V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi"

Transkripsi

1 153 V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi rumahtangga pertanian yang menjadi objek penelitian ini. Variabel-variabel yang akan dimunculkan merupakan bagian dari variabel yang akan masuk dalam model ekonometrik, sehingga deskripsi statistik yang akan disajikan ini juga akan memberikan gambaran perilaku ekonomi rumahtangga petani tanaman pangan, walaupun dalam gambaran kasar. Seluruh deskripsi dibedakan menurut strata luas lahan yang dikuasai Karakteristik Penguasaan Lahan Usahatani Bagian pertama yang perlu dijelaskan di sini adalah penguasaan lahan usahatani karena akan menjadi landasan analisis pada bagian selanjutnya. Seperti telah diuraikan pada bagian metodologi, penguasaan lahan dijadikan dasar untuk stratifikasi rumahtangga petani. Pada Tabel 4 disajikan secara lebih rinci hasil stratifikasi tersebut. Pada tabel tersebut terlihat penguasaan lahan dirinci menurut jenis lahan, status penguasaan, dan intensitas pemanfaatan lahan. Rata-rata luas lahan antar strata secara statistik berbeda nyata (á=0.001), artinya pengelompokan rumahtangga petani menurut penguasaan lahan secara statistik cukup baik. Dari total lahan yang dikuasai, terdiri atas lahan sawah dan lahan darat atau lahan kering. Baik lahan sawah maupun lahan kering keduanya semakin luas pada strata rumahtangga yang lebih tinggi. Namun secara proporsional, lahan sawah di ketiga strata tidak banyak berbeda, secara keseluruhan sebesar 36 persen dari total luas lahan yang dikuasai. Dilihat dari status penguasaan lahan, dapat diidentifikasi menjadi dua status, yaitu lahan milik dan lahan bukan milik. Lahan bukan milik ditemui dalam berbagai jenis, seperti sewa, gadai, bagi hasil atau sakap. Porsi luas lahan bukan milik ini di

2 154 seluruh strata rumahtangga relatif kecil, secara keseluruhan hanya sebesar 20 persen. Dengan demikian, lahan usahatani yang dikuasai sebagian besar adalah lahan milik. Tabel 4. Penguasaan Lahan Usahatani Oleh Rumahtangga Petani Menurut Strata Luas Lahan Usahatani Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Total Uraian Lahan Kering (Ha) Lahan Sawah (Ha) Total Lahan (Ha) Lahan Milik (Ha) Lahan Bukan Milik (Ha) Luas Garapan (Ha/Th) Intensitas Tanam (%/Th) Pada Tabel 4 juga disajikan luas lahan yang digarap, yaitu luas lahan yang diukur berdasarkan luas tanaman selama satu tahun. Luas lahan garapan ini bisa lebih kecil dari luas lahan yang dikuasai bila petani kurang intensif memanfaatkan lahannya untuk kegiatan usahatani. Sebaliknya bisa juga lebih besar dari luas lahan yang dikuasai jika petani mengusahakan lahannya lebih dari sekali musim tanam. Pada Tabel tersebut terlihat luas lahan garapan lebih luas dibandingkan dengan dengan luas lahan yang dikuasai untuk seluruh strata rumahtangga. Lebih jelas dapat dilihat pada besaran intensitas tanam (dalam persen) selama satu tahun. Besaran intensitas tanam untuk seluruh strata rata-rata lebih dari 100 persen, tetapi lebih kecil dari 200 persen. Artinya petani hanya memanfaatkan lahannya rata-rata hanya dua kali musim tanam. Jika dibandingkan dengankan antar strata, strata rumahtangga lahan sempit dan lahan sedang secara statistik intensitas tanamnya tidak berbeda nyata. Tetapi perbedaan cukup nyata (á=0.001) antara r umahtangga l ahan sempit dengan rumahtangga lahan luas. Intensitas tanam pada rumahtangga lahan sempit lebih tinggi dibandingkan dengan dengan intensitas tanam pada lahan luas. Ini menunjukkan bahwa pada usahatani lahan sempit,

3 155 pemanfaatan lahan cenderung lebih intensif. Argumentasi terhadap fenomena ini akan dijelaskan di belakang setelah memperhatikan variabel-variabel lain Karakteristik Petani dan Anggota Keluarga Pada Tabel 5 disajikan beberapa variabel karakteristik petani dan keluarganya menurut strata luas lahan usahatani. Rata-rata umur kepala keluarga (KK) termasuk usia produktif, yaitu sekitar 50 tahunan. Pembedaan menurut strata luas lahan tampak tidak menghasilkan perbedaan umur rata-rata, karena memang tidak ada hipotesis apriori yang mengharuskan adanya perbedaan usia KK menurut strata luas lahan. Pendidikan KK, menurut jumlah tahun pendidikan yang dijalaninya, berkisar antara empat sampai dengan lima tahun. Ini menunjukkan rata-rata pendidikan KK tidak tamat sekolah dasar atau yang sederajat. Pada tabel terlihat ada konsistensi antara strata luas lahan dengan ratarata lama pendidikan. Pada rumahtangga petani dengan lahan yang lebih luas, tingkat pendidikan cenderung lebih tinggi. Kecenderungan ini secara kasar mengindikasikan bahwa luas penguasaan lahan berhubungan positif terhadap kesempatan petani mengikuti pendidikan. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada pendidikan anggota rumahtangga (tidak termasuk KK). Pada rumahtangga petani berlahan lebih luas, tingkat pendidikan rata-rata anggota rumahtangga cenderung lebih tinggi, baik pria maupun wanita. Fenomena ini menunjukkan bahwa penggolongan rumahtangga menurut luas penguasaan lahan dapat membedakan tingkat pendidikan. Jika kegiatan pendidikan merupakan keputusan keluarga yang memerlukan sejumlah dana, maka lahan usahatani masih merupakan faktor penting dalam kegiatan ekonomi rumahtangga di pedesaan. Hal lain yang menarik adalah rata-rata pendidikan pria selalu lebih tinggi dibandingkan dengan

4 156 wanita di semua strata. Tidak ada landasan teori ekonomi yang bisa menjelaskan fenomena ini, tetapi diduga karena ada budaya di pedesaan yang cenderung memprioritaskan pendidikan pada anggota rumahtangga pria. Pada Tabel 5 juga disajikan komposisi jumlah anggota keluarga (termasuk KK) menurut jenis kelamin dan umur. Angka-angka yang tersaji menunjukkan ukuran keluarga di setiap strata rumahtangga petani. Ukuran keluarga bisa dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai besaran ketersediaan tenaga kerja keluarga dan sebagai beban tanggungan keluarga. Dilihat dari jumlah dan komposisi anggota keluarga tersebut, tampak rumahtangga petani termasuk keluarga kecil, sekitar empat sampai lima orang per unit rumahtangga, walaupun ditemui juga rumahtangga yang secara ekstrim mempunyai lebih dari sepuluh anggota. Namun secara umun, rata-rata terdiri atas suami, istri, dan dua orang anak. Tabel 5. Karakteristik Kepala Keluarga dan Anggota Rumahtangga Petani Menurut Strata Luas Lahan Usahatani Uraian Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Total Umur KK (Th) Pendidikan KK (Th) Pendidikan ART Pria (Th) Pendidikan ART Wanita (Th) Jumlah ART Pria (org) Jumlah ART Wanita (org) Total ART (org) Juml ART Dewasa Pria (org) Juml ART Dewasa Wanita (org) Total ART Dewasa (org) Jika dibandingkan antar strata, tampak tidak ada konsistensi hubungan antara golongan luas lahan dengan jumlah anggota rumahtangga. Namun jika diperhatikan,

