BAB VI SISTEM KEKERABATAN DAN DERAJAT PENGAKUAN TOKOH MASYARAKAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VI SISTEM KEKERABATAN DAN DERAJAT PENGAKUAN TOKOH MASYARAKAT"

Transkripsi

1 101 BAB VI SISTEM KEKERABATAN DAN DERAJAT PENGAKUAN TOKOH MASYARAKAT 6.1. Sistem Kekerabatan Sistem Nilai yang Mengakui Status Laki-laki dan Perempuan dalam Keluarga Status laki-laki dan perempuan dalam keluarga berkaitan dengan bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Pada Desa Cipeuteuy, laki-laki dan perempuan memiliki perlakuan yang berbeda dalam keluarga, sebagaimana halnya tercermin dari pembagian kerja gender dalam keluarga baik pembagian peran di rumah maupun pada kegiatan usahatani. Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan telah terinternalisasi pada tiap keluarga, dan mempengaruhi bagaimana mereka memperlakukan anggota keluarga laki-laki dan perempuan baik pada lingkungan keluarga hingga lingkungan yang lebih tinggi yakni lingkungan sosial ART laki-laki dan ART perempuan. Anak perempuan dan anak laki-laki sedari dini telah diperkenalkan mengenai pembagian kerja gender, dimana laki-laki ditempatkan pada sektor pekerjaan yang menghasilkan pendapatan untuk menafkahi keluarga dan perempuan pada pekerjaan-pekerjaan reproduktif yang berkaitan dengan pola pengasuhan dan pekerjaan domestik di rumah. Dengan demikian peran reproduktif sangat melekat pada individu laki-laki sebagaimana halnya peran reproduktif pada ART perempuan.

2 102 Menurut hasil dari diskusi kelompok terarah (FGD), mekanisme kerja dalam keluarga yang terbentuk secara umum adalah perempuan bekerja di rumah sedangkan laki-laki mencari rumput, mencangkul dan bekerja di sawah. Ketika seorang anak laki-laki beranjak dewasa dan memasuki usia produktif, maka selain bersekolah ia pun mulai diajarkan pada pola-pola pekerjaan yang berkaitan dengan usahatani sebagai salah satu sektor alternatif sumber nafkah bagi penduduk Desa Cipeuteuy yang tercermin pada tiga kampung kasus. Pada awalnya anak laki-laki akan diajarkan untuk mengambil rumput untuk pakan ternak (ngajukut) yang kemudian akan menjadi tugas/pekerjaan rutin yang dilakukan oleh anak laki-laki sebelum bersiap untuk melakukan praktekpraktek usahatani. Selain ngajukut anak laki-laki juga bertugas untuk mengambil kayu bakar di hutan untuk bahan bakar masak (ngala hawu). Kayu yang diambil berasal dari hutan TNGHS, dimana kayu-kayu tersebut bukan merupakan hasil tebangan baru, namun kayu bekas tebangan atau ranting-ranting yang telah jatuh, dengan demikian diperlukan sedikit ketrampilan memilih kayu dan mengemas kayu sedemikian rupa untuk mempermudah dalam memindahkan hasil kayu yang di panen. Selain daripada itu, anak laki-laki juga telah diajarkan untuk menyisiri kawasan hutan, sehingga ia tidak akan pernah tersesat saat mencari kayu dan selanjutnya, mengingat tiga kampung kasus tersebut seringkali mendapat kunjungan dari turis, peneliti ataupun pendatang, maka ketrampilan tersebut dapat digunakan untuk memandu mereka menyusuri hutan, seperti yang dilakukan oleh Bapak AH, yang pernah menemani peneliti dari Jepang mengelilingi TNGHS selama tujuh hari tujuh malam. Anak laki-laki yang telah dapat mandiri dalam

3 103 kegiatan ngajukut dan ngala hawu dapat membantu meringankan pekerjaan orang tuanya. Lain halnya dengan perempuan yang sedari dini telah diajarkan untuk melakukan pekerjaan domestik seperti membantu ibu memasak, menyediakan makanan untuk para pekerja dan membantu orang tua mereka mengasuh adikadiknya. Namun demikian, anak perempuan juga diperkenalkan pada kegiatan usahatani yang nantinya akan menjadi pekerjaan mereka, baik sebagai pekerja keluarga maupun sebagai buruh tani. Anak perempuan, sepulang dari sekolah mulai diperkenalkan kepada pekerjaan usahatani yang dilakukan oleh ibu mereka, meliputi kegiatan persemaian (ngabungbung), penyiangan (ngarambet), penanaman (tandur) dan proses panen. Pada beberapa rumahtangga petani, ditemukan bahwa kegiatan mengambil rumput untuk pakan ternak (ngajukut) juga dilakukan oleh anak perempuan. Pembagian kerja yang terjadi juga turut mendorong perbedaan perlakuan laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Perbedaan perlakuan antara RTP satu dengan lainnya relatif berbeda menurut perspektif tiap keluarga dalam memandang kebutuhan laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, dalam hal pendidikan, mayoritas ART menyatakan bahwa kecenderungan laki-laki memiliki pendidikan yang tinggi lebih besar dari perempuan dikarenakan laki-laki kelak akan menjadi penopang keluarga yang diasumsikan dapat bekerja lebih layak ketika mempunyai status pendidikan yang tinggi. Lain halnya dengan beberapa ART yang melalui wawancara mendalam mengungkapkan bahwa mereka lebih mementingkan pendidikan untuk anak perempuannya. Responden tersebut menyatakan bahwa laki-laki sebagai calon kepala rumahtangga harus memiliki

4 104 ketrampilan yang mencukupi sehingga ia dapat berkontribusi dalam pendapatan keluarga, pun dapat membina keluarga sejak dini, sehingga laki-laki lebih diarahkan pada peningkatan kapasistas dalam melakukan praktek-praktek usahatani daripada mengenyam pendidikan tinggi, yang hasilnya pun belum tentu dapat menjamin masa depan sang anak untuk memperoleh penghidupan yang lebih layak. Anggapan tersebut muncul, karena anak laki-laki kerabat/tetangga mereka yang mengenyam pendidikan tinggi pada akhirnya kembali lagi ke kampung mereka dan melakukan kegiatan usahatani dengan alasan sulitnya mencari pekerjaan di kota. RTP yang beranggapan demikian cenderung membina anak laki-lakinya mengelola usahatani dan menyekolahkan anak perempuan mereka, agar meningkatkan status mereka dengan harapan nantinya memperoleh jodoh yang lebih baik. Ketika anak mengenyam pendidikan tinggi maka ia akan bertemu dengan lingkungan yang lebih luas, sehingga akan mempengaruhinya dalam penyeleksian pasangan hidup. Mereka mengharapkan pasangan hidup yang diperoleh anaknya berasal dari luar kampung/desa dengan pendidikan yang setara bahkan lebih tinggi Hukum Adat yang Mengatur Kepemilikan Sumberdaya Agraria oleh Laki-laki dan Perempuan. Secara tertulis maupun secara adat, penduduk Desa Cipeuteuy tidak memiliki Hukum Adat yang mengatur mengenai kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya, namun ada kebiasaan- kebiasaan yang kemudian melembaga pada masing-masing kampung yang menjadi acuan dalam pengaturan kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya. Dari hasil diskusi kelompok terarah dan wawancara mendalam yang melibatkan aparat desa dan

