HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
MATERI DAN METODE. Prosedur

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR

Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium. Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM

PEMANFAATAN PROTEASE DARI KULIT NANAS (Ananas comosus, L) DALAM DEGUMMING BENANG SUTERA. Zusfahair Zusfahair, Amin Fatoni, Dian Riana Ningsih

MATERI DAN METODE. Materi

Oleh : Lincah Andadari

Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta

BAB I PENDAHULUAN. benua Asia hingga mencapai benua Eropa melalui Jalur Sutera. Para ilmuwan mulai

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat

Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN

4 PENGETAHUAN BAHAN DAN ALAT

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

Parameter yang Diamati:

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Perbandingan produktifitas ulat Sutra dari dua tempat pembibitan yang berbeda pada kondisi lingkungan pemeliharaan panas

PERSUTERAAN ALAM. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE. Sederhana Dusun IX, Desa Sambirejo Timur, Kecamatan Percut Sei Tuan,

III.METODOLOGI PENELITIAN. Tempat penelitian ini dilakukan adalah: 1. Persiapan serat dan pembuatan komposit epoxy berpenguat serat ijuk di

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

FILE 23 : MODUL V MATA KULIAH PENGETAHUAN TEKSTIL

Lincah Andadari 1 dan Sri Sunarti 2

III.METODOLOGI PENELITIAN. 1. Persiapan serat dan pembuatan komposit epoxy berpenguat serat ijuk di

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Data impor ekspor benang sutera mentah Tahun Bulan

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Daerah Penyebaran C. trifenestrata di Indonesia Sumber: Nassig et al. (1996)

KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB

Penyiapan Mesin Tetas

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi

Peluang Investasi Sutra Alam

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB III MATERI DAN METODE. Ransum terhadap Sifat Fisik Daging Puyuh Jantan dilaksanakan bulan Juni

PRAKTIKUM PRAKARYA KIMIA PEMBUATAN TEMPE

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

HASIL DAN PEMBAHASAN

TITIK LELEH DAN TITIK DIDIH. I. TUJUAN PERCOBAAN : Menentukan titik leleh beberapa zat Menentukan titik didih beberapa zat II.

Lampiran 1. Petunjuk instalasi dan penggunaan paket program Letulet melalui localhost

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Produksi Kayu Gergajian dan Perkiraan Jumlah Limbah. Produksi Limbah, 50 %


BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan

EKSTRAKSI Ekstraksi padat-cair Ekstraksi cair-cair Ekstraksi yang berkesinambungan Ekstraksi bertahap Maserasi metode ekstraksi padat-cair bertahap

III.METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan terhitung pada bulan Februari Mei

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

CABE GILING DALAM KEMASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

TINJAUAN PUSTAKA. gizi yang lengkap bagi pertumbuhan makhluk hidup baru. Menurut Whitaker and

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan A. PENENTUAN FORMULA LIPSTIK

PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Materi

KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

METODOLOGI PENELITIAN

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. eksplorasi estetis atas kain seser, diperoleh kesimpulan bahwa: sebagai jaring nelayan untuk menangkap ikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE. = hasil pengamatan pada ulangan ke-j dari perlakuan penambahan madu taraf ke-i µ = nilai rataan umum

OLEH: YULFINA HAYATI

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

BAB I. PENDAHULUAN. yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat,

Analisis Kemampuan Proses Pemintalan Benang Sutera Berdasarkan Perbedaan Waktu Kerja Dengan Pendekatan Statistical Process Control (SPC)

MATERI DAN METODE. Materi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

III. METODOLOGI PENELITIAN. a. Persiapan dan perlakuan serat ijuk di Laboratorium Material Teknik Jurusan

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III TINJAUAN DATA, EKSPERIMEN, DAN ANALISA. Pohon kapuk berbunga tiga atau empat kali dalam setahun dengan selang

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

PENGAWETAN KAYU. Eko Sri Haryanto, M.Sn

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULAN

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Teh

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Bulan Februari 230 Sumber : Balai Dinas Pertanian, Kota Salatiga, Prov. Jawa Tengah.

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Filamen Sutera Beberapa atribut yang berperan pada penentuan kualitas filamen sutera diantaranya panjang filamen, bobot filamen, tebal filamen, persentase bobot filamen, dan daya urai kokon. Sebagai informasi tambahan, sebelum penguraian filamen dilakukan pengukuran bobot kulit kokon tanpa floss. Pengamatan juga dilakukan terhadap permukaan filamen dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope). Bobot Kulit Kokon Tanpa Floss Kulit kokon tanpa floss diperoleh setelah floss yang membungkus kulit kokon utuh dikelupas hingga bersih dan tidak tersisa lapisan pembungkus kokon. Kulit kokon utuh, floss, dan kulit kokon tanpa floss dapat dilihat pada Gambar 8. Rataan bobot kulit kokon tanpa floss yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebesar 0,46±0,08 g/kokon. Semakin besar bobot kulit kokon tanpa floss diharapkan semakin panjang filamen yang akan diperoleh. (a) (b) (c) Gambar 8. Kulit Kokon Attacus atlas: a) Kulit Kokon Utuh; b) Floss; c) Kulit Kokon Tanpa Floss Baskoro (2008) menyatakan bahwa bobot kulit kokon tanpa floss dapat diklasifikasikan menjadi lima kelas (grade), yaitu grade A (>0,66 g/kokon), grade B (0,55-0,66 g/kokon), grade C (0,45-0,54 g/kokon), grade D (0,31-0,44 g/kokon) dan grade E (<0,3 g/kokon). Berdasarkan klasifikasi tersebut, dapat diketahui bahwa kulit kokon tanpa floss yang digunakan pada penelitian ini tergolong kedalam grade C. Klasifikasi bobot kulit kokon tanpa floss disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Klasifikasi Bobot Kulit Kokon Tanpa Floss (BKKTF) BKKTF (g) Grade Frekuensi Persentase dari Populasi (%) > 0,66 A 0 0 0,55-0,66 B 7 16,67 0,45-0,54 C 18 42,86 0,31-0,44 D 16 38,09 < 0,3 E 1 2,38 Baskoro (2008) melaporkan bahwa rataan bobot kulit kokon tanpa floss yang diperoleh dari 250 sampel kokon adalah sebesar 0,50±0,2 g/kokon dan tergolong kedalam grade C dengan jumlah terbesar yaitu 21,2% dari populasi. Selain itu ditemukan juga grade A sebesar 19,2%; grade B 19,6%; grade D 20% dan grade E 20% dari populasi. Nilai rataan bobot kulit kokon tanpa floss yang kecil disebabkan karena kulit kokon utuh yang diperoleh dari perkebunan teh di daerah Purwakarta juga memiliki bobot dan kualitas yang rendah. Nilai standar deviasi yang besar menunjukkan tingkat keragaman yang tinggi karena kokon diperoleh dari alam yang konsumsi pakan pada fase larva tidak teratur, suhu tidak terkontrol serta terjadi stress lingkungan sehingga ulat sutera liar ini membutuhkan energi yang besar untuk memproduksi kokon. Selain itu, juga disebabkan karena tidak diketahui dengan jelas apakah kulit kokon yang diambil adalah berasal dari ngengat jantan atau ngengat betina karena kulit kokon yang diambil dan dijadikan sebagai materi penelitian adalah kokon yang sudah kosong atau sudah tidak ada pupanya. Pada umumnya ukuran kulit kokon ngengat betina lebih besar dibandingkan dengan ngengat jantan, tetapi tidak selalu kokon yang lebih kecil adalah kokon ngengat jantan. Terkadang kokon dari ngengat betina yang kecil sama dengan atau bahkan lebih kecil dari kokon ngengat jantan. Panjang Filamen Panjang filamen merupakan salah satu faktor penting dalam pengujian laboratorium untuk menentukan kualitas sutera. Panjang filamen berkaitan dengan bobot kulit kokon tanpa floss. Semakin besar bobot kulit kokon tanpa floss maka semakin panjang filamen yang dihasilkan. Semakin panjang filamen yang dapat dihasilkan dari proses penguraian filamen sutera, maka akan semakin besar bobot 25

filamen yang dihasilkan. Rataan panjang filamen sutera A. atlas yang dihasilkan dari penelitian ini disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Rataan Panjang Filamen Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (m) Suhu Waktu 30 menit 60 menit Rataan 70 o C 108,34 ± 83,15 156,85 ± 75,90 132,59 ± 80,52 80 o C 205,46 ± 102,85 194,74 ± 47,18 200,11 ± 77,08 90 o C 148,91 ± 95,31 140,20 ± 68,75 144,56 ± 79,97 Rataan 154,24 ± 98,18 163,93 ± 66,04 159,08 ± 82,78 Berdasarkan hasil analisis statistik, didapatkan bahwa perebusan kokon pada berbagai perlakuan suhu dan waktu menghasilkan panjang filamen yang tidak berbeda nyata. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Aini (2009) yang mendapatkan bahwa panjang filamen dari perlakuan waktu perebusan kokon satu atau dua jam pada suhu 80 o C adalah sama. Rataan panjang filamen yang dihasilkan yaitu sebesar 159,08±82,78 m. Terdapat kecenderungan hasil yang lebih besar ditemukan pada perlakuan suhu perebusan 80 o C selama 30 menit. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), suhu yang terlalu tinggi pada perebusan kokon Bombyx mori menyebabkan filamen menjadi lebih rapuh dan lebih rentan terhadap kerusakan. Filamen yang rapuh menyebabkan filamen lebih mudah putus, sehingga panjang filamen yang dihasilkan menjadi tidak maksimal. Penguraian filamen pada penelitian ini dilakukan hingga filamen dari satu buah kokon habis atau tidak dapat lagi diuraikan. Ujung filamen yang terputus ditempelkan pada ujung filamen yang lain sehingga total panjang filamen dapat dijumlahkan tanpa dipengaruhi intensitas putus filamen. Panjang filamen hasil penelitian ini sebesar 159,08 m/kokon, lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Awan (2007) yang hanya 83,61 m/kokon, namun lebih rendah dari penelitian Aini (2009) yang menghasilkan panjang filamen berkisar antara 293-413,80 m/kokon. Sebagai pembanding, panjang filamen sutera yang diperoleh dari sebuah kokon B. mori dengan menggunakan alat pintal modern adalah sekitar 2500 m (Akai, 1997). Penelitian terhadap A. atlas ini menghasilkan panjang filamen yang rendah karena disamping alat yang digunakan adalah alat urai sederhana juga kemungkinan karena kandungan serisin pada kokon A. atlas yang 26

relatif lebih banyak dan sangat lengket jika dibandingkan dengan B. mori sehingga lebih sulit untuk diuraikan. Awan (2007) menyatakan bahwa pada B. mori panjang benang yang diperoleh dengan menggunakan alat pintal tradisional (hand spund) juga tidak mencapai ribuan meter. Hal yang sama ternyata berlaku juga pada kokon A. atlas sehingga perlu diupayakan alat pintal yang lebih baik untuk memaksimalkan panjang benang yang diperoleh. Bobot Filamen Bobot filamen merupakan berat filamen terurai dari satu kokon tunggal. Bobot filamen sebanding dengan panjang filamen dan tebal filamen. Semakin besar panjang filamen yang dihasilkan, semakin besar pula bobot filamen tersebut. Data pada Tabel 5 menunjukkan rataan bobot filamen sutera A. atlas. Berdasarkan hasil analisis statistik, rataan bobot filamen yang dihasilkan yaitu sebesar 0,06 g, tidak berbeda nyata pada semua perlakuan walaupun ada kecenderungan nilai bobot filamen yang lebih tinggi yaitu pada perlakuan perebusan kokon dengan suhu 80 o C, baik dengan waktu 30 maupun 60 menit serta pada suhu 70 o C selama 60 menit. Hal ini sejalan dengan pernyataan Aini (2009) yang menyatakan bahwa bobot filamen yang diberi perlakuan waktu perebusan kokon satu jam pada suhu perebusan 80 o C tidak berbeda dengan waktu perebusan 2 jam, namun perlakuan waktu satu jam cenderung menghasilkan bobot filamen yang lebih besar. Tabel 5. Rataan Bobot Filamen Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (g) Suhu Waktu 30 menit 60 menit Rataan 70 o C 0,04 ± 0,03 0,07 ± 0,06 0,06 ± 0,05 80 o C 0,07 ± 0,05 0,07 ± 0,02 0,07 ± 0,03 90 o C 0,05 ± 0,04 0,06 ± 0,04 0,06 ± 0,04 Rataan 0,05 ± 0,04 0,07 ± 0,04 0,06 ± 0,04 Menurut Awan (2007), bobot filamen sutera A. atlas yang telah didomestikasi yaitu sebesar 7,17±0,87 g/kokon. Aini (2009) menyatakan bahwa rataan bobot filamen sutera A. atlas berkisar antara 0,2486 0,3724 g/kokon. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai bobot filamen lebih rendah dari penelitian Aini (2009) karena 27

panjang filamen yang dihasilkan dari penelitian ini juga lebih rendah. Selain itu kemungkinan bobot kulit kokon yang digunakan dalam penelitian ini lebih rendah sehingga bobot filamen yang dihasilkan juga lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Aini (2009). Sementara itu jika dibandingkan dengan hasil penelitian Awan (2007), nilai bobot filamen lebih rendah tetapi nilai panjang filamen lebih tinggi. Hal ini dapat disebabkan ketebalan filamen yang berbeda atau filamen hasil penelitian ini lebih tipis jika dibandingkan dengan penelitian Awan (2007). Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena kokon yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari alam, berbeda dengan Awan (2007) yang menggunakan kokon hasil pemeliharaan dalam ruang pemeliharaan dengan kondisi pemberian pakan pada fase larva yang teratur, suhu yang terkontrol pada saat pemeliharaan larva dan pada saat pengokonan serta stress lingkungan yang minimal. Kondisi lingkungan sangat berpengaruh terhadap produksi serat sutera, selain faktor biologis ulat sutera misalnya genetik, ukuran kelenjar sutera, bobot badan larva, dan bahkan penyakit. Kemungkinan lain adalah perbedaan metode perebusan kokon seperti pengadukan, stabilitas suhu, dan posisi kulit kokon pada saat perebusan (terendam atau tidak). Metode perebusan dapat mempengaruhi keadaan kulit kokon setelah proses perebusan sehingga berpengaruh pada proses penguraian filamen. Perbedaan metode pada penguraian filamen juga dapat menyebabkan perbedaan hasil. Menurut Budisantoso (1993), cara memintal, alat pemintal yang digunakan, serta keterampilan orang yang memintal sangat berpengaruh terhadap mutu benang sutera yang dihasilkan. Semakin besar persentase kulit kokon yang dapat diurai menjadi filamen maka semakin banyak filamen yang dihasilkan dan semakin besar pula bobot filamen tersebut. Tebal Filamen Ketebalan filamen sutera A. atlas dihitung dalam satuan denier, menggunakan metode penghitungan yang sama dengan filamen B. mori. Ketebalan filamen akan mempengaruhi kualitas produk benang yang dihasilkan. Semakin besar ketebalan filamen semakin besar bobot filamen, dengan asumsi panjang filamen sama besar. Rataan tebal filamen sutera A. atlas ditampilkan pada Tabel 6. Berdasarkan hasil analisis statistik, didapatkan bahwa perlakuan perebusan kokon menghasilkan rataan tebal filamen yang tidak berbeda nyata antar perlakuan perebusan kokon pada suhu 28

dan waktu yang berbeda dengan variasi terutama pada perlakuan waktu perebusan 30 menit. Rataan ketebalan filamen yang diperoleh yaitu sebesar 3,60±1,88 denier. Tabel 6. Rataan Tebal Filamen Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (denier) Suhu Ketebalan filamen dipengaruhi oleh faktor lingkungan, diantaranya suhu dan kelembaban udara pada saat pemeliharaan ulat, serta suhu pada saat pengokonan. Ukuran filamen berbeda sesuai dengan bagian dari kokon, lazimnya lebih besar pada lapisan luar dibanding dengan lapisan dalam kulit kokon. Selain itu, perbedaan tingkat kehalusan/ketebalan filamen dapat disebabkan beberapa faktor, diantaranya keterampilan saat menarik dan menguraikan filamen, serta penyimpanan kokon basah (setelah direbus). Kokon sebaiknya disimpan pada wadah plastik dan saat penguraian sebaiknya sesekali dicelupkan pada air agar terjaga kelembabannya sehingga filamen lebih mudah ditarik dan diurai. Proses penguraian filamen akan lebih baik jika menggunakan sistem yang juga diterapkan pada penguraian filamen B. mori yaitu menggunakan sistem penguapan (boiling up). Alat urai (reeling) pada B. mori dilengkapi dengan penguapan (boiling up) untuk mempermudah mendapatkan ujung-ujung filamen. Suhu air panas untuk penguapan sebaiknya disesuaikan dengan suhu perebusan kokon berkisar antara 70-90 o C, sehingga kokon hasil perebusan juga tidak perlu dibilas dengan air hangat dan air dingin. Selanjutnya filamen diuraikan dan digulung pada pipa alat urai dengan kecepatan yang dijaga agar tetap konstan, misalnya dengan kecepatan maksimal 2 putaran/detik. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), kehalusan/ketebalan filamen B. mori berkisar antara 2,5-3,5 denier. Waktu 30 menit 60 menit Rataan 70 o C 5,02 ± 3,47 3,57 ± 1,92 4,30 ± 2,80 80 o C 3,08 ± 1,28 3,37 ± 0,90 3,22 ± 1,07 90 o C 2,60 ± 0,90 3,97 ± 1,05 3,28 ± 1,18 Rataan 3,56 ± 2,34 3,64 ± 1,32 3,60 ± 1,88 Hasil pengamatan menggunakan SEM terhadap filamen sutera A. atlas memperlihatkan bahwa filamen memiliki ketebalan 41,8-87,3 µ, lebih tinggi dari filamen sutera B. mori ras Jepang (2,5052±0,1171 denier) atau (18 22 µ) (Budhiarti, 29

2000). Filamen sutera A. atlas lebih tebal berdasarkan perhitungan menggunakan rumus ketebalan filamen B. mori maupun dengan pengamatan permukaan filamen menggunakan SEM. Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa penilaian kualitas atau grade benang sutera didasarkan pada International Classification Table for Raw Silk. Kategori pertama untuk benang 18 denier ke bawah, kategori kedua untuk benang berkisar antara 19-33 denier dan kategori ketiga untuk benang 34 denier ke atas. Ketebalan filamen yang lebih besar pada A. atlas merupakan keuntungan karena hanya diperlukan sedikit filamen untuk mencapai tingkat ketebalan atau denier yang sesuai dengan standar. Misalnya untuk mencapai ketebalan 36 denier, hanya diperlukan 10 helai filamen A. atlas sedangkan pada B. mori diperlukan 14-15 helai filamen. Persentase Bobot Filamen Persentase bobot filamen merupakan nilai persentase yang diperoleh dari perbandingan bobot filamen terhadap bobot kulit kokon tanpa floss. Semakin besar bobot filamen yang dihasilkan dari sebutir kokon, semakin besar persentase bobot filamennya, dengan asumsi nilai bobot kulit kokon tanpa floss adalah sama besar. Tabel 7 menunjukkan rataan persentase bobot filamen sutera A. atlas. Berdasarkan hasil analisis statistik, didapatkan bahwa perlakuan suhu dan waktu perebusan kokon menghasilkan persentase bobot filamen yang tidak berbeda nyata dengan nilai rataan sebesar 13,38% dengan kecenderungan yang lebih baik yaitu pada perlakuan perebusan kokon dengan suhu 80 o C. Tabel 7. Rataan Persentase Bobot Filamen Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (%) Suhu Waktu 30 menit 60 menit Rataan 70 o C 9,08 ± 6,39 14,31 ± 11,43 11,70 ± 9,30 80 o C 15,71 ± 7,86 16,53 ± 5,02 16,12 ± 6,35 90 o C 9,62 ± 7,40 14,99 ± 8,93 12,31 ± 8,36 Rataan 11,47 ± 7,53 15,28 ± 8,46 13,38 ± 8,14 Nuraeni (1993) menyatakan bahwa secara komersial persentase bobot filamen B. mori adalah lebih dari 15%. Pernyataan ini diperkuat oleh Budhiarti 30

(2000) yang menyatakan bahwa persentase bobot filamen sutera B. mori galur murni yaitu sebesar 15,80%. Hal ini menunjukkan bahwa jika menggunakan standar yang diterapkan pada B. mori tersebut, maka filamen sutera A. atlas hasil perebusan kokon pada suhu 80 o C baik selama 30 maupun 60 menit memiliki kualitas yang baik secara komersial atau memiliki tingkat efisiensi yang baik. Namun demikian, standar tersebut kurang tepat jika diterapkan pada A. atlas karena kokon A. atlas berukuran lebih besar dengan bobot yang juga lebih besar daripada kokon B. mori sehingga perlu diupayakan penentuan standar untuk persentase bobot filamen A. atlas. Semakin besar persentase bobot filamen yang dihasilkan, semakin besar keuntungan yang dapat diperoleh, mengingat benang sutera adalah komoditi utama usaha persuteraan alam. Daya Urai Kokon Daya urai kokon (reelability) menunjukkan kemudahan mengurai filamen dari kokon. Daya urai kokon dicirikan dengan intensitas putus filamen. Semakin besar intensitas putus filamen maka akan semakin rendah daya urai kokon tersebut dan semakin rendah kualitasnya. Daya urai kokon dihitung dengan menggunakan rumus dan dengan cara manual serta disajikan dalam persentase (Tabel 8) dan dalam satuan meter (Tabel 9). Tabel 8 menunjukkan rataan daya urai kokon sutera A. atlas berdasarkan perhitungan menggunakan rumus daya urai kokon sutera B. mori. Tabel 8. Rataan Daya Urai Kokon Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (%) Suhu Waktu 30 menit 60 menit Berdasarkan hasil analisis statistik, didapatkan bahwa setiap perlakuan perebusan kokon menghasilkan daya urai kokon yang tidak berbeda nyata. Rataan daya urai kokon yang dihasilkan sebesar 1,18%. Rataan 70 o C 1,24 ± 0,79 1,01 ± 0,52 1,13 ± 0,65 80 o C 0,94 ± 0,33 1,49 ± 1,08 1,22 ± 0,82 90 o C 1,06 ± 0,26 1,34 ± 0,36 1,20 ± 0,33 Rataan 1,08 ± 0,50 1,28 ± 0,72 1,18 ± 0,62 31

Rumus daya urai kokon sutera B. mori kurang tepat jika digunakan untuk menghitung daya urai kokon A. atlas karena intensitas atau jumlah putus filamen A. atlas jauh lebih besar daripada filamen B. mori. Penguraian kokon B. mori pada umumnya hanya satu kali putus sedangkan pada A. atlas lebih banyak karena filamen yang lebih rapuh. Hal ini menyebabkan daya urai kokon A. atlas jauh lebih kecil daripada daya urai kokon B. mori. Yuanita (2007) menyatakan bahwa daya urai kokon B. mori berkisar antara 60,63%-67,85% untuk kokon pupa jantan dan 52,69%- 70,36% untuk kokon pupa betina. Daya urai kokon A. atlas dalam penelitian ini juga dihitung dengan cara manual berdasarkan panjang filamen untuk setiap satu kali putus. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Rataan Daya Urai Kokon Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (m) Suhu Waktu 30 menit 60 menit Rataan 70 o C 1,00 ± 0,76 1,38 ± 0,59 1,19 ± 0,68 80 o C 1,81 ± 0,72 2,99 ± 2,37 2,40 ± 1,79 90 o C 1,73 ± 1,49 1,97 ± 1,51 1,85 ± 1,45 Rataan 1,52 ± 1,07 2,11 ± 1,71 1,81 ± 1,44 Rataan daya urai kokon A. atlas yaitu 1,81 m, artinya rataan panjang filamen untuk setiap satu kali putus adalah 1,81 m. Perlakuan perebusan pada suhu 80 o C selama 60 menit cenderung menghasilkan daya urai kokon yang besar. Besarnya nilai tersebut dapat disebabkan karena perlakuan perebusan kokon pada suhu 80 o C selama 60 menit diduga dapat melarutkan serisin lebih banyak sehingga filamen lebih mudah terurai dan filamen sutera jarang putus. Aini (2009) menyatakan bahwa kandungan serisin yang masih tinggi membuat banyak filamen masih saling menyatu (dicirikan dengan kulit kokon yang masih keras), sehingga sulit untuk diuraikan. Penguraian filamen yang sulit menyebabkan banyak filamen putus. Semakin besar intensitas putus yang terjadi selama proses penguraian filamen, semakin rendah daya urai kokon tersebut. Menurut Lucas et al. (1978), serisin merupakan zat yang menyusun lapisan luar filamen sutera, berfungsi sebagai perekat yang menempelkan lembaran-lembaran fibroin menjadi satu dan sekaligus melindungi fibroin. Serisin dapat larut dalam air panas dan larutan alkali pada saat perebusan kokon, sedangkan 32

fibroin bersifat tidak larut dalam air sehingga pada saat penguraian filamen, fibroin dapat diuraikan dengan mudah menjadi filamen sutera. Serisin yang tidak larut secara sempurna dan masih tersisa pada kulit kokon akan menyebabkan fibroin sulit diuraikan dan akan terlihat pada saat penguraian filamen. Penguraian filamen secara terus menerus dengan intensitas putus yang rendah, pada akhirnya ketika putus akan menyisakan serat sutera yang tidak dapat diurai. Serat sutera tersebut kaku, terlihat banyak filamen yang masih saling menyatu karena masih mengandung serisin (Gambar 9). Gambar 9. Serat Sutera yang Masih Mengandung Serisin Penguraian filamen dilakukan setelah kokon hasil perebusan dibilas dengan air dingin. Pembilasan dengan air dingin diharapkan dapat menurunkan suhu kokon agar tidak panas saat dipegang sehingga dapat diuraikan sesegera mungkin. Kondisi ini menyebabkan perubahan temperatur kokon yang justru mengakibatkan kesulitan dalam penguraian filamen. Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa perebusan kokon dengan air panas atau uap panas menyebabkan kulit kokon mengembang, menjadi lunak dan memungkinkan filamen sutera dapat diurai. Pembilasan dengan air dingin justru mengakibatkan kokon yang sudah lunak dan mudah diurai berubah menjadi kaku sehingga sulit untuk menguraikan ujung-ujung filamen. Perebusan dengan air panas akan mengubah struktur protein akibat terlepasnya ikatan hidrogen sehingga protein serisin melemah dan akhirnya larut. Pembilasan dengan air dingin 33

dapat menyebabkan kondisi kembali seperti semula, protein yang bersifat reversibel akan memperoleh kembali strukturnya sehingga penguraian filamen sulit dilakukan. Permukaan Filamen Pengamatan filamen menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope) dimaksudkan untuk melihat pengaruh perebusan kokon terhadap kualitas filamen, meliputi keadaan permukaan filamen, kerusakan yang mungkin terjadi setelah perebusan, dan ukuran filamen. Hasil pengamatan menunjukkan setiap filamen memiliki karakteristik tersendiri. Pengamatan dengan perbesaran 2000 X menunjukkan permukaan filamen bervariasi dalam hal kehalusan permukaan dan ketebalan filamen. Hasil pengamatan filamen sutera menggunakan SEM dapat dilihat pada Gambar 10. Filamen hasil perebusan kokon pada suhu 70 o C selama 30 menit menunjukkan adanya serat yang tampak seperti sisa-sisa pelarutan. Tampak pada Gambar 10a, permukaan filamen tertutup lapisan yang menempel di beberapa bagian dan tampak seperti serat yang mengelupas sebagian. Serat tersebut diduga merupakan serisin yang belum terlarut sempurna dan masih menempel pada permukaan filamen. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lebar sampel sutera adalah 118,2 µ. Terlihat juga dalam gambar tersebut, kedua filamen sutera masih saling menyatu karena serisin belum terlarut sempurna. Satu helai filamen sutera merupakan gabungan dua utas fibroin yang dilapisi dan direkatkan oleh serisin. Serisin tersebut tidak larut secara sempurna ketika dipanaskan sehingga filamen sutera belum terpisah. Lebar sampel sutera yang juga menunjukkan ketebalan filamen pada gambar ini (Gambar 10a) berasal dari dua utas filamen. Pengamatan pada filamen hasil perebusan kokon pada suhu 70 o C selama 60 menit menunjukkan permukaan filamen tampak lebih baik jika dibandingkan dengan filamen hasil perebusan kokon pada suhu 70 o C selama 30 menit. Hasil pengamatan menunjukkan terdapat permukaan yang kasar menutupi sebagian kecil permukaan filamen yang halus. Bagian permukaan yang kasar tersebut diduga merupakan serisin yang masih tersisa pada permukaan filamen fibroin. Serisin adalah perekat yang merekatkan filamen satu dengan yang lain dan terdapat pada lapisan luar filamen. Hasil menunjukkan bahwa ketebalan filamen sutera hasil perebusan kokon pada suhu 70 o C selama 60 menit yaitu sebesar 70,9 µ. 34

(a) (b) (c) (d) (e) Gambar 10. Hasil Pengamatan Filamen Sutera A. atlas dengan SEM pada Perbesaran 2000 X pada Perlakuan Perebusan Kokon: a) Suhu 70 o C selama 30 menit; b) Suhu 70 o C selama 60 menit; c) Suhu 80 o C selama 30 menit; d) Suhu 80 o C selama 60 menit; e) Suhu 90 o C selama 30 menit; f) Suhu 90 o C selama 60 menit Pada filamen hasil perebusan kokon dengan suhu 80 o C dan waktu 30 menit terlihat lapisan dengan permukaan yang halus mendominasi dan hampir menutupi permukaan yang lebih kasar. Terdapat perbedaan pada permukaan lain filamen ini yang ditunjukkan dengan gambar permukaan filamen dimana sebagian besar tampak (f) 35

lebih kasar (Lampiran 8). Hal ini menunjukkan bahwa secara mikroskopis, karakteristik filamen dapat berbeda walaupun perlakuan yang diberikan sama, bahkan sampel berasal dari filamen yang sama. Perbedaan karakteristik tersebut dapat terjadi karena masih ada penumpukan serisin pada suatu bagian dari filamen yang panjang. Selain serisin, juga terdapat materi lilin, karbohidrat atau bahan anorganik lainnya yang mungkin masih menempel pada permukaan filamen sehingga dapat terdeteksi jika diamati dengan SEM. Ketebalan filamen sutera berdasarkan pengamatan permukaan filamen ini adalah sebesar 52,8 µ. Kokon yang diberi perlakuan perebusan pada suhu 80 o C selama 60 menit menghasilkan filamen sutera yang lebih baik. Terlihat pada Gambar 10d, permukaan filamen sangat halus dan hampir tidak ditemukan kerusakan. Berdasarkan pengamatan ini juga diperoleh ketebalan filamen sutera adalah sebesar 52,8 µ sama dengan filamen hasil perebusan kokon pada suhu 80 o C selama 30 menit. Hal ini menunjukkan bahwa perebusan kokon pada suhu 80 o C menghasilkan filamen dengan ketebalan yang lebih stabil, artinya filamen tidak mengalami pengkerutan atau penyusutan serta tidak memuai menjadi lebih tebal. Perebusan kokon pada suhu 90 o C selama 30 menit menghasilkan filamen dengan permukaan cukup halus. Pengamatan pada filamen ini juga menunjukkan pada bagian lain ditemukan filamen yang terpecah menjadi bercabang. Filamen tersebut bukan merupakan dua filamen yang tergabung menjadi satu, melainkan satu buah filamen yang terpecah dan bercabang menjadi dua bagian, sehingga pada bagian lain tampak filamen yang lebih tipis karena merupakan pecahan dari filamen yang tebal (Lampiran 10). Hasil menunjukkan ketebalan filamen ini (Gambar 10e) adalah sebesar 87,3 µ. Kokon hasil perebusan pada suhu 90 o C selama 60 menit menghasilkan filamen yang tidak sempurna. Hasil menunjukkan terlihat di beberapa bagian tampak serabut filamen yang mengelupas. Terlihat juga permukaan filamen mengalami kerusakan yaitu terlihat permukaan yang kasar dan di bagian lain terlihat permukaan filamen mengerut dan menyusut sehingga tampak seperti cekungan. Berdasarkan pengamatan ini, diketahui ketebalan filamen adalah sebesar 41,8 µ. Berdasarkan pengamatan visual ini, juga dapat diketahui bahwa setiap filamen memiliki ketebalan dan bentuk yang berbeda padahal menggunakan 36

perbesaran yang sama. Ketebalan filamen yang dihasilkan dari sebutir kokon dapat berbeda-beda, umumnya filamen dari lapisan luar kokon lebih tebal jika dibandingkan dengan lapisan dalam kokon. Oleh karena itu, pengamatan sampel menggunakan SEM sebaiknya menggunakan sampel yang berasal dari bagian yang sama dari masing-masing kokon, misalnya sampel diambil dari lapisan pertama kokon yang umumnya lebih tebal. Perlakuan perebusan pada suhu 80 o C cenderung menunjukkan hasil yang lebih baik karena lebih bersih dan tidak ditemukan kerusakan, perlakuan perebusan pada suhu 90 o C terlihat bersih tetapi mengalami kerusakan, sebaliknya perlakuan perebusan pada suhu 70 o C terlihat permukaan yang tidak bersih. Perebusan kokon pada suhu yang terlalu tinggi menyebabkan permukaan filamen rusak dan mungkin hancur. Berdasarkan pengamatan permukaan filamen, sebenarnya terlihat perubahan fisik filamen akibat pemanasan, sehingga permukaan filamen dapat dijadikan acuan dalam penentuan kualitas filamen. Hasil pengamatan menggunakan SEM pada filamen sutera A. atlas memperlihatkan bahwa filamen memiliki ketebalan 41,8-87,3 µ. Budhiarti (2000) menyatakan bahwa filamen sutera B. mori ras Jepang memiliki ketebalan 18 22 µ. Menurut Gusa et al. (2002), jika dilihat dari ukuran filamen, filamen A. atlas lebih lebar bila dibandingkan dengan ukuran filamen B. mori. Filamen B. mori kelihatan membulat, sedangkan filamen A. atlas lebih pipih, tetapi filamen A. atlas dan B. mori secara umum memiliki bentuk permukaan yang hampir sama. 37