BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

I.3. Pertanyaan Penelitian Dalam penelitian ini terdapat tiga pertanyaan penelitian :

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

STUDI EVALUASI METODE PENGUKURAN STABILITAS CANDI BOROBUDUR DAN BUKIT

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Prinsip Kuadrat Terkecil

BAB I PENDAHULUAN I.1.

L A P O R A N K A J I A N

PEMBUATAN PROGRAM APLIKASI PERHITUNGAN JARING TRIANGULATERASI UNTUK PENENTUAN KOORDINAT TITIK PANTAU BENDUNGAN MENGGUNAKAN MATLAB R2009A

STUDI PENERAPAN MODEL KOREKSI BEDA TINGGI METODE TRIGONOMETRI PADA TITIK-TITIK JARING PEMANTAU VERTIKAL CANDI BOROBUDUR DENGAN TOTAL STATION

HITUNGAN PERATAAN POSISI 3D TITIK PREMARK SECARA SIMULTAN PADA SURVEI FOTO UDARA FORMAT KECIL

METODE PENGUKURAN TRIANGULASI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN I.1.

Hitung Perataan Kuadrat Terkecil (Least Squares Adjustment)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Model Regresi Linier Ganda

Tujuan Khusus. Tujuan Umum

Matematika EBTANAS Tahun 1986

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian

MATEMATIKA DASAR TAHUN 1987

Bab 2 LANDASAN TEORI

BAB IV ANALISIS PERCOBAAN

BAB I PENDAHULUAN. tujuan dan manfaat penelitian. Berikut ini uraian dari masing-masing sub bab. I.1. Latar Belakang

Bahan ajar On The Job Training. Penggunaan Alat Total Station

Pengolahan Ukuran Gayaberat Relatif dengan Metode Perataan Kuadrat Terkecil dengan Solusi Bertahap

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

Soal dan Pembahasan UN Matematika Program IPA 2008

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

ILMU UKUR TANAH 2 PENENTUAN POSISI

TRY OUT MATEMATIKA PAKET 3B TAHUN 2010

BAB 2 LANDASAN TEORI. 1. Analisis korelasi adalah metode statistika yang digunakan untuk menentukan

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

BAB 2 LANDASAN TEORI

Pemetaan Situasi dengan Metode Koordinat Kutub di Desa Banyuripan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

disesuaikan dengan soal yaitu 2 atau 3 )

Bab 2 LANDASAN TEORI. : Ukuran sampel telah memenuhi syarat. : Ukuran sampel belum memenuhi syarat

BAB 2 LANDASAN TEORI. disebut dengan bermacam-macam istilah: variabel penjelas, variabel

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Tinjauan Umum Deformasi

Tata cara penentuan posisi titik perum menggunakan alat sipat ruang

SOAL-SOAL dan PEMBAHASAN UN MATEMATIKA SMA/MA IPA TAHUN PELAJARAN 2011/2012

BAB IV ANALISIS 4.1 Vektor Pergeseran Titik Pengamatan Gunungapi Papandayan

LATIHAN SOAL ILMU UKUR TANAH. Oleh: YULI KUSUMAWATI, S.T., M.T.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Matematika EBTANAS Tahun 1991

BAB I. PENDAHULUAN. Kota Semarang berada pada koordinat LS s.d LS dan

KLASIFIKASI PENGUKURAN DAN UNSUR PETA

BAB 2 LANDASAN TEORI. disebut dengan bermacam-macam istilah: variabel penjelas, variabel

( ) 2. Nilai x yang memenuhi log 9. Jadi 4x 12 = 3 atau x = 3,75

BAB III PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

ORIENTASI PADA PRA PLOTTING PETA BERSISTEM KOORDINAT LOKAL TERHADAP SISTEM KOORDINAT FIX (TETAP)

TRY OUT MATEMATIKA PAKET 2A TAHUN 2010

Page 1

BAB 1 Keseimban gan dan Dinamika Rotasi

Jikax (2 x) = 57, maka jumlah semua bilangan bulat x yang memenuhi adalah A. -5 B. -1 C. 0 D. 1 E. 5

B.1. Menjumlah Beberapa Gaya Sebidang Dengan Cara Grafis

Ilmu Ukur Tanah (Plan Survaying)

LATIHAN SOAL ILMU UKUR TAMBANG. Oleh: YULI KUSUMAWATI, S.T., M.T.

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram kotak garis

(A) 3 (B) 5 (B) 1 (C) 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tegak, perlu diketahui tentang materi-materi sebagai berikut.

Wilfried Suhr Gambar 1. Waktu-waktu kontak dalam peristiwa transit Venus.

Gambar Sket posisi sudut di sebelah kanan arah jalur ukuran polygon terbuka terikat

Lampiran 1. Perhitungan Manual Uji T 2 Hotelling Berbagai Ukuran Tubuh pada Kuda Delman Jantan Manado vs Tomohon. Rumus: T 2 = X X S X X

TINJAUAN PUSTAKA Analisis Gerombol

Bab 2 LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan PP No.24/1997 dan PMNA / KBPN No.3/1997, rincian kegiatan pengukuran dan pemetaan terdiri dari (Diagram 1-1) ;

Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84?

III. BAHAN DAN METODE

BAB 2 LANDASAN TEORI. 1. Analisis Korelasi adalah metode statstika yang digunakan untuk menentukan

PREDIKSI UAN MATEMATIKA SESUAI KISI-KISI PEMERINTAH

III. METODE PENELITIAN

Pemetaan dimana seluruh data yg digunakan diperoleh dengan melakukan pengukuran-pengukuran dilapangan disebut : Pemetaan secara terestris Pemetaan yan

Pertemuan 3. Penentuan posisi titik horizontal dan vertikal

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB 2 LANDASAN TEORI. Analisis Komponen Utama (AKU, Principal Componen Analysis) bermula dari

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. B. Tujuan Praktikum

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS

BAB III ANALISIS SPEKTRAL PADA RUNTUN WAKTU MODEL ARIMA. Analisis spektral adalah metode yang menggambarkan kecendrungan osilasi

BAB 2 LANDASAN TEORI

Transformasi Datum dan Koordinat

BAB IV ANALISIS. Ditorsi radial jarak radial (r)

Tabel 1 Sudut terjadinya jarak terdekat dan terjauh pada berbagai kombinasi pemilihan arah acuan 0 o dan arah rotasi HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 LANDASAN TEORI. Analisis regresi (regression analysis) merupakan suatu teknik untuk membangun

BAB III APLIKASI METODE EULER PADA KAJIAN TENTANG GERAK Tujuan Instruksional Setelah mempelajari bab ini pembaca diharapkan dapat: 1.

