KEEFEKTIVAN PENGELOLAAN KONFLIK PADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN SELATAN JAWA TIMUR ACHMAD BUDIONO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEEFEKTIVAN PENGELOLAAN KONFLIK PADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN SELATAN JAWA TIMUR ACHMAD BUDIONO"

Transkripsi

1 KEEFEKTIVAN PENGELOLAAN KONFLIK PADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN SELATAN JAWA TIMUR ACHMAD BUDIONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005

2 PERNYATAAN Dengan ini saya menya takan bahwa disertasi Keefektivan Pengelolaan Konflik Pada Perikanan Tangkap di Perairan Selatan Jawa Timur adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Desember 2005 Achmad Budiono C

3 ABSTRAK ACHMAD BUDIONO. Keefektivan Pengelolaan Konflik pada Perikanan Tangkap di Perairan Selatan Jawa Timur. Dibimbing oleh John Haluan, Fedi A. Sondita dan Victor P.H. Nikijuluw. Tujuan studi adalah mengetahui tipologi konflik, upaya-upaya yang telah dilakukan dan keefektivan pengelolaan konflik perikanan tangkap di Teluk Sendang Biru, Teluk Prigi dan Teluk Popoh, guna merancang model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap yang efektif. Data diperoleh dari survai responden secara purposif. Participatory institutional survey and conflict evaluation exercise digunakan untuk mendeskripsikan konflik. Principal component analysis dan structural equation model digunakan dalam pengujian hipotesis kemampuan stakeholder dalam mengidentidikasi dan memetakan penyebab konflik dan memilih teknik resolusi konflik. Penelitian ini menemukan sembilan jenis konflik perikanan tangkap, yaitu 1) konflik retribusi, 2) konflik tambat labuh, 3) konflik perebutan daerah tangkap, 4) konflik perbedaan alat tangkap, 5) konflik penggunaan potas/obat-obatan, 6) konflik bagi hasil, 7) konflik nelayan lokal vs andon, 8) konflik pencemaran lingkungan, dan 9) konflik perusakan terumbu karang. Konflik perikanan tangkap disebabkan oleh 11 faktor penyebab konflik yaitu : 1) jumlah pihak yang terlibat dalam konflik, 2) keberadaan tokoh dalam konflik, 3) keberadaan pihak yang bertolak belakang, 4) isu yang berkembang dalam masyarakat, 5) kondisi perekonomian masyarakat, 6) jumlah nelayan, 7) latar belakang budaya dan adat istiadat, 8) keberadaan peraturan dan penegakan hukum, 9) keinginan tertentu dalam masyarakat, 10) kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya dan 11) persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya. Seluruh konflik yang terjadi diselesaikan dengan teknik resolusi konflik alternatif (ADR), yaitu: fasilitasi, negosiasi, mediasi dan avoidance. Faktor utama penyebab konflik adalah keberadaan peraturan dan penegakan hukum, kehadiran tokoh, dan kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap, persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya, isu yang berkembang dalam masyarakat dan kondisi ekonomi masyarakat. Sedangkan jenis konflik perikanan tangkap yang utama terdiri dari konflik bagi hasil, konflik tambat labuh, konflik daerah tangkap, konflik alat tangkap dan konflik nelayan local vs andon. Teknik resolusi yang sesuai dengan penyebab konflik adalah mediasi. Teknik resolusi konflik yang digunakan di lokasi penelitian telah terbukti efektif, yang ditunjukkan dengan adanya hubungan positif antara teknik resolusi konflik dengan outcome. Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap yang efektif adalah model yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan konflik. Secara garis besar model ini memiliki empat komponen dasar, yaitu: perundangan dan regulasi, peran serta organisasi masyarakat, infrastruktur dasar dan kondisi sosialekonomi. Key words : tipologi, perikanan tangkap, keefektivan, resolusi konflik.

4 ABSTRACT ACHMAD BUDIONO. Effective Conflict Management for Capture Fisheries in the Southern Sea of East Java. Supervised by John Haluan, Fedi A.Sondita and Victor P.H. Nikijuluw as members of advisory team. The aim of this study is to describe conflict typology, implemented local conflict management efforts and their effectiveness in Sendang Biru, Popoh and Prigi Bay in order to design an effective conflict management model. Data are obtained through a series of surveys in the study areas. Participatory institutional survey and conflict evaluation exercise were used to describe the conflicts. Principal component analysis and structural equation model were applied to verify hypotheses of capability of community in identifying factors determining conflict and selecting conflict resolution methods. The research was conducted to identify nine types of capture fisheries conflicts namely: 1) conflict on fee imposition 2) conflict on anchoring/landing port 3) conflict on fight for fishing ground, 4) conflict on capture tool discrepancy, 5) conflict on the use of potassium/chemical substances 6) conflict of fishing harvest division 7) conflict between local fishers and migrant fishers 8) conflict on environmental pollution and 9) conflict on coral reef destruction. Conflicts of capture fisheries are caused by eleven reasons namely 1) the number of people involved in conflict 2) the presence of community leaders in conflict, 3) the position of opposing sides 4) issues among the community 5) the local economic condition 6) the number of fishers 7) socio-cultural background 8) regulations and law enforcement 9) special community interests 10) competition in the use of resources and 11) perception of the people towards remaining resources. All conflicts were resolved by alternative dispute resolution method (ADR), namely: facilitation, negotiation, mediation and avoidance. The main causing factors for conflicts are regulation and law enforcement, the presence of community leaders, competition in the use of resources, perception of the people toward resources, issues among the community and the local economic condition. Meanwhile, the main type of capture fisheries conflicts namely: conflict on fee imposition, conflict on anchoring/landing port, conflict on fight for fishing ground, conflict on capture tool discrepancy, conflict between local fishers and migrant fishers. The most suitable methods to resolve fisheries conflict that relevant to the main reason of the conflict is mediation. This methods showed to be the most effective as influential to the positive correlation between conflict resolution methods and outcome. The proposed effective model of process to resolve capture fisheries conflicts should be promote community participation in conflict management. The model has four basic components, namely: law and regulation, role and organization of coastal community, basic infrastructure and socio economic condition. Key words: typology, capture fisheries, effectiveness, conflict resolution.

5 KEEFEKTIVAN PENGELOLAAN KONFLIK PADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN SELATAN JAWA TIMUR ACHMAD BUDIONO Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005

6 Judul Disertasi : Keefektivan Pengelolaan Konflik pada Perikanan Tangkap di Perairan Selatan Jawa Timur Nama : Achmad Budiono NIM : C Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Ketua Dr. Ir. H. M. Fedi A. Sondita M.Sc. Anggota Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, M.Sc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. John Haluan, M. Sc. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc Tanggal Lulus : 9 Desember 2005

7 Hak Cipta milik Achmad Budiono, tahun 2005 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bangil pada tanggal 17 Agustus 1960 sebagai anak ke tiga dari pasangan Ali Soejanus (Alm) dan Rossiti Alfini (Alm). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Perairan dan Kultur, Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat, lulus pada tahun Pada tahun 1997, penulis diterima di Program Pasca Sarjana Universitas Trisakti dan menamatkannya pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun Ijin belajar diperoleh dari Departemen Kelautan dan Perikanan. Penulis mengawali bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian pada tahun 1984 dan ditempatkan di Jakarta. Selama bertugas di Ditjen Perikanan penulis pernah menangani bidang prasarana perikanan, produksi dan kesekretariatan. Pada periode tahun penulis bertugas di Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur. Bidang yang menjadi tanggung jawab penulis adalah produksi perikanan tangkap. Penulis bertugas di Inspektorat Jenderal Perikanan mulai Maret 2001 sampai dengan sekarang. Penulis menikah dengan Dra. Hj. Sulistyorini pada tahun 1992 dan saat ini penulis dikarunia tiga orang putra, yaitu Muhammad Dhoni Arifin, Leonie Nur Wahyuni dan Akhmad Basroni.

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah konflik perikanan tangkap, dengan judul Keefektivan Pengelolaan Konflik pada Perikanan Tangkap di Perairan Selatan Jawa Timur. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc., Bapak Dr. Ir. H. M. Fedi A. Sondita M.Sc. dan Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, M.Sc. selaku pembimbing atas segala bimbingan, arahan dan dorongan semangat selama penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih yang tidak ternilai juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Daniel R. Monintja dan Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. yang banyak memberi dorongan dan saran bagi sempurnanya disertasi ini. Di samping itu, secara khusus penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Mustafa Abubakar, M.Si. dan Bapak Dr. Suseno selaku pimpinan di Inspektorat Jenderal Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan waktu dan keleluasaan bagi penulis serta dorongan, motiva si yang tiada henti untuk penyelesaian studi ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu saat penelitian, yaitu Ir. Supartono, MM dan Pak Heri dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tulungagung. Ir. Suhada Abdullah dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Trenggalek, Pak Edward, Pak Edo dan Pak Edi Yusuf dari Co-Fish Pak Haryomo, Pak Sukarni dan Pak Tri dari PPN Prigi., Pak Suparni dari HNSI Prigi, Pak Kabul dari kelompok pancing Prigi serta mbah Yot sesepuh nelayan Prigi. Dari Kabupaten Malang penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pak Edi dari Fakultas perikanan Unbra, Ir. Nusa Patriota dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Malang, H. Atmo serta rekan-rekan dari jajaran Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi jawa Timur, khususnya Pak Hari Tulaksmono, Pak Bambang Sanyoto, dan Mas Eko dkk dari Badan Pengelola Pangkalan Pendaratan Ikan (BPPP) Pondokdadap, Sendang Biru. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Bapak Dr. Bambang Murdiyanto yang telah banyak memberikan masukan-masukan pada saat penyelesaian proposal penelitian dan Bapak Drs.

10 Yan Husana, AK dari Universitas Indonesia serta Mas Andi dari LIPI yang memberikan berbagai referensi yang sangat berharga dalam bidang pengelolaan konflik. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Mas Supriyadi (Pak UP), Pak Wahyu, Pak Diding, Priambodho, Yudi Wahyudin, Rifki, Erwin, dan Pak Hari Tulaksmono yang sangat banyak memberikan kontribusi untuk penyelesaian penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan dari Sekretariat TKL, Erien, Amelia, Eva, Shinta, Juhri dan Iwan; hanya Allah SWT yang dapat membalas semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Pengorbanan yang luar biasa dari orang-orang yang sangat penulis cintai, Sulistyorini istri tercinta dan anak-anakku Muhammad Dhoni Arifin, Leonie Nur Wahyuni dan Akhmad Basrroni yang telah menjadikan inspirasi dan semangat hidup, serta atas pengertian waktu untuk keluarga banyak tersita selama belajar dan menyusun disertasi ini. Semangat belajar ini juga tidak lain adalah dorongan dan doa dari Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah tiada, ibu Soetarmiati di Banjarmasin dan ibu Darmantini di Malang. Penulis menyadari disertasi ini masih banyak kekurangannya dan masih perlu penyempurnaan. Untuk itu segala saran maupun kritik disertasi ini masih perlu untuk penyempurnaan. Akhirnya semoga disertasi dapat bermanfaat bagi kita semua da lam memperkaya khsanah ilmu pengetahuan dan juga dapat diaplikasikan bagi kemaslahatan hidup dan kehidupan di masa yang akan datang. Amin. Bogor, Desember 2005 Achmad Budiono

11 DAFTAR ISI Halaman PRAKATA... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... iii x xi xiii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Manfaat Penelitian PENDEKATAN TEORITIS ANALISIS KONFLIK DAN PENGELOLAAN KONFLIK Kerangka Teoritis Konflik dan Pengelolaan Konflik Definisi dan anatomi konflik Wujud dan sebab-sebab terjadinya konflik Metoda pengelolaan konflik Perkembangan ADR di beberapa negara Perkembangan ADR di Indonesia Efektivitas pengelolaan konflik Hubungan upaya dan Hasil Tangkapan Pendekatan Bio-Ekonomi dalam Analisis Sumberdaya Perikanan Tangkap Pendekatan Pengelolaan Perikanan Berbasis Resolusi Konflik Kerangka Pemikiran Hipotesis METODOLOGI UMUM Lokasi Penelitian Responden vi

12 3.3 Pengumpulan Data Variabel Penelitian Pengolahan Data Analisis Data TIPOLOGI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP Pendahuluan Metode Pengumpulan data Variabel penelitian Analisis data Hasil Teluk Prigi Keadaan umum lokasi Kegiatan perikanan tangkap Jenis konflik Pengelolaan konflik Teluk Sendang Biru Keadaan umum lokasi Kegiatan perikanan tangkap Jenis konflik Pengelolaan konflik Teluk Popoh Keadaan umum lokasi Kegiatan perikanan tangkap Jenis konflik Pengelolaan konflik Pembahasan Kesimpulan vii

13 5 KEEFEKTIVAN RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP Pendahuluan Kerangka Teoritis dalam Menganalisis Efektivitas Resolusi Konflik Metode Variabel penelitian Faktor penyebab konflik Teknik resolusi konflik Keefektivan resolusi konflik Kecocokan teknik resolusi konflik Outcome resolusi konflik Pemahaman terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SDPT) yang berkeadilan Partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Pemahaman terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan Pemahaman masyarakat tentang pengelolaan SDPT Pengumpulan data Analisis data Model yang diestimasi Hasil Pembahasan Hubungan penyebab dengan teknik resolusi konflik Hubungan teknik resolusi konflik dengan outcome Kesimpulan MODEL PROSES PENGELOLAAN KONFLIK PERIKANAN TANGKAP Pendahuluan Kerangka Teoristis Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap viii

14 6.2.2 Pengelolaan konflik perikanan tangkap Kerangka pemikiran Metode Variabel penelitian Pengumpulan data Analisis data dan perancangan model Hasil Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Kesimpulan PEMBAHASAN UMUM Latar Belakang Timbulnya Konflik Efektivitas Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap KESIMPULAN UMUM DAN SARAN Kesimpulan Umum Saran DAFTAR PUSTAKA ix

15 DAFTAR TABEL Halaman 1. Tipologi konflik menurut FAO (1996) Tipologi konflik perikanan tangkap di Teluk Prigi Tipologi konflik perikanan tangkap di Teluk Sendang Biru Tipologi konflik perikanan tangkap di Teluk Popoh Jenis konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian Tipologi konflik di lokasi penelitian berdasarkan kriteria Charles (2001) Teknik resolusi konflik di lokasi penelitian Jenis konflik dan metode resolusi di lokasi penelitian Tipologi konflik dan metode resolusi yang digunakan Sub variabel penyebab konflik perikanan tangkap menurut Bennet dan Neiland (2000) Perbandingan beberapa penyelesaian konflik alternatif Perbandingan resolusi konflik dengan metoda litigasi dan alternative dispute resolution (ADR) Tipologi partisipasi masyarakat Rerata skor jenis konflik menurut penyebabnya Rerata skor jenis konflik menurut teknik resolusi Kumulatif structural equation modeling untuk penyebab konflik (KONF) dengan teknik resolusi konflik (RESO) Rerata skor outcome menurut jenis konflik Kumulatif structural equation modeling untuk teknik resolusi konflik (RESO) dengan outcome (OUTC) Kemungkinan penggunaan penyelesaian sengketa alternatif (ADR) Peluang sukses penggunaan ADR Kecocokan metoda pengelolaan konflik yang digunakan Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap Pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan Pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan di lokasi penelitian x

16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Hubungan sasaran dan perilaku dalam konflik (Fisher et al. 2000) Segitiga kepuasan (Diadopsi dari Lincoln 1986) Kontinum teknik alternative dispute resolution (Priscolli 2003) Hubungan antar aktor dalam resolusi konflik (FAO 1996) Prosedur resolusi konflik berdasarkan cognitive approach (al- 29 Tabbai et al. 1991) Hubungan antara produksi lestari dengan upaya penangkapan ikan Hubungan manfaat dan biaya dengan upaya penangkapan ikan Hubungan upaya penangkapan ikan dengan populasi ikan Kerangka pemikiran studi keefektivan resolusi konflik Bagan alir proses penelitian proses penelitian keefektivan pengelolaan konflik pada perikanan tangkap di perairan selatan Jawa Timur Sketsa lokasi penelitian di Teluk Prigi Perkembangan perikanan tangkap dan konflik yang terjadi di Teluk Prigi Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Trenggalek periode Perkembangan produksi perikanan tangkap di Kabupaten Trenggalek periode Keterkaitan antar stakeholder dalam proses resolusi konflik di Teluk Prigi Sketsa lokasi penelitian di Teluk Sendang Biru Perkembangan perikanan tangkap di Teluk Sendang Biru Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Malang periode Perkembangan produksi perikanan tangkap di Kabupaten Malang periode Keterkaitan antar stakeholder dalam proses resolusi konflik di Teluk Sendang Biru Sketsa lokasi penelitian di Teluk Popoh Perkembangan perikanan tangkap dan konflik yang terjadi di Teluk Popoh xi

17 23. Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Tulungagung periode Perkembangan produksi perikanan tangkap di Kabupaten Tulungagung periode Keterkaitan antar stakeholder dalam proses resolusi konflik di Teluk Popoh Metoda pengelolaan konflik (diadopsi dari Bennett dan Neiland 2000) Kondisi optimal dalam resolusi konflik melalui negoisasi (Creighton dan Priscolli 2001) Kerangka pemikiran studi keefektivan resolusi konflik Model struktural antara konflik, metoda resolusi konflik, kepuasan terhadap resolusi konflik dan outcome (diadopsi dari Barki et al. 2001) Korelasi antar variabel jenis konflik (A) dan sebaran individu faktor penyebab konflik (B) pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2) Korelasi antar variabel jenis konflik (A) dan sebaran individu teknik resolusi konflik (B) pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2) Structural Equation Modeling untuk penyebab konflik (KONF) dengan teknik resolusi konflik (RESO) Korelasi antar variabel outcome (A) dan sebaran individu jenis konflik (B) pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2) Nilai koefisien teknik resolusi konflik dan outcome untuk konflik perikanan tangkap Rata-rata produksi aktual ikan demersal periode di lokasi penelitian Kerangka pemikiran model proses resolusi konflik perikanan tangkap Bagan alir proses penelitian Kelembagaan pengelolaan konflik Model proses resolusi konflik perikanan tangkap xii

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta lokasi penelitian Daftar responden di lokasi penelitian Diagonalisasi dan korelasi antara variabel penyebab konflik dan 253 sumbu utama Diagonaliasi dan korelasi antara variabel teknik resolusi konflik 254 dan komponen utama Diagonaliasi dan korelasi antara variabel outcome dan 255 komponen utama Korelasi antar variabel penyebab konflik dan sebaran individu kasus jenis konflik pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2) Korelasi antar variabel penyebab konflik dan sebaran individu kasus jenis konflik pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2) Korelasi antar variabel penyebab konflik dan sebaran individu kasus jenis konflik pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2) Daftar istilah xiii

19 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu-isu tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti air, tanah, hutan dan kelautan-perikanan, merupakan topik yang semakin penting dalam kajian akademik, khususnya setelah Indonesia dilanda krisis ekonomi. Kedudukan dan nilai sumberdaya alam sangat strategis dalam menjaga kelangsungan hidup sebagian besar penduduk. Kedudukan tersebut juga ditentukan oleh tingkat ketergantungan penduduk terhadap sumberdaya alam. Semakin tinggi tingkat ketergantungan penduduk pada sumberdaya alam maka semakin tinggi pula nilai strategis sumberdaya tersebut. Sumberdaya ikan masih dianggap memiliki sifat terbuka (open access) dan milik bersama (common property), artinya setiap orang mempunyai hak untuk memanfaakan sumberdaya tersebut. Persoalan hak pemanfaatan tidak hanya melibatkan satu pihak, yakni masyarakat lokal atau nelayan, tetapi juga pihakpihak lain seperti pengusaha dan pemerintah. Berbagai pihak yang memiliki kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam sering berbenturan sehingga menimbulkan konflik. Setiap pengguna sumberdaya merasa memiliki hak yang sama dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Sifat pemanfaatan sumberdaya yang demikian akan mengakibatkan konflik antar pengguna sumberdaya, khususnya antar kelompok nelayan. (Christy 1987). Nikijuluw (2002) menyebutkan dalam pemanfaatan sumberdaya milik bersama dibatasi dan dilandasi beberapa hak yang memberikan jaminan bagi pemegangnya, yaitu : 1) Hak akses, adalah hak untuk masuk ke dalam sumberdaya yang memiliki batas-batas fisik yang jelas. 2) Hak memanfaatkan, adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya dengan cara-cara dan tehnik produksi sesuai dengan ketetapan dan peraturan yang berlaku.

20 3) Hak mengatur, adalah hak untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya serta meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya melalui upaya pengkayaan stok ikan serta pemeliharaan serta perbaikan lingkungan. 4) Hak eksklusif, adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan apakah hak akses tersebut dapat dialihkan kepada orang lain, dan 5) Hak mengalihkan, adalah hak untuk menjual atau menyewakan ke empat hak tadi kepada orang lain. Ke lima hak di atas dapat bersifat terpisah dan tidak saling berpengaruh antara satu dengan yang lain. Pemegang hak pada sumberdaya milik bersama dapat dibagi ke dalam : 1) Pengguna sumberdaya Pengguna sumberdaya merupakan mereka yang menggunakan atau memanfaatkan sumberdaya karena memiliki atau diberi hak akses dan hak memanfaatkan. Pengguna sumberdaya memiliki otoritas untuk masuk dan memanfaaatkan sumberdaya yang biasanya melalui lisensi atau izin. Meski demikian, merekahanya sekedar pengguna yang berotoritas atau resmi, tetapi tidak memiliki hak-hak kolektif (hak mengatur, hak eksklutif dan hak mengalihkan). Jika disebutkan di dalam aturan-aturan operasional, hak akses dan hak memanfaatkan yang dipegang pengguna atau sementara melalui penjualan hak atau penyewaan. Pengalihan hak seperti ini tidak sama dengan mengalihkan yang merupakan hak kolektif. Kehadiran pengguna atau pemegang izin yang menggunakn hak akses dan hak memanfaatkan sumberdaya ini dapat dijumpain di banyak perikanan di dunia. Di Indonesia, perikanan skala besar umumnya dikuasai pengguna sumberdaya, yaitu mereka yang masuk dan memanfaatkan sumberdaya berdasarkan izin penangkapan ikan yang dikeluarkan pemerintah. Meski demikian mereka sekedar pengguna yang tidak dapat mengalihkan haknya kepada orang lain. 2) Claimant Claimant yaitu individu pemegang hak yang sama seperti yang dipegang pengguna sumberdaya, namun memiliki hak lain, yaitu hak mengatur atau mengelola sumberdaya. Dengan demikian dari sisi kepemilikan hak, seorang 2

21 claimant dapat secara kolektif menentukan cara dan metoda memanfaatkan mutu sumberdaya melalui konservasi atau pengayaan lingkungan. Meski demikian, seorang claimant tidak memiliki hak untuk menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh memanfaatkan sumberdaya. Begitu juga seorang claimant tidak dapat mengalihkan atau menyerahkan hak mengaturnya kepada orang lain. Menjadi seorang claimant tentu saja dituntut lebih banyak tanggung jawab dibandingkan dengan seorang pengguna atau sekedar pemegang izin. Hal ini disebabkan disamping memanfaatkan sumberdaya, seorang claimant memiliki hak atau bertangung jawab untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya itu. Jika seorang pengguna hanya mengeksploitasi sumberdaya, seorang claimant memiliki hak untuk mengembangkan konservasi sumberdaya itu. Disaat seorang pengguna hanya berpikir tentang saat ini, seorang claimant berpikir tentang masa depan sumberdaya yang akan dimanfaatkannya. Jadi dari sisi kelangsungan dan keberlanjutan sumberdaya, kehadiran seorang claimant lebih diperlukan dari seorang pengguna. 3) Proprieator Proprietor adalah individu yang memiliki hak akses, hak memanfaatkan, hak mengatur dan hak eksklusif terhadap suatu sumberdaya milik bersama (common property). Satu-satunya hak yang tidak dipegang proprietor adalah hak mengalihkan. Namun kehadiran seorang proprietor jauh lebih bermanfaat dibanding seorang claimant atau seorang pengguna yang berizin karena seoarang proprietor secara kolektif dapat menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh memanfaatkan sumberdaya. 4) Pemilik Selain memiliki hak kolektif mengatur dan hak eksklusif, seorang individu juga memiliki hak untuk menjual atau mengalihkan hak mengatur dan hak eksklusif yang dimilikinya sehingga orang yang membeli menjadi pemilik baru sumberdaya. Jadi seorang pemilik sumberdaya memiliki keseluruhan hak kolektif disamping hak untuk akses dan memanfaatkan sumberdaya. Oleh karena itu seorang pemilik lebih besar otoritasnya dan pemegangn hak lainnya. 3

22 Priscoly (2002) menyatakan bahwa konflik sumberdaya alam dapat disebabkan oleh miskinnya komunikasi, adanya perbedaan persepsi, pertarungan ego, perbedaan personalitas serta masalah stereotype, perbedaan pandangan tentang baik dan buruk (konflik nilai), perbedaan kepentingan dan faktor struktural. Konflik perikanan tangkap sangat bervariasi antar wilayah dan antar waktu.bennett dan Neiland (2000) menyatakan bahwa konflik bersifat multidimensional dan umumnya melibatkan berbagai pihak dalam hubungan yang kompleks. Tiga dimensi yang mempengaruhi timbulnya konflik, adalah aktor, ketersediaan sumberdaya dan dimensi lingkungan. Konflik perikanan tangkap secara umum terkait dengan pemanfaatan sumberdaya ikan yang sudah tergolong langka. Kelangkaan dimaksud terkait dengan masalah produksi, yaitu semakin sedikitnya ikan yang dapat ditangkap oleh nelayan (not enough fish). Pada umumnya, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik adalah kelompok nelayan tradisional. Keragaman jenis konflik perikanan tangkap banyak disebabkan oleh keragaman persepsi nelayan tentang pengelolaan sumberdaya ikan. Potensi konflik perikanan tangkap dapat disebabkan oleh prinsip hunting dimana nelayan harus selalu memburu dimana ikan berada, suatu persaingan yang mengakibatkan terjadinya akumulasi unit penangkapan ikan pada tempat dan waktu yang sama. Berbagai jenis konflik yang sering terjadi dalam pengelolaan perikanan tangkap Indonesia adalah konflik yang timbul karena pemahaman yang keliru mengenai batas-batas perairan setelah diberlakukannya otonomi daerah, perebutan daerah/lokasi penangkapan, perbedaan kualitas dan kapasitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan, pelanggaran batas wilayah perairan, serta pelanggaran hak ulayat laut masyarakat lokal. Sebagai contoh adalah konflik perikanan tangkap yang terjadi di Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan data dari Dinas Perikanan Jawa Timur (2005), tercatat bahwa pada kurun waktu telah terjadi kasus konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan sebanyak 31 kali. Konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan berdasarkan agregasi data yang sama menunjukkan bahwa sebagian besar penyebab munculnya kasus konflik diantaranya adalah : 1) kecemburuan 4

23 sosial akibat perbedaan hasil tangkapan antara nelayan lokal dan andon, 2) kecemburuan sosial akibat penggunaan alat tangkap yang berbeda, 3) perebutan daerah penangkapan ikan (fishing ground), dan 4) penggunaan alat tangkap illegal. Sebagian besar kasus konflik pemanfaatn sumberdaya ikan di Jawa Timur terjadi di sekitar perairan pantai utara (Laut Jawa) dan timur (Selat Bali) Jawa Timur. Informasi tentang kasus konflik yang terjadi di perairan selatan Jawa Timur berdasarkan data-data yang dikemukakan relatif minim. Namun, minimnya data tersebut tidak berarti bahwa kasus-kasus serupa dan faktor-faktor penyebabnya tidak terjadi di perairan selatan Jawa Timur. Pada tahun 70-an terjadi konflik yang melibatkan nelayan skala kecil dengan nelayan purse seine. Konflik tersebut dikenal sebagai Malapetaka Muncar (Malamun) yang berlangsung hingga tahun 80-an. Pada tahun 90-an konflik bergeser tidak hanya melibatkan nelayan skala kecil dan nelayan purse seine, tetapi juga antar nelayan skala kecil/tradisional (Anonimous 2001). Di Teluk Prigi, Kabupaten Trenggalek misalnya, konflik terjadi antara nelayan payang dengan nelayan purse seine. Penggunaan lampu yang berlebihan pada operasi penangkapan ikan oleh perahu payang (skala kecil) ternyata mengganggu operasi perahu purse seine (skala besar), serta tumpang tindihnya fishing ground ikan sasaran yang sama (Anonimous 2002). Demikian halnya dengan daerah lain seperti di Teluk Sedang Biru, Kabupaten Malang. Konflik terjadi antara nelayan pancing dengan nelayan purse seine dan payang. Dibandingkan Teluk Prigi dan Teluk Sendang Biru, konflik perikanan tangkap di Teluk Popoh mempunyai intensitas yang paling sedikit. Konflik yang terkait dengan hukum dan peraturan adalah akibat terbatasnya pemahaman nelayan, sehingga banyak terjadi pelanggaran terhadap peraturan tersebut. Selain itu juga konflik juga sering terjadi disebabkan adanya perbedaan nilai, yaitu pandangan tentang baik dan buruk, serta kurangnya pengetahuan dari aparat penegak hukum memperbesar terjadinya frekuensi pelanggaran. Hal ini dapat dilihat dari kasus penggunaan kompresor dan potas, pencurian, perusakan lingkungan dan sumberdaya habitat serta kasus nelayan andon. 5

24 Konflik perikanan tangkap juga sering terjadi karena peraturan lokal kurang komprehensif dan sangat sempit jangkauannya. Hal ini memberikan peluang pada setiap orang untuk melakukan intepretasi yang berbeda terhadap peraturan tersebut. Ada bentuk aturan lokal yang sudah disepakati oleh nelayan yaitu sejenis hak penggunaan wilayah untuk perikanan (HPWP) atau lebih dikenal sebagai territorial use right for fisheries (TURF). Namun organisasi dan perangkat hukum dari aturan lokal tersebut masih bersifat non formal. TURF berhubungan dengan perikanan tangkap, seperti pada kasus jaring tarik (pukat pantai) di Prigi, Jawa Timur. Sebagian nelayan sebenarnya sudah memahami pentingnya mempertahankan habitat dan keberadaan sumberdaya pantai, terutama untuk kasus-kasus nelayan di Prigi. Pelanggaran atau perusakan habitat dan sumberdaya mengakibatkan terjadinya konflik antar nelayan. Kesenjangan sosial-ekonomi dan kemiskinan juga merupakan faktor penyebab konflik perikanan tangkap. Berbagai tindak kekerasan dalam menyikapi konflik perikanan tangkap sering dipicu oleh faktor ini. Tantangan terberat yang dihadapi adalah jika kelangsungan hidup menjadi terganggu karena hasil tangkapan ikan yang terbatas. Pemerintah telah berupaya untuk mengatasi konflik perikanan tangkap yang muncul dengan mengeluarkan berbagai peraturan, namun hasilnya masih belum efektif. Anonimous (2002), menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan peraturan dan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap belum efektif, yaitu 1) Perangkat peraturan yang terlalu kompleks dan bahkan tidak diketahui dan dimengerti oleh nelayan dan 2) Kurangnya tingkat pengetahuan penegak hukum. Faktor lain yang menyebabkan peraturan dan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap (PT) belum efektif adalah perangkat peraturan yang belum dibuat berdasarkan kebutuhan bersama, yaitu Pemerintah, swasta dan masyarakat nelayan. Pengelolaan konflik (conflict management) memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perencanaan pengelolaan sumberdaya, termasuk ke dalamnya sumberdaya perikanan tangkap, karena tanpa pengelolaan yang tepat maka 6

25 konflik dapat menghambat partisipasi masyarakat dan berpengaruh terhadap produktivitas nelayan. Para ahli sumberdaya perikanan menyebutkan faktor utama yang menyebabkan terjadinya eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya perikanan tangkap dan degradasi lingkungan di daerah pesisir adalah masalah sosial, ekonomi dan politik. Untuk itu perhatian utama pengelolaan sumberdaya perikanan hendaknya dihubungkan dengan masalah kesejahteraan manusia dan konservasi sumberdaya perikanan guna kelangsungan hidup generasi yang akan datang, sehingga sudah sewajarnya bila faktor manusia (actor) menjadi perhatian utama dalam sistem pengelolaan sumberdaya perikanan dan bukan faktor sumberdayanya (Pomeroy 2004). Menyadari tentang sifat konflik perikanan tangkap, guna memberikan resolusi yang optimum, baik untuk konflik yang sedang terjadi maupun yang mungkin terjadi, diperlukan identifikasi menyeluruh tentang pihak-pihak yang mempunyai kepentingan. Identifikasi ini perlu dilakukan guna menyusun model resolusi konflik perikanan tangkap yang efektif. Pendekatan yang baik untuk menyusun rencana pengelolaan konflik adalah dengan mengajak pihak-pihak yang berkepentingan berpartisipasi dalam mengembangkan pemahaman yang sama terhadap suatu konflik, dinamikanya dan pengaruhnya di masyarakat sehingga akan lebih mampu menginterpretasikan konflik yang ada, mengenali tanda tanda meningkatnya konflik dan memperkirakan dampak konflik tersebut. Dengan memiliki ketrampilan mengelola konflik, seperti memetakan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, menyusun strategi untuk menyeimbangkan kekuatan, merefleksikan sikap yang dimiliki ketika menghadapi konflik, sampai pada pilihan teknik resolusi konflik; diharapkan dapat dihasilkan resolusi konflik yang menyeluruh, sehingga keputusan atau kesepakatan yang dihasilkan dapat berjalan lancar dan sesuai dengan keinginan pihak-pihak yang terkait (Anonimous 2002). Disamping itu, resolusi konflik akan meningkatkan hubungan di antara pihak yang berkonflik dan secara otomatis jalan keluar yang diambil akan menjadi pendorong mereka untuk berperilaku menghindari konflik, dan atau memelihara komitmen yang sudah ada. 7

26 Untuk menyelesaikan konflik telah banyak upaya yang dilakukan, namun sampai sejauh ini hasilnya masih kurang memuaskan. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hasil proses resolusi konflik belum memuaskan, yaitu 1) belum dikenalinya tipologi konflik, dan 2) belum tepatnya teknik resolusi konflik yang digunakan. Tanpa memiliki pemahaman tentang tipologi konflik, maka akan sulit untuk memberikan resolusi konflik yang tepat. Pemahaman terhadap tipologi konflik memberikan manfaat yang signifikan, karena dengan pemahaman ini maka outcome dari proses resolusi konflik dapat diprediksi dengan baik (Obserschall 1973). Pengelolaan konflik umumnya masih dilakukan secara parsial dan bersifat ad hock. Proses resolusi konflik belum dilakukan dengan benar, dan komitmen yang dihasilkan belum mengikutsertakan seluruh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan. Hal ini mengakibatkan pengelolaan konflik belum menyentuh akar/pokok konflik, tetapi hanya merubah konflik yang terbuka menjadi konflik laten yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali. Berdasarkan uraian diatas, maka terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian pada saat menganalisis konflik dan menyusun model pengelolaan konflik perikanan tangkap, yaitu : 1) Bagaimana tipologi konflik perikanan tangkap yang terjadi? 2) Bagaimana upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pengelolaan konflik perikanan tangkap? 3) Bagaimana efektivitas pengelolaan konflik perikanan tangkap yang telah dan sedang terjadi?, serta 4) Bagaimana model pengelolaan konflik perikanan tangkap yang efektif? Disertasi ini disusun dengan sistematika atau pola beberapa judul yang setiap judulnya merupakan artikel sebagai berikut : 1) Pendahuluan, menerangkan mengenai latar belakang, tujuan dan manfaat dilakukannya penelitian. 2) Pendekatan teoritis analisis konflik dan pengelolaan konflik, akan menerangkan mengenai berbagai pendekatan yang pernah digunakan dalam pengelolaan konflik. 8

27 3) Metodologi umum penelitian, yang menerangkan mengenai lokasi penelitian, responden, pengumpulan data, variabel penelitian, pengolahan data dan analisis data. 4) Tipologi konflik perikanan tangkap, menerangkan mengenai faktor penyebab konflik, tehnik resolusi dan efektivitas resolusi konflik menurut responden. 5) Keefektivan tehnik resolusi konflik perikanan tangkap, yang menerangkan mengenai efektivitas resolusi konflik di lokasi penelitian berdasarkan alat analisis yang digunakan. 6) Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap, yang menerangkan mengenai model pengelolaan konflik perikanan tangkap yang dibangun berdasarkan hasil analisis, berbagai referensi dan pengalaman negara lain dalam pengelolaan konflik. 1.2 Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1) Mengidentifikasi tipologi konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian. 2) Mendeskripsikan upaya pengelolaan konflik perikanan tangkap yang telah dilakukan di lokasi penelitian. 3) Menganalisis keefektivan pengelolaan konflik perikanan tangkap yang telah dilakukan di lokasi penelitian. 4) Merancang model pengelolaan konflik perikanan tangkap yang efektif di lokasi penelitian. 1.3 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah 1) mengembangkan pendekatan efektif yang dapat diaplikasikan dalam menyelesaikan konflik perikanan tangkap, 2) merupakan landasan penelitian lanjutan tentang analisis konflik laten, menyusun indikator yang dapat digunakan untuk memprediksi dimana dan kapan konflik dapat terjadi, keterkaitan antara partisipasi masyarakat dengan modal sosial, dan bagaimana kebijakan pengelolaan berpengaruh terhadap konflik, serta 3) menjadi dasar pembentukan kelembagaan pengelolaan konflik. 9

28 2 PENDEKATAN TEORITIS ANALISIS KONFLIK DAN PENGELOLAAN KONFLIK 2.1 Kerangka Teoritis Analisis Konflik dan Pengelolaan Konflik Definisi dan anatomi konflik Terdapat beragam literatur yang terkait dengan pendekatan teoritis untuk menggambarkan dan menjelaskan konflik. Konflik pada dasarnya merupakan fungsi dari struktur sosial, hubungan antar kelas, atau perilaku individu dalam masyarakat. Konflik dapat terjadi dimana individu berupaya memperoleh hasil maksimal dengan pengorbanan sekecil mungkin, yang dalam prakteknya perilaku ini seringkali mengorbankan kepentingan pihak lain yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya konflik. Konflik dapat diartikan dari sudut pandang positif atau negatif, serta dari perspektif konstruktif maupun destruktif (Powelson 1972), atau pelanggaran, pengasingan maupun bukan pelanggaran (Wallace 1993). Definisi konflik berkembang dan tidak hanya berfokus pada tindakan antagonistik (antagonistic action) tetapi juga memasukan istilah ketidaksetujuan yang tajam atau penentangan atas kepentingan, ide dan lain-lain. Konflik dapat pula diartikan sebagai kepentingan yang dirasakan sangat berbeda sehingga keinginan para pihak tidak dapat dicapai secara bersamaan (Pruit dan Rubin 1986). Pengertian lainnya adalah interaksi antara orang-orang yang saling bergantung satu sama lain yang memiliki tujuan berbeda dimana mereka saling mengintervensi untuk mencapai tujuan masing-masing (Hocker 1985). Pada dasarnya konflik itu nyata, bisa destruktif (negatif) bisa juga konstruktif (positif), dan kadangkala tidak bisa diselesaikan. Tapi yang penting adalah bagaimana respon terhadap konflik tersebut, bagaimana nilai dan wawasan baru ditumbuhkan agar dapat digunakan untuk menghadapi dan mengelola konflik tersebut. Pendapat ahli yang lain mendefinisikan konflik sebagai situasi yang nonkooperatif yang melibatkan kelompok orang yang memiliki tujuan berbeda. Konflik merupakan proses dinamis dan dapat dipandang sebagai katalis positif bagi perubahan. Namun demikian, konflik sering juga dipandang sebagai hal yang

29 negatif, tetapi pendapat ini tidak seluruhnya benar (Warner and Jones 1998). Powelson (1972) berpendapat bahwa konflik dapat diartikan negatif jika secara agregasi kelompok tidak memperoleh manfaat dari adanya konflik (zero-sum game) atau dimana terjadi deadweight loss sumberdaya sosial sebagai akibat dari argumen guns vs butter (Neary 1997). Pada situasi yang lain, konflik dapat dipandang sebagai hal positif. Dalam kasus ini konflik yang muncul sebaiknya jangan diredam atau dihilangkan sama sekali. Dalam konflik yang positif, maka barang atau jasa dapat diproduksi lebih murah. Selain itu pemerintah juga menjadi lebih efisien, kegagalan dalam membangun kelembagaan dapat dihindari serta masyarakat dapat berfungsi secara efisien dalam menyelesaikan konflik-konflik kecil yang biasanya lebih sering terjadi (Powelson 1972). Menurut Lewicky et al. (2001) manfaat positif konflik antara lain : 1) Konflik membuat anggota organisasi lebih menyadari adanya persoalan dan mampu menanganinya. 2) Konflik menjanjikan perubahan dan adaptasi. 3) Konflik memperkuat hubungan dan meningkatkan moral. 4) Konflik meningkatkan kesadaran diri sendiri dan orang lain, artinya melalui konflik orang belajar tentang apa yang membuat mereka marah, frustasi dan takut. 5) Konflik meningkatkan perkembangan pribadi. 6) Konflik mendorong perkembangan psikologis, dalam hal ini orang menjadi lebih realistis dan akurat dalam mengukur dirinya. 7) Konflik dapat memberikan rangsangan dan kesenangan karena orang merasa terpuji, terlibat dan hidup di dalam konflik menjadi istirahat dari hal-hal yang rutin dan mudah. Definisi di atas menunjukkan bahwa para ahli memandang konflik dari perspektif yang berbeda, tetapi intinya tetap sama yaitu adanya perbedaan pandangan dan pemahaman antar pihak terhadap sesuatu kepentingan. Dalam rangka mengklasifikasi apakah konflik bersifat positif atau negatif, maka sangat bermanfaat untuk melihat bagaimana konflik terjadi dan apa penyebab yang paling mendasar terhadap timbulnya konflik. 11

30 Aubert (1963), Boulding (1966) dan Powelson (1972), membedakan konflik yang masih berada dalam konsensus atau konflik yang sudah melewati konsensus. Pada konflik yang masih dalam konsensus semua pihak yang berkonflik setuju terhadap nilai (value) yang mereka inginkan tetapi mereka tidak mampu untuk mencapainya. Sedangkan konflik yang melewati batas konsensus, pihak yang berkonflik tidak dapat mencapai kesepakatan tentang nilai yang mereka inginkan dan mereka sendiri tidak tahu bagaimana mencapainya. Oleh sebab itu dampak konflik dapat diukur dari sejauh mana pihak yang berkonflik mencapai kesepakatan (Coser 1972) Wujud dan sebab-sebab terjadinya konflik Wijardjo et al. (2001) menyebutkan wujud konflik dapat tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest), seperti pada Gambar 1. TANPA KONFLIK KONFLIK TERTUTUP KONFLIK MENCUAT KONFLIK TERBUKA Gambar 1. Hubungan sasaran dan perilaku dalam konflik (Fisher et al. 2000) Konflik tertutup dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak nampak yang tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak konflik. Seringkali satu atau dua pihak belum menyadari adanya konflik bahkan yang paling potensialpun. Konflik mencuat adalah perselisihan dimana pihakpihak yang berselisih teridentifikasi. Mereka mengakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tapi proses negosiasi dan resolusi masalahnya 12