5 157 komposisi anggota keluarga dewasa terlihat lebih banyak pada rumahtangga berlahan sedang dan berlahan luas. Uji statistik terhadap rata-rata jumlah anggota pria dan wanita dewasa di tiga strata menyimpulkan bahwa jumlah anggota rumahtangga dewasa pria dan wanita pada rumahtangga berlahan sempit lebih kecil dibandingkan dengan rumahtangga berlahan sedang (á=0.001). Demikian hal nya antara rumahtangga lahan sedang secara statistik (á=0.001) lebih kecil dibandingkan dengan rumahtangga lahan luas baik pria maupun wanita. Jumlah anggota rumahtangga dewasa dapat dijadikan ukuran potensi ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga. Dari Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi strata rumahtangga petani rata-rata potensi tenaga kerja keluarga semakin besar Aktivitas Kerja Anggota Rumahtangga Petani Aktivitas anggota rumahtangga dalam berbagai kegiatan ekonomi merupakan bagian penting dalam ekonomi rumahtangga. Pada Tabel 6 disajikan jumlah anggota rumahtangga yang aktif di kegiatan usahatani dan luar usahatani. Pada rumahtangga, di samping kegiatan tersebut, juga terdapat kegiatan lain yang juga penting diamati, yaitu kegiatan di dalam rumahtangga itu sendiri. Kegiatan ini sayangnya tidak tercatat dengan baik. Kalaupun mau diukur bisa dilakukan dengan pendekatan waktu yang tersisa dari aktivitas usahatani dan di luar usahatani. Pada Tabel 6 terlihat bahwa jumlah orang yang berpartisipasi di setiap kegiatan melebihi jumlah orang yang tersedia di dalam rumahtangga. Ini menunjukkan bahwa orang yang sama di dalam keluarga bekerja pada pekerjaan yang berbeda. Kondisi ini penting diketahui untuk menjelaskan bahwa keputusan anggota rumahtangga untuk bekerja di suatu kegiatan akan mempengengaruhi keputusan kerja di kegiatan lain.

6 158 Pada Tabel 6 ditunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang berpartisipasi pada kegiatan usahatani cenderung meningkat lebih tinggi pada rumahtangga petani dengan strata lebih tinggi, baik pria maupun wanita. Ini kemungkinan sejalan dengan jumlah anggota rumahtangga dewasa yang juga rata-rata lebih tinggi pada rumahtangga strata lebih tinggi. Jika jumlah orang yang berpartisipasi di usahatani sendiri dibandingkan dengankan dengan jumlah tenaga kerja dewasa, untuk tenaga kerja pria menunjukkan paling rendah (82 persen) pada rumahtangga berlahan sempit, dan paling tinggi pada rumahtangga berlahan sedang (90 persen). Pada tenaga kerja wanita persentasenya lebih rendah, yaitu terendah (66 persen) pada rumahtangga berlahan sempit, dan tertinggi (76) juga terjadi pada rumahtangga berlahan sedang. Dari besaran persentase ini menunjukkan tidak seluruh potensi tenaga kerja dalam keluarga berpartisipasi pada kegiatan usahatani sendiri. Perbandingan antar strata menunjukkan bahwa rumahtangga berlahan sempit partisipasinya pada usahatani sendiri cenderung lebih kecil dibandingkan dengan dengan strata yang lebih tinggi. Tabel 6. Jumlah Anggota Rumahtangga yang Aktif di Usahatani dan Luas Usahatani Menurut Strata Luas Lahan Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Total Uraian ART Pria di Usahatani ART Wanita di Usahatani Total ART di Usahatani ART Pria Berburuh Tani ART Wanita Berburuh Tani Total ART Berburuh Tani ART Pria di Luar Pertanian ART Wanita di Luar Pertanian Total ART di Non Farm ART Pria di Luar Usahatani ART Wanita di Luar Usahatani Total ART di Luar Usahatani

7 159 Jumlah anggota rumahtangga yang berpartisipasi di kegiatan berburuh tani tampak pada Tabel 6 paling tinggi terjadi pada rumahtangga berlahan sempit, demikian secara konsisten menurun pada strata rumahtangga berlahan lebih luas. Ini terjadi baik pada tenaga kerja pria maupun tenaga kerja wanita. Perhitungan lebih lanjut menunjukkan persentase terhadap jumlah anggota rumahtangga dewasa paling tinggi terjadi pada rumahtangga berlahan sempit, yaitu 42 persen pria dan 37 persen wanita, paling rendah terjadi pada rumahtangga berlahan luas yaitu 23 persen pria dan 12 persen wanita. Partisipasi tenaga kerja di luar sektor pertanian (di luar usahatani sendiri dan di luar buruh tani), menunjukkan fenomena yang serupa, yaitu semakin tinggi strata rumahtangga, partisipasi anggota rumahtangga pada kegiatan di luar sektor pertanian semakin rendah. Persentase terhadap jumlah anggota dewasa tertinggi terjadi pada rumahtangga berlahan sempit, yaitu 42 persen pada pria dan 37 persen pada wanita, terendah terjadi pada rumahtangga berlahan luas, yaitu 23 persen pada pria dan hanya 12 persen pada wanita. Pada Tabel 6 juga disajikan partisipasi anggota rumahtangga di luar usahatani yang merupakan penjumlahan partisipasi di buruh tani dan di luar pertanian. Dengan demikian kecenderungan yang diperoleh akan menghasilkan kesimpulan yang sama seperti telah diuraikan di atas. Kegiatan di luar pertanian lebih jauh dapat dilihat pada Tabel 7. Pada tabel tersebut diperlihatkan sebaran jumlah anggota rumahtangga dan rata-rata tingkat pendidikan menurut jenis kegiatan di luar pertanian dan strata luas lahan bagi tenaga kerja pria dan wanita. Jenis kegiatan di luar pertanian sebenarnya sangat beragam, tetapi pada Tabel 7 dikelompokkan menjadi tujuh jenis kegiatan, yaitu usaha industri, buruh

8 160 industri, pekerja bangunan, pekerja bidang angkutan, pedagang atau tenaga penjualan, berbagai macam pekerja jasa, dan tenaga profesional di berbagai bidang. Berdasarkan pengelompokan kegiatan tersebut dapat dilihat bahwa ada perbedaan konsentrasi jenis pekerjaan antara pria dan wanita, sedangkan antar strata luas lahan pola distribusinya hampir sama. Tabel 7. Jumlah Anggota Rumahtangga dan Rata-rata Pendidikan Menurut Jenis Kegiatan Di Luar Pertanian dan Menurut Strata Luas Lahan Jenis Pekerjaan Lahan Sempit Juml ART (%) Pend (Thn) Lahan Sedang Juml ART (%) Pend (Thn) Lahan Luas Juml ART (%) Pend (Thn) Juml ART (%) Total Pend (Thn) Tenaga Kerja Laki-laki (n=200) (n=36) (n=111) (n=447) Usaha Industri Buruh Industri Bangunan Angkutan Perdagangan Pekerja Jasa Profesional Total Tenaga Kerja Wanita (n=60) (n=37) (n=33) (n=130) Usaha Industri Buruh Industri Bangunan Angkutan Perdagangan Pekerja Jasa Profesional Total Tenaga kerja pria terbanyak bekerja di kegiatan bangunan, di dalamnya terdapat pengusaha bangunan, mandor bangunan, berbagai tukang, atau pembantu tukang bangunan. Sebaran ini konsisten di semua strata luas lahan. Pada tenaga kerja wanita, sebaran konsentrasi jenis pekerjaan bervariasi antar strata luas lahan. Pada strata rumahtangga lahan sempit, jenis pekerjaan yang terbanyak dimasuki anggota rumahtangga adalah buruh industri, kemudian di kegiatan jasa. Kegiatan industri

