SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK KERUPUK YANG DIBERI PENAMBAHAN TEPUNG DAGING SAPI SELAMA PENYIMPANAN SKRIPSI TOFAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK KERUPUK YANG DIBERI PENAMBAHAN TEPUNG DAGING SAPI SELAMA PENYIMPANAN SKRIPSI TOFAN"

Transkripsi

1 SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK KERUPUK YANG DIBERI PENAMBAHAN TEPUNG DAGING SAPI SELAMA PENYIMPANAN SKRIPSI TOFAN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 RINGKASAN TOFAN. D Sifat Fisik dan Organoleptik Kerupuk yang Diberi Penambahan Tepung Daging Sapi selama Penyimpanan. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Anggota : Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si. Pembimbing Anggota : Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. Pembuatan tepung daging sapi sebagai bahan untuk memperkaya (enrichment) produk pangan merupakan alternatif pengolahan daging sapi dalam upaya meningkatkan nilai guna, pengawetan, dan memudahkan distribusi. Penelitian ini dilakukan dengan mengaplikasikan penggunaan tepung daging sapi sebagai bahan tambahan kerupuk, sehingga diharapkan menjadi alternatif bagi orang yang menginginkan diversifikasi makanan ringan sumber protein dan mineral secara praktis, selain itu dapat meningkatkan daya terima kerupuk menjadi lebih baik dengan flavor daging yang nikmat. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisik dan organoleptik kerupuk yang diberi penambahan tepung daging sapi selama penyimpanan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Nopember 2007 sampai Maret 2008 di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan dan Laboratorium Analisis Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Perlakuan yang diberikan adalah penambahan tepung daging sapi yang berbeda pada adonan kerupuk, yaitu penambahan tepung daging sapi 0%, 10%, 20% dan 30% dari total tepung tapioka yang digunakan. Peubah yang diukur antara lain rendemen, densitas kamba, dan analisis organoleptik untuk pemilihan formulasi terbaik penambahan tepung daging sapi. Formulasi terbaik digunakan untuk analisis fisik dan organoleptik kerupuk dengan lama penyimpanan yang berbeda. Perlakuan yang diberikan untuk sifat fisik selama penyimpanan adalah penyimpanan kerupuk goreng pada 0 hari, 14 hari, 28 hari dan 42 hari. Peubah yang diukur antara lain: derajat gelatinisasi, rendemen, densitas kamba, aktivitas air, tingkat kekerasan, dan analisis organoleptik kerupuk goreng berupa uji hedonik dan mutu hedonik. Peubah rendemen, densitas kamba, dan analisis organoleptik kerupuk goreng dianalisa dengan statistika model rancangan acak lengkap untuk pemilihan formulasi terbaik dengan perlakuan penambahan tepung daging sapi. Peubah aktivitas air, tingkat kekerasan dan analisis organoleptik kerupuk goreng selama penyimpanan dianalisa dengan statistika model rancangan acak lengkap dengan perlakuan lama penyimpanan 0 hari, 14 hari, 28 hari dan 42 hari. Hasil penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa persentase penambahan tepung daging mempengaruhi tingkat kesukaan dan mutu kerupuk goreng. Hasil analisis Kruskal-Wallis pemilihan formulasi terbaik dengan menggunakan skoring uji hedonik menunjukkan bahwa persentase penambahan tepung daging sapi sebanyak 10% dari total tepung tapioka yang digunakan, menghasilkan produk kerupuk goreng terbaik dengan tingkat kesukaan tertinggi terhadap warna (suka), rasa daging (suka), bau daging (agak suka), kekerasan (suka) dan ketengikan (agak suka). Hasil penelitian tahap kedua menunjukkan bahwa lama penyimpanan berpengaruh signifikan terhadap tingkat kekerasan, dan aktivitas air kerupuk goreng.

3 Hal ini berpengaruh terhadap mutu dari kerupuk goreng. Penurunan mutu dari kerupuk goreng selama penyimpanan adalah peningkatan tingkat kekerasan dan penurunan tingkat bau dan rasa daging kerupuk goreng. Lama penyimpanan tidak mempengaruhi tingkat warna kerupuk goreng sampai hari ke-42. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap pengukusan mempengaruhi derajat gelatinisasi kerupuk mentah. Rataan dan simpangan baku derajat gelatinisasi pada pengukusan ke-1 adalah 5,23 ± 0,08, pengukusan ka-2 adalah 8,01 ± 0,17, dan pengukusan ke-3 adalah 15,61 ± 0,75. Lama penyimpanan yang berbeda tidak berpengaruh terhadap aktivitas air dan tingkat kekerasan kerupuk goreng. Rataan dan simpangan baku a w pada penyimpanan P-0 adalah 0,41 ± 0,06, P-14 adalah 0,66 ± 0,01, P-28 adalah 0,67 ± 0,04, dan P-42 adalah 0,69 ± 0,11. Rataan dan simpangan baku tingkat kekerasan kerupuk pada penyimpanan P-0 adalah 1277,77 ± 176,05 gf, P-14 adalah 1916,66 ± 240,38 gf, P-28 adalah 2055,55 ± 45,90 gf, dan P-42 adalah 2186,11 ± 165,48 gf. Rataan dan simpangan baku randemen kerupuk mentah dari adonan adalah 42,14% ± 1,90; rendemen kerupuk goreng dari adonan adalah 73,303% ± 4,024; dan rendemen kerupuk goreng dari kerupuk mentah adalah 107,15% ± 0,48. Kata-kata kunci: Tepung daging sapi, pengembangan pati, karakteristik kerupuk, gelatinisasi

4 ABSTRACT Physics and Sensory Evaluation of Kerupuk with Additional of Beef Meal During Storage Tofan, Z. Wulandari, T. Suryati ABSTARCT The study of making kerupuk which made by additional of beef meal with four different formulas was conducted to evaluate the characteristic of physic and sensory from kerupuk which was made. Measured observations from fried kerupuk were physic (gel forming ability, water activity, bulk density, and degrees of hardness) and also sensory evaluation. The sensory evaluation included hedonic and mutual hedonic test. Measured observations from un-fried kerupuk were moisture, bulk density and ratio from dough and un-fried kerupuk. The data were analyzed by ANOVA. The study was divided into two phase. First was preliminary experimental to find the best formulas of beef meal addition for making kerupuk. The second was main experimental to study the effect of additional beef meal in making kerupuk and also the effect during storage. The first experimental showed that from hedonic test, 10% of beef meal addition become a best formula of making kerupuk. In main experimental showed that there is a significant effect on kerupuk during storage (p<0.05) for variable degrees of hardness, moisture and water activity. But, during storage there was no significant effect in color and the odor especially off-flavor of kerupuk (p>0.05). Key words : Beef meal, swelling, kerupuk characteristic, gelatinization

5 SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK KERUPUK YANG DIBERI PENAMBAHAN TEPUNG DAGING SAPI SELAMA PENYIMPANAN TOFAN D Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

6 SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK KERUPUK YANG DIBERI PENAMBAHAN TEPUNG DAGING SAPI SELAMA PENYIMPANAN Oleh : TOFAN D Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 25 Agustus 2008 Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si. NIP Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. NIP Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc.Agr. NIP

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 8 Nopember 1986 di Banyumas, Jawa Tengah. Penulis adalah anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Imam Fadholie dan Ibu Sunarsih. Pendidikan dasar diselesaikan oleh penulis tahun 1998 di SDN Jatilawang II, pendidikan lanjutan menegah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTPN 1 Jatilawang dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2004 di SMAN 1 Jatilawang. Penulis diterima sebagai mahasiswa di program studi Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis pernah aktif di Dewan Perwakilan Mahasiswa Tingkat Persiapan persama (DPM TPB), Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Peternakan, Aptech Creative Team (ACT) Fakultas Peternakan, D Cafe Teknologi Hasil Ternak, Enterprenership Club Fakultas Peternakan, MAPAJI Club, asisten mata kuliah Dasar Teknologi Hasil Ternak, asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Susu, asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Daging, asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Telur dan Daging Unggas, dan Ikatan Mahasiswa se-karesidenan Banyumas (IKAMAHAMAS).

8 KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaanirrohiim. Alhamdulillahirobbilalamin. Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan segala karunia serta hidayah-nya kepada penulis sehingga penulis berkemampuan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang telah membawa dan menyampaikan risalah Islam kepada seluruh umat manusia. Skripsi berjudul Sifat Fisik dan Organoleptik Kerupuk yang Diberi Penambahan Tepung Daging Sapi selama Penyimpanan ini mempelajari sifat fisik kerupuk yang diberi penambahan tepung daging sapi dan sifat organoleptik kerupuk daging sapi selama penyimpanan. Penelitian ini hanyalah langkah awal yang kecil untuk membuka peluang penelitian yang lebih mendalam dan lebih matang. Meskipun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sebagai suatu sumber informasi yang baik, penulis tetap berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kebaikan dan dapat menjadi amal penulis kepada pendidikan, amin. Bogor, Agustus 2008

9 DAFTAR ISI RINGKASAN... ABSTRACT... LEMBAR PERNYATAAN... LEMBAR PENGESAHAN... RIWAYAT HIDUP... Halaman KATA PENGANTAR... viii DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... xiv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Daging Sapi... 3 Kualitas Daging Sapi... 3 Tepung Daging Sapi... 4 Kerupuk... 6 Sifat kerupuk... 6 Bahan Baku Kerupuk... 7 Tepung Tapioka... 7 Gula... 8 Garam... 9 Air Bawang Putih Bahan Pengembang Pengolahan Kerupuk Pembuatan adonan Pengukusan Pendinginan dan Pengirisan Pengeringan Penggorengan Plastik Polipropilen (PP) Perubahan Fisiko-Kimia selama Pengolahan dan Penyimpanan Gelatinisasi Kerenyahan Ketengikan Reaksi Maillard Sifat Sensori Bahan Warna ii iv v vi vii ix xii

10 Flavor dan Bau Tekstur Rasa METODE Lokasi dan Waktu Materi Rancangan Percobaan Prosedur Penelitian Tahap Pertama Penelitian Tahap Kedua Pengukuran Peubah Rendemen (AOAC, 1995) Densitas Kamba (Lavlinesia, 1995) Aktivitas Air (AOAC, 1999) Analisis Derajat Gelatinisasi Pengujian Tingkat Kekerasan (Analisis Tekstur) Analisis Organoleptik HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Sifat Fisik Adonan Sifat Fisik Kerupuk Mentah Sifat Fisik Kerupuk Goreng Pengujian Organoleptik Tingkat Kesukaan terhadap Rasa Daging Kerupuk Goreng Tingkat Kesukaan terhadap Warna Kerupuk Goreng.. 40 Tingkat Kesukaan terhadap Bau Daging Kerupuk Goreng Tingkat Kesukaan terhadap Ketengikan Tingkat Kesukaan terhadap Kekerasan Kerupuk Goreng Penelitian Tahap Kedua Derajat Gelatinisasi Densitas Kamba Rendemen Analisis Fisik Kerupuk Goreng selama Penyimpanan Uji Organoleptik selama Penyimpanan Tingkat Kesukaan terhadap Warna selama Penyimpanan Tingkat Kesukaan terhadap Rasa dan Bau Daging selama Penyimpanan Tingkat Kesukaan terhadap Ketengikan selama Pe - nyimpanan Tingkat Kesukaan terhadap Kekerasan selama Penyimpanan... 55

11 KESIMPULAN DAN SARAN UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 64

12 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Kandungan Nutrisi Tepung Daging Sapi per 100 g Tepung Daging Sapi Kandungan Nutrisi per 100 g Tepung Tapioka Suhu dan Daya Larut Sukrosa dalam Air Syarat Mutu Minyak Goreng Sifat-sifat Polipropilen (PP) dibandingkan dengan HDPE (High Density Poly Ethylene) dan LDPE (Low Density Poly Ethylene) Analisis Biang Adonan, Kerupuk Mentah, dan Kerupuk Goreng Analisis Kerupuk Mentah, dan Kerupuk Goreng Formulasi Terbaik secara Hedonik selama Penyimpanan Formulasi Pembuatan Kerupuk Daging per 100 g Tepung Tapioka Sifat Fisik Biang Adonan dengan Perbandingan Penambahan dan Tepung Tapioka yang Berbeda Rendemen Kerupuk Mentah terhadap Adonan dengan Berbagai Formulasi Penambahan Tepung Daging Sapi Hasil Analisis Fisik Kerupuk Goreng terhadap Berbagai Penambahan Tepung Daging Sapi Hasil Uji Hedonik Pemilihan Formulasi Terbaik Kerupuk Goreng dengan Penambahan Tepung Daging Sapi yang Berbeda Hasil Uji Mutu Hedonik Pemilihan Formulasi Terbaik Kerupuk Goreng dengan Penambahan Tepung Daging Sapi yang Berbeda Hasil Skoring Uji Hedonik Pemilihan Formulasi Terbaik Kerupuk Goreng dengan Persentase Penambahan Tepung Daging yang Berbeda Hasil Analisis Fisik Derajat Gelatinisasi Hasil Analisis Fisik Kerupuk Mentah dan Kerupuk Goreng Hasil Analisis Fisik Kerupuk Goreng dengan Penambahan Tepung Daging Sapi Sebanyak 10% selama Penyimpanan Hasil Uji Mutu Hedonik Kerupuk Goreng selama Penyimpanan Hasil Uji Hedonik Kerupuk Goreng selama Penyimpanan Hasil Perangkingan Pemilihan Kerupuk Goreng Terbaik selama Penyimpanan... 56

13 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Tepung Daging Sapi Bentuk Granula : A. Pati jagung; B. Pati Kentang; C. Tapioka Mekanisme Gelatinisasi Kurva Hubungan Aktivitas Air dengan Tingkat Reaksi dalam Pangan Proses Pembuatan Kerupuk Daging Sapi berdasarkan Metode Wiriano (1984) yang Dimodifikasi Ilustrasi Hasil Pengukuran Tingkat Kekerasan Menggunakan Alat Rheoner Tingkat Warna Kerupuk Mentah dengan Berbagai Penambahan Tepung Daging Ilustrasi Struktur Pori-pori Kerupuk Goreng Tampak Melintang Kerupuk Goreng dengan Persentase Penambahan Tepung Daging Sapi yang Berbeda Grafik Nilai Rata-rata Rendemen Kerupuk pada Beberapa Tahap Pembuatan Kerupuk Grafik Hubungan Antara Peningkatan Persentase Kadar Air selama Penyimpanan Kerupuk Goreng Grafik Hubungan Antara Peningkatan Persentase Aktivitas Air selama Penyimpanan Kerupuk Goreng Warna Kerupuk Goreng dengan selama Penyimpanan... 53

14 LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Form Uji Mutu Hedonik Kerupuk Goreng Form Uji Hedonik Kerupuk Goreng Hasil Uji Asumsi Peubah Mutu Hedonik Pemilihan Formulasi Terbaik Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Bau Daging Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Warna Daging Tahap Pemilihan Formulasi Terbaik Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Ketengikan Tahap Pemilihan Formulasi Terbaik Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Kekerasan Tahap Pemilihan Formulasi Terbaik Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Rasa Tahap Pemilihan Formulasi Terbaik Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Tingkat Rasa Daging Tahap Pemilihan Formulasi Terbaik Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Tingkat Bau Daging Tahap Pemilihan Formulasi Terbaik Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Warna Tahap Pemilihan Formulasi Terbaik Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Tingkat Ketengikan Ta - hap Pemilihan Formulasi Terbaik Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Kekerasan Tahap Pemilihan Formulasi Terbaik Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Bau Daging selama Penyimpanan Hasil Uji Asumsi Peubah Mutu Hedonik selama Penyimpanan Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Kekerasan Kerupuk selama Penyimpanan Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Ketengikan Kerupuk Goreng selama Penyimpanan Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Rasa Daging Kerupuk Goreng selama Penyimpanan Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Warna Keru puk Goreng selama Penyimpanan Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Warna Kerupuk Goreng selama Penyimpanan yang Berbeda... 72

15 21. Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Kekerasan Kerupuk Goreng selama Penyimpanan Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Bau Daging Kerupuk Goreng selama Penyimpanan Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Rasa Daging Kerupuk Goreng selama Penyimpanan Tabel Sidik Ragam untuk Kadar Air Formulasi Kerupuk Mentah yang Berbeda Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Ketengikan Kerupuk Goreng selama Penyimpanan Tabel Sidik Ragam untuk Aktivitas Air Kerupuk Goreng selama Penyimpanan Tabel Sidik Ragam untuk Kadar Air Kerupuk Goreng selama Pe nyimpanan Tabel Sidik Ragam untuk Kekerasan Kerupuk Goreng selama Pe nyimpanan Hasil Uji Asumsi Peubah Rendemen Kerupuk Mentah dan Rendemen Kerupuk Goreng Empat Formulasi Penambahan Tepung Da - ging yang Berbeda Hasil Uji Asumsi Peubah Densitas Kamba Kerupuk Goreng Empat Formulasi Penambahan Tepung Daging yang Berbeda Tabel Sidik Ragam untuk Rendemen Kerupuk Mentah Tabel Sidik Ragam untuk Rendemen Kerupuk Goreng Tabel Sidik Ragam untuk Densitas Kamba Kerupuk Goreng... 75

16 PENDAHULUAN Latar Belakang Daging merupakan sumber pangan hasil ternak dengan komposisi gizi berupa mineral besi (Fe) dan protein yang tinggi dengan asam amino yang lengkap tetapi memiliki sifat yang mudah rusak (perishable) sehingga diperlukan suatu bentuk pengolahan untuk tetap dapat mempertahankan nilai gunanya. Hal ini memacu pengembangan metode pengawetan daging secara modern untuk memenuhi kebutuhan daging masyarakat secara praktis dan higienis. Tepung daging sapi merupakan salah satu produk olahan daging yang bersifat higroskopis dengan kandungan air rendah (11,24%-15,24%) (Aditya, 2008). Sifat ini akan memudahkan penggunaan dalam pembuatan produk pangan yang memanfaatkan air sebagai media pencampurannya. Hal ini akan meningkatkan pemanfaatan tepung daging sapi sebagai bahan untuk memperkaya (enrichment) produk pangan sehingga didapatkan produk pangan yang mempunyai kandungan nutrisi daging khususnya protein yang alami. Kerupuk tapioka oleh sebagian masyarakat Indonesia dikenal sebagai makanan ringan dan praktis yang tidak memerlukan metode penyimpanan khusus dalam hal distribusi. Bahan utama pembuatan kerupuk berupa tepung tapioka dan bumbu rempah-rempah dengan pencampuran bahan tambahan makanan sintetis (BTM) untuk meningkatkan flavor yang relatif murah, membuat industri kerupuk dapat berproduksi secara massal dan kontinu. Kandungan gizi yang rendah dan cita rasa khas kerupuk yang biasa menjadi suatu peluang untuk membuat kerupuk yang lebih bernilai gizi dan memiliki flavor yang lezat. Penambahan bahan alami dan bergizi sebagai bahan pengisi pada kerupuk merupakan modifikasi dan improvisasi teknologi yang berpeluang menghasilkan teknologi produksi kerupuk. Teknologi pembuatan kerupuk dengan menambahkan atau mengubah sifat fungsionalnya sedemikian rupa sehingga bentuk, sifat dan penerimaan konsumen dapat lebih baik akan meningkatkan pangsa pasar kerupuk, baik nasional, maupun internasional. Berdasarkan permasalahan tersebut, diperlukan suatu usaha diversifikasi produk tepung daging sapi sehingga peningkatan nilai guna dari tepung daging sapi dapat dioptimalkan. Penggunaan tepung daging sapi sebagai bahan untuk memperkaya produk kerupuk diharapkan menjadi alternatif bagi orang yang

17 menginginkan diversifikasi makanan ringan sumber protein-mineral secara praktis dan alami dangan daya terima yang lebih baik berupa flavor daging yang nikmat. Penambahan tepung daging sapi dapat mempengaruhi lama penyimpanan kerupuk yaitu dapat menghasilkan produk yang rentan terhadap ketengikan, sehingga diperlukan metode penyimpanan khusus untuk mempertahankan masa simpan produk dari ketengikan. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis sifat fisik dan organoleptik pada kerupuk yang diberi penambahan tepung daging sapi selama penyimpanan kerupuk goreng. Tujuan Penelitian ini bertujuan menganalisis sifat fisik kerupuk yang diberi penambahan tepung daging sapi dan sifat organoleptik kerupuk daging sapi selama penyimpanan.

