(a) (b) (c) Indikasi Gangguan Kualitas Perkecambahan (a) Mata Rusak, (b) Mata Busuk, (c) Bibit Busuk.

dokumen-dokumen yang mirip
BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Alat dan Bahan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Data Iklim Lahan Penelitian, Kelembaban Udara (%)

Lampiran 1. Kualitas Bibit yang Digunakan dalam Penelitian

Lampiran 1. Analisis Ragam Peubah Tinggi Tanaman Tebu Sumber Keragaman. db JK KT F Hitung Pr > F

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL PENELITIAN 4.1. Pengamatan Selintas Serangan Hama dan Penyakit Tanaman Keadaan Cuaca Selama Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

HASIL DAN PEMBAHASAN

MODIFIKASI BENTUK KASURAN DAN SISTEM PENGECERAN BIBIT SEBAGAI STRATEGI PENANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) DI MUSIM HUJAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida,

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi

Ciparay Kabupaten Bandung. Ketinggian tempat ±600 m diatas permukaan laut. dengan jenis tanah Inceptisol (Lampiran 1) dan tipe curah hujan D 3 menurut

penghujan sehingga mendukung pertumbuhan tanaman. Penyiraman dilakukan digunakan 80%. Pada umur 1-2 MST dilakukan penyulaman pada benih-benih

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL. Gambar 4 Fluks CH 4 dari beberapa perlakuan selama satu musim tanam pada sawah lahan gambut

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Tebu Saccharum officinarum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

PEMELIHARAAN TANAMAN BAWANG MERAH

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan tehnik penanaman tebu tersebut dicoba diterapkan pada pola penanaman rumput raja (king grass) dengan harapan dapat ditingkatkan produksiny

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Data persentase hidup (%) bibit A. marina dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 13 Minggu Setelah Tanam (MST)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. = Respon pengamatan µ = Rataan umum α i = Pengaruh perlakuan asal bibit ke-i (i = 1,2) β j δ ij

LAMPIRAN. Lampiran 1. Layout Penelitian

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. panennya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (hasil analisis disajikan

HASIL DAN PEMBAHASAN

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto,

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Laboratorium Lapang Terpadu

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

PEMBAHASAN Jenis dan Waktu Pemangkasan

BAB III BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

V. KACANG HIJAU. 36 Laporan Tahun 2015 Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi

III. BAHAN DAN METODE

PENGARUH AKSESI GULMA Echinochloa crus-galli TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI

Laboratorium Teknologi Benih Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Jawa Barat, dengan ketinggian 725 m di atas permukaan laut.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan pada bulan Sebtember - Desember

HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE DAN PELAKSANAAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

PENYIAPAN BIBIT UBIKAYU

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persyaratan Lahan. Lahan hendaknya merupakan bekas tanaman lain atau lahan yang diberakan. Lahan dapat bekas tanaman padi tetapi varietas yang

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Unit

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini didesain dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Ciparay, pada ketinggian sekitar 625 m, di atas permukaan laut dengan jenis tanah

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

PEMBAHASAN. Tipe Pangkasan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

Lampiran 1. Tabel Tinggi Tanaman 2 MST (cm) Ulangan

Jumlah Hari Hujan Gerimis Gerimis-deras Total September. Rata-rata Suhu ( o C) Oktober '13 23,79 13,25 18, November

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat

BAB III METODE PENELITIAN. dilakukan dengan memberi perlakuan (treatment) terhadap objek. penelitian serta adanya kontrol penelitian.

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian dilakukan di Laboratorium dan Lahan Percobaan Fakultas

PELAKSANAAN PENELITIAN

HASIL DA PEMBAHASA. Percobaan 1. Pengujian Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Viabilitas Benih Padi Gogo Varietas Towuti dan Situ Patenggang

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung.

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Percobaan

Transkripsi:

HASIL Kondisi Umum Penelitian dilaksanakan pada 14 Mei sampai 3 September 2010 dengan pengamatan tambahan saat 29 Oktober 2010. Penelitian dilakukan di Kebun Gempol, PG Sindang Laut, Kabupaten Cirebon. Lahan percobaan berupa lahan sawah berukuran 192 m 2, jenis tanah vertisol yang tergolong tanah berat, kemiringan lahan 1.7 % ke arah barat. Lahan percobaan ditempatkan ditengahtengah kebun tebu produksi dengan luasan 2 500 m 2. Keseluruhan kebun ditanam menggunakan klon bibit dan waktu penanaman yang sama, tujuannya mengurangi pengaruh lingkungan terhadap perkembangan dan pertumbuhan tanaman tebu percobaan. Bibit yang digunakan berupa bagal dari batang induk bagian tengah (buku 3, 4, dan 5). Kualitas bibit yang digunakan tertera dalam Lampiran 1. Penelitian terdiri dari dua faktor yaitu modifikasi bentuk kasuran dan sistem pengeceran bibit. Faktor modifikasi bentuk kasuran dapat dilihat pada Gambar 7. Pada modifikasi bentuk kasuran, waktu terima sinar matahari langsung pada perlakuan klacen timur, tutup datar, tutup miring, dan klacen barat berurutan pk 08.50, pk 9.20, pk 9.20, dan pk 10.00 wib. Adanya perbedaan waktu tersebut dipengaruhi sudut terbit matahari terhadap letak bibit di dasar juringan. Pada sistem pengeceran bibit, perlakuan bagal dua mata kombinasi pola ecer 22+2 (H1) menghasilkan kerapatan 6.4 mata bibit/meter juringan, sedangkan perlakuan bagal tiga mata kombinasi pola ecer 20+2 (H2) menghasilkan kerapatan 8.8 mata bibit/meter juringan. Faktor sistem pengeceran bibit dapat dilihat pada Gambar 8. (A1) (A2) (A3) (A4) Gambar 7. Faktor Modifikasi Bentuk Kasuran. Arah Utara yaitu Kertas Bagian Atas. (A1) Klacen Barat, (A2) Klacen Timur, (A3) Tutup Miring, (A4) Tutup Datar.

23 (a) (b) (c) (d) Gambar 8. Faktor Sistem Pengeceran Bibit (a) Kiri: Bagal 2 Mata, Kanan: Bagal 3 Mata, (b) Mata Bibit yang Sehat, (c) Taji Sebagai Bakal Tunas Primer, (d) Bibit yang telah Diecer Pola 22+2 kemudian Ditanam Dari seluruh satuan percobaan didapat mata mulai berkecambah menjadi taji saat 2 HST (1 dari 1368 mata yang ditanam). Taji dalam sebuah juringan berkecambah mencapai angka 50 % saat 7 HST (2 dari 24 juringan). Taji mulai mengeluarkan anakan saat 21 HST (6 taji dari 1368 mata yang ditanam). Taji yang terbentuk dari mata bibit pada perkembangannya akan menjadi tunas primer, sedangkan taji yang terinisiasi dari tunas primer akan menjadi tunas sekunder. Kerusakan bibit selama fase perkecambahan dapat dilihat pada Gambar 9. Selama fase kritis perkecambahan, kegagalan berkecambah lebih disebabkan karena kondisi mata bibit. Kondisi bibit yang secara fisik utuh namun mata bibitnya rusak atau busuk, maka sudah dipastikan perkecambahan tidak mungkin terjadi. Selama fase perkecambahan dan fase pertunasan tidak ada gangguan gulma berarti. Penanganan gulma dilakukan dengan cara merambas menggunakan tangan terutama di daerah siku (lambei) dan dinding juringan (gawir). (a) (b) (c) Gambar 9. Indikasi Gangguan Kualitas Perkecambahan (a) Mata Rusak, (b) Mata Busuk, (c) Bibit Busuk.

Penyiangan gulma penting dilakukan, karena jika gulma dibiarkan tumbuh maka biji atau rizomenya dapat menumbuhkan anakan gulma dengan taji yang baru terbentuk. Hama yang menyerang batang indukan bibit adalah penggerek batang (Chilo auricilius). Hama yang menyerang daun tebu seperti belalang padi (Palanga succinta) saat 7-10 MST ketika musim panen padi telah berakhir. Hama kutu bulu putih (Ceratovacuna lanigera) di pelepah daun bibit saat 24 MST. Penyakit pokkahboeng (Gibberella moniliforme) menyerang 6 tanaman saat 8 sampai 10 MST. Data curah hujan selama pengamatan dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan data curah hujan lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2. Bulan Mei hingga pertengahan Juni 2010, tebu dalam penelitian ini masih masuk dalam fase perkecambahan stadium I, II, III, dan IV. Periode terjadinya hujan selama fase kritis perkecambahan 0-15 HST (Stadium I dan II) sebesar 1.7 hari sekali. Rataan curah hujan setiap kali hujan turun sebesar 18.45 mm. Tabel 3. Data Curah Hujan Lokasi Penelitian 14 Mei 3 September 2010 berdasarkan Fase Pertumbuhan Tebu Bulan Curah Hujan Fase Pertumbuhan Tebu 14-31 Mei 2010 174 mm Fase Perkecambahan Juni 2010 129.5 mm Juli 2010 137.5 mm Agustus 2010 82.5 mm 1-3 September 2010 11 mm Sumber : Pengelolaan Sumber Daya Air (2010) Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Fase Pertunasan Seluruh data pengamatan diolah menggunakan uji F untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap peubah pengamatan. Hasil analisis uji F pada Tabel 4 menunjukkan bahwa modifikasi bentuk kasuran dominan pengaruhnya saat fase perkecambahan seperti kecepatan tumbuh, mata bibit busuk, dan daya tumbuh dibandingkan dengan sistem pengeceran bibit. Modifikasi bentuk kasuran mempengaruhi tinggi tanaman sejak awal hingga akhir pengamatan, sedangkan jumlah daun baru dipengaruhi sejak 8 MST hingga 14 MST. Sistem pengeceran bibit selama fase perkecambahan tidak berpengaruh saat fase perkecambahan. Sistem pengeceran bibit dominan pengaruhnya saat fase 24

pertunasan yaitu pada peubah tinggi tanaman sejak 4 sampai 14 MST, jumlah daun pada 14 MST, dan kemampuan membentuk tunas sekunder serta diameter batang pada 16 MST. Tabel 4. Rekapitulasi Analisis Uji F Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran terhadap Vigor dan Vegetatif Tebu Peubah Waktu Bentuk Kasuran (A) Sistem Pengeceran (H) Interaksi (A*H) 25 KK (%) - Fase Perkecambahan - 1 HS ** tn tn 1.36 Skor Kelembaban Kasuran 2 HS ** tn tn 1.60 Periode Hujan (hari sekali) 3 HS ** tn tn 2.03 Skor Kelembaban Kasuran 0-3 MST ** tn tn 1.32 Kecepatan Tumbuh Bibit (%/etmal) 0-3 MST * tn tn 12.23 Mata Bibit Busuk (%) 3 MST ** tn tn 38.98 Daya Tumbuh (%) 3 MST ** tn tn 5.20 Jumlah Daun (helai/tanaman) Tinggi Tanaman (cm/tanaman) - Fase Pertunasan - 2 MST tn tn tn 17.15 4 MST tn tn tn 8.43 6 MST tn tn tn 5.99 8 MST * tn tn 5.91 10 MST * tn tn 3.65 12 MST * tn tn 6.45 14 MST ** ** tn 6.89 2 MST ** tn tn 13.21 4 MST ** ** tn 9.44 6 MST ** ** tn 7.34 8 MST ** ** tn 7.65 10 MST ** ** tn 6.72 12 MST ** * tn 7.27 14 MST ** ** tn 6.69 Tunas Sekunder (anakan/tunas primer) 16 MST tn ** tn 19.61 Diameter Batang Bawah (cm) 16 MST tn ** tn 5.28 Total Batang (batang/juringan) 16 MST tn tn tn 12.14 24 MST tn tn tn 13.21 Keterangan : * = berbeda nyata ** = berbeda sangat nyata tn = tidak nyata MST = Minggu Setelah Tanam HS= Hari Sekali KK = Koefisien Keragaman Tahap I. Fase Perkecambahan Kualitas perkecambahan yang baik diharapkan akan berdampak baik pula pada pertumbuhan tanaman tebu selanjutnya. Oleh sebab itu, arah penelitian ini

26 mula-mula difokuskan untuk perbaikan kualitas perkecambahan saat musim hujan. Perbaikan kualitas perkecambahan meliputi usaha menurunkan kelembaban kasuran yang menyebabkan lingkungan perkecambahan menjadi suboptimum. Kualitas perkecambahan dinilai berdasarkan vigor bibit tebu dalam mengatasi kondisi suboptimum berupa musim hujan. Vigor bibit tebu yang diamati meliputi peubah kecepatan tumbuh bibit sebagai tolak ukur vigor kekuatan tumbuh, peubah mata busuk sebagai tolak ukur vigor bibit, dan daya tumbuh sebagai tolak ukur vigor potensial. Pengaruh Modifikasi Bentuk Kasuran terhadap Kelembaban Kasuran Pengamatan kelembaban kasuran dinilai dalam satuan skor disajikan dalam Tabel 5. Skor pengamatan ini ditentukan dengan menancapkan alat uji kelembaban tanah. Skor kelembaban yang lebih kecil berarti kemampuan kasuran dalam mengatasi kelebihan air lebih baik. Secara sederhana pada tanah vertisol, gambaran skor 6 berarti kasuran kering dan padat. Skor 7 berarti kasuran kering agak lembab dan padat. Skor 8 berarti kasuran lembab dan agak padat. Skor 9 berarti kasuran basah dan agak melumpur. Skor 10 berarti kasuran melumpur sampai tergenang. Data pada Tabel 5 menunjukkan sebaran nilai kelembaban kasuran apabila hujan terjadi setiap hari (periode hujan setiap 1 hari), satu hari tanpa hujan (periode hujan setiap 2 hari), atau 2 hari tanpa hujan (periode hujan setiap 3 hari). Periode hujan rataan merupakan kelembaban kasuran rata-rata selama 15 hari pengamatan. Modifikasi bentuk kasuran memberikan pengaruh yang sangat nyata dalam upaya penurunan kelembaban kasuran. Kasuran tipe klacen (barat dan timur), mampu mengatasi kelebihan air di sekitar kasuran paling cepat, kemudian diikuti tutup miring dan tutup datar. Skor kelembaban pada perlakuan tipe klacen menunjukkan apabila hujan terjadi setiap hari menyebabkan hampir tidak terdapat genangan air di permukaan kasuran. Apabila hujan tidak terjadi selama satu sampai dua hari, kasuran tidak lekas mengering dan kelembabannya tetap terjaga dengan kisaran skor sebesar 7.42 sampai 8.07. Apabila hujan terjadi setiap hari dan pada waktu tersebut menggunakan kasuran tipe tutup miring atau tutup datar,

maka kondisi tanah kasuran akan basah agak melumpur. Pada perlakuan tutup datar, kondisi kasuran agak melumpur tersebut berlanjut sampai selang satu hari tidak hujan. Tabel 5. Skor Kelembaban Kasuran berdasarkan Periode Hujan pada Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit Perlakuan Setiap 1 Hari Setiap 2 Hari Periode Hujan Setiap 3 Hari Rataan 0-15 HST (Setiap 1.7 hari) Modifikasi Bentuk Kasuran Klacen Barat (A1) 8.36 a 8.01 a 7.42 a 8.19 a Klacen Timur (A2) 8.30 a 8.07 a 7.42 a 8.24 a Tutup Miring (A3) 8.81 b 8.47 b 7.96 b 8.68 b Tutup Datar (A4) 9.17 c 8.86 c 8.25 c 9.05 c Sistem Pengeceran Bibit Bagal 2 Mata & Pola 22+2 (H1) 8.67 8.36 7.78 8.54 Bagal 3 Mata & Pola 20+2 (H2) 8.65 8.36 7.74 8.53 Keterangan: Nilai dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5 %. HST = Hari Setelah Tanam Sistem pengeceran tidak memiliki pengaruh dalam upaya penurunan kelembaban kasuran. Hal ini terlihat dari perlakuan bagal dua mata kombinasi pola ecer 22+2 menunjukkan skor yang tidak berbeda nyata dibanding perlakuan bagal tiga mata kombinasi pola ecer 20+2. 27 Pengaruh Modifikasi Bentuk Kasuran terhadap Vigor Bibit Tebu Modifikasi bentuk kasuran (Tabel 6) mempengaruhi seluruh tolak ukur vigor bibit tebu. Bentuk kasuran tipe klacen (barat dan timur) kecenderungan menunjukkan hasil terbaik pada mayoritas pengamatan vigor bibit. Sementara bentuk kasuran tutup datar berdampak buruk terhadap mayoritas pengamatan vigor bibit. Kasuran klacen timur maupun klacen barat mampu meningkatkan kecepatan tumbuh dan menekan persentase mata busuk. Walaupun nilai tengah perlakuan klacen timur selalu lebih baik dibandingkan perlakuan klacen barat, namun berdasarkan uji BNJ tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata di antara keduanya. Penggunaan kasuran tipe tutup (miring dan datar), periode hujan yang intensif menyebabkan peningkatan persentase mata busuk dan menghambat kecepatan tumbuh. Jika diselisihkan dengan nilai tengah perlakuan klacen timur,

maka perlakuan tutup miring dan tutup datar meningkatkan mata busuk berturutturut sebesar 6.16 % dan 12 %. Selain itu, kecepatan tumbuhnya lebih lambat sebesar 0.69 %/etmal dan 1.55 %/etmal. Modifikasi bentuk kasuran memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap daya tumbuh bibit tebu. Perlakuan klacen timur mampu mendukung daya tumbuh paling tinggi di antara perlakuan lainnya. Daya tumbuh yang dihasilkan oleh klacen timur tidak berbeda nyata dengan perlakuan klacen barat. Daya tumbuh perlakuan tutup miring tidak mampu melampaui angka 90 % perkecambahan, dan selisih nilai tengahnya masih jauh di bawah klacen timur sebesar 8.39 %. Daya tumbuh perlakuan tutup datar jauh di bawah angka 90 % perkecambahan. Perlakuan tutup datar sekaligus menjadi perlakuan dengan daya tumbuh terendah. Tabel 6. Vigor Bibit Tebu pada Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit Perlakuan Kecepatan Tumbuh (%/etmal) Mata Busuk (%) 28 Daya Tumbuh (%) Modifikasi Bentuk Kasuran Klacen Barat (A1) 6.53 ab 6.91 ab 92.83 ab Klacen Timur (A2) 6.81 a 4.07 a 94.38 a Tutup Miring (A3) 6.12 b 10.23 bc 85.98 bc Tutup Datar (A4) 5.26 c 16.07 c 78.63 c Sistem Pengeceran Bibit Bagal 2 Mata & Pola 22+2 (H1) 6.20 8.16 88.54 Bagal 3 Mata & Pola 20+2 (H2) 6.22 10.48 87.37 Keterangan: Nilai dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5 %. Sistem pengeceran tidak nyata mempengaruhi daya tumbuh bibit tebu. Hal ini terlihat dari hasil uji BNJ antara kedua perlakuan dalam sistem pengeceran bibit. Namun, apabila melihat nilai tengahnya perlakuan bagal dua mata kombinasi pola ecer 22+2 nilai tengahnya lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan bagal tiga mata kombinasi pola ecer 20+2. Dari segi penyulaman, waktu sulaman untuk setiap perlakuan dapat hitung dengan cara membagi nilai tengah daya tumbuh terhadap nilai tengah kecepatan tumbuh. Perkiraan waktu dilakukannya sulaman perlakuan klacen barat, klacen timur, tutup miring, dan tutup datar berturut-turut pada 14.21 HST, 13.86 HST, 14.05 HST, 14.95 HST. Perkiraan waktu sulaman bagal dua mata kombinasi pola

29 ecer 22+2 dan bagal tiga mata kombinasi pola ecer 20+2 berturut-turut yaitu 14.28 HST, 14.05 HST. Kegiatan sulaman hanya dilakukan pada perlakuan dengan persentase daya tumbuh kurang dari 90 % perkecambahan. Perhitungan akhir persentase daya tumbuh perlakuan klacen barat dan klacen timur tidak berbeda signifikan berdasarkan uji BNJ (Tabel 6), namun perkembangan perkecambahannya terlihat berbeda (Gambar 10). Ketika 1 sampai 9 HST dengan periode hujan 1.29 hari sekali kurva perkembangan perkecambahan kurva klacen barat mirip dengan kurva perkembangan perkecambahan tutup miring. Selanjutnya saat 10 sampai 16 HST ketika cuaca membaik dengan periode hujan sebesar 3.5 hari sekali, kurva perkembangan perkecambahan klacen barat sedikit di bawah kurva perkembangan klacen timur. Perbedaan pergerakan kurva klacen barat saat 1 sampai 9 HST dibandingkan klacen timur dapat disebut kelemahan klacen barat dalam mendukung perkecambahan bibit. Penjelasan mengenai kelemahan klacen barat dapat dilihat di bagian pembahasan. Persentase Perkecambahan(%) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 HST 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Klacen Barat Klacen Timur Tutup Miring Tutup Rata Keterangan : y (Klacen Barat) = - 0.068x 3 + 1.630x 2-2.962x - 0.323 (R² = 99.6 %) y (Klacen Timur) = - 0.050x 3 + 1.061x 2 + 2.100x - 7.037 (R 2 = 99.3 %) y (Tutup Miring) = - 0.043x 3 + 0.966x 2 + 1.585x - 6.424 (R² = 99.1 %) y (Tutup Datar) = - 0.045x 3 + 1.166x 2-1.987x - 0.911 (R 2 = 99.5 %) HST = Hari Setelah Tanam Gambar 10. Perkembangan Perkecambahan Modifikasi Bentuk Kasuran berdasarkan Hari Hujan dan Hari Kering

30 Penghitungan daya tumbuh diakhiri pada 15 HST (Gambar 10). Apabila setelah 15 HST terdapat mata bibit yang belum berkecambah namun kondisi mata bibit masih hijau dan tidak busuk, maka mata dianggap mengalami dormansi. Korelasi antara Kelembaban Kasuran terhadap Vigor Bibit Tebu Pentingnya kelembaban kasuran akan semakin terlihat jika dikorelasikan dengan seluruh peubah pada vigor bibit tebu. Pada Tabel 7 terlihat bahwa setiap peningkatan kelembaban kasuran memiliki peranan yang sangat nyata (p 0.01) dan kuat ( r > 0.500) terhadap penurunan vigor bibit tebu. Peubah yang berkaitan langsung yaitu daya tumbuh, kecepatan tumbuh, dan mata busuk. Tabel 7. Regresi dan Korelasi Kelembaban Kasuran terhadap Vigor Bibit Kelembaban Kasuran Rataan (Periode Hujan 1.7 Hari Sekali) Peubah Korelasi R² Persamaan Garis Regresi Pearson (r) (%) Kecepatan Tumbuh y = - 1.668 x + 20.43 r = - 0.671** 45.2 Daya Tumbuh y = - 20.84 x + 263.5 r = - 0.872** 65.0 Mata Busuk y = 12.25 x - 95.27 r = 0.801** 64.2 Keterangan : R² = koefisien determinasi (%) ** = sangat nyata pada taraf 5 % tn = tidak nyata pada taraf 5 % Kecepatan tumbuh dan daya tumbuh memiliki koefisien korelasi pearson (r) yang bernilai negatif terhadap kelembaban kasuran (Tabel 7). Hal ini menunjukkan semakin tinggi skor kelembaban kasuran, akan menurunkan kecepatan tumbuh dan daya tumbuhnya. Di lain pihak, persentase mata busuk memiliki koefisien korelasi pearson (r) yang bernilai positif terhadap kelembaban kasuran (Tabel 7). Hal ini menunjukkan semakin tinggi skor kelembaban kasuran, akan meningkatkan persentase mata bibit busuk, sehingga kualitas perkecambahan menjadi tidak baik. Nilai R kuadrat menunjukkan sebaran titik-titik pengamatan di sepanjang garis linear dari persamaan regresi. Nilai R kuadrat yang semakin tinggi menunjukkan keterandalan model regresi dalam menjelaskan hubungan korelasi antara peubah satu dengan peubah lainnya. Dengan demikian, kunci keberhasilan dalam penanaman saat musim hujan adalah menurunkan tingkat kelembaban kasuran. Caranya adalah kasuran harus

31 mampu mengatasi kelebihan air di sekitar bibit maupun mata bibit agar perkecambahan tidak terhambat. Hal ini dipenuhi oleh penggunaan kasuran tipe klacen terutama klacen timur. Tahap II. Fase Pertunasan Jumlah daun selalu meningkat dengan menghasilkan 1.03 daun setiap minggu. Satu daun melekat pada satu buku, sehingga satu buku terbentuk setiap minggunya. Pada modifikasi bentuk kasuran, jumlah daun yang lebih banyak cenderung tanaman tebunya lebih tinggi (Tabel 8 dan 9). Terdapat korelasi pearson yang nyata (p 0.05) dan kuat (r > 0.500) antara jumlah daun dengan tinggi tanaman untuk setiap umurnya (Lampiran 8). Akibatnya jumlah daun mendorong pertumbuhan apikal atau ke atas tanaman tebu. Jumlah daun kasuran tipe klacen berbeda sangat nyata daripada kasuran tipe tutup pada 8 MST hingga 14 MST, sehingga tanaman kasuran tipe klacen cenderung lebih tinggi. Waktu Pengamatan Tabel 8. Jumlah Daun pada Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit Klacen Barat Modifikasi Bentuk Kasuran Klacen Timur Tutup Miring Tutup Datar Sistem Pengeceran Bibit Bagal 2 Bagal 3 Mata Mata & Pola & Pola Ecer 22+2 Ecer 20+2 ----- helai ----- 2 MST 1.95 2.20 1.84 1.7 1.88 2.00 4 MST 5.91 5.88 5.63 5.22 5.51 5.81 6 MST 7.86 7.89 7.59 7.16 7.48 7.77 8 MST 9.98 a 9.89 a 9.13 ab 8.94 b 9.43 9.54 10 MST 11.53 ab 11.69 a 11.11 ab 10.94 b 11.33 11.30 12 MST 13.00 ab 13.30 a 12.65 bc 12.45 c 12.92 12.84 14 MST 14.45 ab 14.75 a 14.20 bc 14.00 c 14.53 p 14.17 q Keterangan: Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5 %. MST = Minggu Setelah Tanam. Pada sistem pengeceran bibit, jumlah daun pada awal pertumbuhan tidak berbeda nyata. Setelah 14 MST, jumlah daun berbeda sangat nyata (Tabel 8). Penyebabnya karena daun-daun yang terbentuk di awal pertumbuhan telah mengering, sehingga tidak turut dihitung. Oleh karena itu, bagal tiga mata kombinasi pola ecer 20+2 memicu jumlah daun kering lebih banyak dibandingkan bagal dua mata kombinasi pola ecer 22+2 saat 14 MST.

Selain itu jumlah daun sistem pengeceran bibit pada awal pertumbuhan (2 sampai 12 MST) tidak berbeda nyata, namun tinggi tanamannya berbeda sangat nyata (Tabel 9). Oleh karena itu, perbedaan tinggi tebu sistem pengeceran bibit bukan disebabkan oleh jumlah daunnya, melainkan karena kemampuan membentuk tunas sekunder dan diameter batang sebagai pertumbuhan lateral tanaman tebu. Hal ini diperkuat dari hasil korelasi pearson pada Lampiran 9. Waktu Pengamatan Tabel 9. Tinggi Tanaman pada Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit Klacen Barat Modifikasi Bentuk Kasuran Klacen Timur Tutup Miring Tutup Datar 32 Sistem Pengeceran Bibit Bagal 2 Bagal 3 Mata Mata & Pola & Pola Ecer 22+2 Ecer 20+2 ----- cm ----- 2 MST 32.63 a 35.30 a 29.16 ab 25.49 b 28.98 32.30 4 MST 101.20 a 102.59 a 90.44 ab 82.60 b 88.49 p 99.92 q 6 MST 153.43 a 155.86 a 138.91 ab 130.34 b 131.77 p 157.49 q 8 MST 159.11 ab 160.73 a 153.47 bc 151.93 c 148.41 p 164.21 q 10 MST 193.93 ab 197.14 a 189.93 bc 184.20 c 187.88 p 194.72 q 12 MST 253.00 ab 257.77 a 250.11 ab 243.92 b 254.30 p 248.10 q 14 MST 281.83 ab 290.26 a 277.77 bc 272.03 c 287.53 p 273.63 q Keterangan: Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5 %. MST = Minggu Setelah Tanam. Tunas sekunder memiliki korelasi terhadap tinggi tanaman sejak 4 MST sampai 10 MST (Lampiran 9), artinya inisiasi tunas sekunder pada tanaman tebu di mulai sejak 4-10 MST. Sifat korelasinya negatif artinya semakin banyak tunas sekunder yang dibentuk oleh setiap tunas primer, maka tanaman tebunya cenderung pendek (Tabel 9). Sebaliknya semakin sedikit tunas sekunder yang terbentuk oleh setiap tunas primer (Tabel 10), maka tanamanya cenderung tinggi. Dengan demikian, perlakuan bagal dua mata kombinasi pola ecer 22+2 pertumbuhan lateralnya lebih kuat daripada pertumbuhan apikalnya sampai umur 4-10 MST. Perlakuan bagal tiga mata kombinasi pola ecer 20+2 pertumbuhan apikalnya lebih kuat daripada pertumbuhan lateralnya sampai umur 4-10 MST. Laju pertambahan tinggi tanaman perlakuan bagal dua mata kombinasi pola ecer 22+2 setelah 10 MST menjadi lebih pesat daripada perlakuan bagal tiga mata kombinasi pola ecer 20+2 (Tabel 9). Penyebabnya setelah 10 sampai 14 MST,

inisiasi tunas sekunder dari setiap batang primer mulai berhenti (Lampiran 9) dan pertumbuhan apikal tanaman mulai pulih. Tabel 10. Kemampuan Bertunas dan Diameter Batang 16 MST pada Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit Perlakuan Tunas Sekunder (anakan/tunas primer) Diameter Batang (cm) Modifikasi Bentuk Kasuran Klacen Barat 2.43 2.27 Klacen Timur 2.36 2.28 Tutup Miring 2.38 2.24 Tutup Datar 2.73 2.01 Sistem Pengeceran Bibit Bagal 2 Mata & Pola 22+2 2.91 p 2.30 p Bagal 3 Mata & Pola 20+2 2.04 q 2.13 q Keterangan: Nilai dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5 %. 33 Tabel 11. Total Batang per Juringan 16 MST dan 24 MST pada Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit Total Batang Perlakuan (batang/ juringan) 16 MST 24 MST Modifikasi Bentuk Kasuran Klacen Barat 177.67 86.33 Klacen Timur 177.16 86.17 Tutup Miring 165.00 89.50 Tutup Datar 159.83 78.33 Sistem Pengeceran Bibit Bagal 2 Mata & Pola 22+2 165.67 81.50 Bagal 3 Mata & Pola 20+2 174.17 88.67 Keterangan: Peubah total batang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji BNJ 5 %. MST = Minggu Setelah Tanam. Modifikasi bentuk kasuran pada Tabel 10 jumlah tunas sekundernya atau anakan yang dibentuk tidak berbeda nyata satu sama lain sehingga total batang dalam satu juringannya pun tidak berbeda nyata pada Tabel 11. Pada sistem pengeceran bibit jumlah tunas sekunder yang dibentuk berbeda sangat nyata, namun karena populasi tunas primernya berbeda mengakibatkan total batang yang dihasilkan dalam satu juringan saat 16 dan 24 MST tidak berbeda nyata. Diperlihatkan juga bahwa terdapat penurunan total batang dari 16-24 MST sebanyak 48.6 % sampai 54.2 %. Berkurangnya total batang karena adanya kematian dari tunas sekunder (anakan) yang terbentuk paling akhir.