31 belum berkembang. Sedangkan konflik terbuka adalah konflik dimana pihakpihak yang berselisih secara aktif terlibat dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai bernegosiasi, dan mungkin juga mencapai jalan buntu. Bennett dan Neiland (2000), menyatakan bahwa konflik sifatnya multidimensional dan umumnya melibatkan berbagai pihak dalam suatu hubungan yang kompleks. Lebih lanjut, disebutkan terdapat tiga dimensi yang mempengaruhi terjadinya konflik, yaitu: aktor, ketersediaan sumberdaya dan dimensi lingkungan. Termasuk ke dalam dimensi aktor adalah pihak-pihak yang sedang berkonflik. Aktor dapat terdiri dari pemerintah, perusahaan swasta dan masyarakat lokal. Bentuk hubungan antar aktor sangat mempengaruhi bentuk resolusi konflik yang dapat diajukan. Bentuk hubungan tersebut dipengaruhi oleh pada tingkatan mana konflik tersebut terjadi (tingkat pusat, daerah atau masyarakat), kedudukan atau status masing-masing aktor tersebut (konflik dapat terjadi secara vertikal maupun horisontal), serta kekuatan masing-masing pihak yang berkonflik. Walaupun demikian Jabri (1996) mengingatkan bahwa menganalisis konflik melalui pola hubungan antar aktor relatif sulit, mengingat aktor yang secara relatif memiliki posisi dan kekuatan yang lebih baik akan cenderung lebih didengar dibandingkan dengan lawannya yang memiliki posisi dan kekuatan lebih lemah. Ketersediaan sumberdaya berhubungan erat dengan aktivitas masyarakat. Bennett dan Neiland (2000) mengemukakan bahwa aktivitas yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dapat dikelompokkan ke dalam hubungan yang sinergistik, komplementer, kompetitif dan antagonistik. Dari ke empat model ini maka hubungan yang kompetitif dan antagonistik berpotensi menyebabkan konflik (baik konflik fisik, konflik biologis, sosial maupun ekonomi). Konflik pada umumnya terjadi karena adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya. Dalam menganalisis peranan ketersediaan sumberdaya terhadap terjadinya konflik, Bennett dan Neiland (2000) berpendapat bahwa interaksi antara sumberdaya yang menjadi konflik dengan ekosistem juga harus mendapat perhatian, karena perubahan salah satu sistem dari ekosistem akan mempengaruhi ekosistem lain secara keseluruhan. 13

32 Peranan lingkungan juga menjadi dimensi penting dalam menganalisis tipologi konflik. Hal ini disebabkan konflik pemanfatan sumberdaya alam terjadi karena sumberdaya alam dieksploitasi dengan tanpa memperhatikan nilai sesungguhnya (true value). Nilai sesungguhnya dari sumberdaya serta biaya kerusakan yang ditimbulkan sebagai akibat over eksploitasi dikenal dengan eksternalitas. Dalam hal ini eksternalitas seringkali tidak diperhitungkan ke dalam pemanfaatan sumberdaya. Schlager et al. (1992) menyebutkan tiga jenis eksternalitas yang menjadi dilema dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, yaitu : 1) Appropriation externalities. Dalam perhitungan ekonomi, ketika seorang nelayan menangkap ikan dari stok ikan yang tersedia di laut, proses tersebut meningkatkan biaya marjinal dari setiap tambahan ikan yang ditangkapnya sekaligus menurunkan manfaat marjinal dari setiap tambahan upaya penangkapannya. Dengan demikian, peningkatan biaya penangkapan ikan karena mengecilnya stok ikan di laut tidak hanya berpengaruh pada nelayan yang menangkap ikan, tetapi juga nelayan lainnya yang ikut memanfaatkan stok ikan tersebut. 2) Technological externalities. Eksternalitas ini muncul ketika para nelayan secara fisik saling melakukan intervensi di lokasi penangkapan ikan yang pada akhirnya dapat memicu timbulnya konflik. Technological externalities dapat didefinisikan sebagai terjadinya pelanggaran alat tangkap terhadap alat tangkap lainnya atau bentukbentuk ketersinggungan fisik lainnya yang muncul akibat nelayan melakukan penangkapan ikan sangat berdekatan satu dengan lainnya. 3) Assignment problems. Assignment problems muncul ketika nelayan menangkap ikan secara tidak terkoordinasi sehingga tidak mampu mengalokasikan diri mereka secara efisien pada daerah tangkapan tersebut. Permasalahan muncul mengenai siapakah yang memiliki akses ke daerah produktif tersebut dan bagaimana akses tersebut harus ditetapkan/dibagikan. Kegagalan dalam memecahkan assignment problems dapat memicu konflik dan meningkatkan biaya produksi. 14

33 Dari pengalaman empiris maka konflik atas sumberdaya alam di berbagai daerah di Indonesia dapat digolongkan dalam konflik yang bersifat struktural, dengan melibatkan unsur-unsur lainnya. Pada pengelolaan perikanan tangkap, terdapat tujuh penyebab konflik seperti dijelaskan berikut ini (Anonimous 2002). Pertama, konflik yang timbul karena persepsi politis yang keliru dalam memahami batas-batas perairan wilayah setelah diberlakukannya otonomi daerah. Para nelayan menentukan sendiri batas-batas wilayah perairannya. Dengan persepsi demikian, kelompok-kelompok nelayan yang berasal dari suatu daerah/kabupaten dilarang melaut di perairan daerah/kabupaten lain. Dalam konflik jenis ini, biasanya tingkat kecanggihan peralatan tangkap bukan sebagai faktor utama, faktor utama konflik adalah asal-usul daerah/kabupaten nelayan. Kedua, konflik yang terjadi karena perebutan daerah/lokasi tangkapan. Daerah/lokasi demikian sudah dipersepsi oleh nelayan memiliki potensi perikanan yang cukup banyak. Nelayan-nelayan yang terlibat memiliki tingkat kualitas peralatan tangkap yang sama dan menangkap jenis sumberdaya perikanan yang sama. Fokus utama konflik adalah perebutan daerah/lokasi penangkapan. Ketiga, konflik yang terjadi karena perbedaan kapasitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang sama. Akibatnya, bisa mengurangi hasil tangkapan nelayan yang memiliki kapasitas peralatan tangkap yang lebih rendah. Keempat, konflik yang terjadi karena perbedaan kualitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang berbeda, tetapi pada daerah penangkapan yang sama. Akibatnya, bisa mengurangi hasil tangkapan yang memiliki kualitas peralatan tangkap yang lebih rendah. Hal ini dapat dicontohkan antara nelayan yang mengoperasikan jaring bergerak dengan nelayan yang mengoperasikan jaring menetap atau perangkap. Kelima, konflik yang timbul karena pelanggaran batas wilayah perairan. Misalnya, perairan pantai diperuntukkan untuk nelayan-nelayan tradisional, tetapi nelayan-nelayan yang memiliki peralatan tangkap lebih canggih menangkap jenis ikan yang sama di perairan pantai. Keenam, konflik yang timbul karena operasi perahu sekelompok nelayan merusak/menerjang peralatan tangkap nelayan lain. Tingkat kualitas peralatan 15

34 tangkap mereka bisa berbeda tetapi menangkap jenis ikan yang sama dan berada dalam lokasi penangkapan yang sama. Ketujuh, konflik yang timbul karena pelanggaran hak ulayat laut masyarakat lokal. Hal ini bisa terjadi karena pelanggaran batas-batas perairan milik masyarakat adat oleh nelayan-nelayan lain atau pengambilan sumberdaya perikanan di wilayah perairan hak ulayat laut yang tidak sesuai dengan normanorma lokal, baik dilakukan oleh nelayan lokal, maupun nelayan lain. Konflik perikanan tangkap umumnya muncul terkait dengan bagaimana mempertahankan kesejahteraan masyarakat di satu sisi, kepentingan industri dan kelestarian sumberdaya perikanan di sisi lain. Charles (1992) telah membuat model konseptual untuk menganalisis berbagai isu konflik perikanan. Kerangka tersebut dikenal sebagai paradigma segitiga (triangle paradigm) yang terdiri dari tiga isu, yaitu efisiensi, konservasi dan komunitas sosial. Keberhasilan pengelolaan perikanan tangkap membutuhkan partisipasi aktif dari stakeholder utama dan sekunder. Selanjutnya yang lebih penting adalah apakah ada koherensi antara tujuan yang diinginkan dengan yang dirasakan dari suatu sistem secara keseluruhan, dengan kepentingan kelompok stakeholder yang berbeda (Brown et al. 2001; Charles 1992). Dalam pengelolaan sumberdaya alam sering diperdebatkan pentingnya menyatukan persepsi stakeholder dalam proses pengelolaan. Khususnya bagaimana persepsi stakeholder terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan bagaimana mereka dapat terlibat dalam proses pengelolaan tersebut. Berdasarkan pengalamannya di Tobbago, Brown et al. (2001) mengelompokkan stakeholder ke dalam suatu kontinum dan pengaruhnya. Kedudukan dalam kontinum menyatakan posisi stakeholder dalam kaitannya dengan wilayah kerja (global, nasional, regional dan lokal) serta posisi mereka dalam melihat situasi. Berdasarkan kriteria tersebut stakeholder dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1) Primary stakeholder, yaitu mereka yang memiliki kedudukan yang sangat penting tetapi pada umumnya mereka menganggap bahwa mereka mempunyai pengaruh yang lemah. 16

35 2) Secondary stakeholder, adalah mereka yang mempunyai posisi cukup penting dan cukup memiliki pengaruh, mereka bisa saja terlibat secara langsung dan merupakan bagian integral dari pengelolaan perikanan. 3) External stakeholder, mereka dapat saja sangat mempengaruhi tetapi memiliki kedudukan yang tidak terlalu penting dalam pengelolaan perikanan. Mereka memiliki pengaruh yang cukup signifikan karena kemampuannya melobi pihak atau organisasi lain. Brown et al. (2001) menjelaskan bahwa konflik yang terjadi di perikanan lebih banyak melibatkan primary dan secondary stakeholder yang banyak melibatkan masyarakat lokal. Penyebab konflik dapat dikelompokkan ke dalam penyebab internal dan penyebab eksternal. Penyebab internal terkait dengan karakteristik individu atau kelompok yang berkonflik, sedangkan penyebab eksternal adalah semua faktor yang berada diluar kontrol individu atau kelompok. Berdasarkan hal itu, konflik yang disebabkan oleh faktor-faktor sebagaimana yang dikemukakan oleh Charles (1992) dapat dikelompokkan ke dalam penyebab atau faktor eksternal. Bradford dan Stringfellow (2001) menyatakan bahwa perbedaan karakteristik individu yang menjadi anggota kelompok dapat memicu timbulnya konflik. Perbedaan ini akan mempengaruhi outcome dari kelompok yang bersangkutan. Outcome dapat diukur dari kinerja kelompok, kreativitas dan kepuasan anggota terhadap outcome kelompok. Jika ditinjau konstruksinya, maka konflik memiliki konstruksi yang multidimensional (Amason et al. 1995; Jehn 1995). Selanjutnya mereka mengelompokkan konflik menjadi: 1) affective conflict dan 2) task conflict. Gilbraith dan Stringfellow (2002) menjelaskan konflik afektif terjadi karena dua hal, yaitu: perbedaan kekuatan (power) dan komitmen. Suatu kelompok dimana perbedaan kekuatannya sangat besar akan cenderung mengalami friksi personal yang lebih tinggi ketimbang kelompok yang anggotanya berasal dari status sosial yang sama. Friksi juga dapat terjadi ketika sebagian anggota memiliki komitmen untuk menyelesasikan masalah sementara anggota yang lain bersikap masa bodoh terhadap masalah yang dihadapi oleh kelompok yang bersangkutan. 17

36 Task conflict disebabkan karena adanya perbedaan pengetahuan, kekuatan dan komitmen diantara anggota kelompok. Perbedaan keahlian dapat berwujud perbedaan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan anggota kelompok terhadap masalah yang dihadapi serta upaya memecahkannya. Adanya perbedaan keahlian ini dapat menyebabkan masing-masing anggota mengajukan pendekatan atau pandangan yang berbeda terhadap masalah yang dihadapi, sehingga perbedaan tersebut pada akhirnya malah dapat menimbulkan konflik. Bradford dan Stringfellow (2002) mengemukakan konflik dalam sebuah kelompok dapat disebabkan karena perbedaan kemampuan dan pandangan terhadap masalah atau tantangan yang dihadapi. Secara umum perbedaan tersebut terkait dengan karakteristik demografik yang dapat diamati (visible) seperti jenis kelamin, usia, dan latar belakang etnik. Milliken and Martins (1996) menambahkan faktor yang tidak dapat diamati langsung (unobservable diversity) dan deep level (Harrison et al. 1998) seperti kepribadian dan tata-nilai yang dianut. Dalam penelitiannya berhasil dibuktikan bahwa perbedaan atribut deep level memberikan kontribusi terhadap kualitas output yang dihasilkan oleh kelompok. Ury (1993) berhasil mengidentifikasi faktor lain yang dapat memicu timbulnya konflik, yaitu: kepentingan (interest), hak-hak (rights) dan status kekuasaan (power). Dalam proses resolusi konflik, pihak-pihak yang berkonflik umumnya akan berupaya mempertahankan ketiga faktor tersebut agar kepentingannya tercapai, hak-haknya terpenuhi dan untuk itu kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan, dan dipertahankan Metoda pengelolaan konflik Melling (1994) dalam FAO (1998) mendefinisikan conflict resolution sebagai proses dimana dua atau beberapa kelompok yang berkonflik berupaya memperbaiki kondisi melalui tindakan koperatif dengan jalan memberikan kesempatan pada semua pihak yang berkonflik untuk memperbesar kue dan menjaga jangan sampai kue tersebut menciut. Dengan demikian setiap kelompok pada akhirnya akan mendapat bagian kue yang lebih besar. Definisi 18

37 ini secara implisit menyiratkan bahwa resolusi konflik berupaya menghasilkan manfaat untuk semua pihak. Conflict resolution atau resolusi konflik adalah jalan keluar dari perselisihan yang terjadi antara dua orang/kelompok atau lebih sehingga dicapai perdamaian. Resolusi, dimana pihak pihak yang bertikai segera mengadakan perjanjian perdamaian dengan membahas isu-isu resolusi konflik tersebut, namun bukan dengan mengutamakan pembahasan mengenai faktor-faktor yang memicu konflik tersebut. Resolusi biasanya membutuhkan suatu tekanan, lebih sering tekanan dari pihak luar yang bertikai. Tanpa tekanan, tampaknya konflik akan timbul lagi walaupun mungkin hal ini diekspresikan dengan cara lain. Singth dan Vlatas (1991) menyatakan bahwa ada lima pendekatan yang dapat digunakan oleh pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan konflik, yaitu : 1) Forcing. Pendekatan yang bersifat win-lose solution, dimana satu pihak merasa menang dan pihak lain merasa kalah. Pendekatan ini sering menimbulkan rasa marah dan rusaknya hubungan antara pihak yang berkonflik. 2) Withdrawal. Pendekatan dimana pihak yang berkonflik keluar dari konflik atau menghindari isu konflik. Pendekatan ini tidak efektif karena konfliknya sendiri tidak diselesaikan secara tuntas. 3) Smoothing. Pendekatan yang lebih mencari kesamaan pandangan daripada perbedaan terhadap isu konflik. Sebagaimana withdrawal, pendekatan ini pada dasarnya tidak mampu menyelesaikan akar konflik, dengan demikian perbedaan pandangan yang menjurus pada timbulnya konflik susulan dapat terjadi. 4) Compromising. Pendekatan dimana masing-masing pihak yang berkonflik saling menimbang dan mencari solusi. Kompromi dapat dicapai dan sering kali dengan melibatkan pihak ketiga, negoisasi dan bahkan voting. Resolusi konflik pada pendekatan ini dipengaruhi oleh kekuatan relatif dari masingmasing pihak. 19

38 5) Confrontation. Pendekatan dimana pihak yang berkonflik menyelesaikan perbedaan diantara mereka dengan memfokuskan pada isu konflik, kemudian mencari alternatif resolusinya dan akhirnya memilih alternatif yang terbaik dalam menyelesaikan konflik. Pendapat lain mengelompokkan resolusi konflik ke dalam suatu kontinum. Kontinum adalah suatu alur yang menghubungkan dua kondisi ekstrim yang bertolak belakang, mulai dari pelanggaran dan perusakan pada satu sisi hingga kondisi pembiaran konflik itu tetap terjadi (masa bodoh) pada sisi yang lain. Diantara ke dua ektrim tadi maka pendekatan resolusi konflik sebenarnya bekerja. Mengacu pada formalitas legal, proses resolusi konflik dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu melalui proses peradilan (litigasi) dan diluar pengadilan atau resolusi konflik alternatif (Alternative Dispute Resolution/ADR). Melalui proses resolusi konflik secara litigasi, akan memunculkan pihak yang menang dan pihak yang kalah. Sementara pada pendekatan ADR output yang dihasilkan lebih fleksibel dan lebih dapat diterima oleh semua pihak yang berkonflik dan hasilnya lebih berorientasi jangka panjang. Selain itu ADR lebih populer digunakan untuk mengatasi konflik yang terkait dengan masalah lingkungan dan sumberdaya alam. Jenis-jenis resolusi konflik alternatif (ADR) yang sering digunakan terdiri dari negoisasi, mediasi, fasilitasi dan arbitrase. Berbagai pakar resolusi konflik sering menggunakan konsep piramid sebagai simbolisasi berbagai metode resolusi konflik. Piramid resolusi konflik menggambarkan pilihan proses resolusi konflik mulai dari isolation hingga ke cooperation. Proses resolusi konflik menggunakan hukum formal (litigasi) akan menghasilkan suasana yang terisolasi karena ada pihak yang dimenangkan dan yang dikalahkan oleh tatanan hukum formal, sementara resolusi konflik yang menggunakan pendekatan ADR akan menghasilkan kondisi yang kooperatif. Hal ini disebabkan pihak yang berkonflik saling berinteraksi untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak. Pemilihan metode resolusi konflik sangat situasional. Resolusi konflik melalui cooperative action berupaya untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan (win-win solutions) guna menghasilkan kondisi yang lebih baik (better off) bagi semua pihak. Walaupun demikian, tidak dapat diartikan bahwa 20

39 pendekatan ini merupakan pendekatan yang terbaik untuk pihak yang berkonflik. Dalam beberapa situasi, sekelompok orang yang berkonflik justru memperoleh manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok lainnya. Dalam sistem hukum formal, resolusi konflik melalui pendekatan litigasi (pengadilan) yang menggunakan aturan hukum yang kaku, sering menghasilkan kelompok yang lebih superior di mata hukum. Oleh sebab itu pendekatan ini menghasilkan pihak yang kalah dan menang. Walaupun demikian tidak dapat diartikan bahwa pendekatan litigasi merupakan opsi yang buruk. Dalam beberapa kasus, resolusi konflik melalui pendekatan litigasi justru dibutuhkan, misalnya konflik dimana batasan hukumnya sudah jelas. Dalam resolusi konflik, seorang dari luar atau satu orang yang penting dapat diminta untuk membantu bernegosiasi dengan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik. Keterbukaan adalah hal yang penting untuk memecahkan semua masalah. Bila keputusan yang diambil dari pihak-pihak tersebut dapat berjalan lancar dan sesuai dengan keinginan kedua belah pihak. Perjanjian dan jalan keluar yang diambil sebaiknya keluar dari mereka sendiri dan bukan dari pihak luar. Resolusi konflik pada dasarnya tidak dilakukan atas dasar siapa yang benar, siapa yang salah, tapi lebih didasarkan pada pengakuan dan penghargaan atas adanya perbedaan posisi dan kepentingan para pihak yang terlibat Untuk mencapai kondisi kesepakatan yang berkesinambungan (durable settlement), Lincoln (1986) menyebutkan tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1) Substantive interests, yaitu: content need, dana, waktu, material dan sumberdaya. 2) Procedural interests, yaitu kebutuhan akan perilaku tertentu atau cara bagaimana sesuatu dapat diselesaikan. 3) Relationship or phsychological interest, yaitu kebutuhan yang merujuk pada perasaan seseorang, bagaimana seseorang diperlakukan, dan prakondisi untuk menciptakan hubungan yang berkelanjutan. Ketiga prasyarat di atas sering digambarkan dalam bentuk satisfaction triangle seperti pada Gambar 2. 21

40 Psikologi A B Prosedur Kepentingan substantif Gambar 2. Segitiga kepuasan (Diadopsi dari Lincoln 1986) Idealnya partisipasi masyarakat dan pengelolaan konflik berupaya mencapai titik A, yaitu kondisi optimal dimana prosedur, psikologi dan kepentingan substantif secara seimbang dapat dipenuhi. Tetapi sering kali yang tercapai adalah kondisi yang tidak optimal, misalnya pada titik B. Pada titik ini masalah substantive atau content aspect dapat terpenuhi tetapi pencapaian kedua aspek lainnya (psikologi dan prosedur) relatif rendah. Pengelolaan konflik (conflict management) terdiri atas berbagai teknik yang digambarkan dalam suatu spektrum. Perbedaan teknik resolusi konflik tersebut disebabkan derajat formalitas/struktur, partisipasi pihak ketiga (seperti fasilitator atau mediator) dan derajat partisipasi langsung dari pihak yang berkonflik Spektrum tersebut dapat digambarkan dalam suatu kontinum seperti pada Gambar 3. 22

41 A Hot Tub Tidak dibimbing Dibimbing C Keputusan dari pihak ke tiga Perang B Substantif - Konsiliasi - Saling tukar info - Kerjasama - Negosiasi Relationship Building Procedural Assistance Assistance - Counceling - Coaching - Conciliation consultation - Team building - Training - Informal sosial - Facilitation activities - Mediation Substantive Assistance - Mini-trial - Technical advisory board - Dispute panels - Advisory mediation - Fact finding - Settlement conference Tidak mengikat Mengikat - Arbritasi - Arbitrasi - Summary jury - Panel sengketa Trial - Pengadilan - Judging Gambar 3. Kontinum teknik alternative dispute resolution (Diadopsi dari Priscoli 2003) Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa teknik resolusi konflik berada dalam suatu kontinum dimana hot tub (A) dan war (B) berada pada masingmasing titik ekstrimnya. Semakin ke arah A maka formalitas hukumnya menjadi semakin rendah, sementara ke arah B, formalitas hukumnya semakin kuat. Disepanjang kontinum terdapat beragam teknik resolusi konflik yang dapat dikelompokkan kedalam tidak dibimbing (unassisted), dibimbing (assisted) dan keputusan dari pihak ke tiga (third party decision making). Titik C ke kanan memperlihatkan posisi dimana resolusi konflik diserahkan kepada pihak ke tiga, misalnya pengadilan atau hakim. Pada daerah assisted, proses resolusi konflik dilakukan dengan melibatkan pihak ke tiga, tetapi peranannya hanya terbatas pada perancangan kesepakatan melalui diagnosis konflik secara bersama, membangun alternatif resolusi bersama serta penerapannya secara bersama pula. Pengalaman menunjukkan pihak yang berkonflik sering lebih memilih daerah kiri, karena pada daerah kanan kontinum sering memunculkan pihak yang menang (winner) dan pihak yang kalah (looser). Gambar diatas juga memperlihatkan bahwa suatu konflik dapat saja diselesaikan tanpa bantuan pihak lain, yang dalam hal ini dilakukan melalui 23

42 diskusi maupun negoisasi. Namun, jika unassisted conflict resolution ini sudah tidak efektif lagi, maka pihak yang berkonflik dapat mengundang pihak ketiga untuk membantu menyelesaikan konfliknya. Guna memilih alternatif resolusi konflik yang terbaik, Priscoli (2003) merancang beberapa pertanyaan yang dapat digunakan untuk menilai situasi serta menilai apakah ADR tepat untuk digunakan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut pada dasarnya terkait dengan lima hal, yaitu: 1) keberadaan pihak yang memiliki otoritas yang mampu mewakili pihak yang berkonflik, 2) kemungkinan terjadinya konflik susulan sebagai akibat dari pemilihan teknik resolusi, 3) prasyarat dan prekondisi yang dibutuhkan, 4) apakah ada mekanisme yang menjamin pelaksanaan kesepakatan yang telah dibuat, dan 5) bahaya atau kerusakan yang mungkin muncul dari proses resolusi konflik. Sementara untuk mengetahui teknik ADR yang paling sesuai, Priscoli (2003) mengajukan beberapa kriteria yang dapat dipertimbangkan, yaitu: 1) apakah kita akan menghindari konflik atau menyelesaikan konflik yang telah muncul, 2) apakah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dapat dipertemukan, 3) apakah sumberdaya teknik maupun hukumnya diantara pihak yang berkonflik sudah seimbang, 4) jumlah pihak yang terlibat dalam konflik, 5) apakah aktor kuncinya saling antagonis, 6) pertimbangan waktu, biaya dan 7) hasil yang diharapkan yang menjadi perhatian utama. Guna menjelaskan penyebab terjadinya konflik, maka pengenalan terhadap tipologi konflik menjadi penting. Sedangkan dengan mengetahui tipologi konflik maka akan dapat dianalisis penyebab serta alternatif penanggulangannya. Tipologi tidak berupaya untuk menggambarkan semua bukti-bukti empiris, tetapi hanya berupaya menarik benang merah serta karakteristik khusus yang diperkirakan dapat mewakili suatu karakteristik (McKinney 1966). Dengan mereduksi karakteristik nyata (perceptual) ke dalam model konseptual, maka tipologi dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan perbandingan dan bahkan prediksi. Proses merekonstruksi suatu tipologi membutuhkan beberapa kali interaksi dan iterasi, suatu model awal dari tipologi dibangun dan kemudian diuji. Dengan demikian dalam proses membangun sebuah tipologi dibutuhkan pemurnian. 24

43 Tipologi mempunyai dua fungsi, yaitu: bertindak sebagai filter dalam proses awal suatu penelitian dalam rangka menganalisis hipotesis dengan menggunakan data sekunder. Sedang fungsi tipologi yang kedua adalah sebagai suatu alat untuk merekontruksi berdasarkan data primer dan bukti-bukti yang ada. Obserschall (1973) menyatakan telah banyak peneliti dibidang conflict resolution yang merasakan manfaat dari tergambarkannya tipologi konflik. Di sektor perikanan, Charles (1992) telah berhasil merekonstruksi konflik yang sering terjadi. Menurutnya, konflik yang terjadi dapat dikelompokkan ke dalam konflik jurisdiksi, masalah pengelolaan, konflik alokasi internal dan konflik alokasi eksternal atau konflik inter sektoral. Selanjutnya, Warner and Jones (1998) mengelompokkan tipologi konflik ke dalam: micro-micro conflicts, inter micromicro conflicts dan micro-macro conflicts serta menelaah pada level mana saja konflik tersebut dapat muncul. Sithole and Bradley (1995) mengelompokan konflik berdasarkan aktor atau pelakunya, yang dalam hal ini adalah konflik antara pemerintah dan institusi (yaitu mereka yang merasa berhak mengatur sumberdaya perikanan) atau konflik antara pengguna sumberdaya itu sendiri. Tipologi konflik yang lebih maju berhasil dikelompokkan oleh FAO (1996). Pengelompokan didasarkan pada level mana konflik itu sendiri terjadi (mulai dari konflik rumah tangga hingga ke konflik internasional), penyebab terjadinya konflik (terkait dengan akses, kualitas sumberdaya, otoritas, nilai sumberdaya, informasi dan hukum) serta status penyebab konflik (immediate, intermediate, root). Tipologi konflik menurut FAO (1996) tersebut digambarkan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Tipologi konflik (Diadopsi dari FAO 1996) Penyebab Konflik AKSES KUSUM OTORI NISUM PEMIN ISKEB RUTAN * Level INKON * * konflik INTKO * * * LOKAL * * * * NASIO * * * * * * INTER * * * * * * Keterangan : RUTAN : Rumah tangga AKSES : Akses INKOM : Intra komunitas KUSUM : Kualitas sumberdaya INTKO : Inter komunitas OTORI : Otoritas LOKAL : Lokal NISUM : Nilai sumberdaya NASIO : Nasional PEMIN : Pemrosesan informasi INTER : Internasional ISKAB : Isu kebijakan/hukum 25

44 Karena pada kenyataannya konflik yang melibatkan faktor sosial, ekonomi dan lingkungan ternyata sangat kompleks, maka proses analisis dapat dilakukan dengan membuat pemetaan atau diagram yang menggambarkan: pihak yang terlibat dalam konflik, peranan dan pengaruhnya, serta bentuk hubungan antar pihak yang terlibat Pendekatan lain yang dapat digunakan dalam menganalis konflik adalah analisis hubungan (relationship analysis). Pendekatan ini menganalisis hubungan stakeholder (aktor) yang terlibat di dalam konflik. Karena peranan stakeholder (baik itu secara politis, ekonomi maupun lingkungan) menentukan bentuk hubungan antara aktor dengan sumberdaya, maka analisis hubungan (relationship) cocok untuk digunakan (FAO 1996). Pengaruh variabel politik, ekonomi dan lingkungan terhadap terjadinya konflik sangat bergantung pada tingkatan masyarakat yang akan digunakan sebagai langkah awal dalam menganalisis konflik. Ketika menganalisis konflik dari perspektif aktor, terdapat beberapa elemen yang harus diperhatikan. Elemen tersebut adalah: tujuan aktor, peta kekuatan, dan informasi yang dibutuhkan serta digunakan. Jabri (1996), berpendapat bahwa menganalisis konflik dari sudut peranan aktor seringkali sangat kompleks. Hal ini disebabkan aktor yang lebih kuat kedudukannya dalam konflik seringkali lebih didengar. Hubungan kekuatan antar aktor pada akhirnya terkait dengan status sumberdaya, dimana jika ketersediaan sumberdaya makin terbatas, maka hubungan kekuatan tersebut akan bergeser ke isu alokasi sumberdaya. Pendekatan relationship analysis dapat dilihat pada Gambar 4. 26

45 Gambar 4. Hubungan antar aktor dalam resolusi konflik (Diadopsi dari FAO 1996) Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Oleh karenanya, selain mengenai tipologi konfliknya maka penggambaran konflik menurut tahapannya (diagnosis) juga menjadi penting. Diagnosis pentahapan konflik bertujuan untuk mengkaji tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan konflik serta berusaha untuk meramalkan pola-pola peningkatan intensitas konflik dimasa depan dengan tujuan untuk menghindari pola itu terjadi. Fisher (2000), mengelompokkan tahapan konflik menjadi lima bagian, yaitu: prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat dan pascakonflik. Tahap prakonflik dicirikan oleh adanya ketidaksesuaian sasaran diantara dua pihak atau lebih. Pada tahap ini konflik masih tersembunyi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih sudah mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Pada tahap konfrontasi, konflik menjadi semakin terbuka dan dicirikan oleh adanya pertikaian atau aksi demonstratif atau perilaku konfrontatif lainnya. Masing-masing pihak yang berkonflik mengumpulkan sumberdaya dan kekuatan dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan di 27

46 antara kedua pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi diantara para pendukung di masing-masing pihak. Tahapan selanjutnya adalah tahap krisis. Ini merupakan puncak konflik, ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Komunikasi normal antara pihak yang berkonflik kemungkinan terputus, sementara pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya. Pada tahapan akibat, suatu pihak mungkin menaklukan pihak yang lain atau mungkin melakukan gencatan senjata. Sementara pihak lainnya mungkin menyerah atau menyerah atas desakan orang lain. Kedua pihak mungkin setuju bernegoisasi, dengan atau tanpa bantuan perantara. Tingkat ketegangan pada tahap ini sudah menunjukkan penurunan dibandingkan pada tahap konfrontasi atau krisis, sehingga dimungkinkan adanya upaya resolusi. Tahap pascakonflik merupakan tahap akhir dari konflik dimana semua ketegangan dan konfrontasi diakhiri. Ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke kondisi normal. Namun demikian jika isu-isu atau masalah-masalah yang timbul karena sasaran yang dipertentangkan tidak diatasi dengan baik, maka tahap ini sering kembali menjadi pemicu munculnya kondisi pra konflik yang baru. Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik adalah human judgement theory (Al-Tabbai 1991). Pendekatan ini melihat bahwa perbedaan kognitif diantara individu merupakan penyebab dasar terjadinya konflik. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan, yaitu: 1) Human judgement is a covert process. Adalah hal yang sulit bagi seseorang untuk secara akurat mendeskripsikan proses penilaiannya. 2) Inaccurate reporting. Individu kadangkala tidak mampu secara akurat mendeskripsikan prinsipnya dalam mengumpulkan informasi untuk memberikan penilaian (judgement). 3) Inconsistency. Hal ini disebabkan karena human judgement merupakan proses yang sulit untuk dianalisis dan dikontrol secara penuh. Secara sederhana, proses resolusi konflik dengan menggunakan cognitive analysis approach, dimulai dari individu membuat kesimpulan atau membuat judgement (Ys) tentang uncertain events (Ye). Kedua variabel ini disebut sebagai 28

47 depth variable. Uncertain event ini sulit dilihat secara langsung, oleh karenanya kesimpulan penilaian dibuat berdasarkan data atau petunjuk yang tampak (X 1, X 2, X n ). Petunjuk ini dikenal pula sebagai surface variable. Selanjutnya surface variable digunakan untuk melakukan penilaian. Karena individu tidak memiliki akses kepada uncertain event dan hanya memiliki informasi mengenai surface variable sebagai dasar untuk melakukan penilaian, maka perbedaan atau kesenjangan dapat terjadi antara depth variable dengan surface variable. Perbedaan tersebut oleh Al-Tabbai (1991), disebut sebagai perbedaan kognitif diantara individu. Perbedaan kognitif tersebut pada akhirnya dapat memicu terjadinya konflik. Oleh karenanya, resolusi konflik yang ditawarkan pada pendekatan ini pada dasarnya adalah menutup kesenjangan kognitif diantara pihak yang berkonflik. Secara skematis resolusi konflik menurut pendekatan ini dapat dilihat pada Gambar 5 berikut. Tahap 1: Identifikasi isu konflik Tahap 2: Menentukan tipologi konflik Tahap 3: Penilaian Tahap 4: Parameter penilaian Tahap 5: Mengkomunikasikan umpan balik kognitif Tahap 6: Negosiasi antar pihak yang berkonflik Tidak Kompromi? Ya Ya Selesai Gambar 5. Prosedur resolusi konflik berdasarkan pendekatan kognitif (Al-Tabbai et al 1991) Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pemahaman terhadap konflik dan upaya mencari pemecahan dapat dibagi ke dalam dua tahapan. Losa et al. (2002), menyatakan kedua tahapan tersebut sebagai descriptive step dan prescriptive step. Pada descriptive step terdapat tiga karekteristik yang harus diperhatikan, yaitu: posisi aktor pihak yang berkonflik, 29

48 posisi alternatif resolusi konflik, serta posisi alternatif resolusi konflik terhadap aktor Perkembangan ADR di beberapa negara Resolusi konflik melalui pendekatan ADR sudah mulai berkembang di sejumlah negara. Pendekatan tersebut digunakan pada berbagai kasus, mulai dari kasus-keluarga hingga ke perselisihan yang kompleks seperti konflik bisnis modern. Perkembangan lembaga ADR berada pada taraf yang berbeda-beda. Singapura, misalnya, termasuk dalam tahap pemantapan pemanfaatan mekanisme ADR. Badan-badan yang memfasilitasi konflik melalui mekanisme ADR belum banyak di negara tersebut, sebagai contoh : the Community Mediation Centre (CMC) yang menangani konflik seputar masalah sosial kemasyarakatan, the Singapore International Arbitration Centre (SIAC) yang mengkhususkan pada penanganan konflik bisnis dengan mekanisme arbitrase, serta the Singapore Mediation Centre (SMC) yang memfokuskan pada resolusi konflik menggunakan metoda mediasi. Perkembangan penggunaan pendekatan ADR di Singapura menunjukkan kecenderungan yang positif, khususnya dalam menurunkan kecenderungan masyarakat yang semakin litigous, disamping juga untuk mengefisienkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh para pihak yang berkonflik dalam mencari solusi atas perkara mereka. Mekanisme ADR di Australia mulai dimanfaatkan secara lebih melembaga. Negara ini sudah memiliki sistem standarisasi yang baik guna menjamin kualitas para mediator dan arbiternya. Seperti halnya Singapura, di Australia telah didirikan badan di tingkat nasional yang disebut the National Alternative Dispute Resolution Advisory Council (NADRAC). Lembaga ini mempunyai tugas menyusun standar nasional yang akan mendukung pengembangan ADR di negara tersebut. Beberapa lembaga yang menggunakan mekanisme ADR untuk menyelesaikan konflik di Australia antara lain: the Australian Competition and Consumer Commission (ACCC) dan the Australian Competition Tribunal (ACT). Lembaga ini dibentuk untuk menangani konflik persaingan usaha dan perlindungan konsumen dengan menggunakan pendekatan adjudikasi. 30

49 Commercial ADR adalah aktivitas lembaga penyedia jasa swasta yang kebanyakan merangkap kantor-kantor hukum yang praktek di Australia. Lembaga ini selain membuka diri melayani klien melalui jalur litigasi, juga menawarkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk menangani konflik melalui jalur ADR. Untuk menyelesaikan kasus-kasus konflik rumah tangga, Australia memiliki family mediation services. Mekanisme ADR yang ditawarkan oleh organisasi ini meliputi mediasi keluarga dan anak, konseling dan mediasi remaja. Di Amerika Serikat, penyelesaian konflik melalui jalur ADR berkembang dengan baik. ADR pada pokoknya dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : (1) primary dan (2) hybrid atau court-ennexed. Primary ADR terdiri dari empat macam yaitu: adjudikasi, arbitrasi, mediasi dan negoisasi. Sementara hybrid process terdapat sekurang-kurangnya lima bentuk penerapan mekanisme ADR yaitu: private judging, neutral expert fact finding, mini trial, ombudsman dan summary jury trial. Berdasarkan penerapan ADR di beberapa negara tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ADR bisa diterapkan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari konflik rumah tangga hingga ke konflik bisnis yang kompleks. Dari ketiga negara tersebut terdapat satu kesamaan bahwa pendekatan resolusi konflik melalui ADR sebaiknya ditangani oleh lembaga tertentu yang tidak bersifat ad hoc. Dengan demikian keputusan yang dihasilkan dapat dipertanggung jawaban, mengikat dan tentunya memiliki kekuatan hukum. Selain itu, penerapan ADR harus melibatkan semua fungsionari hukum secara keseluruhan. Ini berarti, suatu departemen tidak mungkin bekerja sendiri untuk mendirikan lembaga ADR yang berwibawa, melainkan harus melibatkan unit-unit pemerintahan dibidang legislatif dan yudikatif Perkembangan ADR di Indonesia Pendekatan resolusi konflik alternatif (ADR) telah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan konflik. Proses resolusi konflik secara tradisional dianggap efektif dan merupakan tradisi yang masih hidup dalam masyarakat (Hadikusuma 1992). Dengan demikian bagi masyarakat Indonesia, ADR bukan merupakan fenomena asing, karena konsensus dan kompromi yang 31

50 menjadi inti dari ADR sesuai dengan pendekatan musyawarah dan mufakat yang dipandang sebagai mekanisme pengambilan keputusan resolusi konflik yang bersumber dari masyarakat Indonesia sendiri. Tujuan utama ADR adalah menciptakan konsensus yang memuaskan semua pihak yang berkonflik. Selain itu ADR berupaya mempertemukan semua pihak yang berkonflik untuk duduk bersama guna memecahkan masalah yang mereka hadapi. Dengan cara ini dapat ditumbuhkan sikap saling percaya sehingga semua pihak merasa menjadi bagian dari sebuah tim yang bertujuan untuk mencari penyelesaian konflik secara bersama. Karakteristik utama ADR adalah lebih informal dibandingan dengan litigasi, serta memungkinkan semua pihak yang berkonflik aktif berpartisipasi dan memiliki kontrol yang lebih baik dalam proses resolusi konflik. Jika dibandingkan perkembangan proses resolusi konflik melalui alternative dispute resolution sebagai model resolusi konflik antara Indonesia dan Amerika, keduanya mempunyai latar belakang historis yang berbeda. ADR di Indonesia merupakan bagian dari tradisi masyarakat yang diikuti secara turun temurun dan bagian dari budaya lokal, sedangkan di Amerika merupakan bentuk baru dari strategi resolusi konflik yang sengaja diciptakan untuk menghindari resolusi konflik melalui pengadilan/litigasi yang dinilai banyak kelemahannya (Hadikusuma 1992). Dikalangan masyarakat Indonesia, jika timbul konflik penyelesaiannya jarang yang dibawa ke pengadilan. Pihak-pihak yang berkonflik umumnya lebih suka membawa masalah mereka ke lembaga masyarakat hukum adat untuk diselesaikan secara damai. Dalam masyarakat hukum adat, resolusi konflik biasanya dilakukan di depan kepala desa atau hakim adat. Secara historis, kultur masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan konsensus. Pengembangan resolusi konflik di Indonesia dilakukan sesuai dengan mekanisme pengambilan keputusan secara tradisional dan resolusi konflik secara hukum adat. Alasan kultural bagi eksistensi dan pengembangan ADR di Indonesia tampaknya lebih kuat dibandingkan alasan ketidakefisienan proses peradilan dalam menangani konflik. 32

51 Menurut Santosa dan Hutapea (1992), selain hal-hal di atas terdapat beberapa alasan yang dapat dilihat sebagai peluang pengembangan ADR di Indonesia, yaitu : 1) Faktor ekonomis. ADR memiliki potensi sarana resolusi yang lebih ekonomis, baik ditinjau dari aspek biaya maupun waktu. 2) Faktor ruang lingkup yang dibahas. ADR memiliki kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas, komprehensif dan fleksibel. Hal ini dapat terjadi karena aturan main dapat dikembangkan dan ditentukan oleh para pihak yang berkonflik sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya. 3) Faktor keahlian. ADR memiliki potensi untuk menyelesaikan konflik-konflik yang sangat rumit yang disebabkan oleh substansi kasus yang penuh dengan persoalan-persoalan ilmiah karena dapat diharapkan adanya pihak ketiga yang ahli dibidangnya sebagai penengah langsung. 4) Faktor membina hubungan baik. ADR mengandalkan cara-cara resolusi kooperatif sehingga sangat cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya pembinaan hubungan baik para pihak yang telah berlangsung maupun yang akan datang. Oleh karena itu, dalam menilai perkembangan alternatif resolusi konflik di Indonesia diperlukan pemahaman yang cukup mendalam mengenai hukum adat. Koesnoe (1979) menyebutkan tiga asas kerja didalam menyelesaikan perkaraperkara adat, yaitu : 1) asas kerukunan, 2) asas kepatutan dan 3) asas keselarasan. Asas kerukunan adalah asas yang menekankan pada pandangan dari sikap orang dalam menghadapi kehidupan sosial di dalam suatu lingkungan. Satu sama lain saling bergantung, saling memerlukan sehingga masing-masing pihak memiliki komitmen untuk mewujudkan dan mempertahankan kehidupan bersama. Asas kerukunan dituangkan dalam dua bentuk ajaran, yaitu ajaran musyawarah dan ajaran mufakat. Ajaran musyawarah diartikan sebagai suatu tindakan seseorang bersama orang-orang lain untuk menyusun suatu pendapat bersama yang bulat atas suatu permasalahan yang dihadapi oleh seluruh masyarakat. Sedangkan ajaran mufakat adalah menyelesaikan perbedaan-perbedaan kepentingan pribadi seseorang terhadap orang lain atas dasar perundingan antara yang bersangkutan. 33