18 TINJAUAN PUSTAKA Daging Sapi Daging didefinisikan sebagai bahan pangan yang berasal dari hasil penyembelihan hewan ternak hidup secara benar dan telah mengalami proses deboning (pemisahan tulang) dari karkas. Standardisasi proses pemotongan hewan ternak harus diperhatikan untuk menghindari kontaminasi dari bahan pencemar berupa fisik, kimia, maupun mikrobiologi (Nel et al., 2003; Fahey dan Noor, 2001). Daging sapi merupakan bagian urat daging sapi yang melekat pada kerangka kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung, dan telinga (Dewan Standardisasi Nasional, 1995). Kualitas Daging Sapi Komposisi daging sapi segar terdiri atas 75% air, 19% protein, 3,5% substansi nonprotein larut dan 2,5 % lemak. Daging sapi mengandung berbagai asam amino baik essensial maupun non-essensial yang lengkap dan diperlukan oleh tubuh manusia. Keadaan asam amino tertentu dapat berbeda pada bagian yang berbeda dari karkas. Kadar asam amino dipengaruhi oleh spesies dan umur ternak serta proses pengolahan misalnya panas (Lawrie, 2003) dan radiasi ionisasi yang berpengaruh terhadap flavor, warna, dan masa penyimpanan (Montgomery et al., 2003). Protein sangat penting bagi pertumbuhan dan kesehatan anak-anak. Aktivitas fisik anak-anak yang tinggi dapat mempengaruhi metabolisme protein dalam tubuh sehingga diperlukan asupan nutrisi protein yang tinggi dan berkualitas (Bolster et al., 2001) Warna daging segar merupakan atribut terpenting dalam kualitas daging yang berhubungan langsung dengan daya terima konsumen. Warna daging ditentukan oleh mioglobin, pigmen kromoprotein dan haemoglobin mempunyai pengaruh yang relatif kecil terhadap warna daging. Faktor yang dapat mempengaruhi warna daging adalah pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres (tingkat aktivitas dan tipe otot), ph, dan oksigen (Soeparno, 1994; Fahey dan Noor, 2001). Nilai ph daging sapi dapat menentukan umur simpan, warna, keempukan, dan kualitas daging. Nilai ph normal daging berkisar 5,4 sampai 5,9. Nilai ph dibawah 5,4 akan membentuk daging yang lembek (pale soft exudative) dan nilai ph diatas 5,9 akan membentuk daging yang berwarna gelap (dark firm dry). Nilai ph dipengaruhi oleh proses pemotongan (Lawrie, 2003; dan Fahey dan Noor, 2001).

19 Flavor daging berasal dari reaksi kimia dalam daging dari bahan-bahan prekusornya. Salah satu prekusor yang digunakan dalam penentu flavor adalah lemak, pirolisis dari peptida-peptida dan asam-asam amino, degradsi gula-gula, degradasi tiamin dan ribonukleotida dan interaksi yang melibatkan gula-gula, asam amino, lemak, H 2 S dan NH 3 (Lawrie, 2003). Produksi volatil berasal dari asam amino dalam pirolisis melalui degradasi Strecker yang melibatkan deaminasi dan dekarboksilasi asam-asam amino ke dalam aldehid dan adanya reaksi Maillard yang diawali oleh interaksi asam-asam amino dan gugus karbonil (Murthy et al., 2003; Chun dan Ho, 1997). Zat volatil daging dapat berubah dengan adanya denaturasi protein. Hal ini berhubungan dengan suhu pengolahan daging yang menghasilkan senyawa turunan protein seperti pentanal dan heksanal yang bersifat volatil. Suhu lebih dari 70 o C dapat mendenaturasi protein daging yang meyebabkan komponen protein berubah (Grimm et al., 1997). Perubahan kualitas daging dipengaruhi oleh kandungan lemak daging yang dapat menimbulkan ransiditas (ketengikan) pada penyimpanan freezer kira-kira satu tahun. Ketengikan lemak akan terhambat apabila daging kering mengandung air hanya sampai kira-kira 1,5%, tetapi kadar air yang sangat rendah dapat mempengaruhi tekstur, flavor dan daya rehidrasi yang rendah (Soeparno, 1994). Penambahan antioksidan seperti vitamin E dapat menghambat reaksi oksidasi lemak dan mioglobin sehingga kualitas daging akan lebih baik (Wood et al., 2004). Konsentrasi asam α-linolenat (18:3) yang mendekati 3% dari lemak alami atau fosfolipida berefek terhadap kualitas daging yang rendah, menurunkan masa simpan (oksidasi lemak dan mioglobin) dan flavor. Daging ruminansia seperti sapi mengandung sumber n-3 PUFA yang relatif baik disebabkan karena adanya kandungan asam α-linolenat pada rumput yang digunakan sebagai pakan alami (Wood et al., 2004). Proses penyimpanan yang baik untuk daging sapi segar adalah pada ruangan khusus dan tertutup dengan temperatur kurang dari -15 o C (frozen meat) (Fahey dan Noor, 2001). Tepung Daging Sapi Kandungan zat besi yang tinggi (72% - 87%) menentukan kualitas dari daging sapi. Pemanasan daging sapi dapat menurunkan kandungan zat besi sampai 24% menjadi non heme yang lebih stabil (Boccia et al., 2002). Tepung daging sapi

20 merupakan salah satu produk diversifikasi daging sapi yang memanfaatkan metode pengeringan menggunakan oven dengan suhu 60 o C selama 24 jam. Pengeringan daging segar akan menghasilkan daging kering yang dapat diolah lebih lanjut menjadi tepung daging. Pembuatan tepung daging dari daging segar dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu pencucian, penggilingan, pengeringan, penepungan, dan pengayakan (Anggoro, 2007). Kandungan nutrisi tepung daging sapi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Nutrisi Tepung Daging Sapi per 100 g Tepung Daging Sapi Kadar Nutrisi Komposisi I II Kadar Air (%) - 11,24 15,44 Protein (%) 75,42-78,31 80,90 84,16 Lemak (%) 6,07 7,24 10,81 12,41 Fe (ppm) 64,41 85,30 81,36 85,96 Sumber : I : Anggoro, 2007 II : Aditya, 2008 Pengeringan bahan pangan dapat menurunkan kadar air bahan pangan tersebut, tetapi dapat meningkatkan persentase kandungan nutrisi seperti protein, lemak, dan mineral (Winarno, 1993). Kadar air yang rendah dapat meminimalkan pertumbuhan mikroorganisme. Pengeringan daging akan menurunkan kandungan air bahan sehingga konsentrasi bahan kering meningkat (Buckle et al., 1987). Gambar 1. Tepung Daging Sapi

21 Tepung daging sapi memiliki karakteristik berwarna coklat, kering, higroskopis (menyerap air), dan mempunyai aroma daging matang. Daging sapi segar dengan bobot 1 kg dapat dijadikan tepung daging sapi sebanyak 163,4 g (Anggoro, 1997). Kerupuk Kerupuk merupakan salah satu produk pangan yang berasal dari Indonesia, terbuat dari tepung tapioka, dicampur dengan bahan tambahan makanan dan dilakukan penggorengan menggunakan minyak sebelum disajikan. Kadar air kerupuk berkisar antara 10,3% sampai 11,3% (Fumiko dan Yasuko, 2000). Pati berperan dalam proses gelatinisasi dan berpengaruh terhadap volume pengembangan yang merupakan salah satu mutu kerupuk yaitu semakin besar volume pengembangan maka mutu kerupuk tersebut semakin baik (Wiriano, 1984). Sifat Kerupuk Kerupuk pada dasarnya dibagi menjadi dua jenis yaitu kerupuk halus dan kerupuk kasar. Kerupuk kasar dibuat hanya dari bahan pati yang ditambahkan bumbu, sedangkan kerupuk halus ditambah lagi dengan bahan berprotein seperti ikan sebagai bahan tambahan. Kerupuk tapioka mempunyai kandungan protein yang rendah. Hal ini dikarenakan kadar protein bahan baku yang digunakan (tepung tapioka) rendah. Penambahan ikan, tepung udang dan sumber protein lainnya pada adonan kerupuk diharapkan akan meningkatkan kandungan protein kerupuk yang dihasilkan. Pembuatan adonan merupakan tahap yang penting dalam pembuatan kerupuk mentah. Adonan dibuat dengan mencampurkan bahan-bahan utama dan bahan-bahan tambahan yang diaduk hingga diperoleh adonan yang liat dan homogen (Wijandi et al., 1975). Kerupuk dengan campuran tepung tapioka mempunyai mutu yang lebih baik daripada tanpa campuran dilihat dari warna, aroma, tekstur dan rasa (Suhardi et al., 2006). Kerupuk memiliki tekstur berongga dan renyah, hal ini merupakan salah satu mutu dari kerupuk. Sifat renyah pada produk kerupuk dan crackers berpengaruh terhadap kualitas produk pangan dan berperan dalam metode penyimpanan suatu produk pangan (Wiratakusumah et al., 1989). Sifat kerupuk mudah melempem, hal ini berkaitan dengan kelembaban udara lingkungan dan tingkat penyerapan air pada

22 produk kerupuk. Kelembaban udara di Indonesia yang relatif tinggi (80% - 90%) memacu teknologi pembentukan bahan pengemas yang tahan terhadap kondisi lingkungan dan sesuai dengan produk bahan yang dikemas (Setyawan, 1999). Bahan pengemas tahan uap air dan udara yang sering digunakan untuk produk kerupuk adalah plastik, kaleng, dan gelas (Syarief dan Halid, 1993). Bahan Baku Kerupuk Bahan pembuat kerupuk dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bahan baku dan bahan tambahan. Bahan baku adalah bahan yang digunakan dalam jumlah besar dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh bahan lain. Bahan tambahan adalah bahan yang diperlukan untuk melengkapi bahan baku dalam proses pembuatan kerupuk. Bahan tambahan dari kerupuk adalah garam, bumbu, bahan pengembang dan air. Bumbu yang digunakan dalam pembuatan kerupuk berfungsi untuk memperbaiki dan menambah cita rasa kerupuk (Djumali et al., 1982). Tepung Tapioka. Tepung tapioka merupakan hasil ekstraksi pati ubi kayu (Manihot utilisima) yang telah mengalami proses pencucian dan dilanjutkan dengan pengeringan dan penggilingan. Tepung tapioka digunakan sebagai bahan pembuatan kerupuk karena harga yang relatif murah (Suhardi et al., 2006). Tepung tapioka mempunyai karakteristik yang diinginkan bagi industri pangan. Penambahan tepung tapioka pada produk pangan dapat meningkatkan kandungan serat hingga 12%. Produk pangan tersebut dapat dimetabolisme dengan baik oleh tubuh (Niba dan Jackson, 1999). Kandungan nutrisi tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan Nutrisi per 100 g Tepung Tapioka Kandungan Nutrisi Jumlah Kadar Air (%) 12,00 Kadar Protein (%) 0,30 Kadar Lemak (%) 0,30 Kadar Abu (%) 0,50 Kadar Karbohidrat (%) 86,90 Sumber : Departemen Kesehatan RI, 1981

23 Penambahan tepung tapioka pada industri pangan berfungsi memperbaiki tekstur misalnya industri roti. Tepung tapioka memiliki bentuk granula yang unik, hal ini merupakan sifat khas yang membedakan tepung tapioka dengan yang lain (Winarno, 1992). Bentuk granula beberapa pati dapat dilihat pada Gambar A B C Gambar 2. Bentuk Granula : A. Pati jagung; B. Pati kentang; C. Tapioka Sumber : Winarno, 1992 Industri pangan menggunakan tepung tapioka karena tepung tapioka berwarna jernih apabila membentuk pasta, mempertinggi mutu penampilan dari produk akhir dan memiliki suhu gelatinisasi yang rendah. Suhu gelatinisasi adalah suhu awal mulai terjadinya pembengkakan granula (swelling) yang ditandai dengan naiknya viskositas. Waktu gelatinisasi adalah waktu mulai terjadinya gelatinisasi sampai gelatinisasi maksimal yang menunjukkan kemudahan tanak (Desphande et al, 1983). Titik gelatinisasi tepung tapioka (awal terbentuknya gel) terjadi pada suhu 60,3 o C - 69,5 o C, dengan waktu 2 menit 10 detik 5 menit 46 detik (Maarif, 1984). Gula. Gula adalah suatu istilah umum yang sering diartikan pada setiap karbohidrat yang digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya digunakan untuk menyatakan sukrosa, gula yang diperoleh dari bit atau tebu (Buckle et al., 1987). Penggunaan gula pada produk makanan berprotein dapat menyebabkan reaksi browning atau pencoklatan karena adanya reaksi antara gugus asam amino bebas seperti amin, asam amino, peptida dan protein dengan komponen karbonil yaitu partikel gula pereduksi pada gula (Fayle dan Gerrard, 2002; Murthy, 2003). Penggunaan gula pada bahan makanan bermanfaat terhadap peningkatan kualitas sensori terutama flavor bahan pangan (Reineccius, 1994). Penggunaan gula berpengaruh terhadap penurunan aktivitas air bahan pangan sehingga dapat berfungsi sebagai pengawet bahan pangan (Buckle et al., 1987). Penambahan gula berpengaruh terhadap kekentalan gel. Gula dapat menurunkan kekentalan gel karena gula dapat mengikat air, sehingga pembengkakan butir-butir pati terjadi lebih lambat yang

24 menyebabkan suhu gelatinisasi menjadi lebih tinggi. Keuntungan penggunaan gula adalah gel yang terbentuk lebih tahan terhadap kerusakan mekanik (Winarno, 1992). Daya larut yang tinggi dari sukrosa merupakan salah satu dari sifat-sifatnya yang penting. Keanekaragaman daya larut sukrosa dalam air pada suhu yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 3. Semakin tinggi suhu air yang digunakan untuk melarutkan gula, semakin tinggi daya larut sukrosa (Buckle et al., 1987). Tabel 3. Suhu dan Daya Larut Sukrosa dalam Air Suhu ( o C) Daya larut (%) Sumber: Buckle et al., ,1 72,4 84,1 Sukrosa (C 12 H 22 O 11 ) berbentuk kristal putih keras, kering dan diperoleh dari evaporasi bahan gula. Sifat khas dari gula adalah mempunyai daya larut dalam air yang tinggi. Sukrosa merupakan disakarida yang mempunyai dua unit rantai heksosa yaitu glukosa dan fruktosa. Sukrosa bukan gula pereduksi sehingga tidak reaktif terhadap proses pemanasan. Tingkat kemanisan dan karakteristik sukrosa terhadap suhu dan waktu dijadikan standar mutu produk (Reineccius, 1994). Garam. Penggunaan garam NaCl (natrium klorida) berperan terhadap pembentukan flavor, mengawetkan dan menstabilkan struktur produk akhir. Penambahan garam pada makanan dapat memberikan rasa yang spesifik karena sifat yang asin. Penggunaan secara umum pada produk pangan sebanyak 2%. Penggunaan terlalu berlebih dapat menyebabkan produk akhir sulit dicerna dalam saluran pencernaan dan menimbulkan efek mual pada orang yang mengkonsumsinya (Reineccius, 1994; Soeparno, 1994). Garam sebagai bahan tambahan makanan berperan untuk menambah cita rasa produk akhir. Garam mempengaruhi aktivitas air dari bahan dengan menyerap air sehingga aktivitas air menurun dengan menurunnya kadar air. Konsentrasi rendah (1%-3%) garam tidak bersifat membunuh mikroorganisme, tetapi hanya sebagai bumbu yang dapat memberi cita rasa gurih pada bahan pangan (Buckle et al., 1987).