Didin Astriani P, Oki Dwipurwani, Dian Cahyawati (Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya)

Matematika Proyek Perintis I Tahun 1979

STUDI KEANDALAN ALAT ETS GOWIN TKS 202 DALAM PENGUKURAN SITUASI. Mikho Henri Darmawan,Ir.Chatarina N.MT, Danar Guruh P.ST,MT

2.1 Soal Matematika Dasar UM UGM c. 1 d d. 3a + b. e. 3a + b. e. b + a b a

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan peradaban masa lampau yang sangat megah. Peninggalan peradaban masa lampau tersebut masih dapat dinikmati hingga saat ini. Salah satu peninggalan masa lampau yang mudah diketahui berupa peninggalan fisik. Peninggalan fisik yang paling banyak tersebar berupa candi, baik Candi Hindu maupun Candi Budha dengan berbagai kelengkapan didalamnya. Salah satu Candi Hindu yang terkenal di Indonesia ialah Candi Prambanan. Candi Prambanan merupakan warisan budaya jaman Kerajaan Mataram Hindu yang bertempat di sekitar Yogyakarta. Secara geografis Candi Prambanan terletak di lintang 7 o 45 8 LS dan di bujur 110 o 9 30 BT. Candi tersebut dibangun pada abad ke-9 masehi oleh Raja Mataram Hindu. Situs Candi Prambanan sudah diakui oleh UNESCO sebagai salah satu situs warisan dunia yang harus dilestarikan. Candi Prambanan terletak di dataran luas di kaki Gunung Merapi dan berada di wilayah aliran Sungai Opak (Anonim, 011). Sungai Opak merupakan salah satu sungai yang memiliki mata air di lereng Gunung Merapi. Sungai Opak merupakan suatu bentang alam yang menjadi bagian dari Sesar Opak. Sesar Opak merupakan sesar utama dengan arah sesar Barat Daya Timur Laut (Sulaeman, dkk., 008). Arah sesar seperti ini mengindikasikan bahwa Sesar Opak termasuk jenis sesar mendatar dengan arah ke kiri (Sulaeman, dkk., 008). Sesar ini memanjang dari kawasan Pantai Parangtritis hingga ke sebelah timur Kota Yogyakarta (Abidin, dkk., 009), dengan lebar zona sesar diperkirakan sekitar,5 km (Wicaksono, 014). Sesar Opak merupakan penyebab terjadinya gempa bumi di Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 006 dengan kedalaman 10 km dan magnitud 6,3 SR (Sulaeman, dkk., 008). Mengingat Candi Prambanan merupakan situs budaya yang harus dilestarikan dan karena lokasinya yang terletak di daerah rawan gempa, maka perlu dilakukan 1

pemantauan secara kontinyu. Salah satu metode yang digunakan adalah pemantauan deformasi aspek geometrik dengan metode Geodesi. Pemantauan dilakukan pada titik-titik pantau Candi Prambanan. Sesudah terjadi gempa bumi tahun 006, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta melakukan pengukuran stabilisasi candi dengan mengukur titiktitik pantau yang tersebar di area candi. Pengukuran dilakukan menggunakan kerangka pengukuran berupa poligon tertutup, sehingga ketelitian pengukuran hanya berdasarkan pada nilai kesalahan linier poligon (Basuki, 006). Perhitungan hasil pengukuran dilakukan menggunakan metode Bowditch. Metode ini meratakan kesalahan ke seluruh hasil pengukuran, baik pengukuran jarak maupun pengukuran sudut. Pengukuran menggunakan metode ini sudah dilakukan sejak tahun 1999, dimana saat itu terdapat pengukuran stabilisasi tubuh Candi Prambanan, namun pemantauan ini tidak dilakukan secara kontinyu oleh BPCB Yogyakarta sehingga data pemantauan Candi Prambanan tidak terdapat di setiap epoch. Analisis deformasi dengan menggunakan hitung perataan kuadrat terkecil metode parameter baru dimulai pada perhitungan epoch 011 dan 013. Proses ini tidak dilakukan untuk epoch 1999 dan 001 sehingga pemantauan deformasi Candi Prambanan terbatas pada epoch setelah Gempa Yogyakarta tahun 006. Pemantauan belum menyeluruh pada epoch sebelum dan sesudah Gempa Yogyakarta 006. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian selanjutnya untuk menganalisis deformasi sebelum dan sesudah gempa. Penelitian ini merupakan kelanjutan penelitian sebelumnya yang dilakukan untuk menganalisis deformasi yang terjadi pada setiap titik pantau. Perbedaan dari penelitian sebelumnya terdapat pada data yang digunakan dan metode analisis yang digunakan. Penelitian ini menggunakan data pemantauan stabilisasi Candi Prambanan pada epoch 1999, 001, 011, 013 dan 015. Data pemantauan tahun 1999 dan 001 diasumsikan mewakili data pemantauan sebelum terjadi gempa bumi 006. Analisis dilakukan menggunakan hitung perataan kuadrat terkecil metode inner constraint.

3 I.. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang ada, dalam penelitian ini permasalahan utama dirumuskan sebaga berikut : 1. Belum ada kajian deformasi secara komprehensif sebelum dan sesudah Gempa Yogyakartan tahun 006, oleh karena itu belum diperoleh nilai koordinat yang merepresentasikan kondisi sebelum dan sesudah Gempa Yogyakarta tahun 006.. Pemrosesan data pengukuran Candi Prambanan belum dilakukan sesuai prosedur dalam analisis deformasi aspek geometrik. 1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang sudah diidentifikasi, maka pertanyaan yang muncul terkait penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Berapa nilai koordinat dan ketelitian titik-titik pantau Candi Prambanan, khususnya pada Candi Siwa setelah dilakukan analisis menggunakan epoch 1999, 001 yang merepresentasikan data sebelum gempa bumi tahun 006 serta epoch 011, 013 dan 015 yang merepresentasikan data setelah gempa bumi tahun 006?. Apakah terjadi deformasi secara signifikan pada tubuh Candi Prambanan, khususnya Candi Siwa serta berapa jarak pergeseran antar dua epoch dan kemana arah pergeserannya? 1.4. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang dan tujuan yang telah dirumuskan pembatasan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut : 1. Objek penelitian ini adalah Candi Siwa yang merupakan candi terbesar di kompleks Candi Prambanan.. Perhitungan parameter deformasi horisontal yang terjadi menggunakan data ukuran epoch 1999, 001 (epoch sebelum gempa bumi tahun 006), 011, 013 dan 015 (epoch setelah gempa bumi tahun 006).

4 3. Jaring titik pantau berupa poligon tertutup delapan titik dengan data ukuran sudut dan jarak pada delapan titik pantau tersebut. 4. Pada proses perhitungan menggunakan kerangka dasar relatif yang tidak memiliki titik ikat di lapangan. 5. Analisis deformasi menggunakan uji kesebangunan jaring, uji pergeseran titik dan uji signifikansi parameter. 1.5. Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah diajukan, maka tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Teridentifikasi deformasi horisontal aspek geometrik pada jaring pemantauan Candi Prambanan dengan data terestris sebelum dan sesudah Gempa Yogyakarta tahun 006.. Teridentifikasi nilai koordinat titik-titik pantau Candi Prambanan khususnya Candi Siwa beserta nilai ketelitiannya pada epoch 1999, 001 (epoch sebelum gempa bumi tahun 006), 011, 013 dan 015 (epoch setelah gempa bumi tahun 006). 3. Teridentifikasi titik-titik pantau yang mengalami deformasi secara signifikan. 4. Teridentifikasi besaran dan arah pergerakan titik pantau deformasi Candi Prambanan, khususnya Candi Siwa. 1.6. Manfaat Penelitian Berdasarkan penelitian ini dapat dirumuskan manfaat dari penelitian sebagai berikut: 1. Untuk bidang keilmuwan, penelitian ini diharapkan sebagai studi kasus pemanfaatan metode hitung kuadrat terkecil pada analisis deformasi bangunan, khususnya deformasi pada peninggalan kebudayaan.. Untuk Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta, penelitian ini diharapkan sebagai acuan penentuan konservasi yang dilakukan pada

5 tubuh candi agar meminimalisir kemungkinan negatif yang terjadi akibat gempa bumi maupun akibat dari pergeseran tubuh candi sendiri. 1.7. Tinjauan Pustaka Penelitian studi deformasi pada bangunan peninggalan bersejarah seperti candi sudah dilakukan di berbagai tempat. Penelitian pada Candi Prambanan dilakukan sejak tahun 1984 oleh BPCB Yogyakarta, namun dokumen yang ditemukan pada epoch 1999. Pada dokumen tersebut diketahui bahwa pemantaun stabilitas Candi Prambanan menggunakan delapan titik yang tersebar di sekitar Candi Siwa. Penelitian difokuskan pada Candi Siwa disebabkan Candi Siwa merupakan candi terbesar dan termegah, namun dasar Candi Siwa sangat kecil untuk menopang tubuh candi di atasnya sehingga dibutuhkan pengamatan yang seksama di Candi Siwa. Pengukuran stabilitas Candi Siwa menggunakan metode triangulaterasi pada delapan titik poligon tersebut. Pada epoch 1999 pengukuran dilakukan menggunakan alat ukur sudut, jarak dan elevasi, sehingga didapatkan nilai koordinat 3D dalam sistem koordinat lokal dengan titik awal di SI. Koordinat titik SI didefinisikan dengan nilai koordinat (600,000 ; 600,000) m serta elevasi 153,496 m. Hasil pengolahan data menggunakan metode Bowditch pada epoch 1999 dan setelah dilakukan perbandingan dengan data 1997 maka didapatkan hasil bahwa memang terjadi pergeseran sebesar 7 mm di titik SIV dan SV (BPCB, 1999). Penelitian selanjutnya dilakukan pada epoch 001. Pengukuran stabilitas ini dilakukan karena pada tanggal 5 Mei 001 telah terjadi gempa bumi di selatan Pulau Jawa sehingga perlu ada pengukuran pemantauan stabilitas di Candi Siwa. Proses pengukuran ini menggunakan delapan titik poligon yang sudah tersebar di sekitar Candi Siwa sebelumnya menggunakan metode triangulaterasi. Pengukuran menggunakan alat ukur sudut, jarak dan elevasi, sehingga didapatkan nilai koordinat 3D pada setiap titik poligon. Pada epoch 001 nilai koordinat tetap didefinisikan dalam sistem koordinat lokal dengan titik awal di SI seperti pada pengukuran stabilitas epoch 1999. Hasil pengolahan data menggunakan metode Bowditch pada epoch 001 dan setelah dilakukan perbandingan dengan epoch 1999 diketahui bahwa

6 terdapat pergeseran sebesar 4 mm pada arah horisontal dan pergeseran sebesar 5 mm pada arah vertikal (BPCB, 001). Penelitian lainnya yang menggunakan data epoch 011 dan 013 diketahui bahwa titik poligon yang digunakan memanfaatkan titik-titik poligon sebelumnya. Metode yang digunakan pada penelitian ini menggunakan metode triangulaterasi. Alat akuisisi data pada epoch 011 dan 013 hanya menggunakan alat pengukur sudut dan jarak sehingga nilai koordinat yang didapatkan hanya D atau hanya dalam arah horisontal. Pada epoch 011 dan 013 nilai koordinat tidak didefinisikan dengan nilai koordinat lokal, melainkan sudah menggunakan nilai koordinat global dengan titik ikat poligon pada Titik Tinggi Geodesi (TTG) 836 dan BM Boulevard. Proses pengukuran titik ikat poligon menggunakan metode ekstraterestris. Proses pengolahan data menggunakan metode hitung kuadrat terkecil terkendala minimum. Hasil analisis data didapatkan hasil bahwa telah terjadi pergeseran minimum pada titik SII sebesar 3,64 ± 4,490 mm dengan arah timur laut dan pergeseran maksimum sebesar 10,746 ± 5,657 mm pada titik SIII dengan arah timur laut. Nilai pergeseran ini belum menunjukkan adanya pergeseran secara signifikan setelah dilakukan uji statistik menggunakan tabel Fisher pada tingkat kepercayaan 95% (Wicaksono, 014). Penelitian ini dilaksanakan menggunakan lima epoch yang berbeda dengan peralatan akuisisi data yang berbeda. Agar penelitian ini berkesinambungan dengan analisis deformasi pada epoch 011 dan 013, maka penelitian ini juga memfokuskan pada pergeseran D Candi Siwa. Perhitungan menggunakan prinsip hitung perataan kuadrat terkecil metode inner constraint. Uji global memanfaatkan tabel Fisher dengan derajat kepercayaan tertentu. Apabila uji global ditolak maka langkah selanjutnya ialah melakukan uji blunder untuk mengetahui apakah terdapat blunder pada data pengamatan. Setelah dilakukan uji blunder maka langkah selanjutnya melakukan analisis pergeseran yang meliputi uji kesebangunan jaring dan uji pergeseran titik-titik pantau Candi Siwa dengan memanfaatkan tabel Fisher. Apabila dalam proses analisa pergeseran diketahui bahwa titik-titik pantau Candi Siwa mengalami pergeseran, maka perlu dilakukan uji signifikansi parameter. Uji ini memanfaatkan tabel t-student.

7 1.8. Landasan Teori I.8.1. Gejala Dinamika Bumi Ilmu Geodesi merupakan ilmu kebumian yang salah satu tujuannya untuk menyelenggarakan dan memelihara kerangka dasar geodetik 3D nasional dan global di daratan. Penyelenggaraan dan pemeliharaan kerangka dasar memperhatikan aspek waktu dalam pemantauan kerangka tersebut (Widjajanti, N., 1997). Pemantauan kerangka dasar geodetik diperlukan untuk memantau berbagai gejala dinamika bumi yang terjadi. Pembagian gejala dinamika bumi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut (Rais, 1984) : 1. Skala global. Pembagian pada skala ini menunjukkan pergerakan bumi secara keseluruhan yang diakibatkan oleh pergerakan antar lempeng, rotasi bumi dan gerakan kutub.. Skala regional. Pembagian pada skala ini menunjukkan pergerakan bumi dalam skala yang lebih kecil dari skala global (hanya beberapa kilometer). Pergerakan pada skala ini dapat ditemui pada gejala deformasi regional, gerakan sesar dan geologi regional. 3. Skala lokal. Skala ini menunjukkan adanya gejala dinamika bumi pada skala kecil. Pembagian pada skala ini sering disebut dengan deformasi, termasuk didalamnya ialah gerakan tanah, perubahan muka air tanah dan dampak medan geomagnetik dan geolistrik lokal. Penafsiran deformasi dalam praktiknya lebih ditujukan pada pengertian secara luas tanpa memperhatikan pembagian skala yang sudah ditetapkan, tetapi pada dasarnya deformasi merupakan pergerakan titik pada suatu benda yang bersifat absolut maupun relatif. Deformasi sendiri memiliki beberapa parameter yang merepresentasikan bagaimana deformasi itu terjadi. Salah satu parameter deformasi tersebut adalah pergeseran. Pada jenis deformasi ini yang menjadi fokus adalah pergeserannya beserta komponen pergeseran. Komponen pergeseran adalah jarak pergeseran dan arah pergeseran.

8 1.8.. Survei Deformasi Menurut Widjajanti (001) deformasi merupakan pergerakan suatu titik pada benda secara absolut maupun relatif yang diakibatkan oleh pergerakan lempeng bumi. Pergerakan relatif dikaji dari pergerakan suatu titik relatif terhadap titik lainnya yang diasumsikan tidak mengalami pergerakan. Sedangkan untuk pergerakan absolut dikaji dari pergerakan titik itu sendiri. Penentuan besaran dan arah dari deformasi yang terjadi pada suatu benda, maka diperlukan kerangka dasar pemantauan deformasi yang dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu : 1. Kerangka dasar absolut. Suatu kerangka dasar pemantauan deformasi dikatakan sebagai kerangka dasar absolut apabila titik-titik ikat yang berfungsi sebagai titik-titik referensi terletak di luar area objek pengamatan deformasi. Ilustrasi kerangka dasar absolut ditunjukkan pada Gambar I.1 berikut. Gambar I. 1. Kerangka dasar absolut (modifikasi Kuang, 1996) Kerangka dasar absolut bertujuan untuk menentukan pergeseran titik relatif terhadap titik acuan yang didefinisikan tidak mengalami pergeseran (Widjajanti, 1997).. Kerangka dasar relatif. Suatu kerangka dasar pemantauan deformasi dikatakan sebagai kerangka dasar relatif apabila titik-titik ikat yang

9 berfungsi sebagai titik referensi terletak dalam area pemantauan deformasi, sehingga titik ini ikut mengalami deformasi. Ilustrasi kerangka dasar relatif ditunjukkan pada Gambar I. berikut. Gambar I.. Kerangka dasar relatif (modifikasi Kuang, 1996) Pada kerangka dasar relatif analisis deformasi bertujuan untuk menentukan pergeseran relatif antar blok. Tahapan analisis deformasi pada kerangka dasar relatif dijabarkan sebagai berikut (Widjajanti, 1997): 1. Pemilihan titik-titik objek untuk pergeseran titik tunggal dengan mengabaikan titik-titik lainnya.. Perancangan model deformasi. 3. Pengujian model deformasi melalui uji statistik. 1.8.3. Jaring Kontrol Horisontal Berdasarkan SNI 19-674-00 tentang Jaring Kontrol Horisontal (00), pengertian jaring kontrol horisontal merupakan kumpulan titik kontrol horisontal yang saling terikat dengan pengukuran jarak maupun sudut, nilai koordinatnya ditentukan menggunakan metode pengamatan tertentu dalam suatu sistem referensi koordinat horisontal yang telah ditetapkan. Jaring kontrol horisontal ketelitiannya tergantung dari pendefinisian orde dan kelas jaring kontrol horisontalnya. Orde jaringan merupakan suatu atribut yang memberikan nilai karakteristik ketelitian atau akurasi suatu jaring yaitu tingkat kedekatan jaring terhadap titik kontrol yang sudah ada dan dijadikan referensi (BSN, 00). Kelas jaringan merupakan atribut yang memberikan karakteristik ketelitian

10 internal (tingkat presisi) dari suatu jaring, nilai ketelitian internal ini didapat melalui proses perataan terkendala minimum (BSN, 00). Penggunaan jaring kontrol horisontal sangat banyak, tidak lagi hanya berkisar sebagai jaring kontrol pemetaan, namun pengembangannya dapat digunakan sebagai kerangka dasar pemantauan deformasi serta studi lainnya yang terkait. Metode pengukuran jaring kontrol horisontal dapat menggunakan metode terestris maupun metode ekstraterestris. Pengukuran secara terestris pada jaring kontrol horisontal dapat menggunakan metode poligon, triangulasi, trilaterasi, triangulaterasi, pemotongan ke muka dan pemotongan ke belakang (Basuki, 006). 1.8.4. Metode Triangulaterasi Metode triangulaterasi merupakan metode pengukuran kerangka kontrol horisontal yang tujuannya untuk menentukan nilai koordinat titik-titik kontrol horisontal dengan melakukan pengukuran semua jarak dan sudut di setiap titik-titik pengamatan (Yulaikhah, 013). Gambar I. 3. Jaring triangulaterasi Keterangan Gambar I.3 : : titik yang diketahui nilai koordinatnya, : titik yang akan dicari nilai koordinatnya, D1, D, D3 : jarak antar titik,

11 Az 1- : sudut jurusan titik 1-, S1, S, S3 : sudut horisontal, Perhitungan triangulaterasi menggunakan konsep dasar hitungan poligon tertutup seperti persamaan (I.1) dan (I.). X = X 1 + D 1 sin Az1- + koreksi absis (ΔX)...(I.1) Y = Y 1 + D 1 cos Az1- + koreksi ordinat (ΔY)...(I.) 1.8.5. Hitung Perataan Kuadrat Terkecil Setiap pengukuran yang dilakukan selalu dihinggapi kesalahan yang bersifat acak (random). Untuk meminimalisir nilai kesalahan acak ini dibutuhkan suatu metode yang dapat menentukan nilai parameter tertentu. Hitung perataan merupakan metode yang mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Hitung perataan merupakan suatu metode untuk menentukan nilai koreksi yang harus diberikan pada hasil pengukuran, sehingga hasil pengukuran tersebut memenuhi suatu syarat geometri (Wolf, 1980). Syarat geometri merupakan suatu kondisi yang harus dipenuhi dari hubungan suatu pengukuran dengan pengukuran lainnya. Hitung perataan kuadrat terkecil memiliki berbagai cara penyelesaian, salah satunya adalah metode parameter. Pada metode ini nilai parameter yang dicari memiliki hubungan linier. Apabila nilai parameter yang dicari belum memiliki hubungan linier, maka perlu dilakukan proses linierisasi menggunakan deret Taylor (Hadiman, 1991). Hasil dari proses linierisasi ini merupakan sebuah model matematik yang berfungsi sebagai persamaan pengamatan dalam proses perhitungan. Ciri khas dari hitung perataan adalah jumlah pengukuran yag dilakukan melebihi jumlah parameter yang ditentukan nilainya, sehingga menimbulkan ukuran lebih (Wolf, 1980). Penyelesaian menggunakan metode ini dilakukan dengan cara mencari nilai hasil penjumlahan kuadrat residunya (V T PV) minimum, sehingga tidak muncul suatu nilai hitungan lainnya yang bernilai lebih kecil dari nilai kuadrat residunya (V T PV) (Hadiman, 1991). Prinsip perhitungan menggunakan metode hitung perataan kuadrat terkecil menekankan adanya pengamatan lebih sehingga didapatkan nilai derajat

1 kebebasan suatu data. Derajat kebebasan (r) dapat ditentukan dengan persamaan (I.3). r = n u...(i.3) Dalam hal ini : n : jumlah ukuran, u : jumlah parameter yang ditentukan nilainya. Penyusunan model matematis hitung perataan menjadi sangat penting. Model matematis yang digunakan seperti pada persamaan (I.4) dan (I.5). La = F(Xa)...(I.4) F(Xa) = F(Xo + X)...(I.5) Nilai estimasi pengamatan ditentukan dari persamaan (I.6). La = Lb + V...(I.6) Lb + V = F(Xo + X)...(I.7) Dalam hal ini : La : nilai estimasi pengamatan, Xa : nilai estimasi parameter, Lb : nilai pengamatan, F : selisih nilai estimasi pengamatan dengan nilai pengamatan, V : residu atau koreksi pengamatan, Xo : nilai pendekatan parameter, X : nilai koreksi parameter Penentuan matriks residu untuk mendapatkan nilai koreksi terbaik dibentuk dengan menggunakan persamaan (I.8). V = AX F...(I.8) Dalam hal ini, elemen matriks untuk tiap-tiap persamaan (I. 8) yaitu : V : vektor residu yang elemen matriksnya terdiri atas besaran-besaran koreksi ukuran (v 1, v,..., v n ) dengan dimensi (n x 1), A : matriks desain yang elemen matriksnya terdiri atas koefisien-koefisien parameter (a 1.1, a 1.,..., a n.u ) dengan dimensi (n x u), X : vektor parameter yang elemen matriksnya terdiri atas parameter yang dicari nilainya (x 1, x,..., x n ) dengan dimensi (u x 1),

13 F : vektor sisa yang elemen matriksnya terdiri atas selisih dari tiap konstanta persamaan linier (a 1.0, a.0,..., a n.0 ) dengan besaran ukuran (l 1, l,..., l n ) yang bersesuaian dengan dimensi (n x 1). Penentuan nilai estimasi terbaik menggunakan persamaan (I.9). X = (A T PA) -1 A T PF...(I.9) Dalam hal ini : P : matriks bobot pengamatan 1.8.6. Penerapan Hitung Kuadrat Terkecil pada Kerangka Dasar Relatif Hitung perataan kuadrat terkecil metode parameter dapat menjadi suatu dasar untuk proses perhitungan pada kerangka dasar relatif. Dikarenakan kerangka dasar relatif tidak memiliki suatu titik referensi maka perhitungan menjadi lebih kompleks dari proses perhitungan hitung perataan kuadrat terkecil metode parameter pada umumnya. Pengembangan dari metode parameter salah satunya adalah perataan metode inner constraint. Perataan metode inner constraint mampu mengatasi permasalahan yang timbul ketika metode parameter digunakan untuk melakukan perhitungan kerangka dasar relatif. Permasalahan mendasar pada kerangka dasar relatif adanya kekurangan datum geodetik pada kerangkanya (Widjajanti, 1997). Hal ini menjadikan matriks normal (A T PA) menjadi singular yang berarti bahwa determinan matriks normal tersebut sama dengan nol dan apabila dilakukan proses inversi menghasilkan nilai matriks yang tidak terdefinisi (Widjajanti, 1997). Proses pemecahan permasalahan tersebut dijelaskan pada bagian selanjutnya. 1.8.7. Hitung Perataan Metode Inner Constraint Hitung perataan metode inner constraint merupakan suatu metode hitung perataan yang berbasiskan pada metode parameter. Penerapan metode ini digunakan pada jaring relatif dengan kondisi yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kondisi jaring tidak memiliki titik ikat di lapangan. Penggunaan metode ini sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya dimana kondisi matriks normal memiliki nilai determinan sama dengan nol atau disebut dengan matriks singular. Faktor timbulnya matriks

14 singular disebabkan belum terdefinisinya sistem koordinat yang digunakan pada jaring pemantauan deformasi atau disebut juga dengan rank deficiency. Rank deficiency pada setiap sistem koordinat berbeda-beda tergantung dari jenis sistem koordinat yang digunakan pada jaringnya. Secara umum terdapat tiga jenis sistem koordinat yang sering digunakan, sehingga rank deficiency setiap sistem koordinat sebagai berikut (Soeta at, 1996): a. Sistem koordinat 1D. Rank deficiency pada sistem koordinat ini sebesar d = 1, sehingga untuk mendefinisikan sistem koordinat pada sistem koordinat ini membutuhkan satu titik sebagai referensi tinggi. b. Sistem koordinat D. Rank deficiency pada sistem koordinat ini sebesar d = 4, sehingga untuk mendefinisikan sistem koordinat pada sistem koordinat ini membutuhkan dua titik referensi atau empat unsur terdefinisi. c. Sistem koordinat 3D. Rank deficiency pada sistem koordinat ini sebesar d = 7, sehingga untuk mendefinisikan sistem koordinat pada sistem koordinat ini membutuhkan tiga titik referensi atau minimal membutuhkan tujuh unsur terdefinisi. Pada metode inner constraint untuk mengatasi permasalahan kekurangan datum membutuhkan suatu matriks kondisi atau matriks E. Persamaan umum untuk menyelesaikan matriks X yang merupakan matriks koreksi pada metode inner constraint diselesaikan dengan persamaan (I.10). X = (A T PA + E T E) 1 A T PF...(I.10) Persamaan (I.10) menjelaskan bahwa nilai matriks X sangat bergantung pada nilai dari matriks E atau matriks kondisi tersebut. Matriks E ini sangat penting karena menjadi solusi untuk menyelesaikan matriks normal yang singular. Metode ini dikatakan sebagai metode inner constraint apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut (Soeta at,1996) : A E T = 0...(I.11) Bentuk umum matriks E pada sistem koordinat D sebagai berikut (Caspary, 1987):

15 E = [ 1 0 0 Y 1 1 X 1 X 1 Y 1 1 0 0 1 Y X X Y 0 Y n 1 X n 1 0 X n Y n ]...(I.1) Secara geometrik, baris pertama dan kedua pada matriks E merupakan besaran translasi pada arah x dan y. Pada baris ketiga menunjukkan rotasi pada arah vertikal sedangkan baris keempat menentukan nilai penskalaan pada data observasi yang diberikan pada koordinat pendekatan. Apabila pada data observasi memiliki informasi mengenai datum, pembentukan matriks E ini dapat diabaikan (Caspary, 1987). Penentuan nilai estimasi terbaik menggunakan hitung perataan kuadrat terkecil metode inner constraint menggunakan persamaan (I.13). X = (A T PA + E T E) -1 A T PF...(I.13) Persamaan (I.14) digunakan untuk melakukan perhitungan matriks varian kovarian ( xx) : xx = σ 0 (A T PA + E T E) 1...(I.14) Dimana σ 0 merupakan nilai varian aposteori yang didefinisikan menggunakan persamaan (I.15) : σ 0 = VT PV n u...(i.15) Akar elemen-elemen diagonal matriks xx merupakan nilai ketelitian dari setiap parameter yang bersesuaian. Penentuan nilai ketelitian estimasi residu dilakukan dengan perhitungan varian kovarian residu menggunakan persamaan (I.16) VV = σ o ( P -1 A(A T PA+E T E) -1 A T )......(I.16) Akar elemen-elemen diagonal matriks VV residu pengamatan yang bersesuaian. merupakan nilai ketelitian setiap 1.8.9. Linierisasi Persamaan Pengamatan Persamaan non-linier merupakan suatu persamaan apabila dilakukan proses penurunan terhadap parameter menghasilkan turunan kedua yang tidak sama dengan nol. Contoh persamaan non-linier ini adalah persamaan pengamatan sudut dan jarak. Kedua persamaan tersebut menghasilkan suatu persamaan non-linier. Persamaan

16 linier dihasilkan dari proses linierisasi terhadap kedua persamaan tersebut menggunakan deret Taylor. 1.8.9.1. Linierisasi persamaan pangamatan sudut dengan deret Taylor. Sudut merupakan selisih bacaan arah horisontal ke titik A dengan selisih bacaan arah horisontal ke titik B. Sudut ini terbentuk dari selisih azimut di suatu titik seperti pada Gambar I.4 berikut. Gambar I. 4. Sudut horisontal yang dibentuk dari titik A, P dan B Azimut α PA dan azimut α PB merupakan model fungsional D (X,Y). Penentuan besaran nilai pengamatan sudut, model matematiknya seperti persamaan (I.17) β = arc tan X B X P B Y P arc tan X A X P Y A Y P...(I.17) Pada persamaan (I.17), nilai X A, Y A, X P, Y P, X B, Y B merupakan parameter yang nilainya dicari, maka nilai turunan model matematik terhadap setiap parameter sebagai persamaan (I.18) s.d. (I.3). 1. Turunan terhadap X A β (Y = A Y P ) X A (X A X P ) +(Y A Y P ). Turunan terhadap Y A β Y A = (X A X P ) (X A X P ) +(Y A Y P )...(I.18)...(I.19)

17 3. Turunan terhadap X P β = X P (Y C Y P ) (X C X P ) +(Y C Y P ) + 4. Turunan terhadap Y P β = Y P (X C X P ) (X C X P ) +(Y C Y P ) 5. Turunan terhadap X B β (Y = B Y P ) X B (X B X P ) +(Y B Y P ) 6. Turunan terhadap Y B β Y B = (X B X P ) (X B X P ) +(Y B Y P ) Y A Y P (X A X P ) +(Y A Y P )...(I.0) X A X P (X A X P ) +(Y A Y P )...(I.1)...(I.)...(I.3) 1.8.9.. Linierisasi persamaan pangamatan jarak dengan deret Taylor. Jarak merupakan selisih koordinat antara dua titik. Geometri pengukuran jarak antara dua titik seperti Gambar I.5 berikut. Gambar I. 5. Jarak antara titik 1 dengan titik Model matematik jarak sebagai persamaan (I.4). D 1 = (X X 1 ) + (Y Y 1 )...(I.4) Persamaan (I.4) diturunkan terhadap setiap parameter X1, Y1, X, Y sebagai persamaan (I.5) s.d. (I.8).

18 1. Turunan terhadap X1 D (X = X 1 ) = (X X 1 ) X 1 (X X 1 ) +(Y Y 1 ) D 1. Turunan terhadap Y1 D (Y = Y 1 ) = (Y Y 1 ) Y 1 (X X 1 ) +(Y Y 1 ) D 1 3. Turunan terhadap X D (X = X 1 ) = (X X 1 ) X (X X 1 ) +(Y Y 1 ) D 1 4. Turunan terhadap Y D (Y = Y 1 ) = (Y Y 1 ) Y (X X 1 ) +(Y Y 1 ) D 1...(I.5)...(I.6)...(I.7)...(I.8) 1.8.10. Bobot Bobot pengamatan merupakan suatu perbandingan ketelitian antara suatu besaran pengamatan dengan besaran pengamatan lainnya. Nilai bobot didefinisikan sebagai suatu nilai yang berbanding terbalik dengan besaran varian pengukuran (Mikhail dan Gracia, 1981). Pemberian niai bobot pengamatan terhadap ukuran menjadi sangat penting sebab suatu besaran pengamatan memiliki ketelitian yang berbeda satu dengan yang lain. Oleh sebab itu bobot pengamatan harus diberikan agar sesuai dengan ketelitian setiap pengukuran. Bobot ditentukan dengan persamaan (I.9). -1 P = σ 0 Lb...(I.9) Dalam hal ini ; P : bobot pengamatan, σ 0-1 Lb : varian apriori, : varian pengukuran. Karena setiap pengamatan tidak saling berkorelasi, maka bobot pengamatan merupakan suatu matriks diagonal sebagai berikut : 1 0 0 σ 11-1 Lb = 0 [ 0 0 1 σ 0 1 σ 33 ] : invers matriks varian kovarian pengamatan Berdasarkan matriks invers varian kovarian pengamatan tersebut, maka dibentuk suatu matriks bobot sebagai persamaan (I.30).

19 P = σ 0 1 0 0 σ 11 0 [ 0 0 1 σ 0 1 σ 33 ]...(I.30) 1.8.10.1. Varian pengukuran sudut. Varian pengukuran sudut dibentuk oleh persamaan (I.3) (Mikhail dan Gracie (1981). σ B = σ BC + σ BR + σ BP + σ BT...(I.3) Dalam hal ini : σ B : varian total sudut ukuran, σ BC : kesalahan akibat pemusatan alat ukur dan target, σ BR : kesalahan akibat pembacaan pada skala piringan horisontal, σ BP : kesalahan akibat pembidikan, σ BT : kesalahan akibat penempatan target. Dalam hal ini : = { σ C1 σ BC Dalam hal ini : D 1 (Kuang, 1996) σ C1, σ C σ C3 D1, D β + σ C D + σ C3 D 1 D (D 1 + D D 1 D cos β} ρ"...(i.33) : kesalahan pemusatan target satu dan target dua : kesalahan pemusatan alat ukur : jarak ke target satu dan target dua : sudut ukuran ρ : 0665 σ BR = σ R n (untuk teodolit repetisi) σ R = 3 x d (ketelitian piringan horisontal 10 s.d. 1 ) d σ BP = σ P n σ P M n : pembacaan terkecil piringan horisontal = 60" M : perbesaran teropong alat ukur teodolit : jumlah pengamatan σ BT = D 1 + D D 1 D σ T (ρ")

0 σ T : ketelitian target 1.8.10.. Varian pengukuran jarak. Nilai varian pengukuran jarak harus ditentukan terlebih dahulu yang nantinya digunakan untuk menyusun matriks bobot. Perhitungan nilai varian pengukuran jarak menggunakan persamaan (I.31) (Mikhail dan Gracie, 1981) : σ D = a + b. D...(I.31) Dalam hal ini : σ D : varian total jarak pengukuran, a : ketelitian jarak yang tidak tergantung jarak pengukuran (mm), b : ketelitian relatif alat (ppm), D : jarak (km). I.8.11. Iterasi Iterasi merupakan suatu metode yang digunakan secara berulang untuk menyelesaikan permasalahan perhitungan matematik. Iterasi dimulai setelah mendapatkan nilai pendekatan terhadap matriks X (X 0 ). Nantinya nilai matriks X yang baru dijadikan sebagai nilai pendekatan pada hitung perataan berulang (Uotila, 1988). Pada proses perhitungan hitung perataan kuadrat terkecil dimana persamaan pengamatan merupakan fungsi persamaan non-linier dan selanjutnya dilakukan proses linierisasi menggunakan deret Taylor proses iterasi menjadi sangat penting. Deret Taylor yang dalam proses linierisasi persamaan non-linier hanya berhenti pada turunan pertama persamaan, memerlukan proses ini agar menghasilkan nilai estimasi terbaik. X = N + (A T PF) Xa = X 0 + X...(I.34) Iterasi pertama menggunakan nilai Xa sebagai nilai pendekatan, sedangkan untuk hitungan kedua nilai pendekatan menggunakan nilai matriks parameter yang baru (X 1 ). X 1 = Xa X 1 = N + (A T PF)

1 Xa 1 = X 1 + Xa......(I.35) Syarat penghentian iterasi sebagai berikut (Uotila, 1988) : 1.8.1. Uji Global 1. X i mendekati atau sama dengan nol, dimana nilai i semakin besar.. Selisih V i V i 1 mendekati nol. 3. Nilai V i T PV i stabil. Uji global merupakan salah satu langkah pengujian terhadap data yang dilakukan setelah proses hitung perataan. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah data mengandung kesalahan tak acak yang berpengaruh besar terhadap data pengamatan setiap kala. Uji global menggunakan prinsip pengujian nilai varian aposteori ( ˆo ) dengan varian apriori ( o ). Pengujian ini menggunakan tabel Fisher untuk menentukan apakah data ditolak atau diterima. Tahap pengujian dilakukan sebagai berikut (Widjajanti, 1997): 1. Menyusun hipotesis : Ho : ˆ o o...(i.36) ˆ Ha : o o...(i.37). Menetapkan taraf uji (α 0 ). 3. Menentukan nilai batas F 1-αo,, r dari tabel fungsi Fisher dengan argumen α o dan r (r = derajat kebebasan). 4. Melakukan uji hipotesis nol (Ho). Ho ditolak apabila memenuhi persyaratan pada persamaan (I.38). ˆ o o F 1,, r...(i.38) Penolakan pada nilai hipotesis nol mengindikasikan adanya kemungkinan bahwa pengukuran dipengaruhi oleh kesalahan tak acak yang mengakibatkan perubahan terhadap nilai rata-rata dan nilai pengukuran tidak mengikuti sebaran normal. Apabila dalam tahap ini hipotesis nol ditolak, maka langkah selanjutnya adalah melakukan data snooping terhadap data pengukuran.

1.8.13. Data Snooping Data snooping merupakan suatu cara dalam metode hitung perataan kuadrat terkecil untuk menemukan data yang dihinggapi kesalahan tak acak dengan melakukan penyusunan ulang hipotesis nol (Ho) dan Ha (Widjajanti, 1997). Langkah melakukan data snooping sebagai berikut (Widjajanti, 1997) : 1. Menyusun hipotesis Ho : hasil pengamatan yang tidak dihinggapi kesalahan tidak acak Ha : hasil pengamatan yang dihinggapi kesalahan tidak acak. Menetapkan taraf uji (α o ). 3. Menentukan nilai batas F 1/ 1-αo,,r menggunakan tabel Fisher. 4. Melakukan uji hipotesis nol (Ho). (Ho) diterima apabila memenuhi persyaratan pada persamaan (I.39). w 1/ F i 1 o,1,...(i.39) Dalam hal ini : W i = V i σ Vi...(I.40) V i : koreksi pengamatan ke-i σ Vi : simpangan baku koreksi pengamatan ke-i Apabila Ho diterima maka dapat disimpulkan bahwa data pengamatan tidak dihinggapi kesalahan tidak acak sehingga data tidak perlu dihilangkan atau dilakukan pengukuran ulang. Apabila Ho ditolak maka dapat disimpulkan bahwa data dihinggapi kesalahan tidak acak sehingga data yang ditolak tidak diikutkan dalam perhitungan atau dilakukan pengukuran ulang (Widjajanti, 1997). Uji statistik tersebut menghasilkan suatu luaran berupa nilai koordinat beserta ketelitiannya tanpa ada data yang mengandung kesalahan tak acak. Proses selanjutnya ialah melakukan analisis deformasi. Analisis deformasi terdiri atas dua tahapan, yaitu uji kesebangunan jaring dan uji pergeseran titik pantau. 1.8.14. Model Persamaan Pergeseran Horisontal Hasil dari proses hitung kuadrat terkecil berupa data koordinat D (X dan Y) untuk setiap epoch data dan varian aposteori setiap epoch. Data tersebut menjadi data masukan dalam analisis pergeseran horisontal. Model hitungan pergeseran horisontal

3 setiap epoch dimodelkan dengan besaran pergeseran (d). Pergeseran dua epoch pengamatan ditentukan dengan persamaan (I.41) dan (I.4). d X = X (j) X (i) d Y = Y (j) Y (i)...(i.41)...(i.4) Besaran pergeseran tersebut tidak bisa digunakan sebagai representasi pergeseran suatu absis dan ordinat apabila tidak memiliki ketelitian yang ditunjukkan dengan besaran simpangan baku pergeseran absis dan besaran simpangan baku pergeseran ordinat. Ketelitian pergeseran absis dan ketelitian pergeseran ordinat ditentukan dengan persamaan (I.43) dan (I.44). σd X = σ X(j) + σ X(i)...(I.43) σd Y = σ Y(j) + σ Y(i)...(I.44) Jarak pergeseran horisontal diperoleh dari rumus phytagoras dengan mengurangkan nilai absis dan ordinat menggunakan persamaan (I.45). d = d X + d Y...(I.45) Jarak pergeseran tersebut tidak dapat menjelaskan pergeseran suatu titik apabila tidak memiliki besaran ketelitian. Untuk mendapatkan nilai ketelitian pergeseran suatu titik ditentukan dengan prinsip hitung perambatan kesalahan acak sebagai persamaan (I.46). σ d = ( d d X ) σ d X + ( d d Y ) σ d Y......(I.46) Setiap nilai koordinat yang dihasilkan pada tiap epoch memiliki nilai kesalahan sebesar V (residu), sehingga untuk melakukan analisis pergeseran horisontal menggunakan persamaan (I.47) dan (I.48). d X = X (j) + V X (j) (X (i) + V X (i) )......(I.47) d Y = Y (j) + V Y (j) (Y (i) + V Y (i) )......(I.48) Persamaan (I.47) dan (I.48) yang nantinya digunakan untuk melakukan analisis deformasi horisontal. Arah pergeseran dari suatu titik dapat direpresentasikan menggunakan besaran sudutnya. Persamaan (I.49) digunakan untuk merepresentasikan arah pergeserannya.

4 α = atan ( (Xj X i ) )...(I.49) (Y j Y i ) 1.8.15. Uji Kesebangunan Jaring Uji kesebangunan jaring merupakan langkah analisis deformasi yang menggunakan uji global. Tujuan uji ini ialah untuk menganalisis apakah terdapat pergeseran pada bentuk jaring pantau. Penolakan hipotesis nol (Ho) pada uji ini menandakan bahwa ada pergeseran pada jaring, sehingga perlu dilakukan uji selanjutnya yaitu uji pergeseran titik pantau (Widjajanti, 1997). 1997) : Tahapan melakukan uji kesebangunan jaring sebagai berikut (Widjajanti, 1) Membentuk persamaan (I.50) yang merupakan pergeseran horisontal untuk proses analisis deformasi. U d V d + d = 0 Dalam hal ini,...(i.50) U d : matriks koefisien koreksi pengamatan, V d : pergeseran koordinat titik objek, d : vektor pergeseran titik pantau. ) Menghitung nilai korelat pergeseran K dengan persamaan (I.51). K = ( U d Q d U d T ) -1 d Qd = [ Q(j) 0 Q (j) = N + (j) Q (k) = N + (k) Q (j) Q (k) 0 Q (k) ]......(I.51) : matriks kofaktor parameter pada epoch pertama, : matriks kofaktor parameter pada epoch kedua. 3) Menghitung nilai koreksi koordinat pergesaran titik objek V d, V d dengan persamaan (I.5) dan (I.53). V d = Q d U d T (U d Q d U d T ) 1 d...(i.5) V d = Q d 1 V d...(i.53) 4) Menghitung varian nilai pergeseran dengan persamaan (I.54) dan (I.55).

5 Varian apriori pergeseran : σ 0d ( j ) ( k ) σˆ 0 + σˆ 0 =...(I.54) Varian aposteriori pergeseran : 5) Menyusun hipotesis : T -1 V Q V d d d σˆ 0 d =...(I.55) r Ho : bentuk jaring tidak mengalami perubahan (σ od = σ od ) Ha : bentuk jaring mengalami perubahan (σ od > σ od ) 6) Menetapkan taraf uji (α 0 ). 7) Menentukan nilai batas F 1-0 dari tabel fungsi Fisher dengan argumen,, f α 0 dan f (f : jumlah persamaan syarat). 8) Melakukan uji hipotesis nol (Ho). Ho ditolak apabila memenuhi persyaratan pada persamaan (I.56). ˆ 0d 0d......(I.56) F 1-,, f 0 1.8.16. Uji Pergeseran Titik Pantau Uji pergeseran titik pantau dilakukan apabila Ho pada uji kesebangunan ditolak pada derajat kebebasan tertentu. Widjajanti (1997) menerangkan bahwa tujuan uji ini untuk menentukan lokasi titik yang mengalami pergeseran. Pengujian pada setiap titik menggunakan prinsip data snooping. Apabila Ho pada uji ini diterima maka titik tidak mengalami pergeseran, namun apabila Ho ditolak pada derajat kebebasan tertentu maka titik mengalami pergeseran atau deformasi. Tahap melakukan uji pergeseran titik objek sebagai berikut (Widjajanti, 1997) : 1. Menyusun hipotesis : Ho : koordinat titik ke-i tidak mengalami pergeseran Ha : koordinat titik ke-i mengalami pergeseran. Menentukan taraf uji (α 0 ). 3. Menentukan nilai batas F 1 α0,,f dari tabel fungsi Fisher dengan argumen α 0. 4. Menghitung W di (Baarda, 1967 dalam Widjajanti, 1997)

6 N d = U d T (U d Q d U d T ) 1 U d...(i.57) W di = Q 1 di Vdi σ od N di...(i.58) 5. Melakukan uji hipotesis nol (Ho). Ho ditolak apabila memenuhi persyaratan pada persamaan (I.59). W di > F 1 α0,,1...(i.59) 1.8.17. Uji Signifikansi Parameter Uji ini merupakan tahapan tambahan uji statistik pada titik observasi yang berguna untuk mengetahui apakah pergerakan titik tersebut secara signifikan atau tidak. Uji ini dilakukan setelah uji pergeseran titik, apabila dari uji pergeseran titik diketahui bahwa suatu titik mengalami pergeseran, maka perlu dikethaui apakah pergeserannya secara signifikan atau tidak. Uji signifikansi parameter ini menggunakan tabel t-student dengan tahapan sebagai berikut : 1. Menyusun hipotesis : Ho : titik ke-i tidak mengalami pergeseran secara signifikan Ha : titik ke-i mengalami pergeseran secara signifikan. Menentukan vektor pergeseran titik-titik pantau candi yang merupakan selisih absis dan ordinat dari koordinat titik pantau. dx i = x (1) i x () i...(i.60) dy i = y (1) i y () i...(i.61) 3. Menghitung nilai uji untuk setiap koordinat titik pantau dari dua epoch pengukuran. t xi = x i (1) xi () (1) (σ xi ) + (σxi () )...(I.6) t yi = y i (1) yi () (1) (σ yi ) + (σyi () )...(I.63) 4. Menentukan taraf uji α o. 5. Menentukan nilai t (αo,r) dari tabel fungsi distribusi t-student dengan argumen α o dan derajat kebebasan r.

7 6. Melakukan uji hipotesis nol (Ho). Ho diterima apabila memenuhi persyaratan pada persamaan (I.64) dan (I.65). t xi < t (αo,r)...(i.64) t yi < t (αo,r)...(i.65) Penerimaan Ho menunjukkan bahwa titik ke-i tidak mengalami pergeseran secara signifikan. Sedangkan penolakan pada Ho menunjukkan bahwa titik ke-i mengalami pergeseran secara signifikan I.9. Hipotesis Deformasi pada tubuh Candi Prambanan khususnya Candi Siwa bergeser dengan arah horisontal. Nilai koordinat sebelum gempa Yogyakarta tahun 006 memiliki nilai yang tidak berbeda secara signifikan dan nilai ketelitian berkisar dalam fraksi milimeter dengan nilai 1 mm s.d. 3 mm. Namun pada epoch transisi antara sebelum dan sesudah gempa bumi tahun 006 nilai ketelitian melebihi 3 mm berdasarkan penelitian Wicaksono (014). Berdasarkan laporan penelitian yang dilakukan oleh BPCB tahun 1999 dan 001 serta penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono (014) diketahui bahwa pergeseran horisontal Candi Prambanan berkisar 4 mm s.d. 10 mm. Namun pada epoch transisi terdapat nilai pergeseran yang lebih besar dari 10 mm dikarenakan adanya gempa bumi tahun 006.