MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 103/PUU-XIV/2016

Transkripsi

1 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 103/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG- UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I) J A K A R T A SENIN, 21 NOVEMBER 2016

2 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 103/PUU-XIV/2016 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [Pasal 197 ayat (1)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Juniver Girsang 2. Harry Ponto 3. Swandy Halim, dkk ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Senin, 21 November 2016 Pukul WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Suhartoyo (Ketua) 2) Manahan MP Sitompul (Anggota) 3) Wahiduddin Adams (Anggota) Rizki Amalia Panitera Pengganti i

3 Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Arief Patramijaya 2. Fajri Akbar 3. Budi Rahmad 4. Harry Ponto 5. Swandy Halim 6. Patricia Lestari 7. Hanita Oktavia 8. Triweka Rinanti ii

4 1. KETUA: SUHARTOYO Persidangan Perkara Nomor 103/PUU-XIV/2016 dibuka dan persidangan dinyatakan terbuka untuk umum. Baik, supaya diperkenalkan siapa saja yang hadir? Ketua rombongannya siapa ini? 2. KUASA HUKUM PEMOHON: ARIEF PATRAMIJAYA Terima kasih, Yang Mulia. Bapak Ketua Majelis yang kami muliakan, mohon izin perkenalkan kami untuk memperkenalkan diri. Nama saya Arief Patramijaya, S.H., LLM. Selanjutnya yang di ujung sebelah kanan kami, Majelis Yang Mulia, adalah Fajri Akbar, S.H. Selanjutnya di sebelahnya adalah Budi Rahmad, S.H. Selanjutnya, Yang Mulia, Harry Ponto, S.H., LLM. Lalu di samping kanan saya langsung, Swandy Halim, S.H. Di sebelah kiri saya, Majelis Yang Mulia, Patricia Lestari, S.H., M.H. Lalu Hanita Oktavia, S.H., dan Triweka Rinanti, S.H., M.H. Demikian, Yang Mulia. 3. KETUA: SUHARTOYO Baik, ya. Jadi yang hadir siapa saja? Diulang tadi supaya Pak Harry Ponto, ya kan? Swandy Halim, terus siapa? 4. KUASA HUKUM PEMOHON: ARIEF PATRAMIJAYA Arief Patramijaya, Yang Mulia. 5. KETUA: SUHARTOYO Arief Patramijaya. Terus? 6. KUASA HUKUM PEMOHON: ARIEF PATRAMIJAYA Lalu Patricia Lestari. 7. KETUA: SUHARTOYO SIDANG DIBUKA PUKUL WIB KETUK PALU 3X Sebentar. Dicari dulu. Patricia Lestari? 1

5 8. KUASA HUKUM PEMOHON: ARIEF PATRAMIJAYA Ya. Lalu, Hanita Oktavia, Nomor 7, Yang Mulia. 9. KETUA: SUHARTOYO Hanita... kok enggak ada? 10. KUASA HUKUM PEMOHON: ARIEF PATRAMIJAYA Yang Nomor 7, Yang Mulia. Hanita Oktavia. 11. KETUA: SUHARTOYO Ya, ya. Terus? 12. KUASA HUKUM PEMOHON: ARIEF PATRAMIJAYA Lalu Triweka Rinanti, Nomor 9, Yang Mulia. 13. KETUA: SUHARTOYO Ya, terus siapa lagi? Baru 1, 2, 3, 4, 5 (...) 14. KUASA HUKUM PEMOHON: ARIEF PATRAMIJAYA Fajri Akbar, Yang Mulia, dan Budi Rahmad. 15. KETUA: SUHARTOYO Fajri Akbar, Budi Rahmad, oke. Ini para Pemohon ini sekaligus Prinsipal, ya? Kuasa dan Prinsipal? 16. KUASA HUKUM PEMOHON: ARIEF PATRAMIJAYA Benar, Yang Mulia. 17. KETUA: SUHARTOYO Pemohonnya kan satu, Juniver Girsang, ya? Sampai 11, Handoko Taslim? 18. KUASA HUKUM PEMOHON: ARIEF PATRAMIJAYA Betul, Yang Mulia. 2

6 19. KETUA: SUHARTOYO Sebagai Pemohon ini? 20. KUASA HUKUM PEMOHON: ARIEF PATRAMIJAYA Ya. 21. KETUA: SUHARTOYO Dalam ini diwakili oleh kuasa hukumnya kenapa seperti ini? Sekaligus Prinsipal dan kuasa hukum, gitu? Bagaimana, Pak? 22. KUASA HUKUM PEMOHON: ARIEF PATRAMIJAYA Izin, Yang Mulia, menjelaskan. Untuk permohonan ini pada dasarnya yang mengajukan itu dalam kapasitasnya selaku advokat, Yang Mulia. 23. KETUA: SUHARTOYO Ya. 24. KUASA HUKUM PEMOHON: ARIEF PATRAMIJAYA Oleh karenanya ada beberapa advokat yang akan... di sini yang akan mengajukan permohonan ini. Nah, dari kesebelas advokat ini, lalu menguasakan memang termasuk kami sebagai prinsipal, tetapi ada juga advokat yang diberi kuasa, Yang Mulia. Demikian. 25. KETUA: SUHARTOYO Oh, baik. Soalnya begini jadi enggak enak menjelaskan, soalnya begini kalau di MK ini, di MK ini ketika kemudian dalam kapasitas pribadi tidak hadir di persidangan, enggak ada kuasanya ya, dianggap tidak hadir dan tentunya kepentingannya dianggap sudah selesai pada saat tidak hadir itu. Beda kalau yang kemudian memberi kuasa yang hadir kuasanya. Jadi, apakah di antara 11 orang ini kemudian semua mewakilkan kuasa hukumnya ini juga orang yang bersangkutan itu sendiri ataukah ini hanya partner di dalam kantor hukumnya Juniver Girsang yang dalam hal ini diwakili kuasa hukumnya? Ini maksudnya yang memilih kantor di Pak Swandy Halim dan Pak (suara tidak terdengar jelas) ini? Nanti dicek ya, soalnya ini MK beda dengan di sana, di peradilan umum. 3

7 Baik. Jadi, Mahkamah sudah menerima permohonan ini dan sudah juga telah mempelajari, namun demikian karena ini persidangan terbuka untuk umum dan permohonan ini akan diakses oleh baik yang hadir di sini maupun banyak pihak yang membaca langsung terhadap risalahrisalah persidangan, silakan supaya dipresentasikan untuk highlight-nya saja siapa yang mau menyampaikan. 26. KUASA HUKUM PEMOHON: ARIEF PATRAMIJAYA Terima kasih, Bapak Ketua Yang Mulia. Perkenankan kami untuk menyampaikan poin-poinnya saja dalam permohonan ini. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, pada prinsipnya kami mengajukan uji materi terhadap Pasal 197 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal ini kami ajukan terkait dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun Dalam permohonan ini, Majelis Yang Mulia, kami tidak memohon untuk membalkan pasal ini, tetapi kami mohon untuk Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran. Oleh karenanya kami selanjutnya menyampaikan... ingin menyampaikan bahwa permohonan ini latar belakangnya pada dasarnya adalah karena kami menilai hak konstitusional kami sebagai advokat telah dilanggar dan/atau terhambat oleh adanya pasal ini. Pasal ini sendiri, Majelis Yang Mulia, sebagaimana telah kami sampaikan dalam permohonan dan permohonan ini kami mohon dianggap seluruhnya dibacakan. Pasal 197 ayat (1) pada dasarnya mengatur bahwa surat putusan pemidanaan harus memuat syarat-syarat sebagaimana ditentukan di Pasal 197 itu sendiri. Pasal 197 ayat (1) sendiri KUHP itu mewajibkan surat putusan pemidanaan itu sebagaimana halaman 10, Yang Mulia, harus memuat; a. Mulai dari kepala putusan yang bertuliskan, Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau irah-irah, termasuk poin juga yang (c) dakwaan sebagaimana terdakwa... terdapat dalam surat dakwaan pertimbangan hukum baik di tingkat pertama, kedua, maupun pada saat tingkat kasasi. Lalu juga tuntutan pidana sebagaimana dimuat dalam surat tuntutan. Majelis Hakim yang kami muliakan, Pasal 197 ayat (2) KUHAP menyatakan, Jika huruf a sampai l dari Pasal 197 ayat (1) tidak dipenuhi, maka mengakibatkan putusan tersebut batal demi hukum. Nah, masalah konstitusional yang kami ajukan di sini adalah dengan adanya syarat-syarat tersebut, maka dalam praktik, Majelis Bapak Ketua dan Hakim Anggota Yang Mulia, telah terjadi yang kami istilahkan adalah telah terjadi pelanggaran hak-hak konstitusional kami yang mana dalam praktiknya putusan yang memuat syarat-syarat tersebut mengakibatkan putusan di tingkat kasasi tidak dapat dengan 4

8 waktu singkat diterima oleh pencari keadilan maupun dari pihak advokat sebagai kuasanya. Kami mengetahui bahwa putusan tersebut tidak dapat dengan waktu yang cepat didapat itu disebabkan karena sebagaimana kami sebutkan di atas tadi, harus memuat keseluruhan baik dakwaan, pertimbangan hukum di tingkat pertama, tingkat kedua, dan seterusnya. Ada juga nanti kami jadikan alat bukti surat, Majelis Bapak Ketua. Bapak Ketua yang saya muliakan, pernyataan dari Ketua MA di hukumonline 2 Maret 2016, lambatnya putusan diterbitkan oleh MA, salah satunya adalah syarat dari Pasal 197 ini. Jadi, harus menunggu, memuat lagi pertimbangan di tingkat pertama, seluruh dakwaan, dan seterusnya. Ini yang membuat salah satu faktor kelambatan tersebut. Oleh karenanya, Majelis Hakim Yang Mulia, karena ada pasal tersebut, maka kami menilai dan memohon Mahkamah untuk mengujinya terhadap Pasal 28D. Dalam Pasal 28D dijelaskan secara... secara jelas bahwa ada hak konstitusional dari Para Pemohon ataupun kami dalam hal ini adalah perlakuan, pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil. Termasuk Pasal 28D ayat (2) yang menyatakan dan menjamin setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Mengenai pasal 29D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ini, mohon izin kami menyampaikan tambahan, Yang Mulia, hal ini berkaitan dengan terhambatnya pekerjaan dan/atau imbalan terhadap pekerjaan advokat karena pada praktiknya biasanya pembayaran fee success... success fee termasuk pembayaran itu setelah kami menyerahkan putusan atau salinan putusan lengkap, dalam misalnya di tingkat kasasi. Salinan putusan lengkap sudah diterima, lalu kami serahkan kepada klien itu baru biasanya klien membayar, begitu. Dengan adanya kelam... dengan adanya hambatan ini yang disebabkan Pasal 197 tersebut, maka hak perlakuan adil dan layak dalam hubungan kerja kami merasa dirugikan juga Majelis Hakim Yang Mulia. Oleh karena itu, itulah pokok yang ingin kami sampaikan, kami perkenankan lagi mengajukan kesimpulan dalam hal ini bahwa yang pertama kesimpulan dari permohonan ini adalah Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji Norma Pasal 197 ayat (1) KUHAP terhadap Pasal 29D ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Dasar 1945, Para Pemohon juga sebagaimana kami sampaikan memiliki hak konstitusional, dan termasuk dalam hal ini petitum dalam permohonan ini sebagai berikut. Kami menyampaikan 5 petitum, Yang Mulia. Yang pertama, memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk menguji Ketentuan Pasal 197 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 untuk seluruhnya. 5

9 Yang kedua, menyatakan bahwa Pasal 197 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa syarat-syarat dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP hanya wajib dimuat pada surat putusan pemidanaan pada peradilan tingkat pertama atau pengadilan negeri. Tiga, menyatakan bahwa Pasal 197 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa syarat-syarat dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP hanya wajib dimuat pada surat putusan pemidanaan pada peradilan tingkat pertama (pengadilan negeri). Yang keempat, menyatakan bahwa amar butir 2 dan 3 berlaku pula untuk putusan dalam perkara perdata, perkara tata usaha negara, perkara agama, dan perkara militer. Lima, memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku. Atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya. Demikian permohonan kami, Yang Mulia, atas perhatian dan kebijaksanaan Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi kami ucapkan terima kasih. 27. KETUA: SUHARTOYO Ya, baik, terima kasih. Sesuai dengan hukum acara yang ada di Mahkamah Konstitusi bahwa kami Para Hakim Panel atau Majelis Hakim ada kewajiban untuk memberikan tanggapan atau mungkin saran-saran bagi perbaikan permohonan Saudara meskipun menurut Saudara barangkali sudah bagus, sudah didiskusikan dengan sesama temanteman, tapi ini karena merupakan kewajiban jadi supaya diperhatikan dan sifatnya juga tidak mengikat. Kalau memang Anda mau pakai silakan, tidak pun kami juga tidak akan menolak permohonan Saudara dengan yang versi Anda miliki. Yang Mulia Pak Wahiduddin, pertama. Dipersilakan. 28. HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik. Terima kasih, Yang Mulia Ketua Majelis Panel. Sebagaimana disampaikan oleh Ketua bahwa pada agenda pemeriksaan pendahuluan kita akan menyampaikan nasihat atau saran perbaikan dalam permohonan Pengujian Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Ya, pertama dilihat dari sisi sistematika ini juga sudah mengikuti yang berlaku di dalam proses beracara di MK walaupun nanti tentu mungkin ada hal-hal yang perlu disempurnakan. 6

10 Inti dari hal yang diajukan dalam kronologis yang ditulis di dalam permohonan ini adalah hal yang dialami oleh Para Pemohon bahwa dengan keberlakuan Pasal 197 KUHAP ini disebutkan itu akibatnya permohonan kasasi peninjauan kembali sampai diterimanya salinan putusan oleh para pihak memakan waktu yang sangat lama. Di sinilah kunci dari Para Pemohon tidak memperoleh kepastian hukum sehingga kapan perkara yang ditangani akan selesai diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Agung. Kemudian akibatnya fungsi Para Pemohon sebagai penegak hukum, pelayan masyarakat itu menjadi terhambat karena kapan akan selesai diadili oleh Mahkamah Agung dan mendalilkan keadilan yang apa tertunda itu ya, tidak memberikan keadilan, ya. Kerugian yang lain bahwa dianggap karena kelambatan, keterlambatan, dan yang lalu memperoleh kesan tidak profesional karena kapan perkara itu akan diadili oleh Mahkamah Agung. Itu secara kronologis sehingga ini pintu masuk ya, untuk menyatakan penyebabnya itu adalah Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Bahkan di sini dikutip pernyataan atau pendapat dari ketua Mahkamah Agung dalam beberapa kesempatan. Nah, ini supaya dielaborasi betul. Jangan terkesan ini implementasinya dari Pasal 197 kan, kita tidak menguji implementasi, tapi norma yang diuji karena ini diuji terhadap Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun Nah, ini coba nanti di (suara tidak terdengar jelas) betul sehingga tidak menonjolkan pada kasus konkret yang dialami, tapi penerapan norma, ya karena ini, norma ini kan, sudah berlaku sudah 35 tahun ya, sejak tahun 1981, ya. Tapi bisa sebaliknya, teman-teman mengatakan ya, selama 35 tahun juga kami bersabar, gitu kan? Bisa juga. Tapi 35 tahun itu sudah teruji juga gitu ya, apa ya sampai sesabar itu 35 tahun, begitu ya. Sekarang ada kesempatan untuk mohon pengujian. Jadi apa kalau disebutkan hal-hal itu, pintu masuknya adalah pengalaman, kerugian yang dialami, ya tidak cukup secara umum karena tentu ada apa pengalaman-pengalam konkret yang dialami. Ya, selama 35 tahun tidak cukup misalnya hanya dengan mengatakan bahwa apa dengan pasal ini lalu lebih ini dikutip wawancara dengan Pak Ketua MK. Jadi, diuraikan saja apa sebetulnya. Jadi, jangan hanya pintu masuk saja. Tapi Pasal 197 ini karena selama ini sudah dilaksanakan ini selama 35 tahun, tapi ternyata 35 tahun berlakunya ini, inilah apa pengalaman lambatnya putusan di Mahkamah Agung itu. Jadi, itu pertama, ya. Nah, yang kedua. Apa yang dikemukakan ini di petitum ini di 4 ini menyatakan ini berlaku pada putusan perkara perdata, tata usaha negara, agama, dan perkara militer. Sedangkan yang diuji ini KUHAP, kan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jadi, hukum acara yang berlaku dalam perkara pidana. Ya, tentu lingkungan peradilan umum dan lebih khusus ini adalah acara pidana sehingga acara perdata ya, coba 7

11 dipikirkan kembali apakah lalu apa mencakup ini juga. Lalu pengadilan tata usaha negara, agama, dan militer, apakah nanti ada kekhususan-kekhususan tertentu. Meskipun ini memang apa surat apa putusan pemidanaan, ya. Coba, apakah terlalu luas? Lalu petitumnya untuk juga di perkara perdata, tata usaha negara, agama, dan perkara militer karena lingkup yang diuji ini hukum acara pidana, ya. Nah, kemudian sekadar ini saja, ya. Bahwa hal yang diuji ini kan karena tidak tegasnya waktu mengenai apa selesainya perkara ini, putusan ini. Nah, kalau dilihat di dalam 197, ini ayat (1) yang diuji. Nah, di kronologis ini ayat (2) juga. Tapi di petitum kok, ayat (2) tidak? Di kronologis itu disebut-sebut juga ayat (2) itu, ayat (2). Tapi di dalam petitum hanya ayat (1), coba dicermati. Di halaman 11, itu Pasal 197 ayat (2) juga tidak punya ketentuan, maka putusan batal hukum itu disebutkan juga di dalam... apa... positanya ini, dalam alasan-alasan. Nah, tapi yang diuji hanya ayat (1) saja, ya? Ya. Coba nanti dicermati saja. Ini... apa... sudah konkret bahwa Pasal 197 ayat (1) saja, ya? Dan di ayat (3) memang di Undang- Undang KUHAP ini, pelaksanaan dengan segera menurut ketentuan undang-undang ini. Nah, jadi, ini juga tidak... tidak pasti, ya. Saya ingin tanya sekadar... sekarang ini kan ya, pernah diajukan RUU KUHAP kan, di DPR walaupun sekarang di lebih didahulukan KUHP. Nah, di RUU KUHAP itu pernah di dalam pengajuan itu sebutkan begini, mungkin ini satu cara juga. Jadi, tidak hanya ayat (1), ayat (3) itu yang di... segera itu karena di dalam... meskipun ini rancangan, ya, tapi ini pernah diajukan DPR dan akan diajukan nanti setelah KUHAP itu. Di dalam rancangan KUHAP yang sekarang juga sudah di DPR itu, yang disebut segera itu disebut begini, Putusan dilaksanakan dalam waktu paling lambat datu hari menurut ketentuan undang-undang ini. Nah, ini ada... ada... apa... limit waktunya, gitu, ya sehingga tidak akan mungkin seperti digambarkan tadi itu, sampai lama. Tapi kalau dibuat di sini kata segera ini juga diberiartikan waktu tertentu, ya, mungkin teratasi itu. Tidak perlu lalu yang Pasal 197 ayat (1) itu menjadi... apa... dimaknai seperti di sini, hanya wajib pada surat pemidanaan pada peradilan tingkat pertama saja. Itu saja sekadar ini... supaya dicermati. Apakah justru ayat (3)-nya juga tidak di... coba di (suara tidak terdengar jelas) ayat (3)-nya hanya mengatakan segera. Yang segera itu juga jadi tidak ada limitnya, kan? Sementara dikeluhkan tadi kan karena enggak ada limitnya itu. Apa karena harus memuat semua yang... yang sampai L, M, N, ya? Ya, ya. Ya, bahkan di rancangan yang sekarang itu pakai tambah satu lagi, harus dimuat dalam pemidanaan itu adalah putusan mengenai pemberian ganti kerugian dalam hal memungkinkan. Ada... jadi, ada lebih maju lagi, gitu, ya. Ini sekadar ini saja, ya. Ya, kebetulan... ya, beberapa waktu yang sebelumnya kita mengikuti... ya... ya, pemikiranpemikiran bagaimana KUHAP ini dilaksanakan... apa... lebih... apa... 8

12 cepat, ya, sesuai dengan prinsip peradilan kita, ya adalah cepat, sederhana, dan biaya ringan. Jadi, ketentuan-ketentuan mengenai kata segera itu juga sudah dibatasi oleh waktu. Saya kira itu saja, Pak. Terima kasih. 29. KETUA: SUHARTOYO Baik, Yang Mulia Bapak Wahiduddin Adams. Silakan, Bapak Manahan. 30. HAKIM ANGGOTA: MANAHAN MP SITOMPUL Terima kasih kepada Ketua Panel. Saya kembali dulu ke masalah kuasa tadi itu. Memang agak menggelitik jadinya ini menurut saya juga. Kalau saya baca juga Surat Kuasa, dia sebagai pemberi kuasa, dia juga penerima kuasa. Nah, itu juga sedikit agak lucu nanti, tapi itu terserahlah karena memang jangan nanti hal yang seharusnya fungsi dari pemberian kuasa atau Surat Kuasa itu pada hakikatnya bagaimana? Jangan jadi kita manfaatkan nanti untuk hal-hal, misalnya agar kepentingan dari Pemohon untuk hadir pada saat-saat kapan saja misalnya, gitu, ya. Nah, jadi, perlu juga dipikirkan. Apakah ini pemberian kuasa ini sudah benar sesuai dengan hakikat daripada Surat Kuasa itu sendiri, gitu? Coba nanti tolong dipikirkan karena yang... yang umumnya di peradilan umum barangkali yang sudah kita praktikkan. Kalau ada yang berhalangan, tentu bisa memberi kuasa kepada orang yang mungkin hadir. Kan begitu, ya? Sehingga penerima kuasa ini menyatakan baik untuk kepentingan dirinya sendiri, baik kepentingan pemberi kuasa, seperti itu. Jadi, tolong sekali lagi dipikirkan apakah ini formatnya ini atau cara pemberian ini sudah benar sesuai dengan pemberian kuasa khusus dalam berperkara atau coba nanti dipikirkan untuk barangkali entah ditinjau kembali. Kemudian, di dalam format permohonan ini sudah benar mengenai soal kewenangan Mahkamah, sudah jelas. Namun untuk kesempurnaan, barangkali juga perlu dicantumkan, yaitu Undang- Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan itu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 untuk kesempurnaan ya, ini saja pun sebetulnya sudah. Kemudian juga tadi sudah disinggung oleh Yang Mulia Pak Wahiduddin Adams apakah perkara perdata juga memang sudah mengikuti ini? Perdata, tata usaha negara, agama, dan militer ini? Coba nanti kalau ada buktinya, bukti yang mungkin bisa membawa ke sana sehingga putusan yang dikeluarkan oleh paradilan-peradilan tata usaha negara, militer, agama sebagainya itu memang benar-benar setelah mengikuti pedoman di Pasal 197 ayat (1) KUHAP itu dengan argumentasi 9

13 tadi, erga omnes itu. Tapi ya kalau memang... supaya di dalam petitumnya nanti juga klop kan karena mohon ke sana supaya juga jangan diberlakukan, kira-kira begitu, kan? Jangan diberlakukan terhadap putusan perdata, militer, agama, dan TUN. Itu satu. Kemudian tentang justice delayed, justice denied ini, ini juga sejak lama sudah dipikirkan oleh Mahkamah Agung. Buktinya sudah terbit beberapa surat edaran Mahkamah Agung, saya lupa nomornya, yang menyatakan pengadilan negeri itu kecuali di luar hal-hal yang... apa namanya... yang sangat perlu dipertimbangkan itu 6 harus sudah diputus, pengadilan tinggi juga begitu, Mahkamah Agung juga begitu. Dulu satu tahun, sekarang belakangan saya ingat ada surat edaran 6 bulan. Nah, perlu juga dipikirkan apakah dengan surat edaran-surat edaran yang sudah ada ini apakah toh juga itu tidak cukup untuk bisa menjadi estimasi bagi para penasihat hukum atau Pemohon inilah pada umumnya sehingga tidak bisa mengestimasi suatu perkara itu kapan itu bisa selesai, gitu ya. Karena di lain pihak itu Mahkamah Agung itu sudah sejak dulu itu mengusahakan seperti itu, namun apakah Pasal 197 inilah yang menyebabkan walaupun ada sema-sema tadi itu, tetapi tetap Pasal 197 ini menjadi biang keroknya. Itu mungkin perlu dielaborasi lebih lanjut karena saya lihat di sini Pemohon tidak secara tegas menunjukkan surat edaran itu, padahal kalau saya tahu barangkali surat edaran itu sudah bisa dilihat itu, surat edaran untuk pengadilan negeri, surat edaran untuk pengadilan tinggi, maupun Mahkamah Agung sendiri. Hanya di sini bahwa musyawarah suatu perkara paling lambat 3 bulan sejak berkas perkara dinyatakan lengkap. Barangkali, tapi itu juga nomornya juga tidak dicantumkan di sini, jadi kita mohon agar kita nanti kita bisa lihat dari situ kalau surat edaran-surat edaran itu sudah bisa memperlihatkan bahwa ada waktuwaktu yang telah diberikan oleh surat edaran Mahkamah Agung itu untuk menyelesaikan perkara-perkara itu baik di tingkat pertama (pengadilan negeri), tingkat banding (pengadilan tinggi), ataupun kasasi atau pun PK di Mahkamah Agung. Barangkali itu saja dari saya, Yang Mulia. Tapi sebentar dulu ya, tadi ada dikemukakan oleh Pemohon melalui juru bicara tadi itu ada tanggal 2 Maret ada pernyataan, begitu ya? 31. KUASA HUKUM PEMOHON: ARIEF PATRAMIJAYA Betul, Yang Mulia. 32. HAKIM ANGGOTA: MANAHAN MP SITOMPUL Pernyataan dari ketua Mahkamah Agung? 10

14 33. KUASA HUKUM PEMOHON: ARIEF PATRAMIJAYA Betul, jadi pernyataan ini kami baca di media hukumonline tanggal 3 Maret 2016, Yang Mulia. 34. HAKIM ANGGOTA: MANAHAN MP SITOMPUL Isinya? 35. KUASA HUKUM PEMOHON: ARIEF PATRAMIJAYA Isinya menyatakan bahwa Ketua menyatakan dengan tegas, ini bunyi kalimat yang kami kutip dikutip langsung, Yang Mulia. Kalau Pasal 197 KUHAP diubah yang tidak harus memuat dakwaan, tuntutan, dan cukup pertimbangan hukumnya, proses minutasi bisa cepat. Itu menurut beliau. 36. HAKIM ANGGOTA: MANAHAN MP SITOMPUL Jadi itu dikutip di koran, ya? Di permohonan tidak ada saya baca. 37. KUASA HUKUM PEMOHON: ARIEF PATRAMIJAYA Ya, itu masukan. 38. HAKIM ANGGOTA: MANAHAN MP SITOMPUL Ya, oke. Itu saja, terima kasih. 39. KETUA: SUHARTOYO Baik, terima kasih, Pak Yang Mulia. Jadi, begitu ya, saya tambahkan saja. Itu sudah cross belum dengan Pak Ketua Mahkamah Agung kalau pernah mengeluarkan pernyatakan itu? Nanti Anda-Anda capai-capai ini enggak tahunya enggak benar itu? Masih juga Mahkamah Agung seperti itu? Enggak? Ada jaminan? Ini kalau Bapak-Bapak ini kan, advokat, artinya kuasa-kuasa. Kalau bagaimana kalau justicial (suara tidak terdengar jelas) nya itu langsung para pencari keadilan orang-orang yang rakyat kecil yang ada di pelosok-pelosok sana apakah juga bisa memberi kuasa kemudian bisa memantau perkara yang dia sedang alami? Kemudian ada jaminan bahwa dengan proses yang ada di MK ini kemudian membantu? Benar sudah pernah cross dengan Pak Ketua? Enggak, Pak? Belum? Dengan sosmed saja? Sosial media saja? 11

15 40. KUASA HUKUM PEMOHON: SWANDY HALIM Yang Mulia, kalau diizinkan kami menanggapi bahwa dalam berbagai kesempatan kami sudah menanyakan kepada Yang Mulia Bapak Ketua dan juga jajarannya mengenai kendala kenapa putusan itu menjadi sangat lama? Walaupun misalnya di negara-negara misalnya di Amerika maupun negara-negara lainnya, putusan itu putusan kasasi bisa hanya 10 halaman atau bahkan 5 halaman, ya. Jawaban daripada beliau adalah bahwa kendalanya terdapat pada Pasal 197 ayat (1) itu misalnya tentang dakwaan jaksa. Dakwaan jaksa itu bisa halaman atau bahkan lebih yang tebalnya 1 buku begitu, dimana seluruhnya itu harus dimuat di dalam putusan kasasi. Dan walaupun sudah ada disket atau USB dari para pencari keadilan maupun dari jaksa yang dikirimkan dari Mahkamah Agung, tapi ketikan-ketikan di dalam disket atau USB itu pun banyak salahnya sehingga karena itu merupakan bagian dari produk putusan Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung harus mengedit lagi memperbaiki kesalahan ketik dan sebagainya, dan itu bisa memakan waktu berbulan-bulan. Jadi (...) 41. KETUA: SUHARTOYO Ya. 42. KUASA HUKUM PEMOHON: SWANDY HALIM Kendalanya, ya begitu, Yang Mulia. 43. KETUA: SUHARTOYO Kalau kemudian misalnya ini kan, surat dakwaan, surat tuntutan kemudian sudah ada di softcopy misalnya kan, tapi tidak kemudian kita apa... ada hardcopy-nya, tapi kalau itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan, tidak tidak bisa ter-cover dengan kalimat seperti itu? Merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan putusan yang sekarang sedang dibacakannya atau yang ada dalam putusan ini. Bisa tidak? 44. KUASA HUKUM PEMOHON: SWANDY HALIM Ya, Yang Mulia. Itu justru inti dari pada permohonan kami adalah bahwa dalam putusan kasasi, Mahkamah Agung cukup merujuk kepada putusan Pengadilan Tingkat Pertama, atau seperti tadi yang tadi disampaikan oleh Yang Mulia Bapak Ketua Majelis (...) 12

16 45. KETUA: SUHARTOYO Ya. 46. KUASA HUKUM PEMOHON: SWANDY HALIM Bahwa bisa saja merujuk kepada dakwaan dan sebagainya, tidak harus memuat semuanya. tapi sekali lagi, kendalanya ada pada ayat (2) dari Pasal ayat (2) itu yang menyatakan, Kalau tidak dimuat, maka mengancam putusan itu dengan kebatalan. Jadi, mungkin ini (...) 47. KETUA: SUHARTOYO Mestinya... ya. Saya sudah bisa menangkap, Pak. Tapi, ya, mestinya kalau sudah dirujuk dengan kalimat bahwa yang sebagaimana termuat dalam Berita Acara persidangan atau yang terlampir dalam berkas perkara ini... dan dianggap telah merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan dan turut dipertimbangkan dalam putusan ini mestinya satu kesatuan. Kan dulu saya juga kalau nurutin putusan-putusan.. apa... pledoi-pledoi teman-teman lawyer itu kan, juga ratusan halaman, ribuan halaman, kalau enggak pernah kita muat semuanya, kan? kita cari Asbabul nuzulnya apa? Pesannnya apa? Sudah... tapi kita beri anu begitu, harus dengan kalimat yang yang meng-cover begitu. Tapi karena ini 197 KUHAP... Padahal putusan Mahkamah Agung sendiri pertimbangannya satu, dua lembar saja, ya, Okelah. Jadi begini, Pak Swandy Halim dan teman-teman, saya carikan jalan keluar untuk kuasa ini lebih baik begini, ini kan 11 orang? Tanpa mengurangi rasa hormat, kemudian supaya tetap teman-teman bisa hadir setiap sidang artinya boleh hadir, boleh tidak, ini kira-kira yang memang banyak waktu untuk bisa hadir jadikan kuasa. Yang memang tidak rutin bisa hadir jadi prinsipal, paham enggak? Daripada nanti kalau di forum Mahkamah Konstitusi ini jadi masalah, jadi masalah, Pak. Seperti disampaikan Pak Manahan tadi, saya juga sudah berpuluhpuluh, 30 tahun jadi hakim, jarang lho ketemu prinsipal merangkap kuasa ini meskipun ya, ini bisa dipisahkan. Badan yang separuh ini memang sebagai prinsipal karena Pak Juniver Girsang, tapi kan, juga enggak bisa karena dia juga mewakili kalau Bapak Juniver ini bertindak dan atas nama pribadinya, dia enggak punya legal standing karena dia kerugian konstitusional terletak pada dia mewakili para pencari keadilan yang dia dapat kuasa dari mereka itu yang sering dirugikan Mahkamah Agung. Kalau dia sebagai pribadi kan, enggak pernah kepentingannya kerugikan? Kan confuse di situ, menurut saya confuse. Jadi, lebih baik dari Pak Juniver, Pak Harry Ponto, siapa ini yang kira-kira buat 13

17 kesepakatan? Toh nanti kalau sudah jadi prinsipal juga tidak terhalang kehadirannya di persidangan, ikut hadir juga bersama dengan kuasanya. Misalnya dari 11 orang ini, 6 memberi kuasa kepada yang 9 apa berapa ini? Kan ada 11 dikurangi 6 masih 5, 5 ada 3 yang bukan prinsipal, kan? Fajri Akbar, terus Budi Rahmad, sama Mira ini kan kuasa ini? Lho, Anda-Anda ini kalau percaya saja ke yang tiga ini juga sama saja, Pak. Bapak adu rombongan dengan yang datang 3 orang ini meskipun lawyer junior, tapi kalau dasar pada perusahaan konstitusionalitas di Pasal 197 ini juga mau ke mana juga pasti tetap inkonstitusional. Tapi kalau memang perlu support dari yang senior-senior ini supaya bisa hadir, ya sudah, diparuh saja. Siapa yang itu lebih aman, Pak. Tapi ini sifatnya saran, boleh mengikat, boleh tidak. Jadi yang 5 Prinsipal, yang 6 sebagai kuasa. Yang 5 Prinsipal ini pun juga tidak tertutup kemungkinan sidang masih tetap boleh hadir, kualitasnya juga sama. Hanya siapa yang bayar, siapa yang menerima bayaran, kan itu sebenarnya persoalannya. Ya kan, kalau anu kan begitu regulasi prinsipal dan itu kalau menurut saya lebih aman, Pak, lebih aman. Enggak akan dipersoalkan ada apa double kepentingan di situ, tapi silakan direnungkan saja. Kemudian yang kedua, memang ini permohonan sederhana, sebenarnya sederhana. Menurut saya, kronoligis ini tidak perlu, Pak. Kronologis ini Bapak gabung saja dengan apa posita, posita. Tapi nanti Bapak ambil yang kira-kira yang belum termuat di dalam posita, ambil di kronologis ini. Kemudian kesimpulan juga tidak perlu. Jadi sistematika yang strict itu, Pak. Pertama, kewenangan Mahkamah. Dua, kedudukan hukum. Tiga, posita atau alasan-alasan permohonan. Empat, petitum. Itu saja. Jadi, dari permohonan Ibu-Bapak semua ini kalau saya perhatikan ada sekitar 14 halaman, ini padatkan bisa jadi 6-7 halaman ini ya, paling tidak 8-9. Tapi lebih strict, lebih mudah dipahami. Bapak enggak (suara tidak terdengar jelas) antara kronologis dengan alasan permohonan. Pasti di situ ada pengulangan-pengulangan. Tapi kalau Bapak padatkan, jadikan satu di posita. Lazimnya begitu. Terus saya tambahkan lagi mengenai petitum. Petitum yang 4 tadi juga Bapak tinjau kembali. Tapi yang paling crucial begini. Bahwa Pasal 197 ayat (1) ini adalah norma, bunyi pasal ini. Kalau Bapak minta bahwa ini hanya berlaku untuk pengadilan tingkat pertama, jelas Mahkamah Konstitusi tidak bisa memberikan seperti ini, ini sifatnya nanti jadi positif legislator. Jadi, Mahkamah Konstitusi seperti DPR nanti. Lebih bagus begini, ini saran ya. Ini kan kalau saya baca 197 tadi, coba perhatikan, Pak. Pak (suara tidak terdengar jelas) ini kan (suara tidak terdengar jelas) nya ini, perhatikan 197 itu. Nah, 197 ayat (1) kan surat putusan pemidanaan memuat, ya kan? Tulis saja bahwa Pasal 197 ayat (1) tidak mempuyai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang 14

18 tidak dimaknai surat putusan pemidanaan untuk pengadilan negeri memuat, begitu saja. Jadi, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung kan tidak wajib kalau sudah disebutkan itu, paham enggak? Ayat (1) ini, surat putusan pemidanaan memuat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai surat putusan pemidanaan pengadilan negeri, atau putusan di pengadilan negeri, apalah namanyalah. Jangan semua juga dari kami nanti malah ndak bagus juga nanti. Kira-kira seperti itu, ya kan? Coba, nanti direnungkan. Ini norma lho, pasal. Kita enggak bisa sembarang bisa mengubah pasal. Surat putusan pemidanaan pada pengadilan negeri memuat, gitu, sepanjang tidak dimaknai surat putusan pemidanaan pada pengadilan negeri memuat. Nah, sepanjang tidak dimaknai seperti itu, batal demi hukum, gitu. Mestinya baru memuat a sampai dengan tapi kalau Bapak minta yang diminta adalah hanya berlaku pada pengadilan tingkat pertama, itu terlalu mengarahkan Mahkamah Konstitusi sebagai positif legislator. Jadi yang membuat undang-undang nanti. Ini yang dalam pengalaman yang selama ini ada, Mahkamah Konstitusi selalu hindari. Itu ya, Pak, ya. Jadi yang jadi petitumnya itu seperti itu. Jadi, satu, enggak usah terlalu panjang seperti ini. Seperti di peradilan umum, mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya angka 1 ini. Terus, angka 2-nya ini perhatikan. Menyatakan Pasal 197 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 terus digabung dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ditulis enggak ini? Nanti lupa lho atau direkam boleh. Tidak jadi, digabung, tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai. Gimana? Saya juga enggak begitu ahli, Pak. Jadi, maksudnya seperti itu jadi jangan kita disuruh mengubah berlaku hanya berlaku untuk peradilan tingkat pertama, tapi Pasal 197 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa putusan ini hanya berlaku untuk pengadilan bukan seperti itu. Surat pemutusan pemidanaan pada pengadilan negeri memuat itu saja. Jadi, nanti tingkat banding dan tingkat kasasi tidak terikat. Itu, Pak. Paham ya, Pak, ya? Kalau itu lebih firm itu, Pak. Lebih firm dan Mahkamah tidak alergi dengan hal seperti itu. Jadi, yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tadi digabung dengan tidak menguji kekuatan hukum mengikat satu item amar saja. Kemudian angka 4 ini Bapak tinjau kembali ini maksudnya apa ini. Saya saja bingung ini maksudnya. Menyatakan bahwa butir 2 dan 3 berlaku untuk putusan perdata. Putusan perdata kan enggak ada ketentuan seperti 197. Mana ada? Kan enggak ada kan 15

19 ayat (1) yang harus berisi a, b, c dan seterusnya itu. Apalgi TUN, agama, militer pula. Nah, kalau militer mungkin tapi KUHAP-nya militer pakai apa? Apa juga pakai KUHAP 197 ini? Kan tidak. Apakah juga ada harus memuat itu? Coba di anu, Pak, dikonstruksikan kembali angka 4 ini. Yang angka 1 saja belum dikabulkan, Bapak sudah minta yang macam-macam yang perdata, yang pidana, tata usaha negara, dan agama, militer pula. Itu dulu di-concern kan ke ini yang KUHAP. Ya, enggak tertutup itu juga sih untuk sekalian ya, tapi tapi menurut saya ini kok enggak ada putusan di luar KUHAP yang seperti 197 itu. Nomor 5 boleh dipertahankan, memerintahkan putusan memerintahkan pemuatan dalam berita negara. Jelas ya, coba kalau enggak jelas ada yang disampaikan ditanyakan? 48. KUASA HUKUM PEMOHON: ARIEF PATRAMIJAYA Izin, Yang Mulia. Kami berterima kasih atas saran-saran dan penjelasan yang disampaikan. Setelah ini akan kami perbaiki permohonan kami sesuai dengan apa yang tadi disampaikan oleh Majelis Yang Mulia. 49. HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Ya, ini menguatkan tadi dari Pak Suhartoyo. Kalau petitumnya yang di belakang hanya wajib dimuat pada surat putusan pemidanaan pada tingkatan pertama ini lalu Pasal 197 ayat (1) KUHAP kepala putusan berbunyi, demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa untuk pengadilan tinggi Mahkamah Agung tidak wajib sedangkan di Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman dikatakan, putusan itu di Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa apabila tidak akan batal demi hukum. Ada itu karena katakan hanya wajib pada putusan pemidanaan tingkat pengadilan negeri berarti untuk banding sama putusan di Mahkamah Agung tidak wajib, sementara demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, harus wajib kan, ya? Jadi, ini harus di apa ketentuannya itu tidak pengadilan hanya wajib dimana tapi dibuat tadi seperti disarankan Pak Suhartoyo tadi. Ya, terima kasih. 50. KETUA: SUHARTOYO Ya. Jadi, kalau memang yang menjadi penghambat adalah surat dakwaan, tuntutan, apalagi pledoi kan enggak wajib ya dimuat ya apa karena pledoi tidak dimuat itu makanya para lawyer ini kemudian merasa ada perlakuan yang berbeda ini. Lebih baik dihapuskan semua kan kami 16

20 sudah membuat pledoi sampai lembur-lembur kok enggak ada diperintahkan harus dimuat itu kan, bukan karena itu, Pak? Bukan, ya. Ya, oke. Jadi, saran Pak Wahiduddin tadi kalau begitu benar yang menjadi penghambat itu apa Pak. Jadi, surat putusan pemidanaan pada pengadilan negeri memuat a, b apa kalau c itu kan ada menjadi anu tidak dengan c, tapi enggak perlu lagi karena tidak urut nanti. Jadi, kepala putusan demi keadilan ini coba nanti dirumuskanlah. Jangan kemudian malah yang di pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung pun menjadi nanti cuma anu putusan di Mahkamah cuma turun pertimbangan doang satu halaman, ya kan nanti jadi apa... jadi blunder juga nanti, mungkin itu jadi. Tapi paling tidak pesan yang disampaikan oleh Hakim sudah bisa dianu, ya. Enggak ada lagi yang mau disampaikan? 51. KUASA HUKUM PEMOHON: ARIEF PATRAMIJAYA Cukup, Yang Mulia. 52. KETUA: SUHARTOYO Cukup ya. Baik, cukup Bapak. Baik dengan ini, aduh, ada yang ketinggalan. Jadi, perbaikan ditunggu sampai dengan tanggal 5 Desember 2016, kalau ada, kalau ada perbaikan. Kalau Bapak mau pertahankan ini juga enggak apa-apa, pukul WIB. Senin, 5 Desember 2016, pukul WIB. Ditunggu perbaikannya. Jadi, tidak harus di persidangan ini, bisa diserahkan ke Kepaniteraan, paling lambat tanggal tersebut. Jadi, nanti baru sidang perbaikan akan dijadwalkan kemudian. Baik, kalau sudah tidak ada lagi. Persidangan pada hari ini perkara Nomor 103/PUU-XIV/2016, dinyatakan selesai dan dengan ini persidangan ini ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL WIB Jakarta, 21 November 2016 Kepala Sub Bagian Risalah, Rudy Heryanto NIP Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya. 17