25 Penggunaan gula akan membantu mereduksi total penggunaan garam untuk setiap penambahan gula (Reineccius, 1994). Air. Air (H 2 O) merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, tingkat kerenyahan produk akhir serta cita rasa makanan. Reaksi pembentukan gel memerlukan air sebagai penentu tingkat keberhasilan produk yang diinginkan (Winarno, 1992). Jumlah air yang digunakan dalam adonan kerupuk dapat mempengaruhi tingkat adonan kerupuk, penyerapan minyak dan kerenyahan produk akhir (Wiriano, 1984). Air dan penggunaan suhu tinggi dapat berpengaruh terhadap kecepatan reaksi dan kecepatan pelarutan bahan (Graham, 2000). Bawang Putih. Bawang putih (Allium sativum L.) mempunyai bau yang kuat, rasa tajam, dan bereaksi secara enzimatis membentuk produk allicin (C 3 H 5 -S-S-C 3 -H 5 ), yang memecah alil disulfida. Alil disulfida merupakan karakteristik bau khas bawang putih. Kandungan lain pada bawang putih yang menentukan bau adalah 20% dialil trisulfida, 6% alil propil disulfida, sejumlah kecil dietil disulfida, dialil polisulfida, alinin dan alisin. Bawang putih dapat dijadikan tepung dengan sifat higroskopis yang sangat tinggi (Farrell, 1990). Bawang putih mengandung antioksidan alami. Antioksidan secara alami dapat menetralkan radikal bebas yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil dan dapat melindungi komponen bahan pangan yang bersifat tidak jenuh (mempunyai ikatan rangkap). Antioksidan dalam dunia kesehatan dapat berfungsi sebagai pencegah sel kanker dan menyehatkan jantung (Medikasari, 2002). Bahan Pengembang (Baking Powder/NaHCO 3 ). Jenis bahan pengembang akan mempengaruhi tingkat viskositas atau kekentalan adonan kue. Secara umum komposisi baking powder terdiri atas asam (acidic agents) dan natrium bikarbonat. Mekanisme kerja dari baking powder adalah ketika kontak dengan air dan panas, akan bereaksi membentuk gas karbondioksida (CO 2 ) yang dapat mengontrol pengembangan volume adonan (Graham, 2000). Volume gas bersama udara dan uap air yang terperangkap dalam adonan akan mengembang sehingga diperoleh suatu bahan kue dengan struktur berpori (Winarno, 1992). Asam digunakan sebagai katalis

26 untuk mempercepat reaksi pembentukan CO 2. Air dan penggunaan suhu tinggi akan berpengaruh terhadap kecepatan reaksi dari bahan pengembang (Graham, 2000). Pengolahan Kerupuk Pengolahan bahan pangan merupakan salah satu fungsi untuk memperbaiki mutu bahan pangan, baik dari nilai gizi maupun daya cerna, memberikan kemudahan dalam penanganan, efisiensi biaya produksi, memperbaiki cita rasa dan aroma, menganekaragamkan produk dan memperpanjang masa simpan. Tahap pengolahan kerupuk dapat dijelaskan sebagai berikut. Pembuatan Adonan. Tahap pembuatan adonan merupakan tahap awal yang sangat penting. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan adonan adalah kehomogenan adonan. Pengadonan berpengaruh terhadap daya kembang kerupuk, yaitu berhubungan dengan udara dan gas (Lavlinesia, 1995). Proses pembuatan adonan kerupuk ada dua jenis, yaitu proses panas dan proses dingin. Pembuatan adonan proses panas yaitu pemasakan bahan tambahan kemudian dicampur dengan bahan utama. Pembuatan adonan proses dingin pada pembuatan adonan kerupuk yaitu mencampurkan semua bahan dan diaduk sampai homogen tanpa melalui pemasakan pendahuluan (Wiriano, 1984). Pengukusan. Proses pengukusan dilakukan setelah adonan mentah dicetak. Pengukusan ini bertujuan untuk menggelatinisasikan adonan sehingga dapat membentuk tekstur yang kompak. Pengukusan yang terlalu lama dapat menyebabkan air yang terperangkap oleh gel pati terlalu banyak, sehingga proses pengeringan dan penggorengan menjadi tidak sempurna. Adonan yang setengah matang menyebabkan pati tidak tergelatinisasi dengan sempurna dan akan menghambat pengembangan kerupuk (Elyawati, 1997). Menurut Djumali et al. (1982), adonan yang telah masak ditandai dengan seluruh bagian berwarna bening serta teksturnya kenyal. Lama pengukusan tergantung dari bentuk adonan yang dicetak. Elyawati (1997) menjelaskan pengukusan adonan yang baik dalam bentuk silinder dengan ukuran diameter ±5 cm adalah sekitar 25 menit dengan suhu o C. Pendinginan dan Pengirisan. Pendinginan adonan dilakukan setelah proses pengukusan. Pendinginan adonan akan menghasilkan tekstur kerupuk yang padat,

27 sehingga pengirisan mudah dilakukan. Pendinginan adonan dilakukan selama dua malam. Proses pendinginan dapat dipercepat dengan menggunakan bantuan referigerator (Wiriano, 1984). Pengirisan adonan dapat dilakukan dengan bantuan pisau atau alat pemotong khusus (slicer) dengan ketebalan 2-3 mm. Pengirisan adonan dengan ketebalan tersebut dapat memudahkan proses pengeringan. Proses pengirisan menggunakan slicer kerupuk dapat menghasilkan produk dengan ketebalan irisan yang sama sehingga efisiensi proses pengeringan yang seragam dapat tercapai. Hal ini berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas mutu kerupuk setelah penggorengan (Wiriano, 1984). Pengeringan. Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan sebagian besar air melalui penggunaan energi panas sehingga terjadi penurunan tingkat kadar air (Wiratakusumah et al., 1989). Pengurangan kadar air menyebabkan kandungan senyawa-senyawa bahan pangan seperti protein, karbohidrat, lemak dan mineral lebih tinggi, akan tetapi vitamin-vitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang. Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengering (artificial dryer) atau dengan penjemuran (sun drying) yaitu pengeringan dengan menggunakan sinar matahari (Winarno, 1993). Prinsip pengeringan menggunakan oven listrik adalah sistem pindah panas secara konveksi yaitu adanya perpindahan massa zat berupa udara panas yang ditiupkan melalui pemanas (heater) sebagai sumber panas. Udara panas ini akan menjadi panas konduksi pada rak oven, dinding oven dan wadah bahan pangan yang secara langsung akan mempengaruhi bahan pangan yang dioven (Fellow, 1990). Keuntungan dari sistem pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet, volume bahan menjadi lebih ringkas sehingga memudahkan distribusi produk, menghemat ruang pengangkutan dan pengemasan, serta berat bahan menjadi lebih ringan sehingga biaya pengangkutan menjadi lebih murah. Kerugiannya adalah sifat bahan asal menjadi berubah seperti bentuk, sifat-sifat fisik dan kimiawinya serta penurunan mutu (Wiratakusumah et al., 1989).

28 Penggorengan. Menggoreng adalah suatu metode penyiapan produk pangan secara cepat untuk menghasilkan flavor goreng yang spesifik menggunakan lemak atau minyak pangan (Shahidi et al., 1997). Makanan yang digoreng tidak saja menjadi matang, tetapi menjadi cukup tinggi suhunya sehingga menjadi coklat dan menghasilkan komponen flavor volatil sebagai hasil reaksinya (Fayle dan Gerrard, 2002). Penggunaan metode penggorengan deep frying baik untuk produk seperti kerupuk karena memerlukan minyak yang banyak (Winarno, 1999). Alat penggorengan yang berasal dari stainless steel lebih baik digunakan dibandingkan yang terbuat dari besi karena besi dapat merangsang terjadinya oksidasi lemak dan bersifat prooksidan (Winarno, 1999). Metode deep frying menggunakan minyak berlebih dengan suhu mencapai o C (Shahidi et al., 1997) membantu proses pengembangan kerupuk yang merata pada seluruh permukaan bahan yang digoreng. Minyak dan lemak pangan sangat mempengaruhi sifat fisik dan organoleptik suatu produk pangan dengan kandungan kalori mencapai 9 kkal/g. Minyak dan lemak merupakan bahan yang membawa vitamin terlarut seperti vitamin A, D, E dan K dan dapat meningkatkan flavor dan tekstur produk pangan (Akoh, 1996). Pemilihan minyak goreng dengan tujuan penggorengan deep frying harus memiliki nilai titik asap (smoke point) yang tinggi (Winarno, 1999). Minyak goreng sangat mudah teroksidasi. Hasil dari proses penggorengan selalu menghasilkan oksidasi lemak dan dapat menghasilkan komponen hasil oksidasi yang dapat menurunkan kualitas dari minyak goreng (Fayle dan Gerrard, 2002). Syarat mutu minyak goreng dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Syarat Mutu Minyak Goreng Komponen Maksimum Air 0,3% Bilangan Peroksida 1,0 mg oksigen/100 g Asam Lemak Bebas 0,3% Logam-logam Berbahaya negatif Keadaan (bau, warna, rasa) negatif Sumber: Departemen Perindustrian, 1985

29 Plastik Polipropilen (PP) Pengemasan bahan pangan didefinisikan sebagai suatu cara dalam memberikan kondisi sekeliling yang tepat bagi bahan pangan dan dengan demikian membutuhkan pemikiran dan perhatian yang lebih besar misalnya melindungi makanan dari kontaminasi, melindungi kandungan air dan lemaknya, mencegah masuknya bau dan gas, melindungi makanan dari sinar matahari, tahan terhadap tekanan atau benturan dan transparan (Buckle et al., 1987). Pewadahan produk ke dalam suatu wadah seperti bags, botol, box, tube atau plastik, disusun secara teratur merupakan salah satu contoh metode pengemasan bahan pangan. Pengemasan bertujuan untuk penyimpanan, distribusi dan menjaga produk supaya aman dari pencemaran baik secara biologis, fisik maupun kimia (Kropf, 2004). Syarat bahan pengemas adalah kuat, sifat permeabilitas yang tahan gas, transparan, anti kabut, menghambat masuknya gas seperti oksigen dan karbondioksida, permukaan yang halus dan mempunyai harga yang relatif murah (Montgomery et al., 2003). Pengemasan fleksibel mensyaratkan bahan yang akan dikemas tidak terkontaminasi dengan bahan-bahan kemasan itu sendiri. Oleh karena itu tinta dan solvent hasil printing tidak akan mengkontaminasi bahan yang dikemas karena kemasan sudah dilapis (Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2003). Plastik merupakan pengemas yang penting di dalam industri pangan. Kelebihan plastik dari kemasan lain diantaranya adalah harga yang relatif rendah, dapat dibentuk, dan mengurangi biaya transportasi. Secara umum, industri pangan banyak menggunakan jenis plastik polietilen (PE) dan polipropilen (PP) (Syarief dan Halid, 1993). Produk kering (kerupuk) yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Umumnya produk-produk ini mempunyai ERH rendah, oleh karena itu produk kering harus dikemas dalam kemasan yang mempunyai permeabilitas uap air yang rendah untuk mencegah produk menjadi tidak renyah dan teksturnya rusak. Plastik PP memiliki permeabilitas gas yang sedang (23 cc/cm/ cm 2 /cmhg)10 11 ) dibandingkan LDPE (80 cc/cm/ cm 2 /cmhg)10 11 ). Sifat PP yang lebih kaku dan tidak mudah sobek dibandingkan plastik PE (LDPE dan HDPE) menjadikan platik PP digunakan sebagai bahan pengemas produk makanan kering khususnya kerupuk yang mudah rusak (Syarief dan Halid, 1993).

30 Polipropilen (PP) termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer dari propilen. Polipropilen dikembangkan dari tahun 1950 dengan berbagai nama dagang seperti : bexphane, dynafilm, luparen, escon, ole fane, dan pro fax (Syarief dan Halid, 1993). Sifat polipropilen dibandingkan dengan plastik kemasan HDPE dan LDPE dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Sifat-sifat PP (Polypropilen) Dibandingkan dengan HDPE (High Density Poly Ethylene) dan LDPE (Low Density Poly Ethylene) Deskripsi LDPE HDPE PP Densitas pada (20 o C (g/cm 3 ) 0,92-0,925 0,93-0,96 0,90 Permeabilitas gas (cc/cm/ cm 2 /cmhg) Nitrogen ,4 - Oksigen Uap air Warna Tidak transparan Tidak transparan Transparan Rigiditas Tidak kaku Tidak kaku Kaku Sumber : Syarief dan Halid, 1993 Plastik PP memiliki sifat yang ringan (densitas 0,9 g/cm 3 ), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih. Plastik PP mempunyai sifat yang utama adalah tahan terhadap asam kuat, basa dan mempunyai ketahanan yang baik terhadap minyak dan lemak, stabil pada suhu tinggi, dan cukup mengkilap. Hal ini menyebabkan plastik PP digunakan pada produk pangan berlemak seperti kerupuk dibandingkan plastik HDPE dan LDPE (Syarief dan Halid, 1993). Perubahan Fisiko-Kimia selama Pengolahan dan Penyimpanan Perubahan sifat fisiko-kimia pada bahan pangan dapat terjadi pada saat pengolahan, distribusi, maupun penyimpanan. Sistem pangan yaitu produksi, pengadaan dan konsumsi, harus ditangani dengan baik. Sistem produksi, pengadaan, dan konsumsi bahan pangan banyak mengalami perubahan, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Perubahan-perubahan tersebut sebagian besar terjadi akibat adanya reaksi kimia di dalam bahan pangan maupun akibat pengaruh lingkungan (Winarno, 1992). Beberapa perubahan sifat fisiko-kimia selama pengolahan bahan pangan dijelaskan sebagai berikut.

31 Gelatinisasi Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula yang berbeda-beda. Jenis pati dapat dibedakan dengan pengamatan menggunakan mikroskop karena bentuk, ukuran, dan letak hilum yang unik. Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula patinya akan menyerap air dan membengkak. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu 55 o C 65 o C merupakan pembengkakan yang sesungguhnya, dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat kembali ke kondisi semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa dan bersifat tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut dinamakan gelatinisasi (Winarno, 1992). Granula pati mentah yang terdiri atas amilosa (helix) dan amilopektin (bercabang) Penambahan air akan memecahkan kristalinitas dan merusak keteraturan bentuk amilosa. Granula mengembang. Penambahan air panas menyebabkan granula mengembang lebih lanjut. Amilosa mulai berdifusi keluar dari granula Gambar 3. Mekanisme Gelatinisasi Sumber : Muchtadi et al., 1988 Struktur matriks amilosa membentuk suatu gel. Granula hanya mengandung amilopektin saja.

32 Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi yang dapat dilakukan dengan penambahan air panas. Pati yang telah mengalami gelatinisasi dapat dikeringkan, tetapi molekul-molekul tersebut tidak dapat kembali lagi ke sifatsifat semula. Bahan yang telah kering tersebut masih mampu menyerap air dalam jumlah yang cukup besar. Sifat inilah yang digunakan agar instant rice dan instant pudding dapat menyerap air dengan mudah, yaitu dengan menggunakan pati yang telah mengalami gelatinisasi (Winarno,1992). Gelatinisasi tepung tapioka terjadi pada tahap pengukusan akibat adanya penambahan air pada adonan dan proses pemanasan. Wianecki dan Kołakowski (2007) menjelaskan bahwa molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula pati dan membentuk gel yang bersifat sangat elastis. Kerenyahan Kerupuk merupakan salah satu produk makanan padat sehingga perlu dilakukan uji kerenyahan yaitu digigit dan didengarkan. Tekstur dalam bahan pangan bersama flavor lebih berperan dalam penerimaan atribut sensori dan mutu dalam bahan pangan. Kecenderungan panelis lebih mementingkan penampilan, flavor, tekstur dan bentuk dalam penerimaan atribut sensori pangan (Hutchings, 1999). Tekstur bahan pangan dipengaruhi oleh aktivitas air (a w ) bahan tersebut. Menurut FSA (2005) tingkat a w bahan pangan berpengaruh terhadap perubahan karakteristik tekstural seperti kerapuhan dan kerenyahan (dikenal sebagai bunyi yang dihasilkan pengunyahan sereal sarapan, yang hilang pada aktivitas air di atas 0,65). Pemotongan dalam bentuk lembaran tipis dan penggunaan metode penggorengan deep frying dapat mempengaruhi tekstur bahan pangan terutama terhadap pembentukan porositas produk hasil penggorengan (Sulaeman et al., 2004). Ketengikan Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Faktor yangmempercepat ketengikan adalah cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co, dan Mn, logam feritin seperti hematin, hemoglobin, mioglobin, klorofil, dan enzim-enzim lipoksidase (Winarno, 1992). Uji ketengikan dilakukan dengan menggunakan uji

33 thiobarbiturat (TBA). Lemak yang tengik akan bereaksi dengan asam thiobarbiturat menghasilkan warna merah. Intensitas warna menunjukkan derajat ketengikan (Syarief dan Halid, 1993). Perubahan kimia atau penguraian lemak dan minyak dapat mempengaruhi bau dan rasa bahan makanan. Kerusakan lemak dan minyak menurunkan nilai gizi serta menyebabkan penyimpangan rasa dan bau. Penyimpangan bau dapat disebabkan oleh adanya senyawa aldehid dan keton hasil penguraian radikal bebas membentuk zat volatil yang bersifat tengik (Winarno, 1992). Reaksi Maillard Proses penggorengan metode deep frying menggunakan minyak jagung akan menghasilkan 29 komponen volatil yang mengandung nitrogen akibat reaksi Maillard yang berpengaruh terhadap palatabilitas produk pangan (Chun dan Ho, 1997). Reaksi Maillard merupakan reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat. Warna coklat pada pemanggangan daging dan roti adalah warna yang dikehendaki. Penggunaan suhu penggorengan berkisar o C dianjurkan untuk menghindari reaksi pencoklatan (Winarno,1999; Shahidi et al., 1997). Menurut Ismunandar (2005), reaksi Maillard dapat terjadi pada bahan pangan yang mengandung gula pereduksi dan protein, dalam kondisi yang memungkinkan reaksi tersebut terjadi, yaitu tergantung pada suhu, ph, dan aktivitas air (a w ) selama penyimpanan bahan pangan yang cukup lama. Maillard terjadi dengan cepat pada nilai a w antara ( ) (Fayle dan Gerrard, 2002; Murthy et al., 2003; Purnomo, 1995). Reaksi Maillard dapat terjadi selama proses penyimpanan bahan pangan dan dapat mempengaruhi nilai gizi, warna dan tekstur. Aktivitas energi pada pembentukan senyawa Amadori menurun dengan meningkatnya nilai a w dan terhenti pada nilai a w kira-kira 0,50. Kecepatan reaksi sangat tergantung pada suhu dan nilai a w yang lebih besar dari 0,50. Pengaturan nilai a w merupakan salah satu teknik dalam mengendalikan reaksi Maillard (Purnomo,1995). Perubahan fisiko-kimia selama penyimpanan produk pangan sangat mempengaruhi kualitas produk pangan terutama produk pangan berlemak dan berminyak. Molekul lemak yang terdapat pada produk pangan mengalami reaksi kimia selama proses separasi bahan segar dan selama penyimpanan. Bahan kimia

34 hasil reaksi dari lemak yang terjadi pada proses pengolahan dapat berpengaruh menguntungkan maupun merugikan yang menyebabkan perubahan flavor bahan pangan (Shahidi et al., 1997). Kurva hubungan aktivitas air dengan tingkat reaksi dalam pangan dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Kurva Hubungan Aktivitas Air dengan Tingkat Reaksi dalam Pangan Sumber : Labuza dan Saltmarch, 1981 Sifat Sensori Bahan Cara penilaian mutu suatu bahan pangan dibagi menjadi dua cara yaitu secara objektif dan subjektif. Pengujian objektif merupakan suatu pengujian menggunakan alat atau instrumen dan faktor manusia dapat diabaikan, sehingga pengukuran menjadi lebih objektif. Penilaian terhadap warna, rasa, aroma, dan kerenyahan memegang peranan penting dalam menentukan daya terima produk kerupuk goreng. Pengujian secara subjektif (uji organoleptik) adalah pengujian dengan bantuan panca indera manusia untuk menilai karakteristik mutu, dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sifat-sifat cita rasa makanan serta daya terima terhadap masyarakat. Pengujian secara subjektif dapat dilakukan dengan menggunakan uji hedonik (kesukaan) dan uji mutu hedonik. Jumlah panelis yang diperlukan untuk uji mutu hedonik adalah minimal 30 orang dan uji hedonik adalah minimal 80 orang (Damayanthi dan Mudjajanto, 1998).