52 Asas kepatutan mengarah kepada usaha mengurangi jatuhnya seseorang ke dalam alam rasa malu yang ditimbulkan oleh hasil resolusi konflik. Oleh karena itu asas kepatutan memusatkan perhatian kepada cara menemukan resolusi konflik yang dapat menyelamatkan kualitas dan status pihak-pihak yang bersangkutan dengan sebaik-baiknya. Asas keselarasan berhubungan dengan metode resolusi konflik yang mempertimbangkan terpenuhinya aspek perasaan estetis secara optimal. Dalam hal ini, resolusi konflik dianggap memenuhi perasaan estetis jika dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan maupun masyarakat yang bersangkutan Efektivitas pengelolaan konflik Efektivitas menempati posisi sentral dalam evaluasi suatu kebijakan termasuk didalamnya pengelolaan konflik. Pertanyaan sentral yang sering muncul dalam evaluasi efektivitas adalah Apakah pengelolaan konflik telah berjalan dengan baik?. Pada hakekatnya pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut efektivitas dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) Pernyataan dapat berupa deskriptif. Pertanyaan berupaya untuk menjelaskan apa yang telah terjadi. 2) Pertanyaan yang berupa sebab kejadian (causal origin). Pertanyaan tidak semata-mata menanyakan apa yang telah terjadi, tetapi juga berupaya untuk mencari penjelasan sebab terjadinya. 3) Pertanyaan normatif. Pertanyaan terkait dengan kepuasan terhadap suatu kebijakan. Pertanyaan normatif sering digunakan untuk menilai efektivitas, relevansi, efisiensi maupun utilitas. Efektivitas dapat dibedakan menjadi efektivitas kelembagaan, efektivitas kelompok sasaran, efektivitas lingkungan, dan efektivitas sosial. Bruyninckx dan Cioppa (2000) mendefinisikan efektivitas kelembagaan sebagai suatu kondisi dimana rejim atau kebijakan dapat beroperasi atau berlangsung dalam kondisi yang disepakati bersama. Dengan perkataan lain, efektivitas kelembagaan menyatakan suatu kondisi dimana output suatu kebijakan sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri. Output dinilai sebagai tangible results (EEA 2001). Output lebih mengarah pada ukuran jangka pendek, dimana hasilnya dapat dinilai segera 34

53 setelah implementasi metoda resolusi atau saat proses resolusi konflik berlangsung. Output bisa saja bukan merupakan bagian langsung dari tujuan kebijakan, atau dengan perkataan lain output tidak harus memiliki hubungan otomatis/langsung dengan kinerja metode resolusi konflik. Efektivitas kelompok sasaran menyatakan sampai sejauh mana outcome (yang merupakan respons kelompok sasaran terhadap output) berhubungan dengan tujuan (EEA 2001). Jika output terkait dengan hasil jangka pendek, maka outcome terjadi dalam jangka menengah. Efektivitas impact terkait dengan efek yang mempengaruhi isu pengelolaan konflik. Impact dari suatu kebijakan hanya dapat diidentifikasi dalam jangka panjang. Efektivitas sosial terkait dengan pertanyaan yang terkait dengan relevansi atau utilitas. Dalam hal ini, efektivitas sosial mengukur apakah impact dapat memuaskan kebutuhan sosial, atau apakah resolusi konflik dapat memberikan manfaat bagi tujuan sosial yang lebih luas. Isu sentral yang selalu muncul ketika melakukan evaluasi impact dari metode pengelolaan konflik atau kebijakan adalah isu kausalitas. Dalam mengevaluasi efektivitas suatu kebijakan, maka tidak cukup hanya dengan mengukur tujuan yang berhasil dicapai, tetapi harus mampu mencari hubungan kausalitas antara kebijakan dengan hasilnya. Bruyninckx dan Cioppa (2000) menyebutkan tiga kondisi yang harus dipenuhi untuk mengidentifikasi hubungan yang bersifat kausalitas, yaitu : 1) Sequential relationship antara penyebab dengan hasil yang mengikutinya. 2) Covariance antara sebab dan akibat, dengan perkataan lain harus ada korelasi empirik antara sebab dengan akibat. 3) Tidak ada faktor penjelas yang lain. Sebagai contoh jika ada perubahan antara kebijakan dan efeknya tetapi ada faktor lain yang dapat menjelaskan perubahan tersebut (diluar kebijakan dan efeknya) maka tidak dapat dibuktikan adanya hubungan sebab akibat yang absolut antara kebijakan dengan efek. Lebih lanjut hubungan sebab akibat yang terjadi dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu: 1) Sebab yang dibutuhkan dan memenuhi syarat kecukupan; X adalah dibutuhkan dan akan menyebabkan terjadinya Y. 35

54 Contoh: Pemerintah daerah membutuhkan tenaga ahli yang mampu memantau kerusakan lingkungan, maka dengan merekrut tenaga ahli masalah tersebut dapat diatasi. 2) Dibutuhkan tetapi tidak memenuhi syarat kecukupan; X dibawah kondisi tertentu akan menyebabkan terjadinya Y. Contoh, latihan fisik akan memperbaiki kondisi fisik seseorang jika yang bersangkutan mengikuti program pelatihan dengan baik. 3) Mencukupi tetapi bukan merupakan penyebab; X akan menyebabkan Y, dan juga hal lainnya. Contoh: Terbakar akan menyebabkan rasa sakit, tetapi rasa sakit tidak selalu disebabkan karena terbakar. 4) Penyebab tambahan; X tidak dibutuhkan dan tidak menyebabkan terjadinya Y, tetapi merubah kemungkinan terjadinya Y. Contoh: Turunnya harga bahan bakar dapat (atau tidak dapat) mendorong terjadinya kemacetan lalu-lintas. 2.2 Hubungan Upaya dan Hasil Tangkapan Sampai pertengahan abad 19, keyakinan bahwa sumberdaya perikanan tidak akan habis dan jumlahnya tidak akan dipengaruhi oleh aktivitas manusia, masih belum dapat dipatahkan. Tetapi sekarang keyakinan tersebut dipertanyakan kembali, salah satunya adalah oleh Gordon dan Schaefer. Kedua ahli perikanan modern ini menggunakan model pertumbuhan logistik untuk menjelaskan kondisi sumberdaya perikanan. Menurut mereka, suatu spesies dapat terus berkembang secara eksponensial sepanjang tidak ada faktor yang membatasinya, tetapi laju pertambahan stok sumberdaya akan menurun sebagai akibat kelangkaan pakan bagi species tersebut. Pada akhirnya keseimbangan jangka panjang akan tercapai, yaitu suatu kondisi dimana jumlah stok sebanding dengan kemampuan alam menyediakan pakan untuk spesies tersebut (carrying capacity/cc). Jika ketersediaan stok sumberdaya perikanan karena alasan tertentu lebih besar daripada CC maka spesies akan mengalami pertumbuhan yang negatif. Jika jumlah stok antara nol hingga ke CC, maka akan terjadi net surplus dalam produksi, dan stok tersebut dapat dipanen sepanjang tahun tanpa mengurangi jumlah stok secara berarti. Kondisi ini berarti catch per unit effort (CPUE) akan 36

55 meningkat secara linear seiring dengan meningkatnya jumlah stok. Selajutnya, kondisi ini akan berimplikasi pada dua hal, yaitu menurunnya CPUE tahunan dalam beberapa tahun mengindikasikan menurunnya stok, serta mengeksploitasi stok yang terbatas akan membutuhkan biaya yang lebih besar. Model yang dikembangkan oleh Gordon dan Schaefer memprediksi bahwa dalam kondisi perikanan yang tidak diregulasi, effort akan meningkat sampai suatu tingkatan dimana jumlah biaya ekstraksi sama dengan jumlah pendapatan atau dikenal sebagai open access equilibrium (OAE). Dalam kondisi OAE, biaya modal (capital cost) masih dapat ditutup tetapi potential rent yang dapat ditarik karena kelangkaan sumberdaya sudah tidak ada lagi. Menurut Gordon, kondisi ini muncul karena tidak adanya definisi yang jelas mengenai property right terhadap sumberdaya. Kondisi tercapainya OAE dicirikan oleh terlalu banyaknya armada (over-investment), terlalu kecilnya jumlah stok, dan terlalu sedikitnya ikan yang didaratkan dikaitkan dengan biaya ekstraksi yang telah dikeluarkan. Salah satu metode yang dikembangkan untuk menentukan status perikanan dan tingkat produksi lestari atau yang lebih dikenal dengan MSY (maximum sustainable yield) adalah model surplus produksi. Model ini diperkenalkan oleh Schaefer (1954) yang merupakan hasil pengembangan model Graham (1935). Pada dasarnya model Schaefer memberikan gambaran bahwa tingkat biomas antar dx waktu ( ) sangat dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan intrinsik biomas (r), dt biomas itu sendiri (x), serta daya dukung maksimum lingkungan (K). Tingkat biomas antar waktu ini sebanding dengan fungsi pertumbuhan sumberdaya ( f (x) ). Secara umum hubungan antara tingkat biomas antar waktu dan tingkat pertumbuhan dapat dinotasikan sebagai berikut: dx = f (x)...(1) dt salah satu fungsi pertumbuhan sumberdaya yang biasa digunakan adalah fungsi pertumbuhan logistik yang dinotasikan sebagai berikut: dx x = rx 1...(2) dt K 37

56 Adapun laju pertumbuhan sumberdaya dapat ditentukan dengan mengintroduksi penangkapan (h) ke dalam model dan apabila diasumsikan bahwa penangkapan (h) berkolerasi linear terhadap biomas (x) dan input produksi atau upaya (E) atau h = qex (q adalah koefisien daya tangkap), maka laju pertumbuhan sumberdaya dapat dinotasikan sebagai berikut: dx x = rx 1 qex.... (3) dt K Dengan mengasumsikan bahwa tingkat biomass antar waktu sama dengan nol, maka fungsi pertumbuhan akan sama dengan fungsi penangkapan, sehingga dapat diperoleh tingkat biomas optimal secara biologi yang secara matematik dapat dinotasikan sebagai berikut: dx x = rx 1 qex = 0 dt K x rx 1 = K qex q x* = K 1 E......(4) r Kemudian dengan mengsubstitusi persamaan (4) ke dalam fungsi penangkapan, maka dapat diperoleh persamaan berikut: 2 q K 2 h = qek E...(5) r Selanjutnya, dengan menyederhanakan persamaan (5), yaitu membagi kedua sisi persamaan dengan upaya (E), maka MSY Schaefer dapat diestimasi dengan menggunakan teknis regreasi linear sederhana: dimana h E 2 q K = qk E..(6) r α = qk dan q 2 K β =, sehingga tingkat upaya dan MSY dari model r Schaefer dapat ditentukan dengan menggunakan formula sebagai berikut: 38

57 α E msy =.. (6a) 2β 2 α h msy =. (6b) 4 β Hubungan antara produksi lestari dan tingkat upaya dapat digambarkan sebagai kurva berbentuk parabola seperti pada (Gambar 6). MSY hmsy h msy MSY (Maximum Sustainable Yield) Produksi lestari Emsy Upaya (trip) Upaya (trip) Gambar 6. Hubungan antara produksi lestari dengan upaya Model estimasi parameter biologi dapat juga dilakukan dengan menggunakan model lain seperti Walter-Hilborn (1976) dan Schnute (1977). U t+ 1 r 1 = r U t qe (7a) t U qk t t+ 1 U t ln U t r U t + U t = r qk 2 Et + E q 2...(7b) sedangkan untuk mengestimasi tingkat upaya (E) dan tingkat produksi lestari (MSY) ditentukan dengan menggunakan kerangka estimasi Clark (1985). r E msy =......(8a) 2 q 39

58 rk h msy =..... (8b) 4 Gordon (1955) kemudian mengintroduksi parameter ekonomi seperti harga dari output (p) per satuan berat dan biaya dari input (c) ke dalam model Schaefer untuk menghasilkan keseimbangan bio-ekonomi. Keseimbangan bio-ekonomi ini dikenal dengan keseimbangan statik Gordon-Schaefer (Gambar 7). hmsy h msy MSY (Maximum Sustainable Yield) Manfaat dan Biaya TC TR Emsy EMEY EOA Emax Upaya (trip) Upaya (trip) Gambar 7. Hubungan manfaat dan biaya dengan upaya Pada dasarnya keseimbangan bio-ekonomi terjadi pada saat TR = TC, yaitu pada saat tingkat upaya berada pada level upaya open access. Pada saat TR = TC, maka keuntungan sama dengan nol (π =0). Bilamana TR = ph dan h = qex, maka TR = pqex, sedangkan bilamana TC = ce, maka fungsi keuntungan adalah: π = pqex ce. (9) MEY akan terjadi pada tingkat keuntungan yang maksimal, artinya bahwa π keuntungan maksimal akan terjadi bilamana = 0 atau dengan kata lain E keuntungan maksimum akan terjadi pada saat tingkat biomas (x) sebanding 40

59 dengan nilai biaya ekstraksi per unit upaya (c) dibagi dengan harga ikan per satuan berat (p) dan koefisien daya tangkap (q) atau dapat dinotasikan sebagai: c x * = (10) pq Sehingga untuk kondisi open access dengan mengsubstitusi persamaan (10) ke dalam persamaan (2), maka dapat tingkat produksi akses terbuka dapat diketahui sebagai berikut: rc c h OA = 1 pq......(11a) pqk sedangkan tingkat upaya pada kondisi akses terbuka dapat diketahui bilamana persamaan (10) disubstitusikan ke dalam persamaan (4), sehingga menghasilkan persamaan sebagai berikut: r c E OA = 1 q..... (11b) pqk Adapun estimasi untuk MEY dan upaya pada kondisi MEY dapat diketahui dengan beberapa penyederhanaan matematis sebagai berikut: bilamana h ( x) = f ( x), maka h( x) ρ ( x) = ph( x) c... (12a) qx sehingga dapat disederhanakan menjadi : c ρ ( x) = p h( x)......(12b) qx atau juga dapat dinotasikan sebagai : c ρ ( x) = p rx 1 qx x K......(12c) ρ( x) dan untuk mendapatkan x operikanan tangkapimal, maka = 0, sehingga x menghasilkan persamaan sebagai berikut: 41

60 pr + cr qk 2 prx = 0 (12d) K dan secara matematis persamaan tersebut akan menghasilkan: K c x MEY = 1. (12e) 2 pqk dengan mensubstitusi persamaan (12e) ke dalam persamaan (2), maka dapat dihasilkan tingkat produksi lestari secara ekonomi sebagai berikut: rk c h MEY = pqk c pqk... (13a) sedangkan jika persamaan (12e) disubstitusikan ke persamaan (4), maka dapat diperoleh tingkat upaya pada kondisi MEY adalah sebagai berikut r c E = MEY 1 2 q pqk....(13b) Namun demikian, hal lain yang perlu diperhatikan pengkajian potensi lestari sumberdaya ikan adalah keberadaan beberapa zone penangkapan yang kondisi sumberdaya ikannya cukup memprihatinkan dan sudah melampaui potensi lestarinya (over fishing), termasuk perairan Laut Jawa. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pada perairan tersebut, terdapat kelompok ikan ikan demersal di Laut Jawa yang masih mungkin untuk dikembangkan eksploitasinya. Oleh karena itu, pada perairan yang kondisi pemanfaatan sumberdaya ikannya telah mendekati dan atau melampaui potensi lestarinya, maka perlu kiranya mendapatkan perlakuan khusus agar sumberdaya ikan yang ada tidak collapsed. 2.3 Pendekatan Bio-Ekonomi dalam Analisis Sumberdaya Perikanan Tangkap Nelayan dengan menggunakan perahu atau kapal dan sejumlah masukan hanya dapat secara langsung mengendalikan produksi upayanya (effort), sedangkan hasil tangkapannya (harvest) tidak dapat dikendalikan secara langsung. Hal ini disebabkan karena jumlah hasil tangkapan disamping tergantung pada tingkat upaya penangkapan juga akan ditentukan oleh besarnya sediaan (stock) 42

61 ikan. Untuk dapat merebut bagian yang lebih besar dari sediaan ikan yang tersedia, nelayan berusaha meningkatkan waktu penangkapannya dan lebih mengefisienkan teknologi penangkapannya. Peningkatan teknologi, dengan tujuan untuk efisiensi usaha penangkapan, antara lain dilakukan nelayan dengan cara: mengganti alat tangkapnya dengan yang lebih efisien, memperbesar ukuran kapal, menggunakan alat bantu untuk mendeteksi tingkat kelimpahan sediaan ikan ataupun alat bantu untuk mengumpulkan gerombolan ikan, dan lain-lainnya. Secara umum, dari sisi teknis produksi, peningkatan teknologi penangkapan ikan diharapkan akan meningkatkan efisiensi teknis penangkapan, sedangkan dari sisi ekonomi, peningkatan teknologi dapat menurunkan biaya penangkapan. Mengingat peningkatan teknologi penangkapan ikan akan berkaitan dengan masalah kelimpahan sumberdaya perikanan, produksi dan karateristik ekonominya, maka untuk penelitian ini digunakan pendekatan bio-ekonomi. Dengan tanpa menghilangkan hal-hal pokok, dipilih model bio-ekonomi statistik dari Schnute (1977) untuk digunakan dalam penelitian. Sebagaimana dimaklumi, hasil tangkapan nelayan (harvest) akan tergantung pada tingkat upaya penangkapan (effort) dan besarnya populasi atau sediaan ikan (fish stock), namun demikian meningkatnya upaya penangkapan tidak selalu meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Karena semakin banyak nelayan yang meningkatkan upaya penangkapannya, berdampak pada semakin sedikit populasi ikan yang tersedia. Hal ini ditunjukkan dengan ilustrasi pada Gambar 8. Pada tingkat upaya penangkapan yang tinggi (Y(E4)), ikan yang ditangkap secara lestari diperkirakan sama rendahnya dengan tingkat upaya penangkapan yang rendah pada populasi ikan yang banyak (Y(E0)). 43

62 Growth in the Fish Stock (tons) High effort level low harvests Medium effort level high harvests Low effort level low harvests Y(E 4 ) Y(E 3 ) Y(E 2 ) Y(E 1 ) Y(E 0 ) Fish Stock (tons) Gambar 8. Hubungan upaya penangkapan ikan dengan populasi ikan 2.4 Pendekatan Pengelolaan Perikanan Berbasis Resolusi Konflik Strategi pengelolaan perikanan tangkap yang cenderung tanpa batas dan lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi (economic based fisheries resource management), telah terbukti berakibat buruk terhadap kelangsungan pemanfaatan sumberdaya ikan. Dalam situasi pemanfaatan sumberdaya ikan yang serba tak terkendali, kelangkaan (scarcity) atau penipisan sumberdaya ikan terjadi. Kompleksitas dari kondisi yang demikian itu dapat menjadi faktor pemicu terjadinya konflik perikanan tangkap. Pengelolaan sumberdaya ikan pada hakekatnya adalah pengelolaan terhadap manusia yang memanfaaatkan ikan tersebut. Pengelolaan terhadap manusia adalah pengaturan tingkah laku mereka dalam hal pengelolaan sumberdaya. Alasan yang lebih rasional dan obyektif tentang perlunya sumberdaya perikanan yang lebih baik, kenyaataan bahwa persedian ikan di dunia makin berkurang. Hasil penelitian terakhir Food and Agricultural Organization (FAO) mengungkapkan bahwa produksi ikan dunia cenderung stabil atau meningkat dengan persentase yang kecil pertahun selama lima tahun terakhir. Produksi ikan dari kegiatan penangkapan ikan di laut justru menunjukkan gejala mulai menurun, yaitu dari 84,7 juta ton pada 1994 menjadi 84,1 juta ton pada Hal ini mengindikasikan pentingnya pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya untuk menjamin ketersedian ikan bagi kegiatan penangkapan. 44

63 Sumberdaya perikanan itu sangat penting dalam pembangunan perikanan berbasis sumberdaya (resources based development). Tanpa sumberdaya pembangunan perikanan tidak akan ada, jadi segala kegiatan yang berhubungan dengan pembangunana perikanan, jika sumberdayanya tidak tersedia maka kegiatan pembangunan itu akan sia-sia. Sukses tidaknya suatu pengelolaan sumberdaya sangat bergantung pada rezim atau sistem pengelolaan sumberdaya itu sendiri. Oleh karena itu hal yang lebih hakiki dalam upaya mengelola sumberdaya perikanan adalah memahami rezim yang berlaku. Berdasarkan dari rezim yang berlaku itulah rumusan strategi pengelolaan perikanan secara tepat dapat dilakukan. Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (PSPBM) dapat didefinisikan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanannya sendiri dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasinya. PSPBM menyangkut pula pemberian tanggung jawab ke masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan kehidupan mereka. Pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah mencakup semua tahapan dan komponen pengelolaan sumberdaya perikanan mulai dari pengumpulan informasi, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemanfaatan dan evaluasi dilakukan oleh pemerintah. Pengelolaan oleh pemerintah ini dilaksanakan lembaga atau instansi yang ada di tingkat pemerintahan pusat dan daerah. Co-management perikanan adalah rezim derivatif yang berasal dari rezim PSPBM dan rezim oleh pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah. Comanagement dapat didefinisikan sebagai pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dengan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan. Berdasarkan definisi ini maka masyarakat dan pemerintah bertanggung jawab bersama-sama dalam mengelola sumberdaya perikanan. Menurut Pameroy and Berkes (1997) terdapat sepuluh tingkatan atau bentuk co-management yang dapat disusun dari bentuk yang paling sedikit 45

64 partisipasi masyarakat hingga yang paling tinggi partisipasi masyarakat. Bila suatu tanggung jawab dan wewenang masyarakat rendah pada suatu bentuk comanagement maka tanggung jawab pemerintah akan tinggi. Sebaliknya bila tanggung jawab dan wewenang masyarakat tinggi, maka tanggung jawab dan wewenang pemerintah rendah. Kesepuluh bentuk co-management tersebut adalah: 1) Masyarakat hanya memberikanan informasi kepada pemerintah dan informasi tersebut digunakan sebagai bahan rumusan manajemen. 2) Masyarakat dikonsultasikan oleh pemerintah. 3) Masyarakat dan pemerintah saling bekerjasama. 4) Masyarakat dan pemerintah saling berkomunikasi. 5) Masyarakat dan pemerintah saling bertukar informasi. 6) Masyarakat dan pemerintah saling memberi nasehat dan saran. 7) Masyarakat dan pemerintah melakukan kegiatan atau aksi bersama. 8) Masyarakat dan pemerintah bermitra. 9) Masyarakat melakukan pengawasan terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah. 10) Masyarakat berperan dalam melakukan koordinasi antar lokasi atau antar daerah dan hal tersebut didukung oleh pemerintah. Selain hirarki co-managament seperti diatas, Nielsen and Sen (1996) sebelumnya mengajukan suatu hirarki lain yang lebih sederhana yang terdiri dari lima bentuk co-management. Kelima bentuk tersebut adalah 1) instruksi, 2) konsultasi, 3) koperasi, 4) pengarahan, dan 5) informasi. Penjelasan singkat tentang kelima bentuk co management ini adalah sebagai berikut. Pertama, co-management instruktif. Pada bentuk co-management ini, tidak banyak informasi yang saling ditukarkan di antara pemerintah dan nelayan. Tipe co-management ini hanya berbeda dari rezim pengelolaan oleh pemerintah dalam hal adanya sedikit dialog antara kedua pihak. Namun proses dialog yang terjadi bisa dipandang sebagai suatu ini, pemerintah menginformasikanan kepada nelayan tentang rumusan-rumusan pengelolaan sumberdaya perikanan yang pemerintah rencanakan untuk dilaksanakan. Kedua, co-management konsultatif. Bentuk co-management ini menempatkan masyarakat pada posisi yang hampir sama dengan pemerintah. 46

65 Dengan kata lain, masyarakat mendampingi pemerintah dalam menjalankan comanagement. Oleh karena itu, ada mekanisme yang membuat sehingga pemerintah berkonsultasi dengan masyarakat. Meskipun masyarakat bisa memberikan masukan tersebut kepada pemerintah, keputusan apakah masukan tersebut harus digunakan tergantung sepenuhnya pada pemerintah. Dengan kata lain, pemerintahlah yang berperan dalam perumusan pengelolaan sumberdaya perikanan, Bentuk ketiga adalah co-management kooperatif. Bentuk ini menempatkan masyarakat dan pemerintah pada posisi yang sama atau sederajat. Dengan demikian, semua tahapan manajemen sejak pengumpulan informasi, perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi dan pemantauan institusi co-management berada pada di pundak kedua pihak. Dengan kata lain, masyarakat dan nelayan adalah mitra yang sama kedudukannya. Keempat, bentuk co-management pendampingan atau advokasi. Pada bentuk co-management ini, peran masyarakat cenderung lebih besar dari peran pemerintah. Masyarakat memberi masukan kepada pemerintah untuk merumuskan suatu kebijakan. Lebih dari itu, masyarakat justru dapat mengajukan usul rancangan keputusan yang hanya tinggal dilegalisir oleh pemerintah. Kemudian, pemerintah mengambil keputusan serta menentukan sikap resminya berdasarkan usulan atau inisiatif masyarakat. Peran pemerintah lebih banyak bersifat mendampingi atau memberikan advokasi kepada masyarakat tentang apa yang sedang mereka kerjakan. Kelima, bentuk co-management informasi. Pada bentuk ini, di satu pihak peran pemerintah makin berkurang dan di pihak lain peran masyarakat lebih besar dibandingkan dengan empat bentuk co-management sebelumnya.dalam hal ini pemerintah hanya memberikan informasi kepada masyarakat tentang apa yang sepatutnya dikerjakan oleh masyarakat. Dalam kontribusi yang lebih nyata, pemerintah menetapkan delegasinya untuk bekerjasama dengan masyarakat dalam seluruh tahapan pengelolaan perikanan, sejak pengumpulan data, perumusan kebijakan, implementasi, serta pemantauan dan evaluasi. Hasil pekerjaan delegasi pemerintah dilaporkan atau diinformasikan yang bersangkutan kepada pemerintah. 47

66 2.5 Kerangka Pemikiran Konflik muncul ketika keinginan (interest) dari dua atau lebih kelompok berbenturan atau berbeda dan sekurang-kurangnya sekelompok dari pihak yang terlibat berupaya memaksakan keinginan kelompoknya pada kelompok lain. Konflik dapat dipandang sebagai sebuah fenomena sosial yang muncul sebagai dampak dari perubahan yang tiba-tiba atau gradual yang memunculkan perbedaan kepentingan atau keinginan diantara kelompok masyarakat. Bennett dan Neiland (2000) menyatakan bahwa konflik sifatnya multidimensional dan umumnya melibatkan berbagai pihak dalam suatu hubungan yang kompleks. Lebih lanjut disebutkan bahwa terdapat tiga dimensi yang memicu terjadinya konflik, yaitu aktor, ketersediaan sumberdaya dan dimensi lingkungan. Dengan mempelajari berbagai penyebab konflik, maka dapat diketahui tipologi konfliknya. Salah satu aspek dalam tipologi konflik dapat dideskripsikan apakah konflik yang terjadi tergolong dalam konflik tertutup (latent), mencuat (emerging) atau terbuka (manifest). Pengelolaan konflik adalah upaya menyelesaikan konflik yang muncul di kalangan masyarakat. Bennett dan Neiland (2000) menyatakan metoda resolusi konflik umumnya bersifat spesifik. Dalam artian walaupun dikenal berbagai metoda untuk menyelesaikan konflik, tetapi tidak seluruh metoda cocok untuk menyelesaikan konflik tertentu. Resolusi konflik dapat ditempuh dengan menggunakan dua pendekatan yaitu melalui pengadilan (litigasi) atau pendekatan alternatif yang lebih dikenal sebagai alternative dispute resolution (ADR). Resolusi konflik yang efektif diharapkan akan berdampak positif. Hal ini disebabkan karena tidak semua konflik selalu berdampak negatif. Konflik yang berdampak positif dibutuhkan dalam tahap perkembangan kearah yang lebih baik. Dalam hal ini konflik justru mampu mempererat masyarakat dan pada akhirnya akan menciptakan alokasi sumberdaya yang lebih adil. Dengan demikian melalui resolusi konflik yang tepat akan tercipta kondisi positif pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, mendorong partisipasi masyarakat, terciptanya keadilan (equity) antar kelompok masyarakat, serta mengembangkan stabilitas sosial. 48

67 Agar proses resolusi konflik berlangsung dengan baik, Rijsberman (2000) menyatakan ada dua prekondisi yang harus disiapkan. Prekondisi yang pertama adalah lingkungan hukum atau kebijakan yang menunjang. Prekondisi yang kedua adalah adanya keseimbangan kekuatan diantara stakeholder yang terlibat dalam konflik. Dengan memperhatikan tipologi konflik serta alternatif resolusi konflik yang tepat maka disusunlah strategi pengelolaan konflik. Penyusunan strategi tersebut memperhatikan hukum dan kebijakan yang ada serta keseimbangan kekuatan dari stakeholder. Dalam strategi pengelolaan konflik tersebut tertuang pula bentuk kelembagaan yang tepat untuk mengatasi konflik perikanan tangkap. Uraian diatas secara ringkas dapat dituangkan dalam kerangka pemikiran seperti pada Gambar 9. 49

68 FAKTOR PENYEBAB KONFLIK (Bennett dan Neiland 2000) TEKNIK PENGELOLAAN KONFLIK (Priscoli 2002) AKTOR a. Latar belakang etnik b. Kemampuan c. Tata nilai yang dianut (Bradford and Stringfellow 2001) KONDISI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP (Schaefer 1955) TIPOLOGI KONFLIK a. Jurisdiksi b. Manajemen pengelolaan c. Alokasi internal d. Alokasi eksternal Charles (1992) ANALISIS EFEKTIVITAS RESOLUSI KONFLIK PENDEKATAN RESOLUSI KONFLIK 1. Aktor 2. Stakeholder 3. Sumberdaya (Bennett dan Neiland 2000) 1. Negosiasi 2. Konsiliasi 3. Fasilitasi 4. Mediasi 5. Arbitrasi 6. Negosiasi peranan/ peraturan 1. Litigasi 2. Konfrontasi KONDISI LINGKUNGAN PREKONDISI: a. Hukum dan kebijakan b. Keseimbangan kekuatan RANCANGAN MODEL PROSES PENGELOLAAN KONFLIK PERIKANAN TANGKAP MODEL PROSES PENGELOLAAN KONFLIK PERIKANAN TANGKAP EXPECTED OUTCOME Pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab : 1. Peningkatan partisipasi 2. Pelestarian SDPT 3. Menjamin keadilan Gambar 9. Kerangka pemikiran studi keefektivan resolusi konflik

69 2.6 Hipotesis Berdasarkan pendekatan teoritis studi analisis konflik yang telah diterangkan sebelumnya maka hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah : Hipotesis 1 : Kemampuan stakeholder dalam menganalisis dan memetakan penyebab konflik berpengaruh terhadap pemilihan teknik resolusi konflik yang tepat Hipotesis 2 : Teknik resolusi konflik yang efektif mendukung pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab. Hipotesis 2, akan diuji melalui sub hipotesis : Teknik resolusi konflik yang efektif berpengaruh terhadap pemahaman masyarakat tentang pentingnya pelestarian perikanan tangkap. Teknik resolusi konflik yang efektif berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab. Teknik resolusi konflik yang efektif berpengaruh terhadap keadilan dalam pemanfaatan perikanan tangkap. 51

70 3 METODOLOGI UMUM 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di tiga kabupaten, yaitu Trenggalek, Malang dan Tulungagung, Provinsi Jawa Timur. Provinsi ini dipilih karena memiliki potensi perikanan tangkap yang cukup besar, yaitu Samudera Hindia di Selatan Jawa Timur, wilayah pantainya meliputi Pantai Utara dan Selatan. Salah satu kabupaten di wilayah ini (Kabupaten Trenggalek), memiliki Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan (Co Fish Project). Proyek ini didanai melalui Loan-ADB NOS. 1570/1571 (SF)-INO dan merupakan proyek yang bersifat co-management. Aktivitas proyek dirancang sedemikian rupa sehingga meliputi segenap aspek pembangunan masyarakat pantai, baik aspek ekologis maupun aspek sumberdaya manusia termasuk kedalamnya penanganan konflik. Dua kabupaten lainnya dipilih karena keduanya berada di Perairan Selatan Jawa Timur tetapi bukan merupakan lokasi proyek. Dengan menggunakan tiga kabupaten ini, maka diharapkan diperoleh informasi yang lebih lengkap mengenai tipologi konflik dan teknik resolusi konflik diberbagai wilayah. Penelitian secara spesifik diarahkan pada satu wilayah kecamatan di setiap kabupaten. Setiap kecamatan terpilih memiliki wilayah pesisir yang berlokasi di teluk. Selain itu komposisi alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan di tiga wilayah ini relatif sama. Kabupaten Trenggalek diwakili oleh kecamatan Watulimo. Kecamatan ini meliputi wilayah Teluk Prigi. Teluk Segarawedi (Prigi) adalah wilayah pesisir pantai dari Kecamatan Watulimo. Komposisi nelayan terdiri dari nelayan lokal dan nelayan pendatang (andon). Nelayan pendatang berasal dari etnis Madura dan Bugis. Selain sebagai daerah nelayan, pantai Prigi juga merupakan daerah wisata. Kabupaten Malang diwakili oleh kecamatan Sumbermanjing Wetan yang memiliki wilayah pantai terletak di Teluk Sendang Biru. Komposisi nelayan terdiri dari nelayan lokal dan nelayan pendatang (andon). Nelayan pendatang berasal dari etnis Madura dan Bugis. Wilayah ini memiliki sumberdaya perikanan tangkap yang cukup potensial. Selain sebagai daerah nelayan, pantai Sendang Biru juga merupakan daerah wisata.

71 Kabupaten Tulungagung diwakili oleh kecamatan Besuki yang memiliki wilayah pantai yang terletak di Teluk Popoh. Komposisi nelayan terdiri dari nelayan lokal dan nelayan pendatang (andon). Nelayan pendatang berasal dari etnis Madura dan Bugis. Selain sebagai daerah nelayan, Pantai Popoh memiliki fasilitas rekreasi, sebagai akibatnya aktivitas nelayan di wilayah ini bercampur dengan kegiatan pariwisata. Dari sudut ini, kegiatan para nelayan seringkali dirasa mengganggu kegiatan pariwisata terutama pada saat musim ikan 3.2 Responden Responden penelitian adalah stakeholders (pemangku kepentingan) utama yang berpengaruh atau mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap konflik dan resolusi konflik. Pada setiap lokasi, responden dipilih secara purposive dengan mempertimbangkan partisipasi yang bersangkutan dalam konflik dan resolusi konflik, yaitu penduduk yang telah matang dalam mengambil keputusan dan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Penentuan responden untuk setiap lokasi penelitian dilakukan bersamasama dengan aparat pembina perikanan tangkap di daerah. Penentuan jumlah responden dalam penelitian ini memang tidak mengikuti pola penentuan contoh pengambilan sampel penelitian sosial ekonomi yang dikembangkan Fauzi (2001). Akan tetapi, bukan berarti responden yang diambil tidak menggambarkan populasi yang terdapat di wilayah studi. Karena responden yang diambil dalam penelitian ini merupakan representasi dari segenap komponen pemangku kepentingan (kelompok) yang terlibat dalam proses resolusi konflik perikanan tangkap. Dalam hal ini, tidak semua anggota kelompok terlibat dalam proses resolusi konflik, melainkan hanya ketua kelompok saja. Dalam penelitian ini, jumlah responden untuk setiap lokasi penelitian adalah Teluk Sendang Biru (21) yaitu kelompok payang, kelompok sekoci, kelompok pengambek, kelompok nelayan andon, kelompok pemindang, KUD Mina Jaya, LEPM3, aparat desa, Polri/Polairud, Pos TNI AL, Perhutani/wisata, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur dan BPPI Pondokdadap. Teluk Popoh (10) yaitu kelompok payang, kelompok nelayan andon, kelompok purse seine, kelompok gillnet, aparat 53

72 desa, pengelola wisata, Dinas Kelautan dan Perikanan Tulungagung dan Teluk Prigi (29) yaitu kelompok payang, kelompok gillnet, kelompok nelayan andon, kelompok purse seine, kelompok pengolah, kelompok pancing, kelompok jaring tarik, bakul, HNSI, Polri?Polairud, Pos TNI AL, pengelola wisata, Co Fish, Camat, Kelompok Pengawase Masyarakat, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Trenggalek, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur dan Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi). 3.3 Pengumpulan Data Pengumpulan data primer (tipologi konflik) dilakukan dengan pendekatan PISCES (participatory institutional survei and conflict evaluation exercise) yang dikembangkan oleh Bennett (2003). PISCES terdiri dari empat bagian, yaitu: 1) participatory geographic information exercise (PGIE), 2) time lines, 3) institutional wheels dan 4) semi structured interview (SSI). Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai sumber (instansi) yang terkait dengan lokasi penelitian, yang digunakan untuk menilai kondisi sumberdaya perikanan di lokasi penelitian dalam sepuluh tahun terakhir. Data sekunder yang dikumpulkan antara lain: 1) Produksi dan nilai produksi perikanan tangkap per tahun per jenis ikan 2) Produksi dan nilai produksi perikanan laut hasil tangkapan per tahun per jenis alat tangkap. 3) Produksi ikan laut hasil tangkapan per tahun per jenis alat tangkap per trip 4) Jumlah nelayan per tahun per alat tangkap 5) Jumlah bakul per tahun 6) Biaya operasi penangkapan per trip per tahun per alat tangkap 7) Jumlah alat tangkap ikan per tahun Berdasarkan hasil studi tipologi konflik kemudian disusun structure instrument (angket) yang digunakan untuk survei. Jumlah angket disesuaikan dengan banyaknya jenis konflik yang terdapat di lokasi penelitian. Angket tersebut berisikan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali penyebab konflik, teknik resolusi yang digunakan dan outcome menurut persepsi responden. Data 54

73 yang diperoleh dari angket tersebut selanjutnya digunakan sebagai input untuk analisis PCA dan SEM. 3.4 Variabel Penelitian Variabel penelitian terdiri dari empat kelompok yaitu variabel penyebab konflik (KONF), variable jenis konflik, variabel teknik resolusi konflik (RESO) dan variabel outcome (OUTC). Untuk kepentingan analisis data variabel penelitian dipilih yang merupakan variabel umum (generik) yang berlaku di setiap lokasi penelitian. Focus Group Discussion dilakukan bersama stakeholders konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian dan berhasil diidentifikasi sebelas komponen variabel penyebab konflik, yaitu : 1) Banyak sedikitnya pihak yang terlibat dalam konflik (PART). 2) Keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD). 3) Keberadaan pihak yang bertolak belakang (OPOS). 4) Isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU). 5) Jumlah nelayan (POPU). 6) Latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT). 7) Adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE). 8) Kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP). 9) Persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK). 10) Kondisi perekonomian masyarakat (EKON). 11) Keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS). Variabel jenis konflik (terdiri dari sembilan jenis konflik yang berhasil diidentifikasi di lokasi penelitian, yaitu : 1) Konflik retribusi (RETR) 2) Konflik tambat labuh (TAMB) 3) Konflik daerah tangkap (DAET) 4) Konflik perbedaan alat tangkap (ALTA) 5) Konflik penggunaan potas/obat-obatan (POTA) 6) Konflik bagi hasil (BAGH) 7) Konflik nelayan lokal vs andon (LOKA) 8) Konflik pengolahan limbah (PENL), dan 55

74 9) Konflik perusakan terumbu karang (PERK). Variabel teknik resolusi konflik (RESO) yang digunakan di lokasi penelitian, yaitu: 1) Fasilitasi (RESO 1 dan RESO 2) 2) Negosiasi (RESO 3 dan RESO 4) 3) Mediasi (RESO 5 dan RESO 6) 4) Avoidance (RESO 7 dan RESO 8). Variabel outcome (OUTC) yang digunakan adalah: 1) Pemahaman pengelolaan PT yang berkelanjutan (SUST) 2) Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan PT (PARS) 3) Pengelolaan sumberdaya PT yang berkeadilan (EQUI). 3.5 Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan dengan tahapan yaitu : 1) Pengecekan kelengkapan pengisian kuesioner 2) Membuat tabulasi data 3.6 Analisis Data Penelitian menggunakan skema analisis Charles (1992) dan Losa et al. (2002). Kedua pakar tersebut membagi analisis konflik kedalam dua tahap, yaitu tahap penggambaran tipologi konflik (description step) dan tahap penyusunan alternatif resolusi konflik (prescription step). Setelah kedua tahap ini dilakukan proses berikutnya adalah memetakan konflik dan resolusinya dengan tujuan mendapatkan metoda resolusi yang terbaik. Penelitian ini menggunakan statistik deskriptif untuk menganalisis jenis konflik, penyebab terjadinya serta resolusi konflik. Selanjutnya efektivitas resolusi konflik dianalisis dengan principle component analysis (PCA) dan structural equation model (SEM). Analisis SEM digunakan untuk mengkonfirmasi hasil analisis PCA yang telah dilakukan sebelumnya. Losa et al. (2002) dan Bengen (1998) menyebutkan resolusi konflik dinilai sesuai dan efektif jika jenis konflik, penyebab konflik dan alternatif resolusi konflik terletak pada bidang yang sama (kuadran yang sama). Estimasi parameter biologi di lokasi 56

75 penelitian dianalisis dengan menggunakan model Schaefer (1954) dan optimasi model Schnute (1977), Model pengelolaan konflik perikanan tangkap didesain berdasarkan efektifitas dan outcome dari metode resolusi yang didapatkan dari hasil analisis, pengalaman-pengalaman dari lokasi lain dalam pengelolaan konflik perikanan tangkap, ditambah dengan mempertimbangkan prekondisi pengelolaan konflik, yaitu terdapatnya hukum/aturan dan kebijakan dan keseimbangan kekuatan diantara pihak yang berkonflik. Untuk keperluan analisis data digunakan soft ware Statistica versi ke 6 dan SPSS versi 13. Secara skematis, prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar

76 Gambar 10. Bagan alir proses penelitian keefektivan pengelolaan konflik pada perikanan tangkap di perairan selatan Jawa Timur 58

77 4 TIPOLOGI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP ABSTRACT The aim of this study is to describe the types of conflict typology, implemented efforts and effective conflict management to capture fisheries. PISCES method is used to describe conflicts. Research was conducted to identify nine types of conflicts of capture fisheries namely: 1) conflict on fee imposition 2) conflict on anchoring/landing port, 3) conflict on fight for fishing ground, 4) conflict on capture tool discrepancy, 5) conflict of the use on potassium/chemical substances 6) conflict on fishing harvest division 7) conflict between local fishers and migrant fishers 8) conflict of environmental pollution and 9) conflict on coral reef destruction. The conflicts on capture fisheries were caused by one or combination of the following 11 factors namely 1) the number of people involved in conflict 2) the presence of community leaders in conflict, 3) the position of opposing sides 4) issues among the community 5) the local economic condition 6) the number of fishers 7) socio-cultural background 8) regulations and law enforcement 9) special community interests 10) competition in the use of resources and 11) perception of the people towards resources. The conflicts in research locations is generally internal allocation conflicts (20 cases) followed by external allocation ones (4 cases) and mechanism of conflict management (3 cases), whereas, jurisdiction conflicts are not found in research areas. All conflicts were resolved by the alternative dispute resolution method (ADR), namely: facilitation, negotiation, mediation and avoidance Key words: PISCES, conflict typology, capture fisheries. 4.1 Pendahuluan Konflik perikanan tangkap secara umum terkait dengan pemanfaatan sumberdaya ikan yang sudah tergolong langka. Kelangkaan dimaksud terkait dengan masalah produksi, yaitu semakin sedikitnya ikan yang dapat ditangkap oleh nelayan (not enough fish). Pada umumnya, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dalah kelompok nelayan tradisional. Keragaman jenis konflik perikanan tangkap banyak disebabkan oleh keragaman persepsi nelayan tentang pengelolaan sumberdaya ikan. Berbagai jenis konflik yang sering terjadi dalam pengelolaan perikanan tangkap adalah konflik yang timbul karena pemahaman yang keliru mengenai batas-batas perairan setelah diberlakukannya otonomi daerah, daerah/lokasi penangkapan, perbedaan kualitas dan kapasitas peralatan tangkap

