8 KESIMPULAN DAN SARAN
|
|
- Farida Hadiman
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat di sekitar hutan dengan lembaga-lembaga tradisionalnya yang telah mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan jauh sebelum diklaim sebagai hutan negara. Perbedaan pemaknaan dan tumpang tindih kepemilikan dan pengelolaan hutan akan lebih jelas dan menjadi masalah ketika keberadaan institusi/ kelembagaan baru melemahkan atau bahkan meniadakan keberadaan kelembagaan lain. Konflik sumberdaya hutan selalu melibatkan banyak pihak dengan banyak kepentingan. Setidaknya pada kasus TNGHS ada dua pihak yang berkonflik yaitu negara dan Masyarakat Kasepuhan, sedangkan pada kasus Sungai Utik melibatkan banyak pihak yaitu negara (pemerintah pusat) yang kemudian melibatkan perusahaan (swasta), negara (pemerintah daerah) yang juga melibatkan perusahaan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Dalam kasus konflik sumberdaya hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan hutan Sungai Utik, konflik sumberdaya hutan secara ringkas dapat dikatakan sebagai konflik pemaknaan, konflik tenurial, konflik otoritas dan konflik livelihood. Konflik tersebut terjadi karena adanya perbedaan pandangan tentang hutan, tumpang tindih kelembagaan hutan, perebutan otoritas atas teritori hutan yang melibatkan adanya dua kelembagaan dengan klaim penguasaan atas sumberdaya hutan yang sama serta perbedaan perlakuan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. Konflik pemaknaan terjadi karena adanya perbedaan pandangan terhadap fungsi hutan. Perbedaan pemaknaan tersebut dipengaruhi oleh perbedaan pengetahuan. Pengetahuan masyarakat bersumber dari tradisi budaya berdasarkan aspek historis yang diturunkan secara turun temurun, sedangkan pengetahun negara bersumber dari peraturan perundang-undangan. Pengetahuan memberi kekuasaan kepada para pihak untuk mengontrol dan mengelola sumberdaya hutan. Negara memaknai hutan sebagai sumber ekonomi sementara masyarakat 243
2 memaknai hutan sebagai ruang kehidupan. Pemaknaan dari negara atas hutan cenderung mendominasi pemaknaan masyarakat atas hutan, karena negara memainkan peraturan perundang-undangan sebagai alat kekuasaan, sementara masyarakat dipaksa untuk mematuhi aturan yang datang dari negara sebagai konsekuensi warga negara Indonesia. Konflik tenurial terjadi karena adanya tumpang tindih klaim atas penguasaan lahan/ tanah. Klaim penguasaan lahan oleh negara didasarkan atas peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, antara lain: Pasal 33 UUD 1945, UUPA dan UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang menyiratkan bahwa negara menjadi penguasa atas seluruh tanah/ hutan dan kekayaan alam didalamnya. Sedangkan masyarakat adat mengklaim kepemilikan lahan/ hutan berdasarkan hukum adat/ ulayat. Klaim masyarakat adat atas tanah berbenturan dengan klaim oleh negara selaku penguasa seluruh tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan negara. Bila dilihat dari aspek kesejarahan, Masyarakat Kasepuhan selalu terlibat konflik dengan negara sejak dulu, sejak zaman penjajahan, namun, konflik selalu mereda ketika masyarakat mempunyai akses terhadap tanah untuk kepentingan livelihood dan akses terhadap pengaturan hutan berdasarkan pengetahuan lokal masyarakatnya. Sekalipun mereka kehilangan hak (property right) atas tanah tersebut, selama memiliki akses terhadap kawasan, masyarakat dapat menerima keberadaan penguasaan tanah yang diklaim oleh negara. Pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, sejarah membuktikan bahwa keberadaan mereka di kawasan tersebut sangat dominan. Mereka memiliki semua hak akses terhadap hutan, bahkan keberadaan kebijakan pemerintah (baik pusat maupun daerah) tidak mampu mengeluarkan masyarakat dari kawasan tersebut. Sekalipun secara formal mereka tidak memiliki property right, namun mereka mempunyai akses, mereka mempunyai ability untuk mengelola dan mengambil manfaat dari kawasan hutan. Namun demikian, mereka tetap hidup dalam kecemasan karena klaim penguasaan negara atas kawasan tersebut tidak pernah dicabut. Oleh karena itu, hak kepemilikan merupakan hal yang penting bagi kedua masyarakat baik Kasepuhan maupun Dayak Iban dalam rangka menjamin kelangsungan akses dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. 244