35 Warna. Faktor warna sangat menentukan penilaian bahan pangan sebelum faktorfaktor lain dipertimbangkan secara visual. Penerimaan warna suatu bahan berbedabeda tergantung dari faktor alam, geografis, dan aspek sosial masyarakat penerima. Warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan (Winarno, 1992). Baik atau tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan dapat ditandai dengan adanya warna yang seragam dan merata. Hal ini juga dipengaruhi indera penglihatan dari panelis dan adanya pencahayaan yang sesuai pada saat penyajian (Hutchings, 1999). Warna pada bahan pangan dapat berasal dari pigmen alami bahan pangan itu sendiri, reaksi karamelisasi, reaksi Maillard, reaksi senyawa organik dengan udara, dan penambahan zat warna, baik alami maupun sintetik (Winarno, 1992). Flavor dan Bau. Penyerapan minyak dalam struktur bahan yang memerlukan proses penggorengan serta adanya bumbu-bumbu seperti bawang putih, garam dan gula yang ditambahkan ke dalam formulasi dapat mempengaruhi aroma dan flavor bahan pangan (Winarno, 1992). Flavor bahan pangan berpengaruh sangat penting dibandingkan warna produk setelah panelis merasakan bahan pangan tersebut. Aroma dan flavor berperan dalam penerimaan konsuman setelah bahan pangan dikonsumsi, apakah bahan pangan tersebut diterima atau tidak (Hutchings, 1999). Rasa suatu bahan pangan sesungguhnya terdiri atas tiga komponen yaitu bau, rasa dan rangsangan mulut. Bau baru dapat dikenali apabila berbentuk uap, dan molekul-molekul bau tersebut harus menyentuh silia sel olfaktori, dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls listrik oleh ujung-ujung syaraf olfaktori. Bau dapat dideteksi karena adanya depolarisasi elektris sel olfaktori apabila molekul senyawa bau mengenai sel, sehingga isyarat akan diteruskan ke otak. Penerimaan indera pembau akan berkurang oleh adanya senyawa tertentu misalnya formaldehida (Winarno, 1992). Proses penyimpanan dapat menyebabkan reaksi oksidasi bahan pangan yang berlemak. Oksidasi akan menghasilkan senyawa peroksida yang dapat menimbulkan ketengikan. Proses pengemasan akan mengurangi reaksi oksidasi, sehingga bahan pangan tetap awet dan layak untuk dikonsumsi (Winarno, 1994). Rasa. Tekstur dan konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi cita rasa yang ditimbulkan oleh bahan tersebut. Perubahan tekstur dan konsistensi bahan dapat

36 mengubah rasa dan bau yang timbul karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel olfaktori dan kelenjar air liur. Gerakan lidah akan mempercepat timbulnya respon terhadap rasa. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa lain (Winarno, 1992).

37 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak dan Laboratorium Organoleptik, Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Analisis Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan, yaitu dari bulan Nopember 2007 sampai Maret Materi Bahan yang digunakan dalam pembuatan kerupuk adalah tepung tapioka, garam, gula, bawang putih, baking powder, minyak goreng, air mineral dan tepung daging sapi. Bahan yang digunakan sebagai pembungkus kerupuk goreng adalah plastik polyprophylen (PP) ukuran ½ kg dan plastik PP ukuran 5 kg. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah panci, nampan, baskom, alat penggorengan, sendok, pisau, alat penusuk kayu, kompor gas, gelas plastik, piring kertas, jam weker, termometer, timbangan analitik digital, jangka sorong digital, Rh meter, alat tulis, sealer, oven listrik dan slicer kerupuk. Bahan yang digunakan untuk analisis derajat gelatinisasi adalah larutan iodium, aquades, HCl 0,5 M, dan NaOH 10 M. Peralatan yang digunakan untuk analisis produk adalah Waring blender, tabung reaksi, sentrifuse dan spektrofotometer. Bahan yang digunakan untuk analisis aktivitas air adalah larutan NaCl. Peralatan yang digunakan untuk uji aktivitas air adalah a w meter, kertas saring dan cawan Petri. Peralatan yang digunakan untuk analisis tingkat kekerasan adalah rheoner tipe RE 305. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan untuk analisis organoleptik pemilihan formulasi terbaik menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan penambahan tepung daging sapi pada taraf 0%, 10%, 20%, dan 30% dari total tepung tapioka yang digunakan. Model matematis yang digunakan adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1991): Y ij = μ + τ i + ε ij

38 Keterangan : Y ij μ = Hasil pengukuran = Rata-rata umum τ i = Pengaruh perlakuan formulasi ke-i (formulasi 0%, 10%, 20%, dan 30%) ε ij = Galat percobaan Rancangan percobaan untuk analisis fisik berupa aktivitas air, tingkat kekerasan, dan derajat gelatinisasi menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan lama penyimpanan yang berbeda. Lama penyimpanan yang digunakan adalah 0 hari, 14 hari, 28 hari, dan 42 hari dengan tiga kali ulangan. Model matematis yang digunakan adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1991): Keterangan : Y ij μ Y ij = μ + τ i + ε ij = Hasil pengukuran = Rata-rata umum τ i = Pengaruh perlakuan metode lama penyimpanan ke-i (penyimpanan hari ke-0, 14, 28, dan 42) ε ij = Galat percobaan Data pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati diuji dengan analisis ragam (ANOVA). Jika perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata maka akan dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel dan Torrie, 1991). Hasil penilaian uji organoleptik untuk uji mutu hedonik diuji dengan analisis ragam (ANOVA). Data uji hedonik dan mutu hedonik yang tidak memenuhi uji asumsi untuk analisis ragam (keaditifan model, kehomogenan ragam, kebebasan galat, dan kenormalan galat) diuji menggunakan metode non-parametrik Kruskall- Wallis (Steel dan Torrie, 1991). Jika diantara perlakuan terdapat perbedaan nyata, maka dilakukan uji banding rataan ranking (Gibbons, 1975). Ri Rj < Z [ K(N+1) / 6 ] 0,5

39 Keterangan : Ri = Nilai rataan rangking ke-i Rj = Nilai rataan rangking ke-j K = Jumlah level dalam perlakuan N = Jumlah total data Jika Ri Rj lebih dari Z [ K(N+1) / 6 ] 0,5 maka perbedaan Ri dan Rj adalah nyata pada taraf Z, dengan taraf α = 0,05. Prosedur Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pemilihan formulasi kerupuk goreng terbaik melalui uji hedonik dengan formulasi penambahan tepung daging sapi 0%, 10%, 20% dan 30% dengan lima atribut sensori yaitu kekerasan, bau, rasa, warna dan tingkat ketengikan. Tahap kedua adalah analisis penerimaan konsumen terbaik lama penyimpanan yang berbeda. Analisis yang dilakukan adalah analisis sifat fisik dan organoleptik kerupuk formulasi terbaik dengan lama penyimpanan ke-0, 14, 28 dan 42 hari pada suhu ruang (27-28 o C). Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama dilakukan untuk mencari formulasi terbaik kerupuk goreng dengan empat taraf penambahan tepung daging sapi yaitu 0%, 10%, 20%, dan 30% dari 100% tapioka. Hasil pemilihan formulasi kerupuk goreng terbaik adalah formulasi dengan sifat sensori berupa warna, rasa daging, bau daging, tingkat kekerasan, dan tingkat ketengikan yang disukai oleh panelis. Pemilihan formulasi terbaik dilakukan dengan pemberian skor hasil uji hedonik (kesukaan) terhadap empat formulasi kerupuk goreng. Pembuatan kerupuk dilakukan dalam dua tahap utama pembuatan adonan. Tahap pertama pembuatan adonan kerupuk adalah pembuatan biang adonan yaitu seperempat bagian tepung tapioka beserta bumbu berupa bawang putih, gula, garam dan baking powder yang telah dihomogenkan menggunakan air dimasak menggunakan api kecil. Biang adonan berfungsi sebagai pengikat bahan-bahan lain sehingga dapat membentuk adonan yang kompak. Total penambahan air sebanyak 72% dari total bahan yang digunakan.

40 Tahap kedua pembuatan kerupuk adalah penambahan tepung daging dan sisa tepung tapioka (3/4 bagian) pada adonan biang sudah jadi kemudian dihomogenkan. Adonan yang telah jadi dimasukkan ke dalam cetakan ukuran 7x18x7 cm kemudian dilakukan pengukusan selama 2 jam. Pengukusan ini dilakukan untuk menggelatinisasikan tepung tapioka dan memudahkan pemotongan adonan kerupuk karena hasil dari proses pengukusan dapat membentuk adonan yang kompak dan solid. Adonan hasil pengukusan didinginkan di suhu ruang. Setelah adonan dingin, adonan disimpan pada suhu 4 o C selama 18 jam. Tahap selanjutnya adalah pengirisan adonan hasil proses pengukusan menggunakan slicer kerupuk dengan ketebalan maksimal 3 mm dan dikeringkan menggunakan oven listrik pada suhu 50ºC selama 18 jam membentuk kerupuk mentah. Penggorengan kerupuk mentah dilakukan dengan metode penggorengan deep frying pada suhu o C. Kerupuk matang ditandai dengan pengapungan kerupuk pada permukaan atas minyak goreng. Biang adonan kerupuk yang sudah jadi dianalisis sensori secara deskriptif terhadap tingkat warna dan tekstur biang adonan. Analisis biang adonan, kerupuk mentah, dan kerupuk goreng dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Analisis Biang Adonan, Kerupuk Mentah, dan Kerupuk Goreng Bahan Analisis Peubah yang Diukur Metode Biang Adonan Warna Tekstur Deskriptif Deskriptif Kerupuk Mentah Tingkat Rendeman Warna Tekstur Pengukuran Manual Deskriptif Deskriptif Kerupuk Goreng Tingkat Rendemen Densitas Kamba Organoleptik Pengukuran Manual Pengukuran Manual Uji Hedonik Penelitian Tahap Kedua Hasil yang didapatkan pada penelitian tahap kedua selanjutnya dianalisis fisik dan organoleptik dengan lama penyimpanan yang berbeda yaitu 0 hari, 14 hari, 28 hari, dan 42 hari. Hari ke-2 setelah pengeringan menggunakan oven listrik dilakukan analisis fisik berupa rendemen dan derajat gelatinisasi dan proses penggorengan

41 kerupuk mentah. Analisis yang dilakukan terhadap kerupuk mentah, dan kerupuk goreng formulasi terbaik secara hedonik dengan berbagai persentase penambahan tepung daging sapi dapat dilihat pada Tabel 7. Formulasi bahan pembuatan kerupuk dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 7. Analisis Kerupuk Mentah, dan Kerupuk Goreng Formulasi Terbaik secara Hedonik selama Penyimpanan Bahan Analisis Peubah yang Diukur Metode Kerupuk Mentah Derajat Gelatinisasi* Analisis Derajat Gelatinisasi Kerupuk Goreng Tingkat Rendemen ** Densitas Kamba ** Tingkat Kekerasan *** Aktivitas Air *** Organoleptik *** Pengukuran Manual Pengukuran Manual Pengukuran menggunakan rheoner Pengukuran menggunakan a w meter Uji Hedonik dan Mutu Hedonik Keterangan : * = analisis yang dilakukan pada H-2 setelah keluar dari oven listrik ** = analisis yang dilakukan pada H-0 *** = analisis yang dilakukan pada H-0, H-14, H-28, dan H-42 Bahan Tabel 8. Formulasi Pembuatan Kerupuk Daging per 100 g Tepung Tapioka Formulasi 0% 10% 20% 30% g % g % g % g % Tepung daging , , ,06 Tepung tapioka , , , ,53 Bawang putih 1 0,94 1 0,86 1 0,79 1 0,74 Gula 1,5 1,42 1,5 1,29 1,5 1,19 1,5 1,10 Garam 3 2,83 3 2,59 3 2,38 3 2,21 Baking powder 0,5 0,47 0,5 0,44 0,5 0,40 0,5 0,36 Total Keterangan: Total penambahan air (80-90 o C) pada setiap formulasi sebesar 72% dari total bahan sampai adonan menjadi kalis dan tidak lengket. Pengukuran tingkat rendemen hanya dilakukan pada hari ke-0 pengamatan, karena pengukuran rendemen hanya membutuhkan data (berat) awal dan akhir produk dari proses pembuatan kerupuk. Pengukuran densitas kamba hanya dilakukan pada hari ke-0 pengamatan, karena hanya untuk mengetahui daya kembang produk kerupuk

42 setelah dilakukan proses penggorengan. Kerupuk goreng kemudian dikemas menggunakan plastik polipropilen (PP), dirapatkan dan disimpan pada suhu ruang (26-27 o C) dengan lama penyimpanan 0, 14, 28, dan 42 hari. Diagram alir proses pembuatan kerupuk dapat dilihat pada Gambar 5. Tepung daging sapi 0%,10%, 20%, dan 30% Air 40%, Gula 2%, Garam 3%, Bawang Putih 1%, 0,5% Soda Kue, 25% Tepung Tapioka Air 60% (80-90 o C) Dipanaskan Dihomogenkan Pembuatan adonan dengan penambahan sisa tapioka(75%) dan air panas sampai terbentuk adonan yang kalis Pencetakan Pengukusan 120 menit Pendinginan dalam Referigerator (4 o C) selama 18 jam Pengirisan dengan ketebalan 3 mm Pengeringan menggunakan oven listrik 50 o C, 18 jam Didiamkan 48 jam Penggorengan deep frying ( o C) Kerupuk goreng Gambar 5. Proses Pembuatan Kerupuk Daging Sapi berdasarkan Metode Wiriano (1984) yang Dimodifikasi Sumber: Wiriano, 1984

43 Pengukuran Peubah Peubah yang diamati adalah rendemen, densitas kamba, aktivitas air, derajat gelatinisasi, pengujian tingkat kekerasan dan analisis organoleptik. Pengukuran peubah yang dilakukan pada penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Rendemen (AOAC, 1995). Nilai rendemen kerupuk dianalisis untuk mengetahui efisiensi proses pembuatan kerupuk. Rendemen merupakan persentase perbandingan bobot antara produk akhir dengan produk sebelumnya. Pengukuran rendemen yang dilakukan terdiri atas tiga jenis yaitu rendemen kerupuk mentah dari adonan, rendemen kerupuk goreng dari adonan, dan rendemen kerupuk goreng dari kerupuk mentah. Pengukuran rendemen produk kerupuk dilakukan dengan menimbang bobot kerupuk yang dihasilkan, kemudian dibandingkan dengan bobot produk sebelumnya. Pengukuran rendemen dapat dilakukan dengan menggunakan persaman sebagai berikut: Bobot produk akhir Rendemen kerupuk = X 100% Bobot produk sebelum proses Densitas Kamba (Lavlinesia, 1995). Pengukuran densitas kamba (derajat pengembangan produk) pada kerupuk dilakukan dengan menggunakan 5 sampel kerupuk untuk setiap kali pengukuran. Sampel dimasukkan dalam posisi vertikal dalam wadah gelas yang seperempat bagiannya sudah diisi manik-manik, kemudian wadah diisi kembali dengan manik-manik sampai penuh dengan membentuk permukaan yang rata. Volume manik-manik yang digunakan, baik tanpa, maupun dengan contoh diukur menggunakan gelas ukur. Volume jenis kerupuk mentah dan kerupuk goreng ditentukan dengan rumus: V2 V1 Volume jenis kerupuk (Vn) = Gram sampel Keterangan : V1 = volume manik-manik dalam wadah gelas tanpa berisi contoh V2 = volume manik-manik dalam wadah gelas berisi contoh Selisih volume jenis kerupuk goreng dengan volume jenis kerupuk mentah merupakan volume mengembang (densitas kamba) kerupuk yang dapat dihitung dengan rumus:

