PENDEKATAN METODE HIDROAKUSTIK UNTUK ANALISIS KETERKAITAN ANTARA TIPE SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DENGAN KOMUNITAS IKAN DEMERSAL SRI PUJIYATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENDEKATAN METODE HIDROAKUSTIK UNTUK ANALISIS KETERKAITAN ANTARA TIPE SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DENGAN KOMUNITAS IKAN DEMERSAL SRI PUJIYATI"

Transkripsi

1 PENDEKATAN METODE HIDROAKUSTIK UNTUK ANALISIS KETERKAITAN ANTARA TIPE SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DENGAN KOMUNITAS IKAN DEMERSAL SRI PUJIYATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pendekatan Metode Hidroakustik untuk Analisis Keterkaitan antara Tipe Substrat Dasar Perairan dengan Komunitas Ikan Demersal, adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, 29 Februari 2008 Sri Pujiyati NRP. C ii

3 ABSTRACT SRI PUJIYATI C The Hydroacoustic Method Approach for Interrelatedness Analysis of Sea Bottom Substrate Type with Demersal Fish Community. Supervised by Bonar P. Pasaribu, Indra Jaya, Djisman Manurung. The sea bottom substrate has an important role for biota life in sea bottom area. Sea bottom is habitat for benthic, demersal fishes and other marine biota. Therefore, the accuracy and precision to classify the sea bottom substrate become essential. However, data and information on sea bottom substrate type and its relation to biota, particularly demersal fishes, are scanty. This condition is caused by the used method, in general, is limited to grab method which is only covered and mapped a very limited area based on sea bottom sampling station. Nowadays, the new method to obtain sea bottom substrate information has been developed very well, that is hydroacoustic method. Sea bottom substrate, sediments, benthic and vegetations can be accessed by using echosounder and processed digitally. The difference of sea bottom substrate types can be distinguished through the coarseness of topography and hardness of sea bottom substrate which consisted of coral, stone, sand, mud, and clay. The research objective is to analyze the interrelatedness of sea bottom substrate type with demersal fish community by hydroacoustic method approach. Therefore, the obtained data consisted of sea bottom substrate, demersal fish, oceanographic data, and other related data. Those data were obtained from several locations, i.e. Belitung Island in the years of 2002 and 2005, Java Sea (2002 and 2005), East Borneo (2004), and around Pari Island of Seribu Islands (2007). Data processing was done by using several echo data post processing programs, namely Simrad EP-500, Echoview version 3.5 and Simrad BI-60. The hydroacoustic data of sea bottom substrates and grab sampling results were classified based on Principal Component Analysis (PCA) and Cluster Analysis. The relation between the abiotic factors and demersal fish community was overlaid descriptively over horizontal distribution map of sea bottom substrate and demersal fish species by using surfer program. The result of bottom sounding shows that the harder the sea bottom substrate, the stronger the backscattering value. On the opposite, the softer the sea bottom substrate, the weaker the backscattering value. Based on PCA and cluster analysis, it is known that strongest backscattering strength value of sea bottom substrate is from coral substrate, followed by backscattering values from sand, muddy sand, sandy mud, and mud, which is weaker respectively. The obtained sea bottom substrate backscattering values can be applied to assess and distinguish sea bottom substrate type in other sea bottom area. The hydroacoustic detection of demersal fishes and swept area by trawl give information of fish density higher at shallow water (<36,5 m) and have small value of fish target strength. These small fish was identified as Leiognathus splenden ( ikan pepetek ). The relation between abiotic factors and demersal fish community in Java Sea shows that: 1) Fish species of Leiognathus splenden does not live in all sea bottom with muddy substrate. This fish was found in the muddy area in a shallow water near coastal zone. 2) Fish species of Upeneus sulphureus has high appearance frequency at all trawl swept area stations. This fish was encountered in a muddy substrate and the total weight of fish (swept by trawl) is gradually higher at the area more farther from coastal zone. iii

4 3) Fish species of Nemipterus japonicus became the third dominant fish species found in muddy sea bottom at middle area of sea. 4) Fish species of Leiognathus bindus became the second most frequent species appeared in all trawl station. The distribution of this fish species is more or less like Upeneus sulphureus, that is in muddy substrate and the total weight of fish (swept by trawl) is gradually higher at the area more farther from coastal zone. 5) Other species was Saurida longimanus, the third most frequent species appeared in all trawl station. This fish species prefers to stay in muddy sea bottom at middle area of sea. The conclusion can be drawn from all research results, that hydroacoustic method is an efficient and effective tool in detecting and classifying the sea bottom substrate type. Sea bottom which consisted of various substrates, such as coral, sand, muddy sand, sandy mud, and mud are each gives different backscattering strength value. In Java Sea, the abiotic factors such as sea bottom substrate types and oceanographic condition, strongly influence the distribution of demersal fish community. Relation between interrelatedness of sea bottom substrate type and demersal fish community in Java Sea showed the different pattern for five dominant fish species, namely Leiognathus splenden, Upeneus sulphurus, Nemipterus japonicus, Leiognathus bindus and Saurida longimanus. Further research about sea bottom substrate classification can be done by hydroacoustic method in seawater of various sea bottom substrates to complete the existing research results. Beside that, the development of data processing program is also very much needed for software enhancement from the existing software. iv

5 RINGKASAN SRI PUJIYATI. C /TKL. Pendekatan Metode Hidroakustik untuk Analisis Keterkaitan antara Tipe Substrat Dasar Perairan dengan Komunitas Ikan Demersal. Dibimbing oleh Bonar P. Pasaribu, Indra Jaya, Djisman Manurung. Substrat dasar perairan berperan penting bagi kehidupan biota yang hidup di daerah dasar perairan. Dasar perairan adalah habitat bagi bentos, ikan demersal dan juga biota laut lainnya. Oleh karena itu, akurasi dan kecermatan yang tinggi untuk mengklasifikasikan substrat dasar menjadi penting. Namun data mengenai tipe dasar perairan dan hubungannya dengan biota, khususnya ikan demersal masih sangat kurang. Hal ini disebabkan metode yang dipergunakan secara umum terbatas pada metode grab yang hanya mampu memetakan areal yang sempit berdasarkan stasiun sampling di dasar perairan. Dewasa ini sudah berkembang metode baru untuk mendapatkan informasi mengenai tipe substrat dasar perairan, yaitu metode hidroakustik. Substrat dasar laut, sedimen, bentos dan vegetasi dapat diakses dengan menggunakan echosounder dan diproses secara digital. Perbedaan tipe substrat dasar perairan dapat diketahui melalui kekasaran topografi dan kekerasan substrat dasar perairan yang terdiri dari karang, batu, pasir, lumpur dan tanah liat. Penelitian ini mengkaji keterkaitan antara tipe substrat dasar perairan dengan komunitas ikan demersal dengan pendekatan metode hidroakustik. Oleh karena itu data yang diperoleh terdiri dari data substrat dasar perairan, data ikan demersal, data oseanografi dan data lainnya yang berhubungan. Data tersebut diperoleh dari lokasi Belitung tahun 2002 dan 2005, Laut Jawa tahun 2002 dan 2005, Kalimantan Timur 2004 dan Pulau Pari (Kepulauan Seribu) tahun Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan beberapa program pengolahan data echo, yaitu Simrad EP-500, echoview versi 3,5 dan Simrad BI 60. Klasifikasi dasar perairan dilakukan berdasarkan analisis komponen utama (AKU) dilanjutkan dengan analisis pengelompokan (cluster analysis) terhadap data hidroakustik dan substrat dasar perairan hasil pengambilan dengan grab. Hubungan faktor abiotik dan komunitas ikan demersal dilakukan secara deskriptif dengan melakukan overlay peta sebaran horisontal tipe substrat, dan sebaran ikan dengan menggunakan program surfer. Hasil dalam pendeteksian dasar perairan menunjukkan bahwa semakin keras substrat dasar perairan, maka nilai hambur balik dasar perairan yang diperoleh akan semakin kuat. Sebaliknya bila semakin lunak substrat dasar perairan, maka nilai hambur balik yang diterima semakin lemah. Berdasarkan AKU dan analisis pengelompokan dapat diketahui bahwa kekuatan hambur balik dari dasar perairan dengan substrat karang adalah paling kuat, diikuti hambur balik dari pasir, pasir berlumpur dan lumpur berpasir yang berturut-turut semakin lemah. Selanjutnya hasil klasifikasi berdasarkan nilai hambur balik dasar perairan tersebut dapat digunakan untuk menduga tipe substrat yang ada di perairan lain. Deteksi hidroakustik dan sapuan trawl terhadap ikan demersal memberikan informasi bahwa densitas ikan demersal lebih tinggi di perairan dangkal (<36,5 m) dengan nilai Target Strength ikan tunggal yang kecil. Ikan-ikan kecil ini diidentifikasi sebagai jenis pepetek (Leiognathus splenden). Hubungan faktor abiotik (substrat dasar perairan dan kondisi oseanografis) dengan komunitas ikan demersal menunjukkan: v

6 1) Ikan pepetek (Leiognathus splenden) tidak menghuni seluruh perairan dengan substrat lumpur. Ikan ini ditemukan pada substrat lumpur dekat pantai. 2) Ikan biji nangka (Upeneus sulphureus) merupakan spesies yang memiliki frekuensi kemunculan yang tinggi di seluruh stasiun sapuan trawl. Ikan ini ditemukan di daerah dengan substrat lumpur dan semakin menjauhi pantai jumlah berat ikan hasil sapuan trawl semakin meningkat. 3) Ikan kurisi (Nemipterus japonicus) merupakan spesies dominan ketiga, spesies ini ditemukan di daerah berlumpur yang berada di tengah-tengah perairan. 4) Ikan pepetek (Leiognathus bindus) merupakan spesies kedua yang memiliki frekuensi kemunculan tinggi di seluruh stasiun sapuan trawl. Penyebaran spesies ini mirip dengan ikan biji nangka (Upeneus sulphurus) yaitu ditemukan di subtrat lumpur dan semakin menjauhi pantai berat sapuan semakin besar. 5) Ikan beloso (Saurida longimanus) merupakan spesies dengan frekuensi kemunculan ke tiga tertinggi di seluruh stasiun sapuan trawl. Spesies ini penghuni substrat lumpur di tengah perairan. Hasil keseluruhan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metode hidroakustik adalah instrumen yang efisien dan efektif dalam pendeteksian dan pengklasifikasian tipe substrat dasar perairan. Substrat dasar perairan yang terdiri dari karang, pasir, pasir berlumpur, dan lumpur berpasir masing-masing memberikan nilai hambur balik yang berbeda. Di Laut Jawa, faktor-faktor abiotik seperti jenis substrat dasar perairan dan kondisi oseanografis sangat berpengaruh terhadap distribusi komunitas ikan-ikan demersal. Hubungan antara keterkaitan tipe substrat dan komunitas ikan demersal di perairan Laut Jawa menunjukkan pola yang berbeda untuk lima jenis ikan dominan, yaitu Leiognathus splenden, Upeneus sulphurus, Nemipterus japonicus, Leiognathus bindus dan Saurida longimanus. Penelitian lanjutan mengenai klasifikasi substrat dasar perairan dapat dilakukan dengan metode hidroakustik di perairan dengan berbagai jenis substrat dasar perairan untuk melengkapi hasil penelitian yang ada. Di samping itu pengembangan program pengolahan data juga sangat diperlukan untuk peningkatan software yang telah tersedia. vi

7 Hak Cipta milk Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya tulis, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. vii

8 PENDEKATAN METODE HIDROAKUSTIK UNTUK ANALISIS KETERKAITAN ANTARA TIPE SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DENGAN KOMUNITAS IKAN DEMERSAL Oleh : SRI PUJIYATI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 viii

9 Judul Disertasi : Pendekatan Metode Hidroakustik untuk Analisis Keterkaitan antara Tipe Substrat Dasar Perairan Komunitas Ikan Demersal Nama : Sri Pujiyati NRP : C dengan Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu, M.Sc Ketua Dr.Ir. Indra Jaya, M.Sc Anggota Dr.Ir. Djisman Manurung, M. Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr.Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S Taggal Ujian : 29 Februari 2008 Tanggal Lulus: 12 Maret 2008 ix

10 KATA PENGANTAR Ucapan syukur penulis naikkan kepada DIA yang memberikan anugerah yang melimpah. Penulis menyadari bahwa apa yang telah terjadi dalam proses disertasi ini bukan karena gagah dan kuatnya penulis, tapi karena kasih-nya semata. Penelitian ini merupakan hasil keikutsertaan penulis pada survei yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap (PRPT) - Jakarta pada tanggal 5 September sampai 30 Oktober 2002, dilengkapi dengan data survei tahun 2002, 2005 dan 2007 yang dilakukan oleh tim Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) - Jakarta. Penelitian ini berisikan gagasan penulis untuk memanfaatkan metode hidroakustik untuk menduga tipe substrat dasar perairan dan menganalisis hubungan antara tipe substrat dengan komunitas ikan demersal yang ada. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu, M.Sc, sebagai ketua komisi atas bimbingan dan pengarahan, sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. Demikian juga kepada Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc dan Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc, sebagai komisi pembimbing atas bimbingan dan masukan dalam penyusunan tulisan ini. Tak lupa penulis juga sampaikan terima kasih kepada Almarhum Dr. Ir. Johanes Widodo, MS, APU sebagai pembimbing semasa hidupnya, 2. Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, sebagai penguji tamu pada ujian tertutup atas masukan yang diberikan pada tulisan ini, 3. Dr. Ir. Chandra Nainggolan, M.Sc dan Dr. Ir. Bambang Sadhotomo, M.S, sebagai penguji tamu pada ujian terbuka atas masukan dan ide-ide cemerlang untuk kelanjutan penelitian ini, 4. Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.S dan Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.S selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB, 5. Prof. Dr. Daniel M. Monintja, atas perhatian dan dorongan semangat yang beliau berikan selama studi, 6. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, atas ijin yang diberikan untuk melanjutkan program doktor, 7. Pimpinan Balai Riset Perikanan Laut beserta staf Laboratorium Akustik yang telah memberikan ijin dan membantu dalam pengadaan data, x

11 8. Direktur Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Indonesia, atas beasiswa yang diberikan untuk mengikuti sekolah pascasarjana. 9. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB dan staf yang memberikan semangat dan bantuannya. 10. Teman-teman seperjuangan Ir. Diniah, M.S; Rusyadi, SH., MH; Dr. Nurjanah; Dr. Priyanto Rahadjo, M.Sc.; Dr. Nyoman I. S.; Dr. Moh. Imron; Dr. Simon; Dr. Asmika; Dr. Linda; Erina Hertanti, M.Si dan teman-teman yang terus berbagi semangat. Penulis juga memberikan penghargaan dan ucapan terma kasih kepada suami tercinta Ir. Arif Prayitno Santoso dan kedua anak Ariel Hananya, Adiel Kurnia Bakti atas keiklasannya untuk berkorban, berbagi, mendorong dan berdoa tanpa henti hingga selesainya tulisan ini. Tak lupa kepada keluarga besar Bapak Ibu Wagiman Mardisutrisno, Ibu Dyahsih Anti, Keluarga Ir. Agung Prasetsyo, MT yang selalu berdoa dan memberikan dukungan yang luar biasa. Penulis menyadari bahwa tak ada gading yang tak kan retak, oleh karena itu perbaikan dan penelitian selanjutnya masih terus dikembangkan dan dilakukan, dengan harapan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin Bogor, 29 Februari 2008 Penulis xi

12 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Purworejo, 21 Oktober 1967, sebagai anak ke empat dari lima bersaudara pasangan Bapak Wagiman Mardi Sutrisno dan Ibu Saikem. Pada tahun 1990 penulis lulus dari Fakultas Perikanan, Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dengan judul skripsi Suatu Deskripsi Serta Analisis Efisiensi Teknis-Ekonomis Unit Penangkapan Gemplo dan Bagan Tancap dalam Penangkapan Ikan Teri di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Pada tahun 1992 menjadi calon pegawai sipil di Fakultas Perikanan dan hingga saat ini menjadi staf pengajar di Bagian Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun tahun 1994 penulis mendapat kesempatan dari Departemen Pendidikan Nasional untuk melanjutkan studi Program Pascasarjana IPB, pada Program Studi Teknologi Kelautan dan lulus tahun 1996 dengan judul tesis Pendugaan Nilai Target Strength Ikan dengan Menggunakan Transducer Bim Ganda di Perairan Selat Sunda. Tahun 2001 melanjutkan jenjang program doktor (S3) di program studi yang sama dengan menyelesaikan disertasi yang berjudul Pendekatan Metode Hidroakustik untuk Analisis Keterkaitan antara Tipe Substrat Dasar Perairan dengan Komunitas Ikan Demersal. xii

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xvii DAFTAR LAMPIRAN...xxii DAFTAR ISTILAH...xxiii 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Penelitian Hipotesis Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sedimen Dasar Laut Perikanan Demersal Secara Umum Perikanan Pemersal di Laut Jawa dan Sekitarnya Habitat dan Penyebaran Ikan Demersal Metode Hidroakustik Deteksi Ikan dengan Metode Hidroakustik Kondisi Umum di Daerah Penelitian TEORI PANTULAN DASAR PERAIRAN 3.1 Pantulan Gelombang Akustik dari Dasar Permukaan Atenuasi Suara dalam Sedimen Kecepatan Suara Rata-rata di dalam Sedimen Echo Sounding pada Dasar Laut Program Pengklasifikasi Permukaan Dasar Perairan BAHAN DAN METODE 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Peralatan Pengambilan Data Data Hidroakustik Data Sapuan Alat Tangkap Ikan Data Oseanografi Pengolahan Data Pengolahan Data Hidroakustik Pengolahan Data Sapuan Alat Tangkap Ikan Pengolahan Data Oseanografi Analisis Data Analisis Spasial dan Selang Kelas Kedalaman Analisis Komponen Utama (AKU) Analisis Kelompok HASIL PENELITIAN 5.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Batimetri Perairan...51 xiii

14 5.1.2 Substrat Dasar Perairan Kondisi Oseanografi Nilai Hidroakustik Hambur Balik Dasar Perairan Nilai Hambur Balik Dasar Perairan Hasil Olahan Program EP Perairan Jawa (2002) Perairan Belitung (2002) Nilai Hambur Balik Dasar Perairan dengan Program Echoview Perairan Laut Jawa (2005) Perairan Belitung (2005) Perairan Kepulauan Seribu (2007) Estimasi Stok Ikan Demersal Secara Hidroakustik Perairan Laut Jawa (Musim Peralihan II-2002) Perairan Laut Jawa (Musim Barat-2005) Perairan Belitung (Musim Peralihan I-2002) Perairan Belitung (Musim Peralihan II-2005) Perairan Kalimantan Timur (Musim Peralihan II-2004) Estimasi Stok Ikan Demersal Hasil Sapuan Trawl Perairan Laut Jawa (Musim Peralihan II-2002) Perairan Laut Jawa (Musim Barat-2005) Perairan Kalimantan Timur (Musim Peralihan II-2004) PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Batimetri Substrat Dasar Perairan Oseanografi Perairan Hambur Balik Dasar Perairan Klasifikasi Tipe Substrat Dasar Perairan Estimasi Stok Ikan Demersal Secara Hidroakustik Estimasi Stok Ikan Demersal Hasil Sapuan Trawl Hubungan antara Faktor Abiotik dan Komunitas Ikan Demersal Penyebaran Ikan Demersal Berdasarkan Selang Kelas Kedalaman Perairan Laut Jawa Perairan Belitung Perairan Kalimantan Timur KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiv

15 DAFTAR TABEL Halaman 1. Ukuran butiran menurut skala Wentworth (Wibisono, 2005) Ikan-ikan utama yang termasuk kelompok ikan demersal Potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal, tahun Rata-rata pengukuran dan penghitungan konstanta elastis sedimen di Pasifik Utara (Hamilton (1971a) in Clay, 1982) Waktu pengambilan data di lapangan Kisaran suhu dan salinitas di Laut Jawa Kisaran suhu dan salinitas di perairan Belitung Nilai rata-rata suhu dan salinitas di perairan Laut Jawa, Belitung dan Kalimantan Timur berdasarkan selang kelas kedalaman perairan Nilai hambur balik dasar perairan di Laut Jawa Kisaran nilai hambur balik dasar perairan di perairan Belitung Nilai rata-rata hambur balik dasar di perairan Laut Jawa dan perairan Belitung Frekuensi kemunculan spesies pada Musim Peralihan II di Laut Jawa Spesies yang dominan di setiap selang kelas kedalaman Frekuensi kemunculan spesies pada Musim Barat di Laut Jawa Spesies yang mendominan di setiap selang kelas kedalaman Frekuensi kemunculan spesies pada Musim Peralihan II di perairan Kalimantan Timur Spesies yang mendominasi pada setiap selang kelas kedalaman Perbandingan nilai rata-rata per lapisan di Laut Jawa dan perairan Belitung Perbandingan panjang ikan hasil sapuan Analisis selang kelas kedalaman substrat di Laut Jawa Analisis selang kelas kedalaman substrat di perairan Belitung xv

16 22. Analisis selang kelas kedalaman substrat di perairan Kalimantan Timur xvi

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian Aplikasi tetrahedron untuk klasifikasi tekstur (Krumbein and Sloss, 1951, dimodifikasi) Produksi sumberdaya ikan demersal di perairan Indonesia Prinsip pengoperasian alat akustik dan pengintegrasian echo (Sumber :dimodifikasi dari Echogram hasil deteksi alat hydroakustik (Sumber : Proses deteksi tipe dasar perairan yang berbeda (Sumber : Pengambilan data dengan menggunakan kombinasi peralatan hidroakustik dan trawl. Sumber : bez/catefa/ Arah angin muson selama Januari dan Juli (Fieux, 1987 in sadhotomo, 2006) Pergerakan arus permukaan di perairan Indonesia (Wyrtki, 1961) Arus dan suhu permukaan pada empat musim di perairan Laut Jawa (Purwandani, 2001) Arus dan suhu permukaan pada empat musim di perairan Selat Makasar (Purwandani 2001) Sebaran salinitas pada empat musim di perairan Laut Jawa (Purwandani, 2001) Salinitas permukaan pada empat musim di perairan Selat Makasar (Purwandani, 2001) Refleksi gelombang pada dua media (Siwabessy, 2001) Hubungan sudut datang dan nilai pantulan dasar pada berbagai frekuensi (Siwabessy, 2001) Hubungan sudut datang dengan pantulan dasar yang sangat kasar pada variasi frekuensi (Siwabessy, 2001) xvii

18 17. Hubungan sudut datang dan pantulan dasar pada berbagai tipe dasar perairan (Siwabessy, 2001) Lokasi penelitian Lintasan survei di enam lokasi studi Sebaran substrat di perairan Belitung berdasarkan citra Landsat 7 ETM (2002) Rata-rata nilai hambur balik dasar perairan di selang kelas kedalaman Sebaran nilai rata-rata hambur balik dasar perairan Laut Jawa Sebaran nilai hambur balik dasar perairan (db) pada kedalaman perairan di Laut Jawa Nilai rata-rata hambur balik dasar perairan pada setiap selang kelas kedalaman Sebaran hambur balik dasar perairan di perairan Belitung Sebaran nilai hambur balik dasar perairan pada kedalaman perairan di perairan Belitung Penyebaran nilai hambur balik dasar perairan Laut Jawa Penyebaran nilai hambur balik dasar perairan Belitung Penyebaran nilai hambur balik dasar pertama di perairan Kepulauan Seribu Penyebaran rata-rata target strength ikan demersal di perairan Laut Jawa pada Musim Peralihan II Jumlah ikan tunggal pada kisaran nilai target strength saat Musim Peralihan II di Laut Jawa Rata-rata nilai target strength pada setiap selang kelas kedalaman perairan Rata-rata jumlah ikan tunggal ikan demersal pada setiap selang kelas kedalaman perairan Penyebaran nilai rata-rata densitas ikan demersal pada Musim Peralihan II di perairan Laut Jawa Nilai densitas ikan demersal pada selang kelas kedalaman di perairan Laut Jawa saat Musim Peralihan II Sebaran nilai target strength pada Musim Barat di Laut Jawa xviii

19 37. Nilai rata-rata target strength di setiap selang kelas pada Musim Barat di Laut Jawa Jumlah ikan tunggal pada kisaran nilai target strength saat Musim Barat di Laut Jawa Sebaran densitas ikan sepanjang lintasan pada Musim Barat di Laut Jawa Rata-rata densitas ikan demersal di setiap selang kelas Kedalaman pada Musim Barat di Laut Jawa Penyebaran nilai rata-rata target strength ikan tunggal di perairan Belitung pada Musim Peralihan I Jumlah ikan demersal tunggal pada setiap nilai target strength di perairan Belitung pada Musim Peralihan I Nilai rata-rata target strength ikan demersal di perairan Belitung pada Musim Peralihan I Nilai rata-rata densitas ikan demersal di perairan Belitung pada Musim Peralihan I Rata-rata densitas ikan di setiap selang kelas kedalaman pada Musim Peralihan I di perairan Belitung Penyebaran nilai rata-rata target strength di perairan Belitung pada Musim Peralihan II Jumlah ikan demersal tunggal pada setiap kisaran nilai target strength di perairan Belitung pada Musim Peralihan II Nilai rata-rata target strength ikan demersal di perairan Belitung pada Musim Peralihan II Penyebaran densitas di perairan Belitung pada Musim Peralihan II Rata-rata densitas ikan di setiap selang kelas kedalaman pada Musim Peralihan I di perairan Belitung Jumlah target tunggal pada setiap kisaran nilai target strength di perairan Kalimantan Timur Sebaran nilai rata-rata target strength di perairan Kalimantan Timur pada Musim Peralihan II Nilai rata-rata target strength di setiap selang kelas kedalaman di perairan Kalimantan Timur pada Musim Peralihan II Sebaran nilai densitas di perairan Kalimantan Timur pada Musim Peralihan II xix

20 55. Nilai densitas di setiap selang kelas kedalaman di perairan Kalimantan Timur pada Musim Peralihan II Total sapuan ikan demersal di perairan Laut Jawa pada Musim Peralihan II (2002) Spesies ikan demersal yang mendominasi sapuan di Laut Jawa pada Musim Peralihan II (2002) Rata-rata densitas ikan demersal di setiap selang kelas kedalaman Rata-rata jumlah spesies di setiap selang kelas kedalaman Rata-rata jumlah famili di setiap selang kelas kedalaman Total sapuan ikan demersal di perairan Jawa Musim Barat Spesies ikan demersal yang mendominasi hasil sapuan di perairan Laut Jawa pada Musim Barat Rata-rata densitas ikan demersal di setiap selang kelas kedalaman Rata-rata jumlah spesies di setiap selang kelas kedalaman Rata-rata jumlah famili di setiap selang kelas kedalaman Total sapuan ikan demersal di perairan Kalimantan Timur pada Musim Peralihan II (2004) Spesies ikan demersal yang mendominasi hasil sapuan di perairan Kalimantan Timur Rata-rata densitas ikan demersal di setiap selang kelas kedalaman Total spesies di setiap selang kelas kedalaman Total famili di setiap selang kelas kedalaman Substrat dasar Laut Jawa (A) Losse and Dwiponggo, 1977, (B) :Emery et al (1972) in Sadhotomo (2006)) (a) Time-longitude plot SPL dari Januari-Desember dan (b) tahun (Gaol dan Sadhotomo, 2006) Potongan melintang temperatur di Laut Jawa pada waktu Musim Timur (atas) dan Musim Barat (bawah) (Gaol dan Sadhotomo, 2006) Potongan melintang salinitas Musim Barat (atas) dan (b) Musim Timur (bawah) di Laut Jawa (Gaol dan Sadhotomo, 2006) xx

21 75. (a) Potongan melintang salinitas Desember 2005 (b) Oktober 2005 (Sadhotomo, 2006) Penyebaran suhu secara vertikal di perairan Selat Makasar (Gordon, 2005) Nilai hambur balik dasar dari tipe substrat Hubungan nilai hambur balik dan tipe substrat Nilai hambur balik pantulan pertama (atas) dan nilai hambur balik pantulan ke dua (bawah) Analisis komponen utama tipe substrat Dendrogram grab Dendrogram hidroakustik Klasifikasi substrat di Laut Jawa Klasifikasi substrat di perairan Belitung Hubungan antara substrat lumpur dan berat sapuan Leiognathus splenden (pepetek) Hubungan antara substrat lumpur dan berat sapuan Upeneus sulphureus (biji nangka) Hubungan antara substrat lumpur dan berat sapuan Nemipterus japonicus (kurisi) Hubungan antara substrat lumpur dan berat sapuan Leiognathus bindus (pepetek) Hubungan antara substrat lumpur dan berat sapuan Saurida longimanus (beloso) xxi

22 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 23. Tampilan EP-500 versi 5.3 dan tampilan utama Echo View Peralatan hidroakustik Program pengolahan data Batimetri lokasi penelitian Kondisi oseanografi di lokasi penelitian Ilustrasi integrasi pada 4 lapisan dengan EP Hasil total sapuan trawl Daftar ikan xxii

23 DAFTAR ISTILAH Absorption : merupakan proses hilangnya energi dikarenakan adanya gesekan diantara partikel-partikel batuan yang berosilasi atau pergerakan cairan dalam suatu pori-pori batuan. Proses pergesekan ini menyebabkan konversi energi getaran menjadi energi panas. Pelemahan yang disebabkan konversi energi ini disebut juga Intrinsic Antenuation. Acoustic (Akustik) : Ilmu tentang suara, sifat dan karakteristiknya di dalam suatu medium (air). Backscattering (hambur balik) : Jumlah energi per satuan waktu yang dipantulkan oleh target selama transmisi suara dari transducer. Backscattering cross section coefficient : Koefisien dari area (penampang) yang menghamburbalikkan energi atau gelombang suara. Backscattering volume : Perbandingan antara kekuatan intensitas suara yang dipantulkan dengan intensitas suara yang mengenai target yang terintegrasi pada volume tertentu. Beam (sorot) angle : Besarnya sudut yang dibentuk oleh titik-titik yang menghasilkan respon setengah sudut sorot dari sumbu utama. Densitas : Indeks atau indikator sebaran (ikan) yang xxiii

24 menggambarkan jumlah berat total dibagi volume sapuan/integrasi (kg/m 3 atau g/m 3 ). Echogram : rekaman dari rangkaian gema. Scattering : merupakan penyerapan energi yang tidak beraturan yang disebabkan ketidakhomogenan media yang dilalui energi tersebut. Spherical divergence : Pelemahan energi yang disebabkan adanya sifat penyerapan energi ke segala arah dari sumber energi sehingga energi didistribusikan seperti suatu permukaan bola imaginer. Target strength : Perbandingan antara intensitas yang mengenai target dengan intensitas gema yang diukur pada jarak 1 meter dari target. Transducer : Komponen dalam echosounder yang berfungsi untuk mengubah energi listrik menjadi energi suara dan sebaliknya. Transmission Loss : penyerapan energi yang disebabkan adanya perbedaan impedansi karena perubahan litologi. Energi seismic yang melalui lapisan bumi yang berbeda litologi, sebagian akan dipantulkan dan sebagian ditruskan. Mekanisme ini akan menyebabkan amplitude gelombang yang diteruskan akan berkurang. xxiv

25 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna. Mikrofauna berperan sebagai pengurai bahan-bahan anorganik menjadi bahan-bahan organik yang banyak dimanfaatkan oleh biota-biota lain. Laevastu dan Hela (1981) menggambarkan bahwa mikrofauna sebagai awal terbentuknya mata rantai makanan bagi biota-biota laut lainnya. Kesuburan suatu perairan juga ditentukan oleh mikrofauna yang berada di dalam dasar perairan. Salah satu jenis makrofauna adalah ikan demersal. Ikan demersal mempunyai potensi yang seharusnya diperhitungkan dalam pengelolaan sumberdaya hayati laut yang berkelanjutan. Hal ini disebabkan potensi sumberdaya ikan demersal memberikan sumbangan terbesar ke dua setelah ikan pelagis untuk total produksi ikan di Indonesia. Selain itu ikan demersal memiliki nilai ekonomis penting, baik untuk di ekspor ke luar negeri maupun untuk konsumsi dalam negeri. Salah satu sumberdaya ikan demersal yang memiliki potensi yang cukup besar berada di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) III yaitu Perairan Laut Jawa dan sekitarnya, yaitu sebesar 431,20 x 10 3 ton/tahun namun baru 40,18 % tingkat pemanfaatnya. Menurut Boer et al (2001) sumberdaya ikan demersal di perairan ini masih memiliki peluang pengembangannya sebesar 49,82%. Penelitian mengenai ikan demersal itu sendiri telah dilakukan oleh ilmuan Jerman bekerjasama dengan ilmuan Indonesia dimulai tahun 1974 sampai 1979 (Widodo, 1980) dengan melakukan identifikasi jenis ikan yang tertangkap dan komposisinya. Setelah itu, dengan adanya pelarangan penggunaan alat tangkap trawl oleh pemerintah, penelitian mengenai ikan demersal sempat terhenti. Namun beberapa peneliti mencoba kembali melanjutkan penelitian tersebut, antara lain Sadhotomo (1990) melakukan penelitian mengenai Ordinasi Komunitas Ikan Demersal di Pantai Utara Jawa I, dimana terungkap bahwa ada dua populasi ikan demersal yang dibatasi oleh Tanjung Mandalika. Sumiono et al. (2002) juga telah melakukan survei trawl dengan kapal KM Mutiara IV pada bulan Juni 2000 di Perairan antara Semarang Pekalongan dan Rembang

26 2 Lasem yang menghasilkan tangkapan terbanyak adalah ikan pepetek, dengan rata-rata laju tangkapan 285 kg/jam. Penelitian-penelitian mengenai ikan demersal ini umumnya menggunakan metode swept area. Metode swept area memiliki beberapa kendala antara lain bukaan mulut jaring yang sering tidak optimal, diperlukan kapal yang berukuran besar, dan diduga menyebabkan kerusakan sumberdaya ikan, sebab alat ini memiliki selektivitas yang rendah. Melihat kendala yang dimiliki oleh metode ini maka perlu dipikirkan inovasi-inovasi baru untuk menjawab permasalahan yang ada, atau dikembangkan metode lain yang sanggup melakukan eksplorasi tanpa merusak sumberdaya ikan yang ada. Metode hidroakustik merupakan satu alternatif yang dapat dikembangkan untuk dapat memberikan informasi mengenai ikan tunggal, densitas dan keberadaan ikan. Metode ini dapat melakukan pendeteksian langsung kepada target ikan dari permukaan hingga dasar perairan. Informasi yang diperoleh nantinya dapat memberikan masukan baru dalam pemetaan sumberdaya ikan demersal di setiap perairan. Penggunaan teknologi hidroakustik semakin dikenal di dunia perikanan Indonesia, yaitu dengan adanya kerjasama antara Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) Jakarta bekerja sama dengan ORSTOM (Perancis) di bawah naungan Java Sea Pelagic Fisheries Assessment Project dari tahun 1992 hingga Penelitian hidroakustik ini dilakukan di Perairan Laut Jawa namun masih terbatas dalam eksplorasi ikan pelagis. Di Indonesia sendiri klasifikasi mengenai dasar perairan masih relatif sedikit. Wyrtki (1961) telah mengklasifikasikan tipe substrat dasar di Laut Jawa, sedangkan di wilayah yang lebih luas dan perairan yang lebih dalam masih belum banyak dilakukan. Hal ini disebabkan metode yang dipergunakan masih menggunakan metode sampling yang menggunakan grab, yang memiliki kelemahan hanya dapat dipergunakan dalam wilayah yang terbatas dan dangkal dengan waktu yang lama. Dewasa ini sudah berkembang metode baru untuk mendapatkan informasi mengenai tipe dasar, sedimen dasar dan tanaman-tanaman laut dengan menggunakan echosounder dan pengolahan data secara digital. Perbedaan tipe dasar laut dapat digambarkan melalui kekasaran (roughness) dasar dan kekerasan dasar (hardness) dari batu, pasir, lumpur atau

27 3 campurannya. Beberapa program pengolahan data yang digunakan adalah RoxAnn TM and QTC View TM systems. Penelitian mengenai klasifikasi akustik dasar dari habitat laut di perairan subtropis sudah dilakukan Freitas et al. (2003) di daerah pesisir barat Portugal, dengan menggunakan program QTC View dan RoxAnn yang memberikan hasil bahwa ada tiga kelas akustik yang teridentifikasi yaitu pasir dengan campuran sedikit lumpur dan liat, pasir halus dan Lumpur dan tiga kelompok biota bentik dengan indek keragaman dan kelimpahan yang berbeda. Siwabessy (2001) juga telah melakukan penelitian untuk melihat hubungan tipe substrat dan biota bentik, bento pelagik dengan metode akustik yang dilengkapi program ECHO. Hasil yang diperoleh adanya empat tipe substrat yang diklasifikasikan sebagai substrat lembut halus, keras halus, keras kasar dan lembut kasar dan di temukan juga empat kelompok berdasarkan komposisinya. Alat yang dipergunakan dalam penelitian Siwabessy (2001) adalah echosounder Simrad EK-500 dengan frekuensi 12, 38, 120 KHz. Freitas et al. (2003) menggunakan frekuensi 20 dan 5000 KHz. Penggunaan alat dengan frekuensi tinggi ini karena lokasi penelitian di lokasi dangkal. Namun berdasarkan informasi dari SIMRAD (2006), frekeunsi 12 KHz sanggup untuk mendeteksi hingga kedalaman m. Dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk melakukan penelitian untuk dapat mengklasifikasikan tipe substrat dasar perairan dan sumberdaya ikan demersal dengan akurasi yang tinggi, yaitu dengan metode hidroakustik dan di verifikasi dengan data hasil sapuan trawl dan pengambilan contoh dengan grab di perairan dangkal di daerah tropis, dengan menggunakan peralatan Simrad EY- 500 (38 KHZ), EY-60 dan EK-60 (120 KHz) serta program EP-500 dan Echo View. Hasil penelitian ini juga menjawab apakah faktor abiotik memiliki hubungan dengan komunitas ikan demersal di lokasi penelitian. Substrat dasar secara hidroakustik adalah substrat yang terintegrasi pada kedalaman 0,2 m dari permukaan dasar perairan. Densitas ikan demersal ini dianalisis dan dihubungkan dengan kondisi substrat dasar serta faktor oseanografi. Ikan demersal yang terdeteksi adalah ikan-ikan yang ada di kolom perairan dekat dasar dengan ketebalan lapisan air untuk integrasi 1,2 m dari permukaan dasar laut.