78 antar kelompok nelayan, pelanggaran batas wilayah perairan, serta pelanggaran hak ulayat laut masyarakat lokal. Untuk menyelesaikan konflik telah banyak upaya yang dilakukan, namun sampai sejauh ini hasilnya masih kurang memuaskan. Hal itu disebabkan antara lain : 1) belum dikenalinya tipologi konflik yang terjadi, 2) belum tepatnya teknik resolusi konflik yang digunakan, 3) pengelolaan konflik umumnya masih dilakukan secara parsial dan bersifat ad hoc, 4) proses resolusi konflik belum dilakukan dengan benar, dan 5) kesepakatan yang dihasilkan belum mengikutsertakan seluruh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan. Hal ini mengakibatkan pengelolaan konflik belum menyentuh akar/pokok konflik, tetapi hanya merubah konflik yang terbuka menjadi konflik laten yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali. Obserschall (1973) mengatakan bahwa tanpa memiliki pemahaman tentang tipologi konflik, maka akan sulit untuk memberikan resolusi konflik yang efektif. Pemahaman terhadap tipologi konflik akan memberikan manfaat yang signifikan dalam memprediksi outcome dari konflik. Charles (1992) telah membangun tipologi konflik perikanan dengan membedakan konflik perikanan berdasarkan sejumlah kriteria, yaitu: yurisdiksi, mekanisme pengelolaan, alokasi internal, dan alokasi eksternal. Demikian pula Warner dan Jones (1998) juga telah mengelompokkan konflik ke dalam intra micro-micro conflicts, inter micro-micro conflicts dan micro-macro conflicts. Sithole and Bradley (1995) mengkategorikan konflik menurut pelakupelakunya, yaitu konflik yang timbul antara negara dengan lembaga yang diberi kewenangan untuk mengelola sumberdaya, atau konflik antar pengguna sumberdaya perikanan. Bukti-bukti empirik tersebut menunjukkan pentingnya untuk melakukan pemetaan atau membuat tipologi konflik sebelum mengajukan alternatif pengelolaan konflik yang efektif dan dapat diterima oleh semua pihak yang berkonflik. Identifikasi menyeluruh tentang pihak-pihak yang mempunyai kepentingan sangat penting guna menyusun model resolusi konflik perikanan tangkap yang efektif secara sistematis dan berkelanjutan. Pendekatan yang baik 60

79 untuk menyusun rencana pengelolaan konflik adalah dengan mengajak pihakpihak yang berkepentingan berpartisipasi dalam mengembangkan pemahaman yang sama terhadap suatu masalah/konflik, dinamikanya dan pengaruhnya di masyarakat sehingga akan lebih mampu menginterpretasikan konflik yang ada, mengenali tanda tanda meningkatnya konflik dan memperkirakan dampak konflik tersebut. Dengan memiliki ketrampilan untuk mengelola konflik, seperti memetakan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, menyusun strategi untuk menyeimbangkan kekuatan, merefleksikan sikap yang dimiliki ketika menghadapi konflik, sampai pada pilihan teknik resolusi konflik, diharapkan akan dicapai resolusi konflik yang menyeluruh, dimana keputusan atau kesepakatan yang diambil dari pihak-pihak tersebut dapat berjalan lancar dan sesuai dengan keinginan pihak-pihak yang terkait (Anonimous, 2002). Kemungkinan adanya resolusi terhadap konflik akan meningkatkan hubungan di antara mereka dan secara otomatis jalan keluar yang diambil akan menjadi pendorong mereka untuk berperilaku menghindari konflik, dan atau memelihara komitmen yang sudah ada. Berdasarkan uraian diatas maka dirumuskan masalah penelitian (research problems) sebagai berikut : 1) Bagaimana tipologi konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian? 2) Bagaimana upaya-upaya pengelolaan konflik perikanan tangkap yang telah dilakukan di lokasi penelitian? 4.2 Metode Pengumpulan data Pengumpulan data tipologi konflik dilakukan dengan pendekatan PISCES (participatory institutional survey and conflict evaluation exercise) yaitu : 1) Participatory geographic information exercise (PGIE) Metode ini menggunakan spot mapping atau sketch mapping untuk memperoleh informasi dasar keadaan geografis wilayah yang digambarkan dalam bentuk peta transek. PGIE sangat cocok digunakan untuk menggambarkan wilayah penelitian yang relatif sempit (misalnya desa), sementara informasi yang digambarkan dalam PGIE ini dapat berupa letak perumahan, wilayah perikanan, 61

80 jalan sungai dan lain-lain, serta informasi tambahan yang dipadang perlu untuk membantu menjelaskan konflik yang terjadi. 2) Time lines Metoda ini untuk mengumpulkan data perkembangan perikanan tangkap yang terkait dengan konflik yang pernah terjadi dimasa lalu dan disusun berdasarkan waktu kejadiannya, antara lain perubahan teknologi alat tangkap, implementasi suatu peraturan, waktu terjadinya konflik serta isu-isu lain. 3) Institutional wheels Metoda ini untuk menggambarkan pola hubungan antar kelompok. Metoda ini sangat bermanfaat dalam mengidentifikasi konflik yang muncul antar kelompok. Selain itu dalam institutional wheel dapat digambarkan peranan kelompok dan organisasi, pengaruh masing-masing pihak yang terkait terhadap pihak yang lain, serta dampak hubungan tersebut baik yang bersifat positif maupun negatif. 4) Semi structured interview (SSI) Informasi dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang ditujukan untuk mengetahui jenis konflik, faktor-faktor penyebab konflik, serta teknik resolusi konflik yang dinilai efektif menurut persepsi responden Variabel penelitian Variabel yang digunakan untuk memetakan tipologi konflik sesuai dengan Charles (1992), yaitu terdiri dari : 1) Konflik jurisdiksi, 2) Konflik mekanisme pengelolaan, 3) Konflik alokasi internal dan 4) Konflik alokasi eksternal Analisis data Analisis penyebab konflik dilakukan secara deskriptif dengan pendekatan Bennett dan Neilland (2000) serta Bennett at al. (2003). Setelah tipologi konflik diidentifikasi, selanjutnya dilakukan pemetaan alternatif resolusi konflik, baik yang bersifat litigasi maupun alternative dispute resolution (ADR). Proses pemetaan dilakukan dengan menanyakan kepada responden pendekatan resolusi 62

81 konflik mana yang paling sesuai untuk mengatasi konflik tertentu dari berbagai alternatif resolusi konflik yang ditawarkan. 4.3 Hasil Teluk Prigi Kondisi umum lokasi Kabupaten Trenggalek terletak dan Bujur Timur antara dan Lintang Selatan, dengan batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tulungagung dan Ponorogo Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tulungagung Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, dan Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Ponorogo dan Pacitan Luas wilayah Kabupaten Trenggalek Ha terdiri dari 60 persen pegunungan dan 40 persen bagian dataran rendah. Wilayah darat seluas Ha terdiri dari lahan pemajekan seluas ,70 Ha (51,46 persen) dan lahan perhutani ,30 Ha (48,54 persen ) yang terdiri dari hutan produksi ,30 Ha dan hutan lindung Ha. Berdasarkan pembagian wilayah administrasinya Kabupaten Trenggalek terbagi menjadi 14 wilayah kecamatan yaitu kecamatan: Trenggalek, Durenan, Pogalan, Bendungan, Karangan, Tugu, Pule, Kampak, Gandusari, Watulimo, Panggul, Dongko, Munjungan, dan Suruh. Keempatbelas wilayah kecamatan tersebut terbagi lagi menjadi 5 kelurahan, 152 desa, dan 544 dusun. Pada dataran rendah mengalir sungai-sungai dari batas Utara dan Selatan menuju ke bagian Timur dari Kabupaten Trenggalek terus ke arah Kabupaten Tulungagung. Sungai-sungai tersebut berfungsi sebagai pengairan, pertanian dan untuk mengairi kolam-kolam milik masyarakat Sungai yang mengairi wilayah kabupaten Trenggalek pada musim hujan sering menimbulkan bencana alam (banjir) pada daerah yang dilaluinya, sehingga pada musim kemarau debit air relatif kecil. Adapun sungai-sungai yang terdapat di Kabupaten Trenggalek adalah sebagai berikut : 63

82 1) Sungai Ngasinan dengan anak sungai kali Pinggir, kali Ngepeh, kali Jati, kali Milir, kali Tawing, kali Klitik, kali Sukun, kali Bagong, kali Prambon yang bermu ara di kali Brantas. 2) Kali Ngemplak bermuara di Teluk Prigi Kecamatan Watulimo 3) Kali Tumpak Nongko bermuara di Teluk Munjungan 4) Kali Bugelan di Teluk Ngadipuro Kecamatan Munjungan 5) Kali Panggul, Kali Konang bermuara di Teluk Konang Kecamatan Panggul. Panjang pantai Selatan Kabupaten Trenggalek kurang lebih 96 km dimana sebagian besar pantainya berbentuk teluk yang terdiri dari Teluk Panggul, Teluk Munjungan dan yang paling besar adalah Teluk Prigi. Luas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Kabupaten Trenggalek adalah km 2 yang merupakan wilayah perairan laut yang bisa dieksploitasi walaupun belum optimal. Topografi daerah Prigi berbukit dengan lereng terjal yang memungkinkan terjadinya erosi melalui sungai yang bermuara melalui pada kedua sisi teluk (Pancer). Penggundulan hutan penyangga dari aktivitas Gopla mempercepat aliran sedimentasi sebagian besar terumbu karang yang sudah mulai rusak karena pengambilan untuk kebutuhan rumah dan pariwisata. Teluk Panggul tidak tertalu lebar, didalamnya terdapat karang-karang dengan dasar yang berlumpur campur pasir serta mempunyai kedalaman sekitar 8 sampai 40 meter. Sekitar pantai terdapat tanaman hutan dan sebagian kecil telah dihuni penduduk yaitu disekitar Teluk Konang. Teluk Munjungan mempunyai banyak tebing yang curam dan berbatu karang, dengan dasar berupa pasir serta mempunyai kedalaman 10 sampai 15 meter. Sekitar pantai masih banyak terdapat hutan, sebagian kecil penduduk berdiam di Dukuh Ngadipuro. Teluk Prigi merupakan teluk yang paling besar. Teluk ini mempunyai tiga pantai yaitu Pantai Damas di desa Karangandu, Pantai Ngresep di desa Tasikmadu dan Desa Prigi, Pantai Karanggongso termasuk pantai pasir putih terletak di Dusun Karanggongso Desa Tasikmadu. Pesisir Prigi merupakan kawasan datar sempit yang dikelilingi oleh bukit-bukit, sisi pesisirnya tertutup oleh vegetasi dengan baik. Namun kira-kira 60 persen kawasan bukit tersebut sudah gundul. 64

83 Teluk Prigi dibagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan wisata dan kawasan kegiatan perikanan sebagai Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang berlokasi di Desa Tasikmadu. Di teluk ini juga terdapat fasilitas Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi, Perum. Prasarana Perikanan Samudera, Balai Benih Udang Galah dan hampir sepanjang pantai dihuni oleh penduduk. Gambaran umum tata letak perumahan, wilayah perikanan, jalan sungai dan lain-lain, serta informasi lain yang dapat menjelaskan konflik yang terjadi di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar

84 Gambar 11. Sketsa lokasi penelitian di Teluk Prigi 66 50

85 Kegiatan perikanan tangkap Kegiatan perikanan tangkap di wilayah Teluk Prigi termasuk aktivitas ekonomi yang menjadi mata pencaharian utama bagi masyarakat pesisir di wilayah tersebut. Daerah tangkapan ikan (fishing ground) perikanan tangkap nelayan meliputi kawasan Teluk Prigi dan disekitar perairan Teluk Prigi dan Blitar. Musim ikan di Kabupaten Trenggalek terjadi pada bulan April sampai dengan bulan Oktober dan puncaknya pada bulan Juni hingga bulan Agustus. Bulan November sampai dengan bulan Maret merupakan musim paceklik dengan adanya hujan dan angin kecang. Kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan selama ini masih terkonsentrasi disekitar pantai. Teluk Prigi dibagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan wisata dan pelabuhan pendaratan ikan. Pesisir Prigi merupakan kawasan sempit yang dikelilingi oleh bukit-bukit, sisi pesisirnya tertutup oleh vegetasi dengan baik.kegiatan perikanan tangkap di wilayah ini didukung oleh adanya Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) yaitu PPN Prigi dan Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Co Fish Kabupaten Trenggalek. Proyek Co Fish merupakan proyek yang bertujuan untuk mengembangkan manajemen sumberdaya perikanan dan mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir di lokasi proyek. Proyek ini diselenggarakan selama enam tahun oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan dengan bantuan finansial dari Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank-ADB). Proyek Co Fish ini memiliki empat komponen, yaitu : manajemen sumberdaya perikanan pesisir, pembangunan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan, perbaikan lingkungan pusat-pusat pendaratan ikan berskala kecil dan penguatan kelembagaan. Dari ke empat komponen tersebut, penguatan kelembagaan mempunyai kontribusi yang sangat penting dalam perkembangan pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Prigi dengan dibentuknya kelompok Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Komunitas (PSBK). Kelompok PSBK telah dibentuk sejak awal proyek Co Fish. Pembentukan PSBK bertujuan untuk melibatkan peran aktif dari masyarakat dalam mengelola sumberdaya yang ada dan untuk memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan penggunaan sumberdaya secara bersama. Kelompok PSBK yang telah dibentuk diberikan 67

86 bekal yang cukup tentang bagaimana mengelola PSBK dengan baik, menyusun mekanisme kerja organisasi dan tidak kalah pentingnya bagaimana memecahkan permasalahan-permasalahan pengelolaan sumberdaya yang timbul. Dalam periode 1998/1999 hingga 2003 kelompok PSBK telah berperan sebagai penggerak utama terhadap perubahan yang terjadi di Prigi. Perubahan yang terjadi seperti kondisi demografi, kelembagaan, ekonomi, dan masalah sosialbudaya. Mayoritas penduduk di sekitar Teluk Prigi bermatapencaharian sebagai nelayan. Jenis usaha yang dilakukan oleh penduduk setempat adalah usaha penangkapan ikan dan pengolahan ikan. Pekerjaan melaut ini dilakukan oleh para penduduk laki-laki. Sedangkan penduduk wanita membantu dalam usaha pengolahan dan pemasaran. Pengolahan ikan ini meliputi pengeringan, pemindangan dan pengasinan. Selain agar mutu ikan dapat terjaga dan bertahan lebih lama, pengolahan ikan ini juga bertujuan untuk meningkatkan nilai jual dari ikan tersebut. Berdasarkan informasi yang diperoleh perkembangan perikanan tangkap di Teluk Prigi dapat dikelompokkan ke dalam empat periode,yaitu ; ; dan 2000 sampai sekarang. Pada periode perkembangan perikanan tangkap ditandai dengan diperkenalkannya alat tangkap dan jaring tarik (pukat pantai) payang oleh nelayan dari Pasuruan dan Banyuwangi. Pada waktu itu nelayan pancing menggunakan lampu dalam operasi penangkapan ikan. Pada periode ini juga diintroduksi bagan tancap oleh nelayan dari Bugis. Penggunaan bagan tancap berlangsung selama lima tahun sebelum akhirnya dihapuskan pada tahun 1975, dan diganti dengan alat tangkap purse seine. Dalam aspek kelembagaan pada periode ini juga telah dibentuk Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) yang ikut berperan dalam pengelolaan perikanan tangkap. Konflik yang terjadi pada periode ini adalah nelayan andon dari Bugis vs nelayan lokal, yang diselesaikan di tingkat desa dan kecamatan Pada periode perkembangan alat tangkap ditandai dengan diperkenalkannya trammel net, rawai dan gillnet. Konflik yang terjadi pada 68

87 periode ini adalah konflik potas oleh nelayan andon dari Banyuwangi vs nelayan lokal. Periode perkembangan alat tangkap ditandai dengan diperkenalkannya rumpon sebagai alat bantu operasi penangkapan ikan. Perkembangan penggunaan alat tangkap ternyata juga berimplikasi pada semakin meningkatnya frekuensi konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian. Pada periode ini terjadi konflik, konflik kompresor nelayan lokal vs nelayan andon dari Blitar, konflik daerah tangkap nelayan payang, purse seine vs nelayan jaring tarik dan konflik fishing ground nelayan pancing lokal vs nelayan andon. Tahun 1998, di lokasi ini dimulai pelaksanaan Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan (Co-Fish). Proyek ini banyak berperan dalam penguatan kelembagaan perikanan tangkap. Frekuensi terjadinya konflik perikanan tangkap pada periode menunjukkan peningkatan yang semakin tinggi, tercatat sebanyak enam kasus konflik yaitu konflik fishing ground nelayan pancing lokal vs nelayan andon Pasuruan, konflik nelayan andon dari Pasuruan vs nelayan lokal, konflik nelayan purse seine vs nelayan pancing rumpon, konflik nelayan purse seine vs nelayan payang lampu (oncoran), konflik pengolah ikan vs pengelola wisata, konflik perusakan terumbu karang oleh masyarakat dan Konflik bagi hasil ABK vs juragan purse seine. Pada periode ini Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan membentuk kelompok-kelompok nelayan yang merupakan bagian dari pengelolaan perikanan berbasis komunitas (PSBK). Perkembangan perikanan tangkap di Teluk Prigi periode dapat dilihat pada Gambar

88 70 Gambar 12. Perkembangan perikanan tangkap dan konflik yang terjadi di Teluk Prigi 63

89 Secara umum jumlah alat tangkap di Teluk Prigi cenderung tetap. Penurunan alat tangkap mulai terjadi pada periode dengan jumlah alat tangkap sebanyak 407 unit. Alat tangkap mengalami peningkatan cukup tinggi terjadi pada tahun 2001 yaitu sebanyak 1385 unit. Alat tangkap yang dioperasikan tidak hanya dimiliki oleh nelayan lokal namun juga nelayan pendatang (andon). Dalam tahun kepemilikan terbanyak adalah nelayan lokal. Komposisi alat tangkap yang dioperasikan di Teluk Prigi terdiri dari purse seine payang, jaring insang hanyut (gillnet), pancing, pukat pantai, bagan apung trammel net dan pancing biasa. Alat tangkap yang dominan di Teluk Prigi adalah pancing (362 unit), pancing biasa (195 unit) dan purse seine (118 unit). Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Trenggalek dapat dilihat pada Gambar Jumlah (Unit) Tahun Alat tangkap Gambar 13. Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Trenggalek periode Jumlah ikan yang didaratkan di Kabupaten Trenggalek pada periode menunjukkan produksi yang tetap, yaitu berkisar antara 8,934, kg sampai 18,481, kg. Peningkatan produksi tertinggi pada 2003 dengan produksi sebesar 46,756,000 kg. Peningkatan produksi ini disebabkan oleh terjadinya booming ubur-ubur yang tercatat mulai tertangkap pada

90 Desember Pada 2002 jumlah hasil tangkapan ubur-ubur mencapai ,000 kg. Pada Gambar 14 disajikan perkembangannya jumlah produksi penangkapan ikan di laut ( ). 60, , Jumlah (Ton) 40, , , , Tahun Produksi perikanan tangkap Gambar 14. Perkembangan produksi perikanan tangkap di Kabupaten Trenggalek periode Dari sekitar 44 jenis ikan dan udang yang ditangkap dan didaratkan di Kabupaten Trenggalek, terdapat 15 jenis ikan yang menunjukkan jumlah produksi yang konsisten mulai 1990 sampai 2004, yaitu jenis cucut, cakalang, ekor merah, kuwe, julung-julung, kembung, layang, lemuru, peperek/salem, pari, sunglir, tuna, tenggiri, teri dan tongkol Jenis konflik Jenis-jenis konflik yang dapat diidentifikasi di kawasan ini adalah 12 kasus konflik yang tercakup dalam tujuh jenis konflik perikanan tangkap yaitu: 1) konflik daerah tangkap 2) konflik alat tangkap 3) konflik penggunaan potas /obat-obatan 4) konflik bagi hasil 5) konflik nelayan lokal dengan andon, 72

91 6) konflik pengolahan limbah, dan 7) konflik perusakan terumbu karang. Hasil pengamatan di lokasi penelitian ditemukan tipologi konflik seperti pada Tabel 2. 73

92 Tabel 2. Tipologi konflik perikanan tangkap di Teluk Prigi Tahun Jenis Konflik Penyebab Utama Pihak yang terlibat Tipologi Konflik Status Penyelesaian Teknik resolusi konflik Keterangan 1985 Penggunaan potas/obatobatan Nelayan Banyuwangi menggunakan potas untuk menangkap ikan di terumbu karang Nelayan andon Banyuwangi vs nelayan lokal Alokasi internal Kesepakatan untuk tidak menggunakan potas dalam penangkapan ikan Negosiasi Kasus ini sulit ditindaklanjuti karena kesulitan menelukan barang bukti. 1993, 1997 Nelayan Blitar menggunakan potas untuk menangkap ikan di terumbu karang Nelayan Blitar vs nelayan lokal Alokasi internal Kesepakatan untuk tidak menggunakan potas dalam penangkapan ikan Negosiasi Kasus ini sulit ditindaklanjuti karena kesulitan menelukan barang bukti nelayan lokal vs andon Nelayan lokal cemburu karena hasil tangkapan nelayan andon lebih banyak. Payang andon dari Pasuruan vs nelayan lokal Alokasi internal Muspida, Muspika, LSM dan tokoh masyarakat bertindak sebagai mediator Mediasi Pembakaran perahu DPRD Pasuruan melakukan protes Etika berpakaian nelayan andon dianggap tidak senonoh Bagi hasil Juragan menilai pembagian hasil tangkapan tidak adil. Juragan vs ABK purse seine Manajemen Kesepakatan antara juragan dengan ABK Negosiasi Kebiasaan keluarga ABK mengambil ikan hasil tangkapan sebelum dibawa ke TPI Alat tangkap Kecemburuan nelayan lokal terhadap nelayan andon Nelayan andon Bugis vs nelayan lokal Alokasi internal Sosialiasi kepada nelayan lokal, lalu dibuat kesepakan Negosiasi Nelayan andon menggunakan alat tangkap yang memberikan hasil yang lebih banyak 64

93 Tabel 2 (Lanjutan) Tahun Jenis Konflik Penyebab Utama Pihak yang terlibat Tipologi Konflik Status Penyelesaian Teknik resolusi konflik Keterangan 2001 Nelayan purse seine menganggap adanya rumpon menghambat mobilitas ikan ke perairan pantai. Nelayan purse seine vs nelayan pancing Alokasi internal Kesepakata bagi hasil dalam proses penyelesaian Mediasi Kasus ini sebenarnya mengekspresikan kecemburuan nelayan purse seine atas jumlah hasil tangkapan nelayan pancing Penggunaan lampu (oncoran) yang berlebihan oleh nelayan payang menyebabkan nelayan purse seine kesulitan melihat gerombolan ikan (gadangan) Nelayan purse seine vs nelayan payang Alokasi internal Diselesaikan oleh pihak ketiga Mediasi Nelayan payang diharapkan tidak melakukan oncoran di lokasi purse seine melakukan gadangan 2000 Daerah tangkap Nelayan andon menangkap ikan di fishing ground nelayan lokal Nelayan payang andon (Pasuruan) vs nelayan pancing lokal Alokasi internal Kesepakatan tentang pembatasan jumlah andon (40 unit), penetapan tempat labuh bagi andon, ABK jangan dimonopoli oleh orang pasuruan saja. Mediasi Konflik diselesaikan dengan mempertemukan stakeholder dalam rapat yang dimediasi oleh instansi/aparat terkait

94 Tabel 2 (Lanjutan) Tahun Jenis Konflik Penyebab Utama Pihak yang terlibat Tipologi Konflik Status Penyelesaian Teknik resolusi konflik Keterangan Zona jaring tarik dimasuki oleh nelayan payang dan purse seine. Nelayan payang, dan purse seine vs nelayan jaring tarik Alokasi internal Kesepakatan penentuan batas-batas daerah penangkapan dan sanksi bagi yang melanggar. Negosiasi Jaring tarik adalah alat tangkap yang cocok di Teluk Prigi karena sebagian pantainya landai dan berpasir Pengolahan limbah Pengolahan ikan asin dilokasi wisata Pengolah ikan asin vs pengelola obyek wisata Alokasi eksternal Pengolahan ikan dilokaslisasi diluar daerah wisata Fasilitasi Pertemuan antara masyarakat, pemerintah, dan pengelola obyek wisata 2003 Pengolah uburubur membuang limbah langsung kesungai Pengolah uburubur vs masyarakat Alokasi eksternal Pengolah ubur-ubur dilokalisasi diluar Prigi Fasilitasi Pertemuan pemerintah dengan pengolah uburubur 2001 Perusakan terumbu karang Masyarakat mengambil karang dan biota laut untuk cendra mata dan bahan bangunan Stakeholder pro lingkungan vs masyarakat tidak peduli lingkungan Alokasi internal Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokwasmas) memonitor aktivitas yang merusak lingkungan Fasilitasi Penyuluhan dan fasilitasi kegiatan konservasi terumbu karang 76 66

95 Konflik penggunaan potas/obat-obatan Konflik penggunaan potas/obat-obatan yang terjadi di perairan Teluk Prigi mulai muncul tahun 1985 yang melibatkan nelayan andon Banyuwangi dan nelayan Prigi. Kasus serupa kembali muncul tahun 1993 dan 1997, yang melibatkan nelayan Blitar dan nelayan Prigi. Kedua kasus konflik tersebut terjadi disebabkan nelayan andon Banyuwangi dan nelayan Blitar menggunakan potas dalam operasi penangkapan ikan dan udang di kawasan terumbu karang yang terdapat di sekitar perairan Teluk Prigi. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, kemungkinan munculnya konflik dipicu oleh dua hal yaitu: 1) meningkatnya tingkat kesadaran nelayan lokal tentang dampak negatif penggunaan potas dalam penangkapan ikan, dan 2) nelayan lokal mengetahui adanya peraturan atau hukum yang melarang penggunaan potas dan kompresor dalam operasi penangkapan ikan. Penggunaan potas dalam penangkapan ikan dan udang di kawasan terumbu karang menurut nelayan Prigi sangat berbahaya karena akan berdampak pada perusakan terumbu karang. Terumbu karang secara ekologis mempunyai fungsi sebagai tempat pemijahan (spawning area), daerah asuhan (nursery area) dan tempat mencari makan (feeding area) beberapa biota lain, termasuk udang barong dan ikan karang. Sehingga jika terjadi penurunan kualitas terumbu karang di suatu kawasan perairan akan berdampak terhadap berkurangnya populasi ikan dan udang yang ada di kawasan perairan tersebut. Selain menggunakan potas nelayan andon juga menggunakan kompresor sebagai alat bantu operasi penangkapan ikan di kawasan terumbu karang.. Kompresor digunakan agar dapat lebih lama bertahan di dalam air. Hal ini tentunya sangat tidak mendukung pelestarian terumbu karang karena akan semakin meningkatkan resiko kerusakan yang ditimbulkan. Kasus penggunaan potas dalam operasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan Banyuwangi dan Blitar sampai saat ini belum dapat dibuktikan. Menurut keterangan responden sulitnya pembuktian penggunaan potas pada operasi penangkapan ikan disebabkan sulit menemukan barang bukti. Pada saat ada oknum nelayan yang dicurigai sedang melakukan penangkapan ikan 77

96 menggunakan potas biasanya barang bukti langsung dibuang oleh oknum tersebut sehingga mereka tidak dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan aturan yang ada. Pada saat penelitian tidak dijumpai adanya laporan atau kasus penangkapan ikan dengan menggunakan potas. Konflik nelayan lokal vs andon Konflik nelayan lokal vs andon terjadi tahun 2001, melibatkan nelayan lokal (Prigi) dengan nelayan andon dari Pasuruan, Lamongan, Banyuwangi, Madura dan Makassar (Bugis). Konflik ini tergolong besar karena sempat tereskalasi ke tahap krisis yang ditandai dengan peristiwa pembakaran perahu yang dilakukan oleh nelayan lokal terhadap nelayan andon dari Kabupaten Pasuruan. Konflik antara nelayan lokal vs andon disebabkan oleh kecemburuan nelayan lokal (Prigi) terhadap para nelayan andon yang hasil tangkapannya lebih banyak daripada hasil tangkapan nelayan Prigi. Nelayan andon umumnya memiliki alat tangkap dan kemampuan jelajah yang relatif lebih baik dibandingkan dengan nelayan Prigi. Alat tangkap yang digunakan nelayan andon lebih baik dibandingkan dengan alat tangkap yang dimiliki nelayan Prigi. Selain itu, armada penangkapan nelayan andon relatif lebih maju dibandingkan dengan armada penangkapan nelayan Prigi. Selain itu, munculnya konflik antara nelayan andon vs nelayan lokal juga disebabkan oleh perbedaan budaya yang melibatkan nelayan pancing dengan nelayan payang. Konflik ini lebih merupakan akumulasi dari kejengkelan dan kekesalan nelayan lokal terhadap nelayan andon yang dianggap berperilaku tidak sesuai dengan kebiasaan setempat, serta disebabkan adanya kesenjangan pendapatan, yaitu hasil tangkapan nelayan andon jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan nelayan lokal, sehingga pendapatan nelayan andon lebih besar dari nelayan lokal. Berdasarkan keterangan yang diperoleh, kebiasaan nelayan andon yang tidak disukai nelayan lokal antara lain: 1) cara berpakaian kurang sopan karena mereka sering hanya menggunakan pakaian dalam sewaktu di darat, 2) membuang kotoran di sembarang tempat atau tidak mau menjaga kebersihan lingkungan, dan 3) melakukan operasi penangkapan dengan membuang jaring di lokasi nelayan 78

97 lokal sedang memancing ikan, dan bila ditegur secara baik-baik justru mengajak berkelahi dengan mengacungkan senjata tajam. Konflik bagi hasil Pada tahun , terjadi konflik bagi hasil yang melibatkan juragan darat dengan para ABK (anak buah kapal) purse seine. Juragan darat mengeluh dengan banyaknya jumlah esekan pada saat tambat labuh kapal ikan. Esekan adalah aktivitas keluarga ABK yang mengambil hasil tangkapan (ikan) sebelum hasil tangkapan tersebut diturunkan ke tempat pelelangan ikan (TPI). Aktivitas ini disebut esekan karena ikan yang diambil tersebut ditaruh di dalam wadah kantong plastik (kresek). Pengambilan ikan tersebut tanpa mempertimbangkan banyak atau sedikitnya jumlah hasil tangkapan. Juragan darat menilai kebiasaan tersebut termasuk kegiatan pencurian yang sangat merugikan. Aktivitas esekan sulit dicegah karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat Prigi. Konflik alat tangkap Konflik alat tangkap juga terjadi di perairan Teluk Prigi sejak tahun Kasus paling akhir terjadi tahun 2001, melibatkan nelayan payang dengan nelayan pancing serta antara nelayan payang dengan nelayan purse seine. Faktor penyebab konflik utama adalah kecemburuan nelayan pancing terhadap hasil tangkapan nelayan payang dan purse seine yang lebih banyak. Nelayan pancing sering mencari-cari kesalahan nelayan payang dan purse seine, khususnya apabila mereka mendapat hasil tangkapan berupa ikan layur yang merupakan target species penangkapan nelayan pancing. Nelayan payang dan purse seine mengganggap keberadaan rumpon menghambat mobilitas ikan ke perairan pantai. Rumpon mengundang ikan-ikan pelagis kecil dan besar untuk datang berkumpul di sekitar rumpon. Di sisi lain keberadaan rumpon merupakan alat bantu penangkapan yang cukup efektif bagi nelayan pancing meningkatkan produktivitas hasil tangkapannya, terutama hasil tangkapan ikan pelagis besar dan ikan demersal yang banyak terdapat di sekitar rumpon. Dengan melimpahnya populasi ikan di lokasi rumpon pada akhirnya mengundang nelayan payang dan purse seine untuk melakukan operasi penangkapan ikan di sekitar rumpon dan seperti yang dapat diduga, hal ini 79

98 tentunya membuat permasalahan semakin rumit karena jumlah kelompok nelayan yang berada di sekitar rumpon semakin banyak. Responden mengatakan, nelayan pancing merasa terganggu dengan aktivitas nelayan purse seine dan payang tersebut karena disamping hasil tangkapan nelayan pancing jumlahnya lebih sedikit, juga sering terjadi persinggungan antar alat tangkap sehingga berpotensi memicu terjadinya konflik. Konflik lain yang berhasil diidentifikasi adalah konflik antara nelayan payang dan purse seine andon yang memiliki fishing ground yang sama. Konflik muncul karena ketidaksenangan nelayan purse seine terhadap nelayan payang yang menggunakan lampu (oncor) dalam operasi penangkapan ikan. Nelayan purse seine beranggapan penggunaan lampu yang berlebihan (oncoran) dalam operasi penangkapan ikan sangat mengganggu aktivitas dan produktivitas hasil tangkapan mereka. Isu lain yang muncul terkait dengan masalah ini adalah adanya anggapan nelayan andon kurang mengindahkan norma atau adat istiadat sehingga keberadaan mereka kurang disukai oleh masyarakat setempat. Konflik daerah tangkap Konflik daerah tangkap (fishing ground) melibatkan nelayan lokal dengan nelayan andon dari Kabupaten Pasuruan dan antara nelayan jaring tarik dengan nelayan payang dan purse seine. Frekuensi konflik yang lebih sering terjadi adalah antara nelayan pancing dengan nelayan jaring, dan antara nelayan payang dengan nelayan purse seine. Sampai saat ini konflik daerah tangkap belum ada penyelesaian yang tuntas. Konflik antara nelayan jaring tarik dengan nelayan payang dan purse seine terjadi pada tahun Pada saat itu terjadi pelanggaran zona penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan payang dan purse seine. Zona jaring tarik yang berada di sekitar perairan landai dan berpasir dimasuki oleh nelayan payang dan purse seine. Nelayan jaring tarik beranggapan bahwa masuknya nelayan payang dan purse seine ke perairan pantai dapat mengurangi hasil tangkapan mereka sehingga situasi tersebut dapat memicu terjadinya konflik. Pada tahun 2000 terjadi konflik daerah tangkap antara nelayan andon dari Kabupaten Pasuruan dan nelayan lokal. Nelayan andon dianggap bersalah karena menangkap ikan di fishing ground nelayan lokal tanpa meminta ijin kepada 80

99 nelayan lokal. Upaya-upaya untuk penyelesaian konflik ini telah dilakukan oleh pemerintah daerah melalui dinas perikanan dan kelautan, yaitu mempertemukan stakeholder terkait untuk menemukan solusi terbaik bagi kedua belah pihak. Konflik pengolahan limbah Konflik pengolahan limbah terjadi sebanyak dua kasus. Kasus pertama terjadi pada tahun 2001 melibatkan pengolah ikan asin melawan pengelola obyek wisata Pantai Prigi. Konflik pengolahan limbah diakibatkan oleh pengolah ikan asin yang menjadikan areal di sekitar objek wisata sebagai tempat pengolahan dan penjemuran ikan asin. Pada tahun 2003 konflik pengolahan limbah melibatkan masyarakat dengan pengolah ubur-ubur dan pemindangan. Konflik ini disebabkan pengolah ubur-ubur membuang limbah dari pengolahan ubur-ubur dan pemindangan yang banyak mengandung zat kimia di sekitarnya sehingga menyebabkan pencemaran. Berdasarkan keterangan responden, limbah dari pengolahan ubur-ubur tersebut berbau busuk dan diduga mengandung senyawa kimia yang berbahaya. Indikasi adanya pencemaran antara lain dapat diketahui dari banyaknya ditemukan pohon kelapa yang mati disekitar lokasi pabrik. Disamping itu limbah pengolahan uburubur juga menimbulkan bau yang tidak sedap pada lingkungan disekitarnya sehingga sangat mengganggu masyarakat yang tinggal disekitar lokasi tersebut.. Konflik perusakan terumbu karang Konflik perusakan terumbu karang terjadi pada tahun 2001, melibatkan kelompok masyarakat yang peduli dengan kelestarian lingkungan dengan masyarakat lainnya yang merusak terumbu karang dan mengambil biota laut untuk kepentingan jangka pendek. Konflik ini disebabkan oleh lima hal, yang pertama adalah karena adanya aktivitas pengambilan karang oleh masyarakat untuk hiasan dan cindera mata yang nantinya dijual di kawasan wisata Pantai Prigi; ke dua adalah pengambilan batu-batu karang oleh masyarakat yang digunakan untuk bahan bangunan. Pada kasus pengambilan batu karang seringkali digunakan bahan peledak; ke tiga adalah kegiatan pengunjung wisata mandi di pantai yang mengakibatkan karang (biota laut) terinjak-injak dan mati; serta yang 81

100 ke empat adalah pembuangan sampah secara sembarangan yang menyebabkan pencemaran perairan. Pengelolaan konflik Dalam penyelesaian konflik perikanan tangkap seringkali menggunakan hukum atau aturan baik hukum tertulis maupun yang tidak tertulis. Kebanyakan hukum yang berlaku di masyarakat berupa hukum tidak tertulis yaitu berupa kesepakatan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan tangkap. Pada umumnya pada setiap proses resolusi konflik dihasilkan kesepakatan yang ditandatangani oleh wakil dari masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik. Dari keterangan responden disebutkan bahwa pada setiap konflik yang terjadi wakil-wakil dari kelompok nelayan selalu berinisiatif untuk menemui wakil dari pihak lawan untuk melakukan negosiasi terhadap permasalahan yang dihadapi. Dalam hal upaya ini mengalami kegagalan maka mereka akan menghubungi pihak ke tiga (misalnya dari unsur musyawarah pimpinan kecamatan/muspika) untuk melakukan intervensi dan bertindak sebagai mediator. Berdasarkan pengamatan, untuk kasus-kasus konflik alokasi internal kelompok nelayan lebih suka menyelesaikan secara langsung dengan bernegosiasi dengan pihak lawan; hal ini dapat dipahami karena untuk kasus konflik ini ke dua belah pihak mempunyai pemahaman yang sangat baik terhadap permasalahan yang dihadapi sehingga mereka bersedia langsung bernegosiasi tanpa khawatir akan dicurangi oleh masing-masing pihak. Sedangkan untuk kasus konflik alokasi eksternal kelompok nelayan biasanya mengundang pihak ke tiga untuk melakukan intervensi baik sebagai mediator atau fasilitator. Peranan stakeholders (pemangku kepentingan) dalam proses resolusi konflik di Teluk prigi menduduki posisi yang sangat penting. Pemangku kepentingan dapat berperan sebagai mediator maupun fasilitator. Dari 12 kasus konflik perikanan tangkap yang terjadi di teluk Prigi, tercatat tujuh kasus diselesaikan dengan intervensi dari pihak ke tiga yaitu tiga kasus menggunakan fasilitator dan empat kasus menggunakan mediator. Selain kelompok yang berkonflik, pemangku kepentingan yang sering terlibat dalam proses resolusi konflik adalah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Kelompok 82

101 Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Komunitas (PSBK), Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Trenggalek, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi, Pol Airud, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur dan Pokwasmas. Secara umum keterkaitan antar stakeholder dalam proses resolusi konflik di Teluk Prigi dapat dilihat pada Gambar 15. FACILITATOR/MEDIATOR : APARAT DESA APARAT KAB. APARAT PROV. PPN PRIGI CO FISH HNSI Pihak berkonflik I Pihak berkonflik II : fasilitasi/mediasi : konflik Gambar 15. Keterkaitan antar stakeholder dalam proses resolusi konflik di Teluk Prigi Dari sisi kelembagaan, maka kelembagaan masyarakat yang terdapat di kawasan Teluk Prigi relatif lebih baik dibandingkan dengan kelembagaan masyarakat yang ada di teluk Sendang Biru dan Teluk Popoh. Hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan Proyek Co Fish yang salah satu kegiatannya adalah melakukan penguatan kelembagaan masyarakat, khususnya kelembagaan masyarakat nelayan yang merupakan salah satu pre kondisi yang positif di dalam menyusun perencanaan pengelolaan konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian. Disamping itu, satu hal yang positif yang telah dicapai oleh masyarakat Teluk Prigi adalah dengan telah diratifikasinya peraturan daerah (Perda) yaitu : Perda No. 22 Tahun 2003 tentang Kawasan Lindung di Kabupaten Trenggalek, Perda Kabupaten Trenggalek No. 10 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Perda No.11 Tahun 2004 tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan di Kabupaten Trenggalek. 83

102 Berbagai kesepakatan telah dihasilkan dalam proses resolusi konflik untuk 12 kasus konflik perikanan tangkap yang terjadi di Teluk Prigi. Kesepakatan tersebut dihasilkan melalui proses negosiasi, mediasi dan fasilitasi yang dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Dalam konflik penggunaan potas/obat-obatan dicapai kesepakatan bahwa nelayan Blitar dan Banyuwangi tidak menggunakan potas dalam penangkapan ikan dan udang barong (lobster) di kawasan terumbu karang serta larangan pengambilan terumbu karang dari perairan Teluk Prigi. Sanksi bagi yang melanggar adalah berupa pembakaran atau pemusnahan sarana penangkapan (kapal) yang digunakan untuk operasi penangkapan udang barong (lobster) yang menggunakan potas dan kompresor. 2) Dalam konflik alat tangkap dicapai kesepakatan untuk melakukan sosialisasi atau penyuluhan kepada masyarakat nelayan lokal tentang pentingnya peranan nelayan andon dalam pengembangan kegiatan perikanan tangkap di kawasan Teluk Prigi. 3) Dalam konflik daerah penangkapan dicapai kesepakatan tentang pembatasan jumlah andon (40 unit), penetapan tempat labuh bagi andon dan pengaturan anak buah kapal (ABK) dari nelayan lokal untuk bekerja di perahu payang nelayan andon dari Pasuruan. Selain itu dicapai pula kesepakatan antara nelayan jaring tarik, purse seine dan payang tentang penentuan batas-batas daerah penangkapan dan sanksi bagi yang melanggar untuk. sanksi bagi yang melanggar adalah : - pemusnahan dan perampasan hasil tangkapan ikan untuk diberikan kepada nelayan pancing, bagi pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan payang yang melakukan operasi penangkapan di daerah penangkapan nelayan pancing. - perampasan lampu yang digunakan oleh nelayan payang yang melakukan operasi penangkapan di luar perairan teluk prigi yang dinilai merugikan nelayan purse seine. - nelayan andon harus mematuhi adat istiadat atau norma yang berlaku agar dapat diterima di tengah-tengah masyarakat terutama norma kesopanan. 84

103 4) Larangan bagi nelayan jaring tarik untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di sekitar kawasan konservasi laut yang dibatasi secara fisik oleh pelampung pembatas dan papan informasi. 5) Dalam konflik pengolahan limbah dicapai kesepakatan tentang lokasi pengolah ubur-ubur tidak diijinkan beroperasi di kawasan Teluk Prigi. Sedangkan untuk pengolah ikan asin didak diijinkan berada di kawasan wisata Pantai Prigi. 6) Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokwasmas) diberi kewenangan untuk memonitor aktivitas masyarakat yang merusak lingkungan 7) Kesepakatan antara juragan darat dengan anak buah kapal (ABK) purse seiner tentang bagi hasil hingga saat ini dalam proses penyelesaian dengan difasilitasi oleh pemangku kepentingan yang terkait. 8) Berbagai sanksi bagi nelayan yang melanggar kesepakatan antara lain: a) pelarangan kegiatan melaut (tidak boleh menangkap ikan), b) didenda sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan, c) ditegur dengan baik, d) dikucilkan masyarakat, e) kapal dibakar atau dimusnahkan, dan f) diusir dari wilayah perairan Prigi. 9) Kesepakatan lokal atau hukum adat yang telah terbentuk dan dipahami oleh masyarakat antara lain: a) upacara ritual yaitu larung sesaji (sembonyo), b) sistem bagi hasil tangkapan, dan c) kesepakatan tentang penindakan pelanggaran hukum di laut. Kesepakatan-kesepakatan lokal yang ada pada umumnya telah dipatuhi oleh nelayan meskipun pada beberapa kasus masih ditemukan sedikit pelanggaran terutama disebabkan oleh kurang mengertinya sebagian nelayan tentang kesepakatan lokal tersebut, disamping adanya sikap dari sebagian nelayan yang hanya patuh pada aturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah (Perda). Pengawasan dan penegakan hukum dilakukan bersama oleh Polisi Air dan Udara (Pol Airud), Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Trenggalek dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi, serta masyarakat pengguna sumberdaya itu sendiri yang terhimpun dalam Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokwasmas). 85

104 Apabila terdapat potensi konflik maupun konflik yang mengemuka maka masalah tersebut akan dibahas dalam suatu forum musyawarah kelompok untuk dicari alternatif solusinya. Kelompok PSBK cukup penting perannya di dalam menjembatani lahirnya kesepakatan tentang pengelolaan konflik perikanan tangkap yang ada, serta pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi Teluk Sendang Biru Keadaan umum lokasi Kabupaten Malang merupakan dataran tinggi yang dikelilingi oleh pegunungan antara lain : Pegunungan Kapur (di Malang Selatan), Pegunungan Tengger dan Semeru (di Malang Timur) dan Pegunugan Arjuno, Anjasmoro, Kelud serta Pandeman (di Malang Barat). Posisi Kabupaten Malang pada ketinggian meter di atas permukaan air laut dengan kondisi daerah perlembahan atau dataran tinggi. Sedangkan daerah dataran tinggi antara meter diatas permukaan laut yang terdapat di daerah Malang Selatan lereng Tengger, Semeru dan di sekitar Gunung Kawi dan Gunung Arjono. Kondisi pesisir Pantai Sendang Biru dicirikan dengan pantai yang terjal dengan kedalaman yang cukup besar dan sebagia lagi merupakan pantai berpasir yang cukup landai. Kedalaman air di kawasan selat Pantai Sendang Biru dan Pulau Sempu lebih dari 25 meter, sedangkan di sekitar Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pondok Dadap, Sendang Biru memiliki kedalaman antara meter. Kabupaten Malang memiliki perairan laut yang berada di sebelah selatan dan merupakan bagian Samudera Indonesia dengan ciri gelombang air laut yang besar besar. Arus di panatai Selatan Jawa dikenal dengan arus khatulistiwa selatan (south equatorial current) yang sepanjang tahun menuju ke barat. Namun demikina terdapat fenomena tertentu pada saat musim timur dan musim barat. Pada musim barat terdapat jalur sempit arus yang menyusur pantai Selatan Jawa menuju ke arah timur (berlawanan dengan arus khatulistiwa Selatan). arus tersebut dikenal dengan arus Pantai Jawa (Java coastal current). Pada musim timur berhembus angin tenggara yang membuat arus khatulistiwa selatan melebar ke utara, menyusur sepanjang pantai Selatan Jawa 86

105 hingga Sumbawa kemudian membelok ke arah Barat Daya (pola arus anti siklon). Arus ini membawa air permukaan menjauhi pantai sehingga terjadi kekosongan yang mengakibatkan naiknya massa air (up welling). Up welling ini telah meiningkatkan kesuburan perairan laut Selatan sehingga produkitvitas ikan meningkat. Panjang pantai Kabupaten Malang sepanjang 77 Km dengan luas wilayah perairan sejauh 4 mil yang meliputi 6 kecamatan, yaitu Kecamatan Ampel Gading, Tirtoyudo, Sumbermanjing Wetan, Bantur, Gedungan dan Donomulyo. Topografi Kabupaten Malang dicirikan dengan daerah yang berbukit dan pada tempat tertentu dijumpai topografi datar, berupa daerah perlembahan diantara perbukitan. Pada daerah perbukitan tersebut sebagian telah dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan budaya pertanian karena tanahnya relatif subur dibandingkan daerah perbukitan. Kondisi topografi pada kawasan yang meliputi desa-desa di Kecamatan Bantur, Donomulyo dan Gedangan merupakan wilayah dengan kemiringan 2 5 persen. Sedangkan desa-desa di Kecamatan Sumbermanjing Wetan mempunyai kemiringan persen. Ekosistem mangrove daerah Sendang Biru tersebar di lokasi Clungup seluas 10,53 ha, Kondang Buntu seluas 13,54 ha, Kondang Bajul seluas 1,09 ha dan daerah muara Sungai Tambakrejo seluas 19,82 ha. Pesisir Sendang Biru terdapat ekosistem terumbu karang yang tersebar di lokasi Wedan Rusa dan Kondang Bajul. Gambaran umum tata letak perumahan, wilayah perikanan, jalan sungai dan lain-lain, serta informasi lain yang dapat menjelaskan konflik yang terjadi di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar

106 Gambar 16. Sketsa lokasi penelitian di Teluk Sendang Biru 88 63

107 Kegiatan perikanan tangkap Kegiatan perikanan tangkap di wilayah Teluk Sendang Biru termasuk aktivitas ekonomi yang menjadi mata pencaharian utama bagi masyarakat pesisir di wilayah tersebut. Daerah tangkapan ikan (fishing ground) perikanan tangkap nelayan adalah sepanjang perairan Pantai Selatan Jawa Timur meliputi perairan Malang Selatan sampai dengan perairan Pacitan. Kegiatan perikanan tangkap di wilayah ini didukung oleh adanya Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), yaitu PPI Pondokdadap, yang pengelolaannya dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur melalui Badan Pengelola Pangkalan Pendaratan Ikan (UPTD) Pondokdadap. Mayoritas penduduk di sekitar Teluk sendang Biru bermatapencaharian sebagai nelayan. Jenis usaha yang dilakukan oleh penduduk setempat adalah usaha penangkapan ikan dan pengolahan ikan. Pekerjaan melaut ini dilakukan oleh para penduduk laki-laki. Sedangkan penduduk wanita membantu dalam usaha pengolahan dan pemasaran. Pengolahan ikan ini meliputi pengeringan, pemindangan dan pengasinan. Selain agar mutu ikan dapat terjaga dan bertahan lebih lama, pengolahan ikan ini juga bertujuan untuk meningkatkan nilai jual dari ikan tersebut. Sampai saat ini, pelaku sektor perikanan tangkap di wilayah Teluk Sendang Biru masih didominasi oleh nelayan kecil (tradisional) dan tidak ada yang diusahakan secara modern oleh investor besar. Sebagian besar nelayan kecil adalah merupakan penduduk lokal etnik Jawa dan Madura. Perkembangan perikanan tangkap di Teluk Sendang Biru dapat dikelompokkan ke dalam empat periode, yaitu ; ; dan 2000 sampai sekarang. Pada periode pada awalnya nelayan Sendang Biru menggunakan alat tangkap pancing (kunting) untuk menangkap ikan demersal; sampai pada tahun 1969 nelayan Andhon dari Indramayu dan Cirebon memperkenalkan alat tangkap payang kepada nelayan lokal. Pada1970 juga dimulai penggunaan mesin tempel dalam operasi penangkapan ikan dengan pancing. Selanjutnya pada tahun 1975, dalam aspek kelembagaan Kabupaten Malang menunjukkan suatu kemajuan dengan dibentuknya Dinas Perikanan. Dengan adanya lembaga ini, maka program 89

108 motorisasi dalam usaha penangkapan ikan terus diintensifkan dengan diperkenalkannya program motorisasi melalui Bimbingan Massal (BIMAS) berupa paket bantuan 12 unit kapal motor dengan alat tangkap purse seine (5 unit) dan gill net (7 unit) untuk nelayan Teluk Sendang Biru. Pada waktu yang hampir bersamaan, di Teluk Sendang Biru terdapat nelayan andon dari Cirebon dengan kapal payang yang menggunakan mesin tempel. Pada periode perkembangan alat tangkap ditandai dengan adanya penambahan alat tangkap purse seine (two boat system) sebanyak 18 unit yang digunakan oleh nelayan lokal. Selanjutnya pada periode perkembangan alat tangkap ditandai dengan tidak digunakannya purse seiner dalam operasi penangkapan ikan dan diperkenalkannya sarana tangkap baru, yaitu 12 perahu sekoci hand line dengan rumpon sebagai alat bantu operasi penangkapan ikan oleh nelayan andon dari Bugis. Penggunaan sekoci dengan rumpon dalam operasi penangkapan ikan ternyata belum dapat diterima oleh nelayan lokal. Hal ini dapat diketahui dengan terjadinya konflik nelayan lokal vs sekoci andon. Disamping itu juga terjadi konflik pada tahun 1996 yaitu konflik penggunaan potas oleh nelayan Tambakrejo. Perkembangan perikanan tangkap di Teluk Sendang Biru periode dapat dilihat pada Gambar

109 Gambar 17. Perkembangan perikanan tangkap dan konflik yang terjadi di Teluk Sendang Biru 91 79

110 Jumlah alat tangkap yang dioperasikan di Teluk Sendang Biru mengalami penurunan. yang cukup signifikan pada periode , yaitu dari unit menjadi 718 unit. Kemudian mulai jumlah alat tangkap cenderung mengalami peningkatan kecil. Komposisi alat tangkap terdiri dari payang, jaring insang hanyut (gill net), pancing, jaring dan alat tangkap lainnya. Alat tangkap yang dominan di Teluk Sendang Biru adalah pancing (414 unit) dan jaring insang (133 unit). Nelayan pancing sudah menggunakan rumpon dalam dan Geo Positioning System (GPS) sebagai alat bantu penangkapan. Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Malang dapat dilihat pada Gambar 18. Jumlah (Unit) Tahun Alat tangkap Gambar 18. Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Malang periode Produksi perikanan tangkap di Kabupaten Malang dari tahun ke tahun sangat berfluktuasi. Pada periode produksi perikanan tangkap mengalami penurunan, yaitu dari 6,015, Kg (1991) menjadi 2,635, Kg (1996). Produksi perikanan tangkap kembali menunjukkan peningkatan sebesar 4,672, Kg (1997) dan menurun sebesar 2,060, Kg (1999). Periode produksi perikanan tangkap cenderung meningkat dengan lambat menjadi 3,016, Kg (2004). Pada Gambar 19 disajikan 92

111 perkembangannya jumlah produksi perikanan tangkap Kabupaten Malang periode , , Jumlah (Ton) 5, , , , , Tahun Produksi perikanan tangkap Gambar 19 Perkembangan produksi perikanan tangkap di Kabupaten Malang periode Dari sekitar 34 jenis ikan yang ditangkap dan didaratkan di Kabupaten Malang, terdapat tiga jenis ikan utama yang menunjukkan jumlah produksi yang konsisten mulai 1990 sampai 2003, yaitu jenis cakalang, tongkol dan tuna Jenis konflik Hasil pengamatan dan wawancara dengan stakeholder di lokasi penelitian berhasil diidentifikasi tujuh kasus konflik yang tercakup dalam lima jenis konflik perikanan tangkap yaitu : 1) konflik retribusi 2) konflik tambat labuh 3) konflik daerah tangkap 4) konflik penggunaan potas/obat-obatan 5) konflik nelayan lokal dengan andon Gambaran lengkap mengenai konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. 93

112 Tabel 3. Tipologi konflik perikanan tangkap di Teluk Sendang Biru Tahun Jenis Konflik Penyebab Utama Pihak yang terlibat Tipologi Konflik Status penyelesaian Teknik resolusi konflik 2004 Retribusi Besaran retribusi (5 %) yang ditetapkan dalam Perda. Nelayan bersedia membayar 5 % dengan syarat fasilitas PPI diperbaiki. Konflik hak pengelolaan retribusi dari PPI Sendang Biru antara kabupaten dengan provinsi 2004 Tambat labuh Jumlah kapal yang berlabuh tidak seimbang dengan fasilitas`tambat labuh Nelayan, Pemda Proinsi Jatim, Pemkab Malang dan KUD. Nelayan vs nelayan, Pemda Provinsi Jatim. Manajemen Kesepakatan retribusi 3 % Negosiasi Manajemen Belum bisa diselesaikan Avoidance Daerah tangkap Jumlah rumpon di fishing ground tidak memadai. Jumlah sekoci 111, sementara rumpon hanya 3 unit. Sekoci lokal vs sekoci lokal Alokasi internal Kel sekoci rumpon membuat rumpon bagi sekoci tanpa rumpon Kel sekoci tanpa rumpon boleh memanfaatkannya Pemerintah harus membuat peraturan tentang penggunaan rumpon dalam operasi penangkapan ikan. Negosiasi 94 43

113 Tabel 3 (Lanjutan) Tahun Jenis Konflik Penyebab Utama Pihak yang terlibat Tipologi Konflik Status penyelesaian Teknik resolusi konflik Kecemburuan nelayan payang atas hasil nelayan sekoci yang lebih banyak. Nelayan payang vs nelayan sekoci. Alokasi internal Kelompok payang diberi 1 rumpon, tetapi harus membayar 5 % kepada kelompok sekoci Negosiasi Jumlah payang 23, sementara rumpon hanya 2 unit 2004 Longline menangkap ikan di daerah rumpon sekoci Sekoci lokal vs Longline dari Benoa Alokasi internal Pihak yang berkonflik sepakat untuk saling dan mengadakan komunikasi bila ada permasalahan. Fasilitasi. Bertindak selaku fasilitator adalah Dinas KP Provinsi Jatim 1997 Nelayan lokal vs andon Kecemburuan karena nelayan andon memperoleh tangkapan lebih banyak Nelayan lokal vs sekoci andon Aloksi internal Nelayan Sekoci andon dibatasi (kuota), sementara tokoh masyarakat melakukan sosialisasi keunggulan sekoci Nelayan sekoci andon untuk sementara waktu dititipkan di Prigi Pembatasan jumlah sarana tangkap nelayan Negosiasi Nelayan lokal diizinkan memanfaatkan rumpon nelayan andon (Bugis) 95 44

114 Tabel 3 (Lanjutan) Tahun Jenis Konflik Penyebab Utama Pihak yang terlibat Tipologi Konflik Status penyelesaian Teknik resolusi konflik 1996 Penggunaan potas/obat obatan Penggunaan potas oleh nelayan Tambakrejo Nelayan Tambakrejo vs Nelayan Sendang Biru (Sumbermanj ing) Alokasi internal Didiamkan (selesai dengan sendirinya). Konflik ini kurang mendapatkan perhatian karena tidak berdampak langsung pada kepentingan nelayan. Nelayan Sendang Biru sangat mengharapkan peran yang lebih aktif dari aparat pengawas. Avoidance 96 45

115 Konflik retribusi Konflik retribusi terjadi pada 2004, melibatkan nelayan, Pemerintah Daerah (Pemprov. Jatim, Pemkab Malang) dan Koperasi Unit Desa (KUD). Konflik terjadi disebabkan penetapan tarif retribusi melalui Peraturan daerah (Perda) sebesar 5% yang mendapatkan penolakan dari para nelayan. Menurut nelayan Pemerintah tidak selayaknya menetapkan kenaikan tarif retribusi karena Pemerintah belum memberikan jaminan yang memadai terhadap kelancaran operasional PPI. Kondisi ini menunjukkan bahwa konflik retribusi mempunyai kaitan yang erat dengan konflik tambat labuh. Proses resolusi konflik retribusi sejauh ini dilakukan dengan adanya negosiasi antara Pemerintah Daerah (Pemprov. Jatim, Pemkab Malang) dan Koperasi Unit Desa (KUD). Pada dasarnya semua pihak memahami akan perlunya dikenakannya pungutan retribusi untuk keperluan operasional PPI, sehingga dicapai kesepakatan berupa penetapan tarif retribusi sebesar 3 % dari jumlah penjualan hasil tangkapan mereka. Pada 2004 besarnya retribusi yang berhasil dikumpulkan adalah 955 juta. Retribusi tersebut ditarik dari penjualan kotor sebesar 32 milyar dengan hasil produksi lebih kurang ton. Konflik tambat labuh Konflik tambat labuh terjadi pada 2004, melibatkan nelayan dengan pengelola PPI (Pemprov. Jatim) dan antar nelayan itu sendiri. Konflik terjadi disebabkan sarana tambat labuh (dermaga) di PPI Pondokdadap yang terbatas, sehingga tidak mampu menampung aktivitas tambat labuh kapal ikan di PPI. Wujud konflik berupa perselisihan antar nelayan untuk memperebutkan tempat tambat labuh. Konflik ini tidak sampai mencuat dan melibatkan kelompok yang lebih besar karena masing-masing pihak dapat menahan diri. Disamping itu sangat sulit menentukan pihak (aktor) yang terlibat dalam konflik di lapangan disebabkan adanya kecenderungan untuk saling melempar tanggung jawab terhadap kewajiban peningkatan sarana tambat labuh antar instansi pemerintah. Hingga saat ini status penyelesaian konflik ini belum jelas dan menurut keterangan responden, konflik tambat labuh hanya dapat dituntaskan jika pemerintah daerah memperluas fasilitas dermaga. 97

116 Konflik daerah tangkap Pada tahun 2004 terjadi konflik daerah tangkap yang melibatkan nelayan long line andon dari Benoa (Bali) dengan nelayan sekoci lokal. Penyebab konflik adalah karena nelayan long line menangkap ikan di fishing ground nelayan sekoci. Berdasarkan keterangan dari responden, skalasi konflik mencapai puncaknya dengan adanya aksi saling merusak armada penangkapan. Nelayan sekoci memotong jaring dan mengambil pelampung milik nelayan long line, demikian pula sebaliknya nelayan long line memutus tali rumpon milik nelayan sekoci. Konflik ini relatif sulit penyelesaiannya disebabkan pihak-pihak yang berkonflik sulit untuk dipertemukan, karena keduanya tidak mendaratkan hasil tangkapannya pada pelabuhan yang sama; selain itu adanya kerusakan sarana tangkap belum pernah dibuktikan kebenarannya dan hanya sebatas laporan atau dugaan. Oleh karena itu, proses resolusi konflik memerlukan intervensi dari pihak ke tiga yang dalam hal ini dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur yang bertindak selaku fasilitator yang mempertemukan kedua belah pihak yang berkonflik, dan dicapai kesepakatan ke dua belah pihak yang berkonflik sepakat untuk saling menghormati satu dengan lainnya dan akan mengadakan komunikasi yang lebih intensif bila pada masa yang akan datang terdapat permasalahan serupa. Konflik nelayan andon vs lokal Perkembangan teknologi perikanan tangkap di Teluk Sendang Biru dimulai sejak tahun tujuh puluhan. Ketika itu masyarakat nelayan menggunakan jaring, perawe (pancing) dan payang sebagai alat tangkap utama yang diintroduksi oleh nelayan dari Indramayu dan Cirebon. Tahun 1980, alat tangkap purse seine dikenalkan di daerah ini sebagai komponen dari program Bimbingan Massal (BIMAS). Fishing ground purse seine agak jauh dari pantai, sementara perawe hanya di sekitar pantai. Pada saat penelitian dilakukan kapal purse seine tidak dijumpai di perairan Sendang Biru. Minat nelayan lokal untuk mengoperasikan purse seiner sebenanya cukup tinggi namun tidak dapat direalisasikan disebabkan mereka tidak memiliki modal yang cukup untuk membuat sarana tersebut. 98

117 Pada tahun 1990, nelayan Sendang Biru menemukan benda yang terapungapung di laut, yang baru kemudian diketahui sebagai pelampung dari rumpon bekas nelayan Philipina dan mereka belum mengetahui fungsi dari pelampung/rumpon tersebut. Sampai pada tahun 1997, nelayan andon dari Sulawesi Selatan (suku Bugis) datang ke wilayah Sendang Biru menggunakan sekoci sebanyak perahu dengan alat tangkap hand line dilengkapi rumpon sebagai alat bantu penangkapan. Produktivitas hasil tangkapan nelayan andon tersebut ternyata lebih tinggi dibandingkan produktivitas nelayan lokal, sehingga menimbulkan kecemburuan yang memicu terjadinya konflik antara nelayan lokal dengan nelayan andon. Konflik mencapai puncaknya antara Juni hingga Agustus 1997, dimana nelayan lokal melakukan unjuk rasa menolak kehadiran nelayan andon beroperasi di perairan Sendang Biru. Tokoh masyarakat setempat pada waktu itu berusaha meredam konflik dengan memindahkan nelayan andon dari Sendang Biru ke Teluk Prigi. Pada saat yang sama, tokoh masyarakat setempat melakukan sosialisasi tentang manfaat kehadiran nelayan andon untuk memacu perkembangan teknologi penangkapan ikan di Sendang Biru. Pada saat itu sebagian tokoh masyarakat mencoba untuk mengadopsi teknologi penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan andon, dengan cara membuat sendiri perahu sekoci dengan alat tangkap hand line yang dilengkapi dengan rumpon sebagai alat bantu penangkapan. Ternyata dengan teknologi penangkapan ini produktivitas hasil tangkapan nelayan lokal dapat lebih meningkat dan mereka mulai memahami manfaat rumpon sebagai tempat berkumpulnya ikan tuna (baby tuna), cakalang dan tongkol. Keberhasilan ini mendorong timbulnya kesepakatan diterimanya nelayan andon di perairan Sendang Biru, dengan berbagai pengaturan seperti pembatasan jumlah sarana tangkap nelayan andon dan pengaturan pemanfaatan rumpon secara bersama. Dalam perkembangan selanjutnya situasi ini memicu konflik susulan karena tidak semua nelayan mampu membuat rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan. Konflik disebabkan terlalu banyaknya nelayan sekoci yang beroperasi di lokasi rumpon, padahal kapasitas rumpon sangat terbatas. Berdasarkan pengalaman mereka kemudian dibuat suatu kesepakatan bahwa pemanfaatan rumpon 1:5 artinya satu rumpon hanya diperuntukkan bagi lima 99

118 perahu sekoci. Pada awalnya kesepakatan ini dapat dipatuhi, tetapi dengan semakin bertambahnya armada sekoci, mulai muncul tindakan-tindakan yang melanggar kesepakatan yang telah dibuat. Disamping rumpon-rumpon yang dimiliki dan dimanfaatkan secara bersama-sama, beberapa nelayan andon memasang rumpon di lokasi yang dirahasiakan. Konflik muncul pada saat lokasi rumpon tersebut diketahui oleh nelayan lainnya sehingga semakin banyak nelayan yang menangkap ikan di lokasi rumpon tersebut. Menurut keterangan responden, pada satu rumpon seringkali dimanfaatkan oleh lebih dari lima sekoci dan bahkan mencapai 27 sekoci. Pada saat itu muncul istilah ngintil, yakni nelayan pada malam hari mengikatkan sekocinya ke rumpon dan kemudian sekoci ke dua mengikatkan sekocinya pada sekoci pertama dan seterusnya secara berantai. Pada kondisi jumlah sekoci melebihi kapasitas apung rumpon, maka pemilik rumpon memotong tali pengikat dari sekoci yang ngintil sehingga dapat memicu terjadinya konflik. Dari pengalaman ini, pada tahun 2000 tokoh-tokoh nelayan di Sendang Biru yang diwakili oleh ketua KUD Mina Jaya mengajukan permohonan bantuan rumpon pada Dinas Perikanan Provinsi Jawa Timur dan direalisasikan sebanyak satu unit rumpon dan tahun 2001 sebanyak tiga unit rumpon. Di samping rumpon bantuan dari Dinas Perikanan Provinsi Jawa Timur, masyarakat secara kolektif membuat rumpon secara swadana. Pada saat penelitian, penempatan rumponrumpon tersebut sudah semakin jauh dari wilayah Teluk Sendang Biru, bahkan ada yang mencapai 125 mil dari Sendang Biru ke arah barat. Adanya perkembangan teknologi penangkapan ini menempatkan kawasan Sendang Biru sebagai salah satu penghasil ikan pelagis besar yang cukup potensial. Pada tahun terjadi konflik penggunaan rumpon melibatkan nelayan sekoci lokal dengan nelayan payang lokal. Faktor penyebab konflik yang mencuat adalah rumpon-rumpon milik nelayan sekoci dianggap menghambat pergerakan gerombolan ikan sehingga hasil tangkapan nelayan payang jumlahnya menurun. Berdasarkan pengamatan di lapangan faktor penyebab konflik yang sesungguhnya adalah kecemburuan nelayan payang atas hasil tangkapan nelayan sekoci yang lebih banyak dengan harga jual yang tinggi. Kondisi ini mendorong nelayan payang untuk menangkap ikan di lokasi rumpon nelayan sekoci. Konflik 100

119 penggunaan rumpon juga melibatkan nelayan sekoci lokal rumpon dengan nelayan sekoci lokal yang tidak memiliki rumpon. Berdasarkan keterangan responden faktor penyebab konflik utama adalah jumlah rumpon di fishing ground yang tidak memadai Pada saat itu, jumlah perahu payang sebanyak 23 unit sementara sekoci sebanyak 111 unit dengan jumlah rumpon sebanyak 3 unit. Proses resolusi konflik dilakukan dengan melakukan negosiasi dan dicapai kesepakatan kelompok payang diberi 1 rumpon, tetapi harus memberikan 5 % dari penjualan hasil tangkapannya kepada kelompok sekoci yang akan digunakan untuk biaya pemeliharaan rumpon. Konflik penggunaan potas/obat-obatan Konflik penggunaan potas terjadi pada 1996, melibatkan nelayan Sendang Biru (Sumbermanjing) dengan nelayan Tambakrejo. Nelayan Tambakrejo dicurigai menggunakan potas dalam operasi penangkapan ikan dan udang barong (lobster) di kawasan terumbu karang perairan Sendang Biru. Menurut nelayan Sumbermanjing penggunaan potas dalam operasi penangkapan ikan sangat berbahaya karena akan berdampak pada perusakan terumbu karang. Konflik penggunaan potas frekuensinya jarang terjadi, sehingga konflik ini tidak terlalu dihiraukan bahkan terkesan nelayan Sumbermajing membiarkan saja aktivitas penangkapan ikan ini dan lebih mengharapkan adanya peran yang lebih aktif dari aparat pengawas (pemerintah) untuk menanggulangi permasalahan ini. Konflik ini kurang mendapatkan perhatian karena dampaknya tidak langsung menyentuh kepentingan nelayan dan bersifat jangka panjang. Pada saat penelitian, tidak dijumpai laporan atau kasus penangkapan ikan dengan menggunakan potas Pengelolaan konflik Pengelolaan konflik perikanan tangkap di Teluk Sendang Biru pada umumnya diselesaikan dengan melibatkan tokoh masyarakat. Sebagian besar konflik yang terjadi dikalangan masyarakat nelayan Sendang Biru seperti konflik retribusi, konflik tambat labuh, konflik daerah tangkap, konflik penggunaan potas/obat-obatan dan konflik nelayan lokal vs andon diselesaikan dengan negosiasi, dan tidak ada konflik yang diselesaikan dengan litigasi atau pengadilan. Proses negosiasi antara pihak yang berkonflik dimungkinkan karena masing- 101

120 masing pihak masih bersedia untuk bertemu. Fasilitasi digunakan bila konflik melibatkan pihak ketiga atau pihak lain yang berasal dari luar Teluk Sendang Biru. Hasil resolusi konflik biasanya berupa kesepakatan-kesepakatan yang tidak tertulis tetapi dipatuhi oleh masyarakat. Tingginya tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat diduga terkait dengan budaya masyarakat yang paternalistik dan tidak terlepas dari peranan tokoh masyarakat nelayan yang sangat dihormati. Penyelesaian konflik alat tangkap payang dengan sekoci dilakukan dengan menghadirkan pihak-pihak yang terlibat konflik dalam proses negosiasi untuk mencapai kesepakatan. Dari proses tersebut diperoleh saling pengertian dan harapan untuk melakukan kerjasama tanpa saling merusak alat tangkap masingmasing. Contoh kesepakatan yang dihasilkan adalah kelompok payang diberi satu rumpon oleh kelompok sekoci, tetapi mereka harus membayar lima persen dari jumlah hasil tangkapan kepada kelompok sekoci. Secara umum keterkaitan antar stakeholder dalam proses resolusi konflik di Teluk Sendang Biru dapat dilihat pada Gambar 20. FACILITATOR/MEDIATOR : APARAT DESA APARAT KAB./KOTA HNSI LEPM3 PPI SENDANG BIRU Pihak berkonflik I Pihak berkonflik II : fasilitasi/mediasi : konflik Gambar 15. Keterkaitan antar erkaitan antar stakeholder dalam proses resolusi konflik di Teluk Sendang Biru Konflik antara nelayan lokal dengan nelayan andon, biasanya diselesaikan oleh pengambek yaitu penduduk lokal yang mencukupi kebutuhan nelayan 102

121 andon selama melakukan operasi penangkapan ikan di perairan Sendang Biru. Peranan pengambek sangat penting bagi nelayan andon, karena pengambek tidak hanya memberi pinjaman bagi operasi penangkapan (seperti perbekalan dan rumpon), tetapi pengambek juga berperan sebagai fasilitator dalam proses negosiasi. Nelayan andon biasanya dapat menerima kesepakatan-kesepakatan karena mereka menyadari posisinya sebagai tamu di Sendang Biru. Tingkat kepatuhan nelayan terhadap kesepakatan yang dihasilkan cukup baik, namun masih dijumpai adanya pelanggaran terhadap kesepakatan tersebut. Pelanggaran terjadi karena masyarakat menganggap kesepakatan tersebut belum formal sehingga tidak mempunyai efek yang mengikat. Oleh karena itu, legalisasi kesepakatan ke dalam format peraturan daerah (Perda) diharapkan dapat membuat kesepakatan menjadi lebih mengikat sehingga dipatuhi oleh masyarakat nelayan Teluk Popoh Keadaan umum lokasi Kabupaten Tulungagung dengan luas 1.055,65 Km 2 terletak pada Lintang Selatan (LS) dan Bujur Timur (BT). Di bagian utara, tengah dan Timur berupa daratan yang subur, di bagian Selatan berupa pegunungan dan Samudera Indonesia sepanjang batas Selatan. Sedangkan secara administratif, Kabupaten Tulungagung berbatasan dengan Kabupaten Kediri di bagian Utara, Kabupaten Blitar di Timur, Trenggalek di Barat dan Samudra Indonesia di Selatan. Administrasi pemerintahan kabupaten terbagi dalam: 19 Kecamatan, 257 Desa dan 14 Kelurahan. Kecamatan Besuki dengan luas wilayah 8.267,474 Ha merupakan salah satu kecamatan yang terletak di bagian Selatan. Batas wilayah Kecamatan Besuki adalah : - Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Bandung; - Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Campurdarat dan Tulungagung di Timur; - Sebelat Barat berbatasan dengan Kabupaten Trenggalek dan - Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia. 103

122 Kecamatan Besuki terdiri dari 10 desa yaitu : (1) Desa Besole (2) Desa Tanggul Welahan (3) Desa Besuki (4) Desa Tanggul Ireng (5) Desa Tanggul Turus (6) Desa Sedayu Gunung (7) Desa Tanggul Kundung (8) Desa Wates Kroyo (9) Desa Siyotobagus (10) Desa Tulungrejo Pantai Popoh terletak di Desa Besole yang berjarak 22 km dari Kota Tulungagung. Desa ini terletak di bagian selatan wilayah Kecamatan Besuki, dengan luas wilayah 577,097 Ha. Panjang sungai di Kabupaten Tulungagung seluruhnya mencapai 408,65 km. Sungai-sungai tersebut melalui 17 kecamatan. Kecamatan Besuki dialiri oleh beberapa sungai antara lain Sungai Keboireng (10 km), Karangtuwo (batas wilayah), Parit raya (3 km) dan Parit Agung (1,8 km). Wilayah Kecamatan Besuki terbelah oleh Parit Raya, Parit Agung dan daerah pegunungan. Pada musim hujan tiba sering terjadi bencana banjir lumpur, dan tanah longsor dari tanah pegungungan. Desa-desa yang terkena bencana banjir dan lumpur adalah Desa Tulungrejo, Siyotobagus, Wateskroyo, Tanggulkundung, Tanggulturus, Keboireng, Besuki, Tanggulwlahan dan Besole. Bencana alam tanah longsor terjadi di Desa Besole, Keboireng dan Sadayugunung. Kabupaten Tulungagung mempunyai potensi perairan laut yang cukup besar, namun armada penangkapan ikan yang ada sampai sekarang belum mampu memanfaatkan potensi yang dimiliki secara optimal. Hal ini disebabkan oleh kondisi laut selatan Samudera Indonesia yang berombak/bergelombang cukup besar dengan kedalaman laut lebih dari 1000 meter pada jarak 100 meter dari garis pantai, serta belum diimbangi dengan fasilitas tempat persandaran kapal dan pendaratan ikan yang memadai. Wilayah pantai sepanjang + 61 km terdiri dari teluk, yaitu Teluk Popoh, Brumbun dan Sine. Pada umumnya kondisi teluk tesebut terdiri atas batu-batuan yang cukup terjal. Nelayan bermukim di wilayah pesisir Sidem, Popoh, Brumbun dan Sine. Dari keempat wilayah pesirir tersebut, Sidem dan Sine merupakan permukiman nelayan yang ditata dan diatur dengan baik. Gambaran umum tata letak perumahan, wilayah perikanan, jalan, sungai dan lain-lain, serta informasi 104

123 105 Gambar 21. Sketsa lokasi penelitian di Teluk Popoh 79

124 lain yang dapat menjelaskan konflik yang terjadi di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar Kegiatan perikanan tangkap Kabupaten Tulungagung mempunyai potensi sumberdaya ikan laut ton/tahun (Dihitung 1% dari potensi ikan di Samudera Indonesia). Melihat realisasi produksi hasil yang telah dimanfaatkan sebesar 15% - 20%. Potensi sumberdaya laut yang masih dapat dieksploitasi lagi sebesar ada ton/tahun.. Kegiatan perikanan tangkap terdapat di Teluk Popoh. Di lokasi ini terdapat Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) tempat menampung hasil tangkapan nelayan dan aktivitas nelayan. Disamping sebagai Pangkalan Pendaratan Ikan Teluk Prigi digunakan juga sebagai sarana rekreasi Kegiatan perikanan tangkap di wilayah Teluk Popoh termasuk aktivitas ekonomi yang menjadi mata pencaharian utama bagi masyarakat pesisir di wilayah tersebut. Daerah tangkapan ikan (fishing ground) perikanan tangkap nelayan meliputi kawasan Teluk Popoh dan disekitar perairan Teluk Prigi dan Blitar. Kegiatan perikanan tangkap di wilayah ini didukung oleh adanya Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), yaitu PPI Popoh. Mayoritas penduduk di sekitar Pantai Popoh bermatapencaharian sebagai nelayan. Jenis usaha yang dilakukan oleh penduduk setempat adalah usaha penangkapan ikan dan pengolahan ikan. Pekerjaan melaut ini dilakukan oleh para penduduk laki-laki. Sedangkan penduduk wanita membantu dalam usaha pengolahan dan pemasaran. Pengolahan ikan ini meliputi pengeringan, pemindangan dan pengasinan. Selain agar mutu ikan dapat terjaga dan bertahan lebih lama, pengolahan ikan ini juga bertujuan untuk meningkatkan nilai jual dari ikan tersebut. Perkembangan perikanan tangkap di Teluk Popoh dapat dikelompokkan ke dalam tiga periode, yaitu ; dan 2000 sampai sekarang. Dibandingkan dengan Teluk Prigi dan Sendang Biru, perkembangan perikanan tangkap di Teluk Popoh menunjukkan perkembangan yang lambat. Pada periode perkembangan perikanan di Teluk Popoh ditandai 106

125 dengan diperkenalkannya purse seine (two boat system), payang oleh nelayan andon dari Pasuruan, jaring insang monofilament dan pancing. Penggunaan potas oleh nelayan andon dari Blitar dalam operasi penangkapan ikan pada periode telah menyebabkan konflik dengan nelayan lokal. Konflik penggunaan potas juga melibatkan pengelola tambak udang dengan nelayan Popoh. Perkembangan perikanan tangkap di Teluk Popoh periode dapat dilihat pada Gambar

126 108 Gambar 22. Perkembangan perikanan tangkap dan konflik yang terjadi di Teluk Popoh

127 Sampai saat ini, pelaku sektor perikanan tangkap di wilayah Teluk popoh masih didominasi oleh nelayan kecil (tradisional) dan tidak ada yang diusahakan secara modern oleh investor besar. Sebagian besar nelayan kecil adalah merupakan penduduk lokal etnik Jawa. Secara umum alat tangkap perikanan di Teluk Popoh cenderung mengalami penurunan. Pada Gambar 23 terlihat bahwa penurunan yang tajam terjadi pada 1996 dan Jumlah alat tangkap cenderung tetap mulai 2001 sampai 2004, yaitu sebanyak 315 unit. Komposisi alat tangkap terdiri dari purse seine, payang, jaring insang hanyut (gillnet), pancing, jaring dan pukat pantai. Alat tangkap yang dominan di Teluk Popoh adalah jaring (123 unit) dan jaring insang (85 unit) Jumlah (Unit) Tahun Alat tangkap Gambar 23. Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Tulungagung periode Produksi perikanan tangkap di Kabupaten Tulungagung dari tahun ke tahun selalu memiliki kecenderungan meningkat. Peningkatan yang tajam terjadi pada periode , yaitu sebanyak 1,499, Kg (2001) menjadi 2,491, Kg (2002) dan 5,156, Kg (2003). Pada Gambar 24 disajikan perkembangannya jumlah produksi penangkapan ikan di laut (tahun ). 109

128 6, , Jumlah (Ton) 4, , , , Tahun Produksi perikanan tangkap Gambar 24. Perkembangan produksi perikanan tangkap di Kabupaten Tulungagung periode Dari sekitar 40 jenis ikan dan udang yang ditangkap dan didaratkan di Kabupaten Tulungagung, terdapat empat jenis ikan yang menunjukkan jumlah produksi yang konsisten mulai 1990 sampai 2003, yaitu jenis tongkol, kembung, layang dan peperek (salem) Jenis konflik Hasil pengamatan dan wawancara dengan stakeholder di lokasi penelitian berhasil diidentifikasi tujuh kasus konflik yang tercakup dalam enam jenis konflik perikanan tangkap yaitu : 1) konflik retribusi 2) konflik daerah tangkap 3) konflik alat tangkap 4) konflik penggunaan potas/obat-obatan 5) konflik bagi hasil 6) konflik nelayan lokal vs andon Gambaran lengkap mengenai konflik perikanan tangkap di Teluk Popoh dapat dilihat pada Tabel

129 Tabel 4. Tipologi konflik di Teluk Popoh Tahun Jenis konflik Penyebab utama Pihak yang terlibat Tipologi konflik Status penyelesaian Teknik resolusi konflik 2004 Alat tangkap Perbedaan persepsi (pemahaman) terhadap alat tangkap. Nelayan pancing menuduh bahwa jaring gillnet dasar menutupi karang hingga mati 2004 Bagi hasil Sistem bagi hasil yang dinilai tidak adil oleh juragan. Keluarga ABK mengambil ikan sebelum dibawa ke TPI Retribusi Bakul keberatan membayar retribusi yang besarnya Rp 500,-/basket setiap membawa ikan keluar areal PPI/wisata. Pengelola wisata mengeluhkan bau dari usaha perikanan Nelayan Gillnet dasar vs pancing ABK dengan juragan purse seine Bakul vs Pengelola daerah wisata Alokasi internal Kesepakatan desa Negosiasi Alokasi internal Proses Negosiasi Alokasi eksternal Belum ada penyelesaian Fasilitasi 2004 Daerah tangkap Kecemburuan nelayan lokal terhadap nelayan andon atas hasil tangkapan Nelayan pancing lokal vs nelayan payang andon Alokasi internal Kesepakatan desa, yang ditengahi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan dan aparat. ABK andon dibatasi 5 orang sisanya nelayan lokal Mediasi 2000 Penggunaan potas/obat-obatan Nelayan menuduh penggunaan obatobatan pengusaha tambak udang yang membunuh ikan di sekitar pantai Pengusaha tambak vs nelayan Alokasi eksternal Kesepakatan desa Mediasi Nelayan Blitar menggunakan kompresor dan potas untuk menangkap ikan karang. Nelayan Blitar vs nelayan lokal Alokasi internal Kesepakatan desa Mediasi 111

130 Konflik alat tangkap Konflik alat tangkap terjadi pada tahun 2004, melibatkan nelayan gill net dasar dengan nelayan pancing. Gill net atau jaring insang merupakan salah satu alat tangkap dominan yang diintroduksi di kawasan teluk Popoh. Pada mulanya nelayan menggunakan drift gill net (jaring insang hanyut) dengan hasil tangkapan yang cukup banyak, sehingga alat tangkap ini dapat digolongkan sebagai alat tangkap efektif untuk digunakan di perairan Teluk Popoh. Namun demikian, keberadaan alat tangkap ini mulai menimbulkan kecemburuan dari nelayan lain yang menggunakan alat tangkap berbeda, seperti nelayan pancing. Konflik dipicu oleh adanya penggunaan bottom gill net (jaring insang dasar) oleh nelayan. Nelayan pancing menuduh bahwa gill net dasar menutupi biota karang hingga mati, sehingga membuat ikan-ikan karang yang biasanya banyak terdapat di terumbu karang menjadi sulit didapatkan. Konflik ini sempat menimbulkan ketegangan diantara kelompok nelayan gill net dan kelompok nelayan pancing, tetapi tidak sampai ke tahap krisis karena dapat diredam oleh ke dua belah pihak dengan melakukan negosiasi guna mencari solusi yang dapat diterima oleh ke dua belah pihak. Konflik bagi hasil Konflik bagi hasil terjadi pada nelayan purse seine yang melibatkan juragan pemilik dengan ABK. Konflik ini disebabkan adanya anggapan juragan darat bahwa bagi hasil dinilai tidak adil dan lebih menguntungkan ABK. Kesepakatan tidak tertulis mengenai bagian untuk masing-masing pihak ditentukan berdasarkan hasil penjualan ikan di TPI, yang kemudian dibagi antara juragan darat dengan ABK. Dalam prakteknya, kesepakatan ini dilanggar oleh ABK karena mereka telah menyisihkan ikan hasil tangkapan sebelum dibawa ke TPI. Kebiasaan para nelayan ABK menyisihkan ikan hasil tangkapan dikenal dengan esekan. Karena jumlah ABK-nya yang cukup banyak maka esekannyapun akan semakin besar dan akhirnya mengurangi jumlah ikan yang akan dibawa ke TPI. Dengan demikian ABK memperoleh bagian yang lebih besar karena mereka memperoleh bagian dari bagi hasil serta esekan. 112