44 Vn 1 Vn 2 Densitas Kamba (%) = x 100% Vn 2 Keterangan : Vn 1 = volume jenis kerupuk goreng Aktivitas Air (AOAC, 1999) Vn 2 = volume jenis kerupuk mentah Aktivitas air adalah rasio dari tekanan uap air produk dengan tekanan uap air murni pada suhu yang sama. Aktivitas air diukur dengan menggunakan a w meter. Sebelum digunakan alat dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan larutan NaCl jenuh pada kertas saring yang diletakkan pada cawan, kemudian nilai a w diatur sampai dengan 0,7509. Sampel diletakkan dalam cawan pengukur, setelah ditutup dan dikunci, alat dijalankan sampai menunjukkan tanda completed, nilai a w yang terbaca dicatat. Analisis Derajat Gelatinisasi Derajat gelatinisasi merupakan rasio antar pati tergelatinisasi dengan total pati dari produk yang dihitung. Pengukuran dilakukan menggunakan spektrofotometer yang mengukur kompleks pati iodin yang terbentuk dari suspensi contoh se - belum dan sesudah dilarutkan dalam alkali (Wooton et al.,1971). Analisis derajat gelatinisasi dilakukan dengan menghaluskan sampel produk sampai 60 mesh, kemudian ditimbang sebanyak 1 gram dan didispersikan dalam 100 ml air dalam Waring blender selama 1 menit. Hasil suspensi kemudian disentrifuse pada suhu ruang selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0,5 ml secara duplo, lalu masing-masing ditambah 0,5 ml HCl 0,5 M dan dijadikan 10 ml dengan akuades. Salah satu tabung duplo tersebut ditambah 0,1 ml larutan iodium. Contoh kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Suspensi lain disiapkan dengan cara mendispersikan 1 gram produk yang sudah dihaluskan pada 95 ml air dan ditambah 5 ml NaOH 10 M. Suspensi dikocok selama 5 menit lalu disentrifuse (suhu ruang, 15 menit) kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0,5 ml secara duplo, lalu masing-masing ditambah 0,5 ml HCl dan dijadikan 10 ml dengan aquades. Salah satu tabung duplo tersebut ditambah

45 dengan 0,1 ml larutan iodium. Contoh diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 600 nm. Pengamatan dilakukan sebagai berikut : 1. Larutan yang ditambah HCl, sebagai blanko larutan pati tergelatinisasi. 2. Larutan bahan ditambah NaOH ditambah HCl sebagai total pati 3. Larutan ditambah NaOH ditambah HCl dan iodium sebagai total pati derajat gelatinisasi dihitung dengan Nilai absorbansi pati tergelatinisasi % (Derajat gelatinisasi) = x 100% Nilai total absorbansi pati Pengujian Tingkat Kekerasan (Analisis Tekstur) Pengujian tingkat kekerasan dilakukan menggunakan alat rheoner. Probe yang digunakan merupakan probe yang dapat menekan kerupuk sampai dengan kerupuk pecah. Beban yang digunakan adalah 1 volt, test speed 1 mm/s dan chart speed 40 mm/menit. Diameter silinder probe 3 mm. Contoh diletakkan pada probe outputnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan (g) dan waktu (s). Nilai kekuatan kerupuk ditunjukkan pada puncak kurva dengan satuan gram force (gf). Ilustrasi hasil pengukuran tingkat kekerasan menggunakan alat rheoner dapat dilihat pada Gambar 7. Keterangan : a, b, dan c : puncak kurva dengan dengan satuan gram force Gambar 7. Ilustrasi hasil pengukuran tingkat kekerasan menggunakan alat rheoner Analisis Sifat Organoleptik Uji organoleptik yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap pertama adalah uji organoleptik pemilihan formulasi terbaik kerupuk goreng yang dilakukan penambahan tepung daging sapi yang berbeda (0%, 10%, 20%, dan 30%) dengan menggunakan uji hedonik. Pemilihan formulasi terbaik dilakukan dengan merangking tingkat kesukaan hasil uji hedonik. Tahap kedua adalah uji organoleptik kerupuk goreng dengan perlakuan empat periode penyimpanan yang berbeda yaitu 0, 14, 28, dan 42 hari dengan menggunakan

46 uji hedonik dan mutu hedonik. Kriteria penilaiannya meliputi warna, rasa daging, bau daging, kekerasan, dan ketengikan pada kerupuk goreng. Metode pengujian organoleptik dibantu menggunakan air tawar matang dan hangat untuk menetralkan sensori pengecap setelah melakukan penilaian terhadap satu contoh makanan dan beralih ke sampel yang lain (Damayanthi dan Mudjajanto, 1995). Panelis diminta mengungkapkan tanggapan terhadap kerupuk goreng pada empat formulasi penambahan tepung daging yang berbeda dan kerupuk goreng dengan tiga periode penyimpanan yang berbeda. Uji hedonik dilakukan dengan menggunakan panelis tidak terlatih sebanyak 80 orang. Metode uji yang dilakukan menggunakan uji hedonik yang meliputi warna, rasa daging, bau daging, kekerasan, dan ketengikan dengan lima tingkat kesukaan yaitu skor nilai 1: sangat tidak suka; 2: tidak suka; 3: agak suka; 4: suka; dan 5: sangat suka. Uji mutu hedonik dilakukan dengan menggunakan panelis semi terlatih sebanyak 30 orang. Metode uji yang dilakukan adalah menggunakan uji skalar dengan lima atribut mutu yang meliputi : intensitas warna, tingkat rasa daging, tingkat bau daging, tingkat kekerasan, dan tingkat ketengikan. Keterangan nilai pada uji skalar dapat dilihat sebagai berikut : Warna : 1 10 Rasa daging : 1 10 Bau daging : 1 10 Tingkat kekerasan : 1 10 = = = = = = = = sangat putih coklat tua (pembanding yang digunakan adalah tepung gula aren) sangat rasa daging matang (pembanding yang digunakan adalah daging yang dioven pada suhu 85 o C selama 20 menit) sangat tidak bau daging matang sangat tidak bau daging sangat bau daging matang (pembanding yang digunakan adalah daging yang dioven pada suhu 85 o C selama 20 menit) Sangat keras sangat tidak keras (pembanding yang digunakan adalah dua kerupuk standar (kerupuk merah dan kerupuk kuning) yang

47 Tingkat ketengikan : 1 10 = = sudah diukur secara objektif menggunakan rheoner). sangat bau tengik (pembanding yang digunakan adalah tepung tulang rawan yang sudah tengik) sangat tidak bau tengik Tahap pemilihan formulasi terbaik dilakukan dengan metode skoring hasil data uji hedonik penelitian tahap pertama. Kriteria penilaian berdasarkan besarnya rata-rata data yang diperoleh dengan nilai skor 0, 1, 2, 3, dan 4. Nilai tertinggi menunjukkan data dengan rata-rata penilaian terbesar dan berbeda secara statistik. Data yang sama secara statistik diberi nilai 0. Data yang telah diberi skor kemudian dijumlahkan sesuai atribut mutu yang dinilai. Hasil skoring ditampilkan dalam bentuk tabel hasil skoring uji hedonik pemilihan formulasi terbaik kerupuk goreng. Pembuatan kerupuk dilakukan setiap 14 hari sekali, kemudian disimpan. Setelah penyimpanan kerupuk goreng mencapai 42 hari, sampel kerupuk goreng hari ke-0, 14, 28, dan 42 dilakukan pengujian organoleptik secara bersama-sama dalam satu hari pengujian (hari ke 42). Data hasil pengujian dianalisis secara statistik (ANOVA). Analisis statistik hanya dilakukan pada penyimpanan hari ke-14, 28, dan 42.

48 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama merupakan tahap pemilihan formulasi terbaik dari berbagai penambahan tepung daging sapi. Pemilihan formulasi bahan proses pembuatan kerupuk merupakan formulasi yang dapat menghasilkan adonan dengan sifat homogen dan dapat diterima masyarakat secara sensori. Penampilan fisik, citarasa, flavor, kekerasan, dan rasa sangat berpengaruh terhadap penerimaan masyarakat terhadap suatu produk pangan. Penerimaan konsumen terhadap kerupuk dilakukan dengan analisis uji hedonik atau kesukaan dan mutu hedonik. Sifat Fisik Adonan Sifat fisik adonan kerupuk merupakan tahap awal pembentukan karakteristik dari kerupuk. Karakteristik ini dapat berpengaruh terhadap sifat fisik pada tahap pembuatan kerupuk selanjutnya. Karakteristik yang diamati adalah tingkat kehomogenan adonan, warna adonan kerupuk setelah proses pengukusan, dan tekstur kerupuk, baik kerupuk mentah maupun kerupuk goreng. Kehomogenan adonan berpengaruh terhadap tingkat warna dan tekstur adonan. Kehomogenan adonan dipengaruhi oleh proses pengadukan yang merata dan penggunaan air untuk melarutkan adonan. Proses pembuatan adonan kerupuk ada dua tahap yaitu tahap pembuatan biang adonan dan tahap pembuatan adonan kerupuk. Penambahan air pada proses pembuatan biang adonan adalah sebanyak 40% dari total air yang digunakan dalam pembuatan kerupuk. Hal ini menyebabkan perbedaan terhadap perbandingan jumlah air yang digunakan dalam pembuatan biang adonan (Tabel 9). Biang adonan formulasi 30% penambahan tepung daging sapi memiliki tingkat kekenyalan yang lebih tinggi dibandingkan formulasi 0%, 10%, dan 20%. Hal ini disebabkan total penambahan air pada pembuatan biang adonan lebih besar yaitu 39,17%. Menurut Winarno (1992), kadar air yang terserap oleh pati hanya mencapai 30%. Kadar air diatas 30% menyebabkan tekstur menjadi lembek. Warna biang adonan formulasi 0% tepung daging adalah putih keruh (Tabel 9). Warna bening pada adonan biang terbentuk pada formulasi 10%, 20%, dan 30%

49 penambahan tepung daging. Hal ini merupakan fenomena pembengkakan pati dalam air panas. Menurut Winarno (1992), indeks refraksi butir-butir pati yang membengkak pada suspensi pati di air panas dapat mendekati indeks refraksi air sehingga berwarna bening. Proses pembuatan biang adonan dapat menggelatinisasi sebagian molekul pati yang digunakan. Proses gelatinisasi pati pada biang adonan formulasi 30% penambahan tepung daging lebih cepat terbentuk karena konsentrasi pati lebih kecil dibandingkan formulasi 0%, 10%, dan 20%. Semakin tinggi konsentrasi pati pada biang adonan kerupuk, semakin lama gelatinisasi pati terbentuk. Hal ini sesuai dengan Winarno (1992) yang menyatakan bahwa suhu gelatinisasi pati yang tercapai dipengaruhi oleh konsentrasi pati yang digunakan. Adanya gelatinisasi ini berpengaruh terhadap daya kembang kerupuk pada saat proses penggorengan. Sifat fisik biang adonan pada empat formulasi bahan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Sifat Fisik Biang Adonan dengan Perbandingan Persentase Penambahan Air dan Tepung Tapioka yang Berbeda Formulasi Biang Warna Tekstur Adonan 0% Putih keruh Kenyal dan agak keras 10% Agak bening dan putih keruh Kenyal 20% Bening dan putih Sangat kenyal 30% Bening dan putih Sangat kenyal Keterangan : tapioka : air = 25% tapioka : 40% air dari total air yang digunakan Tahap pembuatan adonan kerupuk adalah proses homogenisasi biang adonan dengan tepung daging dan sisa tepung tapioka. Pengadukan yang terlalu lama pada saat pencampuran biang adonan, tepung daging sapi, dan tepung tapioka dapat menurunkan suhu adonan dan membentuk adonan yang lewat kalis sehingga lengket kembali. Titik kritis keberhasilan pembuatan adonan tersebut adalah waktu pengadonan yang tidak terlalu lama, penggunaan air panas dengan suhu o C, dan kehomogenan adonan. Penggunaan air dengan suhu C dapat membantu menghomogenkan adonan biang, melarutkan tepung tapioka, dan membantu pengembangan tapioka pada saat pengadukan. Penambahan tepung daging dapat mengurangi sifat kenyal dari adonan. Tepung daging dengan kandungan protein yang

50 tinggi dapat terikat oleh adonan biang, sehingga semakin tinggi penambahan tepung daging akan berkorelasi terhadap penurunan tingkat kekenyalan adonan. Hal ini berpengaruh terhadap waktu pengadonan, semakin tinggi penambahan tepung daging, maka semakin pendek waktu yang dibutuhkan untuk membentuk adonan yang kalis. Penambahan tepung daging sapi dapat mempengaruhi warna dari adonan kerupuk. Semakin tinggi penambahan tepung daging sapi, warna adonan menjadi lebih coklat. Warna ini disebabkan oleh metmioglobin dari tepung daging sapi. Semakin tinggi persentase penambahan tepung daging sapi maka kadar metmioglobin semakin meningkat, sehingga warna adonan menjadi coklat. Pengukusan adonan yang sudah jadi pada suhu pengukusan o C dilakukan untuk menggelatinisasikan tepung tapioka. Proses pengukusan dapat berpengaruh terhadap pengikatan yang lebih kuat antara bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan kerupuk. Menurut Winarno (1992), ikatan yang kuat ini dipengaruhi oleh adanya ikatan air dengan pati, baik pati dari tepung tapioka maupun dari tepung daging (glikogen). Pengukusan akan membentuk adonan kerupuk yang matang, kompak, solid, dan memudahkan dalam proses pengirisan kerupuk. Sifat Fisik Kerupuk Mentah Sifat fisik kerupuk mentah terdiri atas warna, tekstur kerupuk dan rendemen. Warna kerupuk semakin coklat dengan bertambahnya persentase tepung daging sapi (Gambar 7). Hal ini dipengaruhi oleh reaksi Maillard, yaitu reaksi antara gugus amino protein dari tepung daging sapi dengan gugus karbonil dari gula (sukrosa). Peningkatan protein tersebut dapat memacu reaksi Maillard pada adonan. Hal ini dipercepat dengan peningkatan suhu pada saat proses pengukusan adonan dan proses pengeringan kerupuk menggunakan oven listrik. Warna coklat kerupuk mentah juga dipengaruhi oleh pigmen coklat dari tepung daging. Menurut Boccia et al. (2002), proses pemanasan daging dapat memutuskan ikatan besi-heme membentuk struktur non-heme (senyawa yang mengandung Fe) yang bersifat lebih stabil. Winarno dan Laksmi (1973) menambahkan bahwa, senyawa tersebut dapat bereaksi dengan mioglobin membentuk senyawa metmioglobin yang berwarna coklat tua. Warna tersebut dapat mempengaruhi warna adonan kerupuk. Persentase penambahan tepung daging sapi

51 yang semakin tinggi dapat meningkatkan kadar metmioglobin sehingga intensitas warna coklat adonan kerupuk semakin tinggi. Warna kerupuk mentah dengan berbagai formulasi penambahan tepung daging sapi dapat dilihat pada Gambar 7. 0% 10% 20% 30% Gambar 7. Tingkat Warna Kerupuk Mentah dengan Berbagai Taraf Penambahan Tepung Daging Tekstur yang lebih remah pada kerupuk mentah terdapat pada formulasi 30%, sedangkan tekstur yang kompak terdapat pada formulasi 0%, 10%, dan 20%. Tekstur yang kompak dapat mempengaruhi proses pemotongan kerupuk. Tekstur yang kompak dapat meminimalkan tingkat kerusakan pada saat proses pemotongan kerupuk. Tekstur yang kurang kompak (remah) pada fomulasi 30% berpengaruh terhadap banyaknya bahan yang rusak pada saat proses pemotongan kerupuk mentah. Formulasi penambahan tepung daging sapi yang berbeda tidak berpengaruh signifikan (Tabel 10) terhadap tingkat rendemen kerupuk mentah dari adonan. Rendemen kerupuk mentah dipengaruhi oleh perbandingan berat kerupuk mentah setelah proses pengeringan dengan berat adonan. Penambahan tepung daging sapi yang berbeda dapat meningkatkan persentase berat adonan maupun berat kerupuk mentah. Peningkatan persentase berat yang sama antara adonan dan kerupuk mentah pada formulasi penambahan tepung daging yang berbeda, menghasilkan nilai rendemen yang sama. Rendemen kerupuk mentah terhadap adonan dengan berbagai formulasi penambahan tepung daging sapi dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Rendemen Kerupuk Mentah terhadap Adonan dengan Berbagai Formulasi Penambahan Tepung Daging Sapi Formulasi Kerupuk Peubah Rataan 0% 10% 20% 30% Rendemen (%) 57,54±4,85 73,03±1,94 69,48±4,97 67,87±5,64 62,69±2,70

52 Sifat Fisik Kerupuk Goreng Sifat fisik kerupuk goreng merupakan kriteria mutu dari kerupuk yang terdiri atas rendemen dan densitas kamba. Penambahan tepung daging sapi yang berbeda tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat rendemen kerupuk goreng (Tabel 11). Peningkatan persentase berat yang sama antara adonan, kerupuk mentah, dan kerupuk goreng pada setiap formulasi penambahan tepung daging yang berbeda, menghasilkan nilai rendemen yang sama. Hasil analisis fisik kerupuk goreng terhadap berbagai persentase penambahan tepung daging sapi dapat dilihat pada Tabel 11. Peubah Tabel 11. Hasil Analisis Fisik Kerupuk Goreng terhadap Berbagai Penambahan Tepung Daging Sapi a. Densitas kamba (%) b. Rendemen dari kerupuk mentah (%) Formulasi Kerupuk 0% 10% 20% 30% Rataan 674,77±33,39 a 641,33±33,89 ab 563,49±34,17 b 451,70±6,83 c - 110,9±0,06 107,84±0,51 106,89±0,24 110,4±0,55 109,01±1,95 c. Rendemen dari adonan (%) 82,42±6,20 71,02±3,90 74,45±6,80 71,71±6,09 74,9±5,23 Keterangan : - superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Kualitas kerupuk yang baik sesuai dengan permintaan pasar masyarakat Indonesia adalah renyah, tidak lengket di mulut, dan memiliki daya kembang yang baik pada saat proses penggorengan (Fumiko dan Yasuko, 2000). Penambahan tepung daging sapi berpengaruh signifikan (P<0,05) terhadap penurunan densitas kamba (daya kembang) kerupuk goreng (Tabel 11). Nilai densitas kamba kerupuk dapat dipengaruhi oleh proses penggorengan. Rata-rata daya kembang kerupuk adalah 4-6 kali (451,70% - 674,77%) dari kerupuk mentah. Densitas kamba terbesar adalah kerupuk yang tidak mengalami penambahan tepung daging (0%) dan kerupuk dengan penambahan tepung daging sapi sampai formulasi 10%. Densitas kamba yang tinggi menyatakan bahwa daya kembang kerupuk pada saat penggorengan besar, sehingga densitas kamba merupakan suatu nilai keberhasilan dalam pembuatan kerupuk.

53 Peningkatan persentase penambahan tepung daging yang lebih tinggi dari 10% dapat menurunkan tingkat densitas kamba kerupuk pada saat proses penggorengan. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya tepung daging sapi yang ditambahkan ke dalam adonan. Peningkatan protein dari tepung daging sapi yang bersifat mengikat air berpengaruh terhadap penurunan tekanan uap saat penggorengan, sehingga hasil kerupuk goreng mempunyai tekstur yang kurang mengembang (daya kembang kecil), padat, dan memiliki rongga udara yang relatif lebih sedikit dan kecil. Menurut Lavlinesia (1995), bahan tambahan makanan (bahan berprotein) yang ditambahkan ke dalam adonan dapat mengisi pori-pori kerupuk mentah, sehingga menyebabkan penurunan daya kembang kerupuk pada saat proses penggorengan. Ilustrasi tekstur kerupuk goreng dapat dilihat pada Gambar 8. 0% 10% 20% 30% ( % tepung daging sapi) Gambar 8. Ilustrasi Struktur Pori-pori Kerupuk Goreng dengan Berbagai Formulasi Penambahan Tepung Daging Sapi Tampak Melintang Pengujian Organoleptik Pengujian organoleptik untuk menentukan formulasi terbaik kerupuk goreng dengan berbagai formulasi penambahan tepung daging sapi dilakukan dengan cara perangkingan hasil uji hedonik (kesukaan) oleh panelis. Hasil uji hedonik tahap pemilihan formulasi terbaik kerupuk goreng dengan berbagai formulasi penambahan tepung daging sapi dapat dilihat pada Tabel 12.

54 Tabel 12. Hasil Uji Hedonik Pemilihan Formulasi Terbaik Kerupuk Goreng dengan Penambahan Tepung Daging Sapi yang Berbeda Formulasi Kerupuk Hedonik Rataan 0% 10% 20% 30% Warna 3,83±0,90 A 3,52±0,90 B 2,84±0,91 C 2,26±0,99 D - Rasa daging 3,15±1,09 3,70±0,82 3,40±1,01 3,29±1,01 3,39±0,23 Bau daging 2,77±0,86 a 3,07±0,86 b 3,16±0,85 b 3,14±0,92 b - Kekerasan 3,70±0,97 A 3,90±0,89 B 3,82±0,87 C 3,10±1,06 D - Ketengikan 3,00±0,09 3,14±0,98 3,07±0,87 3,01±0,94 3,06±0,07 Keterangan : - superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) - superskrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) Penambahan tepung daging sapi dengan persentase yang berbeda berpengaruh sangat signifikan (P<0,01) terhadap tingkat kesukaan warna, dan tingkat kekerasan kerupuk goreng. Penambahan tepung daging sapi dengan persentase yang berbeda berpengaruh signifikan (P<0,05) terhadap tingkat kesukaan bau daging kerupuk goreng. Penambahan tepung daging sapi dengan persentase yang berbeda tidak mempengaruhi tingkat kesukaan rasa dan tingkat ketengikan kerupuk goreng. Hasil uji mutu hedonik tahap pemilihan formulasi terbaik kerupuk goreng dengan berbagai formulasi penambahan tepung daging sapi dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil Uji Mutu Hedonik Pemilihan Formulasi Terbaik Kerupuk Goreng dengan Penambahan Tepung Daging Sapi yang Berbeda Formulasi Kerupuk Hedonik Rataan 0% 10% 20% 30% Warna 2,27±1,10 A 4,62±1,40 B 6,78±0,95 C 8,24±0,56 D - Rasa daging 7,65±1,24 A 4,79±1,63 B 3,79±1,58 B 2,09±1,32 C - Bau daging 7,27±1,62 a 5,44±1,51 b 4,28±1,41 cd 3,32±1,54 d - Kekerasan 5,85±1,50 A 4,99±1,24 A 3,59±1,68 B 2,73±1,32 C - Ketengikan 5,93±2,09 6,57±1,95 5,40±2,39 5,42±2,65 5,83±0,55 Keterangan : - superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) - superskrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

55 Tingkat Kesukaan terhadap Rasa Daging Kerupuk Goreng. Hasil analisis nonparametrik Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa persentase penambahan tepung daging yang berbeda tidak berpengaruh terhadap tingkat kesukaan rasa daging kerupuk goreng (Tabel 12). Peningkatan rasa daging secara mutu hedonik pada formulasi penambahan tepung daging yang berbeda tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap rasa daging kerupuk goreng. Hasil analisis statistik uji mutu hedonik menunjukkan bahwa penambahan tepung daging sapi yang berbeda berpengaruh sangat signifikan (P<0,01) terhadap rasa daging kerupuk goreng (Tabel 13). Persentase penambahan tepung daging yang semakin tinggi, dapat berpengaruh terhadap peningkatan rasa daging pada kerupuk goreng. Tingkat rasa daging pada formulasi penambahan 30% tepung daging sapi dari total penggunaan tepung tapioka memiliki rata-rata tingkat rasa daging tertinggi pada hasil pengujian mutu hedonik yaitu sangat rasa daging (2,09±1,32) dari total nilai 10 (sangat tidak rasa daging). Tingkat Kesukaan terhadap Warna Kerupuk Goreng. Hasil analisis nonparametrik Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa persentase penambahan tepung daging yang berbeda berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap tingkat kesukaan warna kerupuk goreng (Tabel 12). Panelis lebih menyukai warna kerupuk dengan penambahan tepung daging sapi sebanyak 0% dari total tepung tapioka yang digunakan, diikuti oleh sampel kerupuk dengan persentase penambahan tepung daging sebanyak 10%. Tingkat warna kerupuk goreng dengan berbagai taraf penambahan tepung daging sapi dapat dilihat pada Gambar 9. Hasil uji mutu hedonik menunjukkan bahwa kerupuk formulasi 0% memiliki nilai mutu sebesar 2,27±1,10 (sangat putih) dari total nilai 10 (sangat coklat). Kandungan protein tepung tapioka yang sangat rendah (0,3%) memperkecil terjadinya reaksi Maillard, sehingga produk dengan warna coklat tidak dihasilkan dalam metode penggorengan cepat. Reaksi pencoklatan dimulai pada tahap pembuatan adonan sampai tahap penggorengan kerupuk. Faktor warna sangat menentukan penilaian bahan pangan sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan secara visual. Hasil penilaian mutu sensori terhadap warna kerupuk 0%, 10%, 20%, dan 30% berturut-turut adalah 2,27 (sangat putih); 4,62 (putih); 6,78 (coklat); dan

56 8,24 (sangat coklat). Semakin tinggi penambahan tepung daging, semakin coklat warna kerupuk goreng yang dihasilkan. Gambar 9. Kerupuk Goreng dengan Persentase Penambahan Tepung Daging yang Berbeda Panelis tidak menyukai warna kerupuk dengan penambahan tepung daging 20% dan 30%. Panelis lebih menyukai kerupuk dengan warna putih cerah yaitu formulasi 0% (3,83±0,90) dan 10% (3,52±0,90) dengan kriteria penilaian suka. Penambahan tepung daging dengan persentase yang berbeda berpengaruh terhadap penurunan tingkat kesukaan panelis terhadap kerupuk. Warna yang lebih gelap atau coklat tua tidak disukai oleh panelis. Hal ini disebabkan karena pandangan panelis terhadap produk kerupuk yang secara umum berwarna lebih cerah, sedangkan warna coklat pada produk pangan yang digoreng menandai produk tersebut terlalu masak (gosong). Warna yang terlalu coklat dipengaruhi oleh pigmen coklat dari tepung daging yaitu senyawa metmioglobin yang berwarna coklat tua. Persentase penambahan tepung daging sapi yang semakin tinggi dapat meningkatkan kadar metmioglobin sehingga intensitas warna coklat kerupuk semakin tinggi. Warna coklat dari kerupuk goreng juga dipengaruhi oleh reaksi Maillard yaitu reaksi antara protein dari tepung daging sapi dengan gula (sukrosa) pada saat proses penggorengan. Persentase penambahan tepung daging yang semakin tinggi dapat meningkatkan kadar protein kerupuk, sehingga terjadi peningkatan reaksi Maillard.

57 Tingkat Kesukaan terhadap Bau Daging Kerupuk Goreng. Bau merupakan suatu sensasi rangsangan dari sel olfaktori di dalam hidung terhadap zat volatil. Hasil analisis non-parametrik Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa persentase penambahan tepung daging yang berbeda berpengaruh signifikan (P<0,05) terhadap tingkat kesukaan bau daging kerupuk goreng (Tabel 12). Panelis memberikan respon tingkat kesukan yang sama terhadap kerupuk dengan penambahan tepung daging sebanyak 10%, 20%, dan 30% yaitu dengan kriteria agak suka. Bau kerupuk dengan formulasi penambahan tepung daging sapi 0 % tidak disukai (2,77±0,86) oleh panelis. Penambahan tepung daging sapi pada kerupuk dapat meningkatkan tingkat kesukaan panelis terhadap bau daging kerupuk goreng. Tingkat bau daging kerupuk goreng dengan penambahan tepung daging yang berbeda memberikan respon tingkat bau daging yang berbeda pada uji mutu hedonik. Hal ini tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap bau daging (10%, 20%, 30%). Hasil analisis statistik uji mutu hedonik menunjukkan bahwa persentase penambahan tepung daging yang berbeda berpengaruh signifikan (P<0,05) terhadap bau daging kerupuk goreng (Tabel 13). Semakin tinggi persentase penambahan tepung daging, maka tingkat bau daging pada kerupuk goreng semakin meningkat. Hasil uji mutu hedonik menunjukkan bahwa konsentrasi penambahan tepung daging sapi sebanyak 30 % menghasilkan produk kerupuk dengan bau daging yang kuat dengan nilai mutu 3,32±1,54 dari total nilai 10 (sangat tidak bau daging) dan semakin menurun pada persentase tepung daging 20% (4,28±1,41) dan 10% (3,32±1,54). Grimm et al. (1997) menjelaskan bahwa, bau khas daging matang berasal dari adanya denaturasi protein daging sehingga menghasilkan senyawa turunan protein yang menyebabkan bau khas daging. Flavor khas daging matang pada kerupuk goreng dipengaruhi juga oleh hasil reaksi Maillard yang diawali oleh interaksi asamasam amino dan gugus karbonil. Penambahan bumbu seperti bawang putih yang memiliki zat volatil tajam dapat menurunkan tingkat bau daging sapi. Kerupuk dengan persentase penambahan tepung daging 0% memiliki tingkat bau bawang putih yang tajam. Tingkat Kesukaan terhadap Ketengikan Kerupuk Goreng. Hasil analisis nonparametrik Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa peningkatan persentase penambahan

58 tepung daging sapi yang berbeda tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap tingkat ketengikan kerupuk goreng (Tabel 12). Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap kerupuk goreng formulasi 0%, 10%, 20%, dan 30% berturut-turut adalah 3,00±0,09; 3,14±0,98; 3,07±0,87; dan 3,01±0,94 dengan kriteria tingkat kesukaan yang sama (agak suka). Ketengikan dipengaruhi oleh oksidasi lemak atau minyak dalam bahan pangan berlemak yang akan menghasilkan senyawa tertentu yang bersifat volatil dan dapat menurunkan kualitas mutu dari produk pangan (Winarno, 1992). Tingkat kesukaan panelis yang sama secara mutu hedonik (Tabel 13) terhadap keempat formulasi menunjukkan belum adanya ketengikan yang mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap kerupuk goreng. Tingkat Kesukaan terhadap Kekerasan Kerupuk Goreng. Hasil analisis nonparametrik Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa penambahan tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda berpengaruh sangat signifikan (P<0,01) terhadap kesukaan kekerasan kerupuk goreng (Tabel 12). Penilaian panelis terhadap fomulasi 0%, 10%, dan 20% adalah suka dan agak suka pada formulasi 30%. Panelis lebih menyukai kerupuk dengan penambahan tepung daging sebanyak 10% dari total tapioka yang digunakan. Hasil uji hedonik kerupuk dengan formulasi 10% menghasilkan nilai 3,90±0,89 (suka). Tingkat kekerasan yang paling disukai panelis secara mutu hedonik adalah kerupuk dengan formulasi 10% dengan nilai mutu 4,84±1,55 (kekerasan sedang) setara dengan 137,37 gf pada pengukuran secara objektif menggunakan alat rheoner. Tingkat kekerasan yang rendah menyatakan bahwa kerupuk memiliki tingkat kerenyahan yang tinggi. Peningkatan persentase penambahan tepung daging dapat meningkatkan tingkat kekerasan secara mutu hedonik. Penilaian panelis terhadap formulasi 30% adalah agak suka, hal ini disebabkan formulasi 30% memiliki tingkat kekerasan yang tinggi secara mutu hedonik dengan nilai mutu 2,73±1,32 (keras) dari total nilai 10 (sangat tidak keras). Hasil skoring uji hedonik dengan berbagai kriteria mutu (Tabel 14) menunjukkan bahwa sebagian besar panelis menyukai kerupuk dengan formulasi penambahan tepung daging sapi sebanyak 10% dari total tepung tapioka yang digunakan. Pemilihan formulasi terbaik tersebut berdasarkan pengurutan data tingkat

59 kesukaan panelis terhadap produk kerupuk dengan berbagai formulasi penambahan tepung daging sapi. Tabel 14. Hasil Skoring Uji Hedonik Pemilihan Formulasi Terbaik Kerupuk Goreng dengan Persentase Penambahan Tepung Daging yang Berbeda Peubah Formulasi 0% 10% 20% 30% Warna Rasa daging Bau daging Kekerasan Ketengikan Jumlah Penilaian Keterangan : - kriteria penilaian (1,2,3, dan 4) berdasarkan besarnya rata-rata hasil uji hedonik Skor tertinggi untuk tingkat kesukaan terbaik adalah sampel kerupuk dengan penambahan tepung daging sapi sebanyak 10% yaitu dengan jumlah nilai 10, diikuti oleh sampel dengan penambahan tepung daging sapi sebanyak 20% (nilai 9), 0% (nilai 7), dan 30% (nilai 4). Kerupuk yang mendapat skor nilai 10 merupakan kerupuk yang memiliki sifat hedonik yang disukai menurut penilaian panelis. Formulasi penambahan tepung daging terbaik selanjutnya digunakan untuk penelitian tahap kedua yaitu sifat fisik dan organoleptik selama penyimpanan. Penelitian Tahap Kedua Tahap penelitian kedua adalah analisis sifat fisik kerupuk mentah, analisis kerupuk goreng dan analisis organoleptik selama penyimpanan yang berbeda. Sifat fisik kerupuk mentah berpengaruh terhadap sifat fisik kerupuk goreng. Pengaruh tersebut dapat dilihat pada pengembangan produk kerupuk, rendemen, dan densitas kamba kerupuk saat dilakukan proses penggorengan. Faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan produk kerupuk adalah sifat fisik dari kerupuk mentah, yaitu derajat gelatinisasi dan kadar air kerupuk mentah. Analisis fisik dan organoleptik yang dilakukan pada kerupuk goreng dengan persentase penambahan tepung daging sapi sebanyak 10% dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kadar air,

60 oksidasi, kelembaban relatif (Rh) lingkungan, temperatur ruangan, dan kemasan dari kerupuk goreng. Derajat Gelatinisasi Derajat gelatinisasi merupakan rasio antara pati yang pecah terhadap pati yang masih utuh. Hasil analisis derajat gelatinisasi secara deskriptif (Tabel 15) menunjukkan bahwa proses pengukusan mempengaruhi derajat gelatinisasi. Faktor yang mempengaruhi nilai derajat gelatinisasi adalah suhu pada saat proses pengukusan, dan air yang digunakan dalam adonan kerupuk. Suhu yang tinggi dan konstan yaitu pada pengukusan ke-3 dapat menghasilkan nilai derajat gelatinisasi sebesar 15,61%. Adanya jeda waktu pemasukan adonan pada saat pengukusan ke-2 dan ke-3 dapat menurunkan suhu dan tekanan uap di dalam panci, sehingga berpengaruh terhadap penurunan suhu. Penurunan suhu mempengaruhi proses pemecahan pati pada adonan kerupuk tahap pengukusan 1 dan 2. Hasil analisis derajat gelatinisasi kerupuk formulasi 0% penambahan tepung daging sapi dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil Analisis Fisik Derajat Gelatinisasi Tahap Pengukusan Derajat Gelatinisasi (%) 1 5,23±0,08 2 8,01±0, ,61±0,75 Jeda waktu pemasukan adonan ke-2 dan ke-3 juga dapat menyebabkan penurunan suhu akibat adanya resistensi panas dari adonan (penghambat panas) sehingga menurunkan suhu pengukusan dan menghambat proses pemanasan. Kondisi pemanasan yang konstan diperlukan, sehingga kecepatan penurunan suhu konstan (tidak drastis), walaupun resistensi meningkat (Wiratakusumah, 1989). Faktor lain yang menentukan gelatinisasi tepung tapioka adalah penambahan air pada proses pembuatan adonan. Wianecki dan Kołakowski (2007) menjelaskan bahwa molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula pati dan membentuk gel yang bersifat sangat elastis. Pengembangan (swelling) kerupuk terjadi pada proses penggorengan pati yang telah tergelatinisasi.

61 Parameter gelatinisasi dipengaruhi oleh temperatur pengukusan, air dan kandungan bahan pada tepung tapioka terutama amilopektin yang dapat mempengaruhi viskositas dan gelatinisasi. Kehomogenan adonan dapat mempengaruhi tingkat gelatinisasi tepung tapioka. Hal ini sesuai dengan Wianecki dan Kołakowski (2007) yang menyatakan bahwa, temperatur tinggi dan kontinu (96 o C) pada saat pengadonan, kehomogenan adonan, dan proses pengukusan dapat meningkatkan derajat gelatinisasi tepung tapioka. Densitas Kamba Proses penggorengan meningkatkan densitas kamba (Tabel 16). Densitas kamba kerupuk berhubungan dengan sifat penempatan ruang (bulky) suatu produk pada saat dilakukan pengemasan. Densitas kamba kerupuk goreng dipengaruhi oleh besarnya derajat pengembangan kerupuk setelah proses penggorengan. Pengembangan kerupuk goreng meningkatkan volume kerupuk akibat adanya porositas kerupuk goreng dan peningkatan massa karena adanya molekul minyak goreng yang mengisi porositas kerupuk goreng. Peningkatan volume yang relatif besar meningkatkan densitas kamba kerupuk. Hasil analisis fisik kerupuk mentah dan kerupuk goreng dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Hasil Analisis Fisik Kerupuk Mentah dan Kerupuk Goreng Peubah Kerupuk Formulasi 10% a. Volume jenis (mm 3 /g) b. Densitas Kamba (Vn 1 -Vn 2 )/Vn 2 ) x 100% (%) Goreng - - 0,77±0,03(Vn 2 ) 5,52±0,09(Vn 1 ) ,07±33,58 c. Rendemen dari adonan (%) ,14±1,90 73,30±4,02 d. Rendemen dari kerupuk mentah (%) ,15±0,48 e. Kadar Air (%) 3,10±0,10 4,52±0,42 8,67±0,94 - Keterangan : + : kadar air kerupuk mentah sesaat keluar dari oven ++ : kadar air kerupuk mentah 24 jam setelah keluar dari oven +++ : kadar air kerupuk mentah 48 jam setelah keluar dari oven

62 Kerupuk dengan densitas kamba yang besar meningkatkan volume bahan pengemas. Kerupuk goreng formulasi 10% menghasilkan densitas kamba sebesar 638,07%±33,58. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan bahan pengemas 6,3807 kali lebih besar dari kerupuk mentah untuk mengemas kerupuk goreng. Sifat bulky ini sangat berperan terhadap kualitas kerupuk, karena kerupuk yang semakin besar daya kembangnya memiliki kualitas yang baik dibandingkan kerupuk yang memiliki nilai densitas yang kecil (pengembangan yang tidak sempurna). Struktur berpori pada kerupuk menyebabkan volume kerupuk menjadi lebih besar tetapi memiliki berat yang lebih ringan. Hal ini berpengaruh terhadap penghitungan volume jenis kerupuk goreng Densitas kamba kerupuk goreng dipengaruhi oleh kadar air kerupuk mentah untuk menghasilkan tekanan uap pada proses penggorengan (Wiriano, 1984). Tekanan uap mendesak gel pati sehingga terjadi pengembangan dan terbentuk rongga udara pada kerupuk yang telah digoreng. Besarnya persentase kadar air hasil analisis kerupuk mentah dengan penambahan 10% tepung daging sapi rata-rata yang dapat menghasilkan daya kembang kerupuk yang baik adalah 8,67%±0,94 (Tabel 16). Kadar air tersebut tercapai pada penyimpanan kerupuk mentah sampai hari ke-2 (48 jam) setelah keluar dari oven. Densitas kamba kerupuk juga dipengaruhi oleh metode penggorengan. Metode deep frying menggunakan minyak berlebih dengan suhu mencapai o C (Shahidi et al., 1997) dapat membantu daya kembang kerupuk merata pada seluruh permukaan bahan yang digoreng. Penggunaan metode dengan minyak berlebih, bermanfaat terhadap pemerataan panas pada seluruh bagian kerupuk pada saat proses penggorengan. Suhu yang lebih rendah dari suhu tersebut (sekitar o C) menghasilkan daya kembang kerupuk yang kurang maksimal. Hal ini disebabkan perlu adanya suhu yang sesuai untuk melunakkan matriks kerupuk mentah sehingga tekanan uap yang terbentuk dapat menekan sempurna matriks tersebut. Baking powder membantu meningkatkan pengembangan adonan pada saat proses pengukusan. Mekanisme kerja dari baking powder adalah ketika kontak dengan air dan panas, dapat bereaksi membentuk gas karbondioksida (CO 2 ) yang akan mengontrol pengembangan volume adonan (Graham, 2000). Volume gas

63 bersama udara dan uap air yang terperangkap dalam adonan akan mengembangkan matriks kerupuk, sehingga diperoleh struktur berpori. Struktur berpori ini bermanfaat terhadap daya kembang kerupuk pada saat proses penggorengan. Charles et al. (1972) menambahkan bahwa penggunaan sukrosa dan baking powder dapat mempertahankan kestabilan produk pangan yang memerlukan proses penggorengan dengan metode deep frying. Rendemen Nilai rendemen kerupuk dianalisis untuk mengetahui efisiensi proses pembuatan kerupuk (Tabel 16). Nilai rendemen pada tahap pembuatan kerupuk terdiri atas tiga tahap. Hal ini berkaitan dengan tiga tahap proses pembuatan kerupuk yaitu pengadonan, pengeringan, dan penggorengan. Hasil pengukuran ketiga tahap berbeda, sehingga diperoleh tiga jenis rendemen dari proses pembuatan kerupuk yaitu rendemen kerupuk mentah dari adonan, rendemen kerupuk goreng dari adonan, dan rendemen kerupuk goreng dari kerupuk mentah. Penambahan tepung daging sebanyak 10% dari total tepung tapioka yang digunakan menghasilkan nilai rendemen kerupuk goreng sebesar 75,63±0,21 (+++) dari kerupuk mentah. Hal ini dipengaruhi oleh berat kerupuk goreng yang semakin meningkat akibat proses penggorengan. Berat kerupuk goreng disebabkan oleh peningkatan massa kerupuk akibat penambahan minyak goreng yang berpenetrasi ke dalam pori-pori kerupuk goreng dan adanya udara yang mengisi pori-pori kerupuk (Gambar 10). a Rendemen kerupuk mentah dari adonan b c Rendemen kerupuk goreng dari adonan Rendemen kerupuk goreng dari kerupuk mentah Tahap Gambar 10. Grafik Nilai Rata-rata Rendemen Kerupuk pada Beberapa Tahap Pembuatan Kerupuk

64 Analisis Fisik Kerupuk Goreng selama Penyimpanan Hasil analisis statistik kerupuk goreng menunjukkan bahwa perlakuan penyimpanan berpengaruh nyata terhadap kadar air, tingkat kekerasan, dan aktivitas air kerupuk goreng (Tabel 17). Faktor utama yang mempengaruhi mutu kerupuk goreng selama penyimpanan adalah kelembaban udara (Rh) lingkungan, bahan pengemas, dan oksidasi lemak. Tingkat Kekerasan Kerupuk Goreng selama Penyimpanan. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa lama penyimpanan berpengaruh sangat signifikan (P<0,01) terhadap tingkat kekerasan kerupuk goreng (Tabel 17). Hal ini dipengaruhi oleh peningkatan kadar air dan aktivitas air (a w ) dari kerupuk goreng setelah penyimpanan. Hasil analisis fisik kerupuk goreng dengan penambahan tepung daging sebanyak 10 % selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Hasil Analisis Fisik Kerupuk Goreng dengan Penambahan Tepung Daging Sebanyak 10 % selama Penyimpanan Hasil analisis Analisis fisik 0 hari 14 hari 28 hari 42 hari a. Kadar Air (%) b. Tingkat kekerasan (gf) 1,67±0,80 a 1277,77±176,05 a 5,74±1,93 b 1916,66±240,38 b 7,45±0,58 b 2055,55±45,90 b 7,05±0,62 b 2186,11±165,48 b c. Aktivitas 0,41±0,06 a 0,66±0,01 b 0,67±0,04 b 0,69±0,11 b Air Keterangan: superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Hasil analisis kekerasan menggunakan rheoner menghasilkan tingkat kekerasan yang tinggi pada lama penyimpanan ke-14 hari (Tabel 17). Prinsip dari analisis kekerasan adalah penusukan probe (jarum) pada lima titik yang kira-kira memiliki ketebalan yang sama. Apabila struktur matriks bahan yang ditusuk lembek, maka diperlukan gaya yang lebih besar untuk memecahkan matriks kerupuk. Peningkatan kekerasan kerupuk goreng dipengaruhi oleh peningkatan kadar air kerupuk goreng. Air yang terserap oleh kerupuk dapat membuat matriks kerupuk menjadi lembek.

65 Persentase kadar air meningkat signifikan (P<0,05) pada penyimpanan kerupuk goreng hari ke-14 (Tabel 17). Peningkatan kadar air bahan terjadi karena sifat produk kerupuk yang dapat menyerap air dari lingkungan (higroskopis). Peningkatan kadar air dari hari ke-0 sampai hari ke-14 dapat dipengaruhi oleh kelembaban relatif (Rh) lingkungan sekitar. Kelembaban udara lingkungan tempat penyimpanan kerupuk (laboratorium pengolahan hasil ternak) adalah 80%-90% sehingga udara kaya akan molekul air (H 2 O). Adanya udara dan uap air yang masuk pada saat proses pengemasan dan lama penyimpanan dapat mempengaruhi peningkatan kadar air kerupuk goreng. Peningkatan kadar air pada penyimpanan hari ke-14, 28, dan 42 tidak berbeda (konstan). Penggunaan bahan pengemas PP dapat mempertahankan kelembaban relatif (Rh) dalam kemasan dari penyimpanan hari ke- 14 sampai 42. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa lama penyimpanan kerupuk goreng berpengaruh sangat signifikan (P<0,01) terhadap nilai aktivitas air (Tabel 17). Lama penyimpanan kerupuk goreng dapat meningkatkan nilai aktivitas air. Purnomo (1993) menjelaskan bahwa aktivitas air (a w ) berhubungan dengan kadar air dari bahan dan lingkungan. Nilai a w kerupuk goreng meningkat dengan bertambahnya kadar air selama penyimpanan sampai hari ke-14. Penyimpanan lebih lanjut dari hari ke-14 sampai 42 tidak mempengaruhi peningkatan nilai a w. Nilai a w kerupuk goreng pada penyimpanan hari ke-14, hari ke-28, dan hari ke-42 memiliki tingkat a w yang konstan dengan rata-rata nilai a w berturut-turut sebesar 0,66±0,01; 0,67±0,04; 0,69±0,11. Sauvageot dan Blond (1991) menjelaskan bahwa peningkatan kadar air dan kelembaban terhadap produk yang mengalami proses penggorengan berkorelasi dengan peningkatan nilai a w. Peningkatan nilai a w sampai taraf 0,5 dan kadar air 7% dapat menurunkan sifat kerenyahan (crispness) produk dan berpengaruh terhadap tekstur produk (lembek). Kerupuk goreng mengalami penurunan tingkat kerenyahan pada penyimpanan ke-14 hari. Bahan pangan dengan a w rendah cenderung untuk mengikat air sedangkan bahan-bahan pangan yang mempunyai a w lebih tinggi cenderung melepaskan air. Perubahan-perubahan aktivitas air dapat menyebabkan perpindahan air antar bahan-

66 Aktivitas Air Kadar Air bahan penyusun makanan. Peningkatan nilai a w kerupuk goreng selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar hari 14 hari 28 hari 42 hari Lama penyimpanan Gambar 11. Grafik Hubungan Antara Peningkatan Persentase Kadar Air selama Penyimpanan Kerupuk Goreng 0 hari 14 hari 28 hari 42 hari Lama penyimpanan Gambar 12. Grafik Hubungan antara Peningkatan Aktivitas Air selama Penyimpanan Kerupuk Goreng Uji Organoleptik Kerupuk selama Penyimpanan Hasil analisis menunjukkan bahwa lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap tingkat kesukaan warna kerupuk goreng. Lama penyimpanan berpengaruh sangat signifikan (P<0,01) terhadap tingkat kesukaan bau daging, rasa daging, ketengikan dan kekerasan kerupuk goreng. Hasil uji hedonik kerupuk goreng

67 formulasi 10% penambahan tepung daging sapi pada penyimpanan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 18. Pengujian organoleptik kerupuk goreng pada penyimpanan ke-0 tidak diuji secara statistik. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan tingkat warna yang sangat signifikan pada penyimpanan ke-0 hari dengan penyimpanan ke-14, 28, dan 42 hari. Perbedaan warna secara mutu hedonik tersebut diduga karena penggunaan tepung daging yang tidak sama pada pembuatan adonan untuk penyimpanan ke-0 hari. Tepung daging yang digunakan diduga mengalami reaksi Maillard berlebih karena proses pengeringan menggunakan oven listrik yang terlalu lama. Proses pengeringan daging sapi untuk pembuatan tepung daging sapi pada lama penyimpanan 14, 28, dan 42 menggunakan suhu 60 o C selama 24 jam (Anggoro, 2008), sedangkan pembuatan tepung daging untuk penyimpanan ke-0 hari menggunakan suhu 60 o C selama ±11 jam dan suhu 27 o C selama ±17 jam. Penggunaan suhu 27 o C tersebut disebabkan karena situasi dan kondisi lingkungan yaitu listrik sebagai sumber energi untuk menyalakan oven listrik padam dan kondisi tersebut tidak diketahui oleh peneliti. Hal ini berpengaruh terhadap warna kerupuk goreng yang lebih gelap. Tabel 18. Hasil Uji Hedonik Kerupuk Goreng selama Penyimpanan Penyimpanan Hedonik Rataan H-0 H-14 H-28 H-42 Warna 3,64±1,02 * 3,47±0,91 3,36±0,92 3,19±0,95 3,34±0,14 Bau daging 3,61±0,82 * 3,22±0,67 A 2,64±0,89 B 2,56±0,91 B - Rasa daging 3,93±0,98 * 3,35±0,88 A 2,49±1,76 B 2,43±0,83 B - Ketengikan 4,16±0,83 * 3,52±0,97 A 1,91±0,85 B 1,66±0,82 B - Kekerasan 3,67±0,99 * 3,16±0,97 A 2,49±0,93 B 2,26±0,97 B - Keterangan: - superskrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) * : tidak diuji secara statistik Hasil analisis menunjukkan bahwa lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap perubahan warna dan ketengikan kerupuk goreng. Lama penyimpanan berpengaruh sangat signifikan (P<0,01) terhadap bau daging, rasa daging, dan tingkat kekerasan kerupuk goreng. Hasil uji mutu hedonik kerupuk goreng pada selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 19.

68 Tabel 19. Hasil Uji Mutu Hedonik Kerupuk Goreng selama Penyimpanan Penyimpanan Mutu Rataan Hedonik H-0 H-14 H-28 H-42 Warna 6,42±1,95 * 4,07±1,45 4,03±1,41 4,36±1,44 4,15±0,18 Bau daging 4,61±1,76 * 4,47±1,29 A 5,42±1,61 B 5,70±1,85 B - Rasa daging 4,60±1,73 * 4,76±1,69 A 6,12±1,31 B 5,56±1,67 B - Ketengikan 6,50±1,23 * 5,14±1,63 4,70±1,90 4,52±1,72 4,79±0,32 Kekerasan 5,81±1,75 * 4,41±1,36 A 3,44±1,90 AB 2,89±1,78 B - Keterangan: - superskrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) * : tidak diuji secara statistik Tingkat Kesukaan terhadap Warna selama Penyimpanan. Warna merupakan faktor utama bahan pangan yang berhubungan dengan penampakan produk. Faktor pertama bahan pangan yang dipilih konsumen adalah melihat kriteria warna. Hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap tingkat kesukaan warna kerupuk goreng pada penyimpanan hari ke-14, 28, dan 42 (Tabel 18). Hal ini disebabkan karena warna kerupuk tidak mengalami perubahan secara mutu hedonik dengan nilai mutu 4,15±0,18 (putih) dari total nilai 10 (sangat coklat) sampai penyimpanan hari ke-42. Warna yang sama secara mutu hedonik menjadi pertimbangan tingkat kesukaan panelis terhadap warna. Panelis memberikan penilaian terhadap warna kerupuk goreng dengan tingkat kesukaan agak suka. Warna kerupuk goreng selama penyimpanan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 13. Hari ke-14 Hari ke-28 Hari ke-42 Gambar 13. Warna Kerupuk Goreng dengan Lama Penyimpanan yang Berbeda

SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK KERUPUK YANG DIBERI PENAMBAHAN TEPUNG DAGING SAPI SELAMA PENYIMPANAN SKRIPSI TOFAN

SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK KERUPUK YANG DIBERI PENAMBAHAN TEPUNG DAGING SAPI SELAMA PENYIMPANAN SKRIPSI TOFAN SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK KERUPUK YANG DIBERI PENAMBAHAN TEPUNG DAGING SAPI SELAMA PENYIMPANAN SKRIPSI TOFAN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Maksud Penelitian, (5) Manfaat Penelitian, (6) Kerangka Pemikiran,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

Lebih terperinci

SIFAT KIMIA KREKER YANG DIBERI PERLAKUAN SUBSTITUSI TEPUNG DAGING SAPI DAN PERUBAHAN BILANGAN TBA KREKER SELAMA PENYIMPANAN SKRIPSI WIEKE FAUZIAH

SIFAT KIMIA KREKER YANG DIBERI PERLAKUAN SUBSTITUSI TEPUNG DAGING SAPI DAN PERUBAHAN BILANGAN TBA KREKER SELAMA PENYIMPANAN SKRIPSI WIEKE FAUZIAH SIFAT KIMIA KREKER YANG DIBERI PERLAKUAN SUBSTITUSI TEPUNG DAGING SAPI DAN PERUBAHAN BILANGAN TBA KREKER SELAMA PENYIMPANAN SKRIPSI WIEKE FAUZIAH PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Syarat Mutu Kerupuk Ikan SNI No Jenis Uji Satuan Persyaratan 1

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Syarat Mutu Kerupuk Ikan SNI No Jenis Uji Satuan Persyaratan 1 TINJAUAN PUSTAKA Kerupuk Kerupuk merupakan produk makanan kering yang dibuat dari tepung tapioka atau sagu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan dan bahan tambahan lain yang diizinkan, serta disiapkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

SIFAT KIMIA TEPUNG DAGING SAPI YANG DIBUAT DENGAN METODE PENGERINGAN YANG BERBEDA DAN SIFAT MIKROBIOLOGISNYA SELAMA PENYIMPANAN

SIFAT KIMIA TEPUNG DAGING SAPI YANG DIBUAT DENGAN METODE PENGERINGAN YANG BERBEDA DAN SIFAT MIKROBIOLOGISNYA SELAMA PENYIMPANAN SIFAT KIMIA TEPUNG DAGING SAPI YANG DIBUAT DENGAN METODE PENGERINGAN YANG BERBEDA DAN SIFAT MIKROBIOLOGISNYA SELAMA PENYIMPANAN SKRIPSI HARFAN TEGAS ADITYA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nugget Ayam Bahan pangan sumber protein hewani berupa daging ayam mudah diolah, dicerna dan mempunyai citarasa yang enak sehingga disukai banyak orang. Daging ayam juga merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIK DAN ORGANOLEPTIK TORTILLA CORN CHIPS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG PUTIH TELUR SEBAGAI SUMBER PROTEIN SKRIPSI R. MOCH.