9 161 meliputi kegitan manufaktur yang mengolah bahan baku jenis makanan atau non makanan menjadi bahan jadi, yaitu mengolah makanan, minuman, tekstil, plastik, pandai besi, dan lain-lain. Bidang kegiatan jasa meliputi pembantu rumahtangga, tukang cuci, tukang cukur, bengkel kendaraan bermotor, dan kegiatan jasa lain baik formal maupun informal. Pada strata lahan sedang, kegiatan di luar pertanian yang banyak dilakukan tenaga kerja wanita adalah kegiatan tenaga profesional, kemudian dengan persentase hampir sama terdapat pada perdagangan dan kegiatan jasa. Jenis pekerjaan profesional yang dimaksud adalah meliputi tenaga kesehatan, guru, pegawai negeri, pamong, dan lain-lain. Kegiatan di bidang profesional ini juga terlihat menonjol pada strata rumahtangga berlahan luas. Pada Tabel 7 dapat dilihat pola yang konsisten terjadi pada kegiatan profesional. Semakin luas strata lahan garapan, persentase jumlah anggota rumahtangga yang bekerja di kegiatan ini cenderung semakin besar. Kondisi ini diduga terkait dengan tingkat pendidikan yang dimiliki anggota rumahtangga. Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa pada rumahtangga dengan strata lahan lebih lua, tingkat pendidikannya relatif lebih tinggi. Pada Tabel 7 terlihat rata-rata pendidikan anggota rumahtangga yang bekerja di kegiatan profesional paling tinggi, baik di tenaga kerja pria maupun tenaga kerja wanita serta berlaku untuk semua strata. Hal tersebut diduga bahwa lapangan kerja profesional yang teridentifikasi pada penelitian ini memerlukan tingkat pendidikan tertentu yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bidang-bidang lainnya. Jika diperhatikan, kegiatan yang bercirikan buruh, rata-rata pendidikannya relatif lebih rendah.

10 162 Jika pada Tabel 6 disajikan gambaran partisipasi anggota rumahtangga pada berbagai aktivitas kerja, pada Tabel 8 disajikan besar curahan kerja anggota rumahtangga pada kegiatan yang sama. Curahan kerja menggambarkan lebih rinci berapa hari kerja anggota keluarga mencurahkan tenaganya pada berbagai aktivias selama satu tahun. Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa jumlah hari kerja rata-rata mempunyai kecenderungan yang sama dengan jumlah anggota yang partisipasi seperti pada Tabel 6. Namun demikian, secara keseluruhan jumlah hari kerja yang tercurah tiap strata rumahtangga petani tampak masih relatif sedikit dibandingkan dengankan dengan jumlah hari kerja potensial yang tersedia. Curahan kerja tertinggi terdapat pada rumahtangga berlahan luas untuk tenaga kerja pria. Kegiatan yang mendapat curahan kerja tertinggi adalah kegiatan di dalam usahatani sendiri. Tetapi curahan kerja di luar usahatani tertinggi ada pada rumahtangga berlahan sempit untuk tenaga kerja pria. Tabel 8. Potensi dan Curahan Kerja Keluarga Petani Pada Kegiatan Usahatani dan Di Luar Usahatani Menurut Strata Luas Lahan Uraian Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Total TK Pria di Usahatani TK Wanita di Usahatani TK Pria Berburuh Tani TK Wanita Berburuh Tani TK Pria di Luar Pertanian TK Wanita di Luar Pertanian TK Pria di Luar Usahatani TK Wanita di Luar Uahatani Total Curahan Kerja Pria Total Curahan Kerja Wanita Potensi Tenaga Kerja Pria * Potensi Tenaga Kerja Wanita* Intensitas Curahan Kerja Pria (%) Intenstias Curahan Kerja Wanta (%)

11 163 * Satu tahun diasumsikan setara dengan 250 hari kerja dikalikan jumlah anggota Rumahtangga dewasa. Besarnya curahan kerja juga bisa diukur secara relatif terhadap potensi tenaga kerja anggota rumahtangga dewasa. Ukuran ini dapat disebut sebagai intensitas curahan kerja. Tampak pada Tabel 8 bahwa intensitas curahan kerja pria dan wanita di semua strata rumahtangga relatif rendah. Maksimum hanya 60 persen dari tenaga kerja potensial di rumahtangga. Pada tabel juga dapat dipelajari bahwa intensitas curahan kerja wanita lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja pria. Fenomena yang dijelaskan di atas mengindikasikan rendahnya kesempatan kerja di pedesaan, baik di usahatani sendiri maupun di luar usahatani. Pada rumahtangga petani berlahan sempit, kesempatan kerja di dalam usahatani sendiri terkendala oleh sempitnya lahan, sehingga tenaga kerja keluarga cenderung bekerja lebih banyak di luar usahatani di berbagai kegiatan. Pada rumahtangga berlahan luas, curahan kerja keluarga ternyata lebih banyak di dalam usahatani sendiri. Artinya, peranan usahatani pada rumahtangga berlahan luas ternyata masih cukup penting dalam menyediakan lapangan kerja. Lapangan kerja di luar usahatani untuk rumahtangga strata ini juga ternyata tidak terlalu banyak berperan Penggunaan Input Usahatani Keragaan usahatani sebenarnya tidak terlepas dari karakteristik keseluruhan rumahtangga petani. Namun dalam penelitian ini usahatani ditempatkan sebagai fokus kegiatan ekonomi rumahtangga. Oleh karena itu, secara khusus pada bagian ini disajikan gambaran singkat usahatani sebagai kegiatan ekonomi yang memanfaatkan sejumlah sumberdaya dan menghasilkan produk usahatani. Pada Tabel 9 disajikan penggunaan

12 164 input dan nilai produk total usahatani per hektar. Analisis per hektar sengaja dilakukan agar dapat membandingkan keragaan usahatani menurut strata luas lahan. Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa penggunaan input usahatani per hektar pada strata lahan sempit paling tinggi, kemudian secara konsisten menurun pada strata lahan yang lebih luas. Tingginya penggunaan input per hektar pada rumahtangga lahan sempit diikuti dengan tingginya nilai produk total (dalam ribuan rupiah). Nilai produk total per hektar pada strata lahan sempit paling tinggi, kemudian secara konsisten pula menurun pada strata lahan yang lebih luas. Fenomena seperti ini menunjukkan adanya produktivitas usahatani yang terbalik pada usahatani yang lebih luas atau sering disebut inverse farm size productivity, disingkat IP. Tabel 9. Penggunaan Input Usahatani dan Nilai Produk Total Per Hektar Lahan Garapan Menurut Strata Luas Lahan Jenis Input Usahatani dan Nilai Produk Total Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Total Pupuk Urea (Kg) Pupuk TSP (Kg) Input lain (Rp.000) TK Pria Dalam Kelg (HK) TK Wanita Dalam Kelg (HK) TK Pria Luar Kelg (HK) TK Wanita Luar Kelg (HK) Nilai Produk Total (Rp.000) Gejala IP masih menjadi perdebatan para ahli tentang apa penjelasan rasional terhadap kondisi tersebut. Fan dan Kang (2003) dan Toufique (2000) menyimpulkan bahwa IP terjadi karena perbedaan kelimpahan faktor (factors endowments) antara usahatani luas dan usahatani sempit. Usahatani berlahan sempit menggunakan tenaga kerja keluarga, sedangkan usahatani berlahan luas menggunakan tenaga kerja upahan.

