BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI. 1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah badan usaha yang memiliki izin dari menteri

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri Farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI. 1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah badan usaha yang memiliki izin dari menteri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Jadi dan Industri Bahan Baku Obat. Definisi dari obat jadi yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi adalah badan usaha yang

BAB II TINJAUAN UMUM. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (CPOB). Hal ini didasarkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri obat jadi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri obat jadi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Jadi dan Industri Bahan Baku Obat. Definisi dari obat jadi yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi adalah industri obat jadi dan industri bahan baku obat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri obat jadi dan

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. Lembaga Farmasi Direktorat Kesehatan Angkatan Darat (Lafi Ditkesad)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi menurut SK Menkes No. 245/Menkes/SK/V/1990 adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. (BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi menurut SK Menkes No. 245/Menkes/SK/V/1990

Produksi di Industri Farmasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Tujuan Tujuan Qualiy Assurance adalah untuk memastikan bahwa obat dihasilkan dengan mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya.

CPOB. (Cara Pembuatan Obat yang Baik)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 adalah industri obat jadi dan industri

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 965/MENKES/SK/XI/1992 TENTANG

Industri farmasi menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 245/Menkes/V/1990 adalah industri obat jadi dan industri bahan baku obat.

BAB II TINJAUAN UMUM. Industri farmasi menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. Belanda, pada tahun 1958 pemerintah melebur sejumlah perusahaan farmasi

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG INDUSTRI FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNIVERSITAS INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA

Viddy A R. II Selasa, 5 September 2017

Quality Control (QC) dan Quality Assurance (QA) Mata Kuliah : Rancangan Produk Industri (2 SKS) Dosen : Kuni Zu aimah B.,S.Farm., M.Farm., Apt.

PEDOMAN CARA PEMBUATAN OBAT YANG BAIK

BAB II TINJAUAN UMUM PT. COMBIPHAR. bawah pengelolaan Drs. Handoko Prayogo, Apt. Berawal dari industri rumah

2 Presiden Nomor 55 Tahun 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 125); 3. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri

KATA PENGANTAR QUALITY CONTROL

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan kebutuhan terpenting bagi manusia sehingga

UNIVERSITAS INDONESIA DI PT. MOLEX AYUS JL. RAYA SERANG KM 11,5 CIKUPA TANGERANG PERIODE 16 JANUARI - 27 JANUARI 2012

MODUL MATERI UJIAN PERPINDAHAN JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS FARMASI DAN MAKANAN TERAMPIL KE AHLI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) BADAN POM RI

Oleh : Bambang Priyambodo

Tugas Individu Farmasi Industri. Uraian Tugas Kepala Bagian Produksi, Pengawasan Mutu dan Pemastian Mutu

2. KETENTUAN UMUM Obat tradisional Bahan awal Bahan baku Simplisia

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT. COMBIPHAR JL. RAYA SIMPANG NO. 383 PADALARANG PERIODE MARET 2012

BAB 1 MANAJEMEN MUTU

Aspek-aspek CPOB. Manajemen Mutu Personalia Bangunan dan Fasilitas Peralatan Sanitasi dan Higiene Produksi

PERSYARATAN TEKNIS CARA PEMBUATAN OBAT TRADISIONAL YANG BAIK BAB 1

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,

BAB II TINJAUAN UMUM PT. COMBIPHAR. PT. Combiphar didirikan pada tahun 1971 di Jl. Sukabumi no. 61,

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

No Kode DAR2/Profesional/582/010/2018 PENDALAMAN MATERI FARMASI MODUL 010: CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK. Dr. NURKHASANAH, M.Si., Apt.

(BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus Sejak berdirinya hingga sekarang ini PT. Kimia Farma (Persero) Tbk.

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT TAISHO PHARMACEUTICAL INDONESIA TBK. JL. RAYA BOGOR KM 38, DEPOK PERIODE 1 FEBRUARI 28 MARET 2013

Tugas dan tanggungjawab Quality Assurance (QA) / Jaminan Mutu

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Industri Farmasi. Perizinan. Penyelenggaraan.

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR:. TENTANG PEDOMAN PENERAPAN CARA PEMBUATAN KOSMETIKA YANG BAIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gudang merupakan sarana pendukung kegiatan produksi industri farmasi

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. (BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus 1971.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI FARMASI INDUSTRI LEMBAGA FARMASI DIREKTORAT KESEHATAN ANGKATAN DARAT BANDUNG

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA NOMOR KEP 11/KEP-DJPB/2015 TENTANG

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT. SOLAS LANGGENG SEJAHTERA BANDUNG

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1189/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG PRODUKSI ALAT KESEHATAN DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA

UNIVERSITAS INDONESIA

Perencanaan. Pengadaan. Penggunaan. Dukungan Manajemen

(BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus Sejak berdirinya hingga sekarang ini PT. Kimia Farma (Persero) Tbk telah

UNIVERSITAS INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II PT. KIMIA FARMA. (BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

UNIVERSITAS INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA

- 1 - PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT TAISHO PHARMACEUTICAL INDONESIA TBK. JL. RAYA BOGOR KM 38, DEPOK

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Kosmetika. Izin Produksi.

DOKUMENTASI

Lampiran 1 KUESIONER PENELITIAN (Berdasarkan PP 50 Tahun 2012) Nama : Alamat : Jabatan : Lama Bekerja : NO Isi pertanyaan Kel.

Penggunaan terbesar herbal. Fitofarmaka. supplement. kosmetik

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI. 2.1 Tinjauan Lembaga Farmasi Angkatan Udara (LAFIAU) Sejarah dan Perkembangan Lembaga Farmasi Angkatan Udara

PEDOMAN TEKNIS CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK

1 dari1717 I. PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

MODUL MATERI UJIAN PERPINDAHAN JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS FARMASI DAN MAKANAN TERAMPIL KE AHLI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) BADAN POM RI

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1175/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG IZIN PRODUKSI KOSMETIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. (BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus 1971.

2016, No Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1 Pengertian Industri Farmasi Industri Farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah badan usaha yang memiliki izin dari menteri kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Industri Farmasi harus membuat obat sesuai aturan CPOB agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan konsumen, baik karena ketidakamanan, ketidakefektifan, maupun mutu obat yang substandar (Menkes RI, 2010). 2.1.2 Persyaratan Industri Farmasi Proses pembuatan obat dan/atau bahan obat hanya dapat dilakukan oleh Industri Farmasi. Setiap pendirian Industri Farmasi wajib memperoleh Izin Industri Farmasi dari Direktur Jenderal. Direktur Jenderal yang dimaksud adalah Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang bertugas dan bertanggung jawab dalam pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan (Menkes RI, 2010). Persyaratan untuk memperoleh Izin Industri Farmasi tercantum dalam Permenkes RI Nomor1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah sebagai berikut: 1. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas. 2. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat. 3. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. 4

4. Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang Apoteker Warga Negara Indonesia masing-masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu. 5. Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung ataupun tidak langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian (Menkes RI, 2010). 2.1.3 Izin Usaha Industri Farmasi Berdasarkan Permenkes RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010, untuk memperoleh Izin Usaha Industri Farmasi diperlukan persetujuan prinsip. Tata cara permohonan persetujuan prinsip Industri Farmasi sebagai berikut: a. Permohonan persetujuan prinsip diajukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan provinsi. b. Sebelum pengajuan permohonan persetujuan prinsip, pemohon wajib mengajukan permohonan persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) kepada Kepala Badan. c. Persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) diberikan oleh Kepala Badan dalam bentuk rekomendasi hasil analisis Rencana Induk Pembangunan (RIP) paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima. d. Permohonan persetujuan prinsip diajukan dengan kelengkapannya. e. Persetujuan prinsip diberikan oleh Direktur Jenderal paling lama dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima atau menolaknya. f. Pemohon izin industri farmasi dengan status Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Negeri yang telah mendapatkan Surat Persetujuan 5

Penanaman Modal dari instansi yang menyelenggarakan urusan penanaman modal, wajib mengajukan permohonan persetujuan prinsip sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini (Ditjen Binfar dan Alkes RI, 2011). Gambar 2.1 Tata cara pemberian persetujuan prinsip (Ditjen Binfar dan Alkes RI, 2011). Setelah memperoleh persetujuan prinsip, Industri Farmasi dapat mengurus Izin Industri Farmasi dengan tata cara sebagai berikut: a. Pemohon yang telah selesai melaksanakan tahap persetujuan prinsip dapat mengajukan permohonan izin industri farmasi. b. Surat permohonan izin industri farmasi harus ditandatangani oleh Direktur Utama dan Apoteker penanggung jawab pemastian mutu diajukan ke Kementerian Kesehatan beserta kelengkapannya. c. Permohonan izin industri diajukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat. d. Paling lama dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya tembusan permohonan, Kepala Badan melakukan audit pemenuhan persyaratan CPOB. 6

e. Paling lama dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya tembusan permohonan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi melakukan verifikasi kelengkapan persyaratan administratif. f. Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak dinyatakan memenuhi persyaratan CPOB, Kepala Badan mengeluarkan rekomendasi pemenuhan persyaratan CPOB kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan pemohon. g. Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari sejak dinyatakan memenuhi kelengkapan persyaratan administratif, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi mengeluarkan rekomendasi pemenuhan persyaratan administratif kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan pemohon. h. Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima rekomendasi serta persyaratan lainnya, Direktur Jenderal menerbitkan izin industri farmasi (Ditjen Binfar dan Alkes RI, 2011). Gambar 2.2 Tata cara pemberian izin usaha industri farmasi (Ditjen Binfar dan Alkes RI, 2011). 7

2.1.4 Pembinaan dan Pengawasan Industri Farmasi Pembinaan terhadap pengembangan Industri Farmasi dilakukan oleh Direktur Jenderal, sedangkan pengawasan dilakukan oleh Kepala Badan. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Permenkes RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 dapat dikenakan sanksi administratif berupa: 1. Peringatan secara tertulis. 2. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan atau mutu. 3. Perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan atau mutu. 4. Penghentian sementara kegiatan. 5. Pembekuan Izin Industri Farmasi. 6. Pencabutan Izin Industri Farmasi. 2.1.5 Pencabutan Izin Usaha Industri Farmasi a. Persetujuan Prinsip Persetujuan prinsip batal apabila setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun dan/atau setelah jangka waktu 1 (satu) tahun perpanjangan, pemohon belum menyelesaikan pembangunan fisik (Ditjen Binfar dan Alkes RI, 2011). b. Izin Industri Farmasi Izin produksi industri farmasi dapat dicabut apabila melanggar ketentuan peraturan perundangan yang berlaku (Ditjen Binfar dan Alkes RI, 2011). 8

2.2 Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) Cara Pembuatan Obat yang Baik adalah pedoman pembuatan obat bagi industri farmasi di Indonesia yang bertujuan untuk memastikan agar sifat dan mutu obat yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah ditentukan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya (Badan POM RI, 2012). Berikut adalah aspek-aspek yang diatur dalam CPOB 2012: 2.2.1 Manajemen Mutu Unsur dasar manajemen mutu adalah sistem mutu dan pemastian mutu. Sistem mutu mencakup struktur organisasi, prosedur, proses, dan sumber daya. Pemastian mutu (QA) adalah totalitas semua pengaturan yang dibuat dengan tujuan untuk memastikan bahwa obat yang dihasilkan dengan mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Sedangkan pengawasan mutu (QC) adalah bagian dari CPOB yang berhubungan dengan pengambilan sampel, spesifikasi, pengujian serta organisasi, dokumentasi dan prosedur pelulusan (Badan POM RI, 2012). Konsep dasar Pemastian Mutu, Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko Mutu adalah aspek manajemen mutu yang saling terkait (Badan POM RI, 2012). Pemastian mutu mencakup Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) ditambah dengan faktor lain di luar pedoman ini seperti desain dan pengembangan produk. Sistem pemastian mutu yang benar dan tepat bagi industri farmasi hendaklah memastikan bahwa: - Desain dan pengembangan obat dilakukan dengan memperhatikan persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan semua langkah produksi dan pengawasan diuraikan secara jelas. 9

- Tanggung jawab manajerial diuraikan dengan jelas dalam uraian jabatan. - Pengaturan disiapkan untuk pembuatan pasokan dan penggunaan bahan awal dan pengemas yang benar. - Semua pengawasan terhadap produk antara dan pengawasan selama - proses (In Process Control/IPC) lain memenuhi persyaratan yang ditetapkan. - Pengkajian terhadap semua dokumen yang terkait dengan proses pengemasan dan pengujian Bets (Batch) dilakukan sebelum memberikan pengesahan pelulusan untuk distribusi.penilaian hendaklah meliputi semua faktor yang relevan termasuk kondisi pembuatan, hasil dan Pengawasan Selama Proses (In Process Control/IPC), pengkajian dokumen produksi termasuk pengemasan, pengkajian penyimpangan dari prosedur yang telah ditetapkan, pemenuhan persyaratan dari spesifikasi produk jadi dan pemeriksaan produk dalam kemasan akhir. - Obat tidak dijual atau dipasok sebelum Kepala Bagian Manajemen Mutu (pemastian mutu) menyatakan bahwa tiap bets (Batch) produksi dibuat dan dikendalikan sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam izin edar dan peraturan lain yang berkaitan dengan aspek produksi, pengawasan mutu dan pelulusan produk. - Tersedia pengaturan yang memadai untuk memastikan bahwa sedapat mungkin produk disimpan, didistribusikan dan selanjutnya ditangani sedemikian rupa agar mutu tetap dijaga selama masa edar atau masa simpan obat. - Tersedia prosedur inspeksi diri dan audit mutu yang secara berkala mengevaluasi efektivitas dan penerapan sistem pemastian mutu. 10

- Pemasok bahan awal dan bahan pengemas dievaluasi dan disetujui untuk memenuhi spesifikasi mutu yang telah ditentukan oleh perusahaan. - Penyimpangan dilaporkan, diselidiki dan dicatat. - Tersedia sistem persetujuan terhadap perubahan yang berdampak pada mutu produk. - Prosedur pengolahan ulang dievaluasi dan disetujui. - Evaluasi mutu produk berkala dilakukan untuk verifikasi konsistensi proses dan memastikan perbaikan proses yang berkesinambungan (Badan POM RI, 2012). Manajemen resiko mutu adalah suatu proses sistematis untuk melakukan penilaian, pengendalian dan pengkajian resiko terhadap mutu suatu produk. Manajemen risiko mutu hendaklah memastikan bahwa: - Evaluasi risiko terhadap mutu dilakukan berdasarkan pengetahuan secara ilmiah, pengalaman dengan proses dan pada akhirnya terkait pada perlindungan pasien. - Tingkat usaha, formalitas dan dokumentasi dari proses manajemen risiko mutu sepadan dengan tingkat risiko (Badan POM RI, 2012). 2.2.2 Personalia Suatu industri farmasi bertanggung jawab menyediakan personil yang sehat, terkualifikasi dan dalam jumlah yang memadai agar proses produksi dapat berjalan dengan baik. Semua personil harus memahami prinsip CPOB agar produk yang dihasilkan bermutu (Badan POM RI, 2012). Kesehatan personil hendaklah dilakukan pada saat perekrutan, sehingga dapat dipastikan bahwa semua calon karyawan (mulai dari petugas kebersihan, 11

pemasangan dan perawatan peralatan, personil produksi dan pengawasan hingga personil tingkat manajerial) memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik sehingga akan berdampak pada mutu produk yang dibuat. Disamping itu hendaklah dibuat dan dilaksanakan program pemeriksaan kesehatan berkala yang mencakup pemeriksaan jenis-jenis penyakit yang dapat berdampak pada mutu dan kemurnian produk akhir. Untuk masing-masing karyawan hendaklah ada catatan tentang kesehatan mental dan fisiknya (Badan POM RI, 2012). Dalam kualifikasi dan pengalaman personil yang diperlukan untuk tiap posisi hendaklah ditetapkan secara tertulis yang disimpan oleh bagian SDM, juga dapat ditampilkan pada uraian tugas masing-masing (Badan POM RI, 2012). Jumlah personil yang memadai sangat mempengaruhi proses produksi. Kekurangan jumlah personil cenderung mempengaruhi kualitas obat karena jumlah karyawan yang sedikit biasanya mengakibatkan kerja lembur sehingga dapat menimbulkan kelelahan fisik dan mental baik bagi operator ataupun supervisor yang melakukan evaluasi atau mengambil keputusan (Badan POM RI, 2012). Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 pasal 9, Industri Farmasi minimal harus memiliki 3 (tiga) orang Apoteker sebagai penanggungjawab masing-masing pada bidang Pemastian Mutu, Produksi dan Pengawasan Mutu setiap produksi sediaan farmasi. 2.2.3 Bangunan dan Fasilitas Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain, kontruksi, letak yang memadai dan kondisi yang sesuai serta perawatan yang dilakukan dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata 12

letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil terjadinya resiko kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain serta memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk menghindari pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran dan dampak lain yang dapat menurunkan mutu obat (Badan POM RI, 2012). Tingkat kebersihan ruang/area untuk pembuatan obat hendaklah diklasifikasikan sesuai dengan jumlah maksimum partikulat udara yang diperbolehkan untuk tiap kelas kebersihan sesuai tabel di bawah ini: Keterangan: Kelas A, B, C dan D adalah kelas kebersihan ruang untuk pembuatan produk steril. Kelas E adalah kelas kebersihan ruang untuk pembuatan produk non steril (Badan POM RI, 2012). Ruangan produksi hendaklah dilengkapi dengan sistem ventilasi dengan pengontrol udara yang sesuai bagi produk dan aktifitas yang dilakukan, baik terhadap ruangan lain maupun terhadap udara luar (Badan POM RI, 2013). Rancang bangunan hendaklah dibuat sehingga untuk kegiatan yang berhubungan langsung dengan daerah luar sarananya dikelompokkan. Kegiatan yang berhubungan langsung dengan daerah luar antara lain: - Penerimaan bahan awal. 13

- Keluar masuk karyawan. - Pemakaian seragam kerja. - Toilet, tempat cuci tangan. - Penyerahan produk jadi untuk distribusi. Rancangan diatas perlu ditekankan agar tidak berdampak negatif terhadap kegiatan produksi yang dilakukan di area dengan kelas kebersihan lebih tinggi (Badan POM RI, 2013). Tata letak ruang hendaklah dikaji sejak tahap perencanaan kontruksi bangunan demi keefektifan semua kegiatan, kelancaran arus kerja, komunikasi, dan pengawasan serta untuk menghindari ketidakteraturan (Badan POM RI, 2013). Tata letak ruang dalam area produksi yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut: - Untuk memperkecil risiko bahaya medis yang serius akibat terjadi pencemaran silang, suatu sarana khusus dan self-contained harus disediakan untuk produksi obat tertentu. - Luas area kerja produksi minimal 2 kali luas yang diperlukan untuk penempatan peralatan (termasuk wadah yang diperlukan untuk suatu kegiatan) ditambah luas area untuk keperluan pembersihan dan perawatan mesin oleh operator produksi atau teknisi. - Permukaan lantai, dinding, langit-langit dan pintu hendaklah: Kedap air. Tidak terdapat sambungan untuk mengurangi pelepasan atau pengumpulan partikel. 14

Mudah dibersihkan, serta tahan terhadap proses pembersihan, bahan pembersih dan disinfektan yang digunakan berulangkali dengan memperhatikan faktor kepadatan, porositas, tekstur dan sifat elektrostatis (Badan POM RI, 2013). 2.2.4 Peralatan Peralatan yang digunakan dalam pembuatan obat hendaklah memiliki rancang bangun dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadaidan ditempatkan dengan tepat sehingga mutu dari setiap produk obat terjamin secara seragam dari bets ke bets, serta untuk memudahkan pembersihan dan perawatannya (Badan POM RI, 2012). Rancangan bangunan dan kontruksi peralatan hendaklah memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Permukaan peralatan yang bersentuhan dengan bahan baku, produk antara, produk jadi tidak boleh bereaksi, mengadisi atau mengasorbsi yang dapat mengubah identitas, mutu atau kemurniannya di luar batas yang ditentukan. 2. Peralatan tidak boleh menimbulkan akibat yang merugikan terhadap produk. 3. Bahan-bahan yang diperlukan untuk suatu tujuan khusus, seperti pelumas atau pendingin tidak boleh bersentuhan langsung dengan bahan yang diolah. 4. Peralatan hendaknya dapat dibersihkan dengan mudah, baik bagian dalam maupun bagian luar. 5. Peralatan yang digunakan untuk menimbang, mengukur, menguji dan mencatat hendaklah diperiksa ketelitiannya secara teratur serta dikalibrasi menurut suatu program dan prosedur yang tepat. 6. Peralatan hendaknya dirawat sesuai jadwal yang tepat. 15

7. Alat-alat harus dikalibrasi dan divalidasi untuk menjamin kelancaran kerja. 8. Daerah yang digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan yang mudah terbakar hendaklah dilengkapi dengan perlengkapan elektris yang kedap eksplosi serta dibumikan dengan sempurna (Badan POM RI, 2012). 2.2.5 Sanitasi dan Higiene Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada setiap aspek pembuatan obat. Ruang lingkup meliputi personalia, bangunan, peralatan dan kelengkapan, bahan produksi serta wadahnya, dan setiap hal yang dapat merupakan sumber pencemaran produk. Sumber pencemaran hendaklah dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan higiene yang menyeluruh serta terpadu (Badan POM RI, 2012). Sanitasi dan higiene yang diatur dalam pedoman CPOB 2012 adalah terhadap personalia, bangunan dan peralatan. Prosedur pembersihan, sanitasi dan higiene hendaklah divalidasi serta dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitas prosedur dan selalu memenuhi persyaratan (Badan POM RI, 2012). 2.2.6 Produksi Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar (Badan POM RI, 2012). Produksi baiknya dilakukan dan diawasi oleh personil yang kompeten, mutu suatu obat tidak hanya ditentukan oleh hasil analisa terhadap produk akhir, melainkan juga oleh mutu yang dibangun selama tahapan proses produksi sejak 16

pemilihan bahan awal, penimbangan, proses produksi, personalia, bangunan, peralatan, kebersihan dan higiene sampai dengan pengemasan. Prinsip utama produksi adalah: a. Adanya keseragaman atau homogenitas dari bets ke bets. b. Proses produksi dan pengemasan senantiasa menghasilkan produk yang seidentik mungkin (dalam batas syarat mutu) baik bagi bets yang sudah diproduksi maupun yang akan diproduksi. Hakikat produksi adalah: a. Mutu produk obat tidak ditentukan oleh hasil akhir analisa saja tetapi ditentukan oleh keseluruhan proses produksi (built in process). b. Adanya prosedur baku (standar) untuk setiap langkah (tahapan) proses produksi dengan persyaratan yang harus diikuti dengan konsisten (Badan POM RI, 2012). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam produksi antara lain: a. Pembelian Bahan Awal Pembelian bahan awal hendaklah hanya dari pemasok yang telah disetujui dan memenuhi spesifikasi yang relevan. Semua penerimaan, pengeluaran dan jumlah bahan tersisa hendaklah dicatat. Catatan hendaklah berisi keterangan mengenai pasokan, nomor bets/lot, tanggal penerimaan, tanggal pelulusan, dan tanggal daluarsa (Badan POM RI,2012). b. Pencegahan Pencemaran Silang Tiap tahap proses, produk dan bahan hendaklah dilindungi terhadap pencemaran mikroba dan pencemaran lain. Resiko pencemaran silang ini dapat timbul akibat tidak terkendalinya debu, uap, percikan atau organisme dari bahan 17

atau produk yang sedang diproses, dari sisa yang tertinggal pada alat dan pakaian kerja operator. Tingkat resiko pencemaran ini tergantung dari jenis pencemaran dan produk yang tercemar. Pencemaran silang hendaklah dihindari dengan tindakan teknis atau pengaturan yang tepat, antara lain: - Produksi di dalam gedung yang terpisah (diperlukan untuk produk seperti penisilin, hormon, sitotoksik dan produk biologi). - Tersedia ruang penyangga udara dan penghisap udara. - Memakai pakaian pelindung yang sesuai di area dimana produk yang beresiko tinggi terhadap pencemaran silang diproses. - Melaksanakan prosedur pembersihan dan dekontaminasi yang terbukti efektif (Badan POM RI, 2012). c. Penimbangan dan Penyerahan Penimbangan dan penyerahan bahan awal, bahan pengemas, produk antara dan produk ruahan dianggap sebagai bagian dari siklus produksi dan memerlukan dokumentasi yang lengkap. Hanya bahan awal, bahan pengemas, produk antara dan produk ruahan yang telah diluluskan oleh pengawasan mutu dan masih belum daluarsa yang boleh diserahkan (Badan POM RI,2012). d. Pengembalian Semua bahan awal dan bahan pengemas yang dikembalikan ke gudang penyimpanan hendaklah didokumentasikan dengan benar (Badan POM RI,2012). e. Pengolahan produk antara dan produk ruahan Semua bahan yang dipakai di dalam pengolahan hendaklah diperiksa sebelum dipakai. Semua kegiatan pengolahan hendaklah dilaksanakan mengikuti 18

prosedur yang tertulis. Tiap penyimpangan hendaklah dilaporkan. Semua produk antara dan ruahan diberi label (Badan POM RI,2012). f. Kegiatan Pengemasan Kegiatan pengemasan berfungsi mengemas produk ruahan menjadi produk jadi. Pengemasan hendaklah dilaksanakan di bawah pengendalian yang ketat untuk menjaga identitas, keutuhan dan mutu produk akhir yang dikemas.semua kegiatan pengemasan hendaklah dilaksanakan sesuai dengan instruksi yang diberikan danmenggunakan bahan pengemasan yang tercantum dalam prosedur pengemasan induk. Rincian pelaksanaan hendaklah dicatat dalam catatan pengemasan bets (Badan POM RI, 2012). g. Pengawasan Selama Proses Pengawasan selama proses hendaklah mencakup: - Semua parameter produk, volume atau jumlah isi produk diperiksa pada saat awal dan selama proses pengolahan atau pengemasan. - Kemasan akhir diperiksa selama proses pengemasan dengan selang waktu yang teratur untuk memastikan kesesuaiannya dengan spesifikasi dan memastikan semua komponen sesuai dengan yang ditetapkan dalam prosedur pengemasan induk (Badan POM RI, 2012). h. Karantina Produk Jadi Karantina produk jadi merupakan tahap akhir pengendalian sebelum penyerahan ke gudang dan siap untuk didistribusikan.pengawasan yang ketat hendaklah dilaksanakan untuk memastikan produk dan catatan pengolahan bets memenuhi spesifikasi yang ditentukan (Badan POM RI, 2012). 19

2.2.7 Pengawasan Mutu Pengawasan Mutu merupakan bagian yang esensial dari CPOB untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan komitmen semua pihak yang berkepentingan pada semua tahap merupakan keharusan untuk mencapai sasaran mutu mulai dari awal pembuatan sampai kepada distribusi produk jadi. Pengawasan mutu tidak terbatas pada kegiatan laboratorium, tapi juga harus terlibat dalam semua keputusan yang terkait dengan mutu produk (Badan POM RI, 2012). Bagian Pengawasan Mutu secara keseluruhan mempunyai tanggung jawab, antara lain adalah: - Membuat, memvalidasi dan menerapkan semua prosedur pengawasan mutu, - Menyimpan sampel pembanding dari bahan dan produk, - Memastikan pelabelan yang benar pada wadah bahan dan produk, - Memastikan pelaksanaan pemantauan stabilitas dari produk, - Ikut serta pada investigasi dari keluhan yang terkait dengan mutu produk (Badan POM RI, 2012). Personil, bangunan dan fasilitas serta peralatan laboratorium hendaklah sesuai untuk jenis tugas yang ditentukan dan skala kegiatan pembuatan obat. Kegiatan bagian Pengawasan Mutu yang dipersyaratkan dalam CPOB adalah sebagai berikut: a. Penanganan baku pembanding. b. Penyusunan spesifikasi dan prosedur pengujian. c. Penanganan contoh pertinggal. 20

d. Validasi. e. Pengawasan terhadap bahan awal, produk antara, produk ruahan, dan obat jadi meliputi spesifikasi, pengambilan contoh, pengujian untuk bahan-bahan tersebut serta in process control. f. Pengujian ulang bahan yang diluluskan. g. Pengujian stabilitas. h. Penanganan terhadap keluhan produk dan produk kembalian. Bagian Pengawasan Mutu memiliki wewenang khusus untuk memberikan keputusan akhir meluluskan atau menolak atas mutu bahan baku, produk obat ataupun hal lain yang mempengaruhi mutu obat (Badan POM RI, 2012). Dokumentasi dan prosedur pelulusan yang diterapkan bagian Pengawasan Mutu hendaklah menjamin bahwa pengujian yang diperlukan telah dilakukan sebelum bahan digunakan dalam produksi dan produk disetujui sebelum didistribusikan (Badan POM RI, 2012). 2.2.8 Inspeksi Diri, Audit Mutu dan Audit & Persetujuan Pemasok Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB (Badan POM RI,2012). Aspek-aspek dalam inspeksi diri antara lain: - Personalia - Bangunan termasuk fasilitas untuk personil - Perawatan bangunan dan peralatan - Penyimpanan bahan awal, bahan pengemas dan obat jadi 21

- Peralatan - Pengolahan dan pengawasan selama proses - Pengawasan mutu - Dokumentasi - Sanitasi dan higiene - Program validasi dan re-validasi - Kalibrasi alat dan sistem pengukuran - Penanganan keluhan - Pengawasan label - Hasil inspeksi sebelumnya dan tindakan perbaikan Inspeksi diri hendaklah dilakukan oleh tim yang anggotanya ditunjuk secara tertulis atau ditetapkan dalam system inspeksi diri. Anggota tim inspeksi diri hendaklah mempunyai pengetahuan tentang CPOB dan penerapannya, terkualifikasi dan mempunyai pengalaman yang memadai dalam melakukan inspeksi diri (Badan POM RI,2013). Penyelenggaraan audit mutu berguna sebagai pelengkap inspeksi diri. Audit mutu meliputi pemeriksaan dan penilaian semua atau sebagian dari sistem manajemen mutu dengan tujuan spesifik. Audit mutu umumnya dilaksanakan oleh spesialis dari luar atau independen atau suatu tim yang dibentuk khusus untuk hal ini oleh manajemen perusahaan. Audit mutu juga dapat diperluas terhadap pemasok dan penerima kontrak (Badan POM RI, 2012). Daftar pemasok yang disetujui hendaknya dibuat untuk bahan awal dan bahan pengemas. Daftar pemasok harus disiapkan dan ditinjau ulang. Hendaklah dilakukan evaluasi sebelum pemasok disetujui dan dimasukkan ke dalam daftar 22

pemasok atau spesifikasi. Evaluasi hendaklah mempertimbangkan riwayat pemasok dan sifat bahan yang dipasok. Semua pemasok yang telah ditetapkan hendaklah dievaluasi secara teratur (Badan POM RI, 2012). 2.2.9 Penanganan Keluhan Terhadap Produk dan Penarikan Kembali Produk Keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi kerusakan obat harus dikaji dengan teliti sesuai dengan prosedur tertulis. Untuk menangani semua kasus yang mendesak, hendaklah disusun suatu sistem, bila perlu mencakup penarikan kembali produk yang diketahui atau diduga cacat dari peredaran secara cepat dan efektif (Badan POM RI, 2012). Keluhan dapat ditangani dengan: - Menunjuk personil yang bertanggung jawab untuk menangani keluhan dan memutuskan tindakan yang hendak dilakukan bersama staf yang memadai untuk membantunya. - Tersedia prosedur tertulis yang merinci penyelidikan, evaluasi, tindak lanjut yang sesuai, termasuk pertimbangan untukpenarikan kembali produk, dalam menanggapi keluhan terhadap obat yang diduga cacat. - Memberikan perhatian khusus untuk menetapkan apakah keluhan disebabkan oleh pemalsuan. - Mencatat tiap keluhan yang menyangkut kerusakan produk yang mencakup rincian mengenai asal-usul keluhan dan diselidiki secara menyeluruh dan mendalam. 23

Pelaksanaan Penarikan Kembali Produk: - Tindakan penarikan kembali produk hendaklah dilakukan segera setelah diketahui ada produk yang cacat mutu atau diterima laporan mengenai reaksi yang merugikan. - Pemakaian produk yang berisiko tinggi terhadap kesehatan, hendaklah dihentikan dengan cara embargo yang dilanjutkan dengan penarikan kembali dengan segera. - Sistem dokumentasi penarikan kembali produk di industri farmasi, hendaklah menjamin bahwa embargo dan penarikan kembali dilaksanakan secara cepat, efektif dan tuntas. - Pedoman dan prosedur penarikan kembali terhadap produk hendaklah dibuat untuk memungkinkan embargo dan penarikan kembali dapat dilakukan dengan cepat dan efektif dari seluruh mata rantai distribusi. Produk yang ditarik kembali diberi identifikasi dan disimpan terpisah di area yang aman sementara menunggu keputusan terhadap produk tersebut. Efektivitas penyelenggaraan penarikan kembali hendaklah dievaluasi dari waktu ke waktu (Badan POM RI, 2012). 2.2.10 Dokumentasi Dokumentasi pembuatan obat merupakan bagian dari sistem informasi manajemen dan dokumentasi yang baik merupakan bagian yang sangat penting dari pemastian mutu. Sistem dokumentasi yang dirancang/digunakan hendaklah mengutamakan tujuannya, yaitu menentukan, memantau dan mencatat seluruh aspek produksi serta pengendalian dan pengawasan mutu. Dokumentasi sangat penting untuk memastikan bahwa tiap personil menerima uraian tugas secara jelas 24

dan rinci sehingga memperkecil resiko terjadinya kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan. Dokumentasi meliputi: - Spesifikasi Spesifikasi menguraikan secara rinci persyaratan yang harus dipenuhi produk atau bahan yang digunakan atau diperoleh selama pembuatan. Dokumen ini merupakan dasar untuk mengevaluasi mutu. Spesifikasi meliputi spesifikasi bahan awal, spesifikasi bahan pengemas, spesifikasi produk antara dan produk ruahan dan spesifikasi produk jadi. - Dokumen Produksi Dokumen produksi meliputi dokumen produksi induk, prosedur pengolahan induk, dan prosedur pengemasan induk (formula pembuatan, instruksi pengolahan, dan instruksi pengemasan) yang menyatakan seluruh bahan awal dan bahan pengemas yang digunakan serta menguraikan semua operasi pengolahan dan pengemasan. - Prosedur Prosedur berisi cara untuk melaksanakan operasi tertentu, misalnya pembersihan, berpakaian, pengendalian lingkungan, pengambilan sampel, pengujian dan pengoperasian peralatan. - Laporan dan Catatan Catatan menyajikan riwayat tiap bets produk, termasuk distribusi dan semua catatan yang berpengaruh pada mutu produk akhir (Badan POM RI, 2012). 2.2.11 Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak Kontrak hendaklah dibuat antara pemberi kontrak dan penerima kontrak dengan menetapkan tanggung jawab masing-masing pihak yang berhubungan 25

dengan produksi dan pengendalian mutu produk. Semua pengaturan pembuatan dan analisis harus sesuai dengan izin edar dan disetujui oleh kedua belah pihak. Pemberi kontrak hendaklah: Bertanggung jawab untuk menilai kompetensi penerima kontrak dalam melaksanakan pekerjaan atau pengujian yang diperlukan. Menyediakan semua informasi yang diperlukan penerima kontrak untuk melaksanakan pekerjaan kontrak secara benar sesuai izin edar dan persyaratan legal lain. Memastikan semua produk yang diproses dan bahan yang dikirimkan oleh penerima kontrak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan atau telah diluluskan. Penerima kontrak hendaklah: Mempunyai gedung dan peralatan yang cukup, pengetahuan dan pengalaman, dan personil yang kompeten Memastikan bahwa semua produk dan bahan yang diterima sesuai dengan tujuan penggunaannya. Tidak mengalihkan pekerjaan atau pengujian kepada pihak ketiga tanpa persetujuan pihak pemberi kontrak Membatasi diri dari segala aktifitas yang berpengaruh buruk pada mutu (Badan POM RI, 2012). 2.2.12 Kualifikasi dan Validasi A. Kualifikasi Validasi untuk mesin, peralatan produksi dan sarana penunjang disebut dengan kualifikasi. Kualifikasi adalah kegiatan pembuktian (dokumentasi) bahwa perlengkapan, fasilitas atau sistem yang digunakan dalam proses/sistem akan 26

bekerja dengan kriteria yang diinginkan secara konsisten. Kualifikasi merupakan langkah awal (first step) dari keseluruhan pelaksanakan (Priyambodo, 2007). Kualifikasi mesin, peralatan produksi dan sarana penunjang terdiri dari 4 tingkatan, yaitu: 1. Kualifikasi Desain. Untuk menjamin dan mendokumentasikan bahwa sistem atau peralatan atau bangunan yang akan dipasang atau dibangun (rancang bangunan) sesuai dengan ketentuan atau spesifikasi yang diatur dalam ketentuan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang berlaku. Kualifikasi desain dilaksanakan sebelum mesin, peralatan produksi atau sarana penunjang (termasuk bangunan untuk industri farmasi) tersebut dibeli atau dipasang atau dibangun. 2. Kualifikasi Instalasi. Untuk menjamin dan mendokumentasikan bahwa sistem atau peralatan yang diinstalasi atau dipasang sesuai dengan spesifikasi yang tertera pada dokumen pembelian, buku manual alat yang bersangkutan dan pemasangannya dilakukan memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan. Kualifikasi instalasi dilaksanakan pada saat pemasangan atau instalasi peralatan produksi atau sarana penunjang. 3. Kualifikasi Operasional. Untuk menjamin dan mendokumentasikan bahwa sistem atau peralatan yang telah diinstalasi bekerja (beroperasi) sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. Kualifikasi operasional dilaksanakan setelah pemasangan atau 27

instalasi mesin atau peralatan produksi atau sarana penunjang dan digunakan sebagai mesin atau peralatan percobaan. 4. Kualifikasi Kinerja. Untuk menjamin dan mendokumentasikan bahwa sistem atau peralatan yang telah diinstalasi bekerja (beroperasi) sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan dengan cara menjalankan sistem sesuai dengan tujuan penggunaan (Priyambodo, 2007). Pelaksanaan kualifikasi harus dilakukan secara berurutan dan berkesinambungan. Pelaksanaan kualifikasi dimulai dari kualifikasi desain, kemudian kualifikasi instalasi, kualifikasi operasional dan yang terakhir kualifikasi kinerja, tidak bisa dibolak-balik (Priyambodo, 2007). B. Validasi Validasi adalah suatu tindakan pembuktian dengan cara yang sesuai bahwa tiap bahan, proses, prosedur, kegiatan, system, perlengkapan atau mekanisme yang disunakan dalam produksi dan pengawasan mutu akan senantiasa mencapai hasil yang diinginkan secara konsisten/terus-menerus (Priyambodo, 2007). 1. Validasi Proses Validasi Proses diartikan sebagai tindakan pembuktian yang didokumentasikan bahwa proses yang dilakukan dalam batas parameter yang ditetapkan dapat bekerja secara efektif dan memberi hasil yang dapat terulang untuk menghasilkan produk jadi yang memenuhi spesifikasi dan atribut mutu yang ditetapkan sebelumnya (Priyambodo, 2007). 28

Validasi bertujuan untuk memberikan dokumentasi secara tertulis bahwa prosedur produksi yang berlaku dan digunakan dalam proses produksi (Batch Processing Record), senantiasa mencapai hasil yang diinginkan secara terusmenerus, mengurangi problem yang terjadi selama proses produksi serta memperkecil kemungkinan terjadinya proses ulang (Priyambodo, 2007). Validasi proses dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut: a. Validasi Prospektif Validasi Prospektif adalah Validasi yang dilakukan sebelum pelaksanaan produksi rutin dari produk yang akan dipasarkan dan dilaksanakan sebelum produk diedarkan yang berlaku untuk: Produk baru, Modifikasi pada proses produksi yang dapat berdampak pada karakteristik produk tersebut. Prasyarat lain adalah Laporan produk transfer dari bagian R&D ke bagian Produksi. b. Validasi Konkuren Validasi Konkuren adalah Validasi yang dilakukan pada saat pembuatan rutin produk untuk dijual yang oleh suatu hal belum dilakukan validasi prospektif. Produk yang telah divalidasi secara prospektif karena hal tertentu seperti: Perubahan parameter proses sebagai tindak lanjut dari adanya penyimpangan atau rekomendasi dari Pengkajian Mutu Produk Perubahan pabrik pembuat eksipien dengan spesifikasi yang sama Perubahan mesin dengan spesifikasi yang sama Transfer pembuatan produk ke pabrik lain Dapat dilakukan validasi konkuren (Badan POM RI, 2013). 29

c. Validasi retrospektif Validasi retrospektif adalah validasi pembuatan produk yang telah dipasarkan yang dilaksanakan berdasarkan data pembuatan, pengujian dan pengawasan bets yang dikumpulkan sesuai dengan protocol yang telah disiapkan dan disetujui (Badan POM RI, 2013). 2. Validasi Pembersihan Tujuan dari pelaksanaan Validasi Pembersihan (Cleaning Validation) adalah untuk membuktikan bahwa prosedur yang ditetapkan untuk membersihkan suatu peralatan pengolahan, hingga pengemasan primer mampu membersihkan sisa bahan aktif obat dan deterjen yang digunakan untuk proses pencucian dan juga dapat mengendalikan cemaran mikroba pada tingkat yang dapat diterima (Priyambodo, 2007). 3. Validasi Metode Analisis Tujuan validasi metode analisis adalah untuk menunjukkan bahwa metode analisis sesuai dengan tujuan penggunaannya. Validasi metode analisis umumnya dilakukan terhadap 4 jenis, yaitu: Uji identifikasi. Uji kuantitatif kandungan impuritas (impurity). Uji batas impuritas. Uji kuantitatif zat aktif dalam sampel bahan aktif obat atau obat atau komponen tertentu dalam obat. Metode analisi lain, seperti uji disolusiuntuk obat atau penentuan ukuran partikel untuk bahan aktif obat, hendaklah juga divalidasi (Badan POM RI, 2012). 30

4. Validasi Ulang Fasilitas, sistem, peralatan dan proses termasuk proses pembersihan hendaklah dievaluasi secara berkala untuk konfirmasi keabsahannya (Badan POM RI, 2012). Validasi ulang juga diperlukan pada kondisi sebagai berikut: Melibatkan bahan aktif obat baru / pemasok baru. Melibatkan formulasi baru. Perubahan prosedur analisis. Prosedur pembersihan diperbaharui melalui mekanisme perubahan. Melewati jangka waktu yang ditetapkan untuk melakukan validasi ulang (Badan POM RI, 2013). 31