VIII. RENTE EKONOMI DAN SWASEMBADA GULA. Aktivitas lobi dan tekanan politik yang dilakukan kelompok produsen

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VIII. RENTE EKONOMI DAN SWASEMBADA GULA. Aktivitas lobi dan tekanan politik yang dilakukan kelompok produsen"

Transkripsi

1 VIII. RENTE EKONOMI DAN SWASEMBADA GULA Aktivitas lobi dan tekanan politik yang dilakukan kelompok produsen dimaksudkan untuk mendapatkan rente ekonomi yang dihasilkan melalui sebuah kebijakan. Rente ekonomi didefinisikan sebagai imbalan yang diterima pemilik sumberdaya melebihi kemampuan sumberdaya tersebut menghasilkan di tempat lain (next best alternative use). Rente ekonomi, dengan demikian, merupakan penerimaan di atas opportunity cost-nya. Sementara itu perburuan rente (rent seeking) mengacu pada pemborosan sumberdaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan rente tersebut. Oleh karena itu teori perburuan rente mencakup kajian teoritis dan empiris tentang rente ekonomi: bagaimana tercipta, cara mendapatkan, mempertahankan, termasuk biaya dan manfaatnya bagi masyarakat (Tollison, 1982, 1997). Penyebab terjadinya rente cukup beragam. Ia dapat tercipta secara alamiah melalui sistem harga atau terjadi karena intervensi pemerintah dengan menciptakan pembatasan pada aktivitas ekonomi. Namun demikian konsep perburuan rente pada penelitian ini hanya mengacu pada terjadinya rente ekonomi yang diakibatkan regulasi pemerintah. Di Indonesia perilaku mencari rente semakin tumbuh subur, terutama setelah era reformasi, sejalan dengan tidak adanya rumusan yang tepat dan dapat diterima mengenai sejauh mana negara mesti berperan dalam mewujudkan kesejahteraan bagi segenap anggota masyarakatnya.

2 Pada rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Suharto hingga tahun 1997, kebijakan nasional dititikberatkan pada penciptaan stabilisasi ekonomi. Tanpa ekonomi yang stabil maka pertumbuhan yang tinggi tidak dapat terwujud. Berdasarkan pemikiran tersebut maka pemerintah pun berusaha menstabilkan harga gula melalui produksi dalam negeri. Impor dilakukan jika produksi diperkirakan tidak akan mencukupi konsumsi domestik. Rente ekonomi yang terjadi selama periode stabilisasi disebabkan oleh monopoli Bulog atas pengadaan gula impor dan produksi gula dalam negeri. Regulasi yang mendasari adalah Keputusan Presiden Nomor 42/1971 mengenai pengadaan, penyaluran dan pemasaran gula serta Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 122/Kp/III/1981 tentang tata niaga gula pasir. Oleh karena fungsi utama Bulog adalah menjaga stabilitas harga dan pasokan gula maka pemerintah memberi keleluasan pada Bulog untuk mengimpor gula dengan tarif nol persen (Wahyuni, et al., 2009). Penyaluran gula oleh Bulog dilakukan melalui tiga jalur yaitu penyalur swasta, koperasi, dan industri. Penyalur memiliki tugas dan kewajiban menjamin stabilitas harga di daerah tempat mereka terdaftar, menjaga kelancaran suplai gula pasir di daerahnya, serta menjamin kecukupan stok gula pasir setiap saat (Kurniawati, 2008). Oleh karena itu harga gula dalam negeri mendekati harga paritas impornya sehingga rente ekonomi yang terjadi relatif kecil. Disparitas harga dikarenakan adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPn) impor sebesar 10 persen, Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 2.5 persen, PPn lokal sebesar 10 persen dan cukai gula 4 persen.

3 Setelah kejatuhan rezim Suharto karena terjadi krisisi ekonomi tahun 1997 yang berlanjut dengan krisis politik, Indonesia memasuki masa transisi demokrasi yang ditandai oleh pergantian pemerintahan yang begitu cepat. Presiden B.J. Habibi yang menggantikan Suharto pada tanggal 21 Mei 1998 tidak memiliki banyak waktu dan pilihan ketika harus meliberalisasi perdagangan sesuai dengan Letter of Intent (LoI) yang telah disepakati oleh Suharto dengan Dana Moneter International (IMF). Perubahan penting berkenaan dengan pelaksanaan LoI IMF yang menghapus monopoli Bulog dalam sektor gula adalah produksi gula petani tidak lagi dibeli oleh pemerintah dengan harga yang sudah ditetapkan, tetapi petani tebu dapat menjual langsung ke pasar pada harga yang berlaku. Impor gula boleh dilakukan oleh Importir Umum (IU) dan pemerintah tidak lagi menetapkan harga provenue. Akibatnya pasar gula dalam negeri terhubung langsung dengan pasar gula dunia dengan jumlah imporitr gula mencapai 800 perusahaan. Implikasinya adalah alokasi penggunaan lahan tergantung pada harga relatif komoditi yang dihasilkan. Terlebih ketika pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 1998 menghapuskan pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang memaksa petani harus menanam tebu. Menjelang berakhirnya rezim pemerintahan Habibi, Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) Rahardi Ramelan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 364/MPP/Kep/8/1999 yang menetapkan impor gula tidak lagi dilakukan oleh importir umum tetapi oleh Importir Produsen yang terdiri dari pabrikan gula. Akibatnya harga gula domestik terus naik meskipun harga gula dunia turun dari tahun sebelumnya. Melihat hal tersebut Menperindag Yusuf Kala pada rezim Presiden Abdurrahman Wachid kembali membebaskan impor gula

4 kepada importir umum untuk menambah suplai gula domestik namun dengan mengenakan tarif ad valorem 20 persen untuk gula mentah dan 25 persen untuk gula kristal putih dan rafinasi melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Kepmenperindag) 717/MPP/Kep/12/1999 tentang pencabutan tata niaga impor gula dan beras, sekaligus mencabut Kepmenperindag 364/MPP/Kep/8/1999 tentang Tata Niaga Impor Gula. Keluarnya Kepmenperindag No. 717/1999 dimaksudkan untuk melindungi petani tebu dan industri gula domestik dari persaingan langsung dengan gula impor. Akibatnya disparitas harga terjadi dan meningkatnya rente ekonomi yang diterima petani, pabrik gula dan importir. Ketika Presiden Megawati menggantikan Abdurahman Wachid melalui proses politik damai, Menperindag Rini S. Soewandi melakukan re-regulasi impor gula dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Menperindag 643/MPP/Kep/9/2002 yang kemudian diperbarui dengan SK Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 mengenai Ketentuan Impor Gula (KIG). Ketentuan ini merupakan tindak lanjut dari Penetapan Gula Sebagai Barang dalam Pengawasan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun Pasal 3 dari SK 57/2004 tersebut menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan perdagangan gula diatur oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan. Latar belakang munculnya regulasi tersebut tidak dapat dilepaskan dari lobi dan tekanan politik yang dilakukan APTRI (Kurniawati, 2008; Stapleton, 2006). Ketentuan impor gula tidak hanya mengatur tata cara impor tetapi juga secara eksplisit membedakan segmen pasar gula yaitu GKP untuk konsumsi

5 langsung rumahtangga dan GKR untuk bahan baku industri. Adanya segmentasi menyebabkan kedua jenis gula tersebut tidak dapat saling menggantikan atau melengkapi. Akibatnya ketika salah satu jenis gula mengalami goncangan produksi maka kekurangannya tidak dapat dipenuhi oleh gula yang lainnya meskipun terdapat kelebihan stok, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian harga gula dalam negeri sangat mudah berfluktuasi namun dengan kecenderungan harga untuk meningkat karena permintaan yang tidak elastik dan produksi yang tidak efisien. Segmentasi pasar yang tidak memungkinkan terjadinya kompetisi merupakan arena politik yang kondusif bagi berbagai kelompok kepentingan mencari rente ekonomi. Petani tebu yang memiliki lahan dan modal terbatas semestinya dilindungi dari kompetisi langsung yang tidak seimbang dengan pabrik gula rafinasi besar dan padat modal. Namun jika harga gula yang tinggi tersebut dinikmati oleh kelompok petani daun, --petani yang tidak menanam tebu, pedagang dan pabrik gula yang tidak efisien maka telah terjadi penghamburan sumberdaya riil yang tidak adil bagi masyarakat. Selain itu pasal 3 ayat (2) dari SK 527/2004 menyatakan bahwa perusahaan yang ingin mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen (IP) harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan rekomendasi teknis dari Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian dalam hal impor GKM yang dipergunakan untuk bahan baku pembuatan GKP gula memanfaatkan kapasitas yang belum terpakai (iddle capacity). Untuk mendapatkan rekomendasi teknis tersebut perusahaan harus memenuhi sejumlah kelengkapan antara lain pernyataan tidak keberatan dari Asosiasi Petani Tebu

6 Rakyat di wilayah kerja perusahaan yang bersangkutan. Tanpa persetujuan dari asosiasi ini maka perusahaan tidak akan mendapat izin impor GKM. Selanjutnya pada pasal 9 dari regulasi tersebut dinyatakan bahwa perusahaan yang ingin mendapat penunjukan sebagai Importir Terdaftar (IT) gula adalah perusahaan yang perolehan tebunya paling sedikit 75% bersumber dari petani tebu atau merupakan hasil kerjasama dangan petani tebu setempat. Bukti perolehan tebu sebagaimana dimaksud didasarkan pada surat keterangan perolehan tebu dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat di wilayah kerja perusahaan yang bersangkutan. Tanpa surat keterangan dari asosiasi ini maka perusahaan tidak akan mendapat izin impor GKP. Kedua ketentuan ini juga sangat potensial bagi aktivitas memburu rente terutama oleh APTR melalui kewenangan memberi surat pernyataan tidak keberatan terhadap IP dan bukti perolehan tebu bagi pemegang IT untuk melakukan impor gula. Untuk mendapatkan surat pernyataan dan bukti perolehan tebu tentu bukan tanpa biaya. Rente ekonomi bukan hanya diterima APTR tetapi juga oleh para birokrat pada rezim yang mengeluarkan KIG (Stapleton,2006). Regulasi ini juga mengatur penunjukan investor yang memberikan dana talangan kepada petani sementara menunggu gula produksi petani dilelang (sekitar 2-3 bulan) untuk persiapan petani menanam tebu musim berikutnya. Hal tersebut diatur pada pasal 13 KIG yang menyatakan bahwa penyediaan dana talangan merupakan kewajiban pemegang IT atas lisensi impor gula yang diberikan pemerintah. Dana talangan merupakan pembayaran sementara terhadap gula petani yang nilainya sebesar harga patokan petani (HPP) dikali jumlah gula yang dihasilkan.

7 Agar dapat ikut serta dalam pemberian dana talangan investor yang berminat harus mendapat persetujuan dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat setempat dan adiministrasinya dilakukan oleh PTPN/RNI di wilayah pabrik gula tempat petani menggiling. Jika terdapat selisih antara dana talangan dengan harga lelang maka keuntungan dibagi antara petani dengan investor dengan perbandingan 60 persen untuk petani dan 40 persen untuk investor atau berdasar perjanjian yang disepakati sebelumnya. Sistim pemberian dana talangan dengan menggunakan jasa investor/mitra/pedagang telah menciptakan peluang mencari rente. Agar dapat ikut serta dalam program dana talangan maka investor yang berminat harus mendapat persetujuan dari APTR setempat. Untuk mendapatkan surat persetujuan tersebut ada biayanya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika upaya merevisi KIG oleh Menteri Perdagangan Mari E. Pangestu pada rezim pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono mendapat penolakan keras dari kelompok-kelompok yang potensial mendapat rente ekonomi besar dari regulasi tersebut. Kerumitan yang terjadi di industri gula menyebabkan peneliti membatasi analisis perburuan rente pada dua kegiatan perburuan yaitu, (1) rente yang tercipta dari proses produksi, dan (2) rente yang dihasilkan dari kegiatan impor. Ketika analisis ekonomi konvensional memperlakukan rente tersebut sebagai transfer murni yang tidak memiliki dampak terhadap perekonomian, Tullock memberikan insight dengan melihat transfer tersebut sangat potensial menjadi biaya sosial yang tidak produktif Rente dari AktivitasProduksi

8 Pada struktur pasar yang oligopolistik, produsen yang jumlahnya terbatas cenderung membuat kesepakatan tidak tertulis mengenai berbagai aspek produksi dan pemasaran guna menciptakan kekuatan pasar. Kesepakatan tersebut dibuat untuk mengurangi tingkat persaingan sesama produsen gula sehinga produsen dapat berperilaku laksana seorang monopolis dan menciptakan marjin yang besar antara harga jual dengan biaya produksi. Guna memudahkan organisasi, para produsen gula membentuk asosiasi yang terdiri dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Asosiasi Gula Indonesia (AGI), dan Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI). Namun demikian adanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mencegah produsen melakukan kolusi untuk mendapatkan kekuatan pasar. Pada gambar 1 terlihat bahwa besarnya rente ekonomi yang dihasilkan dari proses produksi ditunjukkan oleh daerah P m cap w yang diterima berbagai kelompok penghasil gula yaitu petani tebu, PG BUMN dan PG swasta. Dengan menggunakan harga paritas impor pada kondisi free trade sebagai opportunity cost sumberdaya, maka selama rezim pengaturan ini rata-rata rente ekonomi yang diterima berbagai kelompok produsen sekitar Rp. 3.8 triliun per tahun. Tabel berikut menyajikan distribusi rente ekonomi berdasarkan kategori produsen. Tabel 30. Distribusi Rente Ekonomi yang Diterima Produsen Gula Indonesia Tahun Tahun Rente Ekonomi (Milyar Rupiah) Petani PG. BUMN PG. Swasta Jumlah

9 Rata-rata Keterangan: Ditjen Perkebunan (diolah) Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa antara tahun rente ekonomi dari aktivitas produksi terbesar dinikmati oleh petani tebu (Rp. 2.1 triliun), diikuti oleh PG swasta (Rp. 1.1 triliun) dan PG BUMN (Rp. 657 miliar) per tahun. Komposisi rente ini bersifat proporsional dengan jumlah gula yang dihasilkan oleh masing-masing kategori produsen. Distribusi rente ini seakan-akan menempatkan petani sebagai penerima manfaat terbesar dari kebijakan pergulaan nasional. Namun sebagian dari rente yang diterima petani tebu tersebut dinikmati oleh pedagang perantara (makelar tebu) yang umumnya diperankan oknum pengurus APTRI yang mendapatkan akses giling walaupun tidak memiliki lahan tebu. Para makelar tebu bekerja sama dengan karyawan PG yang mengeluarkan Surat Perintah Tebang Angkut (APTA) telah berperan menciptakan tingginya biaya transaksi yang ditanggung petani sehingga menggerus rente ekonomi tersebut. Penelitian Yustika (2008) menemukan bahwa biaya transaksi yang ditanggung petani tebu mencapai 50% dari keseluruhan biaya usahatani. Tingginya biaya transaksi yang ditanggung petani tebu, terutama petani tebu mandiri, dikarenakan kesulitan mendapatkan akses giling sehingga mereka terpaksa menggunakan jasa perantara atau menjual tebu tersebut kepada oknum APTRI untuk menghindari kehilangan bobot tebu atau menurunnya rendemen jika tebu digiling lebih dari 24 jam sejak ditebang. Sementara itu bagi petani tebu kontrak, mereka mendapatkan akses giling tetapi tidak memiliki kendali terhadap perhitungan pengeluaran karena semua dilakukan oleh manajemen pabrik gula mulai dari perhitungan bunga pinjaman hingga biaya angkut dan penentuan

10 rendemen. Di akhir proses kerjasama tersebut, petani menerima bagian gula berdasarkan perhitungan biaya yang dilakukan oleh manajemen pabrik gula. Gambar 34 menunjukkan bahwa pembatasan impor gula melalui tarif dan kuota telah meningkatkan produksi gula nasional dari 1.6 juta ton pada tahun 2003 menjadi 2.8 juta ton pada tahun 2009 dengan petani sebagai kontributor terbesar produksi gula yang mencapai 54 persen, diikuti PG swasta sekitar 31 persen dan PG BUMN sekitar 15 persen. Sumber: Ditjen Perkebunan (diolah) Gambar 34. Perkembangan Produksi Gula Indonesia Tahun Selain itu terdapat kecenderungan menurunnya kontribusi PG BUMN dalam menghasilkan gula dari 23 persen pada tahun 2003 menjadi sekitar 15 persen pada tahun 2009 sementara kecenderungan sebaliknya terjadi pada PG swasta yang mengalami peningkatan dari 26 persen menjadi 31 persen. Di sisi lain meskipun secara nominal produksi gula petani mengalami peningkatan namun dilihat dari share gula yang dihasilkan cenderung tetap.

11 Dari sisi luas areal diketahui bahwa selama periode tersebut luas areal tebu juga meningkat dari 335 ribu hektar menjadi 443 ribu hektar dimana peningkatan tersebut dikarenakan bertambahnya luas areal tebu rakyat milik petani dari semula 172 ribu hektar menjadi 255 ribu hektar (Gambar 35). Sementara itu areal tebu milik PG swasta cenderung tetap sebagai akibat belum tersedianya infrastruktur dan kesulitan memperoleh lahan Hak Guna Usaha (HGU) terutama di luar Pulau Jawa. Hal ini mengindikasikan peningkatan share gula dari PG swasta lebih disebabkan oleh peningkatan produktivitas Oleh karena itu alternatif yang paling mungkin untuk lebih mempercepat peningkatan produksi adalah melalui penggunaan varietas unggul yang memiliki produktivitas tinggi (intensifikasi). Sumber: Ditjen Perkebunan (diolah) Gambar 35. Perkembangan Luas Areal Tebu Indonesia Tahun Rente dari Aktivitas Impor Evolusi kebijakan perdagangan gula dengan pemberlakuan tarif dan kuota impor memberikan peluang bagi terjadinya aktivitas perburuan rente. Hal ini

12 dikarenakan produsen gula melakukan lobi terhadap pembuat keputusan agar kebijakan tarif dan kuota tetap dipertahankan. Selain itu kebijakan pemerintah menghapuskan importir umum dan hanya memberikan izin impor gula kepada Impotir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar (IT) sejak tahun 2002 sesuai dengan SK Menperindag 643/2002 yang diperbarui dengan SK No. 527/2004 telah menciptakan peluang tambahan bagi aktivitas mencari rente karena pemegang IP dan IT umumnya adalah pemilik pabrik gula yang juga mendapatkan perlindungan dari tarif dan kuota impor. Bhagwati (1982) menggunakan konsep perburuan rente untuk kegiatan ini dengan istilah Directly Unproductive Profitseeking (DUP) activity. Berdasarkan konsep ini para pemburu rente melakukan tariff-seeking lobbying dengan tujuan mendapatkan policy transfer benefit yang walaupun menciptakan profit namun tidak menambah output ataupun jasa yang masuk dalam fungsi utilitas konvensional. Tabel berikut menyajikan distribusi rente yang diterima pemerintah dan importir antara tahun Tabel 31. Rente Ekonomi yang Diterima Importir dan Pemerintah Indonesia Tahun Tahun Rente Ekonomi (Milyar rupiah) Total Importir Pemerintah Rata-rata Sumber: diolah dari berbagai sumber Tabel tersebut menunjukkan bahwa rente ekonomi yang diakibatkan aktivitas impor sekitar Rp. 3.2 triliun per tahun yang sebagian merupakan penerimaan pajak impor sedangkan pemegang IP dan IT menerima rata-rata Rp. 1.9 triliun per tahun antara tahun Selain itu pada tahun 2007 rente ekonomi yang

13 diterima importir mencapai titik tertinggi yaitu sebesar Rp. 4.6 triliun. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut harga gula dunia mengalami penurunan namun pada saat yang sama harga gula di dalam negeri meningkat dari tahun sebelumnya seperti terlihat pada gambar 36 berikut. Sumber: diolah dari berbagai sumber Gambar 36. Perkembangan Harga Gula di Indonesia Tahun Selain itu pada saat yang sama volume impor mencapai angka tertinggi yang mencapai 2.6 juta ton. Rente ekonomi kemudian menurun pada tahun 2008 karena sebab yang sebaliknya yaitu harga gula domestik menurun sementara harga gula dunia meningkat dan volume impor turun menjadi 1.5 juta ton (Gambar 37). Sumber: FAO (diolah) Gambar 37. Perkembangan Impor Gula Indonesia Tahun

14 Selanjutnya pada tahun 2009 pemerintah menurunkan besaran tarif dari Rp. 790 menjadi Rp. 400 per kilogram yang menyebabkan penerimaan pajak pemerintah menurun sementara rente ekonomi importir meningkat. Gambar berikut menyajikan volume impor gula Indonesia antara tahun Berkembangnya industri yang menggunakan gula sebagai bahan baku menyebabkan impor gula rafinasi cenderung meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 2007 ketika Indonesia tercatat sebagai negara importir gula rafinasi terbesar di dunia. Namun sejalan dengan bertambahnya jumlah pabrik gula rafinasi dan efektifnya aktivitas lobi dari AGRI maka sejak tahun 2008 pemerintah hanya mengizinkan impor gula untuk kebutuhan industri dalam bentuk gula mentah untuk dimurnikan menjadi gula rafinasi guna menciptakan nilai tambah yang lebih besar di dalam negeri Distribusi Rente Ekonomi Dengan memperhitungkan peran BUMN (PTPN IX, X, XI, PT RNI, BULOG, dan PPI) dalam importasi gula sekitar 10 % maka tabel berikut menunjukkan negara/pemerintah merupakan penerima rente ekonomi terbesar dari regulasi yang mengatur pergulaan nasional (32.7%), diikuti oleh petani tebu (30.71%), importir produsen ( 20.48%) dan PG swasta (16.11%). Namun demikian penelitian Yustika (2008) mengindikasikan bahwa sebagian rente yang diterima petani tebu (50%) hilang dalam bentuk biaya transaksi sehingga berdasarkan temuan tersebut distribusi rente yang diterima petani menjadi 15.4 persen.

15 Tabel 32. Distribusi Rente Ekonomi Gula yang Diterima Berbagai Kelompok Kepentingan di Indonesia dan Dead Weight Loss Tahun Tahun Total Rent (milyar rupiah) Distribusi rente ekonomi (%) Negara 1) Petani 2) PG Swasta Importir 3) DWL (Milyar Rupiah) Rata-rata Sumber: diolah dari berbagai sumber Keterangan: 1) Penjumlahan rente PG BUMN dan penerimaan pajak impor 2) Setengahnya hilang dalam bentuk biaya transaksi 3) Termasuk impor yang dilakukan BUMN (IT gula) sekitar 10 % dari volume Tabel tersebut menunjukkan bahwa negara/pemerintahlah yang paling berkepentingan terhadap kebijakan pergulaan yang protektif tersebut karena ia merupakan penerima rente terbesar (30.44% % = 32.7%), sementara petani tebu yang harus dilindungi ternyata merupakan kelompok yang menerima rente ekonomi gula paling sedikit (15.4%) karena tingginya biaya transaksi. Selain mengakibatkan terjadinya transfer surplus dari konsumen ke importir dan pemerintah, kebijakan tarif dan kuota impor menyebabkan terjadinya kemakmuran yang hilang (welfare loss). Dari tabel tersebut terlihat bahwa kehilangan kemakmuran pasca keluarnya SK Menperindag 643/2002 nilainya rata-rata mencapai 129 milyar rupiah per tahun Biaya Sosial Perburuan Rente Penggunaan segitiga Harberger banyak dikritik karena menghasilkan biaya sosial perburuan rente relatif kecil namun menggunakan metodologi Tullock menghasilkan biaya yang relatif tinggi. Pada penelitian ini segitiga Harberger

16 digunakan sebagai batas bawah dan kehilangan surplus konsumen seperti digunakan Tullock sebagai batas atas biaya sosial perburuan rente seperti dilakukan Lopez dan Pagoulatos (1994). Hasil perhitungan disajikan pada tabel berikut. Tabel 33. Biaya Sosial Perburuan Rente di Industri Gula Indonesia Tahun Tahun Nilai Konsumsi Gula 1) Biaya sosial rent seeking thp nilai konsumsi (%) (ribu rupiah) Batas atas 2) Batas bawah 3) Rata-rata Sumber: diolah dari berbagai sumber Keterangan: 1) Luas segi empat P m xq 2 0; 2) Rasio trapisium P m xzp w terhadap segi empat P m xq 2 0; 3) Rasio segitiga xbz terhadap segi empat P m xq 2 0. Tabel tersebut memperlihatkan biaya sosial perburuan rente di industri gula Indonesia jika menggunakan Harberger deadweight loss (segitiga xbz pada gambar 1) adalah relatif kecil (Rp. 129 miliar per tahun), jika dibandingkan dengan nilai konsumsi gula nilainya sekitar 0.64 persen. Sementara itu jika menggunakan metodologi Tullock maka biaya sosial rent seeking tersebut mencapai persen dari rata-rata nilai konsumsi gula yang mencapai Rp triliun per tahun. Sebagai perbandingan, penelitian Lopez and Pagoulatos (1994) menemukan besarnya biaya sosial perburuan rente di industri gula Amerika (sugar confectionary) antara 3.4 persen hingga 20 persen dari nilai konsumsi sementara untuk gula rafinasi angkanya lebih besar lagi yaitu antara persen (Harberger) hingga persen (Tullock/Posner). Informasi mengenai aktivitas perburuan rente di industri gula tidak tersedia karena sebagian dari kegiatan tersebut adalah ilegal. Namun dari berbagai sumber

17 diperoleh informasi bahwa aktivitas perburuan rente di industri gula Indonesia dapat berupa penyuapan, 3 kontribusi dana kampanye, 4 korupsi, 5 penyelundupan, 6 pasar gelap, 7 mempekerjakan keluarga pejabat (regulator) atau bahkan pejabat tersebut jika pensiun, layanan liburan dan trasportasinya, keanggotaan pada kelompok hobi (golf) atau asosiasi pengusaha, makan malam/siang mewah dan berbagai aktivitas perburuan rente bersifat in-kind dan indirect yang sulit dikuantifikasi. Biaya sosial dari perilaku mencari rente tersebut lebih besar dari manfaat transfer yang diterima produsen, importir dan pemerintah karena adanya kemakmuran yang hilang. Tullock (1993) menyatakan perilaku mencari rente menimbulkan negatif sum game pada situasi pasar politik yang tidak sempurna. Tingginya rente ekonomi berkorelasi negatif dengan pencapaian tingkat swasembada dan ini konsisten dengan hubungan negatif aktivitas lobi dengan pencapaian swasembada. Implikasinya adalah program swasembada telah menyebabkan tingginya biaya sosial yang ditanggung masyarakat. Ketika kotak hitam perburuan rente telah dibuka, kesulitan tetap menghadang setiap upaya perbaikan. Alasannya adalah para pemburu rente akan mengerahkan segenap daya dengan melakukan tekanan politik dan lobi untuk mengamankan rente ekonomi yang telah dinikmati (rent protection). Pengeluaran untuk mempertahankan rente ini analog dengan kegiatan mendapatkan rente itu 3 Stapleton, T Kompas.com, 12/5/2009. Kasus PT RNI: Megawati Disebut Terima Rp. 500 Juta. 5 Kabarbisnis.com, 6/2/2010. AMATI Laporkan Direksi 4 Perusahaan Perkebunan Negara ke Kejati Jatim , 5/2/2010. APTRI: Kasus Dana Talangan Untuk Belokkan Kasus Bongkar Ratun , 9/2/2010. PTPN XI Siap Diaudit Terkait Isu Korupsi Dana Talangan. Kontan Online, 26/5/2009. Kasus Korupsi Penjualan Gula Putih: Ranendra akui talangi duit RNI. 6 Tempointeraktif.com. 25/04/2005. TNI AL Membongkar Penyelundupan 15 Ribu Ton Gula. Kompas.com, 24/02/2009. Polisi Sita 90 Ton Gula Ilegal. 7 Suara Merdeka, 24/05/2010. Industri Disinyalir Edarkan Gula Rafinasi.

18 sendiri karena mereka one-for-one dalam arti biaya sosial yang ditimbulkan (Tollison, 1997). Tekanan politik tersebut bukan sekedar untuk menghambat reformasi pergulaan itu sendiri tetapi sekaligus mengalahkan rasionalitas pandangan utilitarian yang mendasari deregulasi industri gula. Para pemburu rente secara intensif melakukan tekanan politik untuk menunjukkan bahwa deregulasi industri gula secara sosial bukan saja tidak bermanfaat, bahkan dapat memperburuk keadaan. Hal ini terlihat dari banyaknya aksi demontrasi dan lobi untuk menolak revisi terhadap SK Menperindag No. 527/ Prospek dan Implikasi Swasembada Berdasarkan data historis produksi dan perdagangan gula tahun , swasembada gula Indonesia mencapai tingkat tertinggi 118 persen pada tahun Namun pasca terjadinya pergolakan politik tahun 1965 produksi dan swasembada gula kemudian menurun. Presiden Suharto kemudian mengeluarkan Inpres No. 9/1975 tentang Tebu Rakyat Intesifikasi (TRI) yang menyebabkan produksi gula meningkat dengan laju 7 persen per tahun sementara impor neto hanya naik dengan laju 2 persen per tahun antara tahun Hasilnya Indonesia kembali mencapai swasembada gula 100 persen pada tahun Setelah itu tingkat swasembada terus menurun dan pada tahun 2009 tingkat swasembada hanya mencapai 49.2 persen karena produksi gula 2.5 juta ton sementara impor neto mencapai 2.6 juta ton. 8 Tempo Interaktif, 24/4/2008. Asosiasi Gula Minta Pasar Gula Rafinasi dan Tebu Dibedakan , 13/12/2009. Revisi Tata Niaga Gula Diminta Ditinjau Ulang , 21/12/2010. Tolak Gula Rafinasi, APTR Protes Gubernur Jatim

19 Sumber: FAO (diolah) Gambar 38. Perkembangan Swasembada Gula Indonesia Tahun Melihat kecenderungan tersebut Presiden Yudhoyono dalam periode 5 tahun kedua pemerintahannya bertekad mewujudkan kembali swasembada gula tahun 2014 sebagaimana tercantum dalam Road Map Swasembada Gula Nasional tahun Bagi pemerintah, swasembada merupakan syarat perlu bagi terwujudnya ketahanan dan kemandirian pangan (Azahari, 2008). Kementrian Pertanian kemudian menargetkan produksi gula tahun 2014 sebanyak 5.7 juta ton untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi rumahtangga sebesar 3 juta ton dan 2.7 juta ton untuk kebutuhan industri. Hal ini berarti produksi gula harus dinaikkan rata-rata 23 persen per tahun yang berasal dari penambahan luas areal tebu 16 persen dan peningkatan produktivitas on-farm serta perbaikan efisiensi pabrik gula masing-masing 2 persen per tahun. Demi mencapai target tersebut pemerintah melaksanakan Program Revitalisasi Industri Gula yang meliputi revitalisasi sektor on-farm melalui perluasan areal dan peningkatan produktivitas melalui Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Tebu, serta revitalisasi

20 sektor off-farm meliputi rehabilitasi, peningkatan kapasitas giling, amalgamasi, peningkatan efisiensi pabrik, dan peningkatan kualitas gula. Tabel berikut menyajikan sasaran produksi gula menuju swasembada tahun Tabel 34. Sasaran Produksi untuk Mencapai Swasembada Gula Indonesia Tahun 2014 Uraian Areal (ha) Produksi tebu (ton) Produktivitas (ton/ha) Rendemen (%) , Produksi hablur (ton) Produktivitas hablur (ton/ha) , Sumber: Kementrian Pertanian (2010) Untuk menggiling tebu dari perluasan areal maka pemerintah menggunakan tiga skenario pembangunan pabrik gula yaitu: (1) 10 unit pabrik gula baru masingmasing berkapasitas 15 ribu TCD; (2) 15 unit dengan kapasitas masing-masing 10 ribu TCD; atau (3) 25 unit dengan kapasitas masing-masing 6 ribu TCD. Perluasan dan pembangunan pabrik gula baru tersebut dilakukan di luar Pulau Jawa. Dari sisi ekonomi-teknis, upaya peningkatan produksi gula dengan laju ratarata 23 persen per tahun merupakan pekerjaan besar dan penuh tantangan, sementara dari sisi ekonomi politik ia merupakan sebuah target yang sangat tidak realistis bukan saja karena tingginya aktivitas perburuan rente yang mengakibatkan swasembada menjadi mahal tapi juga implikasi yang ditimbulkannya. Dengan kata lain, target kembar industri gula yang ingin dicapai pemerintah (twin target) yaitu swasembada gula pada satu sisi dan menyediakannya dengan harga murah bagi masyarakat pada sisi lain merupakan sasaran yang tidak realistis.

21 Pertama, aktivitas lobi dan tekanan politik terjadi di Pulau Jawa khususnya di Jawa Timur dimana lebih dari 60 persen gula diproduksi. Perluasan areal dan pembangunan pabrik gula baru yang efisien di Luar Jawa tanpa diikuti peningkatan efisiensi produksi di Jawa menyebabkan swasembada berbiaya tinggi. Hal ini dikarenakan penentuan Biaya Pokok Produksi (BPP) sebagai dasar penetapan HPP gula dilakukan dengan mengacu pada efisiensi usahatani tebu milik petani dan pabrik gula PTPN/RNI di Jawa yang umumnya tidak efisien. Ketika BPP tinggi maka pemerintah menetapkan HPP antara 10 sampai 15 persen lebih tinggi dari BPP tersebut. Akibat selanjutnya harga gula di tingkat produsen dan konsumen pun semakin tinggi. Jika harga gula di tingkat produsen (Rp.6974/kg) dan harga paritas impor (Rp. 4963/kg) diasumsikan tetap selama rentang 5 tahun menuju swasembada tahun 2014 maka biaya sosial yang harus ditanggung masyarakat untuk mencapai swasembada gula 5.7 juta ton mencapai 44 triliun atau rata-rata 8.8 triliun rupiah per tahun. Kedua, manajemen PTPN/PT. RNI, seperti juga produsen kebijakan pada umumnya, lebih mengutamakan perspektif berpikir jangka pendek. Akibatnya revitalisasi pabrik gula di Jawa berjalan sangat lambat terutama pabrik gula dibawah manajemen PTPN/RNI pemegang IT. Hal ini dikarenakan pabrik gula pemegang IT tidak memiliki insentif melakukan revitalisasi yang berorientasi jangka panjang karena rente ekonomi terbesar diperoleh dari fasilitas impor yang sifatnya jangka pendek. Upaya restrukturisasi, rekayasa ulang dan revitalisasi untuk meningkatkan efisiensi ini telah disepakati sejak tahun 1998 yang berarti lebih dari 20 tahun, namun perkembangannya sangat lambat. 9 Sementara itu upaya 9 Kompas.com. 20/8/2010. Pergulaan: Mewujudkan Ambisi Swasembada Gula.

22 perbaikan melalui Kerja Sama Operasi (KSO), amalgamasi, penutupan pabrik gula yang tidak efisien mendapat penolakan dari petani, APTRI, buruh pabrik, manajemen internal pabrik gula, bahkan pemerintah daerah. Lebih dari itu rekomendasi Tim Khusus Pengkajian Kebijakan Komprehensif Agribisnis Gula Nasional yang dibentuk oleh Menteri Pertanian berdasarkan Surat Tugas 134/Kp.440/A/VI/2003 untuk menyehatkan dan menyelamatkan industri gula nasional tidak mendapat dukungan dari pemangku kepentingan lain di industri gula termasuk dari kementrian lain (Sawit, et al., 2004). Hal ini menunjukkan para pemburu rente terus menghalangi setiap upaya perbaikan dan peningkatan efisiensi di industri gula nasional terutama di PG milik negara. Oleh karena itu hal yang sangat penting dilakukan terlebih dahulu sebelum mencanangkan swasembada adalah membuat keputusan politik mengenai penanganan inefisiensi produksi gula di Pulau Jawa yang tidak hanya memiliki dimensi ekonomi politik tinggi tetapi juga memiliki dimensi sosial dan budaya. Ketiga, inefisiensi produksi gula di Jawa menyebabkan ketidakadilan antar wilayah terutama bagi daerah yang tidak memiliki kebun tebu dan pabrik gula karena masyarakatnya harus membeli gula dengan harga mahal dibanding dengan impor langsung dari pasar dunia. Lebih jauh lagi, Sawit (2010) mengatakan persoalan gula sebenarnya adalah persoalan Pulau Jawa karena mayoritas rumahtangga petani tebu (91.4%) dan PG BUMN (85.7%) yang tidak efisien tersebut berada di Pulau Jawa. Dengan demikian swasembada memiliki implikasi pemberian subsidi dari konsumen di daerah bukan penghasil gula, yang tidak lebih makmur, kepada produsen gula di Pulau Jawa yang tidak efisien dan pabrik gula swasta yang justru relatif efisien.

23 Keempat, persoalan untuk mencapai swasembada gula yang efisien tersebut semakin rumit dengan kehadiran PG rafinasi, industri makanan dan minuman besar serta farmasi yang juga dominan berada di Pulau Jawa. Tingginya desakan pemerintah untuk mendorong industri gula rafinasi menggunakan bahan baku yang berasal dari tebu di dalam negeri dalam rangka mewujudkan swasembada gula, menyebabkan semakin besar tuntutan terhadap lahan yang ketersediaannya semakin terbatas di Pulau Jawa. Sementara itu sebagian besar PG rafinasi dibangun dekat dengan pelabuhan, seperti Banten, Serang, dan Cilacap. Hal tersebut dikarenakan sejak awal strategi pembangunan industri gula refinasi tidak direncanakan untuk terkait dengan sektor pertanian terutama perkebunan tebu dalam negeri tapi justru untuk memudahkan pasokan bahan baku gula mentah yang berasal dari impor (Sawit, 2010). Oleh karena itu adalah tidak realistis untuk mewujudkan swasembada ketika industri gula dalam negeri tidak saling terkait. Di satu sisi PG berbasis tebu umumnya menghasilkan GKP melalui proses sulfitasi dengan ICUMSA IU sementara PG rafinasi menggunakan bahan baku gula mentah impor dengan ICUMSA IU. Dari segi biaya produksi, semakin kecil ICUMSA maka biaya untuk menghasilkan gula tersebut semakin mahal. Jika dalam rangka mewujudkan swasembada, PG rafinasi harus menggunakan KGP sebagai bahan baku industrinya maka biaya produksi GKR semakin mahal, namun mengolah langsung tebu menjadi GKR agar diperoleh gula dengan harga lebih murah dihadapkan pada ketersediaan lahan yang tidak memadai karena PG rafinasi umumnya berada di Jawa dimana ketersediaan lahannya sangat terbatas. Dengan demikian program swasembada gula dari aspek ekonomi adalah tidak efisien jika masih bertumpu pada produksi di Pulau Jawa.

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. Penggunaan model oligopolistik dinamik untuk mengestimasi fungsi

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. Penggunaan model oligopolistik dinamik untuk mengestimasi fungsi IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Penggunaan model oligopolistik dinamik untuk mengestimasi fungsi permintaan dan relasi penawaran gula menghasilkan parameter estimasi yang konsisten dengan teori

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. luar negeri hingga pengaturan lisensi impor. Wahyuni et al. (2009) bahkan

I. PENDAHULUAN. luar negeri hingga pengaturan lisensi impor. Wahyuni et al. (2009) bahkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri dan perdagangan gula Indonesia pascakemerdekaan ditandai oleh kuatnya intervensi pemerintah mulai dari intervensi harga, distribusi, perdagangan luar negeri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA 59 V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA 5.1. Perkembangan Kondisi Pergulaan Nasional 5.1.1. Produksi Gula dan Tebu Produksi gula nasional pada tahun 2000 sebesar 1 690

Lebih terperinci

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL. ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL Peneliti: Fuat Albayumi, SIP., M.A NIDN 0024047405 UNIVERSITAS JEMBER DESEMBER 2015

Lebih terperinci

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 83 V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 5.1. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia Tebu merupakan tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tujuan penanaman tebu adalah untuk

Lebih terperinci

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD "P3GI" 2017

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD P3GI 2017 IMPLEMENTASI INSENTIF PERATURAN BAHAN BAKU MENTERI RAW PERINDUSTRIAN SUGAR IMPORNOMOR 10/M-IND/3/2017 UNTUK PABRIK DAN GULA KEBIJAKAN BARU DAN PEMBANGUNAN PABRIK PERLUASAN PG BARU DAN YANG PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PERDAGANGAN GULA INDONESIA DAN KESEJAHTERAAN PETANI TEBU

KEBIJAKAN PERDAGANGAN GULA INDONESIA DAN KESEJAHTERAAN PETANI TEBU KEBIJAKAN PERDAGANGAN GULA INDONESIA DAN KESEJAHTERAAN PETANI TEBU Djoko Susilo 10, Sri Yuniati 11 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember Abstrak Kebijakan perdagangan gula yang berlaku

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN 203 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Analisis terhadap faktor-faktor yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai potensi menjadi produsen gula dunia karena didukung agrokosistem, luas lahan serta tenaga kerja yang memadai. Di samping itu juga prospek pasar

Lebih terperinci

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional 83 4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA

V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA 5.1 Industri Pergulaan Indonesia Menurut KPPU (2010) bahwa gula terdiri dari beberapa jenis, dilihat dari keputihannya melalui standar ICUMSA (International

Lebih terperinci

ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA

ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA I. DINAMIKA HARGA 1.1. Harga Domestik 1. Jenis gula di Indonesia dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Gula Kristal Putih (GKP) dan Gula Kristal Rafinasi (GKR). GKP adalah

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA

V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA 5.1. Sejarah Perkembangan Kedelai Indonesia Sejarah masuknya kacang kedelai ke Indonesia tidak diketahui dengan pasti namun kemungkinan besar dibawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perekonomian negara-negara di dunia saat ini terkait satu sama lain melalui perdagangan barang dan jasa, transfer keuangan dan investasi antar negara (Krugman dan Obstfeld,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pabrik gula merupakan salah satu industri yang strategis di Indonesia karena pabrik gula bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok, kebutuhan industri lainnya, dan penyedia

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. NOMOR : 643/MPP/Kep/9/2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. NOMOR : 643/MPP/Kep/9/2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 643/MPP/Kep/9/2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan pasokan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah beras. Gula menjadi begitu penting bagi masyarakat yakni sebagai sumber kalori. Pada umumnya gula digunakan

Lebih terperinci

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara Oleh : Adi Prasongko (Dir Utama) Disampaikan : Slamet Poerwadi (Dir Produksi) Bogor, 28 Oktober 2013 1 ROAD

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDUSTRI GULA UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA

LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDUSTRI GULA UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDUSTRI GULA UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA Oleh: Supriyati Sri Hery Susilowati Ashari Mohamad Maulana Yonas Hangga Saputra Sri Hastuti

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : 527/MPP/Kep/9/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR GULA

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : 527/MPP/Kep/9/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR GULA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 527/MPP/Kep/9/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR GULA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat:

Lebih terperinci

VII. LOBI DAN TEKANAN POLITIK DI INDUSTRI GULA. Aktivitas lobi yang dilakukan produsen pada dasarnya merupakan transmisi

VII. LOBI DAN TEKANAN POLITIK DI INDUSTRI GULA. Aktivitas lobi yang dilakukan produsen pada dasarnya merupakan transmisi VII. LOBI DAN TEKANAN POLITIK DI INDUSTRI GULA Aktivitas lobi yang dilakukan produsen pada dasarnya merupakan transmisi informasi satu arah dari kelompok produsen (terutama petani tebu, buruh, karyawan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan sektor utama perekonomian dari sebagian besar negara-negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Tinjauan Pustaka Bahan baku proses pabrik gula adalah tanaman yang banyak mengandung gula. Kandungan gula dalam tanaman ini berasal dari hasil proses asimilasi yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula 2.1.1 Subsistem Input Subsistem input merupakan bagian awal dari rangkaian subsistem yang ada dalam sistem agribisnis. Subsistem ini menjelaskan pasokan kebutuhan

Lebih terperinci

Menuju Kembali Masa Kejayaan Industri Gula Indonesia Oleh : Azmil Chusnaini

Menuju Kembali Masa Kejayaan Industri Gula Indonesia Oleh : Azmil Chusnaini Tema: Menjamin Masa Depan Swasembada Pangan dan Energi Melalui Revitalisasi Industri Gula Menuju Kembali Masa Kejayaan Industri Gula Indonesia Oleh : Azmil Chusnaini Indonesia pernah mengalami era kejayaan

Lebih terperinci

Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009

Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009 Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009 Sembilan bahan pokok (Sembako) merupakan salah satu masalah vital dalam suatu Negara. Dengan demikian stabilitasnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula

PENDAHULUAN. unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula PENDAHULUAN Latar Belakang Gula pasir merupakan suatu komoditi strategis yang memiliki kedudukan unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula pasir merupakan salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas yang mempunyai posisi strategis dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2000 sampai tahun 2005 industri gula berbasis tebu merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan komoditi penting bagi masyarakat Indonesia bahkan bagi masyarakat dunia. Manfaat gula sebagai sumber kalori bagi masyarakat selain dari beras, jagung

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA Oleh: A. Husni Malian Erna Maria Lokollo Mewa Ariani Kurnia Suci Indraningsih Andi Askin Amar K. Zakaria Juni Hestina PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu PEMBAHASAN UMUM Tujuan akhir penelitian ini adalah memperbaiki tingkat produktivitas gula tebu yang diusahakan di lahan kering. Produksi gula tidak bisa lagi mengandalkan lahan sawah seperti masa-masa

Lebih terperinci

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula. V. EKONOMI GULA 5.1. Ekonomi Gula Dunia 5.1.1. Produksi dan Konsumsi Gula Dunia Peningkatan jumlah penduduk dunia berimplikasi pada peningkatan kebutuhan terhadap bahan pokok. Salah satunya kebutuhan pangan

Lebih terperinci

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati BAB V ANALISIS KEBIJAKAN SEKTOR PERTANIAN MENUJU SWASEMBADA GULA I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati ABSTRAK Swasembada Gula Nasional

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kinerja memiliki makna yang lebih dibandingkan dengan definisi yang sering digunakan yaitu hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja adalah kemampuan kerja yang ditunjukkan

Lebih terperinci

PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS GULA

PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS GULA PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS GULA Disampaikan oleh: Direktur Jenderal Perkebunan pada Acara Semiloka Gula Nasional 2013 Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Mewujudkan Ketahanan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai komoditas khusus (special product) dalam forum perundingan Organisasi Perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tebu, tembakau, karet, kelapa sawit, perkebunan buah-buahan dan sebagainya. merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan gula.

BAB I PENDAHULUAN. tebu, tembakau, karet, kelapa sawit, perkebunan buah-buahan dan sebagainya. merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan gula. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan perekonomian Indonesia dibangun dari berbagai sektor, salah satu sektor tersebut adalah sektor perkebunan. Berbagai jenis perkebunan yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman perkebunan merupakan salah satu tanaman yang prospektif untuk dikembangkan di Indonesia. Letak geografis dengan iklim tropis dan memiliki luas wilayah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Beras merupakan makanan pokok utama penduduk Indonesia

Lebih terperinci

CUPLIKAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 643/MPP/Kep/9/2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA.

CUPLIKAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 643/MPP/Kep/9/2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA. CUPLIKAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 643/MPP/Kep/9/2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan: 1. Gula Kristal Mentah/Gula

Lebih terperinci

KEBIJAKAN GULA UNTUK KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KEBIJAKAN GULA UNTUK KETAHANAN PANGAN NASIONAL KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN KEBIJAKAN GULA UNTUK KETAHANAN PANGAN NASIONAL KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN 28 Oktober 2013 1. KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL 2 Ketersediaan

Lebih terperinci

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL Direktur Jenderal Perkebunan disampaikan pada Rapat Kerja Revitalisasi Industri yang Didukung oleh Reformasi Birokrasi 18

Lebih terperinci

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Kebijakan 1 Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir ini yaitu : (1) stok beras berkurang;

Lebih terperinci

(Dipublikasikan pada harian Kompas tanggal 2 Juli 2004 halaman 15)

(Dipublikasikan pada harian Kompas tanggal 2 Juli 2004 halaman 15) (Dipublikasikan pada harian Kompas tanggal 2 Juli 2004 halaman 15) Dalam mahzab ekonomi neo-klasik, larangan atau pembatasan impor, serta berbagai hambatan perdagangan lainnya adalah barang tabu. Langkah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor Lilis Ernawati 5209100085 Dosen Pembimbing : Erma Suryani S.T., M.T., Ph.D. Latar Belakang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2011), dapat dilihat bahwa kontribusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula termasuk salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal rata-rata 400 ribu ha pada periode 2007-2009, industri gula berbasis tebu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi gula lokal yang dihasilkan

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI BERSAING GULA RAFINASI (Studi pada PT. Jawamanis Rafinasi, Cilegon, Banten) OLEH SITI FAJAR ISNAWATI H

ANALISIS STRATEGI BERSAING GULA RAFINASI (Studi pada PT. Jawamanis Rafinasi, Cilegon, Banten) OLEH SITI FAJAR ISNAWATI H ANALISIS STRATEGI BERSAING GULA RAFINASI (Studi pada PT. Jawamanis Rafinasi, Cilegon, Banten) OLEH SITI FAJAR ISNAWATI H34066114 PROGRAM SARJANA PENYELENGGARAAN KHUSUS AGRIBISNIS DEPARTEMEN AGRIBISNIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pembangunan perekonomian nasional seperti dalam hal penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN I. PENDAHULUAN 1. Salah satu target utama dalam Rencana Strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian yang terjadi di Indonesia sekarang ini

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian yang terjadi di Indonesia sekarang ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tingkat perekonomian yang terjadi di Indonesia sekarang ini perkembangannya sangat fluktuatif. Hal ini disebabkan oleh tingkat perekonomian yang terjadi tergantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan komoditas yang tidak bisa dilepaskan dari kebijakan ekonomi suatu negara, karena pangan merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi kehidupan manusia.

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Dinamika Ekonomi Pabrik Gula Sumberharjo Pemalang pada Tahun

BAB V KESIMPULAN. Dinamika Ekonomi Pabrik Gula Sumberharjo Pemalang pada Tahun BAB V KESIMPULAN Penelitian dan studi pustaka telah dilakukan untuk mendeskripsikan Dinamika Ekonomi Pabrik Gula Sumberharjo Pemalang pada Tahun 1985-2005. Adapun yang menjadi bagian dari penelitian ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang

Lebih terperinci

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN Emlan Fauzi Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 220

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. impor gula. Kehadiran gula impor ditengah pangsa pasar domestik mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. impor gula. Kehadiran gula impor ditengah pangsa pasar domestik mengakibatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada saat ini produksi gula pasir dalam negeri semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi sehingga kekurangan yang ada harus ditutupi oleh impor gula.

Lebih terperinci

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS.

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS. EVALUASI KEBIJAKAN BONGKAR RATOON DAN KERAGAAN PABRIK GULA DI JAWA TIMUR TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS Diajukan

Lebih terperinci

KAJIAN KEMUNGKINAN KEMBALI KE KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH, KENAIKAN HARGA GABAH DAN TARIF TAHUN 2007

KAJIAN KEMUNGKINAN KEMBALI KE KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH, KENAIKAN HARGA GABAH DAN TARIF TAHUN 2007 KAJIAN KEMUNGKINAN KEMBALI KE KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH, KENAIKAN HARGA GABAH DAN TARIF TAHUN 2007 Ringkasan Kemungkinan kembali Ke Kebijakan Harga Dasar Gabah (HGD) 1. Kebijakan Kebijakan Harga Pembelian

Lebih terperinci

ROADMAP INDUSTRI GULA

ROADMAP INDUSTRI GULA ROADMAP INDUSTRI GULA DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO DAN KIMIA DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN JAKARTA, 2009 I. PENDAHULUAN 1.1. Ruang Lingkup Industri Gula Indonesia potensial menjadi produsen gula dunia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/M DAG/PER/5/2008 TENTANG PERUBAHAN KELIMA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 527/MPP/Kep/9/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi menjadi produsen gula dunia karena dukungan agroekosistem, luas lahan, dan tenaga kerja. Disamping itu prospek pasar gula di Indonesia cukup

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF, SUBSIDI DAN KUOTA TERHADAP IMPOR GULA DI INDONESIA.

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF, SUBSIDI DAN KUOTA TERHADAP IMPOR GULA DI INDONESIA. 2004 Safrida Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor Desember 2004 Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng, M F (Penanggung Jawab) Prof. Dr. Ir. Zahrial

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Analisis Berlian Porter Dayasaing diidentikkan dengan produktivitas atau tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok dari 98 persen penduduk Indonesia (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia beras mempunyai bobot yang paling

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN INDONESIA

PEREKONOMIAN INDONESIA PEREKONOMIAN INDONESIA Modul ke: Cecep Winata FEB Fakultas Program Studi Manajemen www.mercubuana.ac.id SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA Periode Reformasi Masa Orde Baru Orde Reformasi -Sejarah Perekonomian

Lebih terperinci

JIIA, VOLUME 2, No. 1, JANUARI 2014

JIIA, VOLUME 2, No. 1, JANUARI 2014 ANALISIS POSISI DAN TINGKAT KETERGANTUNGAN IMPOR GULA KRISTAL PUTIH DAN GULA KRISTAL RAFINASI INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL (Analysis of the Position and Level of Dependency on Imported White Sugar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan berbagai dampak yang serius. Dampak yang timbul akibat krisis ekonomi di Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Produksi Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan produksi tidak akan dapat dilakukan kalau tidak ada bahan yang memungkinkan dilakukannya proses

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia. beras. Perkembangan dari hal-hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

II. TINJAUAN PUSTAKA Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia. beras. Perkembangan dari hal-hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia Kondisi permintaan dan penawaran beras di Indonesia dapat diidentifikasi berdasarkan perkembangan yang berkaitan dengan produksi, konsumsi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Beras bagi bangsa Indonesia dan negara-negara di Asia bukan hanya sekedar komoditas pangan atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Saat ini perekonomian domestik tidak bisa berdiri sendiri melainkan dipengaruhi juga oleh kondisi ekonomi global. Pengalaman telah menunjukkan bahwa pada triwulan III tahun

Lebih terperinci

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA BAB I PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena berkah kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber

Lebih terperinci

MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA

MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA Fokus MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS Guru Besar Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis, Program Pascasarjana IPB Staf

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan penting pada perekonomian nasional. Untuk mengimbangi semakin pesatnya laju pertumbuhan

Lebih terperinci

EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005

EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005 EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005 1. Konstruksi Kebijakan Menimbulkan Dualisme Pasar dan Rawan Terhadap Penyimpangan Subsidi pupuk pertama kali diberikan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki keunggulan dalam bidang pertanian dan perkebunan. Salah satu keunggulan sebagai produsen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan sumber daya alam dalam bidang pertanian merupakan keunggulan yang dimiliki Indonesia dan perlu dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Pertanian merupakan aset

Lebih terperinci

Kebijakan Proteksi Impor yang Salah Sasaran Luqmannul Hakim

Kebijakan Proteksi Impor yang Salah Sasaran Luqmannul Hakim Kebijakan Proteksi Impor yang Salah Sasaran Luqmannul Hakim Dapatkah manusia bertahan hidup tanpa pangan? Rasanya mustahil. Pangan selalu menjadi kebutuhan hidup dasar yang harus dipenuhi oleh setiap orang

Lebih terperinci

2017, No sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Pe

2017, No sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Pe BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.428, 2017 KEMENDAG. Pasar Lelang Komoditas. Perdagangan Gula Kristal Rafinasi PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/M-DAG/PER/3/2017 TENTANG PERDAGANGAN

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini berisi hasil kesimpulan penelitian secara keseluruhan yang dilakukan dengan cara study literatur yang data-datanya diperoleh dari buku, jurnal, arsip, maupun artikel

Lebih terperinci

KETIKA HARGA BERAS TURUN, PUJIAN PUN TAK KUNJUNG DATANG Kamis, 27 September 2007

KETIKA HARGA BERAS TURUN, PUJIAN PUN TAK KUNJUNG DATANG Kamis, 27 September 2007 KETIKA HARGA BERAS TURUN, PUJIAN PUN TAK KUNJUNG DATANG Kamis, 27 September 2007 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sehari sebelum kunjungan ke New York menyempatkan meninjau Pasar Kramat Jati, Jakarta

Lebih terperinci

2015, No Perdagangan Antarpulau Gula Kristal Rafinasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran

2015, No Perdagangan Antarpulau Gula Kristal Rafinasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran No.1520, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Gula Kristal Rafinasi. Perdagangan. Antarpulau. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74/M-DAG/PER/9/2015 TENTANG PERDAGANGAN ANTARPULAU

Lebih terperinci

ROADMAP INDUSTRI GULA

ROADMAP INDUSTRI GULA ROADMAP INDUSTRI GULA DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO DAN KIMIA DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN JAKARTA, 2009 I. PENDAHULUAN 1.1. Ruang Lingkup Industri Gula Indonesia potensial menjadi produsen gula dunia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia pangan bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah

I. PENDAHULUAN. pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sampai kurun waktu 1976 Indonesia masih termasuk salah satu negara pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah kurun waktu tersebut,

Lebih terperinci