131 Konflik retribusi Konflik retribusi terjadi pada 2004, melibatkan nelayan, Pemerintah Daerah (Pemprov. Jatim, Pemkab Malang) dan Koperasi Unit Desa (KUD). Konflik terjadi disebabkan penetapan tarif retribusi melalui Peraturan daerah (Perda) sebesar 5% yang mendapatkan penolakan dari para nelayan. Menurut nelayan Pemerintah tidak selayaknya menetapkan kenaikan tarif retribusi karena Pemerintah belum memberikan jaminan yang memadai terhadap kelancaran operasional PPI. Kondisi ini menunjukkan bahwa konflik retribusi mempunyai kaitan yang erat dengan konflik tambat labuh. Proses resolusi konflik retribusi sejauh ini dilakukan dengan adanya negosiasi antara Pemerintah Daerah (Pemprov. Jatim, Pemkab Malang) dan Koperasi Unit Desa (KUD); Pada dasarnya semua pihak memahami akan perlunya dikenakannya pungutan retribusi ntuk keperluan operasional PPI, sehingga dicapai kesepakatan berupa penetapan tarif retribusi sebesar 3 % dari jumlah penjualan hasil tangkapan mereka. Pada 2004 besarnya retribusi yang berhasil dikumpulkan adalah 955 juta. Retribusi tersebut ditarik dari penjualan kotor sebesar 32 milyar dengan hasil produksi lebih kurang ton Konflik retribusi muncul pertama kali pada 1982 dan kemudian muncul kembali pada 2004, melibatkan bakul ikan dengan pengelola pariwisata. Konflik ini disebabkan karena bakul dikenakan biaya retribusi oleh pengelola daerah wisata. Besar tarif retribusi adalah Rp 500,-/basket pada setiap kali membawa ikan keluar kawasan PPI. Para bakul berpendapat mereka telah membayar retribusi sebesar 3 persen kapada pemerintah sehingga seharusnya mereka tidak dibebani lagi dengan pungutan yang lain. Dilain pihak, pengelola daerah wisata berpendapat retribusi diperlukan karena para bakul telah memanfaatkan jalan akses yang dipelihara oleh pengelola pariwisata. Terkait dengan lokasi PPI yang berada di dalam kawasan wisata, pengelola wisata juga mengeluhkan adanya bau amis yang dirasakan mengganggu kenyamanan bagi pengunjung daerah wisata. Hingga saat ini status penyelesaian konflik ini belum jelas dan belum ada penyelesaian yang dapat diterima oleh ke dua belah pihak. Dalam proses resolusi konflik ini, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tulungagung berperan sebagai fasilitator. 113

132 Konflik perikanan tangkap muncul pertama kali dikalangan masyarakat nelayan melibatkan nelayan pancing dengan nelayan jaring insang monofilament dasar. Konflik terjadi karena adanya perbedaan persepsi yaitu nelayan pancing menuduh jaring insang monofilament dasar yang digunakan oleh nelayan jaring insang tertinggal dan menutupi karang sehingga karang tersebut mati dan ikan tidak berkumpul ditempat tersebut. Konflik alokasi sumberdaya eksternal melibatkan masyarakat nelayan dengan PT Perhutani. Dampak dari resesi ekonomi juga melanda masyarakat di Teluk Popoh. Hasil tangkapan ikan yang tidak mencukupi, mengakibatkan nelayan harus mencari sumber lain untuk memenuhi kebutuhannya. Sumber lain yang dimaksudkan adalah perambahan hutan jati milik PT Perhutani yang berada di wilayah Teluk Popoh oleh masyarakat nelayan. Konflik daerah tangkap Konflik perebutan fishing ground melibatkan nelayan lokal dengan nelayan andon dari Pasuruan. Konflik ini disebabkan oleh adanya kecemburuan nelayan lokal terhadap nelayan andon yang produktivitas hasil tangkapannya lebih tinggi. Konflik mencapai puncaknya ketika terjadi pembakaran kapal nelayan andon oleh nelayan lokal. Diberlakukannya kebijakan otonomi daerah juga diartikan oleh masyarakat nelayan secara sempit. Masyarakat lokal melarang nelayan andon beroperasi di perairan Teluk Popoh karena mereka merasa memiliki hak atas sumberdaya yang ada di lingkungan Teluk Popoh. Dari segi perkembangan sosial-ekonomi masyarakat nelayan setempat, peranan andon sebenarnya cukup signifikan karena nelayan andon memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan nelayan lokal pada penerimaan daerah berupa retribusi, disamping peranan dalam mengintroduksi teknologi penangkapan ikan dan etos kerja. Oleh karena itu kehadiran nelayan andon sangat penting baik bagi Pemerintah Daerah maupun bagi masyarakat lokal. Konflik penggunaan potas/obat-obatan Konflik penggunaan potas/obat-obatan melibatkan masyarakat nelayan dengan pengelola tambak. Masyarakat nelayan menuduh pengelola tambak telah menggunakan obat-obatan di tambaknya dan dibuang ke laut sehingga 114

133 menyebabkan populasi ikan di sekitar pantai menurun tajam. Puncak konflik terjadi ketika masyarakat menjarah tambak-tambak yang berada di sekitar Teluk Popoh. Konflik penggunaan potas/obat-obatan juga terjadi di Teluk Popoh, melibatkan nelayan lokal dengan nelayan Blitar. Nelayan lokal menuduh nelayan Blitar menggunakan potas dalam operasi penangkapan ikan karang sehingga membahayakan kelestarian sumberdaya ikan di perairan Teluk Popoh Pengelolaan konflik Berbeda dengan wilayah Teluk Prigi dan Sendang Biru, pengelolaan konflik di Teluk Popoh seperti daerah tangkap, perbedaan alat tangkap, bagi hasil, konflik antara nelayan lokal dengan andon, retribusi hasil ikan dan penggunaan potas dalam penangkapan ikan karang, selalu melibatkan pihak ke tiga, baik di tingkat Kecamatan (Muspika) maupun Kabupaten (Muspida), karena tanpa bantuan pihak ketiga maka konflik yang ada tidak dapat dituntaskan dengan baik. Kepolisian Resort (Polres) Tulungagung dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tulungagung sangat berperan dalam proses resolusi konflik. Konflik yang skalanya kecil biasanya diselesaikan dengan melibatkan perangkat desa dan kesepakatan yang dicapai kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan desa. Pengelolaan konflik perebutan fishing ground diselesaikan dengan melibatkan Muspida dan Muspika sebagai mediator. Hal ini disebabkan karena masyarakat lokal belum memiliki kemampuan untuk menyelesaikan konfliknya sendiri. Kesepakatan yang dicapai dalam penyelesaian konflik adalah nelayan andon diwajibkan memperkerjakan nelayan lokal dalam armada penangkapannya, dengan ketentuan dalam satu kapal jumlah nelayan andon dibatasi maksimum hanya lima orang sedangkan sisanya nelayan lokal. Pada awalnya kesepakatan ini berjalan dengan baik, tetapi pada akhirnya terjadi pelanggaran dengan tidak direkrutnya nelayan lokal dalam armada penangkapan nelayan andon, dengan alasan nelayan lokal tidak memiliki etos kerja yang kuat dan cenderung bermalasmalasan. Pengelolaan konflik bagi hasil dilakukan dengan menegosiasikan kembali sistem bagi hasil antara juragan darat dan ABK. Hal ini dilakukan karena jika tidak dibuat kesepakatan baru maka operasi armada purse seine akan tidak 115

134 menguntungkan sebagai akibat dari sistem bagi hasil yang kurang adil. Berdasarkan keterangan dari responden konflik bagi hasil bisa diselesaikan melalui proses negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang berperan sebagai mediator. Secara umum keterkaitan antar stakeholder dalam proses resolusi konflik di Teluk Sendang Biru dapat dilihat pada Gambar 25. FACILITATOR/MEDIATOR : APARAT DESA APARAT KAB. PPI POPOH Pihak berkonflik I Pihak berkonflik II : fasilitasi/mediasi : konflik Gambar 25. Keterkaitan antar stakeholder dalam proses resolusi konflik di Teluk Popoh Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, diperoleh kesimpulan bahwa resolusi konflik perikanan tangkap yang ada di Teluk Popoh pada dasarnya baru mampu merubah wujud konflik yang awalnya mencuat menjadi bentuk konflik laten yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali. Terkait dengan proses resolusi konflik, Pemda Tulungagung juga telah melakukan upaya-upaya diversifikasi usaha untuk mengatasi kesenjangan sosial yang ada dikalangan masyarakat di Teluk Popoh. Sebagai contoh telah dilakukan upaya pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan kegiatan pengolahan ikan dan pembuatan cinderamata. Namun sampai sejauh ini belum menunjukkan hasil yang memadai, misalnya khusus untuk cinderamata masih dipasok dari Situbondo dan tidak ada yang dihasilkan oleh masyarakat lokal. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa masyarakat nelayan di Teluk Popoh mudah terprovokasi dan dimanfaatkan oleh pihak lain yang mempunyai keinginan tertentu. Sebagai contoh, pernah terjadi konflik antar nelayan yang dimotori oleh tokoh-tokoh setempat. Setelah ditelusuri ternyata 116

135 konflik tersebut terjadi karena para tokoh memperebutkan posisi tertentu di KUD dan desa Pembahasan Dalam penelitian ini telah berhasil ditemukan 27 kasus konflik di Teluk Prigi, Teluk Sendang Biru dan Teluk Popoh, yang dapat dikelompokkan menjadi konflik retribusi, konflik tambat labuh, konflik daerah tangkap, konflik perbedaan alat tangkap, konflik penggunaan potas/obat-obatan, konflik bagi hasil, konflik nelayan lokal dengan andon, konflik pengolahan limbah dan konflik perusakan terumbu karang, seperti pada Tabel 5. Tabel 5. Jenis konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian Lokasi Penelitian Jenis konflik Sendang Biru Popoh Prigi Jumlah Retribusi Tambat labuh Daerah tangkap Alat tangkap Penggunaan potas/obat-obatan Bagi hasil Nelayan lokal vs andon Pengolahan limbah Perusakan terumbu karang Jumlah Pada Tabel 5 terlihat jumlah jenis konflik tertinggi terjadi di Teluk Prigi sementara terendah di Teluk Popoh. Konflik daerah tangkap, merupakan konflik yang sering terjadi. Konflik ini melibatkan antara sesama nelayan lokal, sesama nelayan andon atau antara nelayan lokal dengan nelayan andon. Konflik daerah tangkap disebabkan terlalu banyaknya jumlah nelayan yang menangkap ikan di fishing ground yang sama. Charles (2001) membagi konflik perikanan ke dalam empat tipologi, yaitu: 1) konflik jurisdiksi, 2) konflik alokasi internal, 3) konflik alokasi eksternal dan 4) konflik mekanisme pengelolaan. Konflik jurisdiksi terjadi pada tataran kebijakan dan perencanaan, konflik ini terkait dengan tujuan pengelolaan, pihak yang berhak dan memiliki kontrol atas sumberdaya dan peran yang harus dilakukan oleh 117

136 pemerintah dalam sistem perikanan. Konflik alokasi internal terkait dengan pihak yang terlibat langsung dengan perikanan, konflik ini dapat berupa konflik alat tangkap, konflik daerah tangkap (fishing ground), nelayan dan pengolah. Konflik alokasi eksternal terkait dengan nelayan dan pihak lain yang tidak terkait langsung dengan penangkapan, misalnya budidaya, pariwisata dan masyarakat umum. Konflik mekanisme pengelolaan terkait dengan implementasi rencana pengelolaan, penegakan hukum dan lain-lain. Berdasarkan tipologi Charles (2001) maka ke 27 kasus konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian dapat dikelompokkan seperti pada Tabel 6. Tabel 6. Tipologi konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian berdasarkan kriteria Charles (2001) Tipologi konflik Lokasi Penelitian Sendang Biru Popoh Prigi Jumlah Jurisdiksi Alokasi Internal Alokasi Eksternal Mekanisme pengelolaan Jumlah Pada tabel di atas dapat diketahui tipologi konflik di lokasi penelitian sebagian besar adalah alokasi internal (20), diikuti oleh alokasi eksternal (4) dan mekanisme pengelolaan (3), sementara konflik yang terkait dengan masalah jurisdiksi tidak dijumpai di lokasi penelitian. Konflik alokasi internal terjadi di semua lokasi penelitian, konflik alokasi eksternal terjadi di Teluk Popoh dan Teluk Prigi, sementara konflik mekanisme pengelolaan hanya terjadi di Teluk Sendang Biru. Pengelolaan konflik pada dasarnya dapat diselesaikan dengan teknik litigasi (pengadilan) maupun alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution/adr). Hasil wawancara mendalam dengan responden di tiga lokasi penelitian diketahui sebagian besar konflik yang terjadi diselesaikan menggunakan ADR, yaitu melalui negosiasi, mediasi, fasilitasi. Sedangkan sebagian kecil konflik dibiarkan selesai dengan sendirinya. Teknik resolusi konflik yang digunakan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel

137 Tabel 7. Teknik resolusi konflik di lokasi penelitian Teknik Resolusi Lokasi Penelitian Konflik Sendang Biru Popoh Prigi Jumlah Negosiasi Fasilitasi Mediasi Dibiarkan Jumlah Metoda pengelolaan konflik yang paling banyak digunakan di lokasi penelitian adalah negosiasi, diikuti dengan mediasi dan fasilitasi. Terdapat dua jenis konflik yang dibiarkan selesai dengan sendirinya yaitu konflik tambat labuh dan konflik penangkapan ikan dengan menggunakan potas di Teluk Sendang Biru. Penyelesaian konflik tambat labuh yang dibiarkan begitu saja disebabkan karena konflik ini terkait dengan terbatasnya sarana pelabuhan dan perilaku nelayan yang tidak mau segera berpindah ke tempat lain setelah menurunkan muatan. Peningkatan sarana pelabuhan merupakan kewenangan Pemerintah yang relatif sulit untuk direalisasikan disebabkan keterbatasan sumber dana, sedangkan konflik penggunaan potas dibiarkan dengan sendirinya disebabkan karena jumlahnya yang kecil serta sulit membuktikan pelakunya. Berdasarkan jenis dan teknik resolusi konflik yang digunakan di lokasi penelitian dapat digambarkan peta resolusi konflik seperti pada Tabel 8. Pada tabel terlihat 5 (lima) jenis konflik (12 kasus) diselesaikan dengan teknik negosiasi yaitu konflik retribusi (1 kasus), daerah tangkap (3 kasus), perbedaan alat tangkap (4 kasus), penggunaan potas/obat-obatan (2 kasus) dan bagi hasil (2 kasus). Teknik fasilitasi digunakan untuk menyelesaikan 4 (empat) jenis konflik (5 kasus) yaitu konflik retribusi (1 kasus), daerah tangkap (1 kasus), pengolahan limbah (2 kasus) dan perusakan terumbu karang (1 kasus); Teknik mediasi digunakan untuk menyelesaikan 4 (empat) jenis konflik (8 kasus) yaitu konflik daerah tangkap (2 kasus), perbedaan alat tangkap (2 kasus), penggunaan potas/obat-obatan (2 kasus) dan konflik antara nelayan lokal dengan nelayan andon (2 kasus), sedangkan teknik avoidance digunakan untuk menyelesaikan 2 (dua) jenis konflik yaitu konflik tambat labuh (1 kasus) dan penggunaan potas/obat-obatan (1 kasus). 119

138 Tabel 8. Jenis dan teknik resolusi konflik di lokasi penelitian Jenis konflik Teknik resolusi konflik Negosiasi Fasilitasi Mediasi Dibiarkan Jumlah Retribusi Tambat labuh Daerah tangkap Perbedaan alat tangkap Penggunaan potas/obat-obatan Bagi hasil Nelayan lokal vs andon Pengolahan limbah Perusakan terumbu karang Jumlah Bila tipologi konflik dihubungkan dengan teknik resolusi konflik maka hasilnya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Tipologi konflik dan teknik resolusi yang digunakan Tipologi konflik Metode resolusi konflik Negosiasi Fasilitasi Mediasi Dibiarkan Jumlah Alokasi internal Alokasi eksternal Mekanisme Pengelolaan Jumlah Konflik alokasi internal paling banyak diselesaikan dengan teknik negosiasi dan mediasi. Hal ini disebabkan permasalahan konflik alokasi internal sangat dipahami oleh masing-masing pihak yang berkonflik sehingga mereka bersedia dipertemukan untuk menyelesaikan konflik. Sedangkan konflik alokasi eksternal diselesaikan dengan teknik fasilitasi dan mediasi. Sementara konflik mekanisme pengelolaan diselesaikan dengan teknik negosiasi dan dibiarkan selesai dengan sendirinya. Identifikasi faktor penyebab konflik di lokasi penelitian telah berhasil didapatkan 11 sub variabel penyebab konflik yang diturunkan dari tiga variabel penyebab konflik yang dikemukakan oleh Bennet dan Neilland (2000) yaitu aktor, kondisi sumberdaya dan kondisi lingkungan. Sub variabel yang berkaitan dengan aktor ada tujuh macam yaitu: banyak sedikitnya pihak yang terlibat dalam konflik (PART), keberadaan tokoh dalam 120

139 konflik (LEAD), keberadaan pihak yang bertolak belakang (OPOS), isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU), jumlah nelayan (POPU), latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), dan adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE). Sub variabel yang berkaitan dengan kondisi sumberdaya adalah kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK). Sementara sub-variabel yang berkaitan dengan kondisi lingkungan adalah kondisi perekonomian masyarakat (EKON) dan keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS). Secara ringkas sub variabel penyebab konflik tersebut jika dikelompokkan kedalam variabel menurut Bennet dan Neiland (2000) terlihat pada Tabel 10. Tabel 10. Sub variabel penyebab konflik perikanan tangkap menurut Bennet dan Neiland (2000) No Variabel Sub Variabel 1 Aktor a. PART : banyak sedikitnya pihak yang terlibat dalam konflik b. LEAD : keberadaan tokoh dalam konflik c. OPOS : keberadaan pihak yang bertolak belakang d. ISSU : isu yang berkembang dalam masyarakat e. POPU : jumlah nelayan f. CULT : latar belakang budaya dan adat istiadat g. INTE : adanya keinginan tertentu dalammasyarakat 2. Kondisi sumberdaya a. COMP : kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya b. STOK : persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya 3. Kondisi Lingkungan a. EKON : kondisi perekonomian masyarakat b. LAWS : keberadaan peraturan dan penegakan hukum Kesimpulan Jenis konflik di lokasi penelitian berjumlah 27 kasus, yang dikelompokkan ke dalam sembilan jenis konflik yaitu : 1) konflik retribusi, 2) konflik tambat labuh, 3) konflik daerah tangkap, 4) konflik perbedaan alat tangkap, 5) konflik penggunaan potas/obat-obatan, 6) konflik bagi hasil, 7) konflik nelayan lokal vs andon, 8) konflik pengolahan limbah dan 9) konflik perusakan terumbu karang. Tipologi konflik di lokasi penelitian adalah konflik alokasi internal (20), alokasi eksternal (4) dan mekanisme pengelolaan (3). Konflik jurisdiksi tidak dijumpai di lokasi penelitian. Konflik alokasi internal terjadi di Teluk Prigi, Teluk 121

140 Sendang Biru dan Teluk Popoh; konflik alokasi eksternal terjadi Teluk Popoh dan Teluk Prigi, dan konflik mekanisme pengelolaan terjadi di Teluk Sendang Biru. Sebagian besar konflik perikanan tangkap diselesaikan dengan teknik negosiasi, mediasi, fasilitasi dan dibiarkan selesai dengan sendirinya. Konflik alokasi internal diselesaikan dengan teknik negosiasi (10) dan mediasi (7). Konflik alokasi eksternal diselesaikan dengan teknik fasilitasi (3) dan mediasi (1). Sementara konflik mekanisme pengelolaan diselesaikan dengan teknik negosiasi (2). Faktor penyebab konflik perikanan tangkap terdiri dari 11 sub variabel yaitu, banyak sedikitnya pihak yang terlibat dalam konflik, keberadaan tokoh dalam konflik, keberadaan pihak yang bertolak belakang, isu yang berkembang dalam masyarakat, kondisi perekonomian masyarakat, jumlah nelayan, latar belakang budaya dan adat istiadat, keberadaan peraturan dan penegakan hukum, adanya keinginan tertentu dalam masyarakat, kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya dan persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya. 122

141 5 KEEFEKTIVAN TEKNIK RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP ABSTRACT Conflicts of capture fisheries are generally related to the exploitation of scarce fish resources involving certain parties or groups of interest. The aim of the research is to describe the effectiveness of capture fisheries conflict management. Data were obtained through series surveis in the study areas. Principal component analysis and structural equation model were used to verify hypotheses. The main causing factors for conflicts are regulation and law enforcement, the presence of community leaders, competition in the use of resources, perception of the people toward resources, issues among the community and the local economic condition. Meanwhile, the main type of capture fisheries conflicts namely: 1) conflict on fee imposition 2) conflict on anchoring/landing port 3) conflict on fight for fishing ground, 4) conflict on capture tool discrepancy, 5) conflict between local fishers and migrant fishers. The most suitable conflict resolution methods is mediation. The method is positively influential to the participation of sustainable capture fisheries management, but negatively influential to the management of fair capture fisheries. Key words: SEM, PCA, conflict management, capture fisheries. Pendahuluan Konflik muncul ketika keinginan dari dua atau lebih kelompok berbenturan atau berbeda dan sekurang-kurangnya sekelompok dari pihak yang terlibat berupaya memaksakan keinginan kelompoknya pada kelompok lain. Konflik dapat dipandang sebagai sebuah fenomena sosial yang muncul sebagai dampak dari perubahan yang tiba-tiba atau gradual yang memunculkan perbedaan kepentingan atau keinginan diantara kelompok masyarakat. Ketersediaan atau keterbatasan sumberdaya berhubungan erat dengan aktivitas masyarakat. Aktivitas pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dapat dikelompokkan ke dalam sinergistik, komplementer, kompetitif dan antagonistik. Dari ke empat model ini, hubungan yang bersifat kompetitif dan antagonistik berpotensi memicu timbulnya konflik. Konflik terjadi karena adanya kompetisi atau klaim terhadap alokasi sumberdaya. Dalam menganalisis peranan ketersediaan atau keterbatasan sumberdaya (scarcity) terhadap terjadinya konflik, maka interaksi antara sumberdaya dengan ekosistemnya juga harus mendapat

142 perhatian, karena perubahan salah satu sistem dari ekosistem akan mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Pengelolaan konflik adalah upaya menyelesaikan konflik yang muncul di kalangan masyarakat. Bennett dan Neiland (2000) menyatakan metoda resolusi konflik umumnya bersifat spesifik. Dalam artian walaupun telah dikenal berbagai metoda untuk menyelesaikan konflik, tetapi tidak seluruh metoda tersebut cocok untuk menyelesaikan konflik tertentu. Resolusi konflik dapat ditempuh dengan menggunakan dua pendekatan yaitu melalui pengadilan (litigasi) atau pendekatan alternatif yang lebih dikenal sebagai alternative dispute resolution (ADR). Konflik di wilayah pesisir (pantai) umumnya melibatkan pihak atau kelompok yang berbeda serta kepentingan yang berbeda (Anonimous 1993). Untuk itu agar pengelolaan konflik dapat dilakukan dengan efektif, maka harus ada timbal balik atau benefit dari resolusi konflik itu sendiri. Resolusi konflik akan sulit dilakukan karena melibatkan dorongan jangka pendek (biasanya dorongan ekonomi) dan kepentingan jangka panjang (seperti konflik yang melibatkan masalah biologi dan lingkungan). Oleh karena itu, salah satu cara yang dapat digunakan dalam penyelesaian konflik adalah pendekatan multiple objectives dalam perencanaan pengelolaan perikanan tangkap. Resolusi konflik yang efektif diharapkan akan berdampak positif. Hal ini disebabkan karena tidak semua konflik selalu berdampak negatif. Konflik yang berdampak positif dibutuhkan dalam tahap perkembangan kearah yang lebih baik. Dalam hal ini konflik justru mampu mempererat masyarakat dan pada akhirnya akan menciptakan alokasi sumberdaya yang lebih adil. Dengan demikian melalui resolusi konflik yang tepat akan tercipta kondisi positif pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, mendorong partisipasi masyarakat, terciptanya keadilan (equity) antar kelompok masyarakat, serta mengembangkan stabilitas sosial Menyadari tentang sifat konflik perikanan tangkap, maka untuk dapat memberikan resolusi yang efektif, baik untuk konflik yang sedang terjadi maupun yang mungkin terjadi, diperlukan identifikasi menyeluruh tentang pihak-pihak yang mempunyai kepentingan. Hal ini sangat penting guna menyusun model resolusi konflik perikanan tangkap yang efektif secara sistematis dan 124

143 berkelanjutan. Pendekatan yang baik untuk menyusun rencana pengelolaan konflik adalah dengan mengajak pihak-pihak yang berkepentingan berpartisipasi dalam mengembangkan pemahaman yang sama terhadap suatu konflik, dinamikanya dan pengaruhnya di masyarakat sehingga akan lebih mampu menginterpretasikan konflik yang ada, mengenali tanda tanda meningkatnya konflik dan memperkirakan dampak konflik tersebut. Dengan memiliki ketrampilan untuk mengelola konflik, seperti memetakan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, menyusun strategi untuk menyeimbangkan kekuatan, merefleksikan sikap yang dimiliki ketika menghadapi konflik, sampai pada pilihan teknik resolusi konflik; diharapkan akan dicapai resolusi konflik yang menyeluruh, dan keputusan atau kesepakatan yang diambil dari pihak-pihak tersebut dapat berjalan lancar dan sesuai dengan keinginan pihak-pihak yang terkait (Anonimous, 2002). Kemungkinan adanya resolusi konflik akan meningkatkan hubungan di antara mereka dan secara otomatis jalan keluar yang diambil akan menjadi pendorong mereka untuk berperilaku menghindari konflik, dan atau memelihara kesepakatan yang sudah ada. Pengelolaan konflik (conflict management) juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, karena tanpa pengelolaan yang tepat maka konflik yang timbul di masyarakat dapat menghambat dan akan berpengaruh terhadap produktifitas nelayan serta partisipasi masyarakat akan sulit dikembangkan secara optimal. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan masukan dalam rangka menyusun perencanaan pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Berdasarkan uraian diatas maka masalah penelitian (research problems) adalah bagaimana keefektivan resolusi konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian? Kerangka Teoritis dalam Menganalisis Keefektifan Resolusi Konflik Pengenalan tipologi konflik merupakan hal penting untuk menjelaskan penyebab terjadinya konflik, karena dengan diketahuinya tipologi konflik maka penyebab dan alternatif resolusi konflik dapat dianalisis. Tipologi tidak berupaya 125

144 menggambarkan semua bukti-bukti empiris, tetapi menarik benang merah yang diperkirakan dapat mewakili suatu karakteristik (McKinney 1966). Obserschall (1973) menyatakan banyak peneliti dibidang conflict resolution yang merasakan manfaat dari tergambarkannya tipologi konflik. Charles (1992) misalnya, telah berhasil merekonstruksi konflik yang sering terjadi di perikanan. Menurutnya, konflik dapat dikelompokkan ke dalam konflik jurisdiksi, konflik pengelolaan, konflik alokasi internal dan konflik alokasi eksternal atau konflik intersektoral. Penelitian ini akan lebih memfokuskan pada konflik alokasi internal, sesuai dengan hasil studi pendahuluan. Penyebab konflik dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu: penyebab internal dan penyebab ekternal. Penyebab internal terkait dengan karakteristik individu atau kelompok yang berkonflik, sedangkan penyebab eksternal adalah semua faktor yang berada diluar kontrol individu atau kelompok tetapi dapat memicu timbulnya konflik. Berdasarkan hal itu, konflik yang dikemukakan oleh Charles (1992) dapat dikelompokkan ke dalam penyebab eksternal. Bradford dan Stringfellow (2001) menyatakan perbedaan karakteristik individu dalam kelompok dapat memicu timbulnya konflik. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain terkait dengan keahlian individual, kesepakatan terhadap kelompok, kekuatan (power) individu dalam kelompok serta hubungan sosial. Pada akhirnya perbedaan ini akan mempengaruhi outcome dari kelompok yang bersangkutan. Outcome dapat diukur dari kinerja kelompok, kreativitas dan kepuasan anggota terhadap outcome kelompok. Amason et al. (1995) dan Jehn (1995 ) mengelompokkan konflik menjadi: 1) affective conflict dan 2) task conflict. Affective conflicts merupakan ketidak sepahaman anggota kelompok tentang incompatibilitas seseorang yang dapat menimbulkan rasa curiga, tidak percaya, dan tidak bersahabat dengan anggota kelompok lainnya (Brehmer 1976; Faulk 1982). Berbagai riset menunjukkan bahwa konflik jenis ini akan mengurangi keefektifan proses pengambilan keputusan dangan jalan mengurangi kemampuan kelompok untuk menghasilkan keputusan yang lebih baik. Task conflict disebabkan adanya perbedaan pengetahuan, kekuatan dan kesepakatan diantara anggota kelompok Perbedaan 126

145 keahlian dapat berwujud perbedaan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan anggota kelompok terhadap masalah yang dihadapi serta upaya memecahkannya. Adanya perbedaan keahlian ini dapat menyebabkan masing-masing anggota mengajukan pendekatan atau pandangan yang berbeda terhadap masalah yang dihadapi, sehingga perbedaan tersebut pada akhirnya malah dapat menimbulkan konflik. Gilbraith dan Stringfellow (2002) mengatakan konflik afektif terjadi karena dua hal, yaitu: perbedaan kekuatan (power) dan kesepakatan (committment). Suatu kelompok yang perbedaan kekuatannya sangat besar akan cenderung mengalami friksi personal yang lebih tinggi ketimbang kelompok yang anggotanya berasal dari status sosial yang sama. Friksi juga dapat terjadi ketika sebagian anggota memiliki kesepakatan untuk menyelesaikan masalah sementara anggota yang lain bersikap masa bodoh terhadap masalah yang dihadapi oleh kelompok yang bersangkutan. Jabri (1996) berpendapat bahwa menganalisis konflik dari sudut peranan aktor seringkali sangat kompleks. Hal ini disebabkan aktor yang kedudukannya lebih kuat dalam konflik seringkali lebih didengar. Hubungan kekuatan antar aktor pada akhirnya terkait dengan status sumberdaya, jika ketersediaan sumberdaya makin terbatas, maka hubungan kekuatan tersebut akan bergeser ke isu alokasi sumberdaya. Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Oleh karena itu selain tipologi konflik maka penggambaran konflik menurut tahapannya (diagnosis) juga menjadi penting (Fisher et al. 2000). Diagnosis pentahapan konflik bertujuan untuk mengkaji tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan eskalasi konflik serta berusaha untuk meramalkan pola-pola peningkatan intensitas konflik dimasa depan dengan tujuan untuk menghindari pola itu terjadi. Pentahapan konflik dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu tahap prakonflik, tahap konfrontasi, tahap krisis, tahap akibat dan tahap pascakonflik. Proses resolusi konflik pada dasarnya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu melalui proses peradilan (litigasi) dan diluar pengadilan atau penyelesaian konflik alternatif (Alternative Dispute Resolution/ADR). Melalui proses litigasi, akan 127

146 memunculkan pihak yang menang dan pihak yang kalah. Sementara pada pendekatan ADR output yang dihasilkan lebih fleksibel dan lebih dapat diterima oleh semua pihak dan hasilnya lebih berorientasi jangka panjang. Selain itu ADR lebih popuer digunakan untuk mengatasi konflik yang terkait dengan masalah lingkungan dan sumberdaya alam. Jenis-jenis ADR yang sering digunakan terdiri dari negosiasi, mediasi, fasilitasi dan arbitrase. Karakteristik dan penggunaan beberapa teknik ADR tersebut secara ringkas dijelaskan pada Tabel 11. Konsep piramid sering digunakan sebagai simbolisasi berbagai metode resolusi konflik (Gambar 26). Pada puncak piramid adalah cooperative teamwork, dengan tujuan utama mencapai sinergi untuk mencari resolusi konflik yang paling menguntungkan semua pihak yang berkonflik. Pada dasar piramid terdapat isolation yaitu kondisi pihak yang berkonflik bersikap masa bodoh (Brown et al. 1995). Piramid resolusi konflik menggambarkan pilihan proses resolusi konflik mulai dari isolation hingga ke cooperation. Proses resolusi konflik menggunakan hukum formal (litigasi) akan menghasilkan suasana yang terisolasi karena ada pihak yang dimenangkan dan yang dikalahkan oleh tatanan hukum formal, sementara resolusi konflik yang menggunakan pendekatan ADR akan menghasilkan kondisi yang kooperatif. Hal ini disebabkan pihak yang berkonflik saling berinteraksi untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak. Kerjasama Penyelesaian sengketa alternatif Masing-masing pihak merepresentasikan keinginannya Intervensi pihak ke tiga Negosiasi Konsiliasi Fasilitasi Mediasi Arbitrasi Negosiasi rule making Ligitasi Konfrontasi Bekerja sama untuk membangun konsensus Penyelesaian melalui jalur pengadilan Isolasi Gambar 26. Metode pengelolaan konflik (Diadopsi dari Bennett dan Neiland 2000) 128

147 Tabel 11. Perbandingan beberapa penyelesaian konflik alternatif Arbitrasi Mediasi Definisi Pihak ketiga yang netral atau panel tenaga ahli membuat keputusan setelah mendengarkan argument dan mempelajari bukti-bukti Karakteristik Keputusan yang dihasilkan dapat mengikat atau tidak mengikat. Sangat terstruktur tetapi tidak terlalu formal dibandingkan dengan adjudication. Penasehat masing-masing pihak yang berkonflik menunjukkan bukti dan argumentasi. Pihak yang berkonflik memilih pihak ketiga dan menetapkan peraturan. Selanjutnya pihak ketiga dapat memilih norma atau aturan yang digunakan. Efektif jika pihak yang berkonflik tidak terlalu banyak. Penggunaan Ketika dibutuhkan keputusan yang segera, dapat digunakan pada tahapan konflik yang berbeda. Cocok untuk konflik yang berkaitan dengan hukum dan fakta, sehingga keputusan yang dibuat harus memenuhi standar tertentu. Digunakan pada konflik tingkat tinggi, atau ketika dipandang bahwa close relationship dimasa datang tidak mungkin diwujudkan lagi. Negosiasi Definisi Pihak yang berkonflik berupaya untuk menyelesaikan perbedaan dengan melakukan kompromi atau menggunakan prinsip yang disepakati bersama tanpa melibatkan pihak ketiga Definisi Pihak yang berkonflik memilih pihak ketiga yang netral untuk membantu mereka merancang dan mengarahkan dalam proses mencari penyelesaian konflik yang dapat diterima oleh semua pihak. Karakteristik Pihak yang berkonflik membuat keputusan. Pihak yang berkonflik saling bertukar informasi dan permasalahan yang menjadi penyebab konflik dihadapan mediator. Pihak yang berkonflik dapat mengemukakan emosi/perasaannya. Dapat dijadikan dasar bagi pihak yang berkonflik untuk bernegosiasi dimasa datang tanpa melibatkan kehadiran pihak ketiga. Penggunaan Sangat baik digunakan jika pihak yang berkonflik masih memandang perlunya hubungan baik yang akan dijaga. Bermanfaat ketika negosiasi dapat menemukan kesepakatan dan salah satu pihak merasa dirugikan atau dikesampingkan. Fasilitasi Definisi Pertukaran informasi dan pembentukan beberapa alternatif penyelesaian dilakukan dengan bantuan pihak ketiga yang memiliki kemampuan dalam memimpin pertemuan. Digunakan untuk konflik dengan skala rendah hingga ke medium. 129

148 Tabel 11 (Lanjutan) Negosiasi Karakteristik Prosesnya tidak terstruktur dan tanpa aturan yang formal/ agenda. Untuk konflik skala rendah formatnya lebih kasual dan tidak formal. Dapat dilakukan ditempat salah-satu pihak yang berkonflik. Penggunaan Sering digunakan sebagai langkah awal dalam proses resolusi konflik. Digunakan jika isunya sudah jelas atau sudah cukup isu, pihak yang berkonflik dan memberi dan menerima. Cocok untuk konflik yang non-teknikal yang tidak terkait dengan hukum. Hubungan antar pihak yang berkonflik sebelumnya sudah terjalin baik untuk waktu yang lama. Fasilitasi Karakteristik Cocok digunakan jika pihak yang berkonflik lebih dari dua. Ada agenda yang jelas. Prosesnya mirip seperti pertemuan. Dapat dilakukan dengan atau tanpa pihak yang netral. Fasilitator tidak dapat mempengaruhi keputusan yang dibuat, tapi dapat mengatur jalannya pertemuan. Penggunaan Cocok digunakan untuk mendefinisikan problem dan tujuan, serta untuk mengidentifikasi dukungan personal dan institusional. Dapat digunakan sebagai langkah awal untuk mengidentifikasi proses penyelesaian konflik. Sumber: Priscoli (2003) Resolusi konflik melalui cooperative action berupaya untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan (win-win solutions) guna menghasilkan kondisi yang lebih baik (better off) bagi semua pihak. Walaupun demikian, tidak dapat diartikan bahwa pendekatan ini terbaik untuk pihak yang berkonflik. Dalam beberapa situasi, sekelompok orang yang berkonflik justru memperoleh manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok lainnya. Dalam kebanyakan sistem hukum formal, pendekatan litigasi (pengadilan) yang menggunakan aturan hukum yang kaku, sering menghasilkan kelompok yang lebih kuat di mata hukum. Oleh sebab itu pendekatan ini menghasilkan pihak yang kalah dan menang. Walaupun demikian tidak dapat diartikan bahwa pendekatan litigasi merupakan opsi yang buruk. Dalam beberapa kasus, pendekatan litigasi justru dibutuhkan, misalnya untuk konflik batasan hukumnya sudah jelas. Perbandingan resolusi konflik dengan menggunakan pendekatan litigasi dan ADR dapat dilihat pada Tabel

149 Tabel 12. Perbandingan resolusi konflik dengan metode litigasi dan Alternatif Dispute Resolution (ADR) Litigasi Keunggulan (Galanter 1966) 1) Aturan-aturannya bersifat seragam 2) Hak dan kewajiban sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan tawar-menawar antar pihak yang berkonflik 3) Putusan atas PERKa yang serupa biasanya adalah sama 4) Bersifat hierarkis, sehingga tingkat yang lebih rendah akan diawasi oleh tingkat yang lebih tinggi 5) Diorganisasikan secara birokratis 6) Bersifat rasional (dapat dipelajari dan dimengerti oleh semua orang) 7) Dijalankan oleh para profesional 8) Sistem lebih teknis dan kompleks 9) Dapat diubah dan diganti 10) Bersifat politis 11) Tugas menemukan dan menerapkan hukum dibedakan menurut fungsinya. Kelemahan (Anonimous 2002) 1) Memicu munculnya konflik ikutan dan mendorong timbulnya kemarahan antar kelompok. 2) Membuat salah satu kelompok curiga akan motif kelompok lainnya. 3) Pengambilan keputusan yang lebih lama. 4) Lebih menekankan pada solusi ketimbang menghasilkan kondisi yang sama-rata dan sama- rasa. 5) Menghasilkan pihak yang menang, pihak yang kalah dan perpecahan dalam masyarakat. 6) Lebih mahal baik ditinjau dari energi yang dikeluarkan maupun biaya ekonomi sumberdaya Alternative Dispute Resolution (ADR) Keunggulan (Priscolly 2002) 1) Sifat kesukarelaan dalam proses, tidak seorangpun dapat dipaksa untuk menggunakan prosedur ADR 2) Prosedur yang cepat karena bersifat tidak formal 3) Keputusan non-yudisial, wewenang untuk membuat keputusan berada pada pihak yang berkonflik 4) Kontrol tentang kebutuhan organisasi. Prosedur ADR menempatkan keputusan ditangan orang yang mempunyai posisi tertentu (penting) 5) Memberikan jaminan kerahasiaan bagi para pihak yang berkonflik dengan porsi yang sama 6) Fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat resolusi masalah 7) Hemat waktu dan biaya 8) Pemeliharaan hubungan karena kesepakatan yang dinegosiasikan memperhatikan kebutuhan pihak yang terlibat 9) Tingginya kemungkinan pelaksanaan kesepakatan 10) Kontrol dan kemudahan memperkirakan hasil Keputusan bertahan sepanjang waktu Kelemahan (O loughin dan Schumaker 1998) 1) Kurang efektif bila digunakan pada masalah yang kompleks dan sensitif 2) Dapat dipengaruhi oleh pemegang otoritas 3) Pengambilan keputusan yang didasarkan pada keahlian atau pengetahuan yang dapat dikompromikan 4) Pihak lain yang sebenarnya tidak dibutuhkan masih dimungkinkan untuk berpartisipasi sehingga mengganggu proses resolusi konflik 5) Kurang kuatnya hasil keputusan dari segi hukum 131

150 Untuk menyelesaikan konflik, seringkali pihak luar diminta untuk membantu bernegosiasi dengan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik. Keterbukaan adalah hal yang penting untuk memecahkan semua masalah. Bila keputusan yang diambil dari pihak-pihak tersebut dapat berjalan lancar dan sesuai dengan keinginan kedua belah pihak. Perjanjian dan jalan keluar yang diambil sebaiknya keluar dari mereka sendiri dan bukan dari pihak luar. Resolusi konflik pada dasarnya tidak dilakukan atas dasar siapa yang benar, siapa yang salah, tapi lebih didasarkan pada pengakuan dan penghargaan atas adanya perbedaan posisi dan kepentingan para pihak yang terlibat Creighton dan Priscoli (2001) menggambarkan situasi ideal yang seharusnya dicapai dalam resolusi konflik melalui proses negosiasi seperti dijelaskan pada Gambar 27. A - Kompetisi A Menang B Kalah E Negosiasi integratif Tingkat kepuasan untuk A D - Dihindari (Kalah untuk A + B) B - Negosiasi untuk mencapai kompromi A + B Sama-sama kalah dan menang C Akomodasi A - Kalah, B - Menang Tingkat kepuasan untuk B Gambar 27. Kondisi optimal resolusi konflik melalui proses negosiasi (diadopsi dari Creighton dan Priscoli 2001) Dalam proses negosiasi, pihak yang berkonflik akan berupaya bergerak antara titik A (dimana A menang) ke titik B (dimana B menang). Sebagai konsekuensinya, proses negosiasi yang baik seharusnya berada pada daerah B, kedua belah pihak tidak merasa menang atau kalah. Pada kenyataannya untuk 132

151 mencapai daerah ini sering sulit dilakukan oleh karena itu proses negosiasi dapat diperluas hingga mencapai daerah integrative bargaining collaboration. Pada daerah ini proses negosiasi diperluas tidak hanya melibatkan pihak yang berkonflik tetapi juga pihak lain yang dipandang mampu ikut menyelesaikan konflik. Untuk mencapai daerah tersebut juga dapat dilakukan melalui proses mediasi dan fasilitasi. Daerah D adalah daerah yang harus dihindari, karena pada daerah ini semua pihak yang berkonflik menjadi lebih buruk (worse off). Untuk mencapai kondisi kesepakatan yang berkesinambungan (durable settlement), Lincoln (1986) menyebutkan tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1) Substantive interest, yaitu: content need, dana, waktu, material dan sumberdaya. 2) Procedural interests, yaitu kebutuhan akan perilaku tertentu atau cara bagaimana sesuatu dapat diselesaikan. 3) Relationship or phsychological interest, yaitu kebutuhan yang merujuk pada perasaan seseorang, bagaimana seseorang diperlakukan, dan prakondisi untuk menciptakan hubungan yang berkelanjutan. Dengan menggabungkan penyebab konflik dengan metoda resolusi konflik maka dapat diketahui keefektifan metoda resolusi konflik. Isu sentral yang selalu muncul ketika melakukan evaluasi dampak dari metode pengelolaan konflik atau kebijakan dalam rangka melihat keefektifan resolusi konflik adalah isu kausalitas. Dalam mengevaluasi keefektifan suatu kebijakan (resolusi konflik), maka tidak cukup hanya dengan mengukur tujuan yang berhasil dicapai, tetapi harus mampu mencari hubungan kausalitas antara kebijakan dengan hasilnya. Menurut Coenen (1991) dalam Bruyninckx dan Cioppa (2000) terdapat tiga kondisi yang harus dipenuhi untuk mengidentifikasi hubungan kausalitas, yaitu : 1) Sequential relationship antara penyebab dengan hasil yang mengikutinya. 2) Covariance antara sebab dan akibat, dengan perkataan lain harus ada korelasi empirik antara sebab dengan akibat. 3) Tidak ada faktor penjelas yang lain. Sebagai contoh jika ada perubahan antara kebijakan dan efeknya tetapi ada faktor lain yang dapat menjelaskan perubahan tersebut (di luar kebijakan dan efeknya) maka tidak dapat 133

152 dibuktikan adanya hubungan sebab akibat yang absolut antara kebijakan dengan efek. Secara skematis pendekatan teoritis analisis keefektivan konflik dituangkan dalam kerangka pemikiran pada Gambar 28. FAKTOR PENYEBAB KONFLIK : (Bennett dan Neiland 2000) 1. Aktor 2. Kondisi Sumberdaya Perikanan 3. Kondisi Lingkungan JENIS KONFLIK TEKNIK RESOLUSI KONFLIK (Priscoli 2002) 1. Negosiasi 2. Konsiliasi 3. Fasilitasi 4. Mediasi 5. Arbitrasi 6. Negosiasi peranan/ peraturan 1. Litigasi 2. Konfrontasi ANALISIS KEEFEKTIVAN RESOLUSI KONFLIK (Losa et. al 2002; Barki et. al 2001; Harris et. al 2000) 1. Peningkatan partisipasi 2. Pelestarian sumberdaya 3. Menjamin keadilan Gambar 28. Kerangka pemikiran studi keefektivan resolusi konflik Metode Variabel penelitian Faktor penyebab konflik Berdasarkan analisis tipologi konflik terdapat 11 variabel penyebab konflik perikanan tangkap yaitu : 1) Jumlah kelompok/pihak yang terlibat konflik (PART 1), yang diukur oleh persepsi responden terhadap jumlah kelompok/pihak yang terlibat konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : 134

153 Tidak tahu dengan nilai 1 Dua kelompok dengan nilai 2 Tiga kelompok dengan nilai 3 Empat kelompok dengan nilai 4 Lebih dari empat kelompok dengan nilai 5 2) Keberadaan tokoh panutan dalam masyarakat yang terlibat dalam proses penyelesaian konflik (LEAD 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang jumlah tokoh panutan yang terlibat konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak ada dengan nilai 1 Satu orang dengan nilai 2 Dua orang dengan nilai 3 Tiga orang dengan nilai 4 Lebih dari tiga kelompok dengan nilai 5 3) Kemampuan menentukan pihak atau kelompok yang terlibat dalam konflik (PART 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemudahan menentukan jumlah pihak atau kelompok yang telibat konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat sulit dengan nilai 1 Sulit dengan nilai 2 Agak mudah dengan nilai 3 Mudah dengan nilai 4 Sangat mudah dengan nilai 5 4) Kepatuhan terhadap tokoh panutan dalam proses penyelesaian konflik (LEAD 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang kepatuhan masyarakat terhadap tokoh panutan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak patuh dengan nilai 1 Agak tidak patuh dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Agak patuh dengan nilai 4 Selalu patuh dengan nilai 5 135

154 5) Keberadaan pihak-pihak pengacau yang tidak setuju pada kesepakatan yang dihasilkan dalam penyelesaian konflik (OPOS), yang diukur oleh kehadiran/keberadaan pihak-pihak pengacau menurut persepsi responden. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Selalu ada dengan nilai 1 Sering dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Jarang dengan nilai 4 Selalu ada dengan nilai 5 6) Kemampuan menentukan isu atau pokok masalah yang menjadi penyebab terjadinya konflik (ISSU), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemudahan menentukan isu atau pokok masalah. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat sulit dengan nilai 1 Sulit dengan nilai 2 Agak mudah dengan nilai 3 Mudah dengan nilai 4 Sangat mudah dengan nilai 5 7) Keberadaan pihak-pihak lain diluar masyarakat nelayan yang terlibat dalam konflik (PART 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemudahan menentukan keberadaan pihak-pihak lain. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat sulit dengan nilai 1 Sulit dengan nilai 2 Agak mudah dengan nilai 3 Mudah dengan nilai 4 Sangat mudah dengan nilai 5 8) Keseimbangan biaya operasi dengan hasil tangkapan (EKON 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang keseimbangan biaya operasi dengan hasil tangkapan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : 136

155 Sangat tidak seimbang dengan nilai 1 Tidak seimbang dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Seimbang dengan nilai 4 Sangat seimbang dengan nilai 5 9) Perbedaan kondisi ekonomi yang mencolok dalam masyarakat nelayan (EKON 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya perbedaan kondisi ekonomi Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak setuju dengan nilai 1 Tidak setuju dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Setuju dengan nilai 4 Sangat setuju dengan nilai 5 10) Resesi ekonomi berkepanjangan (EKON 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh resesi ekonomi berkepanjangan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1 Tidak berpengaruh dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 berpengaruh dengan nilai 4 Sangat berpengaruh dengan nilai 5 11) Jumlah nelayan lokal yang terlalu banyak (POPU 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang hubungan perkembangan jumlah nelayan dengan frekuensi terjadinya konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak berhubungan dengan nilai 1 Tidak berhubungan dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Berhubungan dengan nilai 4 Sangat berhubungan dengan nilai 5 137

156 12) Jumlah nelayan andon yang terlalu banyak (POPU 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya hubungan jumlah nelayan andon terhadap frekuensi terjadinya konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak berhubungan dengan nilai 1 Tidak berhubungan dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Berhubungan dengan nilai 4 Sangat berhubungan dengan nilai 5 13) Perbedaan kebiasaan atau adat istiadat dalam masyarakat (CULT), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh perbedaan kebiasaan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1 Tidak berpengaruh dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 berpengaruh dengan nilai 4 Sangat berpengaruh dengan nilai 5 14) Penegakan hukum (LAWS 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh lemahnya penegakan hukum. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1 Tidak berpengaruh dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Berpengaruh dengan nilai 4 Sangat berpengaruh dengan nilai 5 15) Ketaatan terhadap jalur penangkapan (LAWS 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh lemahnya ketaatan terhadap jalur penangkapan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : 138

157 Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1 Tidak berpengaruh dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Berpengaruh dengan nilai 4 Sangat berpengaruh dengan nilai 5 16) Kepentingan tertentu (INTE), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh kepentingan tertentu yang mengatasnamakan kepentingan nelayan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1 Tidak berpengaruh dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Berpengaruh dengan nilai 4 Sangat berpengaruh dengan nilai 5 17) Persaingan pemanfaatan sumberdaya perikanan (COMP 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh persaingan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1 Tidak berpengaruh dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Berpengaruh dengan nilai 4 Sangat berpengaruh dengan nilai 5 18) Potensi sumberdaya perikanan tangkap (STOK), yang diukur oleh persepsi responden tentang pengaruh berkurangnya potensi sumberdaya perikanan tangkap. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1 Tidak berpengaruh dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Berpengaruh dengan nilai 4 Sangat berpengaruh dengan nilai 5 139

158 19) Perebutan daerah tangkap (COMP 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh perebutan daerah tangkap. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1 Tidak berpengaruh dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Berpengaruh dengan nilai 4 Sangat berpengaruh dengan nilai 5 Teknik resolusi konflik Teknik resolusi konflik dijelaskan oleh variabel-variabel sebagai berikut : 1) Upaya pencegahan terjadinya konflik (RESO 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang pentingnya upaya pencegahan terjadinya konflik Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak penting dengan nilai 1 Tidak penting dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Penting dengan nilai 4 Sangat penting dengan nilai 5 2) Ketuntasan penyelesaian konflik (RESO 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang pentingnya penyelesaian konflik secara tuntas. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak penting dengan nilai 1 Tidak penting dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Penting dengan nilai 4 Sangat penting dengan nilai 5 3) Kesediaan semua pihak untuk bertemu (RESO 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang kesedian menghadiri pertemuan antar pihak yang berkonflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : 140

159 Tidak pernah bersedia dengan nilai 1 Kurang bersedia dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Bersedia dengan nilai 4 Selalu bersedia dengan nilai 5 4) Kebutuhan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik (RESO 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya pihak ketiga dalam penyelesaian konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak perlu dengan nilai 1 Tidak perlu dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Perlu dengan nilai 4 Sangat perlu dengan nilai 5 5) Ketidakseimbangan kekuatan antara masing-masing pihak yang berkonflik (RESO 5), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya keseimbangan kekuatan antara masing-masing pihak yang berkonflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak seimbang dengan nilai 1 Tidak seimbang dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Seimbang dengan nilai 4 Sangat seimbang dengan nilai 5 6) Kebutuhan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik (RESO 6), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya pihak ketiga dalam penyelesaian konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak perlu dengan nilai 1 Tidak perlu dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Perlu dengan nilai 4 Sangat perlu dengan nilai 5 141

160 7) Keberadaan pokok persoalan konflik (RESO 7), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemampuan masyarakat untuk menyelesaikan pokok persoalan konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak mampu dengan nilai 1 Tidak mampu dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Mampu dengan nilai 4 Sangat mampu dengan nilai 5 8) Kemampuan menyelesaiakan konflik (RESO 8), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemampuan mengidentifikasi pemicu konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak mampu dengan nilai 1 Tidak mampu dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Mampu dengan nilai 4 Sangat mampu dengan nilai 5 Keefektivan resolusi konflik Kemampuan responden dalam memilih teknik resolusi konflik juga diarahkan untuk mengetahui ketepatan dan kecocokan penggunaan teknik ADR. Ketepatan penggunaan teknik ADR diukur menggunakan 15 item pertanyaan yang diadopsi dari Priscoli (2002) yang dijelaskan oleh variabel-variabel sebagai berikut : 1) Keberadaan pihak yang mendominasi dalam penyelesaian konflik (ADR 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang keberadaan pihak/seseorang yang memiliki kekuasaan atau mendominasi kelompok. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah ada dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Ada dengan nilai 4 Selalu ada dengan nilai 5 142

161 2) Pengaruh pihak yang mendominasi dalam penyelesaian konflik (ADR 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh pihak yang mendominasi dalam penyelesaian konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1 Tidak berpengaruh dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Berpengaruh dengan nilai 4 Sangat berpengaruh dengan nilai 5 3) Penyelesaian konflik tanpa pihak ketiga (ADR 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya pihak ketiga dalam penyelesaian konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak perlu dengan nilai 1 Tidak perlu dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Perlu dengan nilai 4 Sangat perlu dengan nilai 5 4) Kebutuhan prasyarat dalam penyelesaian konflik (ADR 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya prasyarat dalam penyelesaian konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak perlu dengan nilai 1 Tidak perlu dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Perlu dengan nilai 4 Sangat perlu dengan nilai 5 5) Mekanisme untuk menjamin kepatuhan akan kesepakatan (ADR 5), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya menjamin kepatuhan akan kesepakatan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : 143

162 Sangat tidak perlu dengan nilai 1 Tidak perlu dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Perlu dengan nilai 4 Sangat perlu dengan nilai 5 6) Pengungkapan faktor-faktor penyebab konflik (ADR 6), yang diukur oleh persepsi responden tentang pentingya masing-masing pihak mengungkapkan faktor-faktor penyebab konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak penting dengan nilai 1 Tidak penting dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Penting dengan nilai 4 Sangat penting dengan nilai 5 7) Adanya kelompok yang berpengaruh (ADR 7), yang diukur oleh persepsi responden tentang keberadaan pihak/seseorang yang memiliki kekuasaan atau mendominasi kelompok. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah ada dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Ada dengan nilai 4 Selalu ada dengan nilai 5 8) Keinginan memelihara hubungan jangka panjang (ADR 8), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya keinginan masing-masing kelompok untuk membina hubungan jangka panjang. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah ada dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Ada dengan nilai 4 Selalu ada dengan nilai 5 144

163 9) Kesepakatan penggunaan prosedur untuk konsensus (ADR 9), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya kelompok yang sepakat menggunakan prosedur untuk mencapai konsensus. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah ada dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Ada dengan nilai 4 Selalu ada dengan nilai 5 10) Saling percaya dan menghormati (ADR 10), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya rasa saling percaya yang tinggi dan rasa saling menghormati diantara kelompok yang berkonflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah ada dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Ada dengan nilai 4 Selalu ada dengan nilai 5 11) Kemampuan mengidentifikasi isu pokok yang menjadi penyebab konflik (ADR 11), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemampuan kelompok dalam mengidentifikasi isu pokok yang menjadi penyebab konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak mampu dengan nilai 1 Tidak mampu dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Mampu dengan nilai 4 Sangat mampu dengan nilai 5 12) Kesigapan dalam mencegah konflik (ADR 12), yang diukur oleh persepsi responden tentang kesigapan mencegah semakin meluasnya konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : 145

164 Sangat tidak sigap dengan nilai 1 Tidak sigap dengan nilai 2 Netral dengan nilai 3 Sigap dengan nilai 4 Sangat sigap dengan nilai 5 13) Muatan politis (ADR 13), yang diukur oleh persepsi responden tentang latar belakang politis yang menyebabkan konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak bernuansa politis dengan nilai 1 Jarang bernuansa politis dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Bernuansa politis dengan nilai 4 Sangat bernuansa politis dengan nilai 5 14) Efisiensi teknik resolusi konflik (ADR 14), yang diukur oleh persepsi responden tentang keefektivan teknik resolusi konflik dari segi biaya Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak efektif dengan nilai 1 Tidak efektif dengan nilai 2 Cukup efektif dengan nilai 3 Efektif dengan nilai 4 Sangat efekif dengan nilai 5 15) Adanya tekanan untuk melaksanakan kesepakatan (ADR 15), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya tekanan untuk melaksanakan kesepakatan yang telah dicapai. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah ada dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Ada dengan nilai 4 Selalu ada dengan nilai 5 146

165 Kecocokan teknik resolusi konflik Kecocokan (keefektivan) teknik resolusi konflik diukur dengan delapan pertanyaan untuk mengetahui kemampuan responden dalam mengenali teknik resolusi konflik yang dapat digunakan. Pertanyaan nomor 1 dan 2 merepresentasikan teknik fasilitasi. Pertanyaan nomor 3 dan 4 merepresentasikan teknik negosiasi. Pertanyaan nomor 5 dan 6 merepresentasikan teknik mediasi, dan Pertanyaan nomor 7 dan 8 merepresentasikan teknik avoidance. 1) Teknik untuk mencegah terjadinya konflik (SUIT 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang kecocokan teknik untuk mencegah terjadinya konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak cocok dengan nilai 1 Tidak cocok dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Cocok dengan nilai 4 Sangat cocok dengan nilai 5 2) Kesediaan tokoh-tokoh kunci untuk bertemu (SUIT 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang kesediaan untuk bertemu dalam penyelesaian konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak bersedia dengan nilai 1 Tidak bersedia dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Bersedia dengan nilai 4 Selalu bersedia dengan nilai 5 3) Keseimbangan pengetahuan hukum (SUIT 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya keseimbangan pengetahuan hukum ataupun tehnis pengelolaan konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : 147

166 Sangat tidak perlu dengan nilai 1 Tidak perlu dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Perlu dengan nilai 4 Sangat perlu dengan nilai 5 4) Pihak yang terlibat konflik (SUIT 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang jumlah pihak yang terlibat konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak tahu dengan nilai 1 Dua kelompok dengan nilai 2 Tiga kelompok dengan nilai 3 Empat kelompok dengan nilai 4 Lebih dari empat kelompok dengan nilai 5 5) Faktor penyebab konflik (SUIT 5), yang diukur oleh persepsi responden tentang faktor yang menyebabkan konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak tahu dengan nilai 1 Satu faktor dengan nilai 2 Dua faktor dengan nilai 3 Tiga faktor dengan nilai 4 Lebih dari tiga faktor dengan nilai 5 6) Tokoh saling bertolak belakang (SUIT 6), yang diukur oleh persepsi responden tentang tokoh kunci yang terlibat konflik saling bertolak belakang. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat bertolak belakang dengan nilai 1 Bertolak belakang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Tidak bertolak belakang dengan nilai 4 Sangat tidak bertolak belakang dengan nilai 5 7) Prioritas dalam penyelesaian konflik (SUIT 7), yang diukur oleh persepsi responden tentang prioritas penyelesaian konflik Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : 148

167 Tidak tahu dengan nilai 1 Tidak jelas dengan nilai 2 Prosedur dengan nilai 3 Biaya dengan nilai 4 Waktu dengan nilai 5 8) Konflik dapat diselesaikan masyarakat lokal (SUIT 8), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemampuan masyarakat lokal dalam menyelesaiakan konflik Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak mampu dengan nilai 1 Tidak mampu dengan nilai 2 Cukup mampu dengan nilai 3 Mampu dengan nilai 4 Sangat mampu dengan nilai 5 9) Diperlukan pihak ketiga (SUIT 9), yang diukur oleh persepsi responden tentang pentingnya pihak ketiga dalam penyelesaian konflik Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat diperlukan dengan nilai 1 Diperlukan dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Tidak diperlukan dengan nilai 4 Sangat tidak diperlukan dengan nilai 5 Outcome resolusi konflik Pemahaman terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SDPT) yang berkeadilan Akuntabilitas 1) Kesepakatan pengelolaan SDPT dibuat secara tertulis (AKUNT 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya kesepakatan yang dibuat secara tertulis. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : 149

168 Tidak pernah ada dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Ada dengan nilai 4 Selalu ada dengan nilai 5 2) Kesepakatan tersedia untuk nelayan (AKUNT 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang SDPT tersedia bagi setiap nelayan/kelompok yang membutuhkan Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tersedia dengan nilai 1 Tidak tersedia dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Tersedia dengan nilai 4 Sangat tersedia dengan nilai 5 3) Kesepakatan memenuhi etika dan nilai (AKUNT 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang pengelolaan SDPT memenuhi etika dan nilai yang berlaku di masyarakat Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak memenuhi dengan nilai 1 Tidak memenuhi dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Memenuhi dengan nilai 4 Sangat memenuhi dengan nilai 5 4) Kesepakatan sudah sesuai dengan kebutuhan (AKUNT 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang pengelolaan SDPT sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak sesuai dengan nilai 1 Tidak sesuai dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Sesuai dengan nilai 4 Sangat sesuai dengan nilai 5 150

169 Transparansi 1) Tersedianya informasi tentang kesepakatan (TRAN 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang kejelasan informasi baik berupa pengumuman maupun media lainnya tentang kesepakatan Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak jelas dengan nilai 1 Tidak jelas dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Jelas dengan nilai 4 Sangat jelas dengan nilai 5 2) Tersedianya mekanisme pengaduan masyarakat terhadap kesepakatan/aturan (TRAN 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya mekanisme/prosedur pengaduan masyarakat Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak tersedia dengan nilai 1 Jarang tersedia dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Tersedia dengan nilai 4 Selalu tersedia dengan nilai 5 3) Pertemuan kelompok nelayan (TRAN 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pertemuan kelompok nelayan untuk merumuskan/membahas/mengevaluasi kebijakan kesepakatan pengelolaan SDPT Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah ada dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Ada dengan nilai 4 Selalu ada dengan nilai 5 4) Laporan pelaksanaan hasil kesepakatan (TRAN 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang tersedianya laporan pelaksanaan hasil kesepakatan. 151

170 Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak tersedia dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Tersedia dengan nilai 4 Selalu tersedia dengan nilai 5 Partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya PT, diukur dengan skala Pretty et al. (1995) yang mengelompokkan partisipasi masyarakat ke dalam tujuh tingkatan, yaitu 1) partisipasi pura-pura (manipulative participation), 2) partisipasi pasif, 3) partisipasi dalam bentuk konsultasi, 4) partisipasi karena iming-iming material, 5) partisipasi fungsional, 6) partisipasi interaktif dan 7) self mobilization. Sub variabel yang diukur meliputi: partisipasi dalam perencanaan PT, partisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan PT dan partisipasi dalam monitoring dan evaluasi PT. Tipologi partisipasi masyarakat dapat dilihat pada Tabel

171 Tabel 13. Tipologi partisipasi masyarakat Tipologi 1. Partisipasi pura-pura (manipulative participation) 2. Partisipasi pasif (passive participation) 3. Partisipasi dalam bentuk konsultasi (participation by consultation) 4. Partisipasi karena adanya iming-iming material (participation for material incentives) 5. Partisipasi fungsional (functional participation) 6. Partisipasi interaktif (interactive participation) 7.Partisipasi mandiri (Selfmobilization) Sumber : Pretty et al. (1995) Karakteristik Partisipasi hanya diwujudkan dalam bentuk pura-pura, dimana keberadaan suatu kelompok dalam oraganisasi hanya diwakili oleh orang yang tidak memiliki kekuatan dan tidak mewakili kelompok yang harus diwakilinya Bentuk partisipasi dimana masyarakat hanya diberitahu mengenai apa yang sudah diputuskan atau apa yang telah terjadi. Respons masyarakat tidak ditindaklanjuti dengan baik Pihak luar mendefinisikan problem dan proses pengumpulan informasi, sementara masyarakat berpartisipasi dalam bentuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Dalam bentuk partisipasi ini tidak ada sharing dalam pengambilan keputusan Masyarakat berpartisipasi dengan cara memberikan kontribusi, misalnya tenaga, sebagai imbal baik atas pemberian uang tunai atau material lain sebagai insentif. Pengalaman menunjukkan bahwa tidak ada jaminan bahwa masyarakat akan menerapkan teknologi atau pendekaatan yang diperkenalkan jika insentif yang diberikan telah berakhir. Partisipasi dipandang oleh pihak eksternal sebagai media agar tujuan proyek dapat dicapai khususnya dalam bentuk pengurangan biaya. Masyarakat berpartispasi melalui pembentukan kelompok untuk mencapai tujuan proyek yang telah ditetapkan sebelumnya. Keterlibatan bisa dalam bentuk sharing pada saat pengambilan keputusan, tetapi peran pihak ekternal dalam pengambilan keputusan ini lebih kuat. Masyarakat terlibat dalam proses analisis secara bersama, membuat rencana kerja serta membentuk atau menguatkan lembaga lokal. Partisipasi tidak hanya dilihat sebagai alat mencapai tujuan. Proses melibatkan berbagai metode untuk menangkap perbedaan pandangan, serta menggunakan cara yang tersruktur dan sistematis dalam proses pembelajaraan. Masyarakat berpartisipasi dengan jalan mengambil inisiatiatif secara independen untuk merubah sistem. Mereka menjalin kontak dengan pihak luar untuk mendapatkan sumber daya atau nasihat teknis yang dibutuhkan, tetapi mereka tetap mengontrol penggunaan sumber daya tersebut. 153

172 Partisipasi dalam Perencanaan Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dijelaskan oleh variabel-variabel sebagai berikut : 1) Partisipasi dalam perencanaan perumusan kebijakan (PARLA 1), penyusunan rencana pengelolaan (PARLA 2), pengaturan effort (PARLA 3), pengaturan musim (PARLA 4) dan penentuan zonasi penangkapan (PARLA 5) Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 0-7, dengan kriteria jawaban : Tidak berpartisipasi dengan nilai 0 Partisipasi pura-pura dengan nilai 1 Partisipasi pasif dengan nilai 2 Partisipasi konsultasi dengan nilai 3 Partisipasi iming-iming material dengan nilai 4 Partisipasi fungsional dengan nilai 5 Partisipasi interaktif dengan nilai 6 Partisipasi inisiatif sendiri dengan nilai 7 2) Partisipasi dalam implementasi pengelolaan SDPT dalam kegiatan peningkatan produksi perikanan (PARIM 1), pengembangan armada (PARIM 2), peningkatan kualitas produk (PARIM 3), pelatihan kualitas produk (PARIM 4), konservasi (PARIM 5), konservasi coastal sactuary (PARIM 6), konservasi marine reserve (PARIM 7), konservasi marine protected area (PARIM 8), replantasi hutan mangrove (PARIM 9), reboisasi sempadan pantai (PARIM 10), pengembangan usaha ekonomi (PARIM 11), ketrampilan pengolahan produk (PARIM 12), pemberian paket bantuan (PARIM 13), kegiatan pengembangan kelembagaan (PARIM 14), kegiatan koperasi (PARIM 15), kelembagaan perkreditan (PARIM 16), kelembagaan prasarana (PARIM 17), kelembagaan pengolah hasil (PARIM 18). Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 0-7, dengan kriteria jawaban : Tidak berpartisipasi dengan nilai 0 Partisipasi pura-pura dengan nilai 1 Partisipasi pasif dengan nilai 2 Partisipasi konsultasi dengan nilai 3 Partisipasi iming-iming material dengan nilai 4 Partisipasi fungsional dengan nilai 5 Partisipasi interaktif dengan nilai 6 Partisipasi inisiatif sendiri dengan nilai 7 154

173 3) Partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan SDPT dalam konservasi SDPT (PARMO 1) dan penegakan hukum (PARMO 2) Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 0-7, dengan kriteria jawaban : Tidak berpartisipasi dengan nilai 0 Partisipasi pura-pura dengan nilai 1 Partisipasi pasif dengan nilai 2 Partisipasi konsultasi dengan nilai 3 Partisipasi iming-iming material dengan nilai 4 Partisipasi fungsional dengan nilai 5 Partisipasi interaktif dengan nilai 6 Partisipasi inisiatif sendiri dengan nilai 7 Pemahaman terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang keberlanjutan Variabel pengelolaan perikanan tangkap (PT) yang berkelanjutan mengacu pada FAO (1999) yang memandang pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan dari perspektif ekologi, sosial-ekonomi, komunitas dan kelembagaan. Keberlanjutan ekologis 1) Pembatasan jumlah tangkapan dalam rangka menjaga keberlanjutan usaha penangkapan ikan (SUSEK1), yang diukur oleh pemahaman responden tentang perlunya pembatasan jumlah tangkapan Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak diperlukan dengan nilai 1 Kurang diperlukan dengan nilai 2 Cukup diperlukan dengan nilai 3 Diperlukan dengan nilai 4 Sangat diperlukan dengan nilai 5 2) Penangkapan mempertimbangkan dampak terhadap ketersediaan jenis yang lain (SUSEK 2), yang diukur oleh pemahaman responden tentang perlunya penangkapan yang mempertimbangkan dampak terhadap ketersediaan jenis yang lain. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : 155

174 Sangat tidak perlu dengan nilai 1 Tidak perlu dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Perlu dengan nilai 4 Sangat diperlukan dengan nilai 5 3) Pengaruh penangkapan terhadap kondisi lingkungan (SUSEK 3), yang diukur oleh pemahaman responden tentang pengaruh penangkapan terhadap kondisi lingkungan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak memahami dengan nilai 1 Tidak memahami dengan nilai 2 Cukup memahami dengan nilai 3 Memahami dengan nilai 4 Sangat memahami dengan nilai 5 4) Alternatif pemanfaatan sumberdaya perikanan yang mampu menjaga kelestarian (SUSEK 4), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang alternatif pemanfaatan sumberdaya perikanan Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 5) Potensi sumberdaya ikan mencukupi kebutuhan nelayan (SUSEK 5), yang diukur oleh pemahaman responden tentang kecukupan sumberdaya ikan terhadap kebutuhan nelayan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak cukup dengan nilai 1 Tidak cukup dengan nilai 2 Cukup dengan nilai 3 Lebih dari cukup dengan nilai 4 Sangat melimpah dengan nilai 5 156

175 6) Hasil tangkapan sampingan masih banyak tertangkap (SUSEK 6), yang diukur oleh persepsi responden tentang jumlah hasil tangkapan sampingan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Masih sangat banyak dengan nilai 1 Masih banyak dengan nilai 2 Cukup banyak dengan nilai 3 Sedikit dengan nilai 4 Sedikit sekali dengan nilai 5 7) Aturan ukuran mata jaring dipatuhi nelayan (SUSEK 7), yang diukur oleh persepsi responden tentang frekuensi kepatuhan nelayan terhadap aturan ukuran mata jaring. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah patuh dengan nilai 1 Jarang patuh dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Patuh dengan nilai 4 Selalu patuh dengan nilai 5 8) Aturan ukuran mata jaring (SUSEK 8), yang diukur oleh pemahaman responden tentang aturan mata jaring. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 9) Menurunnya stok ikan ditandai semakin menurunnya hasil tangkapan (SUSEK 9), yang diukur oleh pemahaman responden tentang penurunan stok ikan ditandai semakin menurunnya hasil tangkapan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : 157

176 Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 10) Penurunnya stok ikan ditandai semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap (SUSEK 10), yang diukur oleh pemahaman responden tentang menurunnya stok ikan ditandai semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 11) Kegiatan penangkapan menggunakan bahan-bahan kimia/peledak (SUSEK 11), yang diukur oleh pemahaman responden tentang pengaruh kegiatan penangkapan menggunakan bahan-bahan kimia/peledak. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 Keberlanjutan Sosial-Ekonomi : 1) Usaha yang dilakukan masih mampu mencukupi kebutuhan untuk masa mendatang (SUSSO 1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang kemampuan kegiatan usaha PT untuk mencukupi kebutuhan di masa mendatang. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : 158

177 Sangat tidak mampu dengan nilai 1 Tidak mampu dengan nilai 2 Cukup mampu dengan nilai 3 Mampu dengan nilai 4 Sangat mampu dengan nilai 5 2) Usaha yang dilakukan mampu meningkatkan kesejahteraan (SUSSO 2), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang kemampuan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak mampu dengan nilai 1 Tidak mampu dengan nilai 2 Cukup mampu dengan nilai 3 Mampu dengan nilai 4 Sangat mampu dengan nilai 5 3) Pengaruh kondisi sumberdaya perikanan yang menurun terhadap harga input dan output (SUSSO 3), yang diukur oleh pemahaman responden tentang pengaruh kondisi perikanan yang menurun terhadap harga input dan output. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak memahami dengan nilai 1 Tidak memahami dengan nilai 2 Cukup memahami dengan nilai 3 Memahami dengan nilai 4 Sangat memahami dengan nilai 5 4) Keadilan dalam pemanfaatan SDPT (SUSSO 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang keadilan pemanfaatan SDPT. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak adil dengan nilai 1 Tidak adil dengan nilai 2 Cukup adil dengan nilai 3 Adil dengan nilai 4 Sangat adil dengan nilai 5 159

178 Keberlanjutan komunitas 1) SDPT mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (SUSKO 1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang kemampuan SDPT untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak tahu dengan nilai 2 Cukup tahu dengan nilai 3 Tahu dengan nilai 4 Sangat tahu dengan nilai 5 2) Nelayan memiliki kesempatan memanfaatkan sumberdaya ikan di daerahnya (SUSKO 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya kesempatan nelayan memanfaatkan sumberdaya ikan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak ada dengan nilai 1 Kurang dengan nilai 2 Cukup dengan nilai 3 Banyak dengan nilai 4 Sangat banyak dengan nilai 5 3) Masyarakat lokal dilibatkan dalam pengelolaan SDPT (SUSKO 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang frekuensi masyarakat lokal dilibatkan dalam pengelolaan SDPT Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Sering dengan nilai 4 Selalu dengan nilai 5 4) Masyarakat mempertahankan nilai-nilai tradisional dalam pemanfaatan SDPT (SUSKO 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang frekuensi mempertahankan nilai-nilai tradisional. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : 160

179 Tidak pernah dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Sering dengan nilai 4 Selalu dengan nilai 5 5) Tradisi proses pengambilan keputusan dipertahankan (SUSKO 5), yang diukur oleh persepsi responden tentang frekuensi tradisi proses pengambilan keputusan yang dipertahankan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Sering dengan nilai 4 Selalu dengan nilai 5 6) Nilai-nilai adat masih digunakan dalam masyarakat (SUSKO 6), yang diukur oleh persepsi responden tentang frekuensi penggunaan nilai-nilai adat oleh masyarakat. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah dengan nilai 1 Jarang dengan nilai 2 Kadang-kadang dengan nilai 3 Sering dengan nilai 4 Selalu dengan nilai 5 7) Dampak negatif pemanfaatan SDPT terhadap kondisi sosial ekonomi (SUSKO 7), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang dampak negatif pemanfaatan SDPT terhadap kondisi sosial ekonomi. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 161

180 Keberlanjutan kelembagaan 1) Kelembagaan yang ada saat ini dapat dipertahankan untuk masa yang akan datang (SUSIN 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang kelembagaan dapat dipertahankan di masa yang akan datang Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak bisa dengan nilai 1 Kurang bisa dengan nilai 2 Cukup bisa dengan nilai 3 Bisa dengan nilai 4 Sangat bisa dengan nilai 5 2) Kondisi sumberdaya mampu memberikan manfaat secara ekonomi (SUSIN 2), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang kemampuan sumberdaya memberikan manfaat secara ekonomi. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Tidak mampu dengan nilai 1 Kurang mampu dengan nilai 2 Cukup mampu dengan nilai 3 Mampu dengan nilai 4 Sangat mampu dengan nilai 5 Pemahaman masyarakat tentang pengelolaan SDPT Peraturan dan kebijakan 1) Pengetahuan tentang peraturan (REGUL1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang peraturan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 2) Pengetahuan tentang aturan syarat teknis kapal (REGUL2), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan syarat teknis kapal. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : 162

181 Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 3) Pengetahuan tentang JTB (REGUL3), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan JTB Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 4) Pengetahuan tentang aturan jalur penangkapan (REGUL4), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan jalur penangkapan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 5) Pengetahuan tentang aturan mengenai pencemaran (REGUL5), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan mengenai pencemaran Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 6) Pengetahuan aturan perizinan usaha (REGUL6), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan perizinan usaha. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : 163

182 Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 7) Pengetahuan tentang aturan pungutan perikanan (REGUL7), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan pungutan perikanan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 8) Pengetahuan tentang aturan prasarana dan kelembagaan (REGUL8), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan prasarana dan kelembagaan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 Rencana pangelolaan sumberdaya perikanan tangkap 1) Pengetahuan tentang aturan preservasi dan konservasi habitat (PLANK 1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan preservasi dan koservasi habitat. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 164

183 2) Pengetahuan tentang pengaturan effort (PLANK 2), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang pengaturan effort. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 3) Pengetahuan tentang pengaturan ukuran mata jaring (PLANK 3), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang pengaturan ukuran mata jaring. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 4) Pengetahuan tentang pengaturan musim (PLANK 4), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang pengaturan musim. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 5) Pengetahuan tentang pengaturan jalur penangkapan PLANK 5), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang pengaturan jalur penangkapan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 165

184 Kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap 1) Pengetahuan tentang batas lestari (KEGKO 1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang batas lestari. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 2) Pengetahuan tentang konservasi sumberdaya (KEGKO 2), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang konservasi sumberdaya. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 3) Pengetahuan tentang coastal sanctuary (KEGKO 3), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang coastal sanctuary. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 4) Pengetahuan tentang konservasi marine reserve (KEGKO 4), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang konservasi marine reserve. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 166

185 5) Pengetahuan tentang replantasi hutan mangrove (KEGKO 5), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang replantasi hutan mangrove. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 6) Pengetahuan tentang reboisasi sempadan pantai (KEGKO 6), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang reboisasi sempadan pantai. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 7) Pengetahuan tentang konservasi marine protected area (KEGKO 7), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang konservasi marine protected area. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 Sistem pengawasan masyarakat 1) Pengetahuan tentang monitoring dan evaluasi terhadap konservasi (WASMA 1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang monitoring dan evaluasi terhadap konservasi. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : 167

186 Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 2) Pengetahuan tentang penegakan hukum (WASMA 2), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang penegakan hukum Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1-5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu dengan nilai 1 Tidak mengetahui dengan nilai 2 Ragu-ragu dengan nilai 3 Mengetahui dengan nilai 4 Sangat mengetahui dengan nilai 5 Pengumpulan data Data yang diperlukan untuk analisis diperoleh dari survei persepsi responden di tiga lokasi penelitian. Setiap responden diberi sembilan set angket, setiap set digunakan untuk menilai satu jenis konflik. Ke sembilan jenis konfik tersebut yaitu: 1) konflik retribusi (RETR), 2) konflik perebutan daerah tangkap (DAET), 3) konflik perbedaan alat tangkap (ALTA), 4) konflik penggunaan potas/obat-obatan/obat-obatan (POTA), 5) konflik bagi hasil (BAGH), 6) konflik nelayan lokal vs andon (LOKA), 7) konflik pencemaran lingkungan (PENL), 8) konflik Tambat labuh (TAML) dan 9) konflik perusakan terumbu karang (PERK). Setiap set kuesioner terdiri dari item pertanyaan yang ditujukan untuk mengetahui faktor penyebab konflik, teknik resolusi konflik yang digunakan dan outcome dari proses resolusi konflik yang dilakukan. Analisis data Analisis keefektifan resolusi konflik dilakukan dengan menggunakan principal component analisys (PCA) dan structural equation model (SEM). PCA digunakan karena mampu memetakan jenis konflik, penyebab konflik, dan teknik resolusi konflik dalam satu bidang tertentu yang disebut sebagai biplot (Lossa et al. 2002), jika jenis konflik, penyebab konflik dan teknik resolusi konflik berada dalam satu bidang, maka dapat dikatakan bahwa teknik tersebut sesuai untuk 168

187 mengatasi konflik yang bersangkutan. Teknik intepretasi seperti ini juga diadopsi dari Bengen (1998), dalam mengintepretasikan hasil analisis PCA. Metode analisis SEM dilakukan guna mengkonfirmasi hasil analisis PCA yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan analisis SEM akan dapat diketahui kontribusi variabel eksogenous (observed) terhadap variabel endogenous (latent) dalam menilai keefektivan teknik resolusi konflik. Model SEM tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 29. Metoda resolusi konflik α 2 α 4 Penyebab Konflik α 1 Jenis konflik Kepuasan terhadap teknik resolusi konflik yang digunakan α 6 α 3 Keterangan : α 1, α 3 α 6 = Faktor Loading α 2 = Koefisien korelasi α 5 Outcome Gambar 29. Model struktural antara konflik, teknik resolusi konflik, kepuasan terhadap resolusi konflik dan outcome (diadopsi dari Barki et al. 2001) Selain melakukan identifikasi tipologi konflik dan metode resolusinya, penelitian juga diarahkan untuk merancang model proses pengelolaan perikanan tangkap berbasis resolusi konflik yang diharapkan dapat berpengaruh terhadap pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap dan pemahaman masyarakat tentang pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan. Penilaian aspek pemahaman dilakukan menggunakan kuesioner persepsi responden dengan kriteria penilaian menggunakan skor dengan selang : 0,00-1,49; 1,50-2,49; 2,50-3,49; 3,50-4,49 dan lebih besar dari 4,49. Semakin besar skor yang diperoleh menunjukkan tingkat pemahaman/kecocokan/keadilan yang semakin baik. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan 169

188 tangkap diukur dengan skala Pretty et al. (1995). Analisis aspek persepsi, kecocokan/kemungkinan dan peluang sukses penggunan ADR dilakukan menggunakan statistik analysis of variance (ANOVA) dengan bantuan software SPSS versi 13. Analisis of variance digunakan untuk melihat perbedaan variabel yang dinilai pada setiap lokasi penelitian. Model yang diestimasi Dengan dinotasikan variabel penyebab konflik adalah X i dan komponen utama dari variabel X i adalah K, maka model komponen utama penyebab konflik dapat diformulasikan sebagai berikut : k = a... a X (1) j j1 X j1 + a j2 X j2 + jn jn k j adalah komponen utama pertama. Karena faktor penyebab terdiri dari n variabel maka persamaan (1) pada hakekatnya berjumlah n persamaan dimana k j ; j = 1,2,3... i; i = n. k a X a X a X n 1n = (2) k2 = a21x 21 + a22 X a2n X 2n.. k = a X + a X... a i i1 i1 i2 i2 + in X in Dalam notasi matriks, persamaan (2) dapat dipresentasikan sebagai berikut : a a a i1 a a a i a a 1n a 2n.. in X X.. X 1n k k =.. k 2n in 1 2 n k = a in X in ' (3) 170

189 dimana X in ' adalah transpose dari X in. Dengan menghitung varian dari persamaan (1), maka dalam notasi matriks persamaan tersebut menjadi : V ( k j ) V ( a j ' X ) = a j ' Sa j = (4) dimana S adalah kovarian matriks. Dengan teknik optimasi Lagrangean, V ( k j ) dapat dimaksimisasi dengan fungsi kendala a ' = 1, sehingga dapat menghasilkan: j a j a atau '( S LI ) = 0 j ' S La ' = 0 j a j (5) dimana L = Lagrangean multiplier I = Matriks identiti order j Karena a j 0 maka persamaan (5) dapat ditulis : ( LI ) = 0 S (6) Solusi terhadap persamaan (6) akan menghasilkan L sebanyak n buah, dimana eigenvalue (akar ciri) adalah L yang maksimum. ( L ) = max( L, L ) AkarCiri,... * 1 2 L n Dengan cara yang sama, dapat pula ditentukan kompunen utama ke dua dan seterusnya. Untuk komponen utama ke dua, optimasi Lagrangean dengan kendala a j ' a j = 1dan a j ' a k = 0. Dari persamaan (1), a j1 adalah component loading yang menunjukkan arah dan bobot pengaruh variabel X ji terhadap komponen utama ke j. Analisis komponen utama pada dasarnya adalah teknik redefinisi dan reduksi variabel yang kompleks dan besar jumlahnya menjadi komponen utama dari variabel tersebut. Jumlah komponen utama yang digunakan bergantung pada seberapa besar variasi yang bisa diwakili oleh komponen-komponen utama tersebut. Tolok ukur untuk menentukan komponen utama yang digunakan menurut Morrison (1990) adalah bila secara kuantitatif komponen-komponen 171

190 utama tersebut jumlah kumulatif akar ciri telah mencapai minimum 75%. Pendugaan komponen utama untuk aspek teknik resolusi dan outcome menggunakan cara yang sama seperti yang diterangkan di atas.. Pendugaan hubungan antara variabel-variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel-variabel teknik resolusi (RESO) serta variabel-variabel (RESO) dan variabel-variabel outcome (OUTC) menggunakan teknik structural equation model (SEM) yang dirinci sebagai berikut : 1) menentukan factor loading (faktor) dari variabel-variabel (KONF) dengan menggunakan confirmatory factor analysis. 2) menentukan factor loading (faktor) dari variabel-variabel (RESO) dengan menggunakan confirmatory factor analysis. 3) Menentukan hubungan korelasi antara penyebab konflik (KONF) dengan teknik resolusi (RESO). 4) Menentukan hubungan korelasi antara teknik resolusi (RESO) dengan outcome (OUTC) Pada dasarnya analisis SEM dimaksudkan untuk mengkonfirmasi hasil analisis PCA yang telah dilakukan sebelumnya. Variabel-variabel yang mempunyai loading yang besar pada ke dua alat analisis tersebut dianggap sebagai variabel utama. Alat analisis yang digunakan adalah Statistica versi 6 dari Soft Stat, dimana kontribusi dari observed variable terhadap masing-masing latent variables nya (KONF, RESO, OUTC) dan pengaruh antara satu latent variable terhadap latent variables yang lainnya baik yang langsung maupun tidak langsung diestimasi secara simultan. Hasil Berdasarkan hasil survei di tiga lokasi penelitian, berhasil diidentifikasi 27 kasus konflik perikanan tangkap yang dapat dikelompokkan ke dalam sembilan jenis konflik yaitu: 1) konflik perbedaan alat tangkap (ALTA), 2) konflik penggunaan potas/obat-obatan/obat-obatan (POTA), 3) konflik pengolahan limbah (PENL), 4) konflik perusakan terumbu karang (PERK), 5) konflik bagi hasil (BAGH), 6) konflik perebutan daerah tangkap (DAET), 7) konflik nelayan 172