28 4 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis nilai hambur balik dasar perairan dari berbagai tipe substrat dan mengklasifikasinya serta menerapkan nilai tersebut untuk mengestimasi tipe substrat dasar perairan di lokasi lain. 2. Menganalisis faktor abiotik (parameter oseanografi) dari setiap habitat ikan demersal. 3. Menganalisis nilai target strength dan densitas ikan demersal hasil deteksi hidroakustik di setiap habitat. 4. Menganalisis hasil tangkapan ikan demersal dengan trawl untuk mengetahui keberadaan komunitas ikan demersal di setiap habitat. 5. Mencari hubungan antara keterkaitan faktor abiotik yaitu tipe substrat dasar dan parameter oseanografi terhadap keberadaan ikan demersal. 1.3 Hipotesis (1) Nilai hambur balik dasar perairan yang dimiliki oleh karang, pasir, dan lumpur sangat berbeda. Nilai hambur balik ini dipengaruhi oleh besarnya butiran partikel dari subtrat dasar perairan itu sendiri, (2) Faktor abiotik mempengaruhi keberadaan komunitas ikan demersal. 1.4 Kerangka Pemikiran Penentuan klasifikasi substrat dasar perairan dan sebaran sumberdaya ikan demersal dengan akurasi yang tinggi sangat di butuhkan dalam dunia kelautan dan perikanan. Hal ini di sebabkan substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna, dimana mikrofauna berperan sebagai pengurai bahan-bahan anorganik menjadi bahan-bahan organik yang banyak dimanfaatkan oleh biota-biota lain. Salah satu jenis makrofauna yang memiliki nilai ekonomis adalah ikan demersal. Sumberdaya ikan demersal memberikan sumbangan terbesar kedua setelah ikan pelagis untuk total produksi ikan di Indonesia.

29 5 Namun untuk mendapatkan atau menentukan jenis subsrat dasar di suatu perairan mengalami kendala yang disebabkan metode yang selama ini dipergunakan (metode grab) belum mampu memberikan informasi mengenai pemetaan dasar secara luas dan jelas. Selain itu penelitian mengenai pemetaan dasar perairan belum dikaji lebih lanjut hubungannya dengan biotabiota yang ada di dalamnya. Berdasarkan permasalahan di atas, perlu dilakukan pengkajian mengenai habitat dan sumberdaya ikan demersal dengan pendekatan terpadu yaitu metode hidroakustik, dilengkapi hasil sapuan trawl, sampling grab dan parameter oseanografi. Data sapuan trawl dan grab dipergunakan sebagai verifikasi data yang diperoleh integrasi hidroakustik. Metode hidroakustik akan memberikan informasi mengenai nilai hambur balik substrat dasar perairan beserta target strength dan densitas ikan demersal. Hasil sapuan trawl akan memberikan informasi mengenai densitas dan komposisi ikan demersal, grab akan memberikan informasi mengenai tipe substrat dasar perairan, dan parameter oseanografi akan memberikan informasi mengenai penyebaran suhu, salinitas dari habitat ikan. Semua itu nantinya akan memberikan informasi mengenai faktor abiotik dan komunitas ikan demersal dan selanjutnya akan dicari hubungan antara faktor abiotik terhadap komunitas sumberdaya ikan demersal Gambar 1. Tahapan yang akan dilakukan untuk menjawab permasalah di atas adalah: Tahap I. Analisis dugaan tipe substrat dasar perairan berikut sebarannya berdasarkan hasil deteksi hidroakustik. Dugaan tipe substrat dasar perairan di lokasi penelitian diperoleh dengan menggunakan nilai hambur balik dasar perairan hasil pengolahan data hidroakustik dengan program EP-500 dan Echo view. Data ini akan di analisis untuk mengetahui tipe-tipe substrat dasar perairan secara hidroakustik dan selanjutnya dipetakan untuk mendapatkan penyebarannya. Tahap II. Analisis Faktor Oseanografi-grab dari dasar Perairan Tahapan ini menganalisis data oseanografi (suhu, salinitas, arus) untuk mengetahui penyebaran parameter oseanografi di wilayah studi.

30 6 Tahap III. Estimasi target strength dan densitas Ikan demersal Tahapan ini dilakukan dengan pengambilan data di lapangan dengan menggunakan peralatan Split Beam Acoustic System model EY-500 dan EY-60 sepanjang lintasan kapal. Selanjutnya, data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program EP-500 dan BI, kemudian dilakukan analisis untuk memetakan densitas dan target strength ikan. Tahap IV. Identifikasi kawanan ikan demersal hasil sapuan trawl Tahapan ini dilakukan pengoperasian alat tangkap trawl, kemudian hasil tangkapan dipisah-pisahkan sesuai jenisnya dan dilakukan identifikasi. Selain itu dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat total setiap jenis, selanjutnya dilakukan pengambilan contoh dari setiap jenis/spesies yang ada kemudian diukur panjang dan berat dari masing-masing contoh. Data ini digunakan sebagai verifikasi data hidroakustik yang diperoleh dengan alat akustik split beam transducer. Tahap V. Keterkaitan faktor abiotik dan komunitas ikan demersal Tahapan ini merupakan upaya untuk mencari hubungan faktor abiotik (tipe substrat dasar perairan dan parameter oseanografi) dengan komunitas ikan demersal.

31 7 Permasalahan Utama Penentuan tipe substrat dasar perairan dan sebaran SDI demersal dengan akurasi yang tinggi Dasar perairan merupakan habitat bagi fauna dan flora yang keberadaannya dipengaruhi oleh tipe substrat Data substrat dasar perairan sangat terbatas, sehingga sulit mengkaitkan tipe substrat dasar dengan keberadaan fauna bentik (khususnya SDI demersal) Saran Pemecahan perlu dilakukan pengkajian mengenai tipe substrat dasar sebagai habitat ikan demersal dan SDI demersal Pemecahan Masalah: Pendekatan terpadu yang melibatkan metode hidroakustik, swept area dan sampling grab Trawl hidroakustik Grab CTD Jenis, Komposisi ikan demersal Densitas SV, TS SV bottom Substrat dasar Suhu, Salinitas arus SDI demersal Faktor Abiotik Hasil Hubungan antara faktor abiotik terhadap komunitas SDI demersal Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

32 8 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sedimen Dasar Laut Menurut asal usul sedimen dasar laut dapat digolongkan sebagai (Wibisono, 2005): (1) Lithogeneous : Jenis sedimen ini berasal dari pelapukan batuan dari daratan, lempeng kontinen termasuk yang berasal dari kegiatan vulkanik. Sedimen ini memasuki kawasan laut melalui drainase air sungai. (2) Biogenous : sedimen ini berasal dari organisme laut yang telah mati terdiri dari remah-remah tulang, gigi geligi dan cangkang-cangkang tanaman maupun hewan mikro. (3) Hydrogenous : sedimen ini berasal dari komponen kimia yang larut dalam air laut dengan konsentrasi yang kelewat jenuh sehingga menjadi pengendapan (deposisi) di dasar laut. (4) Cosmogenous : sedimen ini berasal dari luar angkasa di mana partikel dari benda-benda angkasa ditemukan di dasar laut dan mengandung banyak unsur besi sehingga mempunyai respons magnetik dan berukuran antara m. Klasifikasi sedimen dapat dilakukan berdasarkan besaran butiran seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Ukuran butiran menurut skala Wentworth (Wibisono, 2005) Fraksi Sedimen Partikel Ukuran Butir (mm) Bongkahan >256 Batu Krakal Kerikil 4-64 Butiran 2-4 Pasir sangat kasar 1-2 Pasir kasar 0,5-1 Pasir Pasir sedang 0,25-0,5 Pasir halus 0,125-0,25 Pasir sangat halus 0,063-0,125 Lumpur kasar 0,031-0,063 Lumpur sedang 0,016-0,031 Lumpur Lumpur halus 0,008-0,016 Lumpur sangat halus 0,004-0,008 Lempung kasar 0,002-0,004 Lempung Lempung sedang 0,001-0,002 Lempung halus 0,0004-0,001 Lempung sangat halus 0,0002-0,0004

33 9 Klasifikasi campuran sedimen dapat dilakukan berdasarkan komposisi partikel di dalam sedimen itu sendiri. Komposisi partikel sedimen dapat dipetakan didalam tetrahedron yang di gambarkan dalam bentuk segitiga (Gambar 2) untuk mendapatkan campuran yang pas dari komposisi yang ada. 100 % SAND SAND 75% 25% SILTY CLAYEY 50 % SAND SAND 50 % MUDDY SANDY CLAYED SANDY SILT SANDY CLAY 25 % 75 % SILT CLAYEY SILTY CLAY SILT CLAY 100 % 75 % 50 % 25 % 100 % SILT CLAY Gambar 2. Aplikasi tetrahedron untuk klasifkasi tekstur (Krumbein and Sloss, 1951, dimodifikasi) 2.2 Perikanan Demersal Secara Umum Sumberdaya ikan demersal adalah jenis-jenis ikan yang hidup di dasar atau dekat perairan dengan ciri utama adalah : memiliki aktifitas yang relatif rendah, gerak ruaya yang tidak jauh dan membentuk gerombolan yang tidak terlalu besar, sehingga penyebarannya relatif lebih merata dibandingkan dengan ikan pelagis (Aoyama, 1973 dalam Badrudin et al, 1998). Akibat aktifitas yang rendah dan gerak ruaya yang tidak jauh, maka daya tahan ikan demersal terhadap tekanan penangkapan relatif rendah sehingga apabila intensitas penangkapan ditingkatkan dua kali upamanya, maka mortalitas penangkapan (fishing mortality) akan meningkat dua kali pula. Salah satu contoh ikan cod, ikan haddock di laut utara Norway mengalami penurunan jumlah (dalam kondisi kritis) akibat bertambahnya armada kapal (Wigan, 1998).

34 10 Ikan demersal dibedakan menjadi dua tipe, yaitu (1) round fish misalnya cod, haddock, hake dan (2) flat fish yang beradaptasi lebih luas dengan kehidupannya di atas dasar laut, misalnya plaice, sole dan halibut. Ikan yang hidup berdekatan dengan dasar akan beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya, memiliki modifikasi struktur dimana badan mereka terpipihkan dan kedua matanya bergeser ke satu sisi dari kepalanya. Ikan plaice (Pleuronectes platessa) adalah contoh ikan yang telah mengalami modifikasi dalam beberapa hal seperti cara berbaring di atas dasar dengan sisi kanannya di sebelah atas, warnanya yang menyesuaikan sehingga sama persis dengan lingkungan, perilaku gerakan sirip-siripnya dan sebagainya. Contoh lain adalah ikan pari dimana pemipihan terjadi pada arah yang berlawanan, dan badannya lebih simetris. Ikan-ikan utama yang termasuk ke dalam kelompok ikan demersal dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu ikan demersal besar dan ikan demersal kecil. Dua kelompok tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Namun dilihat dari nilai ekonomisnya, ikan demersal yang memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu ikan kakap merah, kerapu, pari, bawal putih, bawal hitam. Tabel 2. Ikan-ikan utama yang termasuk kelompok ikan demersal No. Sub kelompok Nama Indonesia Nama Inggris Nama Ilmiah 1 Demersal Besar Kakap merah Barramundi, Lutjanus malabaricus Giant sea perch L.. sanguineus L.. johni Kerapu Groupers Epinephelus spp. Manyung Sea catfishes Arius spp. Senangin Thread fins Polynemus spp. Eleutheroneme tetradactylum Pari Rays Trigonidae Remang Murrays Muraenesex spp. Bawal putih Silver pomfret Pampus argenteus Bawal hitam Black pomfret Formio niger Tiga waja Drums Scianidae Ketang-ketang Spotted Sickelfish Drepane punctata Gulamah Croackers Scianidae Layur Hairtails, cutlass fishes Trichiurus spp. 2 Demersal Kecil Pepetek Pony fishes, slip mounts Leiognathidae Kuniran Goatfish Upeneus sulphureus Beloso Lizard fishes Saurida spp. Kurisi Treadfin breams Nemipterus spp. Gerot-gerot Grunters, sweetlips Pomadasys spp. Sebelah Indian halibuts Psettodidae Sumber : Boer, et al (2001)

35 11 Produksi ikan di Indonesia tahun 2002 menunjukkan hasil yang tinggi dimana Ikan pelagis kecil 1.546,33 x 10 3 ton (46%), diikuti ikan demersal 1.085,36 x 10 3,ton (32%) dan ikan pelagis besar 737,18 x 10 3 ton (22%) Gambar 3. Produksi ikan x 10 3 ton Ikan pelagis besar Ikan pelagis kecil Ikan demersal Gambar 3. Produksi sumberdaya ikan demersal di perairan Indonesia Daerah penangkapan ikan demersal di Indonesia cukup luas, antara lain meliputi hampir seluruh perairan Paparan Sunda yaitu Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan Laut Jawa. Juga di Paparan Sahul yang mencakup Laut Arafura yaitu sekitar Dolak, Tembaga Pura, Kepulauan Aru dan Tanimbar. Selain itu di perairan pantai barat Sumatera mulai dari Aceh Barat, pantai selatan Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, pantai timur Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Kesemuanya merupakan daerah penangkapan yang mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan. Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir semua perairan sampai dengan kedalaman 100 meter dengan permukaan dasar relatif rata, jenis substrat lumpur dan lumpur berpasir serta sedikit berkarang merupakan daerah penyebaran yang potensi untuk penangkapan ikan demersal, namun menurut Ridho et al (2002) informasi mengenai distribusi ikan demersal yang dikumpulkan dan dianalisis baru terbatas pada sebagian perairan Paparan Sunda, yaitu Laut Jawa dan perairan Laut Cina Selatan. Boer et al (2001) telah melakukan pendataan pada 8 wilayah pengelolaan untuk mengetahui potensi, pemanfaatan dan peluang pengembangan sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya ikan demersal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

36 12 No Tabel 3. Potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal, tahun 2000 Wilayah Pengelolaan Perikanan Luas sapuan (10 3 km) Densitas (ton/km 2 ) Potensi (10 3 ton/th) Produksi (10 3 ton) Tingkat Pemanfaatan (%) Selat Malaka 80,00 2,06 82,40 97,28 118,06 Laut Cina Selatan 558,00 2,35 655,65 82,46 12,58 Laut Jawa 962,00 2,20 431,20 173,27 40,18 Selat Makasar dan Laut Flores 109,00 1,60 87,20 101,85 116,80 Laut Banda 9,00 2,07 9,32 22,12 237,35 Laut Seram sampai T. Tomini 81,00 2,07 83,84 12,25 14,61 L.Sulawesi dan S. Pasifik 53,00 2,07 54,86 21,67 39,50 Laut Arafura 329,00 1,50 246,75 20,54 8,33 Samudera Hindia 115,00 2,35 135,13 89,17 65,99 Total 1.726,00 2, ,35 620,61 34,74 Sumber : Boer, et al Ridho et al (2001) telah melakukan penelitian mengenai distribusi Biomassa Sumberdaya Ikan Demersal di Perairan Pantai Bengkulu dengan metode swept area menunjukkan bahwa total biomassa ikan demersal di setiap stasiun berkisar 50, ,8 kg/km 2. Rhido et al (2002) juga melakukan penelitian dengan judul Distribusi Biomassa Sumberdaya Ikan Demersal di perairan Laut Cina Selatan, dengan metode swept area juga menunjukkan biomassa ikan demersal sebesar 214, ,46 kg/km 2 pada 19 stasiun. 2.3 Perikanan Demersal di Laut Jawa dan Sekitarnya Kegiatan penelitian sumberdaya ikan demersal secara teratur di perairan Laut Jawa telah dimulai sejak tahun 1974 melalui kerjasama Indonesia-Jerman. Selama dasa warsa terakhir telah berkembang alat tangkap cantrang yang digunakan secara luas untuk menangkap ikan demersal, terutama di perairan utara Pulau Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sadhotomo (1990) telah melakukan penelitian di Laut Jawa dari perairan sebelah utara Madura hingga Cirebon diperoleh hasil bahwa ada dua tipe komunitas ikan demersal yaitu di sebelah Barat Tanjung Mandalika dengan dominasi subtrat lumpur banyak tertangkap Leiognathus splendens, Sciaenidae, Lactarius lactarius dan Anadontostoma. Di sebelah timur Tanjung Mandalika dengan dominansi subtrat pasir atau pasir berkarang tertangkap jenis Pentaprion longimanus, Pomadasysdae, Synodontidae dan Nemipteridae.

37 13 Boer et al (2001) menyatakan bahwa potensi ikan demersal di wilayah pengelolaan perikanan (WPP-3) yaitu perairan Laut Jawa rata-rata sebesar 178,48 x 10 3 ton/tahun dari tahun 1993 hingga Sumiono et al (2002) menyatakan bahwa hasil analisis penangkapan ikan demersal melelui survei trawl dengan kapal KM Mutiara IV pada bulan Juni 2000 di Perairan antara Semarang Pekalongan dan Rembang Lasem pada kedalaman 30 meter diperoleh rata-rata laju tangkap ikan demersal sebesar 43,3 kg/jam dengan kepadatan stok sebesar 0,8 ton/km Habitat dan Penyebaran Ikan Demersal Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna. Mikrofauna berperan sebagai pengurai bahan-bahan anorganik menjadi bahan-bahan organik yang banyak dimanfaatkan oleh biota-biota lain. Laevastu dan Hela (1981) menggambarkan bahwa mikrofauna sebagai awal terbentuknya mata rantai makan bagi biota-biota laut lainnya. Kesuburan suatu perairan juga ditentukan oleh mikrofauna yang berada di dalam dasar perairan. Ikan demersal yang termasuk makrofauna juga sangat tergantung dengan substrat dasar perairan, hal ini disebabkan ikan demersal banyak mengambil makanan di substrat dasar perairan. Makanan ikan demersal berupa bentos, moluska maupun biota kecil lainnya. Longhurst and Pauly (1987) menyatakan bahwa ada dua grup dari scorpaeniformes melimpah di daerah tropis, biasanya pada substrat dasar perairan yang berpasir. Sciaenidae menyukai daerah substrat yang berlumpur dan ikan snapper menyukai daerah yang berbatu-batu. Hasil penelitian di perairan Peninsular Malaysia tahun 2001 (Yusof, 2002) pada jenis substrat dasar pasir dan pasir berlumpur dengan kedalaman kurang dari 80 m menunjukkan hasil tangkapan dari 48 stasiun didominasi oleh ikan demersal 95,40% dari seluruh hasil tangkapan dengan rata-rata kemampuan tangkap (catch rate) 66,65 kg/jam. Pada kedalaman perairan antara 5-18 m tertangkap spesies dan pada kedalaman perairan lebih dari 18 m menunjukkan jumlah spesies yang tertangkap lebih banyak yaitu spesies. Ikan yang mendominasi penangkapan adalah pari (10,79%), Loliginidae (10,63%), Nemipteridae (7,09%), Mullidae (5,83%) dan Synodontidae (3,18%).

38 14 Labropoulou dan Papaconstantinou (2004) menyatakan bahwa hasil analisis dari 501 hasil tangkapan trawl dasar di Perairan Laut Aegean Utara dan Laut Thrasia (Mediterranian) menunjukkan bahwa keanekaragaman dari ikan demersal mengalami penurunan dengan bertambahnya kedalaman perairan, dimana hubungan antara hasil tangkapan dan kedalaman memiliki koefisien regresi 0,89. Kelimpahan terbesar pada kedalaman m untuk perairan Laut Aegean Utara dan m untuk perairan Laut Thrasia. Hasil tangkapan nelayan trawl komersial Soviet pada musim panas menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan demersal pada perairan dangkal (10 50 m) lebih besar dibandingkan dengan perairan yang lebih dalam ( m) yaitu 56,8 % dari dan 32,1 % seluruh hasil tangkapan. Pada musim dingin mengalami perubahan yaitu pada kedalaman perairan dangkal (10-50 m) 53,7% dari total tangkapan dan pada kedalaman perairan m adalah 54,0% dari total hasil tangkapan. Ikan yang mendominasi adalah berasal dari famili Sciaenidae ( WorldFish, 2006). WorldFish (2006) juga menyatakan hasil dugaan stok ikan demersal di Perairan Mozambik secara hidroakustik sebesar ton lebih tinggi dibandingkan pendugaan stok dengan alat trawl yang hanya ton. Hal ini menunjukkan bahwa koefisien efisiensi trawl dasar hanya 0, Metode Hidroakustik Prinsip dari pengoperasian alat hidroakustik ditunjukkan pada Gambar 4. Unit pengendali mengirimkan pulsa listrik dengan frekuensi tertentu dan mengatur unit transmisi yang selanjutnya akan memodulasi pulsa tersebut dan meneruskan ke transducer. Selanjutnya, transducer mengubah pulsa listrik menjadi energi akustik yang berupa sinyal bunyi dan dipancarkan ke dalam kolom air. Gelombang akustik tersebut akan merambat di dalam kolom air, dan pada saat membentur sebuah sasaran target (misal ikan, plankton atau dasar perairan) maka gelombang akustik akan dipantulkan dalam bentuk gema (echo), kemudian diterima oleh transducer yang sama untuk kemudian mengubahnya kembali menjadi energi listrik dan diteruskan ke unit penerima. Unit penerima/penguat setelah menerima dan memperkuat maka pulsa listrik akan diteruskan ke unit peraga. Unit peraga dapat menampilkan echogram. Hasil deteksi hidroakustik berupa data echogram seperti Gambar 5 di bawah ini dan dapat di interpretasikan berdasarkan intensitas echo, misalnya

39 15 sebagai dasar perairan yang berupa garis hitam (1), gerombolan ikan berupa jejak yang berwarna coklat (2), plankton yang berupa jejak berwarna hijau (3). Keras atau lunaknya dasar perairan juga akan memberikan pengaruh terhadap intensitas pantulan yang dikembalikan. Echogram akan menggambarkan bentuk dasar yang berbeda sesuai keras, kasarnya tipe substrat (Gambar 6). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan Geologi Kelautan Bandung dari tahun di sepanjang perairan Laut Jawa dari bagian barat hingga bagian timur dengan metode pantul dangkal, menginformasikan bahwa substrat dasar perairan sangat beragam diantaranya lumpur, lanun, lanau pasiran, pasir, lempung, lumpur pasiran, pasir lumpuran, lumpur kerikilan dan lain-lain. Beragamnya substrat ini dipengaruhi oleh daratan (PPGL 1991). Alat-alat yang digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai kedalaman dan substrat dasar perairan berupa peralatan sistem akustik yaitu peralatan yang menggunakan sinyal suara dan hasil pemantulan diamati untuk memperoleh informasi lebih lanjut. Contoh alat yang digunakan dalam penelitian di perairan Laut Jawa adalah Echosounder 200 KHz (Simrad EA 300 P) Echosounder 3,5/12 KHz (Raytheon), Furuno FE 6200 (Side Scan Sonar), maupun peralatan seismik pantul dangkal. Gambar 4. Prinsip pengoperasian alat akustik dan pengintegrasian echo sumber : dimodifikasi dari frsscbtland.gov.uk/frs.web/delivery/display_standalone,aspx

40 Gambar 5. Echogram hasil deteksi alat hiroakustik sumber : frs-cbtland.gov.uk/frs.web/delivery/display_standalone,aspx Gambar 6. Proses deteksi tipe dasar perairan yang berbeda Sumber : Echosounder frekuensi 200 KHz SIMRAD EA 300 P merupakan alat bantu untuk mendapatkan informasi kedalaman perairan, sekaligus berfungsi sebagai koreksi geometris bagi hasil rekaman seismik. Alat ini biasanya dipasang di kedalaman dua meter dari permukaan dan memiliki tingkat ketelitian pembacaan sampai 10 cm. Hasil dari alat ini dapat dicetak pada kertas pencatat maupun disimpan dalam disket.

41 17 Furuno Model FE 680 merupakan alat yang dilengkapi dengan dua macam transducer yaitu transducer keramik 200 KHz dengan lebar beam 12 derajat dan transducer keramik 50 KHz dengan lebar beam derajat, umumnya untuk operasi di perairan dangkal seperti Laut Jawa digunakan transducer dengan frekuensi 200 KHz untuk mendapatkan ketelitian yang optimum. Alat ini memberikan informasi mengenai kedalaman perairan dengan memancarkan daya sebesar 500 watt. Data dicetak pada kertas pencatat hingga kedalam 80 meter (Silitonga, et al 1990). Alat seismik pantul dangkal dapat merekam hingga kedalaman 100 meter dari dasar perairan dengan cara memancarkan energi gelombang akustik tersebut yang terjadi pada bidang batas (reflector) antara dua lapisan sedimen yang memiliki karakteristik yang berbeda, dan mencerminkan pola-pola reflector tertentu. Pola-pola ini memberikan informasi tentang sebaran seismik fasies, struktur geologi, rembesan gas, dan sebagainya. Peralatan seismik pantul dangkal dioperasikan dengan dua buah sumber seismic spark array EG dan G/267 dengan elektroda, uniboom dan air gun. Spark array dibentangkan sepanjang 25 meter dibelakang buritan kapal dan berjarak 4 meter terhadap streamer menggunakan energi Joule. Air gun menggunakan tekanan PSI, dengan sistem perekaman dilakukan secara analog. Klasifikasi tipe substrat dasar perairan biasanya dianalisis dari echogram bila menggunakan peralatan yang masih analog, namun dengan menggunakan alat yang lebih canggih yang bersifat digital, klasifikasi dari tipe substrat dasar perairan dapat menggunakan program pengolahan data yang dapat menunjukkan kedalaman dan dengan signal strength relative dari dasar perairan yang dapat diindikasikan dengan perbedaan warna. 2.6 Deteksi Ikan dengan Metode Hidroakustik Penelitian akustik umumnya digunakan untuk melakukan eksplorasi ikan pelagis seperti yang dilakukan oleh Nugroho (2003) di Perairan Laut Jawa dengan kedalaman dua sampai lima meter diatas dasar perairan pada bulan Oktober 1993, Desember 1993 dan Februari 1994 dengan menggunakan peralatan hidroakustik dual beam frekuensi 120 KHz menunjukkan kepadatan relatif berada pada batas mv 2. Melihat penyebaran pada malam hari terlihat ikan cenderung terpencar pada berbagai lapisan perairan kedalaman

42 18 dari meter, dengan peluang keberadaan siang dan malam relatif sama (Nugroho, 2003). Penelitian hidroakustik juga pernah dilakukan di perairan Selat Sunda menggunakan Dual Beam sistem frekuensi 38 KHz (Pujiyati, 1996) maupun split beam system EY-500 dan EK-500 (Pasaribu et al, 2000), dari dua penelitian ini menunjukkan bahwa ikan umumnya berukuran kecil dan penyebarannya berubah pada musim yang berbeda. Penelitian akustik untuk eksplorasi ikan demersal pernah dilakukan oleh Dickie et al (1984) untuk melihat hasil deteksi ikan demersal dengan metode akustik dual beam system dengan transduser frekuensi 50 KHz baik di laboratorium maupun di lapangan dengan menggunakan trawl, menunjukkan hasil yang signifikan untuk target yang sama, baik dalam perkiraan rata panjang ikan, rata densitas dan rata-rata dalam jumlah ikan untuk setiap penarikan (towing). Pengamatan Engas and Ona (1990) untuk melihat distribusi ikan cod, haddock dan saithe dengan menggunakan Simrad FS 3300 menunjukkan bahwa penyebaran ikan-ikan demersal ini baik siang maupun malam tidak berbeda nyata, dimana ikan-ikan ini banyak terdapat di kolom perairan bawah dekat dasar perairan dan pada lapisan lebih atas jumlahnya akan lebih sedikit. Manik (2006) melakukan penelitian untuk mengobservasi habitat ikan demersal dengan menggunakan echosounder frekuensi 38 khz di perairan selatan Jawa yang menunjukkan nilai scattering volume (SV) berkisar -60,00 sampai -30,00 db. Eksplorasi ikan demersal dengan menggunakan metode hidroakustik dapat dikombinasikan dengan alat tangkap trawl. Siwabessy (2001) telah melakukan penelitian pada beberapa lokasi penelitian yang berbeda dan menunjukkan bahwa estimasi ikan demersal dengan menggunakan hidroakustik pada frekuensi 38 KHz signifikan dengan hasil tangkapan trawl. Data hasil tangkapan yang diperoleh dari pengoperasian alat tangkap trawl ini sebagai data verifikasi bagi data hidroakustik. Kombinasi dari dua alat ini pada kolum perairan dapat dibagi menjadi (1) hanya peralatan hidroakustik (2) peralatan hidroakustik dan trawl untuk deteksi ikan pelagis (3) peralatan hidroakustik dan trawl untuk ikan demersal (4) hanya peralatan trawl (5) tidak dilakukan sampling. Gambar 7 menggambarkan kombinasi pengoperasional trawl dan hidroakustik.

43 19. Gambar 7. Pengambilan data dengan menggunakan kombinasi peralatan hidroakustik dan trawl. Sumber : bez/catefa/indext

44 Kondisi Umum di Daerah Penelitian Posisi geografis Indonesia sangat unik, berada di daerah tropis dalam posisi yang menyilang antara dua benua yaitu : Asia dan Australia dan dua Samudera yaitu : Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Posisi di titik silang ini menyebabkan kondisi laut di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisikondisi yang berkembang di kedua benua dan di kedua samudera tersebut. Pola angin yang sangat berperan di Indonesia adalah angin muson (Monsoon). Angin muson bertiup secara mantap ke arah tertentu pada satu periode, sedangkan pada satu periode lainnya angin bertiup secara mantap pula dengan arah yang berlawanan. Nontji (1993) menyatakan bahwa di Indonesia terbagi menjadi empat musim yaitu : Angin Musim Barat terjadi pada Bulan Desember Pebruari dengan angin bertiup dari utara melintasi katulistiwa. Di Indonesia musim hujan. Musim Peralihan I terjadi bulan Maret - Mei. Angin lemah dan hujan menurun di Indonesia Angin Musim Timur terjadi pada Bulan Juni Agustus. Angin dari Selatan dan Indonesia musim kemarau. Peralihan II terjadi musim September Nopember. Sadhotomo (2006) menjelaskan bahwa pada bulan Desember hingga Februari matahari berada di belahan bumi selatan (BBS), tekanan udara di benua Australia rendah dan sebaliknya di benua Asia tekanan udara tinggi sehingga angin bertiup dari belahan bumi utara (BBU) menuju belahan bumi selatan. Akibat gaya koriolis di BBU angin dibelokkan ke kanan sehingga di wilayah Indonesia bagian utara ekuator angin ini bergerak dari timur laut. Setelah melewati ekuator di BBS, angin bergerak dari barat laut (muson barat laut) sehingga di BBS sering disebut sebagai musim barat. Sebaliknya terjadi pada bulan Juni-September, tekanan udara di Benua Australia tinggi dan di Benua Asia rendah sehinga angin tenggara (muson tenggara) berhembus dari BBS melawati Laut Jawa yang sering disebut sebagai musim timur. Konsekuensi dari pertukaran muson secara jelas mempengaruhi periode pertukaran parameter-parameter atmosferik di Laut Jawa. Selama muson barat laut (Nopember-Februari) angin umumnya datang dari barat laut di Laut Jawa menuju tenggara dengan udara yang lembab dari Lautan Hindia.