3 Konflik otoritas adalah konflik yang timbul karena pertentangan kekuasaan/ kewenangan diantara dua kelembagaan. Konflik otoritas ini melibatkan kelembagaan sebagai alat otoritas. Otoritas inilah yang menjadi legitimasi masingmasing pihak yang saling berhadapan. Dalam kasus konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik, setidaknya terdapat dua otoritas yang saling berhadapan yaitu otoritas negara dan otoritas masyarakat. Otoritas negara bersumber dari peraturan perundang-undangan (kebijakan negara), sedangkan. otoritas masyarakat adat bersumber dari tradisi budaya (kelembagaan lokal). Dalam kasus Sungai Utik, negara dengan otoritas formalnya telah memberikan otoritas pemanfaatan hutan pada aktor pengusaha, sehingga konflik otoritas di Hutan Sungai Utik pada level grassroot menghadapkan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan pengusaha selaku pemegang otoritas IUPHHK dan pengusaha pemegang IUP. Setiap otoritas berusaha untuk menyingkirkan otoritas lain dan menjadi otoritas satu-satunya di kawasan tersebut. Semakin tajam konflik sumberdaya hutan maka semakin terlihat adanya pihak yang tersubordinasi dan pihak lain yang menjadi superordinat. Dalam kasus konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik ditemukan bahwa negara dengan otoritas formalnya menduduki posisi otoritas superordinat sedangkan masyarakat menjadi pihak yang subordinat. Sebagai pihak yang subordinat, masyarakat adat melakukan perjuangan untuk memperoleh otoritas atas penguasaan sumberdaya hutan. Dalam kasus TNGHS, distribusi otoritas yang tidak merata antar kelompok konflik inilah yang menyebabkan konflik terus terjadi. Dalam kasus Sungai Utik, soliditas kelembagaan membuat Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik selaku pihak yang tersubordinasi mampu mempertahankan otoritasnya dengan menguasai kontrol atas sumberdaya Hutan Sungai Utik. Konflik livelihood terjadi ketika ada perbedaan tindakan sosial akan sumberdaya hutan yang didasarkan atas kepentingan yang berbeda. Kepentingan masyarakat adat berhadapan dengan keberadaan kepentingan negara. Dalam kasus di TNGHS, Konflik menghadapkan kepentingan negara (BTNGHS) dengan Masyarakat Kasepuhan. Sebenarnya baik BTNGHS (negara) maupun Masyarakat 245
4 Kasepuhan sama-sama berkepentingan terhadap hutan untuk konservasi, hanya saja model konservasi yang dikembangkan kedua belah pihak berbeda. Dalam konsepnya Masyarakat Kasepuhan, hutan disamping untuk konservasi juga merupakan basis livelihood mereka. Pada kasus Sungai Utik, konflik terjadi antara Masyarakat Dayak Iban melawan negara dan pengusaha. Masyarakat adat mempertahankan sumberdaya hutan karena alasan konservasi dan ekonomi livelihood, sementara negara dan pengusaha menginginkan sumberdaya hutan atas alasan ekonomi komersial pasar global (kapitalis). Basis konflik pada level grassroot ini adalah akuisisi materi, dimana ada tarik menarik kepentingan ekonomi. Perbedaan kepentingan membuat perbedaan perlakuan terhadap hutan. Dalam konsep masyarakat adat hutan bukan hanya sebagai kumpulan vegetasi melainkan sumber livelihood masyarakatnya. Namun demikian, pemanfaatan hutan menurut masyarakat adat tersebut diatur dengan tradisi budaya, dimana tidak setiap tempat boleh dimanfaatkan sebagai lahan garapan, begitupun dengan pengambilan manfaat dari kayu mensyaratkan adanya pembatasan pengambilan dan tindakan penanaman sebelum pengambilan. Masyarakat memanfaatkan hutan dengan mempertimbangkan keberlangsungan hutan dan kehidupan makhlukmakhluk lain yang hidupnya bergantung pada hutan. Hal ini berbeda dengan konsep hutan dalam kepentingan negara. Negara (dalam kasus hutan produksi) boleh memanfaatkan hutan baik kayu maupun non kayu dalam jumlah sesuai dengan kepentingan pasar, tanpa memperhitungkan terganggunya ekosistem hutan. Dampak dari konflik sumberdaya hutan tersebut pada level kelompok menyebabkan kelentingan masyarakat meningkat. Kelentingan tersebut dinilai berdasarkan kemampuan bertahan (survival), kemampuan konsolidasi, kemampuan mengulur waktu dan kemampuan memeluk pihak lain. Kelentingan pada Masyarakat Kasepuhan ditunjukkan dengan kemampuan masyarakat menghindari serangan, menghindari konflik terbuka, menggalang aliansi dengan kelompok Masyarakat Kasepuhan lain dan membentuk kesatuan Masyarakat Adat Banten Kidul (SABAKI), menggalang bantuan dari pihak lain, kemampuan mengembangkan web of powernya dengan cara merangkul LSM dan pemerintah 246
