II. TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Kurva penawaran adalah hubungan antara jumlah barang yang perusahaan bersedia menjual dengan harga barang tersebut (Pindyck dan Rubinfeld, 2005). Konsep penawaran digunakan untuk menunjukan keinginan para penjual di suatu pasar. Kurva Penawaran memiliki kemiringan positif karena biaya marginal akan meningkat apabila kuantitas meningkat (Nicholson, 2000). Kurva penawaran menunjukan hubungan antara kuantitas suatu barang yang ditawarkan pada berbagai tingkat harga, ceterus paribus (Arsyad, 1999). Berdasarkan ragam dari fungsi permintaan, untuk pemanfaatan utility maximization problem, dikenal individual demand function: permintaan kuantitas sebagai fungsi dari harga (the ordinary demand curve), dan permintaan kuantitas sebagai fungsi dari pendapatan (the Engle Curve), permintaan kuantitas fungsi dari harga dan barang lain (the cross-price demand function) (Binger dan Hoffman, 1988). Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2005), faktor diluar harga yang mempengaruhi penawaran yaitu biaya produksi yang terdiri dari faktor tenaga kerja (labor), modal (capital) dan bahan baku (raw material). Sedangkan kurva permintaan adalah hubungan antara jumlah barang yang konsumen bersedia membeli dengan harga barang tersebut (Pindyck dan Rubinfeld, 2005). Faktor di luar harga yang mempengaruhi permintaan adalah pendapatan (income), selera (consumer tastes) dan harga barang lain (related goods) yaitu barang substitusi (substitutes) dan barang komplemen (complements)

2 10 (Pindyck dan Rubinfeld, 2005). Kurva permintaan memiliki kemiringan negatif karena nilai marginalnya turun apabila kuantitasnya meningkat (Nicholson, 2000). Model ekonomi yang paling umum digunakan yaitu model penawaranpermintaan, yang menggambarkan bagaimana harga berperan dalam biaya produksi dan keinginan pembeli untuk membayar pada tingkat biaya tersebut (Nicholson, 2000). Model penawaran-permintaan dapat digunakan untuk menganalisis dampak dari berbagai bentuk kebijakan yang ditetapkan pemerintah, termasuk digunakan untuk menganalisis bagaimana kebijakan pajak mempengaruhi konsumen dan produsen. Karakteristik keseimbangan pasar apabila kuantitas permintaan sama dengan kuantitas penawaran (Q D = Q S ), tidak terjadi kelebihan penawaran (no excess supply) atau kekurangan (no shortage) dan tidak ada tekanan terhadap harga untuk berubah (no pressure on the price to change) (Pindyck dan Rubinfeld, 2005). Konsep permintaan digunakan untuk menunjukkan keinginan-keinginan seorang pembeli pada suatu pasar. Fungsi permintaan menunjukan hubungan antara kuantitas suatu barang yang diminta dengan semua faktor yang mempengaruhinya. Harga, pendapatan, selera dan harapan-harapan untuk masa datang merupakan variabel-variabel penting dalam fungsi permintaan. Para pembeli dianggap akan membeli barang dalam jumlah yang dapat memaksimumkan kepuasan mereka (Arsyad, 1999). Hubungan antara harga dan kuantitas yang diminta adalah berbanding terbalik. Jika harga naik, kuantitas yang diminta turun. Hubungan ini disebut hukum permintaan (Arsyad, 1999). Model penawaran-permintaan adalah model yang menggambarkan bagaimana harga suatu barang ditentukan oleh perilaku individu-individu yang

3 11 membeli barang tersebut dan perusahaan-perusahaan yang menjualnya (Nicholson, 2000). Beberapa hasil penelitan menyebutkan intervensi kebijakan yang dilakukan pemerintah akan berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan kayu bulat. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2005), elastisitas adalah persentase perubahan satu variabel yang menghasilkan perubahan satu persen kenaikan pada variabel lainnya. Elastisitas permintaan adalah persentase perubahan kuantitas permintaan dari produk akibat kenaikan satu persen harga. Sedangkan elastisitas penawaran adalah persentase perubahan kuantitas penawaran akibat kenaikan satu persen harga. Nicholson (2000) menyebutkan bahwa pada kurva yang memiliki elastisitas permintaan kurang dari -1 bersifat elastis, dan yang memiliki elastisitas permintaan sama dengan -1 bersifat unit elastis, serta yang memiliki elastisitas permintaan lebih dari -1 bersifat inelastis. Untuk kurva yang elastis, perubahan harga sepanjang kurva akan mempengaruhi terjadinya perubahan kuantitas permintaan produk secara nyata (significant). Pada kasus inelastis, adanya perubahan harga akan sangat kecil pengaruhnya terhadap kuantitas permintaan. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2005), elastisitas penawaran tergantung kepada suku bunga, upah, harga bahan baku, dan bahan lainnya (intermediate goods) yang digunakan untuk menghasilkan produk. Kenaikan biaya input akan menyebabkan meningkatkanya biaya perusahaan. Apabila elastisitas permintaan bersifat elastis, maka konsumen akan membeli sebanyak mungkin yang bisa didapatkan pada harga keseimbangan, tetapi akan menguranginya apabila harga produk naik dan meningkatkan pembeliannya apabila harga produk turun (Pindyck dan Rubinfeld, 2005).

4 12 Sebaliknya apabila harga bersefat inelastis, maka diperlukan kenaikan harga yang cukup tinggi untuk untuk membuat konsumen mengurangi permintaan dan pindah ke barang substitusi Menurut McGuyan dan Moyer (1986) faktor yang mempengaruhi permintaan yaitu ketahanan penggunaan barang, derived permintaan, sebagai bahan baku produk lain dan (3) Nilai tukar. Harga produk yang memiliki barang substitusi lebih elastis. Produk tahan lama (durable) bersifat elastis, dan yang memiliki porsi terbesar anggaran (budget) lebih elastis. Beberapa nilai elastisitas permintaan jangka panjang dari beberapa komoditi hasil hutan dapat di lihat pada Tabel 1. Dengan menggunakan data deret waktu (timeseries) , Sinaga (1989) membangun model ekonometrika industri produk kayu olahan dengan menggunakan berbagai simulasi yang menjelaskan hubungan penawaran, permintaan dan harga, menunjukan adanya pengaruh kebijakan intervensi pemerintah di setiap sub-sektor industri kayu Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan disebutkan bahwa penerapan kebijakan larangan ekspor kayu bulat akan mengakibatkan terjadinya penurunan produksi dan turunnya harga kayu bulat domestik. Berdasarkan hasil penelitian Simangunsong (2001) terhadap model permintaan internasional berdasarkan data yang diambil dari 64 negara (data tahun 1973 sampai tahun 1997) terhadap tujuh kelompok hasil hutan, dimana persamaan penawaran diturunkan dari model harga internasional 18 negara (data tahun 1975 sampai tahun 1995), serta dilakukan ujicoba permintaan dinamis dan permintaan statis serta persamaan harga, maka secara umum model statis yang diduga dengan menggunakan Least Squares with Dummy Variables (LSDV)

5 13 sangat cocok untuk menduga model permintaan dan penawaran. Juga disebutkan bahwa terdapat kecenderungan elastisitas yang sama di semua negara. Berdasarkan penelitian ini ditemukan bahwa untuk permintaan hasil hutan akan memiliki harga yang inelastis. Berkaitan dengan perkembangan penawaran kayu bulat, saat ini tidak ada data yang berkaitan dengan luas efektif areal tebang di dalam wilayah kerja HPH. Namun berdasarkan asumsi bahwa satu hektar hutan produksi menghasilkan ratarata sebanyak 40 m 3 (Timotius, 2000), maka luas areal tebang akan sangat ditentukan oleh volume kayu yang dikeluarkan dan sangat ditentukan oleh perubahan harga kayu bulat yang berlaku di pasaran. Sejalan dengan semakin berkurangnya tutupan hutan, termasuk semakin turunnya kualitas hutan produksi, maka jumlah HPH dan produksi kayu bulat dari tahun ke tahun semakin menurun. Untuk melaksanakan praktik penebangan yang lebih baik, maka pemerintah melakukan pengendalian produksi kayu bulat. Praktik pengendalian produksi kayu bulat hutan alam yang dilakukan pemerintah melalui sistem pengaturan RKT selama ini dianggap tidak efektif (masih mengalami kebocoran), terbukti masih banyaknya produksi kayu ilegal di pasar dalam negeri maupun ekspor (Astana, Sabarudi dan Muttaqin, 2003). Pada Gambar 1, berdasarkan sumber data yang dari Departemen Kehutanan dan dari Food Agriculture Organizatio (FAO) dapat dilihat bahwa perkembangan produksi kayu bulat dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan. Hal ini juga sejalan dengan keberadaan kualitas tutupan (forest cover) hutan alam yang semakin menurun serta jumlah perusahaan HPH yang melakukan kegiatan di kawasan hutan alam produksi juga semakin menurun.

6 14 Tabel 1. Elastisitas Permintaan Jangka Panjang Hasil Hutan Elasticity/ 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) Median Product a) b) a) b) Price elasticity Sawn Sawn. c Sawn. nc Panels Ply Part Fiber News Print Opap GDP elasticity Sawn Sawn. c Sawn. nc Panels Ply Part Fiber News Print Opap ) Biongiono (1978). 43 countries a) hingh income. B) low income. 2) Biongiono (1979). 43 countries ) Wibe (1984), 103 countries, ) Uutela (1987), 40 countries, ) Biongiono and Chang (1986). 10 OECD countries , within-country estimates. 6) Baudin and Lundberg (1987), major consuming countries, ) Prestemon and Buongiono (1993), 24 countries, ) Brooks et al (1995), 8 countries, , a) high income, b) low income. 9) Ches-Amil and Buongiono (2000), 14 EU countries, ) Simangunsong and Buongiono (2001), 62 countries, Sumber: Simangunsong, 2001

7 15 Tabel 2. Jatah Produksi Tahunan Kayu Bulat Nasional Tahun NO PROVINSI TAHUN NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kep Riau 6 Jambi Sumatera Selatan 8 Bengkulu Bangka Belitung 10 Lampung 11 DKI Jakarta 12 Jawa Barat 13 Banten 14 Jawa Tengah 15 D.I. Yogyakarta 16 Jawa Timur 17 Bali 18 NTB NTT 20 Kalimantan Barat 21 Kalimantan Tengah 22 Kalimantan Selatan 23 Kalimantan Timur 24 Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah 27 Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan 29 Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua JUMLAH/Total Sumber: Kementerian Kehutanan, 2011

8 16 Penelitian mengenai peraturan dilakukan di Barat Laut Pacific Amerika Serikat, berkaitan dengan undang-undang species langka (endanger species) untuk melindungi sejenis burung hantu (Strix occidentalis caurina) dari kepunahan. Peraturan konservasi berdampak kepada penurunan produksi kayu dari wilayah penghasil sepertiga kayu softwood di Amerika Serikat. Dengan turunnya produksi kayu bulat di wilayah tersebut kemudian berdampak kepada keberlanjutan industri perkayuan dan penyerapan tenaga kerja (Wear dan Park, 1994). Tahun Sumber: * Departemen Kehutanan, 2003 dan Kementerian Kehutanan, 2011 ** FAO, 2011 Gambar 1. Produksi Kayu Bulat Indonesia Tahun Dari sisi permintaan, Sinaga (1989) menyebutkan bahwa permintaan kayu bulat dalam negeri tergatung kepada harga yang berlaku di pasaran dan harga yang yang berlaku untuk barang substitusinya. Menurut Wan (2009), industry pengolahan kayu di China sangat tergantung kepada penawaran bahan baku yang berasal dari impor. Kayu lapis adalah produk kayu olahan yang penting di China, dan China adalah salah satu negara pengekspor plywood, meskipun tergantung

9 17 kepada bahan baku dari impor. Walaupun pemerintah secara intensif melakukan program hutan tanaman, tetapi kebutuhan produksi kayu bulat domestik masih jauh dari mencukupi. Samad, et al. (2009) mengemukakan bahwa permintaan kayu bulat dunia akan meningkat sejalan dengan peningkatan populasi dan peningkatan pembangunan ekonomi khsusunya di negara-negara berkembang. Dengan alasan tersebut Malaysia kemudian melakukan komitmen pengellaan hutan lestari, diantaranya melaksanakan penebangan hutan dengan metoda reduce impact logging. Hal ini mengakibatkan berkurangnya penawaran kayu bulat untuk industri hilir perkayuan. Malaysia Barat telah mengalami defisit kayu bulat sejak tahun 1995 berdampak kepada produk utama perkayuan, berpindah dari yang tadinya surplus menjadi defisit kayu bulat. Dari hasil penelitian perilakuk pasar kayu bulat di Malaysia Barat berkaitan dengan kebijakan pengelolaan hutan lestari, menunjukan bahwa pelaksanaan sepenuhnya (full adoption) kebijakan pengelolaan hutan lestari akan menyebabkan pengurangan penawaran kayu bulat, yang berlanjut kepada peningkatan harga dalam jangka panjang, namun tidak berpengaruh kepada permintaan. Kemungkinan kebijakan ini akan mempengaruhi skema pembangunan hutan tanaman untuk mendukung kelestarian kehutanan di Malaysia Barat. Hasil kajian yang diakukan oleh Prahasto dan Nurfatriani (2001) menunjukkan bahwa produksi kayu bulat yang dihasilkan dari hutan alam dalam rentang lima tahun terakhir sebelummya cenderung menurun sedangkan produksi dari hutan tanaman dari berbagai sumber belum menunjukkan kenaikan yang berarti. Menurut Surhandari (2008), untuk mengurangi permintaan kayu bulat di

10 18 Indonesia, alternatif yang mungkin dapat dilakukan dengan pengurangan kapasitas industri pengolahan kayu, khususnya mengurangi jumlah industri yang dianggap tidak efisien. Solusi lain yang dapat ditempuh adalah mempercepat pembangunan hutan tanaman industri (HTI) atau hutan tanaman sejenis seperti hutan tanaman rakyat (HTR). Selain untuk pemenuhan bahan baku industri kayu lapis dan kayu gergaji, produksi kayu bulat Indonesia juga dibutuhkan untuk bahan baku industri pulp. Perkembangan industri pulp Indonesia selain memiliki peluang pengembangan yang cukup baik, juga dihadapkan kepada beberapa kendala, diantaranya persoalan bahan baku, dimana 93 persen kertas dunia berasal dari bahan baku kayu (Situmorang, 2009). Upaya untuk melakukan konservasi di Finland akan meningkatkan harga bahan baku kayu bulat yang juga akan meningkatkan biaya produksi industri perkayuan. Hal ini telah menyebabkan produksi kayu gergaji turun, tetapi tidak akan mempengaruhi produksi kertas dan paperboard. Apabila konservasi meningkatkan impor kayu bulat maka pengaruh terhadap bahan baku terhadap industri kehutanan menjadi sangat kecil (Hänninen, et al., 2007) Penelitian dampak kebijakan konservasi di Norwegia yang dilakukan menggunakan partial equilibrium model untuk sektor kehutanan terhadap harga kayu bulat dan hasil olahan, menunjukan bahwa harga kayu bulat akan meningkat rata-rata dengan peningkatan upaya konservasi secara lokal. Dampak terhadap harga kayu bulat akan menjadi sangat terasa apabila mitra dagang Norwegia juga melakukan kebijakan konservasi. Apabila pemilik hutan sukarela juga melakukan konservasi mengikuti kebijakan pemerintah di Norwegia, maka. produksi kayu

11 19 gergaji domestik diproyeksikan akan berkurang, sementara produksi pulp dan kertas hampir tidak terpengaruh dalam jangka pendek (short run). Akhirnya kenaikan permintaan hasil hutan untuk kepentingan lingkungan (environment good will) akan meningkatkan harga kayu bulat dan intensitas penebangan tidak berpengaruh terhadap luas kawasan hutan (Bolkesjø et al., 2005) 2.2. Provisi Sumberdaya Hutan dan Dana Reboisasi Varian (1987) menyebutkan bahwa kebijakan ekonomi seperti pajak sering mempengaruhi anggaran konsumen yang terbatas. Secara teoritis, instrumen pajak ini akan mempengaruhi perubahan kemiringan (slope) garis anggaran (budget line) dengan merubah harga yang diterima oleh konsumen. Nicholson (2000) menjelaskan bahwa untuk mengetahui dampak dari pajak per unit, perlu dilihat perbedaan pajak yang dibayar oleh pembeli dan pajak yang dibayar oleh penjual. Pajak per unit merupakan juga besaran harga yang dibebankan kepada konsumen harga dan produsen. Namun kehilangan yang mestinya diterima oleh konsumen dan produsen akan menjadi penerimaan bagi pemerintah. Penerapan pajak akan membuat harga komoditi meningkat sehingga produsen akan mengurangi penawaran kayu bulat ke pasar. Dengan penerapan pajak maka akan terjadi harga keseimbangan baru, dimana harga yang diterima oleh konsumen adalah sebesar P2, dan harga yang diterima oleh produsen adalah sebesar P3. Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) atau Resources Royalty Provision adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik atas hasil yang dipungut dari

12 20 hutan negara. Dan DR adalah pungutan yang dibebankan terhadap kayu bulat hutan alam. Sumber: Pindyck, 2005 (diolah) Gambar 2. Penerapan Pajak Iuran Hasil Hutan di Indonesia pertama kali dipungut tahun 1968, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1969 tentang Iuran HPH (IHPH) dan Iuran Hasil Hutan (IHH), Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2/1/1968 Tahun 1968 tentang Penetapan Besarnya Jumlah IHPH dan IHH, dan pada waktu itu IHH sudah mencakup pembayaran PBB. Pada tahun 1998 kemudian menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Besarnya ditetapkan sama sebesar 6 persen dari harga untuk seluruh jenis dan seluruh wilayah. Pada tahun 1999 dasar hukum yang digunakan adalah Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 220/kpts-II/1999 tentang Besarnya Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) per

13 21 satuan Hasil Hutan Kayu. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 1999 tentang Perubahan PP No 59 tahun 1998 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 06/Kep/I/1999 tentang Penetapan Harga Patokan untuk Perhitungan PSDH, yang kemudian diperbarui dengan keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 814/MPP/Kep/12/2002. Besarnya PSDH adalah 10 persen dari harga patokan (Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, 2005). Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), mengelompokan PSDH dalam penerimaan negara bukan pajak. Pengaruh penerapan kebijakan PSDH dapat didekati dengan penerapan pajak yang menjelaskan pengaruh pajak terhadap kesejahteraan individu. Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan pajak, menunjukkan bahwa kebijakan pajak akan mempengaruhi tingkat produksi kayu bulat. Simangunsong (2001) menyebutkan bahwa model keseimbangan parsial perdagangan internasional terhadap kayu tropis dapat digunakan untuk mempelajari pengaruh liberalisasi perdagangan seperti penghilangan tarif produksi, konsumsi, ekspor, dan harga serta kesejahteraan negara pengekspor. Analisis model keseimbangan parsial untuk tujuan analisis, bahwa faktor-faktor lain tidak berubah (Arsyad, 1999). Hasilnya menunjukkan bahwa dengan penghapusan tarif akan meningkatkan produksi dan ekspor kayu lapis, kayu gergaji dan menurunkan harga untuk produk tersebut.

14 22 Conrad et al. (2005) melakukan penelitian penerapan pajak yang dikenakan pada kayu hasil produksi sistem tebang pilih pada hutan jenis campuran. Hasil penelitian ini memberikan insentif dan dampak yang berbeda di Indonesia, dibandingkan dengan dampaknya yang terjadi di Brazil atau Malaysia, oleh karena itu disarankan untuk tidak memberlakukan model kebijakan pajak yang seragam untuk semua negara atau semua jenis hutan. Di Indonesia, koordinasi dan akuntabilitas yang kuat antara badan-badan yang mengurus pembayaran REDD+ dan badan-badan yang mengawasi DR akan sangat penting. Mengingat rencana Kementerian Kehutanan saat ini untuk mengalokasikan sekitar US$ 2.2 miliar dari DR untuk membiayai pengembangan hutan tanaman komersial melalui BLU-BPPH (Badan Layanan Umum-Badan Pembiayaan Pembangunan Hutan) (Barr et al., 2011). Pemberian subsidi untuk mendukung pembiayaan pembangunan hutan tanaman industry melalui pinjaman lunak menggunakan dana DR melalui BLU-BPPH sebagaimana sedang direncanakan pemerintah sangat beresiko, terutama berkaitan dengan transparansi penggunaan anggaran dan efektifitas penggunaan dana subsidi di lapangan (Obidzinski dan M. Chaudhury, 2009). Dana yang berasal dari sektor kehutanan termasuk royalty dari kegiatan eksploitasi hutan dan kesepakatan eksploitasi sumberdaya, biaya taman nasional, termasuk dana reboisasi serta beberapa iuran spesifik lainnya, dikelola oleh pemerintah pusat dan didistribusikan ke daerahdaerah. Hanya saja pada praktiknya persoalan distribusi dana ini masih menjadi persoalan, khususnya dalam hal keterbukaan porsi bagian pemerintah daerah dan berkaitan dengan ketepatan waktu pendistribusian (Larson, 2004). Hal yang sama juga terjadi di Kamerun, dimana persoalan yang berkaitan dengan pembagian

15 23 keuangan dari royalty sektor kehutanan merupakan persoalan yang sensitif, dimana masalah persoalan distribusi manfaat adalah persoalan yang utama. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Oyono et al.(2005) tersebut diusulkan untuk membagikan royalty secara adil dan langsung ke masyarakat. Menurut Alemagi, (2011), berdasarkan undang-undang di Kamerun, iuran (royalty) yang dipungut dari perusahaan digunakan bagi pembangunan masyarakat, dimana 50% dialokasikan untuk Negara, 40% untuk wilayah dimana perusahaan berada dan 10% untuk masyarakat desa tempat perusahaan tersebut beroperasi. Perusahaan juga diharuskan membayar pajak lingkungan (ecotax) kepada masyarakat yang nilainya US$1.5 per m 3 kayu. Beberapa secara sukarela memberikan kontribusi antara US$ per m 3 dari setiap kayu yang ditebang dan dijual oleh perusahaan. Penetapan harga dan pajak kayu bulat dari hutan alam telah menjadi isu yang tak kunjung selesai. Dalam jangka menengah hingga jangka panjang harga internasional berdasarkan FOB sebaiknya dijadikan acuan dalam penetapan pajak agar industri lebih kompetitif (Dwiprabowo et al., 2003). Dana Reboisasi (DR) adalah pungutan yang diberlakukan sejak 1989, merupakan dana hutan secara nasional berupa retribusi berbasis volume tebangan kayu yang dibayarkan oleh para pemegang konsesi hutan. Selama rentang waktu lebih dari 20 tahun tersebut, DR telah menghasilkan penerimaan (nominal) sekitar US$ 5.8 milyar, menjadikannya sumber pendapatan pemerintah terbesar dari sektor kehutanan (Barr et al., 2010). Penelitian yang dilakukan Ginoga et al. (2001) menyimpulkan bahwa potensi penerimaan DR dan IHH/ PSDH sebetulnya akan bisa lebih besar lagi

16 24 dibandingkan dengan perkiraan potensi apabila kebijakan tarif dan harga patokan yang dikeluarkan oleh Pemerintah betul-betul dilakukan. Kebijakan tarif yang selalu berubah-ubah merupakan salah satu dari beberapa kendala dalam upaya memperoleh kepastian besarnya dan kelancaran penerimaan iuran Dampak Kebijakan terhadap Kesejahteraan Kontribusi ekonomi kayu terhadap kesejahteraan sangat tergantung kepada dukungan kebijakan pemerintah terhadap praktik eksploitasi dan industri pengelolaan kayu. Kebijakan yang ikut berperan didalamnya termasuk kebijakan pungutan (iuran) kayu. Penerimaan pemerintah yang berasal dari pungutan bukan pajak termasuk izin perusahaan, Dana Reboisasi dan PSDH mencapai $682 juta pada tahun 1997 dan kemudian menurun menjadi $303 juta pada tahun 2002 akibat adanya krisis yang berkepanjangan (World Bank, 2006). Untuk melakukan evaluasi dampak kebijakan terhadap kesejahteraan dapat dilakukan dengan menggunakan analisis kesejahteraan. Bagi negara yang masih memiliki hutan yang berkualitas baik, keberadaan industri pengolahan kayu akan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat sekitar. Hal ini juga terjadi di Nigeria, dimana industri kayu lapis didirikan yang di wilayah Sapele tersebut mampu menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat di desar Sapele, Nigeria. Keberadaan industri kayu lapis tersebut kemudian memunculkan industri hilir lainnya yang mengolah produk lanjutan dari industri hulu tersebut (Okunomo dan Achoja, 2010). Gambar 2 menunjukan bahwa daerah diantara kurva permintaan dan kurva penawaran menggambarkan jumlah surplus produsen dan surplus konsumen,

17 25 dengan menghitung tambahan nilai yang diperoleh dari transaksi pasar. Besarnya kesejahteraan ini akan maksimum pada keseimbangan pasar persaingan sempurna (competitive market equilibrium) (Nicholson, 2000). Menurut Pindyck (2005), surplus konsumen adalah keuntungan total atau nilai yang diterima konsumen atas biaya yang digunakan untuk membayar barang, sedangkan surplus produsen adalah keuntungan total atau penerimaan yang diterima produsen atas biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi barang tersebut. Surplus konsumen berada di atas harga dan dibawah permintaan, sedangkan surplus produsen berada di bawah harga dan di atas penawaran. Just et al. (1982) menyebutkan bahwa surplus produsen terletak di atas kurva penawaran dan di bawah garis harga dari perusahaan atau industri, sedangkan surplus konsumen terletak dibawah kurva permintaan dan di atas garis harga. Fungsi Produksi Cobb-Douglas adalah fungsi produksi dimana q=ak α L β, dimana q adalah tingkat output, K adalah kuantitas modal, dan L adalah kuantitas tenaga kerja, dimana A, α dan β adalah konstata. Adapun surplus produsen sangat erat kaitannya dengan keuntungan (profit). Untuk jangka pendek surplus produsen adalah sama dengan penerimaan (R) dikurangi dengan biaya variabel (VC), yaitu keuntungan variabel. Keuntungan total adalah penerimaan dikurangi dengan semua biaya, yaitu biaya variabel dan biaya tetap, dimana; Surplus produsen = PS = R VC dan Keuntungan = π = R - VC - FC. Dalam jangka pendek apabila biaya tetap bernilai positif, maka surplus produsen adalah lebih besar dari keuntungan (Pindick, 2005)

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam tiga dasawarsa terakhir sektor kehutanan memberikan kontribusi penting bagi perekonomian Indonesia. Selama periode tahun 1980-2005 penerimaan dari sektor kehutanan

Lebih terperinci

Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang C.H. Simangunsong 1

Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang C.H. Simangunsong 1 DAMPAK KEBIJAKAN PROVISI SUMBERDAYA HUTAN DAN DANA REBOISASI TERHADAP KESEJAHTERAAN ( Impact of Forest Royalties and Reforestation Fund to the Welfare) 2, 1 2 4 Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN PROVISI SUMBERDAYA HUTAN DAN DANA REBOISASI TERHADAP KESEJAHTERAAN

DAMPAK KEBIJAKAN PROVISI SUMBERDAYA HUTAN DAN DANA REBOISASI TERHADAP KESEJAHTERAAN DAMPAK KEBIJAKAN PROVISI SUMBERDAYA HUTAN DAN DANA REBOISASI TERHADAP KESEJAHTERAAN DISERTASI ERWINSYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Landasan Teori Landasan teori mengenai penawaran dan permintaan barang dan jasa serta elastisitas harga dan mekanisme keseimbangan pasar secara umum berlaku sebagai landasan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. yang yang hanya memiliki luas Ha sampai Ha saja.

IV. GAMBARAN UMUM. yang yang hanya memiliki luas Ha sampai Ha saja. 43 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Produksi Kayu Bulat Produksi kayu bulat Indonesia saat ini jumlahnya terus menurun. Pada tahun 2009 produksi kayu bulat dari hutan alam hanya mencapai rata-rata sekitar 5 juta

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 3.1. Teori Perdagangan Internasional Teori tentang perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang sangat maju, yaitu dimulai dengan teori klasik tentang keunggulan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus

I. PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus mengalami penurunan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 1998 rasio ekspor terhadap

Lebih terperinci

ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN INDUSTRI KAYU LAPIS, KAYU GERGAJI DAN PULP DI INDONESIA

ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN INDUSTRI KAYU LAPIS, KAYU GERGAJI DAN PULP DI INDONESIA ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN INDUSTRI KAYU LAPIS, KAYU GERGAJI DAN PULP DI INDONESIA Erwinsyah 1, Harianto 2, Bonar M. Sinaga 3, Bintang C.H. Simangunsong 4 1

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Implikasi Kebijakan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Implikasi Kebijakan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor; Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924; Email:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran sub sektor kehutanan pada perekonomian nasional Indonesia cukup menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode Pembangunan Lima Tahun Pertama

Lebih terperinci

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang I. PENDAHUL'CJAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, sumber daya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif terhadap peningkatan devisa, penyerapan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA KELOMPOK I KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA TOPIK : PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO DAN KIMIA MELALUI PENDEKATAN KLASTER KELOMPOK INDUSTRI HASIL HUTAN DAN PERKEBUNAN, KIMIA HULU DAN

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Perdagangan Internasional Menurut Oktaviani dan Novianti (2009) perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan negara lain

Lebih terperinci

PERATURAN PEMEIRNTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1998 TENTANG PROVISI SUMBER DAYA HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMEIRNTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1998 TENTANG PROVISI SUMBER DAYA HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMEIRNTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1998 TENTANG PROVISI SUMBER DAYA HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hutan di Indonesia adalah sumber daya alam yang merupakan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN VI.1 Kesimpulan Sumber daya hutan menjadi pilihan Indonesia sebagai andalan sumber keuangan negara disamping minyak dan gas bumi. Hal ini didasari atas ketersediaan kayu hasil

Lebih terperinci

Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu

Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu Kajian Sistem Pengelolaan PNBP Sektor Kehutanan, Tahun 2015 Direktorat Penelitian

Lebih terperinci

3 KERANGKA PEMIKIRAN

3 KERANGKA PEMIKIRAN 19 3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Perdagangan Internasional Pola perdagangan antar negara disebabkan oleh perbedaan bawaan faktor (factor endowment), dimana suatu negara akan mengekspor

Lebih terperinci

IV. INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU

IV. INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU IV. INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU IV.1. Izin Usaha Industri Primer Hasil Kayu Industri Primer Hasil Kayu (IPHHK) adalah pengolahan kayu bulat dan/atau kayu bahan baku serpih menjadi barang setengah

Lebih terperinci

MG-8 PERMINTAAN DAN PENAWARAN HASIL HUTAN

MG-8 PERMINTAAN DAN PENAWARAN HASIL HUTAN MG-8 PERMINTAAN DAN PENAWARAN HASIL HUTAN Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc Asti Istiqomah, SP, M.Si EKONOMI KEHUTANAN ESL 325 (3-0) PERMINTAAN HASIL HUTAN Pengertian Permintaan:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan tradisional yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Peran tersebut antara lain adalah sebagai sumber

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 27 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Hutan alam dan hutan tanaman industri adalah penawaran utama bahan baku industri pengolahan kayu primer, yaitu industri kayu lapis, industri kayu gergaji

Lebih terperinci

Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya

Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) Indonesia Sawntimber & Woodworking Association (ISWA) Asosiasi

Lebih terperinci

lmplikasi Kebijakan Kenaikan DR.dan PSDH terhadap Laba Pengusaha Hutan Alam dan PNBP Sektor Kehutanan Ringkasan Rekomendasi

lmplikasi Kebijakan Kenaikan DR.dan PSDH terhadap Laba Pengusaha Hutan Alam dan PNBP Sektor Kehutanan Ringkasan Rekomendasi lmplikasi Kebijakan Kenaikan DR.dan PSDH terhadap Laba Pengusaha Hutan Alam dan PNBP Sektor Kehutanan Satria Astana, Soenarno, dan OK Karyono Ringkasan Rekomendasi 1. Kebijakan kenaikan DR dan PSDH sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mencermati data laporan Bank Indonesia dari berbagai seri dapat

I. PENDAHULUAN. Mencermati data laporan Bank Indonesia dari berbagai seri dapat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mencermati data laporan Bank Indonesia dari berbagai seri dapat dinyatakan bahwa perekonomian Indonesia pada tahun 1997 telah mengalami kontraksi dari tahun sebelumnya,

Lebih terperinci

III. KERANGKA TEORI. sisi produksi maupun pasar, disajikan pada Gambar 1. Dari sisi produksi,

III. KERANGKA TEORI. sisi produksi maupun pasar, disajikan pada Gambar 1. Dari sisi produksi, III. KERANGKA TEORI Pasar jagung, pakan dan daging ayam ras di Indonesia dapat dilihat dari sisi produksi maupun pasar, disajikan pada Gambar 1. Dari sisi produksi, keterkaitan ketiga pasar tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB 2 ANALISIS LINGKUNGAN MAKRO

BAB 2 ANALISIS LINGKUNGAN MAKRO BAB 2 ANALISIS LINGKUNGAN MAKRO Baik di industri furniture maupun industri lainnya, akan ada faktor eksternal yang akan mempengaruhi keberlangsungan bisnis perusahaan. Ada 5 faktor eksternal yang turut

Lebih terperinci

Kuliah I-Dasar-dasar Permintaan & Penawaran

Kuliah I-Dasar-dasar Permintaan & Penawaran DIE-FEUI February 12, 2013 1 2 3 4 5 6 7 Bacaan Outline Pindyck Ch.1 & Ch.2 Nicholson Ch.1 Intro Outline What is economics? Microeconomics vs. Macroeconomics Real vs. nominal price vs.relative price Positive

Lebih terperinci

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN Pembangunan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Tahun 2016 PERUMAHAN PERBATASAN LAIN2 00 NASIONAL 685.00 1,859,311.06 46,053.20 4,077,857.49 4,523.00 359,620.52 5,293.00 714,712.50 62,538.00 1,344,725.22

Lebih terperinci

SUPPLY-SIDE ECONOMICS DAN PERTUMBUHAN EKONOMI BABEL Sebuah Tinjauan Teoritis dan Proposal Tahun Investasi di Babel

SUPPLY-SIDE ECONOMICS DAN PERTUMBUHAN EKONOMI BABEL Sebuah Tinjauan Teoritis dan Proposal Tahun Investasi di Babel SUPLEMEN 1 SUPPLY-SIDE ECONOMICS DAN PERTUMBUHAN EKONOMI BABEL Sebuah Tinjauan Teoritis dan Proposal Tahun Investasi di Babel Salah satu strategi Presiden Ronald Reagen di bidang ekonomi ketika memimpin

Lebih terperinci

Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya

Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) Indonesia Sawntimber & Woodworking Association (ISWA) Asosiasi

Lebih terperinci

VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN

VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenaitentang dampak kebijakan tarif dan kuota impor terhadap kinerjainerja industri tepung terigu Indonesia

Lebih terperinci

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015 Ringkasan Eksekutif Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015 Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terluas di dunia, dan sebagian

Lebih terperinci

Analisis Keuangan Taman Nasional di Indonesia:

Analisis Keuangan Taman Nasional di Indonesia: Analisis Keuangan Taman Nasional di Indonesia: Pendekatan Inovatif Penggalangan Dana Tambahan Konservasi dan Ide Penerapan Desentralisasi Sistem Pembiayaan Taman Nasional Oleh: Elfian Effendi NRM/EPIQ

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi. 13, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.5/Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN

Lebih terperinci

Tabel V.1.1. REKAPITULASI PRODUKSI KAYU BULAT BERDASARKAN SUMBER PRODUKSI TAHUN 2004 S/D 2008

Tabel V.1.1. REKAPITULASI PRODUKSI KAYU BULAT BERDASARKAN SUMBER PRODUKSI TAHUN 2004 S/D 2008 Tabel V.1.1. REKAPITULASI PRODUKSI KAYU BULAT BERDASARKAN SUMBER PRODUKSI TAHUN 2004 S/D 2008 Sumber Produksi (m3) Hutan Alam Hutan Tanaman HPH (RKT) IPK Perhutani HTI Jumlah (m3) 1 2004 3,510,752 1,631,885

Lebih terperinci

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN 185 VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN Ketersediaan produk perikanan secara berkelanjutan sangat diperlukan dalam usaha mendukung ketahanan pangan. Ketersediaan yang dimaksud adalah kondisi tersedianya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras merupakan salah satu komoditas penting dalam kehidupan sosial

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras merupakan salah satu komoditas penting dalam kehidupan sosial 12 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Beras sebagai komoditas pokok Beras merupakan salah satu komoditas penting dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Posisi komoditas beras bagi sebagian besar penduduk Indonesia

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM RUMPUT LAUT. Produksi Rumput Laut Dunia

V. GAMBARAN UMUM RUMPUT LAUT. Produksi Rumput Laut Dunia 41 V. GAMBARAN UMUM RUMPUT LAUT 5.1. Perkembangan Produksi dan Ekspor Rumput Laut Dunia 5.1.1. Produksi Rumput Laut Dunia Indonesia dengan potensi rumput laut yang sangat besar berpeluang menjadi salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan

BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagian dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Dalam hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan Republik

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara

KERANGKA PEMIKIRAN. transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara III. KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan di atas, menganalisis harga dan integrasi pasar spasial tidak terlepas dari kondisi permintaan, penawaran, dan berbagai kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

Lebih terperinci

Sistem Bagi Hasil dan Keberlanjutan Sumber Daya Perikanan

Sistem Bagi Hasil dan Keberlanjutan Sumber Daya Perikanan Sistem Bagi Hasil dan Keberlanjutan Sumber Daya Perikanan Bagi Hasil Pusat-Daerah Penerimaan negara pajak: PBB: Pajak bumi dan bangunan BPHTB: Bea perolehaan hak atas tanah & bangunan Penerimaan negara

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 No. 11/02/82/Th. XVI, 1 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 GINI RATIO DI MALUKU UTARA KEADAAN SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,309 Pada September 2016, tingkat ketimpangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang sering dihadapi dalam perencanaan pembangunan adalah adanya ketimpangan dan ketidakmerataan dalam pembangunan. Salah satu penyebabnya adalah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Perdagangan Internasional Perdagangan internasional merupakan kegiatan ekonomi antarnegara yang diwujudkan dengan adanya proses

Lebih terperinci

KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN

KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN Oleh : Rachman Effendi 1) ABSTRAK Jumlah Industri Pengolahan Kayu di Kalimantan Selatan tidak sebanding dengan ketersediaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. sehingga terjamin mutu teknisnya. Penetapan mutu pada karet remah (crumb

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. sehingga terjamin mutu teknisnya. Penetapan mutu pada karet remah (crumb 13 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Definisi Karet Remah (crumb rubber) Karet remah (crumb rubber) adalah karet alam yang dibuat secara khusus sehingga terjamin mutu teknisnya. Penetapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang

Lebih terperinci

Keseimbangan Umum. Rus an Nasrudin. Mei Kuliah XII-2. Rus an Nasrudin (Kuliah XII-2) Keseimbangan Umum Mei / 20

Keseimbangan Umum. Rus an Nasrudin. Mei Kuliah XII-2. Rus an Nasrudin (Kuliah XII-2) Keseimbangan Umum Mei / 20 Keseimbangan Umum Rus an Nasrudin Kuliah XII-2 Mei 2013 Rus an Nasrudin (Kuliah XII-2) Keseimbangan Umum Mei 2013 1 / 20 Outline 1 Pendahuluan 2 Konsep Keseimbangan Umum 3 Permintaan dan Penawaran dalam

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 199 IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 9.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan data Susenas tahun 2008, dapat dikatakan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia di berbagai wilayah lebih banyak mengkonsumsi

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. fungsi permintaan, persamaan simultan, elastisitas, dan surplus produsen.

III. KERANGKA PEMIKIRAN. fungsi permintaan, persamaan simultan, elastisitas, dan surplus produsen. III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Komponen utama pasar beras mencakup kegiatan produksi dan konsumsi. Penelitian ini menggunakan persamaan simultan karena memiliki lebih dari satu

Lebih terperinci

IV. KERANGKA PEMIKIRAN

IV. KERANGKA PEMIKIRAN 52 IV. KERANGKA PEMIKIRAN 4.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Sesuai dengan tujuan penelitian, kerangka teori yang mendasari penelitian ini disajikan pada Gambar 10. P P w e P d Se t Se P Sd P NPM=D CP O

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 23 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Dasar Perdagangan Internasional Teori perdagangan internasional adalah teori yang menganalisis dasardasar terjadinya perdagangan internasional

Lebih terperinci

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO)

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) IRIO memiliki kemampuan untuk melakukan beberapa analisa. Kemampuan

Lebih terperinci

ELASTISITAS PERMINTAAN DAN PENAWARAN Pertemuan 9

ELASTISITAS PERMINTAAN DAN PENAWARAN Pertemuan 9 ELASTISITAS PERMINTAAN DAN PENAWARAN Pertemuan 9 Elastisitas... adalah ukuran seberapa besar para pembeli dan penjual memberikan reaksi terhadap perubahanperubahan kondisi yang terjadi di pasar. 2 Elastisitas

Lebih terperinci

Formulir C Laporan Pengendalian dan Evaluasi Pelaksana Rencana Pembangunan Triwulan III Berdasarkan PP No.39 Tahun 2006 Tahun Anggaran 2014

Formulir C Laporan Pengendalian dan Evaluasi Pelaksana Rencana Pembangunan Triwulan III Berdasarkan PP No.39 Tahun 2006 Tahun Anggaran 2014 Kementerian Perindustrian REPUBLIK INDONESIA Formulir C Laporan Pengendalian dan Evaluasi Pelaksana Rencana Pembangunan Triwulan III Berdasarkan PP No.39 Tahun 2006 Tahun Anggaran 2014 Kementerian Perindustrian

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG Draft 10 November 2008 Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 65/Menhut-II/2009 TENTANG STANDARD BIAYA PRODUKSI PEMANFAATAN KAYU PADA IZIN PEMANFAATAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 65/Menhut-II/2009 TENTANG STANDARD BIAYA PRODUKSI PEMANFAATAN KAYU PADA IZIN PEMANFAATAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 65/Menhut-II/2009 TENTANG STANDARD BIAYA PRODUKSI PEMANFAATAN KAYU PADA IZIN PEMANFAATAN KAYU DAN ATAU PENYIAPAN LAHAN DALAM RANGKA PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN BADAN PUSAT STATISTIK No.06/02/81/Th.2017, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO MALUKU PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,344 Pada September 2016,

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Permintaan Permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli oleh konsumen selama periode tertentu (Pappas & Hirschey

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah

BAB I PENDAHULUAN. jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Lada atau pepper (Piper nigrum L) disebut juga dengan merica, merupakan jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

LESTARI PAPER NO. 03 PERAN HPH DALAM MENJAGA KEBERLANJUTAN HUTAN ALAM. Nana Suparna

LESTARI PAPER NO. 03 PERAN HPH DALAM MENJAGA KEBERLANJUTAN HUTAN ALAM. Nana Suparna LESTARI PAPER NO. 03 PERAN HPH DALAM MENJAGA KEBERLANJUTAN HUTAN ALAM Nana Suparna Daftar Isi: 1. Pendahuluan 2. Prospek Hutan Produksi 3. Perkembangan Usaha IUPHHK-HA 4. Penutup 1 1 2-5 5-6 Publikasi

Lebih terperinci

Elastisitas Permintaan dan Penawaran. Pengantar Ilmu Ekonomi TIP FTP UB

Elastisitas Permintaan dan Penawaran. Pengantar Ilmu Ekonomi TIP FTP UB Elastisitas Permintaan dan Penawaran Pengantar Ilmu Ekonomi TIP FTP UB ELASTISITAS PERMINTAAN TERHADAP HARGA Elastisitas Permintaan Elastisitas permintaan mengukur perubahan relatif dalam jumlah unit barang

Lebih terperinci

V. PRODUKSI HASIL HUTAN

V. PRODUKSI HASIL HUTAN V. PRODUKSI HASIL HUTAN V.1. Produksi Kayu Bulat Produksi kayu bulat dapat berasal dari Hutan Alam dari Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK),

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D.

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D. DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D. Sehubungan dengan rencana Departemen Kehutanan untuk membuka keran ekspor kayu bulat di tengah

Lebih terperinci

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi Tabel., dan Padi Per No. Padi.552.078.387.80 370.966 33.549 4,84 4,86 2 Sumatera Utara 3.48.782 3.374.838 826.09 807.302 4,39 4,80 3 Sumatera Barat.875.88.893.598 422.582 423.402 44,37 44,72 4 Riau 454.86

Lebih terperinci

Eksekutif DATA STRATEGIS KEHUTANAN

Eksekutif DATA STRATEGIS KEHUTANAN Eksekutif DATA STRATEGIS KEHUTANAN DEPARTEMEN KEHUTANAN Ministry of Forestry 2008 KATA PENGANTAR Penyusunan Buku Eksekutif Data Strategis Kehutanan Tahun 2008 ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan data

Lebih terperinci

III. KERANGKA TEORITIS

III. KERANGKA TEORITIS 37 III. KERANGKA TEORITIS 3.1. Fungsi Permintaan Gula Keadaan konsumsi dan permintaan suatu komoditas sangat menentukan banyaknya komoditas yang dapat digerakkan oleh sistem tata niaga dan memberikan arahan

Lebih terperinci

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA 66 VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA 6.1. Keragaan Umum Hasil Estimasi Model Model ekonometrika perdagangan bawang merah dalam penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS MASALAH BBM

ANALISIS MASALAH BBM 1 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ANALISIS MASALAH BBM Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Jakarta,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Penelitian Terdahulu Terdapat penelitian terdahulu yang memiliki kesamaan topik dan perbedaan objek dalam penelitian. Ini membantu penulis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian Suherwin (2012), tentang harga Crude Palm Oil dengan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga CPO dunia. Tujuan umum penelitian adalah

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 6.1 Kesimpulan Perubahan iklim diperkirakan memberikan dampak pada perekonomian dan sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan iklim

Lebih terperinci

IV. HASIL KAJIAN DAN ANALISIS

IV. HASIL KAJIAN DAN ANALISIS IV. HASIL KAJIAN DAN ANALISIS Hasil kajian dan analisis sesuai dengan tujuan dijelaskan sebagai berikut: 1. Profil Koperasi Wanita Secara Nasional Sebagaimana dijelaskan pada metodologi kajian ini maka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sumberdaya alam yang siap dikelola dan dapat memberikan manfaat ganda bagi umat manusia baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi. Manfaat hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termaktub dalam alenia ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: (1)

BAB I PENDAHULUAN. termaktub dalam alenia ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: (1) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana termaktub dalam alenia ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: (1) melindungi segenap bangsa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Areal Tanaman Perkebunan Perkembangan luas areal perkebunan perkebunan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pengembangan luas areal

Lebih terperinci

Antar Kerja Antar Daerah (AKAD)

Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) Konsep Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) merujuk pada mobilitas pekerja antar wilayah administrasi dengan syarat pekerja melakukan pulang pergi seminggu sekali atau sebulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemasaran barang dan jasa. Dalam merebut pangsa pasar, kemampuan suatu

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemasaran barang dan jasa. Dalam merebut pangsa pasar, kemampuan suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Arus globalisasi ekonomi dan proses liberalisasi perdagangan merupakan kenyataan yang saat ini semakin berkembang dari segi globalisasi produksi sampai dengan

Lebih terperinci

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT 27 5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT Perkembangan Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit yang menjadi salah satu tanaman unggulan

Lebih terperinci

PERILAKU KONSUMEN. A. Pengertian Konsumen dan Perilaku Konsumen

PERILAKU KONSUMEN. A. Pengertian Konsumen dan Perilaku Konsumen PERILAKU KONSUMEN A. Pengertian Konsumen dan Perilaku Konsumen Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG Draft 10 vember 2008 Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG

Lebih terperinci

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA PEDOMAN TEKNIS PEMBINAAN USAHA PERKEBUNAN TAHUN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN DESEMBER 2012 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan

Lebih terperinci

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MOR : P.25/Menhut-II/2013 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2013 KEPADA 33 GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No.53/09/16 Th. XVIII, 01 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA SELATAN MARET 2016 GINI RATIO SUMSEL PADA MARET 2016 SEBESAR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

Kekuatan Asing Masih Kuasai Ekonomi Perikanan Nasional

Kekuatan Asing Masih Kuasai Ekonomi Perikanan Nasional PUSAT KAJIAN PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERADABAN MARITIM Kekuatan Asing Masih Kuasai Ekonomi Perikanan Nasional Laporan Ekonomi Perikanan Triwulan I Tahun 2011 Suhana 5/11/2011 Alamat Kontak : Blog : Http://pk2pm.wordpress.com,

Lebih terperinci

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO Pada bab sebelumnya, telah dilakukan analisis dampak kebijakan Gernas dan penerapan bea ekspor kakao terhadap kinerja industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

Adanya indikasi penurunan kayu bulat tersebut ternyata telah disadari oleh

Adanya indikasi penurunan kayu bulat tersebut ternyata telah disadari oleh Adanya indikasi penurunan kayu bulat tersebut ternyata telah disadari oleh para produsen kayu yang menggunakan kayu bulat sebagai bahan bakunya. Untuk mencari barang substitusi dari kayu bulat tersebut,

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 13/02/12/Th. XX, 06 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,312 Pada ember

Lebih terperinci