13 165 Perbedaan penggunaan tenaga kerja menimbulkan perbedaan dalam biaya transaksi. Kesimpulan lain menyebutkan penyebab IP adalah adanya perbedaan kualitas lahan dan adanya ketidak sempurnaan pasar tenaga kerja (Lamb, 2001). Namun Heltberg (1996) tetap berkesimpulan bahwa memang ada gejala IP secara kuat walaupun faktor kualitas lahan telah dikoreksi. Hubungan produktivitas lahan yang negatif dan adanya ketidak sempurnaan pasar tenaga kerja juga dibahas oleh Holden, Shiferaw, dan Pender (2001). Mereka menyimpulkan tidak dapat menunjukkan secara nyata adanya gejala IP seperti banyak diperdebatkan para ahli. Temel dan Albersen (2000) juga menyimpulkan bahwa IP tersebut lebih disebabkan oleh pola geografik bukan karena tidak terukurnya variabel kualitas lahan. Pada penelitian ini gejala IP dapat dipelajari dengan model yang lebih sederhana, yaitu Ln (Y)= á + âln(l ) + å, di mana Y adalah nilai produk usahatani, dan L adalah lahan. Bentuk persamaan tersebut menunjukkan bahwa â adal ah elasti sitas produksi terhadap lahan. Jika memang terdapat hubungan IP maka â<1. Persamaan tersebut juga bisa juga dinyatakan dalam bentuk produksi per hektar (Y/L). Apa bila demikian maka hubungan IP terjadi jika â<0. Hasil pendugaan dengan metode OLS (ordinary least squares) dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil pendugaan model regresi tersebut menunjukkan bahwa koefisien luas lahan garapan untuk produk total lebih kecil dari satu, dan uji statistik terhadap dugaan â diperoleh nilai F sebesar 3395, yang berarti tidak cukup bukti untuk menolak bahwa â<1. Hal ini menunjukkan apabila terjadi kenaikan luas lahan satu persen, maka akan diikuti kenaikan produk (dinyatakan dalam ribu rupiah) kurang dari satu persen. Hasil yang sama dapat juga dilihat dengan

14 166 menggunakan produksi per hektar atau produktivitas lahan. Hasilnya menunjukkan koefisien regresi negatif. Kesimpulannya adalah bahwa pada usahatani tanaman pangan yang dikaji pada penelitian ini ada kecenderungan kuat terdapat hubungan IP. Kekhawatiran adanya faktor kualitas lahan yang menyebabkan gejala IP, dikoreksi dengan memisahkan antara lahan sawah dan lahan darat, dengan asumsi perbedaan lahan darat dan lahan sawah dalam model agregat di atas menjadi sumber perbedaan kualitas lahan. Lahan sawah umumnya lebih produktif dibandingkan dengan lahan darat setidaknya karena ketersediaan air yang lebih baik pada lahan sawah, sehingga untuk menghasilkan sejumlah produk yang sama pada lahan darat diperlukan luas lahan yang lebih kecil pada lahan sawah. Karena itu hubungan IP ada yang membantah dengan alasan karena adanya kesalahan spesifikasi model dengan tidak memasukan faktor kualitas lahan. Data kualitas lahan pada penelitian rumahtangga petani memang seringkali sulit diperoleh. Upaya yang dilakukan para peneliti antara lain dengan merekayasa model sehingga variabel kualitas lahan dicari sebagai variabel yang tak terobservasi, tetapi pengaruhnya dapat didetekksi (Lamb, 2001). Tabel Lahan 10. Sawah Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Usahatani Ln(Y s ) dan Produktivitas Lahan Pada Rumahtangga Petani (R 2 =0.20) Tanaman Pangan. ( ) ( ) Ln(Y s /L) (R 2 =82) ( ) Persamaan Parameter Dugaan ( ) Angka dalam tanda ( ) adalah standard error á â Total Ln (Y) (R 2 =0.27) ( ) ( ) Ln (Y/L) (R 2 =0.78) ( ) ( ) Lahan Darat Ln(Y d ) (R 2 =0.27) ( ) (0.0192) Ln(Y d /L) (R2=0.79) ( ) ( )

15 167 Pada Tabel 10 di atas ditunjukkan hasil pendugaan yang diperoleh dengan memisahkan lahan darat dari lahan sawah. Hasil pendugaan terhadap koefisien regresi menunjukkan hasil yang sama bahwa produktivitas lahan pada lahan usahatani berlahan luas cenderung lebih rendah dibandingkan dengan dengan usahatani berlahan sempit, baik di lahan sawah maupun di lahan darat. Konsekuensi dari adanya hubungan IP pada penelitian ini dapat dipelajari pada simulasi model persamaan simultan. Seperti telah dirumuskan di muka, model persamaan simultan pada penelitian ini memperhatikan harga bayangan input, yang merupakan variabel endogen. Besar kecilnya harga bayangan terkait dengan produktivitas input, termasuk di dalamnya produktivitas lahan usahatani. Dengan demikian, simulasi model ekonomi rumahtangga pada penelitian ini diharapkan akan menghasilkan perilaku ekonomi yang berbeda pada setiap strata luas lahan. Tingginya intensitas penggunaan input pada rumahtangga petani lahan sempit pada tingkat tertentu bisa menjadi tidak efisien, yang ditandai dengan rendahnya produktivitas input. Sebagai gambaran kasar pada Tabel 10 disajikan indeks pengembalian input (return to farm input) per unit masing-masing input usahatani. Nilai pengembalian terhadap input usahatani biasanya bisa dibandingkan dengankan dengan harga pasar masing-masing input. Namun metode ini sangat tergantung pada komponen biaya yang dimasukkan pada analisis. Dikhawatirkan ada bias dalam perhitungan biaya usahatani, nilai pengembalian input pada Tabel 11 disajikan dalam bentuk indeks relatif masing-masing input di masing-masing strata rumahtangga terhadap nilai masing-masing pengembalian input seluruh rumahtangga petani.

16 168 Tabel 11. Indeks Pengembalian Input Usahatani Setiap Strata Terhadap Nilai Pengembalian Input Total Rumahtangga Jenis Input Usahatani Lahan Lahan Lahan Sempit Sedang Luas Total Pupuk Urea Pupuk TSP Nilai Input Lain Tenaga Kerja Pria Dalam Keluarga Tenaga Kerja Wanita Dalam Keluarga Tenaga Kerja Pria Luar Keluarga Tenaga Kerja Wanita Luar Keluarga Lahan Garapan Menggunakan ukuran indeks pengembalian masing-masing input, dapat dilihat pada Tabel 11 bahwa pada rumahtangga berlahan sempit produktivitas input usahataninya relatif lebih rendah dibandingkan dengan pada rumahtangga lahan sedang dan lahan luas, kecuali untuk input lahan (return to land). Relatif rendahnya nilai pengembalian pupuk urea, pupuk tsp, dan tenaga kerja dalam dan luar keluarga pada rumahtangga lahan sempit diduga karena penggunaan input usahatani tersebut relatif lebih intensif dibandingkan dengan rumahtangga lahan sedang dan lahan luas seperti telah ditunjukkan pada Tabel 9 di atas. Tingginya nilai pengembalian lahan pada rumahtangga lahan sempit memang konsisten dengan gejala IP seperti telah dijelaskan di atas. Setelah mempelajari penggunaan input usahatani, selanjutnya pada Tabel 12 disajikan alokasi penerimaan usahatani untuk keperluan pengeluaran usahatani dan konsumsi rumahtangga. Alokasi penerimaan ini penting dipelajari untuk mengetahui bagaimana rumahtangga petani memanfaatkan penerimaan usahataninya untuk berbagai keperluan. Pada Tabel 11 diperlihatkan pengeluaran usahatani dalam bentuk biaya tunai untuk keperluan sarana produksi, seperti pupuk, benih, bibit, dan obat-obatan. Pada tabel tersebut terlihat porsi pengeluaran tunai untuk sarana produksi terbesar (20 persen dari

17 169 total penerimaan) terdapat pada rumahtangga berlahan sempit. Kondisi sebaliknya untuk pengeluaran tunai tenaga kerja luar keluarga, porsi terbesar terjadi pada rumahtangga berlahan luas. Kedua jenis pengeluaran ini memerlukan uang tunai, sehingga sering dijadikan ukuran kemampuan usahatani dalam memenuhi kebutuhan uang tunai. Di samping pengeluaran total usahatani, pada Tabel 12 tercantum juga pengeluaran investasi usahatani. Jika pengeluaran total usahatani merupakan pengeluaran rutin, maka pengeluaran investasi adalah pengeluaran tidak rutin. Di dalamnya terkandung pengeluaran pembelian peralatan usahatani, perbaikan bangunan usahatani, dan perbaikan lahan. Pada tabel terlihat porsi pengeluaran investasi ini relatif kecil dan tidak ada konsistensi besar proporsi dengan strata luas lahan. Bagian yang dialokasikan untuk investasi ini merupakan upaya rumahtangga dalam mempertahankan dan meningkatkan modal usahatani. Oleh karena itu sering disebut kemampuan usahatani dalam pembentukan modal dari dalam usahatani. Tabel 12. Alokasi Penerimaan Usahatani Pada Pengeluaran Usahatani dan Konsumsi Rumahtangga Menurut Strata Luas Lahan Uraian Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Total % Rata-rata % Rata-rata % Pengeluaran Saprodi Tunai Tenaga Kerja Luar Keluarga Total Pengeluaran Usahatani Investasi Usahatani Produk Usahatani Dikonsumsi Produk Usahatani Dijual Penerimaan Total Usahatani % Bagian lain dari Tabel 12 adalah produk usahatani yang dikonsumsi dan yang dijual ke pasar. Produk usahatani yang dikonsumsi adalah bagian dari penerimaan usahatani yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga. Besarnya porsi ini menunjukkan peran usahatani dalam memenuhi kebutuhan rumahtangga,

18 170 sehingga sering digunakan sebagai ukuran subsistensi. Semakin besar bagian yang dikonsumsi, semakin bersifat subsisten. Sebaliknya produk usahatani yang dijual merupakan bagian produk usahatani yang dialokasikan untuk memperoleh uang tunai. Semakin besar bagian produk yang dijual, usahatani yang bersangkutan semakin komersial. Pada Tabel 11 diperlihatkan, bagian produk yang dijual relatif lebih besar dibandingkan dengan bagian produk yang dikonsumsi. Hal yang menarik adalah bahwa fenomena ini terjadi di seluruh strata luas lahan dengan kecenderungan makin besar. Jika ini dijadikan indikator tingkat komersial usahatani, dapat disimpulkan bahwa semakin luas lahan yang dikuasai, usahatani semakin komersial Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Rumahtangga yang menjadi objek penelitian adalah rumahtangga petani tanaman pangan. Oleh karena itu, sumber pendapatan utama diharapkan berasal dari tanaman pangan. Pada Tabel 12 diperlihatkan pendapatan rumahtangga petani dari berbagai sumber. Pada tabel tersebut terlihat tanaman pangan memang merupakan sumber penerimaan paling besar di seluruh strata rumahtangga. Menarik untuk diperhatikan bahwa peranan tanaman pangan tersebut semakin besar pada rumahtangga yang berlahan sedang dan lahan luas. Komposisi tanaman pangan berasal dari tanaman padi sawah dan padi ladang, berbagai macam palawija, dan berbagai macam sayuran. Tanaman palawija, sayuran dan berbagai jenis tanaman pangan lainnya, pada Tabel 13 dikelompokkan pada tanaman non padi. Antara kedua jenis penerimaan tersebut, tampak penerimaan yang berasal dari padi lebih besar dibandingkan dengan dengan non padi. Peranan padi tampak semakin besar

19 171 pada rumahtangga petani yang berlahan sedang dan lahan luas. Hal ini menunjukkan bahwa komoditi padi pada rumahtangga tanaman pangan masih merupakan komoditi penting, dan selalu ada dalam komposisi tanaman pangan. Di samping tanaman pangan, bagian lain dari penerimaan usahatani adalah penerimaan yang berasal dari ternak, ikan, dan berbagai jenis penerimaan non pangan lainnya. Kontribusi sumber penerimaan ini relatif kecil di seluruh strata rumahtangga yang diteliti. Pada Tabel 13 juga diperlihatkan konstribusi pendapatan dari usahatani dan dari luar usahatani. Pendapatan bersih dari usahatani lebih tinggi dibandingkan dengan dari luar usahatani. Pada rumahtangga lahan sedang dan lahan luas, kontribusi pendapatan usahatani semakin besar. Fenomena ini menunjukkan bahwa dilihat dari besarnya pendapatan rumahtangga, pendapatan usahatani memegang peranan penting di seluruh strata rumahtangga. Pendapatan dari luar usahatani berasal dari berbagai aktivitas di dalam rumahtangga dan di luar rumahtangga. Di daerah penelitian, kesempatan kerja di luar usahatani ini tampaknya tidak banyak tersedia. Tabel 13. Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani Menurut Strata Luas Lahan Jenis Pendapatan Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Total Rataratratratrata Rata- Rata- Rata- % % % % Padi Non Padi Tanaman Pangan Penerimaan Total Usahatani Pendapatan Bersih Usahatani Pendapatan Luar Usahatani Pendapatan Rumahtangga Pada Tabel 14 disajikan struktur pengeluaran rumahtangga selama satu tahun menurut strata luas lahan. Besaran mutlak setiap jenis pengeluaran rumahtangga

20 172 tampaknya berbanding lurus dengan luas lahan. Semakin tinggi strata rumahtangga menurut luas lahan, pengeluaran rumahtangga semakin besar. Sudah dapat diduga bahwa porsi pengeluaran rumahtangga paling besar adalah untuk pangan. Proporsi pengeluaran pangan hampir sama untuk seluruh strata rumahtangga, yaitu sekitar 42 persen. Jika dilihat dari sumber perolehannya, sebagian besar pengeluaran pangan tersebut dibeli dari pasar, sisanya disediakan sendiri dari berbagai sumber, termasuk dari usahatani sendiri. Tingginya porsi pengeluaran pangan yang berasal dari pasar mengindikasikan tingginya permintaan rumahtangga terhadap uang tunai. Proporsi ini berlaku di semua strata. Hal tersebut berarti perbedaan luas lahan usahatani tidak mempengaruhi proporsi kebutuhan pangan dari pasar, atau peranan usahatani sendiri sebagai penyedia pangan tidak dipengaruhi oleh luasan lahan. Pengeluaran rumahtangga untuk pendidikan dan kesehatan menempati porsi yang relatif kecil di seluruh strata rumahtangga dengan kecenderungan porsi pengeluaran pada rumahtangga lahan sempit lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran pada rumahtangga lahan sedang dan lahan luas. Pengeluaran pendidikan dan kesehatan merupakan bagian dari upaya rumahtangga dalam mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di rumahtangga. Keterbatasan pendapatan keluarga diduga akan menekan pengeluaran untuk jenis ini. Pengeluaran barang-barang rumahtangga merupakan pengeluaran untuk membeli dan atau memelihara barang-barang rumahtangga, termasuk memelihara atau perbaikan rumah tempat tinggal. Pada Tabel 14 terlihat pengeluaran jenis ini relatif kecil dibandingkan dengan pengeluaran lainnya. Tabel 14. Struktur Pengeluaran Rumahtangga Menurut Strata Luas Lahan Jenis Pengeluaran Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Total

Pada Tabel 14 juga diperlihatkan besar total pengeluaran rumahtangga. Besaran

Pada Tabel 14 juga diperlihatkan besar total pengeluaran rumahtangga. Besaran 173 Rataratratratrata Rata- Rata- Rata- % % % % Pangan dibeli dari pasar 2562 29.95 3104 29.65 4092 26.19 3263 28.17 Pangan disediakan sendiri 1102 12.88 1380 13.19 2551 16.32 1682 14.52 Total pangan 3664

Lebih terperinci

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT Oleh: Memed Gunawan dan Ikin Sadikin Abstrak Belakangan ini struktur perekonomian masyarakat pedesaan Jawa Barat telah

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI Bagian ini akan menganalisis hasil melakukan simulasi, yaitu melakukan perubahan-perubahan pada satu atau beberapa

Lebih terperinci

VI. ALOKASI WAKTU KERJA, KONTRIBUSI PENDAPATAN, DAN POLA PENGELUARAN RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH

VI. ALOKASI WAKTU KERJA, KONTRIBUSI PENDAPATAN, DAN POLA PENGELUARAN RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH 59 VI. ALOKASI WAKTU KERJA, KONTRIBUSI PENDAPATAN, DAN POLA PENGELUARAN RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH 6.1. Curahan Tenaga Kerja Rumahtangga Petani Lahan Sawah Alokasi waktu kerja dalam kegiatan ekonomi

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil pendugaan harga bayangan menunjukkan bahwa semakin luas lahan yang

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil pendugaan harga bayangan menunjukkan bahwa semakin luas lahan yang 302 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Hasil pendugaan harga bayangan menunjukkan bahwa semakin luas lahan yang dikuasai rumahtangga petani, harga bayangan pupuk, tenaga kerja dalam keluarga dan

Lebih terperinci

VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN

VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN 7.1. Hasil Validasi Model Simulasi model dilakukan untuk menganalisis dampak perubahan berbagai faktor ekonomi

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN 5.1. Usia Usia responden dikategorikan menjadi tiga kategori yang ditentukan berdasarkan teori perkembangan Hurlock (1980) yaitu dewasa awal (18-40), dewasa madya (41-60)

Lebih terperinci

VII ANALISIS PENDAPATAN

VII ANALISIS PENDAPATAN VII ANALISIS PENDAPATAN Analisis pendapatan yang dibahas dalam penelitian ini meliputi penerimaan, biaya, dan pendapatan dari usahatani padi sawah pada decision making unit di Desa Kertawinangun pada musim

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN KERAGAAN EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang mempunyai

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN KERAGAAN EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang mempunyai V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN KERAGAAN EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI Keadaan Umum Wilayah Penelitian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang mempunyai ratio jumlah rumahtangga petani

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Konsep Ekonomi 3.1.1. Fungsi Produksi Dalam proses produksi terkandung hubungan antara tingkat penggunaan faktor-faktor produksi dengan produk atau hasil yang akan diperoleh.

Lebih terperinci

VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA

VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA Penelitian ini membagi responden berdasarkan jenis lahan, yaitu lahan sawah irigasi dan tadah hujan, serta keikutsertaan petani dalam

Lebih terperinci

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT 7.1. Penerimaan Usahatani Padi Sehat Penerimaan usahatani padi sehat terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan diperhitungkan. Penerimaan tunai adalah penerimaan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengetahui tingkat pendapatan usahatani tomat dan faktor-faktor produksi yang mempengaruhi

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Ketahanan pangan rumahtangga pada hakekatnya merupakan kondisi terpenuhinya pangan yang tercennin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah

Lebih terperinci

VIII. EFEK PERUBAHAN HARGA INPUT DAN HARGA OUTPUT PADA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI. Pada bab sebelumnya telah ditunjukkan hasil pendugaan model ekonomi

VIII. EFEK PERUBAHAN HARGA INPUT DAN HARGA OUTPUT PADA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI. Pada bab sebelumnya telah ditunjukkan hasil pendugaan model ekonomi 243 VIII. EFEK PERUBAHAN HARGA INPUT DAN HARGA OUTPUT PADA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI Pada bab sebelumnya telah ditunjukkan hasil pendugaan model ekonomi rumahtangga petani tanaman pangan menggunakan model

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN

ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN (Studi Kasus di Desa Budi Mulia, Kabupaten Tapin) Oleh : Adreng Purwoto*) Abstrak Di masa mendatang dalam upaya mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL PENELITIAN

ANALISIS HASIL PENELITIAN 69 VI. ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini membahas hubungan antara realisasi target pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Pertama, dilakukan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI. merupakan salah satu daerah pertanian produktif di Kabupaten Majalengka.

IV. METODOLOGI. merupakan salah satu daerah pertanian produktif di Kabupaten Majalengka. IV. METODOLOGI 4.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sukahaji, Kabupaten Majalengka. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Sukahaji merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN. peningkatan produksi pangan dan menjaga ketersediaan pangan yang cukup dan

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN. peningkatan produksi pangan dan menjaga ketersediaan pangan yang cukup dan BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN Program ketahanan pangan diarahkan pada kemandirian masyarakat/petani yang berbasis sumberdaya lokal yang secara operasional dilakukan melalui program peningkatan produksi

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS)

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) Oleh: A. Rozany Nurmanaf Adimesra Djulin Herman Supriadi Sugiarto Supadi Nur Khoiriyah Agustin Julia Forcina Sinuraya Gelar Satya Budhi PUSAT PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

V. KONDISI WILAYAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PERILAKU RUMAHTANGGA PETANI

V. KONDISI WILAYAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PERILAKU RUMAHTANGGA PETANI 54 V. KONDISI WILAYAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PERILAKU RUMAHTANGGA PETANI 5. by Kondisi Umum Wilayah Penelitian 5. Kondisi Geografis Wilayah Penelitian Wilayah Kecamatan Sadang memiliki luas 5.7212,8

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM ARAH PERUBAHAN PENGUASAAN LAHAN DAN TENAGA KERJA PERTANIAN Oleh : Sri H. Susilowati

Lebih terperinci

VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI GANYONG DI DESA SINDANGLAYA

VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI GANYONG DI DESA SINDANGLAYA VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI GANYONG DI DESA SINDANGLAYA 7.1. Analisis Fungsi Produksi Analisis untuk kegiatan budidaya ganyong di Desa Sindanglaya ini dilakukan dengan memperhitungkan

Lebih terperinci

VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBIAYAAN AGRIBISNIS PADA KOPERASI BAYTUL IKHTIAR

VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBIAYAAN AGRIBISNIS PADA KOPERASI BAYTUL IKHTIAR VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBIAYAAN AGRIBISNIS PADA KOPERASI BAYTUL IKHTIAR 7.1. Karakteristik Umum Responden Responden penelitian ini adalah anggota Koperasi Baytul Ikhtiar yang sedang memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian telah terbukti memiliki peranan penting bagi pembangunan perekonomian suatu bangsa. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang berperan

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI PEDESAAN SUMATERA BARAT

STRUKTUR DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI PEDESAAN SUMATERA BARAT STRUKTUR DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI PEDESAAN SUMATERA BARAT Oleh: Mewa Arifin dan Yuni Marisa') Abstrak Membicarakan masalah kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung, berarti membicarakan distribusi

Lebih terperinci

BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, dan pengalaman dalam usahatani.

BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, dan pengalaman dalam usahatani. BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Petani Sampel Berdasarkan data primer yang diperoleh dari 84 orang petani sampel, maka dapat dikemukakan karakteristik petani sampel, khususnya

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian 4.1.1 Letak Geografis Tempat Penelitian Desa Candi merupakan salah satu desa yang banyak menghasilkan produksi jagung terutama jagung pipilan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Identitas Petani Petani Padi Organik Mitra Usaha Tani

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Identitas Petani Petani Padi Organik Mitra Usaha Tani V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identitas Petani Petani Padi Organik Mitra Usaha Tani Identitas petani merupakan suatu tanda pengenal yang dimiliki petani untuk dapat diketahui latar belakangnya. Identitas

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kawasan Teluk Bintuni di dua desa yang

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kawasan Teluk Bintuni di dua desa yang 62 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kawasan Teluk Bintuni di dua desa yang berada di sekitar wilayah pembangunan proyek LNG Tangguh yaitu di Desa Tanah

Lebih terperinci

VI KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN

VI KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN VI KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN 6.3. Gambaran Umum Petani Responden Gambaran umum petani sampel diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan para petani yang menerapkan usahatani padi sehat dan usahatani

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGARA

V. GAMBARAN UMUM RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGARA V. GAMBARAN UMUM RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGARA 5.1. Karakteristik Petani Padi Padi masih merupakan komoditas utama yang diusahakan oleh petani tanaman pangan di Kabupaten Konawe dan Konawe

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Modal merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting keberadaannya dalam usahatani. Keterbatasan modal masih menjadi permasalahan yang sering dihadapi oleh

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Desa Simpang Kanan, Kecamatan Sumberejo,

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Desa Simpang Kanan, Kecamatan Sumberejo, 49 III. METODELOGI PENELITIAN A. Metodelogi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Simpang Kanan, Kecamatan Sumberejo, Kabupaten Tanggamus, dengan menggunakan metode survei. Penelitian Survei adalah

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis dilandasi oleh teori-teori mengenai konsep marketable dan marketed surplus, serta faktor-faktor yang memepengaruhinya.

Lebih terperinci

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT VIII PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT 8.1. Penerimaan Usahatani Padi Sehat Produktivitas rata-rata gabah padi sehat petani responden sebesar 6,2 ton/ha. Produktivitas rata-rata

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio).

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio). III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini meliputi konsep usahatani, biaya usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENGEMBANGAN MULTI USAHA RUMAH TANGGA PERTANIAN PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENGEMBANGAN MULTI USAHA RUMAH TANGGA PERTANIAN PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENGEMBANGAN MULTI USAHA RUMAH TANGGA PERTANIAN PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM Oleh : Dewa K. S. Swastika Herman Supriadi Kurnia Suci Indraningsih Juni Hestina Roosgandha

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI 69 VI. HASIL PENDUGAAN MODEL PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI 6.1. Kinerja Umum Model Hal yang perlu diperhatikan di dalam model adalah terpenuhinya kriteria ekonomi, kriteria statistik dan kriteria

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laju peningkatan produktivitas tanaman padi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung melandai, ditandai salah satunya dengan menurunnya produksi padi sekitar 0.06 persen

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI 7.1. Produktivitas Usahatani Produktivitas merupakan salah satu cara untuk mengetahui efisiensi dari penggunaan sumberdaya yang ada (lahan) untuk menghasilkan keluaran

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT *

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT * DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT * Oleh : Aladin Nasution DISTRIBUSI PEMILIKAN TANAH PERTANIAN Pemilikan tanah mempunyai arti penting bagi masyarakat pedesaan karena merupakan

Lebih terperinci

V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN

V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN 5.1. Gambaran Umum Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi Gambaran umum Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi dalam penelitian ini dihat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sumber pangan utama penduduk Indonesia. Jumlah penduduk yang semakin

I. PENDAHULUAN. sumber pangan utama penduduk Indonesia. Jumlah penduduk yang semakin I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya lahan yang sangat luas untuk peningkatan produktivitas tanaman pangan khususnya tanaman padi. Beras sebagai salah satu sumber pangan utama

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Penelitian ini memanfaatkan data Panel Petani Nasional (PATANAS) dari Pusat

IV. METODE PENELITIAN. Penelitian ini memanfaatkan data Panel Petani Nasional (PATANAS) dari Pusat 104 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Data Ekonomi Rumahtangga Pertanian Penelitian ini memanfaatkan data Panel Petani Nasional (PATANAS) dari Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (PSE), Badan Penelitian

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Umur, Tingkat Pendidikan, dan Pengalaman berusahatani

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Umur, Tingkat Pendidikan, dan Pengalaman berusahatani V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Petani Responden 1. Umur, Tingkat Pendidikan, dan Pengalaman berusahatani Berdasarkan dari penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil komposisi umur kepala keluarga

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Desa Banjar termasuk salah satu wilayah di Kecamatan Banjar Kabupaten

BAB V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Desa Banjar termasuk salah satu wilayah di Kecamatan Banjar Kabupaten BAB V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1 Letak Geografis Desa Banjar termasuk salah satu wilayah di Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng dengan jarak kurang lebih 18 km dari ibu kota Kabupaten Buleleng

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pelaksanaan pembangunan, dalam jangka menengah dan panjang menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola hubungan kerja dan stuktur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendapatan rumahtangga petani adalah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga petani dapat berasal dari

Lebih terperinci

VII. ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

VII. ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL VII. ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL 7.1 Analisis Perbandingan Penerimaan Usaha Tani Analisis ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sektor andalan perekonomian di Propinsi Lampung adalah pertanian. Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Lampung

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Usahatani Usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang diusahakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS PERKEMBANGAN SEWA MENYEWA LAHAN DI PEDESAAN LAMPUNG

ANALISIS PERKEMBANGAN SEWA MENYEWA LAHAN DI PEDESAAN LAMPUNG ANALISIS PERKEMBANGAN SEWA MENYEWA LAHAN DI PEDESAAN LAMPUNG Gatoet Sroe Hardono, Mewa, Aladin Nasutionn Abstrak Bertambahnya jumlah penduduk dan keberhasilan dalam pembangunan irigasi telah menyebabkan

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT Rachmat Hendayana Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jl Tentara Pelajar, 10 Bogor ABSTRAK Makalah

Lebih terperinci

KAJIAN ANALISA SKALA USAHATANI TANAMAN JAHE SEBAGAI TANAMAN SELA PADA TANAMAN KELAPA ( Studi Kasus Kecamatan Kewapante )

KAJIAN ANALISA SKALA USAHATANI TANAMAN JAHE SEBAGAI TANAMAN SELA PADA TANAMAN KELAPA ( Studi Kasus Kecamatan Kewapante ) KAJIAN ANALISA SKALA USAHATANI TANAMAN JAHE SEBAGAI TANAMAN SELA PADA TANAMAN KELAPA ( Studi Kasus Kecamatan Kewapante ) I. Gunarto, B. de Rosari dan Joko Triastono BPTP NTT ABSTRAK Hasil penelitian menunjukan

Lebih terperinci

PERAN SERTA TERNAK SEBAGAI KOMPONEN USAHATANI PADI UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI

PERAN SERTA TERNAK SEBAGAI KOMPONEN USAHATANI PADI UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI PERAN SERTA TERNAK SEBAGAI KOMPONEN USAHATANI PADI UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI MH. Togatorop dan Wayan Sudana Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor ABSTRAK Suatu pengkajian

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN 5.1. Lokasi dan Topografi Kabupaten Donggala memiliki 21 kecamatan dan 278 desa, dengan luas wilayah 10 471.71 kilometerpersegi. Wilayah ini

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup pengertian yang

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup pengertian yang III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN TEORI EKONOMI PRODUKSI PERTANIAN

TINJAUAN TEORI EKONOMI PRODUKSI PERTANIAN TINJAUAN TEORI EKONOMI PRODUKSI PERTANIAN Prinsip-Prinsip Efisiensi Usahatani Usahatani ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 25/05/73/Th. XI, 2 Mei 5 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI BULAN APRIL SEBESAR 100,11 PERSEN NTP Gabungan Provinsi Sulawesi Selatan bulan April sebesar

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 09/02/72/Th. XVIII, 2 Februari 2015 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI Selama Januari 2015, Nilai Tukar Petani (NTP) Sebesar 98,37 Persen Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Sulawesi Tengah selama Januari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Telaga merupakan salah satu dari 17 Kecamatan yang ada di Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo. Kecamatan Telaga berjarak 10

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional. mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional. mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis 30 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEMBANG KOL

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEMBANG KOL VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEMBANG KOL 6.1 Sarana Usahatani Kembang Kol Sarana produksi merupakan faktor pengantar produksi usahatani. Saran produksi pada usahatani kembang kol terdiri dari bibit,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Pembangunan Pertanian Dalam memacu pertumbuhan ekonomi sektor pertanian disebutkan sebagai prasyarat bagi pengembangan dan pertumbuhan

Lebih terperinci

PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI JAWA BARAT*

PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI JAWA BARAT* PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI JAWA BARAT* Oleh : Riyadi A. Somantri DISTRIBUSI PEMILIKAN LAHAN Tanah merupakan faktor produksi terpenting bagi petani di pedesaan. Di samping merupakan faktor produksi,

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL Sistem Pertanian dengan menggunakan metode SRI di desa Jambenenggang dimulai sekitar tahun 2007. Kegiatan ini diawali dengan adanya

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Teori Usahatani Menurut Soeharjo dan Patong (1973), usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang diusahakan

Lebih terperinci

ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN Adi Setiyanto PENDAHULUAN Tenaga kerja merupakan motor penggerak dalam pembangunan ekonomi. Tenaga kerja sebagai sumber daya

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian Februari 2011 ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG

Lebih terperinci

CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH

CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH Oleh: Achmad Djauhari dan Supena Friyatno*) Abstrak Kelompok rumah tangga adalah sasaran utama dalam program peningkatan dan perbaikan tingkat

Lebih terperinci

VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MARKETED SURPLUS PADI

VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MARKETED SURPLUS PADI VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MARKETED SURPLUS PADI 7.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed Surplus Model regresi linear disajikan pada Tabel 39 adalah model terbaik yang dapat dibuat berdasarkan

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK BIAYA TRANSAKSI, HARGA DAN UPAH TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN

VIII. DAMPAK BIAYA TRANSAKSI, HARGA DAN UPAH TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN 312 VIII. DAMPAK BIAYA TRANSAKSI, HARGA DAN UPAH TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN Berdasarkan teori, keputusan rumahtangga berkaitan dengan keputusan curahan kerja, produksi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 16/03/73/Th. XI, 1 Maret 5 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI BULAN FEBRUARI SEBESAR 101,41 PERSEN NTP Gabungan Provinsi Sulawesi Selatan bulan Februari

Lebih terperinci

BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Karakteristik Desa 5.1.1. Kondisi Geografis Secara administratif Desa Ringgit terletak di Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Letak Desa

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Karakteristik Wilayah Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. Desa Gunung Malang merupakan salah

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49 29 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Letak dan Keadaan Geografi Daerah Penelitian Desa Perbawati merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Batas-batas

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI SISTEM INTEGRASI TANAMAN-TERNAK. umum perilaku ekonomi rumahtangga petani di wilayah penelitian.

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI SISTEM INTEGRASI TANAMAN-TERNAK. umum perilaku ekonomi rumahtangga petani di wilayah penelitian. V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI SISTEM INTEGRASI TANAMAN-TERNAK Deskripsi statistik rumahtangga petani dilakukan pada peubah-peubah yang digunakan dalam model ekonometrika, sehingga dapat memberikan gambaran

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 56/10/72/Th. XVII, 1 Oktober 2014 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI Selama September 2014, Nilai Tukar Petani (NTP) Sebesar 102,26 Persen Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Sulawesi Tengah selama September

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep usahatani Soekartawi (1995) menyatakan bahwa ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah retrospektif. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan yaitu (1) Kabupaten Lampung Barat akan melakukan

Lebih terperinci

VII. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN. rumahtangga petani peternak sapi di Sulawesi Utara dengan menggunakan

VII. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN. rumahtangga petani peternak sapi di Sulawesi Utara dengan menggunakan VII. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN Untuk menjawab tujuan penelitian ini telah dilakukan analisis perilaku rumahtangga petani peternak sapi di Sulawesi Utara

Lebih terperinci

BAB VI ANALISIS PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA DI KELAPA DUA

BAB VI ANALISIS PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA DI KELAPA DUA BAB VI ANALISIS PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA DI KELAPA DUA 6.1. Analisis Fungsi Produksi Model fungsi produksi yang digunakan adalah model fungsi Cobb- Douglas. Faktor-faktor produksi yang diduga

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan merupakan suatu rancangan kerja penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan konsep dan teori dalam menjawab

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 37/07/73/Th. XI, 3 Juli PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI BULAN JUNI SEBESAR 100,54 NTP Gabungan Provinsi Sulawesi Selatan bulan Juni sebesar 100,54;

Lebih terperinci

VII. PEMECAHAN OPTIMAL MODEL INTEGRASI TANAMAN TERNAK

VII. PEMECAHAN OPTIMAL MODEL INTEGRASI TANAMAN TERNAK VII. PEMECAHAN OPTIMAL MODEL INTEGRASI TANAMAN TERNAK 7.1. Pola Usahatani Pola usahatani yang dimasukkan dalam program linier sesuai kebiasaan petani adalah pola tanam padi-bera untuk lahan sawah satu

Lebih terperinci

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG Usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang menurut bentuk dan coraknya tergolong ke dalam usahatani perorangan dimana pengelolaannya dilakukan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 33/06/73/Th. XI, 2 Juni PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI BULAN MEI SEBESAR 100,41 NTP Gabungan Provinsi Sulawesi Selatan bulan Mei sebesar 100,41, terjadi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan data primer adalah di Desa Pasirlaja, Kecamatan

IV. METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan data primer adalah di Desa Pasirlaja, Kecamatan IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi pengambilan data primer adalah di Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) 58 BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) Bab ini mendeskripsikan karakteristik demografi individu petani

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Selain itu juga Indonesia merupakan negara agraris

Lebih terperinci

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria.

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria. RINGKASAN FEBRI SASTIVIANI PUTRI CANTIKA. RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA. Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi

Lebih terperinci

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI 7.1. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier 7.1.1. Pendugaan Model Fungsi Produksi Stochastic Frontier Model yang digunakan untuk mengestimasi fungsi produksi

Lebih terperinci

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN 6.1. Analisis Budidaya Kedelai Edamame Budidaya kedelai edamame dilakukan oleh para petani mitra PT Saung Mirwan di lahan persawahan.

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive). Alasan pemilihan Kabupaten

Lebih terperinci