MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 59/PUU-XIII/2015

Transkripsi

1

2 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 59/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan [Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Wawan Hendriyanto 2. Robby Iwan Setiawan 3. Roni Agustinur Tri Prasetyo, dkk. ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Selasa, 26 Mei 2015 Pukul WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Maria Farida Indrati (Ketua) 2) Suhartoyo (Anggota) 3) Manahan MP Sitompul (Anggota) Hani Adhani Panitera Pengganti

3 Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Trijono Hardjono 2. Ratna Sarumpaet 3. Eka Gumilar

4 SIDANG DIBUKA PUKUL WIB 1. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya. Sidang dalam Perkara Nomor 59/PUU-XIII/2015 dinyatakan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. Pada hari ini kita akan melakukan pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b. Untuk pertama kalinya saya mohon kepada Para Pemohon yang hadir di sini untuk menjelaskan siapa yang menjadi Pemohon? Silakan. 2. PEMOHON: TRIJONO HARDJONO Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, pada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Pada kesempatan pagi ini, kami atas nama Prodemus Indonesia (Program Demokrasi Musyawarah) sebuah organisasi nirlaba informal, dimana keanggotaannya adalah individual para warga negara, anak bangsa, yang memiliki komitmen terhadap demokrasi musyawarah atas keberadaan Pancasila sebagai dasar negaranya. Bapak, Ibu Hakim Mahkamah ( ) 3. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, saya ( ) 4. PEMOHON: TRIJONO HARDJONO Perkenankan kami saya Trijono Hardjono. 5. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Trijono Hardjono, ya. KETUK PALU 3X 6. PEMOHON: TRIJONO HARDJONO Kebetulan kami dari Surabaya, untuk sementara ada 10 Pemohon, dimana yang 5 dari Surabaya. Karena hal teknis mereka masih diperjalanan.

5 7. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya. 8. PEMOHON: TRIJONO HARDJONO Insya Allah, kalau tidak hari ini mereka mungkin akan datang pada kesempatan sidang berikutnya. 9. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Oke. 10. PEMOHON: TRIJONO HARDJONO Sementara di samping saya bisa diperkenalkan langsung. 11. PEMOHON: RATNA SARUMPAET Yang Mulia Majelis Hakim. Saya Ratna Sarumpaet, saya terlibat dalam sebagai Pemohon. Sekaligus saya juga ingin menyampaikan bahwa salah satu dari kami Yudi Latif berhalangan hadir. Karena kemarin istri beliau meninggal dunia. 12. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, saya mengucapkan turut berduka cita atas meninggalnya istri Pak Yudi Latif, ya. 13. PEMOHON: RATNA SARUMPAET Adhie Massardi masih dalam perjalanan. 14. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Oh, ya. Ya, yang satunya lagi? 15. PEMOHON: EKA GUMILAR Baik, Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Saya Eka Gumilar, saya ikut serta sebagai Pemohon. 16. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Pak Eka Gumelar?

6 17. PEMOHON: EKA GUMILAR Eka Gumilar. 18. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Eka Gumilar. Di sini enggak ada, Pak. 19. PEMOHON: EKA GUMILAR Tambahan itu. 20. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Oh, tambahan. ditambahkan, ya? Ya. Ya, nanti nanti dalam perbaikan 21. PEMOHON: EKA GUMILAR Baik. Terima kasih. 22. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, untuk pertama kalinya. Karena ini permohonan yang baru, maka saya mohon untuk dijelaskan secara singkat sebetulnya apa yang dimohonkan di sini. Kami sudah membaca tapi mohon Bapak untuk menjelaskan sedikit. 23. PEMOHON: TRIJONO HARDJONO Terima kasih, Yang Mulia. Secara garis besar apa yang menjadi permohonan kami adalah ditetapkannya sebagai keten terdapatnya menetapan pada ketentuan huruf b ayat (1) Pasal 7 Penjelasan Undang- Undang Nomor 12 Tahun Dimana penjelasan tersebut sebagai tafsir atas keberadaan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menjelaskan bahwa atas TAP MPR 1/2003, dimana TAP MPR tersebut mengatur untuk meninjau serta meninjau status dan materi atas TAP MPR mulai tahun 1960 sampai tahun Dimana di dalam TAP MPR 1/2003 tersebut, terdapat 6 kualifikasi perlakuan sebagai hasil keputusan atas peninjau meteri dan status TAP-TAP MPR tersebut. Dalam hal ini, ada satu TAP MPR, yakni TAP MPR Nomor 18 Tahun 1998, dimana TAP MPR Nomor 18 Tahun 1998 tersebut terdapat pasal yang deklaratif, dimana di dalamnya menetap merupakan penetapan penegasan Pancasila sebagai dasar negara, demikian di TAP tersebut penetapan penegasan Pancasila sebagai dasar negara tersebut berada

