Bab 4 DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG

dokumen-dokumen yang mirip
DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG

Persamaan SWE Linier untuk Dasar Sinusoidal

1 BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN

DASAR LAUT SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG

RESONANSI BRAGG PADA ALIRAN AIR AKIBAT DINDING SINUSOIDAL DI SEKITAR MUARA SUNGAI

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Penurunan Persamaan Air Dangkal

Bab 2 TEORI DASAR. 2.1 Linearisasi Persamaan Air Dangkal

Reflektor Gelombang Berupa Serangkaian Balok

PEMECAH GELOMBANG BERUPA SERANGKAIAN BALOK

Bab 4 Diskretisasi Numerik dan Simulasi Berbagai Kasus Pantai

BAB 3 PERAMBATAN GELOMBANG MONOKROMATIK

Reflektor Gelombang 1 balok

BAB IV SIMULASI NUMERIK

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK

Bab 1. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah

Bab 2. Landasan Teori. 2.1 Persamaan Air Dangkal Linier (Linier Shallow Water Equation)

Bab 2. Landasan Teori. 2.1 Persamaan Air Dangkal (SWE)

Pengantar Metode Perturbasi Bab 1. Pendahuluan

BAB V PERAMBATAN GELOMBANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR

BAB II KAJIAN TEORI. homogen yang dikenal sebagai persamaan forced Korteweg de Vries (fkdv). Persamaan fkdv yang dikaji dalam makalah ini adalah

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. analitik dengan metode variabel terpisah. Selanjutnya penyelesaian analitik dari

Gelombang FIS 3 A. PENDAHULUAN C. GELOMBANG BERJALAN B. ISTILAH GELOMBANG. θ = 2π ( t T + x λ ) Δφ = x GELOMBANG. materi78.co.nr

Catatan Kuliah FI1101 Fisika Dasar IA Pekan #8: Osilasi

Pengantar Gelombang Nonlinier 1. Ekspansi Asimtotik. Mahdhivan Syafwan Jurusan Matematika FMIPA Universitas Andalas

II LANDASAN TEORI. dengan, 1,2,3,, menyatakan koefisien deret pangkat dan menyatakan titik pusatnya.

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai.

Barisan dan Deret Agus Yodi Gunawan

MATERI PERKULIAHAN. Gambar 1. Potensial tangga

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Bentuk sebuah tali yang direnggangkan (a) pada t = 0 (b) pada x=vt.

GETARAN DAN GELOMBANG

BAB III PEMODELAN PERSAMAAN INTEGRAL PADA ALIRAN FLUIDA

BAB 4 BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN METODE PENELITIAN. 3.2 Peralatan

Gelombang Stasioner Gelombang Stasioner Atau Gelombang Diam. gelombang stasioner. (

3.11 Menganalisis besaran-besaran fisis gelombang stasioner dan gelombang berjalan pada berbagai kasus nyata. Persamaan Gelombang.

Teori Dasar Gelombang Gravitasi

BAB III PEMBAHASAN. dengan menggunakan penyelesaian analitik dan penyelesaian numerikdengan. motode beda hingga. Berikut ini penjelasan lebih lanjut.

BAB III KONDUKSI ALIRAN STEDI - DIMENSI BANYAK

Pengantar Metode Perturbasi Bab 4. Ekspansi Asimtotik pada Persamaan Diferensial Biasa

FUNGSI DAN GRAFIK FUNGSI

BAB I PENDAHULUAN. terbagi dalam berberapa tingkatan, gelombang pada atmosfir yang berotasi

PEMBAHASAN. (29) Dalam (Grosen 1992), kondisi kinematik (19) dan kondisi dinamik (20) dapat dinyatakan dalam sistem Hamiltonian berikut : = (30)

DERET FOURIER DAN APLIKASINYA DALAM FISIKA

Soal-Jawab Fisika Teori OSN 2013 Bandung, 4 September 2013

Bab 3 MODEL DAN ANALISIS MATEMATIKA

Husna Arifah,M.Sc : Persamaan Bessel: Fungsi-fungsi Besel jenis Pertama

Fisika Dasar I (FI-321)

Analisa Numerik. Teknik Sipil. 1.1 Deret Taylor, Teorema Taylor dan Teorema Nilai Tengah. 3x 2 x 3 + 2x 2 x + 1, f (n) (c) = n!

BAB II LANDASAN TEORI

perpindahan, kita peroleh persamaan differensial berikut :

PENGARUH JUMLAH SUKU FOURIER PADA PENDEKATAN POLAR UNTUK SISTEM GEOMETRI KARTESIAN

KB 2. Nilai Energi Celah. Model ini menjelaskan tingkah laku elektron dalam sebuah energi potensial yang

Ringkasan Kalkulus 2, Untuk dipakai di ITB 1. Integral Lipat Dua Atas Daerah Persegipanjang

BAB II KAJIAN TEORI. pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan

Pertemuan Ke 2 SISTEM PERSAMAAN LINEAR (SPL) By SUTOYO,ST.,MT

Persamaan Diferensial

GETARAN DAN GELOMBANG

B. LANDASAN TEORI Getaran adalah gerak bolak balik melalui titik keseimbangan. Grafik getaran memiliki persamaan: y= A sin ( ωt +φ o)

Powered By Upload By - Vj Afive -

1. (25 poin) Sebuah bola kecil bermassa m ditembakkan dari atas sebuah tembok dengan ketinggian H (jari-jari bola R jauh lebih kecil dibandingkan

II LANDASAN TEORI. Besaran merupakan frekuensi sudut, merupakan amplitudo, merupakan konstanta fase, dan, merupakan konstanta sembarang.

Pertemuan 1 dan 2 KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL

MASALAH SYARAT BATAS (MSB)

GERAK HARMONIK SEDERHANA

FUNGSI. Berdasarkan hubungan antara variabel bebas dan terikat, fungsi dibedakan dua: fungsi eksplisit dan fungsi implisit.

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

PROPOSAL TUGAS AKHIR PENGARUH JUMLAH SUKU FOURIER PADA PENDEKATAN POLAR UNTUK SISTEM GEOMETRI KARTESIAN OLEH : IRMA ISLAMIYAH

III PEMBAHASAN. 3.1 Analisis Metode. dan (2.52) masing-masing merupakan penyelesaian dari persamaan

INTERFERENSI GELOMBANG

1 BAB 1 PENDAHULUAN. tegak lurus permukaan air laut yang membentuk kurva atau grafik sinusodial.

PARTIKEL DALAM SUATU KOTAK SATU DIMENSI

PROJEK 2 PENCARIAN ENERGI TERIKAT SISTEM DI BAWAH PENGARUH POTENSIAL SUMUR BERHINGGA

PENYELESAIAN PERSAMAAN DIFFERENSIAL ORDE 1 - I

PERSAMAAN SCHRÖDINGER TAK BERGANTUNG WAKTU DAN APLIKASINYA PADA SISTEM POTENSIAL 1 D

Bab III Solusi Dasar Persamaan Lapisan Fluida Viskos Tipis

DASAR LAUT SINUSOIDAL DAN DINDING SUNGAI SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG

DERET FOURIER. n = bilangan asli (1,2,3,4,5,.) L = pertemuan titik. Bilangan-bilangan untuk,,,, disebut koefisien fourier dari f(x) dalam (-L,L)

Soal dan Pembahasan UN Matematika Program IPA 2008

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Hasil Kali Persamaan Diferensial Otonomus pada Bidang

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN

MATERI 4 MATEMATIKA TEKNIK 1 DERET FOURIER

Modul 05 Persamaan Linear dan Persamaan Linear Simultan

BAB 2 PDB Linier Order Satu 2

Pemodelan Matematika dan Metode Numerik

Fakultas Teknik UNY Jurusan Pendidikan Teknik Otomotif INTEGRASI FUNGSI. 0 a b X A. b A = f (X) dx a. Penyusun : Martubi, M.Pd., M.T.

BAB 5 TEOREMA SISA. Menggunakan aturan sukubanyak dalam penyelesaian masalah. Kompetensi Dasar

1. Jarak dua rapatan yang berdekatan pada gelombang longitudinal sebesar 40m. Jika periodenya 2 sekon, tentukan cepat rambat gelombang itu.

BAB II KAJIAN TEORI. syarat batas, deret fourier, metode separasi variabel, deret taylor dan metode beda

BAB IV DERET FOURIER

Fungsi dan Grafik Diferensial dan Integral

Metode Elemen Batas (MEB) untuk Model Konduksi-Konveksi dalam Media Anisotropik

: D C adalah fungsi kompleks dengan domain riil

K 1. h = 0,75 H. y x. O d K 2

MA1201 MATEMATIKA 2A Hendra Gunawan

BAB II PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA

BAB III. TEORI DASAR. benda adalah sebanding dengan massa kedua benda tersebut dan berbanding

TEOREMA SISA 1. Nilai Sukubanyak Tugas 1

Suara Di Ruang Tertutup

Transkripsi:

Bab 4 DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG Pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai dasar laut sinusoidal sebagai reflektor gelombang. Persamaan yang digunakan untuk memodelkan masalah dasar sinusoidal adalah persamaan air dangkal yang telah dilinearkan (SWE linier). Pada bab ini akan dibahas apakah dinding sungai sinusoidal dapat berperan sebagai reflektor gelombang atau tidak. Untuk memodelkan masalah dinding sinusoidal ini, persamaan yang akan digunakan adalah persamaan gelombang yang diturunkan oleh Kirby [3]. Pada kasus dasar laut sinusoidal, besarnya refleksi gelombang ditinjau melalui amplitudo simpangan permukaan laut. Sedangkan pada kasus dinding sungai sinusoidal, besarnya refleksi gelombang ditinjau melalui amplitudo dari fungsi kecepatan potensial partikel fluida di permukaan air. Walaupun demikian, langkah-langkah yang dilakukan untuk mempelajari masalah gelombang refleksi pada dinding sungai sinusoidal ini serupa dengan langkah-langkah untuk mempelajari masalah gelombang refleksi pada dasar laut sinusoidal. 35

BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 36 4.1 Persamaan Gelombang untuk Dinding Sinusoidal Dinding sungai berbentuk sinusoidal adalah bentuk dinding tak rata yang berupa fungsi sinus atau cosinus. Dinding sungai berbentuk sinusoidal ini biasanya terdiri dari beberapa lengkungan. Lengkungan ini sama bentuknya seperti gundukan pada dasar laut sinusoidal. Terdapat dua tipe bentuk dinding sungai sinusoidal. Kedua tipe bentuk dinding sinusoidal dapat dilihat pada Gambar 4.1. Aliran sungai Aliran sungai Tipe 1 Tipe Gambar 4.1: Dua tipe dinding sungai sinusoidal dilihat dari atas. Perhatikan Gambar 4.. Misalkan domain pengamatan pada dinding sinusoidal tipe adalah {(x, y) a 1 (x) y a (x), x R}, dengan a 1 dan a adalah fungsi satu peubah yang merepresentasikan bentuk dinding sinusoidal. Sedangkan b(x) adalah fungsi satu peubah yang merepresentasikan lebar sungai sinusoidal. Misalkan bentuk dinding sungai sinusoidal tipe diberikan oleh fungsi berikut a 1 (x) = a(1 + εg cos Kx), (4.1.1) a (x) = a(1 + εg cos Kx). (4.1.)

BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 37 y a(x) a b(x) x -a a1(x) Gambar 4.: Skema dinding sinusoidal tipe dilihat dari atas. dengan a 1 (x) dan a (x) masing-masing menyatakan simpangan gelombang dinding sinusoidal di titik x, a menyatakan setengah kali lebar sungai pada keadaan normal atau ketika dinding sungai rata, aεg menyatakan amplitudo lengkungan dinding sinusoidal, K menyatakan bilangan gelombang dinding sinusoidal, dan ε adalah bilangan yang sangat kecil. Parameter εg adalah parameter tak berdimensi yang menyatakan perbandingan antara amplitudo simpangan dinding sinusoidal dengan lebar sungai ketika dindingnya rata (a). Berdasarkan (4.1.1) dan (4.1.), maka lebar sungai untuk dinding sinusoidal tipe adalah b(x) = b(x) = a (x) a 1 (x), a(1 + εg cos Kx). Syarat batas yang berlaku sepanjang sungai adalah φ(x, a 1 ) (a 1 ) φ(x, a 1) y φ(x, a ) (a ) φ(x, a ) y (4.1.3) = 0, (4.1.4) = 0. (4.1.5) Perhatikan bahwa (4.1.4) dan (4.1.5) merupakan syarat batas kaku. Syarat batas tersebut berasal dari fakta bahwa vektor kecepatan partikel fluida ( φ) selalu searah dengan vektor singgung kurva batas kaku tersebut.

BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 38 Persamaan awal yang akan digunakan untuk memodelkan persamaan gelombang air pada dinding sinusoidal adalah persamaan gelombang Kirby [3]. Persamaan Kirby [3] adalah persamaan gelombang dua dimensi yang dapat merepresentasikan perambatan gelombang di atas dasar yang memiliki topografi bergelombang dengan amplitudo yang kecil. Persamaan Kirby berlaku jika k h(x) << 1, dengan k adalah bilangan gelombang yang datang dan h adalah fungsi satu peubah yang merepresentasikan topografi dasar sungai. Persamaan Kirby diberikan oleh : [( ) ] φ t c g h + cosh φ = 0, (4.1.6) kh 0 dengan φ menyatakan kecepatan potensial pertikel fluida yang ada di permukaan sungai, h 0 merupakan kedalaman sungai, = ( /, / y), dan c adalah cepat rambat gelombang datang yang diberikan oleh : c = ω k = gh 0, dengan ω menyatakan frekuensi gelombang. Karena kita akan mempelajari pengaruh dinding sinusoidal, maka dasar sungai kita anggap rata ( h = 0), sehingga persamaan (4.1.6) dapat disederhanakan menjadi φ t φ c φ c y = 0 (4.1.7) Selanjutnya, integralkan (4.1.7) dari y = a 1 (x) sampai y = a (x) dan terapkan formula Leibniz untuk memperoleh persamaan berikut : t a a 1 φdy c a a 1 φ dy [ φ(x, +c a ) (a ) φ(x, a ] ) y c [ φ(x, a1 ) (a 1 ) φ(x, a 1) y ] = 0. (4.1.8)

BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 39 Jika lebar sungai cukup kecil bila dibandingkan dengan panjang gelombang yang datang (kb 1), maka kebergantungan φ terhadap y dapat diabaikan. Substitusikan syarat batas yang diberikan oleh (4.1.4) dan (4.1.5) ke dalam (4.1.8), sehingga (4.1.8) dapat disederhanakan menjadi φ(x, t) c t b(x) [ b(x) φ ] = 0. (4.1.9) Perhatikan (4.1.9). Untuk dinding sinusoidal tipe 1, diketahui bahwa b(x) adalah konstan sehingga persamaan (4.1.9) dapat disederhanakan menjadi persamaan gelombang satu dimensi yang sangat umum yaitu : φ(x, t) t c φ(x, t) t = 0. (4.1.10) Persamaan gelombang satu dimensi (4.1.10) mempunyai solusi analitik yang biasa disebut solusi d Alembert. Oleh karena itu, dinding sinusoidal tipe 1 tidak akan dibahas pada tugas akhir ini. Perhatikan bahwa untuk dinding sinusoidal tipe, b(x) diberikan oleh (4.1.3) sehingga (4.1.9) dapat dituliskan secara eksplisit sebagai berikut [ φ t = c (1 + εg cos Kx) φ ] (1 + εg cos Kx) (4.1.11) Persamaan (4.1.11) merupakan persamaan gelombang satu dimensi pada dasar sungai rata yang memiliki dinding sinusoidal. 4. Resonansi Bragg untuk Dinding Sinusoidal Sama seperti pada dasar laut sinusoidal, mula-mula akan dibahas mengenai gejala alam yang akan terjadi apabila suatu gelombang datang melewati dinding sinusoidal khususnya dinding sinusoidal yang memiliki bilangan gelombang sebesar dua kali lipat bilangan gelombang permukaan air sungai. Jika ε 0, maka persamaan (4.1.11) mengandung parameter yang memiliki orde sangat kecil sekali yaitu ε sehingga solusi D Alembert tidak dapat diterapkan. Akan

BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 40 dicari hampiran solusinya secara analitis dengan menerapkan metode ekspansi asimtotik. Misalkan ekspansi asimtotik untuk φ(x, t) adalah φ(x, t) = φ 0 (x, t) + εφ 1 (x, t) + ε φ (x, t) + ε 3 φ 3 (x, t) +... (4..1) Substitusikan (4..1) ke dalam persamaan (4.1.11) dan uraikan 1/(1 + εg cos Kx) menjadi deret geometri sehingga menghasilkan φ 0 t + ε φ 1 t +... = c (1 εg cos Kx + ε G cos Kx +...) [ ( )] φ0 (1 + εg cos Kx) + ε φ 1 +.... (4..) Suku-suku yang memiliki O(1) pada persamaan (4..) adalah φ 0 t = c φ 0. (4..3) Jika kita hanya memperhatikan solusi gelombang monokromatik, maka dapat diperoleh bahwa solusi persamaan (4..3) adalah φ 0 = α eikx iωt + α e ikx+iωt. (4..4) Sedangkan suku-suku yang memiliki O(ε) pada persamaan (4..) adalah φ 1 t c φ 1 = c GK sin Kx φ 0, (4..5) dengan φ 0 seperti pada (4..4) atau secara eksplisit dapat dituliskan sebagai berikut [ ] φ 1 t φ 1 e c = c ikx e ikx [ α GK i eikx iωt + α ] e ikx+iωt = c GK (kαe i(k+k)x iωt kα e i(k k)x+iωt 4 kαe i( K+k)x iωt + kα e i(k+k)x+iωt ). (4..6) Perhatikan bahwa ruas kanan persamaan (4..6) memuat suku-suku e i(k k)x+iωt dan e i( K+k)x+iωt. Jika K = k, maka suku-suku tersebut merupakan solusi homogen

BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 41 dari (4..6). Hal ini mengindikasikan akan terjadinya resonansi pada solusi φ 1. Sama seperti bab sebelumnya, resonansi ini juga disebut resonansi Bragg. Selanjutnya, akan ditinjau jika bilangan gelombang dinding sungai sinusoidal hampir dua kali lipat bilangan gelombang φ atau dapat ditulis sebagai berikut: K = k + δ. Melalui perhitungan yang serupa dengan yang telah dilakukan pada Subbab 3., akan diperoleh bahwa φ 1 O( 1). Jika δ = O(ε), maka εφ δ 1 = O(1) sehingga metoda ekspansi asimtotik biasa tidak dapat diterapkan. Catatan : Alasan persamaan (4..1) tidak berlaku dapat dilihat pada bagian terakhir Subbab 3.. 4.3 Amplitudo Gelombang Transmisi dan Gelombang Refleksi Pada Subbab 4., telah diketahui bahwa persamaan (4..1) tidak berlaku jika εφ 1 = O(1) sehingga pada subbab ini akan diterapkan metode ekspansi asimtotik multi skala untuk mencari solsi bagi masalah aliran fluida pada dinding sinusoidal. Diperkenalkan variabel cepat dan lambat, yang dapat dituliskan secara berturutturut sebagai berikut x dan x = εx, (4.3.1) dan variabel waktunya adalah t dan t = εt, (4.3.) sehingga turunan parsialnya menjadi : + ε t t + ε t. (4.3.3)

BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 4 Ekspansi asimtotik untuk φ diberikan oleh φ(x, x; t, t) = φ 0 (x, x; t, t) + εφ 1 (x, x; t, t) + ε φ (x, x; t, t) +... (4.3.4) Substitusikan (4.3.4) dan (4.3.3) ke dalam (4.1.11) kemudian terapkan turunan parsial yang diberikan oleh (3.3.3) dan uraikan 1/(1+εG cos Kx) menjadi deret geometri untuk memperoleh { φ 0 t + φ 0 ε t t + φ 1 ε t +... = φ 0 c (1 εg cos Kx +...) + ε φ 0 +ε φ 1 [ ( ) +... + ε φ0 GK sin Kx +... ( )]} φ 0 +G cos Kx + ε φ 0 +.... Suku-suku yang memiliki O(1) pada persamaan (4.3.5) adalah Solusi persamaan (4.3.6) dimisalkan berupa (4.3.5) φ 0 t φ 0 c = 0. (4.3.6) φ 0 = α(x, t) e ikx iωt + c.c + β(x, t) e ikx iωt + c.c, (4.3.7) dengan α dan β adalah fungsi dua peubah yang bergantung pada x dan t. Perhatikan bahwa α(x,t) dan β(x,t) secara berturut-turut merupakan envelope bagi komponen φ yang menjalar ke kanan dan ke kiri. Besar kecilnya amplitudo kecepatan gelombang yang menjalar ke kanan dan ke kiri secara langsung dapat diperoleh melalui besar kecilnya α(x, t) dan β(x, t). Suku-suku yang memiliki O(ε) pada persamaan (4.3.5) adalah ( ) φ 1 t φ 1 c = c φ 0 φ 0 t t φ0 GKc sin Kx = c φ 0 φ 0 t t GKc ( e ikx e ikx i ) φ0. (4.3.8)

BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 43 Kemudian, substitusikan K = k dan persamaan (4.3.7) ke (4.3.8), lalu sederhanakan sehingga diperoleh φ 1 t c φ 1 = c [ α ( ik)eikx iωt + c.c + β ] ( ik)e ikx iωt + c. [ α t ( iω)eikx iωt + c.c + β ] t ( iω)e ikx iωt + c.c Gkc 4i [ (e ikx e ikx ) (αeikx iωt + c.c +βe ikx iωt + c.c) ]. (4.3.9) Suku terakhir pada ruas kanan persamaan (4.3.9) dapat disederhanakan menjadi Gkc (kαe3ikx iωt + c.c kαe ikx iωt + c.c kβe ikx iωt + c.c + kβe 3ikx iωt + c.c). Untuk menghindari resonansi yang tidak terbatas dan untuk menjamin adanya solusi bagi φ 1, maka koefisien-koefisien e ±i(kx ωt) dan e ±i(kx+ωt) pada ruas kanan (4.3.9)harus dibuat nol sehingga diperoleh α(x, t) α(x, t) c + t β(x, t) t β(x, t) c = ikcg β(x, t), (4.3.10) = ikcg α(x, t). (4.3.11) Persamaan (4.3.10) dan (4.3.11) menunjukkan bahwa α(x, t) dan β(x, t) saling terkait. Melalui eliminasi dan manipulasi aljabar, persamaan (4.3.10) dan (4.3.11) dapat dituliskan menjadi persamaan-persamaan bagi α(x, t) dan β(x, t) yang saling terpisah. Persamaan yang diperoleh disebut persamaan Klein-Gordon. Persamaan Klein-Gordon untuk amplitudo kecepatan gelombang diberikan oleh dengan α(x, t) t c α(x, t) + ( Ω 0 ) α(x, t) = 0, (4.3.1) Ω 0 kcg = ωg, (4.3.13)

BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 44 yang memiliki dimensi (satuan) frekuensi. 4.4 Koefisien Transmisi dan Refleksi Untuk Dinding Sinusoidal Pada subbab ini akan dibahas mengenai pengaruh dinding sungai sinusidal terhadap amplitudo gelombang transmisi dan refleksi melalui koefisien transmisi dan koefisien refleksi. Bayangkan suatu gelombang monokromatik datang dari sebelah kiri dinding sinusoidal (x < 0) kemudian merambat ke kanan dan melewati dinding sinusoidal yang panjangnya L. Ketika gelombang melewati dinding sinusoidal (0 < x < L), maka pada daerah ini akan terjadi banyak sekali transmisi dan refleksi gelombang. Ketika keluar dari daerah dinding sinusoidal (x > L), gelombang akan terus merambat ke kanan. Kemudian kita asumsikan bahwa di sebelah kanan dinding sinusoidal terdapat muara sungai yang dapat menyerap semua gelombang sehingga setelah keluar dari daerah dinding sinusoidal, maka gelombang akan terus ditransmisikan ke kanan tanpa ada bagian yang direfleksikan ke kiri. Langkah-langkah untuk mendapatkan koefisien transmisi dan refleksi pada dinding sinusoidal sama dengan langkah-langkah untuk mendapatkan koefisien transmisi dan refleksi pada dasar sinusoidal. Dengan demikian, pada subbab ini hanya akan ditampilkan hasil akhir dari koefisien transmisi dan refleksi untuk dinding sinusoidal. Kasus 1: Subcritical Detuning Subcritical Detuning terjadi jika 0 < Ω < Ω 0 dengan Ω = Kc. Tuliskan Qc Ω 0 Ω, (4.4.1) kemudian selesaikan sehingga diperoleh koefisien transmisi iqc cosh Q(L x) + Ω sinh Q(L x) T (x) =, (4.4.) iqc cosh QL + Ω sinh QL

BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 45 dan koefisien refleksi R(x) = dengan Ω 0 diberikan oleh (4.3.13). Ω 0 sinh Q(L x) iqc cosh QL + Ω sinh QL, (4.4.3) Kasus : Supercritical Detuning Supercritical Detuning terjadi jika Ω > Ω 0 dengan Ω = Kc. Tuliskan P c Ω Ω 0, (4.4.4) kemudian selesaikan sehingga diperoleh koefisien transmisi T (x) = P c cos P (L x) iω sin P (L x), (4.4.5) P c cos P L iω sin P L dan koefisien refleksi R(x) = i Ω 0 sin P (L x) P c cos P L iω sin P L, (4.4.6) dengan Ω 0 diberikan oleh (4.3.13). Kasus 3: Resonansi Sempurna Resonansi sempurna terjadi ketika K = k dan Ω = 0. Jika Ω = 0, maka persamaan (4.4.) dan (4.4.3) menjadi dan T (x) = A A 0 = R(x) = B A 0 = cosh Ω 0 (L x) c cosh Ω, (4.4.7) 0 L c i sinh Ω 0 (L x) c cosh Ω. (4.4.8) 0 L c

BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 46 4.5 Simulasi dan Pembahasan 4.5.1 Resonansi Sempurna Agar kita dapat melihat perbedaan antara pengaruh yang ditimbulkan oleh dasar sinusoidal dan pengaruh yang ditimbulkan oleh dinding sinusoidal, maka nilai konstanta-konstanta yang diambil sama seperti pada Subbab 3.5.1 yaitu : Bilangan gelombang monokromatik yang datang adalah k = π/ = π, Bilangan gelombang dinding sinusoidal adalah K = π/1 = π, Panjang sungai sinusoidal adalah L = 10m. Kita ketahui bahwa x = εx, L = εl, dan Ω 0 = kcg/ sehingga (4.4.8) dapat ditulis sebagai berikut : R(x) R(εx) = εkg(l x) i sinh cosh εkgl. (4.5.1) Berdasarkan nilai-nilai konstanta yang diketahui, maka fungsi R(x) dari (4.5.1) dapat disederhanakan menjadi : R(x) = επg(10 x) i sinh cosh 10επG. (4.5.) Kemudian grafik R(x) diplot untuk berbagai nilai εg, dimana εg merepresentasikan perbandingan antara amplitudo lengkungan dinding sinusoidal dengan lebar sungai ketika dindingnya rata (a). Perhatikan Gambar 4.3. Pada daerah x L = 10, diperoleh bahwa R = 0 untuk setiap nilai εg dan x. Hal ini terjadi karena di daerah tersebut tidak ada lagi gelombang yang direfleksikan ke kiri. Semua gelombang terserap di sisi kanan sehingga hanya ada gelombang yang merambat ke kanan. Pada daerah 0 x < L = 10, kurva R(x) berupa kurva non-linear. Hal ini terjadi

BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 47 karena pada daerah tersebut terjadi banyak sekali interaksi antara gelombang yang merambat ke kiri dan ke kanan sehingga nilai R selalu berbeda-beda di setiap titik. Bandingkan Gambar 4.3 dengan Gambar 3.3. Kedua gambar ini jelas berbeda. Pada Gambar 4.3 terlihat bahwa pada daerah 0 x < L = 10 terjadi perpotongan antara kurva yang satu dengan kurva yang lainnya. Artinya, pada titik tertentu dapat diperoleh nilai R yang sama walaupun nilai εg berbeda. Perhatikan bahwa untuk x > 4, semakin besar nilai εg maka semakin kecil nilai R. Sedangkan pada daerah x < 0.75, semakin besar nilai εg maka semakin besar nilai R. Pada daerah 0.75 x 4 tidak dapat ditentukan pengaruh nilai εg terhadap nilai R karena pada daerah ini tidak bisa disimpulkan apakah hubungan εg dan R berbanding terbalik atau berbanding lurus. 0.8 R 0.6 0.4 0. -5 0 0 5 10 x Epsilon G = 0.08 Epsilon G = 0.1 Epsilon G = 0.1 Epsilon G = 0.14 15 Gambar 4.3: Grafik R(x) pada dinding sungai sinusoidal untuk beberapa nilai εg. Pada daerah x 0, diperoleh bahwa nilai R berbeda-beda untuk setiap nilai εg. Tetapi dapat dilihat bahwa untuk nilai εg yang sama, kurva R(x) selalu berupa garis horizontal. Hal ini terjadi karena pada daerah x 0, sudah tidak ada lagi

BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 48 interaksi antara gelombang yang menjalar ke kanan dengan gelombang yang direfleksikan ke kiri, sehingga R bernilai konstan untuk x 0 Perhatikan Gambar 4.4. Sumbu x menyatakan nilai εg dan sumbu y menyatakan nilai R(0). Untuk εg = 0.14, diperoleh bahwa R(0) = ±0.98. Ini berarti bahwa amplitudo gelombang yang direfleksikan ke kiri adalah sebesar 0.98 kali amplitudo gelombang yang datang. Kurva R(0) adalah fungsi yang terus naik sebanding dengan bertambahnya nilai εg. Dengan demikian, semakin besar nilai εg, maka semakin besar nilai R(0). Artinya, semakin besar εg, maka semakin besar amplitudo gelombang yang direfleksikan ke kiri. R0 εg Gambar 4.4: Grafik R(0) sebagai fungsi dari εg. Bandingkan Gambar 3.4 dengan Gambar 4.4. Untuk nilai εg = εd, maka nilai R(0) pada dinding sinusoidal lebih besar daripada nilai R(0) pada dasar sinusoidal. Artinya, untuk εg = εd, maka pada daerah x 0, refleksi gelombang yang diakibatkan oleh dinding sungai sinusoidal lebih besar daripada refleksi gelombang yang diakibatkan oleh dasar sinusoidal. Perlu diingat bahwa pada daerah dinding sinusoidal, besarnya perbandingan antara amplitudo dinding sinusoidal dengan lebar sungai tidak selalu berbanding lurus dengan besarnya amplitudo gelombang refleksi yang terjadi.

BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 49 Sekarang, akan dilihat perbandingan solusi analitik dengan solusi numerik. Perhatikan bahwa persamaan (4.3.10) dan (4.3.11) dapat ditulis sebagai berikut : c α + α t = kcεd β, (4.5.3) β t β c = kcεd α, (4.5.4) dengan β = iβ. Solusi numerik diperoleh dengan menggunakan metode beda hingga untuk mendiskritisasi persamaan (4.5.3) dan (4.5.4). 1 0.9 Epsilon G = 0.08 Epsilon G = 0.1 Epsilon G = 0.1 Epsilon G = 0.14 0.8 0.7 0.6 R 0.5 0.4 0.3 0. 0.1 0 0.5 5 7.5 10 1.5 x Gambar 4.5: Grafik R(x) pada dinding sungai sinusoidal untuk beberapa nilai εg yang diperoleh secara numerik. Solusi numerik untuk berbagai nilai εg dapat dilihat pada Gambar 4.5. dilihat bahwa secara kualitatif, solusi numerik dan solusi analitik sudah sesuai. Dapat 4.5. Perbandingan Resonansi Sempurna, Subcritical Detuning, dan Supercritical Detuning Untuk melihat perbandingan antara resonansi sempurna, subcritical detuning, dan supercritical detuning, maka diambil beberapa konstanta yang diketahui seperti pada Subbab 4.5.1, yaitu panjang gelombang monokromatik yang datang adalah m dengan bilangan gelombang k = π, dan panjang gelombang dinding sinusoidal 1

BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 50 m dengan L = 10 m. Kemudian, misalkan cepat rambat gelombang monokromatik c = 00 dan D = 0.05. Untuk kasus subcritical detuning dipilih Ω < Ω 0, sedangkan untuk kasus supercritical detuning dipilih Ω > Ω 0. Epsilon G = 0.08 Epsilon G = 0.1 Epsilon G = 0.1 Epsilon G = 0.14 Epsilon G = 0.08 Epsilon G = 0.1 Epsilon G = 0.1 Epsilon G = 0.14 Gambar 4.6: Grafik R(x) dinding sungai sinusoidal (subcritical detuning). Gambar 4.7: Grafik R(x) dinding sungai sinusoidal (supercritical detuning). Subcritical detuning Supercritical detuning Resonansi sempurna Subcritical detuning Supercritical detuning Resonansi sempurna Gambar 4.8: Grafik R(x) dinding sungai sinusoidal untuk εd = 0.14 pada tiga kasus. Gambar 4.9: Grafik R(x) dinding sungai sinusoidal untuk εd = 0.08 pada tiga kasus.

BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 51 Perhatikan Gambar 4.3, Gambar 4.6, dan Gambar 4.7. Berdasarkan ketiga gambar tersebut dapat dilihat bahwa kasus subcritical detuning dan kasus supercritical detuning memberikan hasil yang serupa dengan kasus resonansi sempurna yaitu besarnya amplitudo gelombang refleksi tidak selalu berbanding lurus dengan amplitudo dinding sinusoidal. Kemudian perhatikan Gambar 4.8 dan Gambar 4.9. Berdasarkan kedua gambar tersebut dapat dilihat bahwa untuk perbandingan antara amplitudo dinding sinusoidal dengan lebar sungai (εg) yang sama, maka besarnya amplitudo gelombang refleksi untuk kasus subcritical detuning tidak selalu lebih kecil dari amplitudo gelombang refleksi pada kasus resonansi sempurna. Sedangkan untuk kasus supercritical detuning, besarnya amplitudo gelombang refleksi selalu lebih besar atau sama dengan amplitudo gelombang refleksi pada kasus resonansi sempurna. Catatan : Jika diambil nilai εg berapun, akan selalu diperoleh hasil yang sama walaupun disini hanya diberikan Gambar 4.8. dan Gambar 4.9.