5 105 tokoh masyarakat diluar dari tiga kampung kasus, ditemui beberapa asumsi yang mendasari kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya. Individu laki-laki dan perempuan memperoleh hak atas kepemilikan sumberdaya agraria melalui proses jual beli, hibah dan waris. Kebanyakan kepemilikan lahan oleh perempuan berasal dari hibah dan waris. Sejumlah responden perempuan hasil wawancara mendalam menyatakan bahwa saat ini mereka hidup bersama suami dengan mengelola sumberdaya agraria milik suami. Hal ini bukan karena mereka tidak memiliki lahan, namun dikarenakan lahan yang mereka mereka warisi terletak jauh di tempat tinggal mereka dulu, sehingga mereka harus menjual atau menghibahkannya kepada saudara untuk mengelola lahan tersebut. Selanjutnya responden lainnya menyatakan bahwa mereka mengelola lahan yang dihibahkan oleh orang tua mereka dan meninggali rumah yang diwariskan kepada mereka. Dalam proses jual beli sumberdaya agraria, keduanya mempunyai hak yang sama untuk dapat menjual dan membeli sumberdaya agraria. Tidak ada ketentuan khusus pada tingkat desa yang mengatur proses jual beli atas keduanya kecuali peraturan-peraturan secara hukum yang mengatur syarat-syarat jual beli antara pihak penjual dan pembeli secara umum. Adapun syarat-syarat umum jual beli sumberdaya agraria dalam hal ini adalah tanah/lahan - telah diatur dalam PS 1320 KUH Perdata dan UUPA dalam UU No 5 th 1960 an PP 24/1997 mengenai jual beli tanah. Adapun syarat umum sah jual beli berinduk pada kesepakatan, dimana subjeknya cakap hukum dan objeknya dalam keadaan tidak bertentangan hukum (tidak dalam status sengketa). Sedangkan syarat khusus untuk jual beli tanah antara lain : bukti Cash and carry, KTP, KK, surat nikah, sertifikat yang telah di cek BPN, 10 tahun melunasi PBB,

6 106 pembayaran pajak transaksi, dan Akta yang di tanda tangani oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Baik laki-laki maupun perempuan mempunyai status hukum yang sama dalam proses jual beli, hanya saja terdapat ketentuan pada penjualan sumberdaya agraria, dimana ketika menjual baik laki-laki maupun perempuan harus didasari atas persetujuan pasangan hidupnya dengan pernyataan tertulis. Namun hal tersebut tidak berlaku jika masing-masing ingin membeli sumberdaya agraria. Selanjutnya mengenai batasan usia di atur dalam UU Perkawinan No 1 Tahun Baik laki-laki maupun perempuan hanya dapat menjual dan membeli sumberdaya agraria setelah berumur 21 tahun (> 21 tahun), terkecuali jika kondisi individu belum berusia 21 tahun tetapi sudah menikah, maka ia dapat melakukan pembelian sendiri dan penjualan atas persetujuan pasangannya. Jika dalam peraturan hukum jual beli sumberdaya agraria, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama, tidak demikian pada sistem pewarisan sumberdaya agraria terhadap laki-laki dan perempuan. Perbedaan perolehan hak atas kepemilikan sumberdaya agraria terlihat jelas pada sistem pewarisan dimana antara laki-laki dan perempuan tidak selalu memperoleh bagian yang sama satu dengan lainnya. Hal ini menjadi sangat menarik mengingat Desa Cipeuteuy mempunyai sistem kekerabatan Sunda yang Bilateral. Berbeda dengan sistem kekerabatan di daerah Jawa yang patrilineal, dimana garis keturunan yang digunakan adalah garis keturunan ayah, pada sistem kekerabatan sunda, garis keturunannya berasal dari kedua orang tua, ayah dan ibu. Dengan demikian asumsinya, baik perempuan dan laki-laki memperoleh hak yang sama atas sumberdaya, termasuk sumberdaya agraria. Selain daripada itu, mayoritas penduduk Desa Cipeuteuy merupakan penduduk yang beragama Islam, dimana

7 107 dalam agama Islam telah diatur pembagian pewarisan yang jelas atas laki-laki dan perempuan 12. Pembagian warisan menurut hukum Islam diatur dalam Q.S. An Nisa ayat 11 (4:11) 13 yang menyatakan bahwa Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.... Dengan demikian laki-laki memperoleh warisan dua kali lebih banyak dari bagian perempuan (2:1). Ketentuan tersebut didasari oleh kondisi dimana kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah 14. Pada dasarnya, penduduk Desa Cipeuteuy menggunakan ketentuan dari agama Islam (syari at hukum Islam) dalam pembagian warisannya, yakni dengan perbandingan L:P=1:2. Dengan demikian laki-laki akan memperoleh bagian yang lebih banyak dari perempuan. Namun, dari kondisi yang demikianlah, beberapa rumahtangga mengaku masih mempertimbangkan kondisi anak laki-laki dan perempuan serta kebijakan keluarga dalam pembagian warisan. Ketiga kampung kasus sendiri memiliki perbedaan dalam sistem pewarisan. Menurut keterangan tokoh masyarakat yang berada di kampung 12 Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. Q.S. An Nisa (4:7) 13 Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan (Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah) ; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua (lebih dari dua maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi) maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Q.S. An Nisa (4:11) 14...Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...q.s. An Nisa (4:34)

8 108 Sukagalih, proporsi penduduk yang menggunakan syari at Islam rata-rata hanya 25 persen dibandingkan dengan 75 persen penduduk lainnya yang menggunakan kebijakan keluarganya dan pertimbangan kondisi anak laki-laki dan perempuan dalam pembagian warisan. Demikian halnya yang terjadi pada kampung Cisalimar, dimana sistem pewarisan dengan syari at Islam masih dijalankan, namun ada kebijakan pembagian harta dengan alternatif hibah melihat dari kondisi individu laki-laki dan perempuan yang akan diwarisi, seperti pernyataan yang dilontarkan Bapak AH selaku kepala Dusun pada saat diskusi kelompok terarah berlangsung yang menyatakan bahwa Kalo waris disini mah pakai sistem hukum Islam, tapi suka ada kebijakan-kebijakan dalam keluarga. Misalnya lakilaki suka lebih besar atau karena perempuan kasihan cuma dapet sedikit yah dikasih lebih banyak lagi. Itu mah tergantung keluarganya juga. Selanjutnya terdapat tiga pandangan dalam kebijakan keluarga mengenai sistem pewarisan, dimana yang pertama, beberapa responden menyepakati bahwa laki-laki memang seharusnya memperoleh bagian lebih banyak sehingga mereka menjalankan syari at Islam, dan kebijakan penambahan bagian pun akan lebih besar kepada laki-laki. Seperti pernyataan Ibu AC dari kampung Cisalimar yang mengatakan : Kan kalo anak laki-laki itu bakalan bawa istri, sedangkan anak perempuan mah nanti dibawa suaminya. Hal ini juga selaras dengan pernyataan dari Bapak AD yang berujar: Sistem disini mah masih menganut pepatah lalaki di gawe awewe nungguan di bere yang berarti bahwa laki-laki yang memberi nafkah dan perempuan yang menunggu diberi. Namun ketika dalam FGD terlontar kasus mengenai pembagian warisan kepada anak perempuaan yang telah menikah dengan laki-laki yang