45 21 Melihat frekuensi kejadian dan arahnya, komponen angin timur dan tenggara selama muson tenggara lebih besar dari barat dan barat laut selama musim yang berlawanan. Selama Musim Peralihan (Maret-Mei dan Oktober- Nopember), arah angin kelihatan lebih bervariasi sebagai indikasi dari angin lokal yang berhembus dari dan menuju daratan. Kelihatannya angin lokal terjadi karena perbedaan tekanan udara di atas laut dan darat, kadang-kadang lebih penting peranannya dari angin muson. Seperti penyataan Durand dan Petit (1995), angin daratan dapat memegang peranan penting sebagai pengatur arus selama musim pancaroba dan muson barat laut (Gambar 8). JANUARI JULI Gambar 8. Arah angin muson selama Januari dan Juli (Fieux, 1987 in Sadhotomo,2006) Pergerakan arus juga diatur oleh angin muson, umumnya angin yang menggerakkan arus menunjukkan pergerakan permukaan massa air saja. Hal ini digambarkan oleh Wyrtki (1961). Bulan Januari yang mewakili Musim Barat, bulan April yang mewakili Musim Peralihan I, bulan Juli mewakili Musim Timur dan bulan Oktober yang mewakili Musim Peralihan II (Gambar 9 ).

46 22 [February] [A pril] [June] [October] C Legend: c =convergent area C urrent velocity: 12 cm /sec 50 cm/sec 75 cm/sec 25 cm/sec 38 cm/sec >100 cm/sec Gambar 9. Pergerakan arus permukaan di perairan Indonesia (Wyrtki, 1961)

47 23 Pengamatan arus di perairan Laut Jawa digambarkan sebagai berikut: bulan-bulan Desember, Januari dan Pebruari adalah musim dingin di belahan bumi bagian utara dan musim panas di belahan bumi bagan selatan. Pada saat itulah terjadi pusat tekanan tinggi di atas daratan Asia dan pusat tekanan rendah di daratan Australia. Pada bulan-bulan ini arus musim bergerak dari Laut Cina Selatan menuju Laut Jawa dan Laut Flores. Pada musim ini terjadi banyak hujan di berbagai wilayah Indonesia bagian barat, sehingga terjadi banyak pengenceran salinitas yang diakibatkan oleh banyaknya hujan dan sungai-sungai yang bermuara di Laut Cina dan Laut Jawa. Pada bulan Juni, Juli dan Agustus terjadi arus yang sebaliknya, dimana arus yang berasal dari Laut Flores masuk ke perairan laut Jawa, arus ini membawa massa air yang bersalinitas tinggi. Air yang bersalinitas tinggi ini mendorong air yang bersalinitas rendah kembali ke barat. Akibatnya isohalin 33% o menyusup masuk hingga ke tengah Laut Jawa yaitu di utara Semarang. Adapun pergerakan arus di Selat Makasar menunjukkan sepanjang tahun arus bergerak dari Laut Sulawesi masuk ke Selat Makasar. Meski pada Musim Timur arus dari Laut Flores masuk ke selat namun tidak signifikan pengaruhnya. Purwandani (2001) berdasarkan data salinitas dari JODC (Japan Oceanographic Data Center) dan data Suhu dari NODC (National Oceanographic Data Center) menggambarkan pergerakan arus, dan penyebaran suhu dan salinitas permukaan di daerah penelitian. Pada Gambar 9 ditunjukkan kondisi arus dan suhu perairan Laut Jawa. Pada Musim Barat (Januari), massa air yang berasal dari Laut Cina Selatan memasuki Laut Jawa dan bergerak ke arah timur dengan kecepatan arus cukup besar berkisar hingga 1-4 m/dt dan suhu bervariasi berkisar 27,00-29,00 o C. Terlihat massa air dengan suhu dingin (warna biru) mendorong massa air yang hangat di tengah perairan (utara Semarang). Suhu Musim Peralihan I (April), terjadi perubahan dimana arus bergerak tidak menentu arah, namun demikian kondisi perairan lebih tenang dengan melihat kecepatan arus yang lebih kecil dibandingkan Musim barat yaitu dengan kecepatan arus berkisar 1,00-2,00 m/dt dan suhu pada umumnya mulai lebih hangat yaitu berkisar 29,00-30,00 o C, namun di selatan Kalimantan hingga ke tengah perairan memiliki suhu lebih dingin yaitu berkisar 27,00 o C. Musim Timur (Juli) terlihat massa air dari Laut Flores bergerak memasuki Laut Jawa. Pada musim ini kecepatan arus mulai meningkat, arus bergerak ke barat dengan

48 24 kecepatan mencapai 5,00 m/dt. Massa air ini lebih dingin dengan suhu berkisar 28,00-29,00 o C, dan massa air dingin ini akan mendorong air hangat ke barat menyusuri Pantai Kalimantan. Musim Peralihan II (Oktober), arus bergerak tidak menentu dengan kecepatan arus yang lebih kecil dibandingkan Musim Timur. Suhu perairan berkisar 28,00-29,00 o C, dimana di selatan Kalimantan lebih dingin dibandingkan di utara Pantai Jawa (Gambar 10). Gambar 11 menggambarkan sebaran suhu dan arus di Selat Makasar. Pada umumnya sepanjang tahun di Selat Makasar, arus bergerak menuju ke arah bawah (selatan). Namun pada musim-musim tertentu terlihat massa air dari Laut Jawa maupun Laut Flores memasuki selat dan bercampur di tengah selat. Bulan Januari penyebaran arus dan suhu di perairan Selat Makasar tidak berbeda dengan kondisi di perairan Laut Jawa, dimana arus bergerak memasuki Selat Makasar dan bertemu dengan massa air dari Laut Sulawesi, dengan kecepatan arus mencapai 4,00 m/dt. Suhu pada bagian atas dan bawah selat lebih dingin dibandingan di tengah selat, suhu berkisar dari 28,00-29,00 o C. Pada bulan April arus bergerak tidak menentu namun didominasi oleh massa air dari Laut Sulawesi, dimana kecepatan yang lebih rendah dibandingkan bulan Januari yaitu berkisar 1-3 m/dt, dan suhu lebih hangat berkisar 28,50 30,00 o C menyebar di seluruh perairan. Suhu di tengah-tengah selat lebih hangat hal ini disebabkan oleh masuknya air sungai yang bermuara di pantai Kalimantan. Saat bulan Juli massa air dari Laut Sulawesi turun ke bawah bercampur dengan massa air dari Laut Flores bergerak menuju barat. Massa air dari Laut Sulawesi lebih hangat dibandingkan dari Laut Flores. Kecepatan arus meningkat dan suhu di bagian bawah selat mencapai hingga 26,00 o C. Arus pada bulan Oktober berubah arah tidak menentu dengan kecepatan 2,00-4,00 m/dt dan suhu kembali menghangat hingga 30 o C meskipun masih dapat ditemui suhu rendah 26,00 o C di kaki Pulau Sulawesi.

49 Gambar 10. Arus dan suhu permukaan pada empat musim di perairan Laut Jawa (Purwandani, 2001) 25

50 Gambar 11. Arus dan suhu permukaan pada empat musim di perairan Selat Makasar (Purwandani, 2001) 26

51 27 Gambar 12 dan 13 adalah gambaran sebaran salinitas di Perairan Jawa dan Selat Makasar. Sebaran salinitas di perairan Laut Jawa pada Musim Barat terlihat berkisar 31,00 33,00 psu, dimana massa air dari Laut Cina Selatan yang memiliki salinitas tinggi terlihat memasuki perairan Laut Jawa, di tengah perairan Laut Jawa terlihat massa air lebih encer, hal ini diakibatkan oleh pengenceran air hujan dan sungai-sungai yang bermuara di Laut Jawa. Saat Musim peralihan I, massa air dari Laut Cina Selatan semakin jauh memasuki perairan Laut Jawa hingga di atas kota Semarang, namun secara umum sebaran salinitas lebih encer semakin terdorong ke arah timur hingga di Selat Makasar yaitu berkisar 31,00-32,00 psu. Musim Timur kondisi salinitas tinggi mendorong massa air ke arah barat, dimana di Selat Makasar berkisar 34,00 psu sedangkan di Laut Jawa dan sekitarnya 33,5 psu dan di perairan Belitung masih berkisar 33,00 psu. Massa air ini berasal dari Laut Flores yang masuk ke perairan Laut Jawa. Massa air yang bersalinitas tinggi ini akan mendorong massa air bersalinitas rendah ke arah barat. Musim Peralihan II, salinitas berkisar 34,00 psu di Laut Jawa maupun Selat Makasar. Namun di Selat Makasar terdapat lokasi yang tidak ada datanya (kosong) dan di perairan Belitung berkisar 33,50 psu. Penyebaran salinitas di Selat Makasar tidak jauh berbeda dengan Laut Jawa. Pada Musim Barat, massa air dari Laut Sulawesi yang memiliki salinitas 33,00 psu memasuki perairan Selat Makasar, semakin ke arah selatan maka salinitas semakin rendah. Hal ini disebabkan adanya pengenceran akibat pasokan air tawar dari sungai-sungai yang bermuara di pantai Timur Kalimantan. Pada Bulan Juni hingga Agustus, terjadi musim kemarau pada wilayah Indonesia sehingga pengenceran sudah banyak berkurang. Air bersalinitas tinggi lebih dari 34,00 psu yang berasal dari Laut Sulawesi akan masuk ke Selat Makasar, hal ini diakibatkan banyak penguapan pada permukaan perairan. Nontji (1993) menyatakan bahwa nilai rata-rata tahunan yang terendah ditemukan di Selat Makasar, yaitu 30,00% o. Hal ini disebabkan banyak sekali pengenceran dari sungai-sungai Kalimantan dan Malaysia.

52 28 Gambar 12. Sebaran salinitas pada empat musim di perairan Laut Jawa (Purwandani, 2001)

53 Gambar 13. Salinitas permukaan pada empat musim di perairan Selat Makasar (Purwandani, 2001) 29

54 30 3. TEORI PANTULAN DASAR PERAIRAN Laut merupakan suatu lingkungan yang sangat kompleks baik ditinjau dari segi biotik maupun abiotik. Tak terkecuali dengan dasar perairan, dasar perairan merupakan satu medium yang dihuni oleh berbagai biota baik yang berukuran kecil hingga yang berukuran besar. Demikian pula dari segi abiotik bahwa dasar perairan merupakan suatu medium dengan berbagai tipe ukuran partikel yang menyusunnya dari yang bersifat halus seperti lumpur hingga yang berukuran besar seperti batu-batuan. 3.1 Pantulan Gelombang Akustik dari Dasar Permukaan Metode hidroakustik mampu melakukan pengukuran terhadap kuat atau lemahnya pantulan dasar perairan dari berbagai tipe partikel. Secara ringkas, gelombang akustik yang terjadi pada antar muka (interface) air laut-dasar laut mencakup pantulan dan pembauran pada daerah itu dan transmisi di medium kedua. Proses ini ditentukan secara umum dengan beda impedansi akustik ( Ζ = ρ c ) antara kedua media. Pada kasus dataran yang paling sederhana, keadaan gelombang normal, koefisien refleksi tekanan akustik R ditentukan sebagai (Clay and Medwin, 1977): R = p p i r = Ζ Ζ l l Ζ + Ζ u u ρlcl = ρ c l l ρ c u u u + ρ c u. (1) dimana pi dan pr masing-masing menunjukkan tekanan gelombang datang Ζ adalah tahanan/impedansi akustik, (incident) dan terpantul (reflected), ρ adalah densitas media, c adalah kecepatan suara, sedangkan u dan l menunjukkan media atas dan bawah. Meskipun rumus ini didasarkan pada dan sesuai untuk interface cair-cair, ini tetap dapat diterapkan pada interface cairpadat, dan ini adalah pendekatan yang paling sederhana untuk pendekatan antar muka (interface) air laut-dasar laut (Gambar 14).

55 31 ϕ i ϕ r = ϕ i ϕ i ϕ r = ϕ i p i u i p r u r ρ u c u ρ u c u ρ l c l ρ l c l p t u t ϕ t ϕ t z a) Kondisi Pertama p + p = i r p t t z b) Kondisi Kedua u cos ϕ + u cosϕ = u cosϕ Gambar 14. Refleksi gelombang pada dua media (Siwabessy, 2001) i r i t t Ada beberapa kendala yang mempengaruhi sinyal pantul menjadi berbeda dari pulsa Akustik yang datang/dikirimkan (Siwabessy, 2001): (1) ketidaksesuaian impedansi akustik dari air laut-dasar laut menyebabkan pembauran permukaan dari pulsa utama, (2) parameter akustik dari instrument, (3) penetrasi sinyal akustik pada dasar laut menyebabkan besarnya pembauran pulsa utama, (4) arah pemantulan pada interface air laut - dasar laut akibat dari kekasaran dasar laut, (5) keterlambatan waktu kembali yang miring karena penyebaran yang bulat dengan perubahan kedalaman, (6) respon pembauran dari permukaan laut, gelembung-gelembung permukaan, dan lambung kapal untuk gema dasar akustik kedua, (7) kemiringan dasar laut, (8) penyerapan akustik air laut, (9) derau (noise).

56 32 Pada saat gelombang hidroakustik mengenai permukaan dasar perairan, sebagian energi akan menembus dasar perairan dan sebagian kembali ke transducer. Pada frekuensi rendah, pantulan dasar akustik ditentukan oleh sedimen dasar perairan yang berbedabeda. Dasar perairan yang sangat keras memiliki pantulan dasar yang lebih kuat dari dasar perairan yang lunak. Dasar perairan yang keras memiliki pantulan lebih besar dari dasar perairan yang halus dan seterusnya. Gambar 15 menggambarkan hubungan kekuatan pantulan dan sudut datang pada variasi frekuensi (1; 2; 3,5;7 dan 14 KHz) pada dasar abyssal plain. Gambar 15. Hubungan sudut datang dan nilai pantulan dasar pada berbagai frekuensi (Siwabessy, 2001) Gambar 16 menggambarkan hubungan antara sudut datang dengan pantulan pada dasar perairan yang sangat kasar dengan menggunakan frekuensi 1; 2; 3,5;7 dan 14 KHz. Di sini terlihat pada seluruh frekuensi menunjukkan penurunan.

57 33 Gambar 16. Hubungan sudut datang dengan pantulan dasar yang sangat kasar pada variasi frekuensi (Siwabessy, 2001) Adapun hubungan pantulan dasar terhadap tipe dasar perairan yang berbeda (batu, kerikil, pasir dan lumpur) ditunjukkan pada Gambar Atenuasi Suara dalam Sedimen Atenuasi suara dalam sedimen dapat digunakan untuk memperkirakan penampakan dari sistem profil dasar. Seringkali pengukuran in situ atau laboratorium mengenai atenuasi dilakukan pada selang frekuensi yang lebih tinggi dari pada frekuensi yang digunakan untuk profil dasar (subbotom profiling) yaitu 25 sampai 3500 Hz.

58 34 Gambar 17. Hubungan sudut datang dan pantulan dasar pada berbagai tipe dasar perairan (Siwabessy, 2001). Teori umum Biot (mencakup kehilangan viscositas/kekentalan di dalam cairan) menghasilkan atenuasi sebanding dengan 2 f pada frekuensi rendah dan 1/ 2 f pada frekuensi tinggi, mekanisme kehilangan yang lain mungkin lebih penting pada sedimen dasar laut dari pada pengaruh viscositas tersebut. Sebagai contoh, bila gelombang suara melewati kelompok-kelompok partikel yang bersinggungan, partikel tersebut bergerak dan bergesekan satu sama lain,

59 35 dan kehilangan itu disebabkan karena friksi dari partikel yang saling bergesekan. Di dalam mekanisme friksi, kehilangan itu sebanding dengan pergerakan partikel dan bukan tergantung pada kekentalan (velocity) partikel. Banyak literatur mengemukakan atenuasi (α) dalam db per unit jarak dengan frekuensi ( f ) dalam kilohertz, dapat didefinisikan (Clay and Medwin, 1977) sebagai: m α = bf (2) dimana b adalah suatu konstanta, dan m adalah konstanta yang menggambarkan kekuatan yang bergantung pada atenuasi frekuensi. Nilai terbanyak dari m berkisar dari sedikit kurang dari 1 sampai lebih dari 1. Kekerasan dari sedimen tergantung pada porositasnya. Karena kekerasan tergantung dari sentuhan antar partikel, maka kita perkirakan bahwa kehilangan friksi menjadi lebih besar pada saat kekerasan besar. Kehilangan karena attenuasi pada sedimen mengurangi koefisien refleksi bagi sinyal yang dipantulkan pada interface air-sedimen secara relatif. Di luar sudut kritis, kehilangan tersebut menyebabkan pengurangan energi yang dipantulkan karena suara menembus sedimen dalam proses pemantulan total. Menurut Muljawan (1998) energi yang menembus dasar perairan juga mengalami pelemahan. Beberapa analisa tentang mekanisme penyerapan energi tersebut yang diantaranya spherical divergence, transmission losses, scattering dan absorption. 3.3 Kecepatan Suara Rata-rata di dalam Sedimen Data yang paling sering digunakan untuk mendapatkan kecepatan suara rata-rata adalah adalah data interpretasi profil seismik. Pantulan dari lapisan sub dasar muncul sebagai waktu pantul pada rekaman, dan peneliti menggunakan kurva kecepatan suara ini untuk mengkonversi waktu tempuh menjadi ketebalan sedimen. Para ahli geofisika laut memilih untuk mempercepat ketergantungan kecepatan suara pada kedalaman sebagai fungsi dari waktu tempuh satu jalur T pada kedalaman tersebut, mengukur T dari interface air-sedimen. Mereka menyebut kecepatan suara c(t ) sebagai kecepatan sesaat (instantaneous velocity). Dalam notasi Houtz c (T ) adalah c ( T ) V + kt (3) = 0

60 36 Nilai k berkisar antara 0,9 sampai 3,9 km/detik di berbagai bagian di dunia. V 0 berkisar dari 1,2 sampai 1,8 km/s. Di jurang Atlantik Utara, c (T ) adalah c( T ) = 1,67 + 0, 97T T< 0,8 s (4) dan simpangan baku untuk 33 pengukuran adalah 0,17 di Equator Pasifik c(t)=1,46 + 3,9 T T< 0,35 s (5) dan simpangan baku adalah 0,17 untuk 29 pengukuran (Clay and Medwin, 1977). Data mereka menunjukkan bahwa konstanta-konstanta yang berbeda dibutuhkan untuk perairan yang berbeda dan daerah di dalam perairan. Ketebalan lapisan sedimen h untuk waktu tempuh gelombang tunggal T diperoleh dengan integrasi dari persamaan persamaan berikut : 2 kt h = V0T (6) 2 Persamaan ini digunakan unutk mengkonversi profil seismik menjadi kedalaman. Persamaan untuk c(t ) dan h adalah persamaan empiris dan merupakan hasil penyesuaian persamaan pada pengukuran percobaan. Kita mengharapkan koefisien-koefisien dan barangkali bentuk persamaannya akan berubah seiring dengan semakin banyaknya data yang terkumpul. Tabel 4 adalah beberapa parameter hasil penelitian Hamilton pada beberapa tipe sedimen di Pasifik Utara. 3.4 Echo Sounding pada Dasar Laut Echosounder menghitung waktu dari sinyal suara dari kapal ke dasar laut dan kembali ke kapal, Kecepatan suara yang telah diketahui kemudian digunakan untuk mengkonversi waktu tempuh ke kedalaman. Echosounder kedalaman bervariasi dari sistim yang mempunyai transducer tunggal dan pembacaan kedalaman visual sampai sistem yang dikontrol komputer yang memiliki susunan transducer, Di dalam banyak instalasi terdahulu, transducer ditempatkan pada lambung kapal dan memiliki setengah kekuatan dan setengah lebar beam (beam width) sebesar 60 o. Echosounder dalam kapal oseanografi biasanya memiliki jam internal yang tepat dan kesalahan pengukuran lebih kecil dari pada 10-3 detik,

61 37 Tabel 4. Rata-rata pengukuran dan penghitungan konstanta elastis sedimen di Pasifik Utara Tipe Sedimen Pengukuran Penghitungan Teras Benua (dasar lereng) Pasir kasar 38,6 halus 43,9 sangat halus 47,4 Pasir berlumpur 52,8 Lumpur berpasir 68,3 Pasir-lumpur-liat 67,5 Lumpur berlempung 75,0 Lempung berlumpur 76,0 Jurang datar (keruh) Lumpur berlempung Lempung berlumpur Lempung 78,6 85,8 85,8 Jurang berbukit (pelagik) Lumpur berlempung Lempung berlumpur Lempung 76,4 79,4 77,5 ν ρ χ Ε σ Γ χ σ 2,03 1,98 1,91 1,83 1,56 1,58 1,43 1,42 1,38 1,24 1,26 1,41 1,37 1,42 Sumber :Hamilton (1971a) in Clay, (1982) ,6859 5,6877 5,1182 4,6812 3,4152 3,5781 3,1720 3,1476 3,0561 2,7772 2,7805 3,1213 3,0316 3,0781 0,491 0,469 0,453 0,457 0,461 0,463 0,478 0,480 0,477 0,486 0,491 0,478 0,487 0,491 0,1289 0,3212 0,5035 0,3926 0,2809 0,2731 0,1427 0,1323 0,1435 0,0773 0,0483 0,1408 0,0795 0,0544 Keterangan Nilai Laboratoris: 23 o C, tekanan 1 atm, Definisikan sebagai berikut N = porositas (%) ρ = densitas (g/cm 3 ; kg/m3 X 10 3 ) c = kecepatan (m/dt) gelombang (suara) terkompresi E = bulk modulus (N/m 2 x 10-9 ) σ = Rasio Poison; dihitung dengan σ = (3E - ρc 2 )/(3E + ρc 2 ) G = modulus rigidity (shear); dihitung dengan G = [(ρc 2 E)3]/4 (N/m 2 X 10-9 ) c s = kecepatan shear wave; dihitung dengan c s = (G/ρ) 1/2 (m/s) a) Sistem Sonar Beam Tunggal (Single Beam System) Sistem transducer tunggal yang lebih sederhana yang banyak digunakan echosounder memberikan rekaman tentang kedalaman terhadap waktu percobaan. Ada dua tahap dalam pengambilan data, selama survei, pencatat waktu menandai saat perekaman echosounder, mengamati kombinasi dari waktu dengan posisi kapal untuk memplot kedalaman sepanjang lintasan kapal. Pengkonversian pembacaan sounder kedalaman menjadi kedalaman nyata digunakan kecepatan suara aktual (sering kali di sebut sebagai sounding velocity / kecepatan suara). Beberapa instrumen dapat disetel, dan pemakai dapat menyetel kecepatan suara untuk mendapatkan kedalaman yang

62 38 sebenarnya dalam area dan selang kedalaman yang terbatas, Pada umumnya kecepatan suara disetel oleh perancang, Di Amerika Serikat misalnya, banyak echo sounder yang menggunakan 4800 ft/s atau 800 fm/s (1461 m/s), Beberapa peralatan menggunakan 1500 m/s, Pengukuran kedalaman yang diperoleh dengan kecepatan suara yang berubah-ubah dinamakan kedalaman tak terkoreksi (uncorrected depths), Prosedur untuk mengkoreksi adalah dengan menggunakan kaliberasi echosounder untuk mengkonversi uncorrectaed depth terhadap waktu, kemudian menggunakan profil kecepatan suara untuk menghitung kedalaman sebenarnya, Beberapa peta dasar telah terkoreksi, dan beberapa belum terkoreksi (uncorrected), Para navigator lebih suka menggunakan peta yang belum terkoreksi sebagai bantuan navigasi dengan membandingkan echosounding dengan kedalaman yang telah diberikan di peta, Banyak peta-peta hidrografik diterbitkan oleh Kantor/Dinas Oseanografi Laut yang menggunakan uncorrected depth dan menggunakan kecepatan suara 4800 kaki/detik, Kebanyakan pembuat peta juga memberi keterangan apakah kedalaman telah terkoreksi atau memberikan sounding velocity, b) Sistem Sonar Beam Ganda Konfigurasi dari sistem sonar beam ganda dikontrol oleh komputer, pasangan dari array disilangkan untuk memberikan satu gambar seperti beam. Array yang di pancarkan ada di sepanjang lunas dan memiliki bentuk kipas beam normal. Beam yang efektif dihasilkan dari beam yang dipancarkan dan beam yang diterima. Lebar beam yang efektif mungkin sebesar 1 o. Posisi dan lintasan kapal dimasukkan ke dalam komputer, secara bersamaan dengan jejak (trace) untuk arah beam dan kecepatan suara, yang digunakan untuk mengkonversi waktu tempuh sepanjang beam untuk memetakan kedalaman dasar laut, c) Sistem Beam Terbagi (Split Beam) Sistem ini menggunakan transducer dimana beam yang terbentuk memiliki empat kuadran, dimana ke empat beam memiliki frekuensi yang sama, Pengiriman sinyal akustik menggunakan full beam namun penerimaan sinyal akustik secara terpisah, Hasil deteksi berupa data echogram yang menggambarkan target-target di bawah air hingga dasar perairan. Umumnya

63 39 permukaan dasar perairan mempunyai pencitraan berwarna merah kecoklatan yang menggambarkan tipe substrat juga terlihat topografi permukaan dasar perairan, d) subbotom profiler subbotom profiler adalah peralatan yang sangat baik untuk mempelajari struktur dasar laut, Profiler ini sederhana karena merupakan dasar suatu echosounder, Kedalaman tembus sinyal suara ke dalam dasar tergantung dari frekuensi sinyal, koefisien penyerapan sedimen, dan rasio sinyal terhadap noise, Biasanya digunakan echosounder 12 dan 3,5 khz yang dipasang pada lambung. Penetrasi echosounder 3,5 khz lebih dari 100 m di area dimana sedimen memiliki koefisien penyerapan yang kecil, Penetrasi yang lebih dalam memerlukan sistem frekuensi yang lebih rendah (< 100 Hz), yang dinamakan sistem profiling seismik, Sumber frekuensi yang rendah memiliki output yang besar, seringkali sebuah ledakan, hydrophone penerima dipasang terikat di belakang kapal karena kapal mempunyai tingkat ganguan yang tinggi pada selang frekuensi dari sinyal. Contoh dari sumber impulsive adalah ledakan, letusan, dan pistol udara/senapan angin. Pistol udara secara rutin digunakan untuk membuat ribuan kilometer profil seismik. Pistol udara ini memiliki amplitudo/intensitas sinyal yang besar pada frekuensi yang rendah, memiliki transmisi sinyal yang dapat di reproduksi dan dapat dipancarkan pada beberapa interval waktu. Secara mekanis pistol udara sangat sederhana, suatu ruang diisi dengan udara pada tekanan tertentu (misalnya 100 atm), kemudian dibuka dengan sangat cepat, dan membiarkan udara mengembang ke dalam air. Pengembangan udara ini menyebabkan ledakan, sinyal-sinyal yang bergerak, termasuk pantulan permukaan, dari 5 liter (300 in, 3 ). Waktu antara gelembung pulsa bertambah dengan bertambahnya volume udara dan berkurang dengan bila semakin dalam. Seringkali kombinasi pistol udara dengan beberapa ukuran yang berbeda digunakan untuk menambah sinyal inisial dan mengurangi pengaruh gelembung pulsa. Penggunaan yang luas dari seismik profiling oleh laboratorium oseanografi di dunia menghasilkan informasi tentang distribusi sedimen diatas dasar laut dan hubungannya dengan proses-proses dasar, misalnya profil sepanjang perbukitan Atlantik Tengah menunjukkan bahwa sedimen tipis pada

64 40 puncak bukit dan menebal saat menjauhi puncak. Sketsa di bawah profil seismik berupa garis yang digambarkan pada bagian-bagian profil seismik dan dibawahnya penampang lintang yang disederhanakan strukturnya. Hipotesa yang digunakan pada sebaran dasar laut, yaitu diharapkan sedimen menipis pada bagian tengah sebaran dan menebal dengan semakin jauh dari tengah, karena umur dari dasar laut bertambah dengan jarak dari bagian tengah. 3.5 Program Pengklasifikasi Permukaan Dasar Perairan Klasifikasi permukaan dasar yang pernah dilakukan menggunakan Program RoxAnn dan QTC View (Freeman et al, 2002; NOAA, 2004), dimana kedua program ini dapat menganalisa echo dari kekasaran dan kekerasan partikel yang berbeda, antara lain batu, pasir, lumpur dan kombinasi dari tipe subtrat yang ada, Selain RoxAnn dan QTC View, dikenal juga program EP-500, Program ini adalah program yang melengkapi peralatan Simrad EY-500 maupun EK-500, Program EP-500 versi 5,3 merupakan perubahan terbaru dari EP-500 sebelumnya dimana sudah mengalami pengembangan dalam analisis dasar perairan, Kelebihan dari penambahan ini maka dapat memberikan definisi dasar saat melakukan ekspansi dasar dan memiliki resolusi vertikal yang lebih bagus untuk menggambarkan garis dasar dengan tepat (Simrad, 1996). Program ini juga dapat memberikan informasi mengenai target strength ikan, densitas ikan, arah renang dan kecepatan ikan juga nilai pantulan dari permukaan dasar perairan. Tampilan dari program EP-500 versi 5,3 dan Echoview 3,5 di Lampiran 1.

65 41 4. BAHAN DAN METODA 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan dua data yaitu (1) data primer yang diperoleh saat penulis mengikuti riset pada tahun 2002, yang merupakan bagian dari survei Pusat Riset Perikanan Tangkap (PRPT) yang berjudul Pengkajian Kelimpahan dan Distribusi Sumberdaya Ikan Pelagis Besar, Kecil dan Demersal di Perairan Laut Jawa dan Sekitarnya yang dilakukan dari tanggal 5 September sampai 30 Oktober Lokasi penelitian meliputi perairan Laut Jawa bagian Timur, dengan bentuk survei kombinasi antara seri dan zig-zag trek, yang berawal dari Semarang menuju Banjarmasin, dilanjutkan ke Gresik dan kembali ke Semarang. (2) Data sekunder yang yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data perairan Belitung (2002) merupakan hasil survei tim dari Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, data Kalimantan Timur (2004), data Perairan Belitung (2005), data Perairan Laut Jawa (2005), dan data Kepulauan Seribu (2007) merupakan data milik Balai Riset Penelitian Laut (BRPL). Waktu pengambilan data dapat dilihat pada Tabel 5, dan lokasi penelitian Gambar 18. Melengkapi data batimetri diambil juga data dari dan data substrat diambil data citra landsat 7 ETM. Tabel 5. Waktu pengambilan data di lapangan Lokasi Perairan Laut Jawa Perairan Belitung Perairan Kalimantan Timur Perairan Kepulauan Seribu Tahun M. Peralihan II - M. Barat - (Oktober) (Desember) M. Peralihan I - M. Peralihan II - (April) (September) - M.Peralihan II - (Oktober) - - M. Timur (Juli)

66 Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan dan dasar perairan yang terkena oleh pancaran sinyal alat hidroakustik, kolom perairan yang merupakan media/habitat target, ikan hasil sapuan alat tangkap trawl. Survei ini menggunakan Kapal Riset Mutiara IV dan Kapal Bawall Putih milik Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) - Jakarta, selain itu dipergunakan juga beberapa alat lain yaitu : (1) Satu set alat akustik split beam EY-500 EY-60 dan EK-60 (Lampiran 2) (2) Global Positioning Station (GPS) (3) Satu set komputer (4) Satu set Conductivity Temperature and Depth (CTD) (5) Satu set Bottom Mini Trawl Pengolahan data menggunakan komputer yang dilengkapi perangkat lunak EP-500, EchoView 3.5, BI-60, surfer, MS Word, dan MS Excell U 1 Lintang Sungailiat Pangkalpinang 1 & 4 P. Lepar P. Liat Belitung Tanjungpandan K A L I M A N T A N J A K A R T A 5 Laut Jawa Kep. Karimunjawa 2-7 J A W A Semarang Bujur Gambar 18. Lokasi penelitian Ket : nomor 1-6 menunjukkan lokasi penelitian yang diperjelas pada Gambar 19

67 43 (1). Lintasan survei perairan Belitung 2002 (2). Lintasan survei perairan Laut Jawa (2002)

68 44 4 Sibetik Nunukan 40 Ligitan Sipadan S.Sesayap Tg.Selor Tarakan S.Kelai Tg.Redeb Bunyu P.Panjang Maratua P.Samama P.Kakaban P.Dolangan S.Sangkulirang 24 P.Kapetan P.Sematan 0 1 S.Bungalun Bontang Tenggarong SAMARINDA S.Kutai S.Balikpapan 16 Balikpapan P.Pasoso P.Maputi PALU S.Palu Tanahrogot S.Lariang S.Poso 6 Jakarta S.Karama 9 Mamuju 3 4 S.Barito Kotabaru BANJARMASIN Majene Polewali Banjarbaru S.Sadang Pelaihari 5 Parepare Barru P.P. Sangkarang Semarang (3). Lintasan survei perairan Kalimanatan Timur (2004) (4). Lintasan survei perairan Belitung Jawa (5). Lintasan survei perairan Laut Jawa (2005) (6). Lintasan survei perairan Kepulauan Seribu (2007) Gambar 19. Lintasan survei di enam lokasi studi Keterangan : Stasiun Oseanografi & grab Stasiun trawl

69 Pengambilan Data Data Hidroakustik Data akustik pada lokasi penelitian diperoleh dengan peralatan hidroakustik split beam. Transducer dipasang pada lambung bagian kiri kapal, pada kedalaman 1,5 meter dari permukaan air. Data hidroakustik pada survei Belitung dan Jawa (2002), Kalimantan Timur (2004) menggunakan peralatan EY-500 (frekuensi 38 KHz, power 50 watt). Data yang diperoleh dalam format data gram (extension DG) juga data threshold (extension DT). Data hidroakustik pada survei Belitung dan Jawa (2005) menggunakan peralatan EY-60 dan data survei Kepulauan Seribu menggunakan EK-60. Kedua alat memiliki frekuesi 120 KHz, power 500 watt dan data yang diperoleh dalam bentuk tiga file (extension raw, idx dan bot) Data Sapuan Alat Tangkap Ikan Data ikan demersal hasil sapuan diperoleh dengan mempergunakan jaring dasar yang berukuran kecil (bottom mini trawl), yang memiliki bukaan mulut jaring maksimal 1,2 meter. Alat tangkap ini dioperasikan selama satu jam dengan kecepatan kapal rata-rata 3 knot Data Oseanografi Data lingkungan diperoleh dengan mengoperasikan alat Conductivity Temperature and Depth (CTD) yang dilengkapi dengan current meter. Alat ini diturunkan dengan menggunakan winch sampai pada kedalaman sedikit di atas dasar perairan untuk menghindari benturan CTD dengan dasar perairan. Informasi kedalaman perairan diperoleh dengan menggunakan alat echosounder. Selain itu melengkapi data batimetri diambil data dari dan substrat dari citra landsat 7ETM. 4.4 Pengolahan Data Pengolahan Data Hidroakustik Pengolahan data hidroakustik dibagi menjadi dua, yaitu data mengenai pantulan dasar perairan dan data dugaan ikan demersal. Pengolahan data hidroakustik untuk mendapatkan nilai hambur balik dasar perairan dengan menggunakan dua cara yaitu :

70 46 Data survei tahun 2002 merupakan data hasil rekaman alat akustik split beam EY-500. Data ini kemudian diolah dengan program EP 500 menggunakan analisis expanded bottom dengan ketebal 0,2 m dari permukaan dasar perairan (Lampiran 3) hingga empat lapisan. Data Hambur balik dasar (SV) yang diperoleh dari lokasi yang terkena energi hidroakustik, nantinya akan ditampilkan dalam grafik untuk memberikan gambaran secara vertikal. Sebaran horizontal dengan menggunakan perata-rataan nilai Sv pada lapisan 1 hingga lapisan 4. Data survei tahun 2005 yang diperoleh dari hasil rekaman alat hidroakustik EY-60 dan survei Kepulauan Seribu hasil rekaman EK-60 diolah lebih lanjut dengan menggunakan program Sonar Data Echoview 3,5 (Lampiran 3), dengan ketebalan 0,2 m. Data ini juga dipetakan untuk mendapatkan informasi penyebarannya secara horizontal. Data yang dgunakan untuk menduga Ikan demersal meliputi data densitas ikan dan target strength ikan dilakukan dengan mengolah data threshold (DT) dengan menggunakan perangkat lunak EP-500 dengan analysis bottom layer untuk data hasil deteksi EY-500. Data hasil deteksi EY-60 menggunakan program BI. Pengolahan data dilakukan dengan mengintegrasi echogram pada strata 0 1,2 meter dari dasar. Pengambilan strata 1,2 meter ini disesuaikan dengan lebar maksimum bukaan mulut trawl. Data untuk densitas ikan yang diambil adalah densitas volume ρ v, sedangkan untuk target strength adalah distribution TS. Proses perhitungan nilai target strength (TS ) diperoleh berdasarkan : TS = 10logσ.. (7) bs 0,1TS σ = 10.. (8) bs σ bs adalah target back scattering cross section. Nilai back-scattering volume (SV ) diperoleh dari intensitas suara yang mengenai target pada volume air tertentu (m 3 ) yang diperoleh dari persamaan berikut: 2 2 SV = S A /(( 4π Ro (1852m / nm) ( r2 r1 )).. (9)

71 47 S A adalah back-scattering area, r2 r1 adalah ketebalan kolom integrasi, Ro adalah jarak referensi (1 m), maka nilai Back-scattering volume dapat diperoleh dari: SV = 10 log ρv +... (10) TS rata rata sehingga densitas ikan (ikan/m 3 ) untuk suatu integrasi dapat diperoleh apabila TS dan SV diketahui. 10 log ρv = SV... (11) TS rata rata 0,1( SV TS rata ) v 10 rata ρ =... (12) Persamaan-persamaan di atas dapat dimodifikasi dari densitas (ikan/m 3 ) menjadi densitas (g/ m 3 ) yaitu dengan mengalikan densitas (ikan/m 3 ) dengan berat rata-rata ikan dominan.,1( SV TS ) ρ v = w... dimana : ρ v = densitas (g/m 3 ) SV = backscattering volume (db) TS = target strength (db) w = berat rata-rata ikan yang dominan (g) (13) Pengolahan Data Sapuan Alat Tangkap Ikan Hasil tangkapan yang diperoleh dengan mengoperasikan alat tangkap trawl akan digunakan sebagai data verifikasi data hidroakustik. Hasil tangkapan akan dikeluarkan dari kantong trawl di atas dek, kemudian dikelompokkan berdasarkan famili dan atau jenis. Identifikasi jenis ikan dilakukan berdasarkan referensi Kailo and Trap (1984) in Mahiswara (2004), kemudian dilakukan penimbangan dan pengukuran panjang berat terhadap contoh dari setiap spesies yang dominan. Data hasil sapuan dihitung untuk mendapatkan densitas (g/m 3 ), juga spesies yang memiliki presentasi lebih dari 50 % dalam berat akan dianggap sebagai spesies yang mendominasi. Selain itu juga dicari frekuensi kemunculan spesies di seluruh stasiun yang memiliki kemunculan lebih dari 50% dari jumlah stasiun yang di sapu.