7 dalam poin 91 pada Pasal 6 TAP MPR 1 Tahun 2003 tersebut. Dalam hal mana Pasal 6 TAP MPR 1/2003 menetapkan, mengkualifikasikan, menggolongkan 104 TAP MPR sebagai TAP-TAP MPR yang tidak perlu dilakukannya tindakan hukum lebih lanjut atas hasil-hasil penilaian kembali pengujian kembali atas TAP materi dan status hukum TAP MPR tahun Yang jadi poin krusial adalah ketika Pasal 6 tersebut menyatakan, Tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, ditetapkan berdasarkan asumsi bahwa TAP-TAP MPR tersebut sebagai TAP MPR yang einmalig yang tunggal yang selesai, final selesai, telah dikerjakan atau diasumsikan telah dicabut karena itu tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut. Kami secara materiil memandang perlu untuk menyampaikan pengujian, apakah benar TAP MPR 18, 19 Tahun 1998, khususnya pada Pasal 1 yang menetapkan menegaskan Pancasila sebagai dasar negara, apakah benar secara materiil adalah TAP MPR yang einmalig, TAP MPR yang selesai dikerjakan, atau TAP MPR yang tengah dicabut? Karena kami menilai itu tidak terjadi, itu tidak terdapat hal-hal yang sebagaimana asumsi dari Pasal 6 TAP MPR 1/2003 tersebut. Karena itu kami melihat bahwa ketentuan itu masih apa TAP MPR itu masih secara positif diberlakukan. Nah, di dalam konteks pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 khususnya pada pasal penjelasan ketentuan huruf b ayat (1) Pasal 7, kami menyampaikan permohonan ini. Karena di dalam ketentuan tersebut menyatakan bahwa sebagaimana TAP MPR adalah TAP MPR yang dimaksud oleh TAP MPR 1 Tahun 2013[Sic!], kemudian yang dinyatakan pula ditambahkan pula sebagai keterangan bahwa yang dinyatakan masih berlaku adalah TAP MPR pada Pasal 2 dan 4. Dengan demikian, ternyatakan bahwa TAP MPR Nomor 18 Tahun 1998 yang berada pada poin 91 Pasal 6 TAP MPR 1 Tahun 2003 ternyatakan secara formal tidak berlaku. Dengan demikian, kami menilai bahwa ketetapan formal Pancasila sebagai dasar negara sebagai satu-satunya produk peraturan perundang-undangan yang menyatakan secara formal bahwa Pancasila adalah dasar negara hilang karena Penjelasan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 pada huruf b ayat (1) Pasal 7 itu. Demikian kira-kira secara singkat, Ibu, yang kami sampaikan sebagai hal yang mohon untuk diuji konstitusionalitasnya. Adapun halhal yang lain mungkin nanti kami bisa tambahkan untuk memperkuat apa pendapat kami tentang itu, sementara poin yang kami mohonkan ada 7 sebagai hal yang dimohon untuk diputus. Saya kira apa diperkenankan saya juga baca untuk petitumnya. 24. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, silakan.

8 25. PEMOHON: TRIJONO HARDJONO Jadi poin yang kami mohonkan untuk diputus. 1. Menerima permohonan dengan semua alasan hukum yang menyertainya. Berikut menyatakan bahwa permohonan benar, memiliki relevansi dan urgensitas konstitusional dengan semangat maksud dan tujuan Keputusan MPR RI Nomor 4 MPR Tahun 2014 tentang Rekomendasi MPR RI Masa Jabatan Menyatakan bahwa ketentuan huruf b ayat (1) Pasal 7 Penjelasan Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bertentangan dengan Pasal 1 Aturan Tambahan juncto Pasal 22A Dewan Perwakilan Rakyat Bab VII Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Menetapkan bahwa ketentuan huruf b ayat (1) Pasal 7 Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak berkekuatan hukum mengikat. 4. Menyatakan bahwa ketentuan angka 91 Pasal 6 Ketentuan MPR Republik Indonesia Nomor 1 MPR 2003 sepanjang berkaitan dengan keberadaan pasal Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor 18 MPR 1998 bertentangan dengan Alinea IV Preambule Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juncto Pasal 1 aturan tambahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Menetapkan bahwa ketentuan angka 91 Pasal 6 Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor 1 MPR 2003 meskipun berkaitan dengan keberadaan Pasal 1 Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor 18 MPR 1998 tetap berkekuatan hukum mengikat. Demikian dinyatakan bahwa pembatalan dan/atau pencabutan ketetapan MPR Republik Indonesia hanya bisa dilakukan melalui ketetapan MPR Republik Indonesia yang serupa. 6. Menyatakan bahwa Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor 1 MPR 2003 sebagai hasil peninjauan materi, dan status hukum ketetapan MPRS, dan ketetapan MPR atas tugas yang diberikan oleh Pasal 1 Aturan Tambahan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara formal konstitusional tidak sesuai dengan tugas, fungsi, dan kedudukan MPR Republik Indonesia Pasal 2 dan Pasal 3 Majelis Permusyawaratan Rakyat BAB II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ternyatakan formal sudah tidak berkewenangan membuat

9 ketetapan MPR Republik Indonesia yang bersifat regeling sebagai sumber hukum. 7. Merekomendasikan kepada MPR Republik Indonesia untuk segera melaksanakan parlemen review atas kedudukan formal konstitusional Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor 1 MPR 2003 sebagai sumber hukum dalam sistem peraturan perundang-undangan nasional. Berikut pula terkait dengan penetapan status hukum 104 Ketetapan MPR Republik Indonesia pada Pasal 6 Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor 1 MPR 2003 yang patut diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Demikian ada 7 poin besar yang saling terkait. Memang tidak hanya pada persoalan undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, tapi demikian ini sebenarnya adalah berkaitan dengan keberadaan TAP MPR sebagai satu produk hukum di dalam sebuah sistem peraturan perundang-undangan nasional. Saya kira demikian, Ibu, dan sebagai penjelasan ini adalah sebuah komplikasi ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara ketika statusnya tetap sebagai lembaga tertinggi negara tetapi kewenangan dan beberapa aspek yang menjadi tugas, pokok, dan fungsinya demikian dilakukan perubahan, maka yang terjadi adalah terdapatnya ketidakseimbangan atau semacam kebingungan kedudukan hukum atas produk hukumnya Tap MPR di dalam sistem peraturan perundang-undangan nasional. Sebagaimana kita bisa lihat pada tahun 2004 ketika terbit Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 hal yang sama yakni tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, ketetapan MPR tidak dinyatakan sebagai peraturan perundang-undangan dalam strata peraturan perundang-undangan nasional, tapi ketika berubah, situasi berubah, ada evaluasi dan seterusnya pada tahun 2011 keluar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang memasukkan kembali TAP MPR sebagai bagian dari sistem peraturan perundang-undangan nasional. Itu poin kedua. Poin ketiga yang terpenting adalah di dalam Keputusan MPR 4 tahun 2014 sebagai rekomendasi MPR periode sebelumnya kepada MPR yang sekarang salah satu poin pentingnya adalah memperkuat kedudukan hukum Tap MPR dalam sistem peraturan perundangundangan nasional. Kira-kira demikian, Ibu, apa yang kami kehendaki adalah apa yang menjadi persoalan atas sistem yang saling saling tumpang-tindih di dalam kedudukannya atas peraturan perundang-undangan nasional itu. Barangkali itu yang bisa kami kerjakan kami bersama Kawan- Kawan, mungkin itu disebut juga bisa diabsorpsi, diserap, kemudian

10 diambil keputusan oleh Para Hakim Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Demikian. Terima kasih. 26. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, terima kasih. Sesuai dengan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, maka Hakim Panel memang harus memberikan nasihat dan arahan untuk perbaikan permohonan ini, ya. Jadi memang kalau kita melihat tentang hierarki perundang-undang, memang menimbulkan masalah, sejak TAP 20 MPRS Tahun 1996, TAP 3 Tahun Tahun 2000 ya, kemudian TAP Nomor 1/2003, ini kemudian yang ada Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004, dan TAP... dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun Permasalahannya adalah memang TAP Nomor 1/2003, itu diminta atau diperintahkan oleh Aturan Tambahan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, di sana dikatakan, MPR ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum TAP MPRS dan MPR... TAP MPR, untuk diambil putusan dalam Sidang MPR Tahun Jadi kalau kita melihat pada sejarah yang lalu atau kejadian ini, maka MPR masih binggung, ini nanti ada MPR atau tidak? Jadi gitu, ya. Tapi kemudian karena kemudian mereka menginginkan presidennya dipilih langsung oleh rakyat, jadi kalau dipilih langsung oleh rakyat, MPR itu seperti apa, gitu? Jadi kalau Bapak melihat pada pembentukan undang-undang perubahan, itu justru kewenangan MPR itu pas perubahan keempat baru muncul, gitu kan. Sehingga pada waktu pembentukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, itu didasarkan pada TAP 1/2003. TAP 1/2003 itu memang dianggap sebagai TAP pamungkas, gitu, sapu jagatnya di sana, gitu. Kalau kita melihat pada pembahasan pada waktu itu. Jadi kalau ada TAP sekian banyak, ya, maka itu mau diapakan? Gitu. Karena ada TAP yang sudah selesai, ada yang TAP yang sudah tidak berlaku lagi, ada TAP yang masih berlaku tapi kalau (suara tidak terdengar jelas) TAP bagaimana? Dan mereka memang pada waktu membentuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, itu di masalah TAP MPR-nya di apa... ditunggu sampai nanti fungsi MPR apa? Begitu. Sehingga pada waktu kemudian MPR itu menetapkan bahwa MPR tidak lagi membentuk garis-garis besar haluan negara yang biasanya dikeluarkan dengan TAP-TAP MPR, maka membentuk Undang-Undang Nomor 10 rupanya menghilangkan TAP itu dari hierarki, ya. Tapi kemudian pada saat-saat sesudah itu, maka ada suatu pembahasan-pembahasan, dimana dalam TAP Nomor 1/2003 itu ada pasal-pasal yang memang harus ada ditindak lanjuti, misalnya dikatakan bahwa pasal... TAP-TAP MPR ini masih berlaku sampai terbentuknya undang-undang, gitu. Nah itu ada beberapa yang demikian, sehingga itu digolongkan menjadi 6 golongan ya. Nah ya, 6 golongan ini kemudian ada yang

11 sudah ditindak lanjuti seperti TAP Nomor 3/2000 tentang Hierarki Perundang-Undangan, begitu. Kalau kita melihat di sana, kemudian kita mengatakan, Jadi kok ada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004? Yang memerintahkan siapa? Yang memerintahkan pembentuk undangundang... TAP MPR sendiri, kan. Jadi Tap Nomor 3/2000 itu tetap berlaku sampai terbentuknya undang-undang. Nah, kalau kita melihat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, di sana ditetapkan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara, masuk di sana, dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga merupakan sumber bagi peraturan perundang-undang. Jadi apa yang masuk di dalam TAP-TAP yang lalu, ada langsung masuk ke dalam Undang-Undang Nomor 10 itu, ya. Tapi TAP MPR-nya enggak ada di sana. Nah kemudian kalau kita melihat kenapa demikian? Kalau kita melihat dari TAP Nomor 3 Tahun 2000, ada fungsi-fungsi yang ada dalam pasal itu misalnya pengujian undang-undang yang bertentangan dengan TAP MPR dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka diuji oleh MPR. Peraturan perundang-undangan yang di bawah undangundang diuji oleh Mahkamah Agung, gitu. Nah pada perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sudah jelas di sana, kalau undang-undang itu bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Tahun 1945 maka diujinya ke MK, kalau peraturan di bawah undang-undang bertentangan dengan undang-undang, diuji ke Mahkamah Agung. Tapi masih ada permasalahan, kalau undang-undang bertentangan dengan TAP MPR? Atau TAP MPR bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945? Ke mana? Nah, jadi walaupun kemudian kita mengatakan, TAP Nomor 3 Tahun 2000 itu sudah selesai dengan Undang-Undang 10, tapi masih ada tersisa yang mestinya harus diatur, begitu ya. Nah ini menimbulkan masalah-masalah, memang, sehingga pada waktu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, itu kemudian mereka memunculkan kembali karena Pasal 2 dan Pasal 4 itu memang belum selesai, ya. Kalau pun selesai, memang kan undang-undang kan enggak bisa mencabut TAP MPR, hierarkinya pun di bawah undang-undang, ya. Jadi di bawah TAP MPR. Nah dengan demikian juga kalau kita melihat dalam apa yang dimasukkan dalam Pasal 6 TAP Nomor 1 ini, memang di sini dikatakan tentang TAP nomor 91, ya ini dikatakan demikian, di dalam alat bukti yang diajukan, di sini dikatakan bahwa ketetapan MPRS dan MPR, yang disebutkan di bawah ini merupakan ketetapan MPR sementara dan ketetapan MPR, yang tidak perlu dilakukan tindakan lanjut... lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig, telah dicabut maupun telah selesai dilaksanakan. Kalau kita melihat pada pasal nomor 91 ini TAP tentang pencabutan TAP MPR Nomor 3 Tahun 1978 tentang Pedoman

12 Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Eka Prasetya Panca Karsa, dan penetapan penegasan Pancasila sebagai dasar negara. Di sini dikatakan karena ini sudah selesai, pencabutan itu karena memang itu sudah selesai. Nah, kalau kita melihat apakah itu regeling? Itu bukan regeling, namanya pencabutan pasti beschikking. Tapi beschikking itu harus dilihat bahwa apakah beschikking itu langsung berlangsung selesai, gitu. Jadi di sini ininya... apa... ininya seperti ini, suatu pencabutan itu bersifat seperti beschikking, dimana seperti kita mengatakan, Ini harus dilakukan sekian ini. Begitu. Jadi kalau sudah dicabut, ya, sudah, tapi pencabutan itu bukan berarti kemudian terus langsung tidak berlaku, apa yang dinyatakan di sana itu yang harus kita lihat kembali, ya. Karena dengan pencabutan ada pasal-pasal yang lain yang kemudian menetapkan itu. Nah, kalau kita melihat di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, dalam Pasal 2 dan Pasal 3 di sana ditetapkan kemudian bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupaka sumber dari peraturan perundang-undangan. Jadi karena TAP Nomor 1 Tahun 2003 ini. Memang kalau kita melihat bahwa TAP MPR itu selalu menimbulkan masalah karena apa? Di negara yang lain tidak ada seperti itu. Kalau kita melihat di... biasanya kita mengatakan hanya constitution, legislation, dan regulation. Kalau kita yang namanya constitution itu yang mana, kan hanya Undang-Undang Dasar Tahun Nah, legislation-nya undang-undang dan peraturan di bawahnya, baru regulation. Tapi kita bisa melihat bahwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kita sendiri sebelumnya itu menetapkan adanya garis-garis besar haluan negara yang dibentuk oleh MPR. Nah, kalau itu kemudian namanya apa? Gitu. Nah, itu... hal-hal itu yang menjadi suatu permasalahan. Ini menarik sekali memang kalau misalnya kita mengatakan... jadi kalau kita mengatakan, TAP MPR itu masuk perundang-undangan benar atau enggak? Gitu. Kalau kita melihat perundang-undangan kan dia di atasnya undang-undang, yang legislation itu kan undang-undang ke bawah, gitu. Tapi itu adalah aturan-aturan dasar negara, gitu. Kalau saya sendiri mengatakan dia enggak termasuk perundangundangan, tapi peraturan yang lebih tinggi dari itu, gitu. Nah, jadi di sini melihat seperti itu. Tapi sejak TAP Nomor 20 MPRS Tahun 1966 selalu TAP MPR itu dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diletakan di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan dalam peraturan perundangundangan. Mungkin mereka menganggap, Kan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, berarti undang-undang yang paling dasar. Gitu. Padahal sifatnya sudah lain. Nah, hal-hal yang seperti ini memang menimbulkan masalah.

13 Nah, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini ingin kemudian menyatakan bahwa kalau ada TAP-TAP MPRS dan MPR yang masih dinyatakan berlaku oleh pembentuknya sendiri, oleh MPR sendiri, masa kemudian tidak masuk di dalam hierarki? Apapun nama hierarki itu, gitu, ya kan. Padahal kita memakai Wetboek van Strafrecht, Burgerlijk Wetboek, itu kan malah terjemahannya enggak resmi terjemahan Indonesia. Itu adalah peraturan-peraturan yang dibentuk oleh Belanda di Belanda sana. Nah, tapi kok kita masih pakai? Sehingga pada waktu membuat Undang-Undang Nomor 12 itu mereka melihat pada perintah dari TAP-TAP MPR itu. Saya setuju bahwa TAP MPR mestinya harus diubah dengan TAP MPR sendiri, tapi karena pada waktu itu juga dalam apa... perubahan yang seperti itu dia kan enggak ada lagi TAP MPR. Bahkan ada yang mengatakan bahwa sekarang itu enggak boleh ada TAP MPR lagi. kalau saya mengatakan kenapa tidak, kalau TAP-nya mengatakan mengangkat presiden, melantik presiden, TAP tentang pelantikan presiden, kan enggak masalah, ya kan. Isinya kan einmalig. Hari ini MPR atas nama rakyat atau hari ini MPR melantik presiden, siapa namanya, dari tahun sekian sampai tahun sekian, selesai kan. Jadi kalau presidennya nanti ditengah jalan ada permasalahan, ya cabut TAP MPRnya, gitu. Tapi kan ini apa... diskusi ilmiah yang enggak pernah selesai kelihatannya begitu, ya. Nah, jadi memang saya melihat bahwa permohonan ini ada benarnya, tapi kita akan melihat juga nanti bagaimana melihat pada pasal-pasal tersebut. Permasalahannya di sini kadang-kadang saya melihat objek permohonannya, saya melihat halaman 7, ya, kalau kemudian Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini dipertentangkan terhadap alinea 4 Preambul Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 22A dan Pasal 1 Aturan Tambahan orang selalu mengatakan bahwa kita kalau menguji itu atau mempertimbangkan itu sampai ke pembukaan atau enggak? MK kalau menguji itu tidak hanya pasal-pasalnya saja, jadi sampai ke sana, ya. Jadi objeknya seperti itu. Tapi kemudian dalam cara penulisan yang perlu diperbaiki, ya. Misalnya di sini objek permohonan sebagaimana permohonan dimaksud dan diatur oleh huruf a angka 3 Pasal 1 ketentuan umum bab 1 undang-undang ini. Mestinya kita kembali Pasal 1 angka 3 huruf a. Jadi dibalik ini, ya. Jadi bukan huruf a angka 3 Pasal 1, tapi Pasal 1 angka 3 huruf a. Jadi dari yang depan dulu. Kalau ini ketentuan umum bab I dan seterusnya, ya. Kemudian tentang kekuasaan kehakiman dan kewenangan pengujiannya memang kalau kita melihat sebetulnya ini terlalu... apa... terlalu luas lalu panjang, sebelum Bapak mau mengatakan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, tapi di sini Bapak juga mengatakan bahwa supaya Hakim itu lebih mengetahui secara keseluruhan dari permohonan ini, gitu. Kalau... mestinya kalau di sini itu hanya identitas

14 Pemohon, kemudian kewenangan Mahkamah, legal standing, objek dan petitum, begitu. Saya mengatakan ini kok terlalu banyak, ya, kok ada Nawiyasky, ada... dan mungkin kalau Nawiyasky kayaknya bukan... bukan algemene rechtsleer deh kayaknya deh. Jadi di sini kita bisa melihat bahwa semua yang ada di sini karena Pemohon menganggap bahwa ini untuk bisa sebagai pembukaan, begitu, sebagai lampiran itu, mungkin ini lebih baik kalau selain kekuasaan kehakiman, ya, huruf c kekuasaan kehakiman itu satu, dua, tiga, Pasal 2 ayat (1)... Pasal 24 ayat (1) mestinya, ya. 24 ayat (2) dan Pasal 24 A ayat (1), itu sudah cukup sebetulnya, ya. Itu kewenangan Mahkamah. Jadi mestinya lebih... bisa lebih singkat, tapi kalau bisa diarahkan kembali bahwa yang penting adalah kewenangan Mahkamah, kemudian legal standing, siapa Pemohon ini, itu dijelaskan, yang lainnya bisa digabungkan dengan objek permohonan, ya. Jadi kalau di sini kita kewajiban Hakim Konstitusi dan sebagainya, nah itu bisa di dalam objek permohonan, sekaligus untuk... ini kan kedudukan Pemohon, jadi kalau kita melihat di sini sampai halaman 12 itu baru sampai legal standing. Nah, ini mengacaukan permohonan malahan, jadi yang dimohon itu apa? Siapa yang memohon itu? Gitu. Jadi lebih dipersingkat supaya ini. Kemudian saya melihat pada petitum, ya. Petitum itu yang nomor 1, Menerima permohonan dengan semua alasan hukum yang menyertainya berikut menyatakan permohonan benar. Kalau ini petitum nomor 1 dikatakan menerima permohonan Pemohon untuk seluruhnya, sudah selesai, berarti apa yang dimohonkan itu dipenuhi, begitu ya. Yang kedua, betul. Kemudian yang ketiga, betul ya, tetapi kalau kita melihat di sini yang ketiga ini mengacu pada yang kedua, tapi yang keempat, kelima, keenam, dan ketujuh bukan kewenangan kami. Jadi karena MPR itu di atas undang-undang, sudah ada beberapa, tiga permohonan ke MK yang mau menguji TAP MPR dan semua tidak sampai ke sidang pleno dan diaggap bahwa itu bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Nanti kalau Mahkamah Konstitusi menguji itu nanti dikatakan melampaui kewenangan, ya. Dan juga yang nomor 7, merekomendasikan kepada MPR untuk segera melaksanakan parlement review, itu juga bukan kewenangan MK, ya. Kalau bisik-bisik dalam pertimbangkan mungkin kita bisa mengatakan mestinya ini harus ada, gitu, tapi sebagai petitum kita tidak berani karena itu bukan kewenangan kita, nanti banyak orang marah, ya. Dari saya hanya itu. Saya mohon kepada Yang Mulia Bapak Suhartoyo. 27. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Terima kasih, Ibu Ketua Panel Yang Mulia. Ibu, Bapak, yang saya hormati selaku Pemohon, secara substansi sudah cukup jelas disampaikan oleh Ibu Ketua. Memang menjadi kewajiban Mahkamah ini