9 109 berkecukupan, mereka kembali berkesimpulan bahwa anak perempuan tetap memproleh hak waris, meskipun lebih sedikit dari laki-laki. Pada sistem pewarisan ini stereotipi gender masih mempengaruhi pengambilan kebijakan dalam pembagian warisan. Lain halnya dengan sistem pembagian waris yang kedua, dimana sistem pewarisan yang berlaku cenderung sama menggunakan cara Islam, yang selebihnya tergantung pada kebijakan keluarga tersebut, namun sistem ini tidak melihat label gender yang disandang individu, misalkan seorang anak perempuan bisa saja ditambah dengan sejumlah hibah sehingga akan memperoleh bagian yang sama dengan laki-laki. Cara lainnya adalah jika terdapat dua orang anak baik itu laki-laki maupun perempuan, dimana anak pertama memiliki penghasilan yang lebih banyak dari anak laki-laki, maka pembagian lebih banyak kepada anak ke dua. Pada sistem pewarisan ini dimungkinkan pembagian kepada anak perempuan akan lebih besar. Hal ini didasari semata-mata oleh rasa sayang orang tua kepada anak perempuannya dan keinginan untuk berbuat adil disamping menjalankan syari at. Pembagian warisan dengan pemikiran yang ketiga lebih mengedepankan keadilan yang merata antara laki-laki dan perempuan, dan cara inilah yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Desa Cipeuteuy secara umum. Menurut penuturan Bapak EN, selaku aparat desa, pembagian warisan di Desa Cipeuteuy tidak lagi menggunakan syari ah. Sudah menjadi adat dan budaya bahwa pembagiannya dibagi secara rata. Da laki-laki atanapi perempuan, semuanya anak saya, yah masa mau dibedakan, kalo masih ada ibunya ya dibagi rata dengan ibunya juga, disini mah meskipun ustad juga bagi rata aja lah. ujarnya kemudian.

10 110 Beririsan dengan pernyataan Bapak TR yang menyatakan bahwa meskipun mayoritas masyarakat Desa Cipeuteuy beragama Islam, namun dalam pembagian harta warisan yang lebih menonjol adalah adat istiadatnya. Jika dalam agama pembagian warisan diatur yakni 1:2, semisal laki-laki mendapat satu bagian berarti perempuan memperoleh ½ bagian, namun yang terjadi di wilayah ini adalah pembagian secara rata yakni L:P=1:1. Merata yang dimaksudkan bukan hanya berkenaan dengan jumlah namun nominal/nilai rupiah. Dengan demikian pembagian warisan dengan sistem ini dapat dipengaruhi oleh lokasi/tipe lahan dan kondisi sumberdaya agraria. Harga tanah ditentukan menurut kelasnya. Harga tanah kelas 1 akan lebih mahal karena keberadaan tanah tersebut yang terletak di pingir jalan protokol/ibukota desa.namun harga tanah Cipeuteuy lebih mahal dari Desa Kalapa Nunggal yang secara logika jaraknya lebih dekat dengan Kecamatan, hal ini dikarenakan atmosfer-nya yang sejuk dan lokasinya yang cenderung lebih dekat dengan tempat wisata. Adapun untuk tanah kelas satu harganya berkisar > /meter. Tanah Kelas dua, dipengaruhi oleh kontur tanah, dimana batasan dimulai dari as jalan menuju batas akhir jalan datar. Harga tanah kelas dua berkisar < /meter. Kelas tiga merupakan wilayah yang jauh dari jalan, namun masih dapat diakses oleh kendaraan bermotor. Harga berkisar antara /meter. Kelas empat, berada jauh dari jalan dan tidak dapat diakses oleh kendaraan bermotor, berkisar antara /meter. Namun, ketentuan ini hanya berlaku untuk wilayah di ibukota desa. Untuk wilayah yang jauh dari balai desa, kelas satu yang ada di daerah tersebut sama dengan kelas tiga di daerah ibukota desa. Dari uraian tersebut, dapat diambil contoh semisal ada dua petak sawah, dimana petak

11 111 pertama berlokasi di pinggir jalan (kelas satu) yang notabene lebih mahal dan petak kedua yang berlokasi di tengah desa (kelas dua) otomatis harga kedua lahan tersebut berbeda, maka pembagiannya pun berdasarkan nominal rupiah, bukan jumlahnya. Selain lokasi, kondisi sumberdaya agraria juga mempengaruhi pembagian warisan. Seperti yang telah diketahui, harga sawah lebih mahal dari harga darat yang menurut penduduk desa hal ini disebabkan karena tanah sawah dapat dimanfaatkan untuk menanam padi dan dipergilirkan untuk menanam tanaman palawija dan pemeliharaan ikan. Disamping itu, pembuatan sawah lebih banyak mengeluarkan biaya dan membutuhkan perlakuan (proses pengolahan lahan, irigasi, dan lainnya) yang lebih sulit dari pembuatan ladang/darat. Menurut penduduk desa harga sawah dapat mencapai tiga kali lipat dari harga darat/ladang. Harga juga dapat dilihat dari hasil panen, karena luas lahan pun dapat dilihat dari hasil panen. Jika menanam sebanyak satu gedeng padi (tujuh kilogram padi besar, eman kilogram untuk padi bubuk) harganya berkisar diatas /meter, itupun sawah yang letaknya jauh dari pusat pemerintahan desa dan jauh dari jalan utama. Jika sawah yang letaknya di pinggir jalan dan dekat dengan pusat pmerintahan desa, maka harganya dapat mencapai /meter. Dari kondisi sumberdaya agraria, contoh selanjutnya jika lahan kering dan lahan basah akan diwariskan kepada empat orang anak laki-laki dan perempuan secara seimbang, dimana lahan kering lebih luas dari lahan basah, maka lahan kering akan dibagi menjadi empat bagian yang sama, dan jika lahan basah tidak dapat dibagi dengan merata maka lahan itu akan dijual dan hasilnya akan dibagi rata untuk ke empat orang anak tersebut.

12 Pengakuan Komunitas/Desa terhadap Kepemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria oleh Laki-laki dan Perempuan Derajat Pengakuan Tokoh Masyarakat terhadap Kepemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria oleh Laki-laki dan Perempuan Tokoh masyarakat di tingkat desa pada intinya mengakui adanya kepemilikan perempuan atas sumberdaya agraria sedemikian halnya laki-laki. Berbeda dengan ketentuan hukum yang menetapkan usia 21 tahun sebagai batas usia hak membeli dan menjual, di Desa Cipeuteuy kepemilikan laki-laki dan perempuan telah diakui mulai pada usia 17 tahun keatas. Dengan demikian pengakuan kepemilikan sumberdaya agraria tidak hanya melalui proses jual beli, namun juga melalui sistem pewarisan dan hibah. Desa juga memiliki ketentuan-ketentuan dalan proses jual beli yang dilakukan oleh anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan, Adapun ketentuan tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh alat-alat hukum dalam proses jual beli yang diantaranya adalah: pertama, pada lahan milik gonogini, jika istri mau menjual, maka harus ada persetujuan dari suami, dan jika suami menjual harus ada persetujuan dari istri; Kedua, jika menjual tanah milik Suami/Istri, maka harus ada persetujuan dari ahli warisnya; Ketiga, untuk tanah waris/hibah yang dimiliki oleh lebih dari satu orang anak dan salah satu ingin menjual maka harus ada izin dari saudara-saudaranya; Keempat, untuk tanah waris/hibah yang dihibahkan atau diwariskan dan belum dibuatkan akta hibah, maka ketika menjual dalam SPPT-nya masih menggunakan nama Bapak, disamping itu sebelum menjual harus izin saudara-saudaranya (tanda tangan di atas materai) dan membuat Surat Pernyataaan Kuasa Hibah (SPKH) Sebelum Di

13 113 aktakan, namun jika telah memiliki akta hibah maka tidak perlu dibuatkan surat lagi. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki pengakuan yang sama atas kepemilikan sumberdaya dan keduanya memiliki kemudahan yang sama dalam pengurusan kepemilikan sumberdaya agraria. Tidak hanya kepemilikan laki-laki dan perempuan atas lahan yang mendapat pengakuan dari tokoh masyarakat, penguasaan keduanya atas lahan pun diakui pada tingkat desa dan tokoh masyarakat. Kondisi sumberdaya agraria pada tiga kampung kasus mendorong penduduknya untuk menggarap lahan taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan lahan status quo eks PT. Intan Hepta. Dengan demikian, jumlah penguasaan lahan tentunya lebih banyak dari jumlah kepemilikan lahan. Tidak hanya laki-laki sebagai kepala rumahtangga yang diakui dapat menguasai lahan, namun perempuan tidak hanya janda-juga diakui atas penguasaan lahan. Sebagai contoh, Ibu SC yang tinggal di Kampung Cisalimar yang menguasai lahan sawah milik Bapak ID (pemilik lahan yang tinggal di Jakarta) menguasai lahan dengan sistem sewa dan menguasai kebun lahan TNGHS dengan sistem garap dan ia mendapat pengakuan dari tokoh masyarakat setempat dan dapat mempekerjakan beberapa buruh tani untuk mengelola lahannya. Contoh lainnya terjadi di kampung Cisalimar dimana kelompok perempuan secara khusus diberikan hak penguasaan atas lahan garapan kelompok yang dapat diusahakan dan dikelola sesuai dengan kebutuhan kelompok perempuan. Dengan adanya lahan kelompok khusus perempuan tersebut, perempuan selanjutnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan atas lahan yang mereka kuasai sendiri.

14 Pencatatan Kepemilikan Lahan dalam Letter C Menurut penuturan aparatur desa, sebelum adanya Letter C, bukti kepemilikan atas tanah yang digunakan adalah Girik dan Blangko. Pada tahun 1967, verifikasi pemilikan lahan yang dilakukan oleh BPN menghasilkan pencatatan kepemilikan lahan melalui Letter C desa. Kemudian pada tahun 1992, girik dan blangko sebagai bukti kepemilikan individu dihilangkan dan diganti dengan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT). Selain SPPT, sebelum diaktakan terlebih dahulu dibuatkan surat pemindahan kepemilikan hanya sementara (SEGEL). Dengan demikian sertifikasi tanah baru diberlakukan pada tahun 1992, sedangkan Hak Guna Usaha (HGU) sudah disertifikasi dari tahun Selanjutnya jumlah sertifikasi yang tercatat di desa berjumlah 75 buah dengan kepemilikan sebanyak 50 orang sedangkan jumlah Letter C tercatat hingga berjumlah 813 nomor. Pada tingkat desa diketahui bahwa jumlah laki-laki yang tercatat dalam Letter C desa lebih banyak dari jumlah perempuan. Kepemilikan lahan oleh perempuan yang berasal dari hibah atau waris, bisa jadi tidak tercatat atas nama perempuan tersebut, kecuali ia membeli lahan. Hal ini diduga karena belum adanya pemindahan kepemilikan melalui surat waris dan surat hibah, disamping itu penduduk Desa Cipeuteuy, mayoritas mendaftarkan kepemilikannya atas lahan dengan diatas namakan laki-laki. Menurut pengakuan dari masyarakat, mereka cenderung mendaftarkan dalam Letter C dengan mengatas-namakan/meminjam nama anak laki-laki mereka. Seperti bapak AJ yang mengatakan bahwa ketika anak laki-lakinya

15 115 dewasa, maka ia akan membukukan hartanya atas nama anak laki-lakinya dan bukan anak perempuan pertamanya, pertimbangannya adalah, bahwa penopang keluarga adalah laki-laki dan selama ini laki-laki cenderung mempunyai sifat kritis, sehingga ketika namanya tercantum ia akan memperjuangkan harta tersebut, berbeda dengan sifat anak perempuan yang cenderung pasrah menerima keadaan. Dari anggapan tersebut, tidak sedikit perempuan yang memiliki lahan namun tidak tercatat dalam Letter C dikarenakan lahan tersebut tercatat atas nama saudara laki-laki atau orang tuanya. Dalam pencatatn Letter C terdapat pihak-pihak yang cenderung memilih menggunakan nama anak laki-lakinya dengan pertimbangan bahwa laki-laki dianggap lebih dapat bertanggung jawab untuk menjaga harta benda yang dimilki, sedangkan hanya beberapa pihak yang cenderung tidak mempermasalahkan nama anak perempuan atau laki-laki yang digunakan karena mereka berpandangan bahwa baik laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab dan hak yang sama dalam kepemilikan lahan. Adapun nama perempuan yang tercatat dalam Letter C menandakan bahwa perempuan tersebut memperoleh lahan dari hasil membeli dan jika mewarisi dan mendapat hibah, artinya ia telah mengganti nama pemilik sebelumnya dengan menerbitkan surat waris/hibah sehinga kepemilikannya atas sumberdaya agraria menjadi sah Bukti SPPT Iuran Desa Menurut Individu Pemiliknya Seperti yang telah diuraikan di atas, SPPT mulai diberlakukan pada tahun 1992 sebagai pengganti girik dan blangko. Adapun jumlah SPPT yang tercatat di desa berjumlah lembar SPPT dengan kepemilikan sebanyak 308 orang.

16 116 Setelah dianalisis, dari 308 pemegang SPPT, diperoleh jumlah laki-laki sebanyak 225 orang dan jumlah perempuan sebanyak 83 orang pemegang SPPT. Adapun masing-masing orang berpeluang memiliki satu hingga sepuluh lembar SPPT. Ditemukan beberapa diantaranya menggunakan nama yang berbeda pada tiap SPPT, hal ini diduga memberikan peluang untuk memiliki lembarlembar SPPT selanjutnya, sehingga jika menggunakan nama yang berbeda asumsinya pemiliknya adalah orang yang berbeda. Tercatat pada tahun 2007, total pembayaran pokok sebanyak Rp ,-. Untuk SPPT, biasanya digunakan juga nama anak laki-laki sebagai anak pertama, sama halnya dengan pencatatan SPPT, jika anak pertama adalah perempuan, maka tergantung kepada kebijakan keluarga masing-masing.

BAB IX KESIMPULAN. bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai

BAB IX KESIMPULAN. bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai 163 BAB IX KESIMPULAN 9.1. Kesimpulan Status laki-laki dan perempuan dalam keluarga berkaitan dengan bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai mengenai status anak laki-laki

Lebih terperinci

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria.

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria. RINGKASAN FEBRI SASTIVIANI PUTRI CANTIKA. RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA. Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi

Lebih terperinci

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA (Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat) Oleh FEBRI SATIVIANI PUTRI CANTIKA

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitiatif dan kualitatif.

BAB III METODOLOGI. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitiatif dan kualitatif. 33 BAB III METODOLOGI 3.1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitiatif dan kualitatif. Metode penelitian yang digunakan berupa (a) full enumeration survey, yaitu mewawancarai seluruh

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN 29 Bab perubahan struktur agraria ini berisi tentang penjelasan mengenai rezim pengelolaan TNGHS, sistem zonasi hutan konservasi TNGHS, serta kaitan antara

Lebih terperinci

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN 23 Gambaran penelitian yang dimuat dalam bab ini merupakan karakteristik dari sistem pertanian yang ada di Desa Cipeuteuy. Informasi mengenai pemerintahan

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 38 BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 5.1 Pola Pemilikan Lahan Lahan merupakan faktor utama bagi masyarakat pedesaan terutama yang menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Pada masyarakat pedesaan

Lebih terperinci

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY 117 BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY Desa Cipeuteuy merupakan desa baru pengembangan dari Desa Kabandungan tahun 1985 yang pada awalnya adalah komunitas pendatang yang berasal dari beberapa daerah,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perubahan Pola Interaksi Masyarakat Dengan Hutan 5.1.1 Karakteristik Responden Rumah tangga petani mempunyai heterogenitas dalam status sosial ekonomi mereka, terlebih

Lebih terperinci

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Pemahaman Progresif tentang Hak Perempuan atas Waris, Kepemilikan Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Beberapa Istilah Penting terkait dengan Hak Perempuan atas Waris dan Kepemilikan Tanah: Ahli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.

BAB I PENDAHULUAN. setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum waris merupakan salah satu dari bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden A. Umur Kisaran umur responden yakni perempuan pada Kasus LMDH Jati Agung III ini adalah 25-64 tahun dengan rata-rata umur 35,5 tahun. Distribusi

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK 60 BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK Salah satu asas kewarisan Islam adalah asas bilateral yang merupakan perpaduan dari dua

Lebih terperinci

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah suatu negara majemuk yang dikenal dengan keanekaragaman suku dan budayanya, dimana penduduk yang berdiam dan merupakan suku asli negara memiliki

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan

BAB V KESIMPULAN. pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan BAB V KESIMPULAN Matrilineal seperti yang telah banyak kita fahami, membawa kepada pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan memiliki posisi tawar yang baik dalam pengambilan keputusan,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan wanita untuk bekerja adalah

Lebih terperinci

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya pembukaan lahan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi kelangsungan hidup umat manusia. 1. nafkah sehari-hari berupa lahan pertanian atau perladangan.

BAB I PENDAHULUAN. bagi kelangsungan hidup umat manusia. 1. nafkah sehari-hari berupa lahan pertanian atau perladangan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk kelangsungan hidup umat manusia, hubungan manusia dengan tanah bukan hanya sekedar tempat untuk menetap, tetapi lebih

Lebih terperinci

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) 58 BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) Bab ini mendeskripsikan karakteristik demografi individu petani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya. 1

BAB I PENDAHULUAN. pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waris adalah perpindahan harta milik atau perpindahan pusaka.sehingga secara istilah ilmu waris adalah ilmu yang mempelajari tentang perpindahan harta pusaka

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN 5.1. Usia Usia responden dikategorikan menjadi tiga kategori yang ditentukan berdasarkan teori perkembangan Hurlock (1980) yaitu dewasa awal (18-40), dewasa madya (41-60)

Lebih terperinci

BAB III MEKANISME GADAI TANAH SAWAH DI DESA BAJUR KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN

BAB III MEKANISME GADAI TANAH SAWAH DI DESA BAJUR KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN BAB III MEKANISME GADAI TANAH SAWAH DI DESA BAJUR KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN A. Gambaran Umum Desa Bajur 1. Letak Lokasi Masyarakat Bajur merupakan salah satu suku bangsa yang berada di wilayah

Lebih terperinci

BAB VI KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA PANGRADIN. 6.1 Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Pangradin

BAB VI KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA PANGRADIN. 6.1 Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Pangradin 67 BAB VI KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA PANGRADIN 6.1 Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Pangradin 6.1.1 Kependudukan Desa Pangradin secara Administratif memiliki dua dusun yaitu dusun Pangradin

Lebih terperinci

BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN TUNGGU TUBANG ADAT SEMENDE DI DESA MUTAR ALAM, SUKANANTI DAN SUKARAJA

BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN TUNGGU TUBANG ADAT SEMENDE DI DESA MUTAR ALAM, SUKANANTI DAN SUKARAJA BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN TUNGGU TUBANG ADAT SEMENDE DI DESA MUTAR ALAM, SUKANANTI DAN SUKARAJA A. Analisis Tradisi Pelaksanaan Kewarisan Tunggu Tubang Adat Semende di

Lebih terperinci

BAB III ALASAN PENENTUAN BAGIAN WARIS ANAK PEREMPUAN YANG LEBIH BESAR DARI ANAK LAKI-LAKI DI DESA SUKAPURA KECAMATAN SUKAPURA KABUPATEN PROBOLINGGO

BAB III ALASAN PENENTUAN BAGIAN WARIS ANAK PEREMPUAN YANG LEBIH BESAR DARI ANAK LAKI-LAKI DI DESA SUKAPURA KECAMATAN SUKAPURA KABUPATEN PROBOLINGGO BAB III ALASAN PENENTUAN BAGIAN WARIS ANAK PEREMPUAN YANG LEBIH BESAR DARI ANAK LAKI-LAKI DI DESA SUKAPURA KECAMATAN SUKAPURA KABUPATEN PROBOLINGGO A. Keadaan Umum Desa Sukapura 1. Keadaan Geografis Desa

Lebih terperinci

VI. ALOKASI WAKTU KERJA, KONTRIBUSI PENDAPATAN, DAN POLA PENGELUARAN RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH

VI. ALOKASI WAKTU KERJA, KONTRIBUSI PENDAPATAN, DAN POLA PENGELUARAN RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH 59 VI. ALOKASI WAKTU KERJA, KONTRIBUSI PENDAPATAN, DAN POLA PENGELUARAN RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH 6.1. Curahan Tenaga Kerja Rumahtangga Petani Lahan Sawah Alokasi waktu kerja dalam kegiatan ekonomi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 42 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1 Gambaran Umum Desa Pangradin Desa Pangradin adalah salah satu dari sepuluh desa yang mendapatkan PPAN dari pemerintah pusat. Desa Pangradin memiliki luas 1.175 hektar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN MASALAH

BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN MASALAH BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN MASALAH Untuk mendapatkan gambaran yang lebih nyata, maka pada bab ini akan di berikan contoh - contoh permasalahan pembagian warisan berdasarkan ketentuan ketentuan yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA. A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA. A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin Dalam laporan penelitian di atas telah disajikan 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan agama

BAB I PENDAHULUAN. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan agama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan agama yang mempunyai aturan yang lengkap dan sempurna, yang dalam ajarannya mengatur segala aspek kehidupan

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL RUMAHTANGGA PESERTA PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERDESAAN (PNPM MP) DI DESA KEMANG

BAB VI PROFIL RUMAHTANGGA PESERTA PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERDESAAN (PNPM MP) DI DESA KEMANG BAB VI PROFIL RUMAHTANGGA PESERTA PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERDESAAN (PNPM MP) DI DESA KEMANG Bab ini mendeskripsikan profil rumahtangga peserta PNPM MP di Desa Kemang yang di survei

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN A. Pengertian Hukum Waris Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang

Lebih terperinci

Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian

Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian LAMPIRAN 143 144 Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian 145 146 Lampiran 3 Pengukuran Variabel Penelitian untuk Jawaban Pengetahuan No. Pernyataan Betul Salah Pengetahuan tentang keluarga sistem matrilineal

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENGANGAKATAN ANAK TERHADAP BAPAK KASUN YANG TERJADI DI DESA BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN

BAB III PELAKSANAAN PENGANGAKATAN ANAK TERHADAP BAPAK KASUN YANG TERJADI DI DESA BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN BAB III PELAKSANAAN PENGANGAKATAN ANAK TERHADAP BAPAK KASUN YANG TERJADI DI DESA BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN A. Sekilas Tentang Bapak Kasun Sebagai Anak Angkat Bapak Tasral Tasral dan istrinya

Lebih terperinci

BUPATI KARANGASEM PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI KARANGASEM PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG 1 BUPATI KARANGASEM PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN

Lebih terperinci

HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING

HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING MAKALAH Oleh : Hukum Agraria Dosen : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2012 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa

Lebih terperinci

BAB VII PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL DI DESA PANGRADIN TERHADAP PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN)

BAB VII PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL DI DESA PANGRADIN TERHADAP PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN) 83 BAB VII PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL DI DESA PANGRADIN TERHADAP PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN) 7.1 Persepsi Masyarakat Umum Desa Pangradin Terhadap Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN)

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Dataran Tinggi Dieng kurang lebih berada di ketinggian 2093 meter dari permukaan laut dan dikelilingi oleh perbukitan. Wilayah Dieng masuk ke

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN A. Analisis Terhadap Hibah Sebagai Pengganti Kewarisan Bagi Anak Laki-laki dan

Lebih terperinci

VI KARAKTERISTIK UMUM RESPONDEN

VI KARAKTERISTIK UMUM RESPONDEN VI KARAKTERISTIK UMUM RESPONDEN Karakteristik umum dari responden pada penelitian ini diidentifikasi berdasarkan jenis kelamin, usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, pendapatan di luar usahatani

Lebih terperinci

BAB IV PEMERATAAN HARTA WARISAN DI DESA BALONGWONO DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV PEMERATAAN HARTA WARISAN DI DESA BALONGWONO DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM 53 BAB IV PEMERATAAN HARTA WARISAN DI DESA BALONGWONO DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Sistem Pemerataan Harta Warisan di Desa Balongwono dalam Perspektif Hukum Islam 1. Al-Qur an Allah SWT telah menentukan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM KECAMATAN AJIBATA KABUPATEN TOBA SAMOSIR ( )

BAB II GAMBARAN UMUM KECAMATAN AJIBATA KABUPATEN TOBA SAMOSIR ( ) BAB II GAMBARAN UMUM KECAMATAN AJIBATA KABUPATEN TOBA SAMOSIR (1998-2005) 2.1 Letak Geografis dan Keadaan Alam Kecamatan Ajibata merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Toba Samosir dengan luas wilayah

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum dan Geografis Penelitian dilakukan di Desa Lebak Muncang, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung. Desa Lebak Muncang ini memiliki potensi yang baik dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian telah terbukti memiliki peranan penting bagi pembangunan perekonomian suatu bangsa. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang berperan

Lebih terperinci

HUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA

HUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA HUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA Dalam peradilan atau dalam hukum Indonesia juga terdapat hukum waris adat. Selama ini, khususnya sebelum munculnya UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama memang

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan. Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105.

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan. Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105. IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan 4.1.1. Keadaan Geografis Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105.14 sampai dengan 105, 45 Bujur Timur dan 5,15

Lebih terperinci

Siapa yang Mengajar Auwloh Berhitung?

Siapa yang Mengajar Auwloh Berhitung? Hukum Waris: Auwloh Matematikanya Jeblok! HUKUM WARISAN: Siapa yang Mengajar Auwloh Berhitung? Oleh Ali Sina Satu kesalahan hitungan yang paling jelas dalam Qur an dapat ditemukan dalam penjelasan tentang

Lebih terperinci

BAB V PROFIL RUMAHTANGGA MISKIN DI DESA BANJARWARU

BAB V PROFIL RUMAHTANGGA MISKIN DI DESA BANJARWARU BAB V PROFIL RUMAHTANGGA MISKIN DI DESA BANJARWARU Secara umum, rumahtangga miskin di Desa Banjarwaru dapat dikatakan homogen. Hal ini terlihat dari karakteristik individu dan rumahtangganya. Hasil tersebut

Lebih terperinci

Cara Pandang HAM dan Islam terhadap Bagian Perempuan Dalam Hukum Waris Islam

Cara Pandang HAM dan Islam terhadap Bagian Perempuan Dalam Hukum Waris Islam Cara Pandang HAM dan Islam terhadap Bagian Perempuan Dalam Hukum Waris Islam Muhammad Ilyas Program Studi Pendidikan Islam, Fakultas Pascasarjana, Universitas Ibnu Khaldun ABSTRAK Tulisan ini mengkaji

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pada bab terakhir ini, penulis akan mengemukakan kembali hal-hal pokok

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pada bab terakhir ini, penulis akan mengemukakan kembali hal-hal pokok BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab terakhir ini, penulis akan mengemukakan kembali hal-hal pokok yang perlu diketahui dari bab-bab sebelumnya dalam bentuk kesimpulan, selain itu juga memuat tentang saran-saran

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG TRADISI MELARANG ISTRI MENJUAL MAHAR DI DESA PARSEH KECAMATAN SOCAH KABUPATEN BANGKALAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG TRADISI MELARANG ISTRI MENJUAL MAHAR DI DESA PARSEH KECAMATAN SOCAH KABUPATEN BANGKALAN 63 BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG TRADISI MELARANG ISTRI MENJUAL MAHAR DI DESA PARSEH KECAMATAN SOCAH KABUPATEN BANGKALAN A. Analisis Tentang Latarbelakang Tradisi Melarang Istri Menjual Mahar Di

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam Dan Alasan Munculnya Bagian Sepertiga Bagi Ayah Dalam KHI Pasal 177 Hukum waris Islam merupakan

Lebih terperinci

VIII. RINGKASAN DAN SINTESIS

VIII. RINGKASAN DAN SINTESIS VIII. RINGKASAN DAN SINTESIS Pada bagian ini akan dikemukakan beberapa ringkasan hasil dari pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya. Selanjutnya akan dikemukakan sintesis dari keseluruhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia

I. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, dan penuh dengan keberagaman, salah satu istilah tersebut adalah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan menjelaskan tentang keberadaan masyarakat, status tanah, hak atas tanah, serta alat bukti hak atas tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar, sebagai

Lebih terperinci

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN A. Hak Guna Bangunan Ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor

Lebih terperinci

Tabel 15. Hubungan Luas Lahan dengan Tingkat Pendapatan Tahun 2011

Tabel 15. Hubungan Luas Lahan dengan Tingkat Pendapatan Tahun 2011 59 BAB VII HUBUNGAN PENGARUH TINGKAT PENGUASAAN LAHAN TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI 7.1 Hubungan Pengaruh Luas Lahan Terhadap Tingkat Pendapatan Pertanian Penguasaan lahan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pewarisan erat hubungannya dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pewarisan erat hubungannya dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Segala sesuatu yang berkaitan dengan pewarisan erat hubungannya dengan sifat kekeluargaan yang dianut oleh suatu masyarakat. Sifat kekeluargaan menentukan segala sesuatunya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN PENSIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN PENSIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN PENSIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 6 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1.Konsep dan Teori Mobilitas Penduduk Istilah umum bagi gerak penduduk dalam demografi adalah population mobility atau secara lebih khusus territorial

Lebih terperinci

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum PROSUDUR PEMINDAHAN HAK HAK ATAS TANAH MENUJU KEPASTIAN HUKUM Oleh Dimyati Gedung Intan Dosen Fakultas Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai ABSTRAK Tanah semakin berkurang, kebutuhan tanah semakin meningkat,

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kelas I A Bengkulu yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

Lebih terperinci

KEPALA DESA LEMPUYANG KABUPATEN SERANG PERATURAN DESA LEMPUYANG

KEPALA DESA LEMPUYANG KABUPATEN SERANG PERATURAN DESA LEMPUYANG KEPALA DESA LEMPUYANG KABUPATEN SERANG PERATURAN DESA LEMPUYANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN SUMBER PENDAPATAN DAN PUNGUTAN DESA TAHUN ANGGARAN 2015 DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA KEPALA DESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Penegasan Judul

BAB I PENDAHULUAN. A. Penegasan Judul BAB I PENDAHULUAN A. Penegasan Judul Untuk menghindari agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami judul skripsi ini, maka terlebih dahulu akan dijelaskan beberapa kata penting yang terkait dengan

Lebih terperinci

: AKIBAT HUKUM PENUNDAAN PROSES BALIK NAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA

: AKIBAT HUKUM PENUNDAAN PROSES BALIK NAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA Judul : AKIBAT HUKUM PENUNDAAN PROSES BALIK NAMA SERTIFIKAT DALAM PERJANJIAN JUAL BELI ATAS TANAH Disusun oleh : GALUH LISTYORINI NPM : 11102115 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB VI PERAN (PEMBAGIAN KERJA) DALAM RUMAHTANGGA PESERTA PRODUK PEMBIAYAAN BMT SWADAYA PRIBUMI

BAB VI PERAN (PEMBAGIAN KERJA) DALAM RUMAHTANGGA PESERTA PRODUK PEMBIAYAAN BMT SWADAYA PRIBUMI BAB VI PERAN (PEMBAGIAN KERJA) DALAM RUMAHTANGGA PESERTA PRODUK PEMBIAYAAN BMT SWADAYA PRIBUMI 6.1 Peran (Pembagian Kerja) dalam Rumahtangga Peserta Peran atau pembagian kerja tidak hanya terdapat dalam

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT SEBELUM DAN SESUDAH TERJADINYA KONVERSI LAHAN

BAB VI STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT SEBELUM DAN SESUDAH TERJADINYA KONVERSI LAHAN BAB VI STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT SEBELUM DAN SESUDAH TERJADINYA KONVERSI LAHAN 6.1. Strategi Nafkah Sebelum Konversi Lahan Strategi nafkah suatu rumahtangga dibangun dengan mengkombinasikan aset-aset

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa meninggal dunia di dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

BAB III PRAKTIK UTANG PIUTANG HEWAN TERNAK SEBAGAI MODAL PENGELOLA SAWAH DI DESA RAGANG

BAB III PRAKTIK UTANG PIUTANG HEWAN TERNAK SEBAGAI MODAL PENGELOLA SAWAH DI DESA RAGANG BAB III PRAKTIK UTANG PIUTANG HEWAN TERNAK SEBAGAI MODAL PENGELOLA SAWAH DI DESA RAGANG A. Letak Geografis 1. Letak Lokasi Desa Ragang merupakan satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Waru Kabupaten

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN PENSIUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN PENSIUN No.155, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESRA. Jaminan Sosial. Pensiun. Program. Penyelenggaraan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5715). PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi 153 V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi rumahtangga pertanian yang menjadi objek penelitian ini. Variabel-variabel yang

Lebih terperinci

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO. 42 BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN 1974 A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.1/1974 Pelaksanaan Pernikahan Suku Anak Dalam merupakan tradisi

Lebih terperinci

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati Ringkasan Penelitian ini dilakukan terhadap anggota Kelompok Tani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan usahanya seperti untuk tempat perdagangan, industri, pendidikan, pembangunan sarana dan perasarana lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan usahanya seperti untuk tempat perdagangan, industri, pendidikan, pembangunan sarana dan perasarana lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa berupa sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan baik yang langsung untuk kehidupanya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

BAB V BEBAN GANDA WANITA BEKERJA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

BAB V BEBAN GANDA WANITA BEKERJA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA BAB V BEBAN GANDA WANITA BEKERJA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 5.1 Beban Ganda Beban ganda wanita adalah tugas rangkap yang dijalani oleh seorang wanita (lebih dari satu peran) yakni sebagai ibu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri dan anak-anaknya, ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 233. Yang

BAB I PENDAHULUAN. istri dan anak-anaknya, ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 233. Yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan perkawinan menimbulkan kewajiban nafkah atas suami untuk istri dan anak-anaknya, ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 233. Yang menjelaskan bahwa

Lebih terperinci

KONDISI SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA PERIKANAN DI DESA TANJUNG PASIR

KONDISI SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA PERIKANAN DI DESA TANJUNG PASIR 31 KONDISI SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA PERIKANAN DI DESA TANJUNG PASIR Pengertian kondisi sosial ekonomi adalah suatu keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial dan menetapkan seseorang dalam posisi

Lebih terperinci

BAB V PROSES SOSIALISASI NILAI KERJA PERTANIAN. 5.1 Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pertanian dalam Keluarga Mahasiswa Batak Toba di IPB

BAB V PROSES SOSIALISASI NILAI KERJA PERTANIAN. 5.1 Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pertanian dalam Keluarga Mahasiswa Batak Toba di IPB BAB V PROSES SOSIALISASI NILAI KERJA PERTANIAN 5. Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pertanian dalam Keluarga Mahasiswa Batak Toba di IPB Proses sosialisasi nilai kerja pertanian dilihat dari pernah tidaknya

Lebih terperinci

BAB EMPAT KESIMPULAN DAN CADANGAN. tradisi dalam kalangan masyarakat Islam pada umumnya. Oleh kerana itu, amalan

BAB EMPAT KESIMPULAN DAN CADANGAN. tradisi dalam kalangan masyarakat Islam pada umumnya. Oleh kerana itu, amalan BAB EMPAT KESIMPULAN DAN CADANGAN 4.1. Rumusan Pemberian hantaran telah menjadi satu kemestian dalam majlis perkahwinan. Amalan tersebut tidak kalah pentingnya dengan pemberian mahar. Ia sudah menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan mata pelajaran yang diajarkan mulai jenjang

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan mata pelajaran yang diajarkan mulai jenjang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matematika merupakan mata pelajaran yang diajarkan mulai jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau sederajat hingga perguruan tinggi. Matematika juga merupakan dasar dari

Lebih terperinci

BAB VI PERUBAHAN STRUKTUR KEPEMILIKAN LAHAN

BAB VI PERUBAHAN STRUKTUR KEPEMILIKAN LAHAN BAB VI PERUBAHAN STRUKTUR KEPEMILIKAN LAHAN 6.1 Struktur Kepemilikan Lahan sebelum Program Reforma Agraria Menurut penjelasan beberapa tokoh Desa Pamagersari, dahulu lahan eks-hgu merupakan perkebunan

Lebih terperinci

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN 39 BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN 5.1 Penguasaan Lahan Pertanian Lahan pertanian memiliki manfaat yang cukup besar dilihat dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) 9.1. Kondisi Ekonomi Perluasan kawasan TNGHS telah mengakibatkan kondisi

Lebih terperinci

BAB III TRADISI PELAKSANAAN UTANG PIUTANG BENIH PADI DENGAN SISTEM BAYAR GABAH DI DESA MASARAN KECAMATAN MUNJUNGAN KABUPATEN TRENGGALEK

BAB III TRADISI PELAKSANAAN UTANG PIUTANG BENIH PADI DENGAN SISTEM BAYAR GABAH DI DESA MASARAN KECAMATAN MUNJUNGAN KABUPATEN TRENGGALEK BAB III TRADISI PELAKSANAAN UTANG PIUTANG BENIH PADI DENGAN SISTEM BAYAR GABAH DI DESA MASARAN KECAMATAN MUNJUNGAN KABUPATEN TRENGGALEK A. Gambaran Umum Desa Masaran Kecamatan Munjungan Kabupaten Trenggalek

Lebih terperinci

PERALIHAN HAK TANAH ABSENTE BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN CATUR TERTIB PERTANAHAN DI KABUPATEN KARANGANYAR SKRIPSI. Disusun Oleh :

PERALIHAN HAK TANAH ABSENTE BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN CATUR TERTIB PERTANAHAN DI KABUPATEN KARANGANYAR SKRIPSI. Disusun Oleh : PERALIHAN HAK TANAH ABSENTE BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN CATUR TERTIB PERTANAHAN DI KABUPATEN KARANGANYAR SKRIPSI Ditulis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA A. Analisis Terhadap Kebiasaan Pembagian Waris Di Kejawan Lor Kelurahan Kenjeran Kecamatan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1 Letak dan Luas Desa Curug Desa Curug merupakan sebuah desa dengan luas 1.265 Ha yang termasuk kedalam wilayah Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seorang manusia yang lahir di dunia ini, memiliki hak dan kewajiban yang diberikan hukum kepadanya maupun kepada manusia-manusia lain disekitarnya dimulai kepadanya

Lebih terperinci

BAB VII SEJARAH DAN PENGALAMAN MOBILITAS PENDUDUK PEREMPUAN DESA KARACAK

BAB VII SEJARAH DAN PENGALAMAN MOBILITAS PENDUDUK PEREMPUAN DESA KARACAK 48 BAB VII SEJARAH DAN PENGALAMAN MOBILITAS PENDUDUK PEREMPUAN DESA KARACAK 7.1 Sejarah Mobilitas Penduduk Perempuan Desa Karacak Fenomena mobilitas penduduk perempuan Desa Karacak ke luar desa sebenarnya

Lebih terperinci

MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN

MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN Dina Novia Priminingtyas Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang ABSTRAK Potensi perempuan dalam pembangunan

Lebih terperinci

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) 7.1. Persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap Keberadaan Hutan Penilaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan SDM yang optimal demi meningkatkan pembangunan. pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Hal ini di karenakan tidak

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan SDM yang optimal demi meningkatkan pembangunan. pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Hal ini di karenakan tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang tentunya memerlukan SDM yang optimal demi meningkatkan pembangunan. Sekarang ini, Indonesia banyak menghadapi permasalahan

Lebih terperinci

BAB V PERAN USAHA KAYU RAKYAT DALAM STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI

BAB V PERAN USAHA KAYU RAKYAT DALAM STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI BAB V PERAN USAHA KAYU RAKYAT DALAM STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI 5.1 Strategi Nafkah Petani Petani di Desa Curug melakukan pilihan terhadap strategi nafkah yang berbeda-beda untuk menghidupi keluarganya.

Lebih terperinci

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN 51 BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN 6.1 Keragaman Penguasaan Lahan Penguasaan lahan menunjukkan istilah yang perlu diberi batasan yaitu penguasaan dan tanah.

Lebih terperinci