191 lokal vs andon (LOKA), 8) konflik tambat labuh (TAML), dan 9) konflik retribusi (RETR). Pada Tabel 14 dapat dilihat faktor penyebab konflik yang dinilai dengan skor 1 5. mendapat penilaian (skor) lebih dari tiga adalah keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU), persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK), kondisi perekonomian masyarakat (EKON), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan jumlah nelayan (POPU). Faktor penyebab yang mendapat penilaian terendah adalah adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE) dengan skor 1,89. Penyebab Konflik Tabel 14. Rerata skor jenis konflik menurut penyebabnya Jenis Konflik * Rerata Skor PART 3,35 3,35 2,75 2,64 3,43 3,31 2,51 3,35 2,25 2,99 LEAD 4,16 4,09 3,71 3,86 4,33 4,22 3,33 3,48 2,55 3,75 OPOS 2,95 2,95 3,34 2,76 2,97 2,95 2,95 2,90 2,90 2,97 ISSU 3,80 3,80 3,86 3,86 3,79 3,80 3,80 3,81 3,74 3,81 EKON 3,44 2,87 2,23 2,23 4,09 3,53 3,79 1,29 4,69 3,13 POPU 3,19 3,19 2,03 2,03 2,64 4,23 3,78 4,24 1,69 3,00 CULT 2,17 3,03 1,79 1,79 2,56 2,60 4,50 1,43 1,45 2,37 LAWS 4,45 4,66 2,66 3,52 1,73 3,93 2,29 1,36 1,74 2,93 INTE 1,55 1,55 2,72 2,72 1,79 1,55 1,55 1,38 2,19 1,89 COMP 4,58 3,93 3,60 2,74 1,54 4,43 4,18 1,21 1,26 3,05 STOK 3,98 4,42 1,52 4,41 3,13 3,92 3,52 1,19 2,19 3,14 *) 1 = ALTA, 2 = POTA, 3 = PENL, 4 = PERK, 5 = BAGH, 6 = DAET, 7 = LOKA, 8 = TAML, 9 = RETR Kemampuan responden dalam menentukan teknik resolusi konflik diukur dengan menggunakan 8 item pertanyaan, setiap teknik resolusi konflik diukur dengan menggunakan dua buah pertanyaan. Teknik fasilitasi diukur dengan pertanyaan RESO 1 dan RESO 2, negosiasi (RESO 3 dan RESO 4), mediasi (RESO 5 dan RESO 6) atau dibiarkan selesai dengan sendirinya/avoidance (RESO 7 dan RESO 8). Kemampuan responden dalam menentukan teknik resolusi yang tepat dapat dilihat pada Tabel

192 Tabel 15. Rerata skor jenis konflik menurut teknik resolusi Metoda Jenis Konflik * Rerata Resolusi Skor RESO 1 3,62 4,05 3,62 4,72 3,10 4,35 3,40 3,71 4,26 3,87 RESO 2 3,98 4,67 3,98 2,79 3,41 4,87 3,65 4,95 4,97 4,14 RESO 3 4,40 4,40 4,40 3,34 4,54 4,40 4,40 4,14 4,10 4,24 RESO 4 4,38 4,40 4,38 2,76 4,56 4,40 4,40 4,10 4,06 4,16 RESO 5 3,58 4,03 3,58 3,28 3,56 4,42 4,42 4,14 4,10 3,90 RESO 6 3,32 3,72 3,32 3,31 2,87 3,72 3,72 3,10 2,74 3,31 RESO 7 3,32 4,48 3,32 3,14 4,03 4,48 3,45 4,33 4,23 3,86 RESO 8 2,60 4,47 2,60 3,07 3,28 4,47 4,47 4,33 4,13 3,71 *) 1 = ALTA, 2 = POTA, 3 = PERL, 4 = PERK, 5 = BAGH, 6 = DAET, 7 = LOKA, 8 = TAML, 9 = RETR Merujuk pada Tabel 15, dapat disimpulkan bahwa teknik negosiasi memperoleh rerata skor yang tertinggi, yaitu 4.24 dan 4.16; diikuti dengan teknik fasilitasi dengan rerata skor 3.87 dan 4.14; avoidance dengan rerata skor 3.86 dan 3.71; serta teknik mediasi dengan rerata skor 3.90 dan Hipotesis pertama terkait dengan kemampuan stakeholder memetakan faktor penyebab dan menentukan teknik resolusi konflik perikanan tangkap diuji menggunakan dua metoda, yaitu analisis komponen utama (principal component analysis/pca), dan model persamaan struktural (structural equation model/sem). Analisis PCA dilakukan dengan menempatkan faktor penyebab konflik sebagai variabel dan jenis konflik sebagai kasus atau individu. Berdasarkan hasil analisis komponen utama (PCA) diketahui bahwa ragam pada komponen utama pertama hingga komponen ke empat untuk variabel penyebab konflik mencapai 85,71 persen. Selanjutnya komponen utama pertama hingga ke tiga mempunyai akar ciri, yaitu : 3,745; 2,433; 1,990 dan 1,259 yang menjelaskan masing-masing : 34,05 persen; 22,12 persen; 18,09 dan 11,44 persen keragaman gugus data. Analisis hubungan/korelasi antara variabel dan sumbu utama diperoleh gambaran sebagai berikut: 1) Variabel penyebab konflik keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK) memberikan sumbangan terbesar pada komponen utama pertama. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama pertama, masing-masing adalah: -0,770; -0,748; -0,744 dan -0,

193 2) Variabel penyebab konflik isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU) dan kondisi perekonomian masyarakat (EKON) memberikan sumbangan terbesar pada komponen utama kedua. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama kedua, masing-masing adalah: 0,921 dan 0,704. 3) Variabel penyebab konflik keberadaan pihak yang bertolak belakang (OPOS) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama ke empat. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama ke empat adalah: 0,766. Hubungan/korelasi antara variabel dan komponen utama selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 16. Intepretasi variabel-variabel yang mempunyai keterkaitan erat dengam sumbu utama dapat dilihat pada lingkaran korelasi, yaitu dengan koordinat variabel atau kualitas representasi variabel pada sumbu utama yang ditunjukkan oleh dekat tidaknya variabel tersebut pada sumbu. Semakin dekat variabel tersebut pada sumbu, semakin besar korelasinya (positif atau negatif). Sementara koodinat dari setiap kasus atau individu pada komponen utama merepresentasikan proksimitas atau kedekatan antara kasus dengan variabel. Evaluasi kualitas representasi individu pada sumbu utama dapat dilihat pada grafik sebaran individu. Intepretasi variabel-variabel yang mempunyai keterkaitan erat dengan sumbu utama dapat dilihat di lingkaran korelasi pada Gambar

194 Komponen utama II : 22.12% Komponen utama I : 34.05% Gambar 30. Korelasi antar variabel penyebab konflik dan sebaran individu kasus jenis konflik pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2) Gambar 30 menunjukkan variabel penyebab konflik perikanan tangkap yang mempunyai keterkaitan erat dengan sumbu utama. Posisi variabel-variabel tersebut pada sumbu utama merepresentasikan arah dan bobot pengaruh variabel tersebut terhadap komponen utama. Variabel penyebab konflik keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK) berada lebih dekat dengan sumbu utama pertama. Variabel penyebab konflik isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU) dan kondisi perekonomian masyarakat (EKON) berada lebih dekat dengan sumbu utama ke dua. Sedangkan variable penyebab konflik keberadaan pihak yang bertolak belakang (OPOS) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama ke empat. Dari gambar tersebut terlihat bahwa posisi konflik perusakan 176

195 terumbu karang (PERK) sangat dipengaruhi oleh keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD) yang mempunyai komponen loading yang terbesar pada sumbu utama yang pertama. Evaluasi kualitas representasi individu pada sumbu utama pertama dan kedua dapat dianalisis grafik sebaran individu pada Gambar 30, pada prinsipnya koodinat dari setiap kasus atau individu pada komponen utama merepresentasikan proksimitas atau kedekatan antara kasus dengan variabel. Pada gambar tersebut terlihat bahwa pada kasus konflik bagi hasil (BAGH), konflik tambat labuh (TAML) dan konflik retribusi (RETR) dapat direpresentasikan oleh variabel penyebab konflik keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan persepsi masyarakat terhadap keadaan sumberdaya (STOK). Demikian pula pada kasus konflik daerah tangkap (DAET) dan konflik alat tangkap (ALTA) direpresentasikan oleh variable isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU) dan kondisi perekonomian masyarakat (EKON). Analisis PCA selanjutnya dilakukan untuk mengetahui keterkaitan antara variable teknik resolusi konflik (RESO) dengan jenis konflik. Pada analisis ini, variable teknik resolusi konflik ditempatkan sebagai variabel dan jenis konflik ditempatkan sebagai kasus atau individu. Hasil analisis diketahui bahwa ragam pada komponen pertama hingga komponen kedua mencapai 75,63 persen. Selanjutnya komponen utama pertama hingga ke dua mempunyai akar ciri, yaitu : 3,826 dan 2,224 yang menjelaskan masing-masing: 47,83 persen dan 27,81 persen keragaman gugus data. Analisis hubungan/korelasi antara variabel dan sumbu utama diperoleh gambaran sebagai berikut: 1) Variabel teknik resolusi konflik fasilitasi (RESO 2), negosiasi (RESO 3 dan RESO 4), mediasi (RESO 5) dan avoidance (RESO 7 dan RESO 8) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama pertama. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama pertama, masing-masing adalah: -0,797; -0,727; -0,772; -0,865; -0,793 dan -0,

196 2) Variabel teknik resolusi konflik fasilitasi (RESO 1) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama kedua. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama kedua, yaitu: -0,890. Hubungan/korelasi antara variabel dan sumbu utama selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 19. Intepretasi variabel-variabel yang mempunyai keterkaitan erat Komponen utama II : 27.81% dengan sumbu utama dapat dilihat di lingkaran korelasi pada Gambar 31. Komponen utama I : 47.83% Gambar 31. Korelasi antar variabel teknik resolusi konflik dan sebaran individu kasus jenis konflik pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2) Pada Gambar 31 terlihat bahwa variabel teknik resolusi konflik fasilitasi (RESO 2), negosiasi (RESO 3 dan RESO 4), mediasi (RESO 5) dan avoidance (RESO 7 dan RESO 8) lebih dekat pada sumbu utama yang pertama, sedangkan variable teknik resolusi konflik fasilitasi (RESO 1) lebih dekat pada sumbu utama yang ke dua. Hasil analisis menunjukkan bahwa eigenvalue sebesar 47,83 persen 178

197 pada sumbu utama yang pertama (F1) yang berarti variable RESO pada sumbu tersebut sangat representative. Evaluasi kualitas representasi individu pada sumbu utama pertama dan kedua dapat dianalisis grafik sebaran individu pada Gambar 31, terlihat bahwa pada kasus konflik bagi hasil (BAGH), konflik tambat labuh (TAML), konflik pengolahan limbah (PENL) dan konflik perusakan terumbu karang (PERK) direpresentasikan oleh teknik fasilitasi (RESO 2), mediasi (RESO 5) dan avoidance (RESO 7 dan RESO 8). Kasus konflik nelayan lokal vs andon (LOKA) direpresentasikan oleh teknik negosiasi (RESO 3 dan RESO 4). Sementara konflik alat tangkap (ALTA) direpresentasikan oleh tehik fasilitasi (RESO 1). Pada gambar dapat dilihat posisi individu/kasus konflik alat tangkap (ALTA) ternyata sangat dipengaruhi oleh variabel teknik resolusi konflik (RESO) yang mempunyai komponen loading dominan pada sumbu utama pertama. Pengujian hipotesis 1 selanjutnya dilakukan dengan menggunakan model persamaan struktural (SEM) hubungan antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO). Ketepatan model struktural dengan kondisi sesungguhnya dinilai berdasarkan kriteria kecocokannya (Goodness of Fit). Berdasarkan kriteria ini dapat disimpulkan bahwa model memiliki kecocokan yang tinggi, sebagaimana dilihat dari nilai Maximum Likelihood Chi-Square, RMS Standardized Residual, Goodness of Fit Index (GFI), Adjusted GFI (AGFI) dan Normed Fit Index (NFI). Berdasarkan kriteria Chi Square, model dikatakan fit jika nilai Chi Square tidak signifikan, sementara untuk kriteria yang lain, semakin besar nilainya maka semakin baik (fit) model tersebut. Dari ke lima kriteria tersebut hanya Chi Square yang mengindikasikan model kurang fit sementara ke empat kriteria yang lain menunjukkan model sudah fit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model struktural yang digunakan sudah baik. Hubungan antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) ditunjukan oleh factor loading dari masingmasing variabel laten (KONF dan RESO). Besarnya nilai loading dari masingmasing faktor menunjukkan arah dan bobot pengaruh faktor tersebut terhadap variabel KONF dan RESO. 179

198 Pada Gambar 32 dapat dilihat bahwa pada kasus konflik perikanan tangkap (PETA), variabel penyebab konflik (KONF) yang merepresentasikan jenis konflik tersebut adalah keberadaan peraturan dan penegakkan hukum (LAWS), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP), persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK) dan latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), masing-masing adalah 0,723; 0,582; 0,564; 0,548 dan 0,272. Sedangkan observed variable yang merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) yaitu mediasi, negosiasi dan avoidance masing-masing dengan nilai 0,670; 0,387 dan 0,355. PART 0.390** LEAD 0.582** OPOS ISSU ** FASILITASI EKON ** NEGOSIASI POPU 0.214** KONF 0.446** RESO CULT 0.272** 0.670** MEDIASI LAWS COMP INTE 0.723** 0.564** ** 0.548** 0.355** AVOIDANCE STOK Gambar 32. Structural Equation Modeling untuk penyebab konflik (KONF) dengan teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik perikanan tangkap Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada kasus konflik perikanan tangkap (PETA) menunjukkan nilai yang signifikan, yaitu 0,446 yang mendukung hipotesis 1, yaitu terdapat hubungan positif antara kemampuan responden mengidentifikasi faktor penyebab konflik dengan kemampuan memilih teknik resolusi konflik yang digunakan. Tanda positif ini memberikan indikasi bahwa 180

199 semakin baik kemampuan mengidentifikasi faktor penyebab konflik maka semakin baik pula kemampuan menentukan teknik resolusi konflik. Kumulatif dari hasil analisis structural equation model hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) untuk ke sembilan jenis konflik yang terdapat di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 16 sebagai berikut : Variabel penyebab konflik (KONF) pada kasus konflik alat tangkap (ALTA) direpresentasikan oleh latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD) dan kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dengan masing-masing nilai 0,697; 0,397 dan -0,338. Dari tabel tersebut juga dapat diketahui bahwa teknik mediasi, negosiasi dan avoidance merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada kasus konflik alat tangkap (ALTA) masing-masing dengan nilai 0,380; 0,687 dan 0,364. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada kasus konflik alat tangkap (ALTA) menunjukkan nilai signifikan, yaitu 0,824 yang berarti mendukung hipotesis 1. Pada kasus konflik penggunaan potas/obat-obatan/bahan kimia (POTA), faktor keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD) merepresentasikan variabel penyebab konflik (KONF) dengan nilai loading 0,485. Demikian pula mediasi, negosiasi dan avoidance memberikan kontribusi yang signifikan dalam membentuk variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik penggunaan potas/obat-obatan/bahan kimia (POTA) yaitu masing-masing dengan nilai 0,677; 0,387 dan 0,363. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik penggunaan potas/obat-obatan/bahan kimia (POTA) menunjukkan nilai signifikan, yaitu 0,785 yang berarti mendukung hipotesis 1. Variabel penyebab konflik (KONF) pada konflik pengolahan limbah (PENL) direpresentasikan oleh keberadaan pihak yang bertolak belakang (OPOS), isu yang berkembang dalam mansyarakat (ISSU), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE), dan persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK), masing-masing dengan nilai 1,00; -0,596; 0,556; -0,474 dan 0,308. Sedangkan faktor yang merepresentasikan 181

200 variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik pengolahan limbah (PENL) yaitu negosiasi dan avoidance dengan nilai 1,00 dan 0,467. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik pengolahan limbah (PENL) menunjukkan nilai tidak signifikan, yaitu -0,185 yang berarti tidak mendukung hipotesis 1. Pada konflik perusakan terumbu karang (PERK), faktor merepresentasikan variabel penyebab konflik (KONF) yaitu persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP), kondisi perekonomian masyarakat (EKON) dan adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE) masing-masing dengan nilai 0,969; 0,921; 0,539 dan -0,309, Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik perusakan terumbu karang (PERK) yaitu negosiasi dan avoidance dengan nilai 0,957 dan 0,491 pada taraf signifikansi 95 persen. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik perusakan terumbu karang (PERK) menunjukkan nilai tidak signifikan, yaitu -0,232 yang berarti tidak mendukung hipotesis 1. Pada kasus konflik bagi hasil (BAGH), variabel penyebab konflik (KONF) direpresentasikan oleh keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), banyak sedikitnya pihak yang terlibat dalam konflik (PARTY), latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), kondisi perekonomian masyarakat (EKON), jumlah nelayan (POPU) dan adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE) masingmasing dengan nilai 0,835; 0,744; 0,480; 0,420; -0,405 dan -0,378. Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik bagi hasil (BAGH) yaitu negosiasi, mediasi dan avoidance masing-masing dengan nilai 0,904; 0,889 dan 0,874. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik bagi hasil (BAGH) menunjukkan nilai signifikan, yaitu 0,736 yang berarti mendukung hipotesis 1. Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel penyebab konflik (KONF) pada konflik daerah tangkap (DAET) yaitu latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), jumlah nelayan 182

201 (POPU), banyak sedikitnya pihak yang terlibat dalam konflik (PART),, keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK) dan adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE) masing-masing dengan nilai 0,950; 0,638; -0,564; 0,527; 0,516; 0,387 dan 0,326. Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik daerah tangkap (DAET) yaitu mediasi, negosiasi, avoidance dan fasilitasi masing-masing dengan nilai 0,902; 0,882; 0,733 dan 0,422. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik daerah tangkap (DAET) menunjukkan nilai signifikan, yaitu 0,954 yang berarti mendukung hipotesis 1. Pada konflik nelayan lokal vs andon (LOKA), faktor yang merepresentasikan variabel penyebab konflik (KONF) yaitu keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), banyak sedikitnya pihak yang terlibat dalam konflik (PARTY), kondisi perekonomian masyarakat (EKON), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan jumlah nelayan (POPU). dan adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE) masing-masing dengan nilai 0,744; 0,730; 0,675; 0,659; - 0,471; -0,455 dan 0,405. Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik nelayan lokal vs andon (LOKA) yaitu negosiasi, mediasi, avoidance dan fasilitasi masing-masing dengan nilai 0,932; 0,837; 0,788 dan 0,347. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik daerah tangkap (DAET) menunjukkan nilai signifikan, yaitu 0,843 yang berarti mendukung hipotesis 1. Pada konflik tambat labuh (TAML), faktor yang merepresentasikan variabel penyebab konflik (KONF) yaitu latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), isu yang berkembang dalam mansyarakat (ISSU) dan keberadaan dan kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) masing-masing dengan nilai -0,452; -0,319; - 0,249 dan 0,288. Demikian pula faktor yang memberikan kontribusi yang signifikan dalam membentuk variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada 183

202 konflik tambat labuh (TAML) yaitu fasilitasi dan negosiasi dengan nilai -0,333 dan 0,312 Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik tambat labuh (TAML) menunjukkan nilai signifikan, yaitu -0,648 yang berarti tidak mendukung hipotesis 1. Faktor yang merepresentasikan variabel penyebab konflik (KONF) pada konflik retribusi (RETR) yaitu latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP), dan isu yang berkembang dalam mansyarakat (ISSU), masing-masing dengan nilai -0,615, -0,365 dan 0,291. Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik retribusi (RETR) yaitu mediasi dengan nilai 0,290. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik retribusi (RETR) menunjukkan nilai signifikan pada taraf 95 persen, yaitu -0,387 yang berarti tidak mendukung hipotesis 1. Pada Tabel 16 dapat dilihat kumulatif hasil structural equation modeling untuk variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO). 184

203 Tabel 16. Kumulatif structural equation modeling untuk penyebab konflik (KONF) dengan teknik resolusi konflik (RESO) Variabel Jenis Konflik PETA ALTA POTA PENL PERK BAGH DAET LOKA TAML RETR (Penyebab Konflik)-1->[PART] 0,390 ** 0,234 ** 0,219 ** -0,236-0,039 0,744 ** 0,527 ** 0,675 ** ** ** (Penyebab Konflik)-2->[LEAD] 0,582 ** 0,397 ** 0,485 ** 0,556 ** 0,105 0,835 ** 0,638 ** 0,744 ** * * (Penyebab Konflik)-3->[Opos] 0,037 0,059 0,057 1,000 ** -0,135 0,166 0,181 0, * (Penyebab Konflik)-4->[ISSU] 0,034 0,056 0,042-0,596 ** -0,066 0,164 0,067 0, ** ** (Penyebab Konflik)-5->[Ekon] -0,085-0,128 0,227 * 0,122 0,539 ** 0,420 ** -0,077 0,659 ** (Penyebab Konflik)-6->[POPU] 0,214 ** -0,149 ** -0,136 ** -0,155-0,171-0,405 ** -0,564 ** -0,455 ** (Penyebab Konflik)-7->[CULT] 0,272 ** 0,697 ** 0,293-0,025 0,169 0,480 ** 0,950 ** -0, ** ** (Penyebab Konflik)-8->[LAWS] 0,723 ** -0,029-0,093 0,432 * 0,186 0,283 0,516 ** -0,730 ** ** (Penyebab Konflik)-9->[COMP] 0,564 ** -0,338 ** 0,212 ** -0,399 * 0,921 ** 0,150 0,033 0,471 ** ** ** (Penyebab Konflik)-10->[Interst] -0,130 ** 0,110 0,159 * -0,474 ** -0,309-0,378 ** 0,326 ** 0,405 ** (Penyebab Konflik)-11->[Stok] 0,548 ** 0,135 0,096 0,308 0,969 ** 0,296 0,387 ** -0,257 * ** (Metoda Resolusi)-12->[Fasilita] 0,073 ** 0,094 ** 0,091 ** -0,459 ** -0,203 0,307 * 0,422 ** 0,347 ** ** (Metoda Resolusi)-13->[Negoisas] 0,387 ** 0,380 ** 0,387 ** 1,000 ** 0,957 * 0,904 ** 0,882 ** 0,932 ** ** ** (Metoda Resolusi)-14->[Mediasi] 0,670 ** 0,687 ** 0,677 ** 0,117 0,203 0,889 ** 0,902 ** 0,837 ** * ** (Metoda Resolusi)-15->[Avoidanc] 0,355 ** 0,364 ** 0,363 ** 0,467 ** 0,491 * 0,874 ** 0,733 ** 0,788 ** * * (RESO)-31-(KONF) 0,446 ** 0,824 ** 0,785 ** -0,185-0,232 0,736 ** 0,954 ** 0,843 ** ** * Fit Measure ML Chi-Square 928, , , , , , , , Degrees of Freedom 89,000 89,000 89,000 89,000 89,000 89,000 89,000 89, p-level 0,000 0,000 0,001 0,000 0,000 0,000 0,000 0, RMS Standardized Residual 0,127 0,110 0,102 0,185 0,168 0,122 0,110 0, GFI 0,765 0,750 0,790 0,598 0,626 0,710 0,724 0, AGFI 0,683 0,663 0,717 0,457 0,496 0,610 0,627 0, NFI 0,575 0,571 0,595 0,264 0,303 0,506 0,622 0, Keterangan: ** signifikan pada taraf α = 0,01 * signifikan pada taraf α = 0,

204 Hipotesis 2 terkait dengan pengaruh resolusi konflik terhadap outcome pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, yaitu pengaruh teknik resolusi konflik terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab, peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab, dan peningkatan pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan. Berdasarkan hasil analisis, rerata skor outcome menurut jenis konflik dapat dilihat pada Tabel 17. Jenis Konflik Tabel 17. Rerata skor outcome menurut jenis konflik Rerata skor outcome* TRANP AKUNT PARPL PARIM PARMO SUSEK SUSSO SUSKO SUSIN ALTA 3,81 3,70 2,63 3,32 2,35 3,77 3,90 3,80 3,88 POTA 3,85 3,70 2,63 3,32 2,35 3,78 3,90 3,80 3,88 PENL 3,71 3,83 2,67 3,51 2,41 3,75 3,92 3,77 4,16 PERK 3,85 3,79 2,67 3,51 2,41 3,75 3,92 3,80 4,21 BAGH 3,70 3,78 2,55 3,44 2,26 3,77 3,88 3,73 4,15 DAET 3,83 3,65 2,63 3,32 2,35 3,79 3,90 3,85 4,09 LOKA 3,83 3,73 2,63 3,32 2,35 3,76 3,90 3,89 4,14 TAML 3,40 3,45 2,78 3,10 2,52 3,77 3,99 3,84 3,98 RETR 3,53 3,65 2,62 3,10 3,19 3,78 3,92 3,69 4,19 Rerata skor 3,72 3,70 2,65 3,33 2,47 3,77 3,92 3,80 4,08 Skor tertinggi outcome terdapat pada variabel keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, yaitu keberlanjutan ekologis (SUSEK), keberlanjutan social-ekonomi (SUSSO), keberlanjutan komunitas (SUSKO), dan keberlanjutan kelembagaan (SUSIN), dengan rerata skor masingmasing adalah : 3,77; 3,92; 3,80 dan 4,08. Berdasarkan rerata skor tersebut dapat disimpulkan bahwa pemahaman masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan termasuk dalam kategori baik. Demikian pula aspek pemahaman terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan dari perspektif akuntabilitas (AKUNT) dan transparansi (TRANP) menunjukkan rerata skor yang lebih tinggi 3,70 dan 3,72. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan sudah termasuk dalam kategori baik. Pemahaman terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan direpresentasikan dalam variabel partisipasi dalam perencanaan pengelolaan perikanan tangkap (PARPL), partisipasi dalam 186

205 pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap (PARIM) dan partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap (PARMO) dengan rerata skor masing-masing sebesar 2,65; 3,33 dan 2,47. Dari ketiga sub variabel partisipasi, ternyata partisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap (PARIM) memperoleh rerata skor paling tinggi, sementara partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap (PARMO) memperoleh rerata skor terendah. Berdasarkan rerata skor tersebut dapat disimpulkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap termasuk ke dalam tingkatan partisipasi konsultatif. Pretty et al, (1995) menyebutkan bahwa pada tingkat partisipasi konsultatif pihak luar mendefinisikan problem dan proses pengumpulan informasi, sementara masyarakat berpartisipasi dalam bentuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Dalam bentuk partisipasi ini tidak ada sharing dalam pengambilan keputusan. Analisis komponen faktor utama (PCA) dilakukan dengan menempatkan outcome sebagai variabel dan jenis konflik sebagai kasus atau individu. Berdasarkan hasil analisis PCA diketahui bahwa ragam pada komponen pertama hingga komponen ke tiga untuk variabel outcome, mencapai 75,60 persen. Komponen utama pertama hingga ke tiga mempunyai akar ciri yaitu: 3,465; 1,783 dan 1,556, yang menjelaskan masing-masing: 38,50 persen; 19,81 persen dan 17,29 persen keragaman gugus data. Analisis hubungan/korelasi antara variabel dan sumbu utama diperoleh gambaran sebagai berikut: 1) Variabel outcome transparansi dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan (TRANS), partisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap (PARIM), partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap (PARMO) dan keberlanjutan ekologi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SUSEK) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama pertama. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama pertama, masing-masing adalah -0,688; -0,772; -0,776 dan - 0,893. 2) Variabel outcome keberlanjutan komunitas dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SUSKO) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu 187

206 utama kedua. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama kedua adalah -0,701) 3) Variabel outcome keberlanjutan social ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SUSSO) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama ke tiga. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama ke tiga adalah 0,723. Keterkaitan antara variabel outcome dengan kasus atau individu jenis konflik dapat dilihat pada Gambar 33. Komponen utama II : 19.81% Komponen utama I : 38.50% Gambar 33. Korelasi antar variabel outcome dan sebaran individu kasus jenis konflik pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2) Gambar 33 terlihat bahwa variabel outcome transparansi dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan (TRANS), partisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap (PARIM), partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap (PARMO) dan keberlanjutan ekologi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SUSEK) berada dekat dengan sumbu utama pertama. Sedangkan variabel keberlanjutan komunitas dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SUSKO) berada dekat dengan sumbu utama ke dua dan variabel keberlanjutan 188

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu-isu tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti air, tanah, hutan dan kelautan-perikanan, merupakan topik yang semakin penting dalam kajian akademik,

Lebih terperinci

KEEFEKTIVAN PENGELOLAAN KONFLIK PADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN SELATAN JAWA TIMUR ACHMAD BUDIONO

KEEFEKTIVAN PENGELOLAAN KONFLIK PADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN SELATAN JAWA TIMUR ACHMAD BUDIONO KEEFEKTIVAN PENGELOLAAN KONFLIK PADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN SELATAN JAWA TIMUR ACHMAD BUDIONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN Dengan ini saya menya takan bahwa

Lebih terperinci

7 PEMBAHASAN UMUM 7.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik

7 PEMBAHASAN UMUM 7.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik 7 PEMBAHASAN UMUM 7.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Konflik perikanan tangkap dapat muncul karena berbagai alasan. Menurut Bennett et al. (2004) konflik muncul sebagai fungsi struktur sosial (perspektif

Lebih terperinci

3 METODOLOGI UMUM 3.1 Lokasi Penelitian

3 METODOLOGI UMUM 3.1 Lokasi Penelitian 3 METODOLOGI UMUM 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di tiga kabupaten, yaitu Trenggalek, Malang dan Tulungagung, Provinsi Jawa Timur. Provinsi ini dipilih karena memiliki potensi perikanan tangkap

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya ikan masih dianggap memiliki sifat terbuka (open access) dan milik bersama (common property), artinya setiap orang mempunyai hak untuk memanfaatkan sumber daya

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENDEKATAN AKUSTIK DALAM STUDI TINGKAH LAKU IKAN PADA PROSES PENANGKAPAN DENGAN ALAT BANTU CAHAYA (THE ACOUSTIC APPROACH TO FISH BEHAVIOUR STUDY IN CAPTURE PROCESS WITH LIGHT ATTRACTION) MUHAMMAD SULAIMAN

Lebih terperinci

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Permasalahan konflik perikanan tangkap di perairan Kalsel ditinjau dari tipologi konflik terdiri dari (1) yuridiksi perikanan terjadi pada kasus daerah tangkap disebabkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN (Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB) CHANDRA APRINOVA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 @ Hak Cipta

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA.

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA Oleh : YULISTYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK BENI PRAMONO. Strategi Pengelolaan Perikanan Jaring

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS M. SAFII NASUTION

PENANGGULANGAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS M. SAFII NASUTION PENANGGULANGAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS (STUDI KASUS KESIAPSIAGAAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS DAERAH RAWAN BENCANA ALAM TANAH LONGSOR DI DESA KIDANGPANANJUNG KECAMATAN CILILIN KABUPATEN BANDUNG PROPINSI

Lebih terperinci

ANALISIS RISIKO USAHA PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI PALABUHANRATU DEWI EKASARI

ANALISIS RISIKO USAHA PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI PALABUHANRATU DEWI EKASARI ANALISIS RISIKO USAHA PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI PALABUHANRATU DEWI EKASARI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ANALISIS RISIKO USAHA PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI PALABUHANRATU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.508 pulau dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis pantai 91.000

Lebih terperinci

2 PENDEKATAN TEORITIS ANALISIS KONFLIK DAN PENGELOLAAN KONFLIK

2 PENDEKATAN TEORITIS ANALISIS KONFLIK DAN PENGELOLAAN KONFLIK 2 PENDEKATAN TEORITIS ANALISIS KONFLIK DAN PENGELOLAAN KONFLIK 2.1 Kerangka Teoritis Analisis Konflik dan Pengelolaan Konflik 2.1.1 Definisi dan anatomi konflik Terdapat beragam literatur yang terkait

Lebih terperinci

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 257 11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 11.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, sehingga tantangan untuk memelihara

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN

PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL (Studi Kasus di Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor) SRI HANDAYANI

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT (Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) Nurul Hidayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN ANDI HERYANTI RUKKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2 0 0 6 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

TRANSFORMASI BUDAYA ORGANISASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA BANK YANG DIAMBIL ALIH KEPEMILIKANNYA OLEH ASING IRVANDI GUSTARI

TRANSFORMASI BUDAYA ORGANISASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA BANK YANG DIAMBIL ALIH KEPEMILIKANNYA OLEH ASING IRVANDI GUSTARI i TRANSFORMASI BUDAYA ORGANISASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA BANK YANG DIAMBIL ALIH KEPEMILIKANNYA OLEH ASING IRVANDI GUSTARI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERSEPSI MASYARAKAT PESISIR DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI DEBBY HERRYANTO C

PERSEPSI MASYARAKAT PESISIR DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI DEBBY HERRYANTO C PERSEPSI MASYARAKAT PESISIR DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI DEBBY HERRYANTO C54104067 SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN

HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN NONO SAMPONO SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perubahan arah kebijakan pembangunan dari yang berbasis pada sumber daya terestrial ke arah sumber daya berbasis kelautan merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan. Hal ini dipicu

Lebih terperinci

KEEFEKTIVAN KOMUNIKASI MASYARAKAT ACEH DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN DAMPAK TSUNAMI YUSNIDAR

KEEFEKTIVAN KOMUNIKASI MASYARAKAT ACEH DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN DAMPAK TSUNAMI YUSNIDAR KEEFEKTIVAN KOMUNIKASI MASYARAKAT ACEH DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN DAMPAK TSUNAMI YUSNIDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK YUSNIDAR. Keefektivan Komunikasi Masyarakat

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI DAN KINERJA KEPALA SEKOLAH

ANALISIS PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI DAN KINERJA KEPALA SEKOLAH ANALISIS PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI DAN KINERJA KEPALA SEKOLAH Studi Kasus: Sekolah Dasar Negeri Di Kabupaten Sukohardjo Provinsi Jawa Tengah

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MODEL KEBIJAKAN ENERGI TERBARUKAN BERBASIS HUTAN TANAMAN RAKYAT UNTUK INDUSTRI BIOMASA YANG BERKELANJUTAN ERWIN SUSANTO SADIRSAN

PENGEMBANGAN MODEL KEBIJAKAN ENERGI TERBARUKAN BERBASIS HUTAN TANAMAN RAKYAT UNTUK INDUSTRI BIOMASA YANG BERKELANJUTAN ERWIN SUSANTO SADIRSAN PENGEMBANGAN MODEL KEBIJAKAN ENERGI TERBARUKAN BERBASIS HUTAN TANAMAN RAKYAT UNTUK INDUSTRI BIOMASA YANG BERKELANJUTAN ERWIN SUSANTO SADIRSAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 i

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

5 KEEFEKTIVAN TEKNIK RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP

5 KEEFEKTIVAN TEKNIK RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP 5 KEEFEKTIVAN TEKNIK RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP ABSTRACT Conflicts of capture fisheries are generally related to the exploitation of scarce fish resources involving certain parties or groups of

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

STRATEGI KEMITRAAN DALAM DINAMIKA SOSIAL EKONOMI SYARIAH UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH. Merza Gamal

STRATEGI KEMITRAAN DALAM DINAMIKA SOSIAL EKONOMI SYARIAH UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH. Merza Gamal STRATEGI KEMITRAAN DALAM DINAMIKA SOSIAL EKONOMI SYARIAH UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH Merza Gamal SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut Arafura merupakan salah satu bagian dari perairan laut Indonesia yang terletak di wilayah timur Indonesia yang merupakan bagian dari paparan sahul yang dibatasi oleh

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) HENDRO ASMORO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

6 MODEL PROSES RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP

6 MODEL PROSES RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP 6 MODEL PROSES RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP ABSTRACT Conflict of capture fisheries is generally managed in partial or ad-hoc manners and conflict resolution has not been effective because it may

Lebih terperinci

MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO

MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 iii

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan. Karena akhir-akhir ini eksploitasi terhadap sumberdaya pesisir dan laut

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi Strategi adalah istilah yang sering kita dengar untuk berbagai konteks pembicaraan, yang sering diartikan sebagai cara untuk mencapai keinginan tertentu

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING (Kasus Kelompok Tani Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok) DIARSI EKA YANI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

MODEL LOYALITAS MAHASISWA ILMU KOMUNIKASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA DI JAKARTA LEONNARD

MODEL LOYALITAS MAHASISWA ILMU KOMUNIKASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA DI JAKARTA LEONNARD MODEL LOYALITAS MAHASISWA ILMU KOMUNIKASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA DI JAKARTA LEONNARD SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Mengkaji perilaku nelayan artisanal di Indonesia, khususnya di pantai Utara Jawa Barat penting dilakukan. Hal ini berguna untuk mengumpulkan data dasar tentang perilaku nelayan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN 2009

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN 2009 LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN 2009 Kajian Pengembangan Kompetensi Masyarakat dalam Mengelola Usaha Pariwisata Berdimensi Ekologis Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga Dr. Hamidah

Lebih terperinci

PENGUATAN KAPASITAS LEMBAGA SIMPAN PINJAM RUKUN LESTARI UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN

PENGUATAN KAPASITAS LEMBAGA SIMPAN PINJAM RUKUN LESTARI UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN 136 PENGUATAN KAPASITAS LEMBAGA SIMPAN PINJAM RUKUN LESTARI UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN (KASUS DI RW 04 DUSUN DAWUKAN DESA SENDANGTIRTO KECAMATAN BERBAH KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA) DJULI SUGIARTO

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perikanan purse seine di pantai utara Jawa merupakan salah satu usaha perikanan tangkap yang menjadi tulang punggung bagi masyarakat perikanan di Jawa Tengah, terutama

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN PENCAPAIAN PRESTASI KERJA KARYAWAN DI TAMAN AKUARIUM AIR TAWAR, TAMAN MINI INDONESIA INDAH, JAKARTA

HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN PENCAPAIAN PRESTASI KERJA KARYAWAN DI TAMAN AKUARIUM AIR TAWAR, TAMAN MINI INDONESIA INDAH, JAKARTA HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN PENCAPAIAN PRESTASI KERJA KARYAWAN DI TAMAN AKUARIUM AIR TAWAR, TAMAN MINI INDONESIA INDAH, JAKARTA RYANI MUTIARA HARDY PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

Keterkaitan Aktifitas Ekonomi Nelayan Terhadap Lingkungan Pesisir Dan Laut SKRIPSI

Keterkaitan Aktifitas Ekonomi Nelayan Terhadap Lingkungan Pesisir Dan Laut SKRIPSI Keterkaitan Aktifitas Ekonomi Nelayan Terhadap Lingkungan Pesisir Dan Laut (Studi Deskriptif Di Desa Pekan Tanjung Beringin Dan Desa Pantai Cermin Kanan Kabupaten Serdang Bedagai) SKRIPSI Diajukan guna

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

METODE EKSPLORATIF UNTUK MENGUJI KESAMAAN SPEKTRUM FTIR TEMULAWAK

METODE EKSPLORATIF UNTUK MENGUJI KESAMAAN SPEKTRUM FTIR TEMULAWAK METODE EKSPLO ORATIF UNTUK MENGUJI KESAMAAN SPEKTRUM FTIR TEMULAWAK EKO WAHYU WIBOWO SEKOLAH PASCASARJANAA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian

IV. METODE PENELITIAN. Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis fungsi kelembagaan perikanan ini dilaksanakan di Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

RIKA PUJIYANI SKRIPSI

RIKA PUJIYANI SKRIPSI KONDISI PERIKANANN TANGKAP DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI LEMPASING, BANDAR LAMPUNG RIKA PUJIYANI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS KONFLIK NELAYAN DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN SELAT MADURA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS-HUKUM

ANALISIS KONFLIK NELAYAN DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN SELAT MADURA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS-HUKUM ANALISIS KONFLIK NELAYAN DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN SELAT MADURA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS-HUKUM (Studi Kasus Nelayan Batah Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur) ZAINATUL

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI

ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN RURIN WAHYU LISTRIANA PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK

PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK SINGGIH PRIHADI AJI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENINGKATAN PERAN PEMUDA DALAM PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DI KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT ADHYAKSA DAULT

PENINGKATAN PERAN PEMUDA DALAM PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DI KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT ADHYAKSA DAULT PENINGKATAN PERAN PEMUDA DALAM PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DI KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT ADHYAKSA DAULT SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN (PHP) : STUDI KASUS PERIKANAN PURSE SEINE PELAGIS KECIL DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) PEKALONGAN

KEBIJAKAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN (PHP) : STUDI KASUS PERIKANAN PURSE SEINE PELAGIS KECIL DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) PEKALONGAN KEBIJAKAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN (PHP) : STUDI KASUS PERIKANAN PURSE SEINE PELAGIS KECIL DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) PEKALONGAN EDDY SOESANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

TESIS ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KONTRAK SHOWBIZ DI INDONESIA

TESIS ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KONTRAK SHOWBIZ DI INDONESIA TESIS ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KONTRAK SHOWBIZ DI INDONESIA OLEH : RADEN BONNY RIZKY NPM 201220252022 PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA 2016 TESIS

Lebih terperinci

ALOKASI UNIT PENANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANDEGLANG, BANTEN : MENUJU PERIKANAN TANGKAP YANG TERKENDALI YUDI HERIAWAN

ALOKASI UNIT PENANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANDEGLANG, BANTEN : MENUJU PERIKANAN TANGKAP YANG TERKENDALI YUDI HERIAWAN ALOKASI UNIT PENANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANDEGLANG, BANTEN : MENUJU PERIKANAN TANGKAP YANG TERKENDALI YUDI HERIAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENDAYAGUNAAN KELEMBAGAAN USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL (UKS) DALAM UPAYA MENSEJAHTERAKAN KELUARGA MISKIN

PENDAYAGUNAAN KELEMBAGAAN USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL (UKS) DALAM UPAYA MENSEJAHTERAKAN KELUARGA MISKIN PENDAYAGUNAAN KELEMBAGAAN USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL (UKS) DALAM UPAYA MENSEJAHTERAKAN KELUARGA MISKIN (Kasus di Kelurahan Cigadung Kecamatan Cibeunying Kaler Kota Bandung) ERNA SUSANTY SEKOLAH PASCA SARJANA

Lebih terperinci

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR i ANALISIS MANAJEMEN KEUANGAN, TEKANAN EKONOMI, STRATEGI KOPING DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN KELUARGA NELAYAN DI DESA CIKAHURIPAN, KECAMATAN CISOLOK, KABUPATEN SUKABUMI HIDAYAT SYARIFUDDIN DEPARTEMEN ILMU

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci