VI. FUNGSI PERMINTAAN DAN RELASI PENAWARAN GULA. Uji akar unit dimaksudkan untuk mengetahui apakah data dari masingmasing

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VI. FUNGSI PERMINTAAN DAN RELASI PENAWARAN GULA. Uji akar unit dimaksudkan untuk mengetahui apakah data dari masingmasing"

Transkripsi

1 VI. FUNGSI PERMINTAAN DAN RELASI PENAWARAN GULA 6.1. Uji Akar Unit dan Kointegrasi Uji akar unit dimaksudkan untuk mengetahui apakah data dari masingmasing variabel penelitian bersifat stasioner. Selain itu ia juga digunakan untuk mengetahui ordo integrasi dari masing-masing variabel penelitian. Pengujian akar unit menggunakan prosedur Augmented Dickey Fuller (ADF) test persamaan (4.3) sedangkan untuk mengetahui ordo integrasinya menggunakan persamaan (4.5). Hasil pengujian disajikan pada tabel berikut. Tabel 14. Analisis Derajat Integrasi Menggunakan Augmented Dickey-Fuller Test Notasi Definisi I(0) Lag I(1) P-value Lag Variabel ekonomi Q Konsumsi gula kristal putih (ton) P Harga gula kristal putih (Rp/kg) Y GDP per kapita (Rp) Z Harga gula kristal rafinasi (Rp/kg) W Biaya pokok produksi gula (Rp/kg) Dari table tersebut terlihat bahwa semua data ekonomi gula bersifat tidak stasioner pada level dan terintegrasi pada ordo satu, I(1). Jadi penggunaan data level yang tidak stasioner tersebut untuk mengestimasi fungsi permintaan dan relasi penawaran akan memberikan hasil yang keliru karena adanya pengaruh tren seperti terlihat pada gambar 30. Namun karena data time series ekonomi gula sudah stasioner pada beda pertama (first difference) maka regresi dapat dilakukan dengan menggunakan data beda pertama tersebut. Akan tetapi penggunaan data beda yang sudah stasioner tersebut akan menghilangkan informasi jangka panjang dari hubungan antar variabel.

2 Gambar 30. Data Produksi Gula yang Stasioner dan Tidak Stasioner Tahun Tahap selanjutnya dari penentuan kekuatan pasar adalah menguji ada tidaknya kointegrasi dari variabel ekonomi yang tidak stasioner tersebut. Pengujian dilakukan menggunakan prosedur dua tahap Engle-Granger terhadap residual dari masing-masing fungsi permintaan dan penawaran secara parsial (persamaan 4.7 dan 4.8). Tahap pertama adalah mengestimasi persamaan tunggal fungsi permintaan dan relasi penawaran menggunakan metode OLS dan mendapatkan nilai masing-masing residualnya. Fugsi permintaan gula dinyatakan oleh persamaan berikut dengan menyertakan variabel interaksi antara harga dengan semua variabel shifternya : Penyertaan variabel interaksi antara harga barang bersangkutan dengan pendapatan (PY) dan dengan harga barang lain (PZ) merupakan prasyarat bagi estimasi parameter kekuatan pasar (imposibility theorm). Teorema tersebut

3 menyatakan bahwa identifikasi derajat persaingan dengan menggunakan data harga dan kuantitas pada tingkat industri tidak mungkin dilakukan jika dan hanya jika vektor variabel Z pada inverse demand function dapat dipisahkan (separable) dari harganya (lihat penjelasannya pada bagian 3.2.3). Estimasi paramter dilakukan menggunakan metode OLS dan hasil regresi disajikan pada tabel berikut: Tabel 15. Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Gula dengan Metode OLS Variable Parameter Std. Error t-statistic Prob Constant P Y Z PY -1.03E E PZ R-squared Adjusted R-squared Sementara itu persamaan relasi penawaran dinyatakan sebagai: dengan dan nilai parameter α P, α PY, dan α PZ diperoleh dari hasil estimasi fungsi permintaan sebelumnya seperti terdapat pada tabel 15. Estimasi relasi penawaran dilakukan menggunakan metode OLS dan hasil regresi disajikan pada tabel berikut. Tabel 16. Hasil Estimasi Relasi Penawaran Gula dengan Metode OLS Variable Parameter Std. Error t-statistic Prob Constant Q W Q * R-squared Adjusted R-squared

4 Estimasi menggunakan metode OLS memberikan hasil yang sesuai dengan prediksi teori ekonomi yaitu α P < 0 dan α Y, β Q, β W > 0. Untuk mengetahui adanya hubungan jangka panjang antara variabel-variabel yang menyusun fungsi permintaan dan relasi penawaran dilakukan pengujian stasioneritas terhadap residual masing-masing. Uji akar unit terhadap residual fungsi permintaan dan residual relasi penawaran dilakukan dengan menggunakan ADF persamaan (4.12). Hipotesis null dari pengujian menyatakan bahwa residual fungsi permintaan dan relasi penawaran adalah tidak stasioner. Residual fungsi permintaan dinyatakan sebagai: Hasil pengujian kointegrasi fungsi permintaan disajikan pada tabel berikut: Tabel 17. Hasil Uji Kointegrasi Fungsi Permintaan Gula t-statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level % level % level Sementara itu residual relasi penawaran dinyatakan sebagai: Hasil pengujian kointegrasi relasi penawaran disajikan pada tabel berikut: Tabel 18. Hasil Uji Kointegrasi Relasi Penawaran Gula t-statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level % level % level

5 Hasil pengujian menggunakan α = 10.% menunjukkan bahwa residual tidak mengandung akar unit yang berarti eror dari fungsi permintaan dan relasi penawaran bersifat stasioner sehingga semua variabel penyusun fungsi permintaan dan relasi penawaran terkointegrasi. Dengan demikian dapat disimpulkan terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antara variabel yang menyusun fungsi permintaan dan relasi penawaran tersebut Estimasi Fungsi Permintaan Oleh karena terdapat kointegrasi maka fungsi permintaan dan relasi penawaran tersebut dapat dinyatakan dalam mekanisme perbaikan kesalahan (error correction mechanism) untuk mendapatkan informasi mengenai hubungan keseimbangan jangka panjang sekaligus dinamika hubungan jangka pendeknya. Model oligopolistik dinamik fungsi permintaan gula kristal putih dengan demikian dinyatakan sebagai: Estimasi dilakukan dengan metode 2SLS (Two Stage Least Squares) untuk mengatasi persoalan endogenitas dengan menggunakan perangkat lunak Eviews 5. Hasil estimasi menujukkan bahwa hubungan antar variabel yang menyusun fungsi permintaan sesuai dengan yang diprediksi teori ekonomi yaitu α P < 0, α Y > 0 yang menunjukkan bahwa gula merupakan barang normal dan γ terletak antara 0 dan -1. Namun demikian hubungan antara gula kristal putih dan gula rafinasi bersifat komplementer, seperti ditunjukkan oleh α Z < 0, adalah diluar harapan mengingat keduanya memiliki fungsi yang sama sebagai pemanis makanan dan

6 minuman. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya pembedaan pasar yang tegas antara GKP dan GKR dimana GKP untuk konsumsi rumahtangga dan GKR untuk konsumsi industri sehingga tidak dimungkinkan terjadinya substitusi antar keduanya. Hasil selengkapnya dari estimasi fungsi permintaan disajikan pada tabel berikut. Tabel 19. Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Gula Model Dinamik dengan Metode 2SLS Variable Parameter Coefficient Std. Error t-statistic P-value C α P t α P Y t α Y Z t α Z PY t α PY 3.98E E PZ t α PZ Q t-1 α Q U t-1 γ R-squared (R 2 ) Adjusted R-squared Long run parameters P θ P Y θ Y Z θ Z PY θ PY PZ θ PZ Own price demand elasticity Short run η SR Long run η LR Selain itu parameter elastisitas mengindikasikan permintaan gula dalam jangka pendek bersifat inelastik (η SR = -0.33) namun dalam jangka panjang bersifat elastik (η LR = -2.45). Prosedur penghitungan elastisitas tersebut dilakukan berdasarkan persamaan (4.17). Sebagai perbandingan Pakpahan (2003) menyatakan elastisitas permintaan terhadap perubahan harga gula di negara berkembang China, India, Indonesia, Thailand, Pakistan, dan Korea bersifat inelastik yaitu masing-masing -0.29, -0.76, -0.61, -0.24, -0.15, dan dan di

7 negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, Jepang, Australia dan bekas Uni Soviet masing-masing -0.11, -0.07, -0.12, -0.81, -0.02, dan Jika dibandingkan dengan angka-angka elastisitas tersebut maka nilai elastisitas harga jangka pendek yang diperoleh melalui estimasi model permintaan oligopolistik dinamik ini cukup memadai baik dilihat dari sisi teori maupun hasil kajian empiris di negara lain untuk digunakan pada analisis selanjutnya. Sementara itu nilai parameter penyesuaian, γ, (adjustment paramter) sesuai dengan yang diharapkan yaitu terletak antara 0 dan -1. Jika γ = 0 berarti tidak terjadi perbaikan kesalahan (no error correction take place) dan jika γ = -1 berarti deviasi terhadap jalur keseimbangan jangka panjang dikoreksi seketika itu juga (instantly). Oleh karena itu hasil estimasi γ = mengindikasikan terjadinya penyesuaian sebesar 13% manakala terjadi deviasi terhadap keseimbangan permintaan jangka panjangnya. Namun demikian hasil estimasi tersebut kurang memuaskan secara statistik karena menghasilkan koefisien determinasi yang kecil (R 2 = 33.5% dan Adjusted R 2 = 10.2) dan sebagian besar parameter estimasi yang yang dihasilkan tidak signifikan pada tingkat kepercayaan yang ditetapkan (α = 20%). Tetapi karena penentuan model lebih didasarkan pada pertimbangan ekonomi dan semua parameter, terutama parameter penting elastisitas yang digunakan untuk menentukan bobot politik kelompok kepentingan bukan untuk prediksi dan simulasi, menghasilkan tanda dan besaran yang sesuai dengan prediksi teori ekonomi dan hasil empiris maka model tersebut tetap digunakan untuk analisis berikutnya. Namun sebagai perbandingan selain mengestimasi model dinamik tersebut, estimasi fungsi permintaan juga dilakukan terhadap model statiknya dengan metode 2SLS. Hasil estimasi disajikan pada tabel berikut:

8 Tabel 20. Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Gula Model Statik dengan Metode 2SLS Variable Parameter Coefficient Std. Error t-statistic Prob. Constant α P α P Y α Y Z α Z PY α PY -4.99E PZ α PZ R-squared Adjusted R-squared Hasil estimasi fungsi permintaan statik lebih memuaskan dari pertimbangan statistik karena menghasilkan R 2 relatif tinggi (lebih dari 50%) dan parameter yang signifikan pada tingkat kepercayaan yang ditetapkan namun tanda parameter utama, α P > 0 berbeda dengan yang diprediksi teori ekonomi mengenai permintaan. Oleh karena itu penggunaan model statik tidak memadai pada penelitian ini Estimasi Relasi Penawaran Jika fungsi permintaan dinamik menghasilkan prediksi elastisitas permintaan yang sesuai dengan teori ekonomi dan hasil empiris di beberapa negara berkembang dan maju, maka pada bagian ini disajikan hasil estimasi relasi penawaran gula. Model oligopolistik dinamik relasi penawaran dinyatakan sebagai: Estimasi fungsi relasi penawaran dilakukan dengan menggunakan metode 2SLS dan hasilnya disajikan pada tabel 21. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa hasil estimasi relasi penawaran sesuai dengan prediksi ekonomi yaitu tanda β Q dan β W > 0. Namun demikian nilai parameter penyesuaian lebih kecil dari -1 (ψ = -1.2) sehingga interpretasi

9 ekonominya adalah deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang penawaran, ketika biaya marjinal tidak sama dengan perceived marginal revenue, maka deviasi tersebut bukan saja dikoreksi seketika bahkan terjadi overshooting sebesar 20% menuju keseimbangan (lihat Steen and Salvanes, 1999). Selain itu hasil perhitungan parameter elastisitas menggunakan persamaan (4.18) mengindikasikan penawaran gula, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, bersifat elastik (ε SR =1.35 dan ε LR =1.64) yang berarti produsen gula sangat responsif terhadap perubahan harga baik dalam jangka pendek terlebih lagi dalam jangka panjang. Tabel 21. Hasil Estimasi Relasi Penawaran Gula Model Dinamik dengan Metode 2SLS Variable Parameter Coefficient Std. Error t-statistic P-value C β Q t β Q W t β W λ P t-1 β P t V t-1 ψ R-squared (R 2 ) Adjusted R-squared Long run parameters Q ξ Q W ξ W Q * Λ Own price supply elasticity Short run ε SR 1.35 Long run ε LR 1.64 Selain itu nilai parameter kekuatan pasar yang menjadi perhatian utama model, baik parameter jangka pendek (λ) maupun parameter jangka panjangnya (Λ), juga sesuai dengan yang diharapkan yaitu tertelak antara 0 dan -1. Jika λ = 0 berarti produsen gula domestik dalam jangka pendek bersifat kompetitif, namun jika λ = -1 maka produsen berperilaku laksana monopolis (perfect cartel) dengan mengeksploitasi kekuatan pasar yang dimiliki. Hasil estimasi menunjukkan bahwa

10 nilai λ = dan Λ= yang berarti produsen gula dalam negeri memiliki kekuatan pasar yang sangat kecil dalam mempengaruhi harga gula domestik baik dalam jangka pendek terlebih lagi dalam jangka panjang. Dengan kata lain meskipun struktur pasar gula domestik bersifat oligopolistik namun tidak cukup alasan untuk mengatakan terjadinya kartel pada industri gula yang dilakukan produsen. Kemungkinan lain dari kecilnya nilai parameter kekuatan pasar jika dikaitkan dengan tingginya konsentrasi rasio (CR4) produsen yang mencapai 63.1 persen disebabkan oleh karakteristik model oligopolistik yang digunakan pada penelitian. Seperti dikatakan Corts (1999) bahwa selain keunggulannya yang tidak memerlukan data rinci pada tingkat perusahaan, kelemahan Conduct Parameter Model (CPM) --dimana model oligopolistik Bresnahan-Lau berada di dalamnya-- adalah kecenderungan CPM untuk menghasilkan nilai parameter kekuatan pasar yang relatif kecil dibandingkan dengan nilai parameter yang dihasilkan melalui perhitungan langsung dari marjin harga dan biaya marginal (direct measurement of price-cost margin). Hal ini dapat dilihat pada penelitian Steen and Salvanes (1999) yang mengestimasi tingkat kekuatan pasar yang dimiliki produsen ikan salmon Norwegia di pasar ikan salmon Perancis dengan nilai paramater kekuatan pasar jangka pendek yang relatif kecil (λ = ) sementara pangsa pasar yang dikuasai mencapai lebih dari 70 persen. Oleh karena itu salah satu cara mengatasinya adalah dengan menggunakan normalisasi rentang mark-up dari Indeks Learner, (P-MC)/P = - λ/η, dengan η menyatakan nilai absolut dari elastisitas permintaan jangka pendek η = Setelah dilakukan normalisasi

11 maka nilai mark-up menjadi lebih besar yaitu namun tetap relatif kecil jika melihat tingginya konsentrasi pasar yang dimiliki produsen gula. Penjelasan ekonominya adalah meskipun struktur pasar gula bersifat oligopolistik dan produsen menghimpun diri ke dalam asosiasi produsen gula namun mereka tidak dapat leluasa mengendalikan harga karena perilaku harga gula domestik sangat tergantung pada perilaku harga gula dunia yang umumnya lebih murah. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya volume gula impor yang dalam 10 tahun terakhir berkisar 50 persen dari kebutuhan. Selain itu ketika harga gula domestik tinggi maka pemerintah memperbanyak kuota impor bahkan dengan menurunkan tarif impor gula sehingga peredaran gula di dalam negeri bertambah yang selanjutnya akan menurunkan harga gula di dalam negeri. Hal ini terlihat ketika pada tahun 2009 pemerintah menurunkan tarif impor gula mentah dari Rp. 550 per kilogram menjadi Rp. 150 per kilogram dan gula kristal putih dari Rp. 790 per kilogram menjadi Rp. 400 per kilogram pada saat harga gula dunia tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kompetisi antar waktu (intertemporal competitions) dengan gula impor dapat menurunkan kekuatan pasar yang dimiliki kelompok produsen seperti ditemukan Steen dan Salvanes (1999). Sebagai tambahan proses penjualan gula petani dan tabrik gula PTPN/RNI dilakukan melalui lelang yang tidak sepenuhnya dapat dikendalikan produsen. Implikasi politik dari parameter kekuatan pasar tersebut adalah rente ekonomi yang diakibatkan oleh adanya monopoly power relatif kecil. Namun demikian berdasarkan pertimbangan statistik, model relasi penawaran dinamik memberikan nilai koefisien determinasi relatif tinggi (R 2 =49,4% dan Adjusted-R 2 =37.9%) dan sebagian parameter jangka pendek yang

12 diperoleh menunjukkan besaran yang signifikan pada tingkat kepercayaan yang digunakan. Oleh karena itu model oligopolistik dinamik relasi penawaran gula sangat memadai untuk digunakan pada analisis selanjutnya. Namun seperti halnya fungsi permintaan, sebagai perbandingan dilakukan estimasi terhadap relasi penawaran statik dan hasil estimasi dengan metode 2SLS disajikan pada tabel berikut: Tabel 22. Hasil Estimasi Relasi Penawaran Gula Model Statik dengan Metode 2SLS Variable Parameter Coefficient Std. Error t-statistic Prob. Constant β Q β Q W β W Q * λ R-squared Adjusted R-squared Hasil estimasi relasi penawaran statik juga sesuai dengan prediksi teori ekonomi yaitu β Q dan β W > 0 bahkan memuaskan secara statistik karena menghasilkan R 2 =97%. Namun demikian tanda positif (+) dari parameter kekuatan pasar (λ) tidak sesuai dengan teori ekonomi. Oleh karena itu model relasi penawaran statik tidak digunakan dalam penelitian ini Ikhtisar Setelah diketahui struktur pasar gula domestik bersifat oligopoli seperti telah diidentifikasi pada Bab 5 maka pada bagian selanjutnya disajikan prosedur analisis data untuk mengestimasi fungsi permintaan dan relasi penawaran gula pada struktur oligopolistik tersebut. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan sejumlah parameter seperti kekuatan pasar serta elastisitas permintaan dan

13 penawaran gula pada kondisi pasar yang relevan untuk selanjutnya digunakan dalam estimasi kemampuan lobi berbagai kelompok kepentingan. Sebelum proses estimasi parameter, terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap stasioneritas data karena data ekonomi rentang waktu umumnya tidak stasioner. Setelah dilakukan pengujian menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF test) diketahui seluruh data ekonomi gula yang digunakan tidak stasioner namun terintegrasi pada ordo satu, I(1). Oleh karena itu untuk mengatasi persoalan data yang tidak stasioner tersebut maka digunakan mekanisme perbaikan kesalahan dengan memodifikasi fungsi permintaan dan relasi penawaran gula kedalam bentuk oligopolistik dinamik. Prosedur ini memiliki kelebihan --selain dapat mengatasi persoalan data yang tidak stasioner tersebut-- yaitu peneliti dapat mengetahui dinamika hubungan jangka pendek dari fungsi permintaan dan relasi penawaran gula sekaligus tetap mendapatkan informasi hubungan jangka panjangnya. Guna mengatasi persoalan endogenitas maka estimasi parameter dilakukan dengan metode 2SLS dan hasil estimasi menunjukkan bahwa permintaan gula dalam jangka pendek bersifat inelastik namun dalam jangka panjang bersifat elastik. Sementara itu penawaran gula bersifat elastik, baik jangka pendek terlebih dalam jangka panjang. Parameter yang dihasilkan tersebut konsisten dengan teori dan hasil empiris. Nilai parameter elastisitas ini kemudian digunakan untuk menghitung bobot politik berbagai kelompok kepentingan menggunakan bantuan Fungsi Preferensi Politik sebagai proksi terhadap efektivitas lobi. Hasil perhitungan penentuan bobot politik masing-masing kelompok secara empirik disajikan pada bab selanjutnya.

14 VII. LOBI DAN TEKANAN POLITIK DI INDUSTRI GULA Aktivitas lobi yang dilakukan produsen pada dasarnya merupakan transmisi informasi satu arah dari kelompok produsen (terutama petani tebu, buruh, karyawan dan manajemen PG) kepada pembuat kebijakan pergulaan nasional (eksekutif dan legislatif). Sementara itu, dari perspektif ekonomi politik program swasembada gula merupakan kebijakan yang berorientasi jangka pendek. Sebagai produsen kebijakan, politisi dan birokrat terpilih memiliki kepentingan jangka pendek untuk tetap bertahan diposisinya selama mungkin. Jika politisi berusaha memaksimumkan dukungan suara agar tetap terpilih sebagai anggota legislatif pusat atau pun daerah, para birokrat berusaha meningkatkan anggaran dan jaminan pendapatan (job security) agar memiliki kesempatan yang lebih besar meningkatkan karir karena promosi di birokrasi pemerintah Indonesia umumnya masih berdasarkan kemampuan menciptakan peluang memberikan penghasilan tambahan (ADB, 2004). Oleh karena itu analisis swasembada gula dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat hubungan antar variabel dengan menggunakan parameter ekonomi politik jangka pendek Aktivitas Lobi Produsen Penjelasan terhadap kebijakan pergulaan yang protektif mencerminkan tingginya potensi dan kemampuan lobi sekelompok kecil individu produsen gula dalam memperjuangkan kepentingan ekonominya dibandingkan dengan potensi dan kemampuan lobi yang rendah dari masyarakat konsumen yang besar namun bersifat heterogen serta menghadapi persoalan free riding dalam melakukan aksi kolektif. Aktivitas lobi dan tekanan politik produsen gula paling tidak memiliki tiga tujuan yaitu meningkatkan Harga Patokan Petani (HPP), mempertahankan

15 tarif dan kuota impor yang menyebabkan harga gula paritas impor tetap tinggi, dan menjaga segmentasi pasar GKP dengan GKR. Aktivitas lobi dan tekanan politik tersebut tercermin dari meningkatnya bobot politik produsen relatif terhadap konsumen seperti terlihat pada gambar berikut. Gambar 31. Perkembangan Bobot Politik Produsen dan Konsumen Gula Asumsi: α = 20 %, β= 10 %, η= -0.33, ε= Penentuan bobot politik kelompok kepentingan dilakukan dengan menggunakan persamaan (4.19), (4.20) dan (4.21) dengan memanfaatkan nilai parameter jangka pendek dari elastisitas permintaan (η = -0.33) dan elastisitas penawaran gula (ε = 1.35) yang dihasilkan dari struktur pasar yang oligopolistik. Pada kondisi pasar tanpa intervensi, bobot politik masing-masing kelompok kepentingan adalah satu. Jika nilai bobot politik sama dengan satu maka pembuat kebijakan bersikap netral terhadap kelompok tersebut. Namun hasil perhitungan menunjukkan bobot politik produsen lebih besar dari satu sementara bobot politik konsumen lebih kecil dari satu. Hal ini mengindikasikan pembuat kebijakan lebih berpihak kepada produsen dengan mengorbankan kepentingan konsumen dalam perumusan kebijakan pergulaan nasional.

16 Penjelasannya adalah individu petani dan pabrik gula memiliki produktivitas rendah karena menghasilkan gula melalui proses produksi yang tidak efisien. Akibatnya gula yang dihasilkan tidak kompetitif, namun sebagian besar petani dan pabrik gula tidak ingin meninggalkan bisnisnya dalam produksi tebu dan gula (denied easy exit). Mereka kemudian menjalin kontak dengan para pembuat kebijakan untuk mempengaruhi proses pembuatan dan implementasi kebijakan. Agar aktivitas lobi dan tekanan politik lebih efektif maka petani membentuk organisasi petani tebu seperti APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) dan BK-APTRI (Badan Koordinasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) dengan melibatkan politisi daerah dan pusat dalam struktur dan jaringan organisasinya sehingga petani tebu semakin kuat menyuarakan kepentingan ekonominya (voice). Rendahnya kinerja petani dan pabrik gula tidak lepas dari adanya ketidaksempurnaan pasar, dan dalam arti yang lebih luas ketidaksempurnaan pasar telah menimbulkan persoalan stabilisasi, alokasi, dan pendapatan petani tebu dan buruh pabrik gula. Mengapa dan bagaimana sebuah mekanisme pasar gagal dan menimbulkan persoalan-persoalan tersebut tidak dapat dilepaskan dari karakteristik penawaran gula dan juga permintaannya (lihat Malian dan Saptana, 2003; Siagian, 2004; Indraningsih dan Malian, 2006; Sriati, et al., 2008). Penawaran gula domestik ditandai oleh rendahnya kualitas dan kuantitas pasokan tebu sebagai bahan baku pembuatan gula serta rendahnya produktivitas pabrik gula dalam mengolah tebu menjadi gula (rendemen). Dengan demikian penawaran gula ditentukan oleh aktivitas yang terjadi pada tingkat usahatani tebu pada satu sisi (on-farm) dan juga

17 aktivitas pada tingkat penggilingan tebu di pabrik gula pada sisi yang lain (offfarm). Kegiatan usahatani tebu sebagian besar dikerjakan oleh petani pada lahan relatif sempit menggunakan bibit keprasan (ratoon), irigasi dan perawatan minimal, dan penggunaan pupuk rendah. Tidak intensifnya pengusahaan tanaman tebu ini untuk sebagian dikarenakan harga relatif tebu cenderung menurun dibanding harga tanaman pangan lainnya. Oleh karena itu areal tanaman tebu bukan saja semakin menyusut tetapi kualitas irigasinya pun semakin berkurang karena lahan yang subur digunakan untuk mengusahakan tanaman padi dan tembakau yang harganya relatif tinggi (lihat Lampiran 3). Akibatnya biaya sewa lahan beririgasi semakin mahal sehingga areal tanaman tebu bergeser ke lahan kering. Pergeseran ini selain menyebabkan produktivitas usahatani tebu menurun juga menyebabkan semakin jauhnya jarak antara kebun dengan lokasi pabrik gula yang semula dibangun dekat dengan persawahan teknis sehingga biaya angkut menjadi mahal dan mengakibatkan menurunnya pendapatan petani (Malian dan Saptana, 2003). Selain itu ketergantungan yang tinggi terhadap sinar matahari menyebabkan kualitas tebu yang dihasilkan sangat tergantung pada keadaan iklim. Curah hujan yang tinggi ketika tanaman berada pada fase pembentukan gula menyebabkan kualitas tebu menurun karena proses pembentukan sukrosa tidak maksimal. Hasil panen tebu ini kemudian diproses di pabrik gula milik negara yang masih menggunakan mesin lama dengan teknologi yang umumnya sudah usang sehingga rendemen yang diperoleh relatif rendah. Selain itu dalam memproses tebu menjadi gula, petani menghadapi tingginya biaya transaksi (high trasaction cost) yang mengindikasikan kompetisi pada pasar gula di tingkat on-

18 farm tidak sempurna. Penelitian Yustika (2008) menunjukkan biaya transaksi yang ditanggung petani bahkan mencapai 50 persen dari keseluruhan biaya usahatani, baik untuk petani tebu mandiri maupun petani tebu pola kemitraan. Kegagalan pasar pada sistim ekonomi kemudian dimanfaatkan oleh para produsen gula untuk meminta dilakukan intervensi pada sistim politik. Intervensi yang berupa kebijakan dicerminkan melalui keseimbangan ekonomi-politik antara penawaran kebijakan oleh birokrat dan politisi di satu pihak dengan kekuatan permintaan kebijakan dari produsen dan konsumen gula di lain pihak (Gambar 17). Dalam kerangka program swasembada maka keseimbangan yang dihasilkan tersebut bias ke produsen atau asimetrik karena didominasi oleh kekuatan permintaan intervensi oleh kelompok produsen dalam bentuk dukungan harga melalui penetapan harga patokan petani (HPP), hambatan impor (kuota dan tarif), dan segmentasi pasar gula, sementara kelompok konsumen walaupun jumlahnya besar namun secara keseluruhan menghasilkan tekanan politik rendah karena berbagai faktor. Karakteristik kedua dari industri gula Indonesia ditandai oleh tingginya risiko pasar. Hal ini mencerminkan minimnya informasi mengenai harga yang akan terjadi, nilai tukar, dan informasi agroklimat lainya. Oleh karena itu seperti sifat alami industri pertanian pada umumnya, industri gula menghadapi fluktuasi yang tidak sepenuhnya dapat dikenali karena nature dari usaha ditingkat on farm yang sangat tergantung pada iklim dan kondisi alam. Akibatnya penawaran gula berfluktuasi dari musim ke musim dan sangat tergantung pada ketepatan waktu tebang, muat, angkut, dan giling. Hal ini kemudian dipersulit dengan tidak adanya sinkronisasi yang kuat antara kegiatan di tingkat usahatani tebu dengan aktivitas

19 giling yang terjadi di pabrik gula terutama di Pulau Jawa dimana sekitar 70 persen gula diproduksi. Di Pulau Jawa pengusahaan tebu sebagai bahan baku gula dilakukan di lahan yang dikuasai oleh petani sementara pabrik gula hanya memiliki kebun tebu yang relatif sempit. Tidak adanya integrasi ini menyebabkan produktivitas hablur relatif rendah yaitu rata-rata 6 ton per hektar. Rendahnya efisiensi dan produktivitas gula termasuk gula milik petani tidak memberikan penghasilan yang mencukupi meskipun sistim bagi hasil gula antara petani dengan pabrik gula semakin menguntungkan petani dari semula 65:35 menjadi 68:32. Akibat tingginya risiko pasar tersebut maka penawaran gula domestik sangat tidak stabil. Kondisi penuh risiko ini jika disertai dengan karakteristik petani tebu yang memiliki lahan sempit dan permodalan rendah merupakan legitimasi politik yang sangat kuat untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan sehingga menghasilkan kebijakan yang berpihak ke produsen (petani termasuk pabrik gula). Oleh karena itu dari aspek produksi, ketidaksempurnaan pasar telah menciptakan kondisi ketidakamanan pangan, dan jika terjadi pada industri gula dimana petani tebu hanya memiliki lahan sempit (<0.5 ha) maka kegagalan pasar tersebut akan memberikan pendapatan yang relatif rendah tidak peduli seberapa keras petani tersebut berusaha (permanen income problem). Dihadapkan pada situasi ekonomi demikian maka petani memasuki sistim politik untuk menemukan cara lain guna meningkatkan penghasilannya dan menggunakan kesulitan ekonomi tersebut dalam berargumentasi dengan pihak lain. Dari sudut pandang teori pilihan rasional, ketika petani tebu gagal mendapatkan keuntungan pada sistim ekonomi pasar yang tidak sempurna, mereka kemudian mencari kemungkinan lain melalui political rent-seeking

20 dengan mengorganisasikan diri dalam suatu kelompok kepentingan. Namun seperti dikatakan Nedergaard (2006), organisasi hanyalah sebuah syarat perlu untuk mencapai tujuan dan itu belum cukup. Agar menjadi sebuah pilihan rasional maka manfaat marjinal memasuki organisasi harus lebih besar dari biaya marjinal yang ditimbulkannya. Biaya organisasi diperlukan untuk keperluan administrasi dan koordinasi guna melakukan aksi kolektif untuk memperkuat pengaruh politik organisasi tersebut. Dengan difasilitasi oleh birokrasi (Dinas Perkebunan, dan Dirjen Perkebunan Kementrian Pertanian) maka biaya organisasi menjadi relatif murah sehingga setiap petani dapat bergabung dalam berbagai organisasi petani tebu seperti APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), BK-APTRI (Badan Koordinasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), KPTR (koperasi petani tebu rakyat), atau PPTR (paguyuban petani tebu rakyat). Biaya yang relatif rendah ini sangat menguntungkan karena dapat memperkuat organisasi petani. Sementara itu manfaat yang didapat relatif besar dengan tingginya potensi rente ekonomi yang diterima. Dukungan untuk penguatan organisasi petani juga diberikan kalangan pabrik gula bukan semata-mata karena alasan bahwa setiap individu bebas berserikat, tetapi pabrik gula mendapatkan manfaat dari organisasi dan tekanan politik yang dilakukan asosiasi petani tebu terhadap pembuat kebijakan. Itulah sebabnya pada setiap wilayah pabrik gula terdapat banyak asosiasi baik asosiasi petani tebu ataupun serikat buruh perkebunan. Kehadiran organisasi petani dan buruh perkebunan ini pada satu sisi dapat merugikan pabrik gula terutama dalam mendapatkan posisi tawar penentuan rendemen dan bagi hasil gula petani namun secara keseluruhan pabrik gula, terutama PG milik negara, memerlukan

21 keberadaan petani tebu untuk menyelamatkan pabrik gula yang secara umum beroperasi tidak efisien tersebut dalam mendapatkan perlindungan dan subsidi dari pembuat kebijakan (kebijakan perdagangan gula yang protektif, dan modernisasi mesin dalam kerangka Program Revitalisasi Pabrik Gula). Petani, buruh dan manajemen pabrik gula kemudian membentuk semacam hubungan simbiosis mutualisme. Lobi dan tekanan politik yang dilakukan petani melalui berbagai aksi demontrasi mendapat liputan luas dari berbagai media yang membuat kebijakan politik pergulaan nasional tetap berpihak ke produsen dan pada sisi lain memberikan publikasi yang positif bagi eksistensi asosiasi petani. Namun demikian seperti halnya organisasi kelompok kepentingan lain dengan jumlah anggota banyak, para petani tebu yang tergabung sebagai anggota kelompok menghadapi persoalan free-riding ketika mereka berjuang mendapatkan pengaruh politik untuk memenuhi kepentingan bersama. Pengaruh politik memiliki karakteristik barang publik karena tidak dimungkinkan untuk membatasi manfaat yang dihasilkan oleh organisasi petani kepada mereka yang tidak memberikan kontribusi tekanan politik sekali pun. APTRI memiliki cara mengatasi persoalan free riding ini dengan memanfaatkan besarnya potensi rente ekonomi yang diperoleh untuk memberikan insentif kepada anggota yang berpartisipasi dalam memberikan tekanan politik (separate and selective insentives). Bahkan menurut Tullock (1993) kelompok kepentingan yang mendapat previlege tertentu, seperti APTRI karena tercantum eksplisit dalam SK Menperindag 527/2004, tidak memerlukan selective insentives untuk mengatasi persoalan free riding namun aksi kolektif yang dilakukan tetap dapat merubah

22 arah kebijakan menjadi lebih spesifik sesuai dengan preferensi mereka dan menjauh dari hasil median voters. Berdasarkan Database of Political Institutions (Beck, et al., 2010), pemerintahan Indonesia pasca reformasi ditandai dengan semakin membaiknya pengawasan oleh legislatif terhadap eksekutif, sehingga berdasarkan pendekatan median voter model aktivitas mencari rente secara umum akan berkurang. Namun hasil empiris untuk industri gula membuktikan sebaliknya bahwa aktivitas mencari rente semakin tinggi di tengah meningkatnya kegiatan check and balances oleh legislatif dan media. Hal ini menegaskan kebijakan pergulaan nasional tidak dapat dijelaskan melalui mekanisme electoral chanel. Meskipun dalam sistim demokrasi para politisi dan birokrat akan membuat keputusan politik sejalan dengan keinginan dan aspirasi sebagian besar masyarakatnya, namun karena biaya proteksi dan subsidi tersebut disebar ke seluruh konsumen maka manfaat yang diperoleh konsumen secara individu relatif kecil untuk menolak keputusan politik yang protektif tersebut. Sementara itu konsumen gula yang jumlahnya besar namun tidak terorganisir --sehingga akan memerlukan biaya besar untuk melakukan aksi kolektif-- berhadapan dengan kelompok kecil produsen gula (petani tebu dan pabrik gula serta berbagai asosiasinya) yang terorganisir. Oleh karena itu resistensi atau upaya penolakan terhadap kebijakan yang melindungi industri gula oleh konsumen tidak akan intensif terjadi terlebih jika kebijakan protektif tersebut dipersepsikan sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak terhadap barang impor (public finance) bukan oleh aktivitas lobi kelompok produsen.

23 Organisasi produsen gula yang relatif kuat di satu sisi dan lemahnya organisasi konsumen di sisi lain merupakan prasyarat bagi pembuatan keputusankeputusan politik yang pro proteksi dan subsidi terhadap industri gula. Namun itu belum cukup. Syarat cukupnya adalah para pembuat keputusan (politisi dan birokrat) bersedia memenuhi tuntutan dari petani dan pabrik gula untuk sebagian atau keseluruhnya. Sebagian politisi memerlukan dukungan petani tebu dan karyawan pabrik gula untuk memaksimumkan perolehan suara agar tetap duduk sebagai anggota DPRD kabupaten dan propinsi bahkan DPR pusat dan mereka tergabung dalam Panitia Kerja yang mengawasi produksi dan distribusi gula (misalnya Panja Gula Komisi VI DPR). Sementara itu kalangan birokrat terutama di Kementrian Pertanian dan Kementrian Perindustrian dalam menghasilkan kebijakan berkepentingan terhadap penambahan anggaran dan juga demi alasan job security. Jika pada tahun 2010 Kementrian Pertanian memerlukan anggaran peningkatan produksi gula sebesar Rp milyar, maka pada tahun 2011 anggaran tersebut naik 7 kali lipat menjadi Rp. 103 milyar. 1 Sementara itu anggaran di Kementrian Perindustrian untuk revitalisasi pabrik gula naik 35 persen atau Rp triliun menjadi Rp. 2.1 triliun pada tahun Permintaan proteksi dan subsidi dari kelompok produsen gula tersebut kemudian dikemas kedalam program swasembada gula oleh birokrasi pemerintah yang untuk mencapainya memerlukan dukungan anggaran besar tadi. Sementara itu penggunaan kata swasembada bukannya tanpa maksud. Pemerintah dengan jeli memanfaatkan expressive interest masyarakat. Ketika konsumen tidak memiliki insentif menolak kebijakan gula yang merugikan dirinya, swasembada yang 1 Media Indonesia.com, 29/12/2010. Anggaran Gula Naik 7 Kali Lipat di Tempo Interaktif, 20/11/2010. Anggaran untuk Revitalisasi Industri Gula Diusulkan Naik

24 mengandung makna kemandirian, kebanggaan dan nasionalisme memberikan kepuasan non instrumental bagi masyarakat meskipun harus dibayar mahal dengan tingginya harga gula. Ketiga aktor yang terdiri dari legislatif, birokrat, dan produsen gula kemudian membentuk bangunan segitiga penghasil rente. Tullock (1993) menggunakan istilah iron triangle dimana masing-masing pihak yang terdiri dari legislatif, birokrat, dan kelompok kepentingan swasta mengejar kepentingan pribadi atas biaya masyarakat konsumen yang abai (ignorance) terhadap proses pembuatan dan implementasi kebijakan Hubungan Aktivitas Lobi dengan Swasembada Setelah menemukan penjelasan terhadap existing policy pergulaan nasional, langkah berikutnya adalah membuka kotak hitam politik kebijakan gula dengan mengevaluasi hubungan antar variabel ekonomi politik. Untuk mengetahui hubungan antara aktivitas lobi dengan pencapaian swasembada dilakukan analisis regresi antara variabel bobot politik produsen, sebagai proksi terhadap aktivitas lobi dan tekanan politik produsen, dengan variabel tingkat swasembada setelah terlebih dahulu dilakukan pengujian stasioneritas data. Tabel 23. Analisis Derajat Integrasi Variabel Ekonomi Politik Notasi Definisi I(0) Lag I(1) P-value Lag WP Bobot politik produsen WG Bobot politik pemerintah SSR Tingkat swasembada gula (%) RENT Rente ekonomi (miliar rp) GDPC GDP per kapita (rp) AREA Luas areal kebun tebu (ha) Hasil pengujian menggunakan uji akar unit Augmented Dickey-Fuller (ADF) menunjukkan bahwa data ekonomi politik bersifat tidak stasioner pada level dan terintegrasi pada ordo satu, I(1), sebagaimana tersaji pada tabel 23.

25 Oleh karena data time series sudah stasioner pada beda pertama dan analisis ditujukan untuk mengetahui hubungan antar variabel dalam jangka pendek maka regresi dapat dilakukan dengan menggunakan data beda pertama sebagaimana disajikan pada persamaan berikut. Hasil estimasi menunjukkan bahwa parameter yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan yaitu tingkat swasembada menurunkan pendapatan nasional seperti ditunjukkan oleh tanda parameter a Y < 0 dan perluasan areal mempengaruhi peningkatan swasembada a A > 0. Penjelasannya adalah perluasan areal tebu menyebabkan produksi gula naik sehingga meningkatkan derajat swasembada. Namun demikian semakin banyak lahan dan sumberdaya lain yang digunakan untuk memproduksi gula telah menimbulkan biaya efisiensi seperti ditunjukkan oleh gambar 11. Hasil estimasi lengkap disajikan pada tabel berikut. Tabel 24. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Tingkat Swasembada Menggunakan Data Beda Tahun Variable Coefficient Std. Error t-statistic Prob. C WP WG AREA 1.53E E GDPC -8.64E E R-squared Adjusted R-squared Sementara itu aktivitas lobi justru berhubungan negatif dengan pencapaian swasembada sebagaimana terlihat dari nilai parameter a P < 0. Hal ini sesuai perkiraan karena aktivitas lobi dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan pribadi produsen, terutama produsen yang mendapat fasilitas IT. Gambar berikut menunjukkan bahwa pencapaian swasembada sangat ditentukan oleh perilaku permintaan terhadap gula impor bukan oleh perilaku produksi, terutama pada

26 periode pengaturan impor setelah keluarnya SK Menperindag 527/2004. Keluarnya regulasi tersebut mampu mendorong peningkatan produksi gula namun pada saat bersamaan impor gula yang dilakukan pemegang IP dan IT juga meningkat sehingga tingkat swasembada relatif tetap. Gambar 32. Perkembangan Produksi, Ekspor Neto dan Swasembada Gula Tahun Hasil yang diluar perkiraan adalah hubungan antara bobot politik pemerintah dengan pencapaian swasembada juga bertanda negatif (a G < 0). Dari penelusuran literatur tidak ditemukan interpretasi ekonomi politik yang memuaskan mengenai hal ini namun ia menunjukkan bahwa pemerintah merupakan kelompok yang menerima manfaat dari kebijakan pembatasan impor terutama berupa pajak impor dan rente yang diterima oleh pabrik gula serta IP dan IT gula BUMN. Namun demikian hasil estimasi yang diperoleh kurang memuaskan secara statistik karena menghasilkan koefisien determinasi relatif kecil (R 2 = 22.3 %) dan sebagian besar parameter yang dihasilkan hanya signifikan pada α = 20 %.

27 Sebagai perbandingan, estimasi parameter hubungan antara aktivitas lobi dengan pencapaian swasembada dilakukan dengan menggunakan data level sebagaimana dinyatakan oleh persamaan berikut. Hasil regrasi menggunakan metode OLS disajikan pada tabel berikut. Tabel 25. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Tingkat Swasembada Menggunakan Data Level Tahun Variable Coefficient Std. Error t-statistic Prob. C WP WG AREA 2.36E E GDPC -1.44E E R-squared Adjusted R-squared Hasil estimasi menunjukkan bahwa parameter yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan yaitu a Y < 0 dan a A > 0. Akan tetapi aktivitas lobi kelompok produsen berhubungan positif dengan pencapaian swasembada, hal yang tidak sesuai dengan tujuan lobi mengejar kepentingan pribadi mendapatkan rente ekonomi. Namun demikian hasil yang diperoleh ini memuaskan secara statistik karena menghasilkan koefisien determinasi relatif besar (R 2 = 73.9 %) dan sebagian parameter signifikan pada α = 5 % Hubungan Aktivitas Lobi dengan Rente Ekonomi Untuk mengkonfirmasi tujuan aktivitas lobi kelompok produsen maka dilakukan regresi antara variabel bobot politik dengan besarnya rente ekonomi berdasarkan persamaan berikut.

28 Hasil regresi dengan metode OLS disajikan pada tabel berikut yang menunjukkan bahwa aktivitas lobi berhubungan positif dengan rente ekonomi dan signifikan pada α = 5 %. Tabel 26. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Rente Ekonomi Menggunakan Data Beda Tahun Variable Coefficient Std. Error t-statistic Prob. C WP WG AREA GDPC R-squared Adjusted R-squared Sebagai perbandingan dilakukan estimasi menggunakan data level sebagaimana dinyatakan oleh persamaan berikut. Hasil regresi ditampilkan pada tabel berikut yang menunjukkan bahwa parameter yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 27. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Rente Ekonomi Menggunakan Data Level Tahun Variable Coefficient Std. Error t-statistic Prob. C WP WG AREA GDPC R-squared Adjusted R-squared Tabel tersebut menunjukkan bahwa aktivitas lobi produsen telah meningkatkan rente ekonomi baik menggunakan data beda pertama ataupun data level (b P > 0) dan signifikan secara statistik, serta parameter b Y > 0. Hal ini sejalan dengan temuan Lopez dan Pagoulatos (1994) bahwa aktivitas lobi yang dilakukan melalui kontribusi dana kampanye di Amerika (Political Action Commettees, PAC).

29 berhubungan positif dengan hilangnya surplus konsumen yang merupakan transfer bagi kelompok produsen (producers economic rent). Sementara itu luas areal tebu berpengaruh negatif terhadap rente ekonomi, (b A < 0). Hal ini mengindikasikan bahwa rente ekonomi selain dipengaruhi oleh aktivitas produksi, ia juga diciptakan melalui aktivitas impor. Ketika areal tebu meningkat maka produksi gula domestik naik, namun permintaan impor independen terhadap peningkatan produksi. Model persamaan tunggal yang digunakan pada penelitian ini memiliki keterbatasan dalam menelusuri jalur transmisi hubungan antara luas areal dengan rente ekonomi Hubungan Rente Ekonomi dengan Swasembada Untuk menguji konsistensi teori lobi dan tekanan politik seperti diuraikan sebelumnya maka dilakukan regresi antara variabel tingkat swasembada dengan rente ekonomi seperti dinyatakan oleh persamaan berikut. Sebagai perbandingan dilakukan estimasi menggunakan data level sebagaimana dinyatakan oleh persamaan berikut. Hasil regrasi menggunakan metode OLS disajikan pada tabel berikut. Tabel 28. Hasil Regresi Hubungan Rente Ekonomi dengan Swasembada Menggunakan Data Beda Tahun Variable Coefficient Std. Error t-statistic Prob. C RENT -2.52E E AREA 1.56E E GDPC 4.38E E R-squared Adjusted R-squared

30 Tabel 29. Hasil Regresi Hubungan Rente Ekonomi dengan Swasembada Menggunakan Data Level Tahun Variable Coefficient Std. Error t-statistic Prob. C RENT 1.08E E AREA 2.18E E GDPC -1.40E E R-squared Adjusted R-squared Estimasi menggunakan data beda memberikan implikasi yang konsisten dengan teori lobi yaitu terdapat hubungan negatif antara swasembada dengan besarnya rente ekonomi (c P < 0). Sementara jika menggunakan data level hasil yang diperoleh menunjukkan arah hubungan yang sebaliknya yaitu terdapat hubungan positif antara besarnya rente dengan tingkat swasembada. Oleh karena itu penggunaan data level pada analisis ini memberikan hasil yang keliru karena tidak sesuai dengan teori lobi dan perburuan rente. Berdasarkan hasil regresi tersebut dibangun hubungan segitiga antara aktivitas lobi, rente ekonomi dan tingkat swasembada seperti disajikan pada Gambar 33. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pendekatan pressure group model atau lobbying model merupakan alternatif yang memberikan penjelasan konsisten mengenai kebijakan pergulaan nasional. Aktivitas lobi oleh kelompok produsen yang menghasilkan kebijakan protektif berupa tarif dan kuota telah meningkatkan produksi melalui pengaruhnya terhadap harga output maupun biaya faktor. Namun tidak seperti pada pasar kompetitif, pada struktur pasar oligopolistik dengan market power produsen berproduksi pada perceived MR = MC yang menghasilkan output lebih kecil dibandingkan output pasar kompetitif namun produsen mendapatkan rente ekonomi karena menerima harga di atas harga paritas impor. Sementara itu importir menerima rente ekonomi sebagai

31 akibat pembatasan kuota impor karena importir membeli dengan harga dunia dan menjualnya di pasar domestik dengan harga lebih tinggi. Hal ini tidak sulit dilakukan karena importir umumnya adalah prosesor dan produsen gula yang mendapat lisensi impor melalui fasilitas importir produsen dan importir terdaftar. Akibatnya terdapat hubungan negatif antara aktivitas lobi dengan pencapaian tingkat swasembada. Konsekuaensinya adalah terdapat hubungan negatif antara tingkat swasembada dengan besarnya rente ekonomi gula. Lobi/tekanan politik produsen Rente ekonomi Tingkat swasembada Gambar 33. Hubungan Segitiga Ekonomi Politik Swasembada Gula 7.5. Ikhtisar Pada Bab 7 ini disajikan hasil penentuan bobot politik sebagai proksi terhadap aktivitas lobi dan tekanan politik berbagai kelompok kepentingan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kebijakan pergulaan nasional antara tahun bias ke arah produsen yang ditunjukkan dengan nilai bobot politik produsen lebih besar dari satu, sementara bobot politik konsumen lebih kecil dari satu. Penjelasan terhadap kebijakan yang bias ke produsen ini dilakukan dengan menggunakan teori kelompok kepentingan yang oleh Becker-Gardner dikatakan kelompok kepentingan demi mendapatkan manfaat dari suatu kebijakan melakukan lobi dan tekanan politik untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan.

32 Pada sub bab berikutnya, argumentasi mengenai efektivitas lobi dan tekanan politik kelompok produsen tersebut diuji secara empirik dengan melihat hubungan antara aktivitas lobi produsen gula dengan pencapaian swasembada dan besarnya rente ekonomi menggunakan landasan teori perburuan rente. Hasil pengujian dengan mempertimbangkan stasioneritas data konsisten dengan yang diprediksi teori yaitu terdapat hubungan negatif antara aktivitas lobi produsen dengan pencapaian swasembada namun berhubungan positif dengan besarnya rente ekonomi. Konsekuansinya adalah terdapat hubungan negatif antara pencapaian swasembada dengan besarnya rente ekonomi. Selain itu sebagai perbandingan, pengujian juga dilakukan dengan menggunakan data level yang tidak stasioner. Hasilnya adalah penggunaan data level pada penelitian ini tidak memadai karena tidak konsisten dengan teori perburuan rente.

VII. LOBI DAN TEKANAN POLITIK DI INDUSTRI GULA. Aktivitas lobi yang dilakukan produsen pada dasarnya merupakan transmisi

VII. LOBI DAN TEKANAN POLITIK DI INDUSTRI GULA. Aktivitas lobi yang dilakukan produsen pada dasarnya merupakan transmisi VII. LOBI DAN TEKANAN POLITIK DI INDUSTRI GULA Aktivitas lobi yang dilakukan produsen pada dasarnya merupakan transmisi informasi satu arah dari kelompok produsen (terutama petani tebu, buruh, karyawan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari berbagai sumber

IV. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari berbagai sumber IV. METODE PENELITIAN 4.1. Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari berbagai sumber yaitu: (1) harga produsen, harga konsumen, harga dunia, produksi, impor, jumlah cadangan

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. Penggunaan model oligopolistik dinamik untuk mengestimasi fungsi

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. Penggunaan model oligopolistik dinamik untuk mengestimasi fungsi IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Penggunaan model oligopolistik dinamik untuk mengestimasi fungsi permintaan dan relasi penawaran gula menghasilkan parameter estimasi yang konsisten dengan teori

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. luar negeri hingga pengaturan lisensi impor. Wahyuni et al. (2009) bahkan

I. PENDAHULUAN. luar negeri hingga pengaturan lisensi impor. Wahyuni et al. (2009) bahkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri dan perdagangan gula Indonesia pascakemerdekaan ditandai oleh kuatnya intervensi pemerintah mulai dari intervensi harga, distribusi, perdagangan luar negeri

Lebih terperinci

APLIKASI MODEL OLIGOPOLISTIK DINAMIK UNTUK MENGESTIMASI KEKUATAN PASAR PADA INDUSTRI GULA INDONESIA

APLIKASI MODEL OLIGOPOLISTIK DINAMIK UNTUK MENGESTIMASI KEKUATAN PASAR PADA INDUSTRI GULA INDONESIA 194 APLIKASI MODEL OLIGOPOLISTIK DINAMIK UNTUK MENGESTIMASI KEKUATAN PASAR PADA INDUSTRI GULA INDONESIA APPLICATION OF DINAMIC OLIGOPOLY MODEL ON MEASURING MARKET POWER IN INDONESIAN SUGAR INDUSTRY Anas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN 203 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Analisis terhadap faktor-faktor yang

Lebih terperinci

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 83 V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 5.1. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia Tebu merupakan tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tujuan penanaman tebu adalah untuk

Lebih terperinci

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL. ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL Peneliti: Fuat Albayumi, SIP., M.A NIDN 0024047405 UNIVERSITAS JEMBER DESEMBER 2015

Lebih terperinci

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional 83 4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula 2.1.1 Subsistem Input Subsistem input merupakan bagian awal dari rangkaian subsistem yang ada dalam sistem agribisnis. Subsistem ini menjelaskan pasokan kebutuhan

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara

KERANGKA PEMIKIRAN. transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara III. KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan di atas, menganalisis harga dan integrasi pasar spasial tidak terlepas dari kondisi permintaan, penawaran, dan berbagai kebijakan

Lebih terperinci

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula. V. EKONOMI GULA 5.1. Ekonomi Gula Dunia 5.1.1. Produksi dan Konsumsi Gula Dunia Peningkatan jumlah penduduk dunia berimplikasi pada peningkatan kebutuhan terhadap bahan pokok. Salah satunya kebutuhan pangan

Lebih terperinci

ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA

ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA I. DINAMIKA HARGA 1.1. Harga Domestik 1. Jenis gula di Indonesia dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Gula Kristal Putih (GKP) dan Gula Kristal Rafinasi (GKR). GKP adalah

Lebih terperinci

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN GULA DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN GULA DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA 101 VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN GULA DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA 6.1. Keragaan Umum Hasil Estimasi Model Model ekonometrika perdagangan gula Indonesia dalam penelitian

Lebih terperinci

VIII. RENTE EKONOMI DAN SWASEMBADA GULA. Aktivitas lobi dan tekanan politik yang dilakukan kelompok produsen

VIII. RENTE EKONOMI DAN SWASEMBADA GULA. Aktivitas lobi dan tekanan politik yang dilakukan kelompok produsen VIII. RENTE EKONOMI DAN SWASEMBADA GULA Aktivitas lobi dan tekanan politik yang dilakukan kelompok produsen dimaksudkan untuk mendapatkan rente ekonomi yang dihasilkan melalui sebuah kebijakan. Rente ekonomi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode two stage least squares (2SLS). Pada bagian ini akan dijelaskan hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode two stage least squares (2SLS). Pada bagian ini akan dijelaskan hasil VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Seperti yang telah dijelaskan pada Bab IV, model integrasi pasar beras Indonesia merupakan model linier persamaan simultan dan diestimasi dengan metode two stage least squares

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. runtut waktu (time series). Penelitian ini menggunakan data-data Produk

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. runtut waktu (time series). Penelitian ini menggunakan data-data Produk BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data runtut waktu (time series). Penelitian ini menggunakan data-data

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai potensi menjadi produsen gula dunia karena didukung agrokosistem, luas lahan serta tenaga kerja yang memadai. Di samping itu juga prospek pasar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series 40 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series sekunder. Data-data tersebut diperoleh dari berbagai sumber, antara lain dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai

Lebih terperinci

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA 66 VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA 6.1. Keragaan Umum Hasil Estimasi Model Model ekonometrika perdagangan bawang merah dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. sekunder yang akan digunakan ialah data deret waktu bulanan (time series) dari bulan

BAB III METODE PENELITIAN. sekunder yang akan digunakan ialah data deret waktu bulanan (time series) dari bulan 40 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang akan dipakai dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data sekunder yang akan digunakan ialah data deret waktu bulanan (time series)

Lebih terperinci

OPERASIONALISASI KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH DAN HARGA ATAP BERAS

OPERASIONALISASI KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH DAN HARGA ATAP BERAS OPERASIONALISASI KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH DAN HARGA ATAP BERAS A. Landasan Konseptual 1. Struktur pasar gabah domestik jauh dari sempurna. Perpaduan antara produksi padi yang fluktuatif, dan penawaran

Lebih terperinci

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor Lilis Ernawati 5209100085 Dosen Pembimbing : Erma Suryani S.T., M.T., Ph.D. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. minyak kelapa sawit Indonesia yang dipengaruhi oleh harga ekspor minyak

BAB III METODE PENELITIAN. minyak kelapa sawit Indonesia yang dipengaruhi oleh harga ekspor minyak BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa seberapa besar volume ekspor minyak kelapa sawit Indonesia yang dipengaruhi oleh harga ekspor minyak kelapa

Lebih terperinci

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara Oleh : Adi Prasongko (Dir Utama) Disampaikan : Slamet Poerwadi (Dir Produksi) Bogor, 28 Oktober 2013 1 ROAD

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini penulis melakukan pengujian mengenai Luas panen, Jumlah Penduduk dan Harga terhadap produksi padi di Kabupaten Gunungkidul periode tahun 1982-2015.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki keunggulan dalam bidang pertanian dan perkebunan. Salah satu keunggulan sebagai produsen

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Deskriptif 4.1.1 Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Produksi padi Indonesia meskipun mengalami fluktuasi namun masih menunjukkan pertumbuhan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDUSTRI GULA UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA

LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDUSTRI GULA UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDUSTRI GULA UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA Oleh: Supriyati Sri Hery Susilowati Ashari Mohamad Maulana Yonas Hangga Saputra Sri Hastuti

Lebih terperinci

f. Luas lahan panen padi (X 5 ) merupakan seluruh areal produktif atau panen tanaman padi di Indonesia dinyatakan dalam satuan ribu Ha.

f. Luas lahan panen padi (X 5 ) merupakan seluruh areal produktif atau panen tanaman padi di Indonesia dinyatakan dalam satuan ribu Ha. BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Sumber Data Penelitian Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder tahun 1980-2013 yang dikumpulkan dari berbagai sumber yaitu Badan Pusat Statistik

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. statistik. Penelitian ini mengukur pengaruh pembalikan modal, defisit neraca

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. statistik. Penelitian ini mengukur pengaruh pembalikan modal, defisit neraca BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kuantitatif, yaitu penelitian yang mengukur suatu variabel, sehingga lebih mudah dipahami secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Produksi Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan produksi tidak akan dapat dilakukan kalau tidak ada bahan yang memungkinkan dilakukannya proses

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional. Dalam penelitian ini variabel terikat (dependent variabel) yang digunakan adalah

METODE PENELITIAN. A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional. Dalam penelitian ini variabel terikat (dependent variabel) yang digunakan adalah III. METODE PENELITIAN A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian Dalam penelitian ini variabel terikat (dependent variabel) yang digunakan adalah nilai tukar rupiah, sedangkan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1)

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1) 74 Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1), 2008: 74-81 Erizal Jamal et al. ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1) Erizal Jamal, Hendiarto, dan Ening Ariningsih Pusat Analisis Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor

Lebih terperinci

III. KERANGKA TEORI. sisi produksi maupun pasar, disajikan pada Gambar 1. Dari sisi produksi,

III. KERANGKA TEORI. sisi produksi maupun pasar, disajikan pada Gambar 1. Dari sisi produksi, III. KERANGKA TEORI Pasar jagung, pakan dan daging ayam ras di Indonesia dapat dilihat dari sisi produksi maupun pasar, disajikan pada Gambar 1. Dari sisi produksi, keterkaitan ketiga pasar tersebut dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula termasuk salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal rata-rata 400 ribu ha pada periode 2007-2009, industri gula berbasis tebu

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. berbagai institusi seperti Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, World Bank,

METODE PENELITIAN. berbagai institusi seperti Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, World Bank, III. METODE PENELITIAN A.Sumber Data dan Variabel Analisis penelitian ini menggunakan data sekunder. Sumber data diperoleh dari berbagai institusi seperti Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, World Bank,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Penelitian Terdahulu Terdapat penelitian terdahulu yang memiliki kesamaan topik dan perbedaan objek dalam penelitian. Ini membantu penulis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. METODE PENELITIAN 1. Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah Perbankan Syariah di Indonesia yang mempunyai laporan keuangan yang transparan dan di publikasikan oleh

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PERDAGANGAN GULA INDONESIA DAN KESEJAHTERAAN PETANI TEBU

KEBIJAKAN PERDAGANGAN GULA INDONESIA DAN KESEJAHTERAAN PETANI TEBU KEBIJAKAN PERDAGANGAN GULA INDONESIA DAN KESEJAHTERAAN PETANI TEBU Djoko Susilo 10, Sri Yuniati 11 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember Abstrak Kebijakan perdagangan gula yang berlaku

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Obyek Penelitian Dalam penelitian ini, obyek yang diamati yaitu inflasi sebagai variabel dependen, dan variabel independen JUB, kurs, BI rate dan PDB sebagai variabel yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Tarif Bawang Merah Sejak diberlakukannya perjanjian pertanian WTO, setiap negara yang tergabung sebagai anggota WTO harus semakin membuka pasarnya. Hambatan perdagangan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pabrik gula merupakan salah satu industri yang strategis di Indonesia karena pabrik gula bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok, kebutuhan industri lainnya, dan penyedia

Lebih terperinci

III. KERANGKA TEORITIS

III. KERANGKA TEORITIS 37 III. KERANGKA TEORITIS 3.1. Fungsi Permintaan Gula Keadaan konsumsi dan permintaan suatu komoditas sangat menentukan banyaknya komoditas yang dapat digerakkan oleh sistem tata niaga dan memberikan arahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia pangan bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok dari 98 persen penduduk Indonesia (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia beras mempunyai bobot yang paling

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif merupakan pendekatan yang lebih menekankan pada

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN 18 III METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Mengetahui kointegrasi pada setiap produk adalah salah satu permasalahan yang perlu dikaji dan diteliti oleh perusahaan. Dengan melihat kointegrasi produk,

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. fungsi permintaan, persamaan simultan, elastisitas, dan surplus produsen.

III. KERANGKA PEMIKIRAN. fungsi permintaan, persamaan simultan, elastisitas, dan surplus produsen. III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Komponen utama pasar beras mencakup kegiatan produksi dan konsumsi. Penelitian ini menggunakan persamaan simultan karena memiliki lebih dari satu

Lebih terperinci

Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009

Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009 Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009 Sembilan bahan pokok (Sembako) merupakan salah satu masalah vital dalam suatu Negara. Dengan demikian stabilitasnya

Lebih terperinci

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD "P3GI" 2017

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD P3GI 2017 IMPLEMENTASI INSENTIF PERATURAN BAHAN BAKU MENTERI RAW PERINDUSTRIAN SUGAR IMPORNOMOR 10/M-IND/3/2017 UNTUK PABRIK DAN GULA KEBIJAKAN BARU DAN PEMBANGUNAN PABRIK PERLUASAN PG BARU DAN YANG PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Perdagangan Internasional Menurut Oktaviani dan Novianti (2009) perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan negara lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai komoditas khusus (special products) dalam forum perundingan Organisasi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian yang berjudul Analisis Pengaruh ProdukDomestikBruto (PDB),

III. METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian yang berjudul Analisis Pengaruh ProdukDomestikBruto (PDB), III. METODOLOGI PENELITIAN A. Definisi Operasional Variabel Dalam penelitian yang berjudul Analisis Pengaruh ProdukDomestikBruto (PDB), SukuBunga Deposito, Inflasi, dan Obligasi PemerintahTerhadap Simpanan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari III. METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam pengumpulan data atau informasi empiris guna memecahkan permasalahan dan menguji hipotesis penelitian.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA Oleh: A. Husni Malian Erna Maria Lokollo Mewa Ariani Kurnia Suci Indraningsih Andi Askin Amar K. Zakaria Juni Hestina PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI POLITIK SWASEMBADA GULA INDONESIA: KOMBINASI MODEL OLIGOPOLISTIK DINAMIK DAN FUNGSI PREFERENSI POLITIK ANAS ZAINI

ANALISIS EKONOMI POLITIK SWASEMBADA GULA INDONESIA: KOMBINASI MODEL OLIGOPOLISTIK DINAMIK DAN FUNGSI PREFERENSI POLITIK ANAS ZAINI ANALISIS EKONOMI POLITIK SWASEMBADA GULA INDONESIA: KOMBINASI MODEL OLIGOPOLISTIK DINAMIK DAN FUNGSI PREFERENSI POLITIK ANAS ZAINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HARGA. Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2. Julian Adam Ridjal, SP., MP.

KEBIJAKAN HARGA. Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2. Julian Adam Ridjal, SP., MP. KEBIJAKAN HARGA Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2 Julian Adam Ridjal, SP., MP. Disampaikan pada Kuliah Kebijakan dan Peraturan Bidang Pertanian EMPAT KOMPONEN KERANGKA

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kinerja memiliki makna yang lebih dibandingkan dengan definisi yang sering digunakan yaitu hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja adalah kemampuan kerja yang ditunjukkan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia 58 V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH 5.1. Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia Bawang merah sebagai sayuran dataran rendah telah banyak diusahakan hampir di sebagian besar wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

III. KERANGKA PENELITIAN

III. KERANGKA PENELITIAN 23 III. KERANGKA PENELITIAN 3.1 Teori Harga Harga merupakan sinyal utama yang menjadi arah bagi pengambilan keputusan produsen, konsumen dan dan pelaku pemasaran dalam pasar. Menurut Kohls & Uhl (2002),

Lebih terperinci

III.METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, karena penelitian ini

III.METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, karena penelitian ini 43 III.METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, karena penelitian ini disajikan dengan angka-angka. Hal ini sesuai dengan pendapat Arikunto (2006) yang

Lebih terperinci

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati BAB V ANALISIS KEBIJAKAN SEKTOR PERTANIAN MENUJU SWASEMBADA GULA I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati ABSTRAK Swasembada Gula Nasional

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDB, Ekspor, dan

METODE PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDB, Ekspor, dan III. METODE PENELITIAN A. Deskripsi Data Input Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDB, Ekspor, dan Foreign Direct Investment ((FDI). Deskripsi tentang satuan pengukuran, jenis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

panjang antara ukuran perusahaan (SIZE) dengan capital adequacy ratio dan loan to

panjang antara ukuran perusahaan (SIZE) dengan capital adequacy ratio dan loan to BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Uji Stasioneritas Pengujian stasioneritas data yang digunakan terhadap seluruh variabel dalam model kajian didasarkan pada Augmented Dickey Fuller test (ADF test),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas yang mempunyai posisi strategis dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2000 sampai tahun 2005 industri gula berbasis tebu merupakan

Lebih terperinci

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu PEMBAHASAN UMUM Tujuan akhir penelitian ini adalah memperbaiki tingkat produktivitas gula tebu yang diusahakan di lahan kering. Produksi gula tidak bisa lagi mengandalkan lahan sawah seperti masa-masa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian. Dalam penelitian ini penulis memilih impor beras sebagai objek melakukan riset di Indonesia pada tahun 1985-2015. Data bersumber dari Badan Pusat Statistika

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Perusahaan merupakan suatu badan hukum yang memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai salah satunya yaitu mendapatkan keuntungan. Untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Perkembangan Produk Domestik Bruto Nasional Produk domestik bruto adalah nilai pasar dari semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam suatu negara dalam kurun waktu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai komoditas khusus (special product) dalam forum perundingan Organisasi Perdagangan

Lebih terperinci

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM 7.1. Dampak Kenaikan Pendapatan Dampak kenaikan pendapatan dapat dilihat dengan melakukan simulasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Areal Tanaman Perkebunan Perkembangan luas areal perkebunan perkebunan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pengembangan luas areal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan yang mempunyai peranan strategis dalam pembangunan pertanian dan perekonomian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian Analisis Faktor-Faktor Yang

III. METODE PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian Analisis Faktor-Faktor Yang III. METODE PENELITIAN A. Deskripsi Data Variabel Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Cadangan Devisa di Indonesia Periode 2000-2014 adalah cadangan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 23 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Dasar Perdagangan Internasional Teori perdagangan internasional adalah teori yang menganalisis dasardasar terjadinya perdagangan internasional

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi gula lokal yang dihasilkan

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Dalam penelitian yang berjudul Analisis Determinan Nilai Aktiva Bersih Reksa

III. METODELOGI PENELITIAN. Dalam penelitian yang berjudul Analisis Determinan Nilai Aktiva Bersih Reksa III. METODELOGI PENELITIAN A. Definisi Operasional Variabel Dalam penelitian yang berjudul Analisis Determinan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Saham di Indonesia (Periode 2005:T1 2014:T3) variabel-variabel

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN 6.1. Hasil Pendugaan Model Ekonomi Pupuk dan Sektor Pertanian Kriteria pertama yang harus dipenuhi dalam analisis ini adalah adanya kesesuaian

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Uji Akar Unit (Unit Root Test) Kestasioneran data merupakan hal yang sangat penting dalam analisis data time series. Hal ini karena penggunaan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang telah dikumpulkan oleh pihak

III. METODE PENELITIAN. penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang telah dikumpulkan oleh pihak 46 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kuantitatif, yaitu berupa data tahunan yang berbentuk angka dan dapat diukur/dihitung. Sumber

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilaksanakan di wilayah Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 83 VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 8.1. Struktur Biaya, Penerimaan Privat dan Penerimaan Sosial Tingkat efesiensi dan kemampuan daya saing rumput laut di

Lebih terperinci

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI Pendahuluan 1. Situasi perberasan yang terjadi akhir-akhir ini (mulai Maret 2008) dicirikan dengan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Uji Stasioneritas Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji VECM, maka perlu terlebih dahulu dilakukan uji stasioneritas. Uji stationaritas yang

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Kebijakan pemberian subsidi, terutama subsidi pupuk dan benih yang selama ini ditempuh

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA 59 V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA 5.1. Perkembangan Kondisi Pergulaan Nasional 5.1.1. Produksi Gula dan Tebu Produksi gula nasional pada tahun 2000 sebesar 1 690

Lebih terperinci