BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kontrak Psikologis Definisi Kontrak Psikologis Kontrak merupakan hal yang tidak asing lagi dijumpai dalam setiap aspek kehidupan manusia, dengan formalitas dan variasi yang beragam. Kontrak merupakan keyakinan akan kewajiban yang terdapat diantara dua atau lebih pihak terkait. Rousseau (1995: 23) mendefinisikan kewajiban sebagai komitmen terhadap perilaku di masa mendatang yang harus ditepat. Kontrak dapat disampaikan baik secara tertulis, verbal, maupun dalam bentuk ekspresi yang beragam (Rousseau, 1995), namun, ada kontrak yang muncul tanpa disadari keberadaannya karena bersifat informil, yaitu kontrak yang tidak dipaparkan secara langsung dan bersifat tersirat. Salah satu bentuk kontrak yang bersifat informil namun memegang peranan penting dalam dunia kerja adalah kontrak psikologis. Rousseau (1995: 9) mendefinisikan kontrak psikologis sebagai kepercayaan yang diyakini oleh karyawan yang terkait dengan perjanjian hubungan tenaga kerja antara pihak karyawan dengan perusahaan. Agyris (dalam Barling dan Cooper, 2008) berargumen bahwa kontrak ini dapat mendorong karyawan untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi dengan meminimalisir keluhan untuk memperoleh rasa aman dalam pekerjaan serta gaji yang lebih tinggi. Isakson (dalam Petersitzke, 2009) mendefinisikan kontrak psikologis sebagai persepsi terhadap harapan dan tanggung jawab yang bersifat timbal balik dalam perjanjian tenaga kerja.

2 11 Guest dan Conway (dalam Petersitzke, 2009) mendefinisikan kontrak psikologis sebagai persepsi terhadap hubungan dua pihak, karyawan dan perusahaan. Rousseau beserta dengan rekan kerjanya berargumen bahwa pelanggaran terhadap tanggung jawab dan kewajiban akan memberikan dampak yang lebih kuat dibandingkan pelanggaran terhadap harapan subjektif (Rousseau, 1995). MacNeil (dalam Haq, Jam, Azeem, Ali, & Fatima, 2011) menjelaskan bahwa kontrak psikologis dapat dikategorikan menjadi dua bentuk, yaitu kontrak transaksional dan relasional. Kontrak transaksional berorientasi pada hal yang berkaitan dengan moneter dan merupakan kontrak jangka pendek. Rousseau (dalam Haq, Jam, Azeem, Ali, & Fatima, 2011: 73) berargumen bahwa bentuk kontrak ini hanya menitikberatkan pada gaji yang tinggi namun tidak ada komitmen pada perusahaan yang terlibat di dalamnya. Pada umumnya, kontrak ini berlaku apabila perusahaan merekrut karyawan sementara untuk tujuan spesifik. Berbeda dengan kontrak transaksional, kontral relasional merupakan kontrak untuk periode jangka panjang. Elemen yang tergolong dalam kontrak ini adalah komponen sosio-emosional seperti loyalitas, komitmen, dan kepercayaan (Haq et al., 2011). Dapat disimpulkan bahwa kontrak psikologis merupakan sekumpulan perjanjian dan komitmen yang tidak tertulis namun ada dalam perjanjian antar dua belah pihak atau lebih. Hubungan ini menitikberatkan pada hubungan timbal balik antara karyawan dengan perusahaan. Walaupun tidak tertulis secara jelas, tidak dapat dipungkiri bahwa pemenuhan kontrak ini memainkan peran yang cukup besar dalam mengontrol dan memprediksi perilaku karyawan dalam perusahaan Pengembangan Kontrak Psikologis Saat karyawan baru memasuki suatu perusahaan, seringkali karyawan belum memiliki pemahaman seutuhnya mengenai hubungan kerja yang ada. Kontrak psikologis awal yang diyakini oleh karyawan bersumber dari perjanjian-perjanjian yang dijanjikan oleh perusahaan (dalam bentuk kesempatan berkarir, penghargaan financial, serta pekerjaan yang menarik)

3 12 maupun komitmen kerja yang telah dijanjikan oleh karyawan bagi perusahaan seperti loyalitas, fleksibilitas, kinerja yang baik, dan penuntasan tugas di luar tanggung jawab utamanya (Vos, Buyens & Schalk, 2003). Turnley dan Feldman (1998) dalam Boes (2006) berasumsi bahwa karyawan membangun harapan akan kontrak psikologisnya berdasarkan 3 sumber utama, yaitu janji yang dibuat oleh representatif pihak perusahaan, persepsi akan kultur perusahaan, serta penyesuaian antara harapan dengan bagaimana perusahaan beroperasi. Kurangnya pemahaman ini mendorong karyawan baru untuk secara aktif menginterpretasikan pengalaman pertamanya di lingkungan baru untuk memprediksi apa yang akan terjadi kelak serta membangun harapanharapannya terhadap hubungan kerja yang dilakukan (Rousseau, 2001). De Vos dan Buyens (dalam Phuong, 2013) memaparkan bahwa kontrak psikologis terbentuk dari beberapa kategori dari janji dan tanggung jawab dan untuk memahami pengembangan dari kontrak psikologis, penting untuk memperhatikan setiap kategorinya dan tidak melihatnya sebagai satu kesatuan yang utuh. Rousseau (dalam Petersitzke, 2009) menggambarkan kontrak psikologis sebagai hasil dari dua faktor utama, yaitu petunjuk sosial yang diberikan oleh perusahaan serta kognisi dan karakter individu. Kontrak ini juga merupakan hasil dari dua proses, yaitu encoding dan decoding. Rousseau (dalam Petersitzke, 2009) mendefinisikan encoding sebagai proses yang terjadi ketika karyawan mempercayai perjanjian dan komitmen yang disampaikan oleh pihak perusahaan. Pada umumnya, proses ini terjadi apabila informasi disampaikan oleh pihak yang memiliki wewenang, disampaikan pada situasi yang tepat, dan apabila perjanjian disampaikan secara berulang. Proses ini diikuti oleh proses decoding, yaitu penyesuaian akan informasi yang dimiliki karyawan mengenai janji dan komitmen yang disampaikan oleh pihak perusahaan dengan karyawan. Proses ini dibangun berdasarkan informasi yang disampaikan oleh pihak perusahaan sehingga karyawan dapat membentuk kesimpulan mengenai standar perilaku yang harus ditampilkan. Berikut diagram proses pembentukan kontrak psikologis

4 13 Predisposition Social Cues Message Framing Encoding Decoding Psychological Contract Penanda faktor organisasi Penanda faktor individual Gambar 2.1 Proses Pembentukan Kontrak Psikologis (Rousseau, 1995) Berdasarkan diagram ini, dapat disimpulkan bahwa keyakinan karyawan akan perjanjian dan komitmen yang disampaikan oleh pihak perusahaan ditentukan oleh karakter dan cara berpikir setiap individu. Ketika karyawan telah mempercayai janji dan komitmen yang disampaikan oleh pihak perusahaan, proses berikutnya adalah menyesuaikan dan membandingkan informasi yang dimiliki dengan kebudayaan serta situasi yang ada. Proses ini terbentuk berdasarkan petunjuk sosial yang ada. Setelah kedua proses ini berlangsung, maka kontrak psikologis akan terbentuk. Rousseau (dalam Petersitzke, 2009) meyakini bahwa kontrak psikologis terbentuk berdasarkan informasi yang disampaikan serta komitmen yang diberikan oleh pihak perusahaan. Informasi ini dapat disalurkan melalui beberapa cara, seperti komitmen yang disampaikan secara langsung dalam bentuk tertulis, observasi, serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam perusahaan. Kontrak psikologis merupakan kontrak yang bersifat dinamis dan dapat berubah seiring dengan proses adaptasi karyawan di perusahaan. Perubahan persepsi terhadap harapan serta perjanjian yang diyakini oleh karyawan dapat terjadi melalui dua proses, yaitu adaptasi sepihak dan adaptasi timbal balik. Dalam adaptasi sepihak, perubahan perspektif dari karyawan baru mengenai perjanjian dari salah satu pihak terjadi sebagai

5 14 dampak dari interpretasi berdasarkan kontribusi yang dilakukan oleh diri sendiri. Bertolak belakang dengan itu, adaptasi timbal balik terjadi ketika karyawan merubah perspektifnya terhadap perjanjian dari salah satu pihak sebagai hasil dari interpretasi terhadap sikap maupun perilaku yang dilakukan oleh pihak perusahaan (Vons, Buyens & Schalk, 2003). 2.2 Pelanggaran Kontrak Psikologis Definisi dan Pendorong Terjadinya Pelanggaran Kontrak Psikologis Rousseau (dalam Hussain et al., 2011) memaparkan bahwa pelanggaran terhadap kontrak psikologis terjadi ketika karyawan beranggapan bahwa pihak perusahaan telah gagal dalam memenuhi janji dan komitmennya. Morrinson dan Robinson (dalam Hussain et al., 2011) mendefinisikan pelanggaran terhadap kontrak psikologis sebagai kesenjangan antara pandangan mengenai hal yang dijanjikan dengan apa yang diperoleh. Robinson (dalam Hussain et al., 2011) berpendapat bahwa pelanggaran ini terjadi ketika karyawan tidak memperoleh apa yang diharapkannya, namun, pada tahun 2004, Robinson menambahkan bahwa pelanggaran terhadap kontrak psikologis terjadi ketika karyawan membandingkan kontrak psikologisnya dengan sikap yang ditampilkan oleh pihak perusahaan Dampak Pelanggaran Kontrak Psikologis Terjadinya pelanggaran kontrak psikologis akan membawa dampak negatif, baik bagi karyawan maupun untuk pihak perusahaan. Dalam teori pertukaran sosial yang dipaparkan oleh Coyle-Shapiro dan Conway (dalam Bordia, Tang, dan Restubog, 2008), hubungan tenaga kerja antara karyawan dan perusahaan dibangun berdasarkan rumus pertukaran sosial. Ketika karyawan mempersepsikan adanya pelanggaran perjanjian oleh pihak perusahaan, karyawan akan memberikan respon dengan menimbulkan perilaku yang dapat memberikan kerugian pada perusahaan

6 15 Dalam Bordia, Tang, dan Restubog (2008), dipaparkan bahwa persepsi karyawan terhadap adanya pelanggaran kontrak psikologis akan memberikan dampak, seperti hilangnya perasaan memiliki perusahaan hilangnya kepercayaan karyawan terhadap perusahaan, menurunkan kepuasan kerja, kinerja karyawan, dan peningkatan tingkat absensi karyawan. Lebih lanjut lagi, pelanggaran kontrak ini juga dapat mendorong kemarahan, menurunkan loyalitas, perasaan bertanggung jawab, bahkan melakukan penyelewengan dalam lingkungan kerja. Perilaku yang menyimpang dalam lingkungan kerja dapat dilakukan dalam taraf minim seperti pulang lebih cepat dan kurang menghargai rekan kerja, hingga pada taraf yang membawa kerugian besar seperti melakukan tindak pencurian, membocorkan data perusahaaan pada pihak lain, dan tidak bekerja dengan baik (Hussain et al, 2011) Faktor Penyebab Terjadinya Pelanggaran Kontrak Psikologis Morrinson dan Robinson (2000) memaparkan bahwa terjadinya pelanggaran kontrak psikologis disebabkan oleh dua akar utama, yaitu pengingkaran dan ketidaksesuaian. Pengingkaran terjadi ketika pihak perusahaan menyadari keberadaan dari tanggung jawab yang dimaksud, namun gagal memenuhi tanggung jawabnya. Berbeda dengan itu, ketidaksesuaian terjadi ketika karyawan memiliki perbedaan pandangan dengan pihak perusahaan mengenai tanggung jawab yang ada dalam hubungan tenaga kerja. Berikut diagram mengenai proses terjadinya pelanggaran kontrak psikologis:

7 16 Gambar 2.2 Proses terjadinya pelanggaran kontrak psikologis (Robinson & Morrinson, 2000) Berdasarkan gambar ini, dapat disimpulkan bahwa pengingkaran dan ketidaksesuaian merupakan awal mula terjadinya persepsi pelanggaran kontrak pada karyawan. Pengingkaran dapat terjadi ketika pihak perusahaan tidak mampu ataupun tidak mau memenuhi tanggung jawabnya. Hal ini juga dapat terjadi ketika produktivitas dan kinerja karyawan dinilai rendah. Ketidaksesuaian terjadi apabila pihak perusahaan dan karyawan memiliki perbedaan pandangan mengenai tanggung jawab dan hak yang terdapat dalam perjanjian tenaga kerja. Perbedaan pandangan ini dapat terjadi dalam interaksi pada proses penerimaan karyawan.

8 17 Morrinson dan Robinson (2000) berpendapat bahwa kesenjangan pandangan dapat dijembatani dan diminimalisir melalui proses sosialisasi karyawan di perusahaan. Karyawan yang mampu melalui proses sosialisasi dengan optimum akan mampu menyamakan apa yang menjadi kepercayaannya mengenai perjanjian yang disampaikan oleh pihak perusahaan dengan pandangan dari pihak perusahaan. Morrinson dan Robinson (2000) juga berpendapat bahwa intensitas komunikasi antar karyawan dengan pihak perusahaan sebelum karyawan menjadi pegawai dalam perusahaan dapat meminimalisir munculnya kesenjangan ini. Ketika salah satu dari kedua akar utama penyebab munculnya persepsi karyawan akan adanya pelanggaran kontrak psikologis terjadi, taraf seberapa tinggi karyawan memperhatikan seberapa baik perusahaan memenuhi tanggung jawabnya, memainkan peran. Karyawan yang secara berkala memperhatikan adanya kesenjangan ini memiliki kecenderungan untuk mempersepsikan terjadinya pelanggaran kontrak psikologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan yang tidak menitikberatkan perhatiannya pada pemenuhan tanggung jawab dari pihak perusahaan. Riset yang dilakukan oleh Fiske dan Taylor (dalam Robinson dan Morrinson, 2000) membuktikan bahwa hal ini terjadi karena ketika karyawan memantau secara berkala bagaimana perusahaan memenuhi tanggung jawabnya: ini akan mendorong mereka untuk mencari celah akan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pihak perusahaan serta mencari bukti untuk mendukung kepercayaan mereka. Morrinson dan Robinson (2000) berargumen bahwa tingkat perhatian karyawan terhadap pemenuhan tanggung jawab dari pihak perusahaan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu ketidakpastian yang dirasakan oleh karyawan, tingkat kepercayaan antara karyawan dengan atasan, serta besarnya kerugian yang muncul sebagai dampak dari kegagalan pemenuhan tanggung jawab oleh pihak perusahaan. Salah satu penyebab adanya ketidakpastian yang dirasakan oleh karyawan adalah perubahan organisasi yang terjadi. Perubahan-perubahan

9 18 organisasi yang terjadi dapat memicu munculnya perasaan tidak aman bahwa pihak perusahaan tidak akan memenuhi tanggung jawabnya secara penuh. Salah satu pemicu tingginya perhatian karyawan terhadap pemenuhan tanggung jawab oleh pihak perusahaan adalah kepercayaan yang ada antara pihak perusahaan dengan karyawan. Robinson dan Morrinson (2000) berargumen bahwa kepercayaan karyawan terhadap pihak perusahaan dapat menurun apabila pihak perusahaan gagal dalam memenuhi tanggung jawabnya di masa lalu. Zhao et al., (dalam Phuong, 2013) menganjurkan empat metode yang dapat diterapkan untuk mengukur pelanggaran kontrak psikologis. Metode pengukuran yang pertama adalah pengukuran konkret. Pengukuran ini merujuk pada berbagai konten yang merupakan bagian dari kontrak psikologis, seperti upah yang tinggi, pelatihan diberikan, dan rasa aman dalam pekerjaan. Dalam pengukuran ini, responden akan diminta untuk menilai seberapa baik perusahaan telah memenuhi janjinya dalam setiap aspek. Pengukuran yang kedua adalah pengukuran global. Pengukuran ini tidak menitikberatkan pada setiap butir dari konten secara spesifik, namun mengarah pada persepsi dari responden mengenai seberapa baik atau gagal perusahaan telah memenuhi apa yang telah dijanjikan kepada responden (Phuong, 2013). Pengukuran ketiga yang dikembangkan oleh Zhao dinamakan dengan pengukuran berat. Sama seperti dengan pengukuran konkret, metode ini juga menilai setiap konten secara spesifik dari kontrak psikologis dan meminta responden untuk memberikan penilaian terhadap pelanggaran yang terjadi pada setiap butir. Namun, yang membedakan adalah, dalam pengukuran ini ditambahkan penilaian mengenai seberapa penting setiap konten yang ada bagi responden (Phuong, 2013). Metode lainnya yang dapat digunakan untuk mengukur pelanggaran kontrak psikologis adalah metode dimensi. Metode ini serupa dengan pengukuran konkret, dimana meminta responden untuk memberikan penilaian terhadap pemenuhan janji perusahaan pada setiap butir pertanyaan.

10 19 Jumlah skor keseluruhan pada satu dimensi kemudian akan dinilai rataratanya sebagai rata-rata dari dimensi tersebut (Phuong, 2013). Studi mengenai kognisi sosial, relasi, perbaikan, dan keadilan yang dilakukan oleh Rousseau (dalam Boes, 2006), pelanggaran kontrak lebih cenderung terjadi dalam kontrak yang dinamis berdasarkan alasan sebagai berikut: (1) Salah satu pihak memberikan nilai yang rendah pada hubungan tenaga kerja; (2) Insentif dari kontrak yang dilangar cukup besar; (3) Terjadinya pola eksternal dari pelanggaran kontrak; (4)Adanya sejarah konflik yang terjadi dan menyebabkan rasa percaya yang rendah; (5) Adanya jarak sosial pada kedua pihak sehingga kedua pihak tidak saling memahami perspektif dari yang lainnya. Meyer dan Starke (dalam Robinson dan Morrinson, 2000) menemukan bahwa orang cenderung menghindari informasi yang akan mengecewakan mereka. Berdasarkan penemuan ini, Robinson dan Morrinson (dalam Robinson dan Morrinson, 2000) berpendapat bahwa karyawan cenderung tidak memantau secara berkala bagaimana pihak perusahaan memenuhi tanggung jawabnya apabila mereka merasa ada ancaman bahwa kontrak psikologis mereka tidak terpenuhi. Dengan demikian, maka karyawan yang saat sebelum menandatangani kontrak perjanjian kerja memiliki lebih banyak alternatif pekerjaan lainnya cenderung lebih memantau bagaimana perusahaan memenuhi tanggung jawab dan janjinya dibandingkan dengan karyawan yang saat sebelum menandatangani kontrak perjanjian kerja hanya memiliki sedikit alternatif pekerjaan. Rousseau (dalam Rousseau, 2000) memaparkan bahwa kontrak psikologis dipengaruhi oleh 4 aspek utama, yaitu relasi (relational), keseimbangan (balanced), transaksional (transactional), dan transisi (transitional). Berikut pembagian rincian setiap aspek dari kontrak psikologis menurut Rousseau (Rousseau, 2000): Relasi (relational): Pengaturan tenaga kerja yang bersifat terbuka dan berorientasi jangka panjang didasari oleh rasa saling percaya dan loyalitas. Dimensi ini dibagi menjadi:

11 20 o Stabilitas (stability): Karyawan bertanggung jawab untuk tetap berada dalam perusahaan dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk menjaga agar kegiatan operasional terus berlangsung. Pihak perusahaan juga telah menjajikan adanya upah yang stabil dan hubungan tenaga kerja antar karyawan dengan perusahaan dalam jangka panjang o Loyalitas (loyality): Karyawan bertanggung jawab untuk mendukung perusahaan, menanamkan loyalitas serta komitmen untuk kepentingan dan kebutuhan perusahaan. Pihak perusahaan juga telah berkomitmen untuk menjaga kesejahteraan karyawan serta memberikan tunjangan bagi karyawan beserta dengan keluarganya Keseimbangan (balance): Adanya kondisi yang terbuka dan dinamis untuk menunjang keberhasilan perusahaan sehingga mampu memberikan kesempatan berkarir bagi karyawan. Pihak perusahaan dan karyawan secara timbal balik membagikan ilmu beserta perkembangan yang diperoleh. Hadiah diberikan kepada karyawan berdasarkan kinerja dan kontribusi bagi perusahaan dalam bersaing dengan para competitor, terutama dalam menghadapi perubahan permintaan pasar sebagai dampak dari tekanan pasar. Dimensi ini dibagi menjadi: o Kemampuan tenaga kerja eksternal: Karyawan bertanggung jawab untuk mengembangkan ketrampilan yang dibutuhkan oleh pasar. Perusahaan berkomitmen untuk mengembangkan kemampuan dan ketrampilan yang dibutuhkan karyawan untuk jangka panjang, baik di dalam perusahaan maupun di luar perusahaan itu sendiri o Pengembangan internal: Karyawan bertanggung jawab untuk mengembangkan ketrampilan yang dibutuhkan oleh perusahaan. Sebaliknya, pihak perusahaan berkomitmen untuk menciptakan kesempatan pengembangan karir di dalam perusahaan o Kinerja yang dinamis: Karyawan bertanggung jawab untuk menghasilkan kinerja yang baik serta mencapai tujuan yang

12 21 lebih menantang, yang dapat terus berubah dengan berjalannya waktu. Pihak perusahaan berkomitmen untuk memberikan pembelajaran secara terus menerus serta membantu karyawan untuk dapat menghasilkan kinerja yang dibutuhkan dengan baik Transaksional (transactional): Pengaturan tenaga kerja untuk kurun waktu yang singkat, biasanya berfokus terhadap pertukaran ekonomi. Bentuk dari pengaturan ini ditandai dengan pekerjaan dengan variasi yang terbatas, spesifik, serta adanya keterbatasan dalam keterlibatan karyawan di perusahaan. Dimensi ini dibagi menjadi: o Menyempit: Karyawan bertanggung jawab hanya memiliki tanggung jawab dalam jumlah yang terbatas dan sifatnya sudah tetap. Perusahaan tidak memberikan pelatihan maupun pengembangan karyawan yang lainnya o Jangka pendek: Karyawan tidak memiliki tanggung jawab untuk tetap bekerja pada suatu perusahaan. Pihak perusahaan hanya mempekerjakan karyawan untuk periode waktu yang singkat serta tidak memiliki komitmen untuk mempertahankan hubungan tenaga kerja dalam orientasi waktu jangka panjang Transisional (transitional): Dimensi ini menjelaskan perubahan kognisi yang dapat timbul sebagai dampak dari perubahan dan transisi perusahaan yang bertentangan dengan pengaturan tenaga kerja sebelumnya. Dimensi ini dapat dibagi menjadi: o Ketidakpercayaan: Karyawan meyakini bahwa perusahaan memberikan informasi yang bercampur aduk dan tidak konsisten sehingga menimbulkan ketidakpercayaan pada pihak perusahaan o Ketidakpastian: Karyawan merasa tidak yakin akan tanggung jawabnya terhadap pihak perusahaan o Erosi: Karyawan memperkirakan bahwa di masa mendatang, akan menerima hasil dari kontribusi yang telah diberikannya dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan hasil yang di dapatkan di masa lalu. Pihak perusahaan melakukan perubahan dengan menurunkan upah dan tunjangan karyawan

13 22 sehingga menurunkan kesejahteraan dari kehidupan dalam lingkungan pekerjaan pada karyawan Dimensi Pelanggaran Kontrak Psikologis Dalam pengukuran kontrak psikologis pada penelitian yang dilakukan, peneliti menggunakan metode pengukuran global, dimana penilaian berdasarkan keseluruhan aspek dari pemenuhan janji dan tidak menitikberatkan setiap aspek atau bagian secara spesifik. Aspek yang diukur merupakan sudut pandang pemenuhan janji dari seorang individu berdasar atas kontrak pisikologis yang diberikan oleh perusahaan. Penyusunan alat ukur dibentuk berdasarkan 5 dimensi pembentuk kontrak psikologis, yang mencakup: kepuasan akan pekerjaan, kesempatan berkarir, dukungan, kepuasan gaji dan kompensasi, dan pelatihan yang diberikan. Aspek yang tercakup dalam kepuasan akan pekerjaan antara lain dapat diukur dengan tingkat pemahaman pekerjaan individu serta kegembiraan dalam pekerjaan. Aspek kesempatan berkarir lebih kepada tingkat probabilitas seseorang mendapatkan posisi maupun pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya melalui perusahaan. Aspek dukungan yang dimaksud adalah dukungan yang didapat individu dalam pekerjaannya baik dukungan dari atasan. Aspek gaji dan kompensasi merupakan aspek yang diukur berdasarkan nominal pendapatan yang dimiliki ditambah dengan kompensasi ataupun fasilitas yang didapat. Senada dengan keseluruhan aspek diatas, aspek pemberian pelatihan juga merupakan dimensi yang perlu diukur karena sering kali perusahaan memberikan apresiasi kepada karyawannya dalam bentuk pelatihan yang diberikan. 2.3 Sikap Tentang Risiko Definisi Sikap Tentang Risiko Dalam bukunya, Berry (2004: 9) mendefinisikan risiko sebagai kemungkinan terjadinya situasi yang tidak menyenangkan.. Peneliti menyimpulkan bahwa sikap tentang risiko merupakan kecenderungan individu untuk membuat keputusan dalam situasi yang berisiko.

14 Faktor yang Menentukan Sikap Tentang Risiko Setiap individu memiliki kesempatan untuk memberikan respon yang beragam terhadap satu situasi yang sama, sehingga setiap individu dapat memberikan respon yang berbeda untuk situasi yang serupa. Pengambilan keputusan terhadap situasi yang berisiko sangat dipengaruhi oleh faktor situasional. Berikut faktor situasional yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang berisiko (Hillson & Webster, 2007): Tingkat dari ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki Ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki individu mengenai situasi terkait mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan. Individu akan lebih berani untuk mengambil keputusan berisiko dalam bidang yang dikuasainya, dimana ia telah memiliki ketrampilan dan pengetahuan yang cukup, sehingga ia akan mampu lebih baik dalam mengevaluasi situasi tersebut, namun, individu akan lebih enggan untuk mengambil keputusan berisiko pada situasi yang kurang familiar dan dimana ia tidak memilik pengetahuan yang cukup untuk mengevaluasi situasi tersebut Persepsi mengenai dampak yang mungkin terjadi Setiap individu memiliki persepsi risiko yang berbeda terhadap situasi yang sama. Bagi beberapa individu, satu situasi dapat dianggap sebagai situasi yang netral, namun, situasi ini dipersepsikan sebagai situasi yang berisiko bagi individu lainnya. Individu yang lebih sensitif terhadap penilaian situasi sebagai situasi yang berisiko memiliki memiliki kecenderungan untuk menghindari segala situasi yang berisiko. Persepsi mengenai kontrol yang dimiliki terhadap situasi Faktor ini membedakan persepsi individu mengenai apakah suatu situasi dipersepsikan dapat dikontrol dan dikendalikan atau tidak dapat dikontrol. Ketika individu berpendapat ia dapat mengendalikan situasi, maka kecenderungannya adalah ia akan mengambil keputusan yang lebih berisiko, namun, ketika individu berpendapat ia tidak dapat mengendalikan situasi yang mungkin terjadi, maka ia akan cenderung untuk menghindari pengambilan keputusan yang berisiko

15 24 Rentan waktu untuk konsekuensi serta risiko terjadi Ketika individu mempersepsikan bahwa ketidakpastian dapat terjadi dalam rentan waktu yang lebih singkat, maka situasi tersebut akan dipersepsikan lebih berisiko dibandingkan dengan ketika ketidakpastian dapat terjadi dalam rentan waktu yang lebih panjang. Potensi untuk terjadinya konsekuensi secara langsung Individu akan lebih berhati-hati dalam mengevaluasi dan membuat keputusan berisiko ketika dampak dari konsekuensi akan merujuk langsung pada individu maupun kelompoknya, dibandingkan apabila konsekuensi dapat terjadi pada orang lain. Flanagan, Stout, dan Gallay (dalam Shaw, Amsel, Schillo, 2011) mengemukakan bahwa sikap tentang risiko turut dipengaruhi oleh pemahamannya yang terus dikembangkan secara aktif mengenai moral (konsekuensi negatif terhadap orang lain), konvensional (konsekuensi legal), pribadi (keputusan pribadi), dan kebijaksanaan (dampak yang merusak terhadap diri sendiri). Individu dengan pengembangan moral, konvensional, pribadi, dan kebijaksanaan yang lebih baik akan lebih memiliki banyak pertimbangan dalam pengambilan keputusan berisiko dan menghindari segala kemungkinan yang dapat menyebabkan kerugian bagi pihak lain maupun diri sendiri (Shaw, Amsel, Schillo, 2011). Faktor lainnya yang turut berperan dalam pengambilan keputusan berisiko adalah proses heuristik, yaitu individu menganalisa situasi ambigu berdasarkan situasi serupa yang pernah dialami sebelumnya (Hillson & Webber, 2007). Dalam konteks sikap tentang risiko, heuristik merupakan usaha yang dilakukan individu maupun kelompok untuk mengevaluasi keadaan yang tidak pasti serta menentukan respons yang sesuai, dengan mempertimbangkan pengalaman di masa lalu (Hillsonm & Webster, 2007). Weber (dalam Blais dan Weber, 2006) mengemukakan bahwa pada awalnya, sikap tentang risiko dipertimbangkan sebagai bentuk dari karakter dan kepribadian pada umumnya yang sifatnya permanen.

16 25 Allport & Allport (dalam Blais dan Weber, 2006) mendefinisikan karakter sebagai bentuk yang sifatnya stabil dan permanen. Eysenck dan Eysenck (dalam Blais dan Weber, 2006) berargumen bahwa karakter merupakan hasil dari perbedaan biologis maupun pengalaman masa awal kehidupannya. Namun, di sisi lain, Mischel dan Shoda (dalam Blais dan Webber, 2006) memaparkan bahwa observasi empiris terhadap sikap tentang risiko membuktikan adanya korelasi yang rendah antara perilaku karakter yang seharusnya stabil dalam situasi yang berbeda. Studi yang dilakukan oleh Schoemaker (dalam Blais dan Weber, 2006) membuktikan bahwa dengan metode pengujian yang sama, individu tidak menunjukkan adanya konsistensi dalam pengambilan keputusan berisiko dalam situasi yang berbeda. Webber (2006) juga memaparkan bahwa berdasarkan model risiko psikologis, pandangan mengenai risiko merupakan hal yang akan berbeda pada satu individu dan individu lainnya serta dipengaruhi oleh konten dan konteks situasi yang berlaku. Studi dan pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa individu merespon dengan sikap tentang risiko yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Namun, individu memberikan respon mengenai sikap tentang risiko secara lebih konsisten dalam ranah atau aspek yang serupa. Hal yang mendasari hal ini adalah keputusan mengenai sikap tentang risiko dipengaruhi oleh pandangan mengenai risiko yang ada, keuntungan yang mungkin mengikuti, dan pilihan alternatif yang tersedia. Aspek-aspek yang mempengaruhi ini biasanya serupa dan bersikap konsisten, sehingga sikap tentang risiko lebih stabil dan konsisten dalam aspek atau ranah yang sama. Ranah dimana individu memiliki pengambilan keputusan berisiko yang cukup berbeda mencakup investasi finansial, perjudian, keputusan terkait dengan bisnis, dan pengambilan keputusan personil (Blais & Weber, 2006). Weber, Ames, dan Blais (dalam Blais dan Weber, 2006) memaparkan bahwa keputusan personil dapat dipecah lagi menjadi kategori yang lebih kecil, seperti finansial, rekreasi, kesehatan/keselamatan, sosial, dan keputusan etis.

17 Kategori Sikap Tentang Risiko Berdasarkan alat ukur DOSPERT dalam menilai kecenderungan individu mengambil keputusan pada situasi berisiko, sikap tentang risiko dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu (Blais & Weber, 2006): Memiliki toleransi lebih kecil terhadap risiko(risk aversion): Bersikap negatif terhadap risiko Kategori ini ditandai dengan perasaan tidak nyaman dalam kondisi yang tidak pasti, memiliki toleransi yang rendah terhadap ambiguitas, serta mencari situasi yang aman dan resolusi ketika diperhadapkan dengan risiko. Individu yang tergolong dalam kategori ini melandaskan keputusannya dengan akal sehat serta lebih menyukai fakta dibandingkan dengan teori. Ketika diperhadapkan dengan ancaman, kelompok ini cenderung akan menjadi lebih sensitif serta memberikan respons berlebihan terhadap ancaman yang ada, namun menjadi kurang peka dan memberikan penilaian yang lebih rendah terhadap kesempatan yang ada. Kelompok ini juga mempersepsikan situasi lebih berisiko dibandingkan dengan kelompok dalam kategori lainnya. Memiliki toleransi lebih besar terhadap risiko (risk-seeking) : Bersikap positif terhadap risiko Individu yang tergolong dalam kategori ini biasanya mudah beradaptasi, memiliki sumber daya yang cukup banyak, menikmati hidup, serta tidak takut untuk memulai suatu tindakan. Kelompok ini dapat bersikap santai dalam menyikapi risiko dan ancaman serta menantang situasi yang tidak pasti dengan potensi yang dimilikinya. Sikap ini dapat merujuk pada keputusan yang tidak bijak dan dapat menimbulkan kerugian. Dalam proses evaluasi situasi, para pencari risiko menilai situasi berisiko lebih netral dan tidak mengancam dibandingkan kelompok lain pada umumnya.

18 Emosi moral Emosi moral dapat didefinisikan sebagai emosi yang mendorong individu untuk menampilkan perilaku yang etis serta emosi yang memotivasi individu untuk memenuhi standar mengenai apa yang benar dan yang salah (Cohen, Insko, Panther, & Wolf, 2011). Cohen, Insko, Panther, dan Wolf (2011) juga memaparkan bahwa emosi moral dapat dilihat dari kecenderungan munculnya rasa malu dan kecenderungan rasa bersalah ketia melakukan kesalahan yang disadari Definisi Rasa Malu dan Bersalah Perasaan malu dan bersalah terjadi apabila terdapat stress yang muncul sebagai dampak dari pelanggaran yang dilakukan (Cohen, et all., 2011). Tangney (dalam Cohen et all., 2011) memaparkan bahwa rasa malu dan bersalah merupakan emosi yang terjadi dari kesadaran diri sebagai hasil dari refleksi dan evaluasi diri. Kedua emosi ini juga merupakan pendorong munculnya regulasi diri. Akan tetapi, walau terlihat serupa, perlu diingat bahwa kedua emosi ini adalah hal yang berbeda. Berdasarkan pandangan perilaku diri (self-behavior) yang dikemukakan oleh Tracy dan Robins (dalam Cohen et al., 2011), perasaan bersalah terjadi ketika seseorang membuat atribusi internal mengenai perilaku spesifik yang tidak sesuai dengan perilakunya sehingga merujuk pada munculnya perasaan negatif mengenai perilaku yang dilakukan. Di sisi lain, rasa malu muncul ketika seseorang membuat atribusi internal yang bersifat stabil dan global mengenai dirinya sehingga merujuk pada perasaan negatif mengenai diri secara global (Cohen et al., 2011). Pandangan lain yang turut mengulas perbedaan mengenai rasa malu dan bersalah adalah pandangan umum-pribadi (publicprivate) yang dikemukakan oleh Combs, Campbell, Jackson, dan Smith (dalam Cohen et al., 2011). Pandangan ini melandaskan pandangan antropologi dalam pembahasannya. Menurut pandangan ini, perasaan bersalah diasosiasikan dengan perasaan pribadi bahwa telah melakukan hal yang salah dan bertentangan dengan hati nuraninya. Sebaliknya, perasaan malu merupakan perasaan negatif yang muncul ketika seseorang melakukan

19 28 kesalahan dan kesalahannya dikemukakan di muka umum (Cohen, et al., 2011) Faktor yang Menentukan Kecenderungan Rasa Malu dan Bersalah Tangney dan Dearing (dalam Cohen et al., 2011), memaparkan bahwa kepribadian merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap kecenderungan munculnya rasa malu dan bersalah. Sebagai contoh, rendahnya kepercayaan diri lebih merujuk pada kecenderungan akan perasaan malu dibandingkan bersalah. Sebaliknya, perasaan empati lebih merujuk pada kecenderungan akan perasaan bersalah dibandingkan malu (Cohen et al., 2011) Dampak Dari Kecenderungan Rasa Malu dan Bersalah Adanya kecenderungan rasa malu dan kecenderungan rasa bersalah merupakan bagian dari emosi moral. Emosi moral merupakan emosi yang mendorong individu untuk menampilkan perilaku yang sesuai dengan standar etis yang berlaku. Individu dengan emosi moral yang lebih baik akan lebih berhati-hati dalam menampilkan perilaku yang melanggar norma. Munculnya perasaan bersalah lebih diinisiasikan dari diri sendiri. Kecenderungan rasa bersalah dapat muncul ketika individu melakukan kesalahan, walaupun kesalahan ini belum terungkap oleh pihak luar. Berti, Garattoni, dan Ventruini (dalam Eyre, 2004) berpendapat bahwa bentuk dari munculnya perasaan bersalah dapat terlihat dari permohonan maaf setelah melakukan perbuatan yang kurang sesuai, melakukan perbaikan untuk menyeimbangkan keadaan dan mengatasi kesalahan yang telah dilakukan, menawarkan bantuan bagi yang membutuhkan, mengakui kesalahan, serta berkomitmen untuk memperbaharui diri dan tidak mengulang kesalahan yang sama. Studi yang dilakukan oleh Schmader dan Lickel (dalam Cohen et al., 2011) membuktikan bahwa sama seperti rasa bersalah, perasaan malu juga dapat menimbulkan perbaikan perilaku, namun dapat juga menyebabkan seseorang menjadi menarik diri.

20 29 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Cohen et al., mengenai kecenderungan rasa malu dan bersalah, dipaparkan bahwa perasaan bersalah secara signifikan berkorelasi dengan perasaan empati, pengambilan perspektif, moralitas konvensional, dan berorientasi dengan pengembangan diri. Cohen, et al., juga memaparkan bahwa dimensi ini berkorelasi negatif dengan perilaku yang tidak etis dan antisosial. Di sisi lain, diperkirakan bahwa kecenderungan perasaan malu secara signifikan berkorelasi dengan tekanan personal, neurotisisme, kebencian, rasa harga diri yang rendah, dan rasa belas kasih yang rendah. Cohen et al., (2011) meyakini bahwa evaluasi diri negatif, evaluasi perilaku negatif, dan perilaku memperbaiki kesalahan berkorelasi negatif dengan pengambilan keputusan yang tidak etis. Dapat dikatakan bahwa individu yang cenderung mengevaluasi diri dan perilaku secara negatif serta memiliki inisiatif untuk melakukan perilaku memperbaiki kesalahan saat melakukan kesalahan, cenderung untuk tidak mengambil keputusan yang melanggar etis. Namun, ditemukan bahwa pengambilan keputusan yang tidak etis tidak berkorelasi dengan perilaku menarik diri. Lebih lanjut, Cohen et al., (2011) juga meyakini bahwa GASP (guilt and shame proneness) atau kecenderungan perasaan bersalah dan rasa malu, merupakan pengukuran yang efektif untuk mendeteksi kemungkinan individu melakukan tindak korupsi maupun melakukan hal yang melanggar etis lainnya Dimensi Emosi Moral Tendensi korupsi dapat diprediksi dari emosi moral yang dimiliki individu. Emosi moral itu sendiri memiliki 4 dimensi, yaitu evaluasi perilaku negatif (NBE), inisiatif memperbaiki kesalahan (REP), evaluasi diri negatif (NSE), dan perilaku menarik diri (WIT) (Cohen, et al., 2011). Dimensi NBE dan REP merupakan indikasi adanya kecenderungan rasa bersalah, sedangkan NSE dan WIT mengindikasikan adanya kecenderungan rasa malu ketika melakukan kesalahan. Aspek yang membedakan antara dimensi NBE dengan dimensi REP adalah NBE mengukur disposisi emosi moral, sedangkan REP mengukur orientasi perilaku moral (Cohen, et al., 2011). Cohen, et all (2011)

21 30 juga memaparkan bahwa dimensi NBE berkorelasi dengan dimensi REP, namun, dimensi NSE tidak berkorelasi dengan dimensi WIT. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Cohen, et al., (2011), dapat dilihat bahwa NBE, NSE, dan REP yang tinggi berkorelasi negatif dengan perilaku menyimpang atau pelanggaran moral. Namun, berbeda dengan itu, WIT berkorelasi positif dengan perilaku penyimpangan moral. Dapat disimpulkan bahwa tendensi korupsi atau perilaku penyimpangan moral dapat diindikasikan dengan skor NBE, NSE, dan REP yang rendah serta WIT yang tinggi. Sebagai metode pengukuran, pengembang alat ukur GASP merekomendasikan untuk melakukan pengukuran ke 4 dimensi secara terpisah dan tidak menjumlahkan ke 4 dimensi secara bersamaan. Pengukuran dengan menjumlahkan ke 4 dimensi ini dapat merujuk pada terjadinya multikolienaritas. 2.5 Kerangka Berpikir Peneliti menduga bahwa sikap tentang risiko dan pelanggaran kontrak psikologis merupakan variabel yang dapat memprediksi emosi moral pada karyawan perbankan. Emosi moral merupakan faktor yang dapat memprediksi kecenderungan karyawan untuk melakukan korupsi. Isu terkait tindak korupsi bukanlah hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. Tindakan korupsi merajarela, baik pada pemerintahan negara, perusahaan, pendidikan, maupun dalam skala kecil. Sangat disayangkan, industri perbankan pun tidak luput dari tindakan korupsi. Salah satu kasus yang baru saja terjadi adalah pembobolan senilai 65 Milliar di Bank BNI yang dilakukan oleh dua orang karyawannya (Saputra, 2013). Sungguh ironis, industri yang seharusnya mampu mempertahankan kepercayaan serta memberikan rasa aman bagi masyarakat, sebaliknya menjadi salah satu sarang untuk tindak korupsi. Korupsi tidak terjadi sebagai dampak dari satu hal saja, namun, ada beberapa faktor yang harus terpenuhi sehingga koruptor melakukan tindakan korupsi. Donald Cressey, seorang kriminolog terkemuka, dalam Turvey (2013) memaparkan bahwa harus ada 3 aspek yang terpenuhi sehingga memungkinkan seseorang melakukan

22 31 penyimpangan atau penipuan, yang sering dikenal dengan segitiga penyimpangan. Ketiga hal ini adalah motivasi, rasionalisasi, dan kesempatan Gambar 2.3 Fraud triangle (Turvey, 2013) Aspek motivasi mencakup hal-hal yang mendorong karyawan untuk melakukan penyimpangan, seperti perihal finansial yang mendesak, adiksi terhadap obat-obatan terlarang, dan sensasi yang dirasakan saat dapat melakukan tindak penyimpangan tanpa terdeteksi. Proses rasionalisasi terjadi ketika karyawan membuat alasan-alasan tertentu yang membuat tindak penyimpangan yang dilakukannya seakan-akan merupakan hal yang sah untuk dilakukan. Hal ini mendorong individu untuk membenarkan kesalahan yang dilakukannya dengan mencari alasan logis dan pembenaran diri. Rasionalisasi dapat terjadi dalam bentuk pemikiran bahwa ia tidak mendapatkan hak yang seharusnya didapatkannya, demi kebahagiaan keluarganya, dan lainnya. Kesempatan terjadi ketika terdapat celah yang memungkinkan karyawan melakukan penyelewengan ini tanpa teridentifikasi oleh pihak lain (Cendrowski, Martin, Petro, 2007).

23 32 Pelanggaran Kontrak Psikologis Emosi Moral Sikap Tentang Risiko Gambar 2.4 Kerangka Berpikir Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko diperkirakan dapat memprediksi NBE dalam arah negatif. Ketika seseorang yang memiliki kecenderungan pencari risiko merasa bahwa kontrak psikologisnya dilanggar, maka akan lebih mudah bagi individu untuk melakukan penyimpangan. Kekecewaan yang menyebabkan munculnya proses rasionalisasi bahwa penyimpangan yang dilakukan bukanlah kesalahan namun upaya untuk menyeimbangkan keadaan, disandingkan dengan kepribadian individi pencari risiko yang cenderung memandang bahaya serta kerugian yang dapat diakibatkan dari perbuatannya secara lebih netral dibandingkan kelompok penghindar risiko, mendorong individu ini untuk lebih enggan untuk menilai perilaku penyimpangan yang dilakukannya secara negatif. Peneliti berasumsi bahwa pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko dapat memprediksi REP dalam arah negatif. Ketika karyawan mempersepsikan bahwa haknya telah dilanggar, maka akan muncul motivasi untuk melakukan perilaku yang merugikan dan proses rasionalisasi bahwa penyimpangan yang dilakukan bukan merupakan kesalahan. Kelompok pencari risiko cenderung untuk mencari kegiatan yang berisiko serta menerima konsekuensi dan hukuman sebagai situasi yang lebih netral dibandingkan kelompok penghindar risiko. Ketika situasi dimana pelanggaran kontrak psikologis terjadi yang disandingkan dengan kecenderungan individu untuk mencari risiko, maka kemungkinan individu untuk berupaya memperbaiki diri ketika melakukan penyimpangan akan semakin minim.

24 33 Peneliti berasumsi bahwa pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko dapat memprediksi NSE dalam arah negatif. Individu yang mempersepsikan adanya pelanggaran kontrak psikologis akan lebih terdorong untuk melakukan penyimpangan secara disengaja. Namun, dalam perilaku penyimpangan ini, terjadi proses rasionalisasi, dimana individu membenarkan perbuatannya atas dasar upaya untuk menyesuaikan keadaan. Ketika proses rasionalisasi terjadi, individu akan mempersepsikan bahwa kesalahan terletak pada pihak perusahaan dan individu tidak menaruh kesalahan dalam dirinya. Pencari risiko lebih termotivasi untuk melakukan kegiatan dengan risiko yang tinggi serta menilai konsekuensi dari perilakunya terhadap orang lain secara lebih netral. Apabila hal ini disandingkan dengan situasi dimana individu menganggap bahwa kontrak psikologisnya telah dilanggar, maka ketika individu melakukan penyimpangan, individu cenderung untuk tidak merasa bersalah dan memiliki NE yang rendah. Peneliti berasumsi bahwa pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko diperkirakan dapat memprediksi WITH dalam arah positif. Ketika individu mempersepsikan bahwa kontrak psikologisnya telah dilanggar, maka terdapat kemungkinan bahwa individu akan melakukan penyimpangan dengan disengaja. Dalam situasi ini, individu melakukan penyimpangan sebagai upaya untuk menyeimbangkan ketidakadilan yang terjadi. Individu dengan toleransi terhadap risiko yang lebih besar cenderung untuk lebih tidak bertanggung jawab atas perilakunya dan kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya. Kemungkinan individu untuk menarik diri dan tidak mau bertanggung jawab atas kesalahannya semakin didorong oleh adanya rasa amarah terhadap pihak perusahaan. Berdasarkan hipotesa ini, peneliti berargumen bahwa pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko dapat memprediksi WITH dalam arah positif. NSE merupakan proses evaluasi, dimana individu memandang buruk diri sendiri setelah melakukan hal yang tidak baik. Rousseau (1995) dalam Hussain et al., (2011: 576) mendefinisikan pelanggaran kontrak psikologis sebagai situasi yang terjadi ketika karyawan mempersepsikan adanya kegagalan dari pihak perusahaan dalam memenuhi janji serta tanggung jawabnya. Ketika karyawan mempersepsikan adanya ketidakseimbangan dalam hubungan tenaga kerja, karyawan akan berusaha untuk mengembalikan keadaan sehingga kontribusi yang diberikan oleh kedua belah

25 34 pihak seimbang. Usaha untuk menyeimbangkan keadaan dapat berupa perilaku menyimpang seperti melakukan korupsi yang dapat merugikan perusahaan, namun membawa keuntungan pribadi bagi karyawan. Namun, dalam situasi ini, karyawan akan berasumsi bahwa penyimpangan ini merupakan upaya untuk pengembalian keadaan dan merupakan dampak yang harus diterima oleh perusahaan. Ada proses rasionalisas yang terjadi, yaitu membenarkan perbuatan karena kesalahan berakar dari pihak perusahaan. Dengan pembenaran diri ini, karyawan akan memiliki evaluasi diri negatif dalam tingkat yang rendah ketika melakukan penyimpangan. Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berpendapat bahwa ketika terjadi pelanggaran kontrak psikologis, karyawan akan memiliki NSE yang rendah saat melakukan penyimpangan dalam perusahaan. Dapat disimpulkan bahwa peneliti berasumsi bahwa pelanggaran kontrak psikologis dapat memprediksi NSE dalam arah negatif. NBE merupakan kecenderungan individu untuk memandang buruk perilakunya ketika menyadari melakukan hal yang tidak baik. Ketika karyawan mempersepsikan adanya pelanggaran terhadap kontrak psikologisnya, karyawan cenderung akan berupaya untuk mengembalikan keadaan agar keadilan atau keseimbangan terjadi. Upaya ini dapat dilakukan dengan melakukan penyimpangan dalam lingkup perusahaan. Berdasarkan teori pertukaran sosial (social exchange theory) yang dipaparkan oleh Bordia, Tang, dan Restubog (2008), ketika muncul persepsi bahwa kontrak psikologisnya telah dilanggar, maka karyawan akan merespon dengan menampilkan perilaku secara disengaja untuk merugikan perusahaan, baik dengan berhenti dari perusahaan, melakukan penyimpangan, maupun tidak memberikan kontribusi positif pada perusahaan (Bordia, Tang, & Restuborg, 2008). Ketika penyimpangan dilakukan, karyawan akan mempersepsikan bahwa perilakunya bukanlah hal yang negatif, namun upaya untuk mencapai keadaan yang seimbang. Ada proses rasionalisasi yang terjadi, yaitu karyawan menilai penyimpangan yang dilakukannya bukanlah hal yang salah namun hanya sebuah umpan balik dari ketidakadilan yang dilakukan perusahaan. Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berasumsi bahwa ketika karyawan mengalami pelanggaran kontrak psikologis, apabila karyawan melakukan penyimpangan dalam lingkup perusahaan, karyawan akan memiliki evaluasi perilaku negatif yang rendah. Dapat disimpulkan bahwa peneliti berpendapat bahwa pelanggaran kontrak psikologis dapat memprediksi NBE dalam arah negatif.

26 35 REP merupakan upaya individu untuk memperbaiki kesalahannya ketika sadar telah melakukan kesalahan. Saat karyawan mengalami pelanggaran kontrak psikologis, karyawan akan merasa kecewa dan memiliki kemarahan pada perusahaan. Kemarahan ini dapat berdampak pada perilaku yang dengan sengaja dilakukan untuk menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Perilaku yang merugikan ini akan dipersepsikan sebagai upaya membalas kekecewaan yang telah ditimbulkan oleh perusahaan. Berdasarkan uraian ini, peneliti berasumsi bahwa sepanjang karyawan masih memiliki kemarahan pada perusahaan, karyawan akan memiliki inisiatif untuk memperbaiki perilaku yang merugikan ini dalam tingkat yang minim. Hipotesa peneliti adalah pelanggaran kontrak psikologis mampu memprediksi REP dalam arah negatif. WITH adalah upaya individu untuk menghindari tanggung jawab ketika melakukan kesalahan. Seringkali menarik diri dilakukan untuk menghindari tanggung jawab dan konsekuensi pada pihak yang dirugikan. Ketika karyawan mempersepsikan bahwa perusahaan telah gagal dalam memenuhi kontrak psikologisnya, maka karyawan memiliki kecenderungan untuk membalas perilaku tidak adil yang dilakukan perusahaan. Tindakan merugikan ini dianggap sebagai upaya untuk memperoleh keadilan dan membalas perusahaan. Dalam kondisi ini, karyawan cenderung menghindari adanya konsekuensi dan tanggung jawab yang mengikuti mengingat penyelewengan yang dilakukan adalah upaya untuk membalas kesalahan perusahaan. Berdasarkan uraian ini, peneliti berargumen bahwa pelanggaran kontrak psikologis dapat memprediksi WITH dalam arah positif. Sikap tentang risiko merupakan kecenderungan individu dalam pengambilan keputusan yang berisiko. Weber dan Blais (2006) memaparkan bahwa individu memiliki sikap tentang risiko yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Dalam alat ukur yang dikembangkannya, yaitu DOSPERT (Domain-Specifi-Risk-Taking), Weber dan Blais (2006) mengkategorikan sikap tentang risiko kedalam dua kategori, yaitu pencari risiko (risk-taker) dan penghindar risiko (risk averse). Pencari risiko ditandai dengan sikap berani menantang dan menerima risiko yang ada dengan santai dan menggunakan segala potensi yang dimiliki. Flanagan, Stout, dan Gallay (dalam Shaw, Amsel, dan Schillo, 2011) mengemukakan bahwa sikap tentang risiko turut dipengaruhi oleh pemahamannya yang terus dikembangkan secara aktif mengenai moral (konsekuensi negatif terhadap orang lain), konvensional (konsekuensi legal),

27 36 pribadi (keputusan pribadi), dan kebijaksanaan (dampak yang merusak terhadap diri sendiri). Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berasumsi bahwa individu yang lebih bijak dalam pengambilan keputusan berisiko memiliki pemahaman moral, konvensional, pribadi, serta kebijaksanaan yang lebih baik sehingga akan meminimalisir segala perilaku yang dapat menimbulkan kerugian baik bagi diri sendiri maupun pihak lain. NSE terjadi ketika individu menilai diri buruk atau memberikan penilaian diri secara keseluruhan dengan negatif ketika melakukan hal yang tidak bermoral. Kelompok penghindar risiko akan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan berisiko serta mempertimbangkan terjadinya pelanggaran hukum, kerugian bagi orang lain, maupun diri sendiri dari setiap pengambilan keputusan berisiko. Seperti yang telah dipaparkan, salah satu faktor pembentuk kepribadian sikap tentang risiko adalah moral yang tertanam dalam diri individu. Aspek moral merupakan salah satu komponen penting yang mendorong individu untuk memberikan penilaian negatif terhadap diri sendiri ketika melakukan hal yang melanggar nilai moral secara sadar. Individu yang menanamkan aspek moral lebih baik memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk memberikan penilaian diri secara negatif ketika melakukan hal yang melanggar moral. Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berasumsi bahwa sikap tentang risiko dapat memprediksi NSEdalam arah negatif. NBE terjadi ketika individu menilai perbuatannya buruk saat menyadari melakukan hal yang melanggar moral. Individu dengan toleransi yang lebih besar terhadap risiko (risk taker) memiliki kecenderungan untuk kurang bijak dalam pengambilan keputusan berisiko serta menilai situasi berisiko sebagai situasi yang lebih netral dibandingkan dengan kelompok lainnya. Dalam hal ini, aspek motivasi memainkan peran dalam mendorong pencari risiko melakukan penyimpangan seperti tindak korupsi. Melakukan korupsi merupakan tindakan berisiko, mengingat besarnya risiko yang mengikuti apabila tindakan ini terungkap. Risiko yang dapat terjadi tidak hanya risiko pada nama baik, namun juga hukum pidana. Ketika pencari risiko melakukan korupsi, hal itu memenuhi aspek motivasi dalam segitiga penipuan (fraud triangle). Adanya aspek motivasi ini akan mendorong karyawan untuk merasa puas akan pelanggaran yang dilakukannya sehingga kemungkinan individu dengan toleransi akan risiko yang lebih besar untuk menilai perbuatannya secara negatif akan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini, korupsi merupakan topik hangat yang seringkali diangkat dalam media massa di Negara Indonesia. Terjadinya penyelewengan ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 41 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Variabel Penelitian dan Hipotesis Definisi operasional merupakan batasan pengertian yang dijadikan pedoman dalam melaksanakan suatu aktivitas, seperti penelitian. Dapat

Lebih terperinci

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Bab 2 Tinjauan Pustaka Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Rasa Malu dan Bersalah 2.2.1 Definisi Kecenderungan Rasa Malu dan Bersalah Perasaan malu dan bersalah muncul sebagai akibat dari perbuatan menyimpang yang dilakukan seorang individu

Lebih terperinci

PERAN PELANGGARAN KONTRAK PSIKOLOGIS DAN SIKAP TENTANG RISIKO DALAM MEMPREDIKSI EMOSI MORAL PADA KARYAWAN PERBANKAN DI JAKARTA

PERAN PELANGGARAN KONTRAK PSIKOLOGIS DAN SIKAP TENTANG RISIKO DALAM MEMPREDIKSI EMOSI MORAL PADA KARYAWAN PERBANKAN DI JAKARTA PERAN PELANGGARAN KONTRAK PSIKOLOGIS DAN SIKAP TENTANG RISIKO DALAM MEMPREDIKSI EMOSI MORAL PADA KARYAWAN PERBANKAN DI JAKARTA Melissa Amelia Psikologi, Meruya Ilir Kav DKI Blok 29 No 11, 08179320307,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. tunduk pada peraturan perusahaan. Selanjutnya Robinson dan Rousseau (2000)

BAB II KAJIAN TEORI. tunduk pada peraturan perusahaan. Selanjutnya Robinson dan Rousseau (2000) BAB II KAJIAN TEORI A. Kontrak Psikologis 1. Pengertian Kontrak Psikologis Istilah kontrak psikologis berbeda dengan kontrak kerja. Robinson dan Rousseau (2000) menyatakan bahwa kontrak kerja secara umum

Lebih terperinci

BAB 2. Tinjauan Pustaka

BAB 2. Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Definisi Tipe Kepribadian A Tipe kepribadian A memiliki hubungan dengan bagaimana orang-orang biasanya menghadapi tantangan dalam hidup mereka serta bagaimana orang tersebut

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kontrak Psikologis 2.1.1 Definisi Kontrak Psikologis Istilah kontrak psikologis berbeda dengan kontrak kerja. Definisi kontrak kerja secara umum mengacu pada dokumen tertulis

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Bias Optimisme Bias optimisme didefinisikan sebagai seorang yakin bahwa dirinya akan menerima atau mengalami lebih sedikit risiko dibandingkan dengan orang lain atau teman sebayanya.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tracey, 2000). Intensi keluar sendiri, bisa dipengaruhi banyak hal mulai

BAB 1 PENDAHULUAN. Tracey, 2000). Intensi keluar sendiri, bisa dipengaruhi banyak hal mulai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Intensi keluar adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya secara sukarela menurut pilihannya sendiri (Wickramasinghe

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peran sumber daya manusia dalam suatu organisasi merupakan penentu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peran sumber daya manusia dalam suatu organisasi merupakan penentu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peran sumber daya manusia dalam suatu organisasi merupakan penentu yang sangat penting bagi keefektifan dan keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya.

Lebih terperinci

Teori Keadilan (Equity Theory)

Teori Keadilan (Equity Theory) Teori Keadilan (Equity Theory) Teori Keadilan (Equity Theory) Menurut teori ini bahwa kepuasan seseorang tergantung apakah ia merasakan ada keadilan (equity) atau tidak adil (unequity) atas suatu situasi

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, KONTRIBUSI, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Simpulan. Pokok masalah yang hendak dipecahkan dalam studi ini adalah

BAB V SIMPULAN, KONTRIBUSI, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Simpulan. Pokok masalah yang hendak dipecahkan dalam studi ini adalah BAB V SIMPULAN, KONTRIBUSI, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN 5.1. Simpulan Pokok masalah yang hendak dipecahkan dalam studi ini adalah mengonfirmasi elaboration likelihood model for workplace aggression

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai-sampai beberapa organisasi sering memakai unsur komitmen sebagai

BAB I PENDAHULUAN. sampai-sampai beberapa organisasi sering memakai unsur komitmen sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam dunia kerja, komitmen seseorang terhadap organisasi/perusahaan seringkali menjadi isu yang sangat penting. Saking pentingnya hal tersebut, sampai-sampai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Organizational Citizenship Behavior 2.1.1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational citizenship behavior

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berbeda. Cara pertama diajukan oleh Mowday, Porter, dan Steers, 1982;

BAB II LANDASAN TEORI. berbeda. Cara pertama diajukan oleh Mowday, Porter, dan Steers, 1982; BAB II LANDASAN TEORI A. Komitmen Organisasi 1. Pengertian Komitmen Organisasi Komitmen organisasi dapat didefenisikan dengan dua cara yang amat berbeda. Cara pertama diajukan oleh Mowday, Porter, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Laporan keuangan merupakan salah satu bentuk alat komunikasi oleh manajer puncak kepada bawahannya serta kepada pihak luar perusahaan untuk menginformasikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Tindakan Beralasan Teori tindakan beralasan yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) menyatakan bahwa perilaku

Lebih terperinci

MAKALAH NILAI, SIKAP DAN KEPUASAN KERJA

MAKALAH NILAI, SIKAP DAN KEPUASAN KERJA MAKALAH NILAI, SIKAP DAN KEPUASAN KERJA Tugas ini disusun untuk Mata Kuliah Manajemen Pengantar II Dosen : Dra. Hj. Panca W,MM Disusun Oleh : 1. Aksan Fauzi 201211111 2. Khoirun Nisa 201211113 3. Verri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. organisasi dengan kesejahteraan psikologis karyawan. Peran organisasi dan

BAB 1 PENDAHULUAN. organisasi dengan kesejahteraan psikologis karyawan. Peran organisasi dan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu penunjang keberhasilan sebuah organisasi adalah keberadaan dan kontribusi karyawan. Produktifitas dan kinerja karyawan yang tinggi akan memberikan kontribusi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Achievement 1. Definisi Identity Achievement Identitas merupakan prinsip kesatuan yang membedakan diri seseorang dengan orang lain. Individu harus memutuskan siapakah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Stres Kerja Mangkunegara (2005: 28), mengatakan bahwa stres kerja adalah: perasaan yang menekan atau merasa tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu hidup berdampingan dengan orang lain tentunya sering dihadapkan pada berbagai permasalahan yang melibatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kinerja merupakan salah satu alat ukur dari keberhasilan sebuah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kinerja merupakan salah satu alat ukur dari keberhasilan sebuah BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Pengertian Kinerja Kinerja merupakan salah satu alat ukur dari keberhasilan sebuah perusahaan. Ketika kinerja dari karyawan meningkat maka bisa dipastikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini mengacu pada bagaimana motivasi berprestasi menurut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini mengacu pada bagaimana motivasi berprestasi menurut BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Penelitian ini mengacu pada bagaimana motivasi berprestasi menurut Spence dan Helmreich yang terdiri dari mastery of needs, work orientation dan competition akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengauditan disebut dengan fraud akhir akhir ini menjadi berita utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. pengauditan disebut dengan fraud akhir akhir ini menjadi berita utama dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kecenderungan Kecurangan Akuntansi atau yang dalam bahasa pengauditan disebut dengan fraud akhir akhir ini menjadi berita utama dalam pemberitaan media yang

Lebih terperinci

EMOSI DAN SUASANA HATI

EMOSI DAN SUASANA HATI EMOSI DAN SUASANA HATI P E R I L A K U O R G A N I S A S I B A H A N 4 M.Kurniawan.DP AFEK, EMOSI DAN SUASANA HATI Afek adalah sebuah istilah yang mencakup beragam perasaan yang dialami seseorang. Emosi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya persaingan kompetensi antar individu menyebabkan banyak

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya persaingan kompetensi antar individu menyebabkan banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Meningkatnya persaingan kompetensi antar individu menyebabkan banyak karyawan di masa kini berpindah-pindah tempat kerja. Alasan-alasan karyawan berpindah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi memiliki berbagai tujuan. Untuk mencapai tujuannya,

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi memiliki berbagai tujuan. Untuk mencapai tujuannya, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap organisasi memiliki berbagai tujuan. Untuk mencapai tujuannya, organisasi biasanya berusaha meningkatkan produktifitas, kemampuan berinovasi, dan kemampuan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Komitmen Organisasi. Salim (dalam Martini dan Rostiana, 2003) bahwa komitmen organisasi di

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Komitmen Organisasi. Salim (dalam Martini dan Rostiana, 2003) bahwa komitmen organisasi di 16 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Komitmen Organisasi 1. Pengertian Komitmen Organisasi Komitmen bukanlah sesuatu yang bisa hadir begitu saja, karena itu untuk menghasilkan karyawan yang memiliki komitmen yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Organizational Citizenship Behavior

TINJAUAN PUSTAKA Organizational Citizenship Behavior 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Organizational Citizenship Behavior 2.1.1 Pengertian Organizational Citizenship Behavior Kinerja karyawan biasanya dinilai berdasarkan pada job description yang telah dirancang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. karena setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai

BAB II KAJIAN TEORI. karena setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai BAB II KAJIAN TEORI A. Kepuasan Kerja 1. Pengertian Kepuasan Kerja Setiap orang yang bekerja mengharapkan memperoleh kepuasan dari tempat kerjanya. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat

Lebih terperinci

PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MIKRO (MICROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYMPANGAN SOSIAL

PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MIKRO (MICROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYMPANGAN SOSIAL PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MIKRO (MICROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYMPANGAN SOSIAL 1. Teori Asosiasi Diferensial (differential association Theory) Teori ini dikembangan oleh Edwin Sutherland pada tahun 1930-an,

Lebih terperinci

saji yang material akibat dari kecurangan adalah sebagai berikut:

saji yang material akibat dari kecurangan adalah sebagai berikut: 2.2.5 Imbalan Pelaku Kecurangan Imbalan yang diharapkan bagi para pelaku kecurangan beragam jenis. Menurut Mulford (2010) berbagai imbalan dibagi menjadi beberapa kategori berikut ini : Tabel 2.2 Imbalan

Lebih terperinci

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK Murhima A. Kau Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo INTISARI Proses perkembangan perilaku prososial menurut sudut pandang Social Learning Theory

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada abad modern ini, yang ditandai dengan adanya perapatan dunia

BAB I PENDAHULUAN. Pada abad modern ini, yang ditandai dengan adanya perapatan dunia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada abad modern ini, yang ditandai dengan adanya perapatan dunia (compression of the world) telah mengubah peta perekonomian, politik dan budaya. Pergerakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Tenaga Kerja BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tenaga kerja adalah salah satu komponen dari perusahaan dan mempunyai peranan yang sangat penting di dalam operasional perusahaan. Menurut Biro Pusat Statistik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau organisasi. Menurut Robbins (2008) perusahaan atau organisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. atau organisasi. Menurut Robbins (2008) perusahaan atau organisasi ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia kerja merupakan dunia tempat sekumpulan individu melakukan suatu aktivitas kerja, yang mana aktivitas tersebut terdapat di dalam perusahaan atau organisasi.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Sebelum membeli suatu produk atau jasa, umumnya konsumen melakukan evaluasi untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Sebelum membeli suatu produk atau jasa, umumnya konsumen melakukan evaluasi untuk BAB II LANDASAN TEORI A. Proses Pengambilan Keputusan Membeli Sebelum membeli suatu produk atau jasa, umumnya konsumen melakukan evaluasi untuk melakukan pemilihan produk atau jasa. Evaluasi dan pemilihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan status Universitas Gadjah Mada (UGM) dari universitas yang

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan status Universitas Gadjah Mada (UGM) dari universitas yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan status Universitas Gadjah Mada (UGM) dari universitas yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 153 Tahun 2000 menjadi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. yang lebih baik untuk organisasi atau perusahaan yang bersangkutan tentang berbagai

BAB V PENUTUP. yang lebih baik untuk organisasi atau perusahaan yang bersangkutan tentang berbagai BAB V PENUTUP 5.1 KESIMPULAN Riset ini memberikan informasi mendalam yang sangat berharga serta pemahaman yang lebih baik untuk organisasi atau perusahaan yang bersangkutan tentang berbagai emosi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keputusan (decision maker). Dalam pengambilan keputusan, manajer harus

BAB I PENDAHULUAN. keputusan (decision maker). Dalam pengambilan keputusan, manajer harus BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Seorang manajer memegang fungsi dan peran sebagai pengambil keputusan (decision maker). Dalam pengambilan keputusan, manajer harus mempertimbangkan berbagai

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN SIKAP TERHADAP KARAKTERISTIK PEKERJAAN DENGAN KETAKUTAN AKAN SUKSES PADA WANITA KARIR SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN SIKAP TERHADAP KARAKTERISTIK PEKERJAAN DENGAN KETAKUTAN AKAN SUKSES PADA WANITA KARIR SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN SIKAP TERHADAP KARAKTERISTIK PEKERJAAN DENGAN KETAKUTAN AKAN SUKSES PADA WANITA KARIR SKRIPSI Disusun untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat Mencapai gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memperbaiki lingkungan kerja di tempat kerja. Lingkungan kerja yang buruk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memperbaiki lingkungan kerja di tempat kerja. Lingkungan kerja yang buruk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lingkungan Kerja Masalah lingkungan kerja merupakan salah satu hal yang sangat penting. Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap kelancaran operasi perusahaan. Salah satu cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. agara diperoleh tenaga kerja yang puas akan pekerjaannya. Fungsi MSDM. dikelompokkan atas tiga fungsi, yaitu (Husein, 2002) :

II. TINJAUAN PUSTAKA. agara diperoleh tenaga kerja yang puas akan pekerjaannya. Fungsi MSDM. dikelompokkan atas tiga fungsi, yaitu (Husein, 2002) : II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Manajemen Sumber Daya Manusia Manajemen sumber daya manusia (MSDM) merupakan bagian dari manajemen keorganisasian yang memfokuskan diri pada unsur Sumber Daya Manusia, dimana tugas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dengan referensi pada sejumlah standar seperti biaya-biaya masa lalu atau yang

BAB II LANDASAN TEORI. dengan referensi pada sejumlah standar seperti biaya-biaya masa lalu atau yang BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Kinerja Kinerja menurut Soetjipto (1997) merupakan suatu istilah secara umum yang digunakan untuk sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Penelitian ini mengacu pada bagaimana motivasi berprestasi menurut Spence dan

BAB II LANDASAN TEORI. Penelitian ini mengacu pada bagaimana motivasi berprestasi menurut Spence dan BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Landasan Teori Penelitian ini mengacu pada bagaimana motivasi berprestasi menurut Spence dan Helmreich yang terdiri dari mastery of needs, work orientation dan competition akan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN ANTI PENCUCIAN UANG FXPRIMUS

KEBIJAKAN ANTI PENCUCIAN UANG FXPRIMUS KEBIJAKAN ANTI PENCUCIAN UANG FXPRIMUS PERNYATAAN DAN PRINSIP KEBIJAKAN Sesuai dengan Undang-undang Intelijen Keuangan dan Anti Pencucian Uang 2002 (FIAMLA 2002), Undang-undang Pencegahan Korupsi 2002

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. interaksi antara satu dengan lainnya, memiliki kecenderungan timbulnya

BAB I PENDAHULUAN. interaksi antara satu dengan lainnya, memiliki kecenderungan timbulnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap kelompok dalam satu organisasi, dimana didalamnya terjadi interaksi antara satu dengan lainnya, memiliki kecenderungan timbulnya konflik. Bicara konflik bisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam setiap perusahaan yang merupakan sebuah organisasi bisnis,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam setiap perusahaan yang merupakan sebuah organisasi bisnis, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam setiap perusahaan yang merupakan sebuah organisasi bisnis, sumber daya manusia memiliki peranan yang sangat penting karena merupakan elemen dasar yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara BAB II LANDASAN TEORI A. KOMITMEN KARYAWAN TERHADAP ORGANISASI 1. Defenisi Komitmen Karyawan terhadap Organisasi Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara individu karyawan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori keadilan (equity theory) Penelitian ini berpatokan pada teori keadilan yang dikembangkan oleh Adams pada tahun 1963.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku konsumen.

BAB II LANDASAN TEORI. hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku konsumen. BAB II LANDASAN TEORI A. LOYALITAS MEREK 1. Definisi Loyalitas Merek Schiffman dan Kanuk (2004) mengatakan bahwa loyalitas merek merupakan hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Komitmen organisasi 1. Pengertian Komitmen merupakan perilaku seseorang terhadap organisasi atau perusahaan dimana individu tersebut bisa bersikap tegas dan berpegang teguh pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan keinginan yang tinggi untuk berbagi dan berkorban bagi organisasi.

BAB I PENDAHULUAN. dengan keinginan yang tinggi untuk berbagi dan berkorban bagi organisasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karyawan adalah manusia yang mempunyai sifat kemanusiaan, perasaan dan kebutuhan yang beragam jenisnya. Ditinjau dari adanya beragam jenis sifat karyawan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. (Suartana, 2010). Menurut Luthans, 2006 (dalam Harini et al., 2010), teori ini

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. (Suartana, 2010). Menurut Luthans, 2006 (dalam Harini et al., 2010), teori ini BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Atribusi Teori atribusi mempelajari proses bagaimana seseorang menginterpretasikan suatu peristiwa, alasan atau sebab perilakunya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bullying 1. Definisi Bullying Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih kuat terhadap individu atau kelompok yang lebih lemah, yang

Lebih terperinci

PENDEKATAN PSIKOLOGIS DALAM OLAHRAGA USIA DINI

PENDEKATAN PSIKOLOGIS DALAM OLAHRAGA USIA DINI PENDEKATAN PSIKOLOGIS DALAM OLAHRAGA USIA DINI Danu Hoedaya Ilustrator: Didin Budiman Kementerian Negara Pemuda & Olahraga Republik Indonesia Bidang Peningkatan Prestasi dan Iptek Olahraga Pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari keseluruhan kajian mengenai pemikiran Kiai Ṣāliḥ tentang etika belajar pada bab-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan penting, terutama mengenai konstruksi pemikiran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. untuk melakukan atau bertindak sesuatu. Keberadaan pegawai tentunya

BAB II KAJIAN TEORI. untuk melakukan atau bertindak sesuatu. Keberadaan pegawai tentunya BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pengertian Motivasi Kerja Motivasi adalah proses seseorang untuk mendorong mereka melaksanakan sesuatu yang telah ditetapkan. Sedangkan motivasi kerja adalah keinginan yang timbul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahan dan terus berkembang. Untuk mendukung perubahan organisasi tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. bertahan dan terus berkembang. Untuk mendukung perubahan organisasi tersebut, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan lingkungan organisasi yang semakin kompleks dan kompetitif, menuntut setiap organisasi dan perusahaan untuk bersikap lebih responsif agar sanggup bertahan

Lebih terperinci

2015 PENGARUH KOMPENSASI DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI DI PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (PUSDIKLAT) GEOLOGI BANDUNG

2015 PENGARUH KOMPENSASI DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI DI PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (PUSDIKLAT) GEOLOGI BANDUNG 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Organisasi merupakan wadah bagi orang-orang yang memiliki pandangan dan visi dengan tujuan untuk menampung aktivitas dan interaksi yang dilakukan oleh beberapa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menimbulkan stress. Keinginan untuk mendapatkan penerimaan (acceptance)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menimbulkan stress. Keinginan untuk mendapatkan penerimaan (acceptance) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penolakan Sosial 2.1.1 Konsep Penolakan Sosial Penolakan merupakan keadaan yang sangat umum dan berpotensi untuk menimbulkan stress. Keinginan untuk mendapatkan penerimaan (acceptance)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai 1 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Karyawan PT. INALUM 1. Pengertian Karyawan Karyawan adalah sumber daya yang sangat penting dan sangat menentukan suksesnya perusahaan. Karyawan juga selalu disebut sebagai

Lebih terperinci

Fenomena korupsi di Timor Leste dibuktikan dengan adanya penyalahgunaan kekuasaan, pemalsuan dokumen tender dengan memberi proyek jutaan dollar

Fenomena korupsi di Timor Leste dibuktikan dengan adanya penyalahgunaan kekuasaan, pemalsuan dokumen tender dengan memberi proyek jutaan dollar PENDAHULUAN Kecurangan merupakan sebuah representasi yang salah atau penyembunyian fakta-fakta yang material untuk mempengaruhi seseorang agar mau mengambil bagian dalam suatu hal yang berharga (Sawyer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia memiliki hak untuk memilih jenis pekerjaan apa yang diinginkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia memiliki hak untuk memilih jenis pekerjaan apa yang diinginkan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap individu selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu cara untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia perlu untuk bekerja. Setiap manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sumber daya manusia (karyawan) merupakan aset yang paling penting

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sumber daya manusia (karyawan) merupakan aset yang paling penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sumber daya manusia (karyawan) merupakan aset yang paling penting bagi perusahaan, dimana pada hakekatnya berfungsi sebagai faktor penggerak bagi setiap kegiatan

Lebih terperinci

Menjalankan Nilai-Nilai Kami, Setiap Hari

Menjalankan Nilai-Nilai Kami, Setiap Hari Kode Etik Global Menjalankan Nilai-Nilai Kami, Setiap Hari Takeda Pharmaceutical Company Limited Pasien Kepercayaan Reputasi Bisnis KODE ETIK GLOBAL TAKEDA Sebagai karyawan Takeda, kami membuat keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi tantangan lingkungan organisasi harus lebih

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi tantangan lingkungan organisasi harus lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menghadapi tantangan lingkungan organisasi harus lebih kompetitif. Tidak bisa hanya mempertahankan status quo, organisasi harus berubah terus-menerus dan perubahan

Lebih terperinci

Komunikasi risiko 1 LAMPIRAN 2. Definisi dan tujuan

Komunikasi risiko 1 LAMPIRAN 2. Definisi dan tujuan 218 Penyakit bawaan makanan: fokus pendidikan kesehatan LAMPIRAN 2 Komunikasi risiko 1 Definisi dan tujuan Komunikasi risiko merupakan pertukaran informasi dan pandangan mengenai risiko serta faktor-faktor

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Pengertian Konsumsi dan Konsumen Konsumsi berasal dari bahasa Belanda consumptie. Pengertian konsumsi secara tersirat dikemukakan oleh Holbrook

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berkaitan dengan komitmen afektif dan budaya organisasi. karena mereka menginginkannya (Meyer dan Allen, 1997)

BAB II LANDASAN TEORI. berkaitan dengan komitmen afektif dan budaya organisasi. karena mereka menginginkannya (Meyer dan Allen, 1997) BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dijabarkan teori-teori yang menjadi kerangka berfikir dalam melaksanakan penelitian ini. Beberapa teori yang dipakai adalah teori yang berkaitan dengan komitmen

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi ditandai terjadinya perkembangan dan perubahan lingkungan trategis nasional maupun internasional dimasa yang akan datang mengisyaratkatkan perubahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian diri ialah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku, individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhankebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian yang terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian yang terdiri dari permasalahan serta variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Komitmen Organisasi 1.1 Definisi Komitmen Organisasi Kata komitmen berasal dari kata latin yang berarti to connect. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

Lebih terperinci

KODE ETIK GLOBAL PERFORMANCE OPTICS

KODE ETIK GLOBAL PERFORMANCE OPTICS KODE ETIK GLOBAL PERFORMANCE OPTICS Kode Etik Global Performance Optics adalah rangkuman harapan kami terkait dengan perilaku di tempat kerja. Kode Etik Global ini mencakup beragam jenis praktik bisnis;

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Stres Kerja

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Stres Kerja BAB II LANDASAN TEORI A. STRES KERJA 1. Definisi Stres Kerja Menurut Lazarus & Folkman (dalam Morgan, 1986) stres merupakan suatu keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh

Lebih terperinci

BAB 3. Metode Penelitian

BAB 3. Metode Penelitian BAB 3 Metode Penelitian 3.1. Variabel Penelitian dan Hipotesis Menurut Kumar (1999), definisi operasional variabel adalah bagaimana semua orang memiliki pengertian yang sama dengan apa yang dimaksud oleh

Lebih terperinci

Standar Audit SA 240. Tanggung Jawab Auditor Terkait dengan Kecurangan dalam Suatu Audit atas Laporan Keuangan

Standar Audit SA 240. Tanggung Jawab Auditor Terkait dengan Kecurangan dalam Suatu Audit atas Laporan Keuangan SA 0 Tanggung Jawab Auditor Terkait dengan Kecurangan dalam Suatu Audit atas Laporan Keuangan SA Paket 00.indb //0 0:0: AM STANDAR AUDIT 0 TANGGUNG JAWAB AUDITOR TERKAIT DENGAN KECURANGAN DALAM SUATU AUDIT

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bagian ini memuat landasan empiris mengenai variabel-variabel yang

BAB II LANDASAN TEORI. Bagian ini memuat landasan empiris mengenai variabel-variabel yang BAB II LANDASAN TEORI Bagian ini memuat landasan empiris mengenai variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Pada bagian pertama akan dibahas komitmen organisasional dan bagian kedua membahas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lingkungan Kerja 2.1.1 Pengertian Lingkungan Kerja Lingkungan kerja merupakan situasi dan tempat kerja pegawai. Seorang individu yang berada pada lingkungan kerjanya akan senantiasa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap perusahaan didirikan dengan tujuan tertentu untuk dapat memberikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap perusahaan didirikan dengan tujuan tertentu untuk dapat memberikan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Setiap perusahaan didirikan dengan tujuan tertentu untuk dapat memberikan manfaat bagi lingkungan internal dan eksternal. Dalam menjalankan setiap aktivitasnya,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Komitmen organisasi 1. Pengertian Komitmen merupakan perilaku seseorang terhadap organisasi atau perusahaan dimana individu tersebut bisa bersikap tegas dan berpegang teguh pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penerimaan diri 1. Pengertian Penerimaan Diri Manusia adalah makhluk sosial yang akan selalu berhubungan dengan orang lain sebagai proses sosialisasi dan interaksi sosial dalam

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Pengaruh konflik pekerjaan..., Sekar Adelina Rara, FPsi UI, 2009

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Pengaruh konflik pekerjaan..., Sekar Adelina Rara, FPsi UI, 2009 1 1. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Manajer merupakan seseorang yang berusaha menggapai tujuan organisasi atau perusahaan dengan mengatur orang lain agar bersedia melakukan tugas yang diperlukan untuk

Lebih terperinci

BAB V. KESIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN, DAN SARAN. Sebagai jawaban atasrumusan pertanyaan dalam penelitian ini, dapat

BAB V. KESIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN, DAN SARAN. Sebagai jawaban atasrumusan pertanyaan dalam penelitian ini, dapat BAB V. KESIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN, DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Sebagai jawaban atasrumusan pertanyaan dalam penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil analisis regresi untuk

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pendahuluan Bab ini berisi uraian berbagai teori tentang kepuasan kerja yang menjadi dasar dalam penelitian ini. Pertama-tama akan dibahas tentang kepuasan kerja, kemudian diikuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan perusahaan atau organisasi. Sumber Daya Manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan perusahaan atau organisasi. Sumber Daya Manusia merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor penting dalam perkembangan perusahaan atau organisasi. Sumber Daya Manusia merupakan kekuatan daya fikir dan berkarya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada saat ini sumber daya manusia adalah kunci sukses suatu organisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada saat ini sumber daya manusia adalah kunci sukses suatu organisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada saat ini sumber daya manusia adalah kunci sukses suatu organisasi modern. Mengelola sumber daya manusia secara efektif menjadi tanggung jawab setiap orang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Wanita karir mengacu pada sebuah profesi. Karir adalah karya. Jadi, ibu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Wanita karir mengacu pada sebuah profesi. Karir adalah karya. Jadi, ibu BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wanita Karir Wanita karir mengacu pada sebuah profesi. Karir adalah karya. Jadi, ibu rumah tangga sebenarnya adalah seorang wanita karir. Namun wanita karir adalah wanita yang

Lebih terperinci

Tes Karakteristik Pribadi

Tes Karakteristik Pribadi 1 2 Tes Karakteristik Pribadi TIPS MENGERJAKAN TES KARAKTERISTIK PRIBADI Soal Tes Kompetensi Pribadi (TKP) pada dasarnya adalah tes yang menilai sikap dan respon seseorang terhadap kasus yang diajukan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organisasi tersebut (Mathis & Jackson, 2006). Menurut Velnampy (2013)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organisasi tersebut (Mathis & Jackson, 2006). Menurut Velnampy (2013) 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Komitmen Organisasional 2.1.1. Pengertian Komitmen Organisasional Komitmen organisasional adalah tingkat sampai dimana karyawan yakin dan menerima tujuan organisasional, serta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stres pada Wanita Karir (Guru) yang dialami individu atau organisme agar dapat beradaptasi atau menyesuaikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stres pada Wanita Karir (Guru) yang dialami individu atau organisme agar dapat beradaptasi atau menyesuaikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres pada Wanita Karir (Guru) 1. Pengertian Istilah stres dalam psikologi menunjukkan suatu tekanan atau tuntutan yang dialami individu atau organisme agar dapat beradaptasi

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN TEORETIS

BAB 2 KAJIAN TEORETIS BAB 2 KAJIAN TEORETIS 2.1 Definisi Konsep 2.1.1 Turnover Intention Turnover intention (keinginan keluar dari pekerjaan) merupakan tanda awal terjadinya turnover (keluar dari pekerjaan) (Sunarso, 2000).

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 13 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Motivasi kerja 1. Pengertian motivasi kerja Menurut Anoraga (2009) motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Oleh sebab itu, motivasi kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Gejala globalisasi mengakibatkan semakin banyaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Gejala globalisasi mengakibatkan semakin banyaknya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gejala globalisasi mengakibatkan semakin banyaknya perusahaan multinasional yang masuk dan ikut berperan dalam kancah perekonomian. Hal ini tentu saja menimbulkan

Lebih terperinci