pride sekaligus kegiatan penyusunan kebijakan (policies) tingkat desa sebagai kegiatan pendukung yang dilakukan oleh YBL MastA. Konsep yang dijalankan merujuk pada pemikiran untuk mendorong perubahan perilaku secara massal berikut mendukung keberlanjutan tata perubahan secara normatif. Diungkapkan oleh Awang et al. (2005); Capobianco et al. (2007); Pretty dan Ward (2001) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan karakter baru dalam sosial masyarakat adalah kebijakan yang diberlakukan selain peningkatan pengetahuan, inovasi sosial, teknologi, agen perubah, stimulus serta media informasi. Kebijakan dapat berasal dari luar (kebijakan pemerintah) komunitas maupun kebijakan bersifat internal (peraturan desa atau norma sosial). Pengaruh perubahan perilaku dalam gerakan sosial konservasi hutan di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing hasil analisa survei perubahan perilaku yang didukung dengan hasil wawancara dan observasi lapangan menunjukkan tingkat aksi yang terjadi di konservasi di masyarakat. Aksi konservasi tersebut berjalan secara sukarela tanpa ada paksaan. Aksi-aksi sosial konservasi yang terjadi di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing merupakan aspek dari keinginan bersama untuk pelestarian sumberdaya hutan yang bertujuan mengawetkan sumber-sumber vital kehidupan seperti air dan sumber pangan. Lebih lanjut, aksi konservasi juga berjalan di dalam kelembagan sosial masyarakat seperti lembaga pengelola air desa, lembaga masyarakat desa hutan dan lembaga pengelola wanawisata. Hal tersebut mewakili proses komunikasi konservasi yang berjalan horisontal di dalam masyarakat. Komunikasi menjadi dasar dari sebuah keputusan dan aksi bersama (collective action) untuk melakukan sebuah gerakan konservasi (Figueroa and Kincaid 2002; Bridges and Farland 2007; MacGovern 2005).
I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Data Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura tahun 2004 menunjukkan bahwa kawasan hutan Jawa seluas 3.289.131 hektar, berada dalam kondisi rusak. Lahan kritis di dalam
Lebih terperinciV. HASIL 5.1 Hasil Survey Perubahan Perilaku
V. HASIL 5.1 Hasil Survey Perubahan Perilaku Analisa tentang perubahan perilaku dilakukan dengan membandingkan hasil survey setelah kegiatan kampanye pride dengan hasil survey sebelum melakukan kampanye.
Lebih terperinciSEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
STUDI PERUBAHAN PERILAKU PADA GERAKAN SOSIAL KONSERVASI DENGAN KAMPANYE PRIDE DI KAWASAN HUTAN PRODUKSI POTORONO DAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SUMBING MAGELANG PANJI ANOM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN
Lebih terperinciBAB III Tahapan Pendampingan KTH
BAB III Tahapan Pendampingan KTH Teknik Pendampingan KTH 15 Pelaksanaan kegiatan pendampingan KTH sangat tergantung pada kondisi KTH, kebutuhan dan permasalahan riil yang dihadapi oleh KTH dalam melaksanakan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya
PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan partisipasinya dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan di bidang
Lebih terperinciSEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
STUDI PERUBAHAN PERILAKU PADA GERAKAN SOSIAL KONSERVASI DENGAN KAMPANYE PRIDE DI KAWASAN HUTAN PRODUKSI POTORONO DAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SUMBING MAGELANG PANJI ANOM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN
Lebih terperinciVI. KESIMPULAN DAN SARAN
105 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6. 1. Kesimpulan Penelitian ini memfokuskan kepada upaya untuk memahami persepsi dan strategi petani di dalam menjalankan usaha tanaman kayu rakyat. Pemahaman terhadap aspek-aspek
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)
TINJAUAN PUSTAKA Definisi Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undang- Undang tersebut, hutan adalah
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerusakan Hutan dan Perubahan Perilaku
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerusakan Hutan dan Perubahan Perilaku Pengelolaan hutan oleh konsesi, korporasi maupun perorangan dengan tujuan menghasilkan kayu, menyebabkan kepunahan keanekaragaman hayati,
Lebih terperinciEKONOMI KELEMBAGAAN UNTUK SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN (ESL 327 ) Ko-Manajemen. Kolaborasi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
EKONOMI KELEMBAGAAN UNTUK SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN (ESL 327 ) Ko-Manajemen Kolaborasi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan PSALBM VS PSALP, Mana yang Lebih Baik? Keunggulan PSALBM 1. Sesuai aspirasi
Lebih terperinciPENDAHULUAN. berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung.
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan,yaitu berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. Manfaat hutan tersebut boleh dirasakan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peraturan Daerah Kabupaten Berau Nomor 3 Tahun 2004 tentang Tata Ruang Wilayah Berau tahun 2001 2011 tanggal 29 Mei 2004, telah menetapkan secara khusus kawasan alokasi
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. sebagai pemegang peran sentral dalam hal pengelolaan hutan. Peletakan masyarakat
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pemberdayaan Masyarakat Konsep Perhutanan Sosial secara keseluruhan menempatkan posisi masyarakat sebagai pemegang peran sentral dalam hal pengelolaan hutan. Peletakan masyarakat
Lebih terperinciGUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN
GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA Partisipasi Masyarakat Desa Hutan Masyarakat (community) adalah sekumpulan orang yang mendiami suatu tempat tertentu, yang terikat dalam suatu norma, nilai dan kebiasaan yang disepakati
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)
TINJAUAN PUSTAKA Definisi Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, hutan adalah suatu
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan orang tua terhadap produk bayi begitu tinggi dikarenakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kebutuhan orang tua terhadap produk bayi begitu tinggi dikarenakan keinginan yang kuat dari orang tua agar anak-anaknya dapat tumbuh dan berkembang dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tambah, daya saing, dan ekspor serta (4) meningkatkan kesejahteraan petani (RKT
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian menjadi sangat penting bagi Indonesia, karena sebagian besar mata pencaharian penduduk Indonesia memanfaatkan sumberdaya yang ada di sektor pertanian. Sektor
Lebih terperincimendorong menemukan pasar untuk produk yang sudah ada dan mendukung spesies-spesies lokal yang menyimpan potensi ekonomi (Arifin et al. 2003).
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat hutan pegunungan sangat rentan terhadap gangguan, terutama yang berasal dari kegiatan pengelolaan yang dilakukan manusia seperti pengambilan hasil hutan berupa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sekelilingnya, baik dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Wiersum (1990)
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada paradigma kehutanan sosial, masyarakat diikutsertakan dan dilibatkan sebagai stakeholder dalam pengelolaan hutan, bukan hanya sebagai seorang buruh melainkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang mampu menyediakan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan bagi keluarga, sehingga
Lebih terperinciPENDIDIKAN GIZI DAN ILMU KESEJAHTERAAN KELUARGA
PENDIDIKAN GIZI DAN ILMU KESEJAHTERAAN KELUARGA DEPARTEMEN ILMU GIZI FK USU Pengertian Keluarga di Indonesia Keluarga inti : ayah, ibu dan anak Keluarga luas (extended family) : keluarga inti + anggota
Lebih terperinciIII. KERANGKA PEMIKIRAN
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini berisi landasan teori yang menjadi dasar dalam menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang diuraikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Suaka margasatwa merupakan salah satu bentuk kawasan suaka alam. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah kawasan yang mempunyai fungsi
Lebih terperinciSEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
STUDI PERUBAHAN PERILAKU PADA GERAKAN SOSIAL KONSERVASI DENGAN KAMPANYE PRIDE DI KAWASAN HUTAN PRODUKSI POTORONO DAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SUMBING MAGELANG PANJI ANOM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN
Lebih terperinciBAB IV PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DAN POTENSI PARIWISATA DI DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KOTA AGUNG TIMUR KABUPATEN TANGGAMUS
BAB IV PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DAN POTENSI PARIWISATA DI DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KOTA AGUNG TIMUR KABUPATEN TANGGAMUS A. Potensi Sumber Daya Pengembangan Wisata di Desa Kampung Baru Kecamatan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.01/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.01/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT DI DALAM DAN ATAU SEKITAR HUTAN DALAM RANGKA SOCIAL FORESTRY MENTERI KEHUTANAN
Lebih terperinciPENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan memiliki
Lebih terperinciHubungan Karakteristik Individual Anggota Masyarakat dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan
101 HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDUAL DAN SOSIAL EKONOMI ANGGOTA MASYARAKAT SERTA DUKUNGAN PEMIMPIN, PROGRAM DAN KELEMBAGAAN NON FORMAL DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELESTARIAN HUTAN Kajian hubungan
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman padi merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang penting dalam rangka ketahanan pangan penduduk Indonesia. Permintaan akan beras meningkat pesat seiring dengan
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
20 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai Studi Kelayakan Hutan Rakyat Dalam Skema Perdagangan Karbon dilaksanakan di Hutan Rakyat Kampung Calobak Desa Tamansari, Kecamatan
Lebih terperinciKERANGKA ACUAN PENGKAJIAN UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA WAWO WAE DALAM PENGELOLAAN KAWASAN CA WATU ATA, NGADA TGL 25 NOP S/D 20 DES 2002
KERANGKA ACUAN PENGKAJIAN UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA WAWO WAE DALAM PENGELOLAAN KAWASAN CA WATU ATA, NGADA TGL 25 NOP S/D 20 DES 2002 Oleh POKJA KEANEKARAGAMAN HAYATI TIM PENGKAJI MASALAH LINGKUNGAN
Lebih terperinciKEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 682/KPTS/DIR/2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT
KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 682/KPTS/DIR/2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DIREKTUR UTAMA PERUM PERHUTANI Menimbang : Mengingat : a. bahwa dalam rangka
Lebih terperinciBAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Pemasaran (Marketing) Pemasaran adalah proses penyusunan komunikasi terpadu yang bertujuan untuk memberikan informasimengenai barang atau jasa dalam kaitannya
Lebih terperinciBAB 7. PENCAPAIAN PELAKSANAAN AKSI HINGGA TAHUN
BAB 7. PENCAPAIAN PELAKSANAAN AKSI HINGGA TAHUN 7.1. Manajemen Kota Pusaka Dalam melaksanakan pengelolaan kota pusaka, saat ini dilakukan secara sinergis dan bekerjasama antara berbagai stakeholder, baik
Lebih terperinciBUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO
BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciVII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS LMDH DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM
VII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM 107 7.1 Latar Belakang Rancangan Program Guna menjawab permasalahan pokok kajian ini yaitu bagaimana strategi yang dapat menguatkan
Lebih terperinciIII KERANGKA PEMIKIRAN
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) Icek Ajzen dan Martin Fishbein bergabung untuk mengeksplorasi cara untuk memprediksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan pembangunan di Indonesia telah sejak lama mengedepankan peningkatan sektor pertanian. Demikian pula visi pembangunan pertanian tahun 2005 2009 didasarkan pada tujuan pembangunan
Lebih terperinciatau erosi yang menyebabkan tanah menjadi kritis baik fisik
1. Latar Belakang Masalah Kondisi sumberdaya alam, khususnya sumberdaya alam hutan, tanah dan dr dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukan kecenderungan semakin menurun. Penurunan kondisi sumberdaya
Lebih terperinciBAB VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. berupa kontribusi dalam keilmuan dan implikasi kebijakan. Masing-masing
BAB VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan hasil penelitian, dan selanjutnya dirumuskan implikasi penelitian berupa kontribusi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh perusahaan dalam usahanya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya,
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pemasaran Pemasaran merupakan salah satu fungsi pokok yang harus dilakukan oleh perusahaan dalam usahanya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diubah dengan Undang Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era reformsi telah banyak perubahan di segala bidang termasuk reformasi Undang Undang No. 5 tahun 1974 tentang pemerintahan daerah yang diubah dengan Undang Undang
Lebih terperinciShared Resources Joint Solutions
Lembar Informasi Shared Resources Joint Solutions Sawit Watch - Padi Indonesia SRJS di Kabupaten Bulungan Program dengan pendekatan bentang alam ini memilih Daerah Aliran Sungai Kayan dengan titik intervensi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keputusan (SK) perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001. berkurangnya akses masyarakat terhadap hutan dan berdampak pula pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Penetapan program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) merupakan upaya pemerintah dan perum perhutani untuk menyelamatkan sumber daya hutan dan linkungan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan
Lebih terperinciProses dan efek Media