72 48 Data densitas ikan dihitung berdasarkan modifikasi rumus Pauly and Martosubroto (1996). Tahap perhitungannya adalah: pertama dicari terlebih dahulu bukaan vertikal mulut jaring trawl yaitu: V o = 2. n. a.0,05 (14) Dimana: V o = bukaan vertikal mulut trawl (m) a = lebar mata jaring n = jumlah mata jaring bagian depan kemudian dilakukan perhitungan luas area sapuan dengan formula : A = E. Hr. V.1852 (15) dimana: A = luas sapuan jaring trawl E = efektifitas bukaan mulut trawl (2/3) V = kecepatan kapal (3 Knot) Hr = head rope (38,8 m) 1852 = konversi dari mil ke meter dari persamaan 14 dan 15 dapat dicari volume air yang tersaring (V a ) yaitu : V = A.. (16) a V o Nilai densitas ikan dapat dihitung berdasarkan rumus : D = 1/ V.( b / e. f ) (17) a dimana: D = nilai densitas ikan (kg/m3) b = berat total ikan demersal yang tertangkap e. f = kemampuan trawl dalam menangkap ikan yang berada pada alur sapuan (0,5) Pengolahan Data Oseanografi Data suhu, salinitas, kecepatan arus ditabulasi, kemudian dengan menggunakan program Surfer dibuat gambaran penyebaran suhu, salinitas secara horizontal pada kedalaman permukaan dan dasar perairan.

73 Analisis Data Analisis Spasial dan Selang Kelas Kedalaman Analisis data secara spasial dibagi berdasarkan lokasi penelitian untuk menggambarkan masing-masing daerah survei, baik itu untuk data oseanografi, hidroakustik maupun sapuan trawl. Analisis data berikutnya adalah analisis berdasarkan selang kelas kedalaman substrat untuk menganalisis lebih jauh penyebaran dari nilai hambur balik dasar perairan, dugaan densitas ikan demersal dihitung secara hidrokustik maupun yang berasal dari sapuan trawl. Pembagian selang kelas kedalaman substrat dengan mempergunakan rumus (Nasoetion dan Barizi, 1985) : 1+ 3,3log n (18) dimana n harus lebih dari 250. Data yang dioleh sebanyak 259 sehingga dibuat 9 selang kelas kedalaman perairan yaitu : (1) < 29,50 m (2) 29,60 m - 36,50 m (3) 36,60 m - 43,50 m (4) 43,60 m - 50,50 m (5) 50,60 m - 57,50 m (6) 57,60 m - 64,50 m (7) 64,60 m - 71,50 m (8) 71,60 m - 78,50 m (9) > 78,60 m Analisis Komponen Utama (AKU) Analisis komponen utama dipergunakan untuk melihat hubungan antara stasiun dengan parameter substrat yaitu komposisi partikel dan nilai hambur balik dasar perairan. Semakin kecil jarak Euclidean antara dua individu maka semakin mirip karakteristiknya dan semakin jauh jarak Euclidean maka dua individu semakin berbeda. Hubungan antara faktor abiotik dan ikan demersal juga dilakukan dengan analisis komponen utama (AKU) (Bengen, 2000). Analisis ini merupakan metode statistik diskriptif yang bertujuan untuk mempresentasikan dalam bentuk grafik, informasi maksimum yang terdapat dalam dua matriks data. Matrik data yang dimaksud adalah stasiun pengamatan (baris) dan variabel ikan demersal secara hidroakustik yaitu target strength (TS) dan densitas, jenis ikan dan kedalaman (kolom). Pada prinsipnya AKU menggunakan jarak Euclidean pada data. Semakin kecil jarak Euclidean antara dua individu maka semakin mirip karakteristiknya dan semakin jauh jarak Euclidean maka dua individu semakin berbeda.

74 50 Pengelompokan stasiun yang terbentuk dari hasil AKU, selanjutnya dikonfirmasi oleh klasifkasi hierarki yang di wujudkan dalam dendogram hasil analisis kelompok Analisis Kelompok Dendogram diperoleh berdasarkan analisis kelompok (cluster analysisyang juga berdasarkan jarak kemiripan (Euclidean distance). Analisis kelompok ini merupakan satu metode dalam analisis peubah ganda yang bertujuan untuk mengelompokkan n satuan pengamatan ke dalam k kelompok dengan k < n berdasarkan p peubah, sehingga unit-unit pengamatan dalam suatu kelompok sifat-sifat yang lebih mirip dibandingkan dengan unit pengamatan lain yang terdapat dalam kelompok yang berbeda. Pengelompokkan didasarkan pada konsep Euclidean ( D ) sebagai ukuran kemiripan antar unit pengamatan, dimana jika antar peubah memiliki satuan yang sama dan tidak saling berkorelasi (Ludwig and Reynolds, 1988). Metode pengelompokkan yang digunakan adalah metode pengelompokkan hirarki yang bersifat agglomerative dengan mengasumsikan bahwa setiap objek merupakan satu kelompok sama dengan jumlah objek. Setelah itu objek yang paling mirip digabungkan menjadi satu kelompok. Proses ini berlanjut sampai semua objek bergabung menjadi satu kelompok. Selanjutnya matrik jarak kemiripan hasil pengkelompokandisajikan dalam bentuk dendrogram. Penentuan banyaknya kelompok yang terbentuk, kemudian dilakukan pemotongan dan informasi awal mengenai data, sehingga menghasilkan kelompok data yang bermakna.

75 5. HASIL PENELITIAN 5.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Batimetri Perairan Hasil pemetaan batimetri dari data echogram di seluruh perairan Laut Jawa khususnya pada Laut Jawa bagian timur dan utara Jawa Tengah menunjukkan bahwa perairan tersebut memiliki kedalaman yang relatif dangkal, yaitu berkisar antara m, dengan rata-rata kedalaman 25,28 m. Selain data echogram, juga dilakukan pemetaan batimetri menggunakan data kedalaman perairan yang diambil dari situs untuk menggambarkan peta batimetri pada lokasi survei tahun 2002 maupun Hasil dari dua peta batimetri perairan Laut Jawa memberikan informasi tidak jauh berbeda, yaitu kedalaman berkisar 40 m pada bagian tengah dan ke arah pantai semakin dangkal. Batimetri di perairan Kepulauan Seribu menunjukkan kisaran dari 12 m hingga 86 m. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Kepulauan Seribu sangat bervariasi. Perairan Pulau Belitung termasuk perairan Laut Jawa. Perairan Belitung berhubungan langsung dengan Laut Cina Selatan, dan berada dekat dengan Pulau Bangka yang terletak di timur Sumatera Selatan. Peta batimetri hasil pemetaan data topex memiliki kedalaman perairan yang lebih dangkal dibandingkan Laut Jawa bagian timur yaitu berkisar 20 m 40 m. Perairan Kalimantan Timur termasuk perairan Selat Makasar, yang dibatasi oleh dua pulau besar yaitu Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi. ketersediaan air berasal dari Laut Sulawesi yang mengalir memasuki Selat Makasar menunju ke selatan. Pada bagian selatan bertemu dengan Laut Flores yang ikut mempengaruhi kondisi oseanografi pada bagian selatan selat. Selat Makasar meskipun merupakan Paparan Sunda namun tidak seperti daerah lain yang memiliki dasar perairan yang dangkal. Selat Makasar diindikasikan merupakan bagian dari Palung sulawesi, yang memiliki batimetri yang cukup dalam. Hasil pemetaan data topex menunjukkan kedalaman perairan hingga kedalaman >2000 m pada lokasi tengah-tengah perairan. Lampiran 4 menggambarkan batimetri di setiap lokasi survei.

76 Substrat Dasar Perairan Tipe substrat dasar perairan Laut Jawa berdasarkan komposisi ukuran partikel yang terambil pada saat survei dengan mempergunakan alat grab, umumnya adalah lumpur. Survei Desember 2005 dengan pengambilan 17 stasiun grab menunjukkan 15 stasiun dari contoh substrat yang diambil adalah lumpur dan 5 stasiun adalah lumpur berpasir. Hasil survei Mei 2006 masih dalam area survei Laut Jawa 2002 dan 2005 menunujukkan 50 stasiun grab menunjukkan 45 stasiun contoh substrat memiliki jenis substrat lumpur dan 5 stasiun contoh substrat memiliki jenis substrat lumpur berpasir dan pasir berlumpur. Hasil analisis di laboratorium tanah IPB menunjukkan contoh lumpur tersebut memiliki kisaran bulk density 1,02-1,37 g/m 3, dengan rata-rata1,14 g/m 3. Hasil analisis komposisi ukuran partikel pada contoh substrat di perairan Belitung dan sekitarnya pada survei September 2005 dengan mempergunakan grab menunjukkan bahwa dari 46 stasiun ditemukan 16 stasiun bersubstrat pasir, 13 stasiun bersubstrat pasir berlumpur, 4 stasiun bersubstrat lumpur dan 13 stasiun bersubstrat lumpur berpasir. Hasil komposit kanal citra Landsat 7 ETM tahun 2002, hasil akhir ditemukan 7 kelas utama, yaitu pasir terbuka, karang, lamun, substrat campuran dengan dominasi pasir, karang, lamun, dan lumpur (Gambar 20). Komponen terbesar penyusun ekosistem pesisir Belitung zona A adalah pasir terbuka dan substrat campuran dominan lumpur dengan luasan masing-masing sebesar 1454,749 ha dan 1124,336 ha. Berdasarkan tampilan citra Landsat, pasir terbuka diwakili oleh warna kuning terletak di sepanjang Tanjung Batu sampai Tanjung Lingka, dan di sekitar Teluk Pring, sedangkan daerah lumpur terlihat di Teluk Buding, Tanjung Manggar dan Tanjung Asem sebagai warna coklat pada tampilan citra. Lokasi terumbu karang yang potensial di zona ini berada di sekitar perairan Pulau Bukau dan Pulau Mempirak di Kecamatan Manggar, juga di seklitar perairan Pulau Pemulut di Kecamatan Sijuk dengan total luasan daerah terumbu karang itu sebesar 1021,082 ha. Kondisi terumbu karang di sekitar Pulau Bukau dan Pulau Mempirak termasuk kedalam kriteria memuaskan dengan persentase penutupan karang sebesar 81,8% - 83,6%. Wilayah pesisir Belitung Zona B didominasi oleh pasir terbuka (3923,740 ha) dan substrat campuran dominasi lumpur (1118, 428 ha). Daerah pasir dan

77 53 lumpur berada di sepanjang pantai Tanjung Medong sampai di dekat muara Sungai Linggang. Luasan daerah terumbu karang adalah 1011,708 ha, sebagian besar berada di sekitar Pulau Tapok, Pulau Linding, Pulau Tepi dan di Gosong Batu Gajah yang termasuk dalam kriteria sedang sampai memuaskan dengan persentase penutupan karangnya sebesar 42,88%-78,5%. Pada zona C, luasan pasir sebesar 6153,618 ha dan substrat campuran dominasi pasir sebesar 3756,843 ha, tersebar dari Tanjung Ular sampai di sekitar Pulau Batang dan di daerah Tembelan sampai Gerisik di Kecamatan Membalong. Luasan daerah karang adalah 2053,162 ha, tersebar di sekitar Pulau Seliu, Gosong Pulau Roe, Gosong Pulau Mendulu, di pesisir Mentigi sampai Jepun, dan pulau-pulau kecil lainnya. Persen penutupan karang hidup sebesar 35,5%-83,6%. Zona D, Luasan terbesar adalah pasir terbuka (3583,839 ha) namun sebanding dengan luasan karang (3472,158 ha). Daerah pasir tersebar di sepanjang pesisir barat dari Tanjung Pandan sampai Tanjung Binga. Daerah karang yang berpotensi adalah di sekitar perairan dekat Batu Penyu, Pulau Mendulu, Tanjung Kubu, Tanjung Jemang dan Pulau Babi, Pulau Langkuas, Pulau Kepayang, di Selat Nasik sampai utara Pulau Hoorn, Pulau Langir, Pulau Batudinding, dan di sekitar Tanjung Kelayang dan Pantai Bilik. Kondisi karangnya termasuk dalam ketegori baik dengan persentase penutupan sebesar 65,16%. Analisis komposisi ukuran partikel dari hasil survei di perairan Kalimantan Timur pada bulan Juli 2005, pada 20 stasiun grab menunjukkan 6 stasiun memiliki substrat berpasir, 5 stasiun memiliki substrat lumpur, 4 stasiun bersubstrat pasir berlumpur, 3 stasiun bersubstrat lumpur berpasir dan 2 stasiun bersubstrat lumpur berpasir. Perbedaan jenis substrat ini diakibatkan adanya sedimentasi yang berasal dari sungai-sungai yang bermuara di pantai Kalimantan Timur juga adanya arus yang kuat di tengah perairan yang sanggup membawa partikel pasir hingga jauh ke tengah perairan. Analisis ukuran partikel dari data pengambilan substrat di Kepulauan Seribu di 20 stasiun, menunjukkan 12 stasiun berupa pasir berlumpur, 3 stasiun bersubstrat karang, 3 stasiun dengan substrat berpasir dan 1 stasiun masingmasing bersubstrat pasir berliat dan 1 stasiun bersubstrat lumpur berpasir.

78 54 Gambar 20. Sebaran substrat di perairan Belitung berdasarkan citra Landsat 7 ETM (2002) Kondisi Oseanografi Kisaran suhu dan salinitas hasil survei Laut Jawa pada tahun 2002 bertepatan dengan Musim Peralihan II ditampilkan pada Tabel 6. Kondisi suhu perairan cenderung lebih dingin dibandingkan hasil survei tahun 2005 yang bertepatan dengan Musim Barat. Parameter Tabel 6. Kisaran suhu dan salinitas di Laut Jawa Oceanografi Permukaan Dekat dasar Permukaan Dekat dasar Kisaran suhu ( o C) 29,61-27,26 27,74 29,58 28,77 29,93 28,85 29,70 Rata-rata Suhu ( o C) 28,53 ± 0,62 28,47 ± 0,46 29,34 ± 0,34 29,36 ± 0,27 Kisaran Salinitas (psu) 33,39 34,83 33,74 34,81 30,47 33, 75 32,43 33, 88 Salinitas rata-rata (psu) 34,4 ± 0,32 34,47 ± 0,19 32,73 ± 0,80 33,27 ± 0,47

79 55 Kisaran suhu dan salinitas hasil survei di perairan Belitung tahun 2002 bertepatan dengan Musim Peralihan I dan data tahun 2005 bertepatan Musim Peralihan II dapat dilihat pada Tabel 7. Musim Peralihan I (2002) menunjukkan suhu yang lebih hangat dibandingkan pada Musim Peralihan II (2005). Namun untuk Musim Peralihan I memiliki salinitas lebih sedikit pekat dibanding Musim Peralihan II (2005). Arus permukaan yang terukur pada Musim Peralihan II (2005) adalah 19,67-21,48 m/dtk, dengan rata-rata arus adalah 20,55 m/dtk ± 0,43, dan arus dekat dasar 20,10 m/dtk - 21,49 m/dtk dan rata-rata arus dasar adalah 20,62 m/dtk ±0,41. Tabel 7. Kisaran suhu dan salinitas di perairan Belitung Parameter Oceanografi Permukaan Dekat dasar Permukaan Dekat dasar Kisaran suhu ( o C) 29,48-30,33 29,37-29,61 28,86 30,63 28,83-30,11 Rata-rata Suhu ( o C) 30,02 ± 0,28 29,51 ± 0,08 29,50 ± 0,37 29,41 ± 0,30 Kisaran Salinitas (psu) 32,87-32,98 32,87 32,93 32,54 34,16 32,80-34,18 Salinitas rata-rata (psu) 32,96 ± 0,04 32,9 ± 0,02 33,21 ± 0,46 33,25 ± 0,44 Saat pengambilan data tahun 2002 juga dilakukan pengolahan citra satelit Landsat-7. Ini dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai sebaran suhu lebih luas. Citra satelit Landsat-7 ETM band 6a dan band 6b (Lampiran 5- g) Berdasarkan hasil pengolahan citra diketahui suhu perairan berkisar dari C. Pada perairan sebelah timur suhu perairan berkisar C dan suhu dominan pada 28 0 C. Penyebaran suhu ke arah lepas pantai didominasi suhu 29 0 C. Pada perairan sebelah barat suhu perairan berkisar C dan suhu dominan pada 27 0 C. Survei di perairan Kalimantan Timur bertepatan dengan Musim Peralihan II. Kisaran suhu permukaan menyebar dari 25,03 32,81 0 C, salinitas permukaan menyebar dari 33,78 psu psu. Suhu dasar berkisar dari 16,78 0 C 28,97 0 C dan salinitas dasar berkisar 34,12 psu 35,55 psu. Sebaran suhu dan salinitas di seluruh lokasi survei dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan selang kelas kedalaman perairan baik untuk rata-rata suhu dan salinitas di perairan Laut Jawa maupun perairan Belitung menunjukkan nilai yang tidak berbeda kecuali di perairan Kalimantan Timur yang mengalami perubahan suhu cukup besar (Tabel 8).

80 Tabel 8. Nilai rata-rata suhu dan salinitas di perairan Laut Jawa, Belitung dan Kalimantan Timur berdasarkan selang kelas kedalaman perairan Selang Kelas Kedalaman Suhu Dasar (o) Laut Jawa 2002 Salinitas Dasar (psu) Suhu Dasar (o) Laut Jawa 2005 Salinitas Dasar (psu) Suhu Dasar (o) Belitung 2002 Salinitas Dasar (psu) Suhu Dasar (o) Belitung 2005 Salinitas Dasar (psu) Kalimantan Timur 2004 Suhu Dasar (o) Salinitas Dasar (psu) <29,50 28,56 34,57 29,45 33,50 29,54 32,89 29,58 33,11 28,27 34,43 29,60-36,50 28,22 34,70 29,56 33,80 29,51 32,91 29,21 33,37 28,32 34,45 36,60-43,50 28,38 34,52 29,52 33,28 29,47 32,90 29,29 33,12 28,46 34,38 43,60-50,50 28,29 34,50 29,26 33, ,06 33,62 28,87 34,89 50,60-57,50 27,99 34, ,01 34,06 28,17 34,49 57,60-64,50 28,08 34, ,51 35,00 64,60-71, ,22 33,19 24,17 35,18 71,60-78,50 27,99 34, ,69 35,18 >78,60 27,67 34, ,73 35,30 Ket : - tidak ada data

81 Nilai hidroakustik Hambur Balik Dasar Perairan Analisis hambur balik dasar perairan meliputi lima kali survei yaitu Laut Jawa 2002,2005 perairan Belitung 2002, 2005 dan Kepulauan Seribu Analisis data ini menggunakan dua metode yang berbeda yaitu data tahun 2002 diolah dengan Program EP-500 dan data dengan menggunakan Program EchoView Nilai Hambur Balik Dasar Perairan Hasil Olahan Program EP Perairan Jawa (2002) Hasil pengolahan data hambur balik dasar perairan Laut Jawa 2002 sepanjang lintasan penelitian menunjukkan Nilai hambur balik dasar menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup besar antara lapisan-1 hingga lapisan-4 (Tabel 9). Hal ini terjadi karena setiap lapisan substrat memiliki kepadatan yang berbeda, juga tersusun dari jenis yang berbeda. Semakin ke dalam dasar perairan maka sedimen akan semakin padat. Pada studi ini, lapisan -1 diduga merupakan partikel-partikel lumpur yang sudah diendapkan namun belum solid. Wibisono (2005) menjelaskan bahwa sedimen pada lapisan - 1 bersifat tidak kompak (unconsolidated) yaitu sedimen yang selalu dalam keadaan siap terurai sehingga dengan kekuatan arus yang lemah sekalipun berakibat partikel mudah lepas. Lapisan-2 adalah lapisan lumpur semi kompak (semi consolidated) hingga lapisan 4 akan semakin kompak (consolidated). Hal ini yang menjelaskan mengapa pada lapisan-1 memiliki nilai hambur balik dasar perairan sangat kecil dan semakin menuju lapisan-4 nilai hambur balik semakin besar. Tabel 9. Nilai hambur balik dasar perairan di Laut Jawa 2002 Lapisan Nilai Kisaran Hambur Balik Dasar Perairan (db) Rata-rata Nilai Hambur Balik Dasar Perairan (db) Lapisan -1 51,70 db hingga -57,50-54,94 ± 0.98 Lapisan -2-31,40 db hingga -43,60-37,74 ± 2,38 Lapisan -3-18,20 db sampai -36,60-26,29 ± 3,37 Lapisan -4-16,20 db sampai -34,90-24,33 ± 3,41 Partikel-partikel lumpur yang terdapat di Perairan Laut Jawa, merupakan hasil transportasi sedimen lithogenous ( jenis sedimen yang berasal dari pelapukan maupun kegiatan vulkanik) yang diangkut dari daratan ke laut oleh sungai-sungai, begitu sedimen ini sampai di laut maka penyebarannya

82 58 ditentukan oleh sifat-sifat fisik dari partikel itu sendiri. Lumpur umumnya akan mengendap membutuhkan waktu 185 hari dan semakin besar ukuran partikel maka akan lebih cepat mengendap (Wibisono, 2005). Gambar 21 terlihat bahwa lapisan-2 hingga lapisan-4 memiliki bentuk grafik yang sama, hal ini sangat berbeda dengan lapisan-1, dimana kenaikan maupun penurunan nilai hambur balik pada nilai lapisan-2 akan diikuti juga oleh turun naiknya nilai rata-rata lapisan-3 dan 4. Bentuk ini dapat dijelaskan bahwa berat jenis setiap lapisan berbeda. Semakin tinggi berat jenis suatu lapisan akan memberikan nilai hambur balik dasar perairan yang lebih besar. Berat jenis ini juga menjadi suatu faktor penting yang mempengaruhi perubahan impedansi akustik kekompakan (consolidated) atau litifikasi (litification) dari sedimen yang kompak yang merupakan hasil dari beban berlebih sediment-sedimen lain diatasnya, pengeringan dari sedimen saat surut maupun proses diagenetik karena ketidaksamaan kimia dari butiran-butiran memproduksi mineral-mineral baru yang menambah koherensi sedimen. Nilai Rerata Hambur Balik Dasar Perairan (db) < > 78.6 Selang Kelas Kedalaman Lapisan-1 Lapisan-2 Lapisan-3 Lapisan-4 Rata-rata Lapisan 1-4 Gambar 21. Rata-rata nilai hambur balik dasar perairan di selang kelas kedalaman Sebaran nilai hambur balik dasar perairan sepanjang lintasan survei digambarkan berdasarkan nilai rata-rata dari nilai hambur balik Lapisan-1 hingga lapisan-4. Nilai hambur balik dasar perairan ini berkisar antara -20,02 db hingga -38,29 db, dengan rata-rata -28,09 db dan simpangan baku 3,35. Pada lokasi mendekati Pulau Kalimantan nilai hambur balik dasar perairan cukup besar hingga -25 db, namun semakin ke arah selatan mendekati pantai utara Jawa nilai hambur balik semakin kecil. (Gambar 22). Nilai hambur balik dasar perairan dikelompokkan untuk mengetahui sebaran kedalaman perairan. Ditemukan pada kisaran -38,00 db sampai -35,01

83 59 db pada kedalaman perairan 62,00 75,00 m, diikuti kisaran hambur balik dasar perairan -35,00 db sampai -32,01 db yaitu terdeteksi pada perairan m. - 32,00 db sampai -29,01 db menyebar pada kedalaman 25,00 65,00 m, kisaran -29,00 sampai -26,01 pada kisaran kedalaman 25,00 65,00 m. Kisaran -26,00 db sampai -23,01 db menyebar pada kedalaman 23,00 60,00 m dan terakhir kedalaman 28,00 40,00 m memiliki selang hambur balik dasar perairan terbesar yaitu -23,00 db sampai -20,00 db (Gambar 23) Lintang -5-6 Laut Jawa Kep. Karimunjawa -7 Semarang Bujur Gambar 22. Sebaran nilai rata-rata hambur balik dasar perairan Laut Jawa 0 Kedalaman (m) Nilai Hambur Balik Dasar Perairan (db) Gambar 23. Sebaran nilai hambur balik dasar perairan (db) pada kedalaman perairan di Laut Jawa

84 Perairan Belitung (2002) Hasil pengolahan data di perairan Belitung menunjukkan penyebaran nilai hambur balik dasar perairan yang sama dengan Laut Jawa yaitu lapisan-1 lebih kecil dibandingkan lapisan lainnya, hal ini dapat dilihat pada Tabel 10. Hal ini terjadi karena jenis substrat yang berada pada setiap lapisan berbeda, dimana lapisan-1 adalah lapisan unconsolidated, sedangkan lapisan-2 hingga lapisan-4 adalah lapisan consolidated. Tabel 10. Kisaran nilai hambur balik dasar perairan di perairan Belitung Lapisan Nilai Kisaran Hambur Balik Dasar Perairan (db) Rata-rata Nilai Hambur Balik Dasar Perairan (db) Lapisan -1-54,40 hingga -59,70-57,43 ± 1,51 Lapisan -2-31,30 hingga -46,80-37,65 ± 5,10 Lapisan -3-15,80 hingga -38,30-23,47 ± 7,41 Lapisan -4-11,10 hingga -33,90-18,77 ± 7,27 Berdasarkan selang kelas kedalaman (Gambar 24), lapisan-1 memiliki nilai terendah pada selang kelas kedalaman 29,60-36,50 m dan tertinggi pada selang kelas kedalaman 1. Lapisan-2 sampai lapisan- 4 menunjukkan nilai ratarata paling tinggi pada selang kelas kedalaman 29,60-36,50 m, dibawahnya selang kelas kedalaman 36,60-43,50 m dan paling kecil adalah selang kelas kedalaman kurang dar 29,5 m. -16 Nilai Rata-rata Hambur Balik Dasar Perairan(dB) Data tidak ada -70 < > 78.6 Selang Kelas Kedalaman (m) Lapisan-1 Lapisan-2 Lapisan-3 Lapisan-4 rata-rata Gambar 24. Nilai rata-rata hambur balik dasar perairan pada setiap selang kelas kedalaman Gambaran mengenai hambur balik dasar perairan sepanjang lintasan survei diperoleh berdasarkan nilai rata-rata dari 4 lapisan berkisar -15 sampai -36

85 61 db. Lokasi di timur laut Pulau Belitung memiliki nilai rata-rata hambur balik lebih besar dibandingan dengan lokasi barat laut Pulau Belitung (Gambar 25). Nilai hambur balik dasar perairan dikelompokkan untuk mengetahui sebaran kedalaman perairan. Ditemukan pada kisaran -38,00 db sampai -35,01 db pada kedalaman perairan 25,60 32,80 m, diikuti kisaran hambur balik dasar perairan -35,00 db sampai -32,01 db yaitu terdeteksi pada kedalaman perairan 26,40-33,60 m, kisaran -32,00 db sampai -29,01 db menyebar pada kedalaman 25,80 26,00 m, kisaran -29,00 sampai -26,01 tidak ditemukan. Kisaran -26,00 db sampai -23,01 db menyebar pada kedalaman 23,00 39,80 m, diikuti -23,00 db sampai -20,01 db pada kisaran kedalaman 23,20 39,60 m, kisaran -20,00 db sampai -17,01 db berada pada kisaran kedalaman 23,20 sampai 35,20 m dan yang memiliki kisaran hambur balik dasar perairan terbesar yaitu -17,00 db sampai -14,01 db pada kisaran 30 32,8 m (Gambar 26) -2.5 Lintang Tanjungpandan Belitung Bujur Gambar 25. Sebaran hambur balik dasar perairan di perairan Belitung -10 Kedalaman (m) Nilai Hambur Balik Dasar Perairan (db) Gambar 26. Sebaran nilai hambur balik dasar perairan pada kedalaman perairan di perairan Belitung

86 Nilai Hambur Balik Dasar Perairan dengan Program Echoview Perairan Laut Jawa (2005) Hasil pengolahan data menunjukkan nilai hambur balik dasar perairan di Laut Jawa memiliki nilai maksimum yang diperoleh -35,91 db, nilai minimal - 38,57 db dan nilai rata-rata -37,10 db dengan simpangan baku 0,46 db. Penyebaran nilai hambur balik dasar sepanjang lintasan survei menunjukkan nilai yang sama (Gambar 27). Hal ini menjelaskan bahwa substrat pada lokasi survei di Laut Jawa 2005 memiliki substrat yang sama. Hasil data in-situ pengambilan contoh di lokasi ini diperoleh data yang menunjukkan bahwa substrat yang ada berupa lumpur, hasil analisis di laboratorium menunjukkan bahwa berat jenis lumpur tersebut kurang dari 1 gram/m Kep. Karimunjawa Lintang -6.5 Semarang Bujur Gambar 27. Penyebaran nilai hambur balik dasar perairan Laut Jawa Sebaran Nilai rata-rata hambur balik dasar perairan berdasarkan selang kelas kedalaman diperoleh hasil nilai rata-rata pada selang kelas 1 sampai 5 sama yaitu berkisar dari -37,41 hingga -36,87 db. Ini menunjukkan bahwa pada selang kedalaman perairan ini memiliki tipe substrat yang sama atau merupakan kelompok yang sama pada selang kedalaman 6-9 tidak diperoleh data (Tabel 10) Perairan Belitung (2005) Hasil deteksi hidroakustik dasar perairan Belitung pada bulan September 2005 menunjukkan nilai hambur balik dasar perairan beragam yaitu dengan nilai

87 63 maksimum -20,93 db, nilai minimum -41,05 db dan nilai rata-rata -32,65 db dengan simpangan baku 6,83. Nilai hambur balik sepanjang survei pemberangkatan dari Semarang menunjukkan nilai hambur balik berkisar -35 db. Menuju perairan Belitung, nilai hambur balik semakin besar bahkan mencapai -23,10 db, dan di sebelah timur Pantai Sumatera nilai hambur balik mulai menurun kembali hingga -31 db. Ini menunjukkan di lintasan survei pemberangkatan dari Semarang, memiliki substrat lumpur hal ini ditunjukkan berdasarkan data pengambilan contoh substrat dengan menggunakan grab. Di sekitar perairan Belitung substrat sudah mulai berbeda, yaitu berupa substrat pasir yang banyak mendominasi di lokasi ini. Di timur Pantai Sumatera memiliki substrat yang berbeda juga dan diduga merupakan campuran lumpur dan pasir (Gambar 28). -2 Pangkalpinang Bangka -3 P. Lepar Tanjungpandan P. Liat Belitung Lintang -4 Laut Jawa -5 Kep. Karimunjawa -6 J A K A R T A Gambar 28. Penyebaran nilai hambur balik dasar perairan Belitung Nilai hambur balik pada setiap selang kelas kedalaman dapat menunjukkan bahwa memliki rata-rata nilai habur balik yang berkisar -34,60 hingga -30,10 db. Nilai ini tidak menunjukkan tipe substrat yang berbeda antar selang kelas kedalaman (Tabel 11). Bujur

88 64 Tabel 11. Nilai rata-rata hambur balik dasar di perairan Laut Jawa dan perairan Belitung Selang kelas kedalaman Laut Jawa (2005) Perairan Belitung (2005) < ,77-32, ,34-33, ,23-32, ,46-31, ,63-30, , ,60 > ,51 Keterangan : - data tidak ada Perairan Kepulauan Seribu (2007) Perairan Kepulauan seribu memiliki data hambur balik yang berasal dari pantulan pertama (E-1) yang berksar -36,66 sampai -11,85 db dengan rata-rata -24,14 db dan pantulan kedua (E-2) yang berkisar -70,00 sampai -36,46 db dengan rata-rata -58,75 db. Hasil pemetaan terhadap nilai hambur balik pantulan pertama digambarkan sebagai berikut (Gambar 29): Lintang J A K A R T A Bujur Gambar 29. Penyebaran nilai hambur balik dasar pertama di perairan Kepulauan Seribu

89 Estmasi Stok Ikan Demersal Secara Hidroakustik Hasil dari penelitian ini meberikan informasi mengenai sebaran nilai pantulan ikan tunggal (target strength) maupun densitas ikan berdasarkan lima kali survei, yaitu Laut Jawa , perairan Belitung dan perairan Kalimantan Timur (2004) Perairan Laut Jawa (Musim Peralihan II ) Nilai target strength menggambarkan besarnya pantulan yang diberikan oleh ikan tunggal yang terdeteksi oleh alat hidroakustik. Kisaran nilai target strength menyebar dari 51,00 db hingga 24,01 db, dengan jumlah ikan tunggal yang terdeteksi sebanyak ekor. Jumlah ikan tunggal terbanyak pada kisaran nilai target strength 48,00 sampai -45,01 db yaitu ekor, disusul kisaran target strength 51,00 hingga -48,01 db sebanyak ekor dan urutan ke tiga kisaran nilai 45,00 sampai -42,01 db sebanyak 831 ekor, dengan ratarata target strength di seluruh perairan sebesar 41,11 db, dan standar deviasi sebesar 14,68 db. Penyebaran nilai rata-rata target strength ikan demersal sepanjang lintasan survei di seluruh perairan Laut Jawa sangat bervariasi, hal ini dapat dilihat pada Gambar Lintang -5-6 Laut Jawa Kep. Karimunjawa -7 Semarang Bujur Gambar 30. Penyebaran rata-rata target strength ikan demersal di perairan Laut Jawa pada Musim Peralihan II

90 66 Gambar 31 yang menggambarkan histogram frekuensi jumlah ikan tunggal pada setiap nilai target strength. Kisaran nilai target strength yang terdeteksi adalah -48,00 hiungga -45,01 db memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan yang lainnya. Semakin besar ukuran target strength jumlah ikan semakin kecil, atau dengan kata lain di perairan Laut Jawa banyak ditemukan ikan-ikan tunggal berukuran kecil. Jumlah ikan tunggal dengan ukuran besar terdapat 0,88% atau 38 ekor dengan kisaran ukuran target strength 33,00 sampai -24,01 db. Jumlah Ikan Tunggal (ekor) ,00 s/d - 48, ,00 s/d - 45, ,00 s/d - 42, ,00 s/d - 39, ,00 s/d - 36, ,00 s/d - 33,01-33,00 s/d - 30,01-30,00 s/d - 27,01-27,00 s/d - 24,01 Nilai Target strength (db) Gambar 31. Jumlah ikan tunggal pada kisaran nilai target strength saat Musim Peralihan II di Laut Jawa Rata-rata jumlah ikan tunggal berdasarkan kisaran kelas kedalaman perairan berturut-turut dari kelas 1 sampai kelas 9 dapat dilihat pada Gambar 52. Hal ini menunjukkan bahwa pada selang kelas kedalaman 71,60-78,50 m memiliki ukuran ikan paling besar, diikuti selang kelas kedalaman lebih besar dari 78,60 m. Ini menjelaskan bahwa ikan-ikan besar menyukai perairan dengan kedalaman lebih dari 72 m, sedang ikan-ikan kecil menyukai perairan dangkal yaitu pada kedalaman kurang dari 29,5 m. Berdasarkan Gambar 32 ditemukan tiga kelompok yaitu : kelompok I adalah kelompok ikan yang memiliki nilai target strength kurang dari -47,00 db yang berada pada kedalaman kurang dari 29,50 m. Kelompok II yaitu ikan-ikan yang memiliki selang nilai rata-rata target strength antara -47,00 hingga -44,00 db pada kedalaman antara 29,60 hingga 71,50 m, dan kelompok III adalah ikan yang berada pada kedalaman lebih dari 71,60 m dengan nilai target strength lebih dari -44,00 db.