5 daerah untuk bernegosiasi dengan BTNGHS mendialogkan kembali tentang tata batas, akses bahkan zonasi Kelentingan pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik ditunjukkan dengan cara melawan dan konflik terbuka, mempertahankan hak akses atas hutan dan mengusir lawan dari kawasan, meningkatkan soliditas dengan seluruh anggota Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan sesama suku Dayak Iban dalam Ketemenggungan Jalai Lintang, mengembangkan web of powernya dengan merangkul LSM baik nasional maupun internasional, yang membantu masyarakat dalam hal pemetaan, meraih sertifikat ekolabeling, propaganda mengenai pengelolaan hutan lestari berbasis pengetahuan masyarakat adat dalam rangka perjuangannya memperoleh pengakuan sebagai hutan adat. Berdasarkan fenomena-fenomena yang ditemukan dilapangan, maka konflik sumberdaya hutan pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik melahirkan teori baru yaitu Teori Kelentingan Sosial Dalam Perebutan Sumberdaya Hutan. Kelentingan tersebut dipahami sebagai struggle for survival. Dengan kata lain bahwa complex social conflict menghadirkan kelentingan sosial. Setiap masyarakat mempunyai tingkat kelentingan yang berbeda-beda. Masyarakat dengan kelentingan yang tinggi memungkinkan terjadinya penyelesaian konflik dengan cara dialog Saran Konflik penguasaan sumberdaya hutan merupakan konflik yang terjadi karena adanya perbedaan pemaknaan, perebutan tenurial, perebutan otoritas dan perbedaan kepentingan livelihood,. Konflik menjadi tidak terhindarkan ketika kebijakan negara menegasikan hak dan akses masyarakat adat yang sudah lama tinggal di lokasi dan mengklaim bahwa kawasan tersebut adalah miliknya yang diperoleh secara turun temurun. Hilangnya hak dan akses terhadap sumberdaya hutan menyebabkan masyarakat juga kehilangan otoritas dalam pengaturan tata kelola sumberdaya hutan. Oleh karena itu penyelesaian konflik pada konflik penguasaan sumberdaya hutan harus dapat menyelesaikan fenomena konflik pemaknaan, konflik tenurial, konflik otoritas dan konflik livelihood. 247
6 Konflik sumberdaya hutan tersebut tidak dapat hanya diselesaikan melalui pendekatan yuridis formal, namun juga harus mempertimbangkan perspektif kesejarahannya. Dalam konteks tersebut, konflik tidak semata-mata terletak pada legitimasi hukum dan perundang-undangan yang menetapkan sebuah status kawasan hutan sebagai hutan negara, namun penetapan status sebuah kawasan hutan juga harus mengakomodir keberadaan kawasan lahan serta hutan adat sebagai hak masyarakat adat. Hutan bukan hanya dipandang dari aspek aturan namun juga harus mempertimbangkan aspek kultural masyarakat yang hidup dari dan berada di sekitar atau di dalam kawasan hutan. Penyelesaian konflik sumberdaya hutan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan tipe masyarakat yang terlibat dalam konflik tersebut dan jenis hutan menurut kebijakan negara. Pada Masyarakat Kasepuhan, penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan conflict resolution, yaitu penyelesaian konflik yang memungkinkan hasil positif bagi kedua belah pihak (win-win solution). Dalam penyelesaian konflik di TNGHS, pemerintah daerah merupakan kolaborator masyarakat adat, karena berani berhadap-hadapan dengan negara (Kementerian Kehutanan) dalam rangka menyelesaikan konflik dan memperjuangkan hak akses Masyarakat Kasepuhan. Persoalan konflik pada kawasan TNGHS adalah persoalan ketidak-merataan distribusi penguasaan sumberdaya. Oleh karena itu penyelesaian konflik Masyarakat Kasepuhan dapat dilakukan melalui pendekatan kekuasaan, yaitu pendistribusian kekuasaan negara kepada Masyarakat Kasepuhan yang dapat menjamin kelangsungan Masyarakat Kasepuhan untuk memiliki akses (bundle of power) terhadap hutan, termasuk menjamin kelangsungan livelihood mereka di kawasan hutan. Pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan conflict transformation yaitu merubah konflik yang tadinya negatif kearah penyelesaian yang positif. Dalam penyelesaian konflik di Sungai Utik, pemerintah daerah bukan kolaborator masyarakat adat karena dengan otoritas otonomi daerahnya, pemerintah daerah malah menyebabkan konflik semakin kompleks dengan menerbitkan IUP untuk pengusaha. Oleh karena itu, penyelesaian konflik pada kawasan hutan Sungai Utik harus bersifat kelembagaan/ institusi, melalui penerbitan kebijakan negara yang memberikan 248
7 hak pengelolaan kawasan hutan Sungai Utik pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik yang nyata-nyata diakui melalui sertifikat ekolabeling mempunyai pengetahuan lokal dalam tata kelola hutan yang lestari. Persolannya konflik sumberdaya hutan pada kawasan TNGHS dan hutan Sungai Utik terjadi juga karena adanya pemaknaan atas hutan yang didasarkan karena adanya perbedaan pengetahuan dalam tata kelola hutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis pada pengetahuan masyarakat lokal jauh lebih baik dibandingkan dengan penguasaan hutan berdasarkan tata kelola negara, karena bagaimanapun juga tindakan negara didasarkan atas dualisme kepentingan, yaitu kelestarian hutan dan pemanfaatan hutan sesuai mekanisme pasar. Sementara itu diketahui bahwa mekanisme pasar telah gagal mendorong keberlanjutan dan kesetaraan dalam manajemen SDA. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya hutan lebih baik diserahkan kepada masyarakat, karena masyarakat lokal lebih berkepentingan terhadap keberlanjutan sumberdaya hutan dibanding siapapun. Kolaborasi manajemen bisa dilakukan antara negara dan masyarakat, dimana negara memegang kontrol atas sumber daya hutan tersebut sementara pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat. Keterlibatan pengusaha dimungkinkan selama tidak merugikan kepentingan masyarakat dan negara. Salah satu pemicu konflik juga karena ada campur tangan pemerintah daerah yang membuat konflik semakin kompleks. Hal ini terjadi karena otonomi daerah masih dijalankan setengah hati. Selama pemerintah pusat masih mengontrol pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, maka peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk hutan hanya akan membuat konflik sumberdaya alam semakin rumit dan masyarakat adat semakin jauh dari perjuangannya untuk memperoleh hak kelola hutan sebagai hutan adat mereka. Oleh karena itu perlu adanya kepastian hukum dan peningkatan kemampuan daerah dalam mengatasi berbagai macam kendala desentralisasi, sehingga daerah mampu mengelola sumberdaya alam. Dengan demikian disarankan bahwa orientasi kebijakan sumberdaya alam kedepan adalah pembangunan ekonomi lingkungan yang berkelanjutan, yaitu mensinergikan antara pembangunan lingkungan (lingkungan lestari) dan 249
8 keberlanjutan masyarakatnya. Masyarakat yang berkelanjutan memungkinkan setiap orang untuk memiliki kualitas hidup yang tinggi baik secara fisik, mental, dan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, intervensi kelembagaan negara dan introduksi teknologi dalam pengelolaan sumberdaya hutan, harus layak dan berlaku untuk kondisi setempat. Artinya harus mengadopsi budaya lokal. Masalah lingkungan adalah masalah manusia tidak hanya masalah teknologi. Pendidikan tentang lingkungan harus dilaksanakan terlebih dahulu sebelum intervensi kebijakan dilakukan, dengan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya, pengetahuan dan tradisi masyarakat lokal agar terciptanya masyarakat yang berkelanjutan. 250
7 REFLEKSI TEORITIK TENTANG KONFLIK PENGUASAAN SUMBERDAYA HUTAN
7 REFLEKSI TEORITIK TENTANG KONFLIK PENGUASAAN SUMBERDAYA HUTAN 7.1. Teori Konflik Dahrendorf dan Teori Pengetahuan dan Kekuasaan Foucault Teori yang digunakan dalam analisis konflik sumberdaya hutan di
Lebih terperinci5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN
5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN 5.1. Penyebab dan Bentuk Konflik Konflik dalam penguasaan sumberdaya hutan pada dua kawasan konflik yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Hutan Sungai Utik disebabkan
Lebih terperinci3 METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Paradigma Penelitian
3 METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi, yaitu: 1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang terletak di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan anugerah Tuhan yang memiliki dan fungsi yang sangat besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat menjaga kesegaran udara
Lebih terperinciVII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)
VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) 7.1. Persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap Keberadaan Hutan Penilaian
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan
Lebih terperinciBAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Dengan pemaparan dan analisa sebagaimana diuraikan di atas maka dapat disusun beberapa kesimpulan sebagai berikut; 1. Latarbelakang lahirnya kontestasi multi
Lebih terperinciBAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN
89 BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN Rumusan standar minimal pengelolaan pada prinsip kelestarian fungsi sosial budaya disusun sebagai acuan bagi terjaminnya keberlangsungan manfaat
Lebih terperinci6 DINAMIKA KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN
6 DINAMIKA KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN 6.1. Analisis Perbandingan Lembaga dan Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik Dalam konteks kelembagaan pengaturan hutan,
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN: ADAT ISTIADAT SEBAGAI LANDASAN GERAKAN SOSIAL SUKU DAYAK IBAN
BAB V KESIMPULAN: ADAT ISTIADAT SEBAGAI LANDASAN GERAKAN SOSIAL SUKU DAYAK IBAN A. Prolog Skripsi ini dimulai dari keingintahuan peneliti terhadap fenomena unik yang terjadi di bumi Kapuas Hulu, tepatnya
Lebih terperinciKESIMPULAN DAN SARAN
369 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Selama tahun 1990-2009 terjadi pengurangan luas hutan SWP DAS Arau sebesar 1.320 ha, mengakibatkan kecenderungan peningkatan debit maksimum, penurunan debit minimum
