Bab 2 Tinjauan Pustaka

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab 2 Tinjauan Pustaka"

Transkripsi

1 Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Rasa Malu dan Bersalah Definisi Kecenderungan Rasa Malu dan Bersalah Perasaan malu dan bersalah muncul sebagai akibat dari perbuatan menyimpang yang dilakukan seorang individu (Cohen, Insko, Panter, Wolf, 2011). Tangney (2003) dalam Cohen et al. (2011) memaparkan bahwa rasa malu dan bersalah merupakan emosi yang muncul dari kesadaran diri dari evaluasi dan introspeksi diri. Rasa malu dan bersalah, muncul sebagai bentuk emosi yang berbeda pada individu. Berdasarkan pandangan perilaku diri (self-behavior) yang dikemukakan oleh Tracy dan Robins (2004) dalam Cohen et al. (2011), perasaan bersalah muncul ketika seseorang membuat refleksi mengenai perilaku spesifik yang tidak sesuai atau menyimpang dengan perilakunya sehingga mengakibatkan munculnya perasaan negatif mengenai perilaku yang dilakukan. Sementara itu, rasa malu muncul ketika seseorang membuat refleksi yang bersifat stabil dan global mengenai dirinya sehingga mengakibatkan munculnya perasaan negatif mengenai diri secara global (Cohen et al. 2011). Pandangan lainnya yang turut mengulas perbedaan mengenai rasa malu dan bersalah adalah pandangan umum-pribadi (public-private) yang dikemukakan oleh Combs, Campbell, Jackson, dan Smith (2010) dalam Cohen et al. (2011). Pandangan ini melandaskan pandangan antropologi dalam pembahasannya. Menurut pandangan ini, perasaan bersalah diasosiasikan dengan perasaan pribadi bahwa seseorang telah melakukan hal yang salah dan bertentangan dengan hati nuraninya. Sebaliknya, perasaan malu merupakan perasaan negatif yang muncul ketika seseorang melakukan kesalahan dan kesalahannya dikemukakan di muka umum (Cohen et al. 2011) Dimensi kecenderungan rasa malu dan bersalah Cohen et al. (2011) menyatakan terdapat beberapa dimensi rasa malu dan bersalah, yaitu: Kecenderungan perasaan malu dan bersalah disusun oleh dua dimensi utama, yaitu dimensi kecenderungan rasa malu (Shame) dan dimensi kecenderungan rasa bersalah (Guilt) (Cohen et al. 2011). Setiap dimensi terdiri dari 2 indikator. 6

2 7 Dimensi kecenderungan perasaan bersalah memiliki 2 indikasi, yaitu evaluasi perilaku negatif (Negative Self Evaluation) dan perbaikan diri (Repair). Hubungan yang terjadi antara aspek evaluasi terhadap perilaku negatif dan perbaikan diri menjelaskan bahwa individu dengan kecenderungan untuk mengevaluasi perilaku yang negatif turut memiliki kecenderungan untuk melakukan perbaikan diri. Dimensi rasa malu terdiri dua indikator, yaitu menarik diri (Withdrawal) dan mengevaluasi diri secara negatif. (Negative Self Evaluation) Indikator pengevaluasian diri secara memiliki hubungan dalam arah yang negatif dengan kedua indikator perasaan bersalah, yakni indikator repair dan Negative Self Evaluation Faktor yang mempengaruhi rasa malu dan bersalah Tangney dan Dearing (2002) dalam Cohen et al. (2011), memaparkan bahwa kepribadian merupakan aspek yang mempengaruhi kecenderungan munculnya rasa malu dan bersalah. Misalnya, individu dengan kepercayaan diri yang tinggi akan cenderung merasa malu dibandingkan bersalah ketika melakukan perbuatan yang menyimpang, seperti korupsi. Sebaliknya, individu dengan empati cenderung tinggi akan cenderung merasa bersalah dibandingkan malu (Cohen et al. 2011) Dampak dari rasa malu dan bersalah Schmader dan Lickel (2006) dalam Cohen, Wolf et al. (2011) mengatakan bahwa sama seperti rasa bersalah, perasaan malu juga memiliki kecenderungan untuk menimbulkan perbaikan perilaku, namun dapat juga menyebabkan seseorang menjadi menarik diri. 2.2 Machiavellianisme Definisi Machiavellianisme Machiavellianisme merupakan gabungan dari beragam sikap dan perilaku menipu dan manipulatif (Kessler, 2010) Machiavellianisme sering juga diidentikkan sebagai istilah umum untuk suatu sikap individu yang melakukan tindakan berupa mengambil setiap keutungan untuk

3 8 diri sendiri tanpa memperhatikan hak atau klaim dari individu atau masyarakat (Kolb, 2008) Variabel Machiavellianisme Berdasarkan teori Dahling (2009) yang menyatakan bahwa perilaku machiavellian terbagi menjadi 4 dimensi, yaitu : 1. Distrust of others Persepsi dengan memandangan negatif akan motivasi dan keinginan individu lain, dengan terfokus pada efek negatif dari motivasi dan keinginan individu lain yang dapat mempengaruhi keinginan pribadi. 2. Desire for status Keinginan untuk mendapatkan indikator eksternal akan kesuksesan, seperti posisi pekerjaan yang tinggi. 3. Desire for Control Keinginan untuk berada pada posisi sebagai pendominasi pada situasi situasi interpersonal untuk meminimalisir kemungkinan individu lain memegang kekuasaan yang dapat membahayakan dirinya. 4. Amoral manipulation Keinginan untuk melanggar nilai nilai moral dan etika untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri dari kerugian individu lain Penyebab dan Akibat Machiavellianisme Dalam perkembangannya, timbulnya Machiavellianism merupakan dampak dari beberapa hal, antara lain karena budaya dari organisasi itu sendiri (Singhapakdi, 1993), pengaruh dari atasan (Den Hartog, 2012), kepribadian individu, bagaimana Locus of Control individu tersebut (Latif, 2000) Sifat Machiavellianisme dalam diri individu juga menimbulkan berbagai akibat pada kepribadian individu itu sendiri. Individu dengan tingkat Machiavellianisme yang tinggi pada umumnya akan memiliki tingkat external locus of control yang kuat (Latif, 2000), keterikatan terhadap pekerjaan rendah, dan kecenderungan berperilaku etis yang lebih rendah (Singhapakdi, 1993).

4 9 2.3 Self Monitoring Definisi Pemantauan Diri (Self Monitoring) Snyder (dalam O neill, 2011) mengemukakan bahwa pemantauan diri adalah kemampuan individu untuk mengukur situasi sosial yang sedang dihadapi dan menunjukkan perilaku yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Santrock (2004) berpendapat bahwa pemantauan diri adalah Sifat yang memperhatikan kesan orang lain terhadap diri sendiri disertai dengan usaha yang dilakukan untuk mendapatkan kesan tersebut secara maksimal Dapat disimpulkan bahwa pemantauan diri merupakan sifat individu, dimana individu cenderung untuk mendapatkan kesan baik akan dirinya dari lingkungan sosialnya dengan menunjukkan tingkah laku yang diterima pada situasi sosial yang sedang dialami Dimensi dari Self Monitoring Lennox dan Wolfe (1984) mengembangkan teori dari Snyder (1974) dan mengatakan bahwa Self-monitoring terdiri dari 2 dimensi, yaitu: a) Ability to modify Self Presentation, dimana hal tersebut menggambarkan kemampuan seseorang untuk melakukan halhal yang dianggap mampu memberikan kesan diri yang terbaik. b) Sensitivity to expressive behavior of others, dimana hal tersebut menggambarkan bagaimana tingkat sensitivitas individu akan ekspresi dari individu lain mengenai dirinya Hal ini menunjukkan bahwa individu dengan kecenderungan Self Monitoring yang tinggi cenderung lebih peka terhadap kesan individu lain terhadap dirinya, sehingga hal ini turut mempengaruhi kemampuan individu tersebut untuk berperilaku adaptif terhadap beragam kondisi yang memungkinkan baginya untuk mendapatkan kesan terbaik dari individu lain.

5 Penyebab dan Akibat dari Self Monitoring Tinggi atau rendahnya tingkat pemantauan diri seseorang pun dapat disebabkan oleh banyak pihak, antara lain dukungan keluarga, kadar kelekatan pada keluarga, dan perbedaan pandangan akan keluarga berdasarkan gender (Schoenrock, 1999). Snyder dan Gangestad (2000) mengatakan bahwa seseorang dengan tingkat Selfmonitoring yang tinggi akan memiliki tingkat kepedulian akan diri yang tinggi dengan menunjukkan perilaku yang dianggap sesuai dengan kondisi yang dialaminya pada saat tersebut. Tingkat Self-monitoring yang tinggi akan memunculkan beberapa perilaku, diantaranya seperti menunjukkan perilaku pragmatis dengan sempurna, bersedia dan mampu untuk menunjukkan sesuatu dengan tujuan untuk membuat orang lain terkesan. Di samping itu, individu dengan tingkat Self-monitoring yang tinggi mempercayai bahwa penampilan mereka akan menjadi realita sosial yang ada, serta pada umumnya mereka merupakan individu yang lebih fleksibel dalam hal prinsip. Dalam hal sosial, seseorang dengan tingkat Self-monitoring yang tinggi pada umumnya akan membangun hubungan sosial dengan individu lain yang berhubungan dengan tujuan dari aktivitasnya. Adapun individu lain yang dipilih untuk menjadi partner sosialnya merupakan individu yang memiliki kemampuan terbaik dari aktivitas yang menjadi tujuan orang tersebut.

6 Kerangka Berpikir Pemantauan diri (Self - Monitoring) - Ability to Modify Self Presentation - Sensitivity to Expressive Behavior to Other Machiavellianisme - Distrust of Other - Amoral Manipulation - Desire for Status - Desire for Control Kecenderungan Rasa Malu dan Bersalah - Shame o Negative self Evaluation o Withdrawal - Guilt o Negative Behavior Evaluation o Repair Self-monitoring atau pemantauan diri, dapat dikatakan sebagai suatu sifat dimana individu menaruh perhatian secara khusus, dalam kuantitas tertentu terhadap kesan akan dirinya menurut persepsi orang lain, dan melakukan cara cara tertentu untuk menghasilkan kesan terbaik dari orang lain.(snyder & Gangestad, 1986) Individu dengan level Self-monitoring yang tinggi akan cenderung melakukan hal-hal yang dianggap dapat memberikan citra diri yang baik, dan mencoba untuk tidak terlibat dengan hal-hal yang dapat memberikan citra diri yang buruk. Ketika terlibat dengan suatu hal yang dianggap memberikan citra buruk bagi dirinya, dan diketahui oleh orang lain yang berkaitan dengan dirinya, individu dengan tingkat Self-monitoring yang tinggi cenderung akan merasa malu (shame) lebih dalam akibat perbuatannya tersebut dibandingkan dengan orang lain. Menanggapi timbulnya perasaan malu tersebut, secara psikologis individu tersebut akan merasa bersalah (guilt) dan mengembangkan perilaku introspeksi akan perbuatannya (Rotenberg, Hewlett, & Siegwart, 2012). Self Monitoring sendiri diindikasikan dengan aspek perilaku Ability to Modify Self Presentation dan Sensitivity to Expressive Behavior to Other.

7 12 Perilaku Ability to Modify Self Presentation sendiri merupakan kecenderungan indvidu untuk menyesuaikan kesan akan dirinya dengan ekspektasi individu akan dirinya. (Lennox, 1984) Timbulnya reaksi berkelanjutan dari perilaku yang dianggap memberikan citra negatif tersebut, akan mendorong individu untuk menghindari perilaku yang dianggap menyimpang dan memberikan citra buruk tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kecenderungan Ability to Modify Self Presentation pada individu, akan berkorelasi secara positif dengan aspek perilaku Negative Behavior Evaluation dan Negative Self Evaluation. Hubungan ini turut mempengaruhi aspek perilaku Repair dan Withdrawal, sehingga individu dengan kecenderungan Ability to Modify Self Presentation yang tinggi akan memiliki kecenderungan perilaku Repair dan Withdrawal yang tinggi pula. Aspek perilaku Sensitivity of Expressive Behavior to Other sendiri merupakan kecenderungan individu dalam bentuk kepekaan akan ekspresi individu yang akan dirinya, dimana hal tersebut berkaitan dengan penilaian individu tersebut dengan dirinya (Lennox, 1984). Individu dengan kecenderungan Sensitivity to Expressive Behavior yang tinggi akan cenderung memperhatikan bagaimana penilaian individu lain akan dirinya, dimana hal ini berarti individu dengan Sensitivity to Expressive Behavior yang tinggi akan memiliki kecenderungan aspek perilaku Negative Behavior Evaluation dan Negative Self Evaluation yang tinggi puladikarenakan kepekaan individu tersebut dalam merasakan penilaian individu lain akan dirinya. Hubungan dalam arah positif antara aspek Sensitivity to Expressive Behavior dengan aspek perilaku Negative Behavior Evaluation dan Negative Self Evaluation turut mempengaruhi kecenderungan individu pada aspek perilaku Withdrawal dan Repair Namun, menanggapi hal tersebut, penulis merasa bahwa pengaruh tingkat Selfmonitoring seseorang terhadap rasa malu dan bersalah seseorang masih harus dikaji lebih lanjut mengingat bagaimana perasaan malu dan bersalah seseorang masih erat terkait dengan konteks-konteks yang sifatnya subjektif misalnya : faktor lingkungan, atau nilai-nilai yang dipelajari. Sementara itu, dalam perilaku sehari-hari, perilaku menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi merupakan hal yang umum terjadi. Dalam psikologi sendiri Machiavellianism diartikan sebagai perilaku menghalalkan segala cara demi memenuhi keinginan atau dorongan individu (Ruthman & will, 2011). Individu

8 13 dengan tingkat Machiavellianism yang tinggi juga dikatakan memiliki rasa menyesali suatu tindakan yang dianggap menyimpang lebih rendah daripada orang lain. Aspek perilaku Machiavellianisme sendiri dibagi menjadi 4 dimensi yaitu Amoral Manipulation, Distrust of Others, Desire for Control, dan Desire for Status. Aspek perilaku Amoral Manipulation sendiri merupakan kecenderungan individu untuk mengabaikan standar moral dan etika, Distrust of Others merupakan kecenderungan individu untuk menghindari individu lain dikarenakan adanya persepsi negatif akan individu lain, Desire for Control merupakan kebutuhan individu akan posisi sebagai pendominasi, dengan tujuan untuk menghindari dari kemungkinan akan dominasi individu lain, dan Desire for Status yang merupakan kebutuhan individu akan suatu status, dimana status dianggap merupakan lambing dari kesuksesan. Hal ini menunjukkan bahwa individu dengan kecenderungan Machiavellianisme yang tinggi, maka akan memiliki kecenderungan Negative Behavior Evaluation dan Negative Self Evaluation yang rendah. Hal ini turut mempengaruhi kecenderungan aspek perilaku Repair dan Withdrawal, dalam arah yang negatif pula. Dalam hal ini, ketika melakukan suatu tindakan yang menyimpang, individu tersebut tidak akan terlalu merasa malu (shame) pada tindakan yang telah dilakukannya. Dapat disimpulkan, bahwa individu dengan tingkat Machiavellianism yang tinggi akan memiliki korelasi negative dengan kecenderungan rasa malu dan bersalah dari individu tersebut.

BAB 3 Metode Penelitian

BAB 3 Metode Penelitian BAB 3 Metode Penelitian 3.1 Variabel Penelitian dan Hipotesis 3.1.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Menurut Hatch dan Farhady (dalam Sugiyono, 2009), variabel dapat didefinisikan sebagai atribut

Lebih terperinci

BAB 2. Tinjauan Pustaka

BAB 2. Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Definisi Tipe Kepribadian A Tipe kepribadian A memiliki hubungan dengan bagaimana orang-orang biasanya menghadapi tantangan dalam hidup mereka serta bagaimana orang tersebut

Lebih terperinci

PREDIKSI PEMANTAUAN DIRI DAN MACHIAVELLIANISME TERHADAP KECENDERUNGAN RASA MALU DAN BERSALAH PADA PEGAWAI DI WILAYAH DKI JAKARTA

PREDIKSI PEMANTAUAN DIRI DAN MACHIAVELLIANISME TERHADAP KECENDERUNGAN RASA MALU DAN BERSALAH PADA PEGAWAI DI WILAYAH DKI JAKARTA PREDIKSI PEMANTAUAN DIRI DAN MACHIAVELLIANISME TERHADAP KECENDERUNGAN RASA MALU DAN BERSALAH PADA PEGAWAI DI WILAYAH DKI JAKARTA Albert Vincentius Tanzil Psikologi, Palmerah Utara 2 no 3 RT 10/ RW 16,

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Bias Optimisme Bias optimisme didefinisikan sebagai seorang yakin bahwa dirinya akan menerima atau mengalami lebih sedikit risiko dibandingkan dengan orang lain atau teman sebayanya.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Karakteristik Kepribadian Kepribadian secara umum diartikan sebagai karakteristik psikologis seseorang yang menentukan pola perilakunya. Feist & Feist (2002) dalam bukunya Theories

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini, korupsi merupakan topik hangat yang seringkali diangkat dalam media massa di Negara Indonesia. Terjadinya penyelewengan ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah

Lebih terperinci

PERAN PELANGGARAN KONTRAK PSIKOLOGIS DAN SIKAP TENTANG RISIKO DALAM MEMPREDIKSI EMOSI MORAL PADA KARYAWAN PERBANKAN DI JAKARTA

PERAN PELANGGARAN KONTRAK PSIKOLOGIS DAN SIKAP TENTANG RISIKO DALAM MEMPREDIKSI EMOSI MORAL PADA KARYAWAN PERBANKAN DI JAKARTA PERAN PELANGGARAN KONTRAK PSIKOLOGIS DAN SIKAP TENTANG RISIKO DALAM MEMPREDIKSI EMOSI MORAL PADA KARYAWAN PERBANKAN DI JAKARTA Melissa Amelia Psikologi, Meruya Ilir Kav DKI Blok 29 No 11, 08179320307,

Lebih terperinci

2015 HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN PERILAKU KONSUMTIF PADA MAHASISWI TINGKAT AWAL DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) BANDUNG

2015 HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN PERILAKU KONSUMTIF PADA MAHASISWI TINGKAT AWAL DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) BANDUNG 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Religiusitas adalah suatu keadaan yang mendorong diri seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama yang dipeluknya. Religiusitas

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Dari hasil yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dapat diberikan

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Dari hasil yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dapat diberikan BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Simpulan Dari hasil yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dapat diberikan beberapa kesimpulan dalam penelitian ini. Terdapat hubungan antara selfmonitoring dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut sebagai self monitoring (Penrod, 1986). Self-monitoring adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut sebagai self monitoring (Penrod, 1986). Self-monitoring adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Self Monitoring Setiap individu berbada dalam memilih jenis informasi yang digunakan untuk konsep dirinya. Tiap-tiap individu memiliki kesadaran berbeda-beda tentang cara menampilkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kontrak Psikologis 2.1.1 Definisi Kontrak Psikologis Kontrak merupakan hal yang tidak asing lagi dijumpai dalam setiap aspek kehidupan manusia, dengan formalitas dan variasi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility),

BAB II LANDASAN TEORI. Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility), BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Locus Of Control 2.1.1. Pengertian Locus Of Control Konsep tentang Locus of control (pusat kendali) pertama kali dikemukakan oleh Rotter (1966), seorang ahli teori pembelajaran

Lebih terperinci

PERBEDAAN KOMITMEN BERPACARAN ANTARA DEWASA MUDA YANG MEMILIKI SELF-MONITORING TINGGI DAN SELF-MONITORING RENDAH

PERBEDAAN KOMITMEN BERPACARAN ANTARA DEWASA MUDA YANG MEMILIKI SELF-MONITORING TINGGI DAN SELF-MONITORING RENDAH PERBEDAAN KOMITMEN BERPACARAN ANTARA DEWASA MUDA YANG MEMILIKI SELF-MONITORING TINGGI DAN SELF-MONITORING RENDAH Fransisca Iriani Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta dosenpsikologi@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605). BAB II KAJIAN TEORI A. Teori Kontrol Diri 1. Pengertian Kontrol Diri Kontrol diri adalah kemampuan untuk menekan atau untuk mencegah tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 41 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Variabel Penelitian dan Hipotesis Definisi operasional merupakan batasan pengertian yang dijadikan pedoman dalam melaksanakan suatu aktivitas, seperti penelitian. Dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pergerakan pembaharuan yang akan menjadi generasi-generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. pergerakan pembaharuan yang akan menjadi generasi-generasi penerus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mahasiswa pada dasarnya merupakan subyek atau pelaku di dalam pergerakan pembaharuan yang akan menjadi generasi-generasi penerus bangsa, mahasiswa sebagai generasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kontrol Diri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kontrol Diri BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kontrol Diri 1. Definisi Kontrol Diri Kontrol diri mengacu pada kapasitas untuk mengubah respon diri sendiri, terutama untuk membawa diri mereka kepada standar yang sudah ditetapkan

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 2.1 Kecerdasan Interpersonal

BAB II KAJIAN TEORI. 2.1 Kecerdasan Interpersonal 2.1 Kecerdasan Interpersonal BAB II KAJIAN TEORI 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Interpersonal Kecerdasan interpersonal bisa dikatakan juga sebagai kecerdasan sosial, diartikan sebagai kemampuan dan keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi memiliki berbagai tujuan. Untuk mencapai tujuannya,

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi memiliki berbagai tujuan. Untuk mencapai tujuannya, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap organisasi memiliki berbagai tujuan. Untuk mencapai tujuannya, organisasi biasanya berusaha meningkatkan produktifitas, kemampuan berinovasi, dan kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memaksimalkan return. Investor yang bersikap rasional tentu akan

BAB I PENDAHULUAN. dapat memaksimalkan return. Investor yang bersikap rasional tentu akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang ingin memiliki kehidupan yang lebih baik dan layak. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan investasi. Pemilihan investasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut sebagai self monitoring (Penrod, 1986). Self-monitoring adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut sebagai self monitoring (Penrod, 1986). Self-monitoring adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Self Monitoring Setiap individu berbada dalam memilih jenis informasi yang digunakan untuk konsep dirinya. Tiap-tiap individu memiliki kesadaran berbeda-beda tentang cara menampilkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Personal Adjustment 1. Definisi Personal Adjustment Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah sebuah proses psikologis yang dijalani seseorang yang mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Family Self Sufficiency 2.1.1 Definisi Family Self Sufficiency Menurut Vohs, Mead, dan Goode (2008), self sufficiency adalah penekanan pada perilaku yang dipilih oleh individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman biasanya selalu diiringi dengan perubahan perilaku manusia, dimana seringkali perilaku manusia dikaitkan dengan isu etis, yang mana seorang profesional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengelola terhadap kinerja karyawannya. positif di mata masyarakat. Perusahaan tersebut adalah PT.

BAB I PENDAHULUAN. pengelola terhadap kinerja karyawannya. positif di mata masyarakat. Perusahaan tersebut adalah PT. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memasuki era globalisasi, persaingan dalam dunia kerja menjadi kompetitif. Agar Indonesia dapat bersaing dengan Negara lainnya, maka diperlukan tenaga kerja yang mampu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Achievement 1. Definisi Identity Achievement Identitas merupakan prinsip kesatuan yang membedakan diri seseorang dengan orang lain. Individu harus memutuskan siapakah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

BAB 4. Analisa Penelitian

BAB 4. Analisa Penelitian BAB 4 Analisa Penelitian 4.1. Data Penelitian Pada penelitian ini, peneliti melakukan penyebaran kuesioner baik secara online maupun secara langsung kepada dewasa muda di wilayah DKI Jakarta. Penyebaran

Lebih terperinci

BAB 3. Metode Penelitian

BAB 3. Metode Penelitian BAB 3 Metode Penelitian 3.1. Variabel Penelitian dan Hipotesis Menurut Kumar (1999), definisi operasional variabel adalah bagaimana semua orang memiliki pengertian yang sama dengan apa yang dimaksud oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teori keuangan konvensional menganggap individu bertindak rasional dalam mengidentifikasi dan menggunakan informasi yang relevan sehingga mampu membuat keputusan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa

BAB I PENDAHULUAN. dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Badan Pemeriksa Keuangan (disingkat BPK) adalah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam

BAB I PENDAHULUAN. Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan menolong ini berarti memberikan sesuatu yang dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konseling merupakan salah satu aktivitas layanan yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Konseling merupakan salah satu aktivitas layanan yang penting dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konseling merupakan salah satu aktivitas layanan yang penting dalam keseluruhan pemberian layanan bimbingan dan konseling di sekolah.counseling is the heart

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal merupakan awal dari suatu tahap kedewasaan dalam rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja dan akan memasuki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber. daya manusia untuk pembangunan bangsa. Whiterington (1991, h.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber. daya manusia untuk pembangunan bangsa. Whiterington (1991, h. 17 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia untuk pembangunan bangsa. Whiterington (1991, h. 12) menyatakan bahwa pendidikan

Lebih terperinci

Studi Deskriptif Mengenai Self Control pada Remaja Mengenai Kedisiplinan di Panti Asuhan X

Studi Deskriptif Mengenai Self Control pada Remaja Mengenai Kedisiplinan di Panti Asuhan X Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Deskriptif Mengenai Self Control pada Remaja Mengenai Kedisiplinan di Panti Asuhan X 1 Rizkia Alamanda Nasution, 2 Temi Damayanti 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas

Lebih terperinci

Teori Psikologi Kepribadian Kontemporer

Teori Psikologi Kepribadian Kontemporer Modul ke: Teori Psikologi Kepribadian Kontemporer Cognitive Social Learning Psychology Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Teoretikus dari pembelajaran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Normative Social Influence 2.1.1 Definisi Normative Social Influence Pada awalnya, Solomon Asch (1952, dalam Hogg & Vaughan, 2005) meyakini bahwa konformitas merefleksikan sebuah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prokrastinasi Steel (2007) mengemukakan prokrastinasi sebagai suatu perilaku menunda dengan sengaja melakukan kegiatan yang diinginkan walaupun individu mengetahui bahwa perilaku

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Prososial 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Menurut Kartono (2003) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu perilaku prososial yang menguntungkan dimana terdapat

Lebih terperinci

PERILAKU DALAM BERORGANISASI

PERILAKU DALAM BERORGANISASI PERILAKU DALAM BERORGANISASI Pertemuan 2 Pokok Bahasan: Dasar-dasar perilaku Individu Sub Pokok Bahasan: Karakteristik Biografik Kemampuan, Kepribadian, Persepsi Belajar 1 Karakteristik Biografik Yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Etika merupakan perilaku seseorang yang berhubungan dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Etika merupakan perilaku seseorang yang berhubungan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Etika merupakan perilaku seseorang yang berhubungan dalam pengambilan keputusan yang baik maupun buruk. Kelompok maupun individu pasti memiliki nilai-nilai etika didalam

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dalam penelitian ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan perilaku etis antara mahasiswa akuntansi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Rasa Bersalah. diri dan peristiwa negatif (Baumeiste r dkk., 2007). Hal ini menjelaskan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Rasa Bersalah. diri dan peristiwa negatif (Baumeiste r dkk., 2007). Hal ini menjelaskan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rasa Bersalah 1. Definisi Rasa Bersalah Rasa bersalah adalah emosi instropektif yang merupakan hasil dari refleksi diri dan peristiwa negatif (Baumeiste r dkk., 2007). Hal ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ada dua teori etika yang dikenal sebagai deontologi dan teleologi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ada dua teori etika yang dikenal sebagai deontologi dan teleologi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Etika Keraf (1998) dalam Bakri dan Hasnawati (2015) menyebutkan bahwa ada dua teori etika yang dikenal sebagai deontologi dan teleologi. a. Etika Deontologi

Lebih terperinci

EMOSI DAN SUASANA HATI

EMOSI DAN SUASANA HATI EMOSI DAN SUASANA HATI P E R I L A K U O R G A N I S A S I B A H A N 4 M.Kurniawan.DP AFEK, EMOSI DAN SUASANA HATI Afek adalah sebuah istilah yang mencakup beragam perasaan yang dialami seseorang. Emosi

Lebih terperinci

MOTIVASI BERPRESTASI ABSTRACK

MOTIVASI BERPRESTASI ABSTRACK MOTIVASI BERPRESTASI ABSTRACK Materi pembelajaran 'Motivasi Berprestasi' bertujuan untuk membekali mahasiswa/i akan pengertian, pemahaman terhadap motivasi berprestasi sebagai aspek pendorong untuk mencapai

Lebih terperinci

KOMPETENSI DAN INDIKATOR DALAM PENILAIAN KINERJA GURU BAGI GURU MATA PELAJARAN/GURU KELAS

KOMPETENSI DAN INDIKATOR DALAM PENILAIAN KINERJA GURU BAGI GURU MATA PELAJARAN/GURU KELAS KOMPETENSI DAN INDIKATOR DALAM PENILAIAN KINERJA GURU BAGI GURU MATA PELAJARAN/GURU KELAS A. KOMPETENSI PEDAGOGIK 1. Menguasai karakteristik peserta didik. a) Guru dapat mengidentifikasi karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kebijaksanaan dan Keadilan. Nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kebijaksanaan dan Keadilan. Nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang berideologi Pancasila dan memiliki nilai-nilai budaya yang luhur. Pancasila mengandung 5 pokok nilai yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Hurlock (2004: 206) menyatakan bahwa Secara psikologis masa remaja adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Memasuki Era pasar bebas banyak tantangan dan persaingan harus

BAB 1 PENDAHULUAN. Memasuki Era pasar bebas banyak tantangan dan persaingan harus BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki Era pasar bebas banyak tantangan dan persaingan harus dihadapi oleh dunia bisnis yang semakin komplek. Ditandai dengan adanya perubahan lingkungan

Lebih terperinci

6. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

6. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 50 6. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Berdasarkan analisis data penelitian yang dilakukan dengan teknik statistik, maka didapatkan hasil-hasil yang membantu peneliti dalam menjawab permasalahan dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Prestasi Belajar 1. Pengertian Prestasi belajar atau hasil belajar adalah realisasi atau pemekaran dari kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Penguasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan tempat individu berada. Remaja menurut Monks (2002) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan tempat individu berada. Remaja menurut Monks (2002) merupakan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja ditandai dengan pertumbuhan fisik, pengembangan kepribadian, pencapaian kedewasaan, kemandirian, dan adaptasi peran dan fungsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan dengan orang lain yang meliputi interaksi di lingkungan sekitarnya. Sepanjang hidup, manusia akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsisbilities atau CSR)

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsisbilities atau CSR) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Seiring dengan perkembangan zaman, wacana mengenai peran etika dan tanggung jawab sosial perusahaan semakin marak diperbincangkan oleh para pelaku bisnis, organisasi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. memperkirakan perilaku dari pengukuran sikap. Teori ini dinamakan reason action karena

BAB II LANDASAN TEORI. memperkirakan perilaku dari pengukuran sikap. Teori ini dinamakan reason action karena BAB II LANDASAN TEORI A. Intensi Berwirausaha 1. Pengertian Intensi Berwirausaha Fishbein dan Ajzein (Sarwono, 2002) mengembangkan suatu teori dan metode untuk memperkirakan perilaku dari pengukuran sikap.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ajzen yang merupakan penyempurnaan dari reason action theory yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ajzen yang merupakan penyempurnaan dari reason action theory yang A. Teori Planned Behavior BAB II TINJAUAN PUSTAKA Theory of planned behavior merupakan teori yang dikembangkan oleh Ajzen yang merupakan penyempurnaan dari reason action theory yang dikemukakan oleh Fishbein

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 55 BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Penelitian Bab IV mendeskripsikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hasil penelitian. Baik dengan rumusan masalah penelitian, secara berurutan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Sebelum membeli suatu produk atau jasa, umumnya konsumen melakukan evaluasi untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Sebelum membeli suatu produk atau jasa, umumnya konsumen melakukan evaluasi untuk BAB II LANDASAN TEORI A. Proses Pengambilan Keputusan Membeli Sebelum membeli suatu produk atau jasa, umumnya konsumen melakukan evaluasi untuk melakukan pemilihan produk atau jasa. Evaluasi dan pemilihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya dunia jejaring sosial terutama facebook yang muncul pertama kali

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya dunia jejaring sosial terutama facebook yang muncul pertama kali BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maraknya dunia jejaring sosial terutama facebook yang muncul pertama kali tahun 2004 oleh Mark Zuckerberg dan mulai resmi dapat di akses secara umum pada tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bullying 1. Definisi Bullying Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih kuat terhadap individu atau kelompok yang lebih lemah, yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Organizational Citizenship Behavior 2.1.1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational citizenship behavior

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. seseorang karena konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam

BAB II KAJIAN TEORI. seseorang karena konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep diri Konsep diri adalah gambaran tentang diri individu itu sendiri, yang terjadi dari pengetahuan tentang diri individu itu sendiri, yang terdiri dari pengetahuan tentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan. harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan. harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Self-Esteem 2.1.1 Pengertian Self-Esteem Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu pengertian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mutia Faulia, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mutia Faulia, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi atau peralihan perkembangan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang berlangsung sejak usia 10 atau 11 tahun, atau bahkan lebih awal yang disebut

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori

Bab 2. Landasan Teori Bab 2 Landasan Teori 2.1. Teori Perilaku Rencanaan (Theory Of Planned Behavior) Melanjutkan sekolah dan menyelesaikan pendidikan merupakan sebuah tujuan yang semestinya dicapai oleh setiap siswa. Untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Theory of Planned Behavior Fishbein dan Ajzen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Theory of Planned Behavior Fishbein dan Ajzen BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Theory of Planned Behavior Fishbein dan Ajzen Theory of planned behaviour merupakan pengembangan lebih lanjut dari Theory of Reasoned Action (Fishbein dan Ajzen, 1980; Fishbein

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. membantu untuk menjalin hubungan kerja sama dan kemampuan memahami individu

PENDAHULUAN. membantu untuk menjalin hubungan kerja sama dan kemampuan memahami individu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sosial, adanya kecenderungan perilaku asertif sangat membantu untuk menjalin hubungan kerja sama dan kemampuan memahami individu lain yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sekitar kita. Termaksud kerabat. Mereka itu yang disebut significant others.

BAB 1 PENDAHULUAN. sekitar kita. Termaksud kerabat. Mereka itu yang disebut significant others. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya, setiap manusia pasti melakukan interaksi dan memainkan peran dalam aktifitas komunikasi. Komunikasi yang telah terbina sesungguhnya juga menjadi acuan

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL PENELITIAN Dan PEMBAHASAN. karyawan outsourcing bagian loket (salesperson) dan bagian distribusi

BAB IV. HASIL PENELITIAN Dan PEMBAHASAN. karyawan outsourcing bagian loket (salesperson) dan bagian distribusi BAB IV HASIL PENELITIAN Dan PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian A. Deskripsi Subjek Dalam penelitian ini, peneliti menyebarkan kuesioner kepada karyawan outsourcing bagian loket (salesperson) dan bagian distribusi

Lebih terperinci

Kata kunci: tekanan anggaran waktu, locus of control, sifat Machiavellian, pelatihan auditor, perilaku disfungsional auditor

Kata kunci: tekanan anggaran waktu, locus of control, sifat Machiavellian, pelatihan auditor, perilaku disfungsional auditor Judul : Tekanan Anggaran Waktu, Locus of Control, Sifat Machiavellian dan Pelatihan Auditor sebagai Anteseden Perilaku Disfungsional Auditor (Studi Kasus pada BPKP RI Perwakilan Provinsi Bali) Nama : Ni

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. potensial terjadi sebagai hasil dari praktik atau penguatan (reinforced practice)

BAB II LANDASAN TEORI. potensial terjadi sebagai hasil dari praktik atau penguatan (reinforced practice) BAB II LANDASAN TEORI A. MOTIVASI BELAJAR 1. Definisi Motivasi Belajar Motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Belajar adalah perubahan tingkah laku secara relatif permanen dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan penelitian 1.3 Kerangka Teori

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan penelitian 1.3 Kerangka Teori BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menolong merupakan perbuatan yang mulia, sejauh pertolongan itu dibutuhkan sehingga bermanfaat. Namun terkadang pertolongan justru tidak datang saat dibutuhkan. Banyak

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Penerimaan Diri pada Narapidana Remaja Rutan Negara Kelas II B Salatiga,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Penerimaan Diri pada Narapidana Remaja Rutan Negara Kelas II B Salatiga, BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dan dianalisis mengenai Penerimaan Diri pada Narapidana Remaja Rutan Negara Kelas II B Salatiga, maka dapat dirumuskan

Lebih terperinci

ATRIBUSI. Diana Septi Purnama.

ATRIBUSI. Diana Septi Purnama. ATRIBUSI Diana Septi Purnama Email: dianaseptipurnama@uny.ac.id www.uny.ac.id DEFINISI mencari penjelasan-penjelasan sebab akibat atas berbagai peristiwa sosial, terutama terhadap tindakan yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran Ayah 1. Definisi Peran Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun informal (Supartini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka, digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesepian merupakan salah satu masalah psikologis yang kerap muncul dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai 1 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Karyawan PT. INALUM 1. Pengertian Karyawan Karyawan adalah sumber daya yang sangat penting dan sangat menentukan suksesnya perusahaan. Karyawan juga selalu disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam semua area profesi akuntansi Louwers et al. dalam (Husein, 2004). Profesi

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam semua area profesi akuntansi Louwers et al. dalam (Husein, 2004). Profesi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dewasa ini banyak masalah yang terjadi pada berbagai kasus bisnis yang melibatkan profesi akuntan. Sorotan yang diberikan kepada profesi ini disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar pelitian. Berikut adalah beberapa teori yang terkait sesuai dengan penelitian ini. 2.1 Anxiety (Kecemasan)

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Harga Diri 2.1.1 Pengertian Harga Diri Harga diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang mempunyai peran penting dan berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku individu.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemaafan 1. Pengertian Pemaafan Pemaafan sebagai kesediaan seseorang untuk meninggalkan kemarahan, penilaian negatif, dan perilaku acuh tidak acuh terhadap orang lain yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terpenting di dalamnya. Tanpa adanya manusia, organisasi tidak mungkin dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terpenting di dalamnya. Tanpa adanya manusia, organisasi tidak mungkin dapat digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia usaha dan industri tidak lepas dari adanya unsur manusia. Apa pun bentuk dan kegiatan suatu organisasi, manusia selalu memainkan peranan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku konsumen.

BAB II LANDASAN TEORI. hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku konsumen. BAB II LANDASAN TEORI A. LOYALITAS MEREK 1. Definisi Loyalitas Merek Schiffman dan Kanuk (2004) mengatakan bahwa loyalitas merek merupakan hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku

Lebih terperinci

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK Murhima A. Kau Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo INTISARI Proses perkembangan perilaku prososial menurut sudut pandang Social Learning Theory

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin berat, oleh karena itu perbaikan kompetensi seiring

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin berat, oleh karena itu perbaikan kompetensi seiring BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Saat ini dan masa mendatang profesi akuntan menghadapi tantangan yang semakin berat, oleh karena itu perbaikan kompetensi seiring perubahan global perlu ditingkatkan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikemukakan oleh Pieget (1932) dalam bukunya, The Moral Judgement of. objek dan kejadian yang ada di sekitar lingkungannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikemukakan oleh Pieget (1932) dalam bukunya, The Moral Judgement of. objek dan kejadian yang ada di sekitar lingkungannya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Moral Kognitif Teori perkembangan moral (moral development), pada awalnya dikemukakan oleh Pieget (1932) dalam bukunya, The Moral Judgement of a Child

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah memiliki tanggung jawab yang besar membantu siswa agar

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah memiliki tanggung jawab yang besar membantu siswa agar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah memiliki tanggung jawab yang besar membantu siswa agar berhasil dalam belajar.untuk itu sekolah hendaknya memberikan bantuan kepada siswa untuk mengatasi

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN. Bab terakhir ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan diskusi

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN. Bab terakhir ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan diskusi BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN Bab terakhir ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan diskusi mengenai hasil-hasil yang diperoleh dalam penelitian, serta keterbatasan penelitian. Selain itu, dalam

Lebih terperinci

PENGUKURAN KINERJA KUALITAS

PENGUKURAN KINERJA KUALITAS PENGUKURAN KINERJA KUALITAS Pengertian Pengukuran Kinerja Kualitas Menurut Junaedi ( 2002 : 380-381) Pengukuran kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 2.1 Pengertian Perilaku Asertif Perilaku assertif adalah perilaku antar perorangan yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan. Perilaku assertif

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara BAB 2 LANDASAN TEORI 2. 1. Self-Control 2. 1. 1. Definisi Self-control Self-control adalah tenaga kontrol atas diri, oleh dirinya sendiri. Selfcontrol terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dalam kehidupan manusia, dimana seseorang sudah tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dalam kehidupan manusia, dimana seseorang sudah tidak dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa menuju kedewasaan. Masa ini merupakan tarap perkembangan dalam kehidupan manusia, dimana seseorang sudah tidak dapat disebut anak kecil lagi,

Lebih terperinci

POLA PENGASUHAN ANAK DALAM KELUARGA OLEH : ADE JUWAEDAH. Abstrak

POLA PENGASUHAN ANAK DALAM KELUARGA OLEH : ADE JUWAEDAH. Abstrak POLA PENGASUHAN ANAK DALAM KELUARGA OLEH : ADE JUWAEDAH Abstrak Kontrol belajar pada implementasi pendidikan praktis di rumah, terutama untuk anak usia dini dan usia sekolah seyogiyanya ada di bawah kendali

Lebih terperinci