91 67 Nilai Rerata Target Strength (db) < >78.6 Selang Kelas Kedalaman Gambar 32. Rata-rata nilai target strength pada setiap selang kelas kedalaman perairan Adapun jumlah ikan tunggal pada setiap kelas selang kedalaman juga sangat bervariasi. Jumlah terbanyak rata-rata ikan tunggal yaitu pada kelas selang kedalaman 6 yaitu pada kedalaman 57, m yaitu 27,05 ekor ikan, disusul pada kelas selang kedalaman 4 (43,60-50,50 m) dan 7 (64,60-71,50 m) yaitu sebanyak 21,65 ekor dan 20,84 ekor ikan (Gambar 33). Jumlah Rata-rata Ikan Tunggal (ekor) < >78.6 Selang Kelas Kedalaman Gambar 33. Rata-rata jumlah ikan tunggal ikan demersal pada setiap selang kelas kedalaman perairan Berdasarkan data densitas yang ada untuk setiap integrasi dikalikan berat ikan rata-rata yang mendominasi dari sapuan tangkapan trawl yaitu 29,17 gram, diperoleh informasi bahwa densitas berkisar dari 0,00 gram/m 3 hingga 1,64 gram/m 3 dengan rata-rata 0,33 gram/m 3 dan simpangan baku 0,33. (Gambar 34). Densitas ikan lebih dari 0,5 gram/m 3 di lokasi perairan dangkal dan mendekati pantai. Lokasi yang dalam seperti di lokasi Laut Jawa bagian timur di utara Pulau Kangean memiliki densitas relatif rendah. Hal ini bisa disebabkan karena

92 68 daerah dangkal dan mendekati pantai merupakan daerah yang subur, akibat nutrien yang terbawa oleh arus sungai yang mampu mencapai daerah tersebut sehingga terdapat persediaan makanan bagi detritus Lintang -5-6 Laut Jawa Kep. Karimunjawa -7 Semarang Bujur Gambar 34. Penyebaran nilai rata-rata densitas ikan demersal pada Musim Peralihan II di perairan Laut Jawa Perhitungan densitas ikan (gram/m 3 ) berdasarkan selang kelas kedalaman di gambarkan pada Gambar 35. Data menunjukkan bahwa pada selang kelas 2 (29,60-36,50 m) memiliki densitas ikan yang paling besar yaitu 0,60 gram/m 3, diikuti selang kelas kedalaman 5 (50,60-57,50 m) yaitu 0,36 gram/m 3, dan paling rendah pada selang kedalaman lebih dari 78,60 m, dan cenderung semakin bertambahnya kedalaman densitas ikan menurun. Nilai Rata-rata Densitas Ikan Demersal (g/m 3 ) < >78.6 Selang Kelas Kedalaman Gambar 35. Nilai densitas ikan demersal pada selang kelas kedalaman di perairan Laut Jawa saat Musim Peralihan II

93 Perairan Laut Jawa (Musim Barat ) Penyebaran nilai target strength pada Musim Barat 2005 menunjukkan kisaran nilai target strength -24,21 hingga -59,98 db, dengan rata-rata -44,86 db. Gambar 36 menggambarkan sebaran nilai rata-rata target strength di sepanjang lintasan survei, dengan nilai yang beragam. Rata-rata nilai target strength menyebar merata, namun demikian bila diamati secara cermat nilai rata-rata target strength berkisar -42,00 hingga -48,00 db yang terdapat di lokasi mendekati pantai, bahkan mendekati Pantai Karimun Jawa yang terdeteksi hingga -54,00 db. Namun di beberapa lokasi terlihat ikan tunggal berukuran besar hingga -30,00 db. Sebaran nilai rata-rata target strength di setiap selang kelas kedalaman menunjukkan ikan-ikan yang berukuran besar terdapat di perairan dalam sedang ikan-ikan kecil terdapat di perairan dangkal. Berdasarkan Gambar 37, penyebaran ikan pada selang kelas kedalaman I (<29,5 m) memiliki ukuran sendiri yaitu -42,15 db. Pada selang kelas kedalaman 2 dan 3 (29,6-43,5 m) memiliki ukuran ikan tunggal yang sama. Demikian juga untuk kelas kedalaman 4-5 ( 43,6-57,5 m) memiliki ukuran yang lebih besar. Kep. Karimunjawa -6 Lintang -7 Semarang Bujur Gambar 36. Sebaran nilai target strength pada Musim Barat di Laut Jawa

94 70 Nilai Rerata Target Strength (db) < >78.6 Selang Kelas Kedalaman Gambar 37. Nilai rata-rata target strength di setiap selang kelas pada Musim Barat di Laut Jawa Total jumlah ikan tunggal adalah ekor, sebaran jumlah ikan tunggal pada setiap nilai target strength menunjukan bahwa ikan-ikan berukuran kecil (-60,00 hingga -57,01 db) berjumlah ekor atau 23,22% dari jumlah ikan tunggal yang terdeteksi, diikuti ikan-ikan dengan nilai -57, ,01 db sebanyak ekor (21,74%). Ikan-ikan berukuran besar yaitu lebih dari -33,00 db ditemukan sebanyak 155 ekor atau hanya 0,54% saja dari seluruh ikan tunggal (Gambar 38). Jumlah Ikan Tunggal (ekor) ,00 s/d -57,01-57,00 s/d -54, ,00 s/d -51, ,00 s/d -48, ,00 s/d -45, ,00 s/d -42, ,00 s/d -39, ,00 s/d -36,00 Nilai Target Strength (db) ,00 s/d -33,01-33,00 s/d -30,01-30,00 s/d -27,01-27,00 s/d -24,01 Gambar 38. Jumlah ikan tunggal pada kisaran nilai target strength saat Musim Barat di Laut Jawa Sebaran densitas ikan berkisar dari 0 sampai 2,10 gram/m 3, dengan ratarata 0,53 gram/m3. Penyebaran densitas ikan sepanjang lintasan survei dapat dilihat pada Gambar 39. Kecenderungan mendekati pantai jumlah densitas lebih besar dibandingkan lokasi yang menjauhi pantai.

95 71 Sebaran nilai rata-rata densitas di setiap selang kelas kedalaman menunjukkan ikan-ikan banyak ditemukan di perairan dangkal, dan semakin dalam perairan densitas ikan semakin berkurang. Berdasarkan Gambar 40, penyebaran ikan pada selang kelas kedalaman I (<29,5 m) memiliki rata-rata densitas 1,95 g/m 3. Pada selang kelas kedalaman 2 (29,60 43,50 m) mengalami kenaikan yang signifikan yaitu 3,20 g/m 3 dan cenderung menurun jumlah densitas ikan dengan bertambahnya selang kelas kedalaman. Kep. Karimunjawa -6 Lintang -7 Semarang Bujur Gambar 39. Sebaran densitas ikan sepanjang lintasan pada Musim Barat di Laut Jawa Nilai Rata-rata Densitas Ikan Demersal (g/m 3 ) < >78.6 Selang Kelas Kedalaman Gambar 40. Rata-rata densitas ikan demersal di setiap selang kelas Kedalaman pada Musim Barat di Laut Jawa

96 Belitung Tanjungpandan Perairan Belitung (Musim Peralihan I ) Hasil survei Musim Peralihan I di perairan Belitung, memiliki data ikan tunggal yang relatif sedikit dibandingkan hasil survei di lokasi lain. Nilai target strength pada Musim Peralihan I berkisar -47,00 db hingga 59,00 db, dengan nilai rata-rata -55,73 db. Penyebaran nilai rata-rata target strength di lintasan survei dapat dilihat pada Gambar Lintang Bujur Gambar 41. Penyebaran nilai rata-rata target strength ikan tunggal di perairan Belitung pada Musim Peralihan I Hasil deteksi hidroakustiik di perairan Belitung menunjukkan jumlah ikan tunggal yang terdeteksi sangat sedikit yaitu 48 ekor. Hal ini diduga disebabkan oleh perairan yang umumnya bersubstrat karang dimana banyak dihuni oleh ikan-ikan yang bergerombol. Sebaran jumlah ikan pada setiap nilai target strength dapat di lihat pada Gambar 42. Nilai target strength berkisar -60,00 hingga -57,01 db memiliki jumlah individu terbanyak yaitu 18 ekor, dan semakin besar nilai target strength terlihat jumlah ikan tunggal semakin sedikit. Jumlah Target Tunggal (ekor) ,00 s/d - 57, ,00 s/d - 54, ,00 s/d - 51, ,00 s/d - 48, ,00 s/d - 45,01 Nilai Target Strength (db) Gambar 42. Jumlah ikan demersal tunggal pada setiap nilai target strength di perairan Belitung pada Musim Peralihan I

97 Belitung Tanjungpandan 73 Sebaran nilai rata-rata target strength menurut selang kelas kedalaman hanya ditemukan pada dua kelas kedalaman yaitu selang kelas kurang dari 29 m dan selang kelas 29,60-36,50 m (Gambar 43). Ikan tunggal pada selang kelas kedalaman 2 memiliki nilai target strength lebih besar dibandingkan nilai target strength pada selang kelas kedalaman 1. Bila dilihat dari nilai target strength ini merupakan kelompok yang berbeda. Nilai Rata-rata Target Strength (db) < Data tidak ada >78.6 Selang Kelas Kedalaman Gambar 43. Nilai rata-rata target strength ikan demersal di perairan Belitung pada Musim Peralihan I Nilai rata-rata densitas ikan adalah 0,47 g/m 3 dengan simpangan baku 0,28 dan nilai densitas berkisar antara 0 1,24 g/m 3. Penyebaran nilai densitas di sebelah barat Pulau Belitung lebih besar dibandingkan di sebelah utara maupun sebelah timur Pulau Belitung (Gambar 44) Lintang Bujur Gambar 44. Nilai rata-rata densitas ikan demersal di perairan Belitung pada Musim Peralihan I

98 74 Densitas berdasarkan selang kelas kedalaman ditemukan pada selang kelas kedalaman kurang dari 29 m sebesar 0,67 g/m 3 dan pada selang kelas kedalaman 29,60-36,50 m memiliki densitas 0,44 g/m 3 (Gambar 45). 1 Nilai Rata-Rata Densitas Ikan Demersal (g/m3) Data tidak ada 0 < >78.6 Selang Kelas Kedalaman Gambar 45. Rata-rata densitas ikan di setiap selang kelas kedalaman pada Musim Peralihan I di perairan Belitung Perairan Belitung (Musim Peralihan II-2005) Survei Belitung tahun 2005 bertepatan dengan Musim Peralihan II. Hasil deteksi ikan tunggal dengan menggunakan alat hidroakustik menunjukkan ikan demersal tunggal memiliki nilai target strength antara -42,00 hingga -59,98 db dengan rata-rata 51,53 db dan simpangan baku 4,43. Berdasarkan nilai ratarata target strength, ikan-ikan tunggal yang berukuran besar umumnya di sekitar pulau-pulau kecil yang terletak di barat Pulau Belitung. Ikan-ikan kecil menyebar di timur pantai Sumatera hingga ke tengah perairan (Gambar 46). Penghitungan jumlah ikan tunggal pada lokasi penelitian masih didominasi oleh ikan-ikan yang memiliki nilai target strength antara -60,00 hingga -57,01 db yaitu sebanyak ekor, dan semakin bertambah besar ukuran nilai target strength, jumlah ikan tunggal semakin berkurang (Gambar 47). Berdasarkan selang kelas kedalaman, diperoleh informasi bahwa ikanikan yang berukuran besar nilai rata-rata target strength-nya berada di perairan dalam (64,60 78,50 m), sedangkan pada perairan dangkal nilai rata-rata target strength semakin kecil yaitu di bawah -40,00 db (Gambar 48).

99 75-2 Pangkalpinang Bangka -3 P. Liat P. Lepar Lintang J A K A R T A Bujur Gambar 46. Penyebaran nilai rata-rata target strength di perairan Belitung pada Musim Peralihan II 4000 Jumlah Ikan Tunggal (ekor) ,00 s/d -57, ,00 s/d -54, ,00 s/d -51, ,00 s/d -48, ,00 s/d -45, ,00 s/d -42,01 Nilai Target Strength (db) Gambar 47. Jumlah ikan demersal tunggal pada setiap kisaran nilai target strength di perairan Belitung pada Musim Peralihan II Nilai Rata-rata Target Strength (db) < >78.6 Selang Kelas Kedalaman Gambar 48. Nilai rata-rata target strength ikan demersal di perairan Belitung pada Musim Peralihan II

100 76 Densitas ikan demersal pada Musim Peralihan II di perairan Belitung menunjukkan kisaran nilai densitas 0 hingga gram/m 3. Densitas rata-rata yang ditemukan adalah 0.5 g/m 3 dengan simpangan baku 1,52. Densitas ikan demersal di perairan Belitung menunjukkan di lokasi di sekitar Pulau Belitung sangat sedikit namun di timur Pantai Sumatera lebih banyak (Gambar 49). Lokasi yang memiliki densitas sebesar 10,82 g/m 3 hanya pada posisi 106 o BT; 05 o LS. -2 Pangkalpinang Bangka -3 P. Liat P. Lepar Lintang J A K A R T A Bujur Gambar 49. Penyebaran densitas di perairan Belitung pada Musim Peralihan II Rata-rata densitas ikan paling banyak terdapat di kedalaman kurang dari 29,50 m dan semakin bertambah kedalaman jumlah densitas ikan semakin kurang (Gambar 50). 1 Nilai Rata-rata Densitas Ikan Demersal (g/m3) < >78.6 Selang Kelas Kedalaman Gambar 50. Rata-rata densitas ikan di setiap selang kelas kedalaman pada Musim Peralihan I di perairan Belitung

101 Perairan Kalimantan Timur (Musim Peralihan II-2004) Hasil survei di perairan Kalimantan Timur meliputi perairan dangkal hingga perairan dalam. Perairan dangkal umumnya terletak di dekat pantai dan perairan dalam menjauhi pantai. Umumnya hasil deteksi akustik yang jauh dari pantai sudah tidak dapat mendeteksi dasar perairan, sehingga tidak dapat dilakukan analisis untuk mendapatkan informasi mengenai ikan-ikan yang dekat dasar perairan. Target strength yang terdeteksi di perairan Kalimantan Timur berjumlah ekor ikan tunggal dengan nilai target strength menyebar dari 61,00 db hingga 34,00 db, dan rata-rata Target strength adalah 51,01 db dengan simpangan baku 0,003 db. Total ikan tunggal terbanyak ditemukan pada target strength ukuran 61, ,01 db yaitu ekor ikan tunggal, diikuti oleh Target strength ukuran 58, ,01 db sebanyak 947 ekor ikan tunggal, dan semakin besar nilai target strength jumlah ikan tunggal yang terdeteksi semakin sedikit (Gambar 51). Jumlah Ikan Tunggal (ekor) ,00 s/d - 58, ,00 s/d - 55, ,00 s/d - 52, ,00 s/d - 49, ,00 s/d - 46, ,00 s/d - 43,01 Nilai Target Strength (db) ,00 s/d - 40,01-40,00 s/d - 37,00-37,00 s/d - 34,01 Gambar 51. Jumlah target tunggal pada setiap kisaran nilai target strength di perairan Kalimantan Timur Penyebaran nilai target strength sepanjang lintasan survei yang teramati dapat dilihat pada Gambar 52. Ikan tunggal yang memiliki rata-rata target strength yang kecil (-52,00 db) terdapat perairan dangkal di dekat pantai, dan daerah yang lebih dalam dan menjorok ke tengah Selat Makasar (menjauhi pantai) umumnya memiliki ikan tunggal berukuran besar yaitu dengan nilai target strength hingga -37,00 db. Kedalaman perairan yang terdeteksi oleh alat hidroakustik di perairan Kalimantan Timur ini sangat bervariasi yaitu mulai dari 6 hingga 100 m. Gambar

102 78 53 adalah penyebaran nilai Target strength untuk masing-masing kelas kedalaman. Kelas kedalaman 9 (>78,6 m) memiliki rata-rata target strength paling besar (-40,10 db) dibandingkan delapan kelas kedalaman lainnya. Nilai Target strength paling rendah (-51,72 db) ditemukan pada selang kelas kedalaman 3. Hal ini memberikan gambaran bahwa secara hidroakustik ikanikan tunggal yang berukuran besar di perairan Kalimantan Timur banyak menghuni perairan dalam dan ikan-ikan kecil menjadi penghuni perairan dangkal. Melihat grafik di bawah ini di duga bahwa berdasarkan selang kelas kedalaman ditemukan tiga kelompok ikan yang berbeda yaitu : kelompok I yang merupakan penghuni selang kelas kedalaman 1-3 yang memiliki ukuran ikan tunggal yang sama berkisar (-49,71 sampai -51,72 db), demikian juga pada selang kelas kedalaman 4 8 memiliki ukuran ikan yang sama juga (-45,97 sampai -49,00 db), dan kelompok terakhir adalah selang kelas kedalaman 9 yang memiliki ikan tunggal berukuran -40,00 db. 4 3 Lintang Bujur Gambar 52. Sebaran nilai rata-rata target strength di perairan Kalimantan Timur pada Musim Peralihan II Nilai Rata-rata Target Strength < >78.6 Selang Kelas Kedalaman Gambar 53. Nilai rata-rata target strength di setiap selang kelas kedalaman di perairan Kalimantan Timur pada Musim Peralihan II

103 79 Densitas ikan di perairan Kalimantan Timur ini berkisar 0 sampai 8,47 gram/m 3, dengan rata-rata 0,45 gram/m 3 dan simpangan baku 0,97 dimana perhitungan densitas berdasarkan berat ikan yang mendominasi perairan yaitu jenis Leioqnathus bindus dengan berat 13,9 gram (Gambar 54). Densitas tertinggi terletak pada posisi 117 o 51 3 BT; 02 o LU. Semakin ke tengah Selat Makasar densitas semakin rendah. Berdasarkan selang kelas kedalaman penyebaran densitas ikan demersal di perairan Kalimantan Timur sangat menonjol pada selang kelas kedalaman I (<29,50m) yaitu 4,74 g/m 3, selang kelas kedalaman lainnya memiliki densitas rendah (Gambar 55). 4 3 Lintang Bujur Gambar 54. Sebaran nilai densitas di perairan Kalimantan Timur pada Musim Peralihan II Nilai Rata-rata Densitas Ikan Demersal (g/m 3 ) < >78.6 Selang Kelas Kedalaman Gambar 55. Nilai densitas di setiap selang kelas kedalaman di perairan Kalimantan Timur pada Musim Peralihan II

104 Estimasi Stok Ikan Demersal Hasil Sapuan Trawl Perairan Laut Jawa (Musim Peralihan II-2002) Total hasil sapuan area yang diperoleh dengan menggunakan alat tangkap trawl dasar (Bottom trawl) di 20 stasiun penelitian dengan kedalaman perairan yang beragam ditemukan 39 famili, dengan 91 spesies ikan demersal dan total hasil sapuan 953,81 kg. Stasiun-stasiun yang memiliki hasil sapuan terbesar yaitu Stasiun 5 merupakan stasiun yang memiliki total sapuan ikan demersal paling banyak yaitu 240,15 kg. Diikuti Stasiun 6 yang memiliki total sapuan 103,06 kg, Stasiun 14 dengan hasil sapuan 87,55 kg (Gambar 56). Berdasarkan jumlah spesies terlihat terjadi fluktuasi yang sangat besar. Stasiun dengan hasil sapuan tinggi tidak selalu diikuti dengan jumlah spesies yang tinggi pula. Di lihat dari jumlah spesies pada Stasiun 5 dan 6 memiliki spesies yang sedang yaitu 24 spesies (26,09%) dan 19 spesies (20,65%). Namun untuk Stasiun 14 memiliki jumlah spesies yang cukup tinggi yaitu 37 spesies (40,22%) dari seluruh spesies yang ada yaitu 92 spesies. Berdasarkan jumlah spesies yang mendominasi perairan, maka di perairan Laut Jawa ada 9 spesies yang memiliki jumlah tangkapan yang paling besar. Di mana Leiognathus splendens menduduki posisi teratas dengan total tangkapan 90,70 kg diikuti Nemipterus hexodon dengan total tangkapan 85,90 kg dan D.kuhli dengan 70 kg. 83 dan spesies lainnya memiliki jumlah yang sangat bervariasi antara 40 0,5 kg (Gambar 57). Bila dicermati penyebarannya, ternyata Leiognathus splendens ini hanya tertangkap di 3 stasiun dengan jumlah yang besar yaitu pada Stasiun 14,15 dan 18. Nemipterus hexodon hampir menyebar di seluruh stasiun yang ada (15 stasiun) namun untuk D.kuhli hanya tertangkap di 1 stasiun yaitu Stasiun 5. Hal ini cukup menarik di analisa lebih lanjut, sebab hasil sapuan besar namun tidak menyebar di seluruh perairan. Hal ini diduga bahwa Leiognathus splendens dan D.kuhli membutuhkan suatu kondisi perairan tertentu sebagai tempat hidupnya. Stasiun dimana Leiognathus splendens berada merupakan stasiun di utara Jawa dengan kedalaman berkisar 40 m, dan stasiun dimana D.kuhli berada pada perairan dangkal yaitu 24 m.

105 Kedalaman (m) Hasil Sapuan (kg) Gambar 56. Total sapuan ikan demersal di perairan Laut Jawa pada Musim Peralihan II (2002) 40.74kg 41.23kg 41.60kg 43.12kg 47.91kg 68.07kg 90.70kg 70.00kg 85.90kg Leioqnathus splendens Nemipterus hexodon D.kuhli Surida undosquamis Pentaprion longimanus Dasyiatis sp. Nemipterus marginathus Priacanthus tayenus Abalistes stellaris Gambar 57. Spesies ikan demersal yang mendominasi sapuan di Laut Jawa pada Musim Peralihan II (2002) Pengamatan terhadap spesies ikan yang muncul di setiap stasiun diperoleh hasil yaitu 18 spesies yang muncul di 10 stasiun atau lebih. Saurida undosquamis merupakan spesies yang muncul pada 19 stasiun, dilanjutkan dengan Pentaprion longimanus dan Psetodes erumai yang muncul pada 17 stasiun. Saurida undosquamis meskipun tertangkap pada 19 stasiun tetapi tidak

106 82 memiliki jumlah tangkapan paling banyak. Spesies lainnya sangat bervariasi dari 1 stasiun sampai 15 stasiun. Tabel 12 adalah frekuensi kemunculan spesies di 20 stasiun yang ada. Tabel 12. Frekuensi kemunculan spesies pada Musim Peralihan II di Laut Jawa Nama Spesies Jumlah Frekuensi Kemunculan Nama Spesies Jumlah Frekuensi Kemunculan Saurida undosquamis 19 Nemipterus marginathus 13 Pentaprion longimanus 17 Saurida micropectoralis 12 Psetodes erumai 17 Abalistes stellaris 11 Nemipterus japonicus 15 Nemipterus japonicus 11 Ephinephellus sp. 15 Nemiptorus nematophorus 10 Leiognathus bindus 14 Nemipterus mesoprion 10 Saurida longimanus 14 Dasyiatis sp. 10 Priacanthus macracanthus 14 Pseudorhombus sp 10 Priacanthus tayenus 14 Upenus sulphureus 10 Kedalaman perairan dimana trawl dioperasikan berkisar 23,00 m hingga 74,40 m. Namun bila diklasifikasikan berdasarkan selang kelas kedalaman di seluruh perairan maka dapat dilihat jumlah rata-rata hasil sapuan ikan pada setiap selang kelas kedalaman (Gambar 58). 2 Rata-rata Densitas Ikan Demersal (g/m 3 ) < data tidak ada data tidak ada 0 >78.6 Selang Kelas Kedalaman Gambar 58. Rata-rata densitas ikan demersal di setiap selang kelas kedalaman Pada selang kelas kedalaman 1 yaitu < 29,5 m memiliki rata-rata densitas ikan demersal paling tinggi yaitu 1,13 g/m 3, diikuti selang kelas kedalaman 2 yaitu 0,89 g/m 3. Pada selang kelas 7 dan 9 tidak ada data sehingga kosong.

107 83 Gambar 59 menggambarkan jumlah rata-rata spesies ikan demersal pada setiap selang kelas kedalaman. Dimana pada selang kelas kedalaman 2 memiliki jumlah rata-rata spesies ikan tertinggi yaitu 30 spesies disusul selang kelas kedalaman 6 yang berjumlah 27 spesies. Jumlah rata-rata famili juga beragaman, stasiun 2 memiliki jumlah rata-rata famili paling besar yaitu 17 famili (Gambar 60). 40 Rerata Jumlah Spesies < data tidak ada data tidak ada Selang Kelas Kedalaman Gambar 59. Rata-rata jumlah spesies di setiap selang kelas kedalaman Rerata Jumlah Famili < data tidak ada data tidak ada Selang Kelas Kedalaman Gambar 60. Rata-rata jumlah famili di setiap selang kelas kedalaman Hasil pengamatan terhadap spesies yang dominan pada setiap selang kelas kedalaman terlihat sangat beragam, seperti yang terlihat pada Tabel 13 di bawah ini. Terdapat 5 spesies yang dominan yaitu Nemipterus hexodon, Leiognathus splendens, Nemipterus japonicus, Nemiptorus nematophorus dan Priacanthus tayenus.

108 84 Tabel 13. Spesies yang dominan di setiap selang kelas kedalaman Selang Kelas Kedalaman Spesies dominan 1 Nemipterus hexodon 2 Leiognathus splendens 3 Leiognathus splendens 4 Nemipterus japonicus 5 Nemiptorus nematophorus 6 Nemipterus japonicus 7-8 Priacanthus tayenus 9 - Keterangan : (-) = tidak ada data Perairan Laut Jawa (Musim Barat-2005) Hasil survei di perairan Laut Jawa pada bulan Desember 2005 di 31 stasiun sapuan area, diperoleh total tangkapan sebanyak 1.383,28 kg, yang terdiri 46 famili dan 99 spesies. Spesies yang dominan adalah pepetek (Leiognathus splendens) sebanyak 349,53 kg (25,27%) dan spesies ini hanya ditemukan pada 19 stasiun. Total sapuan terbanyak ditemukan di Stasiun 9 yaitu sebanyak 257,44 kg dan terendah adalah Stasiun 27 sebanyak 2,38 kg. Stasiun 6 adalah stasiun yang tidak diperoleh tangkapan (Gambar 61). Banyaknya spesies yang tertangkap untuk setiap stasiun sangat bervariasi. Stasiun 14 dan 16 merupakan stasiun dengan jumlah spesies terbanyak yaitu 50 spesies, Stasiun 24 dan 27 merupakan stasiun terendah dalam jumlah spesies yaitu 15 spesies. Berdasarkan total sapuan ikan demersal untuk setiap spesiesnya, diperoleh hasil terbanyak yaitu Leiognathus splendens (349,53 kg) diurutan pertama disusul Upeneus sulphureus (99,63 kg) dan Nemipterus japonicus (75,77kg) pada urutan dua dan tiga (Gambar 62). Pengamatan terhadap 31 stasiun sapuan trawl, diperoleh data bahwa terdapat 19 spesies yang memiliki frekuensi kemunculan lebih dari 20 kali antara lain spesies Upeneus sulphureus yang ditemukan pada 29 stasiun dan Saurida longimanus, dan Leiognathus bindus ditemukan pada 28 stasiun. Informasi lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 14 di bawah ini.

109 Kedalaman (m) Hasil Sapuan (kg) Gambar 61. Total sapuan ikan demersal di perairan Jawa Musim Barat ,94 kg 50,09 kg 51,89 kg 53,19 kg 42,02 kg kg Leiognathus splendens Upeneus sulphureus Nemipterus japonicus Leiognathus dacorus Saurida longimanus Saurida micropectoralis Pentaprion longimanus Dasyiatis sp. Saurida undusquamis 65,59 kg 75,77 kg 99,63 kg Gambar 62. Spesies ikan demersal yang mendominasi hasil sapuan di perairan Laut Jawa pada Musim Barat 2005

110 86 Tabel 14. Frekuensi kemunculan spesies pada Musim Barat di Laut Jawa Spesies Ikan Demersal Frekuensi kemunculan Upeneus sulphureus 29 Leiognathus bindus 28 Saurida longimanus 28 Nemipterus japonicus 27 Pentaprion longimanus 25 Saurida undusquamis 24 Siganus canaliculatus 23 Diodon sp 23 Leiognathus equulus 22 Priacanthus tayenus 22 Nemipterus hexodon 21 Priacanthus macracanthus 21 Uranuscopis sp. 21 Nemipterus nemurus 20 Psettodes erumei 20 Saurida micropectoralis 20 Berdasarkan pembagian kelas kedalaman hanya ditemukan empat kelas yang memiliki hasil sapuan yaitu selang kelas kedalaman 1 sampai 4, sedangkan selang kelas kedalaman 5-9 tidak ditemukan. Selang kelas kedalaman 3 (36,60 43,50 m) memiliki rata-rata densitas ikan demersal tertinggi yaitu 8,71 g/m 3 disusul selang kelas kedalaman 4 (43,60-50,50 m) dengan rata-rata hasil sapuan sebanyak 5,84 g/m 3 menduduki urutan ke dua (Gambar 63). Rata-rata Densitas Ikan Demersal (g/m 3 ) < data tidak ada >78.6 Selang Kelas Kedalaman Gambar 63. Rata-rata densitas ikan demersal di setiap selang kelas kedalaman Berdasarkan jumlah spesies pada setiap selang kelas kedalaman menunjukkan bahwa selang kelas kedalaman ke 4 memiliki jumlah spesies yang tertangkap paling banyak yaitu 93 spesies disusul selang kelas kedalaman 3

111 87 yaitu 78 spesies. Hal ini menarik untuk diamati lebih lanjut sehubungan jumlah sapuan pada selang kelas 4 justru lebih rendah dibandingkan selang kelas kedalaman 3 tetapi memilik jumlah spesies terbanyak (Gambar 64) Rerata Jumlah Spesies data tidak ada 0 < >78.5 Selang Kelas Kedalaman Gambar 64. Rata-rata jumlah spesies di setiap selang kelas kedalaman Penyebaran jumlah famili untuk setiap selang kelas kedalaman tidak berbeda dengan penyebaran spesies di setiap selang kelas kedalaman, dimana selang kelas kedalaman ke 4 memiliki jumlah famili yang tertangkap paling banyak yaitu 43 famili disusul selang kelas kedalaman 3 yaitu 40 famili (Gambar 65). Jumlah Rerata Family data tidak ada 0 < >78.5 Selang Kelas Kedalaman Gambar 65. Rata-rata jumlah famili di setiap selang kelas kedalaman Hasil analisis spesies yang mendominasi di setiap selang kelas kedalaman perairan menunjukkan adanya spesies yang berbeda dimana selang kelas kedalaman 1 spesies yang mendominasi adalah Leiognathus dacorus dimana jumlah sapuannya mencapai 69,13% dari total sapuan pada selang kelas kedalaman 1. Selang kelas kedalaman 2 memiliki dua spesies yang

112 88 mendominasi yaitu Gaza achlamys dan famili Tetraodontidae yang memiliki hasil sapuan 26,97% dari total sapuan pada selang kelas kedalaman 2. Selang kelas kedalaman 3, spesies yang mendominasi adalah Leiognathus splendens dimana jumlah sapuannya mencapai 40,93% dari total sapuan pada selang kelas kedalaman 3 dan Selang kelas kedalaman 4, spesies yang mendominasi adalah Upeneus sulphureus dan Nemipterus japonicus dimana jumlah sapuannya mencapai 26% dari total sapuan pada selang kelas kedalaman 4 (Tabel 15). Tabel 15. Spesies yang mendominan di setiap selang kelas kedalaman Selang Kelas Spesies Dominan Kedalaman 1 Leiognathus dacorus 2 Gaza achlamys 3 Leiognathus splendens 4 Upeneus sulphureus Nemipterus japonicus Perairan Kalimantan Timur (Musim Peralihan II-2004) Total sapuan trawl dari 20 stasiun di perairan Kalimantan Timur sebanyak kg, dengan total sapuan di setiap stasiun yang bervariasi. Stasiun 14 merupakan stasiun dengan jumlah sapuan ikan demersal paling banyak yaitu 1.454,00 kg. dan paling rendah di Stasiun 6, 15 dan 17 tidak diperoleh tangkapan. Gambar 66 menunjukkan penyebaran hasil sapuan ikan demersal di 20 stasiun. Jumlah spesies di setiap stasiun juga menunjukkan variasi yang berbeda pula. Stasiun 2 merupakan stasiun yang memiliki spesies terbanyak yaitu 38 spesies. Hal ini menunjukkan bahwa stasiun terbanyak hasil sapuan ikan demersal tidak selalu diikuti dengan jumlah spesies yang banyak pula. Hal ini dimungkinkan ada satu spesies yang memiliki hasil sapuan sangat besar.

113 Kedalaman (m) Hasil Sapuan (Kg) Gambar 66. Total sapuan ikan demersal di perairan Kalimantan Timur pada Musim Peralihan II (2004) Hasil spesies yang mendominasi seluruh stasiun dapat dilihat pada Gambar 67 dimana Leiognathus bindus memiliki hasil sapuan paling banyak (1.800,7 kg) diikuti oleh Leiognathus splendens (1.315,4 kg). Frekuensi kemunculan spesies pada 20 stasiun menunjukkan Carangoides sp dan Leiognathus bindus yang sering tertangkap, yaitu ditemukan pada 15 stasiun dari 20 stasiun sapuan (Tabel 16). Leiognathus bindus Leiognathus splendens 42.7kg 43.4kg 44.4kg 64.7kg 66.0kg 67.8kg 72.4kg 92.2kg 100.0kg 192.3kg 193.5kg 1,800.7kg 212.8kg 257.9kg 1,315.4kg 328.3kg Gaza minuta Ilisha spp. Thryssa sp Leiognathus leusiscus Carangoides sp. Dasyatidae Secutor insidiator Upeneus sulphureus Leiognathus equulus Secutor ruconius Pomadasys argyreus Dussumieria acuta Drepane longimanna Nemipterus japonicus

114 90 Gambar 67. Spesies ikan demersal yang mendominasi hasil sapuan di perairan Kalimantan Timur 2004 Tabel 16. Frekuensi kemunculan spesies pada Musim Peralihan II di perairan Kalimantan Timur Spesies Ikan Demersal Frekuensi Kemunculan Carangoides sp. 15 Leiognathus bindus 15 Gaza minuta 14 Upeneus sulphureus 14 Stolephorus spp. 13 Leiognathus splendens 13 Leiognathus leusiscus 12 Thryssa sp 11 Secutor ruconius 11 Nemipterus hexodon 11 Ilisha spp. 10 Drepane longimanna 10 Leiognathus equulus 10 Polynemus sextarius 10 Pomadasys argyreus 10 Lepturacanthus savala 10 Berdasarkan data yang dikelompokkan per selang kelas kedalaman hanya ditemukan dua kelas selang kelas kedalaman yaitu selang kelas kedalaman 1 (<29,50 m) dan selang kelas kedalaman 2 (29,60 36,50 m). Kemudian untuk data densitas ikan demersal, jumlah spesies dan jumlah famili menunjukkan keteraturan yang sama yaitu selang kelas kedalaman 1 lebih banyak dibandingkan selang kelas kedalaman 2 (Gambar 68 Gambar 70). Dimana selang kelas kedalaman 1 lebih tinggi dibandingkan selang kelas kedalaman 2. Rata-rata Densitas Ikan Demersal (g/m3) < data tidak ada >78.6 Selang Kelas Kedalaman Gambar 68. Rata-rata densitas ikan demersal di setiap selang kelas kedalaman

115 Rata-rata Jumlah Spesies < data tidak ada >78.6 Selang Kelas Kedalaman Gambar 69. Total spesies di setiap selang kelas kedalaman Rata-rata Jumlah Famili data tidak ada 0 < >78.6 Selang Kelas Kedalaman Gambar 70. Total famili di setiap selang kelas kedalaman Hasil analisis sapuan trawl menunjukkan spesies yang mendominasi setiap selang kelas kedalaman perairan yaitu ikan pepetek tetapi dari spesies yang berbeda. Selang kelas kedalaman 1 spesies yang mendominasi adalah Leiognathus bindus dimana jumlah sapuannya mencapai 39,11% dari total sapuan pada selang kelas kedalaman 1. Selang kelas kedalaman 2 spesies yang mendominasi yaitu Leiognathus splendens yang memiliki hasil sapuan 48,64% dari total sapuan pada selang kelas kedalaman 2 (Tabel 17). Tabel 17. Spesies yang mendominasi pada setiap selang kelas kedalaman Selang Kelas Spesies dominan Kg Kedalaman 1 Leiognathus bindus 1542,58 2 Leiognathus splendens 804,27

116 6. PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Batimetri Hasil pemetaan batimetri dari data echogram maupun data topex di seluruh perairan Laut Jawa (termasuk perairan Belitung) menunjukkan bahwa perairan Laut Jawa memiliki kedalaman yang relatif dangkal, yaitu berkisar antara m. Nontji (1993) menjelaskan bahwa Laut Jawa umumnya mempunyai dasar yang rata dan melandai dari arah barat ke timur. Lokasi dekat pantai Sumatera Selatan memiliki kedalamnya sekitar 20 m dan berangsurangsur meningkat hingga di lokasi sebelah timur yang menghadap ke Selat Makasar menjadi sekitar m. Hal ini juga diperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh Durand and Petit (1995) yang menyatakan bahwa kedalaman Laut Jawa kurang dari 100 meter, dimana rata-rata kedalaman adalah 40 meter. Perairan dangkal meliputi lokasi di sebelah utara dan selatan perairan yang hampir mencakup lebih dari setengah perairan. Durand and Petit (1995) memperkirakan kedalaman yang lebih dari 50 meter berkisar km 2 atau kurang lebih 35% dari luas total Laut Jawa, dan dibeberapa tempat terdapat perairan dengan kedalaman kurang dari 10 meter yang mencakup km 2 (7%). Dangkalnya perairan Laut Jawa sangat dipengaruh oleh proses pengendapan. Arus yang memasuki perairan Laut Jawa yang berasal dari selat Makasar dan laut Flores umumnya kuat, namun bila sudah sampai di tengah perairan Laut Jawa arus itu menjadi lemah. Saat arus kuat, maka proses pengendapan sangat kecil karena butiran partikel-partikel tersuspensi sanggup terbawa oleh arus jauh menuju tengah perairan Laut Jawa, namun begitu di tengah Laut Jawa, arus berubah menjadi lemah dan tidak dapat membawa butiran partikel tersuspensi lagi, maka proses pengendapan akan sangat tinggi. Hal inilah yang menyebabkan di sebelah timur Laut Jawa memiliki kedalaman hampir 100 m, namun semakin ke arah barat, perairan semakin dangkal. Khusus perairan di sekitar Pulau Belitung relatif dangkal. Hal ini disebabkan memiliki dasar perairan karang (Nontji, 1993). Selain itu arus di sekitar perairan Belitung cenderung kuat sehingga proses sedimentasi sangat kecil.

117 93 Lain halnya dengan perairan Kalimantan Timur. Perairan ini termasuk perairan Selat Makasar sekaligus merupakan salah satu palung yang ada di Indonesia, yaitu Palung Sulawesi yang memiliki kedalaman hingga m. Nontji (1993) memberikan informasi bahwa kedalaman maksimum mencapai m Substrat Dasar Perairan Tipe substrat dasar perairan Laut Jawa yang terambil pada saat survei dengan mempergunakan alat grab umumnya adalah lumpur. Survei Desember 2005 menggambarkan 88% dari contoh substrat yang diambil adalah lumpur. Hasil survei Mei 2006, diperoleh 86% bersubstrat lumpur. Survei September 2005 di perairan Belitung menunjukkan hasil terbanyak pasir dan pasir berlumpur. Emery et al (1972) dalam Sadhotomo (2006) menyatakan bahwa di beberapa tempat dengan kedalaman 30 m muncul batuan dan tumbuh alga dan karang. Menurut studi mereka, beberapa area yang dangkal dan beberapa yang agak dalam sedimen relatif halus dimana pengendapan sedimen detritus diperoleh dari Pulau Kalimantan, Sumatra dan Jawa. Ditambahkan, area dengan kedalaman perairan lebih dalam memiliki jarak yang jauh dari sumber yang memberi efek dominan dari sedimen pada topografi dasar. Sediaan sedimen terutama dikirim dari sungai-sungai yang mengalir ke dalam Laut Jawa. Beberapa sungai, khususnya yang berasal dari Pulau Jawa, pengirim sedimen yang berisi material vulkanik. Mereka juga menyatakan bahwa lumpur adalah sedimen utama yang mencakup 58% dari dasar perairan dan beberapa area pasir yang dikelilingi batu koral dan gravel. Durand dan Petit (1995) menyatakan bahwa terdapat dasar perairan dengan substrat lumpur bercampur kerang dan karang ditemukan di bagian tengah Laut Jawa di sebelah selatan Pulau Kalimantan. Dekat pantai ditemukan formasi batuan bercampur karang (Gambar 71). Sadhotomo (2006) menambahkan bahwa sumber kasar (rough emanation) tipe substrat dasar dengan pengamatan tanah yang terdapat di otterboard selama pelayaran ekstensif dari kapal riset Mutiara 4 ditemukan sebuah informasi tambahan terhadap hasil sebelumnya Emery et al (1972), dimana material deposit dasar perairan mengindikasikan kemungkinan yang sama dengan tanah di wilayah kolam sungai. Masukan sedimen fluvial dari daratan yang berhubungan dengan karakteristik geologi dari permukaan wilayah

118 94 tangkapan. Pasir atau substrat berpasir cenderung berada di pantai Kalimantan sementara di bagian utara Jawa biasa ditemukan kandungan silt halus dari sedimen. Telah diketahui dengan baik bahwa tipe tanah di Jawa bagian utara terdiri dari gromosol dan latosol di daratan tinggi dan tanah alluvial di wilayah datar, sementara di Kalimantan umumnya ditutupi oleh tanah silica dengan peat di lapisan atas. Gambar 71. Substrat dasar Laut Jawa ( (A) Losse and Dwiponggo, 1977; (B) Emery et al., 1972 in Sadhotomo, 2006)

119 95 Endapan lumpur merupakan proses sedimentasi yang terjadi akibat banyaknya sungai yang bermuara di Laut Jawa. Sungai-sungai ini membawa partikel-partikel lumpur yang berasal dari daratan. Faktor sedimentasi umumnya tinggi, hal ini disebabkan lemahnya arus yang ada di perairan Laut Jawa. Lemahnya arus perairan ini hanya mampu membawa partikel-partikel lumpur hampir di seluruh perairan. Inilah faktor yang menyebabkan perairan Laut Jawa didominasi oleh substrat lumpur. Selain itu partikel vulkanik yang dibawa oleh arus sungai menambah beban sedimentasi yang terjadi di sepanjang pantai Laut Jawa baik pada bagian utara maupun selatan. Sadhotomo (2006) menyampaikan bahwa variasi jumlah sedimen tersuspensi dan masukan material lain dari daratan berhubungan dengan beban sungai dan tingkat erosi. Bagaimanapun juga, pola distribusi dari laju penguapan, topografi (kemiringan slope) dan tutupan vegetasi memegang peranan penting sebagai penentu variasinya. Dalam hal ini, proses sedimentasi yang tinggi dan hasil sedimen fluvial di Jawa dapat juga menjadi pertimbangan sebagai contoh lain. Pengaruh dari sungai Solo terhadap variabilitas daerah pantai di pantai utara Jawa sangat nyata. Daerah tangkapan sungai relatif luas dan dihuni oleh penduduk yang padat. Juga volume rata-ratanya sangat besar dibandingkan dengan sugaisungai besar lainnya di Jawa dan Sumatera dan juga tutupan vegetasi yang terbatas (di zona hutan). Tidak diragukan lagi konsekuensi dari periode pendek masukan air tawar dan sedimentasi yang tinggi di wilayah pantai akan dihasilkan kondisi ini. Transportasi partikel sedimen di kolom air laut terutama sangat ditentukan oleh sifat-sifat fisika arus dari partikel. Dalam hal ini ukuran partikel atau butir dan kecepatan arus merupakan dua variabel yang sangat penting. Di Perairan Belitung memiliki arus yang besar sehingga proses sedimentasi relatif kecil, hal ini yang menggambarkan mengapa di sekitar Pulau Belitung memiliki substrat pasir. Namun beda halnya di perairan Kalimantan Timur merupakan perairan yang berada pada Laut Sulawesi. Perairan ini dipengaruhi oleh massa air dari Samudera Pasifik, dan selalu bergerak ke arah selatan. Besarnya arus dan bentuk topografi yang curam di Selat Makasar ini menyebabkan dasar perairan ditutupi oleh pasir, hanya daerah dekat pantai yang memiliki substrat lumpur maupun lumpur berpasir. Lumpur yang ada merupakan hasil sedimentasi yang berasal dari sungai-sungai yang bermuara di Kalimantan Timur.

120 Oseanografi Perairan Hasil survei Laut Jawa 2002 bertepatan dengan Musim Peralihan II, memiliki sebaran suhu permukaan antara 29,61-27,26 o C, dan salinitas permukaan berkisar 33,39 34,83 psu, kondisi suhu perairan cenderung sedikit lebih dingin dan salinitas lebih pekat jika dibandingkan dengan sebaran suhu dan salinitas di utara Pulau Jawa pada bulan Oktober 2001 yaitu berkisar 29,5 30,9 o C dan salinitas minimum 32,1 psu (DKP-LIPI, 2001). Hal ini dimungkinkan karena pada Musim Peralihan II 2002 massa air dari samudera masih mendominasi perairan Laut Jawa. Hasil survei tahun 2005 bertepatan dengan Musim Barat, dimana suhu permukaan berkisar 28,77 29,93 o C, dan salinitas permukaan berkisar 30,47 33, 75 psu. Sebaran suhu permukaan pada Musim Barat ini cenderung lebih tinggi dari hasil survei tahun 1979 yang berkisar 27,40-28,30 o C (Ilahude, 1978 in DKP-LIPI,2001). Hal ini terjadi karena survei tahun 2005 bertepatan dengan awal Musim Barat sehingga massa air samudera belum bergerak jauh masuk ke perairan Laut Jawa. Hal ini juga dapat dijelaskan berdasarkan pola distribusi suhu permukaan laut (SPL) dari citra satelit selama periode satu tahun (rata-rata dari tahun ) tertera pada Gambar 72. Awal muson tenggara sekitar bulan Juni-Juli menunjukkan massa air dengan suhu o C mulai mengisi wilayah timur Laut Jawa mengantikan suhu antara o C pada periode muson barat laut. Massa air yang dingin ini bergerak secara gradual ke arah barat dan ujung lidah air dingin (28.0 o C) mencapai bagian barat Laut Jawa pada bulan Agustus-september. Bulan Oktober SPL mulai meningkat kembali hingga bulan Nopember. Bulan Desember - Februari, suhu menurun kembali yang merupakan pengaruh dari muson barat laut yang mengakibatkan massa air Laut Cina Selatan dengan suhu yang lebih rendah bercampur dan mendorong massa air Laut Jawa dari barat ke timur (Gaol dan Sadhotomo, 2006). P 2 O-LIPI melakukan pengukuran suhu pada Musim Peralihan II 2002 di Laut Jawa, menunjukkan suhu permukaan berkisar antara 28,01 ºC dan 28,55ºC. Suhu tidak menunjukkan perubahan hingga kedalaman 40-50m (P 2 O-LIPI, 2002). Secara umum penyebaran suhu permukaan di perairan Laut Jawa mulai dari tahun , mengalami perubahan meskipun tidak terlalu menyolok. Pada Musim Barat suhu berkisar 28,77 29,93 o C, kemudian pada Musim Peralihan I menghangat menjadi 29,48 30,33 o C dan pada Musim Peralihan II sedikit turun hingga 27,26 30,63 o C. Hal ini tidak berbeda yang digambarkan

121 97 oleh Purwandani (2001) dimana pada Musim Barat suhu permukaan relatif dingin kemundian Musim Peralihan I menjadi lebih hangat, pada Musim Peralihan II mulai turun lagi. Hal ini disebabkan masuknya aliran massa air dari Laut Cina Selatan yang cenderung dingin pada Musim Barat dan sebaliknya pada Musim timur terlihat adanya aliran massa air yang berasal dari Laut Flores juga yang lebih dingin di bandingkan massa air Laut Jawa. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya dimana rata-rata SPL delapan harian selama 18 tahun di Laut Jawa yang diwakili SPL di wilayah 108 o -111 o BT dan 5 o -8 o LS, Umumnya suhu berkisar antara 27 o -29 o C (Gaol dan Sadhotomo 2006). Gambar 72. (a) Time-longitude plot SPL dari Junuari-Desember dan (b) tahun (Gaol dan Sadhotomo 2006) Hasil Penelitian bulan Oktober 1993 Musim Peralihan II (Durand and Petit, 1995) menunjukkan bahwa salinitas permukaan 34,4 34,6 psu, jika dibandingkan dengan salinitas permukaan tahun 2002 maupun 2005 yaitu 33,39 34,83 psu dan 30,47 33, 75 psu terlihat terjadi penurunan salinitas. Hal ini diduga akibat curah hujan yang cukup besar mengencerkan salinitas massa air samudera yang berasal dari Selat Makasar maupun Laut Flores. Secara vertikal salinitas di perairan Jawa tidak mengalami perubahan seperti yang dikemukakan oleh Gaol dan Sadhotomo (2006). bahwa distribusi vertikal suhu dari permukaan hingga dasar perairan tidak menunjukkan adanya stratifikasi. Stratifikasi suhu hanya terlihat di luar bagian timur Laut Jawa yang berbatasan dengan Laut Flores periode muson tenggara dimana curah hujan

122 98 sangat kecil, distribusi vertikal salinitas lebih homogen. Intrusi massa air oseanik bersalinitas tinggi dari arah timur menuju ke barat Laut Jawa sangat jelas terlihat mulai dari permukaan hingga dasar perairan. Pengaruh massa air tawar sama sekali tidak terlihat di sekitas pantai selatan Kalimantan, karena limpasan debit air tawar dari sungai-sungai yang bermuara ke Laut Jawa pada periode muson tenggara sangat kecil (Gambar 73). Sebaran suhu maupun salinitas pada setiap selang kelas kedalaman untuk perairan Laut Jawa dan Belitung juga tidak menunjukkan perubahan yang nyata, namun untuk perairan Kalimantan Timur terlhat setelah selang kelas kedalaman 5 (lebih dari 56 m) terlihat rata-rata suhu mengalami perubahan cukup besar. Gambar 73. Potongan melintang temperatur di Laut Jawa pada waktu Musim Timur (atas) dan Musim Barat (bawah) (Gaol dan Sadhotomo 2006)

123 99 Potongan melintang salinitas pada bulan Oktober dan Desember 2005 menunjukkan pola yang berbeda dengan wilayah dekat pantai selatan Kalimantan (Sadhotomo, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh limpasan air tawar dari sungai-sungai di kalimantan tidak sampai pada wilayah pantai utara Pulau Jawa (Gambar 74-76). Gambar 74. Potongan melintang salinitas Musim Barat (atas) dan Musim Timur (bawah) di Laut Jawa (Gaol dan Sadhotomo, 2006) Penyebaran suhu permukaan di perairan Selat Makasar menyebar dari 25,03 32,81 0 C, dengan salinitas permukaan menyebar dari 33, psu. Perairan Selat Makasar memiliki kedalaman yang cukup dalam, berdasarkan penyebaran secara vertikal pada bulan Agustus 1993 bertepatan dengan Musim Timur dan bulan Februari 1994 yang bertepatan dengan Musim Peralihan I menunjukkan stratifikasi massa air yang di tunjukkan oleh grafik merah pada Gambar 75 (Gordon, 2005)). Lapisan termoklin juga ditemukan pada kedalaman

124 100 50,00-100,00 m (DKP-LIPI, 2001). Pada Musim Peralihan II berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh LIPI di Selat Makassar, suhu permukaan berkisar 28, ºC dan berkisar 7,42ºC pada kedalaman 500 m. Pada lapisan permukaan terjadi lapisan pengadukan (mix layer) di kedalaman 0-75 m. Lapisan termoklin terjadi pada kedalaman 75 m hingga 200 m (P 2 0-LIPI, 2002). (a) (b) Gambar 75. (a) Potongan melintang salinitas Desember 2005 (b) Oktober 2005 (Sadhotomo, 2006) Gambar 76. Penyebaran suhu secara vertikal di perairan Selat Makasar (Gordon, 2005)

125 Hambur Balik Dasar Perairan Nilai hambur balik dasar perairan Laut Jawa tahun 2002 dari hasil pengolahan EP-500, menunjukkan lokasi mendekati Pulau Kalimantan memiliki nilai hambur balik dasar perairan cukup besar hingga -25,00 db, namun semakin kearah selatan mendekati pantai utara Jawa nilai hambur balik semakin kecil. Hal ini diduga di selatan pantai Kalimantan memiliki substrat pasir seperti yang dikemukakan oleh Wirtky (1961). Durand dan Petit (1995) juga menyatakan bahwa terdapat dasar perairan dengan substrat lumpur bercampur kerang dan karang ditemukan di bagian tengah Laut Jawa di sebelah selatan Pulau Kalimantan, dan dekat pantai ditemukan formasi batuan bercampur karang. Adapun perbedaan nilai hambur balik dasar perairan di lokasi di timur laut Pulau Belitung dan barat laut Pulau Belitung hasil survei 2002 diduga dipengaruhi oleh luasan penutupan karang. Di lokasi timur laut ditemukan substrat pasir, lumpur berpasir, dan terumbu karang dengan persentase penutupan karang sebesar 81,8-83,6%. Daerah Barat laut ditemukan substrat pasir, dan karang dengan persentase penutupan sebesar 65,16% Berdasarkan nilai rata-rata per lapisan untuk perairan Laut Jawa dan perairan Belitung (Tabel 18), dapat diketahui pada lapisan -1 Laut Jawa memiliki nilai hambur balik rata-rata yang lebih besar dibandingkan nilai hambur balik pada lapisan - 1 di perairan Belitung. Namun untuk lapisan - 2 hingga lapisan - 4, nilai rata-rata hambur balik dasar perairan di perairan Belitung lebih besar di bandingkan Lapisan 2-4 di Laut Jawa. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dasar perairan yang tersusun di perairan Jawa lebih lunak di bandingkan di perairan Belitung, ini dibuktikan dari hasil analisis ukuran partikel, dimana untuk perairan Laut Jawa dari 67 data grab menunjukkan bahwa 89% substrat di Laut Jawa adalah lumpur dan dari 46 stasiun di perairan Belitung ditemukan 35% substrat pasir, 26% pasir berlumpur. Manik et al (2006) menjelaskan dengan menggunakan nilai surface strength (SS) nilai pantulan pasir lebih besar dari pada nilai SS pada substrat liat.

126 102 Tabel 18. Perbandingan nilai rata-rata per lapisan di Laut Jawa dan perairan Belitung Lokasi Lapisan-1 Lapisan-2 Lapisan-3 Lapisan-4 Laut Jawa ,29-24,33 Belitung -57,43-37,65-23,47-18,77 Kecilnya nilai rata-rata hambur balik pada lapisan-1 diduga merupakan partikel-partikel lanau yang sudah diendapkan namun belum mengalami pemampatan (solid). Wibisono (2005) menjelaskan bahwa sedimen seperti lapisan-1 bersifat tidak kompak (unconsolidated) yaitu sedimen yang selalu dalam keadaan siap terurai sehingga dengan kekuatan arus yang lemah sekalipun, partikel mudah lepas. Nilai hambur balik dasar perairan (SV) yang berkisar -59,70 sampai - 15,00 db untuk nilai per lapisan pada hasil olahan dengan EP-500 sama dengan hasil yang diperoleh oleh Manik (2006) yang menyatakan bahwa echogram yang diperoleh dengan menggunakan echosounder frekuensi 38 KHz pada pasir, lempung dan lumpur di Selatan Jawa menunjukkan nilai raw volume backscattering strength (raw SV) pada kisaran -70 hingga -10 db. Siwabessy dalam penelitiannya mengungkapkan dengan echosounder frekuensi 38 KHz, area yang lunak-halus memiliki nilai Volume Backscatterng Strength -49,88 db sedangkan area yang keras-kasar memiliki nilai -44,07 db. Pemakaian echosounder frekuensi echosounder 120 KHz sebesar pada perairan lunak - halus memiliki nilai Volume Backscatterng Strength 36,75 db dan di area keraskasar bernilai -27,70 db (komunikasi pribadi dengan Siwabessy, 2007). Hasil pengolahan data survei tahun 2005 dengan program pengolahan Echoview di dua lokasi yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda. Dimana nilai rata-rata hambur balik dasar perairan di Laut Jawa (-37,10 db) lebih kecil dibandingkan lokasi di perairan Belitung (-32,65 db). Hal ini terjadi karena umumnya di Laut Jawa memiliki substrat lumpur sedang di perairan Belitung umumnya pasir atau pasir berlumpur. Hal ini juga dikuatkan hasil penelitian Faturachman dan Raharjo (2003) yang melakukan penelitian di perairan Cirebon menyatakan bahwa pada kedalaman m merupakan lapisan paling atas, disusun oleh lempung lanauan, abu-abu hingga abu kecoklatan hingga kehitaman, jenuh air (saturated), sangat lunak (very soft). Hal ini berbeda dengan substrat di perairan Belitung yang umumnya pasir, lumpur dan campuran keduanya.

127 Klasifikasi Tipe Substrat Dasar Perairan Klasifikasi tipe substrat karang, pasir, pasir berliat, pasir berlumpur dan lumpur berpasir didasari oleh komposisi partikel yang terkandung dalam substrat tersebut. Hasil analisis nilai hambur balik dari pantulan pertama (E-1) dan komposisi kandungan lumpur di setiap tipe subatrat di Kepulauan Seribu menunjukkan hambur balik dasar perairan dari substrat karang memiliki nilai yang paling besar diikuti hambur balik dari substrat pasir, pasir berliat, pasir berlumpur dan lumpur berpasir (Gambar 77). Hal ini menjelaskan bahwa karang memiliki ukuran partikel yang lebih besar dibandingkan partikel pasir dan lumpur. Data yang ada menunjukkan substrat pasir memiliki komposisi kandungan lumpur yang berkisar 2,31-8,18% dan memiliki nilai hambur balik terbesar ke dua setelah nilai hambur balik karang. Substrat pasir berlumpur yang memiliki kandungan lumpur yang berkisar antara 10,18 40,07% memiliki nilai pantulan hambur balik ke tiga setelah pasir. Substat lumpur berpasir yang memiliki kandungan lumpur 80,84% memiliki nilai hambur balik dasar paling kecil, sedangkan pasir berliat memiliki kandungan liat hampir 20% namun hanya di temukan satu stasiun menjadi sulit untuk di bahas. Gambar tentrahedron (Gambar 78) menjelaskan hubungan komposisi substrat dan hambur balik dasar perairan Nilai ham bur balik dasar ( db) Karang Pasir Pasir berlumpur Lumpur berpasir Pasir berliat Presentase lumpur di dalam substrat Gambar 77. Nilai hambur balik dasar dari tipe substrat

128 104 Nilai hambur balik semakin besar 100 % SAND SAND 75% 25% SILTY CLAYEY 50 % SAND SAND 50 % MUDDY SANDY CLAYED SANDY SILT SANDY CLAY 25 % 75 % SILT CLAYEY SILTY CLAY SILT CLAY 100 % 75 % 50 % 25 % 100 % SILT CLAY Gambar 78. Hubungan nilai hambur balik dan tipe substrat Berdasarkan nilai hambur balik dasar perairan dari pantulan pertama (E- 1) yang menggambarkan kekerasan terlihat jelas dari tipe substrat keras (karang) menuju tipe substrat lunak (lumpur) maka nilai hambur balik dasar pantulan pertama juga semakin kecil. Nilai hambur balik dasar pantulan ke dua (E-2) yang menggambarkan kekasaran memiliki kecenderungan yang demkian pula, dimana pada tipe substrat yang kasar yaitu karang memiliki nilai hambur balik dasar lebih besar dibandingkan dari nilai hambur balik ke dua dari tipe substrat yang halus yaitu lumpur berpasir (Gambar 79). Hal ini sesuai dengan hasil dari Siwabessy (2001) menjelaskan bahwa nilai hambur balik dari dasar perairan yang lebih keras akan lebih besar diibandingkan nilai hambur balik dari dasar perairan yang lunak. Namun demikian ukuran partikel, kekerasan dan kekasaran bukan hal yang membatasi besar kecilnya nilai hambur balik dasar. Hasil analisis komponen utama terhadap komposisi substrat dan nilai hambur balik dasar perairan memperlihatkan bahwa kontribusi terhadap sumbu utama (F1,F2) sebesar 78,04%. Sebagian besar informasi terpusat pada sumbu 1(F1) yang menjelaskan 56,09% dari ragam total. Sumbu 2 (F2) menjelaskan 21, 94% dari ragam total. Komponen yang memberikan kontribusi pada sumbu 1 negatif adalah partikel karang, hambur balik pertama (E-1) dan hambur balik ke

129 dua (E-2). Komponen yang memberikan kontribusi pada Sumbu 2 positif adalah liat dan negative adalah pasir. Berdasarkan Gambar 80 menunjukkan adanya lima tipe substrat yaitu:: 1. kelompok 1 yang meliputi stasiun 7,15, 19 adalah stasiun dengan substrat karang dan memiliki nilai hambur balik besar, 2. kelompok 2 yang meliputi stasiun 4,12,13 adalah stasiun dengan substrat pasir namun memiliki nilai hambur balik yang lebih kecil dari kelompok Kelompok 3 diwakili stasiun 1,2,6,8,9,10,11,14,16,17,18 dan 20 dengan substrat pasir berlumpur dan nilai hambur balik yang lemah. 4. Kelompokan 4 yang diwakili stasiun 3 memiliki substrat pasir berliat dan memiliki nilai hambur balik dasar perairan lemah. 5. Kelompok 5 yang di wakili stasiun 5 memiliki substrat lumpur pasir dan nilai pantulan lemah. Hambur balik dasar pertama (db) Hambur balik dasar ke dua (db) Karang Pasir Pasir berlumpur Lumpur berpasir Pasir berliat Gambar 79. Nilai hambur balik pantulan pertama (atas) dan nilai hambur balik pantulan ke dua (bawah)

130 Kel-5 F 2 : 21.94% Karang E-2 E-1 Liat Lumpur Pasir F 2: 21.94% Kel Kel Kel-4 Kel F 1 : 56.09% F 1: 56.09% Gambar 80. Analisis komponen utama tipe substrat Bila komposisi substrat dilanjutkan dengan analisis kelompok maka dapat dilihat pada dendrogram grab pada indek ketidakmiripan 20% (Gambar 80) menunjukkan ada empat kelompok yaitu kelompok karang (Stasiun 7, 15, 19), kelompok lumpur berpasir (Stasiun 5) dan pasir berliat (Stasiun 3) dan kelompok pasir berlumpur. Namun untuk kelompok pasir berlumpur (Stasiun 1,2,6,8,9,10,11,14,16,17,18 dan 20) terlihat didalamnya ada sub kelompok pasir (Stasiun 4,12,13). Ini menunjukkan antara stasiun-stasiun yang termasuk kelompok pasir berlumpur dan stasiun-stasiun kelompok berpasir memiliki komposisi partikel pasir yang tidak jauh berbeda banyaknya. Bila dijelaskan berdasarkan tetrahedro tekstur, maka kelompok pasir memiliki komposisi partikel pasir lebih banyak dari pada partikel substrat lainnya, pasir berlumpur adalah substrat dengan komposisi terbanyak pasir namun ada sedikit campuran lumpur. Substrat pasir berliat adalah substrat dengan komposisi partikel pasir dengan sedikit partikel liat dan substrat lumpur berpasir memiliki komposisi partikel lumpur lebih dominan dengan sedikit pasir. Hasil dendrogram hidroakustik pada index ketidakmiripan 75% (Gambar 81) terlihat bahwa kelompok karang (Stasiun 7,15,19) dan pasir (Stasiun 4,12, 13) memiliki kelompok sendiri, artinya bahwa hambur balik hidroakustik dari karang berbeda dengan nilai hambur balik hidroakustik dari pasir. Namun untuk kelompok pasir berlumpur (Stasiun1,2,6,8,9,10,11,14,16,17,18 dan 20), pasir berliat (stasiun 3) dan lumpur berpasir (stasiun 5) menunjukkan nilai hambur balik hidroakustik dari tiga tipe substrat tersebut relatif sama.