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan
Lebih terperinciPERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
PERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DR. Wahiduddin Adams, SH., MA ** Pembentukkan Negara Kesatuan Republik Indonesia berawal dari bersatunya komunitas adat yang ada di seluruh
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hukum adat telah ada di Indonesia jauh sebelum hukum nasional dibentuk. Aturan dan hukum yang dilaksanakan oleh masyarakat adat, baik itu di bidang pertanahan
Lebih terperinciTahapan Pemetaan Partisipatif Wilayah Kelola Rakyat
Upaya PERDU mendorong pengelolaan sumberdaya alam di Papua secara adil dan berkelanjutan adalah dengan cara meningkatkan kapasitas masyarakat asli Papua. Juga dengan mengupayakan pemanfaatan sumberdaya
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS PENELITIAN
BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan menjelaskan tentang keberadaan masyarakat, status tanah, hak atas tanah, serta alat bukti hak atas tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar, sebagai
Lebih terperinciMISKINYA RAKYAT KAYANYA HUTAN
SENGKARUT TAMBANG MENDULANG MALANG Disusun oleh Koalisi Anti Mafia Hutan dan Tambang. Untuk wilayah Bengkulu, Lampung, Banten. Jakarta, 22 April 2015 MISKINYA RAKYAT KAYANYA HUTAN No Daerah Hutan Konservasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum. bermanfaat bagi seluruh masyarakat merupakan faktor penting yang harus
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat merupakan faktor penting yang harus diperhatikan pemerintah dalam rangka
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciInisiatif penyelesaian konflik Sumber Daya Alam melalui Mediasi i
Inisiatif penyelesaian konflik Sumber Daya Alam melalui Mediasi i Disampaikan Oleh Ahmad Zazali ii Hasil study dan Monitoring konflik Sumber Daya Alam di Riau yang dilakukan Scale Up selama empat (4) tahun
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP. Alam Nomor : SK. 32/IV-SET/2015 tentang Zonasi Taman Nasional Siberut, Kabupaten
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Proses penetapan zonasi Taman Nasional Siberut yang dilaksanakan ditahun 2014 dan telah disahkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Lebih terperinciANALISIS MODEL TENURIAL DALAM UNIT MANAJEMEN KPH
ANALISIS MODEL TENURIAL DALAM UNIT MANAJEMEN KPH Analisa Model Tenurial Dalam Unit Manajemen KPH PUSPIJAK I. Pendahuluan II. Landasan Teori III. Kerangka Pikir Tenurial Kawasan Hutan IV. Tahapan Analisis
Lebih terperinciBAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN
BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN 29 Bab perubahan struktur agraria ini berisi tentang penjelasan mengenai rezim pengelolaan TNGHS, sistem zonasi hutan konservasi TNGHS, serta kaitan antara
Lebih terperinciEksistensi Hutan Adat Dalam Pembangunan Kehutanan di Indonesia. Paska Putusan MK No. 35/PUU-X/2012
Eksistensi Hutan Adat Dalam Pembangunan Kehutanan di Indonesia Paska Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 Seminar Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan Dalam Perspektif Tata Ruang Kupang, 2 Juli 2013 Suer Suryadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kawasan hutan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kawasan hutan atau hutan tropis yang cukup luas di dunia. Kawasan hutan di Indonesia mencapai ±137,09 Juta ha
Lebih terperinci1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Konflik di Provinsi Riau meningkat seiring dengan keluarnya beberapa izin perkebunan, dan diduga disebabkan oleh lima faktor yang saling terkait, yakni pertumbuhan
Lebih terperinciLAMPIRAN KERTAS POSISI WWF INDONESIA TENTANG PEMANFAATAN TRADISIONAL SUMBER DAYA ALAM UNTUK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN KONSERVASI
g LAMPIRAN KERTAS POSISI WWF INDONESIA TENTANG PEMANFAATAN TRADISIONAL SUMBER DAYA ALAM UNTUK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN KONSERVASI A. Pendahuluan Sebagai lembaga konservasi,wwf Indonesia memiliki visi melestarikan
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat
BAB IV ANALISIS Dalam Bab IV ini akan disampaikan analisis data-data serta informasi yang telah didapat. Bab ini terbagi menjadi 3 sub-bab. Bab 4.1 berisi tata cara dan aturan adat dalam penentuan batas
Lebih terperinciVIII. ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP)
88 VIII. ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP) Kerusakan hutan Cycloops mengalami peningkatan setiap tahun dan sangat sulit untuk diatasi. Kerusakan tersebut disebabkan oleh aktivitas masyarakat yang tinggal di
Lebih terperinciGambar 2 Peta kawasan Kasepuhan Citorek di kawasan TNGHS.
6 BAB II METODE PENELITIAN 2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-April 2012. Pengumpulan data sosial masyarakat dilaksanakan di Kasepuhan Citorek Kecamatan Cibeber Kabupaten
Lebih terperinciII. PENDEKATAN TEORITIS
II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Kepemilikan Sumber Daya (Property rights) Kondisi tragedy of the common didorong oleh kondisi sumber daya perikanan yang bersifat milik bersama
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 14 TAHUN 2002 TENTANG KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
PENJELASAN ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 14 TAHUN 2002 TENTANG KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM I. UMUM Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dikaruniai oleh Allah Yang Maha
Lebih terperinciBAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN
BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya pembukaan lahan pada
Lebih terperinciBAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA
BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta memiliki nilai sosio-kultural dan pertahanan keamanan. Secara ekonomi tanah merupakan aset (faktor)
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Ada dua hal penting yang dapat dicatat dari sejarah pengelolaan hutan di Jawa. Pertama, seolah-olah hutan di Jawa adalah kawasan warisan penguasa dari waktu ke waktu tanpa mempertimbangkan
Lebih terperinciHUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo
HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan
Lebih terperinciPrespektif CBFM Sebagai Salah Satu Skema Utama Penerima Manfaat Pendanaan Karbon Untuk Penurunan Kemiskinan Dan Resolosi Konflik
Prespektif CBFM Sebagai Salah Satu Skema Utama Penerima Manfaat Pendanaan Karbon Untuk Penurunan Kemiskinan Dan Resolosi Konflik Oleh Direktur Bina Perhutanan Sosial PEMAHAMAN HIRARKI PENGUASAAN ATAS TANAH
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai
Lebih terperinciPERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF
Peran Penting Masyarakat dalam Tata Kelola Hutan dan REDD+ 3 Contoh lain di Bantaeng, dimana untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian, pemerintah kabupaten memberikan modal dan aset kepada desa
Lebih terperinciIII. KERANGKA PEMIKIRAN Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD)
3.1. Kerangka Teoritis III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.1. Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD) Analisis ini digunakan untuk mengetahui siapa saja pihak-pihak yang
Lebih terperinciMENUJU POLA PENGUASAAN TANAH YANG MERATA DAN ADIL
MENUJU POLA PENGUASAAN TANAH YANG MERATA DAN ADIL Sepanjang era Orde Baru praksis pembangunan kehutanan senantiasa bertolak dari pola pikir bahwa penguasaan sumberdaya hutan merupakan state property saja
Lebih terperinciPRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia) Mei 2012
PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia) Mei 2012 Apa saja prasyaarat agar REDD bisa berjalan Salah satu syarat utama adalah safeguards atau kerangka pengaman Apa itu Safeguards Safeguards
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat
BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat Penyebutan masyarakat dapat ditemukan dalam berbagai peraturan. Masyarakat yang dimaksud tersebut bukan berarti menunjuk pada kerumunan
Lebih terperinciVI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI
VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI 6.1. Riwayat Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Taman Nasional Gunung
Lebih terperinciBAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta
BAB V Kesimpulan A. Pengantar Bab V merupakan bab terakhir dari seluruh narasi tulisan ini. Sebagai sebuah kesatuan tulisan yang utuh, ide pokok yang disajikan pada bab ini tidak dapat dipisahkan dari
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Taman Nasional Gunung Merapi merupakan kawasan hutan tropis pegunungan yang terletak pada gunung berapi yang masih aktif berada di wilayah Yogyakarta dan Jawa
Lebih terperinciSERBA SERBI HUTAN DESA (HD)
SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) Oleh Agus Budhi Prasetyo, S.Si.,M.Si. Dalam Renstra 2010-2014, Kemenhut merencanakan hutan kemasyarakatan seluas 2 juta ha dan hutan desa seluas 500.000 ha. Dari areal yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam perekonomian Indonesia. Peranan atau kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara menduduki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya alam yang banyak dimiliki di Indonesia adalah hutan. Pembukaan hutan di Indonesia merupakan isu lingkungan yang populer selama dasawarsa terakhir
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan. bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
Lebih terperinciIMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
1 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP) MODEL LALAN KABUPATEN MUSI BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN Tesis Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dalam bab ini akan dipaparkan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. Kesimpulan yang didapat merupakan jawaban dari pertanyaan (research question) yang
Lebih terperinciPARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA Frida Purwanti Universitas Diponegoro Permasalahan TNKJ Tekanan terhadap kawasan makin meningkat karena pola pemanfaatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki peran penting bagi keberlangsungan hidup umat manusia di muka bumi. Peran penting sumberdaya hutan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Konflik yang terjadi di kawasan hutan sering kali terjadi akibat adanya
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik yang terjadi di kawasan hutan sering kali terjadi akibat adanya sumberdaya alam bernilai ekonomi tinggi yang menjadi daya tarik tersendiri untuk berbagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sangat kaya akan berbagai sumberdaya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Kekayaan sumberdaya alam tersebut harus dikelola
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS PENELITIAN
BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan dibahas keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dari 4 ( empat ) aspek, yaitu : 1. Aspek Yuridis 2. Aspek Teknis 3. Pranata Adat 4. Penguatan Status
Lebih terperinciPENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan memiliki
Lebih terperinciBab I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian
Bab I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, juga dikenal sebagai negara " multi cultural " yang memiliki lebih dari 250 kelompok
Lebih terperinciLEMBAR INFORMASI JARINGAN MASYARAKAT HUTAN KORIDOR GUNUNG SALAK-HALIMUN
1 LEMBAR INFORMASI JARINGAN MASYARAKAT HUTAN KORIDOR GUNUNG SALAK-HALIMUN SEKARANG KITA BERSAMA!!!! LANGKAH AWAL UNTUK PENGELOLAAN HUTAN KORIDOR SALAK-HALIMUN YANG ADIL, SEJAHTERA, DAN LESTARI Apa itu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan
Lebih terperinciI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia selama ini diwarnai dengan ketidakadilan distribusi manfaat hutan terhadap masyarakat lokal. Pengelolaan hutan sejak jaman kolonial
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan tanah yang jumlahnya tetap (terbatas) mengakibatkan perebutan
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara Konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 pada pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa: Bumi dan air dan kekayaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengelolaannya diserahkan hukum adat (Pasal 1 UU No.41 tahun 1999). Masyarakat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah adat yang pengelolaannya diserahkan hukum adat (Pasal 1 UU No.41 tahun 1999). Masyarakat hukum adat tidak diakui
Lebih terperinciBAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang
Lebih terperinciBAB V. PENUTUP. (dua) permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini, yaitu:
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian dan kajian tentang Konstruksi Hukum Penguasaan Tanah Negara dalam Sistem Hukum Tanah Nasional maka diajukan jawaban terhadap 2 (dua) permasalahan yang
Lebih terperinciBUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG
BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT KAMPUNG KUTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi merupakan kawasan yang dilindungi dengan fungsi pokok konservasi biodiversitas dalam lingkungan alaminya, atau sebagai konservasi in situ, yaitu konservasi
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. 1. Dampak dari penetapan Taman Nasional Kutai terhadap kegiatan. eksplorasi dan eksploitasi PT Pertamina EP di lapangan Sangatta dapat
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Dampak dari penetapan Taman Nasional Kutai terhadap kegiatan eksplorasi dan eksploitasi PT Pertamina EP di lapangan Sangatta dapat dilihat dengan sangat nyata dimana tanpa
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama pengelolaan taman nasional adalah sebagai kekuatan pendorong untuk menjamin kelestarian fungsi ekologi kawasan dan sekitarnya serta kemanfaatannya bagi manusia
Lebih terperinciKESIMPULAN DAN SARAN
VI, RINGUSAN HASIL PENELITIAN KESIMPULAN DAN SARAN 1. Cara pandang masyarakat terhadap sumberdaya hutan, masih sebatas pemanfmtan kayu dari hutan. Tuntutan masyarakat untuk turut mengelola sumberdaya hutan,
Lebih terperinciMEMBUAT HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA
PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 Praktek REDD+ yang Menginspirasi MEMBUAT HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA RINGKASAN Apa Pengembangan kawasan konservasi masyarakat dan pengelolaan hutan berbasis
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. yang berada di wilayah pesisir seperti Desa Dabong. Harahab (2010: )
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan lindung seperti ekosistem mangrove memiliki peran cukup penting bagi masyarakat yang tinggal berdampingan dengan ekosistem tersebut karena umumnya masyarakat
Lebih terperinciPERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR
PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR Materi ini disusun Dinas Kehutanan Propinsi Papua dalam rangka Rapat Kerja Teknis Badan Planologi Kehutanan Tahun
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang
Lebih terperinciKedaulatan dan Kemandirian Masyarakat Adat Melalui Pencapaian Pengelolaan Hutan Adat Lestari
Kedaulatan dan Kemandirian Masyarakat Adat Melalui Pencapaian Pengelolaan Hutan Adat Lestari Forest Forest Concession Area Abdon Nababan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Indigenous Peoples Alliance of
Lebih terperinciKAJIAN AGRARIA (KPM 321) PENDAHULUAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA / DEPARTEMEN -KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN ASYARAKAT.
KAJIAN (KPM 321) PENDAHULUAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA / DEPARTEMEN -KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN ASYARAKAT. 2009/10 1 FOKUS Mempelajari hubungan antara manusia yang mengatur penguasaan
Lebih terperinciKONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) alam memiliki nilai sosial
KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) 1. Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi. 2. Kebijakan pembangunan pertanahan
Lebih terperinciPusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan
ANALISIS SOSIAL BUDAYA REDD+ 2011 Penyusunan Kriteria Indikator Pemilihan Lokasi dan Strategi Keberhasilan Implementasi REDD dari Perspektif Struktur Sosial Budaya Tim Peneliti PUSPIJAK Pusat Penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memiliki dimensi ekonomi, sosial, kultural, politik dan ekologis.
BAB I PENDAHULUAN Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di muka bumi. Tanah menjadi kebutuhan dasar manusia sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat
Lebih terperinciHAK ULAYAT MASYARAKAT DALAM KETENTUAN HAK PENGUSAHAAN PERAIRAN PESISIR (HP3)
HAK ULAYAT MASYARAKAT DALAM KETENTUAN HAK PENGUSAHAAN PERAIRAN PESISIR (HP3) Oleh: Ir. Kartika Listriana, MPPM. dan Dinah Yunitawati, S.T. Kearifan lokal yang berkembang di Indonesia atau yang lebih dikenal
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. utama yang menjadi akar permasalahan konflik. Pada bab kedua naskah ini telah
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisa terkait konflik pada tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi yang telah dituliskan di bab sebelumnya, maka pada kesimpulan ini diperlukan elaborasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat di sekitar hutan memiliki ketergantungan yang sangat besar dengan keberadaan hutan disekitarnya, pemanfaatan hutan dan hasil hutan oleh masyarakat dilakukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunitas Kasatuan Adat Banten Kidul merupakan sekelompok masyarakat yang mendiami kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Merupakan bagian dari etnik
Lebih terperinciHAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA
HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA Sumber: www.survivalinternational.org I. PENDAHULUAN Konsep hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat, sehingga mengakui adanya hak ulayat masyarakat hukum adat
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya
PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan partisipasinya dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan di bidang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam berupa hutan merupakan salah satu kekayaan alam yang memiliki nilai sangat strategis. Meskipun sumberdaya alam ini termasuk kategori potensi alam
Lebih terperinciDAMPAK PENCABUTAN PSAK: AKUNTANSI KEHUTANAN PSAK 32
T O P I K U T A M A DAMPAK PENCABUTAN PSAK: AKUNTANSI KEHUTANAN PSAK 32 DWI MARTANI Ketua Departemen Akuntansi FEUI dan Anggota Tim Implementasi IFRS-IAI Abstrak Pencabutan PSAK memberikan dampak pada
Lebih terperinciBAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945
BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD 1945 A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Dalam UUD 1945, pengaturan tentang pemerintah daerah diatur dalam Bab VI pasal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan tanah. Tanah sangat penting bagi manusia sebagi tempat
A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup, serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421
Lebih terperinciBeberapa Contoh Studi Kasus Penggunaan RaTA
B. Penggunaan RaTA dalam Studi dan Pendampingan Penyelesaian Konflik Sistem penguasaan tanah Bengkunat Penggunaan RaTA dilakukan sebanyak dua kali yaitu pertama adalah dengan melaksanakan FGD tingkat pekon
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan taman nasional yang ditunjuk berdasarkan SK Menhut No 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Implementasi otonomi daerah di wilayah laut merupakan bagian dari proses penciptaan demokrasi dan keadilan ekonomi di daerah. Hal ini dituangkan dalam Undang-undang Nomor
Lebih terperinciWG-Tenure. Laporan Evaluasi dan Pendalaman Hasil Assesment Land Tenure KPHP Seruyan Unit XXI Kalimantan Tengah Seruyan Februari 2014
Laporan Evaluasi dan Pendalaman Hasil Assesment Land Tenure KPHP Seruyan Unit XXI Kalimantan Tengah Seruyan 17-22 Februari 2014 Selama ini telah terbangun stigma yang buruk bahwa Desa itu berada dalam
Lebih terperinci