Proses dan efek Media McQuail Buku.2 bab.17 Kita di pengaruhi oleh media, tetapi mekanismenya seperti apa masih belum jelas. Penduduk empat musim berpakaian berdasarkan ramalan cuaca, membeli sesuatu berdasarkan
Lebih terperinciKERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
69 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Kerangka berpikir penelitian ini dimulai dengan pendapat Spencer dan Spencer (1993:9-10) menyatakan bahwa setiap kompetensi tampak pada individu dalam
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat : a. bahwa kondisi
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berbagai macam karakter masyarakat di Yogyakarta mampu memecah jaringan sosial yang dimiliki oleh kelompok masyarakat termasuk kelompok pengusaha asal Kuningan
Lebih terperinciBAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN
BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1 Visi Visi didefinisikan sebagai suatu kondisi ideal masa depan yang ingin dicapai dalam suatu periode perencanaan berdasarkan pada situasi dan kondisi saat ini.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun
Lebih terperinciPENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah
PENDAHULUAN Latar Belakang Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang
4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Rakyat Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik (Departeman Kehutanan dan Perkebunan, 1999).
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke yang dilalui garis khatulistiwa, sehingga memiliki iklim tropis. Kondisi ini menyebabkan iklim
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini terdiri dari 3 tahapan yaitu: 1. Tahap Perencanaan, yang dilaksanakan pada bulan September 2006 Februari 2007, dilaksanakan di Aceh
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Motivasi Konsumen Motivasi berasal dari kata latin mavere yang berarti dorongan/daya penggerak. Yang berarti adalah kekuatan penggerak dalam diri konsumen yang memaksa bertindak
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati
Lebih terperinci2 tentang Fasilitasi Biaya Operasional Kesatuan Pengelolaan Hutan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.811, 2015 KEMEN-LHK. Biaya Operasional. Kesatuan Pengelolaan Hutan. Fasilitasi. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.20/MenLHK-II/2015
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional di banyak negara berkembang pada umumnya ditekankan pada pembangunan ekonomi. Hal ini disebabkan karena yang paling terasa adalah keterbelakangan
Lebih terperinciUPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENYULUHAN KEHUTANAN
UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENYULUHAN KEHUTANAN Oleh : Pudji Muljono Adanya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan disambut gembira oleh
Lebih terperinciH., 2014 PROGRAM PENYED IAAN AIR MINUM D AN SANITASI BERBASIS MASYARAKAT ( PAMSIMAS ) D ALAM MENUMBUHKAN PERILAKU HID UP SEHAT
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Tujuan pembangunan nasional secara umum adalah membangun bangsa yang maju, mandiri dan sejahtera. Hal ini sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam alinea
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia tergolong besar. Saat ini berdasarkan survey terakhir, jumlah penduduk Indonesia adalah 230 juta lebih. Laju pertumbuhan penduduk
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat adalah suatu program pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan bersama dengan jiwa berbagi
Lebih terperinciSTRATEGI TINDAK LANJUT
VII. STRATEGI TINDAK LANJUT Pendahuluan Kampanye tahap pertama yang dilakukan di Kompleks hutan rawa gambut Sungai Putri baru saja berakhir Juli 2010 lalu. Beberapa capaian yang dicatat dari kampaye tersebut:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting. Hubungan antara manusia
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting. Hubungan antara manusia dan tanah tidak dapat dipisahkan. Manusia diciptakan dari tanah, hidup
Lebih terperinciPP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)
Copyright (C) 2000 BPHN PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 62 TAHUN 1998 (62/1998) TENTANG PENYERAHAN
Lebih terperinciBAB IV DEKSKRIPSI LOKASI PENELITIAN
46 BAB IV DEKSKRIPSI LOKASI PENELITIAN A. Lembaga Swadaya Masyarakat Samitra Abhaya Kelompok Perempuan Pro Demokrasi (LSM SA KPPD) Surabaya Lembaga Swadaya Masyarakat Samitra Abhaya Kelompok Perempuan
Lebih terperinciGUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN
GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang
Lebih terperinciKESIMPULAN DAN SARAN
369 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Selama tahun 1990-2009 terjadi pengurangan luas hutan SWP DAS Arau sebesar 1.320 ha, mengakibatkan kecenderungan peningkatan debit maksimum, penurunan debit minimum
Lebih terperinciBUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG
BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DAN PEMANFAATAN SERTA PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan di Indonesia mempunyai peranan baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya, maupun secara ekologis. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan. Karena akhir-akhir ini eksploitasi terhadap sumberdaya pesisir dan laut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya sebagai modal dasar pembangunan nasional dengan. Menurut Dangler (1930) dalam Hardiwinoto (2005), hutan adalah suatu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang mampu dan dapat diperbaharui. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang besar peranannya dalam berbagai aspek kehidupan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : P.20/MenLHK-II/2015 TENTANG
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA 013 NOMOR : P.20/MenLHK-II/2015 TENTANG FASILITASI BIAYA OPERASIONAL KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001)
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Merokok 2.1.1 Pengertian Perilaku Merokok Chaplin (2001) memberikan pengertian perilaku terbagi menjadi 2: pengertian dalam arti luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Perubahan Sosial Pemasaran sosial adalah aplikasi program yang disusun secara sistematis untuk memecahkan persoalan sosial di masyarakat (Rogers 1995). Pemasaran sosial
Lebih terperinciREPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004
I. PENDAHULUAN REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 Pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 merupakan kegiatan pembangunan yang sangat berbeda dengan kegiatan pada era-era sebelumnya. Kondisi dan situasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bidang yang sama sehingga banyak perusahaan yang tidak dapat. mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi perekonomian Indonesia yang semakin maju dan mengalami perkembangan, ini ditunjukkan semakin banyaknya bermunculan perusahaan industri, baik industri
Lebih terperinciBAB II. TINJAUAN PUSTAKA
29 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Program Adiwiyata-Sekolah Berbasis Pendidikan Lingkungan Hidup (Panduan Sekolah Adiwiyata 2010 Wujudkan Sekolah Peduli Dan Berbudaya Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan
Lebih terperinciII. LANDASAN TEORI. Pemasaran merupakan salah satu dari kegiatan pokok yang dilakukan oleh
11 II. LANDASAN TEORI 2.1 Teori Pemasaran Pemasaran merupakan salah satu dari kegiatan pokok yang dilakukan oleh perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, untuk berkembang dan mendapatkan
Lebih terperinciEVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS
53 EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat baik perorangan, keluarga, kelompok maupun masyarakat dalam
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 9 /Menhut-II/2011. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2011
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
18 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai modal pembanguan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi,
Lebih terperinciSUB BIDANG SUB SUB BIDANG RINCIAN URUSAN DAERAH 1. Pemerintahan Desa dan Kelurahan
- 97-21. BIDANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA 1. Pemerintahan Desa dan Kelurahan 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan daerah 2. Penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan 2. Administrasi Pemerintahan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Hal ini menunjukan ekosistem mangrove mengalami tekanan-tekanan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia saat ini mengalami peningkatan hilangnya sumber daya mangrove, begitu pula di Indonesia. Data dua puluh terakhir mengindikasikan total luas mangrove Indonesia telah
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan
Lebih terperinci2011, No.68 2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Ind
No.68, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Bidang Kehutanan. 9PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 9/Menhut-II/2011. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan sekolah dasar merupakan bagian dari pendidikan nasional yang mempunyai peranan sangat penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, memberikan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka resmi Kementerian Kehutanan Republik Indonesia pada tahun 2012 luas kawasan hutan di Indonesia sekitar
Lebih terperinci