131 Indek Ketidakmiripan (%) Kelompok I 20% Kelompok II Kelompok III Kelompok IV Stasiun grab Gambar 81. Dendrogram grab Keterangan: karang Lumpur berpasir Pasir berlumpur berpasir Pasir berliat

132 % Kelompok II Indek Ketidakmiripan (%) Kelompok I Stasiun hidroakustik Keterangan: Gambar 82. Dendrogram hidroakustik karang Lumpur berpasir Pasir berlumpur berpasir Pasir berliat

133 109 Hal ini menjelaskan bahwa nilai hambur balik dipengaruhi oleh ukuran partikel. Selain ukuran partikel, nilai hambur balik dasar/substrat kemungkinan juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti porositas ataupun kandungan zat organik dan biota yang berada di dalam substrat. Namun dalam penelitian ini porositas, zat organik dan biota yang ada di dalam substrat tidak dibahas. Hasil klasifikasi dari nilai hambur balik pertama (E-1) ini dapat dipakai untuk menduga tipe substrat di perairan Laut Jawa dan perairan Belitung. Hasil dugaan tipe substrat di perairan Laut Jawa yang memiliki nilai hambur balik berkisar -35,91 hingga -38,57 db dengan rata-rata hambur balik -37,10 db ditemukan didominasi oleh lumpur dan sedikit ada lumpur berpasir Gambar Kep. Karimunjawa Lintang -6.5 Tipe substrat lumpur lumpur berpasir Semarang Bujur Gambar 83. Klasifikasi substrat di Laut Jawa 2005

134 110 Klasifikasi dasar perairan di perairan Belitung berdasarkan nilai hambur balik dasar perairan dapat diduga memiliki berbagai tipe substrat. Bila dirinci maka ditemukan (Gambar 84) : (1) Sepanjang lintasan survei dari semarang menuju perairan Belitung diduga merupakan lumpur, lumpur berpasir, pasir. (2) Di sekitar selat Belitung di duga adalah lumpur dan lumpur berpasir untuk bagian utara Selat Belitung dan di bagian selatan diduga terdapat karang, pasir hingga pasir berlumpur. (3) di sebelah timur pantai Sumatera Selatan diduga di dominasi oleh lumpur berpasir hingga lumpur, namun ada beberapa lokasi berkarang dan berpasir. -2 Pangkalpinang Bangka -3 Tanjungpandan P. Liat Belitung P. Lepar 2 Tipe substrat Lintang Laut Jawa Karang Pasir Pasir berliat Pasir -6 J A K A R T A Kep. Karimunjawa berlumpur lumpur berpasir lumpur Bujur Gambar 84. Klasifikasi substrat di perairan Belitung

135 Estmasi Stok Ikan Demersal Secara Hidroakustik Di perairan Laut Jawa, kisaran nilai target strength pada Musim Peralihan II 2002 (-51,00 sampai -24,00 db) dan Musim Barat 2005 (-59,89 sampai -24,21 db) dan di perairan Belitung pada Musim Peralihan II 2005 (-60,00 hingga - 42,01 db), pada Musim Peralihan I 2002 (-60,00 hingga -47,01). Ini menunjukkan pada tahun 2005 baik di perairan Laut Jawa maupun perairan belitung memiliki kisaran nilai target strength yang semakin besar, hal ini diduga terjadi proses pemulihan stok dalam waktu tiga tahun, sehingga terdapat ikanikan berukuran lebih kecil dan lebih besar dibandingkan ikan-ikan yang terdeteksi di tahun Ini dijelaskan oleh Atmadja at al (2003) jenis ikan demersal ukuran kecil mempunyai kemampuan pulih lebih tinggi dibandingkan ikan-ikan ukuran besar. Ikan tunggal yang mendominasi hasil deteksi di perairan Laut Jawa Musim Peralihan II 2002 (-48,00 sampai-45,01 db) dan Musim Barat 2005 (- 60,00 sampai -57,01) relatif kecil-kecil. Hal ini tidak berbeda dengan hasil deteksi di perairan Belitung Musim Peralihan I (2002) (-60,00 sampai -57,01) dan musim Peralihan II (2005) (- 60,00 sampai -57,01 db). Kondisi ini merupakan representasi dari jenis ikan dominan hasil sapuan yaitu jenis pepetek. Jika dibandingkan dengan nilai target strength ikan demersal yang diwakili oleh Priacanthus macracanthus di perairan serawak pada timur tahun 1996 dan 1997 menunjukkan nilai yang sama yaitu -43,2 db (Rajali et al, 2006). Pada data target strength survei 2002 dan 2005 baik di perairan Jawa maupun Belitung menunjukkan bahwa dengan bertambahnya kedalaman maka nilai rata-rata target strength ikan cenderung semakin besar namun jumlah ikan tunggal semakin sedikit. Hal ini juga dijelaskan oleh Rajali et al (2006) bahwa ukuran target strength ikan akan semakin besar untuk kedalaman perairan yang semakin meningkat, namun dalam jumlah yang semakin berkurang. Demikian juga untuk densitas ikan demersal secara umum dari lima wilayah survei hidroakustik menunjukkan densitas ikan demersal menyukai daerah dangkal, semakin dalam densitas ikan demersal semakin rendah.

136 Estimasi Stok Ikan Demersal Hasil Sapuan Trawl Hasil sapuan trawl tertinggi ditemukan di Perairan Laut Jawa pada stasiun 5 (Musim Peralihan II ), stasiun 9 (Musim Barat 2005) dan Stasiun 14 di Perairan Kalimantan Timur pada Musim Peralihan II Stasiun-stasiun ini memiliki kedalaman perairan yang dangkal yaitu antara m. Engas and Ona (1990) menyatakan bahwa pada perairan yang dangkal, ikan akan lebih terkonsentasi dekat dasar perairan, sehingga dengan pengoperasian trawl dasar memberikan hasil yang memuaskan. Hasil sapuan ikan demersal di Perairan laut Jawa 2002, 2005 dan Perairan Kalimantan Timur 2004 saat penelitian dilakukan, dibandingkan dengan hasil sapuan dengan menggunakan trawl pada tahun (sebelum trawl dihapuskan) memberikan informasi yang sama yaitu hasil sapuan didominasi dengan ikan demersal kecil yaitu ikan pepetek (Rijal dan Sumiono, 1989). Jumlah famili yang tertangkap pada survei 1978 dibandingkan dengan survei 2002, 2004, 2005 memiliki jumlah famili yang berbeda. Jumlah famili pada perairan Laut Jawa (2002) berjumlah lebih banyak yaitu 39 jenis, tahun 2005 berjumlah 46 famili dan perairan Kalimantan Timur terdapat 31 famili sedangkan pada tahun 1978 hanyak 27 famili. Perbedaan ini diduga disebabkan ada dominasi dari spesies tertentu sehingga ada spesies lain yang menghilang, hal yang lain yang diduga menjadi penyebab perbedaan jumlah famili adalah kemampuan pengoperasian dari alat tangkap secara optimal. Perbandingan panjang total ikan untuk spesies yang sama pada bulan 2002, 2004, 2005 dan 1978 memperlihatkan kecenderungan menurun (Tabel 19). Perubahan ukuran panjang ini belum dapat diketahui pasti. Menurut Atmadja et al (2003) fenomena ini masih memerlukan penelitian seksama namun kemungkinan disebabkan oleh adanya alat tangkap yang kurang selektif. Sumiono et al (2003) menemukan hal yang sama dimana ikan biji nangka (Upenus sulphureus), ikan mata besar (Priacanthus tayenus) dan pepetek (Leiognathus bindus) di perairan barat Kalimantan pada survei tahun 1989 dan 2001 mengalami panjang total yang semakin menurun. Jika diasumsikan bahwa contoh ikan yang diukur adalah proposonal dengan ikan yang ada di alam, maka fenomena tersebut merupakan indikasi tekanan penangkapan yang lebih tinggi pada tahun 2001 jika dibandingkan tahun 1989.

137 113 Tabel 19. Perbandingan panjang ikan hasil sapuan No. Spesies Panjang Ikan (cm) L. Jawa 2002 Kaltim 2004 L. Jawa 2005 Survei Pentaprion longimanus 9,09-7,91 10,65 2. Leiognathus splendens 10, ,95 6,41 Hasil sapuan dari spesies pepetek (Leiognathus splendens) yang tinggi, tidak diikuti dengan frekuensi kemunculan yang tinggi di seluruh lokasi sapuan di tiga wilayah survei. Hal ini diduga spesies ini mempunyai sifat membentuk gerombolan yang cukup besar pada kolom perairan dan daerah tertentu, dan saat dilakukan pengoperasian trawl, gerombolan tersebut tepat masuk kedalam mulut trawl. Hal ini seperti diungkapkan oleh Nontji (1997) bahwa spesies Leiognathus splendens banyak ditemukan di Indonesia bagian barat, hidup di perairan dangkal dan biasanya membentuk gerombolan yang besar. Adapun ciri-ciri ikan ini adalah bentuk tubuhnya pipih, kecil dan panjang kurang dari 15 cm. Munculnya beberapa spesies yang sering di stasiun-stasiun survei sering kali tidak diikuti dengan hasil sapuan yang besar untuk setiap spesies tersebut. Hal ini dijelaskan oleh Sumiono et al. (2002) dimana ikan demersal di pantai utara Jawa Tengah tidak menunjukkan kecenderungan untuk bergerombol secara musiman. Berdasarkan selang kelas kedalaman, rata-rata hasil sapuan tertinggi terdapat pada selang kedalaman 2 yaitu antara 29,60 37,50 m ( Musim Peralihan II Laut Jawa 2002), selang kelas kedalaman 3 pada kedalaman 37,60 43,50 m (Musim Barat Laut Jawa 2005) dan selang kelas kedalaman 1 dengan kedalaman kurang dari 29,50 m (perairan Kalimanatan Timur 2004) ini menunjukkan bahwa ikan demersal menyukai perairan dangkal. Atmadja et al. (2003) menyatakan bahwa rata-rata laju penangkapan tinggi pada kedalaman m untuk survei di utara Jawa Timur (2002), sedangkan survei ikan terkonsentarasi pada kedalaman <30 m.

138 Hubungan antara Faktor Abiotik dan Komunitas Ikan Demersal Di Laut Jawa yang memiliki substrat dasar lumpur, dengan kisaran kedalaman m, kisaran suhu dasar 28,85-29,70 o C dan kisaran salinitas dasar 32,43-33,88 psu untuk komunitas ikan demersal dominan (Leiognathus splenden, Upeneus sulphureus, Nemipterus japonicus) dan ikan-ikan yang memiliki frekuensi kemunculan tinggi (Upeneus sulphureus, Leiognathus bindus, Saurida longimanus) memiliki penyebarannya sebagai berikut:: a. Ikan Leiognathus splenden (pepetek) tidak menghuni seluruh perairan dengan substrat lumpur. Ikan ini memiliki berat sapuan yang tinggi ditemukan pada substrat lumpur dekat pantai (Gambar 85). b. Upeneus sulphureus (biji nangka) merupakan spesies yang memiliki frekuensi kemunculannya tertinggi di seluruh stasiun sapuan trawl dan sekaligus total sapuan kedua setelah pepetek (Leiognathus splenden). Ikan ini ditemukan di daerah dengan substrat lumpur dan semakin menjauhi pantai jumlah berat sapuan semakin peningkatan (Gambar 86). c. Nemipterus japonicus (kurisi) merupakan spesies dominan ketiga, spesies ini ditemukan di daerah berlumpur yang berada di tengah-tengah perairan (Gambar 87). d. Leiognathus bindus merupakan spesies kedua yang memiliki frekuensi kemunculan tinggi di seluruh stasiun sapuan trawl. Penyebaran dari spesies ini mirip dengan Upeneus sulphureus yaitu ditemukan di subtrat lumpur dan semakin menjauhi pantai berat sapuan semakin besar (Gambar 88). e. Saurida longimanus (beloso) merupakan spesies dengan frekuensi kemunculan ke tiga tertinggi. Spesies ini penghuni substrat lumpur di tengah perairan (Gambar 89). Hubungan komunitas ikan demersal dengan faktor oseanografis (suhu dan salinitas) tidak terlihat dengan jelas yang disebabkan oleh kisaran nilai suhu yang relatif kecil yaitu 0,95 o C dan salinitas yang hanya 1,45 psu. Hal ini dipengaruhi oleh luasan area survei yang relatif sempit.

139 Kep. Karimunjawa Lintang -6.5 Semarang Bujur Gambar 85. Hubungan antara subtrat lumpur dan berat sapuan Leiognathus splenden (pepetek) -5.5 Kep. Karimunjawa Lintang -6.5 Semarang Bujur Gambar 86. Hubungan antara subtrat lumpur dan berat sapuan Upeneus sulphureus (biji nangka)

140 Kep. Karimunjawa Lintang -6.5 Semarang Bujur Gambar 87. Hubungan antara subtrat lumpur dan berat sapuan Nemipterus japanicus (kurisi) -5.5 Kep. Karimunjawa Lintang -6.5 Semarang -7.5 Gambar Bujur Hubungan antara subtrat lumpur dan berat sapuan Leiognathusbindus (pepetek)

141 Kep. Karimunjawa Lintang -6.5 Semarang Bujur Gambar 89. Hubungan antara subtrat lumpur dan berat sapuan Saurida longimanus (beloso) 6.7 Penyebaran Ikan Demersal Berdasarkan Selang Kelas Kedalaman Berdasarkan analisis selang kelas kedalaman, maka setiap lokasi dilakukan pembahasan secara terpisah sebagai berikut : Perairan Laut Jawa Berdasarkan data hasil deteksi hidroakustik di perairan Laut Jawa pada Musim Peralihan II (2002) menunjukkan nilai target strength ikan demersal ditemukan kecil di perairan dangkal dan dengan bertambahnya kedalaman perairan nilai rata-rata target strength bertambah besar. Ini menjelaskan bahwa di Laut Jawa memiliki ikan-ikan demersal berukuran kecil menjadi penghuni di perairan dangkal dan ikan-ikan demersal besar menjadi penghuni perairan lebih dalam. Nilai rata-rata densitas ikan demersal secara keseluruhan tidak berbeda, namun ada kenaikan dua kali lipat nilai densitas pada selang kedalaman 29,60-36,50 m dibandingkan kedalaman lainnya. Ini menjelaskan bahwa ikan-ikan kecil menyukai daerah dangkal sebagai tempat hidupnya (Badrudin, 2004).

142 118 Hasil sapuan trawl juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang menyolok antar selang kelas kedalaman. Pada perairan dangkal (< 29,50 m) memiliki nilai densitas yang tinggi dibandingkan selang kelas kedalaman lainnya. Ini menunjukkan bahwa ikan-ikan tunggal maupun kelompok ikan di Laut Jawa pada Musim Peralihan II menyukai daerah dangkal. Hal ini dikuatkan dengan hasil analisis terhadap spesies dominan dimana di Perairan Laut Jawa yang didominas oleh ikan pepetek (Leiognathus splendens) dan ikan kurisi (Nemipterus hexodon) yang termasuk ikan demersal kecil yang memiliki sifat suka bergerombol (Nontji, 1993). Hasil survei di perairan Laut Jawa pada Musim Barat (2005) menunjukkan nilai rata-rata target strength ikan demersal pada kedalaman kurang dari 50,50 m tidak menunjukkan ukuran yang berbeda, hal ini menunjukkan bahwa ikan-ikan yang ada pada perairan kurang dari 50,50 m merupakan populasi yang sama. Namun pada selang kelas kedalaman lebih dari 50,50 m menunjukkan ikan demersal di perairan lebih besar dibandingkan perairan dengan kedalaman kurang dari 50,50 m, Pada perairan dengan kedalaman lebih dari 50,50 m memiliki ikan tunggal yang lebih besar (berukuran dua kali lipat) dari ikan-ikan tunggal pada kedalaman kurang dari 50,50 m. Badrudin (2004) menjelaskan ikan-ikan kecil menyukai daerah dangkal, dan semakin dalam perairan jumlah ikan akan berkurang. Atmadja et al (2003) menjelaskan ikan-ikan besar banyak ditemukan di perairan dalam. Rata-rata densitas ikan hasil deteksi hidroakustik menunjukkan densitas rata-rata berkisar 1,12 hingga 3,20 g/m 3. Densitas tertinggi pada selang kelas kedalaman perairan 29,60 36,50 m yaitu mencapai 3,20 g/m 3, diikuti selang kelas kedalaman 43,60-50,50 m sebesar 2,29 g/m 3, pada selang kelas kedalaman lainnya memiliki rata-rata nilai densitas lebih dari 1,00 g/m 3. Hasil sapuan trawl pada setiap selang kelas kedalamannya menunjukkan nilai kisaran rata-rata densitas antara 0,41 8,71 g/m 3. Hasil sapuan trawl pada selang kelas kedalaman 36,60-50,50 m yang memiliki densitas tertinggi yaitu 8,71 g/m 3. diikuti selang kelas kedalaman 43,60-50,50 m sebanyak 5,84 g/m 3. Selang kelas kedalalaman yang lainnya memiliki densitas rata-rata 1,09 dan 0,41 g/m 3. Perbedaan nilai rata-rata densitas hasil integrasi hidroakustik dan sapuan trawl pada selang kelas kedalaman perairan yang berbeda belum dapat dijelaskan dengan pasti, namun kemungkinan disebabkan jeda waktu antara pengoperasian alat hidroakustik dan trawl. Pepetek merupakan spesies

143 119 dominan di seluruh perairan. Pada perairan dengan kedalaman antara 43,50 50,50 m ditemukan ikan kuniran (Upeneus sulphureus) dan kurisi (Nemipterus japonicus) yang banyak menghuni. Tabel 19 menunjukkan hasil deteksi hidroakustik dan sapuan trawl di setiap selang kelas kedalaman substrat di Laut Jawa tahun 2002 dan Perairan Belitung Hasil deteksi hidroakustik di perairan Belitung pada Musim Peralihan I (2002) memiliki nilai rata-rata target strength ikan demersal pada perairan kurang dari 29,50 m memiliki ukuran ikan demersal tunggal lebih kecil dibandingkan ikan-ikan demersal tunggal pada perairan selang kelas kedalaman 29,60 36,50 m. Bahkan diduga ikan-ikan tunggal pada selang kelas kedalaman 29,60 36,50 m lebih besar dua kali dibandingkan ikan-ikan tunggal pada selang kelas kedalaman kurang dari 29,50 m. Densitas ikan demersal hasil integrasi hidroakustik menunjukkan nilai yang tidak berbeda, namun selang kelas kedalaman lebih dari 43,50 m tidak ada data. Data survei di perairan Belitung pada Musim Peralihan II (2005) memiliki ukuran ikan tunggal terbesar ditemukan di perairan dengan kedalaman lebih dari 64,60 m, kemudian disusul ikan-ikan demersal pada selang kelas kedalaman 43,60-50,50m. Adapun perairan dengan selang kelas kedalaman lainnya umumnya berukuran kecil. Kemampuan ikan-ikan demersal berukuran besar untuk beradaptasi pada lingkungan lebih gelap dan tekanan lebih besar, menjadikan perairan dalam sebagai habitatnya. Densitas ikan demersal hasil integrasi hidroakustik menunjukkan di perairan dangkal (kurang dari 29,50 m) memiliki densitas ikan yang tinggi. Pada lokasi perairan Belitung nilai rata-rata densitas tertinggi pada selang kelas kedalaman kurang dari 29,50 m. Densitas ikan pada selang kelas kedalaman tersebut antara musim Peralihan I (2002) tidak jauh berbeda jika dibandingkan Musim Peralihan II (2005) yaitu 0,67 dan 0,70 g/m 3. Pada selang kelas kedalaman 29,60-36,50m musim Peralihan I (0,44 g/m 3 ) lebih tinggi dibandingkan Musim Peralihan II (0,13 g/m 3 ). Ini menunjukkan lokasi yang disukai oleh ikan tunggal dengan perbedaan musim maupun waktu tidak berubah.

144 120 Tabel 20. Analisis selang kelas kedalaman substrat di Laut Jawa Selang Kelas Kedalaman TS (db) ρ (g/m3) ρ trawl (g/m3) Spesies Dominan TS (db) ρ (g/m3) ρ trawl (g/m3) Spesies Dominan <29,50-48,24 0,01 1,13 Nemipterus hexodon -42,15 1,95 1,09 Leiognathus dacorus 29,60-36,50-45,75 0,02 0,89 Leiognathus splendens -44,46 3,20 0,41 Gaza achlamys 36,60-43,50-46,17 0,01 0,46 Leiognathus splendens -44,42 1,76 8,71 Leiognathus splendens 43,60-50,50-44,39 0,01 0,39 Nemipterus japonicus -40,26 2,29 5,84 Nemiptorus nematophorus -39,98 1, ,60-57,50-44,93 0,01 0,28 57,60-64,50-44,66 0,01 0,39 Nemipterus japonicus ,60-71,50-45,82 0,01 0, ,60-78,50-41,43 0,00 0,36 Priacanthus tayenus >78,60-42,34 0,01 0,00 - Keterangan (-) : tidak ada data Upeneus sulphureus dan Nemipterus japonicus

145 121

146 121 Tabel 21 menunjukkan hasil deteksi hidroakustik dan sapuan trawl di setiap selang kelas kedalaman substrat di perairan Belitung tahun 2002 dan Tabel 21. Analisis selang kelas kedalaman substrat di perairan Belitung Selang Kelas Kedalaman TS (db) ρ (g/m3) TS (db) ρ (g/m3) <29,50-56,79 0,67-42,41 0,70 29,60-36,50-54,33 0,44-46,54 0,13 36,60-43, ,17 0,05 43,60-50, ,84 0,02 50,60-57, ,33 0,01 57,60-64, ,60-71, ,87 0,00 71,60-78, ,88 0,00 >78, Keterangan (-) : tidak ada data Perairan Kalimantan Timur Densitas ikan demersal hasil integrasi hidroakustik tinggi pada perairan dangkal (kurang dari 29,50 m) yaitu 4,74 g/m 3, kemudian menurun dengan bertambahnya kedalaman perairan. Hal ini juga didukung dari hasil sapuan trawl, dimana pada perairan kurang dari 29,50 m memiliki densitas ikan demersal yang tinggi yaitu 3,81 g/m 3. Ikan sapuan yang mendominasi sama dengan wilayah survei lainnya yaitu pepetek (Leiognathus bindus maupun Leiognathus splendens ). Bila dilakukan perbandingan nilai rata-rata densitas tertinggi pada kedalaman perairan kurang dari 29,50 m, di musim yang sama yaitu Musim Peralihan II, pada wilayah yang berbeda yaitu Laut Jawa (2002), Belitung (2005) dan Kalimantan Timur (2004) menunjukkan nilai rata-rata densitas ikan demersal tertinggi di lokasi perairan Kalimantan Timur (4,74 g/m 3 ) disusul perairan Belitung (0,70 g/m 3 ) dan Laut Jawa (0,01 g/m 3 ). Hal ini diduga akibat perbedaan kepadatan penangkapan, perairan Laut Jawa telah diketahui memiliki armada penangkapan yang lebih banyak di bandingkan wilayah lainnya.

147 122 Tabel 22. Analisis selang kelas kedalaman substrat di perairan Kalimantan Timur Selang Kelas Spesies Dominan Kedalaman TS (db) ρ (g/m3) ρ trawl (g/m3) <29,50-49,71 4,74 3,81 Liegnathus bindus 29,60-36,50-50,23 0,09 2,74 Liegnathus splendens 36,60-43,50-51,72 0, ,60-50,50-49,18 0, ,60-57,50-47,31 0, ,60-64,50-49,38 0, ,60-71,50-46,52 0, ,60-78,50-45,97 0, >78,60-40,10 0, Keterangan (-) : tidak ada data

148 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1. Klasifikasi tipe substrat berdasarkan data komposisi tekstur hasil grab ditemukan adanya tipe substrat karang, pasir, pasir berlumpur, pasir berliat dan lumpur berpasir pada lokasi penelitian. Klasifikasi tipe substrat berdasarkan nilai hambur balik hidroakustik ditemukan tipe substrat yang sama, dimana karang memberikan nilai hambur balik hidroakustik paling besar dan semakin melemah hingga substrat terlunak yaitu lumpur pasir. Namun demikian ukuran partikel tidak dapat dinyatakan sebagai satusatunya yang mempengaruhi dan membatasi nilai hambur balik hidroakustik dari dasar perairan. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa metode hidroakustik adalah instrument yang efisien dan efektif dalam pendeteksian dan pengklasifikasian tipe substrat dasar perairan dan dapat dipakai sebagai alternatif menggantikan metode konvensional yaitu metode grab. 2. Berdasarkan nilai hambur balik hidroakustik dari pantulan pertama yang diperoleh di Perairan Kepulauan Seribu, maka dapat dilakukan pendugaan tipe substrat di perairan Laut Jawa dan Belitung. Dugaan tipe substrat yang diperoleh yaitu : a. Tipe substrat Laut Jawa dapat diklasifikasikan sebagian besar adalah lumpur dan beberapa lokasi bersubstrat lumpur berpasir. Hal ini dikarenakan nilai hambur balik hidroakustik dari pantulan pertama hasil deteksi di perairan Jawa berada dalam kisaran lumpur berpasir dan lebih rendah dari lumpur berpasir. b. Tipe substrat Perairan Belitung lebih bervariasi berupa karang, pasir berlumpur dan lumpur berpasir sesuai kisaran dari setiap nilai hambur balik hidroakustik dari dasar perairan. 3. Variasi suhu dasar maupun salinitas dasar pada habitat ikan demersal menunjukkan perubahan sesuai musim, namun secara horizontal maupun berdasarkan selang kelas kedalaman perairan tidak ada perbedaan yang menyolok.

149 Deteksi hidroakustik dan sapuan trawl terhadap ikan demersal memberikan informasi bahwa densitas ikan demersal lebih tinggi di perairan dangkal (kurang dari 36,50 m) dengan nilai target strength ikan tunggal yang kecil. Ikan-ikan kecil ini diidentifikasi sebagai spesies pepetek. 5. Di perairan Laut Jawa, faktor-faktor abiotik seperti jenis substrat dasar perairan, kedalaman, kondisi oseanografi sangat berpengaruh terhadap distribusi komunitas ikan-ikan demersal. Hubungan antara keterkaitan tipe substrat dan komunitas ikan demersal di perairan Laut Jawa menunjukkan pola yang berbeda untuk lima jenis ikan dominan yaitu Leiognathus splenden (pepetek), Upeneus sulphureus (biji nangka), Nemipterus japanicus (kurisi), Leiognathus bindus (pepetek) dan Saurida longimanus (beloso). 7.2 Saran 1. Penelitian lanjutan mengenai klasifikasi substrat dasar perairan dapat dilakukan dengan metode hidroakustik di perairan dengan berbagai tipe substrat dasar perairan untuk melengkapi hasil penelitian yang ada. 2. Pengembangan program pengolahan data juga sangat perlu dilakukan untuk peningkatan software yang telah tersedia.

150 DAFTAR PUSTAKA Aoyama, T The Demersal fish stocks and Fisheries of The South China Sea. IPFC/SCS/Dev/73/3. Rome. Atmadja, S.B. Nugroho, D. Suwarso, Hariati, T. Mahisworo, Pengkajian Stok Ikan di WPP Laut Jawa. Prosiding Forum Pengkajian Stok Ikan Laut 2003 (WPP:Samudera Hindia, Laut Arafura, Laut Cina Selatan dan Laut Jawa). Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hlm Badrudin M., Tampubolon G.H., P.S Iskandar. Raharjo P. Basuki R., Sumber Daya Ikan Demersal dalam Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perikanan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Laut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Direktorat Jenderal Perikanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Direktorat Jenderal Perikanan, Pusat Peneilitian Dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Balai Penelitian Perikanan Laut, PUSLITBANGKAN, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Fakultas Perikanan IPB. Jakarta. Hlm Badrudin Penelitian Sumberdaya Ikan Demersal. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 36 hlm. Bengen, D.G Tehnik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisika Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. 88 hlm. Boer, M. Aziz, K.A. Widodo, J. Djamali,A. Ghofar, A. Kurnia, R Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Direktorat Riset dan Eksplorasi Sumberdaya Hayati, Direktorat Jenderal Penyerasian Riset dan Eksplorasi Laut, Departemen Kelautan dan Perikanan bekerjasama - Komisi Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut - Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. 44 hlm. CATEFA Combining Acoustic and Trawl Data for Estimating Fish Abundance. : bez/catefa/indext. (11 Juni 2004). p: 1. Clay, C.S and Medwin, H Acoustical Oceanography. John Wiley & Sons. New York. USA 712 pp. (DKP-LIPI) Departemen Kelautan dan Perikanan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia. Jakarta. 125 hlm. Dickie, L.M. Down R.G. and Boudreau, P.R Acoustic Estimates of Demersal Fish Using A Dual Beam Transducer in Laboratory and Field. J. Acoust. Soc. Am 76 (4) :

151 126 Durand, J.R and Petit, D The Java Sea Environment. Biology, Dynamics, Exploitation of The Small Pelagic Fishes in The Java Sea. Pelfish. Jakarta. p: Emery, K.O., Uchupi, E. Sunderland, J., Uktolseja, H.L and Young, E Geological Structure and Some Water Characteristics of The Java Sea and Ajacent Continental Shelf. United Nation. Ecafe. CCOP Tech. Bull. 6: Engas, A and Ona, E Day and Night Fish Distribution pattern in The Net Mount Area of The Norwegian Bottom Sampling Trawl. Rapp.P.-v. Reun. Cons. Int. Explor. Mer. 189: Etopo 2. (di down load 21 Oktober 2005). p:1. Faturachman A., dan Raharjo P., 2003, Daya Dukung Sedimen Dasar Laut di Perairan Pelabuhan Cirebon dan Sekitarnya. Jurnal Geologi Kelautan, 1: Fisheries Research Services Acoustic Surveys. (11 Juni 2004) p: 1-5. Fleux, M Ocean Indién et Mousson. Conférence á la Mémoíre d Anton Bruun. Unesco. Mars. 15p. Freeman, S.M, Bergmann, M. Hinz, H. Kaiser,M.J. Bennell, J. and Rogers, S.I Acoustic seabed classification: Identifying fish and macro-epifaunal habitats. ICES Copenhagen, CM2002: K:08, 28 p. Freitas, R. Silva, S. Quintino, V. Rodrigues, A.M. Rhynas, K and Collins W.T Acoustic Seabed Classification of Marine Habitats: Studies in the Western Coastal-shelf Area of Portugal. ICES Journal of Marine Science, 60: Gaol, J.L. dan Sadhotomo, B Kondisi Lingkungan dan Karakteristik Oseanografi Laut Jawa. Workshop Laut Jawa. Semarang. 22 hlm. Gordon, A.L Oceanography of the Indonesian Seas and Their Through flow. Oceanography 18: Hamilton, E.L. 1971a. The Elastic Properties of Marine Sediment. J. Geophys. Res. 76: Ilahude, A.G On The Factor Affecting The Productivity of The Southern Makasar Strait. Mar. Res. Indonesia. 21: Krumbien, W.C and Sloss, L.L Stratigraphy and Sedimentation. W.H. Free and Company. San Francisco. USA. 497 p. Labropoulou M and Papaconstantinou C Community Structure and Diversity of Demersal Fish Assemblages: The Role of Fishery. SCI.MAR, 68(Suppl.1):

152 127 Laevastu, T and Hela, I Fisheries Oceanography. New Ocean Environmental Services. Fishing News (Books) LTD. London. 145 p. Longhurst, A.R., Pauly, D Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, INC. London. 407 p.. Losse, G. F and Dwiponggo, A Report on The Java Sea Southeast Monsoon Trawl Survey, June-December Special Report. Contribution of The Demersal Fisheries Project 3. Mar. Fish. Res. Ins. GTZ. Ludwig J.A., Reynolds J.F Statistical Ecology. A Primer on Methods and Computing. A Wiley-Interscience Publication. John Wiley & Sons. New York. 337 p.. Mahiswara Analisis Hasil Tangkapan Sampingan Trawl Udang yang dilengkapi perangkat Selektifitas Tipe Super Shooter TED. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tesis). Hlm Manik, M.H Pengukuran akustik Scattering Strength Dasar Laut dan Identifikasi Habitat Ikan dengan Echosounder. Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK-IPB. Bogor. Hlm Manik, M.H, Furusawa, M and Amakasu, K Quantifying Sea Bottom Surface Backscattering Strength and Identifying Bottom Fish by Quantitative Echo Sounder. Japanese Journal of Applied Physics 45 (5B): Muljawan, D Pelemahan Energi Seismik Pada Suatu Profil Seismik Vertikal. Teknologi Survei Laut Seri 2. UPT Baruna Jaya BPP Teknologi. Jakarta. Hlm Nasoetion, A.H dan Barizi Metode Statistika untuk Penarikan Kesimpulan. PT Gramedia. Jakarta. 50 hlm. NOAA Coastal Services Center Benthic Habitat Mapping. (11 Juni 2004) p:1. Nontji, A Laut Nusantara. Penerbit Djembatan. Jakarta. 367 hlm. Nugroho, D Studi Tentang Stok Ikan Pelagis di Bagian Timur Laut Jawa Berdasarkan Deteksi Akustik Kelautan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tesis). 150 hlm. Pasaribu, B.P. Nugroho, D., dan Nainggolan, C Pengembangan Algoritma untuk Pemetaan Sumberdaya Ikan dengan Teknologi Akustik di Perairan Selat Sunda Dewan Riset Nasional. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. 50 hlm. Pauly D and P. Martosubroto Baseline studies of Biodiversity: the Fish Resources of Western Indonesia. Iclarm Stud. Rev 23. p:1-5.