KARAKTERISTIK FISIK DAN ORGANOLEPTIK TORTILLA CORN CHIPS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG PUTIH TELUR SEBAGAI SUMBER PROTEIN SKRIPSI R. MOCH. KARAKTERISTIK FISIK DAN ORGANOLEPTIK TORTILLA CORN CHIPS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG PUTIH TELUR SEBAGAI SUMBER PROTEIN SKRIPSI R. MOCH. TAUFIK HIDAYAT PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Total Fenolat Senyawa fenolat merupakan metabolit sekunder yang banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan, termasuk pada rempah-rempah. Kandungan total fenolat dendeng sapi yang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) I PENDAHULUAN Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

Karakteristik mutu daging

Karakteristik mutu daging Karakteristik mutu daging Oleh: Elvira Syamsir (Tulisan asli dalam Kulinologi Indonesia edisi Maret 2011) Mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik dan digunakan konsumen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi PENDAHULUAN Latar Belakang Daging merupakan salah satu komoditi pertanian yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan protein, karena daging mengandung protein yang bermutu tinggi, yang mampu menyumbangkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Kerupuk Jagung 4.1.1 Pencampuran Adonan Proses pencampuran adonan ada dua kali yaitu dengan cara manual (tangan) dan kedua dengan menggunakan mixer. Langkah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

Pengawetan pangan dengan pengeringan

Pengawetan pangan dengan pengeringan Pengawetan pangan dengan pengeringan Kompetensi Mahasiswa memahami teknologi pengeringan sederhana dan mutakhir, prinsip dan perubahan yang terjadi selama pengeringan serta dampak pengeringan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Snack merupakan suatu jenis produk pangan sebagai makanan selingan yang umumnya dikonsumsi dalam jumlah kecil dan umumnya dikonsumsi di antara waktu makan pagi, siang,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Organoleptik Bakso Ikan Nila Merah Uji organoleptik mutu sensorik yang dilakukan terhadap bakso ikan nila merah yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar belakang, (1.2) Identifikasi

I. PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar belakang, (1.2) Identifikasi 1 I. PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1,6.) Hipotesis

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. banyak ditemukan dan dikonsumsi yaitu ikan tongkol. Secara ilmu pengetahuaan,

I PENDAHULUAN. banyak ditemukan dan dikonsumsi yaitu ikan tongkol. Secara ilmu pengetahuaan, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING (Laporan Penelitian) Oleh PUTRI CYNTIA DEWI JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PETANIAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah,(3) Maksud dan tujuan penelitian, (4) Manfaat penelitian, (5) Kerangka Berpikir, (6) Hipotesa penelitian dan (7)

Lebih terperinci

PAPER BIOKIMIA PANGAN

PAPER BIOKIMIA PANGAN PAPER BIOKIMIA PANGAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia terkait erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari urusan sandang dan pangan, bahan bakar, obat-obatan sampai bahan konstruksi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Parameter sensori sangat penting pada tahap penelitian dan pengembangan produk pangan baru. Produk baru yang dihasilkan harus memiliki penanganan yang tepat agar

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7)

Lebih terperinci

Pengeringan Untuk Pengawetan

Pengeringan Untuk Pengawetan TBM ke-6 Pengeringan Untuk Pengawetan Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung melalui penggunaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Nugget Ayam Menurut SNI (2002) nugget merupakan salah satu produk olahan daging

II. TINJAUAN PUSTAKA Nugget Ayam Menurut SNI (2002) nugget merupakan salah satu produk olahan daging II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nugget Ayam Menurut SNI (2002) nugget merupakan salah satu produk olahan daging yang dicetak, dimasak dan dibekukan serta terbuat dari campuran daging giling yang diberi bahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya 2.1 Komposisi Kimia Udang BAB II TINJAUAN PUSTAKA Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya lebih

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbandingan Tepung Tapioka : Tepung Terigu :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbandingan Tepung Tapioka : Tepung Terigu : 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Sensoris Pengujian sensoris untuk menentukan formulasi terbaik kerupuk goring dengan berbagai formulasi penambahan tepung pisang kepok kuning dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berupa lempengan tipis yang terbuat dari adonan dengan bahan utamanya pati

BAB I PENDAHULUAN. berupa lempengan tipis yang terbuat dari adonan dengan bahan utamanya pati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerupuk adalah salah satu makanan camilan yang dikonsumsi bersama makanan utama. Menurut Lavlinesia (1995) kerupuk adalah bahan kering berupa lempengan tipis yang terbuat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pengamatan suhu alat pengering dilakukan empat kali dalam satu hari selama tiga hari dan pada pengamatan ini alat pengering belum berisi ikan (Gambar

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na2S2O5) DAN LAMA PERENDAMAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG KECAMBAH KEDELAI

PENGARUH KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na2S2O5) DAN LAMA PERENDAMAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG KECAMBAH KEDELAI PENGARUH KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na2S2O5) DAN LAMA PERENDAMAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG KECAMBAH KEDELAI SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Teknologi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. udang kerang/tiram, kepiting, tripang, cumi-cumi, rumput laut dan lain sebagainya.

I PENDAHULUAN. udang kerang/tiram, kepiting, tripang, cumi-cumi, rumput laut dan lain sebagainya. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tepung Tulang Ikan Tuna 4.1.1 Rendemen Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan. Perhitungan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur

TINJAUAN PUSTAKA. kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur TINJAUAN PUSTAKA Tempe Tempe adalah bahan makanan hasil fermentasi kacang kedelai atau jenis kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur Rhizopus oligosporus. Mempunyai

Lebih terperinci

LOGO BAKING TITIS SARI

LOGO BAKING TITIS SARI LOGO BAKING TITIS SARI PENGERTIAN UMUM Proses pemanasan kering terhadap bahan pangan yang dilakukan untuk mengubah karakteristik sensorik sehingga lebih diterima konsumen KHUSUS Pemanasan adonan dalam

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN EFEK PENGERINGAN TERHADAP PANGAN HASIL TERNAK PERLAKUAN SEBELUM

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Formulasi Tepung Bumbu Ayam Goreng Pada proses pengolahan tepung bumbu ayam goreng, formula dasar diperoleh dari hasil survei dari internet dan buku yang kemudian dimodifikasi

Lebih terperinci

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI 1 Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan suatu proses pembuatan mi jagung kering.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan TINJAUAN PUSTAKA Daging Kerbau Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan mempunyaikebiasaan berendam di sungai dan lumpur. Ternak kerbau merupakan salah satu sarana produksi yang

Lebih terperinci

EVALUASI MUTU MI INSTAN YANG DIBUAT DARI PATI SAGU LOKAL RIAU. Evaluation on the Quality of Instant Noodles Made From Riau Sago Starch

EVALUASI MUTU MI INSTAN YANG DIBUAT DARI PATI SAGU LOKAL RIAU. Evaluation on the Quality of Instant Noodles Made From Riau Sago Starch EVALUASI MUTU MI INSTAN YANG DIBUAT DARI PATI SAGU LOKAL RIAU Evaluation on the Quality of Instant Noodles Made From Riau Sago Starch Arfendi (0706112356) Usman Pato and Evy Rossi Arfendi_thp07@yahoo.com

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN TAPIOKA TERHADAP MUTU BRONDONG JAGUNG DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRUDER

PENGARUH PENAMBAHAN TAPIOKA TERHADAP MUTU BRONDONG JAGUNG DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRUDER PENGARUH PENAMBAHAN TAPIOKA TERHADAP MUTU BRONDONG JAGUNG DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRUDER Suhardi dan Bonimin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur ABSTRAK Jagung adalah salah satu bahan pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Snack atau makanan ringan adalah makanan yang dikonsumsi di sela-sela waktu makan dan bukan merupakan makanan pokok yang harus dikonsumsi setiap hari secara teratur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merah (Oriza sativa) merupakan beras yang hanya dihilangkan kulit bagian luar atau sekamnya, sehingga masih mengandung kulit ari (aleuron) dan inti biji beras

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

I. PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi I. PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci dengan Berbagai Konsentrasi Garam

HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci dengan Berbagai Konsentrasi Garam 44 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Konsentrasi Garam Terhadap Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci Hasil penelitian pengaruh konsentrasi garam terhadap rendemen kerupuk kulit kelinci tercantum pada Tabel

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Daging Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Minyak dan Lemak Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang artinya lemak). Lipida larut dalam pelarut nonpolar dan tidak larut dalam air.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Force (Gf) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.2 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang sangat penting pada produk cookies. Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Tekstur

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN. Teti Estiasih - THP - FTP - UB

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN. Teti Estiasih - THP - FTP - UB PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN 1 PENGGORENGAN 2 TUJUAN Tujuan utama: mendapatkan cita rasa produk Tujuan sekunder: Inaktivasi enzim dan mikroba Menurunkan aktivitas air pada permukaan atau seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar masyarakat. Sampai saat ini produk-produk sumber protein

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar masyarakat. Sampai saat ini produk-produk sumber protein BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kekurangan konsumsi protein diduga sebagai salah satu penyebab gizi buruk di Indonesia. Hal ini yang diakibatkan oleh rendahnya taraf perekonomian sebagian besar masyarakat.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Cookies Tepung Beras 4.1.1 Penyangraian Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan pada wajan dan disangrai menggunakan kompor,

Lebih terperinci

PENAMBAHAN ASAM SITRAT PADA PEMBUATAN TEPUNG PUTIH TELUR ITIK TERHADAP SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK ANGEL FOOD CAKE SKRIPSI

PENAMBAHAN ASAM SITRAT PADA PEMBUATAN TEPUNG PUTIH TELUR ITIK TERHADAP SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK ANGEL FOOD CAKE SKRIPSI PENAMBAHAN ASAM SITRAT PADA PEMBUATAN TEPUNG PUTIH TELUR ITIK TERHADAP SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK ANGEL FOOD CAKE SKRIPSI DIAN APRIANDINI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Itik Afkir Daging itik mempunyai kualitas rendah karena bau amis, bertekstur kasar dan alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK (Laporan Penelitian) Oleh RIFKY AFRIANANDA JURUSAN TEKNOLOGI HASIL

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk mengetahui mutu kerupuk ikan Selais (Crytopterus bicirhis) hasil

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk mengetahui mutu kerupuk ikan Selais (Crytopterus bicirhis) hasil IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk mengetahui mutu kerupuk ikan Selais (Crytopterus bicirhis) hasil Fortifikasi dengan penambahan Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus) selama penyimpanan, dilakukan analisa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar Air dan Aktivitas Air

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar Air dan Aktivitas Air HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air dan Aktivitas Air Kadar air dendeng hasil penelitian adalah 19,33%-23,82% dengan rataan 21,49±1,17%. Aktivitas air dendeng hasil penelitian sebesar 0,53-0,84 dengan nilai

Lebih terperinci

MODUL 2 NUGGET IKAN. Indikator Keberhasilan: Mutu nugget ikan yang dihasilkan memiliki tekstur yang kenyal dan rasa khas ikan.

MODUL 2 NUGGET IKAN. Indikator Keberhasilan: Mutu nugget ikan yang dihasilkan memiliki tekstur yang kenyal dan rasa khas ikan. MODUL 2 NUGGET IKAN Standar Unit Kompetensi: Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa mampu mengolah nugget ikan yang bertekstur kenyal, lembut dan bercita rasa enak. Indikator Keberhasilan: Mutu nugget

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian,

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, I PENDAHULUAN Pada bab ini diuraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengkukusan kacang hijau dalam pembuatan noga kacang hijau.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengkukusan kacang hijau dalam pembuatan noga kacang hijau. IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini akan menjelaskan mengenai : (4.1) Penelitian Pendahuluan, dan (4.2) Penelitian Utama. 4.1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan lama

Lebih terperinci

METODE. Materi. Rancangan

METODE. Materi. Rancangan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008, bertempat di laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas. KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan

Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas. KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan 1 Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan Pengertian Abon Abon merupakan salah satu jenis makanan awetan berasal dari daging (sapi, kerbau,

Lebih terperinci

5.1 Total Bakteri Probiotik

5.1 Total Bakteri Probiotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Total Bakteri Probiotik Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteri L. acidophilus pada perbandingan tepung bonggol pisang batu

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan

Lebih terperinci

III. TINJAUAN PUSTAKA

III. TINJAUAN PUSTAKA III. TINJAUAN PUSTAKA A. SUSU BUBUK Menurut Chandan (1997), susu segar secara alamiah mengandung 87.4% air dan sisanya berupa padatan susu sebanyak (12.6%). Padatan susu terdiri dari lemak susu (3.6%)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dikonsumsi oleh manusia dan termasuk salah satu bahan pangan yang sangat

PENDAHULUAN. dikonsumsi oleh manusia dan termasuk salah satu bahan pangan yang sangat 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu penyedia sumber bahan pangan memiliki banyak macam produk yang dihasilkan. Salah satu produk pangan yang berasal dari peternakan yaitu

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KIMIA SOSIS ASAP DENGAN BAHAN BAKU CAMPURAN DAGING DAN LIDAH SAPI SELAMA PENYIMPANAN DINGIN (4-8 o C)

KARAKTERISTIK KIMIA SOSIS ASAP DENGAN BAHAN BAKU CAMPURAN DAGING DAN LIDAH SAPI SELAMA PENYIMPANAN DINGIN (4-8 o C) KARAKTERISTIK KIMIA SOSIS ASAP DENGAN BAHAN BAKU CAMPURAN DAGING DAN LIDAH SAPI SELAMA PENYIMPANAN DINGIN (4-8 o C) SKRIPSI HENDRIA FIRDAUS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tapioka. Kerupuk sudah banyak dimodifikasikan dengan berbagai cita rasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tapioka. Kerupuk sudah banyak dimodifikasikan dengan berbagai cita rasa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerupuk Kerupuk merupakan jenis makanan kering dengan bahan baku tepung tapioka. Kerupuk sudah banyak dimodifikasikan dengan berbagai cita rasa misalnya, kerupuk udang, kerupuk

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya I PENDAHULUAN Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya dibutuhkan penulisan laporan mengenai penelitian tersebut. Sebuah laporan tugas akhir biasanya berisi beberapa hal yang meliputi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki TINJAUAN PUSTAKA Ubi jalar ungu Indonesia sejak tahun 1948 telah menjadi penghasil ubi jalar terbesar ke empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki kandungan nutrisi

Lebih terperinci

MODUL 7 STICK IKAN. Indikator Keberhasilan: Mutu stick ikan yang dihasilkan berwarna kekuningan dan memiliki tekstur yang renyah.

MODUL 7 STICK IKAN. Indikator Keberhasilan: Mutu stick ikan yang dihasilkan berwarna kekuningan dan memiliki tekstur yang renyah. MODUL 7 STICK IKAN Standar Unit Kompetensi: Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa mampu membuat stick ikan yang gurih, renyah dan enak. Indikator Keberhasilan: Mutu stick ikan yang dihasilkan berwarna

Lebih terperinci

SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK SOSIS ASAP DENGAN BAHAN BAKU CAMPURAN DAGING DAN LIDAH SAPI SELAMA PENYIMPANAN DINGIN (4-8ºC) SKRIPSI WAWAN KARYADI

SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK SOSIS ASAP DENGAN BAHAN BAKU CAMPURAN DAGING DAN LIDAH SAPI SELAMA PENYIMPANAN DINGIN (4-8ºC) SKRIPSI WAWAN KARYADI SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK SOSIS ASAP DENGAN BAHAN BAKU CAMPURAN DAGING DAN LIDAH SAPI SELAMA PENYIMPANAN DINGIN (4-8ºC) SKRIPSI WAWAN KARYADI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak PETUNJUK PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN II Disusun oleh : Nur Aini Condro Wibowo Rumpoko Wicaksono UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PURWOKERTO 2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan

Lebih terperinci

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri Penggolongan minyak Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri Definisi Lemak adalah campuran trigliserida yang terdiri atas satu molekul gliserol yang berkaitan dengan tiga molekul asam lemak.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat

BAB I PENDAHULUAN. berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua proses yang berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat mempengaruhi seseorang di saat mereka dewasa.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bekatul Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang berasal dari berbagai varietas padi. Bekatul adalah bagian terluar dari bagian bulir, termasuk sebagian kecil endosperm

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan tepung beras ketan hitam secara langsung pada flake dapat menimbulkan rasa berpati (starchy). Hal tersebut menyebabkan perlunya perlakuan pendahuluan, yaitu pregelatinisasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Sosis Sapi Nilai ph Sosis Sapi Substrat antimikroba yang diambil dari bakteri asam laktat dapat menghasilkan senyawa amonia, hidrogen peroksida, asam organik (Jack

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses Pengolahan Bumbu Pasta Ayam Goreng Proses pengolahan bumbu pasta ayam goreng meliputi tahapan sortasi, penggilingan, penumisan, dan pengentalan serta pengemasan. Sortasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bakso merupakan salah satu produk olahan daging khas Indonesia, yang banyak digemari oleh semua lapisan masyarakat dan mempunyai nilai gizi yang tinggi karena kaya akan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci