HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kandungan Brazilin

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kandungan Brazilin"

Transkripsi

1 36 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kandungan Brazilin Identifikasi tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) di Sulawesi Selatan, dilakukan pada beberapa daerah yang berada pada dataran rendah dan dataran tinggi, yaitu Desa Ko Mara, Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar yang mewakili daerah dataran rendah. Desa Pencong, Kecamatan Biringbulu, Kabupaten Gowa, serta Desa Lonjo boko, Kecamatan Malino, Kabupaten Gowa yang mewakili daerah dataran tinggi. Tanaman secang yang ditemukan pada daerah tersebut seluruhnya tumbuh liar. Identifikasi juga dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah (BALITTRO) Cimanggu, Bogor. Tanaman secang yang terdapat di BALITTRO adalah hasil pembudidayaan dari polong tanaman secang. Namun, tanaman secang tersebut hanya merupakan tanaman koleksi dengan umur tanaman kurang lebih 7 tahun. Sedangkan untuk keperluan penelitian dalam lingkup BALITTRO menggunakan tanaman secang yang juga tumbuh liar pada beberapa daerah di Jawa Barat. Tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) yang ditemui pada beberapa daerah tersebut, menunjukkan keragaman dari segi habitat (lokasi tumbuh), umur tanaman, maupun pemanfaatannya oleh masyarakat sekitar. Beberapa masyarakat menggunakan bagian kayu tanaman secang sebagai pagar rumah, pembatas kebun, maupun sebagai campuran pada air minum yang mereka konsumsi setiap hari. Tanaman secang merupakan tanaman yang tumbuh bercabang-cabang dalam satu rumpun. Masyarakat memanen bagian batang dari tanaman secang yang berukuran cukup besar karena memiliki bagian inti kayu yang berwarna merah lebih optimal. Pemanenan dilakukan menggunakan parang. Pemanenan pada salah satu bagian batang tanaman secang tidak mematikan keseluruhan tanaman. Kayu secang yang diperoleh dihilangkan durinya terlebih dahulu, kemudian kulit luar dan kambiumnya hingga diperoleh bagian inti kayu secang. Sortasi basah, pencucian dan penirisan, serta perajangan dilakukan ketika kayu secang hasil panen tersebut akan digunakan sebagai bahan campuran air minum.

2 37 Pada penelitian tahap satu, dipilih dua daerah yang dianggap mewakili perbedaan habitat tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) yaitu Desa Ko Mara dan Desa Lonjo boko. Perbedaan habitat yang dimaksudkan yaitu tanaman secang pada Desa Ko Mara ditemukan tumbuh pada daerah hutan jati yang kering dan suhu cukup panas. Tanaman secang pada daerah tersebut oleh masyarakat sekitar diperkirakan berumur puluhan tahun. Bagian inti kayu secang yang diperoleh pun memiliki proporsi yang tidak terlalu besar (± 50%) dan menghasilkan banyak sampah pasca panen (sampah kulit dan kambium). Sedangkan tanaman secang pada Desa Lonjo boko ditemukan tumbuh pada sekitar daerah aliran sungai yang kondisinya lembab dan bersuhu dingin. Warna inti kayu secangnya pun lebih merah dibandingkan di Desa Ko Mara. Proporsi inti kayunya cukup besar (± 75%) untuk keseluruhan batang yang dipanen dengan sedikit sampah pasca panen. Tanaman secang pada daerah tersebut diperkirakan berumur kurang lebih 7 tahun. Perbedaan kayu secang pada kedua daerah tersebut dapat dilihat pada Gambar 11. Perbedaan besarnya proporsi inti kayu secang yang diperoleh pada dua lokasi pengambilan sampel disebabkan oleh perbedaan agroekologi dan ketersediaan unsur hara. Tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) pada daerah dataran tinggi (Desa Lonjo boko) mendapatkan suplai makanan yang lebih baik karena tumbuh di daerah aliran sungai sehingga bagian inti kayunya pun lebih optimal. Berbeda pada tanaman secang yang tumbuh di Desa Ko mara yang pertumbuhannya tidak disuplai dengan ketersediaan air yang cukup. Penelitian Sugiarso (1998) tentang pengaruh lingkungan terhadap produksi simplisia asal tapak liman (Elephantopus scaber L.) pada tiga daerah di Pulau Jawa menunjukkan bahwa hasil simplisia tertinggi (78,95gram/tanaman) atau 2,526kg/Ha diperoleh pada perlakuan penanaman pada 700 m dpl di daerah Gedangan pada musim kemarau, dengan pemeliharaannya yang baik dan air pengairan yang cukup.

3 38 (a) Gambar 11 Perbedaan warna inti kayu secang pada: (a) Desa Ko Mara Kabupaten Takalar dan (b) Desa Lonjo boko Kabupaten Gowa (b) Setelah penentuan lokasi pengambilan kayu secang, selanjutnya dilakukan identifikasi bentuk potongan yang digunakan oleh masyarakat. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa untuk diperdagangkan di pasar tradisional, kayu secang umumnya dalam bentuk gelondongan dengan panjang ± 5 cm maupun setengah gelondongan. Sedangkan sebagai bahan tambahan untuk air minum digunakan dalam bentuk stick dengan panjang ± 5 cm. Kayu secang yang umumnya diperdagangkan di Pulau Jawa berbentuk serutan, dan hal tersebut juga menjadi salah satu dasar penentuan bentuk potongan yang akan digunakan untuk tahapan selanjutnya. Berbagai bentuk potongan tersebut yang kemudian dianalisis untuk mengetahui bentuk potongan seperti apa yang memiliki kandungan brazilin optimum. Tiga bentuk potongan yang dianalisis kandungan brazilinnya dari masing-masing daerah pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 12. (a) (b) (c) Gambar 12 Bentuk potongan kayu secang yang digunakan untuk analisis kandungan brazilin optimum: (a) gelondongan, (b) serutan, dan (c) stick

4 39 Hasil analisa kandungan brazilin pada berbagai bentuk potongan kayu secang dari dua daerah pengambilan sampel berada pada kisaran 7,90-79,87mg/g (berdasarkan basis kering ekstrak) (Gambar 13). Kadar brazilin tertinggi terdapat pada perlakuan bentuk potongan stick untuk daerah dataran tinggi (79,87mg/g), sedangkan kadar brazilin terendah pada perlakuan bentuk potongan serutan untuk daerah dataran rendah (7,90mg/g). Kadar brazilin (mg/g) ,28 79,88 52,53 28,07 66,26 Dataran Tinggi Dataran Rendah 20 7, Gelondongan Stick Serutan Gambar 13 Hasil uji kadar brazilin kayu secang (mg/g) berdasarkan pengaruh jenis dataran dan bentuk potongan Pada penelitian ini sampel kayu secang yang digunakan memberikan nilai kadar brazilin yang lebih bervariasi. Pada daerah dataran tinggi, kisaran nilai rata-rata kadar brazilin dari sampel kayu secang yaitu 66,26-79,88mg/g dengan perincian 66,26mg/g pada bentuk potongan serutan, 78,28mg/g pada potongan gelondongan, dan 79,88 mg/g pada bentuk potongan stick. Pada daerah dataran rendah, kisaran nilai rata-rata kadar brazilin dari sampel kayu secang yaitu 7,90-28,07mg/g dengan perincian 7,90mg/g pada bentuk potongan serutan, 28,07mg/g pada bentuk potongan gelondongan, dan 52,53mg/g pada bentuk potongan stick. Hasil penelitian pada tahap analisis kandungan brazilin ini memperkaya hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Batubara et al. (2010) yang tidak memberikan rincian secara spesifik khususnya mengenai lokasi pertumbuhan tanaman secang yang diambil sebagai sampel analisis. Penelitian tersebut telah berhasil mengekstraksi kayu secang yang diambil dari berbagai

5 40 lokasi di Pulau Jawa (Karanganyar, Semarang, Yogyakarta, Cianjur, dan Bogor) dengan kombinasi pelarut etanol antara 5,71-9,94% (berdasarkan basis kering). Kadar brazilin yang dihasilkan untuk seluruh daerah pengambilan sampel tersebut berada pada kisaran 5,81-24,85mg/g. Konsentrasi ekstrak dan kadar brazilin tertinggi ditemukan di daerah Semarang. Variasi tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan tempat tumbuh kayu secang. Rendahnya kadar brazilin pada bentuk potongan serutan diduga disebabkan besarnya luas permukaan bahan yang kontak dengan udara, sehingga memudahkan brazilin teroksidasi. Penyerutan kayu secang yang dilakukan langsung di lokasi pemanenan, dapat memicu percepatan kehilangan senyawa brazilin. Sedangkan dengan jenis potongan stick dan gelondongan, luas permukaan bahan yang akan teroksidasi lebih sedikit, sehingga kandungan brazilinnya pun cukup tinggi. Kadar brazilin yang lebih kecil pada jenis potongan gelondongan dibandingkan dengan potongan stick diduga juga disebabkan karena waktu pemotongan gelondongan, dilakukan terlebih dahulu. Hal ini akan menyebabkan total senyawa brazilin yang teroksidasi kemungkinan akan jauh lebih besar. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1985) menyatakan bahwa senyawa aktif terbentuk secara maksimal di dalam bagian tanaman pada umur tertentu. Di samping waktu panen yang dikaitkan dengan umur, perlu diperhatikan pula saat panen dalam sehari. Dengan demikian untuk menentukan waktu panen dalam sehari perlu dipertimbangkan stabilitas kimiawi dan fisik senyawa aktif dalam simplisia terhadap panas sinar matahari. Tabel 5 Hasil analisis sidik ragam pengaruh jenis dataran dan potongan terhadap kadar brazilin kayu secang Sumber keragaman Jumlah kuadrat db Kuadrat tengah F hitung Model 60749,838 a , ,376 Dataran 9235, , ,772** Potongan 2553, ,784 22,226* Error 804, ,446 Total 61554, Keterangan : db = derajat bebas * = berpengaruh sangat nyata ** = tidak berpengaruh sangat nyata

6 41 Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 5 menunjukkan bahwa variabel jenis dataran tidak berpengaruh nyata untuk kadar brazilin kayu secang. Sedangkan untuk variabel jenis potongan, menunjukkan hasil yang berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% terhadap kadar brazilin. Nilai Adjusted R-squared sebesar 0,983 (98,3%) menunjukkan data-data aktual pengaruh hasil uji brazilin mencakup dalam model sebesar 98,3%. Hasil ini kemudian dilanjutkan kepada taraf uji lanjut menggunakan metode Duncan. Pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa pengaruh potongan terbaik untuk kadar brazilin diperoleh pada potongan stick. Dataran tinggi dengan potongan stick dipilih sebagai model perlakuan yang akan diterapkan untuk rancangan perlakuan proses pengeringan dengan Design Expert 8.0. Dataran tinggi dipilih untuk mewakili daerah pengambilan sampel karena memiliki nilai mean terbesar dibandingkan dataran rendah, walaupun hasil analisis sidik ragamnya menunjukkan nilai yang tidak signifikan. Optimasi Proses Pengeringan Rancangan Perlakuan Proses Pengeringan dan Respon Piranti lunak Design Expert 8.0 sebagai alat utama pada penelitian ini digunakan untuk memperoleh kombinasi optimal dari proporsi relatif masing-masing variabel pengeringan yang digunakan (suhu, kecepatan aliran udara, dan RH) terhadap keseluruhan perlakuan proses pengeringan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Response Surface Methods dengan metode Box-Benhken. Penggunaan Box-Benhken bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan kombinasi komponen dalam memperoleh respon tertentu hingga didapatkan suatu rancangan perlakuan proses pengeringan yang optimal. Design Expert 8.0 merupakan piranti lunak (software) yang menyediakan rancangan percobaan (design of experiment) untuk melakukan optimasi terhadap rancangan produk dan proses (Anonim, 2006). Penetapan faktor-faktor pengeringan beserta kisarannya didasarkan pada hasil studi beberapa literatur yang berkaitan dengan proses pengeringan simplisia. Sembiring (2007) mengatakan bahwa pada umumnya suhu pengeringan adalah antara C dan hasil yang baik dari proses pengeringan adalah simplisia yang mengandung kadar air 10%. Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama proses

7 42 pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan bahan. Faktor-faktor tersebut harus diperhatikan sehingga diperoleh simplisia kering yang tidak mudah mengalami kerusakan selama penyimpanan. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30 o C sampai 90 o C, tetapi suhu yang terbaik adalah tidak melebihi 60 o C (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985). Chrysanty (2009) melakukan penelitian mengenai karateristik pengeringan lapisan tipis dan mutu simplisia temu putih dengan menggunakan alat pengering berakuisisi. Penelitian tersebut menggunakan kisaran kelembaban relatif (RH) yaitu 20-60%. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kombinasi RH yang sesuai untuk pengeringan simplisia temu putih adalah RH 20-40% pada kecepatan aliran udara yang tinggi (0,78-0,95m/s). Pengujian Kadar Air Kadar air suatu bahan merupakan total keseluruhan kadar air yang ada di dalam bahan pangan seperti air bebas, air terikat secara fisik dan kimiawi. Air dalam bahan pangan biasanya terdapat dalam jaringan, sedangkan air terikat terdapat dalam sel. Kadar air bebas sangat mudah dalam penguapannya dan mudah terabsorbsi kembali ke bahan apabila kondisi lingkungan sekitarnya lembab (Syarief dan Irawati, 1988). Pengujian kadar air pada kayu secang hasil dari proses pengeringan, dilakukan untuk memastikan apakah kadar air telah mencapai interval nilai yang ditargetkan yaitu 8-10% (Tabel 6). Dengan nilai kadar air tersebut diharapkan akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme merugikan, dan memudahkan penyimpanan. Selain itu, pengeringan hingga kadar air yang tidak terlalu rendah akan menghindarkan simplisia kayu secang dari kerusakan akibat pengeringan seperti perubahan warna (staining), cacat bentuk (warping), tegangan sisa di permukaan (case hardening), pecah dalam (honeycombing), pecah (checking), dan collapse (permukaan kayu yang berkerut).

8 43 Tabel 6 Hasil pengukuran nilai kadar air untuk seluruh perlakuan proses pengeringan Rancangan Perlakuan proses pengeringan Kadar Air perlakuan proses Suhu Kecepatan Aliran RH (%) pengeringan ( o C) Udara (m/s) (%) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,955 Penurunan kadar air kayu secang menunjukkan tiga tahap penurunan, yaitu tahap penurunan kadar air cepat pada awal pengeringan, tahap penurunan kadar air lambat, dan tahap penurunan kadar air sangat lambat pada akhir pengeringan. Penurunan kadar air cepat diawal disebabkan karena pada awal pengeringan massa air pada permukaan bahan masih dalam jumlah besar. Udara pengering yang dihembuskan akan meliputi permukaan bahan dan akan menaikkan tekanan uap air, terutama pada daerah permukaan. Pada saat proses ini terjadi, perpindahan massa dari bahan ke udara dalam bentuk uap air berlangsung dalam jumlah yang besar sampai tekanan uap air pada permukaan akan menurun. Setelah massa air pada permukaan berkurang maka terjadi perpindahan air secara difusi dari dalam bahan ke permukaan. Selama proses tersebut, terjadi penurunan kadar air secara lambat. Pada akhirnya setelah air bahan berkurang, tekanan uap air bahan akan menurun sampai terjadi keseimbangan dengan udara sekitarnya dan tidak ada perpindahan air (Chrysanty, 2009). Suhu merupakan salah satu faktor penting pada pelaksanaan pengeringan kayu secang. Suhu yang sesuai akan memberikan pengaruh terhadap pencapaian produk akhir yang diinginkan yaitu simplisia kayu secang (Sappan Lignum) dengan kadar air 8-10%. Demikian juga dengan kecepatan

9 44 aliran udara yang berkaitan dengan kemampuan menyebarkan panas ke seluruh permukaan bahan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sucipto (2009) bahwa panas, merupakan energi yang diperlukan oleh molekul air untuk melepaskan diri dari ikatan antara molekul pada air bebas dalam rongga sel atau melepaskan diri dari ikatan dengan tangan hidroksil pada air terikat. Pada suhu tinggi, udara cenderung menghisap kelembaban atau uap air dibandingkan dengan udara bersuhu rendah. Sirkulasi udara, berfungsi sebagai pengantar panas ke kayu yang digunakan untuk menguapkan air dari dalam kayu dan memindahkan uap air dari permukaan kayu ke udara sekitar. Simplisia kayu secang (Sappan Lignum) yang dihasilkan dari kayu secang yang dikeringkan, diduga memiliki sifat yang higroskopis yakni memiliki kemampuan dalam menyerap molekul air dari lingkungannya. Hal ini diindikasikan dengan simplisia yang terasa cukup lembab ketika dipegang pada saat dikeluarkan dari kemasan plastik. Sifat higroskopis ini diduga akan mempengaruhi nilai kadar air dari simplisia kayu secang ketika pengukuran. Hasil Pengukuran Respon Rancangan Perlakuan Proses Pengeringan Rancangan perlakuan proses pengeringan yang dihasilkan dilanjutkan pada tahap pelaksanaan proses pengeringan. Selanjutnya dilakukan pengukuran dan perhitungan untuk setiap respon yang telah ditetapkan yaitu susut pengeringan, kadar brazilin, warna (L dan o Hue), dan lama pengeringan. Hasil pengukuran dan perhitungan respon dari setiap rancangan perlakuan proses pengeringan dapat dilihat pada Tabel 7.

10 45 Tabel 7 Hasil keseluruhan pengukuran dan perhitungan respon total seluruh rancangan perlakuan proses pengeringan Respon total seluruh rancangan perlakuan proses pengeringan Rancangan Perlakuan proses pengeringan perlakuan proses Susut Kadar Brazilin Warna Lama Pengeringan pengeringan Suhu Kecepatan Aliran RH Pengeringan (%) (mg/g) (Menit) ( o L o Hue C) Udara (m/s) (%) , ,6862 0,84 34,74 37, , ,6668 0,90 34,52 34, , ,7646 0,87 32,82 34, , ,5465 0,93 35,85 40, , ,2443 1,84 30,92 36, , ,3529 3,60 35,47 37, , ,4936 1,31 33,71 38, , ,6767 0,80 37,01 41, , ,5148 1,06 31,96 33, , ,4631 1,20 33,29 37, , ,1349 1,72 34,66 36, , ,5804 3,61 32,93 37, , ,5392 2,16 33,74 35, , ,4028 1,25 35,90 36, , ,7250 5,29 34,40 36,49 620

11 46 Analisis Respon dengan Program Design Expert 8.0 Analisis Respon Susut Pengeringan Hasil uji respon susut pengeringan berkisar antara 3,2443% sampai 5,5148%. Nilai susut pengeringan terendah yaitu 3,2443% diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 5 dengan suhu 40 o C, kecepatan aliran udara 0,86m/s, dan kelembaban relatif (RH) 60%. Sedangkan nilai susut pengeringan tertinggi yaitu 5,5148% diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 9 dengan suhu 50 o C, kecepatan aliran udara 0,78m/s, dan kelembaban relatif (RH) 60%. Nilai rata-rata (mean) dari respon susut pengeringan adalah 4,52% dengan nilai standar deviasi sebesar 0,55%. Susut pengeringan bertujuan untuk melihat seberapa besar senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Selain itu, susut pengeringan dapat dijadikan dasar dalam penetapan kualitas simplisia akibat pertumbuhan mikroorganisme yang merugikan. Susut pengeringan ditetapkan untuk menjaga kualitas simplisa karena berkaitan dengan kemungkinan pertumbuhan kapang atau jamur serta zat yang mudah menguap pada simplisia (Soetarno dan Soediro, 1997). Variasi nilai susut pengeringan pada masing-masing rancangan perlakuan diduga disebabkan oleh adanya ketidakseragaman proses pengeringan. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan suhu, kecepatan aliran udara, dan kelembaban relatif (RH) yang berbeda-beda untuk setiap rancangan perlakuan proses pengeringan. Ketidakseragaman faktor-faktor proses pengeringan tersebut diduga mengakibatkan senyawa volatil yang hilang pada saat proses pengeringan juga lebih variatif, salah satunya senyawa brazilin. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan program Design Expert 8.0, tidak diperoleh model yang menyatakan hubungan antara susut pengeringan dengan faktor-faktor perlakuan. Model yang dihasilkan hanya dibuat berdasarkan nilai mean nya. Model polinomial yang direkomendasikan oleh program Design Expert 8.0 adalah quadratic, tetapi model ini menunjukkan nilai predicted R-Squared negatif, sehingga perlu dilakukan reduksi model. Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan nilai lack of fit F-value sebesar 129,83 dengan nilai p Prob>F lebih kecil dari 0,05 (0,0077). Hal ini menunjukkan lack of fit yang signifikan

12 N o rm a l % P ro b a b ility 47 terhadap pure error dimana variasi dalam replikasi nilai mean nya lebih kecil dari variasi design points nilai yang diprediksikan. Nilai lack of fit yang signifikan disebabkan oleh replikasi yang baik dan variasinya kecil, modelnya tidak memprediksikan dengan baik, atau kombinasi keduanya. Selain itu, akan muncul kemungkinan bahwa model yang dihasilkan tidak dapat memberikan prediksi yang baik dalam kondisi tertentu. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk respon susut pengeringan juga menunjukkan nilai predicted R-squared negatif yaitu -0,1480. Nilai tersebut menandakan bahwa overall mean memberikan prediksi lebih baik bagi respon susut pengeringan. Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 14 menunjukkan data-data untuk respon susut pengeringan yang menyebar normal. Hal ini diperlihatkan dari titik-titik yang berada dekat disepanjang garis kenormalan. Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon susut pengeringan. Design-Expert Software SusutPengeringan Color points by value of SusutPengeringan: Normal Plot of Residuals Internally Studentized Residuals Gambar 14 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon susut pengeringan Grafik contour plot pada Gambar 15 menggambarkan kombinasi antara komponen yang tidak saling mempengaruhi terhadap nilai respon susut pengeringan. Hal ini diidentikkan dengan warna yang terlihat sama pada seluruh area grafik contour plot. Kesamaan warna tersebut menunjukkan nilai respon

13 S u s u tp e n g e rin g a n C : R H 48 terukur sama tingginya pada semua kombinasi antar komponen rancangan perlakuan proses pengeringan yang diukur. Grafik tiga dimensi (3-D) pada Gambar 16 merupakan bentuk permukaan dari interaksi antara komponen rancangan perlakuan proses pengeringan terhadap respon susut pengeringan. Grafik memperlihatkan nilai respon yang datar pada setiap kombinasi antara komponen yang diukur. Hal ini juga disebabkan model polinomial yang dihasilkan (mean) memberikan nilai respon susut pengeringan yang dianggap tidak berbeda nyata pada setiap kombinasi antara komponen rancangan perlakuan. Design-Expert Software Factor Coding: Actual SusutPengeringan Design Points SusutPengeringan X1 = B: Kecepatan X2 = C: RH Actual Factor A: Suhu = B: Kecepatan Gambar 15 Grafik contour plot hasil uji respon susut pengeringan Design-Expert Software Factor Coding: Actual SusutPengeringan Design points above predicted value Design points below predicted value X1 = B: Kecepatan X2 = C: RH Actual Factor A: Suhu = C: RH B: Kecepatan Gambar 16 Grafik tiga dimensi hasil uji respon susut pengeringan

14 49 Analisis Respon Kadar Brazilin Brazilin sering digunakan sebagai senyawa penciri pada kayu secang. Brazilin memiliki banyak aktivitas sehingga dapat dijadikan standar dalam kontrol kualitas kayu secang. Kontrol kualitas bahan alami dilakukan untuk mengevaluasi kualitas dan keaslian tanaman obat sehingga mencegah adanya pencampuran obat dari tanaman lain (Soares dan Scarmino dalam Hangoluan, 2011). Pengukuran kadar brazilin menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) dengan detektor ultraviolet-tampak (UV-VIS) yang dipantau dengan panjang gelombang 280 nm. Brazilin dihitung menggunakan kurva kalibrasi standar eksternal dengan memplot daerah puncak terhadap perbedaan konsentrasi brazilin (kisaran µg/ml) (Batubara et al. 2010). Brazilin termasuk ke dalam golongan flavonoid sebagai isoflavonoid. Pengujian terhadap ekstrak kayu secang untuk mengetahui keberadaan senyawa flavonoid dilakukan dengan cara menambahkan etanol 80% dan asam klorida pekat. Hasil positif ditunjukkan dengan munculnya warna kuning kemerahan yang berarti ekstak tersebut mengandung senyawa golongan flavonoid (Suhartati, 1983). Hasil uji respon kadar brazilin berkisar antara 0,80mg/g sampai 5,29mg/g. Nilai kadar brazilin terendah yaitu 0,80mg/g diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 8 dengan suhu 50 o C, kecepatan aliran udara 0,95m/s, dan kelembaban relatif (RH) 60%. Sedangkan nilai kadar brazilin tertinggi yaitu 5,29mg/g diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 15 dengan suhu 60 o C, kecepatan aliran udara 0,78m/s, dan kelembaban relatif (RH) 45%. Nilai rata-rata (mean) dari respon kadar brazilin adalah 1,82533mg/g dengan nilai standar deviasi sebesar 0,93mg/g. Hubungan antara kadar brazilin dengan faktor-faktor perlakuan pengeringan membentuk model polinomial yang melibatkan suhu dan kecepatan aliran udara (Persamaan 2). Model polinomialnya adalah reduced quadratic model. Kadar brazilin = - (1,38516)A (8,92647)B + (0,014430)A 2. (2) Keterangan: A = suhu B = kecepatan aliran udara

15 50 Model polinomial yang direkomendasikan oleh program Design Expert 8.0 adalah quadratic, tetapi model ini menunjukkan nilai predicted R-Squared negatif, sehingga perlu dilakukan reduksi model menggunakan backward elimination. Reduksi model dilakukan untuk menghilangkan komponen A (suhu), komponen C (RH), interaksi komponen AB (suhu dan kecepatan aliran udara), interaksi komponen AC (suhu dan RH), interaksi komponen BC (kecepatan aliran udara dan RH), komponen B 2 (interaksi antar kecepatan aliran udara), dan komponen C 2 (interaksi antar RH) karena dianggap tidak signifikan (tidak memenuhi α out = 0,1000). Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang telah direduksi (reduced quadratic model) signifikan dengan nilai p prob>f lebih kecil dari 0,05 (<0,0001). Selain itu, hasil ANOVA juga menunjukkan bahwa komponen B (kecepatan aliran udara), dan komponen A 2 (interaksi antar suhu), memberikan pengaruh yang nyata (signifikan) terhadap respon kadar brazilin. Lack of fit F-value sebesar 1181,07 dengan nilai p Prob>F lebih kecil dari 0,05 (0,0008) menunjukkan lack of fit yang signifikan relatif terhadap pure error. Nilai adjusted R-squared dan predicted R-squared secara berturut-turut untuk respon kadar brazilin adalah 0,5055 dan 0,1685 yang menunjukkan bahwa data-data aktual dan data-data yang diprediksikan untuk respon kadar brazilin mencakup dalam model sebesar 50,55% dan 16,85%. Nilai adequate precision untuk respon kadar brazilin adalah lebih besar dari 4 (7,349) yang menunjukkan besarnya sinyal terhadap noise ratio. Nilai tersebut menandakan bahwa model dapat digunakan sebagai pedoman untuk design space. Persamaan (2) menunjukkan bahwa respon kadar brazilin akan meningkat berbanding lurus dengan peningkatan interaksi antar komponen suhu. Hal ini ditunjukkan dengan nilai konstanta yang positif (0,014430). Respon kadar brazilin akan mengalami penurunan seiring dengan peningkatan kecepatan aliran udara dan peningkatan suhu yang ditunjukkan dengan nilai konstanta negatif. Brazilin merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat tidak stabil. Beberapa faktor selama proses pengeringan yang diduga menjadi penyebab terjadinya oksidasi dan penurunan kadar brazilin pada kayu secang, antara lain penundaan yang cukup lama setelah pemanenan kayu secang, serta peningkatan

16 N o rm a l % P ro b a b ility 51 suhu dan kecepatan aliran udara selama proses pengeringan. Peningkatan kecepatan aliran udara diduga berperan dalam menyebarkan panas ke seluruh permukaan bahan dan berakibat pada laju degradasi sktruktur kimia brazilin yang lebih cepat. Faktor suhu pengeringan kemungkinan memiliki pengaruh yang lebih signifikan terhadap penurunan nilai kadar brazilin dibandingkan dengan faktor kecepatan aliran udara. Suhu pengeringan yang semakin tinggi dapat menimbulkan energi kinetik penyebab dekomposisi dan perubahan struktur kimia brazilin menjadi senyawa lain seperti brazilein yang identik dengan pigmen warna merah pada kayu secang. Maharani (2003) telah melakukan penelitian mengenai stabilitas brazilin pada kayu secang yang telah diekstraksi sebelumnya. Pemanasan pada suhu 40 o C menyebabkan peningkatan absorbansi pigmen warna kayu secang yang sangat tajam pada menit ke 180. Pada pemanasan suhu 60 o C juga terjadi peningkatan warna setelah 60 menit kemudian terjadi penurunan secara terus-menerus. Peningkatan terjadi karena pigmen brazilin kayu secang telah berubah menjadi brazilein secara keseluruhan karena peningkatan suhu. Setelah itu nilai absorbansi mengalami penurunan secara terus-menerus. Hal ini menunjukkan bahwa pigmen brazilein telah terdegradasi. Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 17 menunjukkan data-data untuk respon kadar air yang menyebar normal. Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon kadar brazilin. Design-Expert Software Brazilin Color points by value of Brazilin: Normal Plot of Residuals Gambar 17 Grafik kenormalan internally Internally Studentized stundentized Residuals residuals respon kadar brazilin

17 B : K e c e p a ta n 52 Grafik contour plot pada Gambar 18 menggambarkan kombinasi antara komponen yang saling mempengaruhi terhadap nilai respon kadar brazilin, melalui warna-warna yang berbeda. Warna biru menunjukkan nilai respon kadar brazilin terendah yaitu 0,80mg/g, sedangkan warna merah menunjukkan nilai respon kadar brazilin tertinggi yaitu 5,29mg/g. Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik contour plot merupakan kombinasi antara tiga komponen rancangan perlakuan proses pengeringan dengan proporsi berbeda yang menghasilkan nilai respon kadar brazilin yang sama. Grafik tiga dimensi (3-D) pada Gambar 19 merupakan bentuk permukaan dari interaksi antara komponen rancangan perlakuan proses pengeringan. Perbedaan ketinggian permukaan menunjukkan nilai respon yang berbeda-beda pada setiap kombinasi antara komponen rancangan perlakuan. Area yang rendah menunjukkan nilai respon kadar brazilin yang rendah, sedangkan area yang tinggi menunjukkan nilai respon kadar brazilin yang tinggi. Design-Expert Software Factor Coding: Actual Brazilin Design Points Brazilin X1 = A: Suhu X2 = B: Kecepatan Actual Factor C: RH = A: Suhu Gambar 18 Grafik contour plot hasil uji respon kadar brazilin

18 B ra z ilin 53 Design-Expert Software Factor Coding: Actual Brazilin Design points above predicted value Design points below predicted value X1 = A: Suhu X2 = B: Kecepatan Actual Factor C: RH = A: Suhu B: Kecepatan Gambar 19 Grafik tiga dimensi hasil uji respon respon kadar brazilin Analisis Respon Warna Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya citarasa, warna, tekstur, dan nilai gizi serta sifat mikrobiologisnya. Tetapi sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan (Winarno, 1995). Selain sebagai faktor yang menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran, kematangan dan kesempurnaan proses pengolahan. Baik tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan dapat ditandai dari warna produk yang seragam dan merata. Intensitas zat warna diukur dengan menggunakan Chromamater Minolta CR-310 dengan sistem notasi warna Hunter (sistem warna L, a, dan b). Nilai L menunjukkan kecerahan, a dan b adalah koordinat-koordinat kromatisitas, dimana a untuk warna hijau (a negatif) sampai merah (a positif) dan b untuk warna kuning (b positif) sampai biru (b negatif). Analisis Respon L Respon L identik dengan kecerahan warna suatu produk. Semakin tinggi nilai L maka kecerahan warna suatu produk yang diukur juga semakin meningkat. Hasil uji respon L berkisar antara 30,92 sampai 37,01. Nilai L terendah yaitu 30,92 diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 5 dengan suhu 40 o C, kecepatan aliran udara 0,86m/s, dan kelembaban relatif (RH)

19 54 60%. Sedangkan nilai L tertinggi yaitu 37,01 diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 8 dengan suhu 50 o C, kecepatan aliran udara 0,95m/s, dan kelembaban relatif (RH) 60%. Nilai rata-rata (mean) dari respon L adalah 34,40 dengan nilai standar deviasi sebesar 1,63. Nilai L memiliki kisaran dari 0 untuk warna hitam hingga 100 untuk warna putih. Kisaran nilai L antara 31,34 sampai 36,64 menunjukkan bahwa tingkat kecerahan dari simplisia kayu secang (Sappan Lignum) cenderung rendah. Nilai L pada simplisia kayu secang (Sappan Lignum) diduga cukup kuat dipengaruhi oleh warna pigmen brazilein yang merupakan senyawa berwarna merah kecoklatan pada kayu secang. Brazilein terbentuk dari proses oksidasi pigmen brazilin yang terjadi selama proses pengeringan maupun ketika kontak dengan udara selama pemanenan dan penanganan pasca panen kayu secang. Suharti (1983) telah melakukan penelitian untuk mengisolasi zat warna dari tumbuhan secang (Caesalpinia sappan Linn). Isolasi yang dilakukan menghasilkan sedikitnya tiga zat warna, yaitu zat warna kuning dan merah serta zat warna yang larut dalam air. Zat warna kuning merupakan brazilin atau turunannya yang mudah berubah menjadi brazilein yang berwarna merah melalui oksidasi udara. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan program Design Expert 8.0, tidak diperoleh model yang menyatakan hubungan antara respon L dengan faktor-faktor perlakuan pengeringan. Model yang dihasilkan hanya dibuat berdasarkan nilai mean nya. Model polinomial yang direkomendasikan oleh program Design Expert 8.0 adalah two factorial interaction (2FI), tetapi model ini menunjukkan nilai predicted R-Squared negatif, sehingga perlu dilakukan reduksi model. Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan nilai lack of fit F-value sebesar 2,33 dengan nilai p Prob>F lebih besar dari 0,05 (0,3398). Hal ini menunjukkan lack of fit yang tidak signifikan terhadap pure error. Nilai lack of fit yang tidak signifikan merupakan syarat model yang baik karena menunjukkan adanya kesesuaian data respon L dengan model. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk respon L juga menunjukkan nilai predicted R-squared negatif yaitu -0,1480. Nilai tersebut menandakan bahwa overall mean memberikan prediksi lebih baik bagi respon L.

20 C : R H N o rm a l % P ro b a b ility 55 Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 20 menunjukkan data-data untuk respon L yang menyebar normal. Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon L. Design-Expert Software L Color points by value of L: Normal Plot of Residuals Internally Studentized Residuals Gambar 20 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon L Grafik contour plot pada Gambar 21 menggambarkan kombinasi antara komponen yang tidak saling mempengaruhi terhadap nilai respon L. Grafik tiga dimensi (3-D) pada Gambar 22 merupakan bentuk permukaan dari interaksi antara komponen rancangan perlakuan proses pengeringan terhadap respon L. Grafik memperlihatkan nilai respon yang datar pada setiap kombinasi antara komponen rancangan perlakuan yang diukur. Design-Expert Software Factor Coding: Actual L Design Points L X1 = B: Kecepatan X2 = C: RH Actual Factor A: Suhu = B: Kecepatan Gambar 21 Grafik contour plot hasil uji respon L

21 L 56 Design-Expert Software Factor Coding: Actual L Design points above predicted value Design points below predicted value X1 = B: Kecepatan X2 = C: RH Actual Factor A: Suhu = C: RH B: Kecepatan Analisis Respon o Hue Gambar 22 Grafik tiga dimensi hasil uji respon respon L Nilai o Hue merupakan kisaran warna sampel yang diperoleh dari hasil perhitungan nilai b dibagi nilai a. Tabel 8 menunjukkan hubungan antara o Hue dengan warna simplisia kayu secang yang diukur. Hasil uji respon o Hue berkisar antara 33,95 sampai 40,08. Tabel 8 Hubungan o Hue dengan warna simplisia kayu secang (Sappan Lignum) yang diukur o Hue Warna Sampel 18 o 54 o red (R) 54 o 90 o yellow red (YR) 90 o 126 o yellow (Y) Nilai o Hue hasil pengukuran pada produk akhir simplisia kayu secang (Sappan Lignum) menunjukkan warna red (R). Warna merah tersebut identik dengan warna pigmen brazilein yang merupakan hasil dari oksidasi pigmen brazilin kayu secang. Brazilein memiliki warna merah tajam dan cerah pada ph netral (ph 6-7). Pigmen brazilin tersebut bersifat tidak stabil ketika proses pemanasan. Proses pengeringan dengan suhu tertentu, diduga telah menimbulkan energi kinetik yang dapat menyebabkan degradasi pigmen brazilin menjadi brazilein.

22 57 Nilai o Hue terendah yaitu 33,95 diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 9 dengan suhu 50 o C, kecepatan aliran udara 0,78m/s, dan kelembaban relatif (RH) 60%. Sedangkan nilai o Hue tertinggi yaitu 40,08 diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 4 dengan suhu 40 o C, kecepatan aliran udara 0,86m/s, dan kelembaban relatif (RH) 30%. Nilai rata-rata (mean) dari respon o Hue adalah 37,28 dengan nilai standar deviasi sebesar 1,86. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan program Design Expert 8.0, tidak diperoleh model yang menyatakan hubungan antara respon o Hue dengan faktor-faktor perlakuan pengeringan. Model yang dihasilkan hanya dibuat berdasarkan nilai mean nya. Model polinomial yang direkomendasikan oleh program Design Expert 8.0 adalah quadratic, tetapi model ini menunjukkan nilai predicted R-Squared negatif, sehingga perlu dilakukan reduksi model. Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan nilai lack of fit F-value sebesar 2,98 dengan nilai p Prob>F lebih besar dari 0,05 (0,2789). Hal ini menunjukkan lack of fit yang tidak signifikan terhadap pure error. Nilai lack of fit yang tidak signifikan merupakan syarat model yang baik karena menunjukkan adanya kesesuain data respon o Hue dengan model. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk respon o Hue juga menunjukkan nilai predicted R-squared negatif yaitu -0,1480. Nilai tersebut menandakan bahwa overall mean memberikan prediksi lebih baik bagi respon o Hue. Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 23 menunjukkan data-data untuk respon o Hue yang menyebar normal. Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon o Hue.

23 C : R H N o rm a l % P ro b a b ility 58 Design-Expert Software Hue Color points by value of Hue: Normal Plot of Residuals Internally Studentized Residuals Gambar 23 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon o Hue Grafik contour plot pada Gambar 24 menggambarkan kombinasi antara komponen yang tidak saling mempengaruhi terhadap nilai respon o Hue. Grafik tiga dimensi (3-D) pada Gambar 25 merupakan bentuk permukaan dari interaksi antara komponen rancangan perlakuan proses pengeringan terhadap respon o Hue. Grafik memperlihatkan nilai respon yang datar pada setiap kombinasi antara komponen yang diukur. Design-Expert Software Factor Coding: Actual Hue Design Points Hue X1 = B: Kecepatan X2 = C: RH Actual Factor A: Suhu = B: Kecepatan Gambar 24 Grafik contour plot hasil uji respon o Hue

24 H u e 59 Design-Expert Software Factor Coding: Actual Hue Design points above predicted value Design points below predicted value X1 = B: Kecepatan X2 = C: RH Actual Factor A: Suhu = C: RH B: Kecepatan Gambar 25 Grafik tiga dimensi hasil uji respon respon o Hue Analisis Respon Lama Pengeringan Suatu proses pengeringan diharapkan dapat dilaksanakan dalam waktu singkat namun memberikan hasil berupa produk akhir dengan mutu yang sesuai keinginan. Selain itu, dengan waktu pengeringan yang singkat diharapkan biaya produksi dan umur ekonomis alat dapat ditekan sedini mungkin. Hasil uji respon lama pengeringan berkisar antara 360 menit sampai 1700 menit. Lama pengeringan terendah yaitu 360 menit diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 7 dengan suhu 40 o C, kecepatan aliran udara 0,95m/s, dan kelembaban relatif (RH) 45%. Sedangkan lama pengeringan tertinggi yaitu 1700 menit diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 9 dengan suhu 50 o C, kecepatan aliran udara 0,78m/s, dan kelembaban relatif (RH) 60%. Nilai rata-rata (mean) dari respon lama pengeringan adalah 1042,67 menit dengan nilai standar deviasi sebesar 249,40 menit. Lama pengeringan kayu secang memiliki nilai yang cukup berbeda antara masing-masing rancangan perlakuan proses pengeringan yang telah dilakukan. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain perbedaan kadar air awal kayu, perbedaan bagian batang pengambilan sampel dalam satu rumpun tanaman, perbedaan kerapatan kayu, maupun ketidakstabilan kondisi suhu dan RH dalam chamber mesin pengering berakuisisi yang digunakan. Pengeringan kayu terutama dipengaruhi oleh kerapatan, ukuran dan frekuensi

25 60 jari-jari kayu. Ada kecenderungan yang kuat bahwa kayu yang berat atau berkerapatan tinggi mengering lebih lambat dan sehubungan dengan cacat-cacat pengeringan dibanding dengan kayu yang ringan (Budiarso, 1997). Ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan kecepatan pengeringan kayu terjadi yaitu: (1) kayu berasal dari jenis kayu yang berbeda atau dari jenis yang sama dan berasal dari pohon atau bagian batang yang berbeda, mempunyai perbedaan dalam banyak hal seperti kerapatan, kandungan komponen kimia (misalnya kandungan zat ekstraktif) dan struktur anatomi kayunya dan (2) kayu yang dikeringkan kemungkinan mempunyai pola penggergajian yang berbeda (Sukaton, 1999). Hubungan antara lama pengeringan dengan faktor-faktor perlakuan pengeringan membentuk model polinomial yang melibatkan suhu, kecepatan aliran udara, dan kelembaban relatif (Persamaan 3). Model polinomialnya adalah reduced two factors interaction (2FI) model. Lama pengeringan = - (466,30147)A (29941,17647)B + 15,08333C + 561,76471AB.. (3) Keterangan: A = suhu B = kecepatan aliran udara C = kelembaban relatif (RH) Model polinomial yang direkomendasikan oleh program Design Expert 8.0 adalah two factors interaction (2FI), tetapi model ini menunjukkan nilai predicted R-Squared negatif, sehingga perlu dilakukan reduksi model menggunakan backward elimination. Reduksi model dilakukan untuk menghilangkan komponen B (suhu), interaksi komponen AC (suhu dan RH), dan interaksi komponen BC (kecepatan aliran udara dan RH) karena dianggap tidak signifikan (tidak memenuhi α out = 0,1000). Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang telah direduksi (reduced two factors interaction (2FI) model) signifikan dengan nilai p prob>f lebih kecil dari 0,05 (<0,0001). Selain itu, hasil ANOVA juga menunjukkan bahwa komponen C (RH), dan interaksi komponen AB (suhu dan kecepatan aliran udara) memberikan pengaruh yang nyata (signifikan) terhadap respon lama pengeringan. Lack of fit F-value sebesar 0,90 dengan nilai p Prob>F lebih besar dari 0,05 (0,6242) menunjukkan lack of fit yang tidak

26 61 signifikan relatif terhadap pure error. Nilai lack of fit yang tidak signifikan merupakan syarat model yang baik karena menunjukkan adanya kesesuaian data respon lama pengeringan dengan model. Nilai adjusted R-squared dan predicted R-squared secara berturut-turut untuk respon lama pengeringan adalah 0,6446 dan 0,2792 yang menunjukkan bahwa data-data aktual dan data-data yang diprediksikan untuk respon lama pengeringan mencakup dalam model sebesar 64,46% dan 27,92%. Nilai adequate precision untuk respon lama pengeringan adalah lebih besar dari 4 (9,358) yang menunjukkan besarnya sinyal terhadap noise ratio. Nilai tersebut menandakan bahwa model dapat digunakan sebagai pedoman untuk design space. Hasil analisis terhadap model yang dihasilkan memenuhi syarat sebagai model yang baik dan juga diharapkan memberikan prediksi yang baik. Persamaan (3) menunjukkan bahwa respon lama pengeringan akan meningkat berbanding lurus dengan peningkatan interaksi antara komponen suhu dan kecepatan aliran udara yang diindikasikan dengan nilai konstanta yang positif (561,76471), diikuti dengan komponen RH dengan nilai konstanta sebesar (15,08333). Respon lama pengeringan akan mengalami penurunan seiring dengan peningkatan kecepatan aliran udara yang diindikasikan dengan nilai konstanta negatif (29941,7647), kemudian diikuti dengan komponen suhu dengan nilai konstanta sebesar (466,30147). Interaksi antara suhu dan kecepatan aliran udara yang memperpanjang waktu pengeringan diduga disebabkan oleh adanya beberapa variasi pada rancangan perlakuan proses pengeringan. Variasi ini dapat berupa suhu rendah yang berinteraksi dengan kecepatan aliran udara yang rendah pula (40 o C dan 0,78m/s), suhu tinggi yang berinteraksi dengan kecepatan aliran udara yang rendah (60 o C dan 0,78m/s), maupun suhu rendah yang berinteraksi dengan kecepatan aliran udara yang tinggi (40 o C dan 0,95m/s). Variasi tersebut berinteraksi terhadap faktor ketidakseragaman kadar air awal bahan sehingga proses penguapan air pada kayu secang pun menjadi lebih lambat, berbanding lurus dengan waktu pengeringnnya.

27 62 Kelembaban relatif (RH) yang tinggi akan menghambat proses perpindahan uap air dari dalam bahan ke luar bahan sehingga lama waktu pengeringan akan semakin panjang. RH yang tinggi akan menyebabkan cukup banyak massa air bebas yang menyelimuti seluruh permukaan bahan, sehingga laju penguapan massa air dari permukaan bahan seolah-olah konstan. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi RH, maka laju pengeringan akan menurun perlahan (Chrysanty, 2009). Kecepatan aliran udara dan suhu merupakan faktor-faktor proses pengeringan yang harus diperhatikan untuk mencapai waktu pengeringan sesingkat mungkin. Suhu berkaitan dengan eneri panas yang dihasilkan dalam menguapkan air yang terdapat dalam kayu secang. Sedangkan kecepatan aliran udara digunakan dalam penyebaran panas ke seluruh permukaan kayu secang selama proses pengeringan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan memindahkan massa uap air dari permukaan simplisia. Semakin tinggi suhu dan kecepatan aliran udara yang digunakan maka lama pengeringan juga akan semakin cepat. Chrysanty (2009) telah melakukan penelitian mengenai pengeringan simplisia temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) dengan menggunakan mesin pengering berakuisisi. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan kecepatan aliran udara yang digunakan maka waktu pengeringan yang diperlukan juga semakin singkat. Sirkulasi udara yang baik akan mempercepat perambatan gelombang panas pada udara sehingga mempercepat pengeringan (Sucipto, 2009). Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 26 menunjukkan data-data untuk respon lama pengeringan yang menyebar normal. Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon lama pengeringan.

28 B : K e c e p a ta n N o rm a l % P ro b a b ility 63 Design-Expert Software Lama Pengeringan Normal Plot of Residuals Color points by value of Lama Pengeringan: Internally Studentized Residuals Gambar 26 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon lama pengeringan Grafik contour plot pada Gambar 27 menggambarkan kombinasi antara komponen yang saling mempengaruhi terhadap nilai respon lama pengeringan, melalui warna-warna yang berbeda. Warna biru menunjukkan nilai respon lama pengeringan terendah yaitu 360 menit, sedangkan warna merah menunjukkan nilai respon lama pengeringan tertinggi yaitu 1700 menit. Grafik tiga dimensi (3-D) pada Gambar 28 merupakan bentuk permukaan dari interaksi antara komponen rancangan perlakuan proses pengeringan. Perbedaan ketinggian permukaan menunjukkan nilai respon yang berbeda-beda pada setiap kombinasi antara komponen rancangan perlakuan. Design-Expert Software Factor Coding: Actual Lama Pengeringan Design Points X1 = A: Suhu X2 = B: Kecepatan Actual Factor C: RH = Lama Pengeringan A: Suhu Gambar 27 Grafik contour plot hasil uji respon lama pengeringan

29 L a m a P e n g e rin g a n 64 Design-Expert Software Factor Coding: Actual Lama Pengeringan Design points above predicted value Design points below predicted value X1 = A: Suhu X2 = B: Kecepatan Actual Factor C: RH = A: Suhu B: Kecepatan Gambar 28 Grafik tiga dimensi hasil uji respon respon lama pengeringan Optimasi Rancangan Perlakuan Proses Pengeringan dengan Program Design Expert 8.0 Nilai respon-respon yang optimal merupakan tujuan dilakukannya proses optimasi. Respon paling optimal ditunjukkan dengan nilai desirability mendekati satu. Tingkat kepentingan variabel respon dapat ditingkatkan dengan memberikan pembobotan yang disebut importance pada selang 1 (+) hingga 5 (+++++) tergantung tingkat kepentingan yang diinginkan. Tabel 9 menunjukkan komponen-komponen yang dioptimasi, nilai targetnya, batas minimum dan maksimumnya, serta tingkat kepentingan (importance) pada tahap optimasi rancangan perlakuan proses pengeringan dengan program Design Expert 8.0. Tabel 9 Komponen dan respon yang dioptimasi, target, batas, dan importance pada tahapan optimasi rancangan perlakuan proses pengeringan Nama komponen/respon Goal Batas bawah Batas atas Importance Suhu in range (+++) Kecepatan aliran udara in range 0,78 0,95 3 (+++) RH in range (+++) Susut pengeringan in range 3,2443 5, (+++) Kadar brazilin maximize 0,8 5,29 5 (+++++) L in range 31,34 36,64 3 (+++) o Hue in range (+++) Lama pengeringan minimize (++++)

30 65 Kadar brazilin dengan range 0,8-5,29mg/g merupakan respon yang dioptimalkan dengan goal maximize pada tingkat kepentingan (importance) 5 (+++++). Kadar brazilin adalah senyawa penciri pada kayu secang yang memiliki sifat fungsional. Dengan tingkat kepentingan yang tinggi diharapkan simplisia kayu secang (Sappan Lignum) yang dihasilkan akan memiliki kadar brazilin yang tinggi pula. Untuk memenuhi kontrol kualitas kayu secang berdasarkan senyawa penciri, digunakan brazilin (Hangoluan, 2011). Respon lama pengeringan dengan range menit merupakan respon yang dioptimalkan dengan goal minimize pada tingkat kepentingan (importance) 4 (++++). Lama pengeringan diharapkan dapat dilaksanakan secepat mungkin pada waktu yang minimum sehingga dapat diperoleh efektifitas dan efisiensi dalam proses pengeringan. Hal ini akan berpengaruh pada besarnya biaya yang akan dikeluarkan dalam pelaksanaan proses pengeringan. Selain itu, pengurangan umur ekonomis dari alat yang digunakan juga dapat ditekan sedini mungkin. Respon susut pengeringan dengan range 3,2443-5,5148% dioptimalkan dengan target respon in range dan tingkat kepentingan (importance) 3 (+++). Respon L hasil pengukuran warna dengan range 30,92-37,01 dioptimalkan dengan target respon in range dan tingkat kepentingan (importance) 3 (+++). Respon o Hue hasil pengukuran warna dengan range 33,95-40,08 dioptimalkan dengan target respon in range dan tingkat kepentingan (importance) 3 (+++). Respon susut pengeringan dan hasil analisis warna (L dan o Hue) diberikan targer respon yang in range dengan tingkat kepentingan 3 (+++) karena pengukuran dari masing-masing respon tersebut dilakukan secara obyektif menggunakan instrument. Range yang diberikan tersebut diharapkan tidak menyimpang dan masih mewakili karateristik rancangan perlakuan proses pengeringan yang dihasilkan. Setelah tahap analisis respon, selanjutnya dilakukan tahap optimasi dengan program Design Expert 8.0. Pada tahapan ini, program akan memberikan satu solusi rancangan perlakuan proses pengeringan optimum sebagai hasil running terhadap 29 rancangan yang kemungkinan akan memberikan hasil yang optimum. Rancangan perlakuan proses pengeringan yang memberikan nilai desirability

31 66 tinggi yang akan direkomendasikan oleh program Design Expert 8.0 sebagai solusi rancangan perlakuan proses pengeringan optimum. Nilai desirability yang dihasilkan dipengaruhi oleh kompleksitas komponen, kisaran yang digunakan dalam komponen, jumlah komponen dan respon, serta target yang ingin dicapai dalam memperoleh rancangan optimum. Kompleksitas jumlah komponen dapat terlihat pada persyaratan jumlah variabel proses pengeringan yang dianggap penting dan berpengaruh terhadap simplisia kayu secang (Sappan Lignum) untuk menentukan rancangan perlakuan proses pengeringan. Jumlah masing-masing variabel proses pengeringan ditentukan dalam range berbeda-beda yang akan berpengaruh terhadap nilai desirability. Semakin lebar range nya, maka penentuan rancangan perlakuan optimum dengan nilai desirability yang tinggi akan semakin sulit. Jumlah komponen dan respon juga turut mempengaruhi nilai desirability rancangan perlakuan proses pengeringan optimum. Semakin banyak jumlah komponen dan respon, maka semakin sulit untuk mencapai keadaan optimum sehingga kemungkinan akan menghasilkan nilai desirability yang rendah. Nilai masing-masing respon berbeda targetnya satu sama lain sesuai dengan keinginan. Nilai importance yang besar +++ hingga menunjukkan adanya keinginan yang tinggi untuk mencapai produk optimal yang ideal (sesuai target optimasi). Semakin besar tingkat kepentingan (importance) dari suatu respon atau komponen, maka semakin sulit untuk memperoleh rancangan perlakuan proses pengeringan optimum dengan nilai desirability yang tinggi (Wulandhari dalam Susilo, 2011). Solusi rancangan perlakuan proses pengeringan terpilih yaitu memiliki suhu pengeringan 60 o C, kecepatan aliran udara 0,78m/s, dan kelembaban relatif (RH) sebesar 30% (Lampiran 14). Rancangan ini memiliki nilai desirability sebesar 0,709 yang artinya rancangan tersebut akan menghasilkan produk dengan karateristik yang sesuai dengan target optimasi sebesar 70,9%. Rancangan perlakuan proses pengeringan ini diprediksikan akan memiliki nilai susut pengeringan sebesar 4,5195%, kadar brazilin sebesar 3,84mg/g, nilai L sebesar 34,40, nilai o Hue sebesar 37,282, dan lama pengeringan 692,672 menit.

32 B : K e c e p a ta n 67 Grafik contour plot untuk solusi rancangan perlakuan proses pengeringan terpilih dapat dilihat pada Gambar 29. Contour plot disajikan dengan menggunakan model prediksi untuk nilai respon susut pengeringan, kadar brazilin, hasil analisis warna (L dan o Hue), dan lama pengeringan. Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik contour plot menunjukkan kombinasi dari ketiga komponen proses pengeringan dengan jumlah berbeda yang menghasilkan nilai desirability tertentu yang sama. Titik prediksi pada gambar tersebut menunjukkan kombinasi antara suhu pengeringan 60 o C, kecepatan aliran udara 0,78m/s, dan kelembaban relatif (RH) sebesar 30% yang menghasilkan nilai desirability sebesar 0,709. Grafik tiga dimensi (3-D) untuk solusi rancangan perlakuan proses pengeringan terpilih dapat dilihat pada Gambar 30. Grafik tersebut menunjukkan proyeksi dari grafik contour plot. Area yang rendah pada grafik tiga dimensi menunjukkan nilai desirability yang rendah, sedangkan area yang tinggi menunjukkan nilai desirability yang tinggi. Design-Expert Software Factor Coding: Actual Desirability Design Points Desirability X1 = A: Suhu X2 = B: Kecepatan 0.91 Actual Factor C: RH = Prediction A: Suhu Gambar 29 Grafik contour plot nilai desirability solusi rancangan perlakuan proses pengeringan optimum

33 D e s ir a b ility 68 Design-Expert Software Factor Coding: Actual Desirability Design points above predicted value X1 = A: Suhu X2 = B: Kecepatan Actual Factor C: RH = B: Kecepatan A: Suhu Gambar 30 Grafik tiga dimensi nilai desirability solusi rancangan perlakuan proses pengeringan optimum Uji Penerimaan Terhadap Produk Secang Celup Pembuatan produk secang celup dari simplisia kayu secang diperlukan, dengan harapan dapat dikembangkan pada skala industri yang mempersyaratkan adanya sentuhan teknologi dalam pembuatan suatu produk, salah satunya yaitu melalui proses pengeringan. Namun di sisi lain, pengolahan suatu produk berkhasiat dari tanaman segar tanpa proses pengeringan juga masih cukup digemari oleh masyarakat sehingga dirasa perlu untuk dijadikan pembanding. Produk secang celup yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 31. Secang celup yang akan diujikan kepada panelis, diseduh terlebih dahulu dengan menggunakan air mendidih (± 240 ml) dan dibiarkan selama ± 3 menit. Setelah itu, minuman secang hasil seduhan, dituangkan ke dalam gelas plastik bening berukuran kecil dan diberi kode. Penyajian dilakukan tanpa menambahkan gula pasir. Sampel yang pertama yaitu secang celup yang dibuat dari simplisia kayu secang (Sappan Lignum) sebagai hasil pengeringan dengan kode A, sedangkan produk dari kayu secang segar diberi kode B. Kedua sampel tersebut yang kemudian diujikan kepada 30 panelis tidak terlatih.

34 69 Gambar 31 Produk Secang Celup Panelis yang akan melakukan uji organoleptik dipilih dari beberapa daerah di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana penerimaan masyarakat terhadap pengembangan produk secang celup yang hingga saat ini penggunaannya dalam bentuk stick kayu saja. Panelis-panelis dipilih secara acak berdasarkan jenis kelamin, tingkatan usia, pendidikan terakhir, dan pekerjaan. Beberapa panelis juga dipilih dari lokasi pengambilan sampel kayu secang yaitu di Desa Lonjo boko Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Panelis-panelis tersebut diasumsikan dapat mewakili masyarakat karena mereka pernah dan bahkan masih sering mengkonsumsi minuman kayu secang. Hal ini dapat membantu mereka dalam mengidentifikasi produk secang celup berdasarkan mutu organoleptik rasa, aroma, dan warna seduhan. Dalam uji hedonik, panelis diminta tanggapannya untuk membedakan produk secang celup tentang rasa suka atau tidak suka terhadap hasil seduhan kedua produk tersebut. Setiap tanggapan yang diberikan oleh panelis disesuaikan dengan tingkat penerimaan yang disajikan pada form pengujian dengan selang angka 1 sampai 7. Jika panelis memberikan tanggapan sangat suka terhadap produk secang celup maka diberi nilai 7, tanggapan suka diberi nilai 6, agak suka diberi nilai 5, biasa saja diberi nilai 4, agak tidak suka diberi nilai 3, tidak suka diberi nilai 2, dan tanggapan sangat tidak suka diberi nilai 1. Nilai rata-rata hasil uji organoleptik produk secang celup A dan B dapat dilihat pada Gambar 32.

35 ,23 6,17 Rerata Sensori ,67 5,60 5,83 5,53 Secang Celup A (Simplisia kayu secang) Secang Celup B (Kayu secang hasil panen) Rasa Aroma Warna Parameter Sensori Keterangan : 1 = Sangat tidak suka 5 = Agak suka 2 = Tidak suka 6 = Suka 3 = Agak tidak suka 7 = Sangat suka 4 = Biasa saja Gambar 32 Nilai rata-rata hasil uji organoleptik (hedonic test) terhadap parameter rasa, aroma, dan warna seduhan pada produk secang celup A dan B Rasa Seduhan Pada parameter rasa seduhan, dari 30 panelis, 7 panelis menyatakan sangat suka, 13 panelis menyatakan suka, 5 panelis menyatakan agak suka, dan 4 panelis menyatakan biasa saja untuk produk secang celup A. Sedangkan pada rasa seduhan produk secang celup B, 3 panelis menyatakan sangat suka, 18 panelis menyatakan suka, 3 panelis menyatakan agak suka, dan 6 panelis menyatakan biasa saja. Nilai rata-rata parameter rasa seduhan pada produk secang celup A sebesar 5,667 yang menunjukkan tanggapan suka. Sedangkan pada produk secang celup B sebesar 5,6 juga menunjukkan tanggapan suka terhadap produk yang disajikan (Gambar 32).

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 22 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 sampai April 2012 dan tempat pelaksanaan sebagai berikut: 1. Studi Lapangan di Kabupaten Gowa (Desa Lonjo boko,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Waktu dan Kecepatan Optimum Flavor C blended dibuat dengan mencampurkan flavor C Concentrat dan solvent pada perbandingan 1:9 menggunakan waktu dan kecepatan yang berbeda-beda

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Proses Produksi Mie Instan Proses pembuatan semua jenis mie sama mulai dari pengadukan hingga pembentukan untaian mie. Proses yang membedakan jenis mie terletak pada proses

Lebih terperinci

Pewarna Alami untuk Pangan KUNING MERAH SECANG

Pewarna Alami untuk Pangan KUNING MERAH SECANG Pewarna Alami untuk Pangan KUNING MERAH SECANG Secang atau Caesalpinia sappan L merupakan tanaman semak atau pohon rendah dengan ketinggian 5-10 m. Tanaman ini termasuk famili Leguminoceae dan diketahui

Lebih terperinci

Gambar 6. Kerangka penelitian

Gambar 6. Kerangka penelitian III. BAHAN DAN METODOLOGI A. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan adalah kayu secang (Caesalpinia sappan L) yang dibeli dari toko obat tradisional pasar Bogor sebagai sumber pigmen brazilein dan sinapic

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kadar air dan kadar lemak adalah mie instan Indomie (dengan berat bersih 61 gram, 63 gram, dan 66 gram), petroleum

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. APLIKASI KACANG OVEN GARLIC SKALA LABORATORIUM Prosedur aplikasi yang standar mutlak diperlukan karena akan menghasilkan data dengan ulangan yang baik. Pertama, bahan yang digunakan

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN III. METODELOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku yang digunakan adalah kelopak kering bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) yang berasal dari petani di Dramaga dan kayu secang (Caesalpinia

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS Menurut Brooker et al. (1974) terdapat beberapa kombinasi waktu dan suhu udara pengering dimana komoditas hasil pertanian dengan kadar

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. OPTIMASI FORMULA 1. Penentuan Titik Maksimum Tahap awal dalam penelitian ini adalah penentuan titik maksimum substitusi tepung jagung dan tepung ubi jalar. Titik maksimum

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SINGKONG 4.1.1. Perubahan Kadar Air Terhadap Waktu Proses pengeringan lapisan tipis irisan singkong dilakukan mulai dari kisaran kadar

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengemasan Buah Nanas Pada penelitian ini dilakukan simulasi transportasi yang setara dengan jarak tempuh dari pengumpul besar ke pasar. Sebelum dilakukan simulasi transportasi,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fateta-IPB.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan dan Maksud Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan adalah rimpang kunyit, asam jawa tanpa biji cap Cabe, dan rimpang jahe yang dibeli di Pasar Induk Tangerang, air minum dalam kemasan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah melon yang terolah minimal, beberapa senyawa penting

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN PENDAHULUAN Dari penelitian pendahuluan diperoleh bahwa konsentrasi kitosan yang terbaik untuk mempertahankan mutu buah markisa adalah 1.5%. Pada pengamatan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan diawali dengan melakukan uji terhadap buah salak segar Padangsidimpuan. Buah disortir untuk memperoleh buah dengan kualitas paling

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Susut Bobot Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan penurunan mutu buah. Muchtadi (1992) mengemukakan bahwa kehilangan bobot pada buah-buahan yang disimpan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Penyusunan Buah Dalam Kemasan Terhadap Perubahan Suhu Penelitian ini menggunakan dua pola penyusunan buah tomat, yaitu pola susunan acak dan pola susunan teratur. Pola

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (a) (b) Gambar 4 Twin trough chamber (a) dan flat bottom chamber (b)

HASIL DAN PEMBAHASAN. (a) (b) Gambar 4 Twin trough chamber (a) dan flat bottom chamber (b) 6 pengembang yang masih segar. Pelat dideteksi dengan UV 366 nm. Stabilitas Analat pada Pelat dan dalam Larutan. Ekstrak ditotolkan pada pelat 10 x 10 cm. Ekstrak dibuat sebanyak tiga buah. Ekstrak satu

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan mutu yang diamati selama penyimpanan buah manggis meliputi penampakan sepal, susut bobot, tekstur atau kekerasan dan warna. 1. Penampakan Sepal Visual Sepal atau biasa

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet

II. TINJAUAN PUSTAKA. Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karet Alam Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet termasuk tanaman tahunan yang tergolong dalam famili Euphorbiaceae, tumbuh baik di dataran

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Marshmallow merupakan salah satu produk aerated confectionary yang dalam pembuatannya ada pemerangkapan udara sehingga menghasilkan tekstur yang lembut dan ringan. Marshmallow

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Parameter Pengeringan dan Mutu Irisan Mangga

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Parameter Pengeringan dan Mutu Irisan Mangga III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2011 sampai dengan Agustus 2011 di Laboratorium Pindah Panas serta Laboratorium Energi dan Elektrifikasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang Pengeringan adalah proses pengolahan pascapanen hasil pertanian yang paling kritis. Pengeringan sudah dikenal sejak dulu sebagai salah satu metode pengawetan bahan. Tujuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar Hasil Uji t antara Kontrol dengan Tingkat Kematangan Buah Uji t digunakan untuk membandingkan

Lebih terperinci

Gambar 8. Profil suhu lingkungan, ruang pengering, dan outlet pada percobaan I.

Gambar 8. Profil suhu lingkungan, ruang pengering, dan outlet pada percobaan I. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Suhu Ruang Pengering dan Sebarannya A.1. Suhu Lingkungan, Suhu Ruang, dan Suhu Outlet Udara pengering berasal dari udara lingkungan yang dihisap oleh kipas pembuang, kemudian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Preparasi Sampel Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi 2 dikeringkan pada suhu 105 C. Setelah 6 jam, sampel diambil dan didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang. Hal ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh bobot yang konstan (b). Kadar air sampel ditentukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pengamatan suhu alat pengering dilakukan empat kali dalam satu hari selama tiga hari dan pada pengamatan ini alat pengering belum berisi ikan (Gambar

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) pada penelitian ini dilakukan melalui proses hidrolisis pada autoklaf bertekanan 1 atm. Berbeda dengan proses hidrolisis glukosamin

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Bagian buah dan biji jarak pagar.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Bagian buah dan biji jarak pagar. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Spesifikasi Biji Jarak Pagar Tanaman jarak (Jatropha curcas L.) dikenal sebagai jarak pagar. Menurut Hambali et al. (2007), tanaman jarak pagar dapat hidup dan berkembang dari dataran

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nanas (Ananas comosus L. Merr) Nanas merupakan tanaman buah yang banyak dibudidayakan di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini mempunyai banyak manfaat terutama pada buahnya.

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN 25 BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Ekstraksi simplisia segar buah duku dilakukan dengan cara dingin yaitu maserasi karena belum ada data tentang kestabilan komponen ekstrak buah duku terhadap panas.

Lebih terperinci

TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI. Oleh : Ir. Nur Asni, MS

TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI. Oleh : Ir. Nur Asni, MS TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI Oleh : Ir. Nur Asni, MS Peneliti Madya Kelompok Peneliti dan Pengkaji Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering Uji pembedaan segitiga dilakukan untuk melihat perbedaan ikan teri hasil perlakuan dengan ikan teri komersial.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perubahan Konsentrasi O dan CO dalam Kemasan mempunyai densitas antara.915 hingga.939 g/cm 3 dan sebesar,9 g/cm 3, dimana densitas berpengaruh terhadap laju pertukaran udara

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daratan Malaya. Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) banyak ditemui

I. PENDAHULUAN. daratan Malaya. Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) banyak ditemui I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belimbing wuluh merupakan salah satu tanaman buah asli Indonesia dan daratan Malaya. Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) banyak ditemui sebagai tanaman pekarangan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan selama Proses Pengeringan Kondisi lingkungan merupakan aspek penting saat terjadinya proses pengeringan. Proses pengeringan dapat memberikan pengaruh terhadap sifat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. RADIASI MATAHARI DAN SH DARA DI DALAM RMAH TANAMAN Radiasi matahari mempunyai nilai fluktuatif setiap waktu, tetapi akan meningkat dan mencapai nilai maksimumnya pada siang

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Analisis Kimia.1.1 Kadar Air Hasil analisis regresi dan korelasi (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara jumlah dekstrin yang ditambahkan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan sebagian besar wilayahnya adalah daerah hutan yang memiliki banyak kekayaan alam berupa tanaman. Tanaman asli Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Evaluasi kestabilan formula krim antifungi ekstrak etanol rimpang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Evaluasi kestabilan formula krim antifungi ekstrak etanol rimpang BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Evaluasi kestabilan formula krim antifungi ekstrak etanol rimpang lengkuas (Alpinia galanga L.) memberikan hasil sebagai berikut : Tabel 2 :

Lebih terperinci

APLIKASI METODE RESPON SURFACE UNTUK OPTIMASI KUANTITAS SUSUT BOBOT BUAH MANGGIS. Abstrak

APLIKASI METODE RESPON SURFACE UNTUK OPTIMASI KUANTITAS SUSUT BOBOT BUAH MANGGIS. Abstrak APLIKASI METODE RESPON SURFACE UNTUK OPTIMASI KUANTITAS SUSUT BOBOT BUAH MANGGIS Andriani Lubis 1*) 1) Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 23111 *) andriani_loebis@yahoo.com Abstrak

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Konsentrasi KMnO 4 Terhadap Susut Berat Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap susut berat cabai merah berbeda nyata

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Morfologi dan Rendemen Tubuh Cangkang Kijing Lokal (Pilsbryoconcha sp.)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Morfologi dan Rendemen Tubuh Cangkang Kijing Lokal (Pilsbryoconcha sp.) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Morfologi dan Rendemen Tubuh Cangkang Kijing Lokal (Pilsbryoconcha sp.) Cangkang kijing lokal yang diperoleh dari danau Teratai yang terdapat di Kec. Mananggu Kab. Boalemo

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Pendahuluan

BAHAN DAN METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Pendahuluan BAHAN DAN METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama dalam penyimpanannya membuat salah satu produk seperti keripik buah digemari oleh masyarat. Mereka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. satunya adalah buah kersen atau biasa disebut talok. Menurut Verdayanti (2009),

I. PENDAHULUAN. satunya adalah buah kersen atau biasa disebut talok. Menurut Verdayanti (2009), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buah-buahan merupakan salah satu sumber makanan yang kaya akan berbagai macam vitamin, mineral dan zat-zat gizi yang bermanfaat bagi tubuh. Di sekitar kita banyak sekali

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISASI SIMPLISIA Simplisia yang digunakan pada penelitian ini adalah tanaman sambiloto yang berasal dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu penyebab meningkatnya penderita penyakit degeneratif di

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu penyebab meningkatnya penderita penyakit degeneratif di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu penyebab meningkatnya penderita penyakit degeneratif di masyarakat adalah kerusakan sel tubuh sebagai akibat aktivitas unsur radikal bebas yang terdapat dalam

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Homogenisasi merupakan proses pengecilan ukuran fase terdispersi dalam suatu sistem emulsi. Proses homogenisasi bertujuan untuk menjaga kestabilan sistem emulsi dan mencegah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penentuan Laju Respirasi dengan Perlakuan Persentase Glukomanan Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah sawo yang terolah minimal, beberapa senyawa penting

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN 4.1.1. Analisis Kandungan Senyawa Kimia Pada tahap ini dilakukan analisis proksimat terhadap kandungan kimia yang terdapat dalam temulawak kering yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Evaluasi Krim Hasil evaluasi krim diperoleh sifat krim yang lembut, mudah menyebar, membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat dioleskan pada

Lebih terperinci

Pengeringan Untuk Pengawetan

Pengeringan Untuk Pengawetan TBM ke-6 Pengeringan Untuk Pengawetan Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung melalui penggunaan

Lebih terperinci

Gambar 1. Lahan pertanian intensif

Gambar 1. Lahan pertanian intensif 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Penggunaan Lahan Seluruh tipe penggunaan lahan yang merupakan objek penelitian berada di sekitar Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm, IPB - Bogor. Deskripsi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Absorbsi Near Infrared Sampel Tepung Ikan Absorbsi near infrared oleh 50 sampel tepung ikan dengan panjang gelombang 900 sampai 2000 nm berkisar antara 0.1 sampai 0.7. Secara grafik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 17 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2011 sampai Maret 2012. Penelitian ini dilakukan di beberapa laboratorium yaitu, Laboratorium

Lebih terperinci

PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN

PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN Paper Pendugaan Umur Simpan Produk Kopi Instan Formula Merk-Z Dengan Metode Arrhenius, kami ambil dari hasil karya tulis Christamam Herry Wijaya yang merupakan tugas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium

Lebih terperinci

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) Antonius Hermawan Permana dan Rizki Satria Hirasmawan Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN MBAHASAN A. SUSUT BOBOT Perubahan susut bobot seledri diukur dengan menimbang bobot seledri setiap hari. Berdasarkan hasil pengukuran selama penyimpanan, ternyata susut bobot seledri mengalami

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. WARNA KULIT BUAH Selama penyimpanan buah pisang cavendish mengalami perubahan warna kulit. Pada awal pengamatan, buah berwarna hijau kekuningan dominan hijau, kemudian berubah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Buah labu kuning atau buah waluh (Jawa Tengah), labu parang (Jawa Barat),

TINJAUAN PUSTAKA. Buah labu kuning atau buah waluh (Jawa Tengah), labu parang (Jawa Barat), 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Buah Waluh Buah labu kuning atau buah waluh (Jawa Tengah), labu parang (Jawa Barat), pumpkin (Inggris) merupakan jenis buah sayur-sayuran yang berwarna kuning dan berbentuk lonjong

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secang (Caesalpinia sappan L.) merupakan tanaman yang sudah lama banyak digunakan sebagai obat tradisional. Adanya senyawa brazilin dan brazilein memberikan ciri

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH PASCA

TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH PASCA AgroinovasI TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH PASCA Dalam menghasilkan benih bermutu tinggi, perbaikan mutu fisik, fisiologis maupun mutu genetik juga dilakukan selama penanganan pascapanen. Menjaga mutu fisik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Determinasi Tanaman Determinasi dari suatu tanaman bertujuan untuk mengetahui kebenaran identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Spektra Buah Belimbing

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Spektra Buah Belimbing IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Spektra Buah Belimbing Buah belimbing yang dikenai radiasi NIR dengan panjang gelombang 1000-2500 nm menghasilkan spektra pantulan (reflektan). Secara umum, spektra pantulan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Prinsip pengeringan lapisan tipis pada dasarnya adalah mengeringkan bahan sampai kadar air bahan mencapai kadar air keseimbangannya. Sesuai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kondisi lingkungan tumbuh yang digunakan pada tahap aklimatisasi ini, sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan planlet Nepenthes. Tjondronegoro dan Harran (1984) dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan senduduk merupakan tanaman perdu yang tersebar di hutan Indonesia. Tumbuhan senduduk (Melastoma malabathricum L.) tumbuh liar pada tempat-tempat yang mendapat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Proksimat Fillet Gurami Komponen penting dari komposisi kimia ikan adalah protein dan lemak. Ikan gurami mengandung 75-80% protein dan 6-9% lemak (basis kering) (Tabel 3).

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Daya Larut

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Daya Larut 4. PEMBAHASAN Pembuatan minuman serbuk daun katuk dan jambu biji merah merupakan sebuah penelitian pengembangan produk yang bertujuan untuk memanfaatkan nilai fungsional pada bahan alami dengan lebih mudah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. November Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk.

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. November Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan November 2015. Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk. dilakukan di daerah

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG 49 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kandungan Klorofil Pada Ekstrak Sebelum Pengeringan dan Bubuk Klorofil Terenkapsulasi Setelah Pengeringan Perhitungan kandungan klorofil pada ekstrak sebelum pengeringan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perubahan Parameter Fisik dan Organoleptik Pada Perlakuan Blansir 1. Susut Bobot Hasil pengukuran menunjukkan bahwa selama penyimpanan 8 hari, bobot rajangan selada mengalami

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENGERINGAN BIJI KOPI BERDASARKAN VARIASI KECEPATAN ALIRAN UDARA PADA SOLAR DRYER

KARAKTERISTIK PENGERINGAN BIJI KOPI BERDASARKAN VARIASI KECEPATAN ALIRAN UDARA PADA SOLAR DRYER KARAKTERISTIK PENGERINGAN BIJI KOPI BERDASARKAN VARIASI KECEPATAN ALIRAN UDARA PADA SOLAR DRYER Endri Yani* & Suryadi Fajrin Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Andalas Kampus Limau Manis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data penetapan kadar larutan baku formaldehid dapat dilihat pada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data penetapan kadar larutan baku formaldehid dapat dilihat pada BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PERCOBAAN 1. Penetapan kadar larutan baku formaldehid Data penetapan kadar larutan baku formaldehid dapat dilihat pada tabel 2. Hasil yang diperoleh dari penetapan

Lebih terperinci

PENANGANAN PASCA PANEN YANG BAIK (GOOD HANDLING PRACTICES/GHP) RIMPANG

PENANGANAN PASCA PANEN YANG BAIK (GOOD HANDLING PRACTICES/GHP) RIMPANG PENANGANAN PASCA PANEN YANG BAIK (GOOD HANDLING PRACTICES/GHP) RIMPANG Balai Besar Pelatihan Pertanian Ketindan Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian Kementerian Pertanian (2017) TUJUAN PEMBELAJARAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tanaman kacang buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan salah satu tanaman

I PENDAHULUAN. Tanaman kacang buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan salah satu tanaman 2 I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Tanaman kacang buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan salah satu tanaman sayuran yang penting karena memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Setiap 100 gram kacang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Total Fenolat Senyawa fenolat merupakan metabolit sekunder yang banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan, termasuk pada rempah-rempah. Kandungan total fenolat dendeng sapi yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7. Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7. Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif Hasil analisis karakterisasi arang dan arang aktif berdasarkan SNI 06-3730-1995 dapat dilihat pada Tabel 7. Contoh Tabel 7. Hasil

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.4 1. ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... Klorofil Kloroplas Hormon Enzim Salah satu faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Alat dan bahan 3.1.1 Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan alat yang berasal dari Laboratorium Tugas Akhir dan Laboratorium Kimia Analitik di Program

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4.1. Sifat Fisis IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat fisis papan laminasi pada dasarnya dipengaruhi oleh sifat bahan dasar kayu yang digunakan. Sifat fisis yang dibahas dalam penelitian ini diantaranya adalah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Sintesis 1-(2,5-dihidroksifenil)-(3-piridin-2-il) propenon

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Sintesis 1-(2,5-dihidroksifenil)-(3-piridin-2-il) propenon BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sintesis -(,5-dihidroksifenil)-(-piridin--il) propenon Senyawa -(,5-dihidroksifenil)-(-piridin--il) propenon disintesis dengan cara mencampurkan senyawa,5-dihidroksiasetofenon,

Lebih terperinci