15 kalau ada permohonan pada sidang pertama Pemohon membacakan atau mempresentasikan permohonannya, kemudian kewajiban bagi Mahkamah untuk memberikan saran-saran atau masukan-masukan, meskipun pada akhirnya saran dan masukan itu menjadi tidak mengikat bagi Bapak, Ibu, artinya bisa dipedomani ataukah juga bisa juga tidak, artinya kalau Ibu, Bapak, mau keukeuh dengan permohonan ini seperti ini tetap diserahkan ke Mahkamah, tidak dilakukan perbaikan ya kami akan selesaikan. Namun demikian kalau memang akan diperbaiki, Mahkamah memberi waktu biasanya dalam waktu 14 hari kerja nanti supaya perbaikan itu sudah diserahkan. Barangkali Ibu, Bapak perlu dijelaskan ini meskipun barangkali juga sudah ada yang tahu karena barangkali sudah pernah mengajukan permohonan ke Mahkamah ini. Benar kata Ibu Ketua tadi, memang ada beberapa permohonan Bapak, Ibu, yang mengenai TAP MPR itu kalau dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah khususnya Pasal 10 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, itu memang bukan menjadi objek kewenangan Mahkamah Konstitusi. Jadi, kalau dipaksakan pun nanti ya Bapak akan tahu sendiri, artinya bahwa bagaimana ketika kami harus melakukan sesuatu yang di luar kewenangan kami. Pasti orang di luar sana akan mengatakan abuse of power lah bahwa ultra petita lah, kita ultra petita saja suka masih diprotes-protes orang karena sebenarnya tidak secara leterlek ya kita menambah permohonan seseorang melalui ultra petita itu. Kita hanya meluruskan sebenarnya, tapi itu juga dipersoalkan orang, Bapak, di sana. Apalagi yang murni atau betul-betul di luar kewenangan Mahkamah, seperti kita kan menguji TAP-TAP MPR ini. Jadi barangkali nanti bisa didiskusikan kembali dengan tim, apakah tetap mau diluncurkan ke sini, ataukah akan ditinjau kembali karena ada beberapa putusan yang dari Mahkamah Konstitusi sendiri tentang TAP MPR RI memang kita sudah bersikap seperti apa yang disampaikan oleh Ibu Ketua tadi. Kemudian mengenai yang lain mengenai legal standing, Bapak, Ibu bahwa legal standing Bapak ini atau Ibu ini apakah menggunakan prodemus Indonesia ini sebagai badan hukum ataukah perorangan? Kalau perorangan tidak ada masalah. Artinya, harus dipertegas di explore explore lebih jauh lagi apa kerugian-kerugian konstitusional yang Bapak-Bapak, Ibu, alami, kalau perorangan? Karena seperti dalam Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sudah dijelaskan, bagaimana yang dimaksud dengan permohonan warga negara, bagaimana yang badan hukum, dan lain sebagainya. Kemudian Bapak juga ada baiknya referensi dimasukkan putusanputusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat apa sih sebenarnya atau batasan-batasan kerugian konstitusionalitas yang dialami seorang Pemohon itu? Misalnya dengan berlakunya undang-undang ini dirugikan atau setidak-tidaknya kalau undang-undang ini sudah dilakukan perubahan, potensi kerugian itu menjadi hilang, itu ada, Pak, di putusan-

16 putusan Mahkamah Konstitusi yang telah memberi pembatasanpembatasan yang tegas tentang kerugian konstitusionalitas itu. Nanti Bapak bisa buka di website atau di di website barangkali ada itu, supaya Bapak bisa mengerti tentang arah kerugian-kerugian Ibu, Bapak, sekalian itu di situ apa? Kemudian dikaitkan dikaitkan dengan Pasal 51, kemudian bahwa Bapak, Ibu, betul firm dengan kedudukan hukum (legal standing) yang menjadi pijakan Bapak mengajukan permohonan ini. Kemudian, kalau perorangan jelas tentunya sekali lagi ditegaskan nanti masing-masing dalam permohonan ini nanti Bapak supaya sebaiknya semua bertanda tangan, tidak hanya Pak Hardjono Pak Hardjono, ya? Pak Trijono Hardjono saja yang tanda tangan karena ini kan perorangan, kalau Bapak selaku prodemus Indonesia ini misalnya punya badan hukum, kemudian cukup pengurusnya. Tapi karena ini perorangan sebaiknya yang mengajukan ya bersama-sama harus tanda tangan. Kalau toh Bapak Tri sendiri yang mau maju atau yang mau menadatangani ini, tidak masalah, tapi barangkali bisa dilampirkan surat kuasanya. Itu permohonan formalitas permohonan yang sangat standar dan normatif, tapi kadang-kadang Pemohon ketika tidak kemudian melengkapi syarat-syarat seperti ini, bisa menjadi batu sandungan karena secara formalitas permohonan ini dianggap tidak memenuhi persyaratan, nanti bisa dinyatakan tidak dapat diterima (niet ont van kelijk ver klaard) Bahasa Belandanya, tapi Mahkamah sekali lagi memang sangat menghargai semangat ini. Hanya permasalahannya mesti Bapak bisa memahami sejauh mana yang menjadi kewenangan Mahkamah, kemudian petitum-petitum mana tadi sudah diberikan bagan oleh Ibu bahwa Bu Ketua bahwa hanya betul-betul yang persoalan undangundang yang dihadapkan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Bapak, Pasal 10. Bapak nanti perhatikan kembali dan didiskusikan dengan tim, kemudian selain itu kan menyelesaikan persoalan tentang pemilihan pilihan pemilihan presiden, kemudian menyelesaikan ada sengketa lembaga negara, antar lembaga negara. Jadi, wewenang Mahkamah sudah sangat dibatasi oleh undangundang itu. Jadi, barangkali itu tambahan dari saya, Bu Ketua. Terima kasih. 28. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, terima kasih. Yang Mulia Bapak Manahan. 29. HAKIM ANGGOTA: MANAHAN MP SITOMPUL Saya tambahkan. Terima kasih, Ibu Ketua Panel. Hanya sedikit saja tambahan dari saya. Pertama, mengenai legal standing itu memang

17 perlu diuraikan lebih luas, memang sudah disebut di situ dasarnya Pasal 51 itu, tapi perlu diuraikan lagi lebih luas bagaimana kedudukan Para Pemohon ini. Kemudian, dihubungkan dengan kerugian konstitusionalitas yang dialami oleh Para Pemohon itu. Namun, kemudian di petitum tadi memang Ibu Ketua sudah menjelaskan bahwa di sini ada 2 hal yang saya lihat itu bagaimana tentang TAP MPR, apakah MK berwenang untuk menguji tentang TAP- TAP MPR itu? Namun, yang saya lihat di sini ada petitum tentang Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yaitu tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ya. Di sini mungkin harus lebih jelas bagaimana kalau itu disebut oleh Pemohon itu, misalnya bertentangan, seharusnya menurut Pemohon itu bagaimana terhadap penjelasan dari undang-undang itu, yaitu Pasal 7 ayat (1) huruf b, tadi ya, terbalik, ya. Itu saya ingatkan lagi supaya penulisannya lebih jelas ataupun sesuai dengan kita yang sudah biasa bahwa pasal, ayat, baru huruf. Barangkali dalam petitum nomor 2 ini mungkin bisa lebih dijelaskan bagaimana kehendak dari Para Pemohon terhadap undangundang itu atau terhadap redaksi daripada yang dimohonkan oleh Para Pemohon? Sedangkan petitum-petitum yang lain itu, barangkali bisa lebih di lebih diperinci lagi apakah hubungannya dengan Undang- Undang Dasar Tahun 1945 yang kemungkinannya berhubungan dengan TAP MPR. Namun, tadi tetap prinsipnya bahwa TAP MPR tersebut itu kalau itu dasar pengujiannya terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ya itu masih bisa di masih bisa dikonsultasikan. Jadi, barangkali itu yang bisa saya sampaikan. Pertama tadi mengenai legal standing yang bisa lebih luas lagi diutarakan, dan hubungan konstitusionalitas kerugian konstitusionalitas daripada Pemohon, dan kemudian itu tadi mengenai petitumnya barangkali bisa lebih diperinci. Demikian barangkali. Terima kasih. 30. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih. Ya, jadi itu arahan yang kami sampaikan. Tapi ini tergantung pada Pemohon, mau diperbaiki atau tetap seperti ini, itu adalah hak Pemohon, ya. Dan Pemohon diberikan waktu 14 hari sejak hari ini. Dan perbaikan permohonan dapat diajukan paling lambat hari Senin, 8 Juni, pukul WIB, ya. Jadi, perbaikan permohonan itu langsung diserahkan ke Kepaniteraan. Ada yang perlu disampaikan sebelum saya tutup? 31. PEMOHON: TRIJONO HARDJONO Terima kasih, Ibu. Saya ingin memberikan beberapa catatan saja atas apa yang telah kami terima, gitu. Secara garis besar, kami sepakat

18 untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Tapi masalahnya adalah ini memang kami menyampaikan ada hal besar di dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Jadi, sebenarnya kalau mau jujur, apa yang kami sampaikan ini terdapat 3 hal besar pada 3 level. Level pertama pada level undang-undang. Ketika Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 nyata-nyata secara berlebih melakukan tindak lanjut atas perintah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 22A yang menyatakan hanya membentuk undang-undang, tapi oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dibuat secara lebih membentuk peraturan perundangundangan. Ini, ini, ini di luar materi, di luar hal yang itu, tapi perlu kami sampaikan sebagai latar belakang betapa rancunya sistem peraturan dan produk hukum kita, begitu. Itu di level undang-undang. Sementara, di level yang lain adalah level TAP MPR. Sebagaimana kami sampaikan problem dasar, sebagaimana Ibu juga sampaikan sebagai pamungkas produk pamungkas MPR Nomor 1 Tahun Nomor 1 Tahun 2003 itu benar merupakan amanah ketika melaksanakan perintah Pasal I Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar Tahun Tapi apa yang diperintahkan oleh Pasal I Penjelasan itu hanya berhenti pada memutus, tapi tidak mengatur, menetapkan bagaimana bentuk atas putusan itu. Itu yang menjadi masalah. Sementara ada Pasal 3 pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang sama tentang kewenangan, dan seterusnya yang tengah dibatasi. Dengan demikian, problemnya memang itu, apakah MPR sebuah keputusan apa apa pun ketetapan. Bentuk itu yang saya sepakat pada Ibu untuk secara lebih lebih lebih apa ya spesifik atau apa itu, membedakan atau ada bedanya atau enggak TUS dengan TAP? 32. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, itu nanti bisa sampai Bapak sampaikan dalam ini. Karena kalau saya menjelaskan mana keputusan atau ketetapan, itu sejarahnya panjang, Pak. Saya menjelaskan berulang-ulang juga orang mengatakan, Mana yang lebih luas sih, penetapan atau keputusan? Orang selalu mengatakan, Lebih luas peraturan, penetapan, atau keputusan? gitu. Orang selalu mesti dia katakannya, Yang paling luas itu peraturan. Padahal, peraturan itu juga keputusan. Penetapan itu juga keputusan, gitu. Ini sesuatu hal yang memang kadang-kadang kita menerjemahkan bestritten atau bestriet dalam Bahasa Belanda itu ke Indonesia itu bermacam-macam. Itu, ya keputusan. Itu, ya penetapan, gitu. Pengesahan itu juga keputusan juga kan, gitu. Nah, hal-hal yang seperti ini, ini kadang-kadang apalagi memang beberapa produk hukum kita atau kita selalu melihat pada istilah-istilah dari Belanda dan kadang-kadang kita menerjemahkannya enggak cocok juga, gitu.

19 Seperti kita mengajukan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, kenapa kita enggak ngomong tentang konstitusi? Di Malaysia itu, di Singapura itu mengatakan dengan constitution, dengan huruf K di depannya, terus SG, gitu. Kita kenapa kok mengatakan bukan konstitusi, tapi kok Undang-Undang Dasar? Kita mengatakan, Oh, itu dulu terjemahan dari grondwet. Wet itu undang-undang, grond itu dasar. Nah, di sini kan biasanya menimbulkan suatu permasalahan itu. Nah, hal-hal seperti itu memang secara perundang-undangan banyak bermasalah. Tapi kita juga selalu mengatakan bahwa suatu keputusan kalau kita melihat pada suatu perundang-undangan, dia dikatakan sebagai suatu hukum itu suatu norma yang dinamik, yang kita lihat adalah pembentuknya siapa dan dasar pembentukkannya siapa apa? Kalau dia dibentuk oleh lembaga yang berwenang dengan kewenangan yang benar, maka dia adalah sah. Kecuali, ada yang memohonkan pengujian. Nah, ini seperti Bapak ini, ini TAP MPR ini benar apa enggak? Benar. Yang membentuk siapa? MPR. Ada enggak fungsi MPR tentang itu? Menetapkan garis besar haluan negara ada dalam aturan tambahan? Benar, enggak bisa disanksikan lagi. Tapi begitu ada pengujian, baru kita melihat benar atau enggak sih? Nah, hukum itu di situ, Pak. Hukum itu sudah ada norma yang dinamik, sehingga kalau pembentuknya sah, kewenangannya sah, maka itu dianggap sah, gitu. Memang kalau kita mau apa keluar dari pakem hukum, ya memang agak sulit ya dari hal-hal yang lain. Tapi kita bisa melihat bahwa permohonan ini cukup menarik dan memang banyak permasalahan yang sebetulnya bisa terungkap di sini. Tapi memang kami mohon bahwa kita memang tidak berhak untuk menguji TAP MPR, ya. Tapi kalau undang-undangnya, boleh, ya. Jadi, kita tunggu permohonan Bapak, perbaikan. Tanggal 8 Juni 2015, pukul WIB siang, ya. 33. PEMOHON: TRIJONO HARDJONO Itu hari terakhir, Ibu? 34. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Itu hari terakhir. 35. PEMOHON: TRIJONO HARDJONO Oke.

20 36. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, lebih cepat, lebih bagus, ya. Kalau tidak ada permasalahan, maka permohonan sidang pendahuluan ini saya nyatakan selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL WIB Jakarta, 26 Mei 2015 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Rudy Heryanto NIP Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.