153 128 Pujiyati,S Pendugaan Nilai Target strength Ikan dengan Menggunakan Transducer Bim Ganda di Perairan Selat Sunda. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tesis). 124 hlm. Purwandani, A Peta Laut Benua Maritim Indonesia. P3-TISDA. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 30 hlm. (P 2 O-LIPI) Pusat Penelitian Oseangrafi.-Lembaga ILmu Pengetahuan Indonesia Penelitian Biodiversitas Ikan Sidat Fase Leptocephali di Perairan Kalimantan Timur dan Selat Makasar. Jakarta. 30 hlm. (PPGL) Pusat Pengembangan Geologi Kelautan Laporan Penyelidikan Geologi dan Geofisika Kelautan di Perairan Laut Jawa (Lembar Peta 1410) Jawa Tengah. Pusat Pengembangan Geologi Kelautan. Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral. Departemen Pertambangan dan Energi. Bandung. 64 hlm. Quester Tangent Optic-Acoustic Seabed Classification. Com (11 Juni 2004). p: 1-3. Rajali, H., Gambang., A.C., Hamid,I.A., Hasan, R.B., Awang, D., Shiomi, K. dan Fujiwara, S Stock assessment by Hydroakustic Method in The South China Sea Area II: Sabah, Sarawak, Brunei Darussalam. (21 Oktobr 2006). p: Richardson M.D, Brings K.B, Williams K.L, Lyons A.P, Jackson, D.R. Effects of Changing Roughness on Acoustic Scattering: (2) Anthropogenic Changes. (19 Oktober 2006) p: 1-8. Ridho, M.R. Eidman,M. Kaswadji,R.F. Nurhakim, S. Suman, A Distribusi Biomassa Sumberdaya Ikan Demersal di Perairan Pantai Bengkulu. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan 1 (3): Ridho, M.R. Eidman,M. Kaswadji,R.F. Jaya,I. Nurhakim, S Distribusi Biomassa Sumberdaya Ikan Demersal di Perairan Laut Cina Selatan. Buletin PSP. 11(2): Rijal, M. dan Sumiono, B Penelitian Laju Tangkap Perikanan Demersal di Perairan Kendal dan Sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 53: 1-9. Sadhotomo, B Ordinasi Komunitas Ikan Demersal di Pantai Utara Jawa I: Penentuan Unit Komunitas. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 56: Sadhotomo, B Review of Environmental Features of The Java Sea. Ind.Fish Res.J. 12 (2): Silitonga, F, Hakim S, Hardjawidjaksana, K. Budiman. Dan Faturchman A Penelitian Geologi dan Geofisika Kelautan Perairan Semarang-Karimun Jawa

154 129 dan Sekitarnya (Lembar Peta ). Departemen Pertambangan dan Energi, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Miniral. Pusat Pengembangan Geologi Kelautan. Bandung. 60 hlm. Simrad /0/620F423FA7B503A7C1256BCD0023C0E5?OpenDocument (Download 7 Maret 2006). p: 1-3. Siwabessy, P.J. W An Investigation of Relationship between Seabed Type and Benthic and Bentho-pelagic Biota Using Acoustic Techniques. Curtin University of Technology. Australia.(Tesis). 261 hlm. Sumiono, B. Sudjianto, Soselisa, Y. Murtoyo, T.S Laju Tangkap dan Komposisi Jenis Ikan Demersal dan Udang yang Tertangkap Trawl Pada Musim Timur di Perairan Utara Jawa Tengah. JPPI 8(4): Sumiono, B. Badrudin, Widodo, A Pengkajian Kelimpahan dan Distribusi Sumber Daya Ikan Demersal di Perairan Laut Cina Selatan. Forum Pengkajian Stok Ikan Laut Indonesia. Jakarta. Hal: Wibisono, M.S Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo. Jakarta. 226 hlm. Widodo, J Potensi dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Demersal di Laut Jawa di Luar Kedalaman 20 Meter. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor (Tesis). Hlm Wyrtki, K Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. The University of California. California. 195 p. Wigan, M The Last of The Hunter Gatherers (Fisheries Crisis at Sea). Swan Hill Press. London. 270 p. WorldFish http// (download 17 Januari 2007). p: 1-7 Yusof, S Demersal Fish Stock Assessment in The Inshore of The East Coast of Peninsular Malaysia, Thirteenth Trawl Survey of The Coastal Waters off East Coast of Peninsular Malaysia (April-June 2001). Ministry of Agriculture Malaysia. 138p.

155 LAMPIRAN

156 Lampiran 1. Tampilan EP-500 versi 5.3 dan tampilan utama Echo View

157 Lampiran 2. Peralatan hidroakustik 132

158 Lampiran 2. Lanjutan 133

159 134 Lampiran 2. Lanjutan Spesifikasi teknis scientific echosounder SIMRAD EY-500 No Elemen Spesifikasi 1 Frekuensi 38 KHz (37,878 KHz) 2 Daya Pancar 50 W 3 Jangkauan Deteksi 1, 5, 10, 25, 50, 100,150, 250, 500, 1000, 1500 dan Fase Jarak m dalam 1m increment 5 Peragaan Echogram dalam 12 warna (3 db per warna). Skala warna berhubungan dengan nilai volume back scattering atau target strength (TS). Tampilan juga meliputi sinyal echo 6 Lapisan Perairan Hingga 10 lapisan antara permukaan dan dasar 7 Integrator Memiliki julat dinamis (dynamic range) yang tidak terbatas, integrasi bebas setiap lapisan 8 Penyimpanan Data Data terseleksi dan echogram langsung disimpan di dalam hard disk (real time). Distribusi target strength dalam lapisan terseleksi 9 Interval Perhitungan Ping, waktu, atau simulasi kecepatan 10 Fungsi Putar Ulang Untuk menyimpan dan memutar ulang data sample 11 Perangkat Analisa Target (TS Analyzer) 24 kelas TS (1,5 db per kelas) hingga 10 lapisan disajikan dalam table. Menganalisa posisi target dalam bim, lobe mengkompensasi nilai-nilai target strength, menganalisa data orientasi dan data jejak echo pada lapisan teratas 12 Mesin Cetak Berwarna Echogram dalam 12 warna (3 db per warna). Tabeltabel dapat dicetak dengan mesin cetak berwarna untuk menampilkan distrbusi nilai TS dan S A dalam lapisanlapisan terseleksi 13 EP 500 (system post processing echo) Sistem pengolahan data yang telah dikembangkan dengan akuisisi data lindem (metode statistik oleh Craig

160 Tranceiver Pasokan Tegangan 15 Parameter Tranceiver Tipe Bim Panjang Pulsa (ms) Band Width (KHz) Resolusi (cm) Ukuran (mm) Bobot (kg) dan Forbes, 1969). Echo disimpan dalam file disk yang dapat dipresentasikan pada layer dan printer. Sambungan pemantauan echogram dapat dilakukan melalui serial interface. Nilai-nilai TS dan S A dapat dihitung pada lapisan-lapisan yang dapat dipilih dimana sebelumnya echogram telah dibagi secara vertikal dan horizontal atas beberapa bagian sesuai kebutuhan (off line) VDC Sekitar 15 W 0-55 C Bim Terbagi (split beam) 0,6 0,7 (narrow); 7,0 (wide) x 350 x 141 7

161 136 Lampiran 2. lanjutan SETTING EY 500 MAIN MENU OPERATION MENU DISPLAY MENU PRINTER MENU TRANSCEIVER MENU BOTTOM DETECTION MENU LOG MENU LAYER MENU TS DETECTION MENU DISK MENU SERIAL COM MENU ANNOTATION MENU NAVIGATION MENU UTILITY MENU TEST MENU OPERATION MENU Ping Mode normal Ping auto start off Ping interval 0,0 sec DISPLAY MENU Colour set light Event marker on Echogram speed 1:1 Echogram on PRINTER MENU Model type Deskjet Navig. Internal 240 Event Marker off Annotation off Naut. Mile Marker off TS. Distribution off Integr. Tables off Echogram Speed 1:10 Echogram off BOTTOM DETECTION MENU Minimum Depth 2.0 m Maximum Depth 200 m Min. Depth Alarm 2.0 m Max. Depth Alarm 600 m Bottom Lost al off Minimum level -60 db

162 137 DISPLAY TRANSCEIVER / ECHOGRAM MENU MENU Transd. Mode Number 1 Active Range Transducer Type ES38B 500 m Range Trans. Sequence Start off 0 m Auto Transducer Range Depth off 1.00 m Bottom Absorption Range Coef 10 dbkm m Bot. Pulse Range Length Start 0 short m Bot. Bandwidth Range Pres off auto Sub. Max. Bottom Power Gain db/m W Presentation 2-Way Beam angl normal db TVG SV. Transd. Gain log db R Scale TS. Transd. lines Gain db Bot. Angle Det. Sens. Line Along off 21.9 Layer Angle lines Sens. Athw on 21.9 Integration 3 db Beamw. line Along off 7.1 dg TS 3 db Colour Beamw. Min. Along dg db SV Alongship Colour offset Min db dg Athwship offset 0.00 dg PRINTER / ECHOGRAM MENU Transd. Number 1 Range 50 m Range Start 0 m Auto Range off Bottom Range 10 m Bot. Range Start 1 m Bot. Range Pres off Sub. Bottom Gain 0.0 db/m Presentation normal TVG 20 log R Scale lines 10 Bot. Det. Line off Layer lines on Integration line off TS Colour Min. -60 db SV Colour Min. -70 db LOG MENU Mode ping Ping interval 300 Time Interval 60 sec Dist. Interval 1.0 nm Distance 0.0 ANNOTATION MENU Event Counter 0 Counter Mode increase Time Interval0 min Text. NAVIGATION MENU Navig. Input serial Start sequence $GPGLL Separation Char 002C Stop Character 000D First Field No. 2 No. of Fields 4 Speed Input serial Manual Speed 6.0 knt Baudrate 4800 Bits per Char 8 Stop Bits 1 Parity none SERIAL / ECHOGRAM MENU Range 15 m Range Start 0 m Auto Range off Bottom Range 10 m Bot. Range Start 0 m No. of Main Val. 250 No. of Main Val. 5 TVG 20 log R

163 138 BOTTOM DETECTION MENU Minimum Depth 2.0 m Maximum Depth 200 m Min. Depth Alarm 2.0 m Max. Depth Alarm 600 m Bottom Lost Al. off Minimum Level -60 db TS Detection Menu UTILITY MENU Beeper on Status messages on Date yy.mm.dd Time hh.mm.ss External Clock off Password 0 Default setting no Language English Sound velocity 1538 m / s Com1/Com2 Switch off min value -70 db min echo length 0.8 max echo length 1.5 max gain comp 4.0 db max phase dev 4.0 TEST MENU message transceiver version counter scope simrad depth ts compensated ts uncompensated angle along angle athward 0.00 m 0.0 db 0.0 db 0.0 dg 0.0 dg

164 139 DISK MENU Log on Max. file size 20 MB Drive C Directory \ Replay file name Replay forever on Telegram menu Echogram menu SERIAL COM MENU TELEGRAM MENU USART MENU ECHOGRAM MENU SERIAL/TELEGRAM MENU format ascii modem contro loff remote control off status off parameter off annotation off navigation off depth off echogram off echo-trace off sv off vessel-log off layer off integrator off ts distribution off SERIAL/USART MENU baudrate 9600 bits per char 8 stop bits 1 parity none SERIAL/ECHOGRAM MENU range 15 m range start 0 m auto range off bottom range 10 m bot range atart 0 m no. of main val 250 no.of bot val 75 tvg 20 log r

165 140 Lampiran 2. Lanjutan Spesifikasi teknis scientific echosounder SIMRAD EY-60 dan EK-60 Frequency 120 khz Beam Split Gain db Sa corr 0,00 db 2-way beam angle -21,00 db Angle sensitivity alongship Athwartship 23,00 o 23,00 o Angle offset alongship Athwartship 0,00 o 0,00 o 3-dB Beam width alongship Athwartship 7,00 o 7,00 o Pulse duration 512 μ s Sample interval Receiver bandwidth Power Sound speed Absorption Noise estimate 0,099 m 5,56 KHz 500 watt 1547 m/s 41,80 db/km -119 db

166 141 Lampiran 3. Program pengolahan data 2a. Pengolahan data dengan program EP-500 2b. Pengolahan data dengan program Echoview 3.5

167 142 Lampiran 4. Batimetri lokasi penelitian -3 Kalimantan -4 Lintang -5-6 Laut Jawa Kep. Karimunjawa -7 Jawa Semarang Jawa Bujur 4a. Batimetri perairan Jawa bagian timur (survei 2002) -2-3 Lintang -4-5 Laut Jawa -6 Kep. Karimunjawa Bujur 4b. Batimetri perairan Jawa bagian tengah (survei 2005)

168 143 Lampiran 4. Lanjutan -5.5 Lintang Bujur 4c. Batimetri perairan Kepulauan Seribu (survei 2007) 2 Lintang 1 Belitung Bujur 4d. Batimetri perairan Belitung

169 144 Lampiran 4. Lanjutan 4 3 Lintang 2 1 Kalimantan Bujur 4e. Batimetri perairan Kalimantan Timur

170 145 Lampiran 5. Kondisi oseanografi di lokasi penelitian -3 a -4 Laut Jawa Lintang -5-6 Kep. Karimunjawa -7 Semarang Bujur -3 b -4 Laut Jawa Lintang -5-6 Kep. Karimunjawa -7 Semarang a. Sebaran suhu (a) dan salinitas (b) permukaan pada musim Peralihan II di perairan Laut Jawa (2002) Bujur

171 146 Lampiran 5. Lanjutan -3 a -4 Lintang -5 Laut Jawa -6 Kep. Karimunjawa -7 Semarang Bujur -3 b -4 Lintang -5 Laut Jawa -6 Kep. Karimunjawa -7 Semarang Bujur 5b. Sebaran suhu (a) salinitas (b) dasar pada Musim Peralihan II di Laut Jawa (2002)

172 147 Lampiran 5. Lanjutan Kep. Karimunjawa Kep. Karimunjawa a Semarang b Semarang Bujur Bujur 5c. Sebaran suhu (a) dan salinitas (b) permukaan pada Musim Barat di Laut Jawa (2005) Kep. Karimunjawa Kep. Karimunjawa.5 Lintang -6.5 Semarang Semarang a b Bujur Bujur 5d. Sebaran suhu (a) dan salinitas (b) dasar pada Musim Barat di Laut Jawa (2005)

173 148 Lampiran 5. Lanjutan -2.5 a -3.5 Bangka Tanjungpandan P. Liat Belitung P. Lepar Lintang Bujur -2.5 b -3.5 Bangka Tanjungpandan P. Liat Belitung P. Lepar Lintang Bujur 5e. Sebaran Suhu (a) dan salinitas (b) permukaan pada Musim Peralihan II di perairan Belitung (2005)

174 149 Lampiran 5. Lanjutan -2.5 a -3.5 Bangka Tanjungpandan P. Liat Belitung P. Lepar Lintang Bujur -2.5 b Bangka Tanjungpandan P. Liat Belitung P. Lepar -3.5 Lintang Bujur 5f. Sebaran suhu (a) dan salinitas (b) dasar pada Musim Peralihan II di Perairan Belitung (2005)

175 150 Lampiran 5. Lanjutan 5g. Sebaran suhu permukaan berdasarkan citra satelit Landsat-7 ETM pada Musim Peralihan I (2002)

176 151 Lampiran 5. Lanjutan 4 a 4 b 3 3 Lintang 2 Lintang Bujur Bujur 5h. Sebaran suhu (a) dan salinitas (b) permukaan pada Musim Peralihan II di perairan Kalimantan Timur (2004) 4 a 4 b 3 3 Lintang 2 Lintang Bujur Bujur 5i. Sebaran puhu (a) dan salinitas (b) dasar pada Musim Peralihan II di perairan Kalimantan Timur (2004)

177 152 Lampiran 6. Ilustrasi integrasi pada 4 lapisan dengan EP-500 Ilustrasi lapisan hasil pengolahan EP-500 (expanded bottom)

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna. Mikrofauna berperan

Lebih terperinci

PENDEKATAN METODE HIDROAKUSTIK UNTUK ANALISIS KETERKAITAN ANTARA TIPE SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DENGAN KOMUNITAS IKAN DEMERSAL SRI PUJIYATI

PENDEKATAN METODE HIDROAKUSTIK UNTUK ANALISIS KETERKAITAN ANTARA TIPE SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DENGAN KOMUNITAS IKAN DEMERSAL SRI PUJIYATI PENDEKATAN METODE HIDROAKUSTIK UNTUK ANALISIS KETERKAITAN ANTARA TIPE SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DENGAN KOMUNITAS IKAN DEMERSAL SRI PUJIYATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

6. PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Batimetri

6. PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Batimetri 6. PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian 6.1.1 Batimetri Hasil pemetaan batimetri dari data echogram maupun data topex di seluruh perairan Laut Jawa (termasuk perairan Belitung) menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol. 4. No. 1 Mei 2013: 31-39 ISSNN 2087-4871 HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 (THE RELATION

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam makhluk hidup yang kehidupannya berasosiasi dengan lingkungan perairan.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Peta Batimetri Laut Arafura Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori perairan dangkal dimana kedalaman mencapai 100 meter. Berdasarkan data

Lebih terperinci

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI SANTI OKTAVIA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

5. HASIL PENELITIAN 5.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Batimetri Perairan

5. HASIL PENELITIAN 5.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Batimetri Perairan 5. HASIL PENELITIAN 5.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian 5.1.1 Batimetri Perairan Hasil pemetaan batimetri dari data echogram di seluruh perairan Laut Jawa khususnya pada Laut Jawa bagian timur dan utara

Lebih terperinci

Gambar 8. Lokasi penelitian

Gambar 8. Lokasi penelitian 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Januari-3 Februari 2011 yang di perairan Pulau Gosong, Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang, Kabupaten

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

4. BAHAN DAN METODA. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

4. BAHAN DAN METODA. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 41 4. BAHAN DAN METODA 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan dua data yaitu (1) data primer yang diperoleh saat penulis mengikuti riset pada tahun 2002, yang merupakan bagian dari

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen Dasar Laut Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal maupun secara

Lebih terperinci

EFEK UKURAN BUTIRAN, KEKASARAN, DAN KEKERASAN DASAR PERAIRAN TERHADAP NILAI HAMBUR BALIK HASIL DETEKSI HYDROAKUSTIK ABSTRACT

EFEK UKURAN BUTIRAN, KEKASARAN, DAN KEKERASAN DASAR PERAIRAN TERHADAP NILAI HAMBUR BALIK HASIL DETEKSI HYDROAKUSTIK ABSTRACT P P Staf P P Peneliti E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 1, Hal. 59-67, Juni 2010 EFEK UKURAN BUTIRAN, KEKASARAN, DAN KEKERASAN DASAR PERAIRAN TERHADAP NILAI HAMBUR BALIK HASIL DETEKSI

Lebih terperinci

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU Oleh: Arief Wijaksana C64102055 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º - 138 º BT (Gambar 2), pada bulan November 2006 di Perairan Laut Arafura, dengan kedalaman

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kajian dasar perairan dapat digunakan secara luas, dimana para ahli sumberdaya kelautan membutuhkannya sebagai kajian terhadap habitat bagi hewan bentik (Friedlander et

Lebih terperinci

Oleh : HARDHANI EKO SAPUTRO C SKRIPSI

Oleh : HARDHANI EKO SAPUTRO C SKRIPSI PENGUKURAN NILAI DAN SEBARAN TARGET STRENGTH IKAN PELAGIS DAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI (SPLIT BEAM ACOUSTIC SYSTEM) DI LAUT A MFUM PADA BULAN OKTOBER-NOPEMBER 2003 Oleh :

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Penyebaran target strength ikan Target strength (TS) sangat penting dalam pendugaan densitas ikan dengan metode hidroakustik karena untuk dapat mengetahui ukuran

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji

2. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji (1987), paparan Arafura (diberi nama oleh Krummel, 1897) ini terdiri dari tiga

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapang dilakukan pada tanggal 16-18 Mei 2008 di perairan gugusan pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 11). Lokasi ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

PEMAlUIAN DUAL FREKUENSI DALAM PENDUGAAN DISTRIBUSI IKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK (FURUNO FQ 80) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN.

PEMAlUIAN DUAL FREKUENSI DALAM PENDUGAAN DISTRIBUSI IKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK (FURUNO FQ 80) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN. as-' PEMAlUIAN DUAL FREKUENSI DALAM PENDUGAAN DISTRIBUSI IKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK (FURUNO FQ 80) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN Oleh : Natalia Trita Agnilta C64102012 PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dimulai pada tanggal 20 Januari 2011 dan menggunakan data hasil survei Balai Riset Perikanan Laut (BRPL). Survei ini dilakukan mulai

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan 4. HASIL PEMBAHASAN 4.1 Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, ditemukan 3 jenis spesies lamun yakni Enhalus acoroides, Cymodocea

Lebih terperinci

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN TERHADAP DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN TERHADAP DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN TERHADAP DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 HIDAYANTO AKBAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan STUDI TENTANG ARAH DAN KECEPATAN RENANG IKAN PELAGIS DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TEmAGI (SPLIT-BEAM ACOUSTIC SYSTEM ) DI PERAIRAN TELUK TOMINI PADA BULAN JULI-AGUSTUS 2003 Oleh : PAHMI PARHANI

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut Sedimen yang merupakan partikel lepas (unconsolidated) yang terhampar di daratan, di pesisir dan di laut itu berasal dari batuan atau material yang mengalami

Lebih terperinci

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG Pendugaan Kelimpahan dan Sebaran Ikan... Metode Akustik di Perairan Belitung (Fahmi, Z.) PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG ABSTRAK Zulkarnaen

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Lifeform Karang Secara Visual Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Berdasarkan hasil identifikasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, diperoleh data yang diuraikan pada Tabel 4. Lokasi penelitian berada

Lebih terperinci

Citra akustik Ikan Uji. Matriks Data Akustik. Hitungan Deskriptor. 15 Desk. teridentifikasi. 8 Desk. utama. Rancangan awal JSTPB JSTPB1

Citra akustik Ikan Uji. Matriks Data Akustik. Hitungan Deskriptor. 15 Desk. teridentifikasi. 8 Desk. utama. Rancangan awal JSTPB JSTPB1 3 METODOLOGI Secara garis besar metode penelitian dalam disertasi ini berkaitan dengan permasalahan identifikasi kawanan ikan secara hidroakustik yang berkaitan dengan pengukuran dan pemrosesan data hidroakustik,

Lebih terperinci

INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU

INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU Oleh: Munawir C64102020 PR AN TEKNOLOGI KELAUTAN AN DAN I Lm KELAUTAN INSTITUT PERTANLAN

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL JACKSON PADA SEDIMEN BERPASIR MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI GUGUSAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU SYAHRUL PURNAWAN

ANALISIS MODEL JACKSON PADA SEDIMEN BERPASIR MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI GUGUSAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU SYAHRUL PURNAWAN ANALISIS MODEL JACKSON PADA SEDIMEN BERPASIR MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI GUGUSAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU SYAHRUL PURNAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isu penting perikanan saat ini adalah keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungannya. Upaya pemanfaatan spesies target diarahkan untuk tetap menjaga

Lebih terperinci

3,15 Very Fine Sand 1,24 Poorlysorted -0,21 Coarse-Skewed. 4,97 Coarse Silt 1,66 Poorlysorted -1,89 Very Coarse-Skewed

3,15 Very Fine Sand 1,24 Poorlysorted -0,21 Coarse-Skewed. 4,97 Coarse Silt 1,66 Poorlysorted -1,89 Very Coarse-Skewed BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sedimen dasar permukaan Hasil analisis sedimen permukaan dari 30 stasiun diringkas dalam parameter statistika sedimen yaitu Mean Size (Mz Ø), Skewness (Sk

Lebih terperinci

STUDI ARUS DAN SEBARAN SEDIMEN DASAR DI PERAIRAN PANTAI LARANGAN KABUPATEN TEGAL

STUDI ARUS DAN SEBARAN SEDIMEN DASAR DI PERAIRAN PANTAI LARANGAN KABUPATEN TEGAL JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 277-283 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose STUDI ARUS DAN SEBARAN SEDIMEN DASAR DI PERAIRAN PANTAI LARANGAN KABUPATEN TEGAL

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 8 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 8 Peta lokasi penelitian. 30 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini menggunakan data hasil survei akustik yang dilaksanakan oleh Balai Riset Perikanan Laut (BRPL), Dirjen Perikanan Tangkap, KKP RI pada bulan Juni

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan ikan yang meningkat memiliki makna positif bagi pengembangan perikanan, terlebih bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki potensi perairan yang

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

ME FEnR OF ME LORD IS ME BECIHtlIHG Of WLEDGE : BUT FOOLS DESPISE WISDGii N(D IHSIRUCTIM1.

ME FEnR OF ME LORD IS ME BECIHtlIHG Of WLEDGE : BUT FOOLS DESPISE WISDGii N(D IHSIRUCTIM1. ME FEnR OF ME LORD IS ME BECIHtlIHG Of WLEDGE : BUT FOOLS DESPISE WISDGii N(D IHSIRUCTIM1. C PROUERBS 1 : 7 > WIWUH XIIR I(MGUfiGMP RRHRSIR MU1 MH FRMNFIIRIKnHmII UMUX KESEJIIHII31RAH UWI MMJSIII?? JAURBIIWR

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA Oleh Riza Aitiando Pasaribu C64103058 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengambilan Contoh Dasar Gambar 16 merupakan hasil dari plot bottom sampling dari beberapa titik yang dilakukan secara acak untuk mengetahui dimana posisi target yang

Lebih terperinci

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C64102057 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK 5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK Pendahuluan Sumberdaya perikanan LCS merupakan kontribusi utama yang sangat penting di tingkat lokal, regional dan internasional untuk makanan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2010 Juli 2011 yang meliputi tahapan persiapan, pengukuran data lapangan, pengolahan dan analisis

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 17 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 211, sedangkan survei data dilakukan oleh pihak Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) Departemen

Lebih terperinci

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENDEKATAN AKUSTIK DALAM STUDI TINGKAH LAKU IKAN PADA PROSES PENANGKAPAN DENGAN ALAT BANTU CAHAYA (THE ACOUSTIC APPROACH TO FISH BEHAVIOUR STUDY IN CAPTURE PROCESS WITH LIGHT ATTRACTION) MUHAMMAD SULAIMAN

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER LATHIFATURRAHMAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

Scientific Echosounders

Scientific Echosounders Scientific Echosounders Namun secara secara elektronik didesain dengan amplitudo pancaran gelombang yang stabil, perhitungan waktu yang lebih akuran dan berbagai menu dan software tambahan. Contoh scientific

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

TESIS APLIKASI FRAKTAL PADA POLA PENGELOMPOKAN DISTRIBUSI PARTIKEL UNTUK MENENTUKAN TEKSTUR TANAH

TESIS APLIKASI FRAKTAL PADA POLA PENGELOMPOKAN DISTRIBUSI PARTIKEL UNTUK MENENTUKAN TEKSTUR TANAH TESIS APLIKASI FRAKTAL PADA POLA PENGELOMPOKAN DISTRIBUSI PARTIKEL UNTUK MENENTUKAN TEKSTUR TANAH Linda Agustin Sugondho 1203.201.002 PROGRAM STUDI MAGISTER JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

Ikan Pelagis Ekonomis Penting dan Karakteristik DPI Demersal

Ikan Pelagis Ekonomis Penting dan Karakteristik DPI Demersal Ikan Pelagis Ekonomis Penting dan Karakteristik DPI Demersal Pertemuan ke 13 Oleh: Ririn Irnawati Pokok Bahasan: 1. Jenis-jenis sumberdaya perikanan pelagis dan demersal 2. Jenis-jenis ikan pelagis dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pasang Surut Pasang surut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik

Lebih terperinci

Analisis Sebaran Schooling Ikan Demersal Di Perairan Tarakan Kalimantan Utara Menggunakan Metode Hidroakustik. Oleh

Analisis Sebaran Schooling Ikan Demersal Di Perairan Tarakan Kalimantan Utara Menggunakan Metode Hidroakustik. Oleh Analisis Sebaran Schooling Ikan Demersal Di Perairan Tarakan Kalimantan Utara Menggunakan Metode Hidroakustik Oleh Susilawati 1 ) Aras Mulyadi 2 ) Mubarak 2 ) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA Oleh; Galih Kurniawan C64104033 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

MIGRASI HARIAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) SECARA VERTIKAL DENGAN PENDEKATAN AKUSTIK

MIGRASI HARIAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) SECARA VERTIKAL DENGAN PENDEKATAN AKUSTIK MIGRASI HARIAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) SECARA VERTIKAL DENGAN PENDEKATAN AKUSTIK MUHAMMAD FAHRUL RIZA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

DETEKSI DAN INTERPRETASI TARGET DI DASAR LAUT MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIDE SCAN SONAR

DETEKSI DAN INTERPRETASI TARGET DI DASAR LAUT MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIDE SCAN SONAR DETEKSI DAN INTERPRETASI TARGET DI DASAR LAUT MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIDE SCAN SONAR 1) Soetjie Poernama Sari 2) Henry M. Manik 1) Alumni Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK IPB 2) Dosen Bagian

Lebih terperinci

MANGROVE DAN KETERKAITANNYA DENGAN POPULASI GASTROPODA

MANGROVE DAN KETERKAITANNYA DENGAN POPULASI GASTROPODA ABSTRAK Musayyadah Tis in. TIPOLOGI MANGROVE DAN KETERKAITANNYA DENGAN POPULASI GASTROPODA Littorina neritoides (LINNE, 1758) DI KEPULAUAN TANAKEKE, KABUPATEN TAKALAR, SULAWESI SELATAN. Di bawah bimbingan

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pulau Bintan Timur, Kepulauan Riau dengan tiga titik stasiun pengamatan pada bulan Januari-Mei 2013. Pengolahan data dilakukan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ Oleh : Ganjar Saefurahman C64103081 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

0643 DISTRIBUSI NILAI TARGETSTRENGTH DAN DENSITAS I ON PELAGIS DENGAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI D1 LAUT TIMOR PADA BULAN DESEMBER 2003

0643 DISTRIBUSI NILAI TARGETSTRENGTH DAN DENSITAS I ON PELAGIS DENGAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI D1 LAUT TIMOR PADA BULAN DESEMBER 2003 204 0643 DISTRIBUSI NILAI TARGETSTRENGTH DAN DENSITAS I ON PELAGIS DENGAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI D1 LAUT TIMOR PADA BULAN DESEMBER 2003 PROGRAM STUD1 ILIMU KELAUTAS DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 39 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Profil Kecepatan Suara Profil kecepatan suara (SVP) di lokasi penelitian diukur secara detail untuk mengurangi pengaruh kesalahan terhadap data multibeam pada

Lebih terperinci

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT Oleh: Nurlaila Fitriah C64103051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT Oleh: Gading Putra Hasibuan C64104081 PROGRAM STUDI ILMU

Lebih terperinci

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan.

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan. 3. METODOLOGI 3.1. Rancangan penelitian Penelitian yang dilakukan berupa percobaan lapangan dan laboratorium yang dirancang sesuai tujuan penelitian, yaitu mengkaji struktur komunitas makrozoobenthos yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaring Arad Jaring arad (mini trawl) adalah jaring yang berbentuk kerucut yang tertutup ke arah ujung kantong dan melebar ke arah depan dengan adanya sayap. Bagian-bagiannya

Lebih terperinci

ABSTRACT GIYANTO. Evaluation of the Underwater Photo Transect Method for Assessing the Condition of Coral Reefs. Supervised by BUDHI HASCARYO ISKANDAR, DEDI SOEDHARMA, and SUHARSONO. The study to evaluate

Lebih terperinci

Pendahuluan. Peralatan. Sari. Abstract. Subarsyah dan M. Yusuf

Pendahuluan. Peralatan. Sari. Abstract. Subarsyah dan M. Yusuf PENGARUH FREKUENSI GELOMBANG TERHADAP RESOLUSI DAN DELINEASI PERLAPISAN SEDIMEN BAWAH PERMUKAAN DARI DUA INSTRUMEN AKUSTIK YANG BERBEDA DI SUNGAI SAGULING Subarsyah dan M. Yusuf Pusat Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Survei hidroakustik dalam bidang perikanan dilakukan dengan tujuan untuk memperkirakan stok ikan di suatu perairan. Untuk memenuhi harapan tersebut, survei-survei yang

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL, MAKROZOOBENTHOS, DAN SUBSTRAT DI PERAIRAN SELAT MALAKA

HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL, MAKROZOOBENTHOS, DAN SUBSTRAT DI PERAIRAN SELAT MALAKA HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL, MAKROZOOBENTHOS, DAN SUBSTRAT DI PERAIRAN SELAT MALAKA ADITA DWI NUGRAHENI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN UTAMA DAN SAMPINGAN PADA ALAT TANGKAP DOGOL DI GEBANG MEKAR, KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT ISTRIANA RACHMAWATI

ANALISIS HASIL TANGKAPAN UTAMA DAN SAMPINGAN PADA ALAT TANGKAP DOGOL DI GEBANG MEKAR, KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT ISTRIANA RACHMAWATI ANALISIS HASIL TANGKAPAN UTAMA DAN SAMPINGAN PADA ALAT TANGKAP DOGOL DI GEBANG MEKAR, KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT ISTRIANA RACHMAWATI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

KAITAN AKTIVITAS VULKANIK DENGAN DISTRIBUSI SEDIMEN DAN KANDUNGAN SUSPENSI DI PERAIRAN SELAT SUNDA

KAITAN AKTIVITAS VULKANIK DENGAN DISTRIBUSI SEDIMEN DAN KANDUNGAN SUSPENSI DI PERAIRAN SELAT SUNDA KAITAN AKTIVITAS VULKANIK DENGAN DISTRIBUSI SEDIMEN DAN KANDUNGAN SUSPENSI DI PERAIRAN SELAT SUNDA Oleh : Eko Minarto* 1) Heron Surbakti 2) Elizabeth Vorandra 3) Tjiong Giok Pin 4) Muzilman Musli 5) Eka

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH

ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy ABSTRACT SAFRIDA. The Impact of Migration Policy on Labor Market and Indonesian Economy (BONAR M. SINAGA as Chairman, HERMANTO SIREGAR and HARIANTO as Members of the Advisory Committee) The problem of

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) Oleh: Ince Mochammad Arief Akbar C64102063 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI 4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI Pendahuluan Ikan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor lainnya (Brond 1979).

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data akustik dilakukan pada tanggal 29 Januari sampai 3 Februari 2011 di perairan Kepulauan Seribu. Wilayah penelitian mencakup di

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS RESPONS TINGKAH LAKU IKAN PEPETEK (Secutor insidiator) TERHADAP INTENSITAS CAHAYA BERWARNA EVA UTAMI

ANALISIS RESPONS TINGKAH LAKU IKAN PEPETEK (Secutor insidiator) TERHADAP INTENSITAS CAHAYA BERWARNA EVA UTAMI ANALISIS RESPONS TINGKAH LAKU IKAN PEPETEK (Secutor insidiator) TERHADAP INTENSITAS CAHAYA BERWARNA EVA UTAMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Side Scan Sonar merupakan peralatan observasi dasar laut yang dapat

2. TINJAUAN PUSTAKA. Side Scan Sonar merupakan peralatan observasi dasar laut yang dapat 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Side Scan Sonar Side Scan Sonar merupakan peralatan observasi dasar laut yang dapat memancarkan beam pada kedua sisi bagiannya secara horizontal. Side scan sonar memancarkan pulsa

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian menunjukan bahwa sumberdaya ikan di perairan Tanjung Kerawang cukup beragam baik jenis maupun ukuran ikan yang

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci